ANALISIS MONOLOG TUHAN DALAM QS. AL-AN'AM [6]:
76-79 DAN QS. YÛSUF [12]: 99-100
PERSPEKTIF SULAIMÂN AṬ-ṬARAWANAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
RAJAB HUSAIN
NIM : 1111034000025
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./ 2017 M.
PEGANGAN HIDUP
Oleh : Rajab Husain
KAU terlalu pintar
KAU memang seniman yang tak terduga1
Makna permakna
Kata perkata
Tidak ada yang bisa menandingi karya-MU
KAU tidak perlu plot dan alur
Tapi
Karya-MU tetap estetis dan indah
KAU memang sastrawan
KAU melukiskannya begitu dinamis tapi hidup
Adegan-adegan dramatis punya nilai jual artistik yang tinggi
Seperti sebuah pementasan teater di panggung
KAU memang sutradara
Sangat cerdas menyelipkan adegan-adegan yang bertujuan menguak tujuan kisah yang
dipentaskan.
Karya-MU
Pegangan hidupku
Awal penulisan proposal skripsi
Di samping kuburan, PABUARAN DEPOK
10/03/2016
1 Meminjam istilah dari sastrawan dan dramawan besar Indonesia, alm WS. Rendra
i
ABSTRAK
Rajab Husain (1111034000025)
Analisis Monolog Tuhan Dalam QS. Al-An'am [6]: 76-79 dan QS. Yûsuf [12]:
99-100 Perspektif Sulaimân aṭ-Ṭarawanah.
Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
Pada hakekatnya al-Qur'an merupakan teks monolog-Nya Tuhan (Allah),
karena Al-Qur'an berasal dari satu sumber dan model komunikasinya satu arah.
Berbeda lagi kalau kita melihat pembicara atau subjek khususnya dalam kisah al-
Qur'an, maka kita akan menjumpai monolog-monolog dari para pembicara/subjek
tersebut.
Sulaimân aṭ-Ṭarawanah menulis dalam bukunya beberapa ayat dalam
kisah al-Qur'an sebagai ayat monolog, yaitu ayat 57 surat al-Anbiyâˊ (Monolog
Nabi Ibrâhîm), ayat 80 surah Hûd (Monolog Nabi Luth), dan ayat 77 surah Yûsuf
(monolog Nabi Yûsuf), dll.
Penelitian terhadap kisah al-Qur'an telah banyak dilakukan, tetapi masih
sedikit yang menganalisa teks-teks percakapan dan hampir tidak ada yang
menganalisa teks monolog dalam kisah al-Qur'an selain Sulaimân aṭ-Ṭarawanah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memfokuskan pada pencarian
kembali teks monolog dalam kisah Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf untuk
mengetahui bagaimana pemaparan monolog tersebut, setelah penulis sendiri
membuktikan kebenaran ayat monolog yang telah ditulis oleh aṭ-Ṭarawanah.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang mengambil sumbernya
dari al-Qur'an ayat 76-79 surah al-An'am, ayat 99-100 surah Yûsuf.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa: Pertama; berdasarkan ciri-ciri
monolog dalam karya sastra dan perspektif aṭ-Ṭarawanah, maka penelitian aṭ-
Ṭarawanah tentang adanya monolog dalam kisah al-Qur'an benar adanya. Kedua;
Ayat 76-79 surah al-An'am merupakan teks monolog, dalam posisinya Nabi
Ibrâhîm sedang berbicara dengan suatu hal yang imajiner dan tujuannya kepada
dirinya sendiri. Surah Yûsuf ayat 99-100 juga termasuk teks monolog, walau
berbeda dengan cara penyampaiannya Nabi Ibrâhîm. Nabi Yûsuf disini posisinya
layaknya bercerita atau mendongeng, tujuannya kebapaknya dan saudara-
saudaranya tapi mereka hanya diam dan menjadi penyimak saja.
Selain itu penulis menguak paparan monolog dalam kisah Nabi Ibrâhîm
dan Nabi Yûsuf yang diawali dengan penyebutan latar, lalu penyebutan nama atau
siapa tokohnya, kemudian kita bisa menemukan tema yang diusung cerita, dan
terakhir ialah pesan yang mau disampaikan dalam monolog tersebut.
ii
بسم الله الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa
memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya, skripsi yang berjudul
MONOLOG DALAM KISAH AL-QUR'AN ini dapat terselesaikan.
Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
Agung, Nabi Muhammad saw., yang telah membawa umatnya dari zaman
Jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-nya, sahabat-
sahabat-nya, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan kita sebagai umat-nya semoga
mendapatkan syafa’at-nya kelak.
Skripsi berikut penulis susun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar S1
Sarjana Strata 1 pada jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari
bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis sendiri,
melainkan hasil andil dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena
itu, patut kiranya penulis sampaikan terima kasih setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
iii
dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M. Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-
Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Eva Nugraha, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan
waktu, memberikan arahan, motivasi dan saran untuk penelitian sederhana ini
kepada penulis sehingga penulis tergugah untuk mengelaborasi pemikiran yang
tetap pada batas-batas keagamaan, dan menyinergikan penelitian sesuai dengan
minat dan bakat penulis. Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan
kepada beliau dan segenap keluarga.
5. Seluruh dosen jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir dan dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis.
6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur
kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, yang telah berkenan meminjamkan buku-buku
penunjang hingga proses penulisan skripsi ini selesai.
7. Ibu Rosida Erowati M. Hum, monologer sekaligus dosen Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi seputar kajian drama.
Bambang Prihadi sutradara Lab Teater Ciputat, yang telah memotivasi dan
memberikan arahan seputar kajian drama. Ibu Ken Zuraidah, guru penulis di
iv
Kampus Bengkel Teater Rendra, yang bersedia membantu dalam hal
memberikan ide dan saran mengenai referensi penelitian.
8. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung
dan menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Yasir, Iyan, Arif,
Ramdan, Witri, Anis, Ja'far, Thoib, Ainul Yaqin dan yang lainnya, semoga
Allah memberikan kemudahan dalam menyusuri kehidupan kita selanjutnya.
9. Segenap keluarga besar Himpunan Alumni pondok pesantren Madrasatul
Qur'an Tebuireng Jombang (MASYHAR UIN), seperti Andi Asyraf Rahman
yang telah membantu proses akhir penulisan dan syarat-syarat sidang, Lutfi
Fauzi, Azhar Syukri, H. Ismail, Ridwan, M. Yunus, Sulton Bukhori, dll., yang
tidak mungkin disebutkan satu persatu. Begitu juga dengan teman-teman kosan
yang lain seperti, Taufik Hidayat, Riski Ardi, dll. Waktu dan tempat yang
kalian sediakan sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
tali persaudaraan kita terjaga hingga akhir masa.
10. Saudara-saudaraku dalam keluarga Besar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
Teater Syahid Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Angkatan
2011, Julpong, Ari, Fikih, Ocho, Ale, Ja'far, Amel, Idat, Elita, Jupe. Yang
selalu membantu, memberikan semangat, dan selalu bersedia mendengarkan
keluh kesah selama proses penulisan skripsi ini. Begitu juga dengan senioren
dan junioren Teater Syahid, terimakasih.
11. Saudara-saudara TANKINIRA 2016 di Bengkel Teater Rendra, Adi, Badrus,
Adit, Ihsan, Rian, amel, kak mei, bang sendi, dll. Yang telah memanas-manasi
agar segera menyelesaikan skripsi ini.
v
12. Metri Nurjamilah yang selalu membantu disetiap kegiatan penulis, memberi
semangat dan doa dalam penulisan skripsi, dan memberi tenaga di luar
pembuatan skripsi. Ayu Jonas yang membantu pegeditan dalam teknis
penulisan. Juga kepada segenap mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI) angkatan 2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya
grup "MALAS" yang telah memberikan masukan dalam pembuatan proposal
dan isi skripsi.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.
Jakarta, 29 Desember 2016
Rajab Husain
vi
Transliterasi dan Singkatan
Pedoman transliterasi di dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem
transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh Himpunan Peminat
Ilmu-Ilmu Ushuluddin (HIPIUS).
A. Vocal
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h هـ s s س
’ ’ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h هـ ḍ ḍ ض
vii
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
â â ا
î î ا ي
û û ا و
B. Singkatan
AS = ‘Alaihi al-Salam
H. = tahun Hijrah
h. = halaman
M. = tahun Masehi
QS = al-Qur'an Surat
Swt. = Subhânah wa ta’âlâ ( سبحا نه و تعا لي )
saw. = Shallâ Allah ‘alayh wa sallam
T. pn. = Tanpa penerbit
T. tp. = Tanpa tempat penerbit
t.t = tanpa tahun penerbit
HR = Hadist Riwayat
Ra = Raḍiyallâhu ‘anhu
cet = cetakan
ter = terjemahan
ed = editor
vol = volume
dkk = dan kawan-kawan
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………….…….….i
KATA PENGANTAR……………………………………………………….…..ii
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………….….vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...viii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………….1
B. Batasan dan Rumusan Masalah……….…………………….....6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………..........7
D. Tinjauan Pustaka……...……………………………………….8
E. Metode Penelitian………………………………………….....14
F. Sistematika Penulisan………………………………………...16
BAB II KISAH DAN MONOLOG DALAM AL-QUR'AN
A. Pengertian…………...…………………………………….….18
1. Pengertian Kisah.………………………………………...18
2. Pengertian Monolog…………….…….……………….....25
B. Unsur Intrinsik………..…………….…….……………….....31
C. Kisah Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf…………………………33
1. Kisah Nabi Ibrâhîm………...…….……………………....33
2. Kisah Nabi Yûsuf…….…...…….……………………......41
D. Pola Pemaparan dalam Kisah Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf..50
1. Pola Kisah Nabi Ibrâhîm…...…….……………………....50
ix
2. Pola Kisah Nabi Yûsuf …...…….……………………......51
BAB III MONOLOG MENURUT SULAIMÂN AṬ-ṬARAWANAH
A. Biografi Sulaimân aṭ-Ṭarawanah……..……………………...54
B. Buku "Rahasia Pilihan Kata Dalam Al-Qur'an………………56
C. Monolog Menurut Sulaimân aṭ-Ṭarawanah……………..…...58
BAB IV PAPARAN MONOLOG TUHAN DALAM QS. AL-AN'AM
[6]: 76-79 DAN QS. YÛSUF [12]: 99-100
A. Monolog Kisah Nabi Ibrâhîm……………..………………....63
B. Monolog Kisah Nabi Yûsuf………………………………….73
C. Perbandingan Kisah dan Monolog..………..………………...81
D. Relevansinya Monolog Tuhan dalam Kajian Ulumul
Qur'an……………………...…………………………………83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………...…86
B. Saran……………………………………………………….....88
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...89
x
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 : Pola pemaparan monolog kisah Nabi Ibrâhîm………………………69
Tabel 4.2 : Pola pemaparan monolog kisah Nabi Yûsuf………………………...77
Tabel 4.3 : Kerangka Jadâl, Ḥiwâr, dan Monolog…….………………………...83
Skripsi ini, penulis persembahkan untuk:
Orang tua tercinta penulis, yaitu Mak Cia (HJ Nursiah) karena doa yang
tiada hentinya dilantungkan untuk penulis. Kerja kerasnya menjadi ibu rumah
tangga sekaligus menjadi pencari nafkah telah membuat penulis bisa
menyelesaikan sekolah dasar sampai perkuliahan. Perannya sangat besar dalam
mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan
pengertian. Penulis berdoa semoga Mak Cia mendapatkan umur yang panjang dan
berkah, sampai akhirnya bisa melihat penulis menjadi sosok yang sukses dan
berbakti serta dapat mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Amin. Selain itu
tampa kerja keras dan rasa cinta yang dilakukan Ba' (alm Baharuddin) sebelum
meninggal itulah yang membuat Mak Cia memperjuankan hidupnya dan hidup
anak-anaknya. Semoga Alm mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Âmîn.
Untuk saudara-saudara penulis, terimakasih buat Daeng Hammade
(Ahmad Jaiz) dan Daeng Cacok (M. Ali) yang telah mengorbankan sekolahnya
demi membantu Mak Cia mencari nafkah dan menyekolahkan saudara-
saudaranya. Selain itu ucap terimakasihku kepada Daeng Cak (M. Arsyad. S.Pd),
yang selalu mengingatkan agar cepat-cepat menyelesaikan kuliah, dan Daeng Inar
(Syamsinar, Amd.Keb) yang telah membiayai perkuliahan penulis. Terimakasih
juga untuk kakak iparku semua atas doa dan dukungannya. Semoga saudara-
saudaraku mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat karena, mendapatkan
keberkahan dan jalan yang lurus. Âmîn.
Keluarga besar penulis, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Merekalah yang selalu memberikan semangat serta doa dan motivasi penulis
selama penulis menempuh perkuliahan, walau hanya sepatah dua kata tapi bisa
menjadi sumber semangat dan motivasi bagi penulis agar selalu berjuang tampa
henti, sabar, tawakkal. Semoga mereka semua dapat melihat mamfaat dari ilmu
yang penulis dapatkan. Âmîn.
Ciputat, 29 Desember 2016
Hormat saya
Rajab Husain
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Salah satu gaya penyajian atau pola pemaparan yang luar biasa dari kisah
al-Qur’an adalah metode dialog dijadikan penyampai pesan. Dalam beberapa hal
al-Qur’an bisa dianggap sebagai kumpulan dialog, yang meliputi dialog Allah
Swt., dengan malaikat; Allah Swt., dengan para Nabi; malaikat dengan para nabi
dan orang pilihan; para Nabi dengan kaumnya; bahkan dialog Allah Swt., dengan
iblis, dialog Allah Swt., dengan mereka yang kelak mendapat azab, dan dialog
penduduk surga dengan penduduk neraka.1 Lewat al-Qur’an Allah Swt.,
menggunakan ayat-ayatnya sebagai medium berdialog lansung dengan kita
semua.
Dalam al-Qur’an kita temukan bagaimana cara Allah Swt., berbicara
dengan manusia, yaitu dalam QS. Asy-Syûrâ/42: 51.
وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو ي رسل رسولا (١٥يشاء إنه علي حكيم )ف يوحي بإذنه ما
"Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir2 atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana."3
1 Nadirsyah Hosen, DIALOG. Di akses pada tanggal 20 April 2016 dari
http://www.pcinu-anz.org/dialog/ 2 “Di belakang tabir” artinya ialah seorang dapat mendengar kalam ilahi akan tetapi dia
tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi pada diri Nabi Musa as. 3 Diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an. revisi terjemah
oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
dengan transliterasi (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, t.th), h. 979
2
Pada tataran selanjutnya, banyak ditemukan ayat-ayat yang bersifat
dialogis, diantaranya yaitu dengan al-Ḥiwâr (percakapan atau dialog)4 antara
Allah Swt., dengan makhluk-Nya, petunjuk al-Qur’an serta jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad saw., dalam berbagai
permasalahan agama dan umat Islam.
Yang dimaksud metode al-Ḥiwâr adalah percakapan silih berganti antar
dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah
pada satu tujuan. Di dalam al-Qur’an terdapat tiga ayat yang menggunakan kata
.yaitu pada surat al-Kahfi ayat 34 dan 37, dan surat al-Mujâdilah ayat 1 ”المحاورة“5
Selain al-Ḥiwâr ada lagi Jadâl (Debat). Secara etimologi, Jadâl atau al-
Jidâl dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai “perbantahan dalam suatu
permusuhan yang sengit dan berusaha memenangkannya”. Sedangkan secara
terminologi, Jadâl adalah saling bertukar pikiran atau pendapat dengan jalan
masing-masing berusaha berargumen dalam rangka untuk memenangkan pikiran
atau pendapatnya dalam suatu perdebaan yang sengit.6
Allah Swt., menyatakan dalam al-Qur’an bahwa Jadâl (berdebat)
merupakan salah satu tabiat manusia. Seperti firman-Nya dalam QS al-Kahfi/18:
54. “ Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”7
Format dialog atau percakapan dalam kisah-kisah al-Qur’an bukan hanya
kumonikasi dua arah, komunikasi antara satu tokoh dengan tokoh yang lain dalam
4 Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi III) versi 1.3 freeware 2010-2011.
5 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Al-Mu’zam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim
(Baerut : Darr al-Ma’rifah, 1992), h. 280. 6 Zahîr 'Awad al-Alamaiy, Manâḥij al-Jadâl fi al-Qur'an al-Karîm (t.tp.,t.th.), h. 20; Juga
Mannâ Khalîl al-Qaṭṭân, Mabâḥits Fi ˊUlum al Qurˊân (Beirut Mansyurat al-Ashr, 1977) h. 29. 7 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.
573.
3
sebuah percakapan yang dikisahkan. Ternyata gaya penyajian atau pola
pemaparan kisah dalam al-Qur’an terdapat format komunikasi satu arah atau
berbicara sendiri (monolog).8
Dalam karya sastra khususnya drama juga dikenal dengan format
komunikasi satu arah ini yang sering disebut monolog. Monolog ini termasuk
kedalam bagian intrinsik dalam naskah, ada naskah drama yang di dalamnya
terdapat dialog beserta monolog tapi ada juga naskah yang di dalamnya penuh
monolog. Dalam naskah drama biasanya monolog terdapat di satu fragmen9
tersendiri dan fragmen-fragmen yang lain percakapannya berupa dialog.
Salah satu komunikasi satu arah atau berbicara sendiri yang telah
dirangkum dalam sebuah buku10
oleh Sulaimân aṭ- Ṭarawanaḥ dalam kisah Nabi
Ibrâhîm, QS. Al-Anbiyâ/21: 57
(١٥وتالله لأكيدن أصنامكم ب عد أن ت ولوا مدبرين )Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya11
.
Kalimat: Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya, sangat tidak
mungkin diucapkan secara lisan apalagi di depan orang yang membenci kita,
begitu juga dengan Ibrâhîm. Tidak mungkin kalimat tersebut ia ucapkan di depan
kaumnya (penyembah berhala), bisa jadi kalau ia mengucapkan di depan kaumnya
8 Monolog adalah bentuk bahasa tuturan baik lisan maupun tertulis yang tidak termasuk
dalam lingkungan percakapan, tanya jawab, teks drama atau film dan bentuk-bentuk lain yang
sejenis, termasuk juga wawancara. 9 fragmen/frag·men/ /fragmén/ n 1 cuplikan atau petikan (sebuah cerita, lakon, dan
sebagainya): kami mementaskan suatu -- cerita Damarwulan; 2 bagian atau pecahan sesuatu.
Kamus besar bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring (dalam jaringan) di akses pada tanggal
5 Agustus 2016 dari http://kbbi.web.id/fragmen 10
Judul bukunya: Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur'an 11
Ucapan-ucapan itu diucapkan Ibrâhîm as. dalam hatinya saja. Maksudnya: Nabi
Ibrâhîm as. akan menjalankan tipu dayanya untuk menghancurkan berhala-berhala mereka,
sesudah mereka meninggalkan tempat-tempat berhala itu.
4
itu pasti kaumnya akan berjaga-jaga atau malah menangkap Ibrâhîm. Kalimat itu
merupakan ungkapan hati saja.12
Kalau memang Ibrâhîm mengungkapkan perkataannya tersebut kepada
kaumnya (bukan sekelompok yang lemah), sudah pasti mereka tidak akan
bertanya lagi siapa yang menghancurkan berhala mereka. "Siapakah yang
melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk
orang-orang zalim?" (QS. Al-Anbiyâ'/21: 59). Kalimat tersebut menjelaskan
bahwa pada awalnya mereka memang tidak mengetahui sama sekali siapa yang
menghancurkan tuhan-tuhan mereka. Sampai mereka mendengar berita , kalau ada
seorang pemuda yang mencela tuhan-tuhan mereka.13
Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela
berhala-berhala ini yang bernama Ibrâhîm". (QS. Al-Anbiyâ'/21: 60)
Dari kalimat di atas bisa dilihat bahwa mereka belum berani menuduh
Ibrâhîm secara lansung karena belum ada bukti yang cukup kuat. Apalagi mereka
masih bertanya dalam ayat setelahnya14
untuk mencari kepastian apakah Ibrâhîm
yang melakukan penghancuran tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa perkataan
Ibrâhîm tersebut merupakan bentuk percakapan satu arah (monolog).
Selain itu ada juga teks monolog yang didalamnya terdapat unsur dialog,
mari kita simak teks cuplikan monolog karya Putu Wijaya15
yang merupakan
monolog penuh dengan judul Kemerdekaan, dalam bentuk dialog:16
12
Sulaimân aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata dalam Al- Qur’an (Jakarta Timur: Qisthi
Press, 2004), h. 235 13
Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 235 14
mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan
Kami, Hai Ibrahim?" QS. Al-Anbiyâ'/21: 62 15
Putu Wijaya, salah seorang dramawan dan sastrawan di Indonesia. Putu Wijaya adalah
seorang sutradara dan mendirikan grup teater pada tahun 1971 yang bernama Teater Mandiri. 16
Putu Wijaya. TEROR MENTAL (Kumpulan puisi dan monolog) (Kumpulan puisi dan
monolog ini dicetak sendiri untuk ulang tahun ke 70 Putu Wijaya. 2014), t.h.
5
“Tiba-tiba burung perkutut itu berbicara. (Di dalam cerita ini burung
memang bisa bicara seperti di zaman Nabi Sulaiman. Burung-burung
perkutut di Indonesis17
semuanya bisa ngoceh terutama yang laki-laki)
“Tuan, jangan berikan kemerdekaan itu kepada saya. Jangan, Tuan, saya
takut”
“Takut? Kenapa takut?”
“Sebab kalau saya keluar sekarang, dalam waktu tidak lebih dari tiga hari
saya akan mati, Tuan.”
“Bukan mati goblok! Kamu merdeka!”
Teks cuplikan monolog di atas hanya percakapan sendiri, walaupun
selintas cuplikan teks tersebut seperti cuplikan dialog. Tapi setelah diamati teks di
atas maka kita melihat hanya satu orang yang berbicara. Mustahil burung bisa
bicara, apalagi membicarakan kebebasannya. Makna dari teks di atas tersebut
adalah, seorang pemimpin yang tidak tahu apa yang diinginkan oleh rakyatnya,
sang pemimpin mencoba memberikan kemerdekaan terhadap rakyatnya, tapi
rakyatnya menolak. Kalau kita membaca tuntas teks tersebut maka kita akan
mengetahui bahwa naskah monolog dengan judul Kemerdekaan itu membicarakan
permasalahan yang ada di Indonesia.
Bertolak dari sedikitnya data-data tentang kajian monolog apalagi dalam
al-Qur’an, telah mengusik dan menjadikan kegelisahan bagi penulis untuk
mengkaji dan menelusuri teks-teks monolog tersebut, berangkat dari perspektif
monolog menurut Sulaimân aṭ- Ṭarawanaḥ, kemudian dijelaskan melalui
pendekatan sastra yang layak dan semestinya diaplikasikan.
Penulis memilih dua kisah diantara empat kisah dalam bukunya aṭ-
Ṭarawanaḥ yakni, kisah Nabi Ibrâhîm, dan kisah Nabi Yûsuf. Dua kisah yang lain
adalah, kisahnya Nabi Luth dan kisahnya Maryam ibu Nabi Isa. Dalam kisah Nabi
Ibrâhîm, aṭ- Ṭarawanaḥ telah menulis beberapa ayat monolog antara lain; QS. Al-
17
Indonesis merupakan Negara antah berantah dalam naskah tersebut, tapi sejatinya
Indonesis merupakan plesetan dari Indonesia.
6
Anbiyâ/21: 57, QS. Al-Anbiyâ/21: 64. Sedangkan dalam kisah Nabi Yûsuf ialah;
QS. Yûsuf/12: 77.
Bagi penulis menarik sekali dijadikan sebuah penelitian ilmiah, karena
selain dialog ternyata ada format monolog dalam al-Qur’an. Penulis yakin format
monolog dalam al-Qur'an mempunyai tujuan sendiri, dan sebagai pelajaran ˊIbrah
agar dapat diambil hikmahnya dan menyampaikan pesannya tersendiri, seperti
format monolog dalam karya drama/sastra.
Di sini penulis mencoba melakukan satu penelitian ilmiah yang berkenaan
dengan monolog tersebut. Penulis mengkaji monolog dalam kisah al-Qur’an,
karena kisah sendiri mempunyai peranan penting dalam menyampaikan pesan-
pesan atau perkataan dari Allah SWT. Karya ilmiah ini penulis beri judul
“ANALISIS MONOLOG TUHAN DALAM QS. AL-AN'AM [6]: 76-79 DAN
QS. YÛSUF [12]: 99-100 PERSPEKTIF SULAIMÂN AṬ-ṬARAWANAH”.
Skripsi ini juga akan memperdalam dan mengembangkan karya aṭ- Ṭarawanaḥ.
B. Batasan dan Rumusan masalah
Sesuai dengan latar belakang, maka penulis merasa perlu adanya
pembatasan dan perumusan masalah dalam penelitian ini agar permasalahan
pokok yang akan diangkat tetap fokus dan tidak terlalu melebar.
1. Pembatasan masalah
Dalam al-Qur’an sebenarnya termuat banyak format monolog, tapi penulis
di sini lebih memfokuskan format monolog ini dalam kisah-kisah al-Qur’an.
Karena kisah merupakan salah satu bentuk seni sastra yang memiliki ikatan kuat
dengan diri manusia.18
Dari beberapa bagian kisah dalam al-Qur’an, penulis
18
Abd al-Aziz Muh. Faishal, al-Adab al-Araby wa Târîkhuh (Saudi: Departemen
Pendidikan Tinggi, 1114 H), h.28.
7
memfokuskan kajian penelitian ini dengan kisah para Nabi, karena kisah para
Nabi terlihat jelas perwatakan atau tokoh di dalamnya.
Tujuannya agar ketika pembaca membaca penelitian ini, pembaca yakin
bahwa tokoh yang ada di dalam kisah itu nyata. Kisah yang akan diangkat adalah:
kisah Nabi Ibrâhîm dalam surat al-Anbiyâˊ ayat 76-79, dan kisah Nabi Yûsuf
dalam surah Yûsuf ayat 99-100. Ayat dari kisah-kisah tersebut dipilih karena
setiap monolog dalam kisah tersebut termasuk monolog panjang, agar
memudahkan dalam pengkajiannya.
2. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk butir
pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimana monolog Tuhan dalam kisah Nabi Ibrâhîm surat al-An'am ayat
76-79, dan kisah Nabi Yûsuf dalam surah Yûsuf ayat 99-100 dalam
perspektif Sulaimân aṭ-Ṭarawanah?
Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, diharapkan kajian ini
mampu menghadirkan teks-teks komunikasi satu arah atau monolog dalam kisah
Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf dalam al-Qur’an.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, berangkat dari ketertarikan dan
pentingnya tema ini dalam kajian al-Qur’an, terlebih dari pendekatan sastra
terhadap teks al-Qur’an, maka penelitian ini diharapkan mampu mencapai tujuan
yakni:
8
a. Mengetahui monolog Tuhan dalam kisah Nabi Ibrâhîm surat al-An'am
ayat 76-79, dan kisah Nabi Yûsuf dalam surah Yûsuf ayat 99-100
perspektif Sulaimân aṭ-Ṭarawanah.
Selain tujuan, peneliti mengharapkan karya ini mampu memberikan
mamfaat, mamfaatnya adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan berguna dan menjadi kontribusi ilmiah
dan memperkaya khazanah kepustakaan dalam bidang ulumul
Qur'an, karena selain Ḥiwâr dan Jadâl, monolog juga termasuk
pemaparan kisah dalam al-Qur'an.
b. Secara praktis
Menjadi acuan bahan ajar dalam kajian ulumul Qur'an.
Menjadi acuan bagi peneliti-peneliti lain untuk melakukan kajian
mendalam terhadap kisah-kisah al-Qur’an sehingga yang masih
menjanggal dalam kisah dapat terkuak.
4. Tinjauan pustaka
Sejauh ini penulis belum menemukan kajian pustaka yang membahas
monolog dalam al-Qur’an, hanya ada satu buku yang membahas itu, yakni : buku
“Rahasia pilihan kata dalam al-Qur’an” karya Sulaimân aṭ- Ṭarawanah. Dalam
buku ini membahas keindahan tekstual al-Qur’an.19
Buku tersebut menjadi
sumber sekunder bagi penulis.
19
Dalam edisi Arab buku ini berjudul: Dirâsah Naṣsiyyah Adabiyyah fil Qiṣṣâh al-
Qurˊâniyyah yang ditulis oleh DR. Sulaimân aṭ-Ṭarawanah, cetakan pertamanya pada tahun 1419
H/1992 M. Dalam edisi Indonesia adalah RAHASIA PILIHAN KATA DALAM AL-QUR’AN.
Penerjemahnya adalah Agus Faishal Kariem dan Anis Maftukin; Editor: Tim Qisthi Press dan
diterbitkan oleh Qisthi Press pada April 2014 sebagai cetakan ke- 1.
9
Aṭ- Ṭarawanaḥ mengkaji struktur teks-teks linguistik (kebahasaan) kisah-
kisah al-Qur’an. Karenanya, kajian dalam bukunya akan menghindari
pembicaraan mengenai dimensi maknawiyaḥ setiap teks atau aspek-aspek
interpretatif sebuah struktur teks.
Bagian pertama dalam buku “Rahasia pilihan kata dalam al-Qur’an”
adalah fenomena pengulangan dalam kisah-kisah al-Qur’an, bagian kedua adalah
gaya penyajian kisah dalam al-Qur’an, bagian ketiga format dialog dalam kisah-
kisah al-Qur’an, di dalam kajian ini terdapat dua bagian pertama membahas
percakapan dua arah dan yang kedua membahas monolog dalam al-Qur’an, bagian
keempat membicarakan karakter tokoh dalam kisah al-Qur’an, dan bagian terakhir
adalah kajian tekstual kisah Yûsuf As.
Selain itu penulis hanya menemukan beberapa skripsi yang berkaitan
dengan kisah dalam al-Qur’an, dari tahun 2009 sampai 2015 di antaranya:
1. Muhammad Khotib asal Bekasi,20
dalam skripsinya ini menjelaskan
tentang upaya menjawab permasalahan seputar bagaimana pandangan
Khalafullâh tentang kisah dalam al-Qur’an yang terdapat dalam buku
Al-Fân al-Qaṣaṣiy fi al-Qurˊan al-Karîm. Khotib menulis dalam
skripsinya bahwa kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah bentuk
penyampaian wahyu untuk menyampaikan kehendaknya kepada
manusia. Melalui kisah manusia digiring menuju tatanan kehidupan
yang sesuai dengan tujuan utama al-Qur’an. Kisah dalam al-Qur’an
juga sering kali tidak mementingkan unsur kesejarahan, berkaitan
20
Muhammad Khotib, PENAFSIRAN KISAH-KISAH AL-QUR’AN Telaah terhadap
pemikiran Muḥammad Aḥmad Khalafulâh dalam al Fann al-Qaṣaṣiy fi al-Qurˊan al-Karîm
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009).
10
dengan hal itu Khalafulâh tidak memandang kisah dalam al-Qur’an
sebagai rekaman atau arsip kesejarahan murni.
2. Sedangkan Ari Nurhayati yang lulus pada tahun 2013 membuat
penelitian tentang pengulangan kisah dalam al-Qur’an21
ini dilakukan
agar penelitian bisa secara komprehensif. Karena dengan diketahuinya
konteks kisah pada masing-masing surat maka akan terlihat latar
belakang penggunaan redaksi yang berbeda-beda. Adanya
pengulangan kisah dalam al-Qur’an tidak bisa terlepas dari objek
dakwah yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw., yaitu masyarakat
Makkah yang notabene mempunyai kepercayaan yang sudah mengakar
dan kuat. Di samping itu, masyarakat arab pada saat itu juga
mempunyai kecerdasan yang tinggi terutama dalam hal sastra. Secara
psikologis, sesuatu yang disebutkan secara berulang akan mempunyai
dampak pada kejiwaan yang nantinya akan memberikan pengaruh juga
terhadap keimanan. Bagian kisah Nabi Ibrâhîm yang diulang-ulang
hanya bagian kisah yang mempunyai keterkaitan erat dengan konteks
turunnya al-Qur’an pada masa itu, sebagai hiburan Nabi Muhammad
saw., maupun peringatan pada kaum kafir Makkah.
3. Hal berbeda yang dilakukan oleh Pipit Aidul Fitriyana,22
dalam
skripsinya dia mencoba menelaah kisah Nabi Yûsuf melalui konsep
mitos yang ditawarkan Roland Barthes. Penulis sendiri mengakui
bahwa Barthes belum pernah menerapkan analisa semiologi pada al-
21
Ari Nurhayati, "PENGULANGAN KISAH NABI IBRÂHÎM." (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013 ) 22
Pipit Aidul Fitriyana, KISAH YUSUF DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF
SEMIOLOGI ROLAND BARTHES (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
11
Qur’an, namun Barthes pernah mengaplikasikan hal tersebut terhadap
al-Kitab. Barthes ingin menawarkan cara lain memahami teks, yang
secara positif turut berkontribusi memberikan keluasan makna pada
teks keagamaan.
4. Skripsi lain dari Nur Laeli,23
ia mengatakan dalam skripsinya bahwa di
dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah inspiratif. Salah satu sumber
inspirasi dari kisah-kisah al-Qur’an adalah akhlak para Nabi. Penulis
skripsi ini mengangkat kisah Nabi Yûnus karena dia menganggap
kisah Nabi Yûnus memiliki pesan moral yang tinggi tentang kesabaran,
optimis terhadap pertolongan Allah, perlunya tobat dari kesalahan
yang telah dilakukan. Nabi Yûnus merupakan salah satu Nabi yang
kisahnya diceritakan dalam al-Qur’an. Kisah Nabi Yûnus termaktub di
dalam al-Qur’an melalui beberapa ayat, yaitu sebaga berikut: QS.
Yûnus ayat 98, QS. Al-Anbiyâˊ ayat 87-88, QS. As-Sâffât ayat 139-148,
QS. Al-Qalam ayat 48-50.
5. Skripsi yang mengungkap pesan-pesan yang terkandung dalam al-
Qur’an diungkap oleh Serpin,24
Kesimpulan Serpin terhadap
penelitiannya adalah: akhlâk al-Mahmûdah dan akhlâk al-
Madhmûmah. Yang tergolong dalam akhlâk al-Mahmûdah adalah
ikhlas, sabar, tawâduˊ, dan istiqâmah yang telah ditunjukkan oleh
23
Nur Laeli, PESAN MORAL KISAH NABI YUNUS MENURUT MUFASIR MODERN
INDONESIA (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) 24
Serpin, PESAN-PESAN AKHLAK DALAM KISAH QABIL DAN HABIL (Studi Tafsir
surah al-Mâˊidah ayat 27-31) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
12
Hâbil. Sedangkan akhlâk al-Maḍmûmah adalah iri, dengki, pemarah,
dan sombong yang di tampakkan oleh Qâbil.
6. Ada lagi skripsi dari Umar Ubaidillah,25
penulis meneliti persamaan
dan perbedaan baik dalam tafsîr ibn Katsîr dan tjerita-tjerita dalam
Alkitab karya Anne de Vries mengenai kisah Nabi Yûsuf. Hikmah
kisah Nabi Yûsuf dari kedua kitab ini juga tidak luput dari pembahasan
karya ilmiah ini. Melalui pembacaan kedua kitab tersebut, penulis
mengetahui sumber rujukan kisah Nabi Yûsuf yang terdapat dalam
kitab Tafsîr ibn Katsîr. Ibn Katsîr banyak mengutip riwayat atau hadis
dan pendapat para mufassir sebelumnya, salah satunya Ibn Jarîr al-
Ṭabarî dalam menjelaskan kisah Nabi Yûsuf. Sedangkan Anne de
Vries hanya memaparkan kisah secara panjang lebar yang bersumber
dari Injil berdasarkan pemahamannya.
7. Skripsi Mohammad Sofiyullah mengungkap pesan moral dalam
kisah,26
penulis menggambarkan ayat-ayat mengenai kisah Nabi
Ayyub As, yaitu: Q.S. Al-Anbiyâ ayat 83-84 dan Q.S. Sâd ayat 41-44.
Kemudian menganalisa pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Dalam penelitiannya, pesan moral yang telah diambil dari kisah Nabi
Ayyub a.s., yaitu: Pertama, musibah sebenarnya adalah musibah yang
membahayakan agama, Kedua, kepasrahan dengan ketentuan Allah
Swt., Ketiga, boleh berdoa untuk disesuaikan dengan takdir Allah Swt..
25
Umar Ubaidillah, Pengisahan Nabi Yusuf dalam al-Qur’an dan Injil (Analisa
Perbandingan Tafsîr ibn Katsîr dan tjerita-tjerita dalam Alkitab) (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 201 3) 26
Mohammad Sofiyullah, PESAN MORAL DALAM KISAH NABI AYYUB AS (TELAAH
TERHADAP KITAB AL-LAMA’AT KARYA SAID NURSI) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)
13
8. Skripsi selanjutnya adalah karya Sofyan Tsaury27
. Karya ini
difokuskan pada pembahasan masalah penafsiran al-Qur’an mengenai
kematian dan pengangkatan Nabi Isa a.s., menurut pendapat Mutawallî
Sya’rawî. Penulis di sini mencari pemahaman al-Sya’rawî tentang kata
mutawaffîka dan râfi’uka, sekaligus dalil dan rujukan apa saja yang
menjadi penguat argumentasinya.
9. Ihyak Ulumuddin menulis skripsi,28
yang ingin menjawab persoalan
tentang tafsiran kisah Yûsuf as. dan Zulaikhâ dalam al-Qur’an dengan
pendekatan psikologi. Penelitian ini menggunakan teori-teori psikologi
yang lebih mendekati aspek-aspek kejiwaan manusia, membuka
realitas-realitas fenomena-fenomena yang sepenuhnya manusiawi
tampa harus mengklaim tindakan itu haram ataukah halal. Psikologi
hanya dapat melihat nilai-nilai dari tingkah laku manusia secara fair.
Psikologi dapat memandang kisah cinta ini sebagai perilaku yang bisa
terjadi terhadap siapa saja dan di mana saja.
Dari berbagai skripsi yang penulis lihat belum ada yang mengerucut
pembahasannya tentang dialog dan monolog dalam al-Qur’an.
5. Metode penelitian
Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, maka diperlukan metode yang sesuai dengan objek yang dikaji. Di
27
Sofyan Tsaury, KENAIKAN ISA AL-MASIH MENURUT MUTAWALLÎ AL-SYAˊRÂWÎ
(Studi Q.S. Ali Imran [03]: 55, al-Nisa [04]: 157, 158, dan 159) (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009) 28
Ihyak Ulumuddin, PSIKOLOGI CINTA DALAM KISAH YÛSUF DAN ZULAIKHA
(Telaah Atas Surat Yusuf ayat 23 – 32) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)
14
samping itu, metode merupakan cara bertindak agar penelitian berjalan lebih
terarah dan efektif sehingga bisa mencapai hasil yang maksimal.29
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan, oleh karena itu langkah awal dari penelitian ini adalah
mengumpulkan berbagai data yang dibutuhkan, kitab tafsir, buku-buku, kamus,
artikel dan karya tulis ilmiah lainnya yang relevan dengan permasalahan yang
akan diteliti. Walaupun tidak menutup kemungkinan penulis menemukan data
lewat beberapa wawancara, sebagai tambahan data dan membantu dalam
pencarian data.
b. Sumber data
Sumber data penelitian ini ada dua macam, yaitu sumber data primer dan
sekunder. Sumber primernya ialah al-Qur’an. Sedangkan sumber data sekunder
yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah kitab-kitab tafsir, buku, jurnal
ilmiah, skripsi yang berkaitan dan membantu memperjelas pembahasan dalam
penelitian ini.
c. Pengumpulan data
Langkah awal dalam pengumpulan data, penulis menganalisa teks-teks
linguistik (kebahasaan) kisah Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf,30
untuk mengetahui
letak monolog dalam kisah tersebut. Pendekatan ini termasuk pendekatan kajian
tekstual sastra modern, namun tidak ada salahnya apabila pendekatan ini
29
Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), h.10 30
Pengumpulan data ini menggunakan Al-Qur'an yang diterbitkan oleh PT. Karya Toha
Putra Semarang dengan judul Al-Qur'an dan Terjemahannya dengan transliterasi Diterjemahkan
oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Departemen Agama RI.
15
diterapkan dalam kajian teks-teks kisah al-Qur'an.31
Pendekatan ini juga yang
digunakan oleh aṭ-Ṭarawanah dalam menkaji ayat-ayat kisah dalam al-Qur'an
yang tertuang dalam bukunya (Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur'an). Penulis
mengananisa teks-teks tersebut secara perkalimat maupun perkata, agar bisa
menemukan ciri-ciri monolog dalam kisah Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf.
d. Sifat Penelitian
Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskripsi-analisis, yakni menganalisa
ayat 76-79 QS al-An'am, dan ayat 99-100 QS. Yûsuf, untuk menemukan paparan
monolog dalam ayat kisah tersebut, kemudian mendeskripsikan hasil yang
diperoleh sebagai hasil penelitian.
e. Pengolahan data
Data-data yang telah diperoleh seputar mololog dalam kisah Nabi Ibrâhîm
dan Nabi Yûsuf akan disortir terlebih dahulu untuk mencari teks yang pas dan
layak dibedah, lalu menganalisanya dengan mencari pola pemaparan dalam
monolog tersebut, selain itu dengan menggunakan kajian unsur intrinsik naskah
drama atau prosa rekaan, hal ini bukan berarti penulis menganggap kisah al-
Qur'an sama dengan naskah drama/teks sastra. Alasan penulis memilih
menggunakan kajian tersebut, karena kisah dalam al-Qur'an bercerita layaknya
naskah drama/teks sastra lainnya. Penulis yakin diantara kisah tersebut terdapat
kesamaan, walaupun tetap ada perbedaannya.
Penulisan dalam penelitian ini, merujuk kepada buku “Pedoman penulisan
skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013/2014”.32
Adapun transliterasi dalam penyusunan skripsi ini mengikuti pedoman
31
Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 5
16
transliterasi yang digunakan jurnal Ushuluddin, terbitan HIPIUS (Himpunan
Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin)33
, khusus untuk vocal panjang tetap memakai
“Pedoman penulisan skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2013/2014”
6. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulis membagi
penyusunan dalam lima bab dengan perincian sebagai berikut:
Bab pertama, pembahasan dimulai dengan pendahuluan yang berisi
penguraian tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan mamfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, pembahasan kisah dan monolog dalam al-Qur'an, bagian
pertama pengertian kisah dan monolog, kedua unsur intrinsik, ketiga kisah Nabi
kisah Nabi Ibrâhîm, dan Nabi Yûsuf, dan bagian empat pola pemaparan dalam
kisah Nabi Ibrâhîm, dan Nabi Yûsuf.
Bab ketiga, menguraikan monolog menurut Sulaimân aṭ- Ṭarawanah
dimulai dari biografi Sulaimân aṭ- Ṭarawanah sendiri, lalu mengupas sepintas
buku "Rahasia Pilihan Kata Dalam al-Qur'an", dan ditutup dengan pengertian
monolog menurut Sulaimân aṭ- Ṭarawanah.
Bab keempat, berisi tentang monolog dalam kisah al-Qur’an. Monolog
dalam kisah al-Qur’an meliputi, monolog Nabi Ibrâhîm dalam surat al-An'am ayat
33
Jurnal ilmu Ushuluddin adalah Jurnal yang terbit 2 (dua) kali setahun. Jurnal Ilmu
Ushuluddin menerima kontribusi tulisan berupa artikel, liputan adademik, laporan penelitian, dan
tinjauan buku. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Ilmu Ushuluddin 'Jurnal Himpunan
Peminat Ilmu Ushuluddin( HIPIUS) (Ciputat/Tangerang: Sejahtera Kita, 2010)
17
76-79, dan monolog Nabi Yûsuf dalam surah Yûsuf ayat 99-100. Kemudian
perbedaan kisah dengan monolog lalu relevansinya monolog dengan kajian
ulumul Qur'an.
Bab kelima, akhirnya penelitian ini ditutup dengan kesimpulan. Hal ini
penting untuk menjelaskan jawaban dari pertanyaan yang tertuang dalam rumusan
masalah. Dalam bab ini juga berisi saran-saran yang dibutuhkan untuk penelitian
lebih lanjut.
18
BAB II
KISAH DAN MONOLOG
DALAM AL-QUR'AN
A. Pengertian
1. Pengertian Kisah
Kata qaṣaṣ berasal dari Bahasa Arab yang merupakan
bentuk jamak dari kata qiṣaṣ yang berarti tatabbu’ al-aṣâr (napak tilas atau
mengulang kembali masa lalu). Qiṣaṣ menurut Muḥammad Ismail Ibrâhîm
yang berarti “hikayat” (dalam bentuk) prosa yang panjang”.1 Sedang menurut
Mannâ Khalîl al-Qaṭṭân, kisah berasal dari kata al- aqṣṣu yang berarti mencari
atau mengikuti jejak. Dikatakan “qaṣaṣtu aṣarahu” yang berarti “saya
mengikuti atau mencari jejaknya".2
Kata al-qaṣaṣ adalah bentuk masdar,
seperti dalam firman Allah Q.S. Al-Kahfi/18:64 : "Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula".
Maksudnya kedua orang itu kembali mengikuti jejak darimana
keduanya itu datang.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata al- qaṣaṣ diterjemahkan dengan
kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya).3 Menurut al-Raghib al-
Iṣfahani, qaṣaṣ adalah akar kata (maṣdar) dari “qaṣṣa-yaquṣṣu”,
1 Muḥammad Ismail Ibrâhîm, Mu’jam al-Alfazh wa Alam al-Qur’anniya (t.tp.: Dar
al-Fikr-al’Arabi,1969), h.140 2 Mannâ Khalîl al-Qaṭṭân, Mabâḥits Fi ˊUlum al Qurˊân ter. Mudzakir AS (Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 435 3 Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.
512
19
secara lugawi konotasinya tak jauh berbeda dari yang disebutkan di atas, yang
dipahami sebagai “cerita yang ditelusuri”4 seperti dalam Firman Allah swt.
Q.S. Yusuf/12: 111: "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunya akal”.
Berdasarkan pada beberapa arti di atas, dapat diambil pengertian
bahwa qiṣaṣ sama dengan kisah yang mempunyai arti segala peristiwa,
kejadian atau berita yang telah terjadi dari suatu cerita untuk menelusuri
jejaknya. Adapun yang dimaksud dengan Qaṣaṣ al- Qur’an adalah:
.الماضى فى الواقعة والأحداث القدماء والأنبياء الماضية الأحوال عن خبارإ
Pemberitaan mengenai keadaan umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu,
dan peristiwa yang pernah terjadi”.
Menurut perspektif al-Qur'an, Allah SWT. mengungkapkan diri-Nya
melalui peristiwa-peristwa, namun wahyu-Nya menggunakan tema-tema yang
sudah terkenal dan dinyatakan kembali sampai orang-orang beriman
meresapinya.5
Demikianlah pemaparan pengertian kisah menurut beberapa ulama.
Tentunya masih banyak pengertian atau definisi lain. Semoga pengertian yang
sedikit ini memberikan sedikit pemahaman terhadap kisah dalam al-Qur'an.6
4 Al-Raghib al Isfahani, al Mufradat Fi Gharit al Qur’an, ed. Muhammad Sayyid
Kailani (Mesir: Mustafa al Bab al Halabih, t.t.), h. 404 5 Hasan Basri, Horizon al Qur’an dari judul asli Les Grens Themes Du Coran oleh
Jacquis Joner, Cet. I, (Jakarta: Balai Kajian Tafsir al-Qur’an Pase, 2002), h. 80 6
Lihat pengertian kisah dalam Ari Nurhayati, "PENGULANGAN KISAH NABI
IBRAHIM" (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 13-16. Dan Muhammad Khotib, "PENAFSIRAN KISAH-
KISAH AL-QUR'AN" (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 14-18
20
Selain itu gaya-gaya penyajian dalam kisah al-Qur'an merupakan salah
satu elemen struktur cerita yang menonjol. Yang dimaksudkan disini adalah cara
yang digunakan untuk mendiskripsikan urutan peristiwa suatu cerita.7
Salah satu gaya penyajiannya ialah dengan narasi, narasi kisah dalam al-
Qur'an menjadi tiga macam, yakni: Pertama, kisah historis (adabi târikhî). Kisah
ini berkenaan dengan kisah nabi dan rasul yang telah diyakini sebagai sesuatu
yang historis. Karena al-Qur'an telah mengambil peristiwa-peristiwa dalam
panggung sejarah manusia, maka jenis ini juga disebut dengan adabi târikhî.
Khalafullah mengatakan yang berkenaan dengan jenis ini, yakni:
Jenis naratif ini merupakan susastra historis (adabi târikhî). Al-Qur'an
mengambil material narasi dari persitiwa dan kejadian-kejadian dalam
sejarah, menghubungkannya dalam bentuk susastra yang menjelaskan
makna serta menopang maksud sedemikian rupa seakan mendatangkan
respon dari pendengar yang emosi serta kesadarannya terpengaruhi.8
Walaupun jenis yang pertama ini, yakni adabi târikhî, memiliki elemen
historis yang kental, prioritas utama Khalafullah dalam jenis ini adalah simbol dan
teladan kemanusiaan bagi kehidupan,9 bukan malah aspek historisnya.
Kedua, kisah-kisah ilustratif (tamtsîliyya) atau (parabel), secara khusus
kisah-kisah ini memiliki unsur-unsur didaktik. Khalafullah menyatakan dalam
jenis yang kedua ini bahwa "kita tidak memiliki pengetahuan yang riil dan historis
akan peristiwa dan kejadian dalam jenis naratif parabel, tapi kita mampu
menerimanya sebagai bentuk hipotesis."10
7 Sulaimân aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata dalam Al- Qur’an (Jakarta Timur: Qisthi
Press, 2004), h. 125 8 Khalafullah, al- Fann al-Qasas…, h. 124
9 Khalafullah, al- Fann al-Qasas…, h. 142-143, 148-150, 152-154
10 Khalafullah, al- Fann al-Qasas…, h. 145
21
ketiga, kisah-kisah legenda (usṭûriyya). Jenis ini merupakan sesuatu yang
mengisahkan perstiwa-peristiwa dalam panggung kehidupan manusia. Jenis ini
dimaksudkan untuk mempertebal dan menkokohkan filosofi kisah tersebut, yakni
sebagai teladan kemanusiaan.
Narasi-narasi al-Qur'an lebih dimaksudkan sebagai simbol-simbol oleh
Khalafullah, simbol keagamaan, 'ibrah, nasehat, serta hidayah bagi umat manusia.
Meski Khalafullah dengan tegas mengakui dimensi historis kisah yang ada di
dalam al-Qur'an, haya saja bukan aspek historis tersebut sebagai elemen utama
yang menjadi sasaran adanya kisah tersebut.
Selain itu teknik pemaparan lewat narasi dapat di pilah-pilah, seperti
berawal dari kesimpulan, ringkasan cerita, adegan klimaks, tanpa pendahuluan,
adanya keterlibatan imajinasi manusia, dan penyisipan nasihat keagamaan:11
1.1. Berawal dari sebuah Kesimpulan
Di antara berbagai kisah yang dipaparkan dalam al-Qur'an, ada yang di
mulai dari kesimpulan. Kemudian diikuti dengan perinciannya, yaitu dari12
pertama fragmen hingga fragmen terakhir. Sebagai contoh adalah kisah Nabi
Yûsuf yang di awali dengan mimpi dan dipilihnya Nabi Yûsuf sebagai Nabi [QS.
12:6-7]. Kemudian dilanjutkan dengan fragmen pertama, yaitu Nabi Yûsuf dengan
saudara-saudaranya [ayat 8-20]. Fragmen kedua, Nabi Yûsuf di Mesir [ayat 21-
33]. Fragmen ketiga, Nabi Yûsuf di penjara [ayat 34-53]. Fragmen keempat, Nabi
11
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an), ed.
Musjaffa' Maimun (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 67-73 Lihat Sayyid Qutbh, al-Taswir
al-Fann…, h. 149 12
Dalam Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia, kata fragmen diartikan sebagai cuplikan
atau petikan (dari sebuah cerita, lakon dan sebagainya). Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 418
22
Yûsuf mendapat kepercayaan dari raja [ayat 54-57]. Fragmen kelima, Nabi Yûsuf
bertemu dengan saudara-saudaranya [ayat 58-93]. Fragmen keenam, Nabi Yûsuf
bertemu dengan orangtuanya [ayat 94-101].13
1.2. Berawal dari sebuah Ringkasan Kisah
Dalam hal ini kisah dimulai dari ringkasan, kemudian diikuti dengan
rincian dari awal hingga akhir. Kisah yang menggunakan pola ini antara lain
ashâb al-Kahfi dalam surat al-Kahfi yang dimulai dengan ringkasan secara garis
besar.
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam
gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada
Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus
dalam urusan Kami (ini). Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun
dalam gua itu. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui
manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung
berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).14
Demikian ringkasan kisah ashâb al-Kahfi. Kemudian dalam ayat
selanjutnya diceritakan rinciannya, yaitu dalam ayat [14-16] tentang latar
belakang mengapa mereka masuk gua. Pada ayat [17-18] menceritakan keadaan
mereka di dalam gua. Pada ayat [19-20] menceritakan saat mereka bangun dari
tidur. Pada ayat [21] menjelaskan tentang sikap penduduk kota setelah mengetahui
mereka. Terakhir, pada ayat [22] menceritakan perselisihan penduduk kota
tentang jumlah pemuda-pemuda tersebut.15
1.3. Berawal dari sebuah Adegan yang paling Penting
13
Qalyubi, Stilistika al-Qur’an…, h. 67-68. 14
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
CV Darus Sunah, 2011), h. 295 15
Sayyid Quṭb, al-Taswir al-Fann…, h. 149
23
Pola pemaparan kisah lainnya dalam al-Qur'an adalah kisah yang berawal
dari adegan klimaks. Kemudian dikisahkan rinciannya dari awal hingga akhir.
Kisah yang menggunakan pola ini antara lain kisah Nabi Mûsâ dengan Fir'aun
dalam surat al-Qaṣaṣ.
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Mûsâ dan Fir'aun
dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir'aun
telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun Termasuk orang-orang yang
berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-
orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka
pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).16
Itulah awal kisah yang menjadi adegan klimask, yaitu tentang keganasan
Fir'aun. Kemudian dikisahkan secara rinci mulai Nabi Mûsâ AS. Dilahirkan dan
dibesarkan [ayat 7-13]. Pada ayat [14-19] menceritakan ketika ia dewasa. Ayat
[20-22] tentang meninggalnya Nabi Mûsâ di Mesir. Ayat [23-28] menceritakan
pertemuannya dengan dua anak perempuan. Ayat [29-32] menceritakan Nabi
Mûsâ mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Untuk menyeru Fir'aun. Ayat [33-37]
menceritakan pengangkatan Harun sebagai pembantunya. Ayat [38-42]
menceritakan tentang kesombongan dan keganasan Fir'aun. Terkahir
menceritakan tentang Nabi Mûsâ yang mendapatkan wahyu (Taurat), terdapat
pada ayat [43].17
Dengan dipilihnya pola pertama, kedua, dan ketiga ini pembaca atau
pendengar dapat mengetahui terlebih dahulu gambaran secara umum tentang suatu
kisah. Selain itu mendorong mereka untuk segera mengetahui rinciannya.
16
Yayasan Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 386. 17
Qalyubi, Stilistika al-Qur’an…, 69.
24
1.4. Tampa Memakai Pendahuluan
Pada umumnya kata-kata pendahuluan digunakan pada berbagai kisah
dalam al-Qur'an. Apakah itu dengan menggunakan pola pertama, kedua, ketiga,
atau dengan bentuk pertanyaan. Sebagai contoh kisah tentara bergajah pada surat
al-Fîl/105 ayat [1-5] didahului dengan pertanyaan, “Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah.”
Kemudian kisah Nabi Ibrâhîm AS. dengan malaikat dalam surat al-Dzariyat/51
ayat [24-30] juga di mulai dengan pertanyaan, “Sudahkah sampai kepadamu
(Muhammad) cerita tamu Ibrâhîm (malaikat) yang dimuliakan?” Selain itu, kisah
Nabi Mûsâ AS. dalam surat al-Nâzi'at/79 ayat [15-26] juga di mulai dengan
sebuah pertanyaan, “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah Mûsâ?”.18
Meskipun demikian, terdapat juga beberapa kisah yang tidak memakai
pendahuluan. Tetapi kisah tersebut di mulai secara langsung dari inti materi.
Sebagai contohnya adalah kisahnya Nabi Mûsâ AS. Mencari ilmu dalam surat al-
Kahfi/18 ayat 60-82. Dalam kisah tersebut dijelaskan secara langsung ke inti
materi kisah, tanpa didahului dengan pendahuluan.
Sekalipun pemaparan kisah di atas tanpa dimulai pendahuluan. Di
dalamnya dimuat dialog atau peristiwa yang mengandung minat pembaca atau
pendengar untuk mengetahui kisah tersebut sampai tuntas. Pada kisah Nabi Mûsâ
AS ditampilkan adegan Nabi Khidir melubangi perahu yang di tumpanginya [ayat
71]. Selanjutnya Nabi Khidir membunuh seorang pemuda [ayat 74] dan Nabi
Khidir membetulkan dinding rumah yang masyarakatnya sangat pelit [ayat 77].
18
Qalyubi, Stilistika al-Qur’an…, h. 70
25
Pembaca atau pendengar kisah akan terus bertanya-tanya mengapa Nabi Khidir
berbuat demikian. Pertanyaan itu baru terjawab pada akhir kisah tersebut.19
1.5. Penyisipan Nasihat Keagamaan
Pemarapan kisah dalam al-Qur'an sering sekali disisipi nasihat keagamaan.
Nasihat ini antara lain berupa penegasan Allah SWT, dan keharusan percaya
adanya kebangkitan manusia dari kubur.
Adapun contoh dalam pola ini adalah ketika al-Qur'an menuturkan kisah
Nabi Mûsâ AS. dalam surat Ṭaḥa [20], dari ayat 9-98. Di tengah-tengah kisah ini,
yaitu pada ayat 50-55 disisipkan tentang kekuasaan Allah SWT, ilmu-Nya,
kemurahan-Nya, dan kebangkitan manusia dari kubur. Kemudian di akhiri dengan
pengesaan Allah SWT, pada ayat 98.20
2. Monolog
Menurut Syamsuddin dkk, yang dimaksud dengan monolog21
adalah
bentuk bahasa/tuturan baik lisan maupun tertulis yang tidak termasuk dalam
lingkungan percakapan, tanya jawab, teks drama atau film, dan betuk-bentuk lain
yang sejenis, termasuk juga wawancara. 22
Sama halnya dengan Nano Riantiarno, menurutnya monolog bukanlah
sebuah percakapan yang dimainkan oleh dua orang atau lebih, monolog adalah
19
Qalyubi, Stilistika al-Qur’an…, h. 70-71. Contoh lainya adalah kisahnya Nabi Yusuf
AS. QS. Yusuf/12: 1-111. 20
Qalyubi, Stilistika al-Qur’an…, 72. 21
Monolog: 1 pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri; 2 Sen adegan sandiwara
dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri; -- dramatik Sas sajak yang
terdiri atas kata-kata yang diucapkan seorang tokoh tunggal pada saat kritis yang mengungkapkan
keadaan dirinya dari situasi yang dihadapinya; bermonolog: melakukan monolog. Kamus besar
bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring (dalam jaringan) di akses pada tanggal 31 Juli 2016
dari http://kbbi.web.id/monolog 22
Syamsuddin A.R, dkk., Studi Wacana Bahasa Indonesia (Bandung: Depdikbud,
1997/1998), h. 163
26
naskah drama yang dimainkan oleh seorang aktor, sendirian. Monolog kadang
juga disebut monodrama.23
Istilah lainnya dari monolog adalah monodrama24
dimana drama yang
dimainkan oleh satu orang saja. Monodrama adalah gambaran yang bercorak
dramatik yang lahir melalui fikiran seseorang individu.
Jadi, dapat disimpulkan di sini bahwa yang disebut dengan monolog
adalah bentuk bahasa/tuturan baik lisan maupun tertulis yang disampaikan searah
bukan dialogis, beruntun dan berkaitan berdasarkan kesatuan isi, tujuan dan
situasi. Dan perbedaan yang sangat menonjol jika dibandingkan dengan dialog
terletak pada aspek tatap muka, penggalan pasangan percakapan, dan kesempatan
berbicara. Pada monolog tatap muka, penggalan pasangan percakapan, dan
kesempatan berbicara tidak diperlukan, karena monolog sifatnya searah bukan dua
arah sebagaimana dialog.
2.1. Monolog secara umum dalam al-Qur'an.
Al-Qur'an secara umum bisa disebut monolog tertulis /teks monolog,
karena sejatinya al-Qur'an adalah Firman Tuhan. Bisa dikatakan bahwa al-Qur'an
adalah monolognya Allah, karena keseluruhan isi dalam al-Qur'an merupakan
Firman Allah, yang di sampaikan oleh malaikat Jibril ke Nabi Muhammad. Al-
Qur'an tersusun dalam struktur yang unik yang sangat beraturan sehingga al-
Qur'an membentuk sistematikanya sendiri yang berbeda dengan sistematika
manapun. Al-Qur'an disusun dalam bentuk bahasa dialog dengan dominasi satu
arah sehingga seperti bahasa tutur.
23
Nano, KITAB TEATER Tanya, h. 48 24
Kamus besar bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring (dalam jaringan) di akses
pada tanggal 31 Juli 2016 dari http://kbbi.web.id/monodrama
27
Al-Qur'an atau wahyu tersebut sebagai hasil komunikasi Tuhan ke
manusia, dimana Tuhan sebagai pengirim aktif, sedang manusia sebagai penerima
pasif, kitab suci tersebutlah sebagai kode komunikasinya.25
Syamsuddin dkk, memberikan contoh monolog tulisan itu seperti, bahan
bacaan, sepucuk surat, sebuah berita, begitu juga dengan al-Qur'an dan lain-lain
dengan persyaratan dibentuk oleh sebuah kalimat/tuturan yang beruntun dan
berkaitan berdasarkan atas kesatuan isi, tujuan dan situasinya.26
Dalam karya sastra kegiatan untuk menganalisis monolog ada beberapa hal
penting yang tidak dapat ditinggalkan. Hal yang dimaksud yakni, yang
berhubungan dengan rangkaian dan kaitan tuturan, berhubungan dengan
penunjukan atau perujukan.27
Rangkaian dan Kaitan
Rangkaian yang dimaksud di sini adalah segala bentuk hubungan antar
tuturan baik pada tataran antar kalimat dalam sebuah kalimat, maupun dalam
leksikon pada satu kesatuan monolog, sedangkan kaitan yang dimaksud di sini
diartikan dengan segala bentuk hubungan yang terjadi antara satu alinea dengan
alinea lain dalam satu kesatuan monolog.28
Rujukan atau Penunjukan
Rujukan atau penunjukkan pada umumnya ditandai oleh kata-kata
penunjuk sebenarnya seperti: ini, itu, di sini, di situ, maupun oleh kata-kata
25
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005), h. 53 26
Syamsuddin, dkk. Studi Wacana, h. 163 27
Syamsuddin, dkk. Studi Wacana, h. 164-175, lihat juga Syamsuddin, Studi Wacana, h.
81-86 28
Syamsuddin, Studi Wacana, h. 81
28
penunjuk yang tidak sebenarnya, seperti: tersebut, terkatakan, tersurat, berikut,
dan lain-lain, dan kadang-kadang ditandai pula oleh kata-kata lain selain kata
penunjuk. Pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antarkalimat dalam suatu
wacana bisa ditandai oleh kata-kata penunjuk, kata keterangan atau pengulangan
kata ganti, ungkapan penghubung antarkalimat, dan persangkaan.29
Misal: 30
a) Makanan kita harus bermacam-macam, seperti daging, sayuran, buah-
buahan, dan susu. Makanan itu membuat kita sehat dan kuat.
b) Uap air yang naik (ke atas) makin lama makin banyak dan membentuk
awan. Uap air yang membentuk awan tadi makin tinggi makin
dipengaruhi oleh suhu sekelilingnya.
Kata penunjuk itu yang mengacu kepada macam makanan yang
dinyatakan pada kalimat sebelumnya dan pengulangan kata ganti kita dan kata
makanan dapat memadukan hubungan antarkalimat pada contoh (a) demikian pula
halnya kata keterangan tadi pada contoh (b) kata tadi yang mengacu kepada
pernyataan pada kalimat sebelumnya itu dapat memadukan hubungan antar
kalimat pada contoh itu.
2.2. Monolog secara khusus dalam kisah al-Qur'an
Syamsuddin A.R, dkk memberikan contoh jenis-jenis monolog lisan,
diantaranya ialah pidato, khotbah, dan lain-lain. 31
Putu Wijaya memberi contoh
ialah bakul jamu, penutur dongeng, penjual obat dan lain-lain.32
Dalam drama, monolog adalah pidato tak terinterupsi. Monolog bisa
sangat fleksibel untuk bentuk yang mereka ambil. Beberapa monolog ditujukan
langsung ke penonton, atau kepada diri sendiri. Beberapa aktor mencoba untuk
29
Depdikbud, Panduan Penggunaan Kata, Kalimat, dan Wacana (Jakarta: Depdikbud,
1985), h. 40-41 30
Syamsuddin, Studi Wacana, h. 86 31
Syamsuddin, dkk. Studi Wacana, h. 163 32
Putu Wijaya, "100 monolog" karya Putu Wijaya (Jakarta: Pentas grafika, 2016), h. 670
29
menciptakan kesan bahwa aktor sendirian, berbicara dengan dirinya sendiri.
Monolog juga sebagai 'solilokui33
dramatis' dan sebagai pidato panjang.34
Monolog bisa berbentuk percakapan dengan dirinya sendiri dalam cermin,
atau percakapan yang berbunyi dalam hati yang berkata pada diri sendiri. Intinya
adalah monolog merupakan percakapan yang dilakukan oleh tunggal kepada
dirinya sendiri. 35
Selain itu monolog terjadi ketika aktor (dalam karakter) berbicara dengan
sesuatu yang imajiner (atau orang). Ketika berbicara dengan orang imajiner,
karakter dapat mengatakan hal-hal yang sangat ingin dikatakannya, tetapi tidak
mendapatkan kesempatan untuk mengatakannya, atau tidak memiliki keberanian
untuk mengatakannya, atau mungkin sedang mempersiapkan diri untuk
mengatakannya. Dalam beberapa naskah monolog, seorang tokoh dalam
karakternya membayangkan tokoh lain, berbincang dan seolah-olah menanggapi
apa yang dikatakan tokoh lain.
Putu Wijaya mengatakan monolog adalah celoteh seseorang tentang apa
saja yang menjadi menarik karena disampaikan menjadi tontonan yang memukau
serta mengandung pesan moral yang mau di transfer oleh penulisnya. Lebih jauh
lagi, pernyataan erosional yang sarat, panjang lebar, mendalam hingga membuat
orang terbakar marah, sedih, bingung, menang, kalah, bahagia, cinta, kecewa,
33
Istilah dalam sastra yang berarti monolog tokoh drama yang berisi ungkapan dirinya
dalam konteks cerita drama. Arti Definisi Pengertian. Di akses pada tanggal 25 Agustus 2016 dari
http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-solilokui/
34
Ihsan, Purnama, Monolog dan jenis-jenisnya. Di akses pada tanggal 31 Juli 2016 dari
http://rangkaiankatasekar.blogspot.co.id/2013/07/monolog-dan-jenis-jenisnya.html 35
Ni Nyoman Karmini, TEORI PENGKAJIAN Prosa Fiksi dan Drama (Bali: Pustaka
Larasan, 2011), h. 156
30
panik, takut, dan sebagainya, juga bisa membuat yang bersangkutan seperti
memainkan monolog.36
Apapun ciri monolog intinya adalah bagaimana prinsip-prinsip monolog
yang disampaikan itu tetap dipertahankan. Setiap pelaku monolog harus
menyadari bahwa lakonnya adalah merupakan konflik manusia.37
Apabila kita melihat secara umum, maka sebenarnya al- Qur'an disetting
sebagai kitab dialog yang bukan satu arah tetapi interaksi berbagai arah. Interaksi
dialog dari berbagai arah ini dapat dipahami jika al- Qur'an ditelaah berdasarkan
siapa-siapa Pembicara yang bicara di dalam al- Qur'an.
Karena itu sangat penting untuk melihat ayat-ayat al- Qur'an untuk
memperhatikan siapa yang berbicara (Pembicara/Subjek) dan kepada siapa
pembicaraan ini ditujukan (Objek). Di dalam al-Qur'an terdapat banyak tokoh
yang berbicara walaupun didominasi dengan perkataannya Allah. Begitu juga
dengan ciri-ciri monolog di atas, terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur'an. Khususnya
di ayat-ayat kisah yang di mana ada tokoh yang dimunculkan.
Fungsi dari monolog biasanya untuk menegaskan keinginan atau harapan
dari tokoh tersebut terhadap sesuatu hal. Bisa juga berbentuk emosional,
penyesalan, atau tokoh yang berandai-andai.38
36
Putu Wijaya, "100 monolog",… h, 671 37
Herman J. Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya (Yogyakarta: PT. Hanindita
Draha Widya, 2002), h. 45 38
Rumpun, Nektar, Penjelasan dialog dan monolog, juga prolog dan epilog, di akses
pada tanggal 31 Juli 2016 dari http://www.rumpunnektar.com/2016/02/penjelasan-dialog-dan-
monolog-juga.html
31
3. Unsur Intrinsik
Unsur yang membangun drama sebagai seni pertunjukan berbeda dengan
teks drama.39
Unsur drama sebagai seni pertunjukan adalah plot, karakterisasi,
dialog, tata artistik, dan gerak. Sedangkan unsur-unsur teks drama hampir sama
dengan prosa rekaan yakni:
3.1. Tema
Tema adalah gagasan sentral yang menjadi dasar tolak penyusunan dan
yang sekaligus menjadi sasaran atau tujuan karangan itu.40
Dalam tema ini
biasanya terlihat bagaimana pemikiran si penulis atau pengarang. Kategori
tema berdasarkan tingkat keutamaannya, yaitu ada tema utama dan tema
tambahan.41
Tema tambahan ini merupakan tema yang medukung dan
mempertegas eksistensi makna utama sebuah cerita atau tema utama
merangkum berbagai makna tambahan dalam sebuah cerita.
3.2. Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengembarkan peristiwa dalam cerita rekaan
sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh di sebut penokohan.42
Menurut definisinya, tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita.43
Berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dalam
cerita fiksi secara keseluruhan, dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh
39
Wahyudi, Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 163. 40
Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama (Bali: Pustaka Larasan,
2011), h. 45. 41
Ibid. h. 51. 42
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori…., h. 143 43
Melani Budianta,dkk, Membaca Sastra Pengantar memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi (Magelang: Tera, 2006), h. 83.
32
tambahan.44
Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi central dalam sebuah
naskah atau jika dalam sebuah pementasan tokoh utama adalah tokoh yang sering
keluar.
3.3. Alur
Alur adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan sebab akibat.
Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting
adalah menjelaskan mengapa hal itu terjadi sedangkan menurut Karmini
dalam bukunya mengatakan plot merupakan cerminan, bahkan berupa
perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berfikir, berasa, dalam
bersikap menghadapi berbagai masalah kehidupan.45
Sedangkan Abrams Abrams
dalam Melani Budianta mengatakan alur ialah rangkaian cerita yang di bentuk
oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan
oleh para pelaku dalam suatu cerita.46
Jadi dapat disimpulkan bahwa alur adalah
fragmen-fragmen dalam sebuah naskah yang di dalamnya terdapat sebab akibat.
3.4. Latar Cerita
Dalam Nurgiantoro, Abrams menyebutkan bahwa latar atau setting atau
yang di sebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat,
hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan secara jelas. Hal ini
penting untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana
44
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013) h. 258 45
Ni Nyoman Karini, Teori Pengkajian..., h. 53 46
Melani Budianta, Membaca Sastra Pengantar…, h.159.
33
tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dalam buku
Nurgiantoro alur dibagi menjadi tiga yaitu,
Pertama, latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa
yang di ceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan berupa nama tertentu, inisial, lokasi tertentu tanpa nama
jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan
keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
Kedua, latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”(berupa
hari, bulan, tahun, jam) terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan
dalam sebauh karya tersebut.
Ketiga, latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi
B. Kisah Nabi Ibrâhîm Dan Nabi Yûsuf
1. Kisah Nabi Ibrâhîm
1.1. Ibrâhîm dengan kaumnya
QS. QS. al-An'am/6: 74-83
وإذ قال إب راىيم لأبيو آزر أت تخذ أصناما آلة إن أراك وق ومك ف ضلال مبين ماوات والأرض وليكون من الموقنين ٤٧) ( وكذلك نري إب راىيم ملكوت السا جن عل ٤٧) ا أفل قال لا أحب (ف لم يو الليل رأى كوكبا قال ىذا رب ف لم
ا أفل قال لئن ل ي هدن رب ٤٧الآفلين ) ا رأى القمر بازغا قال ىذا رب ف لم (ف لم
34
الين ) ا ر ٤٤لأكونن من القوم الض مس بازغة قال ىذا رب ىذا أكب ر (ف لم أى الشا أف لت قال يا ق وم إن بريء ما تشركون ) هت وجهي للذي فطر ٤٧ف لم (إن وج
ماوات والأرض حنيفا وما أنا من المشركين ) و ق ٤٧الس ون (وحاج ومو قال أتاجف اللو وقد ىدان ولا أخاف ما تشركون بو إلا أن يشاء رب شيئا وسع رب كل
رون ) (وكيف أخاف ما أشركتم ولا تافون أنكم أشركتم ٧٨شيء علما أفلا ت تذكباللو ما ل ي ن زل بو عليكم سلطانا فأي الفريقين أحق بالأمن إن كنتم ت علمون
(الذين آمنوا ول ي لبسوا إيمان هم بظلم أولئك لم الأمن وىم مهتدون ٧٨)ت نا آ٧٨) ناىا إب راىيم على ق ومو ن رفع درجات من نشاء إن ربك (وتلك حج ت ي
(٧٨حكيم عليم )"dan (ingatlah) di waktu Ibrâhîm berkata kepada bapaknya, Âzar
47,
"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang
nyata. Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrâhîm tanda-tanda
keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami
memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin. Ketika malam
telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak
suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit
Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia
berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku Termasuk orang yang sesat." Kemudian tatkala ia melihat
matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka
tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk
orang-orang yang mempersekutukan tuhan. Dan dia dibantah oleh
kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah tentang Allah,
Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku". dan aku
tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu
persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu
(dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka
Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?"
Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu
persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak mempersekutukan Allah
47
Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Abîhi
(bapaknya) ialah pamannya.
35
dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah
kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua
golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka),
jika kamu mengetahui?48
Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka
Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk. Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada
Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi
Maha mengetahui.49
(QS. Al- An'am/6: 75-83)
Kata (الآفلين)50
al-Âfilîn/ yang tenggelam merupakan bentuk jamak yang
digunakan menunjuk kepada yang berakal. Nabi Ibrâhîm sengaja mengatakan
seperti itu agar para penyembah bintang sadar kalau bintang yang mereka sangka
berakal itu tetap tidak layak disembah apabila timbul dan tenggelam.51
Penggunaaan lafazh (هذا)52
dalam ayat ini begitu juga ayat sebelum dan
sesudahnya, tidak hanya menunjuk sesuatu yang tertentu, tapi juga terdapat
kandungan makna yakni sesuatu yang sebelumnya telah dicari, lalu kini
ditemukan. Apabila sesuatu yang dicari itu ditemukan maka ketika itu yang
menemukannya mengatakan "Ini dia buku saya" maksudnya adalah yang saya
cari.53
Disisi lain, ucapan Nabi "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku" tersebut juga menunjukkan keniscayaan adanya Tuhan Yang
Maha Esa yang mampu memberi petunjuk. Dalam ayat ini juga bisa dipahami
48
Setelah diperlihatkan Allah kepada Nabi Ibrahim as. tanda-tanda keagungan-Nya dan
dengan itu teguhlah imannya kepada Allah (ayat 75), Maka Ibrâhîm, memimpin kaumnya kepada
tauhid dengan mengikuti alam pikiran mereka untuk kemudian dibantahnya. 49
Fatchur Rochman, AR, Kisah-Kisah Nyata Dalam Al-Qur'an (Surabaya: APOLLO.
1995), h. 69-70 50
QS. Al- An'am/6: 76 51
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume
4 (Jakarta: Lentera Hati 2002), h. 162 52
QS. Al- An'am/6: 77 53
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 4, h. 163
36
sebagai penggambaran proses pemikiran Nabi Ibrâhîm dalam menemukan Allah,
bisa dipahami juga sebagai cara untuk membuktikan kesesatan kaumnya.54
Kisah ini memaparkan bagaimana Ibrâhîm bergelut dengan pemikirannya
sendiri, tampa ada satu orangpun bersamanya. Karena dialah yang membuat
pernyataan tapi dia juga yang menyanggah pernyataannya sendiri.
Ibrâhîm menyimpulkan penglihatannya kepada kaumnya, dan berkata: Hai
kaumku, sesungguhnya aku terlepas diri dari penyembahan bintang, bulan,
matahari, dan apa saja yang kamu perseketuan dengan Tuhan Yang Maha Esa,
Tuhan Yang sesungguhnya.55
Kita perhatikan di sini bahwa beliau berbicara
dengan kaumnya tentang penolakan penyembahan terhadap bulan, dll. Ibrâhîm
mengatakan bahwa ia tidak menyukai yang tenggelam, dan ia berhasil "merobek"
keyakinan terhadap penyernbahan bulan dengan penuh kelembutan dan
ketenangan.
Firman-Nya: ( و ق ومو (وحاج56
, ia dibantah oleh kaumnya, kita bisa melihat
di sini bahwa ada dua pihak yang sedang beradu argumentasi untuk menguatkan
pandangannya dan mematahkan pandangan lawannya. Hanya saja dalam ayat ini
tidak diuraikan dengan jelas pandangan kaum yang membantah Nabi Ibrâhîm as.
Menurut Quraish Shihab bisa saja bantahan mereka tidak digambarkan karena
sangat rapuh dan terlalu jelas kebathilan mereka.57
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 4, h. 163 55
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 4, h. 164 56
QS. Al- An'am/6: 80 57
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,vol. 4, h. 167-168
37
Dari cerita tersebut, Al-Qur'an mengemukakan bahwa Nabi Ibrâhîm
menggunakan logika seorang yang berpikir sehat. Di sinilah Ibrâhîm memainkan
peran yang penting dalam rangka menggugah pikiran mereka. Menghadapi
berbagai tantangan dan ancaman dari kaumnya, Nabi Ibrâhîm justru mendapatkan
kedamaian dan tidak takut kepada mereka.
Dalam ayat 83 sangat jelas berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Ayat ini menunjuk kepada ucapan-ucapan Nabi Ibrâhîm as, yang di tujukan
kepada kaumnya. Kata (تلك), itu merupakan ucapan ataupun penjelasan yang
dikemukakan Nabi Ibrâhîm as, dan selainnya adalah hujjah dalil atau penjelasan
yang amat kokoh dan kedudukannya sangat tinggi.58
Allah SWT selalu
memberikan hujjah atau argumentasi yang kuat kepada Nabi Ibrâhîm sehingga
beliau mampu menghadapi kaumnya.
1.2. Ibrâhîm Menghancurkan Berhala-berhala
Nabi Ibrâhîm as merancang akan membuktikan kepada kaumnya dengan
perbuatan yang nyata yang dapat mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri
bahwa berhala-berhala dan patung-patung mereka betul-betul tidak berguna bagi
mereka dan bahkan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.59
Sudah menjadi tradisi dan kebiasaan bahwa setiap tahun mereka (kaumnya
Nabi Ibrâhîm as) keluar kota beramai-ramai pada suatu hari raya yang mereka
anggap sebagai keramat. Mereka bersuka ria dan bersenang-senang sambil
58
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,vol. 4, h. 174 59
(QS. Al-Anbiyâ/21: 57) Ucapan-ucapan itu diucapkan Ibrâhîm as.dalam hatinya saja.
Maksudnya: Nabi Ibrâhîm a.s. akan menjalankan tipu dayanya untuk menghancurkan berhala-
berhala mereka, sesudah mereka meninggalkan tempat-tempat berhala itu.
38
meninggalkan kota-kota mereka kosong dan sunyi. Nabi Ibrâhîm as pun ikut dan
mengajak keluarga untuk keluar bersama mereka.60
Tapi tiba-tiba ketika keluar
Nabi Ibrâhîm pura-pura sakit. Firman Allah QS. al-Ṣâffât/37: 88-89 yang artinya:
"lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. kemudian ia
berkata: "Sesungguhnya aku sakit".61
Nabi Ibrâhîm diizinkan tinggal di rumah karena mereka merasa khawatir
bahwa penyakit Nabi Ibrâhîm akan menular dan menjalar di kalangan mereka bila
ia turut serta.
Firman Allah QS al-Ṣâffât/37: 91-93:
( ف راغ عليهم ٧٨( ما لكم لا ت نطقون )٧٨ آلتهم ف قال ألا تأكلون )ف راغ إل (٧٨ضربا باليمين )
Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka;
lalu ia berkata: "Apakah kamu tidak makan? kenapa kamu tidak
menjawab?" lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya
dengan tangan kanannya (dengan kuat).62
Dengan membawa sebuah kapak ditangannya ia pergi menuju tempat
beribadatan kaumnya yang sudah ditinggalkan tanpa penjaga. Sambil menunjuk
kepada semahan bunga-bunga dan makanan yang berada di setiap kaki patung
berkata Nabi Ibrâhîm, mengejek: "Mengapa kamu tidak makan makanan yang
lazat yang disajikan bagi kamu ini? Jawablah aku dan berkata-katalah kamu.
Apakah kamu bisu, dan tuli?.63
Apa yang dilakukan Nabi Ibrâhîm merupakan
60
M. Aḥmad Jadul Mawla dan M. Abu al-Fdl Ibrahim, Buku Induk Kisah-kisah Al-
Qur'ani (Jakarta: Zaman, 2009), h. 82 61
Fatchur. Kisah-Kisah, h. 82 62
Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur'an. revisi terjemah oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya dengan transliterasi,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, t.th), h. 894-895 63
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 82
39
bentuk monolog/bicara satu arah, karena apa yang diajak berbicara merupakan
benda mati.
Firman Allah QS. Al-Anbiyâ/21: 59 yang artinya:
Maka Ibrâhîm membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong,
kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka
kembali (untuk bertanya) kepadanya. (QS. Al-Anbiyâ/21: 59)
Terperanjat dan terkejutlah para penduduk, tatkala pulang dari berpesta ria
di luar kota dan melihat keadaan patung-patung, tuhan-tuhan mereka hancur
berantakan dan menjadi potongan-potongan terserak-serak di atas lantai.
Bertanyalah satu kepada yang lain dengan nada heran, kejadian ini dipaparkan
melalui dialog-dialog dalam QS. Al-Anbiyâ/21: 59 yang artinya:
"Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan Kami,
Sesungguhnya dia Termasuk orang-orang yang zalim."64
(QS. Al-
Anbiyâ/21: 59)
Mereka sangat geram dengan penghancuran tuhan-tuhan (Baca: patung)
mereka, sampai-sampai mereka mengucapkan sesungguhnya dia termasuk orang-
orang zalim. Yakni menzalimi tuhan-tuhan kita dengan menghancurkannya,
menzalimi kita dengan melecehkan sesembahan kita dan menzalimi diriya sendiri
dengan sanksi yang akan diterimanya.65
Sebagian dari mereka berkata:
"Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang
bernama Ibrâhîm".66
(QS. Al-Anbiyâ/21: 60)
Sebagiannya lagi berkata:
"Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan Kami,
Hai Ibrâhîm?"67
(QS. Al-Anbiyâ/21: 62)
64
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 87 65
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 8, h. 471-472 66
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 87
40
Nabi Ibrâhîm menjawab sambil menunjuk patung yang paling besar
"Sebenarnya patung yang besar Itulah yang melakukannya, Maka
tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara".68
(QS. Al-
Anbiyâ/21: 63)
Jika mereka berbicara sesungguhnya mereka akan menyampaikan pesan
siapa yang menghancurkannya. Para ulama sementara menilai kalau jawaban Nabi
Ibrâhîm tersebut sebagai satu kebohongan. Secara redaksional memang sebuah
kebohongan tapi jika melihat tujuan ucapannya itu adalah untuk membuktikan
kesesatan kaumnya menyembah berhala. Seakan-akan Nabi Ibrâhîm berkata:
"kalau memang mereka Tuhan tentulah berhala-berhala itu tidak hancur
berantakan dan pasti mereka membela diri. Nabi Ibrâhîm menyuruh kaumnya
untuk bertanya kepada berhala yang tersisa, yang paling besar diantara yang lain.
Dan disana mereka sadar bahwa berhala-berhala itu tidak dapat menjawab dan ini
membuktikan bahwa berhala tidak wajar dipertuhan. 69
QS. Al-Anbiyâ/21: 64
(٧٧ف رجعوا إل أن فسهم ف قالوا إنكم أن تم الظالمون )Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata:
"Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri
sendiri)."70
Perkataan kaum Ibrâhîm tersebut merupakan ungkapan jiwa, karena tidak
mungkin mereka mengatakan kalau mereka telah sadar di depan Ibrâhîm. Mereka
telah kehabisan argumen untuk membantah Nabi Ibrâhîm dan mereka sadar kalau
67
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 87 68
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 87 69
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 8, h. 472 70
Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur'an, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, h.
634
41
mereka telah menganiaya diri sendiri. Menyembah yang tidak dapat berbicara
walau seucap dan tidak bisa menghindarkan kepalanya sendiri dari kapak.71
Sulaiman aṭ- Ṭarawanah mengatakan dalam bukunya:72
Perkataan kaum Ibrâhîm ini sekedar ungkapan hati yang tidak diutarakan.
Alasannya, mereka telah kembali kepada kesadaran. Jika perkataan itu
ditujukan pada pihak lain, sebagai dialog dua arah, tentu al-Qur'an sendiri
tidak mengatakan bahwa mereka semua telah kembali kepada kesadaran.
Melainkan al-Qur'an akan mengatakan misalnya, "Maka sebagian mereka
telah kembali kepada kesadaran".
QS. Al-Anbiyâ/21: 66-67 yang artinya:
"Maka Mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak
dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat
kepada kamu?". Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain
Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?. (QS. Al-Anbiyâ/21: 66-67)
Setelah selesai Nabi Ibrâhîm menguraikan pidatonya itu, para hakim
mencetuskan keputusan bahwa Nabi Ibrâhîm harus dibakar hidup-hidup sebagai
ganjaran atas perbuatannya menghina dan menghancurkan tuhan-tuhan mereka,
maka berserulah para hakim kepada rakyat yang hadir menyaksikan pengadilan
itu: "Bakarlah ia dan belalah tuhan-tuhanmu , jika kamu benar-benar setia
kepadanya." (Al-Anbiyâ'/21 : 68)73
2. Kisah Nabi Yûsuf
2.1. Yûsuf menjadi perdana Menteri
Nabi Yûsuf as dimasukkan dalam penjara untuk membungkam banyaknya
gosip-gosip yang disampaikan berkenaan dengan sikapnya serta sebagai cara
71
Syaikh Imam Al-Qurtubi. Tafsir Al-Qurtubi ter. Amir Hamzah, jilid 11 (Jakarta:
PUSTAKA AZZAM, 2008), h. 809. 72
Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 234 73
Lihat juga (Ash-Shâffat/37 : 97), (Al-'Ankabût/29 : 24)
42
untuk menutup cerita (aib Zulaikhâ).74
Nabi Yûsuf memang lebih memilih hidup
dalam penjara, seperti yang telah ia katakan bahwa penjara baginya lebih ringan
dan lebih disukainya daripada memenuhi ajakan mereka75
. Demikianlah Yûsuf
kemudian masuk ke dalam penjara. Meskipun sebenarnya Yûsuf bebas dari segala
tuduhan, ia tetap dimasukkan dalam penjara. 76
Setelah Yûsuf mena'birkan mimpi raja,77
akhirnya ia dibebaskan dari
berbagai tuduhan. Allah SWT menceritakan proses pengadilan ini dan pengusutan
ini78
dalam QS. Yûsuf/12: 51-52. Setelah Yûsuf keluar dari penjara, al-azîz
mengangkat Yûsuf menjadi menteri, seperti dalam QS. Yûsuf/12: 54
ا كلمو قال إنك الي وم لدي نا مكين وقال الملك ائ تون بو أستخلصو لن فسي ف لم (٧٧ى خزائن الأرض إن حفيظ عليم )(قال اجعلن عل ٧٧أمين )
"Dan raja berkata: "Bawalah Yûsuf kepadaku, agar aku memilih Dia
sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-
cakap dengan Dia, Dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini
menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
Berkata Yûsuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan".79
(QS. Yusuf/12: 54-55)
Raja mengundang Yûsuf untuk dijadikan penasehat dan pembantu dalam
memutar roda pemerintahan. Maka tatkala dia yakni Yûsuf telah bercakap-cakap
dengannya, raja semakin kagum dengan kedalaman pengetahuan Yûsuf. Dia
bertitah menyampaikan kepada Yûsuf, bahwa "sesungguhnya engkau mulai hari
ini – dan saat ini di sisi kami – adalah seorang yang berkedudukan tinggi lagi
74
Fragmen kisah Yûsuf dengan Zulaikhâ (QS. Yusuf/12: 20-29) 75
QS. Yusuf/12: 31 76
Fragmen kisah Nabi Yûsuf dijebloskan dalam penjara (QS. Yusuf/12: 30-35) 77
Fragmen kisah Nabi Yûsuf menta'birkan mimpi raja (QS. Yusuf/12: 43-49) 78
Ali Muhammad al-Bajawi, dkk. Untaian Kisah dalam Al-Qur'an terjemahan. Abdul
Hamid (Jakarta: Darul Haq, 2007), h. 129-134 79
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 135
43
terpercaya untuk mengolah semua yang berkaitan dengan urusan Negara. Yûsuf
menyambut permintaan raja tersebut namun beliau mengusulkan kerjaan apa yang
pantas beliau kerjakan. "jadikanlah aku bendaharawan Negara di wilayah
kekuasaan baginda. "sesungguhnya aku adalah orang yang amat pemelihara yang
sangat pandai menjaga amanat lagi amat berpengetahuan menyangkut tugas yang
dimintanya.80
Al-Qur'an tidak menyebutkan kepada kita bahwa kelaparan telah dimulai.
Ia tidak menggambarkan kepada kita proses permulaan musim kelaparan itu.
Kitab suci itu justru membentangkan suatu peristiwa yang dialami saudara-
saudara Yûsuf di mana mereka datang dari Palestina untuk membeli makanan di
Mesir.81
Inilah momen pertemuan kembali Yûsuf dengan saudara-saudaranya yang
digambarkan al-Qur'an. Dalam pertemuan itu, Yûsuf meminta kepada saudara-
saudaranya agar membawa ikut serta Bunyamin apabila mereka kembali ke
Mesir.82
Saat mereka tiba di rumah, mereka menceritakan tentang semua yang
dialami ketika di Mesir termasuk pesan dari menteri (Yûsuf).83
Mulanya Ya'qub
keberatan apabila Bunyamin akan dibawa serta ke Mesir, namun akhirnya setelah
sepuluh saudara Yûsuf bersumpah atas nama Allah, Ya'qub pun memberi ijin
dengan pesan, QS. Yûsuf/12: 67 yang artinya:
80
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 6, h. 471 81
(QS. Yûsuf/12: 58) 82
(QS. Yûsuf/12: 59-62) Tindakan ini diambil oleh Yûsuf sebagai siasat, dengan cara
menanam budi kepada mereka, agar mereka nantinya bersedia kembali lagi ke Mesir dengan
membawa Bunyamin. 83
QS. Yûsuf/12: 63-66
44
"Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu
gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun
demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada
(takdir) Allah. keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah;
kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-
orang yang bertawakkal berserah diri".84
(QS. Yûsuf/12: 67)
Tibalah waktunya saudara-saudara Yûsuf menuju Mesir termasuk
Bunyamin. Merekapun melaksanakan pesan dari ayahnya dengan masuk melalui
pintu yang berlainan. Saat Bunyamin bertemu Yûsuf, dirangkulnya saudara seibu
yang sudah lama dirindukannya kemudian Yûsuf menjelaskan siapa dirinya
sebenarnya.85
Yûsuf membuat siasat agar bisa menahan Bunyamin. Dimasukkanlah
sebuah piala ke dalam karung Bunyamin, dan siasat itu berhasil.86
Bunyamin
dituduh telah mengambil piala tersebut, dan saudara-saudaranya berkata dalam
QS. Yûsuf/12 : 77:
لو من ق بل فأسرىا يوسف ف ن فسو ول ي بدىا لم قالوا إن يسرق ف قد سرق أخ (٤٤قال أن تم شر مكانا واللو أعلم با تصفون )
"Mereka berkata: "Jika ia mencuri, Maka Sesungguhnya, telah pernah
mencuri pula saudaranya sebelum itu". Maka Yûsuf Menyembunyikan
kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka.
Dia berkata (dalam hatinya): "Kamu lebih buruk kedudukanmu (sifat-
sifatmu) dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu terangkan itu". (QS.
Yûsuf/12 : 77)
Quraish Shihab mengutib pemahaman ulama bahwa, Yûsuf as sangat
jengkel ketika mendengar tuduhan dari saudara-saudaranya itu. Namun dia
menahan emosinya, tidak marah dan tidak juga menjawab mereka. Setelah
berlalu, ketika Yûsuf dalam keadaan sendiri baru dia berkata kepada saudara-
84
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 142 85
QS. Yûsuf/12: 69 86
QS. Yûsuf/12: 70-79
45
saudaranya, "Kamu lebih buruk kedudukanmu (sifat-sifatmu) dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu terangkan itu". 87
Walaupun Yûsuf sangat jengkel atas ucapan saudara-saudaranya yang
selalu saja berbohong dan menyakitkan hati, ia tetap menahan emosinya dan lebih
memilih memendamnya dalam hati. Ungkapan tersebut hanya sekedar ungkapan
hati yang tidak secara lansung Yûsuf ucapkan di depan saudara-saudaranya.
Selanjutnya saudara-saudara Yûsuf pulang menemui ayah mereka dan
menceritakan tentang Bunyamin yang ditahan di Mesir.88
Firman Allah QS. Yûsuf/12: 84:
ناه من الزن ف هو كظيم هم وقال يا أسفى على يوسف واب يضت عي وت ول عن (٧٧)
Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata:
"Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih
karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya
(terhadap anak-anaknya. (QS. Yûsuf/12: 84)
Nabi Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) karena menahan
amarah, mereka telah berjanji membawa Bunyamin pulang tapi kembali mereka
lakukan seperti apa yang mereka lakukan terhadap Yûsuf dahulu. Dia berkata
pada dirinya sendiri "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", tampa diketahui oleh
anak-anaknya, walaupun anak-anaknya berada dalam satu ruangan dengan Nabi
Ya'qub. Karena kesedihan itu mata Nabi Ya'qub menjadi putih (tidak terang lagi
untuk melihat).89
87
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 6, h 504 88
QS. Yûsuf/12: 80-83 89
Fatchur, Kisah-Kisah, h.149
46
Ayahnya kemudian menyuruh mereka kembali ke Mesir untuk mencari
keterangan tentang Yûsuf dan Bunyamin.90
Nabi Ya'qub memberi pesan kepada
anak-anaknya, QS. Yûsuf/12: 87 yang artinya:
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yûsuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir".91
(QS. Yûsuf/12: 87)
Saat anak-anak itu tiba di Mesir untuk menukar barang dagangan dengan
bahan makanan, maka saat itulah Nabi Yûsuf as menjelaskan siapa dirinya
sebenarnya kepada saudara-saudaranya yang seayah tersebut.92
Yûsuf pun telah
memaafkan saudara-saudaranya. Kemudian Yûsuf menyuruh mereka untuk
pulang dan membawa keluarganya yang berada di Kan'an untuk ke Mesir dan
mereka membawa baju untuk ditempelkan ke wajah ayahnya (Ya'qub).93
2.2. Mimpi Yûsuf yang menjadi kenyataan
Firman Allah dalam QS. Yûsuf/12: 94-99
ا فصلت العير قال أبوىم إن لأجد ريح يوسف لولا أن ت فندون ) (قالوا ٧٧ولما أن جاء البشير ألقاه على وجهو فارتد ٧٧تاللو إنك لفي ضلالك القديم ) (ف لم
(قالوا يا أبانا است غفر ٧٧م إن أعلم من اللو ما لا ت علمون )بصيرا قال أل أقل لك (قال سوف أست غفر لكم رب إنو ىو الغفور ٧٤لنا ذنوب نا إنا كنا خاطئين )
ا دخلوا على يوسف آوى إلي ٧٧الرحيم ) و أب ويو وقال ادخلوا مصر إن شاء (ف لم ( ٧٧اللو آمنين )
Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka:
"Sesungguhnya aku mencium bau Yûsuf, Sekiranya kamu tidak
menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)". Keluarganya
90
QS. Yûsuf/12: 80-86 91
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 145 92
QS. Yûsuf/12: 88-90 93
QS. Yûsuf/12: 96
47
berkata: "Demi Allah, Sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu
yang dahulu ". Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, Maka
diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya'qub, lalu Kembalilah Dia dapat
melihat. berkata Ya'qub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku
mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya". Mereka
berkata: "Wahai ayah Kami, mohonkanlah ampun bagi Kami terhadap
dosa-dosa Kami, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang bersalah
(berdosa)". Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu
kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang". Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yûsuf: Yûsuf
merangkul ibu bapanya[762] dan Dia berkata: "Masuklah kamu ke negeri
Mesir, insya Allah dalam Keadaan aman". dan ia menaikkan kedua ibu-
bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri
seraya sujud[763] kepada Yûsuf. dan berkata Yûsuf: "Wahai ayahku Inilah
ta'bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah
menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat
baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan
ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan
merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya
Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Berangkatlah Nabi Ya'qub sekeluarga ke Mesir dan merekapun bertemu
dengan Nabi Yûsuf as, maksud dari "ayah bundanya"94
adalah ayah serta saudara
perempuan ibunya yang telah dikawini oleh ayahnya sejak ibu kandungnya sudah
tiada (bibi).95
دا وقال يا أبت ىذا تأويل رؤياي من ق بل ورفع أب ويو على العرش وخروا لو سجا وقد أحسن ب إذ جن وجاء بكم من البدو قد جعلها رب حق أخرجن من الس
يطان ب ين وب ين إخوت إن رب لطيف لما يشاء إنو ىو العليم من ب عد أن ن زغ الش (٨٨٨الكيم )
"Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud96
kepada Yûsuf. dan berkata
94
Dalam tafsir al- Mishbah menyebutkan ada kalangan ulama yang mengatakan bahwa
yang hadir ketika itu adalah ibu kandung nabi Yûsuf as, - bukan ibu tirinya. Tetapi pendapat ini
dihadang oleh riwayat yang menyatakan bahwa ibu kandungnya meninggal dunia sesaat setelah
melahirnkan Benyamin. Keduanya kemudian dipelihara oleh saudara ibunya itu, dan dikawini oleh
ayahnya, Ya'qûb as. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 6, h. 509 95
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 152 96
Sujud disini ialah sujud penghormatan bukan sujud ibadah.
48
Yûsuf: "Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu;
Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. dan
Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepada-Ku, ketika Dia
membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari
dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan
saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa
yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana."97
(QS. Yûsuf/12: 100)
Awal kisah (Nabi Yûsuf) yang menarik adalah peristiwa yang membuat
kita tercengan dan cukup mengganggu imajinasi. Ini adalah kisah seni yang sangat
mengesankan. Pada mulanya kisah ini mengungkap mimpi dan pada akhirnya
menakwilkan mimpi dan menjadi kenyataan.98
Mimpi para nabi pasti selalu berisi
kebenaran, di mana Allah SWT menyingkapkan di dalamnya berbagai peristiwa
yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Nabi Yûsuf menyambut kedatangan keluarga besarnya, Dan setelah
mereka menempati tempat yang sudah disediakan, dia Yûsuf menaikkan yakni
mempersilahkan kedua ibu bapaknya naik ke atas singgasana yang telah
disiapkan pula. Dan mereka semuanya, yakni bapak, ibu dan kesebelas
saudaranya, merebahkan diri seraya sujud kepada Allah dengan menjadikan
Yûsuf bagaikan kiblat. Dan dia berkata mesra kepada ayahnya, "Wahai ayahku
yang kucintai, inilah takwil mimpiku yang dahulu itu telah kuceritakan kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanku yang memelihara dan selalu berbuat baik kepadaku telah
menjadikannya suatu kenyataan persis seperti apa yang kulihat: matahari, bulan
97
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 152 98
Fragmen kisah Nabi Yûsuf menceritakan mimpinya ke Nabi Ya'qub (QS. Yusuf/12: 1-
6), lihat juga Fragmen kisah Nabi Yûsuf menta'birkan mimpi dua orang dalam penjara (QS.
Yusuf/12: 36-42).
49
dan bintang sujud kepadaku dan seperti penjelasan ayah kepadaku tentang
maknanya."99
Mimpi Nabi Yûsuf ketika masih kecil yang ia ceritakan kepada ayahnya di
awal kisah, akhirnya terwujud, saudara-saudara Yûsuf yang berjumlah sebelas
orang berikut kedua orang tuanya. Semua sujud kepada Yûsuf sebagaimana yang
dilihat Yûsuf dalam mimpinya.100
Nabi Yûsuf menceritakan kisah mimpinya tersebut di depan keluarga
besarnya, mereka hanya menyimak apa yang diceritakan Yûsuf, tampa ada yang
membantah dan menambahkan.101
Bagaikan sedang bermonolog, tentang kisah
perjalanan hidupnya.102
Cerita panjangnya itu di tutup dengan rasa Syukur Nabi
Yûsuf dengan berdoa, atas nikmat dan karunia Allah, sebagaimana diterangkan
dalam, QS. Yûsuf/12:101.
ماوات رب قد آت يتن من الملك وعلمتن من تأويل الأحاديث فاطر السالين ) ن يا والآخرة ت وفن مسلما وألقن بالص (٨٨٨والأرض أنت وليي ف الد
"Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku
sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir
mimpi. (ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di
dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam Keadaan Islam dan
gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.103
(QS. Yûsuf/12: 101)
99
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 6, h. 510 100
Ali, dkk. Untaian Kisah, h. 153 101
Kisah perjalanan Yûsuf dirangkum dalam ayat 100 ini. 102
Penafsiran ayat ini secara utuh bisa di lihat di M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,
vol 6, h. 510-512 103
Fatchur, Kisah-Kisah, h. 152
50
C. Pola Pemaparan dalam Kisah Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf
1. Pola Kisah Nabi Ibrâhîm
Kisah Nabi Ibrâhîm dalam al-Qur'an dituturkan dalam berbagai variasi.
Dalam segi ukuran ada yang pendek, sedang, dan ada pula yang panjang. begitu
juga dengan gaya pemaparannya yang bermacam-macam. Umumnya, yang
digunakan adalah gaya narasi.104
Pemaparan kisah Nabi Ibrâhîm dapak dikelompokkan sebagai berikut:
1.1. Berawal dari kesimpulan
Kisah dimulai dengan kesimpulan bahwa Nabi Ibrâhîm adalah seorang
yang shiddîq (ayat 41) versi QS. Maryam [19]: 41-49. Setelah itu dengan uraian
kisah, yaitu ajakan Nabi Ibrâhîm kepada bapaknya. Nabi Ibrâhîm mengajak
bapaknya dengan kelembutan dan penuh hormat. Ajakan ini bukan hanya sekali,
tapi berkali-kali. Ajakan yang berkali-kali itu tidak disambut baik oleh bapaknya
Nabi Ibrâhîm, malah dengan kesombongannya dia mengancam akan merajam dan
mengusir. Meskipun mendapat sambutan yang tidak baik, Nabi Ibrâhîm tetap
memperlihatkan hormatnya dan mengharap pengampunan dari Allah (ayat 42-49).
1.2. Berawal dari adegan yang paling penting
Kisah Nabi Ibrâhîm kali ini berawal dari klimaks, QS. Hûd [11]: 69-75.
Kisah ini dimulai dengan penyampaian kabar gembira (kelahiran anak) dari
malaikat (ayat 69). Klimaks kisah dalam surat ini ialah kelahiran anak, inilah yang
dirasakan Sarah yang sangat mendabakan seorang anak dan akhirnya terjadi pada
104
Dr. Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur'an (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2009), h. 174
51
dirinya. Adegan tersebut didahulukan sehingga nuangsa gembira mewarnai
uraian-uraian berikutnya (ayat 70-75).
1.3. Tampa memakai pendahuluan
Dalam kisah ini lansung pada rincian kisah sebagaimana dalam QS. Al-
An'am [6]: 74-84 dan 161. Kisah dimulai dengan pertanyaan Nabi Ibrâhîm kepada
bapak dan kaumnya tentang berhala yang mereka sembah (ayat 74). Kisah
berlanjut dengan Nabi Ibrâhîm yang memikirkan argumentasi untuk menghadapi
kaumnya yang menyembah benda-benda langit (ayat 75-79). Kisah berlanjut
dengan perdebatan antara Nabi Ibrâhîm dengan kaumnya (ayat 80-82). Kisah ini
ditutup dengan uraian tentang Nabi Ibrâhîm diberi keturunan (ayat 83-84).
Pemaparan keseluruhan kisah Nabi Ibrâhîm yang sangat khas adalah
pengulangan atau repetisi. Repetisi yang terjadi dalam kisah Nabi Ibrâhîm
bukanlah pengulangan secara seratus persen. Tidak akan dijumpai ayat-ayat yang
persis sama, melainkan akan dijumpai di sana-sini hal-hal yang baru, baik dalam
sisi content-nya maupun dalam strukstur kalimatnya (penambahan, pengurangan,
pengedepanan, dan pengakhiran) tampa mengabaikan unsur-unsur
keindahannya.105
2. Pola Kisah Nabi Yûsuf
Kisah Nabi Yûsuf berbeda sekali dengan kisah Nabi Ibrâhîm yang
memiliki berbagai macam variasi pemaparan. Kisah Nabi Yûsuf ini dimulai dari
kesimpulan (ayat 4-7) tentang mimpi yang dialami Nabi Yûsuf dan dijadikannya
Nabi Yûsuf sebagai Nabi. Kemudian dilanjutkan dengan fragmen pertama, yaitu
105
Dr. Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur'an (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2009), h. 217
52
Nabi Yûsuf dengan saudara-saudaranya (ayat 8-20). Penjelasan tentang saudara
kandung dan saudara tirinya, diajaknya Nabi Yûsuf oleh saudara tirinya untuk
bepergian, lalu kemudian Nabi Yûsuf dimasukkan kedalam sumur, dan ditutup
dengan sekelompok musafir yang menemukan Nabi Yûsuf di dalam sumur.
Fragmen kedua, Nabi Yûsuf di Mesir (ayat 21-33). Fragmen ini dimulai
dengan dibelinya Yûsuf oleh sang raja Mesir. Ketika beranjak dewasa Yûsuf
selalu mendapat rayuan dan godaan dari wanita yang mengasuhnya dari kecil
yang tidak lain istri al- al-Aẓiṣ sendiri. Sampai sebuah fitnah yang mendera Yûsuf
karena wanita tersebut, tapi berkat bukti yang dimiliki Yûsuf, dia pun terlepas dari
fitnah itu. Wanita itu merasa malu terhadap dirinya yang sudah digunjingkan
dimana-mana. Iapun akhirnya mengundang wanita-wanita yang
menggunjingkannya tersebut untuk memperlihatkan seperti apa Yûsuf
sebenarnya. Wanita-wanita yang diundang itupun terkagum-kagum terhadap
ketampanan yang dilimiki Yûsuf. Fragmen ini ditutup dengan doa yanag
dipanjatkan Yûsuf kepada Allah, untuk menjauhkannya kepada tipu daya
manusia.
Fragmen ketiga, Nabi Yûsuf di penjara (ayat 34-53). Fragmen ini
menceritakan pertemuan Nabi Yûsuf dengan dua orang pemuda yang dipenjara.
Dua pemuda tersebut menceritakan kepada Yûsuf mengenai mimpi yang mereka
alami. Nabi Yûsuf pun mena'birkan mimpi mereka berdua, selain itu Nabi Yûsuf
melakukan dakwa kepada mereka. Dalam fragmen ini juga menceritakan mimpi
raja yang melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi
53
betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.
Tidak ada yang bisa mena'birkan mimpi raja tersebut, selain Nabi Yûsuf.
Fragmen keempat, Nabi Yûsuf mendapat kepercayaan dari raja [ayat 54-
57]. Ketika Nabi Yûsuf diberikan kepercayaan oleh al-Aẓiṣ untuk menjadi salah
seorang yang berkedudukan tinggi di Negara Mesir, Nabi Yûsuf meminta kepada
raja tersebut untuk dijadikan sebagai bedaharawan.
Fragmen kelima, Nabi Yûsuf bertemu dengan saudara-saudaranya [ayat
58-93]. Pertemuan ini dikarenakan paceklik yang dialami Negara tempat Nabi
Ya'qûb berada dan Negara-negara yang lain. Saudara-saudara Yûsuf pergi ke
Mesir untuk mendapatkan bahan makanan. Awalnya yang datang hanya saudara-
saudara tiri Yûsuf, lalu kedatangan selanjutnya saudara kandungnya juga datang
atas permintaan Yûsuf sendiri.
Fragmen keenam, Nabi Yûsuf bertemu dengan orang tuanya [ayat 94-
101].106
Dalam fragmen inilah mimpi yang telah dialami Nabi Yûsuf dan
dita'birkan oleh Nabi Ya'qûb terjadi.
Inilah keistimewaan khusus dalam kisah Yûsuf dibandingkan dengan
kisah-kisah yang lain dalam al-Qur'an, yakni kisah yang berputar. Hal ini terlihat
dari pengisahan pertama yang dimulai dari sebuah mimpi dan diakhiri dengan
realisasi kebenaran mimpi tersebut. Hal inilah yang disebut berputar karena awal
kisah merupaan akhir kisah juga, inilah yang disebut juga berawal dari sebuah
kesimpulan.107
106
Qalyubi, Stilistika al-Qur’an…, h. 67-68. 107
Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 293
54
BAB III
MONOLOG MENURUT SULAIMÂN AṬ-ṬARAWANAH
A. Biografi Sulaimân aṭ-Ṭarawanah
Nama aslinya adalah Sulaimân Daud aṭ-Ṭarawanah tapi lebih di kenal
dengan Dr. Sulaimân aṭ-Ṭarawanah lahir di Kirkuk1 tanggal 2 bulan april 1956, ia
menyukai sastra sejak usia muda. Lulus dari sekolah smp2 Almizar Selatan tahun
1974. Ia belajar teknik sipil atas permintaan keluarganya, dan ia meraih tiga gelar
pada teknik sipil di Universitas. Ia belajar di Universitas Wiskoncin Amerika dan
mendapat gelar sarjana (1980), magister (1983), doktor (konsentrasinya sumber-
sumber air) di Universitas Barkley inggris (1986). Dia belajar teknik, dan dia
mengerjakan beberapa proyek teknik, tapi semua itu tidak menutup kecintaannya
terhadap bahasa dan sastra.
Setelah mendapatkan gelar doktor dalam teknik sipil, ia kembali dalam
kegemarannya belajar sastra arab selama empat tahun. Kecintaannya terhadap
sastra Arab menjadikan ia harus kembali menjadi mahasiswa dan belajar di
University. Ia memperoleh gelar master dalam sastra Arab dari Universitas
1 Provinsi Kirkuk (bahasa Arab: كركوك Karkūk, bahasa Kurdi: Kerkûk, bahasa
Suryani: ܣܠܘܟ ܟܪܟ Karḵ Sloḵ, Turki: Kerkük, bahasa Inggris: Kirkuk Province) (atau Governorat
Kirkuk) adalah sebuah provinsi di utara Irak. Provinsi ini memiliki luas wilayah 9.679 km2. Pada
tahun 2003, perkiraan populasi di provinsi ini berjumlah 848.000 orang. Ibu kota provinsi ini
adalah Kirkuk. Wilayah provinsi ini dibagi dalam empat distrik. Sejak 1976 hingga 2006, wilayah
ini bernama Provinsi At-Ta'mim yang berarti Provinsi Nasionalisasi dan merujuk pada
kepemilikan minyak bumi dan cadangan gas alam nasional. Sebelum tahun 1976, wilayah ini
bernama Provinsi Kirkuk. Diakses pada tanggal 22 Januari 2017 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Kegubernuran_Kirkuk 2 Sekelas smp (Sekolah Menengah Pertama.
55
Amerika3 di Kairo pada tahun 1990. Dalam kampus tersebut inilah ia belajar
sastra Arab secara mendalam.
Ia bekerja dan mengajar di University of Jordan (2000-2009), lalu menjadi
seorang ahli bendungan dalam kesultanan oman (2009-2010), ia telah mengawasi
pelaksanaan beberapa proyek engineering, dan ikut dalam asosiasi penulis
Yordania dan menjadi dewan pendiri Cultural Forum Karak (1992-2001), dan
merupakan anggota dari persekutuan Mohannad Sen, Asosiasi Lingkungan
Jordan.
Bagian dari pekerjaan sebagai anggota badan Cultural Forum Karak,
termasuk:
Asosiasi buku Yordania – Forum budaya Kirkuk – sindikat insinyur
Dia menulis seragkaian penelitian akademis di bidang teknik sipil, dia
menulis dalam bentuk novel dalam studi seninya tentang sumber daya
budaya dan kemanusian.
Karyanya antara lain ialah :
Kuil amehal, novel, yayasan arab, Beirut 1991
Transisi Kediaman, kumpulan cerita pendek.
3 Merupakan universitas yang berdiri secara independen dengan bahasa Inggris sebagai
pengantar perkuliahan. Sesuai dengan namanya, universitas ini memberikan tawaran untuk belajar
dengan gaya belajar Amerika di negara Kairo. Dosen dan staff AUC (American University of
Cairo) didatangkan dari 100 negara. AUC didirikan tahun 1919 sebagai misi kaum protestan dari
America yang disponsori oleh United Prebysterian Church of Noth America. Beberapa tokoh
mesir sempat menolak adanya universitas berbasis Amerika, karena dikhawatirkan munculnya
masalah keagamaan. Pada tahun 1932, seorang pelajar muslim mengaku diserang oleh staff AUC.
Pada awal didirikannya, AUC hanya menerima siswa berjenis kelamin laki-laki. Baru pada tahun
1928, AUC menerima siswa dengan jenis kelamin perempuan. Pada tahun yang sama, AUC juga
meluluskan dua sarjanya, yaitu sarjana seni dan sarjana sains. Web resmi AUC
https://www.aucegypt.edu/. Diakses pada tanggal 22 Januari 2017 dari
http://www.academicindonesia.com/universitas-terbaik-di-mesir/
56
Ibu Petra Akadra, novel
Dirâsah Naṣṣhiyyah Adabiyyah fil Qiṣṣah al-Qur'aniyyah 1992
Studi teks terhadap kisah al-Qur'an
Dua obligasi setia, Dar kali, Amman, 1994
Keajaiban Ilmiah dalam al-Qur'an
B. Buku "Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur'an"
Buku "Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur'an" diterbitkan oleh Qisthi
Press pada bulan April tahun 2004, yang diterjemahkan oleh Agus Faishal Kariem
dan Anis Maftukhin, dan diberi pengantar oleh Syu'bah Asa. Judul asli dari buku
tersebut ialah " Dirâsah Naṣṣhiyyah Adabiyyah fil Qiṣṣah al-Qur'aniyyah", yang
diterbitkan 1992 M.
Dalam kata pengantarnya Syu'bah Asa mengatakan buku "Rahasia Pilihan
Kata dalam Al-Qur'an" ini memungut temuan-temuan keindahan "berdasarkan
instink", istilahnya saja, kemudian membicarakannya dalam terma-terma ilmiah
dari kesusastraan modern. Buku ini khusus menyoroti kekuatan penggunaan kata,
dengan membatasi diri hanya pada kisah-kisah al-Qur'an, pengarangnya, Sulaimân
aṭ-Ṭarawanah, membandingkannya bahkan dengan yang terdapat dalam teori-teori
pembuatan cerita model mutakhir.4
Buku yang memiliki ketebalan 348 halaman ini mempunyai lima bagian.
Bagian pertama adalah fenomena pengulangan dalam kisah-kisah al-Qur’an,
bagian kedua adalah gaya penyajian kisah dalam al-Qur’an, bagian ketiga format
4 Sulaimân aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata dalam Al- Qur’an (Jakarta Timur: Qisthi
Press, 2004), h. ix-xii
57
dialog dalam kisah-kisah al-Qur’an, di dalam kajian ini terdapat dua bagian
pertama membahas percakapan dua arah dan yang kedua membahas monolog
dalam al-Qur’an, bagian keempat membicarakan karakter tokoh dalam kisah al-
Qur’an, dan bagian terakhir adalah kajian tekstual kisah Yûsuf As.
Dalam kata pengantarnya penulis (Sulaimân aṭ-Ṭarawanah) mengatakan
bahwa para pakar sastra Arab sepakat, bahwa semenjak lahirnya agama islam, al-
Qur'an menjadi satu-satunya teks bahasa Arab yang paling tinggi nilai sastranya.
Bukan hanya metode diskripsinya saja, tetapi semua aspek sastra yang
meliputinya, sampai pada sisi yang paling pelik, yakni dalam hal diksi atau
pemilihan kata. Sudah banyak yang telah membuktikannya, baik dalam kajian
tekstual maupun kontekstual terhadap al-Qur'an.5
Aṭ-Ṭarawanah juga mengatakan paling tidak ada dua langkah yang harus
ditempuh untuk mengkaji teks-teks sastra kisah al-Qur'an secara benar dan utuh.
Pertama, menelusuri atau mencari unsur intrinsik dalam teks-teksnya dengan
menggunakan instrumen-instrumen kritik sastra modern. Kedua, menggunakan
imajinatif dengan membenamkan diri ke dalam "perut" tradisi wacana kajian
tekstual klasik yang pernah dilakukan terhadap teks-teks al-Qur'an.6
Pengkaji akan menjumpai dua hal apabila menggunakan imajinatif
tersebut. Pertama, perdebatan yang paradoksal atau tumpang tindih; berawal dari
fokus pembahasan yang sama, yaitu tes al-Qur'an, tapi terkadang satu dengan
yang lainnya bisa berkaitan dan pada saat yang lain bertolak belakang. Kedua,
pendapat dan teori yang beragam yang umumnya lebih bersifat subyektif.
5 Ibid, h. 3
6 Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 4
58
Fenomena di atas tersebutlah yang menjadikan kajian klasik terhadap teks
al-Qur'an lebih didominasi oleh cara penyampaian dan dialog-dialog saja, dan
tidak menyeluruh kesemua aspeknya.
Kajian dalam buku ini bertolak pada satu konsepsi bahwa masih banyak
tempat untuk mengkaji teks-teks al-Qur'an, meski sudah ditimba sedemikian rupa
oleh ulama-ulama klasik, malah semakin banyak peluang untuk dikaji dan tidak
akan pernah kehabisan bahan.7
C. Monolog Menurut Sulaimân aṭ-Ṭarawanah
Dialog merupakan salah satu gaya pemaparan di dalam al-Qur'an,
khusunya kisah-kisah dalam al-Qur'an. Dialog juga sering sekali diangkat dalam
bentuk cerita dalam kisah-kisah al-Qur'an, yaitu cerita antara tokoh yang terlibat
dalam percakapan yang dikisahkan.8 Format dialog dalam kisah al-Qur'an setelah
ditelusuri oleh Sulaiman aṭ-Ṭarawanah ternyata terdapat dua macam, yakni dialog
dua arah dan dialog satu arah (percakapan diri sendiri).
Menurut aṭ-Ṭarawanah penerapan bentuk dialog satu arah ini sering
terjadi, khususnya kisah dalam al-Qur'an. Kategori monolog menurut aṭ-
Ṭarawanah ada tiga yakni: pertama, monolog penuh. dialog pribadi, dan
percakapan biasa.9
Yang dimaksudkan dengan monolog penuh ialah apabila satu kisah
tersebut terdiri dari monolog semua, benar-benar ungkapan hati saja. Sedangkan
dialog pribadi ialah apabila seseorang berbicara sendiri yang seakan-akan sedang
7 Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 5
8 Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 217
9 Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 234
59
berdialog dengan hal yang imajiner, baik itu ungkapan hati atau bukan. Sedangkan
yang dimaksudkan dengan percakapan biasa ialah apabila seseorang yang sedang
berbicara di depan umum tapi tidak ada feedback dari orang-orang yang
disekitarnya. Orang-orang yang disekitarnya hanya mendengarkan dan menjadi
penonton saja.
Kumpulan monolog yang telah ditelusuri oleh aṭ-Ṭarawanah:
1. Kisah Nabi Ibrâhîm (QS. Al-Anbiyâ'/21: 57)
(٧٩وتالله لأكيدن أصنامكم ب عد أن ت ولوا مدبرين )Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya
Menurut aṭ-Ṭarawanah kalimat dalam ayat tersebut hanya ungkapan dalam
hati dan tidak diucapkan secara lisan oleh Ibrâhîm. Aṭ-Ṭarawanah memastikan
ayat tersebut merupakan percakapan satu arah setelah melihat konteks kisah yang
ada. Apabila kalimat dalam ayat tersebut diucapkan kepada kaumnya, sudah pasti
mereka mengetahui siapa pelaku penghancuran dari tuhan-tuhan mereka.10
2. Kisah Nabi Ibrâhîm (QS. Al-Anbiyâ'/21: 64)
(٨٦إل أن فسهم ف قالوا إنكم أن تم الظالمون ) ف رجعواMaka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata:
"Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang Menganiaya (diri
sendiri)"
Menurut aṭ-Ṭarawanah perkataan kaum Ibrâhîm tersebut sekedar ungkapan
hati saja dan tidak diutarakan. Alasannya, kaum Nabi Ibrâhîm sudah kembali
kesadaran pada waktu itu. Apabila kalimat tersebut diutarakan kepada pihak lain,
10 Sulaimân aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata dalam Al- Qur’an (Jakarta Timur: Qisthi
Press, 2004), h. 235
60
tentu al-Qur'an tidak mengatakan bahwa mereka telah kembali kepada kesadaran.
Melainkan al-Qur'an akan mengatakan misalnya, "maka sebagian mereka telah
kembali kepada kesadaran".11
3. Kisah Nabi Yûsuf (QS. Yûsuf/12: 77)
قالوا إن يسرق ف قد سرق أخ له من ق بل فأسرها يوسف ف ن فسه ول ي بدها لم (٩٩قال أن تم شر مكانا والله أعلم با تصفون )
Mereka berkata: "Jika ia mencuri, Maka Sesungguhnya, telah pernah
mencuri pula saudaranya sebelum itu". Maka Yusuf Menyembunyikan
kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka.
Dia berkata (dalam hatinya): "Kamu lebih buruk kedudukanmu (sifat-
sifatmu) dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu terangkan itu".
Ayat ini disimpulkan oleh aṭ-Ṭarawanah sebagai ayat monolog, karena
tidak mungkin deskripsi dalam ayat tersebut diucapkan didepan saudara-
saudaranya. Ayat selanjutnya mendukung kalau ayat diatas merupakan ayat
monolog. Pada ayat berikutnya saudara-saudara Yûsuf berkata, "Sesungguhnya
kami melihat kamu termasuk orang-orang yang berbuat baik." (QS. Yûsuf [12]:
78)12
4. Kisah Nabi Luth (QS. Hud/11: 80)
(٨٪) شديد ركن إل آوي أو ق وة بكم ل أن لو قال Luth berkata: "Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk
menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat
(tentu aku lakukan)."
11
Ibid., h. 234 12
Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 236-237
61
Aṭ-Ṭarawanah mengatakan sangat tidak mungkin perkataan tersebut
ditujukan kepada tamunya Nabi Luth, karena tidak layak. Kalimat tersebut
hanyalah ungkapan hati saja, yang tidak diutarakan kepada siapa-siapa.13
5. Kisah Maryam (QS. Maryam/19: 22-23)
(فأجاءها المخاض إل جذع النخلة قالت ٢٢فحملته فان تبذت به مكانا قصيا ) (٢٢يا ليتن مت ق بل هذا وكنت نسيا منسيا )
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan
kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan
anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata:
"Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang
yang tidak berarti, lagi dilupakan".
Hal yang mendasar aṭ-Ṭarawanah mengatakan ayat tersebut merupakan
ayat monolog adalah berdasarkan realitas kisah yang terjadi. Di dalam kisah tidak
ditemukan orang lain disekitar Maryam, karena posisinya Maryam memang
sedang sendirian.14
13
Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 238-239 14
Aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata…, h. 239
63
BAB IV
PAPARAN MONOLOG TUHAN DALAM QS. AL-AN'AM [6]: 76-79
DAN QS. YÛSUF [12]: 99-100
A. Monolog Kisah Nabi Ibrâhîm
1. Firman Allah QS. Al-An'am [6]: 76-79
ا أفل قال لا أحب ا جن عليه الليل رأى كوكبا قال هذا ربي ف لم الآفلين ف لما أفل قال لئن ل ي هدن ربي لأكونن ٦٧) ا رأى القمر بازغا قال هذا ربي ف لم (ف لم
اليين ) ا أف لت ٦٦من القوم الض مس بازغة قال هذا ربي هذا أكب ر ف لم ا رأى الش (ف لمماوات ٦٧ا ق وم إني بريء ما تشركون )قال ي هت وجهي للذي فطر الس (إني وج
(٦٨والأرض حنيفا وما أنا من المشركين )"Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia
berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:
"Saya tidak suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala dia melihat
bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam,
dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu,
pastilah aku termasuk orang yang sesat." Kemudian tatkala ia melihat
matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka
tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."1
1 Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur'an. revisi terjemah oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya dengan transliterasi,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, t.th), h. 259-260
64
2. Penafsiran ayat
Bukan pertama kalinya malam itu Ibrâhîm melihat bintang, dia bahkan
mengetahui kaumnya menghadapkan diri mereka pada bintang-bintang. Pada malam
itu seakan-akan bintang-bintang berbicara padanya, dan memberikan inspirasi ke
dalam hatinya dan serasa memberi jawaban dari kerisauan yang menyibukkan hatinya
dan mengganggu pikirannya selama ini.2
Ibrâhîm berkata ".. 'inilah Tuhanku' .."3. Posisinya yang tinggi dan cahayanya,
lebih pantas disebut Tuhan ketimbang sesembahan kaumya yaitu berhala! .. akan
tetapi bintang bintang telah mendustakan dugaannya. Ketika Ibrâhîm menyaksikan
bintang tenggelam dan menghilang dia mengatakan ".. 'saya tidak suka kepada yang
tenggelam'..".4 Apabila Tuhan tenggelam maka siapa yang akan memelihara dan
mengatur urusannya. Ibrâhîm menolak kepada yang timbul tenggelam, apalagi
sesuatu yang suatu waktu bisa lenyap.
Bintang yang tenggelam itu salah satu bukti ketidakwajarannya untuk
dipertuhankan. Pergerakannya tersebut antara muncul dan tenggelam menunjukkan ia
baharu, wujudnya juga tidak wajib dalam artian kadang ada (muncul) kadang tidak
ada (tenggelam) (mumkin al-wujud) dan apabila "ia wujud" berarti ada yang
mewujudkannya sehingga tidak mungkin dia Tuhan.5
2 Sayyid Quṭb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an Di Bawah Naungan Al-Quran, no. 7 (Jakarta:
Robbani Press, 2009), h. 571 3 QS. Al-An'am/06: 76
4 Sayyid Quṭb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an…, h. 571
5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume 4
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 161
65
Pengalaman ini kembali berulang ketika Nabi Ibrâhîm melihat bulan, dialog
dalam pemikirannya kembali berguncang. Ketika melihat bulan muncul dia merasa
itulah Tuhannya, tapi ketika bulan tenggelam kembali kekecewaan atas dugaannya
muncul dalam hatinya.
Ucapan Ibrâhîm ".. pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat"6,
merupakan isyarat yang mempertegas untuk tidak menyembah bintang-bintang.
Dalam ayat sebelumnya hanya menyatakan ketidaksukaan, di sini dia telah
menetapkan kesesatan bagi yang menyembah bulan apalagi bintang-bintang.7
Pengalaman tersebut kembali terulang yang ketiga kalinya, kali ini dia melihat
planet yang terbesar, yang paling terang. Padahal setiap hari Ibrâhîm melihat
matahari, tapi kali ini matahari terasa berbeda bagi Ibrâhîm seakan-akan makhluk
yang baru dia lihat. Ibrâhîm pada hari itu melihat segala sesuatu dengan segenap
eksistensi dirinya yang mencari Tuhan, pencarian yang membingungkan dan
mecemaskan juga jerih payah yang panjang.8
Kali ini dia semakin yakin dan mantab untuk mengatakan ".. 'inilah Tuhanku,
ini yang lebih besar.."9 akan tetapi kekecewaan kembali terulang, mataharipun
tenggelam dan lenyap.
Dalam kekecewaanya itu malah membuat Ibrâhîm merenung dan berfikir,
siapa Tuhan yang sebenarnya. Dalam proses pemikirannya itu, dia menemukan satu
6 QS. Al-An'am/06: 77
7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 4, h. 163
8 Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an no. 7, h. 573
9 QS. Al-An'am/06: 78
66
kesimpulan melalui kesadaran dan pengetahunnya. Bahwa Tuhan bukanlah, bintang,
bulan ataupun matahari, dan apalagi patung-patung yang dibuat oleh tangan manusia
itu.
Di sini Ibrâhîm menemukan Tuhannya di dalam hatinya, di dalam fitrahnya,
di dalam akalnya, di dalam kesadarannya, dan disegenap alam wujud yang ada di
sekitarnya. Di sini dia menemukan Tuhannya tersebut adalah yang menciptakan
segala sesuatu yang terlihat oleh mata, dirasakan oleh perasaan dan terpikir oleh
akal.10
Dalam pemaparan kisah Nabi Ibrâhîm as melakukan pengulangan kata kerja
"qâla" (berkata) sebanyak enam kali. Dalam kaidah bahasa Arab kata tersebut masuk
pada kategori fi'l al-mâdhi, yaitu kata kerja yang menunjukkan suatu perbuatan yang
telah selesai dikerjakan atau telah lewat. Lima dari enam pengulangan kata "qâla"
merupakan bentuk tuturan dengan diri sendiri yang mencerminkan bentuk ungkapan
hati, sedangkan kata "qâla" yang keenam digunakan untuk menceritakan perkataan
Ibrâhîm kepada kaumnya.11
Ibrâhîm berkata pada kaumnya setelah mendapatkan sebuah kesimpulan: Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari penyembahan bintang, bulan, matahari,
dan apa saja yang kamu persekutukan dengan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang
sesungguhnya.12
10
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an no. 7, h. 574 11
Sulaimân aṭ-Ṭarawanah, Rahasia pilihan kata dalam Al- Qur’an (Jakarta Timur: Qisthi
Press, 2004), h. 219-220 12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 4, h. 164
67
Dengan segenap jiwa, raga dan totalitas, Ibrâhîm menghadapkan wajahnya
dalam keadaan ḥanîfan cenderung kepada agama yang benar, dan dia tidak termasuk
penganut apa yang dianut oleh kaumnya bahkan oleh siapapun yang mengakui dalam
hati, atau ucapan maupun perbuatannya bahwa ada penguasa selain Allah SWT.13
Fragmen pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrâhîm ini bukan berdasarkan
keresahan hati atau kekecewaan, melainkan untuk memantabkan kepercayaan
terhadap Tuhan sendiri. Kata-kata keresahan atau kekecewaan hanya sebagai simbol
saja, agar manusia yang membacanya bisa menerima kisah itu dengan wajar.
3. Analisis ayat monolog
Apa yang dilakukan Nabi Ibrâhîm as dalam ayat di atas, terlihat jelas kalau
dia sedang bermonolog. Permainan dalam peristiwa itu hanya dimainkan oleh satu
aktor saja, yakni Nabi Ibrâhîm. Dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri ketika
melihat bintang, bulan dan matahari.
Kumpulan ayat ini jelas tergolong sebagai ayat monolog, didukung dengan
pengertian monolog menurut Sulaimân aṭ-Ṭarawanah. Subjek yang ada di dalamnya
hanya satu orang, jadi hanya satu orang yang berbicara. Sedangkan objeknya tidak
ada orang lain di sekelilingnya Nabi Ibrâhîm, jadi objek pembicaraan Nabi Ibrâhîm
tidak lain adalah dirinya sendiri. Nabi Ibrâhîm dalam kumpulan ayat di atas sedang
melakukan dialog pribadi.
Mari kita lihat penafsiran Sayyid Quṭb, beliau mengatakan, pada malam itu
seakan-akan bintang-bintang berbicara padanya. Entah apa yang terjadi tiba-tiba Nabi
13
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an…, no. 7, h. 574
68
Ibrâhîm tertarik melihat bintang, padahal dia sudah melihat bintang setiap malamnya.
Menurut Sayyid Quṭb lagi, bintang-bintang itu serasa memberikan inspirasi
kepadanya dan menjawab segala macam kerisauan hatinya yang sangat mengganggu
pikirannya. Karena ada perasaan-perasaan yang berbeda ketika melihat cahaya
bintang dia merasa perlu mengutarakan isi hatinya terhadap bintang itu.
".. 'inilah Tuhanku' .." ujar Nabi Ibrâhîm, dengan beraninya dia mengatakan
hal itu. Keberaniaanya tersebut dikarenakan kekecewaannya melihat kaumnya tidak
mau mengingkari penyembehan mereka terhadap berhala, selain itu tidak ada orang
yang mau mendengar keluh kesahnya melihat keyakinan kaumnya. Semua kaumnya
menyembah berhala (patung-patung), ada juga yang menyembah bintang, bulan dan
matahari, bahkan bapaknya sendiri merupakan pembuat patung yang akan disembah.
Kisah Nabi Ibrâhîm ini benar-benar merupakan teks monolog, apa yang
dilakukan Nabi Ibrâhîm merupakan gambaran dramatik yang lahir dari pikiran Nabi
Ibrâhîm seorang. Dan apa yang diucapkannya searah, bukan dialogis. Dia terus
bertanya sampai ketiga kalinya dalam waktu yang berbeda, tapi ketiga pertanyaannya
itu dia jawab sendiri karena akal dan pengetahuan yang Allah berikan kepadanya.
Sampai akhirnya Nabi Ibrâhîm mengumumkan kepada kaumnya kalau dia
akan terlepas dari kesesatan yang sudah dibuat sekian tahun lamanya, dan sekarang
dia menemukan siapa sebenarnya yang berhak disembah. Patung benda yang dibuat
oleh manusia, bintang, bulan, matahari yang selalu terbit tenggelam, atau yang
menciptakan seluruh alam raya ini. "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa saja yang kamu persekutukan,.."
69
4. Pola Pemaparan Monolog dalam QS. Al-An'am [6]: 76-79
Mari kita lihat pola pemaparan monolog yang digunakan dalam QS. Al-An'am
[6]: 76-79 melalui tabel berikut;
Tabel 4.1 : Pola pemaparan monolog QS. Al-An'am [6]: 76-79
Pola Pemaparan Ayat Keterangan
Narasi
Pembuka:
tampa
memakai
pendahuluan
76. ketika malam telah
gelap, dia melihat sebuah
bintang (lalu) Dia berkata:
"Inilah Tuhanku", tetapi
tatkala bintang itu
tenggelam dia berkata:
"Saya tidak suka kepada
yang tenggelam."
Kisah pencarian Tuhan oleh Nabi
Ibrâhîm ini tidak diawali dengan
pendahulan. Meskipun begitu di
dalamnya terdapat peristiwa yang
membuat pembaca atau pendengar
tetap bertahan untuk mengetahui
kisah tersebut sampai akhir.
Penutup :
Dengan
kesimpulan
Ayat 79, Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang
menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung
kepada agama yang benar,
dan aku bukanlah
termasuk orang-orang
yang mempersekutukan
Tuhan.
Kisah pencarian Tuhan oleh Nabi
Ibrâhîm ini ditutup dengan
kesimpulan, kesimpulan Nabi
Ibrâhîm yang telah menemukan
Tuhan sebenarnya.
Dengan
penyisipan
nasihat
keagamaan
Ayat 78, "Hai kaumku,
Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang
kamu persekutukan.
Ayat 79, dan aku
bukanlah termasuk orang-
orang yang
mempersekutukan Tuhan
Nasihat keagamaan dalam
monolog Nabi Ibrâhîm ini ialah,
jangan mempersekutukan Tuhan.
Tuhan adalah satu-satunya yang
menciptakan seluruh alam dan
seisinya, karena itu tidak pantas
disekutukan dengan apapun
apalagi dengan patung-patung
yang di buat oleh manusia sendiri.
Petunjuk
peristiwa
Ayat 76, ketika malam
telah gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) dia
berkata:… tetapi tatkala
Setiap narasi disetiap ayat ini
memberi gambaran dari peristiwa
yang dialami oleh Nabi Ibrâhîm.
70
bintang itu tenggelam dia
berkata:
Ayat 77, kemudian tatkala
dia melihat bulan terbit
dia berkata:… tetapi
setelah bulan itu
terbenam, dia berkata:
Ayat 78, kemudian tatkala
ia melihat matahari terbit,
dia berkata:… maka
tatkala matahari itu
terbenam, dia berkata:
Monolog
Rujukan dan
penunjukan
Ayat 76 "Inilah Tuhanku",
"…bintang itu
tenggelam…"
Ayat 77 "Inilah Tuhanku",
"…bulan itu terbenam…"
Ayat 78 "Inilah Tuhanku,
ini lebih besar",
"…matahari itu
terbenam,"
Kata petunjuk inilah dalam ayat
76, mengacu pada bintang yag
sudah dijelaskan dinarasi petunjuk
peristiwa. Dalam ayat 77,
mengacu pada bulan, dan ayat 78,
mengacu pada matahari.
Kata petunjuk itu dalam ayat 76-
77-78, merupakan penggambaran
peristiwa yang terjadi (lihat juga
di petunjuk peristiwa)
Apabila kita melihat secara
khusus, siapa yang sedang
bermonolog maka kita akan
menemukan teks ini sepotong-
sepotong, misalnya; ("Inilah
Tuhanku"), ("…bintang itu
tenggelam…"), ("Inilah
Tuhanku"), ("…bulan itu
terbenam…"). Karena disela-sela
teks monolog terdapat narasi, baik
itu kata petunjuk, menerangkan
latar, dll. Seperti dalam
pembahasan pola penyampaian
dalam table di atas.
Namun ketika kita melihat secara
umum, maka kita akan
menyaksikan keutuhan teks
monolog ini. Dari awal ayat
sampai akhir ayat
menggambarkan peristiwa yang di
71
alami oleh Nabi Ibrâhîm.
Objek Kita dapat melihat pemaparan
monolog dalam kisah Nabi
Ibrâhîm ini hanya ada Nabi
Ibrâhîm seorang, jadi dapat kita
ketahui objek kepada siapa kisah
itu disampaikan ialah kepada
dirinya sendiri. Karena tidak
mungkin objek itu dia sampai
kebenda-benda langit yang dia
sebut sebagai Tuhan.
5. Kajian Intrinsik
5.1. Latar
Latar waktu sangat jelas terlihat dalam kisah ini, malam dan siang. Walaupun
tidak diterangkan secara detail jamnya, hanya saja perpindahan dari satu kondisi ke
kondisi yang lain. Karena monolog ini terjadi berkali-kali, bukan dalam satu waktu.
Untuk merenung agar mendapatkan sesuatu yang belum dipahami itu
membutuhkan waktu yang panjang, apalagi mencari hakikat Tuhan, siapa sebenarnya
Tuhan?. Itulah yang digambarkan Allah SWT dalam ayat monolog ini, dengan
adanya pengalihan kondisi ke kondisi yang lain, menggambarkan suatu perenungan
yang panjang dari seorang Nabi.
Dari latar tempat inilah yang menyebabkan terjadinya monolog dalam kisah
Ibrâhîm, telah dijelaskan di atas bahwa ketika Nabi Ibrâhîm memandang bintang tiba-
tiba saja dia mengatakan kalau bintang tersebut adah Tuhannya.
5.2. Tokoh
"Nabi Ibrâhîm"
72
Tokoh yang ada di dalam monolog ini hanya satu orang yakni Nabi Ibrâhîm.
Kita bisa melihat tandanya dalam ayat Dia (Ibrâhîm) dan Dia berkata kata dia ini
kembali ke Nabi Ibrâhîm.
5.3. Tema
"Pencarian Tuhan"
Dalam kisah Nabi Ibrâhîm terdapat tema utama dan tema tambahan, tema
utama yang mengikat keseluruhan kisah dan tema tambahan ialah tema-tema dalam
setiap fragmen kisah. Dalam fragmen monolog kisah Nabi Ibrâhîm temanya ialah
pencarian Tuhan. Tema ini pun menjadi objek penyampaian dalam fragmen monolog
dalam kisah tersebut.
5.4. Amanat atau Pesan
Amanat atau pesan secara tersurat bisa kita lihat di antaranya;14
Mencari suatu keyakinan merupakan tuntutan paling mulia dan agung.
Dan hal itu dapat terlaksana secara sempurna dengan berpikir dan
mengamati ayat-ayat Allah SWT. Itulah gunanya Allah memberikan akal
kepada manusia, agar manusia bisa berpikir. Bukan malah
menyalahgunakan akal tersebut dengan menyekutukan Allah, menyembah
berhala yang tidak lain buatan tangan sendiri atau dengan kata lain
pencipta berhala manusia sendiri.
14
Syaikh Abu Bakar Jabir Al- Jazairi, Tafsir Al-Qur'an AL-AISAR jilid 2, cet. 4 (Jakarta
Timur: Darus Sunnah Press, 2015), h. 866
73
Kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang yang sudah mengetahui
apa yang dilakukannya tersebut merupakan perbuatan yang menyekutukan
Allah (syirik) ialah, berlepas diri dari perbuatan tersebut.
Sedangkan secara tersirat ialah; Ajakan untuk ber-Tuhan pada Tuhan yang
Maha kuasa, yang menciptakan segala yang ada di bumi dan di langit.
B. Monolog Kisah Nabi Yûsuf
1. Firman Allah, QS. Yûsuf [12]: 99-100:
ا دخلوا على يوسف آوى إليه أب ويه وقال ادخلوا مصر إن شاء الله آمنين ف لمدا وقال يا أبت هذا تأويل رؤياي من ق بل ٨٨) (ورفع أب ويه على العرش وخروا له سج
جن وجاء بكم من البدو من قد جعلها ر ا وقد أحسن ب إذ أخرجن من السي بي حقيطان ب ين وب ين إخوت إن ربي لطيف لما يشاء إنه هو العليم الك يم ب عد أن ن زغ الش
(٠١١) Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yûsuf: Yûsuf merangkul ibu
bapanya15
dan Dia berkata: "Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah
dalam Keadaan aman". dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas
singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud16
kepada
Yûsuf. dan berkata Yûsuf: "Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu
itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. dan
Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaKu, ketika Dia
membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun
padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-
saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia
15
Ayah dan saudara perempuan ibunya (bibi). 16
Sujud disini ialah sujud penghormatan bukan sujud ibadah.
74
kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.17
2. Penafsiran ayat
Keluarga besar Nabi Ya'qûb berangkat menuju Mesir untuk melihat dan
bertemu dengan Nabi Yûsuf, mereka disambut hangat oleh Nabi Yûsuf. Tatkala
keluarga besar itu masuk ke tempat Nabi Yûsuf, Nabi Yûsuf lansung merangkul ayah
dan ibu tirinya, sebagai pelepas rindu dan tanda hormat. Nabi Yûsuf berkata kepada
ayah dan ibunya beserta semua rombongan yang tidak lain saudara-saudaranya,
"Masuklah ke negeri Mesir, insya Allah kamu semua masuk dalam keadaan aman
tidak kurang, dan tidak juga dikeruhkan oleh apapun.18
Setelah mereka masuk dan duduk di tempat yang sudah disediakan, Yûsuf
mempersilahkan ayah dan ibunya duduk di atas singgasana. Dan mereka semuanya,
yakni ibu, bapak dan kesebelas saudaranya, merebahkan diri seraya sujud kepada
Allah dengan menjadikan Yûsuf bagaikan kiblat.19
Apa yang terjadi dalam peristiwa
ini hanya tingkah laku tidak ada kata-kata, karena rasa yang ada di dalam hati
masing-masing, rasa takjub, mengagungkan Allah, dan salam hormat mereka.20
17
Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur'an. revisi terjemah oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya dengan transliterasi,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, t.th), h. 469-470 18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume 6
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 509 19
Ibid, h. 510 20
Ada pendapat yang mengatakan bahwa sujud yang dilakukan oleh Ya'qub beserta
keluarganya terhadap Yûsuf merupakan penghormatan, maksud dari pendapat ini ialah, hal itu
dilakukan terhadap makhluk, bukan untuk menyembah satu sama lain. Lihat Abu Ja'far Muḥammad
bin Jarir aṭ-Ṭabari, Tafsir Aṭ-Ṭabari penerjemah: Misbah, Anshari Taslim, dkk vol 15 (Jakarta selatan:
PUSTAKA AZZAM, 2009), h. 20-23. Sujud sebagai tanda penghormatan merupakan perkara yang
diperbolehkan di dalam syariat mereka. Hal semacam itu memang diperbolehkan dari sejak masa
75
Setelah peritiwa itu, Yûsuf mulai bercerita tampa seorangpun yang berucap
dan membantahnya. Nabi Yûsuf menceritakan semua yang ada di dalam hatinya,
kegembiraanya telah berkumpul kembali, dan terwujudnya mimpi yang pernah
dialaminya di waktu kecil.
Dia berkata pada ayahnya dengan mesra "Wahai ayahku, inilah takwil
mimpiku yang dahulu itu..21
" Yûsuf menceritakan takwil mimpi yang pernah ia
ceritakan kepada ayahnya semasa kecil, kini Tuhan menjadikannya kenyataan. Persis
seperti apa yang ia lihat dalam mimpinya, matahari, bulan dan bintang sujud
kepadanya.22
Dia kembali melanjutkan ceritanya dengan menyebutkan karunia Allah
kepadanya, ia juga menyebutkan kelembutan Allah dalam mengatur segala urusan
dan merealisasikan kehendak-Nya. Allah merealisasikan kehendak-Nya dengan
lembut, halus, dan tersembunyi, tidak dirasakan oleh manusia.23
3. Analisis ayat monolog
Monolog yang ada di dalam kisah Nabi Yûsuf ini bermula dari kedatangan
orang tua dan saudara-saudaranya Nabi Yûsuf, dalam keadaan merangkul orang
tuanya dia berkata "Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam Keadaan
aman". Tidak ada jawaban sama sekali dari orang tua, maupun saudara-saudaranya.
Adam As sampai syariat Isa as diturunkan, lalu yang demikian itu diharamkan di dalam agama kita dan
sujud dijadikan sebagai kekhususan untuk Rabb Ta'ala. Itulah yang terkandung dalam Qatadah
Rahimahullah dan yang lainnya. Lihat Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsîr jilid 3,
cet. 2 (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2014), h. 940-941 21
QS. Yûsuf/12: 4 22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, vol 6, h. 510 23
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an no. 7, h. 518
76
Mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh Nabi Yûsuf, mereka di
persilahkan masuk merekapun masuk, tampa berucap.
Peristiwa selanjutnya sama, mereka duduk di tempat yang sudah disediakan
lalu mereka sujud untuk memberikan salam hormat tampa berucap apa-apa. Dalam
keadaan seperti itu Nabi Yûsuf sangat terharu dan mengingat mimpi yang pernah
dialaminya dimasa kecil.
Berbeda dengan cara bermonolognya Nabi Ibrâhîm yang dia tujukan kepada
dirinya sendiri, sedangkan Nabi Yûsuf dia tujukan ke orang tua dan saudara-
saudaranya (ada penonton). "Wahai Ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu..".
Dia seakan-akan bercerita atau mendongeng di depan keluarganya, dan tidak ada
yang menyanggah atau memotong sampai ceritanya berakhir.
Sama halnya dengan pengertian monolog menurut Sulaimân aṭ-Ṭarawanah,
yakni percakan biasa. Di mana Yûsuf berbicara di depan orang-orang tapi orang yang
diajak berbicara tersebut hanya diam dan menjadi pendengar atau penonton saja.
Prinsip-prinsip monolog juga ada di dalam monolognya Nabi Yûsuf, karena
Nabi Yûsuf menceritakan konflik manusia. Nabi Yûsuf menceritakan bagaimana
besarnya karuniah Allah terhadapnya, "Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat
baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika
membawa kamu dari dusun padang pasir."24
Dari kalimat ini saja kita bisa melihat
konflik kemanusiaan yang sangat panjang, Nabi Yûsuf pernah masuk penjara karena
24
Abu Ja'far Muhamamad bin Jarir aṭ-Ṭabari, Tafsir aṭ-Ṭabari penerjemah: Misbah, Anshari
Taslim, dkk volume 15 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2009), h. 30
77
sebuah fitnah yang dideranya, Nabi Yûsuf berpisah dari ayahnya karena kebencian
dan kecemburuan dari saudara-saudara tirinya. Dari awal berpisah sampai bertemu
kembali, ujian dan rintangan harus dilalui Nabi Yûsuf. Bermula dari menjadi budak,
pelayan, tahanan, sampai menjadi menteri.
4. Pola pemaparan monolog dalam QS. Yûsuf [12]: 99-100
Mari kita lihat pola pemaparan monolog yang digunakan dalam QS. Yûsuf
[12]: 99-100 melalui tabel berikut;
Tabel 4.2 : Pola pemaparan monolog QS. Yûsuf [12]: 99-100
Pola pemaparan Ayat Keterangan
Narasi
Pembuka:
Berawal dari
adegan yang
paling penting
Ayat 99, Yûsuf
merangkul ibu
bapanya..
Kisah pertemuan
Yûsuf dengan orang
tuanya dimulai dari
ayat 99 ini, berawal
dari sebuah adegan
yang mengharukan,
Yûsuf menyambut
orangtuanya dan
merangkulnya.
Penutup:
ditutup dengan
memuji sifat-
sifat Allah
Ayat 100,
Sesungguhnya
Tuhanku Maha lembut
terhadap apa yang Dia
kehendaki.
Sesungguhnya Dialah
yang Maha
mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Kisah ini ditutup
dengan penegasan dari
Nabi Yûsuf, tentang
siapa Allah
sebenarnya dan
bagaimana sifat-Nya.
Ayat 99, Yûsuf
merangkul ibu
bapanya
ayat 100, dan ia
menaikkan kedua ibu-
bapanya ke atas
singgasana. dan
Narasi ayat 99
menggambarkan
peristiwa pertemuan
Yûsuf dengan
keluarganya, dan
dialog Yûsuf dengan
keluarganya, tapi tidak
78
Petunjuk
peristiwa
mereka (semuanya)
merebahkan diri
seraya sujud kepada
Yûsuf. dan berkata
Yûsuf:
terdapat dialog
balasan. Bisa
dikatakan hanya
Yûsuf yang berbicara
dalam adegan
tersebut, yang lain
hanya diam dan
mengikuti arahan
Yûsuf.
Narasi ayat 100,
memperjelas dimana
hanya Yûsuf yang
berbicara dalam
pertemuan itu, yang
lain hanya
mendengarkan.
Monolog
Rujukan dan
peunjukan
Ayat 100, DAN ia
menaikkan kedua ibu-
bapanya ke atas
singgasana. DAN
mereka (semuanya)
merebahkan diri
seraya sujud kepada
Yusuf. DAN berkata
Yûsuf: "
Kata "Dan" di sini
kembali kepada yang
menceritakan secara
keseluruhan, yakni:
Allah SWT
Ayat 100, dan ia
menaikkan kedua ibu-
bapanya ke atas
singgasana.
Kata "Ia" di sini ialah
Nabi Yûsuf, kembali
ke ayat sebelumnya
(99) "Yûsuf meragkul
Ibu-bapanya dan dia
berkata"…
Ayat 100, "Wahai
ayahku Inilah ta'bir
mimpiku yang dahulu
itu;
Kata "dahulu"
merujuk pada mimpi
yang telah diceritakan
Yûsuf pada ayahnya
di dalam ayat 4
"Wahai ayahku Inilah
ta'bir mimpiku yang
dahulu itu…. teks
monolog dalam kisah
Nabi Yûsuf ini lebih
detail menggambarkan
79
peristiwa, dan
narasinya hanya
sedikit dibanding
dengan teks monolog
dalam kisah Nabi
Ibrâhîm.
Objek Dalam monolog kisah
Nabi Yûsuf ini
terdapat beberapa
tokoh yang di
gambarkan oleh Allah
dalam al-Qur'an; ada
Nabi Yûsuf, bapak
dan ibunya Nabi
Yûsuf, keluarga atau
saudara-saudaranya.
Monolog dalam satu
fragmen kisah Nabi
Yûsuf di sampaikan
atau di tujukan kepada
keluarga Nabi Yûsuf.
Nabi Yûsuf
menceritakan tabir
dari mimpi yang
pernah dialaminya
diwaktu kecil.
5. Kajian intrinsik
5.1. Latar
Latar yang tercipta dalam ayat ini ialah, latar tempat yakni di rumah atau
istana Nabi Yûsuf. Selain itu yang menyebabkan terjadinya monolog dalam kisah ini
ialah, latar suasana. Latar suasana yang mengharukan, yang menakjubkan, membuat
para tokoh dalam kisah ini hanya bisa terdiam dan hanya Nabi Yûsuf yang berbicara.
5.2. Tokoh
80
Tokoh yang ada dalam monolog ini ialah; Ya'qûb dan istrinya, Yûsuf, dan
Keluarga (saudara-saudara Yûsuf). Tapi tokoh yang bermonolog dalam kisah ini
hanya Nabi Yûsuf, sedangkan tokoh yang lain hanya sebagai tokoh pembantu saja.
Tokoh yang membantu dalam perjalanan cerita.
5.3. Tema
"Tabir mimpi"
Salah satu tema kecil dalam kisah Nabi Yûsuf ialah, tabir mimpi. Dalam
fragmen monolog kisah Nabi Yûsuf ini menjelaskan tabir mimpi, dari mimpi seorang
anak kecil yang menjadi kenyataan.
5.4. Amanat atau Pesan
Amanat atau pesan secara tersurat bisa kita lihat di antaranya; 25
Mimpi yang baik bisa saja menjadi kenyataan, atas kehendak Allah.
Begitu juga dengan mimpi Nabi Yûsuf yang terwujud secara sempurna,
dia duduk di atas singgasanahnya lalu kedua orang tua dan saudara-
saudaranya sujud kepadanya. Seperti mimpinya sebelas bintang, kemudian
matahari, dan bulan bersujud padanya. Inilah salah satu mu'jizat Allah
yang Dia berikan kepada hamba yang telah dipilihnya. Sangat terlihat
kasih sayang Allah terhadap hambanya yang selalu menjaga imannya.
Sedangkan secara tersirat ialah; Ajakan untuk bertuhan pada Tuhan yang
Maha kuasa, dengan segala sifat-sifat-Nya.
25
Jabir Al- Jazairi, Tafsir Al-Qur'an AL-AISAR jilid 3, cet. 3, h. 872
81
C. Perbandingan Kisah dan Monolog
Inilah salah satu karakteristik yang luar biasa dalam pemaparan kisah dalam
al-Qur'an, yakni dengan berbagai macam variasi. Baik dari segi narasinya, dialog dan
monolognya. Monolog merupakan salah satu pemaparan dalam kisah al-Qur'an,
khususnya dalam kisah-kisah yang mempunyai tokoh utama (Nabi, Orang-orang
terdekat Nabi, atau orang penting yang diceritakan al-Qur'an) yang menjadi benang
merah sebuah kisah.
Apabila kita mengkaji monolog Tuhan dengan melihat subjek atau pelaku
dalam sebuah kisah, maka kita hanya akan menemukan sebagian teks saja yang
termasuk teks monolog. Berbeda dengan kisah, kisah merupakan sebuah kejadian
yang diceritakan jadi apabila kita mengkaji kisah maka kita harus melihat
keseluruhan teks kisah tersebut.
Dalam sebuah kisah terdiri dari beberapa fragmen-fragmen, dimana fragmen-
fragmen tersebut menceritakan tema yang berbeda-beda. Dalam kisah kita digiring
untuk mengetahui berbagai macam problematika di dalam kehidupan secara lengkap.
Kita bisa melihat pikiran-pikiran berbagai tokoh di dalamnya. Di dalam monolog kita
hanya digiring untuk mengetahui satu pokok permasalahan utama, yang lahir dari
pikiran satu orang saja. Kita difokuskan untuk mencerna apa yang ingin disampaikan
monolog tersebut.
Kita juga bisa menarik kesimpulan setelah membayangkan adegan demi
adegan yang diceritakan melalui kisah dan monolog. Dalam pemaparan kisah Nabi
Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf kita melihat adegan demi adegan yang dilakukan secara
82
kolosal, Ibrâhîm bersama bapaknya, Ibrâhîm bersama kaumnya, Yûsuf bersama
saudara-saudara dan keluarganya, Yûsuf bersama Ẓulaikha dan Raja, Yûsuf bersama
para musafir dan para pemuda yang di dalam tahanan, dimana adegan-adegan kolosal
membutuhkan konsentrasi yang lebih untuk menyimak sebuah cerita karena terdapat
banyak fokus di dalamnya. Sedangkan adegan dalam monolog itu fokusnya hanya
satu yaitu tokoh yang bermonolog tersebut. Tujuannya agar para pembaca atau
penonton juga fokus menyimak cerita dan untuk mendapatkan pesan yang mau
disampaikan oleh cerita.
Selain itu kita bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari kita, apabila
kita berkomunikasi dengan seseorang atau beberapa orang terkadang kita tidak bisa
mengutarakan keseluruhan isi hati kita, sedangkan apabila kita melakukan monolog
(berbicara sendiri) dalam kesendirian maka kita akan mengutarakan semua isi hati
kita dengan bebas. Cara ini juga bisa dipraktekkan dalam mendekatkan diri kepada
Allah Swt., contohnya berdiam diri baik di masjid atau di rumah, bermunasabah, dll.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kisah dan monolog
karena monolog merupakan bagian variasi pemaparan kisah dalam al-Qur'an.
Pemaparan kisah sendiri memang kebanyakan dialog, baik itu modelnya al-Jadâl
maupun al-Ḥiwâr, tapi monolog sendiri sebenarnya bagian lain dari dialog tersebut.
Di antara Jadâl, Ḥiwâr, dan Monolog terlihat lebih banyak persamaannya dari pada
perbedaan. Mari kita lihat kerangka Jadâl, Ḥiwâr, dan Monolog dalam tabel berikut:
83
Tabel 4.3. Kerangka Jadâl, Ḥiwâr, dan Monolog.
Jadâl Ḥiwâr Monolog Kerangka
2 orang atau lebih 2 orang atau lebih 1 orang Subjek
1 orang atau lebih 1 orang atau lebih 1 orang atau lebih, dan
diri sendiri
Objek
Perdebatan,
Persaingan, beradu
argument, tukar
pikiran.
Jawaban, tanya
jawab, percakapan.
Berbicara sendiri,
bercerita,
Pengertian
Dialog Dialog Diam Feedback
Pembuktian,
mematahkan
argumentasi orang-
orang kafir
Berdialog secara
baik, memantabkan
keimanan,
melemahkan non
muslim
Memperdalam
keyakinan, menegaskan
keinginan.
Tujuan
Al-Qur'an juga tidak menjelaskan secara rinci letak monolog dalam kisah al-
Qur'an. Al-Qur'an memberi kesempatan kepada pembaca untuk melihat lebih jeli lagi
dan memberikan kesimpulan sendiri adanya perpindahan dialog, dari dua arah
menjadi satu arah. Monolog dalam QS. al- An'am [6]: 76-79 dan Qs. Yûsuf [12]: 99-
100 merupakan monolog Tuhan yang digiring dengan dialog-dialog yang terjadi
sebelumnya dan kemudian diselesaikan kembali dengan dialog-dialog sesudahnya.
D. Relevansi monolog Tuhan dalam kajian Ulumul Qur'an
Yang dimaksud dengan ‘ulumul qur’an’ ialah rangkaian pembahasan yang
berhubungan dengan al-Qur’an yang paling agung lagi kekal, baik dari segi proses
penurunan dan pengumpulan serta tertib urutan-urutan dan pembukuannya; maupun
dari sisi pengetahuan tentang sebab nuzul, makiyah-madaniyahnya, nasikh-
84
mansukhnya, muhkam-mutasyabihnya, dan berbagai pembahasan lain yang berkenan
dengan al-Qur’an atau yang berhubungan dengan al-Qur’an”.
Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu-ilmu yang dipakai
dalam mengkaji al-Qur'an merupakan ilmu-ilmu al-Qur'an. Dalam kajian monolog
sendiri tidak jauh dari kajian Balâghah (kebahasaan), di mana teks menjadi prioritas
utama dalam kajiannya. Karena teks sebagai sebuah pesan yang harus disampaikan
dan manusialah yang menjadi sasaran teks tersebut. Manusia sendiri merupakan
makhluk yang terkait dengan sistem bahasa (teks), dan yang terkait dengan bingkai
kebudayaan dimana bahasa tersebut sebagai sentralnya.
Fungsi umum dalam ulumul Qur'an sendiri untuk dapat memahami kalam
Allah Swt., sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in
tentang interpretasi mereka terhadap Al-Qur’an. Begitu juga dengan monolog, fungsi
utamanya memahami teks-teks (kalam) dalam al-Qur'an guna memperdalam
kepercayaan kita terhadap Allah Swt., dan keterangan-keterangan yang terkait cerita
dalam kisah Nabi Ibrâhîm dan Nabi Yûsuf oleh para mufassir.
Objek utama ulumul-Qur'an ialah al-Qur'an dan segi yang mencakub dalam
keseluruhan kitab tersebut. Objek pembahasan ulumul Qur'an mencakup berbagai
segi dari al-Qur'an itu berkisar di antara ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama
(Ushuluddin) karena yang dibahas dalam ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu yang
membicarakan al-Qur’an sebagai i’jaz (mukjizat) dan hidayah (petunjuk). Dalam
monolognya Nabi Ibrâhîm kita bisa memperoleh petunjuk dan kembali memantabkan
petunjuk tersebut, sedangkan dalam monolognya Nabi Yûsuf kita melihat mukjizat
85
Allah benar-benar nyata karena sebuah mimpi dari seorang anak kecil yang diangkat
menjadi Nabi menjadi kenyataan. Persis seperti dalam mimpi tersebut.
Dalam ulumul Qur'an yang mempunyai keterkaitan lebih dengan monolog
adalah dialog (Jadâl, dan Ḥiwâr), karena monolog sendiri bagian dari Jadâl, dan
Ḥiwâr. Monolog merupakan salah satu unsur yang penting dalam sebuah cerita sama
seperti dialog, karena pesan yang mau disampaikan sebuah cerita melalui dialog dan
monolog tersebut. Kedua contoh monolog di atas sama-sama terdapat unsur dialog di
dalamnya.
Sulaimân aṭ-Ṭarawanah sendiri mengatakan bahwa di dalam kisah al-Qur'an
terdapat pemaparan yang melalui percakapan, percakapannya sendiri tergolong dalam
dua bagian yakni satu arah (monolog) dan dua arah (dialog).
86
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan paparan sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan dan
memberi saran, sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian atas ayat 76-79 surah al-An'am, dan ayat 99-100
surah Yûsuf, maka penulis mengkategorikan ayat tersebut merupakan teks monolog
dalam kisah al-Qur'an dari subyeknya/pelakunya, yakni Nabi Ibrâhîm, dan Nabi
Yûsuf. Sebagai jawaban atas rumusan masalah ialah :
Perkpektif monolog yang ditulis Sulaimân aṭ-Ṭarawanah terdapat dalam
ayat kedua kisah tersebut.
Cara bermonolognya Nabi Ibrâhîm ialah melakukan percakapan dengan
dirinya sendiri. Semua ucapan yang keluar ditujukan terhadap dirinya
sendiri.
Nabi Ibrâhîm berbicara dengan hal yang imajiner, dia membuat peryataan
kemudian dia yang menanggapinya sendiri. Tampa ada keraguan,
tanggapan, ataupun sanggahan mengenai pernyataannya salah atau benar
dari orang lain. Apabila dia mengatakan pernyataan tersebut di depan
kaumnya, maka dia akan mendapatkan jawaban yang malah tidak
memuaskan dan dia akan dibenci dan dimusuhi oleh kaumnya.
Monolognya yang sama terjadi tiga kali, melihat bintang, bulan dan
87
matahari. Setelah tiga kali berulang, Nabi Ibrâhîm mempersiapkan diri
untuk mengatakannya kepada kaumnya.
Cara bermonolognya Nabi Yûsuf seperti sedang bercerita atau
mendongeng, dan orang yang ada disekitarnya hanya menjadi pendengar
setia. Semua ucapan yang keluar ditujukan khususnya kepada
ayahandanya, umumnya kepada yang berada dalam ruangan tersebut.
Salah satu yang diceritakan dalam monolognya Nabi Yûsuf adalah tabir
mimpi, dimana tabir mimpi juga menyoal sejarahnya mulai dari dibuang
oleh saudara-saudaranya sampai pertemuan itu. Dimana cerita tersebut
masuk kedalam prinsi-prinsip yang ada di dalam monolog yakni, konflik
manusia.
Selain itu penulis menemukan paparan monolog dalam kisah Nabi Ibrâhîm
dan Nabi Yûsuf di awali dengan penyebutan latar, lalu penyebutan nama/siapa
tokohnya, kemudian kita bisa menemukan tema yang diusung cerita, dan terakhir
ialah pesan yang mau disampaikan dalam monolog tersebut.
Persamaan dari dua pemaparan monolog di atas selain yang disampaikan
adalah, ada pesan utama dari dua monolog tersebut yakni mengajak untuk
mempercayai atau meyakini pada Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan langit
dan bumi serta isinya dengan segala sifat-Nya.
Kesimpulan penulis ini akhirnya mendukung dan memperdalam penelitian
Sulaimân aṭ-Ṭarawanah tentang adanya ayat-ayat monolog dalam al-Qur'an
(khususnya dalam kisah).
88
B. Saran
Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memaparkan beberapa saran
yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak di antaranya sebagai berikut:
1. Monolog dalam kisah al-Qur'an yang dimunculkan dalam skripsi ini hanya
beberapa ayat saja, tentunya masih banyak ayat monolog yang belum
diidentifikasi, bahkan dalam bukunya Sulaimân aṭ-Ṭarawanah juga masih ada
yang belum dikaji ulang contohnya, kisah Maryam ibu Nabi Isa as dan Nabi Luth
as. Tentunya ini memberikan ruang untuk diteliti. Oleh karena itu penelitian ini
merupakan stimulus bagi peneliti-peneliti lain untuk melakukan kajian mendalam
terhadap kisah-kisah al-Qur'an sehingga yang masih menganjal dalam kisah dapat
terkuak.
2. Penelitian ini hanya mengkaji monolog dalam kisah al-Qur'an dengan melihat
teks dan dalam pendekatan teori monolog dalam kajian sastra. Pengkajian
monolog sebagai media berkomunikasi belum dipaparkan lebih jauh, oleh karena
itu masih terbuka peluang untuk peneliti lain.
Dengan kemurahan serta ridha Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuannya, baik berupa moral maupun material.
Meskipun penulisan skripsi ini telah selesai, namun masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk
memberikan saran dan kritik kontributif, demi perbaikan tugas akhir ini.
89
DAFTAR PUSTAKA
Agama RI, Departemen. Al-Qur’an dan Terjemahannya dengan Transliterasi,
Diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an. Revisi
terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an. Semarang: PT. Karya
Toha Putra Semarang, t.th.
--------, Kementerian. Tafsir Al-Qur'an Tematik "Komunikasi dan Informasi", Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2011
al-Abrasyi, Muḥammad Aṭiyah. Ruh al-Tarbiyyah wa al-Ta’lim. Kairo: Darr Ihya al-
Kutub al-Arabiyyah, 1950.
al-Alamaiy, Zahîr 'Awad. Manâḥij al-Jadâl fi al-Qur'an al-Karîm. t.tp.,t.th.
Baidan, Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
al-Bajawi, Ali Muhammad. dkk. Untaian Kisah dalam Al-Qur'an terj: Abdul Hamid.
Jakarta: Darul Haq, 2007.
Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair. Metodologi penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
al-Baqi, Muḥammad Fu’ad Abd. Al-Mu’zam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-
Karîm. Baerut : Darr al-Ma’rifah, 1992.
Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra Pengantar memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. Magelang: Tera, 2006.
Chitjin, Muḥammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Dana Bhakti
Prima Yasa, 1980.
Depdikbud. Panduan Penggunaan Kata, Kalimat, dan Wacana. Jakarta: Depdikbud,
1985
Faishal, Abd al-Aziz Muh. al-Adab al-Araby wa Târîkhuh. Saudi: Departemen
Pendidikan Tinggi, 1114 H.
Fitriyana, Pipit Aidul. KISAH YUSUF DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF
SEMIOLOGI ROLAND BARTHES. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.
90
Ibrâhîm, Muḥammad Ismail. Mu’jam al-Alfazh wa Alam al-Qur’anniya. t.tp.: Dar
al-Fikr-al’Arabi, 1969.
Al-Isfaḥani, Al-Raghib. al Mufradat Fi Gharit al Qur’an, ed. Muhammad Sayyid
Kailani, Mesir: Mustafa al Bab al Halabih, t.t.
Al- Jaẓairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Qur'an Al-Aisar, jilid 3, penerjemah.
Nafi' Zainuddin, Lc dan Suratman, Lc. cet. 3. Jakarta: Darus Sunnah Press,
2015.
--------. Tafsir Al-Qur'an AL-AISAR, jilid 2, cet. 4. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi III) versi 1.3 freeware 2010-2011.
Karmini, Ni Nyoman. TEORI PENGKAJIAN Prosa Fiksi dan Drama. Bali: Pustaka
Larasan, 2011.
Khalafullah, Muḥammad Aḥmad. al- Fann al-Qasas Fil-Qur'ân al-Karîm,
diterjemahkan oleh Zuhairi Misrawi "Al-Qur'an bukan Kitab Sejarah".
Jakarta: Paramadina, 2002.
Khotib, Muhammad. "PENAFSIRAN KISAH-KISAH AL-QUR'AN" Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009
Laeli, Nur. PESAN MORAL KISAH NABI YUNUS MENURUT MUFASIR MODERN
INDONESIA. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
al Mani, Mani bin Abd al-Aziz. Dkk. Mudzakarah al-Daurath al-Tarbawiyyah al-
Qashirah Ma’had al-ulum al-Islamiyyah wa al- Arabiyyah fi Indonesia, 1912
H.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir. Yogyakarta: 1984.
Mawla, M. Ahmad Jadul dan Ibrâhîm, M. Abu al-Fdl. Buku Induk Kisah-kisah Al-
Qur'an. Jakarta: Zaman, 2009.
an-Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Terjemah.
Bandung: Diponegoro, 1989.
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013.
91
Nurhayati, Ari. "PENGULANGAN KISAH NABI IBRAHIM." Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013
Partanto, Pius A, dan al-Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah, Cet. I. Surabaya: Arkola,
1994.
Purwadarmita. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
al-Qaṭṭân, Mannâ Khalîl. Mabâḥits Fi ˊUlum al Qurˊân. Beirut: Mansyurat at-Ashr,
1977.
--------. Mabâḥits Fi ˊUlum al Qurˊân ter. MudzakirAS. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2011.
Quṭb, Sayyid. al-Tashwir al-Fann fi al-Qur'an. Kairo: Dar al-Maarif, 1975.
--------. Seni Penggambaran dalam al-Qur’an, Terjemah Khadijah Nasution.
Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981.
--------. Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an Di Bawah Naungan Al-Quran, no. 7. Jakarta:
Robbani Press, 2009.
Qalyubi, Syihabuddin. Stilistika al-Qur’an (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an),
ed. Musjaffa' Maimun. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Al-Qurṭubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi, terj. Amir Hamzah, volume 11.
Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008.
Riantiarno, Nano. KITAB TEATER Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukan. Jakarta:
Grasindo, 2011.
Rohman, Abd, Komunikasi Dalam Al-Qur'an –Relasi Ilahiyah dan Insaniyah-.
Malang: UIN-Malang Prees, 2007
Rochman, Fatchur, AR. Kisah-Kisah Nyata Dalam Al-Qur'an. Surabaya: APOLLO,
1995.
Serpin. PESAN-PESAN AKHLAK DALAM KISAH QABIL DAN HABIL. (Studi Tafsir
surah al-Mâˊidah ayat 27-31). Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005.
92
Ash-Shidieqy, Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Media-media Pokok dalam Meafsirkan
Al-Qur’an). Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an,
volume 4. Jakarta: Lentera Hati 2002.
--------. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume 6.
Jakarta: Lentera Hati 2002.
--------. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume 8.
Jakarta: Lentera Hati 2002.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Sofiyullah, Mohammad. PESAN MORAL DALAM KISAH NABI AYYUB AS
(TELAAH TERHADAP KITAB AL-LAMA’AT KARYA SAID NURSI). Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Syakir, Syaikh Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, cet. 2. Jakarta Timur:
Darus Sunnah Press, 2014.
A.R, Syamsuddin. Studi Wacana: Teori Analisis Pengajaran. Bandung: FPBS IKIP
Bandung, 1992.
--------, dkk. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Bandung: Depdikbud, 1997/1998.
aṭ-Ṭarawanah, Sulaiman. Rahasia pilihan kata dalam Al- Qur’an. Jakarta Timur:
Qisthi Press, 2004.
aṭ-Ṭhabari, Abu Ja'far Muḥammad Bin Jarir. Tafsir Aṭ-Ṭabari, terj. Misbah, Anshari
Taslim, dkk. Jilid 15. Jakarta : Pustaka Azzam, 2009
Tsaury, Sofyan. KENAIKAN ISA AL-MASIH MENURUT MUTAWALLÎ AL-
SYAˊRÂWÎ (Studi Q.S. Ali Imran [03]: 55, al-Nisa [04]: 157, 158, dan 159).
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Ubaidillah, Umar. Pengisahan Nabi Yusuf dalam al-Qur’an dan Injil (Analisa
Perbandingan Tafsîr ibn Katsîr dan tjerita-tjerita dalam Alkitab). Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013.
93
Ulumuddin, Ihyak. PSIKOLOGI CINTA DALAM KISAH YUSUF DAN ZULAIKHA
(Telaah Atas Surat Yusuf ayat 23 – 32). Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009.
Wijaya, Putu. TEROR MENTAL Kumpulan puisi dan monolog. Diterbitkan sendiri,
2014.
--------. "100 monolog" karya Putu Wijaya. Jakarta: Pentas grafika, 2016.
Waluyo, Herman J. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: PT. Hanindita
Draha Widya, 2002.
WS, Hasanuddin. DRAMA Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: 2009
Yasin, Muḥammad Husen Ali. Al-Mabadi al-Asasiyyah fi Thuruq al-Tadris al-
‘Amah. Baerut Lubnan: Maktab al-Nahdhah, 1974.
al-Yassu'I, Louis Ma'luf. al-Munjid fi al-Lughah. Baerut: 1928.
REFERENSI DARI INTERNET
Hosen, Nadirsyah. DIALOG. Di akses pada tanggal 20 April 2016 dari
http://www.pcinu-anz.org/dialog/
Kamus besar bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring (dalam jaringan), di
akses pada tanggal 31 Juli 2016 dari http://kbbi.web.id/monolog
--------, di akses pada tanggal 31 Juli 2016 dari http://kbbi.web.id/monodrama
--------, di akses pada tanggal 5 Agustus 2016 dari http://kbbi.web.id/fragmen
Nektar, Rumpun. Penjelasan dialog dan monolog, juga prolog dan epilog, di akses
pada tanggal 31 Juli 2016 dari http://www.rumpunnektar.com/
2016/02/penjelasan-dialog-dan-monolog-juga.html
Purnama, Ihsan. Monolog dan jenis-jenisnya. Di akses pada tanggal 31 Juli 2016 dari
http://rangkaiankatasekar.blogspot.co.id/2013/07/monolog-dan-jenis-
jenisnya.html
Arti Definisi Pengertian. Di akses pada tanggal 25 Agustus 2016 dari http://arti-
definisi-pengertian.info/pengertian-solilokui/
Tentang penulis
Penulis yang berdarah bugis ini dilahirkan di
Provinsi Riau 16 November 1991, dua bulan
kelahirannya ditinggal mati oleh ayahandanya alm
Baharuddin, kemudian dibesarkan ibunda tercinta
Hj Nursiah. Sebelum penulis menjadi mahasiswa
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, penulis menjadi santri di Pondok
Pesantren Madrasatul Qur'an Tebuireng Jombang.
Selama menempuh studi di Uin penulis aktif di
berbagai kegiatan kemahasiswan dan bergabung
di beberapa organisasi luar dan dalam kampus.
Awal perkuliahan penulis bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Ciputat, dan telah
menerbitkan beberapa karya tulisanya diantaranya; Cerpen fiksi, Malam yang Bingung
(Pustaka Jingga: Lamongan, 2012), November Hoese (di nobatkan sebagai juara tiga dalam
sebuah lomba cerpen, Pustaka Jingga: Lamongan, 2014), Cerpen non fiksi, Permintaan
Seorang Ibu (Diva Press (Safirah): Jogjakarta, 2014). Buku ringan Rayuan 3G (Mata Pena
Writer: Jakarta, 2014). Ensiklopedia Kumpulan wisata di Indonesia (Mata Pena Writer:
Jakarta, 2014). Tulisannya yang lain ialah naskah monolog dan naskah drama.
Selain itu penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid yang menekuni
bidang kesenian khususnya seni Teater. Aktif menonton pertunjukan teater, diskusi dan
workshop-workshop teater. Penulis belajar menjadi aktor di Teater Syahid, pementasan
pertamanya ialah lakon "Syekh Siti Jenar-Babad Geger Pengging", tahun 2014 penulis
mengembangkan sayap dengan menjadi sutradara di Teater Syahid. Pementasan yang
disutradarainya antara lain; Balada Janda Hompimpah (Dipentaskan dalam festival drama
pendek, London School of Public Relations-Jakarta), Dialog Dua Kekasih (2014), Orkes
Pulang (Dipentaskan dalam perhelatan festival Teater Mahasiswa Nasional yang ke 7 di
Bandung, 2015), dan Lawan Catur (2016).
Saat ini penulis sedang belajar di Kampus Bengkel Teater Rendra, belajar untuk bisa
menyampaikan ilmu dengan baik dan benar. Untuk lebih mengenalnya bisa lansung berteman
di Fb-nya : Ajja’ El Buqisi.