Download - Abdul Halim Mahmudi-fsh
-
11
KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUSPRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK
DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:ABDUL HALIM MAHMUDI
NIM: 104043101305
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQHPROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1430 H/ 2009 M
-
22
KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUSPRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK
DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
ABDUL HALIM MAHMUDINIM: 104043101305
Pembimbing:
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM.NIP. 150 210 422
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQHPROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1430 H/ 2009 M
-
33
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUSPRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN
AL-THUFI telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Maret2009 M yang bertepatan dengan 06 Rabiul Awwal 1430 H. Skripsi ini telah diterimasebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) padaProgram Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi PerbandinganMazhab Fiqh (PMF).
03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM.NIP. 150 210 442
Panitia Ujian1. Ketua : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM. (
.............................. )NIP. 150 210 422
2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. (.............................. )
NIP. 150 290 1593. Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM. (
.............................. )NIP. 150 210 442
Jakarta,
-
44
4. Penguji I : H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA. (.............................. )
NIP. 150 238 7745. Penguji II : Asmawi, M.Ag. (
.............................. )NIP. 150 282 394
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli, saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H
Abdul Halim Mahmudi
Jakarta,
-
55
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., atas segala rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya yang telah terlimpahkan, sehingga penulisan skripsi ini
selesai, berjalan dengan baik, sesuai dengan waktunya. Salawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., hamba Allah pilihan yang telah
diutus untuk mengangkat derajat manusia dengan ilmu pengetahuan, amal dan takwa.
Dari relung hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya
penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat terselesaikan dengan mudah, dan
bukan semata-mata atas usaha dan perjuangan penulis sendiri, namun juga karena
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan
ucapan terima kasih terutama sekali kepada Bapak/Ibu:
1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
sekaligus Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian penuh,
bimbingan, serta motivasi yang besar kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
2. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji., MA.,MH. dan Bapak Dr. Muhammad Taufiqi,
M.Ag., masing-masing Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
-
66
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang dengan penuh keikhlasan dan dedikasi yang tinggi
telah mencurahkan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidupnya yang perlu
dicontoh oleh penulis selama masa studi.
4. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, serta Perpustakaan
Umum Iman Jama, yang telah memberikan fasilitas yang terbaik kepada penulis
untuk mencari dan mengumpulkan data.
5. Ayahanda Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA.,MH. dan ibunda Hj. Siti Manis
Falahiyah, yang sangat penulis hormati dan sayangi, yang telah memberikan
curahan kasih, dukungan, dan motivasi dengan tulus ikhlas, sejak penulis di masa
balita hingga penulis menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi terutama dalam
penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu memberikan limpahan rahmat
dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Amin.
6. Kakakku penulis tercinta, Syarifah Gustiawati Mukri, SHI.,MEI., dan H. Nur
Rohim Yunus, SHI., LLM., M.Phil. serta adik-adik penulis Ahmad Sofwan Fauzi,
dan Ahmad Farhan Habib yang selalu menemani, memotivasi dan membantu
penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Adinda Latifa Hanum, dengan tulus hati dan ikhlas membantu dan menemani
penulis dalam suka dan duka. Terimakasih atas segalanya, semoga Allah
membalas segala amal shaleh yang telah diberikan.
-
77
8. Para dewan guru Yayasan Pendidikan Islam An-Naimuniyyah (YAPIA)
Darunnaim, Lembaga Pendidikan Al-Quran (LPQ) Nurul Hikmah, Ikatan Guru
Taman Al-Quran (IGTA) Kec. Parung, Persatuan Pemuda Parung Riyadhusy
Syabaab, Pengajian Pemuda PERPUNJAS yang telah banyak membantu
menyemangati penulis.
9. Keluarga Besar FCC@Net dan Farhan Copy Center (Ayud, Fa2t, Zie, Noeng2,
Nani, Aldy, Dian S.) yang telah membantu penulis dalam penyediaan sarana dan
prasarana, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
10. Rekan-rekan Tim Debat Bahasa Arab Tingkat ASEAN Tahun 2007 (Hisnu
Shobar, Lesmi Cahyani, Devita, Fajriati El-Jabhati, Furqon, Niwwari) Semoga
prestasi yang kita raih bermanfaat bagi kita semua.
11. Seluruh Ikhwani dan Akhwati fillah. Khususunya Edi Sumantri, Mukhtar Wijaya,
Dani Arsyad, Arif Rahman, Hidayatullah, dsb. semoga kebersamaan kita akan
tetap terjaga.
12. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum,
konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh (PMF) A & B serta Perbandingan Hukum
PH angkatan 2004 Fakultas Syariah dan Hukum, Khususnya: Bdul, Vie, Inang,
Tipah, Jefi, Domen, Anas, Dzue, Rusli, Bdur, Ndar, Habibie, Roby, Edi, Dien,
Ntonk, Muly, nDre, Jay, thofe, Fahrul, Adi, Jay, Ram, Eeng, H. Abul, Chay,
Syarki, Oneng, Delly, Romli, Fhitrie, Dayat, Indra, Dian S, dan semua teman
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan kepada
-
88
penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan skripsi ini. Jazakumullah
kairan katsiran.
Akhirnya atas segala jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril
maupun materil, kiranya penulis tidak sanggup membalasnya, hanya kepada Allah
swt. jualah, penulis serahkan untuk membalasnya dengan imbalan pahala yang
berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir
pahalanya. Sekali lagi penulis ucapkan jazakumullah kairan katsiran.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua
pihak, khususnya bagi para pembaca ataupun peneliti yang ingin mengkaji tulisan
penulis ini. Amin.
03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H
Penulis
Jakarta
-
99
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 10
D. Metode Penelitian............................................................ 11
E. Review Kajian Terda hulu .............................................. 12
F. Sistematika Penulisan ..................................................... 13
BAB II : PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Mursalah ...................................... 15
B. Kehujjahan Maslahah Mursalah ..................................... 20
C. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahah Mursalah ............... 25
BAB III : RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM
NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAH
MURSALAHNYA
A. Biografi Imam Malik bin Anas r.a. .................................. 28
B. Biografi Imam al-Thufi .................................................... 42
C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh .................. 61
-
10
10
BAB IV : APLIKASI MASLAHAH MURSALAH TERHADAP
PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM
AL-THUFI
A. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala
Negara ............................................................................. 65
B. Presiden Wanita Perspektif Fiqh Siyasah ....................... 67
C. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan
Imam Al-Thufi ............................................................... 77
D. Persamaan dan Perbedaan Kedua Pendapat.................... 83
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 91
B. Saran-saran ....................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 95
-
11
11
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan utama disyariatkannya suatu hukum oleh Allah swt. - tidak ada
maksud lain - kecuali hanya untuk merealisir dan mewujud nyatakan kemaslahatan
bagi manusia di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.1 Setiap perintah atau larangan
yang telah dituangkan oleh perumusnya (al-Syari`) melalui teks-teks hukum (al-
nusus al-tasyri`iyyah) dapat diketahui dan dipahami oleh para pelakunya (mukallaf)
tentang dampak positifnya yang mengacu kepada kepentingan dan kebutuhan mereka
itu sendiri.2 Kepentingan dan kebutuhan tersebut bertitik tolak kepada tiga kategori
tujuan syari`at (maqasid al-syari`ah) berdasarkan urutan prioritasnya, yaitu:
daruriyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.3
Dalam rangka mewujudkan eksistensi maqasid al-syari`ah pada diri setiap
individu mukallaf, maka setiap tindakan mereka mesti berdasar kepada sumber-
sumber pokok (al-masadir al-asliyyah), yaitu: al-Qur`an dan al-Sunnah.4 Di samping
itu, dinamika perubahan sosial dan strukturnya dari masa ke masa terus berkembang
dengan munculnya berbagai kasus dan perstiwa hukum yang jawabannya tidak
terdapat secara tegas dan khusus dalam sumber pokok tersebut. Hal ini memerlukan
1 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwfaqt f usl al-Syari`ah, tahqq: Abdullah Darraz,(Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), vol. II, h. 6.
2 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I`lm al-Muwaqqi`n, vol III, (Beirut: t.tp.,t.th.) h. 14.3 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwfaqt, h.8.4 Muhammad Adib Salih, Masdir al-Tasyr` al-Islm wa Manhij al-Istimbt,
(Damsyiq: Maktabah at-Ta`awuniyah, 1967), h. 437.
-
12
12
metode lain untuk menjawab kasus hukum tersebut dengan menggunakan masadir al-
far`iyyah antara lain melalui metode istihsan, istihsab, al-`urf, madzhab al-sahabi;
dan maslahat al-mursalah.5
Di dalam kitab suci al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw., baik
secara eksplisit maupun implisit, banyak sekali postulat yang menjelaskan bahwa
tujuan Allah swt. menurunkan hukum syariat ke muka bumi adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari
kerusakan. Kemaslahatan yang dimaksud bukan saja kemaslahatan duniawi, tetapi
juga kemaslahatan ukhrawi atau dalam istilah Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah: Li Maslih al-Ibd fi al-Ajil wa al-Ajl,
artinya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.6
Dalam konteks hukum Islam hal itu berarti hukum-hukum yang
disyariatkan Allah melalui al-Quran dan Hadist bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi manusia. Pemberlakuan hukum-hukum tersebut betujuan untuk
menciptakan harmonisasi interaksi sosial manusia dalam kehidupan dunia dan
keselamatan akhirat
Meskipun kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama diturunkannya
hukum ke muka bumi, namun tidak semua maslahat yang ada di tengah-tengah umat
manusia sejalan dengan hukum syariat dan tidak semua maslahat yang berkembang
5 Muhammad Adib Salih, Masdir al-Tasyr`, h. 437.6 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwafaqat, h. 4.
-
13
13
di tengah-tengah masyarakat mempunyai dasar hukum yang akurat. Karena itu para
ulama membagi maslahat kepada beberapa bentuk.
Hujjatul Islam, Imam Ghazali membaginya kepada empat macam7:
1. Maslahat yang diakui nau-nya oleh Syari karena ada kesamaan nau tersebut
dengan ashl dan far.
2. Maslahat yang diakui jins-nya oleh Syari karena ada kesamaan jins tersebut
dengan ashl dan far.
3. Maslahat yang bertentangan dengan syariat yang disebut dengan istilah maslahat
bathilah atau maslahat mulghah.
4. Maslahat yang tidak disebut-sebut oleh syariat, tidak ada nas yang
mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Maslahat semacam ini
disebut maslahat gharibah.
Dari keempat pembagian di atas, Imam Ghazali memasukkan al-maslahat
al-mursalah, ke dalam pembagian yang kedua, yaitu maslahat yang diakui jins-nya
oleh syara dan ini dapat diterima sebagai hujjah atau dalil hukum. Sedangkan al-
maslahat al-gharibah, dan al-maslahat al-bathilah atau al-maslahat al-mulghah
ditolak secara mutlak.8
Dari pembagian di atas nampaklah bahwa ada maslahat yang tidak
disinggung sama sekali oleh nash, baik al-Quran maupun Hadis. Dalam hubungan
ini, kemaslahatan tersebut tidak ditetapkan oleh syariat hukum untuk
7 Husein Hamid Hassan, Nazriyat al-Maslahat f al-Fiqh al-Islm, (Cairo: Al-Mutanabb, 1981), h. 18-19.
8 Ibid., h. 19.
-
14
14
mewujudkannya dan tidak terdapat pula dalil yang memerintahkan untuk
memperhatikan dan mengabaikannya. Maslahat tersebut dikenal dalam istilah ilmu
ushul al-fiqh dengan sebutan maslahat mursalah. Karena maslahat ini tidak
disinggung sama sekali oleh dalil maka para ahli ushul pun berbeda pendapat
mengenai keabsahan penggunaannya sebagai dalil ijtihad.9
Walaupun demikian di kalangan ahli Ushul terjadi beberapa perbedaan
pandangan tentang substansi dari maslahat mursalah, bagaimana keabsahan maslahat
mursalah sebagai salah satu sumber hukum dan bagaimana aplikasinya dalam
legislasi hukum Islam. Di antara ahli Ushul tersebut berbeda tersebut adalah Imam
Malik dan Imam Al-Thufi.
Imam Malik sebagai founding father teori maslahat mursalah ini10,
mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada
pembatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash11. Akan
tetapi, pengambilan hukum berdasarkan maslahat mursalah, ini tidak boleh
bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok. Beda halnya dengan Imam al-
Thufi, beliau menyatakan bahwa maslahat mursalah merupakan hujjah terkuat yang
secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan
nash.12
9 Yusuf al-Qaradhawi, Madkhal li Dirsah al-Syarah al-Islmiah, (Cairo: MaktabahWahbah, tth.), h. 20.
10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 27911 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 95.12 Mustafa Zaid, al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islmi wa Najamuddin at-Tufi, (Mesir:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 34.
-
15
15
Al-Thufi yang terkenal dengan konsep maslahatnya ini, bagi kalangan
peneliti Hukum Islam saat ini, bergerak sangat progresif dan inovatif yaitu
mempergunakan maslahat mursalah sebagai landasan hukum meskipun harus
mendahulukannya dari nash dan ijma jika terjadi pertentangan dengan nash dan ijma'.
Jadi maslahat menduduki tempat terkuat dalam berhujjah13.
Dari pemikiran dan konsep maslahat mursalah versi al-Thufi ini, akhirnya
melahirkan banyak polemik dalam kancah epistimologis, yang pada akhirnya konsep
maslahat mursalah al-Thufi ini dikategorikan oleh sebagian besar ulama sebagai
konsep yang terlalu liberalis dan bertentangan dengan ulama pada zamannya.
Pandangan al-Thufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang
maslahat.14 Dia berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Al-
Quran, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Al-Quran, Sunnah dan Ijma' itu akan
menyusahkan manusia.15 Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya pola
maslahat tersebut hanyalah pada bidang muamalat dan adat istiadat.16
Maka dari paparan di atas jelas, bahwa maslahat mursalah adalah salah
satu landasan pengambilan (istinbat) hukum Islam yang hampir tiap-tiap ulama
madzhab memanfaatkannya. Namun ternyata, menurut sebagian ulama ushul,
metodologi istinbat hukum ini dieksplorasi secara bebas oleh Imam Najamuddn al-
13 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi DinamisasiHukum Islam, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum VII, no. 1 (Juni 2007) h: 25.
14Ibid., 26.15Najmuddin at-Tufi, Syarh, h. 46.16Ibid, h. 48.
-
16
16
Thufi yang pada akhirnya melahirkan suatu konsep yang kini banyak diikuti
cendikiawan kontemporer.
Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan, kalau tidak malah
merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari
buku-buku ushul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir
ini, dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat
sebagai tujuan tasyri' sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi.
Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang pandangan Imam al-
Thufi dan Imam Malik tentang aplikasi maslahat mursalah yang mereka usung,
dengan inti uraian, sekilas riwayat hidup Imam Najamuddn al-Thufi dan Imam Malik
bin Anas, pengertian dan pandangannya tentang konsep maslahat mursalah, serta
yang paling pokok adalah bentuk dari penerapannya ijtihad tathbiqi dan analisi
kedua pendapat tersebut. Sebab konsep maslahat mursalah yang dibawa kedua ahli
ushul tersebut terkesan saling bertentangan satu sama lainnya.
Salah satu aplikasi maslahat mursalah yang diangkat pada tulisan ini
adalah status presiden wanita dalam Islam. Presiden wanita atau kepala negara dari
kalangan wanita merupakan salah satu pembahasan yang masih kontroversial di
tengah-tengah para ulama, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Kitab-kitab
-
17
17
fiqih politik (fiqh al-siyasah) klasik dan kitab-kitab fiqh kontemporer masih banyak
mempersoalkannya.17
Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fiqih modern dalam bukunya, Nidzam Al-
Islam, menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala pemerintahan. Ketujuh syarat
adalah: seorang Imam harus memiliki jiwa kepemimpinan sempurna, muslim,
merdeka, baligh, berakal, dan terakhir laki-laki.18 Menurut Al-Zuhaili, adanya syarat
laki-laki ( ) semata-mata karena beban menjadi Imam membutuhkan
kemampuan yang besar yang tidak mungkin ditanggung seorang perempuan. Selain
itu, perempuan tidak mampu menanggung tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut serta
dalam perang atau hal-hal lain yang beresiko tinggi. Di samping itu, ia mendasarkan
pendapatnya ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah,
) (Artinya: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan semua persoalannya
kepada perempuan. (H.R. Bukhari)19
Presiden wanita sering dipahami secara subyektif dan hitam putih. Hal ini
misalnya, tampak pada kasus Benazir Bhutto. Ketika Benazir Bhutto naik menjadi
Perdana Menteri Pakistan, banyak ulama di sana yang mengecam kedudukannya.
Oleh karena itu, ketika Nawaz Syarif berhasil menggulingkan kedudukan Benazir
Bhutto pada Pemilu 1997 di Pakistan, hal ini dijadikan senjata ampuh bagi kelompok
17 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanandalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 201.
18 Wahbah Zuhaili, Nidzm Al-Islm, (Beirut: Dar Qutaibah, 1993), cet. III, h. 19. Lihatpula Al-Mawardi, Al-Ahkm al-Sulthniyyah, ttp. H. 42.
19 HR. Bukhari
-
18
18
fundamentalis Islam untuk menyerang kemampuan perempuan dalam memegang
tampuk kepemimpinan20.
Di Indonesia pembahasan ini sempat mencuat kepermukaan menjelang
pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 lalu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum
MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan
parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden21.
Walaupun kalah pada Sidang Umum MPR dengan Abdurrahman Wahid
alias Gusdur, Megawati Soekarno Putri akhirnya terpilih juga menjadi presiden RI
periode 2001 2004.22 Kecaman demi kecaman dari para ulama pun datang silih
berganti. Namun Lain halnya dengan tokoh-tokoh parpol, yang pada mulanya
menolak mentah-mentah pencalonan Megawati, akhirnya ketika itu mereka mulai
merevisi kebijakan-kebijakan politisnya.23 Pada saat itu banyak pro dan kontra di
kalangan ulama dalam negeri. Para ulama yang menolak menyatakan bahwa dalam
ajaran Islam wanita tidak bisa menjadi seorang kepala negara. Sebagian yang
mendukungnya mendasarkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada negara
Islam saja, adapun Indonesia bukanlah negara Islam atau khilafah akan tetapi negara
yang berasaskan Pancasila.24
20 Wahbah Zuhaili, Nidzam Al-Islam, Ibid., h. 20.21 Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif
Islam, Psikolog, dan Aktivis, diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan StudiMahasiswa) Universitas Janabadra, makalah diakses pada tanggal 10 September 2008 darihttp://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam
22 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml23 Ibid., http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam24 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml
-
19
19
Imam Malik dalam kasus ini, secara eksplisit tidak memasukkannya ke
dalam ranah maslahat mursalah. Sebab kasus ini sudah bertentangan dengan nash
dan ijma sahabat. Apabila suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash dan ijma ahl
madinah, kemudian terjadi pergesekan antara maslahat dan nash maka yang
didahulukan adalah nash. Sehingga dalam kasus ini, Imam Malik bisa dan lebih
cenderung melarang presiden dari kaum wanita, jikalau dilihat metode ijtihad Imam
Malik.
Lain halnya Imam al-Thufi, beliau menganggap apabila maslahat atau hajat
orang banyak ini bertentangan dengan nash atau ijma sahabat dan hal tersebut bukan
termasuk masalah ibadah, maka maslahat tersebut dapat didahulukan dari pada nash
dan ijma sekalipun. Sehingga dengan demikian konsep maslahat mursalahnya Imam
Al-Thufi dapat melegitimasi presiden wanita secara syari.
Oleh sebab itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas
konsep maslahat mursalah menurut Imam Najamuddn al-Thufi dan Imam Malik
dalam memahami kasus presiden wanita, dengan judul skripsi KONSEP
MASLAHAT MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT
IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari judul skripsi, Konsep Maslahat Mursalah Pada Kasus Presiden
Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi dapat dibatasi
pada beberapa hal, yaitu:
-
20
20
1. Konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddn al-
Thufi.
2. Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi pada salah satu
ijtihad tathbiqi, yaitu pengangkatan presiden wanita.
3. Analisis pemikiran Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam aplikasi maslahat
mursalah dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita.
Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas,
sangat sulit apabila mengesplorasi semua masalah diatas. Oleh karena itu penulis
merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan
skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep maslahat mursalah dalam istinbat hukum Islam menurut
Imam Al-Thufi dan Imam Malik ?
2. Bagaimana kedudukan maslahat mursalah menurut Imam Najamuddin al-Thufi
dan Imam Malik ?
3. Bagaimana aplikasi maslahat mursalah menurut kedua Imam tersebut dalam
pemilihan dan pengangkatan presiden wanita?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji konsep pemikiran Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik tentang
kedudukan maslahat mursalah sebagai metode istinbath hukum Islam.
2. Mengesplorasi faktor-faktor yang melatar belakangi konsep maslahat mursalah
Imam Malik dan Imam al-Thufi.
-
21
21
3. Meneliti pengaruh konsep maslahat mursalah dalam penerapan hukum Islam
(Ijtihad Al-Tathbiqi)
Manfaat khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya
khazanah keilmuan di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum. Selain itu,
manfaatnya secara umum adalah sebagai kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu
kajian Islam.
D. Metode Penelitian
Metode penulisan skripsi ini murni berdasarkan kajian penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu sebuah kajian yang mencari data-data yang
diperlukan untuk menjawab masalah penelitian ini di dalam dokumen atau bahan
pustaka, kegiatan ini dapat pula disebut sebagai studi dokumen atau literature study.25
Penulis berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin baik yang bersumber dari
buku maupun internet untuk kemudian dijadikan sebagai objek pembahasan.
Langkah selanjutnya adalah penulis berusaha untuk menganalisa masalah-
masalah yang ada dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Diawali dengan
menguraikan konsep maslahat maslahat mursalah sebagai metodologi istinbath
hukum Islam secara umum, biografi Imam Malik dan Imam Najamuddn al-Thufi,
konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddn al-Thufi.
Kemudian penulis berusaha menganalisa pengaruh yang muncul dari konsep
25 Rianto Adi, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, (Jakarta:Granit, 2004), h. 61
-
22
22
maslahat mursalah keduanya dalam ijtihad tathbiqi di zaman modern. Diantaranya
adalah pemilihan serta pengangkatan presiden wanita.
Selain itu, perlu dikemukakan pula bahwa yang menjadi pedoman dalam
penulisan skripsi ini adalah buku "Pedoman Penulisan Skripsi" yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan tahun 2007.
E. Review Kajian Terdahulu
Dalam kajian ini penulis, mengangkat maslahat mursalah yang diusung
oleh Imam Malik bin Anas dan yang kemudian dimodifikasi oleh Imam Al-Thufi. Di
antara kedua maslahat ini saling kontradiktif dalam penerapannya pada ranah legislasi
hukum. Sehingga penulis terpanggil untuk mencari letak persamaan dan perbedaan di
antara kedua pandangan tentang maslahat tersebut. Serta aplikasinya dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemilihan dan pengangkatan presiden
wanita yang nota bene, diharamkan oleh para ulama.
Sebenarnya tulisan mengenai maslahat mursalah ini telah banyak dibahas
oleh peneliti atau mahasiswa. Di antaranya adalah tesis dari Wahidul Kahhar (UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), dengan judul Efektifitas Maslahat Mursalah dalam
Penetapan Hukum Syara, dan tesis Iim Fahimah (UIN Syarif Hidayatullah, 2003)
dengan judul Konsep Maslahat Mursalah Imam Malik. Kemudian terdapat tulisan
yang dimuat di jurnal hukum Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi
Dinamisasi Hukum Islam oleh M. Zaenal Abidin (Syariah: Journal Ilmu Hukum,
IAIN Antasari, 2005).
-
23
23
Selain itu penulis juga mereview kajian tentang presiden wanita, yaitu tesis
Afrizal Moetwa (UIN Syarif Hidayatullah, 2004) dengan judul Presiden Perempuan
dalam Perspektif Fiqh Siyasah; Studi Terhadap Megawati Soekarno Putri Menjadi
Presiden Republik Indonesia.. Adapun karya ilmiah berupa skripsi, yang membahas
maslahah mursalah atau presiden wanita, sampai saat ini penulis belum
menemukannya di wilayah Universitas Islam Negeri. Dan dari beberapa judul karya
ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema yang penulis angkat dalam skripsi
ini. Yaitu Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam
menyikapi pengangkatan presiden wanita.
Penulis menyadari bahwa Imam al-Thufi dan Imam Malik belum ataupun
tidak pernah membahas secara khusus tentang presiden wanita. Akan tetapi dari
konsep maslahat yang dia wariskan ke generasi di bawahnya, pemikirannya kini
menjadi acuan untuk menjawab dinamisasi hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab satu ini berisi tentang pokok pikiran penulis yang akan dirumuskan
dan dicari pemecahannya. Selain itu, penulis juga berusaha untuk
menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk memecahkan
semua permasalahan tersebut serta faktor-faktor apa saja yang mendukung
penulisan skripsi ini. Semua itu terdapat di dalam Latar Belakang
Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat
-
24
24
Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Review Kajian Terdahulu
serta Sistematika Penulisan.
Bab II: Pandangan Umum Konsep Maslahat Mursalah
Pada bab ini, penulis memaparkan secara umum pengertian linguistik dan
terminologi dari maslahat mursalah. Kehujjahan dan perbedaan pendapat
dalam memahami maslahat mursalah. Serta syara-syarat keabsahannya.
Bab III : Riwayat Hidup Imam Najamuddin Al-Thufi Dan Imam Malik
Bab ini memberikan ikhtisar hal ihwal biografi sang tokoh yang diteliti,
yang meliputi tentang: latar belakang sosial dan intelektual, pendidikan,
pengalaman, kegiatan, karir dan karya-karyanya. Dan juga konsep
maslahah mursalahnya. Selain itu dipaparkan pula sisi persamaan dan
perbedaan kehidupan kedua tokoh tersebut.
Bab IV : Aplikasi Maslahat Mursalah Terhadap Presiden Wanita Menurut
Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi
Penulis menyajikan hal ihwal presiden wanita; pandangan politik Islam
dan pandangan umum tentang presiden wanita. Kemudian Menganalisa
pendapat Imam Najamuddin al-Thufi, dan Imam Malik tentang presiden
wanita ditinjau dari maslahah mursalah. Selain itu disajikan pula sisi
persamaan dan perbedaan kedua pendapat tersebut.
Bab V : Penutup
Berisi tentang kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa saran dari
penulis.
-
25
25
BAB II
PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH
G. Pengertian Maslahah Mursalah
1. Definisi Maslahah Mursalah secara etimologis
Secara etimologis term Maslahah Mursalah terdiri atas dua suku kata:
yaitu masalahah dan mursalah. Menurut Louis Ma`luf kata Maslahah berasal dari
akar kata salaha, yasluhu salahan suluhan - salahiyyah; artinya: Sesuatu yang
mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan: Sesuatu yang
mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
dan bagi kelompoknya.26 Ahmad Warson Munawwir, mengartikan kata maslahah
sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan27. Dari sudut pandang ilmu
sharaf (morfologi), kata Maslahah satu wazan (pola) dan makna dengan kata
manfaah. Kedua kata ini (maslahah dan manfaah) telah diindonesikan menjadi
maslahat dan manfaat. 28
Dalam buku Kamus Besar Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, dan guna. Sedangkan kata
kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata
manfaat, dalam buku tersebut, diartikan dengan: guna, faedah. Kata manfaat juga
26 Louis Ma`luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 528.27 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Unit
Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 844.28 Asmawi, MA, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 101
-
26
26
diartikan sebagai kebalikan atau lawan kata mudharat yang berarti rugi atau
buruk.29
Kata maslahah adalah bentuk tunggal dari kata mashalih; selain itu dikenal
pula istilah istishlah yang berarti mencari maslahat, memandang maslahat atau baik,
mendapatkan maslahat atau kebaikan, dan kebalikannya adalah al-istisfad atau
memandang buruk atau rusak, mendapatkan keburukan atau kerusakan30. Maslahah
sama akarnya dengan kata shalih yang berarti baik menurut agama. Dalam Al-
Quran banyak ditemukan kata shalih, kata shalih ini pada umumnya berarti kebaikan
pada hakikatnya menguntungkan.31
Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf`ul dari akar kata:
arsala - yursilu - irsal; artinya: `adam at-taqyid (tidak terikat); atau berarti: al-
mutlaqah (bebas atau lepas).32
2. Definisi maslahat mursalah secara terminologis
Secara terminologis, para ulama usul fiqh telah memberikan beberapa
definisi dengan versi yang berbeda, antara lain:
a. DR. Muhammad Adib Salih:
29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1996), h. 634.
30 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, h. 532.31 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, h. 100.32 Ibid., h. 259
-
27
27
.33
Maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang termasuk ruang lingkuptindakan/kebijaksanaan dan tujuan Syari`; sementara tidak ditemukan dalilsyara` secara khusus baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya.
a. Muhammad Said Ramadan al-Buti:
Maslahat mursalah itu adalah setiap manfaat yang termasuk di dalamruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Syari` tanpa ada dalil yangmendukungnya atau menolaknya.34
b. Al-Syatibi (salah seorang pengikut Madzhab Maliki)berpendapat:
Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditunjang oleh satunash tertentu; akan tetapi, kemaslahatan tersebut sesuai dengan jenistindakan syara`.
c. Al-Khawarizmi memberikan pengetian:
.35
Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan (yang berusaha) untukmemelihara tujuan syara` dengan jalan menolak unsur kemafsadatan.
d. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian:
, .36
Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syaridalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di sampingtidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan .
33 Muhammad Adib Salih, Masadir at-Tasyri` al-Islami wa-Manahij al-Istimbath,Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967, h. 463.
34 Muhammad Said Ramadan al-Buti, Dhawabit al-Maslahat fi al-Syariat al-Islamiyyat,Damsyiq: 1967, h . 330.
35 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.36 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Quwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 84.
-
28
28
e. Muhammad Abu Zahrah
.37
Maslahah mursalah menurut Abu Zahrah, Maslahat-maslahat yangbersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam dan tidak ditopang olehsumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkanmaslahat tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat ditemukan beberapa unsur yang
terdapat dalam maslahat mursalah, yaitu: pertama: kemaslahatan tersebut berada di
dalam ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Al-Syari`; kedua: kemaslahatan tersebut
berada di dalam ruang lingkup maqasid al-syari`ah; ketiga: kemaslahatan tersebut
tidak ditunjang oleh dalil atau syahid; baik yang mendukungnya maupun yang
menolaknya; keempat: kemaslahatan tersebut ditempuh dengan maksud untuk
menghilangkan berbagai kemafsadatan.
Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahat mursalah telah
terjadi perbedaan di kalangan para ulama ushul fiqh, untuk term maslahat mursalah
sendiri dikenalkan oleh golongan Malikiyah. Selain itu Sebagian ulama ada yang
menyebutkannya dengan istilah: al-istislah oleh Imm Ghazali, al-munasib al-mursal
al-mulaim oleh golongan Mutakallimin al-Ushuliyyin, al-istidlal oleh Imm
37 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 279. Lihatpula: Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.
-
29
29
Haramain dan Ibn Samani, al-istidlal al-mursal sebagian ulama ushul; sedang Imm
Al-Tfi menyebutnya dengan nama Maslahah Al-Tfi.38
Berdasarkan definisi secara etimologis dan terminologis di atas, maka telah
diketahui bahwa maslahat mursalah atau istislah merupakan metode penetapan
hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadis.
Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada tiga macam
maslahah, yaitu maslahah mutabarah, maslahah mulgah, dan maslahat mursalah.39
Maslahah pertama adalah maslahah yang diungkapkan secara langsung
baik dalam Al-Quran maupun Hadis. Sedangkan maslahah kedua adalah maslahah
yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber tersebut Di
antara kedua maslahah tersebut, ada yang disebut maslahah mursalah, yakni
maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut, dan tidak pula
bertentangan dengan keduanya.40
H. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Menurut Yusuf Qaradhawi, jumhur ulama fiqih menganggap maslahat
adalah dalil syarii yang menjadi pondasi utama dalam legislasi hukum Islam,
38 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 85. Lihatpula: Jamal Mamur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi(Surabaya: Khalista, 2007), h. 288.
39 Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UIIPress Indonesia, 1999), h. 72.
40 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 84.
-
30
30
pemberian fatwa, dan juga dalam ruang lingkup peradilan41. Menurutnya para sahabat
Rasulullah saw.-lah yang banyak memahami dan menggunakan maslahat sebagai
patokan dan sandaran utama legislasi hukum Islam42.
Selain itu, para ulama pun sepakat bahwa tidak ada peluang bagi qiyas,
istihsan, istishlah dalam masalah ibadah, karena ibadat adalah dikategorikan hukum
taabbudi43, sehingga akal tidak memiliki peluang untuk menentukan maslahat yang
rinci terhadap setiap hukumnya. Sama halnya dengan hukum ibadat, ialah semua
hukum had, hukum kafarat, batas prosentase warisan, iddah bulanan setelah
meninggal suami atau karena thalaq dan semua hukum yang ditetapkan batas tertentu,
karena Syari sendiri mengetahui maslahat apa yang terdapat pembatasan itu.44
Adapun kehujjahan maslahat mursalah terdapat tiga pendapat para ulama
yang berbeda.
1. Mayoritas ulama berpendapat maslahah mursalah tidak bisa diambil sebagai
hujjah secara mutlak. Ibnu Hajib mengatakan ini adalah pendapat terpilih. Imam
Amudi berkata, pendapat ini benar, sesuai dengan kesepakatan para ulama fiqh.45
41 Yusuf Qaradhawi, Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiah (Kairo: MaktabahWahbah, tth.) h. 158.
42 Ibid., h. 158.43 Taabbudi diartikan sebagai hukum-hukum dalam ibadah kepada Allah; seperti shalat,
puasa,dsb. yang mana rasio kita tidak mampu untuk memahami makna dibalik amaliah ritual tersebut,karean hanya Allah yang berhak mengetahuinya. Dengan demikian, qiyas serta maslahah mursalahdalam penentuan ibadah mahdah tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Beda halnya denganmaslahah muamalah; dimana masih bisa ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh ..., h. 39.
44 Ibid., h. 158.45 Jamal Mamur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz. h. 288.
-
31
31
2. Imam Malik berpendapat, maslahat mursalah bisa dijadikan hujjah secara
mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Haramain. Yang dimaksud Imam
Malik adalah maslahah yang manfaatnya lebih banyak dari pada bahayanya.46
Sumbernya dari nash (al-Quran dan al-Sunnah) atau dari petunjuk umum nash
yang biasa dikatakan maqasid syariah (tujuan hukum Islam), seperti firman
Allah:
... )... /22 :78(Artinya: Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama suatu kesulitan
(Q.S. Al-Hajj/22: 78)
Nabi bersabda: :
: ) , . :
, , , (47
Artinya: Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.
Imam Malik menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil karena beberapa
argumen sebagai berikut:
Pertama, bahwa para sahabat banyak menggunakan maslahah mursalah di
dalam mengambil kebijakan dan istinbath hukum48, misalnya:
a. Pembukuan al-Quran menjadi mushaf oleh para sahabat, padahal Nabi tidak
memerintahkan kepada mereka untuk membukukannya. Inilah tindakan para
46 Ibid., 288.47 HR. Ibnu Majah48 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 280.-281
-
32
32
sahabat yang dikategorikan maslahah yang bertujuan untuk menjaga dan
melestarikan al-Quran dari kepunahan. Disisi lain banyaknya para huffadz
(penghafal al-Quran) yang gugur dalam berbagai peperangan;
b. Khulafa al-Rasyidin yang menerapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada
para tukang;
c. Umar Ibn Khattab r.a. yang memerintahkan para pejabat agar memisakan harta
kekayaan pribadinya dari kekayaan yang diperoleh karena jabatannya;
d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air
guna memberi pelajaran kepada orang-orang yang mencampur susu dengan air;
e. Dan para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota
kelompok atau jamaah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika
mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama.49
Kedua, Perwujudan kemaslahatan itu sesuai dengan tujuan syariat.
Mengambil maslahat berarti merealisasikan tujuan syariat. Mengesampingkan
maslahat berarti mengesampingkan tujuan syariat.50
Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas
mengandung maslahat selama berada di dalam konteks maslahat syariyyah maka
orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan, padahal Allah swt.
49 Ibid., h. 281.50 Ibid., h. 282.
-
33
33
tidak menghendaki adanya kesulitan itu.51 Sebagaimana difirmankan Allah dalam
surat Al-Baqarah 185:
... ...)/2 :185(Artinya: ... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu... (Q.S. Al-Baqarah/2: 185)
dan dalam surat al-Hajj/22: 76.
)/22 :76(Artinya: Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang
mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan.(Q.S.Al-Hajj/22: 76).
Meskipun Imam Malik merupakan tokoh dan pelopor maslahah mursalah
namun di dalam penerapannya, pendiri madzhab Maliki ini menerapkan syarat-syarat
adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang
berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat. Maslahah ini harus masuk akal dan
memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Penggunaan dalil
maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang biasa terjadi. Dalam
arti, jika maslahat itu tidak diambil manusia akan mengalami kesulitan.52
Para ulama yang tidak menerima maslahat mursalah sebagian dari syara
juga mengemukakan alasan maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan
mengarah kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan hawa nafsu yang
cenderung mencari yang enak-enak saja, padahal prinsip Islam tidak demikian. Jika
maslahat dapat diterima (mutabarah) ia termasuk ke dalam kategori qias dalam arti
51 Ibid., h. 282.52 Ibid., h. 427.
-
34
34
luas. Tetapi Jika tidak mutabarah, ia tidak termasuk qias dan tidak bisa dibenarkan
suatu anggapan yang menyatakan bahwa pada suatu masalah terhadap maslahah
mutabarah, sementara maslahat itu tidak termasuk di dalam nash atau qias.
Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat
kepada suatu penyimpangan dari suatu hukum syariat dan tindakan kelaliman
terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana dilakukan oleh raja-raja yang
lalim. Jika maslahat dijadikan sebagai sumber unsur pokok yang berdiri sendiri,
niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan
negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan di dalam suatu perkara.53
Beda halnya dengan Husein Hamid Hasan, ia menyamakan maslahah
mursalah ini dengan qiyas Imam Syafii, ia menyatakan bahwa sesungguhnya
maslahat mursalah masuk ke dalam pengertian qias menurut pandangan Imam al-
Syafii r.a.54
Alasan yang dikemukakan Husein Hamid Hasan adalah ia memasukkan
maslahah mursalah atau maslahah mulaimah ke dalam qias. Sebab keduanya
memiliki persamaan unsur-unsur. Menurutnya, syarat qias ada 3, (1) adanya peristiwa
yang tidak ada nash hukumnya yang jelas; (2) adanya hukum yang dinashkan oleh
syari yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian manawi;
(3) peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang
mansus secara implisit. Ketiga syarat qias ini, menurutnya, sejalan dengan maslahah
53 Ibid., h. 431-433.54 Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: Al-
Mutanabbi, 1981.
-
35
35
mursalah atau maslahah mulaimah yaitu: (1) peristiwa yang ingin diketahui
hukumnya melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya yang jelas,
seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang
dikerjakannya; (2) ada hukum-hukum syariat yang dinashkan oleh syari atas suatu
peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid; (3) peristiwa yang
tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung di
dalam peristiwa yang ada nashnya.55
I. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahat Mursalah
Dalam menggunakan maslahat mursalah sebagai hujjah syariyyah, para
ulama bersikap sangat berhati-hati, sebab ditakutkan akan tergelincir kepada
pembentukan syariat baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung.
Berdasarkan hal itu, seperti yang ditulis oleh Abd Wahab Khallaf, dalam bukunya
ushul al-fiqh, ulama menyusun syarat-syarat kebolehan memakai maslahat
mursalah.56
Syarat-syaratnya ada tiga macam, yaitu:57
1. Maslahah harus benar-benar nyata dan bukan maslahah yang mengada-ngada.
Selain itu maslahah yang dihasilkan, harus sesuai dengan rasio sehingga
memudahkan seseorang menerimanya58. Dengan kata lain pengambilan maslahah
tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu manfaah) dan mencegah
55 Ibid., h. 324-325.56 Abd al-Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth., h. 86.57 Ibid., h. 86.58 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), v. 2., h.
77.
-
36
36
madharat (dafu madharrah). Jangan sampai maslahat tersebut hanya
memperhatikan jalbu manfaah saja tanpa diimbangi dengan aspek madharatnya.
Misalnya menyerahkan hak thalaq kepada hakim yang seharusnya hak suami.59
2. Maslahat itu diciptakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
perseorangan. Dalam arti kata, maslahat yang dijadikan penyebab ketetapan
hukum haruslah mengedepankan aspek sosial dan kepentingan orang banyak
bukanlah kepentingan segelintir orang. Sebab hukum syariah itu diletakkan
untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi60. Misalnya
untuk kepentingan keluarga, pemimpin, saudara, dan lain-lain.
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan
dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma. Wahbah
Zuhaili menambahkan juga, agar maslahah tersebut sesuai dengan maqashid
syariah, dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qati.61 Maka
menyamakan ratakan bagian anak laki-laki dan perempuan dalam warisan, adalah
bentuk maslahah yang bertentangan dengan syariah, dan tidaklah sah
pengamalannya.
59 Ibid., h. 77. Lihat pula Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, h. 86.60 Ibid., h. 78.61 Ibid., h. 78.
-
37
37
BAB IIIRIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI
SERTA KONSEP MASLAHAT MURSALAHNYA
A. Biografi Imam Malik, r.a.
1. Kelahiran Imam Malik
Imam Malik bin Anas salah satu Imam madzhab fiqh yang empat yaitu
madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Dia lahir pada masa
pemerintahan Walid bin Abdul Mulk tepatnya tiga belas tahun sesudah kelahiran
Imam Abu Hanifah. dan meninggal pada masa kekuasaan Harun Al-Rasyid (179 H)62.
Dia berasal dari Kabilah Yamniah.63 Kedua orang tua beliau adalah keturunan Arab,
bapaknya bernama Anas bin Malik bin Abi Amir al-Usbukhi dari Kabilah Yamniah
sedangkan ibunya bernama al-Aliyah binti Sariik al-Azdiyah dari keturunan al-
Azad.64
Imam Malik hidup pada periode setelah tabiin dan dikenal sebagai ahli
dalam bidang hadis dan fiqih. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah pergi keluar
Madinah. Imam Malik sempat juga merasakan masa Dinasti Umayyah, tetapi lebih
62 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanandalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 103.
63 Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islamdalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 98. Lihat pula MahmudSaltuth, Al-Islam; Aqidah wa Syariah, (Beirut, Dar al-Qalam, 1966) h. 390.
64 Mahmud Saltut, Al-Islam, h . 390.
-
38
38
lama hidup di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu kekuasaan Islam
telah mencapai Cina dan Eropa, khususnya Spanyol.65
2. Perjalanan Intelektual
Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan,
sehingga sejak itu pula beliau telah hafal al-Quran. Pada mulanya dia belajar fiqih
kepada Rabiah ibn Abdurrahaman, seorang ulama yang sangat terkenal saat itu.
Beliau juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat66. Selain itu, guru-guru Imam
Malik adalah Abdurrahman ibn Hurmz, Nafi Maula ibn Umar dan Ibn Syihab Al-
Zuhri.67
Beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, yang didahuluinya
dengan meneliti hadist-hadist Rasulullah SAW., dan bermusyawarah dengan ulama
lain. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak
bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.68
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah,
beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syihab tanpa menuliskannya. Ketika
kepadanya diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya.69
Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam
ilmu hadis dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang
ilmu itu. Sebagai pengakuan atas kehebatan Sang Imam, Imam Syafii pernah
65 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103.66 Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98.67 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103.68 Ibid., h. 104.69 Ibid., h. 104.
-
39
39
melontarkan kata-kata, Malik adalah guruku, darinya aku menimba ilmu, dia adalah
hujjah antara aku dan Allah, dan tidak ada guru yang lebih banyak memberikan ilmu
kepadaku dibandingkan dengan Malik. Di tengah para ulama, Malik adalah bintang
yang cemerlang.70
Dengan pemikirannya yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah Nabi saw.,
ijma sahabat, amalan-amalan yang dilakukan penduduk Madinah, dan prinsip
menjaga kemaslahatan, Imam Malik banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang
berbagai masalah.71
Murid-muridnya tersebar di pelbagai wilayah Mesir, Afrika, dan Andalusia.
Murid-murid yang di Mesir adalah Abu Abdillah ibn Rahman Al-Qasim (w. 191 H),
yang belajar kepada Imam Malik selama 20 tahun dan juga belajar fiqh pada Al-Laits
ibn Saad. Kemudian, Abu Muhammad Ibn Abdullah ibn Wahab ibn Muslim (120-
197 H), Asyhab ibn Abd Al-Aziz Al-Qasi (150-203 H), Abu Muhammad Abdullah
ibn Abd Hakim (w. 214 H), Asybagh ibn Faraj, dan Muhammad ibn Ibrahim Al-
Iskandari ibn Ziyad (w. 269).72
Imam Malik telah menulis kitab Al-Muwaththa, yang merupakan kitab
hadis dan fiqh. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Madzhab Maliki,
70 Ibid. h. 104.71 Abdurrahman al-Syarqawi, Aimmah al-Fiqh al-Tisah, terj. Al-Hamid al-Husaini,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000). h. 15072 Ibid., h. 152.
-
40
40
tersebar luar, dan dianut di banyak bagian penjuru dunia, seperti di Maroko, al-Jazair,
Mesir, Tunisia, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.73
3. Sumber-Sumber Dalil Ijtihad Imam Malik
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah:
a. Al-Quran;
b. Sunnah;
c. Ijma Ulama Madinah
d. Fatwa Sahabat;
e. Qiyas;
f. Maslahah Mursalah74
4. Hujjah Imam Malik Dalam Penggunaan Maslahah Mursalah
Dalam menyikapi maslahah mursalah sebagai metode pengambilan hukum
(istinbath al-ahkam) para ulama berbeda-beda pandangan, sehingga terpecah menjadi
tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, berpegang teguh kepada ketentuan nash. Golongan ini
memahami nash hanya dari segi lahiriahnya semata (tekstual) dan tidak berani
memperkirakan adanya maslahat di balik suatu nash. Mereka yang dikenal dengan
julukan madzhab dzahiriyah ini juga tidak mau menerima dalil qiyas. Oleh karena itu,
73 Abdurrahman al-Syarqawi, Aimmah al-Fiqh al-Tisah, h. 154.74 Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98
-
41
41
mereka menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada maslahat kecuali yang telah jelas
disebut oleh nash, dan tidak perlu mencari-cari sesuatu kemaslahatan di luar nash.75
Kelompok kedua, mencari kemaslahatan dari nash yang diketahui tujuan
dan illatnya. Karenanya, mereka mengqiyaskan setiap kasus yang jelas mengandung
suatu maslahat, dengan kasus lain yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat
tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak sekali-kali mengklaim sesuatu maslahat
kecuali apabila didukung oleh bukti dari dalil khas. Dengan demikian tidak terjadi
campur aduk antara sesuatu yang dianggap maslahat, karena dorongan hawa nafsu,
dengan maslahat yang hakiki (yang sebenarnya). Dengan demikian, tidak ada
maslahat yang dipandang mutabarah (dapat diterima), kecuali apabila dikuatkan
oleh nash khas atau sumber hukum pokok yang khas. Pada umumnya yang dijadikan
ukuran untuk menyatakan suatu maslahat ialah illat qiyas.76
Kelompok ketiga, menetapkan setiap maslahah harus ditempatkan pada
kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat Islam, yaitu dalam rangka
terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal, dan harta benda.
Dalam hal ini tidak didukung oleh sumber dalil yang khusus sehingga bisa disebut
qiyas, tetapi dia dapat menjadi dalil yang mandiri, yang dinamakan maslahah
mursalah.77
Sementara itu, Imam Malik menjadikan maslahat mursalah sebagai salah
sumber dalil dengan alasan yang cukup rasional, yaitu:
75 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 279.76 Ibid., h. 279.77 Ibid., h. 279.
-
42
42
Pertama, Realitas obyektif membuktikan penggunaan paradigma pemikiran
maslahah mursalah terhadap persoalan yang terjadi, jauh sebelumnya, para sahabat
Nabi telah banyak menggunakan maslahat mursalah di dalam mengambil kebijakan
dan istinbath hukum, di antaranya sebagai berikut:
a. Pembukuan al-Quran menjadi mushaf. Ketika itu sahabat Umar r.a. menggagas
pembukuan al-Quran menjadi mushaf dan kemudian mendapat persetujuan dari
Khalifah Abu Bakar r.a.. Persetujuan Abu Bakar r.a. tersebut merupakan ijtihad
yang berdasarkan pendekatan maslahah mursalah, dengan pertimbangan akan
hilangnya ayat al-Quran.78 Ijtihad ini sebelumnya tidak pernah dilakukan
Rasulullah saw. namun ijtihad ini merupakan realisasi dari firman Allah:
)/15:(Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S. al-Hijr/15:9).
b. Umar Ibn Khattab pernah membagi atau memisahkan harta para pejabat atau
penguasa dengan wilayah kekuasaannya. Karena ada dugaan tercampurnya harta
pribadi dengan harta umum, dan juga dengan hartanya yang dipergunakan untuk
kepentingan rakyat. Menurutnya hal ini dilakukan untuk kebaikan bagi para
penguasa dan mencegah penumpukan harta oleh penguasa. Tapi sebenarnya yang
terbaik adalah harus ada pemaparan harta pribadi agar tidak terjadi kezaliman
antara penguasa dan rakyat79.
78 Al-Syatibi, al-Itisham, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th), h. 115. Lihatpula Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281
79 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281.
-
43
43
c. Khulafa al-Rasyidin memutuskan adanya (bolehnya) tadhmin al-shanai
(menanggung ganti rugi) tentang dalil yang mendasarkan amanah, tetapi
seandainya tidak ada jaminan mereka pasti meremehkan dan tidak memberikan
hak sebagaimana mestinya, dimana harta orang banyak berada dalam kekuasaan
mereka. Ali ibn Abi Thalib menerangkan bahwa asas tadmin adalah maslahah.
Karena hanya itu yang terbaik, jadi setelah tadhmin al-shanai ditetapkan Ali ibn
Abi Thalib, maka bagi para pembuat barang memiliki kewajiban untuk mengganti
jika terjadi kerusakan atau kekeliruan pada barang yang dipesan.80
d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air
guna memberi pelajaran dan pendidikan kepada para penipu berselubung penjual
susu yang mencampur susu dengan air. Langkah ini merupakan pendekatan
maslahah mursalah sebagai upaya preventif dari terjadinya penipuan.81
e. Para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok
atau jamaah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika mereka
melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama. Karena menurut tinjauan
maslahah saat itu menuntuk demikian. Alasannya, orang yang dibunuh itu
masum al-dam (darah yang terjaga).82 Selain itu, menurut penulis apabila
sekelompok orang yang membunuh itu tidak dikenakan qishas maka
dikhawatirkan bagi mereka yang ingin membunuh orang lain, agar terhindar dari
qishas, maka mereka melakukannya secara berjamaah.
80 Al-Syatibi, al-Itisham., h. 119.81 Ibid., h. 120.
82 Ibid., h. 125. Lihat pula: Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 181.
-
44
44
Kedua, paradigma maslahah seharusnya memiliki relevansi dengan tujuan
syara, dengan asumsi, menggunakan maslahah sama dengan mengaplikasikan tujuan
syarii (maqashid syariah), sebaliknya membiarkannya berarti membuang maqashid
syariah. Oleh karena itu, menurut Imam Malik mengambil maslahah sebagai sumber
hukum hukumnya wajib. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahah
atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber
hukum ini tidak keluar dari ushul atau sumber-sumber pokok, bahkan terjadi
sinkronisasi antara maslahah dan maqashid syariah.83
Ketiga, Kontroversi maslahah sebagai sumber hukum kondisional, akan
berimplikasi pada kemandulan ushul al-syariah dan prinsip dasar hukum Islam yang
sudah disepakati bersama (ijma), sehingga mukallaf akan mengalami kesulitan dan
kesempitan84, padahal Allah swt. tidak menghendaki adanya kesulitan itu
sebagaimana dikemukakan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:
... ...)/2 :185(Artinya: ...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu... (Q.S. al-Baqarah/2: 185).
dan dalam surat al-Hajj: 76.
)/22 :76(Artinya: Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang
mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan. (Q.S. al-Hajj/22: 76).
83 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 182.84 Ibid., 182.
-
45
45
Menurut penulis, dengan adanya justifikasi dari ayat-ayat diatas setidaknya
semakin mengukuhkan posisi maslahah sebagai salah satu sumber penggalian hukum,
yang menuntut pengkajian lebih kritis atas penerapannya di bidang hukum. Hal itu
disebabkan perkembangan persoalan kekinian di sektor sosial kemasyarakatan selalu
variatif dan dinamis, sehingga dibutuhkan jawaban hukum yang sesuai pula dengan
kasus hukumnya.
5. Kriteria Maslahah Mursalah Imam Malik
Menurut Imam Malik, maslahah mursalah merupakan dasar istinbath yang
berdiri sendiri. Menurutnya ada beberapa syarat untuk dapat dikategorikan sebagai
maslahat mursalah sebagai berikut.
Pertama, maslahah tersebut bersifat reasonable (maqul) dan relevan
(munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.85
Kedua, maslahah tersebut dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu yang
dharuri dan menghilangkan kesulitan (raful haraj), dengan cara menghilangkan
masyaqat dan madarrat.86
Ketiga, maslahah tersebut harus sesuai dengan maksud disyariatkan
hukum (maqasid al-syariah), dan tidak bertentangan dengan dalil syara yang
qathi.87
Dari syarat-syarat konsep maslahah murslahah Imam Malik di atas, penulis
memahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahah mursalah dan
85 Al-Syatibi, al-Itisham, h. 129.86 Ibid., h. 133.87 Ibid., h. 129.
-
46
46
maqasid syariah. Sehingga untuk menggunakan metode maslahah mursalah ini,
seorang ahli hukum Islam harus memperhatikan nilai-nilai maqasid syariah.
Selain menentukan syarat-syarat suatu maslahah mursalah dapat dijadikan
sumber, Imam Malik juga memberikan prinsip-prinsip universal dalam berijtihad
dengan maslahat mursalah. Husain Hamid Hasan, sebagaimana dikutip Wahbah al-
Zuhaili88, menyebutkan sebagai berikut:
a. Berlakunya dugaan kuat dalam hukum.
Artinya menegakkan dugaan kuat pada sesuatu dapat dijadikan sebagai
suatu kenyataan sebenarnya. Prinsip pertama inilah menurut Imam Malik sebagai
landasan syariah atau maslahah universal. Misalnya larangan berkhalwat (berbaur)
antar pria dan wanita yang bukan mahramnya. Larangan tersebut mengandung unsur
kecurigaan yang kuat terhadap perbuatan zina. Sehingga dugaan kuat pada sesuatu itu
menjadi hukum itu sendiri.89
b. Kewajiban mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
Prinsip kedua ini juga merupakan landasan syari. Misalnya Larangan
Rasulullah terhadap jual beli talq rukban90. Larangan ini bertujuan memelihara
kemaslahatan pedagang secara pribadi karena dikhawatirkan akan terjadi ketidak
88 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 85-86.89 Ibid., 85.90 Talq Rukban adalah pedagang yang akan berjualan ke satu tempat (pasar) kemudian
dihadang oleh pembeli. Transaksi jual beli ini dilarang oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, yaituhadis Ibn Abbas dengan lafadz (HR. Al-Jamaah)
-
47
47
tahuan harga yang berlaku diantara para pedagang, sekaligus menjaga kemaslahatan
orang banyak di pasar.91
c. Kebolehan menolak kemudharatan yang terberat diantara dua kemudharatan
Prinsip ketiga ini juga merupakan landasan syara. Misalnya perintah
berjihad; walaupun perintah ini beresiko kehilangan nyawa, akan tetapi perintah ini
adalah untuk mencegah bahaya musuh yang menyerang untuk menjaga agama dan
negara dari serangan. Sebab eksistensi agama dan negara adalah lebih besar
mudharatnya dibandingkan nyawa seseorang.92
d. Kewajiban memelihara jiwa, yang termasuk prinsip-prinsip syara universal.
Prinsip keempat juga merupakan landasan syara yang universal. Misalnya
larangan tindakan pembunuhan, kewajiban sanksi qisash bagi pembunuh, penegakan
hukum dan peradilan, dan lain-lain, 93
6. Contoh-contoh Maslahah Mursalah Imam Malik
Ada beberapa fatwa Imam Malik yang memakai maslahah, atau bahkan
digunakan untuk mentakshis al-Quran dengan maslahah mursalah, yaitu:
a. Wanita-wanita terhormat tidak diwajibkan menyusui
Menurut Imam Malik, fatwa ini tidak bertentangan dengan nash al-Quran,
yaitu:
91 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 86.92 Ibid., h. 86.93 Ibid., h. 87.
-
48
48
...)/2 :233(
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan ....
Menurut pengakuan Imam Malik, pendapat tersebut tidak bertentangan
dengan nash, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajib (tidak bermakna
perintah), seperti kesepakatan para mufassir. Yang menjadi sandaran Malik adalah
urf pada zamannya dimana menyusui tidak diharuskan untuk wanita terhormat,
dengan memberikan upah bagi orang yang akan menyusui anaknya.94 Dalam hal ini,
terlihat bahwa Imam Malik sangat memperhatikan kedekatan hubungan antara
maslahah mursalah dengan urf sehingga mempengaruhinya dalam menetapkan suatu
hukum. Hukum yang diputuskan sebaiknya mempertimbangkan kondisi lingkungan
dan waktu.
b. Diterimanya kesaksian anak kecil dalam kasus pelukaan (al-jarah)
Selain bedasarkan maslahah yang tidak menyalahi Ushul al-Syariah,
seperti hifdz al-dima (menjaga terjadinya pertumpahan darah) ia juga berpegang
pada ijma ahl al-madinah dimana ia memposisikan sebagaimana hadist mutawatir.
Hal ini telah dilakukannya terhadap kasus diterimanya persaksian anak kecil untuk
mencegah terjadinya bahaya yang lebih besar.95
c. Masa iddah bagi wanita monopouse
94 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 89.95 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 90.
-
49
49
Menurutnya, iddah bagi wanita mononopose adalah satu tahun, atau tiga
bulan setelah masa suci dari haidh yang diperkirakan sembilab bulan. Dalam hal ini
dasar pemikirannya selain maslahah juga menggunakan ijma Ahl al-Madinah, dan
madzhab sahabat Umar ibn Abdul Aziz. Menurutnya, hal ini tidak berarti mentakhsis
ayat:
)/2 :228(Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru' (Q.S. Al-Baqarah/2: 228)
Pendapat Imam Malik ini, jelas lebih banyak melihat aspek kemaslahatan
dan ijma penduduk Madinah daripada makna dzahir nash tersebut.
d. Membunuh kaum atheis yang berpura-pura
Membunuh penganut atheis yang bersembunyi-sembunyi (pura-pura)
masuk Islam dan tidak diterima taubatnya. Fatwanya banyak mengedepankan aspek
maslahah, namun maslahah yang tidak bertentangan dengan nash, seperti yang
ditegaskan pada hadist:
:
) (96Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda
Saya disuruh untuk membunuh manusia sampai mereka menyaksikan diridengan mengucap Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah.Apabila mereka telah mengucapkan sahadat tersebut maka telah terjagadarah mereka dan harta mereka.
96 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh ..., h. 90.
-
50
50
Secara tekstual, pada hadist diatas dijelaskan bahwa orang yang telah
menyatakan dirinya Islam maka semua hak-haknya dilindungi, dan tidak boleh
dibunuh. Akan tetapi, menurut Imam Malik, apabila pernyataan keislamannya hanya
pura-pura maka orang tersebut tetap boleh dibunuh.97
Secara pribadi, penulis sangat respek terhadap keberanian Imam Malik
dalam memberikan fatwa yang belum pernah dilakukan oleh para mujtahid lainnya,
walaupun tidak ada jaminan kebenaran hukum terhadap apa yang telah difatwakan
dan diistinbathkan. Namun setidaknya, usaha terhadap penemuan-penemuan prinsip-
prinsip hukum baru harus tetap dilakukan, karena perubahan dalam struktur sosial
kemasyarakatan akan terus berevolusi dan dengan pola yang selalu berbeda. Jawaban
terhadap masalah tersebut adalah ketentuan yang sesuai dengan persoalan hukum,
baik keputusan maupun prinsip hukumnya yang telah dimodifikasi.
B. Biografi Imam al-Tufi
1. Kelahiran al-Tufi
Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin
Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Bagdadi al-Hanbali,
yang terkenal dengan nama at-Tufi. Kadang juga ia disebut dengan nama Ibn Abbas
97 Ibid., h. 90.
-
51
51
al-Hanbali Najamuddin. Sebenarnya Kata al-Tufi adalah nama sebuah desa di daerah
sarsara dekat Baghdad, dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan. 98
Mengenai tahun kelahirannya pada ulama berbeda pendapat ada yang
mengatakan tahun 657 H (1259 M). Ada yang juga mengatakan tahun 675H99 dan
meninggal pada tahun 716 H (1318 M).100 Berdasarkan keterangan ini, jelaslah
bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Baghdad yang
dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.101 Jatuhnya kota Baghdad oleh
serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan
dalam sejarah kaum muslimin, sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin.
Jatuhnya Baghdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak berdaya.
Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada
malapetaka ini. Akibatnya adalah integritas politik dunia Islam betul-betul
berantakan.102
2. Kondisi Sosial dan Ijtihad Pada Masa Imam al-Tufi
Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan
tulisan ini hidup dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik-cabik, juga
98Ibnu al-Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbari Man Zahab (Beirut : al-Maktabat-Tijari,t.t.), V: 39. Lihat pula Musthafa Zaid, Al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islami wa Najmuddin al-Thufi (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 65.
99Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Mesir: Daral-Fikr al-Arabi, 1959), h. 68.
100Abd. al-Wahhab Khallaf, Masadir at-Tasyri' fima la Nassa fih, (Kuwait:Daral-Qalam, 1972), h. 105.
101Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk.(Jakarta: Panitia Penerbit,1966), h.29.
102Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin,(Bandung : Pustaka, 1983), h. 37-38.
-
52
52
at-Tufi hidup alam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam.
Fase kemunduran hukum Islam berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad
keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama
kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali
hukum-hukum Islam langsung dari sumber-sumbernya yang pokok, yaitu Qur'an dan
Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil syara'. Mereka
merasa cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-Imam
mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan
Ahmad ibn Hambal. Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah
mempengaruhi kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai
fikiran independen, melainkan harus bertaklid.103
Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam ketika
itu menjadi beberapa negeri kecil, dan negeri-negeri tersebut selalu sibuk dengan
peperangan, fitnah-memfitnah dan kehilangan ketenteraman masyarakat. Salah satu
implikasinya ialah kurangnya perhatian umat ketika itu terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan.104
Pada fase sebelumnya telah timbul mazhab-mazhab hukum Islam yang
mempunyai metode dan cara berpikir sendiri di bawah seorang Imam mujtahid.
Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut mazhab-mazhab tersebut
berusaha membela mazhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar mazhab maupun
103Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang,1984), h. 206.
104 Ibid., h. 207.
-
53
53
pendapat-pendapatnya, dengan cara mengemukakan kebenaran pendirian mazhabnya
dan menyalahkan pendirian mazhab lain atau dengan cara memuji-muji Imam pendiri
mazhab yang dianutnya. Dengan usaha-usaha tersebut, seseorang tidak lagi
mengarahkan perhatiannya kepada sumber hukum yang utama, yaitu Qur'an dan
Hadis, dan baru memakai nas-nas kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat
Imamnya, meskipun kadang-kadang harus melalui pemahaman yang tidak
semestinya. Dengan demikian, kepribadian seseorang menjadi lebur dalam
golongannya dan kebebasan berpikir menjadi hapus. Orang-orang berilmu akhirnya
menjadi orang-orang awam yang mencukupkan dengan taqlid. Sudah barang tentu
fanatik terhadap suatu pikiran menyebabkan pikiran seseorang kaku dan baku.105
Pembukuan pendapat-pendapat mazhab menyebabkan orang mudah untuk
mencarinya. Pada fase-fase sebelumnya para fuqaha harus berijtihad karena
dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya. Setelah ijtihad-ijtihad mereka
dibukukan, bagi orang-orang yang datang kemudian hanya mencukupkan dengan
pendapat yang telah ada.
Pada masa-masa sebelumnya, hakim-hakim terdiri dari orang-orang yang
bisa melakukan ijtihad. Akan tetapi pada masa selanjutnya hakim-hakim diangkat
dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai mazhab tertentu dan terputus
hubungannya dengan mazhab yang tidak dipakai di peradilan. Apalagi hakim-hakim
yang bisa berijtihad seringkali keputusannya menjadi sasaran kritik
penganut-penganut mazhab tertentu. Dengan terikatnya seorang hakim pada mazhab
105 Ibid., h. 209.
-
54
54
fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang banyak merasa puas
terhadap mazhab tersebut.106
Oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan jaminan agar ijtihad jangan
sampai digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak, timbullah kekacauan dalam
persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat. Orang-orang yang tidak berhak berij-
tihad ikut melakukan ijtihad, dan orang-orang awam ikut-ikut memberikan fatwa, dan
dengan demikian mereka telah mempermainkan nash-nash Syari'at dan kepentingan
orang banyak. Akibatnya ialah banyak fatwa yang berbeda-beda dan bersim-
pang-siurnya keputusan-keputusan hakim, meskipun kadang-kadang masih di negeri
yang satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya dianggap sebagai
hukum-hukum syara'. Setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut,
para ulama pada akhir abad keempat Hijrah menetapkan penutupan pintu ijtihad dan
membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat-pendapat
yang ditinggalkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Akhirnya pintu ijtihad resmi
ditutup.107
Tanda-tanda kebekuan dan kemunduran yang panjang tersebut terlihat
pada kenyataan-kenyataan berikut: Sebagai akibat para fuqaha tidak melakukan
ijtihad, baik karena malas dan tidak adanya daya-kreasi baru, atau karena menerima
tertutupnya pintu ijtihad sebagai suatu keputusan ijma', kegiatan para fuqaha hanya
berkisar membahas pendapat-pendapat Imam-Imam mujtahid yang lalu, seperti
106Ibid., h. 207.107Ibid., h. 208.
-
55
55
penyusunan masalah-masalah yang sudah ada, memilah-milah antara
pendapat-pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah, dan menyusun
ikhtisar-ikhtisar kitab fiqh atau "matan-matan" yang kadang-kadang merupakan
rumus-rumus yang sukar dimengerti, kemudian diberikan penjelasan yang terkenal
dengan nama "syarah", dan penjelasan ini diberi penjelasan lagi, atau diberi
catatan-catatan yang terkenal dengan nama "hasyiah" atau "ta'liqat".108 Maka semakin
benar apa yang dikatakan oleh al-Jabiri bahwa pada masa itu pembacaan teks (turats)
itu hanya model al-qiraah al-mutakarrirah109 belum beranjak pada al-qiraah al-
muntijah.
Corak lain dari cara penyusunan kitab dari masa kemunduran ialah
penghimpunan fatwa-fatwa dalam satu mazhab. Akan tetapi kitab-kitab fatwa ini
merupakan suatu perbendaharaan yang sukar dinilai dalam hukum Islam110.
Akibatnya hukum Islam menjadi terisolasi dari persoalan kehidupan,
karena persoalan kehidupan ini akan selalu muncul, sedang hukum-hukum Islam
harus dicukupkan pada ijtihad-ijtihad dari masa sebelumnya, dan hukum Islam hanya
bersifat teori semata dan tidak bisa merespons masalah-masalah baru dalam
kehidupan manusia. Dalam pada itu pusat ilmu-ilmu pada waktu itu terutama hukum
Islam berpindah-pindah, dari kota-kota Bagdad, Bukhara dan Naisabur, ke kota-kota
Mesir, Syam, India, Asia Kecil dan Afrika.
108 Ibid., h. 209.109 Model pembacaan yang hanya mengulang-ngulang dari tradisi yang terwariskan dari
generasi ke generasi yang seolah menjadi kekuatan yang paten yang tidak bisa diganggu gugat. Lihat:M. Abid al-Jabiri, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: L-KiS, 2000), h. 35.
110 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, h. 210.
-
56
56
Maka menjadi jelaslah bahwa secara historis al-Tufi lahir dari latar
belakang kemunduran Islam khususnya hukum Islam yang menuntut suatu
pembaharuan. Sedangkan secara sosio-politik terjadinya fenomena disintegrasi serta
fanatisme madzhab yang berlebihan, sehingga tidak jarang satu madzhab menghujat
madzhab yang lain. Al-Tufi lahir dalam keadaan masyarakat yang krisis, tidak
menentu setelah jatuhnya Baghdad pada pasukan mongol. Fenomena stagnasi hukum
Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan pengaruh pada pemikiran al-Tufi,
yang untuk ukuran masanya bahkan sampai sekarang pun terlihat sangat liberal.111
Meskipun masa tersebut dinamakan masa kemunduran, pada masa ini
masih terdapat fuqaha-fuqaha bebas yang menentang taqlid dan menyerukan kembali
kepada Qur'an dan Hadis. Usaha-usaha mereka ini berhasil dan besar pengaruhnya
terhadap masa-masa berikutnya. Di antara fuqaha-fuqaha bebas adalah Ibnu Taimiyah
(wafat 728 H) yang mempunyai karya-karya baru. Di antaranya ialah
"fatwa-fatwanya" yang merupakan segi penerapan praktis hukum-hukum Islam,
karena fatwa-fatwanya tersebut merupakan jawaban-jawaban terhadap peristiwa yang
terjadi pada masanya. Tokoh lain ialah Ibnul Qayyim (wafat 751 H) yang menulis
buku-buku hukum Islam yang sangat bernilai, seperti I'lam al-Muwaqi'in.112
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga bahwa at-Tufi hidup segenerasi
111 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi DinamisasiHukum Islam, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007.
112Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. h. 209, Lihat pula: AnwarAhmad Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World, (Pakistan: SH. Muhammad AshrafKashmir Bazar Lahore, t.t.), h. 67-77.
-
57
57
dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Menurut suatu keterangan
memang bahwa at-Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.113
Al-Thufi merupakan sosok yang terkenal sebagai seorang pecinta ilmu.
Selain terkenal cerdas ia juga dikenal dengan kekuatan hafalannya. Kecintaan
terhadap ilmu bisa dilihat dari ketekunannya untuk belajar pelbagai disiplin ilmu
pengetahuan di pelbagai tempat dan dari para alim ulama yang masyhur di zamannya.
Bidang-bidang kajian yang ia tekuni di antaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, mantiq,
sastra, teologi dan lain sebagainnya. Sedangkan tempat-tempat yang pernah
disinggahi dalam pembelajarannya Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo, dan tempat-
tempat lainnya yang pada waktu itu dikenal sebagai bertempatnya ulama-ulama
masyhur.114
Karya-karya tulis al-Tufi dimaksud dapat diklasifikasikan kepada lima
bidang, yaitu kelompok ilmu Al-Quran dan Hadis, Kelompok ilmu usuluddin
(teologi), kelompok fiqh, kelompok usul al-fiqh dan kelompok bahasa, sastra dan
lain-lain.
3. Dalil Syara menurut Imam Al-Thufi
Menurut at-Tufi bahwa, "Sesungguhnya dalil-dalil syari'at itu terdiri dari
sembilan belas macam. Setelah diadakan penelitian, semua pendapat ulama' telah
tercakup di dalam macam-macam tersebut. Sembilan belas dalil tersebut adalah :
113Mustafa Zaid, Al-Maslahah, h. 72-74.114 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi
Hukum Islam, (Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007), h. 94.
-
58
58
(1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al-Madinnah, (5).
al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab,
(9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13).
Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih
ringan),(16). al-'Ismah, (17). ijma' ahl al-kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga
Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa' al-Rasyidin.115
Dari sembilan belas dalil tersebut, dalil terkuat adalah nash dan ijma'.
Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika
selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya
kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nash, ijma' dan maslahat,
yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara
keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat
daripada nas dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian
nas dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama
halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan
pengertian Sunnah.116
Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan
(meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at,
115Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h.13-18.
116Ibid, h. 23-24.
-
59
59
maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang
bertentangan bagai air dan minyak.117
Ringkasnya, nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat
dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat
sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung
mudarat, terkadang mudarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian. Jika mudarat
yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis
Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd,
uqubat dan jinayat. Jika pengertian dararah (mudarat) hanya sebagian, jika terdapat
dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang
menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men-takhsis, wajib
di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirarah, dengan pengertian
mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.118
4. Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi
Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan
maf'alatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai
dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan
untuk menulis (al-qalamu yakunu ala haiatihi shalihatun li al-kitabah). Pedang
dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Adapun batasnya,
117Ibid, h. 23.118Ibid, h.24.
-
60
60
sesuai kebiasaan (urf), yakni al-sabab al-muaddi ila al-shalah wa al-nafu),119
maksudnya bahwa sesuatu maslahah berarti ia dalam keadaan baik, lengkap,
berfungsi, dan berguna sesuai dengan tujuan barang itu diadakan dan tidak
menimbulkan kerusakan dan kebinasaan.
Dengan mempergunakan pengertian ini, maslahah kemudian didefinisikan
sebagai sarana yang berdimensi sebagai kausalitas yang menyebabkan adanya
maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai
keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab
untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat (al-sabab al-
muaddi ila maqshud al-syari ibadatan wa adatan)120.
Kemudian, al-Tufi membagi maslahat menjadi dua bagian, yaitu perbuatan
yang memang merupakan kehendak syari' (Allah swt.), yakni ibadat dan apa yang
dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti
adat istiadat (muamalah).121
Pandangan at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada
bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) Hadis nomor 32 hadis
Arba'in Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi
Artinya: "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain".
119Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi(Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h. 25
120 Ibid., h. 25.121 Ibid., h.25
-
61
61
Bahasan at-Tufi mengenai Hadis terseb