Part 10: Acute Coronary Syndromes
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care
Guidline AHA 2010 untuk CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) dan ECC (Emergency
Cardiovascular Care) dijadikan sebagai panduan evaluasi dan manejemen pasien- pasien dengan
sindrom koroner akut (SKA) yang ditemui oleh para petugas kesehatan di lapangan mulai dari
petunjuk untuk menangani pasien yang dicurigai SKA dengan awal serangan 1 jam.Rangkuman
dari guidline ini ditujukan untuk perawatan di luar rumah sakit, biasnya digunakan di unit-unit
gawat darurat. Petugas-petugas emergensi juga harus melengkapi sumber-sumber lain yang di
rekomendasikan oleh AHA. Seperti pedoman-pedoman lainnya, pedoman ini juga harus
diaplikasikan sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah
tersebut.
Tujuan utama yang harus dicapai pada terapi pasien dengan SKA adalah :
Menurunkan jumlah kerusakan atau nekrosis pada miokardium yang biasanya terjadi
pada acute myokardia.infarction (AMI), memelihara fungsi ventrikel kiri, mencegah
gagal jantung dan meminimalisir terjadinya penyakit kardivaskular lainnya
Mencegah MACE (major adverse cardiac events) seperti : kematian, MI non fatal, dan
kebutuhan revascularisasi yang mendesak.
perawatan terhadap gejala akut, yang merupakan komplikasi dari AMI yang dapat
menyebabkan kematian seperti, ventrikel fibrilasi, ventrikel takikardi, takikardi tidak
stabil, gejala bradikardi, edema pulmonal, shock kardiogenik dan komplikasi dari AMI.
Gambaran bentuk perwatan dari pasien dengan ACS ditunjukkan pada gambar 1. Yaitu
algoritmaAcute Coronary Syndromes. Di dalamnya terdapat istilah AMI yang merujuk
pada acute myocardial infarction baik dengan ST elevasi (STEMI) ataupun tanpa ST
elevasi (NSTEMI). Diagnosis dan treatmen pada pasien AMI, antara STEMI dan
NSTEMI akan berbeda, sehingga petugas kesehatan diminta untuk berhati-hati pad
pasien dengan AMI
Prehospital ManagementPatient and Healthcare Provider Recognition of ACS (Figure 1,
Box1)
Diagnosis dan treatmen yang baik dapat memberikan manfaat yang sangat besar untuk
menyelamatkan STEMI pada satu jam pertama, dan pada permulaan, jika fokus pada
menejemen dari angina tak stabil dan NSTEMI dapat mengurangi efek samping dan memberikan
hasil yang lebih baik. Dan juga sangat penting untuk menganalisis dan mengenali pasien dengan
ACS sehingga lebih cepat melakuakn evaluasi dan melakuakn menejemen, pada pasien STEMI
terutama untuk lebih cepat dilakukan reperfusi . Penundaan penanganan pasien biasanya terjadi
karena 3 interval : dari awal timbulnya gejala sampai pasien mau mengaku atau konsultasi ke
petugas kesehatan, selama transportasi ke rumah sakit, dan selama dilakuakn evaluasi di unit
emergensi.
Penundaan pasien untuk mengaku bahwa dirinya menderita ACS dan aktivasi sistem
EMS (Emergency Medical Services) sering merupakan periode yang sangat panjang untuk
penundaan pengobatan.Juga penundaan pengobatan bisa disebabkan oleh pihak rumah sakit
sendiri seperti sistem data pasien yang kurang baik dan sistem perawatan yang kurang efisien.
Gejala-gejala dari ACS dapat dikombinasikan dengan informasi-informasi penting
(biomarker, faktor risiko, EKG, dan tes diagnostik lainnya) berguna dalam membuat beberapa
keputusan dan perawatan di luar rumah sakit dan di unit emergensi.Gejala dari AMI mungkin
lebih intens daripada angina dan paling sering bertahan untuk waktu yang lama (misalnya lebih
dari 15-20 menit).Gejala klasik dari ACS yang biasanya terlihat adalah ketidaknyamanan pada
tubuh bagian atas, nafas pendek, mual, berkeringat muntah dan pusing. Kebanyakan pasien
tercatat mengeluh merasa tidak nyaman pada tubuh bagian atas terutama dada, dispnea,disertai
mual muntah dan pusing. Sedangkan diaforesis terisolasi merupakan gejala yang tidak
dominan.Atipikal atau gejala yang tidak biasa, lebih banyak ditemukan pada wanita, orang tua
dan pasien diabetes.Pemeriksaan fisik dari pasien dengan ACS biasanya normal.
Dengan melakukan edukasi pada publik atau masyarakat dapat meningkatkan kesadaran
dan pengetahuan mereka mengenai ACS tetapi biasanya hanya memiliki efek transien yaitu
hanya sadar pada saat dilakukan persentasi saja, selanjutnya akan lupa lagi. Untuk pasien dengan
risiko ACS (juga untuk keluarganya), petugas kesehatan harus memberikan solusi dengan
mendiskusikan penggunaan aspiririn dengan tepat dan bagaimana aktivasi sistem EMS serta
mendiskusikan lokasi layanan kesehatan yang buka 24 jam.
Pada guidline sebelumnya sudah direkomendasikan kepada pasien, keluarga pasien, dan
kerabat pasien, untuk segera mengaktifkan sistem EMS bukan memanggil dokter, atau langsung
saja ke rumah sakit jika ketidaknyamanan pada dada tidak membaik selama 5 menit setelah
pemberian nitrogliserin.
Initial EMS Care (Aktivasi EMS Dini)
VF atau VT tanpa pulsasi yang dapat berkembang menjadi fase awal ACS merupakan
penyebab terbanyak pada kasus henti jantung. Untuk itu, program yang diberikan pada
masyarakat sebaiknya meliputi pula pengenalan awal gejala ACS dan rekan yang membantu
diusahakan sebaik kerja para tenaga kesehatan dan penyedia keselamatan publik dalam
hubungannya dengan aktivasi dini sistem EMS. Selain itu, program tambahan seperti
penggunaan AED (automated external defibrillator) yang diberikan pada masyarakat meliputi
akses cepat dan cara menggunakan AED itu sendiri (lihat Bag.6: “Electrical Therapies”) dan
CPR untuk pasien henti jantung (lihat Bag.5 “Adult Basic Life Support). Personel kegawatan
yang membantu sebelum EMS datang, dan penyedia EMS itu sendiri selayaknya sudah terlatih
untuk menghadapi kegawatan kardiovaskular termasuk ACS dan komplikasi akutnya.
Aspirin sebaiknya diberikan segera setelah onset gejala pasien suspect ACS dengan cara
mengunyahnya (dosis 160-325 mg) dan sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat
alergi aspirin dan tidak adanya gejala atau perdarahan GI baru-baru ini sambil menunggu EMS
datang (Class IIa, LOE C).
Adapun yang perlu diperhatikan oleh penyedia sistem EMS antara lain :
Terbiasa dengan keberadaan ACS dan terlatih untuk menentukan waktu onset gejalanya
Memonitor tanda-tanda vital dan ritme jantung dan bersiap melakukan CPR dan
defibrilasi jika diperlukan
Memberikan oksigen selama perkiraan awal pasien suspect ACS
Mentitrasi terapi berdasarkan pengawasan saturasi oksihemoglobin, ≥94% (Class I, LOE
C), jika didapatkan pasien dengan dispne, hipoksemi, atau tanda pasti gagal jantung
Memberi aspirin nonenterik (160 [Class I, LOE B] sampai 325mg [class I, LOE C])
dengan cara dikunyah untuk mempercepat penyerapan.
Memberikan sampai 3 dosis nitrogliserin (tablet/spray) pada interval 3-5 menit.
Kontraindikasi nitrat pada pasien dengan TDS <90mmHg atau ≥30 mmHg diatas nilai
normal dan pada pasien dengan infark ventrikel kanan, STEMI inferior karena pasien ini
membutuhkan preload adekuat ke ventrikel kanan, selain itu juga pada pasien yang
mebdapat penghambat PDE-5 selama 24 jam (48 jam untuk tadalafil). Morfin
diindikasikan untu STEMI ketika tidak berespons terhadap nitrat (Class I, LOE C).
Prehospital ECGs (EKG awal)
Interpretasi 12-lead EKG sebaiknya didapatkan secepat mungkin dari pasien dengan
tanda dan gejala ACS untuk mempercepat penegakan diagnosis dan memperpendek waktu
reperfusi (fibrinolisis atau PPCI). Selain itu, pemberitahuan jarak jauh kepada ahli di rumah sakit
untuk pasien STEMI juga perlu dilatih oleh personel EMS.
Prehospital Fibrinolysis (Pemberian Fibrinolisis preHospital)
Sejumlah penelitian klinis menunjukkan beberapa keuntungan memberikan fibrinolisis
segera setelah onset iskemia, seperti rasa ketidaknyamanan di dada, pada pasien dengan STEMI
atau diperkirakan baru terkena LBBB. Fibrinolisis sebagai strategi reperfusi harus segera
diberikan pada 30 menit saat kontak pertama medis (Class I, LOE A). Hal ini sangat
direkomendasikan pada penolong sebelum dibawa ke rumahsakit yang meliputi hal-hal seperti :
protocol penggunaan ceklis fibrinolisis, kemahiran menetapkan dan menginterpretasikan 12-lead
EKG, pengalaman dalam bantuan hidup lanjutan, komunikasi dengan institusi yang mendapat
informasi pasien, tenaga medis dengan keahlian dan pengalaman manajemen STEMI, dan
peningkatan kualitas berkelanjutan (Class I, LOE C).
Trias dan Transfer
Prehospital Triage and EMS Hospital Destination AND Interfacility Transfer
Trias langsung dari awal kontak dengan pasien yang diduga mengalami kegawatan
dengan PCI-capable dapat menurunkan waktu untuk melakukan terapi definitive dan
meningkatkan hasil. Pada pasien dengan onset gejala sudah 2 jam belum mendapatkan PCI,
terapi fibinolitik dapat direkomendasikan, khususnya dengan risiko perdarahan baik (usia muda,
lokasi MI anterior. Rumah sakit denga tenaga kesehatan didalamnya sebaiknya dapat
mengidentifikasikan kriteria jelas dari pasien-pasien yang diterima dari pelayanan kesehatan.
Termasuk didalamnya yaitu terapi fibrinolitik atau pasien syok kardiogenik (Class I, LOE C).
Sistem Perawatan
Untuk sebuah sistem yang baik pada perawatan STEMI memerlukan integrasi dan kerjasama masyarakat, EMS, dokter, dan rumah sakit yang memadai. Sistem perawatan STEMI yang paling tepat dimulai dengan aktivasi EMS dan standar rumah sakit pada perawatan tersebut termasuk protokol DE (departemen emergensi), aktivasi laboratorium kateterisasi jantung, dan penerimaan ke unit perawatan intensif jantung koroner.
Selain itu, pada rumah sakit yang tersedia sarana PCI mampu membentuk “ STEMI Alert” yang aktif saat keadaan kritis. Komponen “STEM Alert” tersebut meliputi EKG (prehospital ECGs), pengaktifan dari tim katerisasi jantung untuk mempersingkat waktu perfusi dan petugas rumah sakit lainnya yang penting untuk pengobatan dan alokasi sumber daya.
Evaluasi DE (Departemen Emergensi) dan Stratifikasi Resiko
Penilaian yang Difokuskan dan Stratifikasi Resiko pada EKGPetugas Departemen Emergensi harus segera menilai pasien dengan kemungkinan ACS
dan melakukan monitoring EKG 12 Lead (jika tidak dilakukan pada pre-hospital) serta melakukan evaluasi pada ketidaknyamanan dada, tanda-tanda dan gejala terkait, riwayat jantung sebelumnya, faktor risiko untuk ACS, dan riwayat yang menghalangi penggunaan fibrinolitik atau terapi lainnya. Evaluasi harus dilakukan secara efisien karena jika pasien memiliki STEMI, tujuan dari reperfusinya adalah untuk memberikan fibrinolitik dalam waktu 30 menit dari kedatangan (30 menit interval door-to-drug) atau untuk memberikan PCI dalam waktu 90 menit dari kedatangan (door-to-balloon). Evaluasi tersebut selama dirumah sakit dipengaruhi oleh 4 poin utama yaitu penanganan saat kedatangan, monitoring EKG, pengambilan keputusan berdasarkan EKG, dan hasil keputusan kepada tindakan (untuk obat atau PCI).
Selanjutnya pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk membantu diagnosis, menyingkirkan penyebab lain dari gejala pasien, dan mengevaluasi pasien untuk komplikasi yang berhubungan dengan ACS. Saat pasien memiliki gejala dan tanda yang berpotensi ACS, dokter dapat menggunakan EKG untuk menegakkan diagniosis secara tepat dan dapat menggolongkan pasien tersebut ke dalam tiga klasifikasi berikut.
Klasifikasi pertama ialah segmen ST elevasi atau new LBBB ditandai oleh segmen ST elevasi di dua atau lebih pada lead yang berdekatan dan digolongkan sebagai ST-Elevation-MI (STEMI). Nilai ambang dari elevasi segmen ST adalah 0,2 mV(2mm) di dalam V2 dan V3 dan 0,1 mV(1mm) pada semua lead lainnya (laki-laki usia ≥ 40 tahun). Nilai ambang elevasi segmen
ST 0,25 mV (2,5mm) pada lead V2 dan V3 dan 0,1 mV (1mm) pada lead lainnya (laki-laki usia < 40 tahun). Nilai ambang elevasi segmen ST 0,15 mV (1,5mm) pada lead V2 dan V3 dan 0,1 mV (1mm) pada lead lainnya (wanita).
Klasifikasi kedua ialah iskemik dengan segmen-ST depresi > 0,5mm (0,05 mV) atau gelombang T inversi dengan nyeri dada diklasifikasikan sebagai UA atau NSTEMI. Tidak persistent atau elevasi sementara segmen ST ≥ 0,5 mm dalam kurun waktu 20 menit juga masuk kedalam kategori ini. Nilai ambang depresi segmen ST sebesar 0,05 mV pada lead V2 dan V3 dan-0,1 mV (-1mm) pada lead lainnya (laki-laki dan wanita).
Klasifikasi ketiga ialah EKG yang nondiagnostik dengan normal maupun secara minimal abnormal ( dengan kata lain, segmen-ST nonspecific atau T-Wave berubah). EKG Ini adalah nondiagnostik dan tidak pasti untuk iskemia. Penggolongan ini meliputi pasien dengan normal ECGS dan mempunyai segmen-ST deviasi < 0.5 mm ( 0.05 mV) atau T-Wave inversi≤ 0.2 mV. Kategori ECG ini termasuk nondiagnostik.
Biomarker Jantung
Komponen biomarker dari jantung sering ditemukan selama evaluasi dengan pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga ACS. Pemeriksaan laboratorium tersebut berkaitan dengan troponi jantung yang lebih cenderung digunakan sebagai biomarker karena lebih sensitif dibandingkan CK-MB. Biomarker troponin jantung ini berguna dalam diagnosis, stratifikasi resiko, penentuan prognosis dan peningkatan kadar troponin berhubungan terhadap resiko kematian.
Pada biomarker jantung ini juga terdapat keterbatasan karena tes biomarker tersebut tidak peka selama 4 sampai 6 jam pertama dari penampakan (nyerinya) kecuali jika rasa nyeri dada berlanjut selama 6 sampai 8 jam. Untuk alasan ini biomarker jantung tidak bermanfaat pada keadaan pra-rumah sakit.
Oleh karena itu dokter atau klinisi perlu mempertimbangkan pemilihan waktu gejala serangan dan kepekaan, ketepatan, dan norma-norma pemeriksaan yang diukur melalui biomarker. Selanjutnya, Jika biomarker menghasilkan hasil negatif dalam waktu 6 jam pertama serangan (onset gejala), direkomendasikan untuk melakukan pengujian biomarker kembali pada 6 sampai 12 jam setelah serangan (onset gejala). Salah satu contoh diagnosis dari infark miokard dapat dibuat ketika gejala klinis atau EKG terlihat abnormal dan sesuai/konsisten dengan iskemia dan satu biomarker meningkat diatas 99 persentil dari URL (upper reference Limit).
Ada cukup bukti untuk mendukung penggunaan troponin point-of-care testing (Poct) baik dalam atau luar rumah sakit. Ada juga bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan dari mioglobin, β-natriuretic peptide (BNP), NT-proBNP, D-dimer,C-reactive protein, iskemia-(PAPP-A) atau interleukin-6 dalam isolasi.
STEMI
Pasien dengan STEMI biasanya terjadi oklusi komplit pada epikardial arteri koronernya. Tujuan
utama dari pengobatan awal STEMI adalah terapi reperfusi dini melalui fibrinolitik (reperfusi
farmakologis) atau PPCI (mekanis reperfusi). Dokter harus cepat dalam mengidentifikasi apakah pasien
menderita STEMI atau tidak untuk menyelamatkan keselamatan pasien dan harus dengan cepat serta
hati-hati untuk menentukan indikasi dan kontraindikasi untuk terapi fibrinolitik dan PCI. Dan bagi pasien
yang tidak memenuhi syarat untuk terapi fibrinolitik harus dipertimbangkan untuk melakukan PCI.
Strategi dan kebutuhan bagi pasien STEMI untuk melakukan terapi reperfusi dapat dilihat di tabel di
bawah ini
Tidak dianjurkan untuk melakukan konsultasi rutin dengan kardiologi atau dokter lainnya untuk
kasus-kasus yang tidak pasti.
UA dan NSTEMI
Pada awalnya UA (Unstable Angina) dan NSTEMI awalnya tidak dapat dibedakan. Biasanya pada
UA dan NSTEMI terdapat oklusi trombus yang parsial atau intermitten. Terdapat gejala yang sama serta
gambaran EKG yang sama pada kedua sindrom ACS ini. Akan terlihat pembentukan penggumpalan dan
degradasi pada kedua ACS. Pada gambaran EKG akan terlihat deviasi segmen ST, terlihat segmen ST
atau perubahan pada gelombang T dan depresi segmen ST dan inversi gelombang T. Sementara hal yang
membedakan UA dan NSTEMI adalah tinggi atau tidaknya biomarker. Tingginya troponin menunjukkan
adanya nekrosis miokardium, walaupun banyak kondisi selain ACS yang dapat menyebabkan
peningkatan biomarker (misalnya, miokarditis, gagal jantung, dan pulmonary embolism).
Strategi manajemen pada pasien UA/NSTEMI adalah pemberian terapi antiplatelet,
antithrombin, dan antianginal yang didasarkan pada stratifikasi risiko. Pada pasien UA dan NSTEMI,
terapi fibrinolisis di kontraindikasikan, strategi invasif diindikasikan pada pasien yang biomarker positif.
Proses Stratifikasi Resiko
Tujuan utama dari proses stratifikasi risiko adalah untuk mengidentifikasi pasien yang
tampaknya pada penilaian awal tidak mempunyai resiko tinggi terkena ACS tetapi melalui program dari
proses diagnostik ditemukan adanya resiko tinggi untuk terjadinya ACS bahkan CAD. Strategi ini dapat
memudahkan dokter untuk menentukan strategi penanganan yang akan dilakukan supaya memberikan
manfaat dari terapinya tersebut. Hal ini juga berguna untuk menghindari risiko prosedural dan
dilakukannya terapi farmakologis yang tidak perlu (misalnya, terapi antikoagulasi dan kateterisasi
jantung invasif) pada pasien dengan risiko rendah.
Stratifikasi Resiko Braunwald
Pendekatan Braundwald didasarkan pada kombinasi sejarah, laboratorium, klinis,dan variabel
EKG yang dapat menjawab dua pertanyaan : apa kemungkinan tanda dan gejala dari ACS sekunder
hingga obtruksi ACD, apa kemungkinan akibat klinis buruk yang terjadi ?. Pada tabel di bawah ini bisa
dilihat modifikasi dari Braunwald
Skor Resiko TIMI
Skor resiko TIMI terdiri dari 7 variable prognosis independent yang bisa dilihat di table bawah
Skor resiko berhubungan dengan kejadian dalam 14 hari terakhir pada end point primer : kematian,
infark miokard berulang atau keperluan untuk kepentingan revaskularisasi. Skor resiko TIMI dapat
menuntun untuk menentukan keputusan untuk pengobatan.
Indikator Untuk Stategi Penaganan invasif Awal
Resiko stratifikasi membantu dokter untuk mengidentifikasi pasien dengan non ST elevasi ACS,
apakah seharusnya ditangani dengan straegi invasi yang cepat atau invasif selektif. Berikut adalah
rekomendasi yang dapat digunakan oleh dokter untuk menentukan menggunakan invasi PCI dini atau
strategi konservatif
1. Strategi invasif PCI dini diindikasikan pada pasien dengan non ST elevasi ACS yang tidak memiliki
komorbiditas serius dan memiliki lesi koroner
2. Strategi invasif dini (misalnya, angiografi diagnostik untuk revaskularisasi) ditunjukkan pada
pasien non-ST-elevasi ACS yang mengalami refrakter angina atau hemodinamik atau electric
instability ( tanpa adanya komorbiditas yang serius atau kontraindikasi pada prosedurnya )
3. Pada pasien stabil, yang awalnya strategi konservatif (yaitu, secara selektif invasif) dapat
dipertimbangkan sebagai strategi pengobatan untuk ACS non-ST-elevasi (tanpa komorbiditas
serius atau kontraindikasi untuk prosedur tersebut )
4. Keputusan untuk menerapkan konservatif awal (versus strategi invasif awal) pada pasien
mungkin dibuat oleh dokter dan mempertimbangkan keinginan pasien
Normal atau Perubahan ECG yang Tidak Terdiagnosis (Gambar 1, Kotak 13 Sampai ke
17)
Sebagian besar pasien dengan EKG normal atau nondiagnostic tidak memiliki ACS.
Pasien dalam kategori ini dengan ACS yang paling sering berisiko rendah atau menengah.
Tujuan Para dokter untuk stratifikasi resiko agar dapat memberikan hasil diagnose yang tepat
sehingga strategi pengobatan pasien juga tepat dan sesuai. Strategi ini kemudian dijadikan pasien
sebagai acuan agar tidak terdaji peningkatan factor resiko, sambil menghindari risiko (misalnya,
terapi antikoagulasi dan invasif kateterisasi jantung) pada pasien dengan resiko rendah atau
minimal.
Jenis nyeri dada
Protokol pemeriksaan atau observasi nyeri dada dapat digunakan dalam ruang khusus
(misalnya, di unit pemeriksaan fisik nyeri dada atau di rumah sakit). Protokol observasi nyeri
dada adalah sistem penilaian yang cepat terhadap pasien yang umumnya mencakup riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik, observasi berkala, elektrokardiografi, dan pengukuran serum
jantung.
Pada pasien dengan kecurigaan untuk ACS, biomarker awal normal, dan nonischemic
EKG, protokol observasi nyeri dada mungkin direkomendasikan sebagai strategi yang aman dan
efektif untuk mengevaluasi pasien di UGD (Kelas I, LOE A).
Pemeriksaan Lanjutan untuk Mendeteksi Iskemia Koroner dan CAD
Untuk pasien ED/CPU yang diduga memiliki ACS, memiliki nonischemic EKG dan
biomarker negatif, tes noninvasif untuk uji induksi iskemia miokard atau evaluasi anatomi dari
arteri koroner (misalnya, dengan computed tomography [CT] angiography, resonansi magnetik
jantung, gambaran perfusi miokard, stress echocardiography) dapat berguna dalam
mengidentifikasi pasien apakah bisa dibawa pulang dari ED/rumah sakit (Kelas IIa, B LOE).
Strategi ini dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan akurasi diagnostik untuk ACS sehingga
mengurangi biaya, efisiensi waktu di rumah sakit, waktu untuk diagnosis, dan dapat memberikan
informasi prognosis jangka pendek dan jangka panjang untuk kasus jantung.
Skintigrafi perfusi miokard (MPS) memiliki nilai prediktif negative (NPV) yang tinggi
untuk mengesampingkan ACS, 99% di pasien ED dengan nyeri dada akut, nondiagnostic EKG,
dan marker jantung negatif. MPS juga dapat digunakan untuk stratifikasi risiko, terutama pada
derajat rendah sampai menengah pada kasus jantung (Kelas IIa, LOE B), MPS paling baik
digunakan pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang atau rendah.
Penggunaan computer tomografi multidetektor (MDCT) angiography (64-slice scanner)
setelah presentasi ke ED dengan ketidaknyamanan dada, EKG nondiagnostic, dan biomarker
negative pada jantung juga telah menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk
CAD dan ACS. Penggunaan angiography MDCT untuk pasien berisiko rendah dapat dipilih
berguna untuk memungkinkan pasien keluar lebih cepat dari ED (Kelas IIa, B LOE).
Hal ini masuk akal untuk mempertimbangkan paparan radiasi dan agen kontras iodinasi
saat menggunakan angiografi MDCT dan imaging perfusi miokard. Sedikit bukti telah tersedia
untuk mendukung penggunaan MRI pada populasi pasien.
Keamanan Pemulangan dari Rumah Sakit dan Risiko Kejadian Gangguan Jantung
Lanjuan setelah Pulang dari Rumah Sakit/CPU /ED
Langkah terakhir dalam proses stratifikasi resiko di CPU adalah keputusan untuk
memulangkan atau meminta pasien rawat inap. Tidak ada aturan klinis sederhana yang kuat dan
ampuh dalam membuat keputusan ketika mengidentifikasi ketidaknyamanan di dada pasien yang
diduga ACS.
Penggunaan system penilaian yang berguna untuk prognosis dapat mengurangi risiko
rawat inap (Kelas I, LOE A) tetapi tidak dianjurkan untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin
aman dipulangkan dari ED (Kelas III, LOE C).
Proses Bayesian merupakan beberapa yang harus dikerjakan sebelum dilakukan test, uji
diagnostik, dan reklasifikasi lalu menuju pada risiko post-test ,tingkat berdasarkan hasil tes
merupakan metode yang paling dapat diandalkan untuk mengidentifikasi pasien pada risiko
terendah untuk peristiwa jangka pendek yang merugikan jantung dan pasien yang membutuhkan
evaluasi lebih lanjut untuk CAD yang mendasarinya.
Pasien dengan risiko klinis rendah dan menengah untuk ACS yang tetap stabil dalam
CPU dan memiliki serial negatif EKG, serial pengukuran biomarker jantung, dan noninvasif
pengujian fisiologis atau anatomis untuk ACS memiliki kemungkinan yang kecil mengalami
kejadian penyakit jantung yang kurang baik pada 30 hari setelah keluar dari ED. Pasien yang
umurnya lebih muda dari 40 tahun dengan riwayat penyakit yang tidak serta EKG 12-lead
normal memiliki resiko sangat rendah dalam kemungkinan mengalami kejadian gangguan
jantung lanjutan. Pasien-pasien ini dapat dieliminasi langsung dari ED / CPU jika pengujian
rawat jalan yang sesuai dapat diatur dalam waktu 72jam. Setiap sistem yang mencoba untuk
rawat jalan memfasilitasi pengujian harus mencakup mekanisme untuk menjamin akses pasien
klinik rawat jalan, fasilitas pengujian serta harus mempertimbangkan hambatan nonmedis
untuk keluar dari ED yang mungkin memerlukan izin rawat inap.
Terapi Awal yang Umum untuk ACS
Beberapa langkah terapi awal yang sesuai untuk semua pasien dengan dicurigai ACS
terdapat dalam pengaturan ED. Hal ini termasuk pemantauan terus menerus terhadap penderita
penyakit jantung, pembuatan akses jantung intravena (IV), dan pertimbangan dari beberapa obat
yang dibahas di bawah ini.
Oksigen
Oksigen harus diberikan pada pasien dengan sesak napas, tanda-tanda gagal jantung,
syok, atau saturasi oksihemoglobin arteri <94% (Kelas I, LOE C). Pemantauan non-invasif
saturasi oksigen darah dapat berguna untuk menentukan kebutuhan pemberian oksigen.
Dengan tidak adanya bukti kuat pada kasus tanpa komplikasi, Pedoman ACC / AHA
mencatat bahwa tampaknya ada sedikit pembenaran untuk terus penggunaan secara rutin oksigen
lebih dari 6 jam. Tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan rutin terapi
oksigen pada pasien yang menderita AMI tanpa komplikasi atau ACS tanpa tanda-tanda
hipoksemia atau gagal jantung. Pada sebuah studi kasus ditemukan peningkatan perubahan ST
dengan penggunaan oksigen pada manusia. Saran lainnya menyatakan pemberian oksigen
dengan aliran tinggi dapat membahayakan.
Tabel 4. Strategi Pemilihan Pengobatan awal untuk Pasien Dengan Non-ST-Elevation
ACS: Strategi Konservatif Versus Invasive *
strategi Karakteristik pasien
invasive ● angina berulang atau iskemia pada saat
istirahat atau dengan tingkat rendah
meskipun kegiatan terapi medis intensif
● Peningkatan biomarker jantung (TnT atau
TnI)
● segmen ST depresi yang baru atau mungkin
baru
●Tanda atau gejala HF atau regurgitasi mitral
yang baru atau memburuk
● temuan dari pengujian noninvasif yang
berisiko tinggi
● ketidakstabilan hemodinamik
● takikardia ventrikel berkelanjutan
● PCI dalam waktu 6 bulan
● Sebelum CABG
● berisiko tinggi (misalnya, TIMI, GRACE)
● Mengurangi fungsi LV (LVEF kurang dari
40%)
Konservatif ● risiko rendah (misalnya, TIMI, GRACE)
● Tidak adanya referensi Pasien atau dokter
berisiko tinggi
CABG menunjukkan operasi Coronary Artery Bypass Graft; GRACEGRACE, Global Registry
of Acute Coronary Events; HF, heart failure; LV, left ventricular; LVEF, left ventricular ejection
fraction; PCI, percutaneous coronary intervention; TIMI, Thrombolysis in Myocardial Infarction;
TnI, troponin I; and TnT, troponin T.
* Diadaptasi dari Pedoman ACC / AHA 2007 UA / NSTEMI.
Aspirin dan Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Pemberian awal dari aspirin (asam asetilsalisilat [ASA]), telah dikaitkan dengan angka
kematian yang menurun di beberapa uji klinis. Beberapa studi mendukung keamanan pemberian
aspirin. Oleh karena itu, kecuali pada pasien yang memiliki alergi aspirin atau perdarahan
gastrointestinal aktif, aspirin nonenteric harus diberikan sesegera mungkin untuk semua pasien
yang dicurigai ACS (Kelas I, LOE A). Aspirin dengan cepat menghasilkan efek antiplatelet
dengan nyaris total menghambat produksi tromboksan A2. Hal Ini mengurangi reoklusi koroner
dan kejadian iskemik berulang setelah terapi fibrinolitik. Aspirin sendiri mengurangi kematian
akibat AMI dalam Second International Study of Infarct Survival (ISIS-2), dan efeknya adalah
aditif dengan yang streptokinase. Aspirin secara substansial mengurangi kejadian vaskular pada
semua pasien dengan AMI, dan pada pasien berisiko tinggi itu dikurangi AMI fatal dan kematian
vaskular. Aspirin juga efektif pada pasien dengan NSTEMI. Dosis yang dianjurkan adalah 160
untuk 325 mg. Aspirin kunyah atau larut diserap lebih cepat daripada menelan tablet.
Aspirin suppositoria (300 mg) yang aman dan bisa menjadi pertimbangan untuk pasien
dengan mual, muntah, atau gangguan dari saluran pencernaan bagian atas.
Obat Anti Inflamasi Nonsteroidal (OAINS) yang lain merupakan kontraindikasi dan
harus dihentikan pada pasien yang menggunakan obat ini. NSAID (kecuali untuk aspirin), baik
nonselektif serta agen COX-2 selektif, tidak boleh diberikan selama rawat inap untuk STEMI
karena peningkatan risiko kematian, reinfarksi , hipertensi, gagal jantung, dan ruptur miokard
terkait dengan penggunaannya (Kelas III, LOE C).
Nitrogliserin (atau trinitrate Gliseril)
Nitrogliserin memiliki efek hemodinamik menguntungkan, termasuk dilatasi arteri
koroner (terutama digangguan plak), tempat arteri perifer, dan kapasitansi vena. Manfaat
pengobatan nitrogliserin terbatas, namun, dengan tidak adanya bukti konklusif, telah terbukti
mendukung penggunaan rutin melalui IV, oral, atau terapi topikal nitrat pada pasien dengan
AMI. Dengan pemikiran ini, agen harus dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan tekanan
darah rendah dan ketika penggunaannya akan menghalangi penggunaan agen lain yang dikenal
bermanfaat, seperti angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor.
Pasien dengan iskemik harus menerima hingga 3 dosis nitrogliserin sublingual atau
aerosol pada interval 3 - 5 menit sampai nyeri lega. Nitrat topikal dapat menerima alternatif
untuk pasien yang membutuhkan terapi anti-angina tetapi bagi yang memiliki hemodinamik
stabil dan tidak memiliki gejala iskemik reinfarksi yang berkelanjutan . Pada pasien dengan
iskemia berulang, nitrat ditunjukkan dalam 24 sampai 48 jam pertama. Penggunaan nitrat pada
pasien dengan hipotensi (SBP< 90 mmHg atau≥ 30 mmHg di bawah ketentuan ) Ekstrim
bradikardia (<50 bpm), atau takikardia dengan tidak adanya gagal jantung (>100 bpm) dan pada
pasien dengan infark ventrikel kanan dikontraindikasikan (Kelas III, LOE C). Nitrogliserin tidak
boleh diberikan untuk pasien yang telah mengambil inhibitor phosphodiesterase (misalnya,
sildenafil) untuk disfungsi ereksi dalam waktu 24 jam (48 jam jika menggunakan tadalafil).
Ria raisafala (analgesia)
Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Angioplasti jantung dengan atau tanpa stent adalah pilihan pengobatan untuk pengelolaan
STEMI apabila dilakukan secara efektif dengan waktu door-to-balloon <90 menit. PPCI juga
dapat ditawarkan kepada pasien yang non-PCI.
PCI Following ROSC After Cardiac Arrest
Setiap tahun di Amerika Serikat, 236 000-325 000 pasien keluar dari rumah sakit, dan umumnya
dengan prognosis buruk dan kelangsungan hidup rata-rata hanya 8,4%. Variasi besar dalam hasil
perawatan telah diamati terletak di sistem EMS, system EMS telah diregionalisasi untuk
mengpotimalkan fungsinya untuk memberikan terapi optimal dan beneficient
Kinerja PCI telah menunjukkan hasil yang menguntungkan setelah angiografi awal. Data paling
berpengaruh untuk pasien dari rumah sakit karena VF dalam pengaturan STEMI dan angiografi
dengan rekanalisasi cepat dari infark arteri. PPCI juga muncul dalam pengaturan NSTEMI, pada
pasien dengan revaskularisasi, dapat perpengaruh pada stabilitas hemodinamik dan listrik. PPCI
setelah ROSC pada pasien dengan arrest ischemic cardiac mungkin dianggap wajar, bahkan
tanpa adanya suatu STEMI.
Berbeda dengan PCI, percobaan kontrol secara acak terapi reperfusi akut menggunakan agen
fibrinolitik telah dilakukan pada subyek pasien dari rumah sakit jantung namun tanpa hasil yang
menguntungkan.
Pemeriksaan EKG harus dilakukan sesegera mungkin setelah ROSC. Temuan klinis pada pasien
koma sebelum PCI biasa hadir pada pasien, dan seharusnya hal tersebut tidak menjadi
kontraindikasi untuk mempertimbangkan angiografi segera dan PCI. Sangat mungkin untuk
memasukkan kateterisasi jantung dan angiografi koroner pada standar pasca-protokol cardiac
arrest sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan kelangsungan hidup pada kelompok
pasien dan pengobatan yang tepat untuk ACS atau STEMI, termasuk PCI atau fibrinolisis, harus
dimulai tanpa keadaan koma. Angiography dan atau PCI tidak perlu menghalangi atau menunda
strategi terapi lainnya termasuk terapi hipotermia.
Angiografi jantung dan PCI, bila digunakan sebagai bagian dari langkah lanjutan pasca-cardiac
arrest, dapat menjadikan kelangsungan hidup lebih baik . Oklusi arteri koroner akut sering terjadi
pada penderita yang keluar dari rumah sakit dengan serangan jantung.
PCI bisa dilakukan setelah ROSC, dan hampir 50% dari pasien serangan jantung dengan oklusi
trombotik akut, atau lesi, setuju untuk direperfusi.
Selain itu, PCI yang sukses dapat mengakibatkan peningkatan fraksi ejeksi jantung. Kateterisasi
jantung saja (tanpa PCI) dapat pempertahankan pasien. Meskipun oklusi arteri koroner setelah
serangan jantung berhubungan dengan ST elevasi atau LBBB, temuan EKG yang spesifik
mungkin tidak ada.
Hasil setelah angiografi dan PCI sangat bervariasi tergantung pada subset pasien. Kelangsungan
hidup pada pasien serangan jantung dengan STEMI sangat tinggi yaitu 70% sampai hampir
100%. Pada sejumlah besar korban yang awalnya mungkin koma sebelum PCI, EKG 12-lead
harus dilakukan sesegera mungkin setelah ROSC. Pengobatan yang tepat baik ACS atau STEMI,
termasuk PCI atau fibrinolisis, harus dimulai tanpa koma. Koma dan hipotermia bukan
merupakan kontraindikasi atau alasan untuk menunda PCI atau fibrinolisis.
9. kadek PCI vs fibrinae
Komplikasi Infark Myocard Akut (AMI)
Syok kardiogenik, Kegagalan Ventrikel kiri , dan Gagal jantung kongestif
Infark > 40% pada myocardium ventrikel kiri biasanya mengakibatkan syok kardiogenik dan
berdampak tinggi pada kematian. Pada seluruh kejadian syok, pasien dengan gambaran EKG
segmen ST elevasi dapat lebih dulu mengalami pengembangan syok yang signifikan daripada
pasien tanpa segmen ST elevasi. Syok kardiogenik dan gagal jantung kongestif bukan
merupakan kontraindikasi fibrinolysis, tetapi penggunaan PCI lebih dianjurkan pada pasien yang
memiliki kapabilitas dengan fasilitas PCI.
Berdasarkan hasil uji coba dari catatan trial sock ACC / AHA guidelines, PPCI merupakan suatu
hal yang wajar pada pasien dengan pengembangan shock dalam waktu 36 jam onset gejala serta
pada pasien calon revaskularisasi, dimana revaskularisasi dapat dilakukan dalam waktu 18 jam
selama awal kejadian syok. Walaupun manfaat dalam trial SHOCK hanya dilakukan pada pasien
dengan usia < 75 tahun. Pedoman ini juga mendukung penggunaan hemodynamic support
dengan counterpulsation balon intra-aorta (IABP) sebagai salah satu penanganan medis agresif.
Dalam pengaturan ini, IABP bekerja secara sinergis dengan agen fibrinolitik, dan dari hasil yang
diamati menunjukkan bahwa manfaat strategi revaskularisasi awal dalam trial syok juga
ditunjang oleh pengaturan IABP. Penggunaan PPCI pada pasien dengan syok kardiogenik terus
meningkat, pengamatan terkahir menunjukkan adanya penurunan mortalitas rumah sakit.
Sebagian besar pasien yang mampu bertahan dari syok kardiogenik menunjukkan kualitas hidup
yang baik, resiko kematian awal mampu diatasi dengan revaskularisasi.
Pada rumah sakit yang tidak memilki fasilitas PCI, manajemen fibrinolytic perlu diteruskan ke
fasilitas pelayanan stage III (tertiary care facility) dimana PCI dapat diberikan jika terdapat syok
kardiogenik atau ongoing ischemia. Guideline ACC/AHA STEMI merekomendasikan alokasi
waktu rujukan (a door-to-departure time) ke PCI-capable center dapat berlangsung selama < 30
menit.
RV Infarction
Infark ventrikel kanan atau ischemia dapat terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan infark
myocard dinding inferior. Para klinisi harus waspada dengan suspect infark ventrikel kanan pada
pasien dengan infark dinding inferior, hipotensi, dan paru-paru dengan bidang polos (clear lung
fields). Pada pasien dengan dinding inferior infark, terlihat ECG dengan mengarah sisi kanan.
Pasien infark ventrikel kanan juga memperlihatkan ST-segmen elevasi (> 1 mm) di lead V4R
(sensitivitas, 88%; spesifisitas, 78%, akurasi diagnostik, 83%). Infark ventrikel kanan
merupakan prediktor kuat terjadinya komplikasi dan mortalitas.
Kejadian mortalitas pasien dengan disfungsi ventrikel kanan di rumah sakit mencapai 25%-30%,
dimana pasien tersebut harus melakukan terapi reperfusi secara rutin. Terapi fibrinolitik
mengurangi kejadian disfungsi ventrikel kanan. Demikian pula PCI yang merupakan alternatif
bagi pasien dengan infark ventrikel kanan dan dianjurkan untuk pasien syok. Pasien dengan
syok yang disebabkan oleh kegagalan ventrikel kanan memiliki tingkat kematian yang serupa
dengan pasien syok karena kegagalan ventrikel kiri. Pasien dengan kegagalan ventrikel kanan
dan infark akut sangat tergantung pada pemeliharaan tekanan ventrikel kanan saat mengisi
(tekanan akhir diastolic RV) untuk menjaga cardiac output. Dengan demikian, nitrat, diuretik,
dan vasodilator lainnya (ACE inhibitor) harus dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi
yang parah. Hipotensi pada awalnya diobati dengan cairan bolus IV.
ADJUNCTIVE THERAPIES FOR ACS AND AMI
Thienopyridines
Clopidogrel merupakan prodrug preparat oral thienopiridin yang bekerja dengan menghambat permanen reseptor adenosin diphospat di platelet, sehingga dapat mengurangi agregasi platelet. Penelitian terakhir menunjukan bahwa penurunan angka kematian jantung dan pembuluh darah, nonfatal infark, nonfatal stroke (kejadian jantung). Pemberian clopidogrel bersama aspirin dan heparin selama 4 jam di rumah sakit dapat menurunkan angka stoke dan komplikasi jantung lainnya. Pemberian clopidogrel selama 6 jam atau lebih sebelumnya pada pasien ACS tanpa STEMI mengurangi kejadian iskemik selama 28 hari.
Pemberian copidogrel pada pasien dengan Unstable Angina menunjukan peningkatan angka perdarahan (selain perdarahan intrakranial) pada 2072 pasien pasca CABG selama 5-7 hari perawatan. Sementara itu penelitian lain memberikan hasil yang beda. Tidak didapatkan
kenaikan kejadian perdarahan pada 1366 pasien. Saat ini ACC/ AHA menganjurkan pemberian clopidogrel selama 5-7 hari sebelum CABG sebagai langkah antisipasi.
Pada pasien berusia lebih dari 75 tahun dengan STEMI yang diterapi dengan fibrinolisis, menunjukan peningkatan angka mortalitas dan kejadian jantung lainnya jika diberikan clopodogrel bersama dengan aspirin dan heparin (LMWH) atau heparin non-fraksi (UFH) saat penatalaksanaan inisiasi (sekitae 75mg dosis harian selama 8 hari di rumah sakit).
Pada pasien dengan STEMI yang diterapi dengan PPCI, terdapat penurunan mortalitas dan kejadian jantung lainnya serta sedikit peningkatan perdarahan saat clopidogrel diberikan di ED, rumah sakit, atau pelayanan sebelum rumah sakit.
Pokok utama dari penemuan ini, provider harus mengatur waktu paruh dari clopidogrel untuk standar pengobatan (seperti aspirin, antikoagulan, dan reperfusion) pada pasien yang mempunyai sedang-berat resiko NSTEMI ACS dan STEMI (Kelas I, LOE A). Pada pasien kurang dari 75 tahun, direkomendasikan untuk memberikan waktu paruh clopidogrel 300mg-600mg pada pasien NSTEMI dan STEMI. Sangat beralasan pemberian clopidogrel 300mg pada pasien ED yang dicurigai ACS jika pemberian aspirin dapat menimbulkan hipersensitivitas atau intoleran dari saluran cerna (Kelas IIa, LOE B). Hanya sedikit pembuktian tentang waktu paruh clopidogrel pada pasien berusia lebih dari 75 tahun dengan NTEMI dan Stemi yang diterapi PPCI, dan pasien STEMI dengan terapi fibrinolisis , dosis ideal pemberian clopidogrel telah digambarkan. Di ED, pemilihan antiplatelet harus desertai dengan penelitian lokal, buku panduan dan rekomendasi yang valid.
Prasugrel merupakan merupakan preparat oral dari prodrug thienopiridin yang bekerja menghambat reseptor ADP sehingga dapat menghambat terbentuknya agregasi platelet. Prasugel dapat diasosiasikan dengan dengan obat lain yang tidak meningkatkan mortalitas dan kejadian jantung lainnya, seperti dengan clopidogrel. Tetapi pemberian ini dikontraindikasikan dengan pasien pasca angiografi dengan NSTEMI menjalani PCI karena dapat menyebabkan perdarahan. Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan perdarahan hebat yaitu udia diatas 75 tahun, pasien dengan stroke, dan berat badan kurang dari 60 kilogram.
Prasugrel dengan loading dose 60mg per oral dapat di substitusikan dengan clopidogrel setelah angiografi pada pasien NSTEMI ACS atau STEMI lebih dari 12 jam setelah gejala onset pendahuluan untuk merencanakan PCI (kelas IIa, LOE B). Pada pasien yang tidak memiliki resiko tinggi perdarahan, penggunaan prasugrel untuk angiografi pada pasien STEMI kurang dari 12 jam setelah gejala dapat di substitusikan dengan pemberian clopidogrel. Prasugrel tidak direkomendasikan pada pasien STEMI dengan pengobatan fibrinolisis atau pasien NSTEMI sebelum angiografi.
GLIKOPROTEIN IIb/ IIIa INHIBITOR
Penggunaan dan efikasi penghambat reseptor glikoproterin IIb/ IIIa untuk penatalaksanaan pada pasien dengan UA/ NSTEMI tidak bisa dipungkiri dengan baik. Terdapat dua studi yang tidak mendukung dosis rutin pemberian GP IIa/ IIIa I. Penelitian tersebut menunjukan peningkatan yang besar pada pasien yang menujukan peningkatan kadar enzim troponin pada jantung dan strategi invansif pada kejadian yang spesifik misalkan saja pada pasien dengan diabetes atau depresi segmen ST pada gambaran EKG. Pada penelitian yang telah dilakukan, penggunaan GP IIb/ IIIa I bersama dengan obat antiplatelet dapat meningkatkan resiko pendarahan. Belum ada bukti yang mendukung studi tersebut. Masih diperlukan pembuktian lebih lanjut dalam peggunaan obat ini.
β – Adrenergik Reseptor Blockers
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan mortalitas dan penurunan
besarnya infark dengan pemberian dini β – blockers secara intravena. Pemberian sesegera
mungkin β – blockers juga membantu mencegah aritmia lebih parah tetapi meningkatkan
insidensi shock kardiogenik.
Pada beberapa review penelitian menunjukkan bahwa ditemukannya pemberian dini β –
blockers dapat menyebabkan suatu bahaya yang irreversibel pada sampel. Berdasarkan seluruh
evidence yang ada untuk pasien ACS tanpa elevasi segment ST, guidelines AHA
merekomendasikan β – blockers diberikan peroral pada 24 jam pertama setelah hospitalisasi.
Kontra indikasi dari β – blockers adalah gagal jantung kiri dan edema paru, bradikardi
(<60x/menit), hipotensi (SBP <100 mm Hg), tanda-tanda dari perfusi perifer, heart block derajat
dua atau tiga, serta penyakit reaktif jalan nafas.
HEPARIN
Heparin adalah inhibitor trombin secara tidak langsung yang telah digunakan secara luas
dalam terapi ACS dengan fibrinolisis dan dikombinasikan dengan aspirin serta inhibitor platelet
lainnya yang digunakan untuk pengobatan ACS tanpa segmen elevasi ST.
Heparin Tak Terfraksinasi dan Heparin Berat Molekul Rendah
Enoxapanarin
Berdasarkan penelitian, saat pemberian enoxapanarin kepada pasien ACS tanpa elevasi segmen
ST meningkatkan komplikasi perdarahan.
Fondapanirus
Ada hasil peningkatan saat UFH dikombinasikan dengan Fondapanirus yaitu meningkatkan
perdarahan dan ada hubungannya dengan meningkatnya resiko trombosis kateter pada
fibrinolitik
Bivalirudin
Tak ada keuntungan dari hasil kombinasi kivalirudin dengan UHF pada pasien ACS tanpa
elevasi segmen ST. Kurang terjadinya perdarahan dari pengamatan dan tidak ada dosis renal
yang dibutuhkan.
Pengobatan Yang Direkomendasikan Untuk NSTEMI
Pada pasien dengan NSTEMI di rumah sakit pemberian fondaparinux atau enoxaparin
merupakan pilihan yang masuk akal. Fondaparinux digunakan pada pengobatan PCI, tetapi
membutuhkan kombinasi UHF. Untuk pasien rawat inap dengan NSTEMI dan insufisiensi
ginjal, bivalirudin atau UHF dapat diberikan. Pada pasien NSTEMI dan beresiko tinggi
perdarahan, fondaparinux, bivalirudin, atau UHF dapat digunakan karena tidak ada bukti yang
spesifik untuk menyanggah penggunaan antikoagulan pada NSTEMI.
Heparin Tak Terfraksinasi dan Heparin Berat Molekul Rendah pada Fibrinolitik STEMI
Enoxaparin
Untuk pasien dengan STEMI fibrinolisi yang dirawat di rumah sakit dan untuk pasien yang
prehospital dilakukan pemberian enoxaparin. Pada awal pemberian enoxaparin tidak dianjurkan
langsung digantikan ke UHF dan begitu pula sebaliknya karena dapat menyebabkan
meningkatnya resiko perdarahan. Pada pasien dibawah umur 75 tahun inisiasi dosis enoxaparin
adalah 30 mg IV diikuti 1mg/kg SC setiap 12 jam. Untuk pasien yang berumur lebih dari 74
tahun dosisnya 0,75 mg/kg SC enoxaparin setiap 12 jam tanpa inisiasi bolus IV. Pasien dengan
gagal ginjal (kreatinin <30 mL/min) diberikan 1mg/kg enoxaparin SC sekali dalam sehari. Pasien
yang tidak diketahui gagal ginjalnya diberikan alternatif UFH.
Fondaparinux
Untuk pasien yang mengalami non-fibrin-spesifik trombolitik, kreatin yang tersedia <3mg/dL
diberi pengobatan fodaparinux inisiasi 2,5 mg IV diikuti 2,5mg SC.
Tak Terfraksinasi Heparin dan Heparin berat molekul rendah pada STEMI dengan PPCI
Pada beberapa penelitian menunjukkan hasil yang sama dan peningkatan hasil yang
cukup baik saat diberikannya enoxaparin ke pasien dengan kombinasi GP Iib/IIIa antagonis dan
tienopiridine inhibitor.
Suatu uji klinis menyatakan bahwa hasil yang lebih baik pada kejadian kardiak akut dan
predarahan menggunakan fondaparinux dan PPCI. Membutuhkan penambahan UFH dan selama
PCI.
Untuk pasien STEMI yang sedang menjalani PCI, enoxaparin jauh lebih aman
dan efektif daripada UFH. Fondaparinux dapat dianggap alternatif UFH, tetapi ada resiko
meningkatnya trombi kateter dengan fondaparinux saja. Penambahan UFH dapat membantu
mencegah resiko ini.
CALSIUM CHANNEL BLOCKERS
Ada sedikit fakta yang mengatakan bahwa calcium chanel blocking bisa digunakan sebagai alternative atau terapi tambahan untuk β-blockers . Calsium channel blocker setelah diteliti tidak dapat menurunkan kematian akut MI dan berbahaya bagi beberapa penderita penyakit kardiovaskuler. Namun akan aman jika dipadukan dengan β-blockers.
ACE INHIBITOR THERAPY
ACE Inhibitor dan ARBs di Rumah Sakit
Pengobatan ACE Inhibitor telah dapat meingankan pasien yang menderita AMI, terutama pada saat awal setelah masuk rumah sakit. Penelitian ini mengatakan bahwa oral ACE Inhibitor dapat diberikan pada penderita AMI namun tidak berpengaruh pada hipotensi. Pengaturan secara oral obat ini direkomendasikan pada 24 jam pertama setelah munculnya gejala pada pasien STEMIdengan pulmonary kongesti atau ejeksi LV fraksi <40% dan tanpa hipotensi (kelas I, LOE A). oral ACE Inhibitor bisa juga digunakan pada pasien penderita AMI dengan sebelumnya diberikan terapi reperfusion atau tidak (kelas II A, LOE B). IV ACE Inhibitor dikontraindikasikan pada 24 jam awal karena menyebabkan risiko hipotensi.
ACE Inhibitor pada prehospital setting
Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat keutungan ACE Inhibitor dan ARBs jika diberikan pada pasien infark miokard yang dimulai pada 24 jam awal setelah masuk rumah sakit. Meskipun ACE Inhibitor dan ARBs telah ditunjukan pengurangan kematian pada pasien AMI, ada ketidak cukupan bukti untuk mendukung ACE inhibitor dan ARBs sebagai pre hospital setting.
HMG COENZYME A REDUCTASE INHIBITOR (STATINS)
Ketika pengobatan statin diberikan beberapa hari setelah ACS, akan mengurangi indicator inflamasi dan komplikasi, seperti reinfarction, angina berulang, dan aritmia. Terapi statins bianjurkan pada pasien engan ACS atau AMI. Jika pasien sudah diterapi statin, sebaiknya terapi terus dilanjutkan. Penelitian membuktikan terjadi peningkatan kematian dan kejadian utama adverse cardiac events jika dilakukan penghentian pengobatan statin pada pasien ACS saa masuk rumah sakit.
Pretreatmen dengan statin pada pasien yang mengalami elective percutaneus angioplasty pada angina stabil terbukti secara signifikan akan mengurangi biomarker nekrosis mokard atau peradangan. Dapat disimpulkan, pemberian intensif pengobatan statin harus dimulai dalam 24 jam pertama setellah onset dari suatu peristiwa ACS (misalya, segera stelah masuk rumah sakit) pada semua pasien yang mengalami segala bentuk ACS kecuali kontraindikasi ketat.
GLUCOSE INSULIN POTASSIUM
Terapi GIK dulunya dapat menurunkan kejadian kematian AMI dengan beberapa mekanisme. Namun penelitian mengatakan ternyata obat ini tidak memberikan keuntungan pada STEMI.
Manajemen pengobatan aritmia
Gangguan Ritmis Ventrikel
Fibrilasi Ventrikel (FV) primer menunjukkan kematian awal selama infark miokard akut. insidensi FV primer paling tinggi selama jam-jam awal setelah onset gejala muncul. FV sekunder yang terjadi pada CHF atau shock cardiogenik bisa juga menjadi penyebab kematian pada AMI. kematian yang disebabkan FV, dapat dilakukan penanganan menggunakan fibrinolitik dan revaskularisasi perkutaneus sebagai strategi reperfusi awal. penggunaan beta bloker juga bisa mengurangi kejadian FV pasca AMI.
profilaksis dengan lidocaine juga dapat menurunkan insidensi VF, namun meningkatkan angka kematian berdasarkan data dari ISIS-3 dan anjuran meta-analisis. oleh karena itu profilaksis dengan lidokain tidak lagi direkomendasikan.
Sotalol tidak dipelajari lebih dalam (kelas IIb, LOE C). Amiodaron pda penggunaan tunggal RCT dalam dosis rendah tidak meningkatkan kemampuan hidup pasien, malah dapat meningkatkan kematian jika penggunaan dalam dosis tinggi ketika digunakan pada pasien dengan suspek myocardial infarction (class IIb, LOE C).
pemberian rutin Beta bloker secara IV dengan pasien hemodinamik atau kontraindikasi elektrik dihubungkan dengan penurunan insidensi FV primer (kelas IIb, LOE C). ISIS-4 menunjukkan >58000
pasien meningkat angka kematiannya ketika diberikan magnesium untuk profilaksis primer kepada pasien dalam 4 jam pertama dengan atau suspek AMI.
Kesimpulan
Sampai sekarang sudah ada kemajuan yang pesat dalam menanggulangi kecacatan dan kematian akibat ACS. Namun banyak pasien yang meninggal sebelum dibawa ke rumah sakit karena pasien dan keluarga pasien tidak mengenali tanda-tanda ACS dan gagal mengaktifkan sistem EMS. Saat pasien datang ke pusat kesehatan, penyedia layanan harus fokus dalam membantu fungsi kardiorespiratori, transpor cepat, dan klasifikasi dini pasien berdasarkan karakteristik EKG. Pasien dengan STEMI membutuhkan reperfusi yang cepat; semakin cepat dilakukan reperfusi, semakin menguntungkan. Pada populasi pasien STEMI, reperfusi mekanik dengan intervensi koroner perkutaneus menambah sur vival dan menurunkan kejadian kardiovaskular membandingkan dengan fibrinolisis. Pasien UA/NSTEMI (non-STEMI ACS) atau nonspesifik atau EKG normal membutuhkan stratifikasi risiko dan monitoring serta terapi yang tepat. Penyedia layanan kesehatan bisa menaikkan angka surival rate dan fungsi miokardial dari pasien ACS dengan cara menyediakan keahlian, tepatguna, dan berkoordinas dengan rumah sakit lain.