EKONOMI REGIONAL
ANALISIS DISPARITAS PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN KEDUNGSAPUR DAN
GERBANGKARTOSUSILA
Di Susun Oleh :
1. Arrani Wijayanti (12020113130081)2. Muslimah Mahmudah (12020113140117)3. Nurullia Ariesty Djavendra (12020113120132)4. Ajeng Setyawati (12020113120011)5. Deviani Permatasari Saputro (12020113140115)6. Sesilia Testianingtyas (12020113140122)7. Karin Amelia Demagi (12020113120038)
Dosen Pengampu :
Drs. R. Mulyo Hendarto, MSP.
PROGRAM SARJANAJURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNISUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan syukur kepada Tuhan yang maha Esa atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul, “Analisis Disparitas Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan KEDUNGSAPUR.”
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan berbagai pihak, penulisan paper ini tidak akan selesai. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Drs. R. Mulyo Hendarto, MSP. selaku dosen mata kuliah Ekonomi Reagional yang telah memberi bimbingan, arahan, dan masukan selama penyusunan paper ini.
2. Keluarga dan teman-teman yang telah banyak memberikan kritik, saran, dukungan, doa dan semangat.
3. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu selama penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penelitian di masa mendatang. Penulis berharap semoga paper ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wasslamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh
Semarang, 26 September 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berkembang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan
secara bertahap. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses
yang menyebabkan pendapatan per-kapita penduduk sesuatu masyarakat meningkat dalam
jangka panjang. Tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat.
Kondisi dan potensi ekonomi daerah merupakan modal dan faktor dominan yang
dimiliki Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mencapai sasaran pembangunan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Perda Provinsi Jawa Tengah No. 21 tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi membentuk
kawasan kerjasama antar daerah yang dilihat dari potensi dan struktur ekonomi kewilayahan
dapat dimanfaatkan bagi upaya pemerataan pembangunan dalam suatu kawasan, salah
satunya membentuk kawasan KEDUNGSAPUR {Kab. Kendal, Kab. Demak, Kab. Semarang
(Ungaran), Kota Semarang, Kab. Grobogan (Purwadadi) dan Kota Salatiga}. Begitupun Jawa
Timur yang membuat GERBANGKERTOSUSILA {Kab.Gresik, Kab.Bangkalan,
Kab.Mojokerto, Kota Surabaya, Kab.Sidoarjo, dan Kab.Lamongan} atas dasar Perda Provinsi
Jawa Timur No.4/1996 tentang RTRW Provinsi Jawa Timur yang bertujuan untuk
mewujudkan pemerataan pembangunan antar Daerah.
Pembagian wilayah dalam satu kawasan merupakan upaya pemerintah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus pemerataan pembangunan wilayah.
Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah yang berlebihan merupakan ciri-ciri dari
adanya kesenjangan regional dan dapat dilihat dari perbandingan PDRB setiap
kabupaten/kota dalam satu kawasan. Di sisi lain, tingkat pertumbuhan pada kabupaten/kota di
kawasan Kedungsapur tidak selalu diikuti tingkat pemerataan dalam pembangunan, karena
tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat apabila tidak diikuti dengan perbaikan dalam
ekonomi suatu wilayah menyebabkan tingkat ketimpangan dalam pembangunan juga tidak
berkurang.
Oleh karena itu, terdapat disparitas atau perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah.
Pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan sumberdaya yang dimiliki dan perbedaan
demografi, serta adanya cenderungan penanam modal (investor) memilih daerah yang telah
memiliki fasilitas public lebih baik. Pendekatan keruangan menjadi aspek penting dengan
mengkaji dan menganalisis karakter petumbuhan ekonomi wilayah, terutama dalam ruang
masing-masing kabupaten/ kota di kawasan KEDUNGSAPUR dan
GERBANGKERTOSUSILA.
1.2 Permasalahan Intra Regional
Dalam disparitas regional, permasalahan yang terjadi adalah seberapa besar tingkat
ketimpangan pertumbuhan yang terjadi antar kabupaten/kota yang tergabung dalam
KEDUNGSAPUR dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya disparitas regional
tersebut. Serta bagaimana dampak dari disparitas dan solusi apa yang dapat dilakukan untuk
mengurangi disparitas di Indonesia.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembahasan kami adalah:
1. Mengetahui definisi diparitas regional dan interaksi keruangan.
2. Menganalisis seberapa besar tingkat disparitas pembangunan di kawasan
KEDUNGSAPUR dan GERBANGKERTOSUSILA.
3. Mengetahui dampak dari disparitas regional.
4. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas regional.
5. Mengetahui solusi yang ditawarkan untuk mengurangi disparitas di Indonesia.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang kami gunakan dalam makalah ini adalah untuk disparitas dan
interaksi keruangan, kami menggunakan ruang lingkup wilayah yang mana dalam teori
ketimpangan membandingkan aktivitas antar wilayah dalam mencapai tujuan dari teori
tersebut. Lingkup wilayah yang kami bahas khususnya mengenai kesenjangan di kawasan
KEDUNGSAPUR dan GERBANGKERTOSUSILA, dimana pertumbuhan menjadi indicator
ketimpangan suatu wilayah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pertumbuhan dan Ketimpangan
Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula-mula
dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo-
Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat
pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar
wilayah. Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun
tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar, akibatnya modal
dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga
ketimpangan pembangunan cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus
berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal
dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara
yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang.
Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik Sjafrizal ( 2008:104-105).
Teori Karl Mark (1787) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahap awal
pembangunan akan meningkatkan permintaan tenaga kerja. Kenaikan tingkat upah dari
tenaga kerja selanjutnya berpengaruh terhadap kenaikan resiko kapital terhadap tenga kerja
sehingga terjadi penurunan terhadap permintaan tenaga kerja. Akibatnya timbul masalah
pengangguran dan ketimpangan pendapatan. Singkatnya, pertumbuhan ekonomi cenderung
mengurangi masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan hanya pada tahap
awal pembangunan, kemudian pada tahap selanjutnya akan terjadi sebaliknya.
Menurut Kuznets seorang ekonom klasik menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
di negara miskin pada awalnya cenderung menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan dan
ketidak merataan distribusi pendapatan. Namun bila negara-negara miskin tersebut sudah
semakin maju, maka persoalan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan akan
menurun (an inverse U shaped patern).
Para ekonom klasik (Roberti, 1974), Hayani dan Rufffan (1985), mengemukakan
pertumbuhan ekonomi akan selalu cenderung mengurangi kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan walaupun masih dalam tahap awal pertumbuhan. Bukti empiris dari pandangan
isi berdasarkan pengamatan dia beberapa negara seperti Taiwan, Hongkong, Singapura, RRC.
Kelompok Neo klasik sangat optimis bahwa pertumbuhan ekonomi pada prakteknya
cenderung mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan.
2.2 Interaksi Keruangan
Analisis keruangan merupakan analisis lokasi yang mengacu pada tiga hal yaitu
jarak (distance), kaitan(interaction) dan pergerakan (movement). Analisis interaksi keruangan
bertujuan untuk mengukur kesesuaian suatu kondisi berprinsipkan pada struktur keruangan
yang ada serta menganalisis interaksi antar unit keruangan yang mencakup hubungan antara
ekonomi dan interaksi keruangan, aksesbilitas antara pusat dan perhentian suatu wilayah dan
hambatan interaksi.
Analisis keruangan didasarkan pada keberadaan tempat-tempat (kota) yang menjadi pusat
kegiatan bagi tempat-tempat lain, serta terdapatnya hierarki di antara tempet-tempat tersebut.
Dalam inetraksi keruangan yang harus diperhatikan adalah terkait penyebaran penggunaan
ruang yang telah ada dan penyediaan ruang yang akan digunakan untuk berbagai kegunaan
yang dirancangkan. (Bintarto, 1982:12)
Menurut Daldjoeni (1991:197) interaksi keruangan merupakan suatu pengertian dalam
geografi social yang dipakai untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh keruangan
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dan antara manusia dengan lingkungannya
yang dinyatakan dengan arus manusia, materi informasi,energy sehingga dijadikan dasar
untuk menerangkan gejala-gejaa lokasi, relokasi, distribusi dan difusi.
Dalam interaksi yang terjadi dalam suatu keruangan terdapat beberapa kondisi yang
mempengaruhinya, antara lain:
1. Complementarity (asas komplementaritas)
Bunyi Asas Komplementaritas:
“Semakin besar komplementaritas maka semakin besar interaksi yang terjadi”.
Jadi orang-orang akan lebih banyak mendatangi suatu tempat yang memiliki kelengkapan
segala alat penunjang aktivitas manusia.
2. Intervening Opportunity
“Semakin besar Intervening Opportunity maka semakin kecil interaksi yang terjadi”.
Jika dalam interaksi antara wilayah X dengan wilayah Y, dimana wilayah Y
membutuhkan kelengkapan yang ada di wilayah X, terdapat wilayah Z yang memiliki
kelengkapan yang dibutuhkan Y. Maka, tidak semua penduduk wilayah Y akan pergi ke
wilayah X, tetapi sebagian akan pergi ke wilayah Z.
3. Tranferabilitas
Bahwa dalam suatu interaksi: waktu, biaya serta peraturan menjadi hal yangsangat
penting. Dalam mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya, manusia akan
memikirkan bagaimana caranya agar dalam mendapatkannya hanya memerlukan biaya
dan waktu yang seminimal mungkin.
2.3 Ukuran Disparitas Pembangunan
Ada 3 cara yang bisa digunakan untuk menghitung disparitas regional, yaitu :
A. Indeks Williamson
Indeks Williamson yang dikenalkan oleh Jeffrey G. Williamson merupakan salah satu
alat ukur untuk mengukur tingkat ketimpangan daerah atau disparitas pendapatan di
suatu wilayah. Menurut Sjafrizal (2008:107), indeks ketimpangan Williamson adalah
analisis yang digunakan sebagai indeks ketimpangan regional, dengan menggunakan
Produk Domestik Bruto (PDRB) perkapita sebagai data dasar. Indeks Williamson
berkisar antara 0 < IW < 1, dimana semakin mendekati nol artinya ketimpangan kecil
atau semakin merata. Sedangkan apabila mendekati angka satu maka ketimpangan
daerah yang diteliti semakin tinggi.
B. Analisis Tipologi Ekonomi Regional (Tipologi Klassen)
Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-
rata PDRB per kapita sebagai sumbu horizontal. Pendekatan wilayah menghasilkan
empat klasifikasi daerah yang masing-masing mempunyai karakteristik pertumbuhan
ekonomi yang berbeda-beda, antara lain:
1. Daerah Bertumbuh Maju dan Cepat (Rapid Growth Region)
2. Daerah Maju Tapi Tertekan (Retarted Region).
3. Daerah Berkembang Cepat (Growing Region).
4. Daerah Relatif Tertinggal (Relatively Backward Region)
(Syafrizal, 1997, dalam kuncoro,2002).
C. Analisis Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah suatu kriteria yang logis mengenai
bagaimana proses pertumbuhan terjadi (Boediono, 1992).
Pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dengan membandingkan PDRB pada satu
tahun tertentu (PDRBt) dengan PDRB tahun sebelumnya (PDRBt-1) sehingga daerah-
daerah dapat dikelompokkan jadi 4, yaitu : (1) Low-income low-growth, (2) Low-
income high-growth, (3) High-income low-growth, (4) Hight-income hight-growth.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah suatu penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti-
peneliti lain. Penelitian terdahulu berfungsi sebagai acuan penelitian ini karena untuk
memudahkan bagi peneliti untuk mengaplikasikan penelitiannya. Penelitian ini modelnya
sama seperti penelitian terdahulu, namun perbedaannya terletak pada obyek yang akan
diteliti, tahun penelitian, dan permasalahan yang terjadi di wilayah yang akan diteliti, serta
kebijakan yang sesuai untuk diterapkan di wilayah tersebut.
No Judul Jurnal
dan Pengarang
Variabel Alat Analisis Hasil
1 Pertumbuhan
Ekonomi dan
Ketimpangan
antar
kecamatan di
Kabupaten
Banyumas,
1993-2000
(Sutarno dan
Mudrajad
Kuncoro)
-PDRB
Perkapita
-Jumlah
Penduduk
-indeks
Ketimpangan
Williamson
-indeks
entrophy
theil
-Trend
-Korelasi
Pearson
1.Berdasarkan tipologi
Klassen,daerah/kecamatan di
Kabupaten Banyumas dapat
diklasifikasikan
berdasarkan pertumbuhan dan
pendapatan per kapita menjadi 4
kelompok yaitu :
-Daerah/kecamatan cepat maju
dan cepat tumbuh,
-Kecamatan yang maju tapi
tertekan,
-Kecamatan/daerah yang
berkembang cepat dan
-Kecamatan/daerah tertinggal.
2. Pada periode pengamatan
1993–2000 terjadi
kecenderungan peningkatan
ketimpangan, baik dianalisis
dengan indeks Williamson
maupun dengan indeks entropi
Theil. Ketimpangan ini salah
satunya diakibatkan konsentrasi
aktivitas ekonomi secara spasial
3. Hipotesis Kuznets mengenai
ketimpa-ngan yang berbentuk
kurva U terbalik berlaku di
Kabupaten Banyumas, ini ter-
bukti dari hasil analisis trend dan
korelasi Pearson. Hubungan
antara pertumbuhan dengan
indeks ketimpangan Williamson
dan entropi Theil untuk kasus
Kabupaten Banyumas selama
periode 1993–2000 terbukti
berlaku hipotesis Kuznets.
2 Analisis
Pengaruh
Pertumbuhan
ekonomi dan
Ketimpangan
Pendapatan
terhadap
Pengentasan
Kemiskinan di
Kawasan
Mebidangru.
-Laju
Pertumbuhan
Ekonomi
-PDRB
Perkapita
-Kemiskinan
-indeks
Ketimpangan
Williamson
1. Pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan di
kawasan Mebidangro
berpengaruh negatif terhadap
tingkat kemiskinan. Sedangkan
pengaruh pertumbuhan ekonomi
dan ketimpangan pendapatan
secara bersama-sama dengan
melihat nilai elastisitas netto
kemiskinan terhadap
pertumbuhan ekonomi
adalahpertumbuhan ekonomi
menurunkan kemiskinan tetapi
ketimpangan pendapatan
menjadi
penghambat atau mengurangi
efektivitas
pertumbuhan ekonomi dalam
pengentasan kemiskinan.
2. Sektor-sektor yang
berpengaruh
dominan dalam pengentasan
kemiskinan
adalah sektor pertanian, sektor
pertambangan dan penggalian,
sektor
industri pengolahan, sektor
listrik, gas
dan air bersih, sektor
perdagangan, hotel
dan restoran, dan sektor
angkutan dan
komunikasi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Konsep dan definisi
3.1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita
Seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan di wilayah domestic, tanpa
memperhatikan asal factor produksinya dimiliki oleh penduduk daerah tersebut atau
bukan yang diasumsikan dapat dinikmati oleh keseluruhan penduduk pada regional
tersebut. Jadi Produk Domestik Regional Per Kapita dapat menggambarkan fluktuatif
kesenjangan terhadap kapitanya.
3.1.2 Disparitas Wilayah
Ragkaian berbagai penelitian tentang kesenjangan atau diaparitas ditandai oleh
tonggak-tonggak temuan. Kuznet (1945) tercatat sebagai salah satu peneliti awal
dalam meneliti disparitas. Ia meneliti disparitas di berbagai negara cross-sectional dan
menemukan pola U terbalik. Kuznet menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata per
kapita pada awal perkembangan negara masih sangat rendah, dan tingkat kesenjangan
juga rendah. Ketika pendapatan rata-rata naik, maka kesenjangan juga meningkat.
Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka kesenjangan akan turun
kembali.
Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1966) menekankan pada
disparitas antar wilayah didalam negara. Williamson menghubungkan disparitas
pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi
suatu wilayah. Penelitian Williamson ini yang kemudian banyak diadopsi untuk
mengukur disparitas suatu wilayah regional tertentu. Di Indonesia BPS menggunakan
pendekatan PDRB per kapita untuk melhat dispaitas antar wilayah berdasarkan hasil
pembangunannya.
Disparitas antar wilayah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
ketidakmerataan dalam pendapatan regional bruto per kapita antara kabupaten/ kota
dan kabupaten/ kota lainnya.untuk perhitungan indeks disparitas wilayah ini, sumber
data yang diginakan adalah PDRB per kapita yang koefisien variasinya diberi
penimbang proporsi jumlah penduduk masing-masing kabupaten/ kota terhadap total
penduduk dalam kawasan KEDUNGSAPUR.
3.2 Jenis Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Paper ini menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka. Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur yang relevan seperti kator BPS
Jawa Tengah, dan situs resmi milik pemerintah dalam bidang pertanian. Teknik
pengumpulan data yang digunakan didalam penelitian ini adalah studi literatur dan data
hasil penelitian yang berkaitan dengan tema yang diambil dalam penelitian ini.
3.3 Metode Analisis Data
3.3.1 Metode Penghitungan PDRB
Dari segi produksi, produk regional merupakan jumlah nilai produk akhir atau
nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-
unit produksi yang dimiliki oleh penduduk di suatu wilayah
dalam jangka waktu tertentu. Dari segi pendapatan, pendapatan regional merupakan
jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang dimiliki
oleh penduduk suatu wilayah yang ikut serta dalam proses produksi dalam jangka
waktu tertentu. Dari segi pengeluaran, pengeluaran regional merupakan jumlah
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung,
konsumsi pemerintah, pemebntukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor netto.
Beberapa istilah yang berhubugan perhitungan PDRB, yaitu output, biaya antara
(intermediate cost) dan nilai tambah bruto/ NTB (gross value added).
Output
Output adalah seluruh nilai barang/jasa dalam proses produksi selama satu tahun. Secara
teknis penghitungan, output ini adalah jumlah produksi dikalikan dengan harga atau tarip
jual dari produsen barang atau jasa tersebut, dimana harganya dinilai berdasarkan harga
produsen.
Biaya antara
Biaya antara merupakan nilai seluruh barang dan jasa tersebut. Input antara juga
diartikan sebagai biaya antara.
Nilai Tambah Bruto
Nilai Tambah Bruto merupakan nilai yang ditambahkan dalam proses produksi, yang
dalam praktek penghitungannya diperoleh dengan cara mengurangkan output dengan
biaya antara. Karena itu nilai tambah sama dengan selisih dari output dengan biaya
antara.
PDRB terdiri atas dua bentuk, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar
harga konstan pada suatu tahun dasar. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pada penyajian atas dasar Harga Berlaku, semua agregat pendapatan dinilai ata
s dasar harga yang berlaku pada masing-masing tahun, baik pada saat menilai
produksi dan biaya antara, maupun pada penilaian komponen pengeluaran Produk
Domestik Regional Bruto.
b. Pada penyajian atas dasar Harga Konstan suatu tahun dasar, semua agregat
pendapatan dinilai atas dasar harga yang terjadi pada tahu dasar (dalam publika
si ini harga konstan didasarkan pada harga tahun 2000). Harga yang digunakan
adalah harga tetap, maka perkembangan agregat dari tahun ke tahun semata-mata
disebabkan oleh perkembangan rill dari kuantum produksi tanpa mengandung
fluktuasi harga.
3.3.2 Metode Penghitungan Disparitas Wilayah
Salah satu alat untuk mengukur ketimpangan antarwilayah disuatu Kabupaten
dalam waktu tertentu dapat digunakan indeks disparitas wilayah atau indeks
ketimpangan Williamson. Indeks ketimpangan wilayah yang diformulasikan sebagai
berikut:
√ y i – y s2 .(f i /n)
Mw = -------------------------- x 100
ys
dimana :
Mw = nilai regional inequality
fi = jumlah penduduk di masing2 daerah
n = jumlah penduduk secara nasional
yi = income per kapita di masing2 daerah
ys = income per kapita nasional
Indeks ketimpangan wilayah akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau
sama dengan nol. Jika semua Yi = Ӯ maka akan menghasilkan indeks = 0, yang
berarti tidak adanya kesenjangan ekonomi daerah. Indeks lebih besar dari 0
menunjukan adanya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang
dihasilkan semakin besar tingkat ketimpangan antar kabupaten/ kota di suatu provinsi.
Angka Indeks Williamson berkisar antara nol sampai dengan satu:
IW < 0,4 = artinya tingkat ketimpangan rendah
0,4 < IW < 0,5 = artinya tingkat ketimpangan moderat
IW > 0,5 = artinya tingkat ketimpangan tinggi
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan
Williamson Index
√ y i – y s2 .(f i /n)
Mw = -------------------------- x 100
ys
KEDUNGSAPUR 2012:
M w=5108726.463
6,574,263× 100=77.71 %
GERBANGKARTUSUSILA 2012:
M w=13,277,99612,860,516
× 100=100 %
A. Analisis Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Di Kawasan
KEDUNGSAPUR dan GERBANGKERTOSUSILA
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator yang
mempengaruhi keberhasilan pembangunan suatu daerah. Data PDRB tersebut
menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelolah sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang dimiliki. Kenaikan atau penurunan PDRB menunjukkan bahwa daerah
tersebut mengalami peningkatan atau penurunan kegiatan ekonomi dan pembangunan.
Kabupaten/kota di KEDUNGSAPUR yang memiliki PDRB terkecil adalah PDRB
Kota Salatiga dengan nilai PDRB sebesar 1.00 triliun pada tahun 2012 dengan kontribusi
hanya 2.3% terhadap total PDRB kawasan KEDUNGSAPUR. Hal ini disebabkan karena luas
wilayah dan jumlah penduduk di Kota Salatiga paling kecil. Kemudian diikuti oleh
Kabupaten Grobongan dengan nilai PDRB 3,57 triliun tahun 2012 dengan kontribusi 7.9%.
Sedangkan nilai PDRB terbesar terdapat pada Kota Semarang sebagai pusat pertumbuhan
dengan nilai PDRB 24.2 triliun pada tahun 2012 serta mengkontribusi sekitar 55% dari total
PDRB KEDUNGSAPUR Provinsi Jawa Tengah.
Di kawasan GERBANGKERTOSUSILA, Surabaya memiliki PDRB yang signifikan
yaitu mencapai 101,7 triliun dengan kontribusi sebesar . Sedangkan kabupaten terendah
hanya memperoleh PDRB sebesar 3,8 triliun yaitu Kab.Bangkalan. Jika dibandingkan PDRB
di pusat pertumbuhan KEDUNGSAPUR dan GERBANGKERTOSUSILA, Kota Surabaya
masih unggul jauh dengan Kota Semarang. Namun, PDRB Kota Semarang
Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak
fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik, yang menyebabkan berbagai
macam usaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut dan masyarakat senang dengan
memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut. Sama halnya dengan Kota Semarang, dapat
dikatakan sebagai pusat pertumbuhan di Jawa Tengah khususnya kawasan KEDUNGSAPUR
karena memiliki nilai PDRB yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
kabupaten/kota lainya di Kawasan KEDUNGSAPUR.
Tabel 4.1: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Usaha Atas Dasa Harga
Kosntan 2000 Kawasan KEDUNGSAPUR tahun 2010-2013
2010 2011 2012 2013
Kabupaten Kendal 5,394,079 5,717,087 6,033,632 6,365,648
Kabupaten Demak 3,020,821 3,156,126 3,302,610 3,455,273
Kota Semarang 21,365,818 22,736,136 24,196,488 25,697,338
Kabupaten Semarang 5,560,553 5,869,950 6,223,188 6,573,208
Kota Salatiga 913,020 963,457 1,003,840 1,080,657
Kabupaten Grobongan 3,253,399 3,370,344 3,578,063 3,742,250
Total (Y) 39,507,690 41,813,100 44,337,821 46,914,374
Sumber: bps.go.id
Tabel 4.2: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Usaha Atas Dasa Harga
Kosntan 2000 Kawasan GERBANGKERTOSUSILA tahun 2012
PDRB HARGA KONSTAN JUMALH PENDUDUK (fi)Surabaya 101,671,634 3,125,576Lamongan 7,098,169 1,492,342Gresik 19,424,162 1,307,995Bangkalan 3,896,492 919,002Sidoarjo 29,958,885 1,981,096Mojokerto 9,066,495 1,143,747Total (n) 141,156,951 9,969,758Sumber: bps.go.id
B. Analisis Ketimpangan Pendapatan
Tingkat ketimpangan pada kawasan KEDUNGSAPUR dan
GERBANGKERTOSUSILA diukur dengan menggunakan pengukuran PDRB per kapita
Atas Harga Konstan 2000 dan jumlah penduduk tiap kabupaten/kota.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, tingkat ketimpangan di KEDUNGSAPUR
Provinsi Jawa Tengah mengalami kecenderungan peningkatan di setiap tahunnya dari tahun
2010 hingga 2013. Terlihat dari hasil analisis diperoleh 0.759 menjadi 0.768, ini
menunjukkan ada peningkatan sebesar 0.009 pada tahun 2011. Pada tahun 2012 mengalami
peningkatan yang konstan menjadi 0.777. Dan pada tahun 2013 mengalami stagnasi
ketimpangan di angka 0.777.
Tabel 4.3: Indeks Williamson KEDUNGSAPUR
Indeks Williamson perubahan
2010 0.759 -
2011 0.768 0.009
2012 0.777 0.009
2013 0.777 0
Sumber: BPS (diolah)
Tingkat ketimpangan di kawasan GERBANGKERTOSUSILA juga tergambar pada
tahun 2012 yaitu sebesar 0.89 dimana menunjukkan angka yang tinggi karena mendekati
angka 1 dalam perhitungan ketimpangan suatu kawasan.
Tabel 4.4: Indeks Williamson GERBANGKERTOSUSILA tahun 2012
IW 0.89
Sumber: BPS (diolah)
Ini membuktikan bahwa baik kawasan KEDUNGSAPUR di Jawa Tengah dan
kawasan GERBANGKERTOSUSILA di Jawa Timur terjadi ketimpangan wilayah khususnya
dalam kontribusi pendapatan yang belum merata. Hal ini menunjukan perekonomian di
kawasan KEDUNGSAPUR masih terkonsentrasi didaerah pusat pertumbuhan ekonomi yaitu
Kota Semarang, ini dapat dibuktikan dengan tingginya pendapatan perkapita Kota Semarang
tahun 2010-2013. Begitu pun Kota Surabaya di kawasan GERBANGKERTOSUSILA,
dengan keberadaan industry, pengelolaan SDA dan SDM, serta sarana dan prasana serta
infrastruktur yang jauh lebih baik ketimbang wilayah lain, Kota Surabaya menjadi daya
magnet bagi penduduk di daerah pinggiran (hinterland) disekitar Kota Surabaya untuk
melakukan aktivitas perekonomian, sehingga terjadi persaingan antar penduduk asal dengan
penduduk pendatang yang menimbulkan ketimpangan wilayah. Namun jika dibandingkan
antara kedua kawasan ini, kawasan GERBANGKERTOSUSILA memiliki tingkat disparitas
yang lebih tinggi. Hal ini karena Kota Surabaya memiliki PDRB tiga kali lebih besar dari
Kabupaten Sidoarjo, padahal dari jumlah penduduknya hanya beselisih 1,1 juta orang.
Ketimpangan yang tinggi seperti yang tergambar di kawasan KEDUNGSAPUR dan
GERBANGKERTOSUSILA ini mengakibatkan dampak tersendiri. Dampak positif dari
disparitas adalah mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan
meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya, bisa dalam
memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki, membangun infrastruktur untuk mempermudah
mobilasi antar wilayah. Selain itu, dampak dari ketimpangan yaitu terbukanya peluang
investasi karena wilayah tersebut belum dimanfaatkan secara baik sehingga dapat
memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak. Namun dampak buruknya adalah
inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, meningkatkan kemiskinan,
serta dipandang tidak adil. Selain itu, ketimpangan akan memicu penduduk melakukan
urbanisasi ke pusat pertumbuhan karena peluang mendapatkan kehidupan yang lebih
sejahtera.
Secara agregat rata-rata angka IW di kawasan KEDUNGSAPUR pada tahun 2010-
2013 sebesar 0,77 dan di kawasan GERBANGKERTOSUSILO pada tahun 2012 sebesar
0.89. Angka ini menunjukkan bahwa kawasan strategis KEDUNGSAPUR dan
GERBANGKERTOSUSILA, terjadi ketimpangan pendapatan dalam kategori tinggi, jika 0.5
< IW < 1. Artinya ketimpangan terjadi dikarenakan adanya konsentrasi aktivitas perekonomi
di pusat pertumbuhan.
4.2 Faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Regional
Menurut Williamson, disparitas regional cenderung membesar pada saat terjadinya proses
pembangunan, karena faktor :
1. Migrasi penduduk usia produktif ke daerah maju,
2. Investasi lebih menguntungkan di daerah maju,
3. Tidak adanya keterkaitan (linkages) di antara regional markets yang menyebabkan
adanya rintangan bekerjanya spread-effects, innovations, dan income multiplier,
4. Kebijakan pemerintah cenderung mengakibatkan terkonsentrasinya social and
economic overhead capital di daerah maju.
5. Pada daerah maju, polarization effects bekerja jauh lebih kuat daripada trickling-down
effects yang seharusnya menguntungkan daerah miskin.
Menurut Syafrizal, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya
ketimpangan ekonomi antarwilayah. Faktor-faktor ini juga dapat memberikan informasi
penting untuk pengambilan keputusan dalam melakukan perumusan kebijakan pembangunan
untuk menanggulangi atau mengurangi ketimpangan ekonomi antarwilayah.
a. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam
Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan ekonomi antarwilayah adalah
adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing –
masing daerah. Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan kandungan sumber daya alam ini di
Indonesia cukup besar. Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan memengaruhi
kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam
cukup banyak akan dapat memproduksi barang dan jasa tertentu dengan biaya relatif murah
dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih
sedikit. Dengan demikian, terlihat bahwa perbedaan kandungan sumber daya alam ini dapat
mendorong terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah yang lebih tinggi pada suatu
negara.
b. Perbedaan Kondisi Geografis
Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan ekonomi
antarwilayah adalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar
antardaerah. Kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi
ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang
dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis ini akan berpengaruh terhadap
produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan, daerah dengan kondisi demografis
yang baik akan cenderung mempunyai tingkat produktivitas kerja yang lebih tinggi.
c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik
yang disponsori pemerintah ( transmigrasi ) atau migrasi spontan. Akibatnya, ketimpangan
ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat
dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit
mendorong kegiatan ekonominya.
d. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat
konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut
dapat disebabkan oleh beberapa hal :
Karena terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu
Lebih meratanya fasilitas transportasi, baik darat, laut, udara, juga ikut memengaruhi
konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah
Kondisi demografis ( kependudukan ) juga ikut memengaruhi karena kegiatan
ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumber daya manusia tersedia dalam
jumlah cukup dan dengan kualitas yang lebih baik.
e. Alokasi Dana Pembangunan Antarwilayah
Daerah yang mendapatkan alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah, atau dapat
menarik lebih banyak investasi swasta ke daerahnya akan cenderung mempunyai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Bilamana investasi pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah tertentu ternyata lebih
rendah, sehingga kegiatan ekonomi dan pembangunan daerahnya kurang berkembang baik.
Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan
daerah yang dianut. Bilamana sistem pemerintahan yang dianut bersifat sentralistik, maka
alokasi dana pemerintah akan lebih cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah
pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antarwilayah akan cenderung tinggi. Sebaliknya,
bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau desentralisasi, maka dana
investasi pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan
ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih rendah.
Kekuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah
keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah. Keuntungan lokasi ditentukan oleh
ongkos transport baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan
pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa
tanah. Sehingga tidaklah mengherankan bilamana investasi cenderung lebih banyak
terkonsentrasi didaerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan , dan menyebabkan daerah
perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah pedesaan.
4.3 Solusi Mengurangi Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Syafrizal menyatakan bahwa kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan
ekonomi antarwilayah sangat ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi ketimpangan.
Kebijakan yang dimaksudkan merupakan upaya pemerintah , baik pusat maupun daerah,
yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi ketimpangan ekonomi antardaerah dalam
suatu negara atau wilayah.
a. Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan
Kebijakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan adalah dengan
memperlancar mobilitas barang dan faktor produksi antardaerah. Pemerintah perlu
mendorong berkembangnya sarana perhubungan seperti perusahaan angkutan antardaerah
dan fasilitas telekomunikasi. Bila hal ini dapat dilakukan, maka ketimpangan ekonomi
antarwilayah akan dapat dikurangi karena usaha perdagangan dan mobilitas faktor produksi,
khususnya investasi akan dapat lebih diperlancar.
b. Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan
Transmigrasi adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang dengan
menggunakan fasilitas dan dukungan pemerintah. Sedangkan migrasi spontan adalah
perpindahan penduduk yang dilakukan secara sukarela dengan biaya sendiri.
Melalui proses transmigrasi dan migrasi spontan ini, kekurangan tenaga kerja yang dialami
oleh daerah terbelakang akan dapat pula diatasi sehingga proses pembangunan ekonomi
daerah bersangkutan akan dapat pula digerakkan.
c. Pengembangan Pendidikan Antarwilayah
Pengembangan pendidikan akan dapat medorong peningkatan keterampilan tenaga kerja
selanjutnya akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Disamping itu, melalui
pengembangan pendidikan akan dapat pula didorong proses inovasi dan perbedaan teknologi
produksi selanjutnya akan mendorong perbaikan tingkat efisiensi usaha.
Pengembangan pendidikan pada daerah yang relatif terbelakang diperkirakan akan
merupakan kebijakan yang cukup penting untuk mengurangi ketimpangan pembangunan
antarwilayah.
d. Pengembangan Pusat Pertumbuhan
Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan ekonomi
antarwilayah karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep Konsentrasi dan
Desentralisasi secara sekaligus.
Aspek konsentrasi diperlukan agar penyebaran kegiatan ekonomi dapat dilakukan dengan
masih mempertahankan tingkat efisiensi usaha yang sangat diperlukan untuk pengembangan
usaha. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan
antardaerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan pembangunan antaarwilayah akan dapat
dikurangi.
Penerapan konsep pusat pertumbuhan ini untuk mendorong proses pembangunan daerah dan
sekaligus untuk dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah dapat dilakukan
melaui pembangunan pusat – pusat pertumbuhan pada kota – kota skala kecil dan menengah.
e. Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dengan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktivitas
pembangunan ekonomi daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakkan
karena adanya wewenang yang ada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Bila hal ini dapat dilakukan, makan proses pembangunan ekonomi daerah secara keseluruhan
akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antarwilayah
akan dapat pula dikurangi.
Melalui kebijakan. Pemerintah dapat memberikan kewenangan yang lebih besar dalam
mengelola kegiatan pembangunan didaerah masing – masing ( desentralisasi pembangunan ).
Sejalan dengan ini, masing – masing daerah juga diberikan tambahan alokasi dana yang
diberikan dalam bentuk “Block Grant” berupa dana perimbangan yang terdiri dari “Dana
Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam”, Dana Alokasi Umum ( DAU ), Dana Alokasi
Khusus ( DAK ).
Diharapkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan akan dapat berjalan
dengan baik, sehingga proses pembangunan ekonomi daerah dapat lebih ditingkatkan dan
ktimpangan pembangunan antarwilayah akan dapat pula dikurangi.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasar analisis ketimpangan kawasan KEDUNGSAPUR periode tahun 2010-2013
dan kawasan GERBANGKERTOSUSILA tahun 2012 dengan menggunakan Indeks
Williamson, diperoleh kesimpulan bahwa agregat angka IW kawasan strategis memiliki
ketimpangan pendapatan yang termasuk ketimpangan yang tinggi yaitu 0,7 dan 0.89. Ini
menggambarkan teori yang ada bahwa akibat adanya konsentrasi aktivitas ekonomi di suatu
daerah saja sehingga menyebabkan ketimpangan dengan di daerah sekitarnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan di suatu intra regional.
Dari sisi pemerintah sendiri lebih memusatkan kegiatan ekonomi hanya di satu daerah,
kurang menyediakan sarana untuk mempermudah interaksi keruangan antar daerah, serta
pengalokasi dana umum yang cenderung pilih kasih. Sedangkan dari masyarakat cenderung
mengandalkan pemerintah, serta tidak ada upaya perbaikan dengan keadaan sumber daya
alam dan kondisi geografis yang ada. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk
mengurangi disparitas dengan membangun prasarana penghubung, pengembangan
pendidikan antar daerah, pengembangan pusat pertumbuhan, serta mendorong transmigrasi
dan migrasi.
5.2 SARAN
1. Pembangunan tidak hanya ditekankan pada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi tetapi
sebaiknya memperhatikan pembangunan manusia didalamnya, sehingga kualitas hidup
masyarakat lebih terjamin dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Pembangunan sektor-sektor potensial yang telah menjadi sektor basis di masing-masing
daerah. Karena setiap daerah memiliki sector potensial yang berbeda-beda, sehingga perlu
dukungan dari Pemerintah agar setiap daerah daapat mengembangkan sector
potensialnya.
3. Dalam rangka meningkatkan perencanaan menjadi realisasi kegiatan pembangunan yang
berasal dari Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah KEDUNGSAPUR, maka dibutuhkan
peran BAPPEDA Propinsi Jawa Tengah untuk mendorong komitmen yang ada dalam
merealisasikan kegiatan yang dimaksud.
4. Pemerintah daerah seharusnya lebih mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan
manusia. Diantaranya dengan memperbaiki sarana dan parasana infrastruktur pendidikan
dan kesehatan, memberikan beasiswa bagi siswa yang berprestasi dan siswa yang kurang
mampu di tingkat jenjang pendidikan, memperbaiki kualitas SDM dengan menambah
tenaga pendidik yang professional dan berkualitas.
5.3 KETERBATASAN
1. Data yang ada terlalu sederhana karena hanya menggunakan Indeks Wiliiamson tidak
beserta dengan sector unggulannya yang bisa mengurangi ketimpangan.
2. Tidak membahas interaksi keruangan secara mendalam dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Fitriyah, Lailatul Dan Lucky Rachmawati. Tanpa Angka Tahun. Jurnal Analisis Ketimpangan Pembangunan Daerah Serta Hubungannya Dengan Kesejahteraan Masyarakat Di Kawasan Gerbangkertosusila Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya.
Linda Tustiana Puspitawati. 2013. Jurnal Analisis Perbandingan Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten/Kota Di Kawasan Kedungsapur. Semarang: Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang.
Syafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media.
www.bps.go.id
Zuswanto. 2014. Publikasi Ilmiah Analisis Spasial Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, Kota Semarang, Kota Salatiga Dan
Grobogan) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2012. Surakarta: Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta.