BAB I
KEJANG DEMAM
I. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstra kranium,
biasanya terjadi pada anak yang berumur 6 bulan sampai 5 tahun.1,2
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari satu bulan (empat minggu) tidak termasuk kejang
demam.1,3
II. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak usia 6 bulan-5 tahun.1 Kejang
demam paling sering pada usia 17-23 bulan, dimana 70-75% kasus kejang demam
adalah kejang demam sederhana, sedangkan 20-25% nya adalah kejang demam
kompleks. Penelitian oleh Farrel dan Goldman menunjukkan bahwa kejang fokal
muncul pada 4% dari semua kejang demam, kejang yang berlangsung lebih dari
15 menit pada 8% kasus, dan lebih dari 30 menit pada 4-5% kasus. Kejang
berulang yang terjadi dalam 24 jam muncul pada 16% kasus. 4
III. Etiologi dan Faktor Risiko
Berdasarkan definisi, kejang demam didahului oleh timbulnya demam. Demam
sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas seperti faringitis, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis, infeksi saluran kemih dan penyakit virus.
1
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang sangat tinggi, kadang-kadang demam
yang tidak begitu tinggi sudah dapat menyebabkan kejang. Bila kejang telah
terjadi pada demam yang tidak begitu tinggi, anak mempunyai risiko tinggi untuk
berulangnya kejang.3
Resiko terjadinya kejang demam lebih tinggi pada famili tertentu
dibanding yang lain. Riwayat anggota keluarga yang pernah kejang demam dapat
ditemukan pada kira-kira 25-40% pada pasien kejang demam. Kejang demam
diturunkan secara autosomal dominan, dan banyak kasus penderita kejang demam
yang orang tua atau saudaranya menderita penyakit yang sama.3
Adanya kejang demam tidak memprediksi akan terjadinya epilepsi di
kemudian hari, dimana seorang anak dengan kejang demam simpleks memiliki
kemungkinan sebesar 98% untuk tidak menjadi epilepsi, begitupun dengan anak
dengan kejang demam kompleks memiliki kemungkinan sebesar 85-95% untuk
tidak menjadi epilepsi.4
IV. Klasifikasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia dalam Konsensus Penanganan Kejang Demam
2006 telah mengklasifikasi kejang demam. menjadi dua, yaitu:1
1. Kejang demam simpleks (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit,
dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum
tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di
antara seluruh kejang.
2
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan ciri (salah satu di bawah ini):
Kejang lama, lebih dari 15 menit
Kejang fokal atau parsial pada satu sisi, atau kejang umum
yang didahului kejang parsial
Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam, yaitu
keadaan dimana kejang terjadi 2 kali atau lebih dalam 24 jam
dan anak sadar diantara 2 serangan kejang.
V. Patofisiologi
Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya
telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme
atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu
infeksi. Dewasa ini diduga bahwa pirogen adalah suatu protein yang identik
dengan interluekin-1. Di dalam hipotalaus zat ini merangsang pelepasan asam
arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang
langsung dapat menyebakan pireksia.5
Faktor yang dapat menjelaskan mekanisme terjadinya kejang yaitu zat
yang dikenal sebagai gama-aminobutyric acid (GABA). GABA adalah salah satu
jenis neurotransmitter inhibisi utama di susunan saraf pusat. Ketidakseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi di otak serta penurunan fungsi GABA dapat
menimbulkan terjadinya kejang.6,7
Menurunnya hambatan potensial aksi oleh GABA disebabkan karena
beberapa faktor tertentu, yang meliputi :6,7,8
3
1. Menurunnya kecepatan pelepasan GABA, misalnya karena
menurunnya enzim pembentuk GABA
2. Menurunnya efisiensi GABA oleh karena perubahan lingkungan
seperti demam atau anoksia.
3. Meningkatnya bahan eksogen dan endogen yang memblok aksi
pasca sinaps GABA dan hambatan lepas muatan
Hambatan atau penurunan dari GABA dapat secara langsung menginduksi
terjadinya ledakan lepas muatan yang menyebabkan kejang. Neurotransmitter
eksitatori akan membuka saluran ion natrium sehingga meningkatkan pemasukan
natrium, hal ini menyebabkan depolarisasi dan meningkatkan kecepatan lepas
muatan. Neurotransmitter inhibitori, dalam hal ini GABA akan membuka saluran
ion klorida, menyebabkan pemasukan ion klorida, menimbulkan hiperpolarisasi
dan menurunkan kecepatan lepas muatan neuron.7,8
Kenaikan suhu 10C pada keadaan demam akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel otak. Dalam waktu singkat terjadi
lepasan muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke
seluruh sel di dekatnya dengan bantuan neurotransmitter, sehingga terjadi kejang.8
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, seperti berikut 9 :
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
- Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
4
- Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi GABA.
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang menggangu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kalinan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbanagn ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmiter eksitatorik atau
deplesi neurotransmiter inhibitorik.
VI. Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis kejang demam dapat dipikirkan apabila ditemukan kejang pada anak,
terutama yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun, yang mengalami demam dan tidak
memiliki riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.8 Hanya sedikit anak yang
mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah
berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam
lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih
dari 5-6 tahun.3
Dalam menegakkan diagnosis kejang demam diperlukan anamnesis yang
jelas karena seringkali kejang yang dialami anak tidak disaksikan langsung oleh
tenaga medis atau anak datang dalam keadan tidak kejang.. Hal yang perlu untuk
diperhatikan antara lain adalah : 1,2,3,10,11
1. Tipe kejang dan durasi kejang.
Hal ini penting untuk membedakan antara kejang demam simpleks dan
kejang demam kompleks. Pada kejang demam simpleks umumnya kejang
5
menyeluruh, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral,
berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) dan seringkali kejang berhenti
sendiri.
Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau beberapa menit anak terbangun
dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Sedangkan pada kejang demam
kompleks dapat terjadi kejang fokal, yaitu kejang parsial pada satu sisi
atau kejang umum yang didahului oleh kejang parsial yang berlangsung
lebih 15 menit. Selain tipe dan durasi kejang, perlu juga ditanyakan berapa
kali kejang berulang sebelum dibawa ke rumah sakit.
2. Riwayat demam
Sangatlah penting untuk memastikan bahwa kejang yang dialami anak
didahului oleh demam. Pada umumnya kejang berlangsung pada
permulaan demam akut atau diawal terjadinya peningkatan suhu yang
biasanya lebih tinggi dari 38,50C. Tak jarang orang tua baru mengetahui
anak mengalami demam ketika telah terjadi kejang. Penyakit-penyakit
yang mungkin mendasari terjadinya demam juga penting untuk ditelusuri.
3. Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya, kelainan neurologis,
riwayat trauma, kemungkinan infeksi susunan saraf atau adanya riwayat
epilepsi dalam keluarga penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari
kejang.
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik, hal yang harus diperhatikan antara lain adalah:1,3,8,10,11
6
1. Temperatur dan tingkat kesadaran.
2. Pemeriksaan terhadap penyakit dasar yang mendasari
terjadinya demam, seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut),
OMA (Otitis Media Akut), ISK (Infeksi Saluran Kemih), dll.
3. Pemeriksan tanda-tanda rangsangan meningeal, yaitu
kaku kuduk, Brudzinski I, Brudzinski II, Kernig sign, untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis.
4. Pemeriksaan tanda-tanda trauma untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya cedera kepala.
5. Tanda peningkatan tekanan intracranial seperti edema
papil dan ubun-ubun besar menonjol
6. Pemeriksaan neurologi, seperti tonus, motorik, refleks
fisiologis, refleks patologis.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis kejang demam, namun biasanya penting untuk analisis
penyakit yang mendasari terjadinya demam.1
2. Lumbal Pungsi
Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosa meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, lumbal pungsi dianjurkan pada:1
Bayi kurang dari 12 bulan, sangat dianjurkan untuk dilakukan.
7
Bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan untuk dilakukan.
Bayi lebih dari 18 bulan, tidak rutin dilkukan.
Bila yakin bukan meningitis secara klinis maka tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.1
3. EEG
Pemeriksaan EEG tidak dapat untuk memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam, oleh karena itu tidak direkomendasikan. Akan tetapi dapat
dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas.1
4. Studi Imaging
Pencitraan otak tidak dianjurkan setelah kejang demam simpleks.4
Pemeriksan X-ray, CT scan dan MRI dilakukan terhadap:1,4
Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) lebih
dari beberapa jam
Paresis nervus VI
Papiledema
VII. Diagnosis Banding
- Infeksi susunan saraf pusat
Adanya infeksi susnan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan cairan serebrospinal.
- Kejang karena proses intrakranial
8
Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti oleh
hemiparesis sehingga sulit dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial.3
VIII. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk mencegah kejang
demam berulang, epilepsi dan atau retardasi mental serta normalisasi kehidupan
anak dan keluarga.10
Penatalaksanaan kejang demam meliputi 3 hal, yaitu pengobatan fase akut,
mencari dan mengobati penyebab, pengobatan profilaks terhadap berulangnya
kejang demam.3,12
1. Pengobatan fase akut
Kejang terkadang dapat berhenti sendiri. Meskipun begitu, ketika kejang
terjadi hal-hal sebagai berikut perlu diperhatikan, yaitu : 3,10, 12
Perhatikan agar jalan nafas tetap terbuka dan bebaskan sumbatan
bila ada, agar oksigenasi tetap terjamin.
Berikan oksigen, lakukan penghisapan secara teratur, dan intubasi
bila perlu.
Semua pakaian yang ketat dibuka.
Apabila terjadi muntah, pasien dimiringkan untuk mencegah
aspirasi
Atasi kepanikan keluarga
Tanda vital sebaiknya selalu diawasi, seperti: kesadaran, suhu, tekanan
darah, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan
melakukan pengompresan air hangat dan pemberian anti piretik, seperti
9
asetaminofen/parasetamol oral 10-15 mg/KgBB sebanyak 4 kali sehari atau
Ibuprofen dapat diberikan peroral dengan dosis 5-10 mg/kgBB sebanyak 3-4 kali
sehari. Pemberian antipiretik tidak dapat mencegah berulangnya kejang
demam.1,3,12
Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk mengatasi kejang demam
fase akut, hal ini dikarenakan diazepam mempunyai masa kerja yang pendek.
Obat ini dapat diberikan secara intravena ataupun rektal. Apabila anak datang
dalam keadaan kejang, maka obat yang paling cepat untuk menghentian kejang
adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Apabila diazepam diberikan
secara intramuskular, maka absorpsinya akan lambat.10,11,13
Alur tatalaksana kejang adalah :1
Anak dalam serangan kejang
Berikan diazepam rektal, dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB, atau
sebanyak 5 mg untuk berat badan dibawah 10 kg, dan 10 mg untuk
berat badan diatas 10 kg. Selain itu, bisa juga diberikan dengan
dosis 5 mg untuk usia di bawah 3 tahun atau 7,5 mg untuk usia di
atas 3 tahun atau disuntikkan diazepam intravena dengan dosis
0,3-0,5 mg/kgBB pelan-pelan kecepatan 1-2 mg/menit atau lebih
dari 2 menit dengan dosis maksimal 20 mg
Apabila kejang masih berlanjut, diulangi
pemberian diazepam rektal pada 5 menit berikutnya dengan dosis
yang sama.
10
Apabila tetap kejang, sebaiknya pasien
dibawa ke RS dan berikan diazepam intravena dengan dosis dan
lama pemberian yang sama
Apabila kejang masih berlanjut, berikan
fenitoin bolus intravena sebanyak 10-20 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 0,5-1 mg/kgBB/menit, atau kurang dari 50 mg/menit.
Apabila tetap kejang setelah pemberian
fenitoin maka transfer ke ICU, sedangkan apabila kejang berhenti
adalah 4-8 mg/kgBB/hari setelah 12 jam.
2. Mencari dan mengobati penyebab.
Pada pasien kejang demam yang pertama, perlu dicurigai demam terjadi
karena meningitis. Bila perlu lakukan lumbal pungsi untuk mengetahui adanya
meningitis. Perlu juga ditelusuri adanya sumber infeksi lain yang dapat
menyebabkan demam.3
3. Pengobatan rumat.3,11
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat oleh karena
daya kerja diazepam sangat singkat maka harus diberikan obat antikonvulsan
dengan daya kerja lama, seperti fenobarbital.
Fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti oleh diazepam,
dengan loading dose secara intramuskuler. Dosis loading dose fenobarbital
untuk neonatus adalah 30 mg, untuk anak umur 1 bulan – 1 tahun adalah 50
mg, dan untuk anak umur 1 tahun keatas adalah 75 mg.
11
Setelah pemberian loading dose maka dilanjutkan dengan dosis rumat
secara oral dengan dosis 2 hari pertama fenobarbital 8-10 mg/kgBB/hari dan 2
hari kedua fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari.
Lanjutan dari pengobatan dosis rumat ini tergantung dari keadaan klinis
pasien.
Kejang demam perlu dicegah agar tidak berulang. Cara profilaks yang
diberikan dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Profilaks intermitten.3,11
Anti konvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan syarat
orang tua mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Anti
konvulsan yang diberikan adalah diazepam, karena dari hasil penelitian tidak
didapatkan hasil yang memuaskan dengan pemakaian fenobarbital. Digunakan
diazepam intrarektal apabila suhu tubuh 38,5 0C atau lebih dengan ketentuan
sebagai berikut :
Berat Badan < 10 kg, digunakan tiap 8 jam
sebanyak 5 mg.
Berat Badan > 10 kg, digunakan tiap 8 jam
sebanyak 10 mg.
Dapat juga digunakan diazepam secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping yang timbul dari
penggunaan diazepam dapat terjadi depresi nafas sampai henti nafas,
hipotensi, ataksia, kantuk dan hipotonia.
b. Profilaks terus menerus dengan anti konvulsans tiap hari.3,7
12
Profilaks terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak, tapi tidak dapat mencegah
terjadinya epilepsi pada waktu mendatang. Untuk mencegah berulangnya
kejang, dapat diberikan fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dengan kadar darah
sebesar 16 g/ml dan diwaspadai efek samping dari fenobarbital yaitu
hiperaktivitas, irritabilitas, gangguan kognitif dan perubahan pola tidur.
Disamping itu dapat pula digunakan asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari dengan efek samping mual, muntah, anoreksia, amenorea,
sedasi, tremor, alopesia dan toksisitas hepar. Fenitoin dan karbamazepin tidak
efektif dalam mengurangi kejang demam.
Pengobatan profilaks hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu): 1
a) Kejang lama > 15 menit
b) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental dan
hidrosefalus.
c) Kejang fokal
d) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam
24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari
12 bulan
Kejang demam 4 kali/ per tahun.
13
Pengobatan profilaks ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang dan
diberhentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.1
IX. Prognosis
Ada dua risiko yang secara signifikan berhubungan dengan kejang demam
yaitu berulangnya kejang demam dan terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah3 :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
kelainan perkembangan yang jelas
2. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit atau kejang fokal
3. Ada riwayat kejang tanpa demam (epilepsi) pada orang tua atau saudara
kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi 2-
3%, kombinasi dari faktor risiko meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
13%.9 Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.5
14