Download - AI - Dermatitis Atopi
BAB I
PENDAHULUAN
Alergi pada Anak
Secara umum alergi adalah suatu reaksi kekebalan yang
menyimpang/berubah dan normal yang dapat menimbulkan gejala yang merugikan
tubuh. Penyakit alergi ini merupakan salah satu penyakit yang dapat diturunkan.
Angka kejadian alergi pada anak di Indonesia belum banyak diteliti. Dan penelitian
yang dilakukan di Kelurahan Utan Kayu Jakarta Pusat didapatkan 25.5% anak yang
menderita alergi dengan perincian rinitis alergika 9,0 %, asma 6,9%, dermatitis
atopik 4,9% dan urtikaria 4,5%.
Dalam tubuh kita dikenal 5 Jenis antibodi atau imunoglobulin yaitu
imunoglobulin G, A, M, E dan D. Imunoglobulin E adalah antibodi yang banyak
berperan pada reaksi alergi. Dalam tubuh penderita alergi, imunoglobulin E terdapat
dalam kadar yang tinggi terutama imunoglobulin E yang spesifik terhadap zat-zat
tertentu yang menimbulkan reaksi alergi (zat alergen). Misalnya debu rumah nite
(tungau debu rumah), bulu binatang, serbuk bunga atau makanan tertentu seperti
telur, susu, ikan laut dan lain-lain. Gejala alergi ini dapat mengenai sistim saluran
napas (asma, rinitis), saluran cerna (diare, muntah), kulit (biduran, eksim), mata
(konjungtivitas alergik) serta susunan saraf (sakit kepala, dll).
Salah satu gejala alergi yang akan dibahas pada laporan kali ini adalah
dermatitis atopik. Dermatitis atopik adalah suatu gejala eksim terutama timbul pada
masa kanak-kanak. Gejala ini biasanya timbul pada usia sekitar 2 bulan sampai 1
tahun dan sekitar 85% pada usia kurang dari 5 tahun. Pada keadaan akut, gejalanya
berupa kulit kemerahan, kulit melenting berisi cairan, basah dan sangat gatal.
Kadang-kadang disertai infeksi sekunder yang menimbulkan nanah.
Gejala dermatitis atopik pada bayi berupa kemerahan pada kulit bentol-bentol
kemerahan, berisi cairan, keropeng disertai kulit pecah-pecah atau lecet. Gejala ini
sering mengenai pipi, siku dan tepi pinggir kulit anggota gerak bawah dan
selanjutnya dapat menyebar ke daerah selangkangan. Pada usia selanjutnya, kelainan
1
ini terdapat pada lipat siku, lipat lutut, tengkuk dan pergelangan tangan. Kulit
menjadi lebih kering dan tebal, mengelupas dan pada penyembuhan meninggalkan
warna yang lebih pucat atau kehitaman. Pada anak yang lebih tua , kelainan ini dapat
mengenai kulit kelopak mata, telapak tangan dan kaki. Kadang-kadang dapat disertai
katarak (kekeruhan lensa mata) serta radang mata. Infeksi sekunder dapat terjadi oleh
kuman yang menimbulkan nanah.
Untuk mengobati penyakit ini yang paling penting adalah mengatasi rasa
gatal dengan pemberian obat golongan antihistamin, menghindari udara yang terlalu
panas dan kering serta mengurangi pengeluaran keringat. Garukan sebaiknya
dihindari karena dapat rnenyebabkan kelainan yang lebih hebat dan infeksi sekunder.
Untuk mencegah kekeringan dapat diberikan lanolin. Pada kelainan yang hebat dapat
digunakan kasa steril untuk menutup kulit yang terkena. Antibiotika diberikan bila
terjadi infeksi sekunder.1
Imunisasi adalah tindakan atau proses terbentuknya kekebalan tubuh/
imunitas terhadap mikroorganisme tertentu. Imunitas bisa terjadi secara aktif maupun
pasif. Imunitas aktif bisa dilakukan secra buatan (=vaksinasi), atau secara alamiah,
yaitu setelah seseorang sembuh dari suatu infeksi. Sedangkan imunisasi pasif bisa
terjadi secara buatan, misalnya penyuntikan serum kebal maupun secara alamiah,
seperti neonatus meminum ASI yang mengandung IgA dari ibu.
Manfaat imunisasi untuk bayi dan anak
Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindung dari
beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik, kakak dan
teman-teman disekitarnya. Imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh bayi dan
anak sehingga mampu melawan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut.
Anak yang telah diimunisasi bila terinfeksi oleh kuman tersebut maka tidak akan
menularkan ke adik, kakak, atau teman-teman disekitarnya. Jadi, imunisasi selain
bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk mencegah penyebaran ke adik,
kakak dan anak-anak lain disekitarnya.
2
Bahaya Jika Tidak Diimunisasi
Jika anak tidak diberikan imunisasi dasar lengkap, maka tubuhnya tidak
mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap penyakit tersebut. Bila kuman
berbahaya yang masuk cukup banyak maka tubuhnya tidak mampu melawan kuman
tersebut sehingga bisa menyebabkan sakit berat, cacat atau meninggal. Anak yang
tidak diimunisasi akan menyebarkan kuman-kuman tersebut ke adik, kakak dan
teman lain disekitarnya sehingga dapat menimbulkan wabah yang menyebar kemana-
mana menyebabkan cacat atau kematian lebih banyak. Oleh karena itu, bila orangtua
tidak mau anaknya diimunisasi berarti bisa membahayakan keselamatan anaknya dan
anak-anak lain disekitarnya, karena mudah tertular penyakit berbahaya yang dapat
menimbulkan sakit berat, cacat atau kematian.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang bayi perempuan, 5 bulan, datang untuk mendapat vaksinasi yang
pertama kali. Ibunya belum membawa bayinya untuk imunisasi selama ini karena
khawatir efek samping vaksinasi. Bayinya menderita eczema di kedua pipi.
Keterlambatan vaksinasi pada si bayi karena ia menderita eczema di kedua
pipinya, sehingga ibunya khawatir. Kakak si bayi menderita asma bronkiale,
sedangkan ibunya menderita rhinitis alergika.
3
BAB III
ANALISA KASUS
Identitas Pasien
Nama : -
Umur : 5 bulan
Jenis Kelamin : perempuan
Anamnesis
Alloanamnesis
1. Masalah Utama : terlambat di imunisasi
Riwayat Penyakit Sekarang
Apakah ada keluhan lainnya, seperti batuk, pilek?
Bagaimana kondisi kesehatan anak? Apakah sering sakit atau tidak?
Kapan eczema itu timbul ?
Apakah eczema timbul setelah terkena kontak dengan sesuatu (allergen)?
Sudah berapa lama eczema muncul?
Apakah gatal? (dilihat apakah anak menggaruk eczema tersebut)
Apakah terdapat keluhan lainnya selain eczema?
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelum kejadian ini, anak pernah mengalami hal yang sama
sebelumnya?
Riwayat Keluarga
Kakak si bayi menderita asma bronkiale, sedangkan ibunya menderita rhinitis
alergika.
Berapa saudara yang dimiliki oleh anak ini? (urutan yang ke berapa)
Riwayat Lainnya
Apakah anak ini mengonsumsi ASI secara eksklusif atau ditambah dengan
susu formula?
Apakah sudah pernah berobat ke dokter sebelumnya?
Apabila ya, apakah sudah diberikan pengobatan oleh dokter sebelumnya?
Pemeriksaan Fisik
4
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Inspeksi : terdapat eczema di kedua pipi
Palpasi :-
Perkusi :-
Auskultasi :-
Tanda Vital :-
Status Lokalis
Pemeriksaan fisik yang di lakukan pada pasien dermatitis atopik adalah
pemeriksaan kulit, yaitu dengan mencari gejala dan tanda pada tempat-tempat
predileksi :
Infantil : muka, skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai.
Anak : letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan
bagian fleksor, kelopak mata, leher dan jarang di muka.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan kadar serum IgE : Pada penderita dermatitis atopi biasanya akan
mengalami peningkatan
Pemeriksaan eosinofil : akan di dapatkan peningkatan
Tes kulit dadakan ( immediate skin test ) : di lakukan dengan menggunakan
berbagai jenis makanan yang menjadi alergen.2
Diagnosis Kerja
Berdasarkan kasus diatas, dapat dibuat diagnosis bahwa bayi tersebut
menderita dermatitis atopik. Diagnosis ini juga dapat kami tegakkan berdasarkan
kriteria yang dibuat oleh kelompok kerja inggris (UK working party) yang
dikoordinasi oleh William yaitu:
Mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya
bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
5
Ditambah 4 dari 5 kriteria berikut:
I. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi
anak usia dibawah 10 tahun).
II. Riwayat asma bronkhiale atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak dibawah 4
tahun).
III. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
IV. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada
pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak dibawah 4 tahun).
V. Awitan dibawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak dibawah 4
tahun).3
Penatalaksaan
Non medikamentosa
a. Menginformasikan kepada ibu pasien mengenai penyakit anaknya,
termasuk perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan prinsip
penatalaksanaan.
b. Menghindari atau sedikitnya mengurangi faktor penyebab,
misalnyamengeliminasi makanan (yang akan diketahui melalui uji
eliminasi/ provokasi),faktor inhalan (tungau, debu rumah), atau faktor
pencetus (iklim/ suhu ekstremseperti panas atau dingin sekali, cegah anak
banyak berkeringat).
c. Dianjurkan meneruskan ASI dan ibu juga harus menghindari alergen.
d. Menjaga kebersihan ibu, anak, dan lingkungan. Potong kuku anak supaya
ketikamenggaruk, tidak menyebabkan lesi yang dapat terjadi infeksi
sekunder.
Medikamentosa
a. Mandi dan emolien
6
Mandi secara teratur minimal dua kali sehari dapat membersihkan kotoran
dan keringat, juga skuama yang merupakan medium baik untuk bakteri.
Penggunaan emolien atau pelembab yang adekuat secara teratur sangat
penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas
sawar kulit.
b. Mengatasi gatal
Gatal dapat dikurangi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti-
inflamasi topical (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin
oral.
c. Kosrtikosteroid topical
Selama ini penggunaan kortikosteroid merupakan pengobatan standar
untuk mengatasi inflamasi pada dermatitis karena efektif, mudah
digunakan, dapat ditoleransi pasien, kadang lebih murah, dan hasilnya
lebih baik/cepat dibandingkan dengan anti-inflamasi topical lainnya. Bila
pemilihan dan penggunaan kortikosteroid topical dilakukan dengan tepat
dan hati-hati, efek samping biasanya dapat dihindari.4
Imunisasi
Edukasi : berikan ASI, anak boleh di imunisasi sesuai dengan jadwal
imunisasi IDAI. Pada kasus ini anak terlambat di imunisasi, namun tetap
diberikan dan mengacu pada jadwal.
VaksinPemberian
Imunisasi
Selang Waktu
PemberianWaktu pemberian Dosis Tempat Suntikan
BCG 1x -
Bila belum pernah
dapat diberikan
kapan saja 0,05 cc
Disuntikkan
secara intrakutan
di daerah lengan
kanan atas
(insertio musculus
deltoideus)
Bila belum pernah
dapat diberikan
0,5 cc Paha tengah luar,
intramuskular
7
Hepatitis B 3x
Hep-B2: 4
minggu setelah
HepB-1
Hep-B3: 5 bulan
setelah Hep-B2
kapan saja
Pada pasien ini:
Hep-B1: usia
sekarang (5 bln)
Hep-B2 : usia 6
bulan
Hep –B3 : usia 11
bulan
DTP 3x
4-8 minggu
(interval terbaik
8 minggu)
Bila belum pernah
dapat diberikan
kapan saja
Pada pasien ini:
DPT1: usia
sekarang (5 bln)
DPT2 : usia 7
bulan
DPT3 : usia
10bulan
0,5 ccPaha tengahluar,
intramuskular
Polio 5x -Polio-2:2 bulan
setelah polio-1.
-Polio-3:2 bulan
setelah polio2.-
Polio-4: 1tahun
setelah polio-3 -
Polio-5:saat
masuk sekolah
dasar
Polio-1:
sekarang (usia 5
bulan), Polio-2:usia
7 bulan,
Polio-3:usia 9
bulan,
Polio-4:Usia 21
bulan, Polio-5:
2 tetes
(0,1cc)
Diteteskan di
mulut
8
saatmasuk
sekolahdasar (usia
5/6 tahun)
Prognosis
Ad Vitam : Ad bonam
Ad Fungsionam : Ad bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad malam
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik
terhadapa Dermatitis Atopik, yaitu: DA luas pada anak, menderita rinitis alergi dan
asma bronkial, riwayat DA pada orang tua atau saudara kandung, onset DA pada usia
muda, serta anak tunggal.
Pada kasus ini prognosis kurang baik dikarenakan pada bayi ini terdapat
beberapa faktor diatas. DA pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20%
menghilang dan 65% berkurang gejalanya. Diperkirakan 30-50% akan berkembang
menjadi asma bronkial atau rinitis alergi.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Hipersensitivitas
Respon imun baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya
menguntungkan bagi tubuh, berfungsi proteksi terhadap infeksi atau pertumbuhan
kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh
berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah
peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipanjankan
9
atau dikenal sebelumnya. Menurut Gell dan Coombs hipersensitivitas ada 4 tipe,
yaitu :
I. Reaksi IgE/reaksi alergi
Manifestasi khas : anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, asma,
urtikaria, alergi makanan dan ekzem.
II. Reaksi sitotoksik (IgG atau IgM)
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik
autoimun.
III. Reaksi kompleks imun
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti arthus dan sistemik seperti serum
sickness, vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES
IV. Reaksi seluler
Manifestasi khas : dermatitis kontak, lesi tuberkulosis dan penolakan tandur.5
Vaksinasi
Imunisasi adalah tindakan atau proses terbentuknya kekebalan tubuh/
imunitas terhadap mikroorganisme tertentu. Imunitas bisa terjadi secara aktif maupun
pasif. Imunitas aktif bisa dilakukan secra buatan (=vaksinasi), atau secara alamiah,
yaitu setelah seseorang sembuh dari suatu infeksi. Sedangkan imunisasi pasif bisa
terjadi secara buatan, misalnya penyuntikan serum kebal maupun secara alamiah,
seperti neonatus meminum ASI yang mengandung IgA dari ibu.
Dalam mengetahui jenis sebuah vaksin kita harus terlebih dahulu
mengklasifikasikan vaksin tersebut menjadi vaksin bakteri atau vaksin virus.
Kemudian membedakannya berdasarkan struktur dan keadaan mikroorganisme
patogen yang digunakan sebagai imunogen yang pada umumnya ada tiga kelompok
vaksin yaitu live vaccine, dead vaccine, dan subunit vaccine. Respon imun yang
timbul akibat tindakan vaksinasi, sama dengan respons imun yang timbul akibat
masuknya patogen ke dalam tubuh.
Cara kerja live vaccine mirip dengan cara kerja patogen, maka respon imun
yang munculmirip sekali dengan infeksi alamiah. Sedangkan dead vaccines dan
subunit vaccines bukan merupakan imunogen yang kuat, maka respons imun yang
10
muncul agak berbeda. Infeksi intraseluler seperti virus akan diproses dan
dipresentasikan peptidanya melalui molekul MHC kelas I kepada sel T sitotoksik
atau sel CD8+. Sedangkan infeksi ekstraseluler seperti bakteri akan diproses dan
dipresentasikan peptidanya melalui molekul MHC kelas II kepada sel T penolong
atau setl T CD4+.
a. Vaksin virus
1. Killed vaccine yaitu vaksin yang berasal dari virus yang dimatikan dengan
menggunakan zat zat kimia atau panas. Contohnya Polio dan Hepatitis A
2. Attenuated vaccine yaitu vaksin yang mengandung virus yang masih hidup.
Virus yang digunakan ialah virus yang dikembangbiakkan setelah sifat
virulensinya dihilangkan. Contohnya Rubella dan measles
3. Subunit Vaccine yaitu vaksin yang hanya mengandung sejumlah fragmen dari
mikroorganisme tersebut dan fragmen ini sudah cukup untuk memberi respon
imun. Contohnya vaksin hepatitis B hanya mengandung protein permukaan
virus dan HPV yang mengandung kapsid utama dari virus.
b. Vaksin bakteri
Sama halnya dengan vaksin virus, vaksin bakteri juga menggunakan
bakteri yang dimatikan dan bakteri hidup yang dilemahkan. Sebagai contoh
bakteri yang dimatikan yaitu bakteri Vibrio cholerae dan Bordetella pertusis.
Sedangkan bakteri yang dilemahkan seperti TBC dan Salmonella typhi. Jenis
vaksin bakteri lainnya yaitu :
1. Polisakarida
Vaksin ini berasal dari bagian polisakarida bakteri yang bukan protein. Oleh
karena itu, vaksin ini merupakan T independent antigen yang hanya akan
menginduksi sekresi IgM, tanpa sel memori maupun class switching. Ada
empat jenis vaksin polisakarida, yaitu untuk mencegah infeksi Streptococcus
pneumoniae, Neiseeria meningitidis, Haemopibilus influenzae tipe b, dan
Salmonella typhi
2. Toksoid
Vaksin yang diperoleh dengan cara mengubah eksotoksin bakteri, biasanya
dengan menggunakan formaldehid. Eksotoksin adalah polipeptida yang
11
disekresikan oleh bakteri gram positif maupun negatif. Toksoid yang
diproduksi dengan menggunakan formaldehid adalah vaksin untuk mencegah
Corynebacterium diphteriae dan Clostridium tetani.
Pada umumnya vaksinasi diberikan ketika bayi berusia 2 bulan. Ini karena
dibawah usia 2 bulan, neonates belum memiliki sistem imun yang cukup matang
untuk memproses antigen yang diberikan melalui vaksin. Neonates memiliki fungsi
APC yang belum sempurna dan belum bisa mengekspresikan MHC dengan penuh.
Selain itu pada masa janin, sistem imun masih toleran terhadap antigen agar fetus
tidak ditolak ibunya.(6)
Namun vaksinasi tertentu diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan. Bayi baru
lahir menunjukkan respons imun yang lemah dan meningkat efektif dengan usia.
Bayi baru lahir sudah siap membentuk IgM dan dapat memberikan respons terhadap
toksoid, virus polio yang diberikan parenteral atau polio yang dilemahkan dan
diberikan oral. Pemberian vaksin pertusis (bakteri dimatikan) segera setelah lahir,
tidak memberikan respons protektif, bahkan dapat menimbulkan toleransi terhadap
vaksin sama yang diberikan di kemudian hari.(5)
Selain itu, beberapa vaksin polisakarida diberikan setelah usia dua tahun.
Vaksin-vaksin tersebut antara lain untuk mencegah Haemophilus influenzae tipe b,
Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitides, dan Salmonella typhi. Vaksin
tersebut merupakan T independent antigen, dimana sel B tidak memerlukan bantuan
T helper. Vaksin jenis ini belum dapat diproses dengan baik pada anak di bawah usia
dua tahun. Akan tetapi dengan mengkonjugasikan polisakarida ini dengan suatu
protein, maka polisakarida konjugat itu menjadi T dependent antigen. Bentuk baru
ini dapat diberikan pada usia dua bulan. Vaksin Hib, Pneumococcus, dan
Meningococcus sudah ada bentuk konjugatnya, tetapi vaksin Salmonella masih
berupa polisakarida murni.6
Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik merupakan salah satu contoh reaksi hipersensitivitas tipe 1
atau immediate immunity yang memiliki dua fase yaitu fase akut dan fase kronis.
12
Fase Akut
Alergen berikatan dengan sel Langerhans yang merupakan sel dendritik
(Professional APC) yang berada di epidermis melalui ikatan IgE spesifik
dan dan Fc-epsilon-RI
Sel Langerhans yang berikatan allergen tesebut menghasilkan Monocyte
Chemotactic protein -1 (MCP -1) dan IL-16
Peptide allergen dipresentasikan ke sel T oleh sel Langerhans
Induksi T helper 2
Monosit yang sebelumnya dipanggil oleh chemoattractant MCP-1 yang
merupakan golongan chemokine akan berdiferensiasi menjadi
inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC) dan menghasilkan IL 1, IL
6, dan Tumor Necrosing Factor alpha (TNF-a)
Fase Kronis
IDEC juga mengexpresikan Interleukin 12 dan IL 18. Dengan bantuan dua
sitokin ini, apabila pada fase akut, sel T helper 2 yang lebih berperan,
maka pada fase kronis sel T helper 1 yang lebih berperan. Ini diakibatkan
karena IL 12 menginduksi diferensiasi T naïve untuk berdiferensiasi
menjadi T cytotoxic yang menggunakan T helper 1. Sehingga pada fase
kronis, Cell mediated Immunity lah yang lebih berperan.7
13
Berbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli; Hanifin dan Rajka
telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris di
koordinasi oleh William (1994).8
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit umum yang sering dikaitkan dengan
gangguan atopik lainnya, seperti rhinitis alergi dan asthma. Manifestasi klinis
dermatitis atopik bervariasi dengan usia; dapat dengan diidentifikasi tiga tahap. Pada
bayi, yang lesi eczematous pertama biasanya muncul di pipi dan kulit kepala .
Menggaruk, yang sering dimulai beberapa minggu kemudian, menyebabkan erosi
berkulit. Selama masa kanak-kanak, lesi melibatkan flexures, tengkuk, dan dorsal
tungkai dan lengan. Dalam masa remaja dan dewasa, lichenified plak mempengaruhi
flexures, kepala, dan leher. Dalam setiap tahap, gatal yang terus sepanjang hari dan
memburuk pada malam hari tidur menyebabkan kerugian dan mengganggu secara
substansial pasien kualitas hidup.
Sifat dari dermatitis atopik adalah kronis, bentuk peradangan kulit yang
sering kambuh, gangguan fungsi barrier epidermis yang berujung pada kulit kering,
dan sensitisasi IgE-mediasi terhadap makanan dan allergen lingkungan. Bentuk
histologist dari eczematous akut dan plakat adalah edema interselular
epidermis (Spongiosis) dan penonjolan infiltrate perivascular dari limfosit,
makrofag monosit, sel dendritik, dan beberapa eosinofil pada dermis. Dalam
lichenifikasi subakut dan kronis dan plakat ekskoriasi, epidermis yang menebal dan
lapisan atas hipertrofi.
Dua hipotesis tentang mekanisme dermatitis atopik telah diajukan. Satu
berpendapat gangguan utama berada dalam gangguan imunologi yang menyebabkan
sensitisasi IgE-mediated, dengan disfungsi epitel-barrier dianggap sebagai
konsekuensi dari peradangan lokal. Yang lain mengusulkan bahwa gangguan
intrinsik dalam sel-sel epitel menimbulkan disfungsi barrier; aspek kekebalan yang
dianggap suatu epiphenomenon.
Epidemiologi
Sejak tahun 1960an, terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopik lebih
dari tiga kali lipat.Disamping itu, perkiraan terbaru menunjukkan bahwa dermatitis
14
atopik merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, dengan
prevalensi pada anak-anak mencapai 10%
hingga 20% di Amerika Serikat, Eropa utara dan barat, Afrika perkotaan, Jepang,
dan negara negara maju. Prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah
sekitar 1% sampai 3%. Menariknya, prevalensi dermatitis atopik jauh lebih rendah di
negara-negara pertanian seperti Cina dan di Eropa Timur, Afrika Pedesaan, dan Asia
Tengah. Juga terdapat kecenderungan pada wanita, dengan rasio 1,3:1,0.
Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di
negara-negara industry selama tiga dekade terakhir, 15 sampai 30% dari anak-anak
dan 2 sampai 10% dari orang dewasa adalah terkena. Gangguan ini sering merupakan
tahap awal menuju diatesis atopik yang mencakup asma dan penyakit alergi lainnya.
Dermatitis atopik sering dimulai pada masa infan. Sebanyak 45% dari semua kasus
atopik dermatitis dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun
pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun.
Lebih dari 50% dari anak-anak yang terkena, dalam 2 tahun pertama
kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi sensitif selama
berlangsungnya dermatitis atopik. 70% dari anak-anak ini remisi spontan sebelum
masa remaja. Penyakit ini juga dapat mulai pada masa dewasa (Apa yang disebut
onset akhir dermatitis atopik), dan di sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda
sensitisasi IgE-mediated. Prevalensi dermatitis atopik yang lebih rendah di pedesaan
jika dibandingkan dengan daerah perkotaan menunjukkan sebuah hubungan
"hygienehypothesis," yang mendalilkan bahwa tidak adanya paparan anak usia dini
untuk infeksi agen meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi.
Genetika Dermatitis Atopik
Angka kejadian untuk dermatitis atopik lebih tinggi antara kembar
monozigotik (77%) daripada di antara dizigotik kembar (15%). asma alergi atau
rhinitis alergi pada orangtua tampaknya menjadi faktor yang minor dalam
pengembangan dermatitis atopik di keturunan. Genomewide scans telah menyoroti
beberapa dermatitis atopik yang mungkin terkait pada lokus kromosom 3q21, 11
1q21, 16q, 17q25, 20p, 12 dan 3p26. Daerah keterkaitan tertinggi diidentifikasi pada
15
kromosom 1q21. Sebagian besar genetic berhubungan dengan dermatitis atopik
sesuai dengan lokus yang berhubungan dengan psoriasis, meskipun kedua penyakit
jarang terkait.
Beberapa kandidat gen telah diidentifikasi di dermatitis atopik, terutama pada
kromosom 5q31-33. Semuanya mengkode sitokin yang terlibat dalam regulasi
sintesis IgE: interleukin-4, interleukin-5, interleukin-12, interleukin-13, dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Ini dan sitokin
lainnya dihasilkan oleh dua jenis utama limfosit T. Jenis Sel T helper 2 (Th2)
menghasilkan interleukin-4 begitu juga interleukin-5 dan interleukin-13, dua sitokin
yang umengatur produksi IgE. Jenis sel T helper 1 (Th1) menghasilkan terutama
interleukin-12 dan interferon-γ, yang menekan produksi IgE dan merangsang
produksi IgG antibodi.
Mutasi yang mempengaruhi fungsi kawasan promotor dari limfosit kemokin
RANTES (regulated on activation, normal T-cell expressed and secreted) (17q11),
dan peningkatan fungsi polimorfisme di subunit α dari reseptor interleukin-4 (16q12)
telah diidentifikasi pada pasien dengan dermatitis atopik. Polimorfisme gen
mengkode sitokin interleukin-18, yang mengakibatkan pergeseran Th1 dan Th2
terhadap Th1 mediated reseptor (disebut polarisasi Th1), atau polimorfisme gen
mengkode reseptor dari system imun bawaan, mungkin berkontribusi pada
ketidakseimbangan antara Th1 dan Th2 pada dermatitis atopik. Orang dengan
dermatitis atopik, yang ditentukan secara genetis didominasi sitokin Th2,
mempengaruhi pematangan sel B dan penyusunan kembali genomik pada sel-sel
yang mendukung kelas isotipe beralih dari IgM menjadi IgE.
Karena kulit kering dan bersisik adalah gejala dari dermatitis atopik dan
vulgaris ichthyosis,yang paling umum dari keduanya adalah gangguan dominan
autosomal dari keratinisasi, sehingga kedua penyakit genetik ini mungkin tumpang
tindih. Setelah gen filaggrin (FLG) padakromosom 1q21.3, yang mengkodekan
protein penting dalam diferensiasi epidermis, diidentifikasi sebagai gen yang terlibat
di vulgaris ichthyosis, beberapa mutasi gen yang
16
kehilangan fungsi telah diidentifikasi di Eropa pada pasien dengan dermatitis atopik,
dan lainnya, mutasi FLG khas pada pasien Jepang Mutasi juga ditemukan. Mutasi
dari FLG terutama terjadi pada awal-onset dermatitis atopik dan menunjukkan
kecenderungan ke arah asma. Tetapi, tidak ada hubungan antara mutan FLG dan
penyakit alergi saluran nafas tanpa dermatitis atopik. Sejak FLG mutasi diidentifikasi
hanya 30% dari Eropa pasien dengan dermatitis atopik, varian genetik struktur
epidermis lainnya, seperti stratatum yang korneum tryptic enzim atau kolagen
epidermis yang baru, mungkin penting.
Dermatitis atopik adalah penyakit genetik yang kompleks yang timbul dari
interaksi gen-gen dan gen-lingkungan. Penyakit ini muncul dalam konteks dua
kelompok utama gen: gen mengkode epidermis atau struktur protein epitel, dan gen
mengkode unsur utama dari sistem imun.
Anak-anak dengan AD onset awal juga lebih mungkin individu atopik,
ditentukan oleh skin pricktes positif (SPT) atau peningkatan serum imunoglobulin
spesifik-antigen E (IgE) terhadap lingkungan atau allergens makanan. Selain itu,
jumlah SPT positif dan / atau tingkat IgE spesifik berhubungan dengan keparahan
AD. Lima puluh sampai 80% dari anak-anak dengan AD akan mengembangkan
asma atau alergi rhinitis dengan usia 5 tahun. Ini kemajuan temporal gejala dermatitis
atopik dari atopik untuk sensitisasi alergi pada kulit, alergi makanan, jerami demam
(rhinitis alergi) dan kemudian hyperresponsivness napas dan radang saluran nafas
atau asma, telah dinamakan "alergi" , Patogenesis AD masih belom jelas, namun,
sebagai gangguan yang berbeda terlihat pada pasien yang sama mempunyai IgE
spesifik sebagai fitur umum, ini memperlihatkan bahwa AD bisa dilihat sebagai
manifestasi lokal sebuah penyakit sistemik, dimana IgE spesifik memiliki peran
sentral. Jenis AD disebut bentuk ekstrinsik atau atopik dan terdapat 45 sampai 75%
dari individu.
Mekanisme Imunopatologi dari Dermatitis Atopik
Physical Barrier
Sebuah kompartemen epidermis utuh merupakan prasyarat untuk kulit
berfungsi sebagai fisik dan kimia. Barrier itu sendiri adalah stratum korneum, seperti
17
struktur tembok batu dari lapisan atas epidermis. Sebuah perubahan barrier yang
menyebabkan peningkatan kehilangan air transepidermal adalah ciri dari dermatitis
atopik. Lipid Interselular dari lapisan epidermis dihasilkan oleh badan lamelar, yang
diproduksi oleh exocytosis dari keratinosit. Perubahan dalam ekspresi enzim yang
terlibat dalam keseimbangan adhesi struktur epidermis juga akan memberikan
kontribusi untuk menghambat barrier epidermis pada pasien dengan atopic
dermatitis.
Apakah perubahan epidermis ini primer atau sekunder terhadap inflamasi
mendasari tetap tidak jelas sampai immunohisto-chemical dan studi genetik
menyoroti pentingnya mutasi FLG pada dermatitis atopik. FLG berkontribusi pada
sitoskeleton keratin dengan bertindak sebagai template untuk perakitan dari kantung
cornified; bahkan, produk FLG yang rusak berkontribusi terhadap kapasitas
pengikatan air stratum corneum. Varian genetik FLG pada dermatitis atopik yang
tidak memiliki kapasitas untuk membelah proteolytically telah diidentifikasi, tetapi
secara genetis lainnya ditentukan perubahan dari epidermis (misalnya, perubahan di
dalam kantung cornified protein involucrin dan loricrin) atau komposisi lemak juga
akan memberikan kontribusi untuk disfungsi barrier. Peradangan dapat mengubah
ekspresi gen seperti FLG yang terlibat fungsi barrier epidermis, memungkinkan
peningkatan penetrasi transepidermal terhadap allergens lingkungan, dan,
berhubungan dengan pruritus, mendorong peradangan dan sensitisasi.
Sistem Imun Bawaan
Sel epitel pada permukaan antara kulit dan lingkungan adalah garis
pertahanan pertama dari sistem imun bawaan. Mereka dilengkapi dengan berbagai
struktur penginderaan, yang meliputi Toll-like reseptor (TLRs), C-type lectins,
nukceotida-binding oligomerization domain-like reseptor, dan peptidoglykan-
recognition proteins. Sedikitnya 10 TLRs berbeda telah diuraikan dalam manusia,
mereka mengikat bakteri, jamur (baik sel dinding), atau struktur virus (DNA atau
RNA dan karena itu dinamakan cytosin phosphat guanidine [CpG]), dan struktur
18
mikroba lain disebut pola molekul patogen. TLR mediated aktivasi sel epitel
menginduksi produksi defensin dan cathelicidins–antimikrobia peptides.
Kulit menghasilkan cathelicidin LL-37; β-defensin HBD-1, HBD-2, dan
HBD-3; dan dermcidin. Inflamasi lingkungan diprakarsai oleh interleukin-4,
interleukin-13, dan interleukin-10 turunmengatur peptida antimikroba pada kulit
pasien dengan dermatitis atopik. Karena alasan-alasan ini, sulit untuk mengelola
infeksi mikroba pada kulit pasien dengan dermatitis atopik. Lesi dan normal kulit
secara ekstensif dikoloni oleh bakteri seperti Staphylococcus aureus atau seperti
jamur Malassezia. Pasien dengan dermatitis atopik yang cenderung untuk terjadi
eksim herpeticum dan eksim vaccinatum karena penurunan produksi cathelicidin,
yang mempunyai activitas antivirus yang ampuh.
Mekanisme Awal inflamasi Kulit
Dermatitis atopik onset awal biasanya muncul karena tidak adanya IgE-
mediated yang terdeteksi sebagai sensitisasi alergi, dan pada beberapa anak -
kebanyakan perempuan. Mekanisme awal yang menyebabkan peradangan kulit pada
pasien dengan dermatitis atopik tidak diketahui. Mereka bisa memerlukan induksi
neuropeptide, induksi iritasi, atau pruritus sehingga menggaruk, yang melepas
proinflamasi sitokin dari keratinosit, atau mereka bisa sel T- dimediasi tapi reaksi
IgE-independen terhadap alergen muncul pada barrier epidermis terganggu atau
dalam makanan (apa yang disebut food-sensitive dermatitis atopik). Allergen-IgE
spesifik bukan prasyarat, namun, karena patch tes dapat menunjukkan bahwa
aeroallergens terjadi di bawah kulit menyebabkan reaksi positif walaupun ketiadaan
IgE allergen spesifik.
Autoimmun pada Dermatitis Atopik
Disamping IgE antibodi melawan makanan dan aeroallergens, spesimen
serum dari pasien dengan dermatitis atopik berat mengandung IgE antibodi juga
menyerang protein dari
keratinosit dan sel endotel seperti mangan superoksida dismutase dan calciums-
binding protein. Level IgE autoantibodi serum ini berhubungan dengan parahnya
penyakit. Menggaruk mungkin menghasilkan protein intraselular dari keratinosit.
19
Protein ini bisa meniru struktur molekul mikroba dan dengan demikian bisa
menginduksi IgE autoantibodi. Sekitar 25% orang dewasa dengan dermatitis atopik
memiliki antibodi IgE melawan protein sendiri.
Pada pasien ini, onset awal dermatitis atopik, ditandai dengan pruritus hebat,
infeksi kulit bakteri berulang, dan serum IgE tinggi. Selanjutnya, antibodi IgE
menyerang proteinnya sendiri dapat terdeteksi pada pasien dengan dermatitis atopik
segera pada 1 tahun pertama kehidupan. Beberapa autoallergens dalam kulit juga
penginduksi kuat dari respon Th1. Antibodi IgE pada dermatitis atopik dapat
diinduksi oleh alergen lingkungan, tapi IgE antibodi yang menyerang autoantigens di
kulit bias menyebabkan alergi inflamasi terus-menerus. Oleh karena itu, dermatitis
atopik tampaknya berdiri di perbatasan antara alergi dan autoimmunity.
Faktor Predisposisi Dermatitis Atopic
Makanan dan aeroallergens
Sebagian besar reaksi makanan yang dimediasi IgE yang mempengaruhi kulit
merupakan urtikarial. Oleh karena itu kemampuan makanan untuk memperburuk AD
telah dilaporkan. Sekarang ada beberapa studies dikontrol dengan baik menunjukkan
hubungan antara konsumsi makanan dan pengembangan ruam eczematous pada
anak-anak dengan AD. Sekitar 40% anak anak dengan AD sedang hingga parah
memiliki alergi makanan dan konsumsi makanan yang salah akan memperburuk AD.
Alergi makanan yang paling umum yang terkait dengan AD adalah telur ayam. Susu,
gandum, kedelai dan alergi kacang tanah juga dapat memperburuk AD.
Diagnosis alergi makanan masih problema dimana prick tes makanan positif
atau uji serum IgE makanan positif tidak selalu berkorelasi dengan sensitivitas klinis.
Tungau debu rumah adalah aeroallergen paling banyak dipelajari. Penerapan alergi
debu tungau dengan tes patch akan mendorong suatu lesi eczematous pada pasien
sensitive dengan AD. Jadi menghindari allergen makanan dan membatasi pajanan
pada aeroallergens dapat membantu dalam mengurangi gejala AD.
Faktor pencetus Infeksi
20
Pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan kerentanan terhadap bakteri,
virus dan infeksi jamur kulit. Kurang lebih, 90% dari pasien AD menunjukkan
adanya Staphylococcus aureus pada lesi. Exotoxins staphylococcal dapat
mengaktifkan sel Langerhans kulit dan makrofag untuk memproduksi mediator
inflamasi keratinosit termasuk IL-1 dan TNF- α menyebabkan meningkatnya
ekspresi reseptor adhesi sel endotel dan kemokin T yang dapat merekrut sel.
Reseptor adhesi sel endotel kulit, E-selektin berikatan dengan cutaneous lymphocyte
associated antigen (CLA +) sel T memori. CLA + T sel diperkirakan memproduksi
sitokin Th2. Eksotoksin Staphylococcal antibodi IgE spesifik pada pasien AD dapat
mengikat basofil dan sel mast untuk melepaskan histamin menyebabkan gatal pada
kulit.
Kulit pasien AD juga rentan terhadap infeksi kulit virus berikut vaccinia
inokulasi dengan virus. Pasien Dermatitis atopik terutama mereka dengan dermatitis
kepala dan leher, sering dipengaruhi oleh patogen jamur Malassezia furfur. Adanya
antibodi IgE terhadap furfur M. pada pasien ini telah dilaporkan pada pasien dengan
kedua jenis ekstrinsik dan intrinsik AD. Terapi antijamur telah menunjukkan untuk
menjadi menjanjikan dalam subkelompok AD pasien.
Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik
Kriteria Hanifin dan Rajka:Kriteria ini telah digunakan selama bertahun-tahun dan tampaknya tetap relevan dan cukup cermat sehingga tetap dianut. Kriteria AD
tersebut telah dimodifikasi oleh Hanifin pada tahun 1991 sebagaimana yang dicantumkan pada tabel di bawah ini.
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Riwayat flexural dermatitis Kulit kering
Onset di bawah usia 2 tahun Ichthyosis
Adanya rasa gatal/pruris Palmar hyperlinearity
Riwayat asma Keratosis piliaris
Riwayat kulit kering Type I allergy and increased serum IgE
Adanya flexural dermatitis yang tampak Hand and foot dermatitis
Cheilitis
Nipple eczema
21
Presence of S. aureus and Herpes simplex
Perifolicular keratosis
Pityarisis alba
Early age of onset
Recurrent conjunctivitis
Dennie-Morgan intraorbital fold
Keratoconus
Cataract
Orbital darkening
Facial pallor/erythema
Anterior neck folds
Itch when sweating
Omtolerance to wool and lipid solvents
Perifolicular accentuation
Food intolerance
Course influended by environmental and
emotional factors
White dermographism or delayed blanch
Untuk mendiagnosis AD, pasien harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga
kriteria minor.
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit
(hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian
berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok
kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk
pengulangan (repeatability).
Kriteria Hanifin dan Rajka untuk bayi adalah sebagai berikut:
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Riwayat atopi pada keluarga Xerosis/iktiosis/hiperliniaris Palmaris
22
Dermatitis di muka atau ekstensor Aksentuasi perifolikular
Pruritus Fisura belakang telinga
Skuama di skalp kronis
Hanifin dan Rajka juga membuat scoring untuk derajat sakit seperti di bawah ini:
Kondisi Skor
1. Luas Penyakit Fase Anak:
- Kurang dari 9% luas tubuh =1
- 9-36% luas tubuh =2
- Lebih dari 36% luas tubuh =3
Fase Infantil:
- Kurang dari 18% luas tubuh =1
- 18-54% luas tubuh =2
- Lebih dari 54% luas tubuh =3
2. Kekambuhan Lebih dari 3 bulan remisi/tahun =1
Kurang dari 3 bulan remisi/tahun =2
Terus menerus =3
3. Intensitas Gatal ringan, kadang mengganggu tidur
malam
=1
Gatal sedang, sering mengganggu tidur
malam
=2
Gatal hebat, sangat mengganggu tidur
malam
=3
Penentuan derajatnya adalah sebagai berikut:
Nilai Artinya
3.0 – 4.0 Ringan
4.5 – 7.5 Sedang
23
8.0 – 9.0 Berat
Kriteria William
Kelompok kerja Inggris (UK Working Party) yang dikoordinasi oleh William
memperbaiki dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set
kriteria untuk pedoman diagnosis AD yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman
ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam
populasi, sehingga dapat memudahkan dokter Puskesmas membuat diagnosis.
Kriteria William lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak
memasukkan beberapa kriteria minor Hanifin dan Rajka yang hanya didapatkan
pada kurang dari 50% pasien AD, sehingga sering digunakan dalam penelitian di
lapangan (studi epidemiologi).
Tabel Kriteria Williams
Dapat disimpulkan bahwa Kriteria Williams lebih spesifik, sedangkan kriteria
Hanifin-Rajka lebih sensitive.
Penatalaksanaan :
Edukasi :
24
1. Jaga kebersihan tubuh dengan menghindarkan diri dari keringat yang
berlebihan, segera mandi dan ganti pakaian dengan yang bersih jika
berkeringat.
2. Kenakan sarung tangan pada bayi untuk menghindarkan bayi dari
kecenderungan menggaruk bagian yang gatal, agar tidak menimbulkan luka.
3. Hindarkan memakai antibakterial untuk mandi (misal pada sabun mandi)
karena bisa menghilangkan flora normal pada tubuh.
4. Hindari faktor pencetus.
5. Hindari memakai pakaian yang panas.
6. Kondisikan ruangan sesejuk mungkin untuk menghindari keringat berlebihan.
7. Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol,
astringen,pemutih, dll)
8. Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.
9. Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA.
10. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti
menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbul.
11. Menghindarkan stres emosi.
12. Mengobati rasa gatal.
Pengobatan medika mentosa:
Pengobatan topical
1. Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan
penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap
mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara
lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat
dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali
sehari, setelah mandi.
2. Kortikosteroid topikal
25
Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-
hati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi
rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia.
Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila
aktifitas penyakit telah terkontrol. kortikosteroid diaplikasikan intermiten,
umumnya dua kali seminggu.
3. Imunomodulator topikal
A. Takrolimus
Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap 0,03%
untuk anak usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan
jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat.
B. Pimekrolimus
Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan
makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan
yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada
kulit sensitif 2 kali sehari.
4. Preparat terMempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam
bentuk salep hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5% -
10% atau crude coaltar 1% - 5%.
5. Antihistamin
Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam
jangka pendek (1minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi
pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
Pengobatan sistemik
1. Kortikosteroid
26
Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam
waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara
tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan
bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen.
2. Antihistamin
Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus
diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas
penderita dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak
diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir) . Pada
kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral/2 x sehari yang
mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamine H1 dan H2.
3. Anti infeksi
Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S.
aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau
kaltromisin. Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari
selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.
4. Interferon
IFN γ bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi
sel TH1. Pengobatan IFN γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis
karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
5. Siklosporin
Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat
dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat
calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral,
diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh
kembali. Efek sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan
bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
6. Terapi sinar (phototherapy)
27
Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet β atau
kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik
daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan eosinofil
sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara
memblokade fungsi SL dan mengubah produksi sitoksin keratinosit.
7. Probiotik
Pemberian probiotik perinatal akan menurunkan resiko DA pada anak di usia
2 tahun pertama.
Prognosis
Sulit meramalkannya karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang
berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah :
1. DA yang luas pada anak.
2. Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.
3. Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya.
4. Awitan (onset) DA pada usia muda.
5. Kadar IgE serum sangat tinggi.
6. Diperkirakan 30 – 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi
asma bronkiale atau hay fever. Penderita DA mempunyai resiko tinggi untuk
mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.8
28
BAB V
KESIMPULAN
Imunisasi merupakan tindakan atau proses terbentuknya kekebalan tubuh/
imunitas terhadap mikroorganisme tertentu yang merupakan salah satu hal yang
penting dilakukan. Imunitas bisa terjadi secara aktif maupun pasif. Imunitas aktif
bisa dilakukan secara buatan (=vaksinasi), atau secara alamiah, yaitu setelah
seseorang sembuh dari suatu infeksi.
Banyak para orang tua di Indonesia yang masih enggan untuk membawa
anaknya melakukan imunisasi dengan berbagai alasan yang juga merupakan hasil
dari berbagai mispersepsi yang terlanjur ada di masyarakat. Mispersepsi ini
menganggap bahwa imunisasi merupakan kontraindikasi pada beberapa keadaan
salah satunya keadaan atopi misalnya eczema (Dermatitis Atopi) yang merupakan
suatu keadaan hipersensitivitas dan tidak berhubungan dengan efek samping
imunisasi.
Jadi, pada kasus bayi yang terlambat di imunisasi dengan keadaan eczema ini
boleh mendapatkan imunisasi.
29
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. Alergi Pada Anak. [Ikatan Dokter Anak Indonesia Website]. 2009
[cited 2012 September 14]. Available: http://www.idai.or.id/childandhealth.
2. Handoko PP. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2005. p. 138-47.
3. Handoko PP. Penyakit Parasit Hewani. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas kedokteran universitas
Indonesia. Edisi 6. Jakarta: Badan penerbit fakultas kedokteran universitas
Indonesia; 2010. p. 144-5.
4. Dali M. Penatalaksanaan Dermatitis Atopik. J Med Nus 2005; 26: 36-7.
5. Baratawidjaja KG. Rengganis, I. Imunologi Dasar. Edisi 10. Jakarta: Badan
penerbit FKUI; 2012.
6. Wiradharma D, Rusli I, Wiradharma K. Konsep Dasar Vaksinasi. Jakarta:
Sagung Seto; 2012.
7. Bieber T. Atopic Dermatitis. N Engl J Med 2008; 358:1483-94
8. Sularsito SA, Djuanda S. In: Hamzah M, Aisyah S. Dermatitis, editors. Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007.
30
LAMPIRAN
31