AKTIVITAS ANTIFUNGI EKSTRAK DAUN MIANA (Coleus
scutellariodes [L] Benth) PADA PERTUMBUHAN
Candida albicans SECARA IN VITRO
DWI AYU SETIANINGRUM
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antifungi
Ekstrak Daun Miana (Coleus scuttellariodes [L] Benth) pada Pertumbuhan
Candida albicans Secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Dwi Ayu Setianingrum
NIM G84100013
ABSTRAK
DWI AYU SETIANINGRUM. Aktivitas Antifungi Ekstrak Daun Miana (Coleus
scuttellariodes [L] Benth) pada Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro.
Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan SYAEFUDIN.
Miana (Coleus scutellariodes [L] Benth) merupakan salah satu tanaman
obat tradisional dari famili Lamiaceae, mengandung senyawa flavonoid, tanin,
saponin, steroid, dan triterpenoid yang dapat digunakan sebagai antifungi.
Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas antifungi ekstrak daun miana terhadap
C. albicans dan menganalisis senyawa aktif dalam ekstrak daun miana yang
bersifat antifungi terhadap C. albicans. Metode penelitian ini meliputi, ekstraksi
menggunakan air, etanol 70%, dan aseton, uji aktivitas antifungi dengan metode
difusi sumur agar dan identifikasi senyawa aktif ekstrak penghambatan terbaik
dengan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Hasil uji
menunjukkan bahwa ekstrak aseton konsentrasi 400 mg/mL memiliki aktivitas
penghambatan tertinggi dengan diameter zona hambat sebesar 4.66 mm, termasuk
dalam kategori lemah, sedangkan ekstrak air dan etanol 70% tidak menunjukkan
adanya aktivitas antifungi. Kontrol positif nistatin konsentrasi 1.028 mg/mL lebih
efektif dalam menghambat C. albicans. Nilai konsentrasi hambat tumbuh
minimum ekstrak aseton sebesar 1.56 mg/mL. Hasil identifikasi ekstrak aseton
dengan GC-MS diperoleh senyawa fitol sebesar 41.29%.
Kata kunci: antifungi, Candida albicans, Coleus scutellariodes
ABSTRACT
DWI AYU SETIANINGRUM. Antifungal Activity of Coleus scuttellariodes [L]
Benth Leaves Extract on Candida albicans In Vitro. Supervised by MARIA
BINTANG and SYAEFUDIN.
Miana (Coleus scuttellariodes [L] Benth) is one of the traditional medicine
from family Lamiceae having flavonoids, tannins, saponins, steroids, and
triterpenoids compound those can be used as antifungal. The objectives of this
research were to examine the antifungal activity of Coleus scuttellariodes [L]
Benth leaves extract against C. albicans and to analyze the active compounds in
Coleus scuttellariodes [L] Benth leaves extract that has potential as an antifungal
against C. albicans. The methods of this research were extraction with aquades,
etanol 70%, and acetone, antifungal activity test by agar well diffusion and
identification of active compound extract with the best inhibition in antifungal
activity with Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). The result
showed that acetone extract 400 mg/mL had the highest inhibition activity with
the zone of 4.66 mm included in the low category, meanwhile aquades and etanol
70% extract did not show antifungal activity. Positive control nystatin
concentration of 1.028 mg/mL is more effective in inhibiting of C. albicans.
Minimum inhibition concentration value of acetone extract was 1.56 mg/mL.
Identification of acetone extract with GC-MS result phytol in amount of 41.29%.
Keywords: antifungal, Candida albicans, Coleus scutellariodes
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia
AKTIVITAS ANTIFUNGI EKSTRAK DAUN MIANA (Coleus
Scutellariodes [L] benth) PADA PERTUMBUHAN
Candida albicans SECARA IN VITRO
DWI AYU SETIANINGRUM
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Aktivitas Antifungi Ekstrak Daun Miana (Coleus scutellariodes [L]
benth) pada Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro
Nama : Dwi Ayu Setianingrum
NIM : G84100013
Disetujui oleh
Prof Dr drh Maria Bintang, MS
Pembimbing I
Syaefudin, SSi, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul
Aktivitas Antifungi Ekstrak Daun Miana (Coleus scuttellariodes [L] Benth) pada
Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro. Penelitian ini dilakukan sejak
bulan Desember 2013 sampai April 2014, bertempat di Laboratorium Departemen
Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam; Laboratorium
Mikrobiologi Medik, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor; dan
Laboratorium Pengujian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof Dr drh Maria Bintang, MS
dan Syaefudin, SSi, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
motivasi, dan saran selama penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga atas
segala perhatian, doa, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada seluruh staf laboratorium Biokimia, Pak Agus, kak Merry dan rekan kerja
penelitian (Zia, Puji, dan Nazula) atas bantuan dan saran yang diberikan selama
pelaksanaan penelitian dan beasiswa Yayasan Amanah IPB yang telah membantu
dalam biaya penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan
Biokimia 47, Sabriners, serta sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu
persatu atas segala bantuan, saran, dan motivasi yang diberikan. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Dwi Ayu Setianingrum
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat 2 Metode 2
HASIL
Kadar Air, Kadar Abu dan Rendemen Simplisia Daun Miana 6 Analisis Fitokimia 6
Aktivitas Antifungi Ekstrak Daun Miana 6 Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) 7 Identifikasi Senyawa Ekstrak Aseton 8
PEMBAHASAN
Kadar Air, Kadar Abu dan Rendemen Simplisia Daun Miana 9 Analisis Fitokimia 10 Aktivitas Antifungi dan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum Ekstrak
Daun Miana 11 Identifikasi Senyawa Ekstrak Aseton 12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 13 Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14
RIWAYAT HIDUP 23
DAFTAR TABEL
1 Kondisi alat GC-MS 5 2 Hasil analisis proksimat simplisia dan rendemen ekstrak daun miana 6 3 Hasil analisis fitokimia 6
DAFTAR GAMBAR
1 Diameter zona hambat Candida albicans ekstrak aseton 7 2 Diameter zona hambat minimum Candida albicans ekstrak aseton 8 3 Kromatogram komponen ekstrak aseton dengan GC-MS 9
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kadar air simplisia daun miana 17 2 Kadar abu simplisia daun miana 17 3 Rendemen ekstrak daun miana 17 4 Uji aktivitas antifungi ekstrak daun miana terhadap Candida albicans 18 5 Uji KHTM ekstrak aseton daun miana terhadap C. albicans 18 6 Foto uji aktivitas antifungi ekstrak daun miana 18 7 Foto uji KHTM ekstrak aseton 19 8 Uji fitokimia ekstrak daun miana 20 9 Hasil analisis statistika uji aktivitas antifungi dan uji KHTM ekstrak
aseton daun miana 21 10 Komponen ekstrak aseton dengan GC-MS 22
PENDAHULUAN
Infeksi fungi merupakan masalah kesehatan yang dihadapi di seluruh dunia
dan terus mengalami peningkatan terutama di negara-negara berkembang. Fungi
tumbuh subur di daerah beriklim tropis dengan kelembaban tinggi seperti
Indonesia. Salah satu fungi penyebab penyakit infeksi pada wanita adalah
Candida albicans. Candida albicans merupakan fungi patogen yang paling
banyak menyebabkan candidiasis vaginalis dengan gejalanya ditandai adanya
keputihan yang kadang-kadang disertai gatal atau iritasi vulva (Soemiati dan
Berna 2002). Candida albicans juga dapat menyerang organ-organ lain seperti
mulut, kulit, kuku, paru-paru, saluran pencernaan, saluran kemih, jantung dan
selaput otak. Sebanyak 75% dari jumlah wanita di Indonesia diperkirakan akan
menderita candidiasis vaginalis minimal sekali dalam hidupnya, dimana 40-45%
dari penderita tersebut akan mengalami infeksi berulang dua kali atau lebih
(Sundari dan Winarno 1996; Lanchers et al. 2000; Ferrer 2000). Menurut Noer
(2007) menyatakan bahwa sebanyak 51.8% remaja wanita memiliki kesadaran
yang rendah terhadap penyakit keputihan. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang
tepat untuk mengatasi penyakit ini.
Selama ini pengobatan penyakit yang disebabkan oleh infeksi fungi
menggunakan antibiotik seperti derivat imidazol, derivat triazol, nistatin, dan
amfoterisis B (Rochani 2009). Namun penggunaan antibiotik tersebut dapat
menyebabkan resistensi dan menimbulkan efek samping. Hal inilah yang menjadi
salah satu faktor bagi masyarakat beralih ke pengobatan alternatif menggunakan
bahan alam atau obat tradisional. Salah satu tanaman yang dimanfaatkan sebagai
obat tradisional adalah tanaman miana (Coleus scuttellariodes [L] Benth).
Batang dan daun miana mengandung minyak atsiri (karvakol, eugenol, dan
etil salisilat), fenol, tanin, lemak, dan fitosterol (Winarto 2007). Tanaman miana
juga memiliki senyawa aktif seperti flavonoid, steroid, tanin, dan saponin
(Ridwan dan Yunani 2007). Tanaman ini mempunyai banyak manfaat dibidang
kesehatan terutama bagian daunnya. Secara empiris masyarakat sudah
menggunakan air rebusan daun miana sebagai obat keputihan, selain itu tanaman
ini juga telah dikenal luas sebagai obat sakit demam, nifas, wasir, bisul, borok,
luka bernanah, penambah nafsu makan dan peluruh haid (Wijayakusuma et al.
1996). Penelitian terdahulu melaporkan bahwa daun miana memiliki aktivitas
antibakteri (Rahmawati 2008), anticestoda (Ridwan dan Yunani 2007), dan
antioksidan (Hardiyanti et al. 2013).
Penghambatan Candida albicans oleh ekstrak tumbuhan diduga oleh
komponen bioaktif yang terkandung didalamnya, seperti flavonoid, saponin,
alkaloid (Bidarigh et al. 2011). Daun miana juga memiliki senyawa aktif yang
diduga berpotensi dapat menekan pertumbuhan jamur Candida albicans. Hingga
saat ini, belum ada penelitian yang menyebutkan khasiat daun miana sebagai
antifungi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas
ekstrak daun miana (Coleus scuttellariodes [L] Benth) dalam menghambat
pertumbuhan Candida albicans. Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas
senyawa antifungi ekstrak daun miana terhadap Candida albicans dan
menganalisis` senyawa aktif dalam ekstrak daun miana yang bersifat antifungi
terhadap C. albicans.
2
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah daun miana yang tua (3-5 helai dari
pucuk) yang diperoleh dari BALITRO-Bogor, kultur Candida albicans INACC
Y116 yang diperoleh dari LIPI Cibinong-Bogor, media Potato Dextrose Agar
(PDA), NaCl 0.9%, kertas saring, alumunium foil, kloroform, amoniak, pereaksi
Dragendorf, pereaksi Mayer, perekasi Wagner, H2SO4 2M, H2SO4 pekat, dH2O,
metanol, eter, asam asetat anhiridat, FeCl3 1 % (b/v), etanol 70 %, etanol 30 %,
aseton, standar McFarland (3), nistatin Phapros, dan dimetilsulfoksida (DMSO)
5%. Alat-alat yang digunakan meliputi alat-alat gelas, pipet volumetrik, pipet
mikro, pipet tetes, cawan Petri, cawan porselin, wadah plastik, oven, autoklaf,
inkubator, rotavapor eyela osb-2100, laminar air flow cabinet, lemari pendingin,
eksikator, vortex vibrofix vf1, penangas air, neraca analitik, shaker, lup inokulasi,
tanur, bunsen, tabung Durham, mesin penggiling, dan GC-MS-QP2010
SHIMIDAZU.
Metode
Preparasi Sampel
Daun miana yang digunakan dalam penelitian adalah daun miana tua yang
diperoleh dari 3-5 helai dari pucuk tanaman dengan bentuk daun yang sempurna
dan berwarna merah keunguan, atau merah gelap. Sampel daun segar diambil
sebanyak 2 kg. Daun miana dicuci dengan air bersih dan ditiriskan dalam wadah
plastik, selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 50oC selama 4-5 hari
sampai diperoleh berat akhirnya yang konstan. Daun miana kering dihaluskan
dengan menggunakan mesin penggiling hingga menjadi serbuk halus berukuran
100 mesh. Simplisia yang didapat dibungkus dengan plastik dan disimpan untuk
pengujian selanjutnya.
Penetapan Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan porselin dikeringkan di dalam oven bersuhu 105oC selama 1 jam,
kemudian didinginkan dalam eksikator selama 15 menit. Cawan porselin yang
telah dingin selanjutnya ditimbang untuk menentukan bobot kosongnya. Sebanyak
2 gram serbuk daun miana dimasukan ke dalam cawan porselin, kemudian
dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam dengan suhu 105oC. Cawan selanjutnya
didinginkan dalam eksikator selama 15 menit, cawan beserta isinya ditimbang.
Perlakuan dilakukan berulang kali sampai diperoleh bobot yang konstan.
Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Kadar air dapat dihitung
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Kadar Air = × 100%
Keterangan
a = bobot sampel sebelum dikeringkan (g)
b = bobot sampel setelah dikeringkan (g)
3
Penetapan Kadar Abu (AOAC 2006)
Penetapan kadar abu diawali dengan memasukkan cawan porselin ke dalam
tanur dengan suhu 550oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam eksikator
selama 15 menit. Selanjutnya bobot cawan ditimbang. Sebanyak 2 g serbuk daun
miana dimasukkan ke dalam cawan lalu dipanaskan diatas bunsen sampai tidak
berasap lagi. Selanjutnya sampel dimasukakan ke dalam tanur dengan suhu 600oC
dan dibiarkan selama 6 jam. Pemanasan sampai diperoleh abu berwarna putih
keabu-abuan. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot sampel yang
konstan. Penentuan kadar abu dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Penentuan
kadar abu dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
Kadar Abu = × 100 %
Keterangan
a = bobot cawan + sampel setelah dikeringkan (g)
b = bobot cawan sebelum dikeringkan (g)
c = bobot sampel basah (g)
Pembuatan Ekstrak Etanol 70 %, Air (BPOM 2004), dan Ekstrak Aseton
Daun Miana (Modifikasi Rahmawati 2008)
Simplisia daun miana yang diperoleh diekstraksi dengan metode maserasi
(etanol 70 % dan aseton) dan perebusan (air). Ekstraksi menggunakan metode
maserasi, sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan masing-masing pelarut
etanol 70% dan aseton dengan perbandingan 1:10 (b/v), dimasukkan ke dalam
erlenmeyer direndam selama 24 jam sambil digoyang-goyangkan dengan shaker.
Ekstraksi menggunakan pelarut air dengan cara merebus simplisia sebanyak 10 g
pada air mendidih. Simplisia dicampurkan ke dalam air mendidih dengan
perbandingan 1:10 (b/v), kemudian direbus pada suhu 100oC sampai mendidih.
Filtrat hasil maserasi dan perebusan disaring. Perlakuan maserasi dan perebusan
(menggunakan sampel daun, bekas sebelumnya) diulang hingga 2 kali. Filtrat
hasil rebusan dan maserasi dikumpulkan dan kemudian dipekatkan dengan
rotavapor sampai diperoleh sampel yang menyerupai pasta. Pembuatan ekstrak
dilakukan dengan 3 kali ulangan, lalu rendemen yang diperoleh dirata-ratakan.
Rendemen (%) = × 100%
Analisis Fitokimia (Harbone 1987)
Uji Alkaloid. Sebanyak 0.05 g ekstrak ditambahkan 10 mL kloroform dan 3
tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 2 tetes H2SO4
2 M. fraksi asam dibagi menjadi 3 tabung dan masing-masing tabung
ditambahkan dengan pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner sebanyak 3 tetes.
Sampel positif mengandung alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih,
merah dan coklat untuk perekasi Mayer, Dragendorf, dan Wagner.
Uji Flavonoid. Sebanyak 0.05 g ekstrak ditambahkan dengan 5 mL metanol
30%, kemudian dipanaskan pada suhu 50oC selama 5 menit. Filtrat yang terbentuk
ditambahkan dengan 3 tetes H2SO4 pekat. Adanya flavonoid ditunjukkan dengan
terbentuknya endapan warna merah.
4
Uji Saponin. Sebanyak 0.05 g ekstrak ditambahkan dengan 5 mL air
kemudian dipanaskan selama 5 menit. Selanjutnya sampel dikocok selama 5 menit.
Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang stabil setelah
didiamkan selama 10 menit.
Uji Tanin. Sebanyak 0.05 g ekstrak ditambahkan dengan 5 mL air,
kemudian didihkan selama 5 menit. Larutan selanjutnya disaring, filtrat yang
diperoleh ditambahkan dengan 5 tetes FeCl3 1 % (b/v). Adanya warna biru tua
atau hitam yang terbentuk menunjukkan adanya tanin.
Uji triterpenoid dan Steroid. Sebanyak 0.05 g ekstrak ditambahkan
dengan 5 mL etanol 30 %, kemudian dipanaskan pada suhu 50oC selama 5 menit.
Sampel disaring, filtrat yang diperoleh diuapkan hingga kering. Residu ditambah
0.5 mL eter dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan
pereaksi Liebermann Burchard (3 tetes asam asetat anhiridat dan 1 tetes H2SO4
pekat). Adanya triterpenoid ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu,
sedangkan adanya steroid ditunjukkan dengan warna hijau atau biru.
Pembuatan Media
Media Potato Dextrose Agar (PDA) ditimbang sebanyak 3.9 g lalu
dicampurkan dengan 100 mL air dalam tabung bertutup. Larutan dibuat homogen
dengan cara diaduk sambil dipanaskan. Media yang masih dalam keadaan cair,
kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada tekanan 2 atm pada suhu 121°C
selama 15 menit.
Peremajaan Kultur C. albicans (Ghozali et al. 2009)
Kultur C. albicans diperoleh dari LIPI Cibinong, Bogor yang telah
dibiakkan dalam media Potato Dextrose agar (PDA). Biakan C. albicans diambil
satu ose lalu digoreskan pada permukaan media PDA dalam cawan Petri. Biakan
C. albicans lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam sampai terbentuk
koloni bulat putih.
Uji Aktivitas Antifungi Metode Sumur Agar (Bintang 1993) dan Konsentrasi
Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)
Koloni C. albicans yang telah diremajakan disuspensikan dalam 9 mL
larutan NaCl fisiologis 0.9% dan kepekatannya dibandingkan dengan standar
larutan McFarland (3). Suspensi tersebut memiliki konsentrasi sebesar 6×109
cfu/mL (colony forming unit/mL). Tahapan selanjutnya, dibuat konsentrasi
suspensi 6×108
cfu/mL menggunakan teknik pengenceran berseri, diambil 1 mL
konsentrasi 6×109 cfu/mL lalu dimasukkan dalam 9 mL NaCl fisiologis 0.9%.
Larutan yang diujikan yaitu suspensi C. albicans konsentrasi 6×106 cfu/mL.
Sebanyak 200 µL kultur C. albicans konsentrasi 6×108 cfu/mL dimasukkan ke
dalam tabung berisi media PDA yang masih cair dengan suhu 50-55°C hingga
volumenya 20 mL dan konsentrasinya menjadi 6×106 cfu/mL. Media yang telah
berisi kultur selanjutnya dihomogenkan dan dituang dalam cawan Petri steril.
Media didiamkan hingga memadat selama 30 menit, setelah memadat agar
dilubangi dengan menggunakan tabung durham steril (diameter ± 5 mm). Ekstrak
daun miana yang akan diujikan dengan masing-masing konsentrasi 400 mg/L, 200
mg/L, 100 mg/L, 50 mg/L, dan 12,5 mg/L dimasukkan ke dalam lubang tersebut
sebanyak 50 µL dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Sebagai
5
standar positif, dimasukkan 50 µL nistatin 1.028 mg/mL. Adapun standar negatif
dimasukkan 50 µL pelarut dari masing-masing ekstrak. Aktivitas antifungi
ditentukan dengan pengukuran zona bening di sekitar lubang yang berisi ekstrak
sampel menggunakan jangka sorong dengan dua kali pengukuran diameter dan
hasilnya dirata-ratakan. Pengujian setiap ekstrak dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan dan hasilnya dirata-ratakan. Ekstrak yang memiliki aktivitas antifungi,
selanjutnya ditentukan konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM). Uji
KHTM ekstrak aseton dilakukan dengan menurunkan konsentrasi ekstrak menjadi
6.25 mg/mL, 3.125 mg/mL, 1.56 mg/mL, 0.78 mg/mL, 0.39 mg/mL, dan 0.19
mg/mL dengan prosedur yang sama pada uji aktivitas antifungi yang telah
dilakukan sebelumnya. KHTM ditentukan pada konsentrasi terkecil yang
menunjukkan zona hambat tumbuh C. albicans.
Analisis GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry)
Identifikasi senyawa yang memiliki aktivitas antifungi dilakukan
menggunakan pirolisis kromatografi gas spektrometri massa (Py-GC-MS).
Ekstrak yang diidentifikasi dengan Py-GC-MS adalah ekstrak yang memiliki
aktivitas antifungi yang paling besar, dalam penelitian ini adalah ekstrak aseton.
Sampel yang dinalisis langsung dimasukkan ke dalam tempat contoh. Sebelum
dilakukan analisis GC-MS sampel masuk dalam pirolisis unit dan dipanaskan
dalam lingkungan bebas oksigen pada suhu 280oC. tahapan ini menghasilkan
panas yang dimediasi pembelahan ikatan kimia dalam struktur makromolekul dan
menghasilkan berat molekul rendah dengan komposisi yang mengindikasikan
jenis spesifik makromolekul. Campuran senyawa kemudian masuk ke kolom
analisis GC-MS. Kondisi alat Py-GC-MS untuk analisis ini ditunjukkan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Kondisi alat GC-MS
Spesifikasi Keterangan
Merek Shimadzu Type GCMS-QP2010
Gas Helium
Detektor FID (Flame Ionization Detector)
Kolom Capiler Type Phase Rtx-5MS; 60 m; 0.25 mmID
Suhu kolom 50oC
Tekanan (kPa) 100
Laju alir kolom (mL/min) 0.85
Rasio pemisahan 112.3
Suhu injektor SPL 280oC
Suhu jarak MS 280oC
Suhu sumber ion 200oC
Suhu pirolisis 280oC
Analisis Statistika (Matjik 2002)
Analisis statistika yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan
percobaan dua faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang
diperoleh dianalisis dengan metode ANOVA (analysis of variance) pada tingkat
kepercayaan 95% dan taraf α = 0.05 dengan perangkat lunak Statistical
Programme for Social Science (SPSS) 16. Jika terdapat perbedaan yang nyata
antar perlakuan akan ditindaklanjuti dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
6
HASIL
Kadar Air, Kadar Abu dan Rendemen Simplisia Daun Miana
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa simplisia daun miana
memiliki kadar air sebesar 3.31±1.02% dan kadar abu sebesar 10.16±0.41%.
Ekstraksi daun miana menggunakan tiga pelarut yaitu air, etanol 70 %, dan aseton
menghasilkan nilai rendemen yang berbeda-beda pada setiap pelarut. Nilai
rendemen terbesar dihasilkan oleh pelarut air yaitu 18.63±0.33%, diikuti dengan
pelarut etanol 70 %, dan aseton (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil analisis proksimat simplisia dan rendemen ekstrak daun miana
Sampel Kadar Air
Simplisia (%) Kadar Abu
Simplisia (%) Pelarut Rendemen (%)
Daun Miana 3.31±1.02 10.16±0.41
Air 18.63±0.33
Etanol 70 % 17.25±0.20
Aseton 9.10±0.15
Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa
metabolit sekunder dalam ekstrak secara kualitatif. Hasil analisis fitokimia
ekstrak daun miana menggunakan pelarut air, etanol 70% dan aseton
menunjukkan hasil positif adanya senyawa flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid,
dan steroid, sedangkan tidak terdeteksi untuk senyawa alkaloid (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil analisis fitokimia
Jenis uji Air Etanol 70 % Aseton Alkaloid - - -
Flavonoid + - - Saponin + + + Tanin + + +
Triterpenoid - + - Steroid - - +
Keterangan: + (terdapat senyawa), - (tidak terdapat senyawa)
Aktivitas Antifungi Ekstrak Daun Miana
Pengujian aktivitas antifungi ekstrak daun miana dilakukan terhadap
pertumbuhan Candida albicans. Hasil uji aktivitas antifungi ekstrak daun miana
menunjukkan bahwa hanya ekstrak aseton yang menghasilkan zona hambat yang
menunjukkan terdapat aktivitas antifungi, sedangkan untuk ekstrak air dan etanol
70% tidak menghasilkan zona hambat yang menunjukkan tidak terdapat aktivitas
antifungi (Lampiran 4). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 1,
peningkatan konsentrasi ekstrak aseton yang diujikan berbanding lurus dengan
7
diameter zona hambat yang terbentuk. Nilai aktivitas antifungi tertinggi terdapat
pada ekstrak aseton dengan konsentrasi 400 mg/mL menghasilkan zona hambat
sebesar 4.66 mm dan masih termasuk dalam kategori lemah. Kontrol positif
menggunakan nistatin dengan konsentrasi 1.028 mg/mL terbukti menghambat
pertumbuhan C.albicans dengan menghasilkan zona hambat sebesar 15.84 mm.
Nistatin menghasilkan zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak
aseton daun miana pada semua konsentrasi yang diujikan, hal ini menunjukkan
bahwa nistatin lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan C. albicans. Kontrol
negatif menggunakan pelarut masing-masing ekstrak antara lain air (ekstrak air),
DMSO 5% (ekstrak etanol 70%), dan aseton (ekstrak aseton) tidak membentuk
zona hambat yang menunjukkan tidak terdapat aktivitas antifungi.
Analisis statistik menunjukkan bahwa ekstrak aseton pada konsentrasi 25
mg/mL tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan konsentrasi 50 mg/mL tetapi
berbeda nyata dengan (P<0.05) dengan konsentrasi 100 mg/mL, 200 mg/mL, dan
400 mg/mL. Ekstrak aseton konsentrasi 100 mg/mL tidak berbeda nyata (P<0.05)
dengan konsentrasi 200 mg/mL tetapi berbeda nyata (P<0.05) dengan konsentrasi
25 mg/mL, 50 mg/mL, dan 400 mg/mL. Ekstrak aseton konsentrasi 400 mg/mL
tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan konsentrasi 200 mg/mL tetapi berbeda nyata
(P<0.05) dengan konsentrasi 25 mg/mL, 50 mg/mL, dan 100 mg/mL. Kontrol
positif nistatin konsentrasi 1.028 mg/mL berbeda nyata (P<0.05) dengan ekstrak
konsentrasi 25 mg/ml, 50 mg/mL, 100 mg/mL, 200 mg/mL, dan 400 mg/mL.
Gambar 1 Diameter zona hambat Candida albicans ekstrak aseton
Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)
Penentuan konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) dilakukan untuk
menentukan konsentrasi terkecil pada ekstrak aseton daun miana yang dapat
menghambat pertumbuhan C. albicans. Ekstrak air dan ekstrak etanol 70% tidak
dilakukan pada pengujian ini dikarenakan kedua ekstrak tidak menunjukkan
aktivitas antifungi. Nilai KHTM ekstrak aseton daun miana terhadap C. albicans
adalah 1.56 mg/mL (Lampiran 5).
Analisis statistik menunjukkan bahwa ekstrak aseton pada konsentrasi 1.56
mg/mL tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan konsentrasi 3.125 mg/mL tetapi
berbeda nyata (P<0.05) dengan konsentrasi 6.25 mg/mL dan 12.5 mg/mL. Ekstrak
2.08±0.09b
2.76±0.14b 3.76±0.15c
4.19±0.06cd 4.66±0.03d
15.84±1.03e
0±0a
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
25 50 100 200 400 Nistatin
1.028
Aseton
Dia
met
er Z
on
a H
am
ba
t (m
m)
Konsentrasi (mg/mL)
8
aseton pada konsentrasi 3.125 mg/mL tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan
konsentrasi 1.56 mg/mL, 6.25 mg/mL dan 12.5 mg/mL. Konsentrasi ekstrak
aseton 0.19 mg/mL, 0.39 mg/mL, dan 0.78 mg/mL tidak menghasilkan zona
hambat terhadap C. albicans. Kontrol positif nistatin konsentrasi 1.028 mg/mL
berbeda nyata (P<0.05) dengan ekstrak aseton konsentrasi 1. 56 mg/mL, 3.125
mg/mL, 6.25 mg/mL, dan 12.5 mg/mL. Kontrol positif nistatin konsentrasi 1.028
mg/mL menghasilkan zona hambat C. albicans sebesar 15.98 mm lebih besar
dibandingkan dengan ekstrak aseton daun miana pada semua konsentrasi yang
diujikan (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa nistatin masih lebih efektif
dibandingkan dengan ekstrak aseton dalam menghambat pertumbuhan C. albicans.
Gambar 2 Diameter zona hambat minimum Candida albicans ekstrak aseton
Identifikasi Senyawa Ekstrak Aseton
Ekstrak aseton daun miana yang memiliki aktivitas antifungi dianalisis
komponen senyawa yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan pirolisis
kromatografi gas spektrometri massa. Kromatogram hasil analisis ekstrak aseton
daun miana dengan GC memperlihatkan 25 puncak seperti yang ditunjukkan
dalam Gambar 3. Masing-masing puncak diidentifikasi lebih lanjut dengan
spektrometer massa, dimana setiap senyawa memiliki pola fragmentasi massa
yang spesifik. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan spektrum massa
masing-masing puncak dengan senyawa-senyawa yang sudah diketahui dan
terprogram dalam database GC-MS, sehingga dapat diduga senyawa-senyawa
penyusun ekstrak aseton daun miana.
Berdasarkan data dari GC-MS, ekstrak aseton daun miana mengandung 15
senyawa aktif. Senyawa-senyawa utama yang teridentifikasi merupakan golongan
senyawa terpenoid dan alkana. Senyawa tepenoid tersebut yaitu 2-Heksadesen-1-
ol, 3,7,11,15-tetrametil (CAS) fitol pada puncak ke 5, 7, dan 10 dengan masing-
masing konsentrasi sebesar 29.21%, 12.08%, dan 0.60% sehingga secara
keseluruhan konsentrasinya sebesar 41.29% dan neofitadiena pada puncak ke 6
dan 11 dengan konsentrasi berturut-turut 6.94% dan 12.75% sehingga secara
keseluruhan konsentrasinya sebesar 19.69%, dan senyawa golongan alkana yang
teridentifikasi adalah tetratetrakontan (CAS) n-tetratetrakontan pada puncak ke 18,
0±0a 0±0a 0±0a 1.18±0.05b
1.42±0.13bc
1.63±0.05c
1.71±0.03c
15.98±0.52d
0±0a
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0.19 0.39 0.78 1.56 3.125 6.25 12.5 Nistatin
1.028
Aseton
Dia
met
er Z
on
a H
am
ba
t (m
m)
Konsentrasi (mg/mL)
9
19, 20, 22, 23, 24, dan 25 dengan total konsentrasi sebesar 18.37%. Senyawa aktif
lain yang teridentifikasi namun dalam jumlah yang lebih sedikit, diantaranya
senyawa hidrokarbon, asam lemak, aldehid, dan vitamin E (Lampiran 10).
Gambar 3 Kromatogram komponen ekstrak aseton dengan GC-MS
PEMBAHASAN
Kadar Air, Kadar Abu dan Rendemen Simplisia Daun Miana
Daun miana yang digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu dikeringkan
dan ditentukan kadar air dan kadar abunya. Penentuan kadar air perlu dilakukan
untuk mengetahui jumlah kandungan air dalam bahan. Kadar air berkaitan dengan
mutu bahan selama masa penyimpanan. Pengeringan sampel dimaksudkan untuk
menghindari kontaminasi mikroba. Mikroba memerlukan air untuk
mempertahankan hidupnya. Kadar air yang tinggi dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikroba dan dapat merusak serta menurunkan aktivitas biologi
bahan selama masa penyimpanan (Harjadi 1993). Kadar air yang baik dalam
bahan adalah kurang dari 10% (Depkes 2008). Bahan dengan kadar air rendah
tersebut dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan
kemungkinan bahan rusak oleh mikroba saat penyimpanan sangat kecil.
Kadar air rerata simplisia daun miana yang diperoleh pada penelitian adalah
3.31±1.02%. Nilai ini diperoleh dengan tiga kali ulangan (Lampiran 1). Nilai
kadar air tersebut berarti bahwa dalam setiap 100 gram bahan terdapat 3.31 gram
air. Kadar air dengan nilai kurang dari 10% ini menunjukkan bahan serbuk daun
miana kering dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Penelitian
pendahuluan yang dilakukan oleh Rahmawati (2008) diperoleh kadar air simplisia
daun miana 21.09%. Perbedaan yang dihasilkan dari penelitian dapat disebabkan
oleh habitat dan kelembaban tempat tumbuhnya tanaman miana, tanaman miana
yang digunakan dalam penelitian juga berasal dari rumpun yang berbeda, selain
itu jumlah air yang terkandung dalam bahan juga sering tergantung dari perlakuan
yang telah dialami bahan.
10
Penentuan kadar abu dilakukan untuk menentukkan adanya kandungan
mineral/senyawa anorganik dalam suatu bahan. Pembakaran dengan suhu yang
tinggi yaitu 600oC akan menghancurkan senyawa-senyawa organik ke dalam
bentuk gas yang mudah terbang, sedangkan mineral sebagai senyawa anorganik
akan tertinggal dalam bentuk abu yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif
dan kuantitatif. Kadar abu simplisia daun miana pada penelitian adalah
10.16±0.41% maka komponen anorganik dari simplisia berkisar 10.16% dari
bobot keseluruhan. Kadar abu yang diperoleh dari penelitian tidak berbeda jauh
dari penelitian Rahmawati (2008) sebesar 8.52%. Daun miana yang akan diekstraksi terlebih dahulu dibuat serbuk dengan
ukuran 100 mesh sehingga dapat meningkatkan efektivitas ekstraksi. Ukuran luas
permukaan bahan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi laju reaksi.
Semakin kecil atau halus ukuran bahan yang digunakan maka semakin luas bidang
kontak antara bahan dengan pelarutnya, sehingga semakin meningkatkan
efektivitas ekstraksi (Tuyet dan Chuyen 2007). Ekstraksi daun miana dilakukan menggunakan tiga pelarut yaitu air, etanol
70%, dan aseton. Pemilihan pelarut berdasarkan pada prinsip kelarutan “like
dissolve like” artinya senyawa polar hanya larut dalam pelarut polar dan begitu
pula sebaliknya untuk senyawa-senyawa bersifat nonpolar. Air dan etanol 70 %
dipilih berdasarkan ketertarikan senyawa aktif yang diduga berkhasiat
antimikroba yang ingin diambil dari daun miana, yakni flavonoid, tanin, dan
saponin. Aseton dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan Rahmawati (2008)
terhadap aktivitas antibakteri daun miana menunjukkan bahwa ekstraksi dengan
metode maserasi menggunakan pelarut aseton menghasilkan aktivitas antibakteri
paling besar dibandingkan dengan pelarut air dan heksan.
Rendemen merupakan komponen senyawa bioaktif dalam daun miana yang
terekstrak dengan pelarut yang digunakan. Rendemen hasil ekstraksi
menghasilkan nilai yang berbeda-beda sesuai dengan pelarut yang digunakan.
Pelarut air mampu menarik senyawa aktif dalam daun miana lebih banyak
dibandingkan dengan etanol 70% dan aseton. Perbedaan rendemen tersebut terjadi
karena terdapat perbedaan sifat kepolaran antara air, etanol 70%, dan aseton.
Menurut markom et al. (2007), aseton, etanol 70%, dan air memiliki indeks
Snyder (polaritas pelarut) yang semakin meningkat dengan nilai berturut-turut 5.4,
7.3, dan 9.0. Hal ini menunjukkan bahwa air memiliki sifat lebih polar
dibandingkan dengan etanol 70% dan aseton, dan etanol 70% memiliki sifat lebih
polar dibandingkan dengan aseton. Rendemen ekstrak air yang lebih tinggi
dibandingkan dengan rendemen ekstrak etanol 70% dan aseton menunjukkan
bahwa senyawa metabolit sekunder pada daun miana diduga lebih banyak yang
bersifat polar.
Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia merupakan analisis kualitatif untuk mengetahui
kandungan senyawa metabolit sekunder pada suatu tanaman. Senyawa-senyawa
metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak daun miana diantaranya flavonoid,
saponin, tanin, triterpenoid dan steroid sedangkan tidak terdeteksi untuk senyawa
alkaloid. Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian Safriani (2014) yang
menyatakan bahawa ekstrak daun miana dengan metode analisis fitokimia yang
11
sama dan tempat pengambilan daun yang sama yaitu di daerah Bogor
mengandung adanya senyawa tanin, saponin, dan triterpenoid, tetapi tidak
terdeteksi adanya senyawa flavonoid dan steroid. Perbedaan ini diduga
dikarenakan morfologi daun yang berbeda dimana pada penelitian ini memiliki
daun yang lebih lebar dan besar, daun miana juga berasal dari rumpun tanaman
yang berbeda, selain itu senyawa metabolit sekunder yang jumlahnya sangat
sedikit pada daun miana sehingga tidak terdeteksi pada saat analisis, waktu
analisis fitokimia yang tidak sama, dan diduga disebabkan oleh kondisi reagen
kimia pada analisis fitokimia yang sudah lama atau telah rusak. Namun hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Ridwan dan Ayunina (2007) yang
melaporkan bahwa daun miana memiliki kandungan flavonoid, tanin, saponin,
dan steroid. Hasil penelitian Lisdawati et al. (2008) juga melaporkan bahwa daun
miana mengandung senyawa flavonoid, triterpenoid, dan tannin.
Perbedaan pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi memberikan hasil
yang berbeda terhadap senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada daun
miana. Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa pelarut yang memiliki
kepolaran lebih rendah dapat menarik senyawa bioaktif yang bersifat nonpolar
seperti steroid pada ekstrak aseton dan triterpenoid pada ekstrak etanol 70%.
Senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar seperti saponin dan tannin
memberikan hasil positif untuk ekstrak air, etanol 70%, dan aseton.
Hasil penelitian Kumalasari dan Sulistyani (2011) melaporkan bahwa
senyawa golongan polifenol, flavonoid dan saponin dalam ekstrak etanol batang
Binahong mempunyai aktivitas antifungi terhadap Candida albicans. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daun miana juga memiliki senyawa-senyawa aktif
seperti tanin, flavonoid, saponin, steroid, dan terpenoid, senyawa-senyawa inilah
yang diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan C.albicans.
Aktivitas Antifungi dan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum Ekstrak
Daun Miana
Pengujian aktivitas antifungi dilakukan untuk mengetahui potensi antifungi
dari ekstrak daun miana terhadap C. albicans. Pengujian ini dilakukan dengan
metode sumur agar. Ekstrak daun miana yang diujikan adalah ekstrak air, etanol
70 %, dan aseton. Kontrol positif yang digunakan pada pengujian ini adalah
nistatin. Nistatin merupakan antifungi golongan poliena yang bekerja mengikat
sterol (terutama ergosterol) pada membran sel fungi. Ergosterol berkompetisi
dengan kolesterol dan menjadi target kerja dari antifungi nistatin sehingga
menghasilkan perubahan permeabilitas membran sel fungi, diikuti dengan
kebocoran dari komponen-komponen intraseluler dan mengakibatkan kematian
fungi (Ridawati et al. 2011). Nistatin merupakan antifungi yang efektif bekerja
pada khamir jenis candida sehingga nistatin sering digunakan sebagai kontrol
positif senyawa antifungi. Kontrol positif (nistatin) dengan konsentrasi 1.028
mg/mL menunjukkan aktivitas antifungi terhadap C.albicans dengan rata-rata
diameter zona hambat sebesar 15.91 mm, sedangkan kontrol negatif pelarut tidak
membentuk zona hambat yang menunjukkan tidak terdapat aktivitas antifungi.
Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antifungi yang dihasilkan benar berasal dari
daun miana, bukan dari pelarut yang digunakan.
12
Penentuan KHTM dilakukan setelah diperoleh data bahwa ekstrak aseton
daun miana memiliki aktivitas antifungi. Penentuannya dilakukan dengan cara
menentukan konsentrasi minimal yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba
uji (David dan Stout 1971). Nilai KHTM ekstrak aseton daun miana adalah 1.56
mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 1.18 mm (Lampiran 5). Nilai
KHTM suatu antimikroba berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji, hal
ini berarti bahwa suatu mikroba dikatakan memiliki sensitif yang tinggi terhadap
suatu senyawa antimikroba bila memiliki nilai KHTM yang rendah. Nilai KHTM
akan berbeda-beda untuk setiap mikroba dan antimikroba yang digunakan.
Davis dan Stout (1971) menggolongkan ketentuan kekuatan antimikroba
menjadi 3 kategori. Kategori lemah jika diameter zona hambat yang terbentuk ≤ 5
mm, kategori sedang pada kisaran 5-10 mm, dan kategori kuat ≥ 10 mm. Ekstrak
aseton daun miana pada konsentrasi tertinggi 400 mg/mL mampu menghambat C.
albicans dengan zona hambat sebesar 4.66 mm. Zona hambat ini termasuk dalam
kategori lemah, karena kurang dari 5 mm. Hasil ini menunjukkan sangat kecilnya
aktivitas antifungi ekstrak aseton daun miana terhadap C. albicans. Bila
dibandingkan dengan kontrol positif nistatin konsentrasi 1.028 mg/mL
menghasilkan zona hambat yang jauh lebih besar (15.91 mm) dan termasuk dalam
kategori sangat kuat. Nistatin masih terbukti efektif dalam menghambat C.
albicans dibandingkan ekstrak aseton daun miana. Hasil penelitian Fauziah (2014)
melaporkan ekstrak aseton daun sirih (Piper betle) pada konsentrasi 400 mg/mL
menghasilkan diameter zona hambat terhadap C. albicans sebesar 18.4833 mm,
termasuk dalam kategori antifungi yang kuat dan jauh lebih besar dibandingkan
dengan ekstrak aseton daun miana pada konsentrasi yang sama. Walaupun
aktivitasnya rendah, namun ekstrak aseton daun miana memberikan hasil positif
dalam menghambat pertumbuhan C. albicans. Aktifitas yang rendah ini diduga
disebabkan oleh ekstrak yang masih dalam bentuk ekstrak kasar sehingga
konsentrasi senyawa aktif terlalu kecil dan masih mengandung banyak pengotor.
Ekstrak aseton memiliki aktivitas antifungi yang paling baik dibandingkan
dengan ekstrak air dan etanol 70%. Hal ini disebabkan oleh kandungan senyawa
metabolit sekunder yang tertarik oleh masing-masing pelarut, diduga senyawa
yang berperan besar dalam penghambatan C. albicans adalah senyawa-senyawa
yang memiliki kepolaran lebih rendah sehingga hanya mampu tertarik oleh pelarut
aseton. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya aktivitas penghambatan C.
albicans pada ekstrak air dan etanol 70%. Berdasarkan hasil analisis statistika
pada tingkat kepercayaan 95%, perlakuan dengan perbedaan konsentrasi yang
diujikan memberikan pengaruh nyata terhadap diameter zona hambat yang
dihasilkan. Perbedaan konsentrasi yang diujikan, menghasilkan diameter zona
hambat yang berbeda-beda, semakin tinggi konsentrasi yang diujikan maka
semakin besar diameter zona hambat yang dihasilkan. Sesuai dengan penelitian
Warsinah et al. (2011) bahwa semakin tinggi konsentrasi fraksi kulit batang
kecapi (Sandoricum koetjape) menghasilkan kematian atau penghambatan
pertumbuhan Candida albicans yang semakin besar.
Identifikasi Senyawa Ekstrak Aseton
Identifikasi kandungan senyawa aktif dalam ekstrak aseton daun miana
dilakukan dengan menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-
13
MS). GC-MS merupakan metode untuk mengidentifikasi suatu senyawa, baik satu
komponen maupun campuran. Keuntungan spektrometer massa adalah
ketepatannya dalam menentukan fragmentasi dan molekul-molekul serta dapat
mengidentifikasi komponen-komponen yang terdapat dalam jumlah kecil.
Senyawa utama dalam ekstrak aseton daun miana adalah senyawa turunan
terpenoid yaitu 2-Heksadesen-1-ol, 3,7,11,15-tetrametil (CAS) fitol (41.29%).
Senyawa fitol merupakan golongan senyawa asiklik diterpen alkohol yang
merupakan bagian dari klorofil pada tanaman dan prekursor untuk pembentukan
vitamin E. Fitol biasa digunakan dalam kosmetik, shampo, sabun toilet, pembersih
rumah tangga karena menunjukkan aktivitas antimikroba, antikanker, dan
antidiueretik (McGinty et al. 2010). Fitol menunjukkan aktivitas antimikroba
yang tinggi terhadap mikroba pada makanan (Pillai dan Nair 2013). Fitol juga
dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba, antivirus, antioksidan dan antitumor
(Mckay dan Blumber 2006). Senyawa terbesar kedua masih termasuk ke dalam
turunan senyawa terpenoid, yaitu neofitadiena (19.69%). Neofitadiena dilaporkan
memiliki aktivitas antipiretik, analgesik, anti-inflamsi, antimikroba, dan
antioksidan (Venkata et al. 2012). Senyawa terpenoid yang bersifat lipofilik dapat
menyebabkan gangguan pada membran sel fungi dan dapat melarutkan lipid yang
terdapat pada membran sel (Cowan 1999; Panda 2010). Senyawa terbesar ketiga
adalah golongan senyawa alkana yaitu tetratetrakontan (18.37%). Tetratetrakontan
adalah senyawa hidrokarbon yang dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi dan
aktivitas analgesik (Pandurangan et al. 2008) dan antibakteri (Kumar et al. 2009).
Senyawa yang diduga berperan besar dalam aktivitas antifungi ekstrak
aseton daun miana terhadap pertumbuhan C.albicans adalah dua senyawa terbesar
yang telah disebutkan diatas. Selain itu senyawa-senyawa lain yang memiliki
aktifitas antifungi namun dalam jumlah yang kecil diantaranya senyawa turunan
asam lemak seperti asam 1,2-Benzenadikarbosiklik, bis(2-etilhexil) ester (CAS)
(turunan asam ftalat) dan asam heksadekanoat, metil ester (CAS) (turunan asam
palmitat) dan alfa-tokoferol-asetat (vitamin E).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Daun miana memiliki potensi yang lemah sebagai antifungi. Aktivitas
antifungi terbesar dihasilkan dari ekstrak aseton pada konsentrasi 400 mg/mL
dengan diameter zona hambat sebesar 4.66 mm. Nilai konsentrasi hambat tumbuh
ekstrak aseton daun miana sebesar 1.56 mg/mL. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa perbedaan variasi konsentrasi ekstrak yang diujikan pada
taraf nyata 95% berpengaruh nyata terhadap diameter zona hambat C. albicans.
Ekstrak aseton daun miana sebagian besar mengandung senyawa fitol (41.29%).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui jumlah mikroba jamur yang mampu dibunuh atau dihambat
14
oleh ekstrak aseton daun miana dan analisis mekanisme ekstrak aseton daun
miana dalam mengambat pertumbuhan jamur.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Method of
Analysis. Washington DC (US): Association of Official Analytical Chemist
Inc.
Bidarigh S, Khoshkholgh PMRM, Issazadeh KMA. 2011. In Vitro anti-candida
activity of Ficus lyrata L. ethyl acetat latex extract and nystatin on clinical
Isolates and standard strains of Candida albicans. IPCBEE 18: 115-119.
Bintang M. 1993. Studi antimikroba dari Streptococcus lactis BCC2295.
[disertasi]. Bandung (ID): Program Doktor ITB.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004.
Ekstrak Tumbuhan Indonsia Vol.2. Jakarta (ID):BPOM.
Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clinical Microbiology
Review 12(4): 564-582. [internet]. [diunduh 2014 April 3]. Tersedia pada
http://www.heart-intl.net/HEART/120104/PlantProductsasAntimicribial.pdf.
David WW, Stout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic
assay: factors influencing variability and error. Appl Microbiol 22 (4): 659-
665.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi 1.
Jakarta (ID): DepKes RI.
Gozali D, Rusmiati D, Utama P. 2009. Formulasi dan Uji Stabilitas Mikroemulsi
Ketokonazole Sebagai Antijamur Candida albicans dan Tricophyton
mentagrophytes. Farmaka 7 (2): 54-67.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Harjadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta (ID): Gramedia.
Fauziah D. 2014. Aktivitas penghambatan Candida albicans oleh ekstrak daun
sirih hijau (Piper betle) in vitro. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Ferrer J. 2000. Vaginal candidosis: epidemiological and etiological factors.
Int J Gynecol Obstet 71(1):1–7.
Hardiyanti Y, Djaswir D, Adlis S. 2013. Ekstraksi dan uji antioksdian senyawa
antosianin dari daun miana (Coleus sutellarioides L (Benth) serta
aplikasinya pada minuman. J. Kimia Unand 2(2): 44-50.
Kumalasari E, Sulistyani N. 2011. Aktivitas antifungi ekstrak etanol batang
binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steen) Terhadap Candida albicans
serta skrining fitokimia. J. Ilmiah Kefarmasian 1(2): 51-62.
15
Kumar A, Jayachandran T, Aravindhan P, Deecaraman D, Iiavarasan R,
Padmanabhan N. 2009. Neutral components in the leaves and Seeds of
Syzigium cumini. African Journal of Pharmacy and Pharmacology 3(11):
560–561
Lanchares JL, Hernande ML. 2000. Recurrent vaginal candidiasis changes in
etiopathogenical pattern. Int. J Gynecol and Obstet 71(1):29–35.
Lisdawati, Vivi. 2008. Karakterisasi daun miana (Plectranthus scutellaroides [L]
Benth) dan buah sirih (Piper betle L) secara fisiko kimia dari ramuan local
antimalarial daerah Sulawesi Utara. Media Litbang Kesehatan, Badan
LitbangKes.
Markom M, Hasan M, Daud WRW, Singh H, Jaim JM. 2007. Extraction of
hydrolysable tannins from Phyllanthus niruri Linn: Effects solvents and
extraction methods, Separation a Purification Technology, 52, pp. 487-496.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid I. Bogor (ID): IPB Press.
McGinty D et al. 2010. Fragrance material review on phytol. Food and Chemical
Toxicology 48: 59-63.
Mckay DL, Blumberg JB. 2006. A review of the bioactivity and health benefits of
peppermint tea ( L.). Phytother Res 20: 619-633.
Noer WHS. 2007. Hubungan pengetahuan dan sikap remaja puteri tentang
keputihan (flour albus) dengan upaya pencegahannya (studi pada siswi SMS
Tunas Patria Ungaran [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Dipenogoro.
Panda K, Brahma SS, Dutta K. 2010. Selective antifungal action of crude extracts
of Cassia fistula L: A preltminary study on Candida and Aspergilllus
spesies. Malaysian Journal of Microbiology 6(1): 62-68.
Pandurangan A, Khosa RL, Hemalatha S. 2008. Anti-inflammatory and analgesic
activity of Ichnocarpus frutescens. Pharmacology online 1:392-399.
Pillai LS, Nair BR. 2013. GC-MS analysis of Chloroform extract of Cleome
burmanni W. and A. (Cleomaceae). Int J Pharm Sci Res 4(5): 1930-1933.
Rahmawati F. 2008. Isolasi dan karakterisasi senyawa antibakteri ekstrak daun
miana (Coleus scuttelariodes L. Benth). [tesis]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ridawati, Betty SL, Ita D, Wellyzar S. 2011. Aktivitas antifungal minyak atsiri
jinten putih terhadap Candida parapsilosis SS25, C. orthopsilosis NN14, C.
metapsilosis MP27, dan C. etchellsii MP18. Makara Sains 15(1): 58-62.
Ridwan Y, Ayunina YQ. 2007. Fitokimia dan aktivitas anthelmintika terhadap
cacing pita ayam dari beberapa varietas miana (Coleus blumei benth) secara
in vitro. J. Protein 14(1):17-20
Rochani N. 2009. Uji aktivitas antijamur ekstrak daun binahong
(Anrederacordifolia (Tenore). Steen) terhadap Candida albicans serta
16
skrining fitokimianya [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhamadiyah
Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/5267/1/K100050305.pdf.
Safriani NR. 2014. Ekstrak daun miana (Coleus scutellarioides [L] Benth) sebagai
antifungi Candida tropicalis in vitro. [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Soemiati A, Berna E. 2002. Uji pendahuluan efek antijamur infus daun sirih
(Piper betle L.), kulit buah delima (Punica granatum L.) dan rimpang
kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap jamur Candida albicans.
Makara Sains 6(3).
Sundari D, Winarno MW. 1996. Efek farmakologi dan fitokimia komponen
penyusun jamu keputihan. [internet]. [diunduh 2014 April 1]. Tersedia pada:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/07EfekFarmakologiFitokimiaKomponen10
8.pdf/07EfekFarmakologiKomponen108.html.
Tuyet T, Chuyen NV. 2007. Anthihiperglicemic activity of an aqueos extract from
flower buds of Clistocalyx operculatus (Roxb.). Merr and Perry. Biosci
Biotechnol Biochem 71: 69-76.
Venkata RB et al. 2012. Antibacterial, antioxidant activity and GC-MS analysis of
Eupatorium odoratu. Asian J Pharm Clin Res 5 (2): 99-106.
Warsinah, Kusumawati E, Sunarto. 2011. Identifikasi senyawa antifungi dari kulit
batang kecapi (Sandoricum koetjape) dan aktivitasnya terhadap Candida
albicans. Majalah Obat Tradisional 16(3): 165-173.
Wijayakusuma HS. 1996. Tanaman Berkhasiat obat di Indonesia. Cetakan kedua.
Jakarta (ID): Pustaka Kartini. Hal.7
Winarto WP. 2007. Tanaman Obat Indonesia Untuk Pengobatan Herbal.
Karyasari Herba Media: 157-160.
17
Lampiran 1 Kadar air simplisia daun miana
No Bobot (g) Kadar Air
(%)
Cawan Kosong Sampel
(a) Cawan + sampel Sampel Setelah
dikeringkan (b) 1 21.73 2.00 23.73 1.94 3.00 2 21.92 2.02 23.94 1.93 4.45 3 19.34 2.01 21.35 1.96 2.49
Rerata 3.31±1.02
Perhitungan:
% Kadar air = × 100 %
= × 100 % = 3.00 %
Lampiran 2 Kadar abu simplisia daun miana
No
Bobot (g) Kadar Abu
(%)
Cawan Kosong
(b) Sampel
(c) Cawan + sampel Cawan +
sampel Setelah
dikeringkan (a) 1 27.02 2.23 29.25 27.25 10.31 2 28.12 2.18 30.30 28.33 9.63 3 21.31 2.12 23.43 21.53 10.38
Rerata 10.11±0.41
Contoh perhitungan:
% Kadar abu = × 100 %
= × 100 %
= 10.31 %
Lampiran 3 Rendemen ekstrak daun miana
Ekstrak Ulangan Bobot
awal (g) Bobot
akhir (g) Rendemen
(%) Rerata
rendemen (%)
Air 1 10.01 1.83 18.28 18.63±0.33 2 10.03 1.90 18.94
3 10.02 1.87 18.66 Etanol
70 % 1 10.01 1.75 17.48
17.25±0.20 2 10.02 1.72 17.17 3 10.01 1.71 17.10
Aseton 1 10.03 0.91 9.07
9.1±0.15 2 10.03 0.93 9.27
3 10.03 0.90 8.97
Contoh perhitungan:
% Rendemen = × 100 %
= × 100 % = 18.63 %
18
Lampiran 4 Uji aktivitas antifungi ekstrak daun miana terhadap Candida albicans
Ekstrak Konsentrasi
(mg/mL)
Diameter Zona Hambat (mm)
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rataan
Air 400 0 0 0 0
200 0 0 0 0
100 0 0 0 0
50 0 0 0 0
25 0 0 0 0
Etanol 70 % 400 0 0 0 0
200 0 0 0 0
100 0 0 0 0
50 0 0 0 0
25 0 0 0 0
Aseton 400 4.68 4.63 4.68 4.66±0.03
200 4.23 4.13 4.23 4.19±0.06
100 3.93 3.73 3.64 3.76±0.15
50 2.68 2.93 2.68 2.76±0.14
25 1.97 2.13 2.13 2.08±0.09
Nistatin 1.028 15.62 14.93 16.96 15.84±1.03
Lampiran 5 Uji KHTM ekstrak aseton daun miana terhadap C. albicans
Konsentrasi
(mg/mL)
Diameter Zona Hambat (mm) Rerata
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
12.5 1.73 1.68 1.73 1.71±0.03
6.25 1.58 1.65 1.68 1.63±0.05
3.125 1.43 1.58 1.33 1.44±0.13
1.56 1.18 1.23 1.13 1.18±0.05
0.78 0 0 0 0
0.39 0 0 0 0
0.19 0 0 0 0
Nistatin (1.028) 16.58 15.73 15.63 15.98
Lampiran 6 Foto uji aktivitas antifungi ekstrak daun miana
Ekstrak akudes
Ul 1 Ul 2 Ul 3
19
Ekstrak etanol 70%
Ul 1 Ul 2 Ul 3
Ekstrak aseton
Ul 1 Ul 2 Ul 3
Keterangan:
1. Kontrol negatif akuades (ekstrak akuades), DMSO 5% (ekstrak etanol 70%)
dan aseton (pelarut aseton)
2. Kontrol positif (nistatin 1.028 mg/mL)
3. Ekstrak konsentrasi 400 mg/mL
4. Ekstrak konsentrasi 200 mg/mL
5. Ekstrak konsentrasi 100 mg/mL
6. Ekstrak konsentrasi 50 mg/mL
7. Ekstrak konsentrasi 25 mg/mL
8. Ekstrak konsentrasi 12.5 mg/mL
Lampiran 7 Foto uji KHTM ekstrak aseton
Ul 1 Ul 2 Ul 3
1
8
3
7
5 2
6
7
20
Keterangan:
1. Kontrol negatif (pelarut aseton)
2. Kontrol positif (nistatin 1.028 mg/mL)
3. Ekstrak konsentrasi 6.25 mg/mL
4. Ekstrak konsentrasi 3.125 mg/mL
5. Ekstrak konsentrasi 1.56 mg/mL
6. Ekstrak konsentrasi 0.78 mg/mL
7. Ekstrak konsentrasi 0.39 mg/mL
8. Ekstrak konsentrasi 0.19 mg/mL
Lampiran 8 Uji fitokimia ekstrak daun miana
Jenis Uji Ekstrak
Akuades Etanol 70% Aseton
Alkaloid
Flavonoid
Saponin
Tanin
Triterpenoid/steroid
21
Lampiran 9 Hasil analisis statistika uji aktivitas antifungi dan uji KHTM ekstrak
aseton daun miana
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 473.698 6 78.950 493.362 .000
Within Groups 2.240 14 .160
Total 475.939 20
Uji lanjut Duncan
konsentrasi N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4 5
0 3 .0000
25 3 2.0743
50 3 2.7583
100 3 3.7617
200 3 4.1917 4.1917
400 3 4.6583
1.028 3 15.8367
Sig. 1.000 .055 .209 .175 1.000
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 633.092 8 79.137 2.527E3 .000
Within Groups .564 18 .031
Total 633.656 26
Uji lanjut Duncan
konsentrasi N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
0 3 .0000
0.19 3 .0000
0.39 3 .0000
0.78 3 .0000
1.56 3 1.1750
3.125 3 1.3917 1.3917
6.25 3 1.6333
12.5 3 1.7083
1.028 3 15.9800
Sig. 1.000 .151 .051 1.000
Keterangan: Angka yang terletak pada satu kolom menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata,
sedangkan angka yang berbeda kolom menyatakan nilai yang berbeda nyata. Nilai
signifikansi 1.00 menunjukkan tingkat yang paling berbeda nyata.
22
Lampiran 10 Komponen ekstrak aseton dengan GC-MS
Puncak Waktu
Retensi
Luas Konsentrasi
(%)
Senyawa
1 2.548 12470360 0.81 Carbon dioxide (CAS)
2 15.983 7904380 0.51 Naphthalene, 1,2,3,4-tetrahydro-1,4,6-
trimethyl- (CAS)
3 18.706 5479238 0.36 1-Dodecanol, 3,7,11-trimethyl-(CAS)
Hexahydrofarsenol
4 19.469 41090726 2.67 2-Hexadecene, 3,7,11,15-tetramethyl
5 19.557 448968282 29.21 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-
tetramethyl (CAS) Phytol
6 19.691 106733111 6.94 Neophytadiene
7 19.831 185652497 12.08 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-
tetramethyl (CAS) Phytol
8 20.109 7560427 0.49 Hexadecanoic acid, methyl ester (CAS)
Methyl palmitate
9 21.358 7475925 0.49 9,12,15-Octadecatrienoic acid, methyl
ester, (Z,Z,Z)- (CAS) Methyl linolenate
10 21.448 9201888 0.60 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-
tetramethyl (CAS) Phytol
11 22.130 196029672 12.75 Neophytadiene
12 23.131 9249776 0.60 9-Octadecenal, (Z)- (CAS) CIS-
OCTADEC-9-ENAL
13 23.293 5639982 0.37 Cyclohexane, eicosyl- (CAS) 1-
Cyclohexyleicosane
14 23.456 7207498 0.47 9-Tricosene, (Z)- (CAS) Muscalure
15 23.628 6831613 0.44 Hexanedioic acid, dioctyl ester (CAS)
Dioctyl
16 25.389 20805813 1.35 1,2-Benzenedicarboxylic acid, bis(2-
ethylhexyl) ester (CAS) Bis(2-
ethylhexyl)
17 29.594 140119102 9.12 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene,
2,6,10,15,19,23-hexamethyl- (CAS)
18 30.697 35699028 2.32 Tetratetracontane (CAS)
n-Tetratetracontane
19 33.216 9107293 0.59 Tetratetracontane (CAS)
n-Tetratetracontane
20 36.452 73308889 4.77 Tetratetracontane (CAS)
n-Tetratetracontane
21 39.325 36389101 2.37 Alpha-tocopherol-acetat (Vitamin E
acetat)
22 40.326 9670249 0.63 Tetratetracontane (CAS)
n-Tetratetracontane
23 43.275 20539574 1.34 Tetratetracontane (CAS)
n-Tetratetracontane
24 45.387 110504156 7.19 Tetratetracontane (CAS)
n-Tetratetracontane
25 49.791 23569406 1.53 Tetratetracontane (CAS)
n-Tetratetracontane
1537207986 100
23
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 15 Mei 1992 dari ayah
bernama Syahroni, SPd.I dan ibu bernama Kuswinih. Penulis merupakan anak
kedua dari 3 bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Muntur 1
kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama di SMP
Negeri 1 Losarang. Tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 1 Sindang, Indramayu dan pada tahun yang sama
lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Biokimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Biologi Dasar tahun ajaran 2011/2012 dan 2012/2013, asisten
praktikum mata kuliah Biokimia Umum, Pengantar Penelitian Biokimia, dan
Struktur dan Fungsi Subseluler tahun ajaran 2013/2014. Penulis juga aktif dalam
kegiatan organisasi kampus, diantaranya Anggota Divisi Bioanalisis Community
Research and Educatioan of Biochemistry (CREB’s) periode 2011/2012 dan
Bendahara Ikatan Mahasiswa Darma Ayu (IKADA) Bogor tahun 2011-2012.
Penulis juga pernah aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti panitia Biochemistry
Champion League tahun 2011, Populer tahun 2011, SPIRIT FMIPA tahun 2012,
EXPLO SCIENCE FMIPA tahun 2012, Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa
Biokimia tahun 2012, Seminar dan Kajian Ilmiah Kehalalan Lomba Karya Ilmiah
2012, Pesta Sains Nasional tahun 2012, dan IPB Art Contest 2013.
Selama masa kuliah penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi
Akademik (PPA) dan beasiswa Karya Salemba Empat (KSE). Penulis dalam
bidang karya ilmiah pernah mendapat hibah dana bersaing dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) untuk kategori Bidang Penelitian pada tahun 2012 dan 2013. Penulis
pernah melakukan Praktik Lapangan (PL) di Laboratorium Biologi Molekuler,
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
(BB Biogen) Bogor selama periode bulan Juli hingga Agustus 2013 dengan judul
Seleksi Tanaman BC2F1 Hasil Persilangan Padi Adan x Padi Nipponbare
Menggunakan Marka Molekuler.