Download - Analisis Perda Bermasalah
-
ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 23 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN METODE RIA (REGULATORY IMPACT ASSESSMENT)
SATRIO ANINDITO H14104127
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
1
-
RINGKASAN
SATRIO ANINDITO. Analisis Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 1998 Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek dengan Metode RIA (Regulatory Impact Assessment). (Dibimbing oleh HENNY REINHARDT). Semenjak otonomi daerah dicanangkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dirubah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 35 Tahun 2004, iklim regulasi di Indonesia mengalami perubahan besar. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan hukum dan administrasi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk mengatur dan mengadministrasikan perdagangan dan industri. Oleh karena itu, pemerintah daerah berhak mengenakan regulasi dan perizinan usaha.
Pada tahun pertama desentralisasi, pemerintah daerah di Indonesia telah mengeluarkan ratusan Perda yang menerapkan pengenaan pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Akibat yang dihasilkan dari penerbitan regulasi demi regulasi pun menimbulkan masalah. Ini dapat terlihat dari perjalanan satu tahun saja dari kebijakan otonomi daerah diduga 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah (Hardjasoemantri, 2003). Perda-perda bermasalah tersebut diantaranya telah dipertimbangkan untuk dicabut.
Walaupun otonomi daerah memberikan harapan besar bagi perubahan daerah tetapi dinamika pelaksanaan otonomi itu sendiri sebenarnya tidak lepas dari tantangan dan permasalahan. Sebagai contoh Kabupaten Bogor, pemerintah daerah Kabupaten Bogor telah menginventaris perda-perda yang masih berlaku yang seharusnya sudah di revisi atau dicabut sebanyak 31 perda (Setwilda Kabupaten Bogor, 2007). Perda Nomor 23 Tahun 1998 Pemerintah Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek merupakan studi kasus yang akan diangkat dalam tulisan ini yang merupakan satu dari sekian kebijakan yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi permasalahan substansial dan prinsipil Perda Nomor 23 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek dalam implementasi pada tataran kebijakan publik. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan metode RIA (Regulatory Impact Analysis) sebagai masukan untuk memperbaiki Perda No 23 tahun 1998, serta turut memberikan alternatif pemecahan masalah dalam Perda tersebut. RIA (Regulatory Impact Assessment) adalah metode yang secara sistematis dan konsisten mengkaji pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan pemerintah, mengomunikasikan informasi kepada para pengambil keputusan. Metode RIA memiliki 7 tahapan review regulasi yaitu: perumusan masalah, identifikasi tujuan, identifikasi alternatif, analisis manfaat dan biaya, komunikasi dengan stakeholders, penentuan opsi terbaik, perumusan strategi implementasi kebijakan. Dalam penelitian ini tahap yang dilakukan dibatasi sampai dengan tahap penentuan alternatif terbaik
Hasil penelitian menunjukkan pada tahap perumusan masalah, masalah berpangkal pada Ketidakteraturan dalam kegiatan usaha angkutan penumpang (trayek). Hal ini disebabkan oleh kurangnya partisipasi pengusaha angkutan pada
2
-
implementasi perda dan kurangnya fungsi pengawasan dan pengendalian dari aparatur dalam implementasi perda. Sedangkan review regulasi mempunyai tujuan yaitu teraturnya kegiatan usaha angkutan penumpang (trayek). Hal ini merupakan hasil dari meningkatnya partisipasi pengusaha angkutan pada implementasi perda dan meningkatnya fungsi pengawasan dan pengendalian dari aparatur dalam implementasi perda Melihat perumusan masalah dan identifikasi tujuan dari Perda No 28 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek penulis dapat merumuskan 3 alternatif opsi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada sehingga tujuan review regulasi tercapai. Alternatif-alternatif tersebut diantaranya adalah: (a) Do nothing (tidak melakukan apa-apa), (b) Revisi Perda No 23 Tahun 1998 tentang retribusi Izin Trayek yang disesuaikan dengan revisi atau perubahan beberapa peraturan dan melakukan sosialisasi terhadap perda tersebut, (c) Tindakan non regulasi berupa penertiban yang melayani rute jalan Kabupaten Bogor wilayah Bogor Barat,Tengah, dan Timur. Setelah alternatif teriidentifikasi, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis manfaat dan biaya untuk masing-masing opsi dari sudut padang setiap stakeholders. Tahap konsultasi publik pada analisis Perda no 23 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa pihak yaitu pihak Dinas Perhubungan, Bappeda, Setwilda bagian hukum, dan pengusaha angkutan di Kabupaten Bogor.
Mengacu pada analisis manfaat dan biaya yang muncul pada opsi kedua, baik bagi sisi pamerintah dan pengusaha angkot, maka dapat diketahui manfaat yang diperoleh adalah : (1) dasar hukum Perda menjadi relevan dengan prinsip dasar regulasi, (2) kesadaran, penegakan dan kepastian hukum, bagi pihak subjek dan objek hukum semakin meningkat, (3) terciptanya standar pelayanan administrasi yang baik, (4) bertambahnya jumlah PAD yang diperoleh dari retribusi, dan (5) terciptanya persaingan usaha yang sehat di antara pengusaha angkot. Selain itu opsi kedua akan memberikan net present value sebesar 63,658 miliar rupiah atau 531,784 juta rupiah lebih tinggi dari opsi ketiga.Sedangkan di sisi biaya, cenderung bersifat teknis, yaitu dibutuhkannya anggaran biaya yang dialokasikan guna proses sosialisasi dan penyuluhan, agar perda yang baru dapat secara efektif dan efisien sampai pada masyarakat.
Oleh karena itu, studi ini menentukan bahwa opsi kedua adalah opsi terbaik dengan beragam manfaat yang kualitatif dan juga biaya sedikit yang cenderung dibutuhkan secara teknis saja. Hal tersebut pula yang diajukan sebagai saran dalam studi ini. Dari hasil wawancara peneliti dengan para pihak terkait pun menunjukkan bahwa opsi tersebut merupakan salah satu upaya terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki sebuah sistem regulasi dan bentuk penerapannya.
Melalui metode RIA dan tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan dalam studi ini, maka perlu digarisbawahi bahwa otonomi daerah berkaitan dengan proses penerapan regulasi di setiap daerah. Namum ada kalanya regulasi dan penerapannya ternyata masih bermasalah. Oleh karena itu studi RIA dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan untuk memperbaiki dan merevisi regulasi tanpa mengubah secara keseluruhan sistematika yang telah ada, namun dikaji sesuai dengan kebutuhan yang proporsional.
3
-
ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 23 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN METODE RIA (REGULATORY IMPACT ASSESSMENT)
SATRIO ANINDITO H14104127
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
4
-
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa proposal penelitian yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Satrio Anindito
Nomor Registrasi Pokok : H14104127
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Bogor
No 23 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin
Trayek dengan Metode RIA (Regulatory Impact
Assessment)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Henny Reinhardt, SP, M.Sc
NIP: 132 321 419
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS
NIP: 131 846 872
5
-
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
Satrio Anindito
H14104127
6
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Satrio Anindito lahir pada tanggal 20 November 1986 di
Jakarta. Penulis anak terakhir dari 4 bersaudara, dari pasangan dr. Waloejo Djati
dan dr. Manggarsasi Arum Wardhani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa
hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Beji I Depok, kemudian
melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Depok dan lulus tahun 2001. Pada tahun yang
sama penulis diterima di SMUN 1 Depok dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang universitas di
Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa
Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama
menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kepanitiaan acara kemahasiswaan di
lingkungan IPB. Pada tahun 2006 penulis mengikuti lomba esai ekonomi yang
dilaksanakan oleh HIPOTESA FEM IPB dan memenangkan juara III. Untuk
menambah pengetahuan tentang metode Regulatory Impact Assessment (RIA)
yang menjadi alat analisis pada skripsi ini, penulis mengikuti pelatihan metode
RIA di Bappeda Kabupaten Bogor pada tahun 2007.
7
-
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... ix
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 9
1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Reformasi Regulasi .................................................................... 11
2.2. Retribusi Daerah ........................................................................ 13
2.2.1. Retribusi Secara Umum .................................................. 13
2.2.2. Retribusi Izin Trayek ...................................................... 14
2.3. Teori Transportasi ...................................................................... 16
2.4. Penelitian-Penelitian Terdahulu ................................................. 18
2.5. Kerangka Pemikiran................................................................... 24
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 26
3.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 26
3.3. Metode Pengambilan Contoh..................................................... 26
3.4. Metode Analisis Data................................................................. 28
3.4.1. Regulatory Impact Assessment........................................ 28
3.4.2. Tahapan Review Regulasi dengan Pendekatan RIA........ 29
3.4.2.1. Perumusan Masalah ........................................... 29
3.4.2.2. Identifikasi Tujuan ............................................. 30
3.4.2.3. Identifikasi Alternatif Penyelesaian Masalah.... 30
3.4.2.4. Analisis Manfaat dan Biaya (Costs/Benefits)..... 31
3.4.2.5. Konsultasi Publik ............................................... 32
3.4.2.6. Penentuan Opsi Terbaik ..................................... 32
8
-
3.4.3. Net Present Value (NPV) ................................................ 34
IV.GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR
4.1. Kondisi Umum Kabupaten Bogor.............................................. 36
4.1.1. Letak Geografi ................................................................ 36
4.1.2. Administrasi Pemerintahan ............................................. 37
4.2. Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten Bogor .................. 37
4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan ................................................. 38
4.3.1. Laju Pertumbuhan Penduduk .......................................... 38
4.3.2. Tingkat Pengangguran .................................................... 39
4.4. Perkonomian Kabupaten Bogor ................................................. 40
4.5. Sarana dan Prasarana Transportasi............................................. 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perumusan Masalah ................................................................... 50
5.2. Identifikasi Tujuan ..................................................................... 57
5.3. Identifikasi Alternatif Penyelesaian Masalah ........................... 62
5.4. Analisis Manfat dan Biaya (Costs/Benefits) ............................. 63
5.4.2. Analisis Kualitatif ........................................................... 64
5.4.3. Analisis Kuantitatif ......................................................... 72
5.5. Konsultasi Publik ...................................................................... 76
5.6. Penentuan Opsi Terbaik ............................................................. 78
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 82
LAMPIRAN............................................................................................ 85
9
-
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Realisasi PAD Kabupaten Bogor Tahun 2006.............................. 6
1.2. Realisasi Retribusi Izin Trayek Kabupaten Bogor........................ 7
2.1. Tarif Retribusi Izin Trayek dan Izin Operasi untuk
Permohonan Baru.......................................................................... 15
2.2. Tarif Retribusi Izin Trayek dan Izin Operasi untuk
Permohonan Ulang........................................................................ 16
2.3. Ringkasan Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ................................ 22
3 Jumlah Sample Wawancara........................................................... 27
4.1. PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2002-2006 ................................. 41
4.2. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian
di Kabupaten Bogor Tahun 2006 .................................................. 42
4.3. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan
di Kabupaten Bogor Tahun 2006 .................................................. 43
4.4. Rute dan Jumlah Angkutan Kota Kabupaten Bogor .................... 46
5.1. Rasio Jumlah Penduduk dan Angkutan Umum ............................ 55
5.2. Tabel Ringkasan Manfaat dan Biaya Opsi 1................................. 64
5.3. Tabel Ringkasan Manfaat dan Biaya Opsi 2................................. 68
5.4. Tabel Ringkasan Manfaat dan Biaya Opsi 3................................. 70
5.5. Tabel Perkiraan Penerimaan Retribusi.......................................... 73
5.6. Tabel Perkiraan Penerimaan Supir Angkutan ............................... 73
5.6. Tabel Perkiraan Biaya Opsi 2 ....................................................... 74
5.7. Tabel Perhitungan Net Present Value Opsi 2................................ 74
5.8. Tabel Perkiraan Penerimaan Retribusi.......................................... 76
5.9. Tabel Perkiraan Biaya Penertiban Angkutan ................................ 76
5.10. Tabel Perhitungan Net Present Value ........................................... 77
10
-
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2 Kerangka Pemikiran...................................................................... 25
3 Tahapan Review Regulasi ............................................................. 33
5.1. Sistematika Pohon Permasalahan.................................................. 56
5.2. Sistematika Pohon Tujuan ............................................................ 59
11
-
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah tidak akan tercapai apabila
pelaku ekonomi dan pemerintah tidak memiliki persepsi yang sama terhadap suatu
peraturan daerah sebagai bentuk regulasi dalam mengatur perekonomian. Pelaku
ekonomi maupun pemerintah daerah tampaknya perlu memahami latar belakang,
tujuan dan maksud dikeluarkannya suatu regulasi agar dapat menjadi faktor
pendorong bagi perkembangan ekonomi daerah. Menurut Candra (2003) pada
dasarnya regulasi diperlukan pada saat pasar gagal (market failure) untuk
memberikan alokasi terbaik bagi pelaku-pelakunya. Dengan demikian pemerintah
(government) harus turun tangan untuk membenahi alokasi sumber daya yang
gagal dilakukan oleh pasar tersebut.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar.
Pertama, kurangnya persaingan (lack of competition) terhadap penyediaan barang
publik (public goods). Kedua, dalam pasar terdapat adanya halangan (barrier to
entry and to exit), ketiga, aliran informasi yang tidak lancar (asymmetric
information), dan keempat, eksternalitas dan biaya sosial (externality and social
cost). Jadi suatu regulasi adalah instrumen yang dapat dipakai oleh pemerintah
untuk melakukan pengalokasian sumber daya yang tersedia pada tingkat yang
efisien karena pemanfaatan sumber daya tersebut diperkirakan tidak optimal
mengingat pihak swasta tidak akan mampu bertahan bilamana berusaha pada
jenis-jenis produksi tertentu.
12
-
Peran pemerintah diperlukan sebagai upaya agar pasar dapat diatur
sedemikian rupa guna menciptakan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat.
Untuk menghindari kecurigaan yang berlebihan terhadap regulasi atau peraturan
daerah yang diberlakukan pemerintah dalam mengatur sumber daya yang tersedia
tersebut, pemerintah diharapkan dapat memenuhi suatu standarisasi pemerintahan
di mata publik yang selalu disebut dengan pemerintahan yang bersih (good
governance) di seluruh tingkat kepemerintahan. Standar pemerintahan yang bersih
sangat penting bagi masyarakat, terutama ketika pemerintah daerah akan
menjalankan fungsi regulatornya (Syahwier, 2007).
Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan yang
cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik misalnya, otonomi daerah
berdampak positif bagi berkembangnya demokrasi lokal. Indikatornya antara lain,
benar-benar berfungsinya DPRD sebagai lembaga legislatif daerah. Pada era
diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1974, DPRD hanyalah kelengkapan
eksekutif daerah. Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai
lembaga legislatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain adalah
masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah.
Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan
rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah
daerah (Hardjasoemantri,2003).
Emirzon (2005) berpendapat semenjak otonomi daerah dicanangkan
melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, yang kemudian dirubah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dan
13
-
UU Nomor 35 Tahun 2004, iklim regulasi di Indonesia mengalami perubahan
besar. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan hukum dan administrasi
kepada kabupaten dan kota sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) yang
menentukan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengadministrasikan perdagangan dan industri. Oleh karena itu, pemerintah
daerah berhak mengenakan regulasi dan perizinan usaha. Namun sayangnya
praktik di lapangan belum menunjukkan hasil yang maksimal, bahkan di awal
peraturan tersebut keluar pemerintah daerah (pemda) seakan-akan tidak siap untuk
mengemban fungsi baru itu. Pada tahun pertama desentralisasi, pemerintah daerah
di Indonesia telah mengeluarkan ratusan perda yang menerapkan pengenaan
pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Akibat yang dihasilkan dari penerbitan
regulasi demi regulasi pun menimbulkan masalah. Ini dapat terlihat dari
perjalanan satu tahun saja dari kebijakan otonomi daerah diduga 1053 perda yang
diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 perda diantaranya bermasalah
(Hardjasoemantri, 2003). Perda-perda bermasalah tersebut diantaranya telah
dipertimbangkan untuk dicabut.
Selain menimbulkan biaya tinggi (high cost), regulasi yang diterbitkan
Pemerintah daerah cenderung tumpang-tindih (overlapping). Timbulnya
permasalahan dalam pembuatan regulasi daerah juga disebabkan oleh
permasalahan dalam proses kebijakan itu sendiri, seperti buruknya identifikasi
masalah, kurangnya pertimbangan alternatif lain terhadap peraturan, kurangnya
peninjauan efektif terhadap peraturan-peraturan lokal, kurangnya partisipasi
dalam proses kebijakan tersebut, dan kurang siapnya SDM yang dimiliki oleh
14
-
Pemerintah daerah dalam mengkaji, menganalisa serta mengimplementasi
regulasi-regulasi tersebut.
Sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
1 Januari 2001, maka daerah, baik pada level propinsi maupun kabupaten/kota,
semakin memiliki posisi yang penting dan strategis dalam konteks perkembangan
ekonomi, sosial dan politik pada tingkat nasional lebih banyak ditentukan oleh
daerah. Walaupun otonomi daerah memberikan harapan besar bagi perubahan
daerah tetapi dinamika pelaksanaan otonomi itu sendiri sebenarnya tidak lepas
dari tantangan dan permasalahan. Sebagai contoh Kabupaten Bogor, pemerintah
daerah Kabupaten Bogor telah menginventaris perda-perda yang masih berlaku
yang seharusnya sudah di revisi atau dicabut sebanyak 31 perda (Setwilda
Kabupaten Bogor, 2007). Perda-perda tersebut antara lain Perda tentang Garis
Sempadan (Rooiljn), Perda tentang Izin Mendirikan Bangunan, Perda tentang
Retribusi Izin Gangguan, dan Perda tentang Retribusi Izin Trayek. Perda Nomor
23 Tahun 1998 Pemerintah Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek
merupakan studi kasus yang akan diangkat dalam tulisan ini yang merupakan satu
dari sekian kebijakan yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Bogor. Retribusi izin trayek pada dasarnya adalah pembayaran atas pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan untuk menyediakan pelayanan angkutan
umum pada satu atau beberapa trayek tertentu dalam wilayah daerah.
Semakin pesatnya perkembangan pembangunan dalam sektor transportasi
telah mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Transportasi juga
berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah
yang berpotensi namun belum berkembang dalam upaya peningkatan dan
15
-
pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Penyebaran penduduk yang
semakin meluas dan adanya peningkatan pembangunan di daerah memerlukan
sarana transportasi yang memadai untuk arus perputarannya, khususnya sarana
angkutan penumpang. Dengan adanya tuntutan kebutuhan tersebut berakibat
makin maraknya usaha angkutan penumpang di wilayah daerah.
Agar lalu lintas khususnya lalu lintas angkutan penumpang tidak
menimbulkan kemacetan dan ketidakteraturan serta karena investasi untuk
pembangunan jalan sangat terbatas maka diperlukan strategi pengelolaan
angkutan penumpang yang dirumuskan dalam jaringan trayek dalam hirarki yang
jelas dan peningkatan peran serta masyarakat. Guna kelancaran dalam pembinaan
dan pengawasan usaha angkutan penumpang serta peningkatan pelayanan bagi
masyarakat di bidang transportasi juga untuk memberikan kepastian hukum bagi
kompensasi yang diberikan masyarakat atas pelayanan yang diberikan maka perlu
diatur dan ditetapkan peraturan daerah tentang izin trayek yang dalam
pelaksanaannya membutuhkan peran serta pengusaha angkutan umum melalui
pembayaran retribusi izin trayek.
Retribusi merupakan salah satu komponen yang cukup berpengaruh besar
terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Tabel 1.1 menunjukan pada tahun 2006
retribusi merupakan penyumbang terbesar kedua sebesar 82.883.944.857 rupiah
atau sekitar 36 persen dari total PAD Kabupaten Bogor keseluruhan. Sedangkan
retribusi izin trayek menyumbang sebanyak 261.254.750 rupiah atau sekitar 0,11
persen terhadap total PAD (BPS, 2006).
16
-
Tabel 1.1 Realisasi PAD Kabupaten Bogor 2006
No. Uraian Realisasi 2006
(dalam rupiah)
Proporsi
terhadap PAD
(dalam %)
1. Pajak Daerah 120.021.444.047 51,71
2. Retribusi Daerah 82.883.944.857 35,71
3. Bagian Laba Usaha
Daerah
6.878.684.306 2,30
4. Lain-lain PAD 22.333.794.270 9,63
5. Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
232.117.867.480 100
Sumber: BPS (diolah)
Dalam kasus Perda tentang Retribusi Izin Trayek terdapat masalah yuridis
yaitu acuan yang sudah tidak relevan. diantaranya adalah UU nomor 18 tahun
1997 karena telah diberlakukan UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas
UU Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan
berlakunya UU Nomor 34 Tahun 2000, maka PP Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Retribusi Daerah yang menjadi acuan hukum perda Nomor 28 tahun 1998 tentang
Retribusi Izin Trayek sudah tidak sesuai lagi diganti menjadi PP Nomor 66 Tahun
2001.
Masalah yang lain yang teridentifikasi adalah menurunnya pencapaian
target realisasi pendapatan asli daerah dari retribusi izin trayek. Dari tabel 1.2
terlihat penurunan yang drastis realisasi retribusi izin trayek di tahun 2006 sebesar
56,62 persen. Pada tahun 2007 realisasi makin menurun dengan penurunan
sebesar 8,02 persen. Dari masalah-masalah tersebut maka akan dikaji lebih lanjut
apakah terdapat masalah-masalah substansi maupun masalah prinsip dari Perda
Retribusi Izin Trayek.
17
-
Tabel 1.2. Tabel Realisasi Retribusi Izin Trayek
Tahun Target
(dalam rupiah)
Realisasi
Proporsi
terhadap target
(dalam persen)
2004 175.000.000 181.547.500 103,74
2005 400.000.000 400.650.000 100,16
2006 600.000.000 261.254.750 43,54
2007 750.000.000 266.396.500 35.52
Sumber: Dishub Kabupaten Bogor (2007)
Pemaparan tersebut menggambarkan betapa kesempatan luas yang
diberikan kebijakan otonomi daerah ternyata belum sepenuhnya memberikan hasil
yang optimal. Bahkan dalam batas-batas tertentu, kebijakan otonomi daerah justru
dipahami secara kurang tepat, sehingga yang timbul adalah tindakan-tindakan
yang justru kontra-produktif bagi daerah, seperti sifat kedaerahan yang berlebihan,
lahirnya konflik horisontal, dan keinginan melakukan perubahan secara cepat
tanpa diiringi perhitungan yang memadai.
Dalam rangka mengajukan alternatif penyelesaian permasalahan terhadap
perda-perda tersebut, maka diperkenalkanlah metode atau cara yang saat ini telah
banyak dilakukan di negara maju dan berkembang lainnya, yaitu Regulatory
Impact Assesment atau dikenal dengan RIA. Dalam RIA terdapat proses review
yang mencakup analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial dari
suatu regulasi dan konsultasi dengan para stakeholder. Analisis dan konsultasi
tersebut terangkum dalam suatu kerangka yang disebut Regulatory Impact
Analysis.
RIA berperan secara sistematis dalam memastikan penentuan pilihan
kebijakan yang paling efektif dan efisien. RIA dapat memberikan alasan perlunya
18
-
intervensi pemerintah, memberikan alasan bahwa regulasi memberikan alasan
bahwa regulasi adalah alternatif terbaik, memberikan alasan bahwa regulasi
memberikan manfaat lebih besar dari biayanya, mendemonstrasikan bahwa
konsultasi yang cukup telah dilakukan, dan menunjukkan mekanisme kepatuhan
dan implementasi sesuai dengan apa yang telah ditetapkan (Emirzon,2005 )
1.2. Perumusan Masalah
Perda No 23 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek diidentifikasi
memiliki masalah yuridis. Selain itu partisipasi pengusaha angkutan yang kurang
juga menambah permasalahan dalam kegiatan usaha angkutan yang diduga
berasal dari implementasi yang buruk dari perda tersebut yang juga menyebabkan
target realisasi pendapatan asli daerah dari retribusi izin trayek tidak tecapai.
Berkaitan dengan studi kasus Perda bermasalah yang diangkat dalam tulisan ini,
yaitu Perda No.23 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek di Kabupaten Bogor,
maka penelitian ini mengkaji bagaimana metode RIA dapat diimplementasikan
dalam rangka memperbaiki regulasi yang bermasalah tersebut. Adapun pertanyaan
penelitian yang dirangkum dalam rumusan masalah tulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. faktor apa sajakah yang dapat diidentifikasikan sebagai masalah
substansial dan prinsipil yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan Perda No 23 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek di
lingkungan publik?
19
-
2. bagaimanakah proses mengimplementasikan metode RIA dalam
melakukan kajian Perda yang bermasalah, khususnya Perda Nomor 23
tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka adapun tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi permasalahan
substansial dan prinsipil Perda Nomor 23 Tahun 1998 tentang
Retribusi Izin Trayek dalam implementasi pada tataran kebijakan
publik
2. mengimplementasikan metode RIA (Regulatory Impact Analysis)
sebagai masukan untuk memperbaiki Perda No 23 tahun 1998, serta
turut memberikan alternatif pemecahan masalah dalam Perda tersebut.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. memberikan gambaran secara ilmiah penggunaan metode RIA dalam
melakukan kajian terhadap produk hukum daerah (misalnya: perda)
2. memberikan masukan kepada stakeholder mengenai kebijakan publik
yang dapat diimplementasikan untuk memperbaiki produk hukum agar
mampu menjamin iklim usaha di daerah.
20
-
3. sebagai wahana bagi penulis untuk meningkatkan pengetahuan dan
kompetensi di bidang assessment produk hukum yang berhubungan
dengan investasi di daerah.
21
-
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Reformasi Regulasi
Regulasi dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu regulasi ekonomi yang
mengatur kerangka acuan bagi pelaku ekonomi, regulasi sosial yang mengatur
standar kesehatan, keselamatan, lingkungan dan sebagainya, serta regulasi
administrasi yang mengatur formalitas dan prosedur (Asian Development Bank,
2003). Bank Dunia menyimpulkan bahwa selama ini regulasi (peraturan
perundang-undangan) dipandang sebagai kendala dalam menjalankan bisnis di
negara-negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development).
Berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia dan Letter of Intent dengan IMF perlu
review regulasi persaingan usaha tidak sehat dan ekonomi biaya tinggi, sehingga
tahun 2001 diterbitkan Manual Review Regulasi Indonesia (MRRI) dan direvisi
tahun 2003. Hal ini terkait dengan reformasi regulasi yang meliputi revisi atau
menghapuskan regulasi yang tidak diperlukan dan tidak efisien. Membangun
ulang seluruh kerangka regulasi dan pelembagaannya, meningkatkan proses untuk
merancang dan mengelola regulasi.
Reformasi regulasi untuk menuju Good Regulatory Governance (GRG),
terdiri atas tiga elemen yaitu kebijakan yang diadopsi di tingkat politik, alat
kontrol kualitas, dan manajemen kelembagaan. Regulasi adalah keputusan politik,
oleh karena itu dalam membuat putusan politik, pemerintah dan DPR haruslah
secermat mungkin, karena akan berlaku untuk semua warga negara dan
berdampak negatif, jika regulasi yang diambil tidak memenuhi prinsip-prinsip
dasar review regulasi (Emirzon, 2005)
22
-
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami oleh pembuat regulasi,
agar regulasi baik dan bermanfaat, yaitu: satu, regulasi efektif minimum.
Pemerintah hanya mengeluarkan regulasi untuk mengatasi masalah yang tidak
dapat diselesaikan selain melalui penerbitan regulasi. Jika harus dengan regulasi,
maka regulasi yang diterbitkan adalah yang tidak memiliki dampak negatif/biaya
yang paling sedikit. Kedua, netralitas terhadap kompetisi, yaitu regulasi harus
menciptakan peluang yang sama bagi semua pelaku usaha. Regulasi yang
dikeluarkan tidak diskriminatif terhadap pihak atau golongan tertentu, sehingga
ada pihak yang dirugikan. Ketiga, perumusan regulasi dilakukan secara terbuka
dan memperhatikan aspirasi stakeholder dan masyarakat. Keempat, Cost-Benefit
Assessment (Cost Effectiveness). Setiap regulasi harus mempunyai manfaat yang
lebih besar daripada biayanya. Jika benefit tidak dapat ditentukan, gunakan ukuran
cost yang terkecil.
Dalam penerbitan perda seharusnya diperhitungkan bagaimana cost-
benefit, jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk penerbitan perda lebih besar
dibanding manfaat yang diharapkan. Oleh karena itu perlu perhitungan yang
matang. Selama ini dalam penyusunan undang-undang atau peraturan daerah tidak
atau kurang memperhatikan prinsip dasar review regulasi, sehingga sebagian besar
perda yang diterbitkan menimbulkan permasalahan, khususnya di bidang
investasi. Hampir semua perda yang diterbitkan mengatur tentang pungutan
retribusi dan pajak yang berlindung di balik pembinaan (Emirzon, 2005)
23
-
2.2. Retribusi Daerah
2.2.1. Retribusi Secara Umum
Retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah
sehubungan dengan adanya suatu fasilitas jasa yang diberikan oleh pemerinah
kepada pembayarnya. Objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang
disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh
pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa
tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan objek
retribusi.
Menurut UU No 34 Tahun 2000 dinyatakan bahwa retribusi adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang
khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah pribadi atau badan.
Retribusi daerah menurut Kaho (1991) adalah pembayaran-pembayaran kepada
kas negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara. Atau
merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa timbal balik
secara langsung dapat ditunjukan. Paksaan disini bersifat ekonomis karena siapa
saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak dikenakan iuran itu.
Nasrun dalam Kaho (1988) merumuskan pengertian retribusi daerah adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa
pekerjaan, usaha atau milik daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa
yang diberikan daerah baik langsung maupun tidak langsung. Secara umum
keunggulan utama retribusi dibanding pajak adalah pemungutan retribusi
didasarkan atas kontraprestasi dimana besarnya tarif tidak ditentukan secara
liminatif seperti halnya pajak daerah. Pembatas utama bagi sektor retribusi adalah
24
-
terletak ada atau tidaknya jasa yang disediakan pemerintah daerah. Oleh sebab itu,
sebenarnya pemerintah daerah dapat saja mengusahakan retribusi selama dapat
menyediakan jasa itu.
Termasuk golongan dan jenis retribusi daerah adalah: 1) Jenis-jenis
retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan kriteria yang ditetapkan
dalam undang-undang, 2) Dengan peraturan daerah dapat ditetapkan jenis
retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah sesuai dengan
kewenangan otonominya (Elmi, 2001)
2.2.2. Retribusi Izin Trayek
Retribusi izin trayek adalah pembayaran atas pemberian izin kepada orang
pribadi atau badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum
pada satu atau beberapa trayek tertentu dalam wilayah daerah. Jenis angkutan
umum penumpang yang menjadi objek retribusi terdiri dari :
a. Angkutan kota/pedesaan yaitu Mobil Bis/Mobil Penumpang umum
dengan menggunakan trayek yang seluruhnya berada dalam satu wilayah
daerah;
b. Angkutan Taksi yaitu Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda khusus
dan dilengkapi argometer dengan wilayah operasi terbatas;
c. Angkutan umum dengan cara sewa yaitu Mobil Penumpang Umum yang
diberi tanda khusus pada penomoran kendaraan dan merupakan pelayanan
dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi dengan wilayah operasi
tidak terbatas;
25
-
d. Angkutan untuk keperluan antar jemput karyawan/Siswa sekolah yaitu
Mobil Bis Umum dan Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda khusus
dan merupakan pelayanan angkutan karyawan/Sekolah;
e. Angkutan khusus adalah pelayanan angkutan orang yang penggunaanya
bersifat khusus.
Struktur dan besarnya tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis angkutan
penumpang umum dan daya angkut. Struktur dan besarnya tarif retribusi izin
trayek dan izin operasi untuk permohonan baru adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk permohonan baru
Jenis Angkutan Kapasitas Tempat Duduk Tarif
Mobil Penumpang
Mobil Bis
Angkutan khusus
s.d 8 orang
9 s.d 15 orang
16 s.d. 25 orang
lebih dari 25 orang
Rp. 71.500,-
Rp. 110.000,-
Rp.115.000,-
Rp.121.000,-
Rp. 55.000,-
Sumber : Setda bagian hukum Kabupaten Bogor, 2007
Setiap izin pemberian izin insidentil untuk satu kali perjalanan PP selama
7 (tujuh) hari dikenakan tarif retribusi sebesar Rp.15.000,-. Setiap pemberian
rekomendasi/pertimbangan/advis untuk sebagai salah satu syarat izin yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat atau Pemerintah Pusat
tarif retribusi sebesar Rp. 25.000,-
Izin trayek berlaku selama 5 (lima) tahun dan setiap 1 (tahun) wajib di
daftar ulang. Jika wajib retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang
membayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen setiap
bulan dari retribusi yang terutang atau kurang dibayar dan ditagih dengan
menggunakan STRD (Surat Tagihan Retribusi Daerah). Wajib retribusi yang tidak
26
-
melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan Keuangan Daerah diancam
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak 4
(empat) kali jumlah retribusi terutang (Perda no 23 tahun 1998 Kabupaten Bogor).
Struktur dan besarnya tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk
permohonan ulang adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2. Tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk permohonan ulang
Jenis Angkutan Kapasitas Tempat Duduk Tarif
Mobil Penumpang
Mobil Bis
Angkutan khusus
s.d 8 orang
9 s.d 15 orang
16 s.d. 25 orang
lebih dari 25 orang
Rp. 25.000,-
Rp. 37.500,-
Rp. 42.500,-
Rp. 47.500,-
Rp. 25.000,-
Sumber : Setda bagian hukum Kabupaten Bogor, 2007
2.3. Teori Transportasi
Miro (2005), mengartikan transportasi sebagai usaha memindahkan,
menggerakkan, mengangkut atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke
tempat lain, dengan tujuan objek tersebut lebih bermanfaat dan dapat digunakan
untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemindahan barang dan manusia sebagai objeknya
dari tempat asal ke tempat tujuan terkait dengan tiga hal, yaitu ada muatan yang
diangkut, tersedia kendaraan sebagai alat angkutannya serta ada jalanan yang
dapat dilalui (Siregar, 2005)
Pengangkutan memberikan jasanya kepada masyarakat, yang disebut jasa
angkutan (Siregar, 2005). Jasa angkutan ini sangat bermanfaat dalam membantu
kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat seperti kegiatan produksi, perdagangan,
pertanian, dan lain-lain. Miro (2005) membagi alat transportasi dalam 2 kelompok
27
-
besar, yaitu kendaraan pribadi dikhususkan untuk pribadi seseorang dan
pemakaiannya sangat bebas, lain halnya dengan kendaraan umum. Alat
transportasi ini diperuntukan bagi banyak orang dengan kepentingan bersama,
menerima pelayanan bersama, mempunyai arah dan titik tujuan yang sama serta
terikat dengan peraturan trayek yang telah ditentukan.
Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam
mempelancar roda perekonomian. Dengan adanya peran transportasi tersebut,
maka lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam satu sistem transportasi
nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi
yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang
tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan perlu diselenggarakan
secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas daya jangkau dan
pelayanannya kepada masyarakat dengan memperhatikan sebesar-besar
kepentingan umum dan kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan,
koordinasi antar wewenang pusat dan daerah serta antar instansi, sektor, dan atau
unsur terkait serta terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat dalam
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, sekaligus dalam rangka
mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu. Untuk itu
perlu peran yang harus dijalankan pemerintah dalam mengelola dunia transportasi
ini sebagi penyedia regulasi pertransportasian untuk mencerminkan keseluruhan
hal tersebut dalam bentuk undang-undang.
28
-
2.4. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Pada bulan September-Oktober 2007 Pemerintah Kabupaten Bogor telah
membentuk tim untuk melakukan review peraturan daerah dengan menggunakan
metode RIA (Regulatory Impact Assessment). Tim ini telah melakukan review
pada 2 peraturan daerah yaitu Perda No. IV/DPRD Tahun 2007 tentang Garis
Sempadan (Rooilijn), Perda No 23 Tahun 2000 tentang Mendirikan Izin
Bangunan, dan Perda No 24 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan.
Pada review Perda No. IV/DPRD Tahun 2007 tentang Garis Sempadan
(Rooiljn) dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang teridentifikasi adalah
tidakteraturnya tata bangunan di daerah garis sempadan, pemkab tidak mampu
mengantisipasi pertumbuhan kota, belum ditegakkannya Perda No IV/1977
tentang Rooilljn terhadap masyarakat yang melanggar Garis Sempadan baik
sungai dan jalan, kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat mengenai peraturan
garis sempadan, perda Rooiljn yang lama tidak memiliki sanksi hukum yang jelas
terhadap pelanggar. Dari hasil analisis terdapat tiga opsi yaitu: (1) Do Nothing,
yaitu Perda No IV/1977 tentang Roolijn masih berlaku; (2) Revisi Perda No
IV/1977 tentang Rooiljn dan tindakan non regulasi yaitu relokasi bangunan yang
melanggar garis sempadan jalan dan sungai ditempatkan pada lokasi strategis
khususnya untuk bangunan komersial; (3) pemberlakuan efektif Perda No
IV/1977 Rooiljn, Perda No.17/2000 tentang Tata Ruang dan Perda No. 8/2006
tentang Ketertiban Umum. Berdasarkan hasil analisis manfaat dan biaya yang
dilakukan dan konsultasi publik terhadap stakeholder maka opsi yang dipilih
adalah opsi nomor 2 yaitu Revisi Perda No IV/1977 tentang Rooiljn dan tindakan
29
-
non regulasi yaitu relokasi bangunan yang melanggar garis sempadan jalan dan
sungai ditempatkan pada lokasi strategis khususnya untuk bangunan komersial,
karena opsi tersebut memiliki nilai manfaat bersih yang paling besar dibanding
opsi-opsi lainnya yaitu sebesar 186,85 miliar rupiah.
Pada review Perda No 23 Tahun 2000 tentang Mendirikan Izin Bangunan,
dan Perda No 24 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dapat
disimpulkan bahwa masalah-masalah yang teridentifikasi adalah besarnya tarif
dalam memperoleh IMB memberatkan pemohon khususnya rumah tinggal diluar
kawasan, dan irrelevansi perda ini dengan perizinan dan atau peraturan yang lain
khususnya perda Rooiljn No IV/1977, perda tentang RTRW saat ini, dan perda No
8/2006 tentang Ketertiban Umum dimana dalam perda IMB pasal 6 sudah tidak
berlaku dan atau dicabut.
Dari permasalahan yang diidentifikasi opsi-opsi yang diusulkan adalah: (1)
Do Nothing; (2) Revisi Perda tentang IMB yang disesuaikan dengan revisi atau
perubahan beberapa perda yang berkaitan dengan bangunan dan meningkatkan
fungsi pengawasan dan pengendalian baik teknis maupun administrasi serta
mengoptimalkan UPTD di wilayah masing-masing. Dengan melihat analisis
manfaat dan biaya dari kedua opsi tersebut, ternyata opsi kedua memberikan
manfaat yang paling besar dibandingkan dengan opsi pertama. Opsi kedua ( revisi
perda IMB) memberikan nilai manfaat yaitu peningkatan pendapatan daerah
menjadi 42,9 miliar rupiah, meningkatkan investasi daerah sebesar 13 miliar
rupiah dan 18 juta US dollar, dengan biaya sebesar 9,940 miliar. Oleh karena itu
opsi ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan keputusan pemerintah daerah
Kabupaten Bogor.
30
-
Oktariani (2007) meneliti dampak kebijakan pergulaan nasional
menggunakan esensi metode RIA ( Regulatory Impact Assessment ) dan
menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik digunakan
metode 2SLS. Hasilnya menunjukan bahwa kebijakan proteksi dan promosi
mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional. Namun, adanya disparitas harga
gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor menunjukan gejala penurunan
daya saing sehingga kebijakan ini belum mampu meningkatkan daya saing gula
domestik. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan promosi harus didukung dengan
kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula domestik secara komprehensif
dari subsistem hulu sampai hilir.
Dalam penelitian Rahmalia (2004) yang berjudul Analisis Dampak
Implikasi PP No 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik yang signifikan
pada Pemda Propinsi, Pemda Kabupaten dan Pemda Kota. Selain itu, terdapat
pula hubungan yang sangat signifikan antara variabel potensi konflik dengan
jumlah perangkat daerah suatu pemda. Sementara variabel lainnya tidak cukup
signifikan mempengaruhi potensi konflik. Dari 30 Pemda Propinsi yang ada, 10
persen mengarah untuk terciptanya konflik yang sangat tinggi, sisanya 86,7 persen
memiliki potensi konflik yang relatif sedang dan 3,3 % lainnya memiliki konflik
rendah. Namun secara rata-rata nasional ada 8,8 atau 9 unit perangkat daerah yang
harus dirampingkan bila diterapkan PP nomor 8 tahun 2003 dengan konsisten.
Terkait dengan hal diatas Rahmalia (2004) menyarankan bahwa implementasi PP
nomor 8 tahun 2003 perlu dilakukan dengan hati-hati dan dalam jangka pendek
31
-
tidak semua pemda dapat diberlakukan secara generalisir dengan menerapkan
batasan maksimum.
32
-
33
-
34
-
2.5. Kerangka Pemikiran
Selama ini dalam penyusunan undang-undang atau peraturan daerah
kurang memperhatikan prinsip dasar review regulasi, sehingga sebagian besar
perda yang diterbitkan menimbulkan permasalahan, khususnya di bidang investasi
sehingga muncul perda-perda bermasalah. Timbulnya permasalahan dalam
pembuatan regulasi daerah juga disebabkan oleh permasalahan dalam proses
kebijakan itu sendiri, seperti buruknya identifikasi masalah, kurangnya
pertimbangan alternatif lain terhadap peraturan, kurangnya peninjauan efektif
terhadap peraturan-peraturan lokal, kurangnya partisipasi dalam proses kebijakan
tersebut, dan kurang siapnya SDM yang dimiliki oleh Pemda dalam mengkaji,
menganalisa serta mengimplementasi regulasi-regulasi tersebut. Untuk itu
diperlukan metode RIA yang merupakan alat evaluasi kebijakan yang bertujuan
menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif yang sedang diusulkan
ataupun yang sedang berjalan.
Dalam penelitian ini pendekatan metode RIA digunakan dalam review
Perda No 28 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek di Kabupaten Bogor.
Tahap-tahap yang akan dilakukan adalah perumusan masalah, identifikasi tujuan,
identifikasi alternatif penyelesaian masalah, dan analisis manfaat-biaya. Dari
tahap-tahap tersebut dapat terlihat bagaimana Perda Nomor 23 tahun 1998
Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek diimplementasikan, dan apa saja
kelemahan serta permasalahan yang muncul dalam penerapan kebijakan tersebut
sehingga studi komparasi dapat dilakukan untuk memberikan alternatif
penyelesaian masalah-masalah Peraturan Daerah di Kabupaten Bogor.
35
-
RIAS (Regulatory Impact Assessment Statement
Kurangnya penerapan prinsip dasar review regulasi dalam penyusunan UU atau
Perda
Permasalahan dalam proses kebijakan : 1. Buruknya identifikasi masalah 2. Kurangnya pertimbangan
alternatif terhadap peraturan 3. Kurangnya peninjauan efektif
terhadap peraturan-peraturan lokal
4. Kurangnya partisipasi Stakeholders
5. Kurang siapnya SDM (Emirzon,2005)
Perda bermasalah ( studi kasus Perda nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek )
Metode RIA dalam review Perda nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek
1. Perumusan masalah 2. Identifikasi tujuan 3. Identifikasi opsi 4. Analisis manfaat dan biaya 5. Konsultasi Publik 6. Pemilihan Opsi Terbaik
`Gambar 1. Kerangka Pemikiran
36
-
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor dikarenakan salah satu misi
kabupaten Bogor adalah Melakukan Reformasi Pelayanan Publik menuju Tata
Pemerintahan yang Baik (good governance) sehingga relevan dengan tujuan
penelitian. Waktu pengumpulan dan pengolahan data dilakukan mulai bulan
Desember 2007 sampai Maret 2008.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan dengan survey. Survey merupakan suatu teknik penelitian,
yang mana informasi dari suatu responden dikumpulkan, biasanya dengan
menggunakan kuesioner atau wawancara. Pada penelitian ini survey dilakukan
berdasarkan wawancara langsung dengan pengusaha angkot, dan pemerintah
daerah (dinas perhubungan dan bappeda). Data sekunder diperoleh dari lembaga
dan intansi terkait di daerah penelitian yang meliputi dokumen/arsip dan laporan
tahunan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, Bappeda Kabupaten Bogor,
dan Badan Pusat Statistik dari tahun 2006 sampai tahun 2007.
3.3. Metode Pengambilan Contoh
Populasi merupakan kumpulan lengkap dari objek pengamatan yang
menjadi pusat perhatian penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah pihak yang
37
-
terkait stakeholders dari Perda No 28 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek
yaitu pemerintah, dan dunia usaha.
Pengambilan contoh (sampling) adalah suatu prosedur yang hanya
mengamati sebagian objek pengamatan. Sampling dilakukan dengan teknik
penarikan contoh tanpa peluang (non-probability sampling) yaitu prosedur
penarikan contoh yang tidak memungkinkan kita menghitung peluang terpilihnya
anggota tertentu populasi kedalam contoh. Teknik pengambilan contoh dilakukan
dengan purposive sampling dimana peneliti memilih contoh berdasarkan
pertimbangan tentang karakteristik yang cocok berkaitan dengan anggota contoh
yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.
Tabel 3.1. Jumlah sample untuk wawancara
Sample yang diwawancara Jumlah
Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor 2 orang
Setwilda Bagian Hukum Kabupaten Bogor 2 orang
Bappeda Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor 2 orang
Pengusaha angkutan Kabupaten Bogor 5 orang
Purposive sampling digunakan karena contoh yang akan dijadikan
narasumber harus benar-benar ahli atau memahami fenomena yang terjadi
sehingga mendapatkan informasi yang cukup untuk menjawab perumusan
masalah dalam penelitian. Dalam hal ini penelitian mengambil sample untuk
diwawancara yaitu pihak dinas perhubungan, bappeda, pengusaha angkot (trayek
nomor 32, 33, 11, 05, 25), dan yang dipertimbangkan memiliki kompetensi dalam
porsi masing-masing yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.
Pemilihan nomor trayek yang dijadikan sample dilakukan dengan pertimbangan
38
-
nomor trayek dengan jumlah terbanyak, dan atau nomor trayek yang diidentifikasi
memiliki permasalahan terkait dengan usaha angkutan penumpang.
3.4. Metode Analisis Data
Analisa data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan
penelitiaan. Data tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.
Penganalisaan data secara kualitatif dijabarkan dalam pendeskripsian dengan
pendekatan metode RIA (Regulatory Impact Assessment). Sedangkan analisa
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode NPV (net present value) untuk
menganalisis tahap analisis manfaat dan biaya dalam metode RIA.
3.4.1. RIA (Regulatory Impact Assesment)
RIA adalah alat evaluasi kebijakan, sebuah metode yang bertujuan menilai
secara sistematis pengaruh negatif dan positif regulasi yang sedang diusulkan
ataupun yang sedang berjalan. RIA juga berfungsi sebagai alat pengambilan
keputusan, suatu metode a) yang secara sistematis dan konsisten mengkaji
pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan pemerintah, dan b) mengkomunikasikan
informasi kepada para pengambil keputusan. RIA pada dasarnya digunakan untuk
menilai suatu regulasi dalam hal a) relevansi antara kebutuhan masyarakat dan
sasaran kebijakan, b) kebutuhan terhadap intervensi pemerintah, c) efisiensi antara
output dan input, d) efektifitas antara sasaran kebijakan dan hasil, e) keberlanjutan
antara kebutuhan masyarakat dan hasil sebelum diterapkannya atau dirubahnya
suatu regulasi. Diantara berbagai faktor yang berpengaruh, aspek efisiensi dan
efektivitas merupakan dua hal yang sangat penting. Tuntutan pokok dari RIA
39
-
adalah: (1) memberi alasan perlunya intervensi pemerintah, regulasi adalah
alternatif terbaik, dan regulasi memaksimumkan manfaat sosial bersih dengan
biaya minimum, (2) mendemonstrasikan bahwa konsultasi yang cukup telah
dilakukan, (3) menunjukkan mekanisme kepatuhan dan implementasi yang sesuai
telah ditetapkan (Agustino,2005)
3.4.2. Tahapan Review Regulasi dengan pendekatan RIA
Dalam RIA terdapat 7 tahap yang harus dilakukan untuk mereview
regulasi yaitu:
1. perumusan masalah
2. identifikasi tujuan
3. alternatif penyelesaian masalah
4. analisis manfaat dan biaya setiap alternatif
5. konsultasi publik
6. penentuan alternatif terbaik dalam menyelesaikan masalah
7. perumusan strategis implementasi
Dalam penelitian ini tahap yang dilakukan dibatasi sampai dengan tahap
penentuan alternatif terbaik.
3.4.2.1. Perumusan Masalah
Dalam tahap perumusan masalah, analis kebijakan antara lain ingin
mengetahui: apakah dalam mengeluarkan kebijakan, pemerintah telah memahami
masalah yang sebenarnya ? Apakah masalah yang ingin diselesaikan benar-benar
40
-
ada? Atau hanya gejalanya? Apakah tidak terdapat masalah yang lebih mendasar?
Apakah akar penyebab timbulnya masalah? Dan bagaimana persepsi stakeholders
(pihak yang terkait) terhadap masalah tersebut.
3.4.2.2. Identifikasi Tujuan
Dalam tahap ini analis kebijakan berusaha mengetahui sasaran yang ingin
dicapai pemerintah melalui penerbitan kebijakan. Dalam beberapa kasus, sasaran
suatu kebijakan tentu saja adalah untuk menyelesaikan masalah yang sudah
diidentifikasi pada tahap tersebut diatas. Namun dalam banyak kasus, suatu
masalah mungkin cukup pelik dan rumit dan tidak mungkin sehingga tidak bisa
diselesaikan hanya dengan satu kebijakan (tindakan) saja. Dalam keadaan
demikian, maka kebijakan pemerintah biasanya dibuat memang hanya ditujukan
untuk mengatasi sebagian dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, analis
kebijakan harus mengidentifikasikan dengan jelas sasaran yang ingin dicapai oleh
kebijakan tersebut.
3.4.2.3. Identifikasi Alternatif (opsi) Penyelesaian Masalah
Pada tahap ini, analis kebijakan mereview pengembangan alternatif
tindakan (opsi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang
telah diidentifikasi. Fokus review dalam tahap ini adalah melihat apakah
pemerintah telah mempertimbangkan seluruh opsi (alternatif tindakan) yang
tersedia.
Analis kebijakan juga harus memperhatikan apakah terdapat cara
(alternatif) tindakan lain yang lebih baik dan lebih jelas, yang dapat digunakan
41
-
pemerintah untuk mencapai tujuannya? Bagaimana dengan alternatif tidak
melakukan apa-apa (do nothing)?. Dengan melihat alternatif penyelesaian
masalah lainnya, kita dapat membandingkan dan mempertimbangkan alternatif
manakah yang lebih baik dalam mencapai hasil yang diinginkan.
3.4.2.4. Analisis Manfat dan Biaya (Costs/Benefits)
Dalam tahap ini, analis kebijakan melakukan assessments atas manfaat dan
biaya (keuntungan dan kerugian) untuk setiap opsi atau alternatif tindakan yang
penting, dilihat dari sudut pandang pemerintah masyarakat, konsumen, pelaku
usaha, dan ekonomi secara keseluruhan.
Analis kebijakan perlu mencari jawaban atas pertanyaan berikut ini :
a. Bagaimana implementasi kebijakan dalam prakteknya ? untuk menjawab
pertanyaan ini, analisis kebijakan perlu berbicara dengan pihak-pihak yang
terpengaruh oleh kebijakan , dan melakukan pengumpulan data.
b. Manfaat apa sajakah yang diperoleh dari kebijakan tersebut? Apakah
membuahkan hasil(manfaat) yang diinginkan oleh pemerintah? Apakah
menghasilkan manfaat lainnya? Jika ya, apakah manfaat tersebut?
c. Biaya (dampak) apa saja yang timbul dari (implementasi) kebijakan
tersebut? Biaya (dampak) apakah yang harus ditanggung oleh pemerintah,
masyarakat, konsumen, pelaku usaha, dan ekonomi secara keseluruhan?
3.4.2.5. Konsultasi Publik
Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang secara terus menerus
dikomunikasikan kepada para stakeholders, terutama pelaksana yang
42
-
menjalankan kebijakan di lapangan. Konsultasi ini harus dilakukan dari mulai
tahap awal perumusan kebijakan sampai dengan tahap implementasi dan
monitoring pelaksanaan kebijakan. Dalam model ini, konsultasi sudah mulai
dilakukan dalam tahap identifikasi masalah. Konsultasi pada tahap ini
bertujuan untuk memastikan bahwa pemerintah menangani masalah yang
tepat, dan bahwa persepsi pemerintah terhadap masalah yang dihadapi sama
dengan persepsi masyarakat, pelaku usaha, maupun stakeholders lainnya.
Konsultasi pada pengembangan alternatif terutama bertujuan untuk
mendapatkan masukan mengenai opsi yang dapat dipilih, dan menguji apakah
opsi tertentu dapat dijalankan secara layak (workable). Dalam tahap analisis
costs/benefits, konsultasi terutama bertujuan untuk mendapatkan dari setiap
opsi, dan untuk mendapatkan konfirmasi apakah biaya/manfaat yang
diharapkan benar-benar terwujud dalam prakteknya.
3.4.2.6. Penentuan opsi (alternatif kebijakan) terbaik.
Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan opsi tindakan, dan
setelah membandingkan berbagai biaya dan manfaat dari opsi tersebut, maka
tahap selanjutnya adalah memilih opsi tindakan yang terbaik untuk mencapai
sasaran dan menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya.
Fungsi analis dalam tahap ini adalah memastikan bahwa pemerintah telah
membandingkan semua costs/benefits memilih opsi yang paling efisien dan
efektif
43
-
Langkah 1
Perumusan Masalah
Langkah 2
Identifikasi Tujuan
Langkah 6
Penentuan opsi terbaik
Langkah 4
Analisis Manfaat dan Biaya
Langkah 3 Identifikasi alternatif (opsi)
penyelesaian masalah
Langkah 7 Perumusan Strategi
Implementasi Kebijakan
Langkah 5
K O M U N I K A S I
D E N G A N
S T A K E H O L D E R S
Langkah 5
K O M U N I K A S I
D E N G A N
S T A K E H O L D E R S
Gambar 2. Tahapan Review Regulasi
Sumber : Asian Development Bank (2003)
44
-
3.4.3. Net Present Value (NPV)
Net present value (NPV) adalah kriteria investasi yang digunakan dalam
mengukur apakah suatu proyek feasible atau tidak. Perhitungan net present value
merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan social
opportunity cost of capital (SOCC) sebagai discount factor. Secara singkat,
formula untuk net present value adalah sebagai berikut:
NPV = NBi ( 1 + i )=
n
i 1
-n
atau
NPV = =
n
i 1ni
NBi)1( +
atau
NPV = =
n
i 1Bi - Ci = N
=
n
i 1Bi
Dimana:
NB : Net Benefit = Benefit Cost
C : Biaya Investasi + Biaya Operasi
B : Benefit yang telah di discount
C : Cost yang telah di discount
i : Discount factor
n : tahun (waktu)
Apabila hasil perhitungan net present value lebih besar dari 0 (nol),
dikatakan usaha/proyek tersebut feasible untuk dilaksanakan dan jika lebih kecil
dari 0 (nol) tidak layak untuk dilaksanakan. Hasil perhitunagan net present value
45
-
sama dengan 0 (nol) berarti proyek tersebut berada dalam keadaan break even
point (BEP) dimana TR=TC dalam bentuk present value.
46
-
IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR
4.1. Kondisi Umum Kabupaten Bogor
4.1.1. Letak Geografi
Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten dalam wilayah
provinsi Jawa Barat yang berlokasi dekat dengan ibukota Republik Indonesia.
Batas wilayah Kabupaten Bogor, yaitu : Sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi dan Kota Depok; Sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang; Sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten dan di Tengah-tengah
terdapat Kota Bogor.
Ibukota Kabupaten Bogor terletak di Kota Cibinong yang dikukuhkan
menjadi ibukota berdasakan PP No. 6 Tahun 1982. Namun aktivitas Pemerintah
Daerah Kabupaten Bogor secara efektif operasional di Kota Cibinong yang
sebelumnya berada di Kotamadya Bogor, mulai awal tahun 1992 atau sepuluh
tahun setelah penetapan ibukota Cibinong.
Kota Cibinong sebagai pusat pertumbuhan baru dengan laju pertumbuhan
penduduk rata-rata 2,76 % per tahun dan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) rata-
rata 6,31 % per tahun. Kota Cibinong merupakan kawsan strategis karena
merupakan lalu lintas utama antara (buffer City) Kota Bogor dengan metropolitan
Jakarta. Di wilayah ini terdiri dari tiga kecamatan yakni Citeureup, Cibinong dan
Bojong Gede. Jalur lalu lintas yang melewati Kota Cibinong dapat dilalui jalan
Tol Jagorawi, Jalan Raya Jakarta-Bogor, Jalan Raya Baru-Parung-Tangerang-
47
-
Jakarta, Lintasan Kereta Listrik Jabotabek, dan Jalan Raya Bojong Gede-Depok-
Pasar Minggu (Bappeda Kabupaten Bogor,2006).
4.1.2. Administrasi Pemerintahan
Berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Kesejahteraan Sosial, pada tahun 2006 Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan,
yaitu : Cibinong, Jonggol, Cijeruk, Klapanunggal, Citeureup, Cariu, Caringin,
Cileungsi, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Gunung Putri, Dramaga, Jonggol,
Cijeruk, Ciomas, Pamijahan, Jasinga, Putat Nutug, Semplak, Taman Sari,
Leuwiliang, Parung Panjang, Rumpin, Sukaraja, Ciampea, Nanggung, Tenjo,
Rancabungur, Sukamakmur, Cibungbulang, Sukajaya, Gunungsindur, Sawangan,
Babakan Madang, Pamijahan, Cigudeg, Jasinga, Parung, Bojonggede, dan
Kedunghalang; 427 desa/kelurahan 3.516 RW dan 13.603 RT. Berdasarkan
klasifikasi daerah, yang di lihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan
penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 96 desa dan desa
pedesaan sebanyak 331 desa.
4.2. Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten Bogor
Untuk mencapai efektivitas pelaksanaan pembagunan di Kabupaten Bogor
mana pemerintah Kabupaten Bogor mengacu pada Visi yang tertuang dalam
Renstra Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008 yaitu : Tercapainya
Pelayanan Prima demi Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bogor yang Maju,
Mandiri Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa. Visi tersebut kemudian
dijabarkan secara konkrit kedalam Misi yaitu: (1) Melakukan Reformasi
48
-
Pelayanan Publik menuju Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance); (2)
Meningkatkan Profesionalisme Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah; (3) Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan; (4)
Menumbuhkembangkan Potensi Industri, Pertanian dan Pariwisata secara Optima
dan Lestari; (5) Meningkatkan Kualitas dan Menata Sarana, Prasarana dan
Infrastruktur Wilayah; (6) Memajuka Kehidupan Keagamaan dan Kondisi Sosial
Kemasyarakatan.
Pengukuran dan penilaian tingkat pencapaian visi dan misi tersebut selama
tahun 2003-2008 dirumuskan dalam tujuan dan sasaran serta strategi atau cara
mencapainya. Strategi atau cara mencapai tujuan dan sasaran yaitu dengan
menetapkan rumusan kebijakan dan program bagi masing-masing pernyataan misi
serta pengelompokkannya menurut bidang kewenangan dengan jumlah program
sebanyak 134 program serta mengaplikasikan secara berkelanjutan kedalam
APBD pada setiap tahun anggaran dengan mengacu kepada Kebijakan Umum
APBD menurut Kesepakatan dengan DPRD serta strategi dan prioritas APBD
pada setiap tahun anggaran yang berkenaan selama 5 (lima) tahun.
4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan
4.3.1. Laju Pertumbuhan Penduduk
Tingginya laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten
Bogor berdasarkan hasil Sensus Daerah tahun 2006 adalah sebanyak 4.215.585
jiwa, lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 yang
berjumlah 4.100.934 jiwa, berarti terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak
114.651 jiwa atau laju pertumbuhan penduduknya sekitar 2,80 persen. Bilamana
dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat yang mencapai
49
-
1,94% maka laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor relatif tinggi.
Kecamatan dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah Bojonggede (22,19 persen),
sementara yang terendah adalah Kecamatan Cariu (- 9,63 persen). Pada tahun
2008, kondisi yang diharapkan adalah terkendalinya pertumbuhan penduduk
melalui peningkatan jumlah peserta KB aktif sebanyak 66.932 akseptor serta
pembinaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga (Bappeda Kabupaten
Bogor,2006).
4.3.2. Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor masih tinggi. Tingkat
pengangguran terbuka menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang aktif
mencari kerja (belum bekerja/menganggur) terhadap jumlah seluruh angkatan
kerja. Jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 masih
relatif tinggi, yaitu mencapai 193.244 orang, sedangkan tingkat partisipasi
angkatan kerjanya (TPAK) baru mencapai 50,41 persen. Bila dibandingkan
dengan tahun 2005, angka tersebut sedikit mengalami penurunan, yaitu jumlah
pengangguran terbuka sebanyak 204.858 orang, dan tingkat partisipasi angkatan
kerjanya mencapai 50,66 persen.
Sampai awal tahun 2007, dari data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
menunjukkan bahwa jumlah pencari kerja adalah sebanyak 71.430 orang. Namun
jumlah lowongan kerja yang tersedia hanya sebanyak 4.503 orang. Dari jumlah
tersebut, hanya 3.931 orang tenaga kerja yang berhasil memperoleh penempatan
kerja, sehingga sisanya cenderung masuk dalam kegiatan ekonomi informal.
50
-
Dari hasil Sensus Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006, tingkat
pengangguran penduduk usia produktif dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga)
kategori, yaitu :
- Tingkat Pengangguran Tinggi (23.137 42.639 jiwa) terdapat pada
5 kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Cibungbulang,
Pamijahan, Sukaraja dan Sukamakmur;
- Tingkat Pengangguran Sedang (12.087 23.136 jiwa) terdapat
pada 20 kecamatan, yaitu Kecamatan Cigudeg, Jasinga, Rumpin,
Ciseeng, Parung, Kemang, Leuwisadeng, Ciampea, Dramaga,
Ciomas, Tenjolaya, Cigombong, Bojonggede, Cibinong, Citeureup,
Babakan Madang, Megamendung, Cisarua, Cileungsi dan Jonggol;
- Tingkat Pengangguran Rendah (1.928 12.086 jiwa) terdapat pada
15 kecamatan, yaitu Kecamatan Tenjo, Parungpanjang,
Gunungsindur, Tajurhalang, Rancabungur, Sukajaya, Leuwiliang,
Tamansari, Cijeruk, Caringin, Ciawi, Gunungputri, Klapanunggal,
Cariu dan Tanjungsari.
4.4. Perekonomian Kabupaten Bogor
Indikator makro perekonomian diukur dari PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto). Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa PDRB Kabupaten Bogor
untuk tahun 2002 harga konstan dan harga berlaku sebesar 22.401,08 miliar
rupiah dan 19.904,55 miliar rupiah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
51
-
hingga pada tahun 2006 PDRB Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku sebesar
44.792,69 miliar rupiah dan harga konstan sebesar 26.546,29 miliar rupiah.
Tabel 4.1. PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2002-2006
Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
(Juta Rp)
PDRB Atas Dasar
Harga Konstan
(Juta Rp)
Laju Pertumbuhan
PDRB Atas Dasar
Harga Berlaku
(%)
Laju Pertumbuhan
PDRB Atas Dasar
Harga Berlaku (%)
2002 22.401.084,80 19.904.550 11,55 4,43
2003 26.990.272,23 22.421.165,14 12,45 4,84
2004 30.684.780,53 23.671.429,23 13,69 5,58
2005 38.182.119.76 25.056.365,26 24,43 5,85
2006 44.792.697,65 26.546.286,24 17,31 5,95
Sumber: BPS (2006)
Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kabupaten Bogor berbeda-beda.
Pada tahun 2004, Kabupaten Bogor memiliki sektor-sektor kegiatan
perekonomian dominan dalam rangka memberikan kontribusi terhadap PDRB.
Kontribusi 9 Sektor lapangan usaha ini sangat menentukan laju pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Bogor (Tabel 4.1). Dari tabel tersebut terlihat sektor industri
pengolahan memiliki kontribusi yang terbesar yaitu sekitar 64 persen, disusul
sektor perdagangan, hotel, dan restoran sekitar 15 persen. Sedangkan sektor yang
memiliki kontribusi paling rendah adalah sektor pertambangan dan penggalian
yaitu sekitar 1 persen.
52
-
Tabel 4.2. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor Tahun 2006
Sektor Distribusi PDRB Atas
Dasar Harga Berlaku
(%)
Distribusi PDRB Atas
Dasar Harga Konstan
(%)
Pertanian 5,03 4,69
Pertambangan dan Penggalian 1,10 1,14
Industri Pengolahan 64,13 64,30
Listrik, Gas dan Air bersih 3,28 3,27
Bangunan 3,15 3,23
Perdagangan, Hotel dan
Restoran 15,22 15,48
Pengangkutan dan Komunikasi 2,85 2,90
Keuangan, Persewaan & jasa
perusahaan 1,59 1,48
Jasa-jasa 3,66 3,52
Total 100,00 100,00
Sumber: (BPS, 2006)
4.5. Sarana dan Prasarana Transportasi
Transportasi merupakan urat nadi Pembangunan Nasional untuk
melancarkan arus manusia barang maupun informasi sebagai penunjang
tercapainya pengalokasian sumber-sumber perekonomian secara optimal untuk itu
jasa transportasi harus cukup tersedia secara merata dan terjangkau daya beli
masyarakat. Makin meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan ekonomi, akan
meningkatkan jumlah kebutuhan transportasi. Prasarana transportasi darat berupa
jalan di Kabupaten Bogor meliputi jalan negara, jalan propinsi, jalan kota dan
jalan lingkungan (tabel 4.3).
53
-
Tabel 4.3. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kabupaten Bogor tahun 2006
Status Jalan
Keadaan Jalan Negara (km)
Jalan Propinsi
(km)
Jalan Kota (km)
Jumlah Jalan (km)
I. Jenis Permukaan a. diaspal b. kerikil c. tanah d. Tidak diperinci
72,44 0,00 0,00 0,00
172,74 0,00 0,00 0,00
1.352,24 136,86 12,21 6,20
1.597,43 136,86 12,21 6,20
Jumlah 72,44 172,24 1.507,52 1.752,70 II. Kondisi Jalan
a. Baik b. Sedang c. Rusak d. Rusak Berat
40,72 24,81 6,90 0,00
96,53 42,43 33,77 0,00
597,57 290,15 166,88 452,92
734,83 357,40 207,55 452,92
Jumlah 72,44 172,24 1.507,52 1.752,70 III. Kelas Jalan
a. Kelas I
Sumber: (BPS, 2006)
Jalan negara di Kabupaten Bogor dengan ruas jalan sepanjang 72,44 km
dan panjang jalan tersebut pada tahun 2006 dalam kondisi baik 40,72 km, kondisi
sedang 24,82, dan kondisi rusak 6,9 km. Jalan propinsi dengan ruas jalan
sepanjang 172,24 km dan panjang jalan tersebut pada tahun 2006 dalam kondisi
baik 96,53 km, kondisi sedang 42,43, dan kondisi rusak 33,77 km. Jalan kota
dengan ruas jalan sepanjang 1.507,52 km dan panjang jalan tersebut pada tahun
2006 dalam kondisi baik 597,750 km, kondisi sedang 290,150, dan kondisi rusak
166,880 km.
b. Kelas II c. Kelas III d. Kelas III A e. Kelas III B f. Kelas III C g. Kelas Tidak Dirinci
0,00 72,44 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00
172,74 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 52,25
1.456,27 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00
296,43 1.456,27
0,00 0,00 0,00 0,00
Jumlah 72,44 172,24 1.507,52 1.752,70
54
-
Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan transportasi di
Kabupaten Bogor adalah : (1) masalah pelayanan terhadap mobilitas masyarakat,
yaitu menyangkut kelancaran transportasi yang ditandai dengan adanya titik-titik
rawan kemacetan, (2) rendahnya kedisiplinan pengguna jalan, (3) kurangnya
terminal penumpang maupun barang, (4) terbatasnya rambu lalu lintas, (5)
masalah perparkiran, (6) lemahnya pengendalian beban tonase kendaraan, (7)
terbatasnya layanan angkutan umum pada kawasan terisolir/pusat
produksi/distribusi/koleksi, dan (8) belum optimalnya penanganan pos dan
telekomunikasi.
Untuk memenuhi kebutuhan terminal, telah dibangun terminal Cileungsi
pada tahun 2006 sehingga jumlah terminal di Kabupaten Bogor menjadi 5 unit,
yang dilengkapi dengan 4 sub terminal dan 14 pangkalan. Empat lokasi terminal
lainnya adalah di Cibinong, Jasinga, Laladon, dan Cigombong. Namun demikian,
operasionalisasi kelima terminal tersebut sampai dengan saat ini belum optimal.
Penataan trayek angkutan umum dilakukan melalui pemberian ijin
trayek sesuai dengan kuota. Dari tabel 4.4 terlihat bahwa jumlah realisasi
kendaraan trayek angkutan kota pada tahun 2007 secara keseluruhan sebesar 6142
kendaraan, Trayek yang memiliki angkutan jumlah nol dapat disebabkan beberapa
alasan, antara lain: (1) kurangnya minat pengusaha atau masyarakat untuk
investasi angkutan di daerah tersbut, (2) minimnya kegiatan ekonomi di wilayah
itu, (3) memang sengaja disiapkan pemda sebagai trayek perintis untuk menarik
investasi di wilayah itu. Jumlah trayek terbanyak tahun 2007 adalah trayek nomor
64 dengan jumlah kendaraan 541 kendaraan, kemudian trayek nomor 05.C dengan
jumlah 495 kendaraan, trayek nomor 33 dengan jumlah kendaraan 438 kendaraan,
55
-
trayek nomor 05.B dengan jumlah trayek 432 kendaraan, dan trayek nomor 46
dengan jumlah kendaraan 407 kendaraan. Untuk angkutan umum terhadap
kawasan terisolir/pusat produksi/distribusi/koleksi, telah digulirkan program
kuningisasi yang masih membutuhkan kesepakatan dengan instansi terkait
sehingga dapat mendorong proses legalisasi angkutan umum plat hitam menjadi
plat kuning.
56
-
57
-
58
-
59
-
60
-
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
RIA (Regulatory Impact Assessment) adalah metode yang secara
sistematis dan konsisten mengkaji pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan
pemerintah, mengomunikasikan informasi kepada para pengambil keputusan.
Pada dasarnya digunakan untuk menilai suatu regulasi dalam hal relevansi antara
kebutuhan masyarakat dan sasaran kebijakan, kebutuhan terhadap intervensi
pemerintah, efisiensi antara input dan output, efektivitas antara sasaran kebijakan
dan hasil, keberlanjutan antara kebutuhan masyarakat dan hasil sebelum
diterapkan atau diubahnya regulasi (Asian Development Bank, 2003).
Metode RIA memiliki 7 tahapan review regulasi yaitu: perumusan
masalah, identifikasi tujuan, identifikasi alternatif, analisis manfaat dan biaya,
komunikasi dengan stakeholders, penentuan opsi terbaik, perumusan strategi
implementasi kebijakan. Dalam penelitian ini tahap yang dilakukan dibatasi
sampai dengan tahap penentuan alternatif terbaik. Untuk itu pembahasan masing-
masing tahap akan diuraikan dalam sub bab sub bab berikut.
5.1. Identifikasi Masalah Perda Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Trayek
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih luas
kepada daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing. Hal ini diwujudkan
antara lain dalam bentuk keleluasaan daerah menyusun kebijakan dan peraturan
daerahnya. Namun ternyata di satu pihak kebijakan dan peraturan-peraturan
daerah tersebut diidentifikasi telah menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi,
61
-
sehingga tujuan awalnya untuk mengembangkan ekonomi daerah dan
menciptakan iklim usaha yang kondusif, malah yang terjadi justru sebaliknya.
Studi yang telah dilakukan KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah) , menilai kualitas perda sesuai dengan tingkat permasalahannya
terhadap 14 (empat belas) kriteria berikut yaitu : (1) relevansi acuan yuridis; (2)
Up-to-date acuan yuridis; (3) Kelengkapan yuridis formal; (4) Kesesuaian tujuan
perda dengan isi pasal-pasalnya; (5) Kejelasan obyek; (6) Kejelasan subyek; (7)
Kejelasan hak dan kewajiban subyek pungutan; (8) Kejelasan standar pelayanan:
prosedur, tarif, dan waktu; (9) Kesesuaian filosofi pungutan pajak dan retribusi;
(10) Hambatan pada lalu lintas perdagangan dalam negeri; (11). Persaingan sehat;
(12) Dampak ekonomi negatif (misal:adanya pungutan ganda); (13) Pelanggaran
akses ekonomi masyarakat dan kepentingan umum; (14) Pelanggaran kewenangan
tiap tingkat pemerintahan. Kriteria kriteria tersebut di atas digunakan KPPOD
untuk mengidentifikasi tingkat pelanggaran/permasalahan perda terhadap kriteria-
kriteria tersebut, yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok permasalahan
yaitu: (a) permasalahan teknisyuridis formal (kriteria 1-3); (b) permasalahan
substansial (kriteria 4-9) dan; (c) permasalahan prinsipil (10-14). Di luar perda-
perda yang bermasalah tersebut adalah perda yang tidak bermasalah.
Pada kasus Peraturan Daerah Nomor 28 tahun 1998 tentang retribusi izin
trayek terdapat acuan hukum yang sudah tidak relevan lagi, diantaranya adalah
UU nomor 18 tahun 1997 karena telah diberlakukan UU Nomor 34 tahun 2000
tentang Perubahan atas UU Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dengan berlakunya UU Nomor 34 Tahun 2000, maka PP
Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah yang menjadi acuan hukum
62
-
perda Nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek sudah tidak sesuai lagi
diganti menjadi PP Nomor 66 Tahun 2001.
Dalam kasus Perda Nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek
masalah substansi dan prinsipiil ini perlu dikaji mendalam dengan melakukan
konsultasi kepada para stakeholders yaitu pemerintah dan dunia usaha, dalam hal
ini adalah dinas perhubungan dan pengusaha angkot untuk mengetahui masalah-
masalah apa yang timbul dari implementasi perda ini. Lingkungan bisnis dan
ekonomi di Indonesia ditandai dengan persyaratan regulasi dan perizinan yang
tidak sedikit. Hal tersebut berimplikasi pada banyaknya kebijakan industri dan
perdagangan, maupun kebijakan di bidang lain seperti politik, sosial dan budaya,
terbukti menambah daftar panjang kebijakan yang tidak efektif dan efisien. Studi
kasus yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu Perda No.23 Tahun 1998 mengenai
Retribusi Izin Trayek menjadi salah satu contoh kebijakan yang dianggap
demikian. Oleh karena itu, perlu dianalisa permasalahan yang muncul sebagai
sebab dari inefektifitas dan inefisiensi Perda di atas.
Sesuai dengan metode penelitian yang akan ditempuh oleh penulis, salah
satu proses perolehan data dilakukan melalui wawancara langsung. Wawancara
secara langsung terhadap stakeholder dalam hal ini pemerintah, yaitu dengan
pihak Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, M.Sapharri yang bertindak sebagai
sekretaris Kepala Seksi Angkutan. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, didapati
empat akar permasalahan yang mengakibatkan Perda No. 23 tahun 1998
mengenai retribusi Izin Trayek dianggap inefisien dan inefektif. Pertama,
lemahnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam hal ini yaitu
pihak-pihak terkait (stakeholder), baik dari sisi pemerintah maupun pengusaha
63
-
angkutan umum di Kabupaten Bogor. Hal ini menjadi penting, karena terciptanya
keselarasan sebagai tujuan dibuatnya peraturan daerah tidak hanya
menguntungkan pihak-pihak terkait, tetapi juga turut melibatkan partisipasi
masyarakat luas. Kedua, minimnya sarana administrasi yang dapat digunakan
sebagai fasilitas atau wadah untuk mengkonsolidasikan kepentingan-kepentingan
pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas Perhubungan dengan pihak pengusaha
angkutan umum.
Ketiga, system reward dan punishment terhadap pengusaha angkot yang
mematuhi atau melanggar tidak diberlakukan secara bijak dan proporsional. Hal
ini mengakibatkan ketidakadilan dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru.
Keempat, kurangnya sosialisasi dan komunikasi yang baik yang terjalin antara
pihak pemerintah dan pengusaha angkutan umum, menurunkan inisiatif dari setiap
pihak untuk secara kooperatif dan aktif mensukseskan tujuan diberlakukannya
perda tersebut. Akibatnya, tidak jarang permasalahan yang terjadi cenderung
ditanggapi secara reaktif, bukan preventif dan proaktif.
Paparan empat sebab di atas, menurut Sekretaris kepala Seksi Angkutan
Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, Sapharri, merupakan akar permasalahan
dari tidak efisien dan efektifnya Perda No.28 tahun 1998 mengenai Retribusi Izin
Trayek. Oleh karena itu, perlu diadakan kajian ulang (review) yang secara
komprehensif dapat menjadi solusi pembedah masalah. Kajian ulang tersebut pula
yang diharapkan dapat mengurangi dampak-dampak buruk yang diakibatkan dari
semakin menumpuknya Perda/kebijakan serupa di Kabupaten Bogor.
Wawancara dengan stakeholder yang lain adalah dengan pihak pengusaha
angkutan yang dilakukan kepada 3 pengusaha angkutan di Kabupaten Bogor.
64
-
Hasil wawancara pengusaha-pengusaha tersebut hampir menunjukan hasil yang
identik, sehingga dapat disimpulkan bahwa hal yang dikemukakan memang sudah
umum terjadi. Hal yang menjadi perhatian utama oleh pihak pengusaha angkutan
adalah masalah kurangnya sosialisasi dan pengawasan terhadap implementasi
perda tentang retribusi izin trayek. Pengusaha angkutan mengeluhkan makin
banyaknya angkutan ilegal (angkot bodong) yang dapat dilihat dari jumlah
kendaraan angkutan yang melebihi j