ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005
TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH
PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sajana Ekonomi Islam (SEi)
Oleh :
AKHIRUL SHOLEH
NIM : 105046101664
KONSENTRASI MUAMALAH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 31 Mei 2010
Akhirul Sholeh
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Shalawat serta salam
semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw beserta keluarganya dan
para sahabat dan umatnya yang senantiasa cinta padanya. Skripsi yang berjudul
Analisa Penerapan Fatwa DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad
Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat, merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.Ei) Konsentrasi Perbankan Syariah
Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai kekurangan. Namun demikian
semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan khlayak
umumnya. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan
skripsi ini sehingga dapat diselesaikan. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada pihak-pihak tersebut, diantaranya kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof. Dr. KH. Muhammad Amien Suma. SH,MA,MM.
2. Ketua Prodi Muamalat, Dr. Eius Amalia M.Ag. dan Sekretaris Prodi
Muamalat Ah. Azharuddin Lathif M.Ag. Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
3. Dr. Jaenal Arifin M.Ag. beliau dosen pembimbing yang banyak membimbing
dan memberikan pengarahan kepada penulis.
4. Dr. H.A. Juaini Syukri, Lcs, MA. dan Dr. Hasanuddin, M.Ag. beliau dosen
penguji munaqosah yang telah memberikan masukan dan arahan kepada
penulis.
5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing selama
perkuliahan penulis.
6. Pimpinan serta Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini telah
memberikan andil besar dalam menyediakan pustaka dan sumber-sumber
bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.
7. Bpk. Wisnu Suwarno Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan
Divisi Usaha Syariah BNI yang telah bersedia meluangkan waktunya guna
wawancara.
8. Bpk. Muhammad Gunawan Yasni DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan
Program yang telah bersedia meluangkan waktunya guna wawancara.
9. Ibunda tercinta Suyati dan Almarhum Bapak yang telah mendidik, mendoakan
dan berjuang untuk penulis dan untuk menempuh jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Dan juga kepada kakak-kakak yang tidak bisa kami sebutkan
satu-persatu yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
ii
iii
10. Teman-teman Mahasiswa Perbankan Syariah Angkatan 2005 yang telah
memberikan dukungan kepada penulis dan teman-teman PS D yang selama 3
tahun berkumpul dan memberikan masukan dan sahabat-sabahat lainnya..
Akhirnya hanya kepada Allah SWT semua kembali, semoga amal yang telah
mereka sumbangkan mendapatkan balasan yang lebih baik dan menjadi tabungan
kebaikan di akhirat kelak, amin.
Jakarta, 20 Jumadil Awal 1431H.
5 Mei 2010 M.
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………..... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………...... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………........ 7
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………..... 9
E. Metodologi Penelitian ..................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ..................................................... 16
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
A. Mengenal Murabahah ………………………………….. 18
1. Pengertian Murabahah ……………………………... 18
2. Rukun dan Syarat Murabahah .................................... 21
B. Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan
Syariah Nasional .............................................................. 25
1. Pengertian Fatwa …………………………………... 25
2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa ................................... 28
3. Sifat Fatwa …………………………………………. 37
4. Metode Fatwa ............................................................ 39
iv
BAB III :
GAMBARAN UMUM TENTANG
BANK BNI SYARIAH PUSAT
A. Sejarah Singkat Berdirinya Bank ..................................... 49
B. Produk Bank BNI Syariah ............................................... 52
C. Struktur Organisasi .......................................................... 68
BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah
pada Bank BNI Syariah ……………………………….... 72
B. Implementasi Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah
pada Bank BNI Syariah .................................................... 85
C. Analisa Penerapan Fatwa tentang Konversi Akad
Murabahah pada Bank BNI Syariah ................................. 93
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………......... 111
B. Saran ............................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………........ 116
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Surat permohonan dosen pembimbing
B. Surat permohonan wawancara ke pihak Bank BNI Syariah Pusat
C. Surat permohonan wawancara ke pihak DSN-MUI Pusat
v
vi
D. Surat pernyataan wawancara dari pihak Bank BNI Syariah Pusat
E. Hasil wawancara dengan pihak Bank BNI Syariah Pusat
F. Hasil wawancara dengan pihak DSN-MUI Pusat
G. Lembar Surat perjanjian pembiayaan murabahah dari pihak Bank BNI Syariah
Pusat.
H. Lembar fatwa No. 49/DSN MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi syari’ah1 di Indonesia demikian cepat, khususnya
perbankan, asuransi, reksadana, pasar modal, pegadaian, leasing, dan lembaga
keuangan mikro syariah. Sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan lembaga
ekonomi dan keuangan syariah tersebut, maka para praktisi ekonomi syari’ah,
masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari
lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga
keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang
demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid
dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah.
Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai
bagian dari Majlis Ulama Indonesia.2
DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah.
Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan
1 Ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai islam. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.wikipedia.com.
2 Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org.
2
prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan
pedoman dalam kegiatan transaksi di Lembaga Keuangan Syari`ah. Melalui Dewan
Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah
dalam sistem dan manajemen Lembaga Keuangan Syari`ah (LKS).3
Tren bank syariah sendiri memang makin marak. Dimulai tahun 1992, ketika
Bank Muamalat Indonesia berdiri, sistem perbankan syariah diasumsikan bisa
melenggang tenang ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Kenapa bisa
demikian? Asumsinya, penerapan sistem bagi hasil dinyatakan lebih baik
ketimbang sistem bunga yang dianut bank konvensional. Dalam urusan kredit,
syariah sebenarnya tidak menerapkan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi
bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti mudharabah, musyarokah atas dasar jual
beli (murabahah), atau atas dasar sewa (ijarah).
Sistem keuangan dan Perbankan Islam merupakan bagian dari konsep yang
lebih luas tentang ekonomi Islam, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama
tujuannya adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam kedalam lingkungan
ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka Lembaga Keuangan Syariah bagi
kebanyakan Muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi komersial. Persepsi
Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan Muslim
sebagai kewajiban agama. Kemampuan Lembaga Keuangan Syariah menarik
investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga
3 Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari
http//www.iaeipusat.org.
3
itu menghasilkan keuntungan, tetapi pada persepsi bahwa secara sungguh-sungguh
memperhatikan batas-batas yang digariskan oleh Islam.4
Dalam dunia perbankan, terutama perbankan syariah tidak lepas dari berbagai
permasalahan salah satunya adalah masalah pembiayaan, khususnya dalam
pembiayaan Murabahah. Pembiayaan merupakan kegiatan utama dalam Perbankan,
sebagai usaha untuk memperoleh laba. Akan tetapi pembiayaan rawan resiko kredit
yang tidak saja dapat merugikan bank tapi juga berakibat kepada masyarakat
penyimpan dan pengguna dana. Penyebab utama terjadinya resiko kredit
pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan
investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga
penilaian kredit yang kurang cermat dalam mengantasipasi berbagai kemungkinan
resiko usaha yang dibiayainya.5 Kredit macet dalam pembiayaan merupakan salah
satu permasalahan yang harus ditangani dengan serius oleh pihak bank. Sebab
menyangkut beberapa pihak yang dapat dirugikan haknya, terutama dari pihak bank
dan pihak penyimpan dana. Oleh karena itu, pihak bank dapat memberikan sanksi
administratif kepada nasabah yang melakukan kredit macet.6
Ada fenomena menarik dalam permasalahan resiko kredit pembiayaan
murabahah di Perbankan Syariah. Pihak Perbankan Syariah melakukan konversi
4 Raymond Dantes, Bank Syariah Antara Teori Dan Realita: Studi Komperatif Akad dan
Produk Bank Syariah di Dunia Islam., diakses pada 08 Mei 2008 dari http//www.konsultasimuamalat.com/home/index php.
5 Drs. Zainul Arifin, MBA, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006),cet.4, h.225.
6 Kasmir,SE.,MM., Pemasaran Bank. (Jakarta: Kencana 2007). hal.29.
4
akad murabahah supaya nasabah yang telah menunggak tagihan bank dapat segera
melunasi hutang-hutang tersebut. Akan tetapi, tidak semudah membalikkan tangan
bagi perbankan syariah untuk melakukan reconditioning pembiayaan murabahah
tersebut. Adanya aturan-aturan untuk melakukan reconditioning pembiayaan
murabahah tersebut, salah satunya dengan meminta Dewan Syariah Nasional untuk
berijtihat supaya dapat mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkenaan dengan
permasalahan yang sedang dihadapi oleh bank.
حدثنا محمد بن أبي زرعة ، ثنا هشام بن عمار ، ثنا مسلم بن خالد الزنجي ، ثنا علي بن ن ابن عباس ، أن النبي صلى يزيد بن رآانة ، عن داود بن الحصين ، عن عكرمة ، ع
يا رسول اهللا ، : اهللا عليه وسلم لما أمر بإخراج بني النضير ، جاءه ناس منهم ، فقالوا إنك أمرت بإخراجنا ولنا على الناس ديون لم تحل ، فقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم
في (» إال مسلم بن خالد لم يرو هذا الحديث عن علي بن يزيد بن رآانة« وتعجلو ضعوا : 7)الكتاب المعجم االوسط للطبراني
Artinya :
“Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo” Maka Rasulullah saw berkata: “Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat”. (H.R. Thabrani dalam Kitab Al-Mu’jam al Aswad, juz 15, hal.24)
Telah kita ketahui bahwa, fatwa merupakan salah satu pendirian dalam hukum
Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat.
Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam
bersikap dan bertingkah laku. Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari
bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan
7 Kitab Al-Mu’jam al-Ausad lil Thabrani. Dalam Maktabah Syamilah. Juz 15, h.24.
5
alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah
yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan
pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi).8
Dari penjelasan yang telah penulis paparkan diatas, bahwa fatwa yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dikeluarkan jika terdapat permasalahan
yang muncul dalam perkembangan ekonomi syariah. Dalam melaksanakan
penyusunan fatwa tentang produk perbankan syariah, maka pada tahapan proses
penetapannya DSN akan berkonsultasi dengan Bank Indonesia khususnya untuk
memperoleh pandangan tentang aspek teknis keuangan dan perbankan serta
keselarasan fatwa dengan berbagai hukum positif yang terkait dengan perbankan
syariah.9
Apabila kita kaitkan dengan permasalahan pada pembiayaan Murabahah,
maka yang menjadi permasalahannya adalah masih adakah penerapan dan
efektivitas Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Murabahah yang dipakai oleh Perbankan Syariah dalam meminimalkan
permasalahan pada pembiayaan Murabahah. Sebab hal ini sangatlah penting dalam
mewujudkan suatu pembiayaan yang bebas dari permasalahan yang sering kali
dapat mempersulit dan merugikan pihak perbankan.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis akan memilih tempat penelitian di
Bank BNI Syariah Pusat. Hal ini disebabkan pada tahun berdirinya Bank BNI
8Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari
http//www.iaeipusat.org. 9 Bank Indonesia. Laporan Perkembangan Perbakan Syariah Tahun 2008. Jakarta : 2008.
6
Syariah sekitar tahun 2001, maka berpendapat adanya jangka waktu yang cukup
lama sebelum dikeluarkannya Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 tentang
Konversi Akad Murabahah. Disamping itu, hanya Bank BNI Syariah yang mau
menerima penulis dalam melaksanakan proses penelitian tersebut.
Berdasarkan pemahaman dan pengkajian mengenai permasalahan di atas,
serta keinginan untuk menelusuri lebih jauh bagaimana peran dan eksistensi fatwa-
fatwa Dewan Syariah Nasional bagi kemajuan Perbankan Syariah. Dengan
demikian penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah
skipsi dengan judul ”ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN-
MUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH PADA BANK
BNI SYARIAH PUSAT”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan
Banyak penelitian yang telah membahas tentang pembiayaan murabahah yang
merupakan salah satu produk yang dibuat oleh bank syariah dengan berbagai
macam penelitian yang difokuskan oleh para penulis. Pada penelitian ini penulis
akan membatasi permasalahan hanya pada ”Analisa Penerapan Fatwa DSN
No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank
BNI Syariah Pusat”.
2. Perumusan
7
Dari uraian latar belakang, penulis merumuskan masalah penelitian dalam
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan
Syariah? Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah.
b. Bagaimana implementasi atau penerapan fatwa DSN di Lembaga
Keuangan Syariah? Terutama implementasi Fatwa DSN No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kedudukan dan implementasi
Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad
Murabahah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan diangkatnya skripsi yang berjudul ”Analisa Penerapan Fatwa DSN
No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI
Syariah Pusat”. Sesuai uraian permasalahan di atas akan memberikan beberapa hal
penjelasan untuk menjawab permasalahan tersebut diantaranya :
a. Penjelasan posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan
Syariah. Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah.
8
b. Penjelasan implementasi atau penerapan Fatwa DSN di Lembaga
Keuangan Syariah. Terutama implementasi Fatwa DSN No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
c. Mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kedudukan dan
implementasi Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi
Akad Murabahah.
Dengan demikian menurut penulis dianggap penting untuk mengetahui
pandangan dari Dewan Syariah Nasional (DSN), UU No. 21 tahun 2008 pasal 125
tentang Konversi Akad Murabahah, PSAK No.108 tentang Konversi Akad
Murabahah dan Lembaga Keuangan Syariah dalam menyikapi Fatwa DSN No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
Berdasarkan tujuan di atas maka perlu adanya manfaat dari penelitian ini
diantaranya sebagai berikut :
1. Dalam lembaga kepustakaan, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan ilmu dalam memperkaya cakrawala khazanah pemikiran
hukum islam.
2. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih dalam
mengenai penggunaan menyikapi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah di Lembaga Keuangan Syariah yang
telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
9
3. Dapat mengetahui prosedur penggunaan fatwa-fatwa dalam mengatasi
permasalahan di Lembaga Keuangan Syariah.
4. Dapat mengetahui upaya Lembaga Keuangan Syariah dalam
menggunakan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi
Akad Murabahah untuk menyelesaikan permasalahan.
5. Sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Lembaga
Keuangan Syariah terutama tentang reconditioning akad murabahah jika
terjadi permasalahan.
6. Dapat memberikan penjelasan tentang eksistensi dan peran dari Fatwa
DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah
kepada masyarakat umumnya dan kepada nasabah khususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian studi
terdahulu melalui beberapa skripsi terdahulu untuk mengetahui apa saja yang sudah
diteliti, dan mengetahui kekurangan serta kelebihan yang terdapat dalam skripsi
terdahulu.
Dengan demikian penulis melakukan penelitian skripsi yang disusun oleh
Ardi Triyanto dengan judul Analisa Efektivitas Penerapan Pembiayaan
Murabahah Pada Lembaga Multifinance (Studi Kasus PT. Federal
International Finance Tbk. Divisi Usaha Syariah). Dalam skripsi tersebut
10
membahas tentang analisa penerapan pembiayaan di Lembaga Multifinance, dan
hasil penelitiannya adalah :
1. Sistem murabahah yang ideal belum sepenuhnya menerapkan prinsip
murabahah yang ideal, terlihat ada beberapa hal yang belum sesuai.
Misalnya dalam sistem operasionalnya khususnya dalam hal pengadaan
barang yang dipesan oleh konsumen masih belum sepenuhnya dimiliki
oleh FIF Syariah. Kemudian hal lain juga terjadi dalam operasional di
lapangan terutama transparasi margin yang belum tertransparasikan
kepada konsumen ketika terjadi akad awal.
2. Faktor utama yang memiliki peran penting dalam mendukung efektivitas
pembiayaan murabahah yang ada di FIF Syariah adalah pertama, faktor
Sumber Daya Manusia yang berkompeten dari sisi skill dan pemahaman
terhadap muamalah syariah dan kedua, faktor teknologi informasi yang
canggih dan mudah di akses.
Bacaan kedua penulis adalah penelitian skripsi yang disusun oleh Silvi Yanti
dengan judul Dominasi Murabahah Pada Perbankan Syariah Dalam Perspektif
Manajemen Resiko (Studi kasus Pada Permata Bank Syariah). Dalam skripsi
tersebut membahas tentang penerapan manajemen resiko pada Bank Permata
Syariah, dan hasil penelitiannya adalah adalah :
1. Penerapan manajeman resiko oleh Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 dan
resiko-resiko yang disyaratkan Bank Indonesia untuk dikelola
11
diantaranya: resik kredit, (pembiayaan), resiko pasar, resiko likuiditas,
resiko operasional, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategi dan
resiko kepatuhan.
2. Program manajemen resiko yakni untuk mengidentifikasikan resiko-resiko
yang dihadapi mengukur besar dan kecilnya, kemudan ditarik jalan untuk
menangani resiko itu. Jika resiko itu kecil, maka harus dikendalikan.
Bacaan ketiga penulis adalah skripsi yang ditulis oleh Mahfudin dengan judul
skripsi Kesesuaian Aplikasi Jual Beli Dalam Pembiayaan KPR Syariah Pada
unit Usaha Syariah Pt. Bank Permata Tbk. Dalam skripsi tersebut membahas
tentang aplikasi pembiayaan KPR Syariah pada Bank Permata Syariah, dan hasil
penelitiannya adalah:
Biaya kredit pada pembiayaan bank syariah berdasarkan murabahah atau
mark up harga adalah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembiayaan
berdasarkan bunga (fixed) yaitu pada sisi faktor yang mempengaruhi keduanya,
pembagian resiko, hubungan antara bank dan nasabah, dan juga paada penyelesaian
hutang akan dikenakan sanksi apabila telah membayarnya.
Subtansi dalam skripsi diatas jelas berbeda dengan penulisan skripsi ini
karena ada beberapa perbedaan yakni :
1. Perbedaan tempat penelitian yakni di Bank BNI Syariah Pusat.
2. Perbedaan objek yang akan diteliti, yakni penelitian tentang Fatwa DSN
No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
12
3. Pandangan UU. No.21 Tahun 2008 Pasal 125 Tentang Konversi Akad
Murabahah, dan PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah
terhadap masalah tingkat kredit macet di perbankan syariah.
4. Alasan dasar hukum Dewan Syariah Nasional (DSN) memutuskan
dan mengeluarkan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang
Konversi Akad Murabahah tersebut.
E. Metode Penelitian
Dalam upaya mendapat data yang akurat, lengkap, dan objektif, untuk
penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian melalui:
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang merupakan penelitian
melalui pengamatan lansung di lapangan yang berlokasi pada PT. Bank
BNI Syariah Pusat. Dimana penelitian ini akan menggabungkan fakta dan
teori-teori yang diambil dari studi kepustakaan melalui pengupasan dari
buku-buku dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu Al-Qur’an,
Hadits, dan kitab-kitab fiqih, serta berbagai literatur lainya yang dapat
dijadikan sebagai rujukan yang berhubungan dengan bahasan yang sedang
dikerjakan.
2. Pendekatan Penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan
melakukan analisis Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang
13
Konversi Akad Murabahah dengan cara mengurai dan mendiskripsikan
putusan fatwa, kemudian dihubungkan dengan masalah yang diajukan
sehingga di temukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan
sistematis.10
3. Sumber Pengumpulan Data.
Sumber pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data bahan hukum primer yaitu bahan–bahan mengikat yakni; Fatwa DSN
No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah, UU No.
21 tahun 2008 pasal 125 Tentang Konversi Akad Murabah, PSAK No.108
tentang Konversi Akad Murabahah yang digunakan oleh pihak Bank.
Dan sumber pengumpulan data bahan sekunder yaitu bahan–bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer11; Buku-buku,
pendapat ulama yaitu pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama
dari Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang penjelasan dan pengeluaran
fatwa yang berkaitan dengan konversi akad murabahah, penjelasan dari
pihak Bank dalam menggunakan fatwa tersebut, dan penjelasan dari para
Praktisi Hukum Ekonomi Islam.
10 Amiruddin. Zainal Asikin., Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.2003. 11 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif suatu tinjaun singkat.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003. hal 13
14
4. Teknik Pengumpulan Data.
a. Studi Pustaka, dengan mengumpulkan dan menganalisa suatu
pengertian yang bersifat teoritis, untuk itu penulis menggunkan
beberapa literatur yang mendukung penelitian ini dilakukan dengan
cara membaca dan mempelajari buku-buku yang berkenaan dengan
masalah yang dibahas. Studi ini dilakukan untuk menguji kebenaran
serta relevansi antara teori yang terdapat dalam buku dengan praktek
di lapangan.
b. Wawancara, adalah proses pengumpulan data dan memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan
menggunakan alat yang dinamakan pedoman wawancara.12 Proses
wawancara ini akan ditujukan kepada beberapa nara sumber
diantaranya :
- DPS (Dewan Pengawas Syariah) BNI Syariah atau staff DPS BNI
Syariah.
- DSN (Dewan Syariah Nasional) sebagai pembuat fatwa-fatwa
perbankan.
c. Dokumenter, berupa pengumpulan data-data yang diperoleh melalui
data dokumentasi. Maka data yang akan penulis analisa berupa Fatwa
12 Nazir,Muh. Ph.D. Metode Penelitian. Jakata : Ghalia Indonesia, 1988. cetakan ketiga. hal.
234.
15
DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah
dan peraturan-peraturan yang lainnya.
5. Analisa Data.
Seluruh data yang penulis peroleh dari hasil wawancara dan kepustakaan
diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifiksi data. Estela
diklarifikasi lalu di analisis, dalam hal ini data yang di kumpulkan penulis
adalah kualitatif, maka teknik analisa data yang digunakan adalah content
análisis (analisa isi), artinya penulis menggambarkan sesuatu yang
menjadi objek penelitian secara kritis melalui analisa isi yang bersifat
kualitattif. Deskriptif dimaksudkan memberikan data yang seteliti
mungkin keadaan dan gejalanya.13 Data-data yang telah terkumpul
diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima,
kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut
editing.
6. Teknik Penulisan.
Tehnik penulisan dalam penyusunan penulis berpedoman pada prinsip-
prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 1428 H/2007 M, agar penulisan
skripsi ini sesuai dengan kaidah penulisan skripsi.
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, tahun 1984. hal.10.
16
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menguraikan logika yang mendasari tahap-tahap uraian
penulisan pelaporan hasil penelitian. Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima
bab, masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan
Dalam bab ini penulis mengenal alasan pemilihan judul, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, metodologi
penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II. Tinjuan Teoritis
Dalam bab ini, penulis menjelaskan tentang mengenal Murabahah,
diantaranya: Pengertian, Rukun dan Syarat Murabahah. Disamping itu menjelaskan
juga tentang deskripsi umum tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional,diantaranya:
Pengertian, Metode, Sifat dan Implikasi Fatwa terhadap Perkembangan Hukum
Islam.
Bab III. Gambaran Umum tentang Bank
Dalam bab ini Menguraikan tentang profil dari tempat penelitian dan
menguatkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka penelti
mendeskripsikan objek-objek penelitian ini terdiri dari: Sejarah Singkat, Visi dan
Misi, Struktur Organisasi Bank.
17
Bab IV. Analisa dan Pembahasan
Dalam bab ini penjelasan tentang informasi yang dihasilkan dalam
pengelolaan data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan metode
yang digunakan dengan berpedoman pada landasan teori dasar.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini merupakan bab penutup dari skripsi yang menyajikan
kesimpulan, yang berisi penjelasan secara singkat dari hasil pembahasan dan
analisa, dan penulis juga mencoba untuk mengemukakan saran yang dianggap perlu
untuk dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pembaca.
18
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Mengenal Bai’ Murabahah
1. Pengertian Bai’ Murabahah
Bai’ Murabahah adalah jual beli barang yang harga asalnya dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Secara bahasa kata “murabahah” berasal dari Bahasa
Arab dengan asal kata ( ربح-يربح-ربح .) yang berarti beruntung atau mendapatkan
laba.1 Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi Bai’ Murabahah
yang dikemukakan oleh :
a. Menurut di dalam kitabnya fiqh sunnah murabahah adalah penjualan dan
harga pembelian barang berikut keuntungan yang diketahui.2
b. Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, Murabahah
adalah jika penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli,
kemudian ia menyaratkan atas labanya dalam jumlah tertentu, dinar atau
dirham.3
Bai’ Murabahah merupakan salah satu jual beli yang dibenarkan oleh syariah
islam dan suatu implementasi muamalah “tijarah” (interaksi bisnis). Maka dapat
digambarkan praktek Bai’ Murabahah sebagai berikut :
1 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka
Progresif, 1997). hal.463. 2 Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12. Al-Ma’rif, (Bandung, 1995).
h.47. 3 Ibnu Rusyd. Terjamahan Bidayatul Mujtahid Jilid III. Penerbit As-Syifa’, (Semarang,
1990). h.181.
19
“Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga
Rp.10.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.750.000,-
dan ia menjual kepada pembeli dengan harga Rp.10.750.000,- Jadi penjual
memberitahukan kepada pembeli besarnya harga pokok dan keuntungan yang
dia minta. Pada umumnya pedagang eceran tidak akan membeli barang dari
grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli".4
Dari beberapa pengertian Bai’ Murabahah penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa murabahah adalah suatu akad jual beli barang dengan
menyebutkan harga pokok, biaya-biaya, dan keuntungan yang disepakati dengan
pembeli beserta pembayaran secara tunai. Murabahah sebagaimana digunakan
dalam perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok yang harus
diketahui oleh nasabah, dimana perkara tersebut tidak terdapat pada jual beli
lainnya, diantaranya adalah :
1. Harga beli barang dan biaya terkait
2. Kesepakatan atas mark up (keuntungan).
Dengan demikian murabahah dapat dikatakan transaksi kepercayaan, karena
pembeli mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang akan
dibelinya. Ketika bank menawarkan skim murabahah maka sebenarnya bank akan
menawarkan kepercayaan dan good willnya kepada nasabah dan sebaliknya
nasabah yang memberikan kepercayaan penuh kepada pihak bank.
4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi. (Jakarta: Bank
Indonesia bekerjasama dengan Tazkia Institute, Desember 1999), h. 159.
20
Bai’ Murabahah merupakan sarana jual beli atau saling tukar menukar harta
diantara sesama manusia yang mempunyai landasan hukum yang amat kuat dalam
islam. Diantara landasan hukum yang dijadikan sebagai dasar hukum bai’
murabahah adalah sebagai berikut :
QS. An-Nisa’ ayat 29
⌧
)٢٩ :ء النسآ (. ☺Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’(4): 29)
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa orang-orang yang berdagang tidak boleh
mengambil untung terlalu banyak atau tinggi, karena itu akan memberatkan
nasabah dan juga dapat memakan harta saudaranya dengan jalan bathil atau
merugikan orang lain. Dengan demikian dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
penjual dan pembeli harus sama-sama rela, suka sama suka saat transaksi berniaga,
penjual rela menyerahkan barangnya dan pembeli juga rela memberikan uangnya.
Dalam transaksi murabahah, barang yang telah dibeli dibayar dengan cara
tunai. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada seluruh umat islam untuk
memenuhi akad-akad yang telah dibuat dan disepakati oleh manusia itu sendiri.
Akad itu sendiri mencakup janji prasetya kepda Allah SWT dan perjanjian yang
dibuat dan disepakati oleh manusia dalam pergaulan sesamanya
21
Dalam setiap perniagaan tidak selamanya berjalan sesuai dengan syariat-
syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah. Oleh karena itu,
setiap perniagaan harus berhati-hati dan semaksimal mungkin untuk menjauhi
kecurangan atau praktek riba.
Dalam Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 275
)٢٧۵ :البقرة ... (
Artinya :
…“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”… (QS. Al-Baqarah(2) : 275). Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli,
karena jual beli mendapatkan harta seseorang dengan jalan sukarela diantara
mereka, dan Allah SWT telah mengharamkan riba karena hal itu berarti melipat
gandakan pembayaran uang salah satu orang diantara mereka. Ayat di atas
merupakan teguran dan perintah untuk semaksimal mungkin menjauhi praktek riba,
sehingga tidak saling merugikan dalam perniagaan.
2. Rukun dan Syarat Bai’ Murabahah
a. Rukun Bai’ Murabahah
Bai’ Murabahah adalah suatu transaksi jual beli, dengan demikian rukun-
rukunnya sama dengan rukun jual beli, adalah sebagai berikut :
1) Pihak yang berakad dalam jual beli yaitu : penjual dan pembeli.
2) Objek yang diakadkan, meliputi barang yang diperjual belikan dan
harga barang yang diperjual belikan.
22
3) Akad atau sighot yaitu : ijab dan qobul.5
Adapun ketentuan rukun Bai’ Murabahah adalah sesuai dengan rukun jual
beli di atas yaitu :
1) Pihak yang berakad menurut ulama fiqh sepakat, bahwa orang yang
melakukan akad murabahah harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Cakap hukum dan baligh (berakal sehat dan dapat membedakan
baik-buruk) sehingga jual beli dengan orang gila tidak sah,
sedangkan dengan anak kecil dianggap sah apabila seijin orang tua
atau walinya.
b) Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.6
2) Orang jual beli harus memenuhi :
a) Barang yang diperjual belikan adalah barang yang halal
b) Barang yang diperjual belikan harus bisa diambil manfaatnya atau
memiliki nilai.
c) Barang tersebut dimiliki oleh penjual.bukan milik orang lain.
d) Barang tersebut dapat diserah terimakan tanpa syarat.
e) Barang tersebut harus diketahui secara spesifik dan
diindentifikasikan oleh penjual.
f) Barang tersebut diketahui kuantitasnya dengan jelas.
5 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan
Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). h.77. 6 Hasan Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2004). h.119.
23
g) Barang tersebut dapat diketahui kualitasnya dengan jelas.
h) Harga barang tersebut jelas.
i) Barang tersebut diakadkan secara fisik dan ditangan penjual.7
3) Ketentuan yang terkait dengan ijab qabul
Perkara utama dalam bai’ Murabahah adalah kerelaan diantara penjual
dan penbeli. Kerelaaan ini dapat terlihat saat akad berlangsung, maka ijab
qabul harus diucapkan secara jelas karena transaksi ini mengikat kedua
belah pihak. Adapun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
a) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad.
b) Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam
spesifiksi barang maupun haraga yang disepakati.
c) Tidak menggantungkan klausul yang bersifat keabsahan transaksi
padش hal atau kejadian yang akan datang.
d) Tidak membatasi waktu, misalnya : “saya jual barang ini kepada
anda dalam jangka waktu 12 bulan, setelah itu maka jadi milik
saya kembali”.8
7 Sri Nurharyati dan Washilah. Akuntamsi Syariah di Indonesia. (Jakarta : Salemba Empat,
2008). h.166. 8 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan
Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). h.18.
24
b. Syarat Bai’ Murabahah
Dalam Bai’ Murabahah juga dibutuhkan beberapa syarat untuk
melengkapi rukun bai’ murabahah diatas, diantara syarat-syarat yang harus
dipenuhi adalah sebagai berikut :
1) Mengetahui harga pertama ( harga pembelian).
2) Mengetahui besarnya keuntungan .
3) Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan
sejenis, seperti benda-benda yang dapat ditakar dan ditimbang.
4) Sistem Bai’ Murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan
riba tersebut terhadap harga pertama.
5) Transaksi pertama harus sah secara syara’.9
Skema Jual-Beli Akad Murabahah
PENJUAL
SUPLIER BARANG
PEMBELI
1.Negoisasi & Persyaratan
2.Akad jual beli
5. Serah Terima Barang
6. Bayar Tunai
3. Beli barang
4. Kirim barang
9 Wiroso. Jual Beli Murabahah. h.18.
25
Berdasarkan Skema Bai’ Murabahah diatas, sang penjual melakukan
pembelian barang setelah ada negoisasi atau pemesanan barang dari pembeli.
Untuk menunjukkan keseriusan pembeli, penjual boleh meminta “hamish
ghadiya”10 (artinya uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul). Jika di kemudian
hari pembeli membatalkan pesanannya, maka uang muka tersebut dapat digunakan
untuk menutupi kerugian sang penjual. Apabila kerugian tersebut lebih besar dari
uang muka, maka penjual dapat meminta kekurangan itu kepada sang pemesan dan
sebaliknya terdapat kerugian yang lebih kecil maka sang penjual wajib
mengembalikan sisanya kepada sang pemesan.
B. Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional
1. Pengertian Fatwa
Secara etimiologi fatwa berasal dari bahasa arab yaitu )االفتاء( yang yang
merupakan mufrod (tunggal) dan memiliki arti pendapat resmi atau fatwa.11
Menurut bahasa Indonesia fatwa berarti “jawaban” atau keputusan yang diberikan
oleh ahli hukum islam atau mufti.12 Di dalam Al-quran terdapat bentuk kata yang
menggambarkan aktivitas konsultasi hukum, jadi kata fatwa disini dapat diartikan
sebagai mengerjakan sesuatu dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan
jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
10 Hamish ghadiyah adalah uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul. Lihat juga buku Adi Warma Azhwar Karim, bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta : IIIT Indonesia, 2003). h.163.
11 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997). h.1034.
12 Mufti adalah orang pemberi fatwa tentang suatu masalah. Lihat di buku Muhammad Ali. Kamus Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Amani. h.96.
26
Firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 176
⌧
⌧ ☺
⌧ ⌧ ☯
⌧ ☯
)١٧٦: النساء ( . ⌧ Artinya :
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)13. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisaa’(4): 176).
Penggunaan kata “ístifta’” pada ayat tersebut merupakan sebuah penjelasan
singkat terhadap terminology yang berkaitan dengan aktivitas pemberian keputusan
hukum (menerangkan hukum suatu masalah atau perkara). Terdapat beberapa
pengertian tentang fatwa yang dikemukakan oleh :
13 Kalalah artinya seseorang yang telah meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan
27
a. Menurut M. Hasbi Ash-Shidiqie memberikan maksud bahwa fatwa adalah
sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya.14
b. Menurut Yusuf Qardhawi memberikan maksud bahwa fatwa adalah
menerangkan atau menjelaskan hukum syara’ dari suatu persoalan sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh yang meminta fatwa, baik
individu, maupun kolektif atau lembaga.15
c. Dalam ilmu Ushul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh
seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diminta
atau diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak
mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pihak pribadi, lembaga
atau kelompok masyarakat.16
d. Menurut Zamakhsyari, fatwa adalah penjelasan hokum syara’ tentang
suatu permasalahan atas pertanyaan seseorang atau kelompok.17
e. Menurut As-Syatibi, fatwa dalam arti al-iftaa berarti keterangan-
keterangan tentang hukun syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.18
Beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa fatwa merupakan suatu pendapat atau jawaban yang diberikan oleh seorang
mujtahid, mufti atau ahli hukum islam terhadap suatu pertanyaan atau permasalahan
14 M. Hasbi Ash-Shidiqie. Peradilan dan Hukum Acara Islam.(Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001). h.86.
15 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.(Jakarta : Elsas, 2008). h.20. 16 Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve,
1996). h.32. 17 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : Elsas Jakarta, Juli 2008). h.20. 18 Ibid., h.20.
28
penting menyangkut masalah hukum islam yang diminta oleh pihak pribadi atau
lembaga atau kelompok masyarakat.
Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad.
Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh
kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga
batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah
dicurahkan. Sedangkan ifta’ hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu
ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih
spesifik dibandingkan dengan ijtihad.19
Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti
mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti
menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, disertai dalil-
dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan
ataupun tulisan.
2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa
Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur tertentu
yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan dasar yang
menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa yang tidak
mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu bentuk
tahakkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang merupakan
19 Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http://www.microfincenter.com/web/index.php.
29
hukum syara’ terhadap suatu masalah, yang harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
keagamaan (adillah syar’iyyah).
Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara’ yang
dapat dijadikan dasar penetapan fatwa dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan
untuk dijadikan dasar penetapan fatwa. Para ulama juga telah menjelaskan apa saja
dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adilliah
al-ahkam al-muttafaq ‘alaihi), yaitu meliputi :
a. Al-Quran
Para ulama menjelaskan bahwa kata “Al-qur’an” secara etimologi berasal
dari bahasa Arab قرء-يقرء-قرء yang mempunyai arti “bacaan”. Sebagaimana
dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Qiyamah ayat 17-18.20
)١٨-١٧: القيامة ..( Artinya :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”. (QS. Al-Qiyamah (75):17-18).
Para ulama juga menyimpulkan ciri-ciri Al-qur’an sebagai berikut :21
1). Al-qur’an merupakan lafadz
2). Al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
20 KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli
2008). h.59. 21 Ibid., h.60.
30
3) Al-qur’an dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir
(diturunkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai
sekarang).
4). Membaca setiap kata dalam Al-qur’an mendapat pahala, baik bacaan
itu berasal dari hafalan maupun dibaca langsung dari mushaf Al-
qur’an.
5). Al-qur’an itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan suarat
An-Nass. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Quran, disusun
sesuai dengn petunjuk Allah melalui malaikat Jibril Nabi Muhammad
saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya.
Para ulama sepakat bahwa Al-qur’an merupakan sumber utama hukum
islam yang diturunkan Allah, dimana seorang mujtahid harus mendahulukan
nash-nash Al-qur’an sebagai dasar penetapan sebelum mempergunakan
sumber hukum lainnya. Begitu juga dalam penetapan fatwa, Al-qur’an
merupakan dasar pertimbangan pertama sebelum beralih pada yang lainnya.
Apabila hukum permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam Al-qur’an,
maka barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil yang lainnya.
b. As-Sunnah
Pengertian As-Sunnah dari sisi bahasa adalah “jalan yang biasa di lalui”
atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Hal ini bias kita lihat dalam sabda
Rasulullah SAW. yang berbunyi :
31
ثني محمد بن المثنى العنزي أخبرنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن عون بن أبي جحيفة عن حد سن في الإسلام سنة من... آنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم المنذر بن جرير عن أبيه قال
حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في ه من غير أن ينقص من أوزارهم الإسلام سنة سيئة آان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعد
22)الصحح المسلم رواه المسلم في الكتاب. (شيء
Sedangkan secara terminology, As-Sunnah bisa dibedakan menurut
disiplin ilmunya. Menurut disiplin ilmu hadis, pengertian Sunnah sama
dengan pengertian Hadist, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya atau sifatnya
sebagai manusia, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah di angkat
menjadi rasul”. Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ushul fiqh
adalah : “segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”.23
Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ilmu fiqh, disampingnya
pengertian yang dikemukan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan
yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
berdosa”. Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di kalangan ahli ushul
fiqh, disebabkan perbedaaan sudut pandang masing-masing terhadap Sunnah.
Ulama ushul fiqh memandang bahwa Sunnah tersebut merupakan salah satu
sumber atau dalil hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah
sebagai salah satu hukum taklifi.
22 Kitab Shahih Al-Muslim. Dalam Maktabah Syamilah. Juz :5, h.198. 23 Ibid., h.76.
32
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga
bentuk (fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah) merupakan sumber asli dari
hukum-hukum syara’ dan menempati posisi yang kedua setelah Al-qur’an.
Sehingga dalam penetapan fatwa, As-Sunnah menjadi rujukan kedua setelah
Al-qur’an. Ada beberapa alasan yang dikemukan oleh para ulama untuk
mendukung penyataan di atas, di antaranya adalah sebagai berikut :24
1). Surat Ali Imran ayat 31.
⌦ )٣١: العمران ( . ⌧
Artinya : “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Imran: 31).
2). Surat Al-Ahzab )33( ayat 21
⌧ ☺ ⌧
⌧ ⌧ ) .
)٢١: االحزب Artinya : “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".(QS. Al-Ahzab ayat 21). (QS. Al-Ahzab )33( ayat 21).
3). Surat Al-Hasyr )59 ( ayat 7.
) ٧: الحشر (
24 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.87.
33
Artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.(QS. Al-Hasyr )59 ( ayat 7).
4). Surat An-Nisa’ )4( ayat 59.
⌧
⌧ . ) )۵٩: النساء
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa’ )4( ayat 59).
5). Hadist
بن المقدام عن الجرشي عوف أبي بن الرحمن عبد عن حريز أخبرنا قال هارون بن يزيد حدثنا ألا معه ومثله الكتاب تيتأو إني ألا وسلم عليه الله صلى الله رسول قال .قال الكندي آرب معدي فما بالقرآن عليكم يقول أريكته على شبعانا ينثني رجل يوشك لا معه ومثله القرآن أوتيت إني
الأهلي الحمار لحم لكم يحل لا ألا فحرموه امحر من فيه وجدتم وما فأحلوه حلال من فيه وجدتم نزل ومن صاحبها عنها يستغني أن إلا معاهد مال من لقطة ولا ألا السباع من ناب ذي آل ولا 25قراهم بمثل يعقبوهم أن فلهم يقروهم لم فإن يقروهم أن فعليهم بقوم
Yang dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam hadist di atas,
menurut jumhur ulama adalah Sunnah Rasulullah saw.
c. Ijma’
25 Kitab Musnad Ahmad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 35. h.37.
34
Pengertian Ijma’ menurut bahasa (etimilogi) adalah “kesepakatan” atau
“konsensus”. Selain itu mengandung arti “ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu”. Sedangkan secara terminology, ada beberapa rumusan ijma’ yang
dikemukakan oleh para ulama. Imam Ghazali mendefinisikan ijma’ dengan
“kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama”.
Rumusan ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat
Muhammad saw., yaitu umat Islam, tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat
Islam, termasuk orang awam.26
Rumusan menurut al-Amidi mengikuti pandangan Imam As-Syafi’I yang
meyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat
Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan
hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Selanjutnya al-Amadi
merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi
dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
peristiwa/kasus”. Rumusan tersebut menunjukkkan bahwa tidak semua orang
bias melakukan ijma’, melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan
ahl al-hall wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab langsung terhadap umat.
Maka orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma’.27
26 KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008.
h.92. 27 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.93.
35
Sedangkan jumhur ulama merumuskan bahwa ijma’ adalah “kesepakatan
para mujtahid dari umat Muhammad saw pada suatu masa, setelah wafatnya
Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’”. Dari beberapa rumusan diatas
bahwa ijma’ hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Jumhur ulama perlu menyatakan
“setelah wafatnya Rasulullah saw”. sebab selama Rasulullah masih hidup
seluruh permasalahan yang timbul langsung dapat ditanyakan kepada beliau,
sehingga tidak diperlukan ijma’.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat menjadi dalil hukum
(hujjah) selagi memenuhi rukun-rukun ijma’. Dalam kondisi terseut ijma’
menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh diingkar,
sehingga jika ada orang yang mengingkarinya maka dianggap kafir. Dengan
begitu ijma’ juga dapat dijadikan sebagai dasar penetapan fatwa. Disamping
itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ tidak boleh
lagi menjadi permasalah oleh umat generasi berikutnya, karena hukum yang
ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan menempati
urutan yang ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-qur’an dan As-Sunnah.
d. Qiyas
Pengertian qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,
membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya. Sedangkan
pengertian qiyas secara terminology terdapat beberapa definisi yang
36
dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi
mengandung arti yang sama.28
Menurut mayoritas ulama Syafiiyyah :
حمل غير معلوم على معلوم فى اثبات الحكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما من حكم
29او صفة
“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada *hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat”.
Menurut Wahbah al-Zuhaili merumuskan qiyas dengan:
الحاق امر غير منصوص على حكمه الشرعى بامر منصوص على حكمه الشترا آهما في 30علة الحكم
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash
dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebutkan kasatuan ‘illat hukum antara keduanya”.
Dari beberapa rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa proses penetapan
hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, tetapi
hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum yang telah ada pada suatu
kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini
dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu
kasus yang sedang dihadapi.
28 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.105. 29 Al-Ghazali, Al-Mustassyfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyah), jilid II, h.54. 30 Wahbah al-Zuhaili. Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah
1991), jilid I. h.601.
37
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum meminum bir atau
wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua
minuman tersebut mengandung zat yang memabukkan, seperti yang ada pada
zat yang ada pada khomer (mengandung zat yang memabukkan). Zat yang
memabukkan inilah yang menjadi illatnya, sebab illatnya bir dan wisky sama
seperti ‘illatnya khomer. Dengan demikian mujtahid tersebut telah
menemukan bahwa hukum bir dan wisky sama dengan hukum khomer yaitu
haram.31
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah qiyas dapat dijadikan dasar
hukum. Tetapi jumhur ulama ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas dapat
dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’.
3. Sifat Fatwa
Dalam perkembangan ekonomi syariah, fatwa mempunyai peranan penting
dan menjadi aspek organik dalam bangunannya, fatwa juga menjadi alat ukur bagi
kemajuan ekonomi syariah di Indonesia. Secara teknis fatwa ekonomi syariah
tampil menyuguhkan pembaharuan dalam fiqh muamalah maaliyah (fiqh
ekonomi).32
Dari beberapa pengertian fatwa di atas, fatwa memiliki sifat-sifat yang harus
diketahui. Ada dua hal penting yang harus dicatat adalah sebagai berikut :
31 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.106. 32 Syakir Sula dan Aris Mufti. Amanah Bagi Bangsa Konsep Sistem Ekonomi Syariah. Jakarta
: MES dan MUI, BI, Dept. Keuangan RI. h.221.
38
a. Fatwa bersifat responsive. Fatwa merupakan jawaban suatu hukum (legal
opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau
permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus
yang telah terjadi atau nyata. Seorang pemberi fatwa (mufti) boleh untuk
menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang peristiwa yang belum
terjadi, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu
Umar.
ابن عن أيضا وله ) ذلك عن نهى عمر فإن يكن لم عما تسألوا لا( عمر ابن عن أحمد روى آراهة على الشافعي واحتج " ينفعهم عما إلا يسألون آانوا ما " الصحابة عن قال عباس } تسؤآم لكم تبد إن أشياء عن تسألوا لا{ : تعالى بقوله وعهوق قبل الشيء عن السؤال لفظ وفي " السؤال وآثرة المال وإضاعة وقال قيل عن ينهى " وسلم عليه الله صلى وآان
33عليهما متفق} ذلك لكم آره الله إن{
Artinya (yang digaris bawahi):
“Jangan kalian menanyakan tentang peristiwa yang belum terjadi karena Umar RA. (pernah) melarang hal tersebut”. Walaupun begitu, seorang mufti tetap disunahkan untuk menjawab
pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang
yang menyembunyikan ilmu.
b. Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion)
tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa
(mustafti), baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus
mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan
33 Kitab Syarih Muntaha al-Iradad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz:12, h.58.
39
bahwa fatwa tidaklah mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha’).
Bisa saja fatwa seorang mufti di suatu tempat berbeda dengan fatwa mufti
lain di tempat yang sama. Namun demikian, apabila fatwa ini kemudian
diadopsi menjadi keputusan pengadilan dan hal ini lazim terjadi, maka
barulah ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Terlebih lagi jika ia
diadopsi menjadi hukum positif atau regulasi suatu wilayah.34
Dalam kajian Ushul Fiqh, fatwa memiliki sifat mengikat bagi pihak-pihak
yang meminta dan memberi fatwa. Namun teori lama ini dapat diperbaharui seiring
dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Teori fatwa yang mengikat
bagi pihak yang meminta fatwa dan memberi fatwa ini sudah tidak relevan untuk
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Maka dalam fatwa ekonomi syariah Dewan
Syariah Nasional (DSN) tidak hanya mengikat bagi pihak yang meminta atau bagi
praktisi (lembaga) ekonomi syariah, tapi juga bagi masyarakat Indonesia khususnya
yang bertransaksi dengan lembaga terkait. Karena fatwa-fatwa ini telah
dipositivisasi oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), bahkan
DPR RI mensyahkan Perbankan Syariah melalui undang-undang No. 21 Tahun
2008.
4. Metode Fatwa
Fatwa merupakan salah satu metode dalam hukum islam yang terdapat dalam
Al-quran dan hadist untuk memberikan keterangan dan penjelasan mengenai
34 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.20-21.
40
hukum-hukum secara syara’ Islam, ajaran-ajarannya dan arahan-arahannya. Sebagai
sebuah metode dalam memberikan penjelaan terhadap suatu masalah yang belum
jelas status hukumnya, maka fatwa menempati posisi yang sangat penting dan
strategis.
Mengeluarkan fatwa merupakan salah satu cara untuk menerangkan hukum-
hukum Islam kepada masyarakat khususnya umat muslim. Hal ini bukanlah
pekerjaan yang mudah dan mengandung resiko yang berat, maka orang yang pantas
untuk memberikan dan membuat fatwa tidaklah sembarang orang, diperlukan
syarat-syarat tertentu, sehingga fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan layak dipatuhi
umat Islam, dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menimbulkan perselisihan.
Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah
melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :
a. Apa hukum atas masalah yang dimaksud.
b. Apakah dalilnya
c. Apa wajib dalalah-nya.
d. Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan
yang dimaksud.35
Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu
harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut
kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang
35 Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http://www.microfincenter.com/web/index.php. tentang fatwa&catid=34:artikel-ekonomi syariah&Itemid=56.
41
muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as-
Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia
ahli di dalam agama Islam.
Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti :
mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi
mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa
yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan
tertawaan dan permainan.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan
nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh
berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau
analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.
Disamping itu, Jalaluddin Al-Mahalli juga menyebutkan seorang mufti atau
orang yang ahli hukum Islam harus mempunyai persyaratan tertentu agar dalam
keputusan-keputusannya layak untuk dipatuhi.
في اآللة آامل يكون وأن ومذهبا، خالفا وفرعا، أصال بالفقه عالما يكون أن المفتي شرط ومن وتفسير الرجال ومعرفة واللغة النحو من األحكام استنباط في إليه يحتاج بما عارفا االجتهاد، 36.فيها الواردة واألخبار األحكام في الواردة اآليات
Artinya: “Mengusai pendapat-pendapat dan akidah-akidah dalam ushul fiqh dan fiqh,
mempunyai kelengkapan untuk ijtihad, mengetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum (istinbat al-hukum), misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan hadist-hadist hukum”.
36 Kitab Al-Waraqoh lil ‘abdillah Al-Fauzan, dalam Maktabah Syamilah. Juz 1 h.143.
42
Dari uraian di atas tersebut mengandung makna bahwa setiap menyatakan
hukum terhadap suatu masalah seorang mufti atau ahli hukum Islam tidak hanya
mampu menguasai dalil-dalil, tetapi harus menguasai ilmu-ilmu pendukung ijtihad
seperti ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan
hadist-hadist hukum. Sehingga dapat terhindar dari praktek “tahkim” yaitu
membuat-buat hukum dan mengeluarkan sebuah hukum tanpa suatu landasan
hukum yang jelas.
Menjadi seorang mufti harus memenuhi persyaratan yang telah disebutkan
diatas. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan praktek tahkim yang tidak
diperbolehkan dan sangat dilarang oleh Allah SWT, karena dapat merusak tatanan
hukum Islam, bahkan dapat menimbulkan perselisihan umat Islam. Dalam QS. An-
Nahl ayat 116.
☺ ⌧
⌧
)١٦٦: النحل . (
Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS. An-Nahl (16) : 116).
Firman Allah SWT di atas memberikan penjelasan yang sangat tegas, bahwa
seorang mufti atau ahli hukum Islam dalam mengeluarkan fatwa tidak dibenarkan
hanya didasarkan pada dugaan-dugaan atau suatu kebohongan semata, tanpa
didasarkan dalil-dalil yang menguatkannya. Tidak dibenarkan juga dalam
43
memberikan keputusan hukum sesuai dengan kemauannya hanya untuk memenuhi
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Menurut para ulama ushul fiqh, seorang mufti atau ahli hukum Islam harus
mempunyai persyaratan sebagai berikut :
a. Baligh, berakal dan merdeka
b. Adil
c. Memenuhi persyaratan seorang Mujtahid atau memilki kapasitas keilmuan
untuk memberikan fatwa.37
Untuk memberikan bentuk kehati-hatian dalam memberikan fatwa, imam
Ahmad Hambal menyatakan bahwa seseorang tidak pantas untuk mengeluarkan
fatwa sebelum pada dirinya terdapat lima hal berikut :38
a. Mempunyai niat yang tulus ikhlas. Maksudnya setiap orang yang
mengeluarkan fatwa harus diniatkan “lillahi ta’ala”, tidak karena maksud-
maksud lain, apalagi maksud keduniaan, misalnya agar mendapat
kedudukan yang mulia. Karena menurut imam Ahmad, fatwa yang tidak
didasari oleh niat ”lillahi ta’ala” tidak mempunyai “nur” (cahaya).
b. Mempunyai ketenangan dan kewibawaan. Karena setiap mufti harus
mampu menyampaikan dan menjelaskan fatwanya kepada pihak yang
meminta fatwa (mustafti), sehingga fatwanya dipahami secara utuh dan
37 Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve,
1996). h.327. 38 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.30.
44
benar. Orang yang tidak mempunyai ketenangan dan kewibawaan akan
sulit untuk menyampaikan secara jelas fatwanya.
c. Mempunyai kapasitas kelilmuan yang memadai untuk menetapkan fatwa.
Karena seseorang yang mengeluarkan fatwa tanpa didasari oleh keyakinan
akan keilmuannya, maka orang tersebut termasuk orang yang membuat-
buat hukum dan diancam oleh hadist :
أخبرنا إبراهيم بن موسى حدثنا أبى حدثنا ابن المبارك عن سعيد بن أبى أيوب « :-صلى اهللا عليه وسلم-ال قال رسول الله عن عبيد الله بن أبى جعفر ق
39)في الكتاب سنن الدرمي .( » أجرؤآم على النار أجرؤآم على الفتيا
d. Mempunyai kecukupan dalam penghidupannya. Karena jika tidak
mempunyai penghidupan yang cukup dikhawatirkan menggantungkan
hidupnya dari berfatwa yang bisa menjadikannya tidak independent dalam
berfatwa.
e. Memiliki kecermatan dan kecerdikan dalam menghadapi masalah. Hal ini
sangat dibutuhkan oleh seorang mufti agar tidak terjebak dalam tipu daya
orang yang ingin menjadikan fatwa sebagai tempat berlindung dari
masalah yang dihadapinya.
Ada beberapa metode yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa.
Adapun metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :40
39 Kitab Sunan Al-Darami. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 1, h.179. 40 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.44.
45
a. Metode Bayani (Analisa Kebahasaan)
Metode ini dipergunakan untuk memperjelaskan teks Al-Quran dan As-
Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisa kebahasaan.
Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh para ulama
ushul fiqh untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafadz sebagai hasil
analisa induktif dari tradisi kebahwaan bangsa Arab sendiri.
Pembahasaan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup :
1). Analisa berdasarkan segi makna lafadz
2). Analisa berdasarkan segi pemakian makna.
3). Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna.
4). Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut
maksud pencipta nash.
b. Metode Ta’lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik
secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga ada ijma’ yang menetapkan
hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Istinbath seperti
ini ditujukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk
kepada kejadian yang telah ada hukumnya Karena antara dua peristiwa itu
terdapat kesamaan illat hukumnya. Dalam hal ini, mufti menetapkan hukum
46
suatu peristiwa berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya, istinbath
jenis ini dilakukan melalui metode qiyas atau istihsan.
Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga
ketegori, yaitu :41
1). Illat tasyr’i, ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah
hukum yang dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti
adanya, atau boleh diubah kepada yang lainnya. Dalam illat tasyri’i ini
tidak dipersoalkan adanya qiyas atau tidak, karena penekanan
kajiannya adalah pada masalah itu sendiri.
2). Illat qiyasi adalah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu
ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya.
Dengan kata lain, illat ini digunakan untuk menjawab pertanyaan
apakah nash yang mengatur masalah ”x ”juga berlaku untuk menjawab
masalah ”y” (yang secara harfiah tidak dicakupnya, namun di antara
kedua masalah tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama
inilah yang disebut illat.
3). Illat Istihsani yaitu pengecualian maksudnya mungkin saja ada
pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri’i tadi tidak dapat
berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga
qiyas tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang
41 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.46-47.
47
menyebabkannya dikecualikan. Dengan demikian illat kategori ini
mungkin ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama,
sebagimana mungkin juga pengecualian dari kategori yang kedua.
Yang membedakan ketiga pengelompokan illat ini hanyalah
kegunaannya dan intensitas persyaratannya.
c. Metode Istishlahi
Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan dan merumuskan
hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qath’i maupun dhanni
dan tidak memungkinkan mencari kaitannya engan nash yang ada, belum
diputuskan dengan ijma’ dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau istihsan.
Jadi dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara’
yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam bentuk
mendatangkan manfaat (jalb al-manfaat) ataupun menolak kerusakan (dar u
al-mafasid) dalam rangka memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan
harta.42
Lebih jauh para ualam telah membuat tiga ketegori kemaslahatan yang
menjadi sarana semua perintah dan larangan Allah SWT, yaitu dharuriyyah,
hajiyat dan tahsiniyat.
42 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
h.48.
48
Penalaran yang dipakai menggunakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang
mengandung konsep umum sebagai dalil atau sandarannya. Biasanya
penalaran ini dilakuakn kalau masalah yang akan diidentifikasikan tersebut
tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadist tertentu secara khusus.
Dengan kata laintidak ada bandingan yang tepat dari zaman Nabi yang bias
digunakan. Contohnya seperti aturan membuat SIM (Surat Ijin Mengemudi)
tidak ada bandingannya dari sunnah Nabi. Tetapi mengatur maslah baru
tersebut, baik menerima atau menolaknya adalah perlu karena menyangkut
hajat dan kepentingan orang banyak.
Cara kerjanya, ayat dan hadis tersebut digabungkan satu sama lain,
sehingga kesimpulannya adalah merupakan sebuah “prinsip umum”. Prinsip
umum ini dideduksikan pada persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan
tadi.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG BANK BNI SYARIAH
A. Sejarah Berdirinya Bank BNI Syariah
1. Profil Bank BNI Syariah
Sistem Syariah yang terbukti dapat bertahan dalam tempaan krisis moneter
1997, meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu
menjawab kebutuhan perbankan yang transparan. Berdasarkan hal itu dan
mengacu pada UU No 10 Tahun 1998, mulailah PT Bank Negara Indonesia
(Persero ) merintis Divisi Usaha Syariah.
Selain adanya demand dari masyarakat terhadap perbankan syariah, untuk
mewujudkan visinya (yg lama) menjadi “universal banking”, BNI membuka
layanan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan konsep dual system
banking, yakni menyediakan layanan perbankan umum dan syariah sekaligus. Hal
ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang memungkinkan bank-bank umum
untuk membuka layanan syariah.
Di awali dengan pembentukan Tim Bank Syariah di Tahun 1999, Bank
Indonesia kemudian mengeluarkan ijin prinsip dan usaha untuk beroperasinya
unit usaha syariah BNI. Setelah itu BNI Syariah menerapkan strategi
pengembangan jaringan cabang, syariah sebagai berikut :
49
a. Tepatnya pada tanggal 29 April 2000 BNI Syariah membuka 5 kantor
cabang syariah sekaligus di kota-kota potensial, yakni : Yogyakarta,
Malang, Pekalongan, Jepara dan Banjarmasin.
b. Tahun 2001 BNI Syariah kembali membuka 5 kantor cabang syariah,
yang difokuskan di kota-kota besar di Indonesia, yakni : Jakarta (dua
cabang), Bandung, Makassar dan Padang.
c. Seiring dengan perkembangan bisnis dan banyaknya permintaan
masyarakat untuk layanan perbankan syariah, Tahun 2002 lalu BNI
Syariah membuka dua kantor cabang syariah baru di Medan dan
Palembang .
d. Di awal tahun 2003, dengan pertimbangan load bisnis yang semakin
meningkat sehingga untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
BNI Syariah melakukan relokasi kantor cabang syariah di Jepara ke
Semarang. Sedangkan untuk melayani masyarakat Kota Jepara, BNI
Syariah membuka Kantor Cabang Pembantu Syariah Jepara.
e. Pada bulan Agustus dan September 2004, BNI Syariah membuka layanan
BNI Syariah Prima di Jakarta dan Surabaya. Layanan ini diperuntukan
untuk individu yang membutuhkan layanan perbankan yang lebih personal
dalam suasana yang nyaman.
Dari awal beroperasi hingga kini, BNI Syariah menunjukkan pertumbuhan
yang signifikan. Asset meningkat dari Rp. 160 Milyar di Tahun 2001 menjadi 460
50
Milyar di Tahun 2002. Seiring dengan itu kinerja usaha juga mengalami
peningkatan dengan pencapaian laba sebesar Rp. 7,2 Milyar dibanding tahun
2001 yang masih rugi sebesar 3,1 Milyar. Dana pihak ketiga meningkat sebesar
88% dari tahun 2001 menjadi Rp. 205 Milyar. Pembiayaan juga meningkat 163%
menjadi 292,9 Milyar.
Data di atas menunjukkan bahwa perbankan syariah memiliki prospek yang
baik dan akan terus berkembang di masa yang akan datang. Pada akhir tahun
2003 dana pihak ketiga meningkat 97.56% menjadi Rp405 milyar, pembiayaan
meningkat sebesar 67.57% menjadi Rp490milyar sedangkan laba mencapai
peningkatan sebesar 281.39% menjadi Rp.27.46 milyar. Pada tahun 2004 BNI
Syariah mendapatkan penghargaan The Most Profitable Islamic Bank untuk yang
kedua kalinya, penghargaan ini berdasarkan penilaian oleh Karim Business
Consulting bekerja sama dengan Majalah Manajemen dan PPM.
2. Tujuan Pendirian Bank BNI Syariah
Tujuan pendirian Bank BNI Syariah tercermin dalam visi dan misi Bank BNI
Syariah. Adapun visi dan misi Bank BNI Syariah adalah sebagai berikut :
- Visi. Menjadi Bank Syariah yang unggul dalam layanan dan kinerja dengan
menjalankan bisnis sesuai kaidah sehingga insya Allah membawa berkah.
51
- Misi. Secara istiqomah melaksanakan amanah untuk memaksimalkan kinerja
dan layanan perbankan dan jasa keuangan syariah sehingga dapat menjadi
bank syariah kebanggaan anak negeri.
Bank BNI Syariah mengembangkan misinya untuk meningkatkan kualitas dan
kredibelitas bank, diantaranya adalah :
a. Melaksanakan operasional perbankan yang berdasarkan dengan prinsip
syariah Islam.
b. Memberikan mutu pelayanan yang unggul kepada nasabah dengan system
for end dan otomasi online .
c. Meningkatkan kualitas bisnis di segmen pasar usaha ritel.
d. Memberikan kontribusi laba nyata terhadap laba BNI secara keseluruhan.
B. Produk Bank BNI Syariah
1. Produk Inovatif Sesuai Syariah
BNI Syariah menjalankan operasional bank berdasarkan prinsip syariah,
seperti jual beli dan bagi hasil serta memiliki beragam produk dan jasa perbankan
yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan nasabah. BNI Syariah menyadari
bahwa masyarakat yang menghendaki layanan syariah tidak terbatas pada
masyarakat muslim namun juga dibutuhkan oleh seluruh golongan masyarakat
yang menghendaki layanan dan fasilitas perbankan yang nyaman, adil, dan
52
modern. Untuk itulah BNI Syariah senantiasa melakukan peningkatan kualitas
produk, baik produk dana maupun pembiayaan serta terus menerus melakukan
penyempurnaan pada fitur-fiturnya.
Dalam perjalanan usaha terkadang pengusaha menghadapi tantangan yang
membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, dimana keputusan tersebut
membutuhkan dukungan modal. Untuk menangkap peluang emas tersebut BNI
Syariah menyediakan pembiayaan yang dijalankan dengan prinsip syariah dengan
target win-win solution.
a. BNI iB Wirausaha
BNI iB Wirausaha (iB diabaca aibi, = islamic Banking) ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pembiayaan usaha Anda, dengan besarnya pembiayaan
dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta yang diproses lebih cepat dan
fleksibel sesuai dengan prinsip syariah. Jenis akad yang digunakan adalah
sebagai berikut :
Murabahah adalah prinsip jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati antara bank sebagai
penjual dan nasabah sebagai pembeli.
53
Mudharabah adalah kerjasama antara pihak bank sebagai penyedia dana
100 % sedangkan nasabah menjadi pengelola dana dengan keuntungan dibagi
menurut kesepakatan nisbah bagi hasil.
Musyarakah adalah kerjasama dalam penyertaan modal antara pihak
bank dan nasabah dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan nisbah
bagi hasil.
Keunggulan Akad yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Proses lebih cepat dengan persyaratan mudah sesuai dengan prinsip
syariah.
2) Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 7 tahun.
3) Mendapatkan perlindungan asuransi jiwa gratis.
4) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan
dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
Persyaratan Umum untuk menjadi nasabah pembiayaan :
1) Usaha telah berjalan minimal 1 tahun, dan usaha sesuai syariah
2) Mengisi formulir aplikasi dengan melampirkan fotocopy.
3) KTP suami/isteri dan kartu keluarga.
4) Surat Nikah.
5) NPWP.
54
6) Pembiayaan sampai dengan Rp 150 juta dilengkapi dengan surat
keterangan kelurahan/kecamatan.
7) Untuk pembiayaan diatas Rp 150 juta dielngkapi dengan legalitas
usaha.
8) Bukti kepemilikan jaminan.
b. BNI iB Usaha Kecil
BNI iB Usaha Kecil (iB dibaca aibi = islamic Banking) adalah
pembiayaan modal kerja atau investasi kepada pengusaha kecil sampai
dengan Rp 10 miliar berdasarkan prinsip murabaha, musyarakah, mudharabah
dan ijarah.
Keunggulan :
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar
dari transaksi ribawi.
2) Akad murabahah akan memudahkan anda mengelola keuangan karena
besar angsuran tetap selama masa pembiayaan.
3) Dengan akad mudharabah dan musyarakah akan memberikan rasa
keadilan.
4) Setoran angsuran dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
5) Variasi produk keuangan syariah yang lengkap untuk mendukung
kegiatan usaha Anda.
55
6) Pembiayaan dapat diberikan dalam mata uang Rupiah dan USD.
Persyaratan Umum :
1) Melampirkan aktivitas usaha.
2) Identitas diri (KTP/SIM/Paspor).
3) NPWP.
4) Laporan aktivitas Keuangan Usaha.
5) Menyerahkan jaminan.
6) Kegiatan usaha telah berjalan minimal 2 tahun.
Jenis akad BNI iB Usaha Kecil
Jenis akad yang digunakan :
1) Murabahah.
2) Mudharabah
3) Musyarakah
4) Ijarah
c. BNI iB Usaha Besar
Sesuai dengan falsafah dasar ekonomi syariah yaitu bertransaksi dengan
penuh keberkahan dan saling menguntungkan, maka produk-produk
perbankan syariah didesain untuk melayani dunia usaha sehingga antara
56
pemodal dan pengusaha dapat bertumbuh bersama-sama dalam prinsip
keadilan. Pembiayaan Produktif dari BNI Syariah mendukung kemajuan
usaha dengan cara mudah dan fleksibel berdasarkan prinsip – prinsip syariah.
Cara kerja pembiayaan syariah hampir sama dengan cara kerja perbankan
pada umumnya, sehingga masyarakat akan mendapati prosedur yang umum
berlaku dan tidak rumit. Demikian pula dengan maksimum pembiayaan, BNI
Syariah dapat membiayai korporasi yang memerlukan dana diatas Rp 10
milyar melalui BNI Pembiayaan Besar Syariah.
BNI Pembiayaan Besar Syariah adalah Pembiayaan Modal Kerja atau
Investasi kepada pengusaha menengah dan korporasi diatas Rp. 10 Milyar
berdasarkan prinsip Murabahah, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah.
2. Produk Pembiayaan
a. Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan Modal Kerja dengan akad Mudharabah/ Musyarakah
aplofend dapat diberikan s/d 5 tahun atau dapat diperpanjang setiap tahun.
57
b. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan Investasi memiliki jangka waktu maksimal 7 tahun dengan
angsuran kewajiban tetap selama periode pembiayaan sehingga terbebas dari
fluktuasi suku bunga pasar.
c. Pembiayaan Beragunan Tunai (Cash Collateral Financing)
Pembiayaan Beragunan Tunai merupakan jenis pembiayaan yang
memungkinkan investor memperoleh pembiayaan dengan menjaminkan
agunan dalam bentuk tunai yaitu deposito ataupun giro.
d. Pembiayaan Pola Kerjasama
BNI Syariah merupakan pembiayaan melalui pola kerjasama dengan
multifinance, sekuritas dan asuransi syariah.
e. BNI iB Trade Finance
BNI memiliki jaringan korespondensi yang luas sehingga memudahkan
nasabah untuk bertransaksi dengan mitra usaha di seluruh dunia. BNI Trade
Finance Syariah meliputi L/C, SKBDN dan Bank Garansi. Dengan reputasi
BNI yang telah dikenal baik di dunia usaha, BNI Garansi Bank Syariah dapat
meningkatkan kepercayaan mitra usaha nasabah institusi. Bagi perusahaan
yang bergerak di bidang konstruksi umumnya membutuhkan adanya Surat
58
Keterangan Bank yang diperlukan sebagai syarat dalam tender BNI Syariah
menerbitkan Surat Keterangan Bank yang dapat mendukung kredibilitas
perusahaan karena BNI Syariah sebagai Bank dengan mayoritas saham
dimiliki oleh pemerintah akan memberi kesan/ image positif bagi pemilik
proyek.
Keunggulan:
1) Rasa tenteram dan tenang karena pembiayaan syariah terhindar dari
transaksi ribawi. Bagi pengusaha yang sangat memperhatikan aspek
syariah dapat menggunakan pembiayaan ini, karena setiap produk yang
diluncurkan akan melalui prosedur persetujuan Dewan Pengawas Syariah
dan dalam aplikasinya akan secara periodik dipantau nilai syar’i nya.
2) Akad murabahah akan memudahkan dalam mengelola keuangan karena
jumlah yang diangsur tetap selama masa pembiayaan.
3) Dengan akad mudharabah/musyarakah akan memberikan rasa keadilan.
4) Setoran dapat dilakukan di seluruh kantor Cabang BNI
5) Variasi produk keuangan Syariah yang lengkap untuk mendukung
kegiatan usaha.
6) Pembiayaan dapat diberikan dalam mata uang Rupiah dan USD.
7) Mampu membiayai permohonan dengan nominal sama dengan Bank
korporasi lainnya.
59
3. Produk Trade Finance
a. Transaksi LC Ekspor
BNI Syariah menangani LC yang diterbitkan oleh Bank Koresponden
untuk kepentingan nasabah seperti advising dan negotiating LC. Transaksi
akan diproses melalui Trade Processing Center.
1) Advising LC
BNI Syariah dapat bertindak sebagai ’advising’ atas setiap LC yang
diterbitkan oleh bank koresponden yang dikirimkan melalui telex, surat
atau SWIFT. LC dapat dikirimkan langsung kepada cabang-cabang BNI
Syariah dan akan diproses dengan cepat dan efisien, administrasi yang
akurat serta respon yang tepat.
2) Negotiating LC
BNI Syariah selalu siap menegosiasi LC yang diterbitkan oleh bank
koresponden untuk kepentingan nasabah. BNI Syariah memiliki staf yang
terlatih dan siap untuk menjawab kebutuhan nasabah dengan nyaman,
cepat dan aman. Nasabah dapat mengkonversikan hasil ekspor ke dalam
mata uang lain.
60
3) Confirming LC
BNI Syariah siap untuk mengkonfirmasi LC yang diterbitkan oleh
bank koresponden untuk kepentingan nasabah.
Keuntungan transaksi ekspor melalui BNI Syariah :
a) BNI Syariah menggunakan SWIFT dalam transaksi LC ekspor
sehingga proses memnjadi tepat dan akurat.
b) BNI Syariah telah membina hubungan baik dengan bank koresponden
ternama di seluruh dunia.
b. Import Services
BNI Syariah memberikan layanan transaksi impor termasuk penanganan
LC seperti pembukaan LC dan pembayaran LC. LC yang diterbitkan oleh BNI
Syariah, pembayaran tagihan kepada negotiating bank akan dilakukan melalui
bank koresponden utama BNI Syariah.
Keuntungan impor melalui BNI Syariah :
1). BNI Syariah menggunakan SWIFT dalam transaksi LC ekspor
sehingga proses memnjadi tepat dan akurat.
61
2). BNI Syariah telah membina hubungan baik engan bank koresponden
ternama di seluruh dunia.
c. Bank Guarantee
Untuk membantu nasabah dalam melakukan transaksi dengan mitra usaha
di dalam maupun luar negeri, BNI Syariah dapat menerbitkan bank garansi
untuk menjamin nasabah seperti: bid bonds, performance bonds dan advance
payment. BNI Syariah dapat membuka bank garansi dengan jaminan LC
(counter guarantee) yang diterbitkan oleh bank koresponden.
d. Transaksi Kiriman Uang (Remittance/Fund Transfer)
BNI Syariah memberikan layanan kiriman uang dari dan ke seluruh dunia
melalui draft, SWIFT atau Smart Remittance. Kiriman uang ke luar negeri
menggunakan mata uang yang tercatat di Bank Indonesia.
Keunggulan:
1) Didukung oleh lebih dari 900 cabang BNI on line dengan lebih 2500
ATM di seluruh Indonesia.
2) Didukung oleh teknologi yang terpercaya sehingga kiriman uang dapat
diterima tepat waktu.
62
3) Didukung oleh aplikasi berbasis internet yang dinamakan ’Smart
Remittance’.
4) Cepat dan aman mengirimkan uang ke luar negeri dan menerima
kiriman dari luar negeri.
4. Pembiayaan Personal
Dalam kehidupan banyak hal-hal yang harus dipilih dan dipilah secara bijak.
Kita harus membedakan antara “needs” dan ‘wants”. Kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melengkapi hidup dan
prasarana hidup. Keinginan adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan selera,
gaya dan level kepuasan tertentu. Untuk itu BNI Syariah menyajikan rangkaian
jenis pembiayaan yang dikelola secara syariah diperuntukkan untuk memenuhi
kebutuhan personal anda.
a. BNI iB Griya
Melalui pembiayaan BNI iB Griya nasabah dapat mewujudkan kebutuhan
perumahan, kavling siap bangun ataupun renovasi rumah. Pembayaran dengan
cara diangsur dalam periode waktu sampai dengan 15 tahun. Bentuk
pembiayaan adalah jual beli ataupun ijarah.
63
Keunggulan:
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar
dari transaksi yang ribawi.
2) Selama masa pembiayaan besarnya angsuran tetap dan tidak berubah
sampai lunas.
3) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat.
4) Uang muka ringan, minimum 10 % khusus untuk pembelian rumah
5) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan
dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
6) Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 15 tahun
7) Maksimum pembiayaan sampai Rp 5 miliar.
8) Tarif bersaing.
Persyaratan Umum :
1) Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas
berusia maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk
pengusaha.
2) Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun
3) Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur
4) Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
64
b. BNI iB Oto
BNI iB Oto merupakan pembiayaan untuk pembelian kendaraan dengan
proses yang mudah dan cepat berdasarkan syariah. Uang muka relatif ringan
dan pembayaran dapat dilakukan secara debet otomatis.
Keunggulan:
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar
dari transaksi yang ribawi.
2) Selama masa pembiayaan besarnya angsuran tetap dan tidak berubah
sampai lunas.
3) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat.
4) Uang muka ringan, minimum 20 % dari harga kendaraan.
5) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan
dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
6) Khusus mobil buatan Jepang jangka waktu pembiayaan sampai dengan
8 tahun.
7) Maksimum pembiayaan sampai Rp 1 miliar.
65
Persyaratan Umum :
1) Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas
berusia maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk
pengusaha.
2) Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun.
3) Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur.
4) Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
c. BNI iB Gadai Emas
BNI iB Gadai Emas atau juga disebut Rahn merupakan pembiayaan
dengan jaminan berupa emas (lantakan atau perhiasan) yang secara fisik
dikuasai oleh Bank. Proses pembiayaan cepat dan sangat membantu bagi
mereka yang membutuhkan dana jangka pendek untuk kebutuhan yang
mendesak.
Keunggulan :
1) Cepat, karena seluruh proses hanya 30 menit.
2) Mudah, karena dengan prosedur yang sederhana dan diperuntukkan
untuk segenap lapisan masyarakat.
3) Murah, karena tarif jasa penyimpanan dihitung secara harian.
4) Menenteramkan karena dikelola secara syariah.
66
Persyaratan Umum :
1) Memiliki identitas diri (KTP/Paspor).
2) Memiliki rekening tabungan/ giro BNI Syariah sebagai rekening
penampung dana gadai.
3) Menyerahkan emas perhiasan/ lantakan (khusus emas lantakan harus
di sertai sertifikat).
4) Pembiayaan dapat diberikan maksimal 90 % dari nilai taksiran untuk
emas lantakan atau 80 % dari nilai emas perhiasan dengan minimal Rp
1 juta.
d. BNI iB Multijasa
BNI iB Multijasa (iB dibaca aibi, = islamic Banking) adalah pembiayaan
jasa konsumtif yang diberikan kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat
suatu jasa misalnya pembiayaan untuk jasa pernikahan, jasa pendidikan, jasa
kesehatan, wisata umroh/haji, dan jasa lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah, dengan menggunakan akad ijarah. Akad ijarah adalah sewa
menyewa untuk mendapatkan imbalan atas barang/jasa yang disewakan.
Keunggulan :
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar
dari transaksi yang ribawi
67
2) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat.
3) Uang muka ringan, minimum 20 % dari manfaat jasa yang diinginkan.
4) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis, dan
dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
5) Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 3 tahun.
6) Maksimum pembiayaan sampai Rp 500 juta.
7) Tarif bersaing.
Persyaratan Umum :
1) Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas
berusia maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk
pengusaha.
2) Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun
3) Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur
4) Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
C. Struktur Organisasi Bank BNI Syariah
BNI Syariah secara struktur tidak terpisah dengan unit-unit oraganisasi Bank
BNI lainnya. Adapun strukutr tersebut adalah sebagai pimpinan tertinggi yaitu :
Rapat Umum Pemegang Saham, kemudian Dewan Pengawas Syariah (DPS)
terdiri atas KH. Ma’ruf Amin dan Drs. Hasanuddin, M.Ag yang bertugas untuk
68
memastikan dan menjamin opersional bisnis BNI sesuai dengan prinsip-prinsip
system ekonomi Islam. Fungsi pokok Dewan Pengawas Syariah BNI Syariah
adalah :
1. Memberikan advisi kepada manajemen perihal pengolahan dan
pengembangan bisnis BNI sayriah dari sisi asspek syariah.
2. Bertindak sebagai perantara BNI Syariah dengan Dewan Syariah Nasional
(DSN) untuk kajian dan fatwa yang berkaitan dengan pengelolaan atau
penerapan fatwa dan pengembangan bisnis syariah BNI (produk, jasa,
system penunjang dan sebagainya).
3. Melaporkan kegiatan usaha dan pengembangan bisnis perbankan syariah
bank BNI kepada DSN dan atau lembaga-lembaga eksternal lainnya yang
terkait.
Sementara itu, Dewan Komisaris membewahi Direktur Utama. Sedangkan
Divisi Usaha Syariah merupakan bagian dari Strategi Bisnis Unit (SBU) Ritel,
yang berada dibawah penyajianlangsung Direktur Ritel Bank BNI. Adapun fungsi
pokok Divisi Usaha Syariah Bank BNI adalah :
1. Melakukan aktivitas-aktivitas antara divisi.
2. Menunjang penyediaan logistic dan materi Cabang Syariah bekerja sama
dengan unit atau Divisi terkait.
3. Mengelola kebijakan manajemen sumber daya manusia cabang syariah
bekerja sama dengan unit atau divisi terkait.
69
4. Mengkoordinsi penegeloalaan anggaran syariah.
5. Menyusun laporan keuangan usaha syariah dan mengkoordinasi dengan
pengendalian (PKU).
6. Menunjang pengelolaan system teknologi usaga syariah bekerja sama
dengan teknologi. Sedangkan fungsi Divisi Syariah sebagai kantor
cabang-cabang syariah.1
Di bawah Divisi Syariah terdapat kelompok perbankan syariah yang langsung
membawahi pengelolaan pengembangan bisnis syariah. Pengelolaan treasury2,
investment,3 dan pengelolaan penunjang bisnis syariah. Sedangkan disi\visi
syariah juga langsung membawahi pengelolaan penyediaan bisnis syariah dan
bisnis umum cabang syariah berada di bawah pengelolaan penyediaan bisnis
syariah. Cabang syariah membawahi bisnis operasional dan bertanggung jawab
terhadap control intern dan unit pemasaran bisnis. Bisnis operasional bertanggung
jawab terhadap unit operasional dan unit umum dan akuntansi. Adapaun fungsi
pokok unit-unit tersebut adalah sebagai berikut :
1 Fungsi Divisi Syariah diantaranya kantor cabang-cabang syariah : a. Sebagai kantor pusat cabang-cabang syariah. b. Melaksanakan fungsi treasury (likuiditas,placement, pricing) usaha syariah. c. Menyediakan organisasi bisnis cabang syariah bekerja sama dengan Satuan Pengawas Intern
(SPI). d. Memantau kualitas bisnis usaha cabang syariah sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran
(RKA)> e. Mengelola system akuntansi dan pembukuan keuangan syariah. f. Mengembangkan system akuntansi atau jasa syariah sesuai tuntutan pasar. 2 Treasury adalah departemen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan
perusahaan, menyusun rencana pengeluaran untuk departemen-departemen lainnya. Chistoper dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi. (Jakarta : Erlangga, 1994). H.663.
3 Investment adalah investasi yaitu dalam bidang yang berhubungan dengan keputusan pendanaan perusahaan tetapi dilihat dari sudut pandang yang lain.
70
71
1. Pengelolaan treasury dana internasional
a) Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka penempatan dan usaha
syariah.
b) Mengelola bisnis internasional usaha syariah.
2. Penegelolaan pengendalian keuangan dan teknologi.
a) Mengkoordinasi pengelolaan anggaran usaha syariah.
b) Mengelola system akuntansi pembukuan keuangan syariah.
c) Menyusun laporan keuangan usaha syariah dan mengkoordinasikan
dengan KPU.
3. Pengelolaan penunjang operasional
a) Menunjang penyediaan logistik dan material cabang syariah dan
bekerja sama dengan unit-unit terkait.
b) Mengelola sumber daya manusia cabang syariah.
c) Menunjang pengembangan system manajemen cabang syariah.
4. Pengelolaan penyedia bisnis usaha syariah
a) Memantau kualitas operasional sesuai dengan prinsip syariah bekerja
sama dengan bisnis usaha syariah.
b) Memantau system operasional sesuai dengan prinsip syariah bekerja
sama dengan Dewan Pengawas Syariah.
c) Menyediakan operasional bisnis cabang syariah bekerja sama dengan
Satuan Pengawas Intern (SPI).
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Fatwa Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI
Syariah.
1. Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu pendirian dalam hukum Islam untuk memberikan
jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam
pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan
bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil
di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil
Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi
mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami
yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan
ekonomi syari’ah di Indonesia. 1
Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan
model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh
ekonomi) Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin
artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praktis bagi lembaga
1 Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 - 02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
72
keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN. Tawjih
yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas
tentang norma ekonomi syari’ah.2
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi
orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini,
teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat dan karakter fatwa
saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang
fatwa harus direformasi dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan
proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustafti (orang
yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN
saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga
bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi
melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI No.10/16/PBI/2008). Bahkan DPR telah
mengamandemen UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang secara tegas
memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Berdasarkan penjelasan dari DSN-MUI, sifat fatwa yang pada mulanya hanya
mengikat kepada pihak-pihak yang meminta fatwa tersebut. Tetapi untuk semua
fatwa tentang Perbankan Syariah yang telah ditetapkan dan diterbitkan oleh DSN-
MUI, telah dipositivisasikan dan dijelaskan dalam PBI No.10/16/PBI/2008, Surat
2 Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 -
02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
73
Edaran BI No.8/19/Dpbs, serta dalam UU Perbankan No.21 Tahun 2008,sehingga
fatwa-fatwa Perbankan Syariah menjadi mengikat kepada seluruh Lembaga
Keuangan Syariah di Indonesia.3
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan
formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy
(ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy
dan fardli jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya
hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan
ulama Indonesia itu disebut Ijma’. Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional
(boleh memilih) atau dalam arti bahasa Arab ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak
mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak
yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau
informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil
fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat
boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan atau
kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian
membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
3 Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk.
Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
74
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman
kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung
individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di
Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli
ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas
masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi
Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia. 4
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi
dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang
dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan
kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk
fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku
umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral.
Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi Lembaga Keuangan
Syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang
berinteraksi dengan LKS.
4 Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 -
02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
75
2. Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan,
karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian
cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding
kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua
kaedah. Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah
hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik
yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman
modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya. Kedua, Al-Ashlu fil
muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua
praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). 5
Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah”
(mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan).
Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam
ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada
syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua
pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah,
pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas. Kemaslahatannya tidak hanya
diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah
5 Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 -
02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
76
(pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah
(validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di
lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa
ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran
dalam penerapannya di lapangan.
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah,
seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan
tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil.
Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma (jelas
kebenarannya) dalam fiqh muamalah.
3. Peranan Ulama Dalam Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam. Ulama tidak hanya
sebagai figur ilmuan yang menguasai dan memahami ajaran-ajaran agama, tetapi
juga sebagai penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat ke arah
pengembangan dan pembangunan umat. Perilaku ulama selalu menjadi teladan
dan panutan. Ucapan ulama selalu menjadi pegangan dan pedoman. Ulama adalah
pelita umat dan memiliki kharisma terhormat dalam masyarakat. Penerimaan atau
penolakan masyarakat terhadap suatu gagasan, konsep atau program, banyak
dipengaruhi oleh ulama.
77
Peran ulama bukan hanya pada aspek ibadah mahdhah, memberikan fatwa
atau berdoa saja, tetapi juga mencakup berbagai bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan, dan sebagainya, sesuai dengan komprehensifan ajaran Islam
itu sendiri. Membatasi peran ulama pada persoalan agama, fatwa dan akhlak saja,
merupakan kekeliruan besar, karena hal itu dipandang sebagai a historis, sebab
dalam sejarah peran ulama sangat luas, seluas ajaran Islam yang komprehensif itu
pula. Kualitas dan kapasitas keilmuan yang dimiliki para ulama telah mendorong
mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Terumuskannya sistem ekonomi Islam secara konseptual, termasuk sistem
perbankan syariah, adalah hasil ijtihad dan kerja keras intelektual para ulama, dan
tentunya hal itu berkat ‘inayah Allah Swt.
Sepuluh peran ulama dalam memasyarakatkan perbankan syariah kepada
umat, setidaknya ada sepuluh macam peran ulama diantaranya adalah sebagai
berikut : 6
a. Pertama, ulama berperan menjelaskan kepada masyarakat bahwa ajaran
muamalah maliyah harus dihidupkan kembali sesuai dengan syariah Islam
yang berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selama ini
sebagian umat Islam memang telah melakukan aktivitas ekonomi maupun
mengkaji ilmu ekonomi, tetapi sayang sekali, prakteknya banyak sekali
6 Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 -
02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
78
bertentangan dengan syari’at Islam, seperti riba, maysir, gharar dan bisnis
bathil. Aktualisasi muamalah tersebut diwujudkan dalam bentuk
Perbankan Syariah, Asuransi Takaful, Pasar Modal Syari’ah, Baitul Mal
wat Tamwil, Pasar Modal Syari’ah (Obligasi dan Reksadana Syariah),
Pegadaian Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dsb.
b. Kedua, ulama juga berperan menjelaskan bahwa keterpurukkan ekonomi
umat Islam selama ini di antaranya disebabkan karena umat Islam
mengabaikan fiqh muamalah. Kitab Ihya ‘Ulumuddin Al-Ghazali,
misalnya hanya digali aspek tasawufnya saja, sedangkan aspek
ekonominya tidak dikaji dan dikembangkan. Demikian pula ratusan judul
kitab-kitab fiqh. Yang menjadi bahasan prioritas para ustadz di masjid,
khutbah jum’at, majelis ta’lim adalah mengenai aspek ibadah saja.
Padahal sebagian kitab-kitab itu berbicara mengenai muamalah.
Kalaupun di sekolah tertentu (pesantren misalnya) mempelajari
muamalah, sifatnya normatif dan dogmatis (fanatic terhadap sesuatu),
belum dikembangkan sesuai dengan aplikasi perbankan.
c. Ketiga, ulama berperan menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbankan
syariah pada dasarnya adalah pengamalan fiqih muamalah maliyah. Fiqh
ini menjelaskan bagaimana sesama manusia berhubungan dalam bidang
harta, ekonomi, bisnis dan keuangan. Bila umat telah menyadari bahwa
membangun dan memasuki bank syariah merupakan ajaran muamalah,
79
maka umat Islam pasti tidak mau lagi memakan riba yang sangat dikutuk
Islam dan merupakan dosa besar yang diperoleh dari bank konvensional.
d. Keempat, mengembalikan masyarakat pada fitrahnya. Menurut fitrahnya,
baik fitrah alam dan maupun fitrah usaha, umat Islam adalah umat yang
menjalankan syariah dalam bidang ekonomi, seperti pertanian,
perdagangan, investasi dan perkebunan, dsb. Budaya demikian, telah
dirusak oleh liberalisasi dunia perbankan, sehingga masyarakat tercemari
oleh budaya bunga yang sebenarnya bertentangan dengan fitrah alam dan
fitrah usaha. Bahkan ironisnya, karena ketidakberdayaan (maaf) ulama di
masa silam, ada di antara ulama membolehkan saja bunga yang
dipraktekkan di dalam perbankan. Fitrah alam dan fitrah usaha tidak bisa
dipastikan harus berhasil, karena sebuah usaha bisa bisa untung besar,
untung kecil, malah bisa rugi. Sedangkan dalam konsep bunga usaha
dipastikan berhasil. Padahal yang bisa memastikan hanya Allah (lihat
surah Luqman : 34).
….. ⌧ ….. )٣٤: لقمن (
Artinya :
“Seseorang tidak bisa mengetahui (secara pasti) berapa hasil usahanya besok”. (QS. Luqman : 34).
e. Kelima, ulama menjelaskan kepada ummat keunggulan-keunggulan
sistem ekonomi Islam, termasuk keunggulan sistem bank syariah dari
80
bank konvensional yang menerapkan bunga.. Jadi, ulama sebenarnya
mempunyai peran penting dalam pengembangan produk perbankan
syariah, karena para ulama umumnya mengusai dan bisa mengajarkan
fiqih muamalah, seperti konsep mudharabah, musyarakah, murabahah,
ba’i salam, ba’i istisna’, ba’i bit tsamanil ‘ajil, wakalah, kafalah, hiwalah,
ijarah, qardhul hasan, dsb.
f. Keenam, membantu menyelamatkan perekonomian bangsa melalui
perkembangan dan sosialisasi perbankan syariah. Krisis ekonomi di
penghujung dekade 1990-an menjadikan perekonomian bangsa mengalami
kehancuran. Suku bunga terpaksa dinaikkan, agar dana masyarakat
mengalir ke perbankan sebagai tambahan darah bagi kehidupan bank.
g. Ketujuh, mengajak umat untuk memasuki Islam secara kaffah
(menyeluruh), tidak sepotong-potong seperti selama ini. Selama ini masih
banyak kaum muslimin yang bergumul secara langsung dengan sistem
riba yang diharamkan Al-Qur’an dalam bank konvensional. Menabung
atau membuka rekening di bank syariah merupakan sebuah upaya menuju
Islam Kaffah. Sehingga kita tidak lagi kapitalis dalam kegiatan ekonomi.
h. Kedelapan, menjelaskan kepada masyarakat tentang dosa riba yang sangat
besar, baik dari nash Al-Qur’an, sunnah, pendapat para filosof Yunani,
pakar non muslim, pakar ekonomi Islam, dsb.
81
i. Kesembilan, memberikan motivasi kepada masyarakat, khususnya para
pengusaha kecil, menengah atau wirausaha, agar mereka memiliki etos
kerja yang sangat tinggi, bekerja keras sesuai dengan ridha Allah dan
bersifat jujur (amanah) dalam mengelola uang umat.
j. Kesepuluh, mengajak para hartawan dan pengusaha muslim agar mau
mendukung dan mengamalkan perbankan syariah dalam kegiatan bisnis
mereka. Dengan demikian, syiar muamalah Islam melalui perbankan
syariah lebih berkembang dan diminati seluruh kalangan.
4. Aplikasi Hukum Islam Dalam Lembaga Perekonomian Islam Di
Indonesia
Hukum ekonomi Islam, secara umum belum dipraktikkan dan belum banyak
yang menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara
kelembagaan hanya dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara
hukum memang harus ada yang mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan
kepentingan banyak pihak dan dalam skala yang lebih besar. Sehingga perbedaan
tersebut juga berimplikasi terhadap perbedaan proses positifisasinya. Sehingga
positifisasi tersebut berangkat dari gejala institusionalisasi hukum ekonomi Islam
yang secara adat belum banyak dipraktikkan oleh seluruh umat Islam. Kalau
melihat langsung pada praktiknya, justru masih banyak praktik ekonomi umat
Islam yang masih menyimpang dari hukum Islam dan semakin mengkristal
menjadi semacam kebiasaan. Bahkan lembaga-lembaga perekonomian Islam yang
82
menjadi barisan terdepan dalam penegakan hukum ekonomi Islampun juga belum
sepenuhnya mengaplikasikannya. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil
survei, ternyata bank-bank syari'ah pada umumnya, lebih banyak menerapkan
murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kurang
lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total pembiayaan mereka.7
Padahal, sebenarnya bank syari'ah memiliki produk unggulan, yang berbasis
profit and loss sharing (PLS), yaitu mudharabah dan musyarakah. Berdasarkan
data yang telah penulis ambil dari Bank BNI Syariah, pembiayaan Murabahah
masih tergolong sebagai pembiayaan unggulan yang banyak digunakan oleh para
nasabahnya. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan tabel dibawah ini.8
Pembiayaan Persentase
Murabahah 76%
Mudharabah dan Musyarokah 18%
Ijaroh 6%
Meskipun demikian, mekanisme pembiayaan murabahah ini, ternyata tak
lepas dari kecaman dan kritikan dari para Ilmuwan Muslim sendiri. Mereka
berpendapat bahwa bank-bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya,
7 Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id.
8 Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
83
ternyata bukannya meniadakan bunga dan membagi resiko, tetapi tetap
mempertahankan praktik pembebanan bunga, namun dengan label 'Islam'.
Dalam hukum Islam dikenal teori ’urf atau adat, sebagai salah satu metode
istinbat hukum. Dalam teori ini hukum dirumuskan dengan mempertimbangkan
adat istiadat masyarakat. Apalagi dalam konteks hukum ekonomi Islam sangat
berkaitan dengan masyarakat secara langsung yang sarat dimensi sosialnya.
Sehingga diperlukan fleksibelitas dalam hukum ekonomi Islam yang dikenal
dengan kaidah, ”Al-Asl fi al-Muamalah al-Ibahah Illa ay-Yadulla Dalilan ’ala
Tahrimih” (Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Maksud kaidah ini bahwa semua
transaksi dalam bidang muamalah adalah dibolehkan seperti jual-beli, sewa
menyewa, kerja sama (Mudharabah atau Musyarakah) dan sebagainya, bahkan
untuk transaksi yang mungkin akan tercipta di kemudian hari, selama tidak ada
nash yang melarang transaksi tersebut.9
Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia saat ini, mengalami
akselerasi yang luar biasa. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa
Undang-undang yang mengatur lembaga perekonomian Islam di Indonesia,
sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan tersebut. Selain itu, juga
9 Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di
Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id.
84
berimplikasi terhadap aplikasi hukum Islam dalam operasional dan inovasi
produk pada lembaga perekonomian Islam dan kemungkinan terjadinya
penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama. Dalam kerangka
itulah hadir Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang memberikan terobosan
baru dalam sejarah pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia.
Fatwa-fatwa DSN-MUI ini telah diserap dalam UU Perbankan dan Peradilan
Agama. Hebatnya lagi, Peradilan Umum dapat menyelesaikan sengketa
perbankan syariah dengan syarat memutuskan perkara tersebut berdasarkan
fatwa-fatwa DSN-MUI dan hukum-hukum syariah. Jadi perkembangan fatwa-
fatwa DSN-MUI telah memberikan kontribusi kepada kemajuan dan
perkembangan hukum islam di Indonesia demi tegaknya syariat-syariat islam di
dunia.10 Di samping itu, para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah
(regulator) membutuhkan fatwa-fatwa DSN MUI berkaitan dengan praktik dan
produk lembaga perekonomian Islam.
B. Implementasi Fatwa Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI
Syariah.
Perkembangan ekonomi Islam saat ini secara terus menerus mengalami
kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional maupun di Indonesia.
Perkembangan tersebut meliputi kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun
10 Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk. Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
85
secara praktik operasional seperti yang terjadi di lembaga- lembaga
perekonomian Islam seperti Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal
Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah, Leasing Syariah, Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul Mal wat Tamwil, Koperasi Syariah,
Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Syariah, lembaga keuangan publik Islam seperti
Lembaga Pengelola Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta berbagai bentuk
bisnis syariah lainnya. Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar
meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara,
ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance,
strategi mengatasi kemiskinan serta pengangguran, inflasi, kebijakan moneter),
dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan dan
sebagainya.11
1. Konsep-Konsep Pembiayaan Bank Syariah
Produk bank syariah yang berkaitan dengan penyaluran dana, dalam istilah
bank syariah dikenal dengan pembiayaan (sama dengan kredit dalam istilah bank
konvensional) menerapkan beberapa sistem. Dalam Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 Bab VI Pasal 28
11 Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id.
86
tentang Kegiatan Usaha[1] disebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip
syariah dalam kegiatan usahanya yang meliputi:12
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi
a. giro berdasarkan prinsip wadiah,
b. tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah,
c. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
d. bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui:
a. murabahah,
b. istisna
c. ijarah
d. salam
e. jual-beli lainnya
3. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip
a. mudharabah
b. musyarakah
c. bagi hasil lainnya
4. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip
a. hiwalah
b. rahn
12 Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya.
Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
87
c. qard.
Pada prakteknya, seperti Bank BNI Syariah produk pembiayaan yang
diaplikasikan adalah Jual-Beli (murâbahah), Bagi-Hasil (Mudhârabah), Sewa-
Beli (Ijârah bai’ at Ta’jiri), dan kongsi (musyârakah).
Secara formal bentuk akad atau perjanjian pembiayaan murabahah merupakan
akad jual beli antara bank syariah selaku penjual dan nasabah selaku pembeli,
namun hakekatnya bank syariah sebatas menawarkan produk pembiayaan atau
pendanaan kepada calon nasabah yang membutuhkan pendanaan, baik untuk
kebutuhan produktif maupun konsumtif. Praktek ini masih mirip dengan
mekanisme pada bank konvensional.13
Masyarakat awam mempunyai kesan bahwa bank syariah adalah bank dengan
sistem bagi hasil. Semua produk dianggap menggunakan bagi hasil. Padahal bank
syari’ah dari fungsi penyaluran dana atau dalam bentuk pembiayaan banyak
menawarkan produk pembiayaan dengan model pembiayaan murabahah (jual-
beli). Hampir semua bank syariah di dunia didominasi dengan produk
pembiayaan murabahah, termasuk pada bank BNI Syariah. Sistem penyaluran
dana pembiayaan dengan bagi hasil dan lainnya masih sangat sedikit
direalisasikan. Sebagaimana pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa produk
murabahah pada bank BNI Syariah masih merupakan produk primadona yang
mendominasi dibandingkan produk penyaluran dana yang lain.
13 Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya.
Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
88
Pembiayaan Persentase
Murabahah 76%
Mudharabah dan Musyarokah 18%
Ijaroh 6%
2. Problematika Bank Syariah dan Solusinya
Dominasi pilihan yang jatuh pada murabahah tersebut disebabkan karena
untuk jual-beli itulah kebutuhan riil masyarakat. Apabila dominasi tersebut
dihubungkan dengan hasil penelitian di salah satu bank syariah di Surakarta
tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Bank Syari’ah yang menghasilkan
temuan di antaranya bahwa alasan yang paling utama dari beberapa nasabah yang
memperoleh pembiayaan di Bank Syari’ah utama yaitu ingin menghindari riba
(65,96%). Alasan dari beberapa pengusaha yang tertarik untuk menabung dan
memperoleh pembiyaan dari Bank Syari’ah ini cukup beragam. Alasan mengapa
mereka tertarik pada Bank Syari’ah setelah diperdalam dengan pertanyaan-
pertanyaan yang berkaitan dengan keuntungan maka faktor kesesuaian dengan
syari’at Islam ini menjadi melemah. Hal ini berarti bahwa ketertarikan masyarakat
terhadap Bank Syari’ah masih sangat terbatas pada faktor-faktor yang bersifat
89
emosional, sementara faktor-faktor yang berkaitan dengan akses dan mutu
pelayanan belum mendapat perhatian utama.14
Alasan ini memperlihatkan bahwa seseorang memilih bank syariah adalah
alasan emosional-ideologis, bukan alasan yang memberi solusi pada nasabah,
yang membantu nasabah dalam menyelesaikan problem-problemnya secara lebih
baik, memberikan perbaikan pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat lemah dan
pada tujuannya memberikan rahmah pada alam semesta. Solusi yang dimaksud di
sini adalah alasan lebih adil, menolong, resiko ringan. Artinya, secara riil
keberadaan bank syariah di dunia, khususnya di Indonesia baru dipandang sebagai
penyelamatan diri secara emosional-ideologis, bukan penyelamatan (solusi) dari
problem ekonomi, bahkan secara makro penyelamatan eksistensial, yang
menyelamatkan kemanusiaan dari kekuatan kapital yang merongrong eksistensi
kemanusiaan, yang berujung pada problem kemanusiaan.
Merujuk pada prinsip dasar perbankan syariah bahwa pola bagi hasil sesuai
syariat Islam semestinya produk-produk perbankan yang berupa bagi hasil lebih
unggul daripada produk-produk lainnya. Kenyataan inilah yang menimbulkan
kesan bahwa bank syariah Indonesia sebenarnya bukan bank bagi hasil,
melainkan “Bank Murabahah”. Sebagian orang bahkan memelesetkan nama Bank
Muamalat Indonesia menjadi “Bank Murabahah Indonesia”, Bank Syariah
Mandiri menjadi “Bank Syariah Murabahah”. Semestinya pembiayaan bagi hasil
14 Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya.
Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
90
lebih tinggi daripada pembiayaan yang lain, karena pembiayaan bagi hasil inilah
yang dapat mempercepat pengembangan ekonomi masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraan umat. Logikanya, umumnya pembiayaan profit and lose sharing
atau revenue sharing tersalur ke sektor riil.15
Fenomena ini tidak hanya dipacu oleh kondisi umat yang lebih berorientasi
konsumtif, namun juga dipengaruhi oleh di antaranya kesulitan menembus
pembiayaan bagi hasil tersebut. Prosedur yang memberatkan seperti adanya
lamannya bidang pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu
dirubah dengan mengadakan pendampingan atau dengan personal guarantee atau
ad dhaman (ganti rugi). Untuk mengatasi hal ini, bank syariah sebenarnya bisa
membangun jaringan dengan ulama atau tokoh masyarakat setempat. Jadi bukan
menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan
pendampingan.
Beberapa kendala yang lain sebagai berikut; Pertama, Money Circulation
yaitu sumber dana bank atau lembaga keuangan Islam yang sebagian berjangka
pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya
berjangka panjang. Kedua, adverse selection, yaitu (1) pengusaha dengan bisnis
yang memiliki keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan sistem
mudarabah, (2) pengusaha dengan bisnis beresiko rendah enggan meminta
pembiayaan mudarabah, sebaliknya justru yang beresiko tinggi yang sering
15 Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya.
Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
91
menggunakan sistem mudarabah, (3) pengusaha memberikan prospektus proyek
yang terlalu optimis (hanya) agar pihak bank tertarik. Ketiga, moral hazard yaitu
pengusaha mempunyai dua pembukuan, yaitu (1) yang diberikan kepada bank;
yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang diberikan juga
kecil, padahal pembukuan yang (2) sebenarnya mempunyai keuntungan
berjumlah besar.
Fenomena yang terjadi pada praktek bank syariah menunjukkan bahwa bank
syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam belum menunjukkan perannya
yang signifikan dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi umat.
Kekuatan bank syariah selama ini hanya bertumpu pada pijakan emosional-
ideologis yang memang menjadi kekuatan yang terbesar. Namun akan sangat
rentan apabila perkembangan bank syariah tidak menunjukkan perannya yang
lebih signifikan pada pengembangan ekonomi dan kesejahteraan umat.16
Hal-hal yang perlu dilakukan adalah membuka konsep-konsep pembiayaan
yang masih mungkin digulirkan, dengan prosedur yang lebih mudah dan tetap
hati-hati. Beberapa perbaikan berkaitan dengan problema di atas adalah
peningkatan mutu sistem pembiayaan yang lebih baik. Secara riil adalah
menghindari transaksi jual-beli fudhul dan memprioritaskan pembiayaan kepada
sektor riil yang membuka peluang lapangan pekerjaan dan memperkecil
kemiskinan. Prosedur yang memberatkan seperti adanya masa pekerjaan bagi
16 Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya.
Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
92
nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan
pendampingan. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi
menerima dengan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad
dhaman. Dengan model ini lapangan kerja akan lebih terbuka dan pada gilirannya
kesejahteraan akan menjadi lebih luas sebarannya.
C. Analisa Penerapan Fatwa Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank
BNI Syariah.
Dari uraian dan penjelasan tentang ketentuan umum fatwa tentang konversi
akad Murabahah dan pelaksanaan pembiayaan Murabahah pada bank BNI
Syariah diatas, penulis berpendapat bahwa aplikasi murabahah dan konversi
akadnya yang diterapkan di BNI Syariah sebagian besar sesuai dengan murabahah
yang ada dalam prinsip Islam yaitu suatu perjanjian jual beli dimana bank
membiayai pembelian barang yang diperlukan nasabah dengan system
pembayaran ditangguhkan yang dapat dibayar dengan cicil. Namun, menurut
penulis hal ini bukan berarti aplikasi fatwa konversi akad Murabahah di Bank
BNI Syariah tidak luput dari beberapa penyimpangan.
Maka penulis akan mencoba menganalisa pasal-pasal yang berkenaan
konversi akad murabahah pada Bank BNI Syariah, analisa ini ditinjau dari
ketentuan umum fatwa DSN No.48/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Murabahah dan fatwa-fatwa lainnya yang berhubungan dengan pembiayaan
Murabahah. Beberapa analisa yang dapat disimpulkan adalah sebagi berikut :
93
1. Proses Pembiayaan Murabahah Di Bank BNI Syariah
Pelaksanaan pembiayaan Murabahah yang telah dijalankan oleh pihak Bank
BNI Syariah sudah sesuai dengan prinsip syariah yang telah di jelaskan pada
Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah. Bahwa di dalamnya
telah disebutkan beberapa ketentuan umum tentang proses pembiayaan dengan
akad murabahah, diantaranya adalah :
a. Bank dan Nasabah harus melakukan akad Murabahah yang bebas riba.
b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank itu
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini
Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah
berikut biaya yang diperlukan.
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
94
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,
pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip, menjadi milik bank.
Disamping itu, pihak Bank BNI Syariah juga memiliki beberapa proses
persetujuan untuk menerima atau menolak permohonan pembiayaan dari para
nasabahnya. Penulis akan memaparkan sesuai dengan hasil wawancara dengan
pihak Bank BNI Syariah.
Pihak Bank BNI Syariah melakukan beberapa langkah untuk menganalisa
permohonan pembiayaan murabahah, diantaranya adalah :
- Pengumpulan data-data nasabah yang akan memohon pembiayaan.
diantaranya data-data yang harus dipenuhi oleh nasabah adalah :
1) Kartu Tanda Penduduk (KTP).
2) Kartu Keluarga (KK) *jika sudah berkeluarga.
3) Slip Gaji.
4) Ada persetujuan dari suami atau istri nasabah yang bersangkutan.
5) Dewasa. artinya sudah cakap hukum. atau usia minimal 21 Tahun
6) Jika masih single tidak perlu adanya persetujuan dari pihak manapun.
95
- Melakukan verifikasi data atau dokumen-dokumen penting yang
berhubungan dengan nasabah.
- Jika nasabah merupakan suatu perusahaan maka ada hal penting yang
harus di cek, yaitu :
a. Mengecek kreadibilitas perusahaan.
b. Meneliti laporan keungan perusahaan.
c. Meneliti ada atau tidaknya blacklist pada pemegang perusahaan.
- Proses persetujuan
1) Struktur fasilitas
2) Keputusan kredit
3) Proses administrasi
a) Surat keputusan pembiayaan.
b) Proses pencairan dana. adanya surat pencairan dana dari nasabah
ke pihak bank sebagai tanda bukti untuk memperkuat kepada pihak
penjual.
Maka kita dapat memperhatikan, bahwa hampir semua Bank-Bank Syariah
akan melakukan kebijakan yang relative sama dengan yang dilakukan oleh Bank
96
BNI Syariah. Karena semua kebijakan yang akan diambil oleh pihak Bank
Syariah harus sesuai dengan aturan-aturan fatwa Dewan Syariah Nasional.
2. Mekanisme Pemesanan Barang
Proses pemesanan barang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, pihak
bank akan menyerahkan secara penuh kepada pihak nasabah. Pihak bank BNI
Syariah memberikan surat perjanjian yang akan ditanda tangani oleh pihak
nasabah dan juga pihak penjual barang. Jadi pihak Bank akan memberikan surat
kuasa untuk memilih dan menentukan barang yang akan dibeli dari pihak
penjual.17 Maka jika terjadi suatu kecacatan pada barang tersebut, maka nasabah
sendiri yang akan menanggungnya atau meminta klaim terhadap pihak penjual
barang.
Jika kita perhatikan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan bank dengan
prinsip akad Murabahah dan kebijakan dari fatwa tentang Murabahah
No.04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam ketentuan umum fatwa Murabahah, pemberian
pembiayaan Murabahah dapat menggunakan dua tipe, yaitu :
a. Tipe pertama yaitu tipe yang konsisten terhadap fiqih muamalah yakni
bank membeli terlebih dahulu barang yang di inginkan nasabah kepada
supplier.
17 Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi
Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
97
b. Tipe kedua yaitu bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
setelah barang dari pihak ketiga (pemasok), jual beli Murabahah harus
harus dilakukan setelah barang memang benar-benar menjadi milik bank.
Sesuai dengan ketentuan fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000, pada
ketentuan pertama butir 9 “Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk
membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan
setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank”. Maka jika terjadi
perwakilan dalam pemesanan barang, fatwa menyarankan nasabah membeli
barang setelah barang memang betul-betul dimiliki oleh pihak bank.
Pada ketentuan pertama butir 4 “Bank membeli barang yang diperlukan
nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba”.
Maka ketentuan ini juga berbeda dengan pihak bank yang memberikan
kewenangan pihak nasabah untuk memilih dan menentukan barang tersebut.
Seperti skema Murabahah pada Bank BNI Syariah dibawah ini.
BANK SYARIAH
SUPLIER PENJUAL
NASABAH
1. Akad jual beli
2. Wakalah
5. Terima dokumen
4. Kirim Barang
3. Beli barang
98
Menurut penulis skema di atas tidak sesuai dengan prinsip akad Murabahah,
seharusnya pihak bank BNI Syariah yang bertindak sebagai penjual barang
kepada nasabah harus memiliki dan menguasai terlebih dahulu barang yang akan
dijual atau dipesan (lihat skema pada Bab II). Karena jika bank tidak memiliki
barang, maka rukun murabahah tidak terpenuhi dan akad menjadi tidak syah.
Adapun alasan pihak Bank BNI Syariah adalah agar pihak nasabah lebih puas dan
yakin atas pilihannya nasabah itu sendiri. Akan tetapi alasan tersebut ada plus dan
minusnya, nilai plusnya nasabah memang akan lebih puas dengan pilihannya.
Tetapi nilai minusnya, jika terjadi masalah atas barang tersebut maka akan
menjadi tanggungan pihak nasabah dengan pihak pedagang (pemasok). Hal inilah
yang akan menjadikan ketidakpuasan nasabah dalam hal pelayanan dari pihak
bank, yang seharusnya semua permasalahan harus ditanggung bersama.
3. Penetapan Marjin
Keuntungan yang akan didapatkan oleh pihak bank adalah berdasarkan besar
kecilnya marjin yang ditetapkan. Marjin (keuntungan) yang terdapat dalam
perjanjian pembiayaan Murabahah dalam pasal 2, bertambahnya harga jual pada
barang ”Y” dari harga pokok tidak dapat dikategorikan sebagai bunga (tambahan
nilai atau harga barang yang telah diharamkan syariah islam). Sebab disini
transaksinya untuk jual beli, jadi bank sebagai penjual wajar bila mengambil
keuntungan.
99
Nasabah sebagai pembeli tidak bisa menuntut harga pokok karena transaksi
ini dapat merugikan bank akan kehilangan keuntungan dari tidak adanya
perputaran modal dan harga yang telah disepakati sifatnya tetap dan tidak berubah
selama masa cicilan atau angsuran. Dalam menentukan besarnya marjin
(keuntungan) tidak ada batasan tertentu yang harus ditaati oleh bank syariah. Hal
ini sesuai dengan fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan pertama butir
6 “Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan”.
Tingkat besar kecilnya marjin bank sudah ditentukan sebelumnya (fixed rate)
yang dihitung berdasarkan tingkat rata-rata pertahun dari keuntungan yang
diperoleh dari bank tersebut. 18 Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan pada
bank BNI Syariah, proses penentuan marjin dari pihak bank telah menentukan
dan menetapkan nilai atau harga minimal yang harus diambil oleh pihak bank,
sebagai contoh penetapan marjinya adalah :
Tarif Marjin Minimal Pembiayaan Produktif
Waktu FLAT
Rupiah Valas
18 Sutan Remi Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. (Jakarta: Pustaka Uatama Grafiti, 1999). h. 153.
100
1 tahun 8.25 % 4.50 %
2 tahun 8.50 % 4.75 %
3 tahun 8.75 % 5.00 %
4 tahun 9.00 % 5.25 %
< 5 tahun 9.25 % 5.50 %
Tabel diatas merupakan gambaran penetapan marjin yang telah ditetapkan
oleh pihak bank, dimana pihak bank secara transparan memberitahukan harga
pokok ditambah marjinnya, kemudian akan dinegoisasikan oleh kedua belah
pihak.
Naik-turunnya nilai marjin dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah :19
- Pengaruh dari persaingan antar bank, baik bank syariah maupun bank
konvensional yang menggunakan sistem bunga.
- Adanya informasi-informasi pihak lapangan yang mengikuti pergerakan
nilai pasar.
- Adanya pengaruh kurs mata uang
- Adanya pengaruh kondisi ekonomi dalam negeri.
19 Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
101
Hal inilah yang membedakan dengan konsep ekonomi konvensional yang
menetapkan imbalan atas kredit atau pembiayaan yang diberikan berdasarkan
persentase tertentu yang diseduaikan dengan tingkat suku bunga pasar dari saldo
kredit atau pembiayaan. Dengan demikian, bunga yang dibebankan kepada
nasabah akan mengikuti pergerakan atau naik-turunnya tingkat suku bunga. Maka
berdasarkan penjelasan diatas, penulis berpendapat bahwa penentuan dan
penetapan marjin (keuntungan) yang dilakukan oleh pihak Bank BNI Syariah
telah sesuai dengan syariat Islam dan telah sesuai dengan fatwa pembiayaan
Murabahah.
4. Penetapan Uang Muka
Uang muka dalam suatu pembiayaan sangat diperlukan untuk menujukkan
kesungguhan dan keseriusan pihak nasabah khusunya dalam proses pengembalian
angsuran. Maka tujuan pemberian uang muka dalam pembiayaan murabahah
yaitu supaya tidak ada pihak yang dirugikan. Hal ini sesuai dengan prinsip ajaran
islam seperti yang telah ditetapkan oleh fatwa DSN No.13/DSN-MUI/IV/2000
tentang uang muka.
Di dalam prakteknya bank BNI Syariah memberikan besarnya pembiayaan
maksimal 80% dari nilai permohonannya dan meminta uang muka kepada
nasabah minimal sebesar 20% dari harga barang yang telah disepakati. Uang
muka tersebut diharuskan bagi nasabah pembiayaan personal, jika pembiayaan
102
secara kolektif dan ada instansi yang dapat menjaminnya seperti perusahaan,
maka uang muka bisa ditiadakan.20
5. Pemberian Jaminan
Dalam pembiayaan murabahah yang sebenarnya memang tidak ada jaminan
dari objek murabahah. Akan tetapi, karena perbankan syariah masih dibawah
domain perbankan umum yang diharuskan meminta jaminan resiko terhadap
suatu pembiayaan untuk mengcover jika terjadi wan prestasi dari pihak nasabah.
Disamping itu, jaminan pembiayaan merupakan tuntutan positifisasi dari dunia
perbankan. Nilai jaminan harus di atas 100% dari nilai objek pembiayaan dan
sekurang-kurangnya nilainya sama dengan nilai objek pembiayaan tersebut.21
Jaminan pembiayaan telah dijelaskan pada perjanjian pembiayaan murabahah
pada pasal 8 ayat 1. Jaminan pada dasarnya bukanlah suatu rukun dan syarat yang
mutlak yang harus dipenuhi dalam pembiayaan murabahah. Sesuai dengan fatwa
DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 pasal 3 tentang jaminan dalam murabahah
adalah:
a. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
b. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat
dipegang.
20 Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi
Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran. 21 Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk.
Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
103
Sama seperti bank-bank lainnya, untuk semua jenis pembiayaan pada Bank
BNI Syariah menggunakan jaminan demi kelancaran pembiayaan. Karena sudah
menjadi ketentuan dari peraturan perbankan, maka nilai jaminan minimal sebesar
100% dari nilai pembiayaan.22
Mengenai jaminan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa tidak ada
yang bertentangan dengan fatwa DSN di atas. Maka dalam teknis operasionalnya,
barang-barang yang dipesan dalam akad pembiayaan murabahah dapat menjadi
salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang.
6. Penyelesaian Utang Nasabah
Dalam penyelesaian hutang-piutang antara nasabah dan pihak bank, maka hal
ini akan difokuskan dalam hal terjadinya wanprestasi atau kelalaian nasabah
untuk melunasi hutangnya. Kredit macet dalam pembiayaan merupakan suatu
permasalahan yang sering terjadi, maka setiap lembaga keuangan termasuk bank
mempunyai kebijakan-kebijakan yang berbeda. Akan tetapi kebijakan tersebut
harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah yang telah tertuang dalam
fatwa-fatwa DSN.
Menurut fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Murabahah pasal pertama telah menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam
menyelesaikan pembiayaan yang bermasalah. Dijelaskan bahwa Perbankan boleh
melakukan konversi (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa
22 Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi
Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
104
menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu
yang telah disepakati, tetapi masih memiliki prospektif dengan ketentuan:
Akad murabahah dihentikan dengan cara:
a. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;
b. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan
sisanya kepada nasabah;
d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap
menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS
dan nasabah.
LKS menyewakan obyek ex-murabahah yang telah dibeli kepada nasabah ex-
murabahah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002
Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian dan wawancara penulis dengan pihak
bank BNI Syariah, memberikan beberapa kebijakan dalam menangani kredit
macet. Dalam pengambilan keputusan jika terjadi suatu kredit macet, maka pihak
bank telah mempunyai beberapa langkah yang akan ditempuhnya, diantaranya
adalah sebagai berikut :23
- Melakukan proses pendekatan kepada pihak nasabah yang bermasalah.
23 Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi
Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
105
- Melakukan proses negoisasi jika pendekatan tidak dapat dilakukan. dalam
proses negoisasi ini jika nasabah dengan sengaja tidak membayar maka
pihak bank akan memberikan surat teguran (SP) sebanyak 3 kali kepada
nasabah.
- Jika proses negoisasi sudah tidak dapat dilakukan, ada kemungkinan
barang akan dijual dengan adanya surat penarikan barang dari pihak bank.
- Jika sudah ditarik maka barang tersebut akan dilelang kepada masyarakat
yang ingin membelinya.
Ketidakmampuan nasabah dalam melunasi hutangnya tidak selalu
mengindentitaskan bahwa nasabah itu sengaja untuk menghindari hutang-
hutangnya. Akan tetapi permasalahan tersebut dipengaruhi oleh keadaaan
ekonomi di masyarakat yang mengakibatkan keadaaan ekonomi seseorang
menjadi terguncang. Jika kita perhatikan kebijakan Bank BNI Syariah diatas,
kebijakan tersebut tidak berlaku kepada nasabah pailit yang masih berniat baik
untuk melunasi hutangnya dan masih menginginkan barang yang telah nasabah
beli. Maka pihak bank akan berupaya untuk memberikan waktu atau penambahan
tempo pelunasan hutang kepada nasabah. Kebijakan ini telah sesuai dengan
ketentuan fatwa No.47/DSN-MUI/II/2005 tentang Recheduling Akad Murabahah.
Untuk nasabah yang benar-benar tidak bisa melunasi kewajibannya, maka
kebijakan pihak bank untuk memberikan surat teguran (SP) sampai dengan 3 kali.
106
Hal ini tidak bertentang dengan prinsip syariah, karena pihak bank berniat baik
untuk memberikan waktu pelunasan dan meringankan beban nasabah. Sesuai
dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 280.
⌧ )٢٨٠: ره البق ( ......
Artinya : “ Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai ia lapang…..” (QS. Al-Baqarah 280). Pada proses diatas pihak bank akan melakukan proses rescheduling dan
restructuring pembiayaan murabahah. Pada proses restructuring pembiayaan,
pihak bank akan memberikan tenggang waktu yang berbeda-beda kepada nasabah
tergantung tingkat kemampuan nasabah untuk melunasi semua sisa hutangnya.
Sisa hutang tersebut sudah mencakup nilai harga pokok dan marjin yang telah
digabungkan sesuai kesepakatan pada awal perjanjian akad murabahah.
Nilai angsuran tersebut pihak bank tidak diperbolehkan adanya tambahan
harga dari sisa hutang yang akan dibayarkan oleh nasabah. Bank BNI Syariah
telah mematuhi ketentuan tersebut dan hal ini sudah sesuai dengan firman Allah
SWT QS. Al-Nisa’ ayat 29.
)٢٩: النساء . ( ☺ ⌧
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta
sesame dengan jalan yang abathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Al-Nisa’:29).
107
Jika nasabah memang tidak bisa melunasi sampai dengan penambahan
waktunya, pihak bank memberikan kebijakan yang sesuai dengan ketentuan fatwa
DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah. Hal ini dapat
kita lihat pihak bank akan menarik barang tersebut untuk dijual kembali atau
dilelang kepada masyarakat lain yang berkeinginan untuk membelinya. Menurut
fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah, barang
tersebut ditarik oleh bank dan dijual kembali kepada nasabah yang bersangkutan
dengan harga pasar.
Sepintas jika kita perhatikan proses ini menyerupai proses Ba’I Innah yang
dilarang oleh syariat Islam. Tetapi menurut hasil penelitian penulis kepada pihak
DSN-MUI, proses ini bukan termasuk proses ba’I Innah, terdapat perbedaan di
dalamnya yaitu:24
- Dalam ba’I Innah, harga pembelian kembali objek murabahah telah
disyaratkan sebelumya dan telah ditetapkan harganya apabila nasabah
(pembeli) diwaktu yang akan datang tidak dapat melunasinya.
- Sedangkan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSN-
MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah tesebut, harga
pembelian objek murabahah tidak mensyaratkan dan tidak ditentukan
waktunya oleh pihak Bank. Hal ini ditempuh supaya memberikan win-win
24 Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk.
Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
108
solution kepada nasabah yag kesulitan melunasi pembayaran pembiayaan
murabahah, agar pihak bank dapat memberikan akad-akad baru kepada
nasabah bilamana nasabah tersebut masih menginginkan objek murabahah
tersebut.
Pada proses ini pihak bank akan melakukan konversi akad murabahah
menjadi akan yang lainnya. Menurut penelitian penulis di Bank BNI Syariah,
pihak bank mengkonversi akad murabahah menjadi akad Mudharabah dan
Musyarokah. Akan tetapi proses konversi akad ini Bank BNI Syariah belum
sepenuhnya memenuhi ketentuan fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 pada
pasal 1 butir b ” LKS menyewakan obyek ex-murabahah yang telah dibeli kepada
nasabah ex-murabahah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik”. Bank BNI
Syariah belum dapat menerapkan konversi akad murabahah dengan akad ijaroh
al-muntahiyah bit tamlik.
7. Penyelesaian Sengketa
Pihak Bank BNI Syariah dalam menyelesaikan sengketa atau wanprestasi
yang dilakukan oleh nasabah, akan membawa masalah ini kepada Pengadilan
Agama. Hal ini sudah dijelaskan dalam surat perjanjian akad Murabahah pada
pasal 20 tentang penyelesaian sengketa. Akan tetapi, di dalam fatwa DSN
No.49/DSN-MUI/II/2005 menyebutkan dalam pasal 2 “Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-
109
110
pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.”
Dalam proses eksekusi barang akan diserahkan kepada pihak Pengadilan
Negeri dan atau Balai Lelang untuk mengambil barang sengketa tersebut. Hal ini
terdapat perbedaan antara pihak bank dengan pihak DSN-MUI dalam mengambil
kebijakan untuk menyelesaikan sengketa. Seharusnya pihak bank bisa mematuhi
kebijakan DSN-MUI untuk menyelesaikan sengketa di Basyarnas, karena dapat
menutupi kejelekan pihak nasabah dari pihak-pihak lainnya.
Menurut penulis, jika terjadi permasalahan Bank BNI Syariah sedikit agak
memaksa kepada pihak nasabah untuk menyelesaikan masalah sengketa ke
Pengadilan Agama. Karena prinsip pembiayaan murabahah itu terjadi dari
kesepakatan kedua belah pihak, begitupun jika terjadi permasalahan seharusnya
terdapat kesepakatan instansi yang akan menanganinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penulisan skripsi, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kedudukan fatwa-fatwa DSN-MUI ini sangatlah penting bagi
Lembaga Keuangan Syariah dalam memberikan dan menetapkan
kebijakan-kebijakan internal bank tersebut. Sifat fatwa pada mulanya
hanya mengikat kepada pihak-pihak yang meminta fatwa tersebut,
tetapi untuk semua fatwa tentang Perbankan Syariah yang telah
ditetapkan dan diterbitkan oleh DSN-MUI, telah dipositifisasikan
sehingga fatwa-fatwa Perbankan Syariah menjadi mengikat kepada
seluruh Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Berdasarkan Surat
Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 kepada
DSN-MUI untuk mengeluarkan fatwa DSN No.49/DSM-MUI/II/2005
tentang Konversi Akad Murabahah dapat menjadi pedoman bagi Bank
Syariah dalam memutuskan kebijakan konversi akad pembiayaan
Murabahah dan dapat menjadikan acuan dalam bertransaksi yang
sesuai dengan syariat Islam.
2. Implementasi fatwa DSN-MUI tentang perbankan dalam
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Pihak perbankan
111
syariah telah mematuhi dan mentaati semua peraturan yang telah di
tetapkan oleh DSN-MUI. Jika dapat dipersentasekan tingkat kepatuhan
pihak perbankan syariah hampir 100% perbankan syariah di Indonesia
telah mematuhi dan mentaati fatwa-fatwa yang telah ditetapkan oleh
DSN-MUI. Sedangkan fatwa-fatwa perbankan syariah dalam
kemajuan hukum islam di Indonesia, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI
ini telah diserap dalam UU Perbankan dan Peradilan Agama. Hebatnya
lagi, Peradilan Umum dapat menyelesaikan sengketa perbankan
syariah dengan syarat memutuskan perkara tersebut berdasarkan
fatwa-fatwa DSN-MUI dan hukum-hukum syariah.
3. Penerapan dan kedudukan fatwa DSN No.49/DSM-MUI/II/2005
tentang Konversi Akad Murabahah dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Diantaranya adalah sebagi berikut :
a. Adanya permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
perbankan syariah itu sendiri, seperti permasalahan dalam
pembiayaan. Maka dengan sendirinya, mau tidak mau
perbankan syariah akan meminta kebijakan fatwa-fatwa
tersebut dalam menyelesaikan permasalahannya.
b. Adanya nasabah yang melakukan wanprestasi dalam
pembiayaan Murabahah, sehingga pihak Bank dapat
mengeluarkan kebijakannya sesuai dengan syariat Islam.
112
c. Adanya permasalahan dalam perekonomian islam, khususnya
dalam dunia Perbankan Syariah.
d. Adanya tuntutan masyarakat untuk membuat kebijakan system
ekonomi Islam yang lebih baik dan adil.
e. Adanya pengaruh sistem konvensional yang dapat menekan
perkembangan dan pertumbuhan sistem ekonomi Islam.
4. Penerapan fatwa-fatwa DSN pada Perbankan Syariah sudah dipatuhi
hampir semua Lembaga Keuangan Syariah, meskipun ada beberapa
hal yang masih belum dipenuhi oleh Perbankan Syariah. Pada fatwa
DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah
ada 2 hal yang dipenuhi pihak Bank BNI Syariah. Diantaranya adalah
pertama hal proses konversi akad Murabahahnya, Bank BNI Syariah
hanya mengkonversi akad Murabahah dengan akad Mudhorabah dan
Musyarokah. Sedangkan dalam fatwa dikonversi ke akad Ijaroh al
munjahiyah bit tamlik. Kedua dalam proses penyelesaian sengketa
pihak Bank BNI Syariah memilih Pengadilan Agama sesuai dengan
UU No. 21 Tahun 2008 pasal 55 ayat 1-3 tentang penyelesaian
sengketa. Sedangkan dalam fatwanya penyelesaian sengketa
diselesaikan di Basyarnas.
113
5. Ketidak sesuaian yang terjadi antara fatwa dan pihak Bank BNI
Syariah bukan berarti Bank melakukan hal yang menyalahi aturan dan
ketentuan syariat Islam. Dalam fatwa DSN No.49/DSM-MUI/II/2005
tentang Konversi Akad Murabahah tidak membatasi pihak Bank dalam
melakukan konversi akad. Bank diberikan kebebasan untuk
menentukan kebijakannya tanpa melanggar syariat Islam. Dalam hal
penyelesaian sengketa, penulis menemukan keganjalan bahwa pihak
Bank BNI Syariah terkesan memaksa pihak nasabah untuk mengikuti
pihak Bank menyelesaikannya di Pengadilan Agama. Seharusnya
pihak Bank bisa lebih fleksible dalam memutuskan sengketa antara
Pengadilan Agama dan Basyarnas.
B. Saran
Sebagai akhir dari penulisan skripsi ini, maka penulis memberikan saran-saran
sebagai berikut :
1. DSN-MUI hendaknya lebih dan terus memperhatikan dan mengawasi
terhadap penerapan fatwa-fatwa agar tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan syariat Islam termasuk di dalamnya fatwa tentang
akad Murabahah ini.
2. Bagi pihak Bank BNI Syariah hendaknya dalam menangani sengketa
hendaknya di musyawarahkan kembali dengan nasabah. Sehingga
114
115
tidak ada rasa terpaksa untuk menyelesaikan masalah tersebut pada
satu isntansi saja.
3. Bagi masyarakat khususnya para nasabah hendaknya lebih teliti dalam
setiap melakukan perjanjian pembiayaan. Harus diketahui aturan-
aturan yang pihak bank berikan, sehingga tidak ada pihak yang merasa
untuk dirugikan.
4. Bagi para peneliti lain yang ingin meneliti tentang akad Murabahah,
penulis menyarankan agar meneliti tentang permasalahan sengketa
pada pembiayaan Murabahah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Adi Warma Azhwar Karim, bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta : IIIT
Indonesia, 2003). Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van
Hoeve, 1996). Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta :
Pustaka Progresif, 1997. Al-Ghazali, Al-Mustassyfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyah), Jilid II. Amiruddin, Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2003. Arifin, Zainul, MBA. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta : Pustaka
Alfabet, 2006, cet ke-4. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT.
Rikena Cipta, Agustus 2006, cet ke-13. Bank Indonesia. Laporan Perkembangan Perbakan Syariah Tahun 2008. Jakarta :
2008. Darmawi, Herman. Management Resiko. Jakarta : Bumi Aksara, 2004, cet ke-8. Djojosoedarso, Soeisno. Prinsip-Prinsip Manajemen Resiko Dan Asuransi. Jakarta :
Salemba Empat, 1999, cet ke-1. Haroen, Nasroen. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya media Pratama, 2000. Hasan Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004. Ibnu Rasyd. Terjamahan Bidayatul Mujtahid Jilid III. Penerbit As-Syifa’, (Semarang,
1990). Kasmir, SE, MM. Pemasaran Bank Jakarta : kencana 2007, cet ke-1.
116
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu kajian Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Perss, 2001, cet ke-1.
Karim, Helmi. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Jakarta: April
1997, cet ke-2. Kitab Al-Waraqoh lil ‘abdillah Al-Fauzan, dalam Maktabah Syamilah. Juz 1. Kitab Al-Mu’jam al-Ausad lil Thabrani. Dalam Maktabah Syamilah. Juz 15. Kitab Musnad Ahmad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 35. Kitab Shahih Al-Muslim. Dalam Maktabah Syamilah. Juz :5. Kitab Sunan Al-Darami. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 1. Kitab Syarih Muntaha al-Iradad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz:12. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.(Jakarta : Elsas, 2008). Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,
1997. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi. (Jakarta: Bank
Indonesia bekerjasama dengan Tazkia Institute, Desember 1999). Nazhir, Mohammad. Ph.D. Metode Penelitian . Jakarta : Ghalia Indonesia, Agustus
2006, cet ke-13. Nazir,Muh. Ph.D. Metode Penelitian. Jakata : Ghalia Indonesia, 1988. cetakan ketiga. Rivai, veithzal dan Andri P. Veithzal. Credit Management Handbook. Jakarta :
PT. Rajawali Press. 2006. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12. Al-Ma’rif, (Bandung,
1995). Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia
Press, 1986, cet ke-2. Soerjono, Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan
Singkat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
117
Sri Nurharyati dan Washilah. Akuntamsi Syariah di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat, 2008.
Supramono, Gatot. Perbankan Dan Masalah Kredit : Suatu Tinjuan Yuridis. Jakarta :
Djambaran, 2006. cet ke-2. Sutan Remi Djahdeini. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. (Jakarta : Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999).
Syakir Sula dan Aris Mufti. Amanah Bagi Bangsa Konsep Sistem Ekonomi Syariah.
Jakarta : MES dan MUI, BI, Dept. Keuangan RI. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk,
dan Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). Wahbah al-Zuhaili. Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah 1991), jilid I. Sumber dari Internet Agus Rakasiwi. Model "Artificial" untuk Prediksi Kredit Macet. Arikel diakses pada
tanggal 4 Oktober 2009 dari http://newspaper.pikiran rakyat.com/prprint.php. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 - 02-
2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index. Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya.
Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net. Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http://www.microfincenter.com. Ekonomi islam. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.wikipedia.com. Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari
http//www.iaeipusat.org. Potensi Kredit Macet Perbankan 2009. Artkel diakses pada tanggal 4 Oktober 2009
dari http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detail&id=487
118
119
Raymond Dantes. Bank Syariah antara Teori dan Realita : Studi Kompertif Akad dan Produk Perbankan Syariah di Dunia Islam., Artikel diakses pada tanggal 08 Mei 2008 dari http;//konsultasimuamalat.com.
Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di
Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id.
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO. 49/DSN-MUI/II/2005
Tentang
KONVERSI AKAD MURABAHAH
بسم اهللا الرحمن الرحيم Dewan Syari’ah Nasional setelah,
Menimbang : a. bahwa sistem pembayaran dalam akad murabahah pada Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) pada umumnya dilakukan secara cicilan dalam kurun waktu yang telah disepakati antara LKS dengan nasabah;
b. bahwa dalam hal nasabah mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi keringanan;
c. bahwa keringanan sebagaimana dimaksud di atas dapat diwujudkan dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam penyelesaian pembayaran kewajiban;
d. bahwa untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut menurut Syari’ah Islam, Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT; antara lain:
a. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
…وأحل اهللا البيع وحرم الربا…
"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
b. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يآ أيها الذين آمنوا التأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون كماض منرت نة عارتج...
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
c. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
…يآ أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu”.
49 Konversi Akad Murabahah 2
Dewan Syariah Nasional MUI
d. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 2:
وتعاونوا على البر والتقوى وال وتعاونوا على اإلمث … )٢: املائدة(والعدوان
“… dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa….”
e. Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah [2]: 280:
... ريا خقودصأن تة، ورسية إلى مظرة فنرسع إن كان ذوو لكم...
”... Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih bik bagimu, jika kamu mengetahui.”
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain:
a. Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh Ibnu Hibban :
رضي اهللا عنه أن ر ريدد الخعيس أبي نلى اهللا عل اهللا صوس إنما البيع عن تراض، : عليه وآله وسلم قال
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.
b. Hadis Nabi riwayat al-Thabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-Mustadrak yang menyatakan bahwa hadis ini shahih:
را أمصلى اهللا عليه وآله وسلم لم عباس أن النيب روى ابنيا نيب اهللا، إنك : بإخراج بني النضير جاءه ناس منهم، فقالوا
حل، فقال رسول اهللا أمن مل توياس دبإخراجنا ولنا على الن رترواه الطربين (ضعوا وتعجلوا : صلى اهللا عليه وآله وسلم
)واحلاكم يف املستدرك وصححه
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo” Maka Rasulullah saw berkata: “Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat”.
49 Konversi Akad Murabahah 3
Dewan Syariah Nasional MUI
c. Hadits Nabi Riwayat Muslim, beliau bersabda:
من فرج عن مسلم كربة من كرب الدنيا، فرج اهللا عنه كربة من كرب يوم القيامة، واهللا في عون العبد مادام العبد في عون
.أخيه
“Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”.
d. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, beliau bersabda:
الصلح جائز بين المسلمني إال صلحا حرم حالال أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إال شرطا حرم حالال أو أحل
.حراما
“Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
3. Kaidah fiqh:
إال أن يدل دليل على تحريمهااألصل فى المعامالت اإلباحة
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
التيسيرتجلبالمشقة
“Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan”.
Memperhatikan 1. Surat Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 perihal Permohonan Fatwa.
2. Hasil workshop BPH-DSN, 9-10 Dzulqa’dah 1425/21-22 Desember 2004.
3. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari Jum’at, 16 Muharram 1426/ 25 Februari 2005.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH
Pertama : Ketentuan Konversi Akad
LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/ melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif, dengan ketentuan:
49 Konversi Akad Murabahah 4
Dewan Syariah Nasional MUI
a. Akad murabahah dihentikan dengan cara:
i. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;
ii. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
iii. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah;
iv. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.
b. LKS dan nasabah ex-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:
i. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut di atas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik;
ii. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau
iii. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
Kedua : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 16 Muharram 1426 H. 25 Februari 2005 M.
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
Daftar Pertanyaan Wawancara Kepada DSN-MUI untuk judul Skripsi
”Analisa Penerapan Fatwa DSN NO. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi
Akad Murabahah Pada Bank Bni Syariah Pusat”
1. Pada saat kapan DSN MUI diminta untuk mengeluarkan fatwa N0. 49 th
2005?
2. Apakah jaminan merupakan suatu keharusan dalam pembiayaan murabahah?
pdhal dalam prakteknya murabahah yang sebenarnya tdk ada jaminan di
dalamnya.
3. Bagaimana implikasi fatwa DSN tentang perbankan dalam perkembangan
perbankan syariah di Indonesia. apakah telah sesuai aturan yang ditetapkan
ataukah tidak?
4. Bagaimana implikasi fatwa DSN tentang perbankan dalam kemajuan hukum
islam di Indonesia.
Hasil Wawancara
Hasil wawancara dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program,
Bpk. Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. pukul 14.00-15.00
WIB.
1. Permohonan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSN-MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah kepada Pihak Dewan Syariah Nasional
pada saat diterbitkannya Surat Direksi Bank Syariah Mandiri No. 6/552/DIR
tertanggal 21 September 2004. Maka pihak DSN dengan segala upaya telah
menerbitkan fatwa tersebut untuk menyelesaikan permasalahan tentang
murabahah, dimana permasalahannya adalah tentang mengkonversi akad
murabahah dengan akad-akad yang baru karena nasabah telah melakukan
kesulitan dalam akad murabahah dan atau sedang mengalami wan prestasi.
Sedangkan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pihak perbankan
syariah adalah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan DSN-MUI pada
perihal “MEMUTUSKAN” poin a dan b. (lihat fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah).
Dalam proses restructuring dan rescheduling pada pembiayaan
murabahah, tidak diperbolehkan bank syariah merubah atau menambah harga
pokok objek murabahah untuk memperoleh keuntungan. Bank hanya
diperbolehkan menambahkan tempo pembayaran kepada nasabah terhadap
sisa hutang yang belu terlunasi oleh nasabah.
Sedangkan dalam proses penjualan objek murabahah kepada LKS atau
Bank Syariah dengan harga pasar saat itu, proses ini hampir mirip dengan ba’I
Innah yang telah dilarang. akan tetapi terdapat perbedaan didalamnya yaitu :
- Dalam ba’I Innah, harga pembelian kembali objek murabahah telah
disyaratkan sebelumya dan telah ditetapkan harganya apabila nasabah
(pembeli) diwaktu yang akan datang tidak dapat melunasinya.
- Sedangkan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSN-
MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah tesebut, harga
pembelian objek murabahah tidak mensyaratkan dan tidak ditentukan
waktunya oleh pihak Bank. Hal ini ditempuh supaya memberikan win-
win solution kepada nasabah yag kesulitan melunasi pembayaran
pembiayaan murabahah, agar pihak bank dapat memberikan akad-akad
baru kepada nasabah bilamana nasabah tersebut masih menginginkan
objek murabahah tersebut.
DSN-MUI tidak menetapkan dalam marjin yang diambil oleh pihak
bank dari para nasabah. Penentuan marjin tersebut diserahkan sepenuhnya
kepada kesepakatan antara pihak Bank dan nasabah, asalkan marjin tersebut
nilainya tidak 100% dari nilai objek murabahah.
Sifat fatwa pada mulanya hanya mengikat kepada pihak-pihak yang
meminta fatwa tersebut, tetapi untuk semua fatwa tentang Perbankan Syariah
yang telah ditetapkan dan diterbitkan oleh DSN-MUI, telah dipositifisasikan
sehingga fatwa-fatwa Perbankan Syariah menjadi mengikat kepada seluruh
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.
2. Dalam pembiayaan murabahah yang sebenarnya memang tidak ada jaminan
dari objek murabahah. Akan tetapi, karena perbankan syariah masih dibawah
domain perbankan umum yang diharuskan meminta jaminan resiko terhadap
suatu pembiayaan untuk mengcover jika terjadi wan perstasi dari pihak
nasabah. Disamping itu, jaminan pembiayaan merupakan tuntutan positifisasi
dari dunia perbankan. Nilai jaminan harus ditas 100% dari nilai objek
pembiayaan dan sekurang-kurangnya nilainya sama dengan nilai objek
pembiayaan tersebut.
3. Dalam implikasi fatwa DSN-MUI tentang perbankan dalam perkembangan
perbankan syariah di Indonesia, pihak perbankan syariah telah mematuhi dan
mentaati semua peraturan yang telah di tetapkan oleh DSN-MUI. Jika dapat
dipersentasekan tingkat kepatuhan pihak perbankan syariah hampir 100%
perbankan syariah di Indonesia telah mematuhi dan mentaati fatwa-fatwa
yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI.
Hal ini dipengaruhi oleh permasalahan-permasalahan yang muncul
dalam perbankan syariah itu sendiri. maka dengan sendirinya, mau tidak mau
perbankan syariah akan merujuk kepada fatwa-fatwa tersebut dalam
menyelesaikan permasalahannya.
4. Sedangkan fatwa-fatwa perbankan syariah dalam kemajuan hukum islam di
Indonesia, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI ini telah diserap dalam UU
Perbankan dan Peradilan Agama. Hebatnya lagi, Peradilan Umum dapat
menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan syarat memutuskan
perkara tersebut berdasarkan fatwa-fatwa DSN-MUI dan hukum-hukum
syariah.
Jadi perkembangan fatwa-fatwa DSN-MUI telah memberikan kontribusi kepada
kemajuan dan perkembangan hukum islam di Indonesia demi tegaknya syariat-
syariat islam di dunia.
Nama : Akhirul Sholeh Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Pertanyaan Wawancara Skripsi
Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang
Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”.
1. Produk-produk pembiayaan apa saja yang sudah dikembangkan oleh Bank
BNI Syariah?
2. Bagaimanakah proses pembiayaannya dan berapa lama masa angsurannya?
Mohon dijelaskan. Untuk lebih spesifik, kami mohon di jelaskan proses
pembiayaan murabahah yang telah dilakukan oleh Bank BNI Syariah.
3. Apakah Bank BNI Syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah 100%
atau 50% dari nilai permohonan pembiayaannya?
4. Apakah ada jaminan dalam pembiayaan murabahah tersebut? Jika jaminan di
adakan, berapa persentase perhitungan jaminan atas pembiayaan murabahah
tersebut?
5. Dalam hal pengadaan barang, apakah Bank BNI Syariah langsung memesan
kepada suplier, menemani nasabah membeli barang, atau memberikan surat
kuasa kepada nasabah untuk menentukan sendiri?
6. Apakah Bank BNI Syariah secara transparan untuk memberi tahu kepada
nasabah jika terdapat cacat pada barang tersebut? Ataukah sebaliknya apakah
nasabah selalu memberi tahu jika barang yang diterima cacat?
7. Apakah Bank BNI Syariah memberi tahukan kepada nasabah secara
transparan tentang harga barang berikut marjin dan biaya-biaya yang
dibutuhkan?
1
8. Jika nasabah mengalami kredit macet atau pailit dalam melunasi angsurannya,
langkah apakah yang selalu di ambil pihak bank dalam menyelesaikan
masalah tersebut?
9. Apabila pihak bank melakukan proses restrukturing pada angsuran
pembiayaannya, bagaimanakah prosesnya?berapa tenggang waktu yang masih
diberikan kepada nasabah tersebut?
Jika diberikan tenggang waktu pelunasan kreditnya, apakah nasabah harus
melunasi berdasarkan sisa pokok hutang dan marjinya atau hanya melunasi
sisa pokok hutangnya saja?
10. Apabila pihak bank melakukan proses reconditioning atau proses konversi
akad pada pembiayaan macet, akad apakah yang akan diberikan pihak Bank
kepada pihak nasabah?
11. Apabila nasabah melakukan pembatalan kontrak pembiayaan murabahah, apa
konsekuensi yang harus ditanggung oleh pihak bank dan nasabah?
12. Apabila terjadi wanprestasi dan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah
pihak (pihak Bank dan nasabah), apakah bank akan menyelesaikan masalah
ini ke Basyarnas? Mohon dijelaskan alasan dalam menyelesaikan masalah
tersebut jika penyelesaiannya bukan ke pihak Basyarnas.
13. Berapa besarkah persentase perbandingan penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan murabahahah dibandingkan dengan bentuk penyaluran dana yang
lainnya? mohon diberikan tabel persentase perbandingannya.
2
HASIL WAWANCARA
Hasil Wawancara dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan
Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010
1. Produk Pembiayaan BNI Syariah :
- Pembiayaan Murabahah
a. Pembiayaan Produktif
b. Pembiayaan Konsumtif
- Pembiayaan Ijaroh
- Pembiayaan Mudharabah
- Pembiayaan Musyarokah
- Pembiayaan Qardhul Hasan
2. Proses Awal Pembiayaan
a. skema permohonan pembiayaan
b. prosedur analisa pembiayaan
- pengumpulan data-data nasabah yang akan memohon pembiayaan.
diantaranya data-data yang harus dipenuhi oleh nasabah adalah :
1). Kartu Tanda Penduduk (KTP).
2). Kartu Keluarga (KK) *jika sudah berkeluarga.
3). Slip Gaji.
4). Ada persetujuan dari suami atau istri nasabah yang bersangkutan.
3
5) Dewasa. artinya sudah cakap hukum. atau usia minimal 21 Tahun
6). Jika masih single tidak perlu adanya persetujuan dari pihak manapun.
- melakukan verifikasi data atau dokumen-dokumen penting yang
berhubungan dengan nasabah.
- jika nasabah merupakan suatu perusahaan maka ada hal penting yang
harus di cek, yaitu :
1). mengecek kreadibilitas perusahaan.
2). meneliti laporan keungan perusahaan.
3) meneliti ada atau tidaknya blacklist pada pemegang perusahaan.
- proses persetujuan
1). struktur fasilitas
2). keputusan kredit
3). proses administrasi
a). surat keputusan pembiayaan.
b). proses pencairan dana. adanya surat pencairan dana dari nasabah ke
pihak
bank sebagai tanda bukti untuk memperkuat kepada pihak penjual.
- Setelah proses diatas terpenuhi, maka terjadi proses hutang piutang antara
nasabah dan pihak bank.
- Angsuran
4
Angsuran tidak boleh lebih dari 40% dari pada gaji nasabah, jika istri
atau suami sama-sama bekerja maka nilai angsuran max. 50% dari jumlah
gaji keduanya. Untuk waktu angsurannya akan dijelaskan di bawah pada
point 7.
3. Bank BNI Syariah hanya memberikan dana pembiayaan sebesar max 80 % dari
permohonan pembiayaan yang telah diajukan oleh nasabah. Pihak bank BNI
Syariah juga meminta Uang Muka kepada nasabah minimal sebesar 20% dari
harga yang telah disepakati. Uang muka tersebut diharuskan bagi nasabah
pembiayaan personal, jika pembiayaan secara kolektif dan ada instansi yang dapat
menjaminnya seperti perusahaan, maka uang muka bisa ditiadakan.
4. Setiap pembiayaan di haruskan adanya suatu jaminan, karena sudah menjadi
ketentuan dari peraturan perbankan. dan nilai jaminan minimal sebesar 100% dari
nilai pembiayaan.
5. Dalam proses pengadaan barang, pihak bank BNI Syariah memberikan surat
perjanjian yang akan ditanda tangani oleh pihak nasabah dan juga pihak penjual
barang. Jadi pihak Bank akan memberikan surat kuasa untuk memilih dan
menentukan barang yang akan dibeli dari pihak penjual.
6. Jadi sesuai dengan surat kuasa yang diberikan oleh nasabah tersebut, maka jika
terjadi suatu kecacatan pada barang tersebut, maka nasabah sendiri yang akan
menanggungnya atau meminta klaim terhadap pihak penjual barang.
7. Dalam penentuan marjin dari pihak bank telah menentukan dan menetapkan nilai
atau harga minimal yang harus diambil oleh pihak bank, diantaranya adalah :
Tabel penentuan Marjin
Tarif Marjin Minimal Pembiayaan Produktif
5
Waktu FLAT
Rupiah Valas
1 tahun 8.25 % 4.50 %
2 tahun 8.50 % 4.75 %
3 tahun 8.75 % 5.00 %
4 tahun 9.00 % 5.25 %
< 5 tahun 9.25 % 5.50 %
Tarif Marjin Minimum Pembiayaan BNI Griya iB
WAKTU FLAT
1-5 tahun 8.50 %
>5-10 tahun 9.50 %
>10-15 tahun 10.50 %
Tarif Marjin Minimum Pembiayaan Multiguna Oto
Waktu FLAT
1 tahun 8.50 %
2 tahun 8.75 %
3 tahun 9.00 %
6
4 tahun 9.25 %
5 tahun 9.50 %
Naik-turunnya nilai marjin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah :
- pengaruh dari persaingan antar bank, baik bank syariah maupun bank
konvensional yang menggunakan sistem bunga.
- adanya informasi-informasi pihak lapangan yang mengikuti pergerakan nilai
pasar.
- adanya pengaruh kurs mata uang
- adanya pengaruh kondisi ekonomi dalam negeri.
8. Dalam pengambilan keputusan jika terjadi suatu kredit macet, maka pihak bank
telah mempunyai beberapa langkah yang akan ditempuhnya, diantaranya adalah
sebagai berikut :
- melakukan proses pendekatan kepada pihak nasabah yang bermasalah.
- melakukan proses negoisasi jika pendekatan tidak dapat dilakukan. dalam
proses negoisasi ini jika nasabah dengan sengaja tidak membayar maka pihak
bank akan memberikan surat teguran (SP) sebanyak 3 kali kepada nasabah.
- jika proses negoisasi sudah tidak dapat dilakukan, ada kemungkinan barang
akan dijual dengan adanya surat penarikan barang dari pihak bank.
- jika sudah ditarik maka barang tersebut akan dilelang kepada masyarakat yang
ingin membelinya.
7
9. Proses Restrukturing terdiri dari beberapa hal. diantaranya yaitu :
a. Penjadwalan kembali piutang. hal ini biasanya dilakukan pada pembiayaan
konsumtif.
b. Reconditioning piutang, hal ini dilakukan pada pembiayaan produktif dan
pembiayaan konsumtif. Tapi proses reconditioning lebih diarahkan pada
pembiayaan produktif.
Pada proses restructuring pembiayaan, pihak bank akan memberikan tenggang
waktu yang berbeda-beda kepada nasabah tergantung tingkat kemampuan
nasabah untuk melunasi semua sisa hutangnya. Sisa hutang tersebut sudah
mencakup nilai harga pokok dan marjin yang telah digabungkan sesuai
kesepakatan pada awal perjanjian akad murabahah.
Bank BNI Syariah juga mensyaratkan cara angsuran yang telah direstrukturing
pembiayaannya :
- Angsuran sudah termasuk harga pokok dan marjin.
- Tidak diperbolehkan adanya tambahan harga dari harga pokok dalam
melakukan structuring atau memberikan tambahan waktu angsurannya, karena
didalam fatwa telah dijelaskan tidak boleh adanya tambahan harga.
10. Dalam melakukan proses reconditioning pihak Bank BNI Syariah mengkonversi
akad murabahah dengan akad Mudharabah dan Musyarokah. Sedangkan akad
Ijaroh Al-Munjahiyah Bit-Tamlik belum diterapkan.
11. Pembatalan kontrak hanya boleh dilakukan oleh pihak bank itu sendiri, sedangkan
pihak nasabah tidak boleh membatalkan kontrak. Jika pihak nasabah
membatalkan kontrak maka dapat dianggap sebagai pembiayaan macet.
8
9
12. Dalam menyelesaikan sengketa atau wanprestasi yang dilakukan oleh pihak
nasabah, maka pihak Bank BNI Syariah akan membawa masalah ini ke
Pengadilan Agama. Dan dalam proses eksekusi diserahkan kepada pihak
Pengadilan Negeri atau Balai Lelang. Hal ini sudah dijelaskan dalam kontrak
perjanjian pembiayaan murabahah.
13. Untuk jumlah pembiayaan yang diberikan oleh Bank BNI Syariah dapat kita lihat
pada tabel selanjutnya yang telah dilampirkan dibelakang. Dan penulis
memberikan tabel singkat untuk membandingkan besarnya persentase
pembiayaan.
Pembiayaan Persentase
Murabahah 76%
Mudharabah dan Musyarokah 18%
Ijaroh 6%
ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005
TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH
PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sajana Ekonomi Islam (SEi)
Oleh :
AKHIRUL SHOLEH
NIM : 105046101664
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Dr. Jaenal Arifin, M.Ag
NIP : 197210161998031004
KONSENTRASI MUAMALAH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN TIM
PEMBIMBING SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
Tim Pembimbing Seminar Proposal Skripsi Program Studi Muamalat mengesahkan
proposal skripsi.
Nama : Akhirul Sholeh
NIM : 105046101664
Konsentasi : Perbankan Syariah
Judul : ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005
Tentang Reconditioning Akad Murabahah Terhadap Tingkat
Kredit Macet (Studi Kasus Pada Bank Indonesia)”.
Jakarta, 3 Desember 2009
Disahkan oleh TIM Pembimbing Seminar Proposal Skripsi :
Ketua
Dr. Euis Amalia, M.Ag.
(…………………….)
Sekretaris
Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H.
(…………………….)
Pembimbing I
Drs. H. Zainal Arifin Yusuf
(…………………….)
Pembimbing II
Dr. Jaenal Arifin
(…………………….)