ANALISIS PERWILAYAHAN PEMBANGUNAN DAN
INVESTASI DI PROVINSI BENGKULU
YANA TATIANA
NRP H162100151
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Analisis Perwilayahan
Pembangunan dan Investasi di Provinsi Bengkulu adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Yana Tatiana
NIM H-162100151
RINGKASAN
YANA TATIANA. Analisis Perwilayahan Pembangunan dan Investasi di
Provinsi Bengkulu. Ketua Komisi Pembimbing MUHAMMAD FIRDAUS,
HERMANTO J. SIREGAR DAN HIMAWAN HARIYOGA sebagai anggota
Komisi Pembimbing.
Provinsi Bengkulu adalah Provinsi yang ada di wilayah Indonesia Bagian
Barat tepatnya di pulau Sumatera. Provinsi ini mengalami ketertinggalan dalam
Pembangunan dibandingkan Provinsi lain di Pulau sumatera. Salah satu penyebab
ketertinggalan provinsi ini adalah karena rendahnya kemampuan pembiayaan
pembangunan yang berasal dari investasi. Minat investor di wilayah ini relatif
rendah. Share pertanian terhadap PDRB di Provinsi Bengkulu masih relatif besar
yaitu 38.34 persen, Hal ini menandakan masih belum berkembangnya
pertumbuhan ekonomi di Provinsi ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1). Kondisi di Provinsi Bengkulu dalam
kaitannya dengan struktur ekonomi, pola pertumbuhan dan penentuan sektor
unggulan, dalam kaitan antar wilayah. (2). Iklim investasi yang ada di Provinsi,
sekaligus perbaikan iklim investasi dalam kaitannya dengan usaha meningkatkan
daya tarik daerah. (3). Faktor-faktor penentu yang menjadi daya tarik investor
untuk menanamkan modalnya di Provinsi Bengkulu. (4). Sektor yang dapat
mendorong percerpatan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan usaha
peningkatan investasi. Penelitian. Metode untuk perkembangan pembangunan di
Provinsi Bengkulu dianalisis denga menggunakan Tipologi Klassen, Location
Quation (LQ), Shiftshare, dan Kapasitas Fiskal. Metode untuk model faktor
penentu iklim investasi menggunakan metode analisis regresi logistik. Metode
untuk model faktor penentu investasi dianalisis dengan menggunakan metode
regresi Panel. Variabel yang dipergunakan dalam analisis iklim investasi dengan
regresi logistik meliputi akses lahan, infrastruktur daerah, Perizinan, Peraturan
daerah, dan Biaya Transaksi. Analisis regresi logistic menggunakan data primer.
Data yang diperoleh berasal kuesioner yang disebarkan kepada 33 responden yaitu
PMA, PMDN dan usaha kecil yang ada di Propinsi Bengkulu. Variabel yang
dipergunakan dalam analisis investasi industry adalah Pendapatan Domestik
Regional Brutto (PDRB) perkapita, Infrastruktur jalan, infrastruktur listrik,
infrastruktur air bersih, share pertanian terhadap PDRB, dan share pertambangan
terhadap PDRB. Data yang dipergunakan dalam analisis regresi panel adalah data
sekunder periode 2010-2013 berasal dari Biro Pusat Statistik Provinsi Bengkulu,
Departemen perindustrian dan Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM).
Hasil analisis deskripsi menyatakan bahwa wilayah yang paling maju
pertumbuhannya adalah Kota Bengkulu, kabupaten Rejang Lebong, dan
Kabupaten Bengkulu Selatan. Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Selatan
telah meninggalkan peranan pertanian sebagai sektor basis dan beralih ke sektor
jasa dan transportasi. Sedangkan kabupaten Rejang Lebong pertumbuhan
ekonominya sangat didominasi oleh sektor pertanian khususnya pertanian
tanaman pangan dan holtikultura. Sektor ekonomi yang menjadi sektor basis
dihampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu meliputi sektor pertanian
dengan sub sektor tanaman pangan dan holtikultura, sektor pertambangan dan
sektor Konstruksi. Walaupun menjadi sektor basis, dari ketiga sektor tersebut
hanya sektor konstruksi yang pertumbuhan maju atau cepat, sedangkan sektor
lain pertumbuhannya relatif lambat dibandingkan dengan kondisi di Provinsi
Bengkulu. Hasil analisis data primer dengan mengunakan regresi logit
memberikan hasil secara signifikan adanya pengaruh yang signifikan antara akses
lahan, infrastruktur daerah, Perizinan, Peraturan daerah dan Biaya transaksi
terhadap iklim investasi di Provinsi Bengkulu (chi square 29.029 dengan P value
0.00). Sedangkan secara parsial yang tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
dari seluruh faktor tersebut, hanya faktor perizinan saja (P value 0.116). Diantara
seluruh faktor yang berpengaruh signifikan, faktor yang paling dominan
pergerakannya dalam mendorong iklim investasi adalah akses lahan. Sedangkan
faktor terlemah peranannya dalam menciptakan iklim investasi adalah Peraturan
Daerah. Berdasarkan hasil tabulasi data diketahui bahwa kondisi akses lahan,
infrastruktur daerah, perizinan, Peraturan daerah dan Biaya transaksi masih belum
memadai. Hasil analis data sekunder dengan menggunakan analisis Regresi panel
untuk mengetahui faktor penentu investasi industry total, industry pertanian, dan
bukan pertanian memberikan hasil analisis adanya pengaruh yang signifikan
antara PDRB perkapita, Infrastruktur jalan, pangsa pertanian pada PDRB, dan
pangsa pertambangan pada PDRB terhadap investasi industri pertanian. Investasi
industry bukan pertanian di Provinsi Bengkulu hanya dipengaruhi oleh kualitas
tenaga kerja terdidik. Sedangkan hasil analisis faktor yang menentukan investasi
industri total adalah PDRB, infrastruktur jalan, pangsa pertanian terhadap PDRB
dan pangsa Pertambangan terhadap PDRB.
Kata Kunci :Investasi wilayah, sektor basis, iklim investasi, Provinsi
Bengkulu.
SUMMARY
YANA TATIANA.Analysis on Zoning Development and Investment in the
Province of Bengkulu. Chairman of the supervising commission MUHAMMAD
FIRDAUS, HERMANTO J. SIREGAR AND HIMAWAN HARIYOGA as a
member of the supervising commission.
Bengkulu is a province in Western Indonesia precisely on the island of
Sumatra. The province is lagging behind in development compared to other
provinces in Sumatra Island. One cause of this provincial backwardness is due to
low capability in development financing which originated from the investment.
Investor interest in the region is relatively low. Share of agriculture to the PDRB
(GDP) in the Province of Bengkulu is still relatively large of 38.34 percent. This
indicates that the economic growth in this province is still undeveloped.
The aims of this study were: (1). The conditions in Bengkulu Province in
relation to the economic structure, growth patterns, and the determination of the
leading sector, in terms of inter-regional; (2). The investment climate in the
province, as well as improving the investment climate in relation to the effort to
improve the attractiveness of the area; (3). The determining factors which were
the main attraction of investors to invest in the Province of Bengkulu; (4). The
sectors that can accelerate economic growth in relation with efforts to increase
investment. Research. Methods for development progress in Bengkulu Province
were analyzed using Klassen Typology, Location quation (LQ), Shiftshare, and
Fiscal Capacity. Methods to model the determinants of the investment climate
used Logistic Regression analysis. Method to model the determinants of
investment was analyzed using Panel Regression Method. Variables that used in
the analysis of the investment climate by Logistic Regression included access to
land, local infrastructure, licensing, local regulations, and transaction fees.
Logistic Regression analysis used primary data. The data were obtained from
questionnaires which distributed to 33 respondents, i.e.: PMA, PMDN, and
existing small businesses in the Province of Bengkulu. The variables used in the
analysis of industrial investment were the Gross Regional Domestic Product
(GDP/PDRB) per capita, road infrastructure, electricity infrastructure, clean water
infrastructure, the share of agriculture towards PDRB, and the share of mining
towards PDRB. The data used in the Panel Regression analysis were secondary
data in the periode of 2010-2013 that originated from Central Bureau of Statistics
Bengkulu Province, the Ministry of Industry and Trade, and Capital Investment
Coordinating Board (BKPM).
The results of the description analysis stated that the most advanced regions
growth were the City of Bengkulu, The District of Rejang Lebong, and The
District of South Bengkulu. The City of Bengkulu and The District of South
Bengkulu had left the role of agriculture as a sector basis and switched to the
service sector and transport, while economic growth in The District of Rejang
Lebong was dominated by the agricultural sector, especially food crops and
horticulture. Economic sector which was a sector basis in almost all districts/city
in the Province of Bengkulu include the agricultural sector with the sub-sector of
food crops and horticulture, mining and construction sectors. Despite being a
sector basis, of these three sectors, only the construction sector which grow
rapidly, whereas the other sectors, the growth was relatively slow compared to the
conditions in the Province of Bengkulu. The results of the primary data analysis
using Logistic Regression showed that there was a significant influence between
access to land, local infrastructure, licensing, local regulations, and transaction fee
towards the investment climate in the Province of Bengkulu (chi-square 29.029
with P-value 0.00). Partially, a factor which did not have a significant influence
on all of these factors was only licensing factor (P-value 0.116). Among all the
factors that had a significant influence, the most dominant factor in encouraging
investment climate was access to land, while the weakest factor role in creating
the investment climate was local regulations. Based on the results of Tabulation,
known that the conditions of access to land, local infrastructure, licensing, local
regulations, and transaction fees were still inadequate. The results of secondary
data analysts using Panel Regression analysis to know the determinants factors of
the total industrial investment, the agricultural industry, and the non-agricultural
industry, provides the results of the analysis that there were a significant influence
between PDRB per capita, road infrastructure, the share of agriculture in PDRB,
and the share of mining in PDRB towards the investment of agricultural industry.
Non-agricultural industrial investment in the Province of Bengkulu only
influenced by the quality of educated labor, while the analysis results of the
factors that determine the total industrial investment were PDRB, road
infrastructure, the share of agriculture towards PDRB, and the share of mining
towards PDRB.
Key Words : Regional investment, Base sector, Climate Investment,
Bengkulu Province.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
ANALISIS PERWILAYAHAN PEMBANGUNAN DAN
INVESTASI DI PROVINSI BENGKULU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
YANA TATIANA
NRP H162100151
2
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc,
Ph.D
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Penguji pada Sidang Promosi :1. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc,
Ph.D
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S
------
-- __ - ------ -------- ----
Judul Disertasi : Analisis Perwilayahan Pembangunan dan Investasi di Provinsi Bengkulu
Nama NRP
: Y ana Tatiana : Hl62100151
Program Studi llmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Muhamma
tl f
0
~'5?Jtf Dr Ir Himawan Hariyoga, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi llmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
,
~· Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian: Ujian Tertutup 31 Juli 2015 Sidang Promosi 25 Agustus 2015
Tanggal Lulus: ") 1 A i ' r'l ,.. .u 1"1 .J
4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
Analisis Perwilayahan Pembangunan dan Investasi di Provinsi Bengkulu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Muhammad Firdaus, SP,
M.Si, Ph.D, Prof Dr Ir Hermanto J. Siregar M.Ec dan Bapak Dr Ir Himawan
Hariyoga M.Sc, selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan
dan saran dalam penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan
juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. selalu
Ketua Program Studi dan Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr. Selaku sekretaris
program studi.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak Ir. Deddy S.
Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc, Ph.D dan Prof Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
atas waktu dan masukan-masukan serta koreksinya sejak ujian tertutup hingga
sidang Promosi.
Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor
Universitas Azzahra Bapak Drs. Syamsu A. Makka, Dekan Fakultas Ekonomi,
Bapak Dr. Tamrin Lanori, SE, M.Si. yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor pada Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB. Bapak Drs. Khairil
Anwar M.Si dari Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu, Bapak Merwan Tabrani,
SE Kepala Bidang Pendapatan Dinas Pendapatan pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah (DPPKAD), Tommy Irawan, SE, M.Si Biro Pengelolaan Keuangan
Sekretariat Daerah Provinsi Bengkulu, Bapak Pauzan. S.Sos, M.Si Dinas
Pertanian Bapak Hendarsyah, S.I.P M.Si Kepala Bagian Humas dan Protokol
Provinsi Bengkulu, Bapak Agung Tridjatmiko, SH Dinas Kehutanan Provinsi
Bengkulu . Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tuaku Tamran
Sahar dan Zurniar, Suamiku Ahmad Najamudin, anak-anakku Tegar dan
Gemilang Muhammad Perkasa, keluarga besarku dan teman-teman PWD 2010,
atas segala doa, Pengertian , dan bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Yana Tatiana
i
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………
DAFTAR TABEL ………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………
BAB I. PENDAHULUAN\
1.1. Latar Belakang ………………………………………………….
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………….
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………..
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………………
1.5. Ruang lingkup Penelitian ………………………………………..
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Ekonomi wilayah….………………………………………
2.2. Wilayah …………………………………………………………
2.3. Pembangunan ……………………………………………………
2.4. Teori Pembangunan Daerah ……………………………………
2.5. Pertumbuhan ekonomi …………………………………………
2.6. Investasi………………………………………………………….
2.7. Iklim Investasi …………………………………………………
2.8. Infrastruktur ……………………………………………………..
2.9. PDRB ……………………………………………………………..
2.10 Penelitian Terdahulu …………………………………………….
2.11. Kerangka Pemikiran ……………………………………………..
2.12. Hipotesis …………………………………………………………
2.13. Kebaruan …………………………………………………………
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian …………………………………………………
3.2. Metode Analisis …………………………………………….……
3.3. Data dan metode Pengumpulan data ………………….…………
3.4. Populasi dan sampel ………………………………………..……
3.5. Definisi Operasional……………………………………,,,………
3.6. Metode Pengolahan data………………………………………..
BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI BENGKULU
4.1. Perkembangan struktur ekonomi
4.2. Perwilayahan Pembangunan
BAB V. IKLIM INVESTASI…………………………………………….
5.1. Rekapitulasi data primer ………………………………………….
5.1.1. Akses lahan………………………………………………………..
5.1.2. Infrastruktur Daerah………………………………………………
5.1.3. Perizinan……………………………………………………………
5.1.4. Peraturan Daerah…………………………………………………..
i
ii
iii
1
1
4
9
9
9
10
10
11
13
14
17
20
25
27
28
28
30
33
33
34
34
35
35
36
37
38
45
46
65
67
68
68
69
71
73
ii
ii
5.1.5. Biaya transaksi………………………………………………………
5.2. Hasil analisis faktor penentu iklim investasi di Provinsi Bengkulu..
BAB VI. FAKTOR PENENTU INVESTASI…………………………
6.1. Hasil ananalisis faktor penentu investasi industri pertanian di
Provinsi Bengkulu…………………………………………………..
6.2. Analisis faktor penentu investasi industri bukan pertanian di
Provinsi Bengkulu……………………………………………..
6.3. Hasil analisis faktor penentu invertasi industri di Provinsi
Bengkulu…………………………………………………………….
6.4. Implikasi kebijakan ……...…………………………………………
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan……………………………………………………………..
7.2. Saran………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
74
77
81
83
87
88
90
95
95
95
iii
iii
DAFTAR TABEL
1 Pemeringkatan ikim usaha ……………………………........ 7
2 Jumlah PMA dan PMDN di Provinsi Bengkulu periode
2009-2010…………………………………………………
8
3 Penelitian Terdahulu………………………………………... 28
4 Penentuan Nilai Skore ……………………………………... 36
5 Jumlah Usaha besar Swasta dan BUMD……………. 37
6 Populasi dan sampel………………………………………... 37
7 Variabel model Regresi logit……………………………….. 42
8 Variabel model Regresi Panel………………………………. 44
9
10
Kabupaten induk dan pemekaran……………………………
Kultur, Kendala masyarakat wilayah kabupaten/kota……....
45
52
11 Hasil analisis sektor basis dan pertumbuhan sektoral………. 56
12
13
Tipologi Klassen sektor perekonomian seluruh
kabupaten/kota………………………………………………
Peta Kapasitas fiscal………………………………………...
60
64
14 Uji validitas dan reliabilitas……………………………....... 67
15 Kendala dalam aktivitas investasi………………………….. 76
16 Hasil analisis iklim investasi………………………………. 78
17 Realisasi investasi PMA dan PMDN ……………………… 82
18
19
20
Faktor penentu investasi industri pertanian……………….
Faktor penentu investasi industri bukan pertanian……….
Faktor penentuan investasi industri………………………..
83
87
88
iv
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 PDRB provinsi se-Indonesia……………………………………. 1
2 Share sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan
jasa seluruh provinsi di Indonesia…………………………….
2
3 PDRB kabupaten/kota…………………………………………... 5
4 PDRB berdasarkan penggunaan………………………………... 6
5 Ekspor batubara dan cangkang sawit………………………….. 6
6 Konsep wilayah………………………………………………… 12
7 Output, konsumsi dan investasi………………………………… 22
8
9
Kaitan investasi pemerintah dan swasta………………………..
Kerangka Pemikiran……………………………………………
24
32
10 Peta administrasi ………………………………………………. 34
11 Model analisis shiftshare……………………………………….. 40
12 Laju pertumbuhan seluruh kabupaten/kota di Bengkulu………. 47
13
14
15
PDRB perkapita seluruh kabupaten/kota………………………
Sebaran PDRB perkapita seluruh provinsi se-Indonesia……..
Tipolologi kLassen kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu……
48
48
49
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sebaran tingkat PDRB dan jumlah penduduk seluruh
kabupaten/kota…………………………………………………
Persentase penduduk berusaha 15 tahun keatas bekerja menurut
lapangan usaha………………………………………………….
Derajat desentralisasi fiscal seluruh kabupaten/kota……………
PAD dan tingkat kemiskinan……………………………………
Opini investor tentang akses lahan……………………………..
Opini investor tentang infrastruktur daerah ….……………….
Kualitas infrastruktrur jalan……………………………………..
Opini investor tentang perizinan ….……………………………
Opini investor tentang Peraturan daerah ….…………………..
Opini investor tentang biaya transaksi ….…………………….
50
51
63
64
68
70
69
72
74
75
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Reformasi sistem pemerintahan yang terjadi saat ini telah memberikan
angin segar bagi perubahan kebijakan pembangunan wilayah terutama kebijakan
pembangunan daerah. Reformasi ini menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi
pembangunan daerah dari pembangunan yang berorientasi sektoral menuju
pengembangan wilayah. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah
memandang pentingnya keterpaduan intersektoral, interspasial, serta antar pelaku
pembangunan di dalam dan antar daerah.
Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan yang berkesinambungan
selaras dengan intensitas dan aktifitas masyarakat dan Pemerintah. Pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi daerah.
Keberhasilan pembangunan menuntut penyediaan sumber daya yang
memadai. Kondisi pembangunan suatu wilayah dengan keterbatasan sumber daya
mengakibatkan harus difokuskannya pembangunan pada sektor-sektor yang
memberikan dampak pengganda (multiplier effect) besar terhadap sektor-sektor
lainnya atau perekonomian secara keseluruhan. Penentuan sektor prioritas
pembangunan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan
efektifitas dan efisiensi pembangunan yang berbasis pembangunan wilayah
(Ramdani, 2003).
Pengejaran pertumbuhan merupakan tema sentral dalam kehidupan
ekonomi daerah/wilayah, tidak terkecuali Provinsi Bengkulu. Provinsi Bengkulu
di tingkat nasional memiliki tingkat Pendapatan Domestik Regional Brutto
(PDRB) pada peringkat 5 terbawah setelah Provinsi Gorontalo, Maluku Utara,
Maluku, dan Sulawesi Barat. Diantara Provinsi se- sumatera, Bengkulu memiliki
tingkat PDRB dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terendah (Gambar1)
Sumber : Statistik Indonesia 2014
Gambar 1 PDRB atas dasar harga konstan Provinsi se-Indonesia tahun 2013
(milyar rupiah)
0,00
200000,00
400000,00
600000,00
800000,00
1000000,00
1200000,00
1400000,00
Ace
hSu
mu
tSu
mb
arR
iau
Ke
pR
iJa
mb
iSu
mse
lB
abe
lB
engk
ulu
Lam
pu
ng
DK
I Jkt
Jab
arB
ante
nJa
ten
gD
IYJa
tim
Bal
iK
alb
arK
alTe
ng
Kal
sel
Kal
tim
Sulu
tG
oro
nta
loSu
lten
gSu
lsel
Sulb
arSu
ltra
NTB
NTT
Mal
uku
Mal
uta
raP
apu
aP
apu
a B
arat
2
PDRB adalah salah satu indikator keberhasilan pembangunan di suatu
wilayah. Rendahnya tingkat PDRB Provinsi Bengkulu dibandingkan provinsi lain
di Indonesia mengindikasikan masih tertinggalnya proses Pembangunan di
Provinsi Bengkulu.
Proses pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan perubahan struktural
dan sektoral yang tinggi mencakup pergeseran secara perlahan-lahan dari aktivitas
pertanian ke sektor non pertanian dan dari sektor industri ke sektor jasa (Todaro
2000:122). Proses pertumbuhan ekonomi di wilayah yang sedang berkembang
akan tercermin dari pergeseran sektor ekonominya, yaitu peran sektor pertanian
dalam PDB atau PDRB akan mengalami penurunan, sedangkan peran sektor non
pertanian akan meningkat. Beberapa provinsi yang telah lebih maju
perekonomiannya memiliki share pertanian yang rendah, sedangkan share dari
sektor industri pengolahan terus meningkat. (gambar 2)
Sumber : Statistik Indonesia 2014
Gambar 2 Share sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan dan jasa
seluruh provinsi di Indonesia tahun 2013 (persen)
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa diantara seluruh provinsi yang ada
di Indonesia, provinsi Maluku Utara, Maluku, Gorontalo, Sulawesi Barat dan
Bengkulu memiliki tingkat PDRB terendah. Kelima provinsi ini memiliki
kesamaan yaitu share pertanian pada PDRB yang relatif besar melebihi sektor
lain. (gambar 2).
Hal berbeda terjadi di provinsi yang memiliki tingkat PDRB tertinggi yaitu
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Riau.
Kelima Provinsi ini memiliki share pertanian yang relatif rendah dibanding
provinsi lain yang ada di Indonesia dan share pertaniannya pun lebih rendah
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
Ace
h
Sum
ut
Sum
bar
Ria
u
Ke
pR
i
Jam
bi
Sum
sel
Bab
el
Ben
gku
lu
Lam
pu
ng
DK
I Jkt
Jab
ar
Ban
ten
Jate
ng
DIY
Jati
m
Bal
i
Kal
bar
Kal
Ten
g
Kal
sel
Kal
tim
Sulu
t
Go
ron
talo
Sult
eng
Suls
el
Sulb
ar
Sult
ra
NTB
NTT
Mal
uku
Mal
uta
ra
Pap
ua
Pap
ua
Bar
at
Jasa Industri Pengolahan Pertambangan Pertanian
3
dibandingkan share industri pengolahan pada PDRB (gambar 2). Atas dasar itu
dapat dinyatakan bahwa salah satu cara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
adalah dengan melakukan perubahan struktur ekonomi dari dominasi sektor
pertanian menjadi industri pengolahan. Aktivitas industri pengolahan lebih
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan sektor
pertanian, khususnya pertanian tradisional.
Provinsi Sumatera Utara dan Riau adalah dua Provinsi di Sumatera yang
memiliki peringkat PDRB tertinggi. Share pertanian di kedua provinsi ini relatif
besar mencapai 20 persen. Selain pertanian, share sektor pertambangan dan
industri pengolahan pun di kedua provinsi ini relatif tinggi mencapai 20 persen.
Keunggulan di sektor primer juga diikuti keunggulan lain yaitu infrastruktur yang
berkualitas dan posisi strategis yaitu berada di jalur lintas utama Pulau Sumatera.
Adapun kondisi yang terjadi di Provinsi Bengkulu adalah kualitas infrastruktur
jalan, bandara maupun pelabuhan yang kurang memadai dan terbatasnya jalur
transportasi. Hasil pemetaan wilayah yang dilakukan oleh Master Plan
Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) memperlihatkan bahwa
letak Provinsi Bengkulu relatif terisolir dibandingkan Provinsi lain yang ada di
Pulau Sumatera yaitu tidak berada di jalur lintasan utama.
Keberhasilan pembangunan, membutuhkan dukungan modal fisik maupun
non fisik. Modal pembangunan tersebut dapat bersumber dari tabungan
masyarakat, investasi pemerintah maupun swasta, pinjaman dari dalam dan luar
negeri, maupun hibah. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan terjadi jika
didukung oleh pertumbuhan investasi. Usaha untuk meningkatkan investasi
bukanlah hal yang mudah. Persaingan antar daerah yang semakin tajam dalam
menarik investasi menuntut kemampuan Pemerintah Daerah untuk
mempersiapkan daerahnya sehingga mampu menarik investasi ke daerahnya.
Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tarik investasinya sangat
tergantung dari kebijakan yang berkaitan dengan investasi, Selain itu kemampuan
daerah untuk menentukan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai alat ukur
daya saing perekonomian daerah relative terhadap daerah lainnya juga penting
terkait dengan pengembangan sumberdaya manusia dan infrastruktur fisik dalam
upaya meningkatkan daya tariknya dan memenangkan persaingan (KPPOD,
2003).
Peningkatan daya saing daerah adalah salah satu faktor pengembangan
(ekonomi) wilayah. Pelaksanaan pengembangan wilayah yang disesuaikan
dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi menjadikan Pemerintah
Daerah mempunyai wewenang penuh dalam mengembangkan kelembagaan
pengelolaan ekonomi di daerah, sumberdaya manusia, dan iklim usaha yang dapat
menarik modal dan investasi, peran aktif swasta dan masyarakat melalui
koordinasi secara terus menerus dengan seluruh stakeholder pembangunan baik di
daerah maupun pusat. Pemerintah Daerah berperan sebagai fasilitator dan
katalisator bagi tumbuhnya minat investasi di wilayahnya.
Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah mencapai
pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap
terbuka pada persaingan tingkat domestik maupun internasional. Berdasarkan
Laporan akhir pengkinian Buku profil dan Pemetaan Daya saing Ekonomi
Daerah Kabupaten Kota di Indonesia tahun 2012 dinyatakan bahwa hal utama
yang mengakibatkan rendahnya daya saing daerah adalah basis perekonomiannya
4
yang masih sangat tergantung pada sektor primer, belanja pelayanan publik yang
cukup besar, kondisi geografis yang kurang menguntungkan dan kurang menarik
minat dunia usaha.
Rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bengkulu
dibandingkan Provinsi-Provinsi lain yang ada di Indonesia, mengindikasikan
perlunya kebijakan Pemerintah yang mampu menciptakan iklim usaha yang
dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi untuk melakukan aktivitasnya.
1.2. Rumusan Masalah
Bengkulu merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang dibentuk
Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1968. Terletak di sebelah barat
pegunungan Bukit Barisan dengan luas wilayah ± 1.978.870 Ha atau 19.788,7
Km2. Wilayah bagian timur dari Provinsi ini berbukit-bukit dengan dataran tinggi
yang subur sedangkan bagian barat merupakan dataran rendah yang relatif
sempit, memanjang dari utara ke selatan. Kondisi wilayah mempengaruhi pola
pendapatan dari masyarakat. Penduduk Provinsi Bengkulu beraglomerasi
disekitar daerah bagian tengah dan pantai Barat sepanjang Provinsi, sementara
bagian pedalaman merupakan kelompok-kelompok kecil dan terpencar-pencar.
Fenomena kebijakan pembangunan saat ini adalah menentukan daerah-
daerah yang memiliki keunggulan wilayah sebagai pusat pertumbuhan. Kebijakan
ini disatu sisi dapat mendorong percepatan pembangunan wilayah, tetapi disisi
lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu terserapnya sumberdaya
pembangunan ke daerah pusat pertumbuhan akibatnya kegiatan ekonomi
terkonsetrasi di daerah perkotaan sehingga trickle down effect yang diharapkan
menjadi tidak tercipta.
Provinsi Bengkulu terdiri dari 9 (sembilan) kabupaten dan 1(satu) kota.
Diantara seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bengkulu, Kota Bengkulu
dan Kabupaten Rejang Lebong memiliki tingkat PDRB tertinggi. Aktivitas
perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi juga terjadi di kota Bengkulu. Laju pertumbuhan yang melampaui
kabupaten lain disebabkan oleh keunggulan di sektor perdagangan, hotel dan
restoran serta jasa. Tingginya PDRB di Kota Bengkulu dapat diasumsikan
terpusatnya aktivitas ekonomi di wilayah ini. Dengan kata lain, Kota Bengkulu
menjadi pusat pertumbuhan. Sedangkan wilayah lain hanya menjadi wilayah
penyangga. Sektor perekonomian di Provinsi ini sangat didominasi oleh pertanian
dan perdagangan. Share pertanian masih sangat dominan peranannya di seluruh
kabupaten, hanya Kota Bengkulu yang memiliki share pertanian pada PDRB lebih
kecil daripada sektor perdagangan.
Adapun sebaran PDRB se-Provinsi Bengkulu adalah sebagai berikut :
5
Sumber : Bengkulu dalam Angka 2013
Gambar 3 PDRB atas dasar harga konstan seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi
Bengkulu (juta rupiah)
Kota Bengkulu sebagai pusat pertumbuhan di Provinsi Bengkulu
digerakkan oleh sektor perdagangan, hotel dan jasa. Sehingga dapat dikatakan
kota Bengkulu bergerak sebagai kota jasa. Kabupaten Rejang Lebong selain
penggerak utama perekonomian wilayahnya adalah sektor pertanian, juga
memiliki share perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB yang relatif besar
dibandingkan kabupaten lain. Dengan demikian dapat dinyatakan sektor
pertanian juga dapat menjadi pendorong pertumbuhan jika didukung oleh
aktivitas perdagangan dan jasa.
Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator keberhasilan
pembangunan. Pertumbuhan ekonomi wilayah didasari oleh Pendapatan Domestik
Regional Brutto (PDRB). Jika dilakukan penghitungan PDRB atas dasar
penggunaan yang meliputi konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga, konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap brutto, inventori stock dan ekspor netto.
Kondisi yang terjadi di propinsi Bengkulu adalah dominasi konsumsi rumah
tangga sedangkan pembentukan modal tetap brutto (PMTB) relatif rendah.
Sedangkan secara teori, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan stabil
dan berkelanjutan jika komponen utama pendorong pembangunan adalah
investasi. Selain didominasi konsumsi rumah tangga, ekspor pun memiliki
peranan yang relatif besar. Kontribusi ekspor terhadap PDRB Provinsi Bengkulu
relatif tinggi dibandingkan pengeluaran lain, walaupun masih tetap dibawah
pengeluaran konsumsi rumah tangga (gambar 4).
0,00
1000000,00
2000000,00
3000000,00
4000000,00
5000000,00
6000000,00
7000000,00
8000000,00
Seluma BS Kota BT Kphg RL LBG KAUR BU Muko
Jasa-jasa Keuangan, Real estate, dan Jasa PerusahaanPengangkutan dan Komunikasi Perdagangan, hotel dan restoranBangunan Listrik, gas dan air bersihIndustri Pengolahan Pertambangan dan Penggalian
6
Sumber : Bengkulu dalam angka 2013
Gambar 4 PDRB (ADHK) Provinsi Bengkulu berdasarkan penggunaan (juta
rupiah).
Tingkat ekspor di provinsi ini relatif meningkat dalam rentang waktu 2010-2012.
Walaupun aktivitas impornya pun mengalami kenaikan. Aktivitas ekspor di
Provinsi Bengkulu ini masih sangat didominasi oleh Batubara sedangkan ekspor
komoditi lain seperti karet dan cangkang sawit belum menonjol.
Sumber : Bengkulu dalam Angka 2014
Gambar 5 Ekspor Batubara dan cangkang sawit Provinsi Bengkulu
Aktivitas ekspor di Provinsi Bengkulu masih didominasi oleh ekspor antar
propinsi yaitu mencapai 69 persen sedangkan ekspor antar Negara baru mencapai
31 persen. Aktivitas impor pun didominasi impor antar provinsi mencapai 99
persen. Selama tahun 2010-2013 terlihat bahwa aktivitas ekspor dan impor terus
mengalami kenaikan. Kenaikan ekspor merupakan aktivitas positif dalam
meningkatkan pendapatan daerah, tetapi kenaikan impor merupakan aktivitas
negatif, sehingga dibutuhkan kebijakan dan pemahaman atas peningkatan impor
tersebut.
Peningkatan nilai impor ini sejalan dengan nilai inventori stock yang
negatif. Inventori stok disini diartikan sebagai persediaan hasil produksi di suatu
wilayah sebagai kelebihan konsumsi masyarakat. Inventori stock negatif dapat
diartikan belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas produksi lokal sehingga
-10000000
1000000200000030000004000000500000060000007000000
Konsumsi RT KonsumsiNirlaba
KonsumsiPemerintah
PembentukanModal
Perubahanstock
Ekspor Impor
2010 2011 2012
96%
4%
96%
4%
Eksport
Eksport
7
masih dibutuhkan impor dari provinsi lain. Untuk mengatasi masalah kurangnya
penyediaan kebutuhan masyarakat maka dibutuhkan investasi yang mampu
mendorong usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat misalnya melalui industri
pengolahan bahan makanan dan kebutuhan non makanan.
Aktivitas investasi di suatu wilayah tidak terlepas dari iklim investasi yang
ada di wilayah tersebut. Berdasarkan pemeringkatan iklim investasi dan
pelayanan penanaman modal pada 33 Provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Provinsi Bengkulu masuk di peringkat 3
(tiga) terbawah setelah Papua barat dan Sulawesi Tenggara. Rendahnya peringkat
iklim investasi dan penanaman modal di Provinsi Bengkulu meningindikasikan
rendahnya fasilitas infrastruktur, akses lahan yang kurang mendukung dan
keamanan berusaha yang belum terjamin. Kurang baiknya iklim investasi secara
simultan membuat kinerja ekonomi daerah yang kurang maksimal dan sulit
merangsang keterlibatan swasta sehingga perekonomian daerah relatif kurang.
Kondisi kelembagaan penanaman modal di Provinsi Bengkulu
berdasarkan laporan dari KPPOD dinyatakan menempati urutan terbawah diantara
33 (tiga puluh tiga) provinsi di Indonesia. Rendahnya penilaian terindikasi oleh
rendahnya upaya yang dilakukan pemerintah Provinsi untuk mempercepat proses
perizinan dan persetujuan investasi sehingga realisasinya menjadi kurang
maksimal. Pemerintah Provinsi Bengkulu dianggap tidak optimal dalam
mengupayakan percepatan proses perizinan di tingkat Provinsi dan upaya
pemerintah provinsi dalam berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten atau kota
dalam percepatan proses perizinan dan investasi di tingkat kabupaten dirasakan
kurang dan tidak optimal.
Buruknya kondisi iklim investasi dan kelembagaan penanaman modal
semakin diperparah dengan data dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang
menyatakan Bengkulu berada pada urutan dua terbawah dalam mempromosikan
investasi daerahnya. Berada di urutan bawah dalam penilaian aktivitas promosi
daerah karena Pemerintah daerah dianggap tidak mampu memetakan potensi
investasi daerah atau kalaupun ada data tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan
dari para pelaku usaha /investor (Tabel 1)
Tabel 1 Pemeringkatan iklim usaha Provinsi Bengkulu Tahun 2008 dalam skala
nasional
Indeks Peringkat Skor
Keseluruhan iklim investasi daerah
Kelembagaan pelayanan penanaman modal
Promosi investasi daerah
31
33
32
50,18
43,98
35,50
Sumber : KPPOD dan BKPM tahun 2008
Untuk tingkat kabupaten, Kabupaten Seluma, Kepahiang, Lebong, Kaur,
Bengkulu Tengah adalah lima dari sepuluh kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu
yang berdasarkan Laporan Akhir Pengkinian Buku Profil dan Pemetaan Daya
Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2012 berada pada
sepuluh persen peringkat terbawah Daya saing Daerah Kabupaten/kota. Kondisi
8
ini erat kaitanya dengan usaha meningkatkan potensi investasi wilayah yang
berujung pada tujuan pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan
keberlanjutan.
Akibat dari buruknya iklim investasi yang ada di Provinsi Bengkulu
mengakibatkan jumlah proyek penanaman modal dalam negeri dan asing yang
telah disetujui Pemerintah menurut lokasi di Bengkulu dari tahun 2009 sampai
dengan 2013 terlihat sangat rendah. Proyek penanaman modal dalam negeri
(PMDN) hanya 8 (delapan) dengan modal yang ditanamkan sebesar Rp 170749.7
juta sedangkan penanaman Modal Asing (PMA) sebanyak 70 proyek dengan
modal yang ditanamkan sebesar 121938.1 USD ribu.
Aktivitas penanaman modal asing di Provinsi Bengkulu didominasi oleh
sektor industri makanan dengan bidang usaha minyak kelapa sawit (crude palm
oil), sektor perkebunan dengan bidang usaha perkebunan kelapa sawit, kopi dan
karet berikut pengolahan hasil perkebunan, dan sektor pertambangan dengan
bidang usaha pertambangan umum dan gas alam. Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) didominasi oleh sektor tanaman pangan dan perkebunan dengan
bidang usaha perkebunan kelapa sawit dan industri makanan dengan bidang
usaha industri minyak kasar dari nabati dan industri minyak goreng. Adapun
rekapitulasi aktivitas PMA dan PMDN di Provinsi Bengkulu terlihat pada Tabel
2 berikut ini :
Tabel 2 Jumlah PMA dan PMDN di Provinsi Bengkulu periode 2009-2013 No Lokasi PMA PMDN
Jumlah Nilai Investasi Jumlah Nilai Investasi
1. .
Kota Bengkulu
10
7629.7
2
0
2. Seluma 7 18072.3 0 0
3. Bengkulu Selatan 2 1002.8 0 0
4. Kaur 2 2497.3 0 0
5. Bengkulu Tengah 0 0 0 0
6. Bengkulu Utara 28 92182.8 6 170.749
7. Mukomuko 3 0 0 0
8. Kepahiang 2 8.5 0 0
9. Lebong 3 4.8 0 0
10. Rejang Lebong 13 539.9 0 0
TOTAL 70 121937.1 8 170.749
Sumber : DATIN, BKPMD Bengkulu
Menurut laporan dari KPPOD, Perkembangan pembangunan daerah
secara makro tidak lepas dari perkembangan distribusi dan alokasi investasi antar
daerah. Secara kelembagaan, otonomi daerah memberikan tantangan perubahan
kewenangan Provinsi dalam penanaman modal setelah otonomi daerah yang tidak
sebesar masa sebelum otonomi daerah.
Banyaknya keterbatasan yang dimiliki dan dihadapkan pada sejumlah
persoalan besar di bidang investasi, maka pemerintah Provinsi memegang
tanggung jawab dalam penciptaan iklim investasi di wilayahnya. Peran penting
Pemerintah Provinsi terutama dalam hal perumusan perencanaan kebijakan
bidang investasi di level Provinsi. Pemerintah provinsi juga sebagai perencana
pembangunan ekonomi regional, perencana tata ruang Provinsi, dan sebagai
9
koordinator aktivitas ekonomi yang bersifat lintas kabupatan/kota termasuk
didalamnya pelayanan di bidang investasi.
Pertumbuhan investasi, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekspor
dan impor adalah indikator dari kinerja ekonomi daerah. Rendahnya tingkat
PDRB di Provinsi Bengkulu dibandingkan dengan Provinsi se-sumatera,
ditambah lagi rendahnya pertumbuhan investasi dan tingginya impor maka dapat
dinyatakan bahwa kinerja ekonomi Provinsi Bengkulu rendah/buruk.
Semua kegiatan yang dilakukan dalam proses pembangunan bertujuan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakatnya, melalui peningkatan aktivitas
ekonomi di wilayah Provinsi Bengkulu. Untuk mampu meningkatkan aktivitas
ekonomi ini, maka diperlukan sumber daya pembangunan yang memadai baik
yang bersumber dari dalam maupun luar wilayah tersebut. Atas dasar hal tersebut
maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :
1. Bagaimana struktur ekonomi dan pola pertumbuhan di masing-masing
Kabupaten/Kota, sektor apa yang menjadi unggulan, serta bagaimana
keterkaitan antar sektor tersebut di Provinsi Bengkulu ?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi penentu berkembangnya iklim investasi
yang kondusif di Provinsi Bengkulu?
3. Faktor-faktor apa yang menjadi penentu investasi di Provinsi Bengkulu ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan masalah diatas, maka tujuan yanng ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. Kondisi di Provinsi Bengkulu dalam kaitannya dengan struktur ekonomi,
pola pertumbuhan dan penentuan sektor unggulan, dalam kaitan antar
wilayah.
2. Iklim investasi yang ada di Provinsi, sekaligus perbaikan iklim investasi
dalam kaitannya dengan usaha meningkatkan daya tarik daerah.
3. Faktor-faktor penentu yang menjadi daya tarik investor untuk
menanamkan modalnya di Provinsi Bengkulu
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat bagi pemerintah Provinsi
Bengkulu dan para pelaku ekonomi yang terlibat di Provinsi ini dalam
menganalisis pencapaian tingkat pembangunan, sektor-sektor penggerak
perekonomian, dalam kaitannya dengan usaha peningkatan investasi wilayah.
Usaha peningkatan investasi dilakukan dengan mencari faktor penentu iklim
investasi wilayah dan faktor penentu investasi.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian :
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Bengkulu yang bertujuan menganalisis
usaha pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan
10
pembangunan sekaligus membahas hal-hal yang berkaitan dengan struktur dan
pola pertumbuhan ekonomi, sektor dan sub sektor ekonomi unggulan di seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini juga menganalisis potensi dan
daya saing masing-masing wilayah, sekaligus faktor yang mempengaruh
terciptanya iklim investasi yang kondusif. Usaha peningkatan investasi menjadi
tujuan utama penelitian ini. Untuk itu dilakukan analisis faktor-faktor yang
menjadi penentu bertumbuhnya investasi di Provinsi Bengkulu.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Ekonomi Wilayah.
Argumen dasar dari ilmu ekonomi wilayah adalah adanya
wilayah/daerah yang memiliki keunggulan utama karena adanya kepemilikan
sumber daya alam maupun fasilitas transportasi seperti sungai dan pelabuhan
sehingga menjadi pusat dari kegiatan ekonomi. Namun pada kenyataannya banyak
wilayah yang tidak memiliki keunggulan tersebut tetap berkembang menjadi
pusat-pusat ekonomi. Hal ini yang mendasari munculnya teori Ekonomi Regional
Baru. Teori ini dipopulerkan oleh Paul Krugman pada tahun 1991. Model
Krugman didasarkan pada model Dixit dan Stiglitz’s (1977) tentang diferensiasi
produk dan menawarkan formalisasi melingkar Myrdal dan kumulatif sebab-
akibat. Dilatarbelakangi pada aglomerasi yang tidak selalu menghasilkan
seimbangan. Hal ini karena, di bawah aglomerasi, sebagian besar barang yang
dijual di wilayah pinggiran (pheriphery) harus dikirim dari wilayah pusat dan
dengan demikian harga kemungkinan menjadi tinggi. Pada gilirannya, hal ini
menguntungkan bagi perusahaan yang berlokasi di wilayah pinggiran. Ketika
biaya perdagangan tinggi, penyebaran manufaktur dinyatakan dalam
keseimbangan yang unik dalam model Krugman. Di sisi lain, ketika biaya
perdagangan rendah, permintaan di daerah pinggiran dapat dilayani dengan biaya
rendah dan terjadi aglomerasi.
Selain membahas adanya aglomerasi yang mengakibatkan kenaikan hasil
dan biaya transportasi, teori ini juga menekankan pada hubungan antara
perusahaan dan pemasok, serta antara perusahaan dan konsumen. Dalam teori ini
diilustrasikan adanya skala peningkatan hasil cenderung mendorong terjadi
konsentrasi geografis dari masing-masing produksi. Ketika biaya transportasi
berperan, lokasi yang menarik adalah lokasi yang terdekat dengan pasar dan
pemasok, sedangkan hal lain dianggap sama.
Lokasi konsentrasi produksi cenderung akan menarik faktor-faktor
produksi. Di lokasi tersebut pekerja akan memiliki pekerjaan dan kesempatan
berkonsumsi yang lebih baik. Terkonsentrasinya pekerja di suatu lokasi
menyebabkan peningkatan permintaan barang konsumsi di lokasi tersebut,
sehingga lokasi tersebut menjadi menarik bagi produsen. Lokasi yang memiliki
pangsa produksi yang tinggi akan menyebabkan lokasi tersebut memiliki
kemampuan untuk memperkuat diri. Keuntungan dari wilayah yang dominan
adalah semakin banyaknya perusahaan yang tertarik untuk masuk, karena
banyaknya perusahaan-perusahaan yang sudah berproduksi di wilayah tersebut.
Hal ini bukan disebabkan oleh keunggulan dalam persediaan sumber daya.
11
Aglomerasi ini diperkuat oleh kekuatan sentrifugal, yaitu konsentrasi kegiatan
produktif di suatu wilayah akan mendorong kenaikan harga sewa lahan dan
rumah, dan juga dapat menyebabkan masalah lingkungan.
Unsur-unsur di dalam model ekonomi Regional baru adalah : (1).
Keuntungan dari konsentrasi yang tidak tergantung pada alam, dominasi dari
suatu daerah dianggap sebagai suatu proses self reinforcing. (2). Kondisi
keseimbangan untuk masing-masing kondisi berbeda. Interaksi akan terjadi antar
pasar, antara perusahaan dengan pemasok dan pelanggan, dan penekanan pada
peran ganda dari pekerja sebagai faktor produksi dan konsumen. (3). Kekuatan
sentripetal yang cenderung melemahkan akan diimbangi oleh kekuatan
sentrifugal. (4). Tidak terjadi eksternalitas ekonomi yang ada hanyalah interaksi
antara biaya transportasi, skala hasil yang meningkat, dan mobilitas faktor.
2.2. Wilayah
Menurut Isard (1975) dalam Rustiadi (2009), pengertian suatu wilayah
pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tetentu. Menurutnya
wilayah adalah suatu area yang memiliki arti (meaningful) karena adanya
masalah-masalah yang ada di dalamnya sedemikian rupa.
Wilayah mengacu pada pengertian geografis, yaitu sebagai suatu unit
gegrafis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya
memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu sama lainn. Secara geografis,
wilayah dapat didefinisikan sebagau unit geografis dengan batas-batas spesifik
(tertentu) di mana komponen-komponennya memiliki arti di dalam pendeskripsian
perencanaan dan pengelolaan sumber daya pembangunan. Tidak ada batasan
spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningful”
untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian maupun evaluasi.
Murty (2000) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis,
teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, provinsi, distrik
(kabupaten) dan perdesaan. Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar
merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi,
politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis sesuai dengan pembangunan
atau kajian.
Rustiadi (2009) menyatakan kerangka klasifikasi konsep wilayah yang
lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yaitu : (1). wilayah homogen
(uniform), (2). wilayah sistem/fungsional, (3). Wilayah perencanaan/pengelolaan
(planning region atau programming region).
Adapun yang dimaksud dengan wilayah homogen adalah wilayah yang
dibatasi oleh faktor-faktor dominan yang bersifat homogen, sedangkan faktor-
faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Wilayah sebagai suatu
sistem dilandasi oleh pemikiran sebagai suatu entitas yang terdiri atas komponen-
komponen yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu
sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan.
Wilayah dalam suatu sistem sederhana adalah wilayah yang bertumpu
atas konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen
wilayah. Dalam wilayah dengan sistem sederhana ini, wilayah nodal (hubungan
antara pusat dan hinterland), kawasan perkotaan dan perdesaan, dan kawasan budi
daya dan non budidaya, termasuk di dalamnya. Sedangkan wilayah dalam sistem
12
kompleks memiliki jumlah/kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih
rumit. Sistem ekologi, sosial, dan dan ekonomi termasuk di dalam sistem ini.
Wilayah Perencanaan/pengelolaan tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit
koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan dan penyelesaian masalah
tertentu, seperti kawasan DAS, Free trade Zone dan lain-lain.
Gambar berikut mendeskripsikan sistematika pembagian dan keterkaitan berbagai
konsep-konsep wilayah :
Sumber : Rustiadi (2009)
Gambar 6 Konsep wilayah
Analisis kebijakan perwilayah seringkali digunakan untuk mengetahui dasar
penetapan sistem perwilayahan dalam perencanaan pembangunan. Analisis ini
dilakukan dengan menelaah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan
analisis kebijakan perwilayahan dapat diketahui tujuan pembangunan wilayah, dasar
hukum dan indikator yang digunakan dalam menentukan wilayah pembangunan dan
merumuskan kebijaksanaan tata ruang wilayah.
wilayah
homogen
Sistem/fungsi
Perencanaan
/pengelolaan
Sistem
sederhana
Sistem
Kompleks
Nodal
Desa-Kota
Budidaya-
Lindung
Sistem
ekonomi
Sistem eko-
logi
Sistem Sosial
Politik
Wil Perencanaan Khusus
Wil. Adminstrasi Politik
13
2.3. Pembangunan
Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional
yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan
kemiskinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu
kenyataan fisik sekaligus tekad masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin
(melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional) demi
mencapai kehidupan yang serba lebih baik (Todaro dan Stephen, 2006). Tiga
tujuan inti pembangunan sebagai berikut :
1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang
kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan
serta perlindungan keamanan.
2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan
pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja,
perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai
kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya memperbaiki
kesejahteraan materi melainkan juga menumbuhkan harga diri pada
pribadi dan bangsa yang bersangkutan.
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta
bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari
belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap
seseorang atau bangsa-bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan
yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Menurut Rustiadi (2009), secara filosofis suatu proses pembangunan
dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Alternatif yang sah
disini diartikan dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam
tatanan kelembagaan atau budaya yang dapat diterima. Dengan kata lain proses
pembangunan adalah proses memanusiakan manusia.
UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan
manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a
process of enlarging people’s choice), dalam hal ini penduduk ditempatkan
sebagai tujuan akhir.
Menurut Todaro (2000), pembangunan harus memenuhi tiga komponen
dasar yang dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami
pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustainance), memenuhi
kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta
kebebasan (feedom) untuk memilih. Todaro berpendapat bahwa pembangunan
harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai
perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi nasional
disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penangan
ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan.
14
2.4. Teori Pembangunan Daerah
Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional
sebagai usaha yang terencana dalam meningkatkan kapasitas pemerintahan
daerah sehingga dapat tercipta suatu kemampuan yang andal dan professional
dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, serta kemampuan untuk
mengelola sumber daya ekonomi daerah secara berdaya guna tepat dan berhasil
meningkatkan kemajuan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan daerah dilaksanakan melalui pengembangan otonomi daerah dan
pengaturan sumber daya yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya tata
kelola pemerintahan yang baik. Pembangunan daerah juga merupakan upaya
dalam memberdayakan masyarakat daerah sehingga tercipta suatu lingkungan
yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kualitas kehidupan yang lebih
baik, maju, tenteram, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan
masyarakat bagi peningkatan harkat, martabat dan harga diri, sesuai dengan tujuan
inti dari pembangunan (Todaro dan Stephen, 2006).
Pembangunan daerah dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi
pembangunan sektoral yaitu pencapaian sasaran pembangunan nasional
dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang dilaksanakan di
daerah dengan menyesuaikan kondisi dan potensi daerah tersebut. Kedua, dari
segi pembangunan wilayah yang meliputi perkotaan dan pedesaan sebagai pusat
dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Ketiga, pembangunan
daerah dilihat dari segi pemerintahannya yaitu keberhasilan pembangunan daerah
ditentukan dengan kepemerintahan daerah yang berjalan baik. Oleh karena itu,
pembangunan daerah merupakan usaha mengembangkan dan memperkuat
pemerintahan daerah dalam rangka memantapkan otonomi daerah yang dinamis
dan serasi serta bertanggung jawab.
Pembangunan daerah merupakan penjabaran dari pembangunan nasional,
maka kinerja pembangunan nasional merupakan agregat dari kinerja
pembangunan pusat hingga ke satuan pemerintahan daerah terkecil yaitu pada
tingkat kabupaten/kota. Tanggung jawab untuk mencapai tujuan dan sasaran
dalam pembangunan nasional menjadi kewajiban bersama antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Perencanaan pembangunan daerah adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Keselarasan
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sangat penting dalam
mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang terbatas
(Ambardi dan Socia, 2002).
Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma
mengarahkan pembangunan wilayah kepada terjadinya pemerataan (equity) yang
mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainable)
(Anwar (2001). Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara
sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di
wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor untuk menjadi pendorong utama (prime
mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda.
Menurut Widodo (2006) ada dua faktor utama yang perlu diperhatikan
dalam mengidentifikasi potensi kegiatan ekonomi daerah. Pertama, Sektor
ekonomi yang unggul atau yang mempunyai daya saing dalam beberapa periode
15
tahun terakhir dan kemungkinan prospek sektor ekonomi di masa yang akan
datang. Kedua, Sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan di masa
mendatang, walaupun belum mempunyai daya saing yang baik.
Pembangunan ekonomi akan optimal bila didasarkan pada keunggulan
komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive
advantage). Secara umum, keunggulan komparatif kebih menekankan pada
kepemilikan sumber daya ekonomi, social, politik dan kelembagaan suatu
daerah seperti : kepemilikan sumber daya alam, sumber daya manusia,
infrastruktur dan lain-lain. Sementara keunggulan kompetitif (competitive
advantage) lebih menekankan pada efisiensi pengelolaan sumber daya terkait
dengan produksi, konsumsi maupun distribusi. Pada aspek produksi keunggulan
atau daya saing wilayah dapat dikaji dengan melihat sejauh mana wilayah itu
miliki sektor basis atau keunggulan dalam penciptaan nilai tambah (basic sector)
dan keunggulan dalam penyerapan tenaga kerja dengan produktivitas tinggi
(basic employment).
Sektor basis suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor
basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan
kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar
wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk
pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non
basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di
daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang (Rustiadi,
2009;180).
Dalam sektor ekonomi tersebut terdapat sektor-sektor yang menjadi
unggulan, yang merupakan sektor yang keberadaannya pada saat ini telah
berperan besar pada perkembangan perekonomian suatu wilayah dikarenakan
mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu. Selanjutnya keunggulan ini
berkembang melalui kegiatan investasi dan menjadi tumpuan kegiatan ekonomi.
Hal ini didasarkan atas seberapa besar peranan sektor tersebut dalam
perekonomian daerah (Ambardi dan Socia, 2002).
Sektor unggulan merupakan sektor yang bisa menjadi motor penggerak
pembangunan suatu daerah, yang didasarkan pada kriteria tertentu yaitu :
1. Sektor unggulan harus mampu menjadi penggerak utama pembangunan
perekonomian. Artinya sektor tersebut dapat memberikan kontribusi yang
signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan maupun pengeluaran.
2. Sektor unggulan mempunyai dampak keterkaitan yang kuat baik
keterkaitan ke depan maupun ke belakang, dan dengan sektor unggulan
lain atau pun dengan sektor ekonomi lainnya.
3. Sektor unggulan mampu bersaing dengan sektor yang sejenis dari wilayah
lain di pasar nasional dan internasional, baik dalam harga produk sektor
tersebut, biaya produksi, kualitas pelayanan maupun aspek-aspek lainnya.
4. Sektor unggulan daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lain, baik
dalam pasar maupun pemasukkan bahan baku.
5. Sektor unggulan memiliki tehnologi yang terus meningkat, terutama
melalui inovasi tehnologi.
6. Sektor unggulan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara
optimal sesuai dengan skala produksi yang dimiliki oleh sektor tersebut.
16
7. Sektor unggulan biasanya bisa bertahan dalam jangka waktu yang relatif
lama.
Berdasarkan pada basis ekonomi, perekonomian suatu wilayah terbagi atas
dua, yaitu sektor basis dan sektor non basis yang apabila dikaitkan dengan sektor
unggulan maka sektor basis termasuk dari salah satu kriteria sektor unggulan.
Sektor basis itu sendiri adalah kegiatan-kegiatan yang mampu mengekspor
barang dan jasa keluar batas perekonomian wilayah yang bersangkutan.
Sedangkan sektor non basis adalah kegiatan-kegiatan ekonomi yang
menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang
bertempat tinggal di dalam batas perekonomian wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi dengan mengacu pada sektor unggulan selain
berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi juga akan berpengaruh pada
perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Pengertian sektor unggulan pada
dasarnya dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan
berskala internasional, regional maupun nasional.
Pada lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor
tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain.
Sedangkan pada lingkup nasional, suatu sektor dikategorikan sebagai sektor
unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang
sama yang dihasilkan oleh wilayah lain, baik di pasar nasional ataupun domestik.
Penentuan sektor unggulan menjadi hal yang penting sebagai dasar perencanaan
pembangunan daerah sesuai era otonomi daerah saat ini, di mana daerah memiliki
kesempatan dan kewenangan untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan
potensi daerah demi mempercepat pembangunan ekonomi daerah untuk
peningkatan kemakmuran masyarakat.
Menurut Rachbini (2001) ada empat syarat agar suatu sektor tertentu
menjadi sektor prioritas, yakni (1) sektor tersebut harus menghasilkan produk
yang mempunyai permintaan yang cukup besar, sehingga laju pertumbuhan
berkembang cepat akibat dari efek permintaan tersebut; (2) karena ada perubahan
teknologi yang teradopsi secara kreatif, maka fungsi produksi baru bergeser
dengan pengembangan kapasitas yang lebih luas; (3) harus terjadi peningkatan
investasi kembali dari hasil-hasil produksi sektor yang menjadi prioritas tersebut,
baik swasta maupun pemerintah; (4) sektor tersebut harus berkembang sehingga
mampu member pengaruh terhadap sektor-sektor lainnya.
Data PDRB merupakan informasi yang sangat penting untuk mengetahui
output pada sektor ekonomi dan melihat pertumbuhan di suatu wilayah
tertentu(provinsi/kabupaten/kota). berdasarkan data PDRB, maka dapat
ditentukannya sektor unggulan (leading sector) di suatu daerah/wilayah. Sektor
unggulan adalah satu grup sektor/subsektor yang mampu mendorong kegiatan
ekonomi dan menciptakan kesejahteraan di suatu daerah terutama melalui
produksi, ekspor dan penciptaan lapangan pekerjaan, sehingga identifikasi sektor
unggulan sangat penting terutama dalam rangka menentukan prioritas dan
perencanaan pembangunan ekonomi di daerah. Manfaat mengetahui sektor
unggulan, yaitu mampu memberikan indikasi bagi perekonomian secara nasional
dan regional. Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk
tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama
adanya faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi
17
modal, pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi
(technological progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan
dengan memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang
bersangkutan.
Tingkat pencapaian tujuan pembangunan wilayah menurut Rustiadi
(2009) dapat diketahui dari indikator kinerja. Indikator kinerja disini merupakan
sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk
menilai atau melihat tingkat kinerja baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan
maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Salah satu indikator kinerja
pembangunan wilayah yang dipergunakan adalah indikator berdasarkan tujuan
pembangunan dengan indikator operasional meliputi (1). Pendapatan wilayah
diukur berdasarkan PDRB, PDRB Perkapita dan Pertumbuhan PDRB, (2).
Kelayakan finansial/Ekonomi berdasarkan NPV, BC ratio, IRR, dan BEP, (3).
Spesialisasi, keunggulan Komperatif atau Kompetitif dengan menggunakan
metode LQ, dan Shift and Share analysis, (4). Produksi-produksi utama.
Pembangunan atau pengembangan wilayah bertujuan untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi
dan terpadu baik antar sektor maupun antara pembangunan sektoral dengan
perencanaan dari daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian
daerah dan kemajuan yang merata. Pengembangan wilayah memerlukan strategi
untuk mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam tingkat pertumbuhan yang
akan mendorong perdagangan antardaerah yang semakin efisiensi dan intensif
sehingga merangsang timbulnya spesialisasi daerah. Spesialisasi daerah tersebut
akan membuka kesempatan untuk berkembang bagi masing-masing daerah untuk
memperkokoh perekonomiannya (Hadjirosa, 1982). Salah satu strategi
pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah
konsepsi perwilayahan pembangunan.
Konsep perwilayahan pembangunan merupakan salah satu bentuk
kebijaksanaan wilayah yang dilakukan dalam mengurangi kesenjangan
antarwilayah melalui pemanfaatan kekuatan yang dimiliki oleh daerah-daerah
pemusatan dalam membangkitkan pertumbuhan dan menjalarkan ke daerah
belakangnya (Sapoetro 2004).
2.5. Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan
pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah
tersebut (Lincolin Arsyad, 1999 ; Blakely E. J, 1989). Tolok ukur keberhasilan
pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan
semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan
antarsektor. Suatu ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang
apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada
masa sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per
kapita dalam jangka panjang (Lincolin Arsyad, 1999).
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah suatu proses kenaikan
output dalam jangka panjang. Penekanan pada “proses” disebabkan
18
pembangunan mengandung unsur dinamis, perubahan, atau perkembangan.
Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah
satu syarat utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi disuatu
negara/daerah. Secara teori, pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari sisi
penawaran agregat (aggregate supply) maupun sisi permintaan agregat
(aggregate demand).
Berdasarkan model pertumbuhan Sollow dalam Romer (2006)
diasumsikan terdapat empat (4) variabel yang menjadi input dan output dalam
suatu proses produksi yaitu output (Y). Modal/kapital (K), tenaga kerja/labor (L)
dan pengetahuan atau efektivitas tenaga kerja (A). adapun fungsi dari variabel
tersebut adalah :
Y(t) = F (K(t). A(t), L(t)) dimana t adalah waktu
Secara lebih spesifik fungsi produksi dinyatakan sebagai fungsi Cobb-Douglas
berikut :
( ) ( ) , 0 < α < 1
Perkembangan fungsi produksi menunjukkanbahwa pertumbuhan ekonomi
di suatu negara/daerah tidak lagi hanya dipengaruhi oleh faktor kapital dan tenaga
kerja saja, tetapi juga terdapat faktor lainnya seperti teknologi juga telah menjadi
faktor penentu dalam pembentukan output (Romer,2006).
Sementara itu, dari sisi permintaan agregat, pertumbuhan ekonomi
bersumber dari empat komponen pembentuk GDP (Z), yaitu konsumsi
masyarakat (C), pembentukan modal atau investasi (I), pengeluaran pemerintah
(G), dan ekspor neto (ekspor dikurangkan dengan impor, X-M), atau secara
matematis dapat ditulis sebagai berikut (Blanchard, 2008) :
Y = C + I + G + (X-M)
Konsumsi dipengaruhi oleh disposible income (Yd) dengan arah
perubahan positif (+) terhadap tingkat konsumsi, investasi dapat bersifat konstan
maupun sebagai fungsi dari tingkat bunga, dengan arah perubahan negatif (-),
Pengeluaran pemerintah (G) merupakan salah satu instrumen dari kebijakan
fiskal. Sedangkan ekspor netto menurut Mankiw (2007) adalah nilai barang dan
jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor
dari negara lain. Ekspor netto menunjukkan pengeluaran neto dari luar negeri
atas barang dan jasa yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik.
Perubahan pendapatan nasional dari satu periode (tahun) ke periode (tahun)
berikutnya akan menggambarkan besarnya pertumbuhan ekonomi suatu
negara/wilayah. Pertumbuhan ekonomi tersebut biasanya disajikan dalam bentuk
perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara atau Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) sebuah daerah.
Formulasi tingkat pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah sebagai
berikut :
dimana :
ΔPDRB = tingkat pertumbuhan ekonomi; PDRB = produk domestik regional
bruto; t = tahun t; t-1 = satu tahun sebelumnya
19
Pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan perubahan struktur
perekonomian. Transformasi struktural sendiri merupakan perubahan struktur
perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan dan jasa,
dimana masing-masing perekonomian akan mengalami transformasi yang
berbeda-beda. Pada umumnya transformasi yang terjadi di Negara sedang
berkembang adalah transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri .
Perubahan struktur atau transformasi ekonomi dari tradisional menjadi modern
secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam ekonomi yang
berkaitan dengan komposisi penyerapan tenaga kerja, produksi perdagangan, dan
faktor-faktor lain yang diperlukan secara terus menerus untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan social melalui peningkatan pendapatan perkapita
(Chenery 1986).
Pola Pertumbuhan dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
1. Dilihat dari Permintaan Domestik.
Apabila dilihat dari permintaan domestik akan terjadi penurunan permintaan
terhadap konsumsi bahan makanan karena dikompensasikan oleh peningkatan
permintaan terhadap barang-barang non kebutuhan pangan, peningkatan
investasi dan peningkatan anggaran belanja pemerintah yang mengalami
peningkatan dalam struktur Pendapatan Domestik Brutto (PDB). Disektor
perdagangan internasional terjadi juga perubahan yaitu peningkatan nilai
ekspor dan impor. Sepanjang perubahan struktural ini berlangsung terjadi
peningkatan pangsa ekspor komoditas hasil produksi
2. Dilihat dari tenaga kerja
Apabila dilihat dari sisi tenaga kerja ini akan terjadi proses perpindahan
tenaga kerja dari sektor pertanian di desa menuju sektor industri di perkotaan,
meski pergeseran ini masih tertinggal (lag) dibandingkan proses perubahan
struktural itu sendiri. Dengan keberadaan lag inilah maka sektor pertanian
akan berperan penting dalam peningkatan penyediaan tenaga kerja baik dari
awal maupun akhir dari proses transformasi perubahan struktural tersebut.
Struktur ekonomi daerah berdampak pada peningkatan sektor-sektor
perekonomian lainnya yang saling berkaitan. Suatu daerah dapat dikatakan maju
apabila ditunjang dari segi pengetahuan masyarakat yang tinggi, adanya sumber
daya manusia yang mempunyai potensi besar guna tercapainya kemajuan
pembangunan daerah. Aspek penting lain dari perubahan struktural adalah sisi
ketenagakerjaan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui 2 (dua) proses transformasi
dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi
(Clark dalam Ketut 2001).
Menurut Sumitro (1994), pertumbuhan ekonomi bersangkut paut dengan
proses pembangunan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya
hasil produksi dan hasil pendapatan. Perbedaan pertumbuhan ekonomi akan
membawa masing-masing daerah membentuk suatu pola pertumbuhan dimana
data digolongkan dalam klasifikasi tertentu untuk mengetahui potensi relatif
perekonomian suatu daerah.
Menurut Solow di dalam Todaro (2010) konsep pertumbuhan ekonomi
sebagai tolak ukur penilaian pertumbuhan ekonomi nasional. Ada 3 faktor atau
komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu :
20
1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru
yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya
manusia.
2. Pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah
angkatan kerja.
3. Kemajuan teknologi
Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan
diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di
kemudian hari. Pengadaan pabrik baru, mesin-mesin peralatan dan bahan baku
akan meningkatkan persediaan modal fisik suatu negara (yaitu total nilai riil atas
seluruh barang modal produktif secara fisik) dan hal ini akan memungkinkan
terjadinya peningkatan output dimasa mendatang.
Investasi produktif yang bersifat langsung tersebut harus dilengkapi dengan
berbagai investasi penunjang yang disebut investasi “infrastruktur” ekonomi dan
sosial. Dimana kesemuanya ini dibutuhkan dalam rangka menunjang dan
mengintegrasikan segenap aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam
pembinaan sumber daya manusia dapat meningkatkan kualitas modal manusia,
sehingga pada akhirnya akan membawa dampak positif yang sama terhadap angka
produksi. Akumulasi modal dapat menambah sumber daya baru atau
meningkatkan kualitas sumber daya yang sudah ada. Untuk mencapai semua itu
maka harus ada pertukaran antara konsumsi sekarang dan konsumsi mendatang.
Artinya pihak-pihak pelaku investasi harus bersedia mengorbankan atau
mengurangi konsumsi mereka pada saat sekarang demi memperoleh konsumsi
yang lebih baik dikemudian hari.
2.6. Investasi
Investasi merupakan kombinasi antara tingkat permintaan untuk
berinvestasi dari perusahaan dengan tabungan (saving) dari rumah tangga
(Romer 2006). Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman
modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk
menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian.
Pertambahan jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut
menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang.
Menurut McMeer (2003) dalam Bank Indonesia (2007), investasi dalam
pengertian konsepsional merupakan hasil dari sebuah proses yang bersifat multi
dimensional. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu fungsi dari investasi
dalam artian penanaman modal atau faktor ekonomi yang paling esensial dan
mudah diukur secara kuantitatif. Akan tetapi pada kenyataannya, seorang investor
yang akan menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha tertentu akan selalu
memperhatikan faktor-faktor keamanan lingkungan, kepastian hukum, status
lahan investasi dan dukungan pemerintah (Bachri, 2004) dalam Wati (2008).
Jenis investasi langsung swasta diklasifikasikan menjadi Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Menurut
UU No.25 tahun 2007 Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanamkan
modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
21
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
Sedangkan pengertian penanaman modal dalam negeri (PMDN) adalah kegiatan
menanamkan modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan
menggunakan modal dalam negeri. Penanam modal disini adalah perseorangan
atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam
modal dalam negeri maupun asing. Modal menurut UU No.25 tahun 2007
adalah asset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki
oleh penanam modal yang memiliki nilai ekonomis.
Terdapat banyak faktor penentu dalam melakukan investasi, yaitu
investasi yang memberikan keuntungan tambahan kepada perusahaan melalui
penjualan produknya di pasar domestik dan suku bunga yang merupakan harga
atau biaya yang harus dibayar dalam meminjamkan uang untuk suatu periode
tertentu dan ekspetasi keuntungan. Dengan demikian para investor melakukan
investasi untuk mendapatkan keuntungan atas investasi yang dilakukan.
Pertimbangan tersebut adalah sepenuhnya merupakan pertimbangan-
pertimbangan investasi yang terkait secara langsung dengan faktor-faktor
ekonomi. Selain kegiatan pertimbangan faktor ekonomi tersebut, pelaku usaha
juga mempertimbangkan masalah faktor non-ekonomi, seperti masalah jaminan
keamanan, stabilitas politik, penegakkan hukum, sosial budaya, dan masalah
ketenagakerjaan yang merupakan faktor penentu utama dalam menentukan
keberhasilan investasi.
Investasi adalah bagian dari pendapatan nasional brutto (PNB) dari sisi
pengeluaran yang merupakan aktivitas pembelian barang-barang untuk
penggunaan di masa depan. Investasi dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
investasi tetap bisnis, investasi tetap residensial dan investasi persediaan.
Investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan peralatan baru oleh
perusahaan. Investasi residensial adalah pembelian rumah baru oleh rumah tangga
dan tuan tanah. Investasi persediaan adalah peningkatan dalam persediaan barang
perusahaan (jika persediaan menurun maka investasi persediaan menaik)
(Mankiw 2007).
Adanya investasi-investasi baru memungkinkan terciptanya barang modal
baru sehingga akan menyerap faktor produksi baru, yaitu menciptakan lapangan
kerja baru atau kesempatan kerja yang akan menyerap tenaga yang pada
gilirannya akan mengurangi pengangguran. Dengan demikian, terjadinya
penambahan output dan pendapatan baru pada faktor produksi tersebut akan
menambah output nasional sehingga akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Investasi
merupakan salah satu bagian yang seringkali menjadi faktor dalam berbagai teori
pembangunan, di mana investasi merupakan penggerak atau akselerator
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Menurut Todaro (2000) investasi atau penanaman modal sebagai bagian
dari total pendapatan nasional (national income) atau pengeluaran nasional
(national expenditure) yang secara khusus diperuntukkan memproduksi barang-
barang kapital atau modal pada suatu periode tertentu.
Pengeluaran investasi dapat juga meliputi pengeluaran pemerintah yaitu
pengeluaran yang ditambahkan pada komponen-komponen barang modal.
Kegiatan investasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dapat
dibedakan atas investasi yang otonom dan investasi yang terdorong (Harjanti,
22
2005). Investasi otonom adalah investasi yang bebas dilakukan tanpa terpengaruh
atau terdorong oleh faktor lainnya. Investasi ini umumnya dilakukan oleh
pemerintah seperti pembuatan jalan, irigasi, dan jembatan. Sedangkan, investasi
yang terdorong investasi yang dilakukan sebagai akibat adanya kenaikan
permintaan atau dorongan dari pemerintah.
Secara konsep, investasi adalah kegiatan mengalokasikan atau
menanamkan sumber daya (resources) saat ini (sekarang), dengan harapan
mendapatkan manfaat dikemudian hari (masa datang). Pengertian dari investasi
dapat dirumuskan sebagai mengorbankan peluang konsumsi saat ini, untuk
mendapatkan manfaat di masa datang. Investasi memiliki dua aspek yaitu
konsumsi saat ini dengan harapan dapat keuntungan di masa datang.
Dalam model Pertumbuhan Solow, dikatakan bahwa permintaan terhadap
barang berasal dari konsumsi dan investasi, dan persediaan modal adalah
determinan output perekonomian yang penting karena sangat fluktuatif dan
berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Persediaan modal sangat dipengaruhi
oleh investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk peluasan
usaha dan peralatan baru, hal ini menyebabkan persediaan modal bertambah.
Sedangkan depresiasi mengacu pada penggunaan modal, hal ini menyebab
persediaan modal berkurang (gambar 7). :
Sumber : Mankiw 2007
Gambar 7 Output, konsumsi dan investasi
Peluang untuk mendapatkan manfaat atau laba investasi (dikenal dengan
istilah iklim investasi atau iklim usaha yang kondusif) mendorong tumbuhnya
investasi yang disengaja (induced investment). Selanjutnya keberhasilan induced
investment akan memperbesar nilai tambah (value added) atau Produk Domestik
Brutto (PDB), yang menggambarkan pendapatan (income) domestik, baik negara
(yang diwakili oleh pemerintah) atau pun masyarakat. Peningkatan pendapatan
domestik ini akan mendorong tumbuhnya investasi otomatis, karena investasi ini
tergantung pada kemampuan pendapatan masyarakat dan pemerintah atau negara.
Makin besar investasi akan mendorong permintaan aneka barang dan jasa
kebutuhan dan keinginan masyarakat dan pada gilirannya akan mendorong
peningkatan investasi yang disengaja (induced investment)
Menurut karakteristik sifat dan Pelaku, maka investasi dapat
dikelompokan menjadi investasi publik (Public investment) dan investasi swasta
(Private investment). Investasi publik yang dilakukan oleh negara atau
23
pemerintah, untuk membangun prasarana dan sarana (infrastruktur) guna
memenuhi kebutuhan masyarakat (publik). Investasi ini bersifat nirlaba atau non
profit motif dimana pembiayaannya dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain oleh pemerintah, investasi ini juga seringkali dilakukan oleh kelompok
masyarakat melalui berbagai yayasan. Investasi publik ini menghasilkan nilai
tambah berupa barang dan jasa, lapangan pekerjaan, sewa dan bunga, tanpa
surplus usaha. Manfaat lain dari investasi ini adalah mendorong mobilitas
perekonomian dan meningkatkan peradaban masyarakat di suatu negara.
Sedangkan investasi swasta (private investment) adalah investasi yang
dilakukan oleh swasta, dengan tujuan mendapatkan manfaat berupa laba. Investasi
ini disebut investasi dengan motif profit. Adapun pelaku dari investasi ini adalah:
Usaha Mikro atau rumah tangga, biasanya belum memiliki badan hukum,
serta skala usahanya relatif kecil yang bergerak di bidang industri, dagang
ataupun jasa.
Usaha kecil dan Menengah (UKM) ada yang sudah berbadan hukum dan
ada yang belum dengan skala usaha mulai dari kecil sampai menengah,
baik dilihat dari omzet, modal usaha, maupun tenaga kerja, dengan bidang
usaha industri, dagang maupun jasa.
Usaha besar, baik berbentuk PMDN maupun PMA atau investasi non
fasilitas, termasuk BUMN dan BUMD.
Keterlibatan BUMN dan BUMD dalam kegiatan investasi dengan motif profit
didasarkan pada 3 (tiga) pertimbangan mendasar yaitu :
Investasi pada bidang yang strategis bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Misalnya untuk alat pertahanan negara, menjaga terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat seperti energi dan pangan.
Investasi tersebut dibutuhkan oleh masyarakat, namun belum ada pihak
swasta yang masuk atau memulai usaha tersebut, karena resiko terlalu
besar atau kemampuan swasta terbatas.
Investasi oleh swasta pada bidang tertentu belum memadai sehingga
kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi dengan baik.
Jika swasta sudah mampu (di luar hal yang strategis) dan kebutuhan
masyarakat bisa dipenuhi, maka investasi BUMN dan BUMD di sektor ini harus
ditarik atau dijual ke masyarakat. Karena tugas negara (pemerintah) adalah
mengatur, memfasilitasi bukan menjadi pemain bisnis.
Berbagai jenis investasi dalam suatu wilayah atau negara, bahkan regional
dan global dalam kenyataannya saling membutuh dan bersinergi satu sama lain.
Rumusan atau formula porsi investasi untuk berinteraksi dan bersinergi secara
optimal, berbeda dari suatu negara dengan negara lain, antar wilayah yang satu
dengan wilayah yang lain tergantung kematangan ekonomi wilayah yang
bersangkutan. Hubungan antara investasi swasta dan negara adalah saling
melengkapi. Adapun keterkaitannya terlihat pada gambar berikut :
24
Gambar 8 Keterkaitan investasi pemerintah dan swasta
Kerjasama antar pemerintah dan swasta dalam melakukan investasi dikenal
dengan istilah Penyertaan Modal Negara atau Daerah. Banyak pemahaman
mengenai konsep ini diantaranya adalah :
1. Penyertaan modal negara/daerah adalah setiap usaha dalam menyertakan
modal Negara/daerah pada suatu Usaha bersama antar negara dan daerah.
Dengan suatu maksud, tujuan dan imbalan tertentu.
2. Penyertaan modal negara/daerah adalah pemisahan dan/atau peruntukan
pemanfaatan asset atau kekayaan atau modal negara/daerah, melalui suatu
kontrak kerjasama, atau kesepakatan antara pemerintah pusat, Pemerintah
daerah (Pemda) dengan pihak kedua dalam rangka mendorong aktivitas
ekonomi masyarakat/daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Istilah pihak kedua disini adalah instansi/lembaga atau
badan usaha yang berada di luar pemerintah yaitu perusahaan swasta
Nasional (PMDN) dan perusahaan swasta Asing (PMA).
Investasi memegang peranan penting dalam teori ekonomi, memainkan
peran utama dalam pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pengembangan sektor
swasta akan akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.
Menurut Rabia Saghir dan Azra Khan (2012), Investasi pemerintah memiliki
pengaruh negative pada investasi swasta, memperlihatkan adanya pengaruh
crowding out. Investasi swasta dalam jangka pendek akan berubah secara
signifikan dan positif. Penambahan investasi pemerintah positif tetapi tidak
signifikan dalam jangka pendek.
Investasi adalah komponen penting dari pendapatan nasional dimana I =
f(GNP, RR, GI,PI, Aid), persamaan ini menyatakan investasi adalah fungsi dari
GNP, tingkat bunga riil (RR), investasi pemerintah (GI), investasi swasta (PI) dan
aliran pinjaman dan bantuan ke dalam negeri (aid). Investasi total terdiri dari
investasi publik (GI) dan investasi swasta (PI). Investasi pemerintah diukur dari
pengeluaran pemerintah dan bantuan luar negeri. Sehingga diperoleh persamaan :
GI = α + β1 GNP + β2 GR1 + β3AID + β4 PI + μ
Sedangkan persamaan investasi swasta adalah :
PI = = α + β1 GNP + β2 RR + β3GI + μ
Investasi swasta
(Private Investment)
Pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan
Investasi Publik
(Public Investment)
Pengembangan sarana dan
prasarana
25
Investasi swasta yang dimaksud disini adalah kegiatan bisnis yang dilakukan
oleh pelaku usaha di suatu daerah. Mamatzakis (2001) menyatakan bahwa
investasi publik memiliki pengaruh positif pada investasi swasta sementara
konsumsi pemerintah berpengaruh negatif. Pengaruh antara investasi publik pada
investasi swasta dapat dijelaskan dalam dua cara :
Peningkatan investasi publik menaikkan tingkat investasi nasional, tetapi
tingkat investasi nasional tersebut masih berada di bawah tingkat yang
diharapkan oleh sektor swasta. Sementara tingginya tingkat investasi
publik akan mengcrowd out investasi swasta.
Investasi publik menaikkan marjinal produktivitas dari modal swasta, hal
ini menaikkan tingkat investasi swasta.
Alkadri (2007) menyatakan untuk pembangunan di luar kemampuan
pendanaan pemerintah pusat dan daerah, Indonesia menerapkan konsep
pembiayaan pembangunan dalam bentuk investasi swasta, baik berupa penanaman
modal dalam negeri (PMDN), penanaman modal asing (PMA), maupun bukan
PMA/PMDN. Jenis investasi dalam pembangunan nasional dan daerah oleh dunia
usaha dan masyarakat ini pada prinsipnya terdiri dari dua macam, yaitu investasi
untuk pembangunan fisik dan investasi untuk pembangunan non fisik. Karena itu,
untuk menutupi keterbatasan pembiayaan oleh pemerintah, maka pemerintah
harus mampu memberikan stimulus agar investor bersedia menanamkan
modalnya di suatu wilayah.
Mudrajad Kuncoro (2005) menyatakan bahwa keberhasilan daerah untuk
meningkatkan daya tarik terhadap investasi tergantung dari kemampuan daerah
dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi. Kemampuan
daerah untuk menentukan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai alat ukur
daya saing perekonomian daerah reatif terhadap daerah lainnya juga penting
terkait dengan pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur fisik dalam
upaya meningkatkan daya tariknya dan memenangkan persaingan (KPPOD,
2003).
2.7. Iklim Investasi
Lingkungan usaha yang kondusif bagi perkembangan sektor swasta dalam
suatu perekonomian adalah lingkungan yang menyediakan kualitas hukum,
regulasi dan penataan kelembagaan yang dapat memungkinkan usaha untuk
memiliki daya saing, pertumbuhan serta penciptaan lapangan kerja yang
maksimal. Berbagai penelitian (World Bank, 2010, 2012, LPEM, 2006)
menegaskan bahwa pertumbuhan dan perkembangan sektor swasta yang optimal
sangat membutuhkan adanya institusi hukum yang dapat menjamin perlindungan
atas property rights, serta peraturan dan regulasi yang efisien dan transparan, yang
dapat meminimalkan biaya registrasi dan biaya transaksi yang harus ditanggung
perusahaan. Konstelasi institusional yang business-friendly ini merupakan
lingkungan usaha yang memudahkan pelaku usaha di sektor swasta untuk
memulai usaha, berinvestasi, mengalami pertumbuhan serta menciptakan
lapangan usaha.
Menurut World Bank (2006) dalam Adwirman (2012), iklim investasi
merupakan sisi penawaran akan persediaan barang dan jasa bagi perusahaan,
26
merupakan faktor yang akan menentukan kemampuan perusahaan dalam
melakukan produksi barang dan jasa dan bisa menimbulkan biaya karenanya.
Faktor ini meliputi hak untuk memperoleh akses terhadap sumber daya alam
termasuk lahan; kemampuan untuk memperoleh akses terhadap sumber daya alam
termasuk lahan; kemampuan untuk memperoleh akses terhadap modal dan biaya
untuk melakukan itu; biaya dan tenaga kerja bermutu; mutu lingkungan
perundang-undangan setempat; kondisi infrastruktur setempat; besar kecilnya
persaingan; pengetahuan tentang peluang pasar; dan stabilitas serta keamanan
daerah. Ditambahkan bahwa ada lima aspek dari iklim investasi pedesaan, yaitu
tenaga kerja, kredit, infrastruktur, persaingan dan pemasaran, dan pemerintahan
lokal. Aspek penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap penting, yaitu
dengan melakukan promosi terhadap potensi dan penguasaan teknologi, serta
kemampuan lembaga litbang dari universtas. Tindakan pemerintah sangat
dibutuhkan di berbagai bidang untuk meningkatkan iklim investasi di Pedesaan.
Menurut Efendi (2011), faktor-faktor yang dapat menghambat kegiatan
investasi meliputi inefisiensi birokrasi pemerintah, korupsi, dan infrastruktur.
Hambatan terbesar investasi ada pada birokrasi pemerintah dan bukan melulu
pada masalah infrastruktur. Sisanya antara lain masalah ketersediaan tenaga
terampil, sistem pembayaran, dan suku bunga. Mayoritas investor di Indonesia
masih dikuasai pihak asing. Investor asing sangat memperhatikan perangkat
hukum dan kebijakan di suatu negara di suatu negara sebelum mereka masuk
untuk berinvestasi, mulai dari perizinan, regulasi pajak, mata uang, persaingan
usaha, bahkan sampai urusan ekspatriat, yang juga harus mendapatkan perhatian.
Menurut Ray dan Redi (2003) terdapat empat elemen kunci yang
mempengaruhi iklim investasi di suatu daerah yaitu perizinan dan birokrasi;
sumbangan dan pungutan (baik formal maupun informal); isu tenaga kerja dan
perburuhan; serta arah dan orientasi kebijakan ekonomi daerah. Lima kriteria yang
digunakan untuk menganalisis efisiensi dan transparansi dalam proses perizinan
yaitu kecepatan, transparansi biaya, total biaya perizinan, transparansi prosedural
dan persyaratan berkas.
Iklim investasi menurut Bank Dunia (2005), didefinisikan sebagai suatu
kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan
dorongan bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif,
menciptakan pekerjaan dan perkembangan kegiatan usaha. Sedangkan menurut
Stern (2002) dalam INDEF (2006), iklim investasi adalah semua kebijakan,
kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang
diharapkan terjadi di masa depan yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian
dan resiko suatu investasi.
Ada sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha
yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian
usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program
pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak
daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah,
keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah (KPPOD
(2008)),.
Iklim investasi merupakan kondisi yang bersifat multidimensi dan
menjadi pertimbangan bagi para investor dalam melakukan investasi. Dalam
kaitannya tersebut peran pemerintah menjadi sangat penting dalam setiap proses
27
penanaman modal, bahkan rekomendasi pemerintah daerah merupakan syarat
mutlak dalam penilaian kegiatan investasi di daerah dinyatakan layak. Hal
tersebut terkait pula dengan masalah pemanfaatan tata ruang, gangguan
lingkungan dan ketertiban umum. Selain itu iklim investasi merupakan suatu
proses jangka panjang yang senantiasa berjalan searah dengan perkembangan
usaha. Iklim investasi bukan hanya dipertimbangkan pada awal rencana investasi,
akan tetapi merupakan variabel strategis yang akan menentukan keberhasilan
investasi sepanjang perusahaan berjalan.
Iklim investasi yang kondusif akan mendorong produktivitas yang lebih
tinggi dengan memberikan kesempatan-kesempatan dan insentif bagi badan-badan
usaha untuk berkembang, menyesuaikan diri dan menerapkan cara-cara yang lebih
baik dalam menjalankan investasi. Iklim investasi yang kondusif akan
memperkuat pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan keuntungan dalam sektor
perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya mekanisme yang
berkelanjutan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Peningkatan iklim
investasi merupakan daya penggerak bagi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan. Iklim investasi yang baik adalah iklim investasi yang mampu
memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan.
2.8.Infrastruktur
Tingkat ketersediaan infrastruktur di suatu Negara adalah faktor penting
dan menentukan bagi tingkat kcepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
(Todaro 2006:143). Kondisi infrastruktur publik (pasokan listrik, air, jalan,
jembatan, pelabuhan, lapangan terbang umum, sarana telekomunikasi, gedung
sekolah dan sebagainya) dapat menjadi pendorong dan juga penghambat
keberlanjutan investasi. Stephan (2007) menyatakan bahwa investasi di bidang
infrastruktur transportasi sangat dipengaruhi oleh politik yang ada di suatu
wilayah. Secara umum ada 3 hal yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam
menetapkan infrastruktur yaitu :
a. Efisiensi yaitu pengeluaran infrastruktur harus dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang
tertinggi.
( )
( )
b. Redistribusi yaitu kebijakan yang dikeluarkan harus mampu mendorong
perkembangan wilayah miskin (wilayah dengan tingkat GDP perkapita
terendah)
( )
( )
c. Equty yaitu adanya jaminan akan terciptana kondisi kesamaan taraf hidup di
seluruh wilayah
( )
( )
28
2.9. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator ekonomi makro
yang dapat memberikan gambaran tentang keadaan perekonomian suatu wilayah.
Menurut Badan Pusat Statistik, ada 3 pendekatan yang digunakan untuk
menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang di timbulkan dari
suatu region, ada yaitu:
1. PDRB menurut pendekatan produksi, merupakan jumlah nilai barang atau jasa
akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi yang berada di suatu
wilayah dalam jangka waktu tertentu.
2. PDRB menurut pendekatan pendapatan, merupakan balas jasa yang digunakan
oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu
wilayah dalam waktutertentu.
3. PDRB menurut pendekatan pengeluaran, merupakan semua komponen
pengeluaran akhir seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok dan ekspor neto dalam jangka
waktu tertentu.
2.10. Penelitian Terdahulu
Keberadaan investasi pemerintah maupun swasta adalah hal utama dalam
pencapaian pertumbuhan ekonomi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui peranan dari kedua jenis investasi tersebut, sekaligus untuk
mengetahui bagaimana investasi swasta dan pemerintah saling berinteraksi dalam
suatu wilayah. Perkembangan investasi di suatu wilayah pun tidak terlepas dari
kondisi yang ada, konsep ini dinyatakan sebagai iklim investasi. Berbagai
penelitian pun telah dilakukan untuk menganalisis apa dan bagaimana iklim yang
kondusif bagi suatu usaha, yang dapat menarik para investor untuk masuk ke
suatu wilayah.
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan investasi dan
iklim investasi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :
Tabel 3 Penelitian Terdahulu Judul jurnal Penulis Metode Kesimpulan
How to Boost private
investment in Middle
East North Affica
Ahmet
Aysan,
Gaobo
Pang dan
Marrie
Ange
Data panel Faktor penentu investasi swasta di
negara berkembang adalah
pertumbuhan ekonomi, tingkat
bunga riil, reformasi struktural,
perdagangan luar negeri/wilayah,
kepastian ekonomi
A disaggregated
analysis of government
expenditure and private
investment in Turkey
Erdal
Karagol
Cointegration
analysis of a
mutivariate
Investasi pemerintah dan
pengeluaran konsumsi cenderung
meng crowd out investasi swasta,
Determinants of public
and private Investment :
An empirical Study of
Pakistan
Rabia
Saghir ,
Azra Khan
Co integration
and eror
correction
investasi pemerintah memiliki
pengaruh negatif terhadap investasi
swasta, bahkan mempelihatkan
terjadinya crowding effect
29
Judul jurnal Penulis Metode Kesimpulan
Can fiskal incentives
stimulate regional
investment in the
Philipina
Renato E.
Reside Jr.
Reggresion Insentif bukanlah penduga yang
tepat untuk investasi wilayah di
Philipina, dan sangat lemah
pengaruhnya terhadap pola
investasi daerah. Daerah menjadi
menarik bagi investor berdasarkan
daya saing yang dimilikinya
Determinants and
Productivity of
Regional
Transport Investment in
Europe
Achim
Kemmer-
ling
Andreas
Stephan
Panel data
Faktor utama yang mempengaruhi
investasi publik:
(1) prinsip-prinsip normatif,
seperti efisiensi, keadilan, dan
redistribusi, (2) faktor-faktor
politik, seperti kompetisi pemilu.
Infrastruktur jalan memberikan
kontribusi positif terhadap
produksi regional
Economical
determinants of
Domestik investment
Hazem B.
Al khatib,
Jordan
Gassan. S.
Altaleb,
PhD
Samer . M.
Alokor
Co integtration
model
Laju pertumbuhan PDB dan ekspor
signifikan dalam merangsang
investasi dalam negeri, investasi
asing langsung (FDI), dan tingkat
perkembangan sektor keuangan.
SDM hanya mampu merangsang
investasi domestik hanya dalam
jangka panjang. Investor
Outward foreign direct
investment from Asean:
Implications for
regional integration
Pavida
Pananod
(2008)
Time series Keluar masuknya investor dari dan
ke suatu wilayah ditentukan oleh
faktor endowment yang ada di
wilayah tesebut.
The Regional alocation
of infrastructure
investment
Antoni
Castells,
Albert Sole
Olle
Panel data Efisiensi dalam pengalokasian
investasi infrastruktur transportasi
hanya berlaku pada area terbatas,
sedangkan dalam wilayah/area
yang luas, faktor politik yang lebih
berperan.
Regional Inequality in
Foreign Direct
Investment
Flows to India:
The Problem and the
Prospects
Atri
Mukherjee
*
fixed effect
pooled
least squares
Market size, aglomerasi,
infrastruktur dan ukuran industri
dan jasa berpengaruh positif dan
signifikan pada aliran FDI,
sedangkan pajak dan upah tenaga
kerja berpengaruh negatif.
Growth and investment
climate:Progress and
challanges for asian
economics
Lauren M.
Phillips
Panel data Untuk mampu bersaing di dunia
usaha maka harus mampu
membangun kapasitas pemerintah
untuk kebijakan di bidang daya
saing dan mampu menganalisis
dampak dari kebijakan tersebut
pada sektor utama dalam
perekonomian karena faktor utama
yang mempengaruhi iklim
investasi adalah tata kelola dan
infrastruktur
30
Judul Penulis Metode Kesimpulan
Incentives dan
Investment:Evidence &
policy implication
Sebastian
James
Time serries
data
Dampak insentif terhadap investasi
sangat terbatas, tetapi tetap harus
dimasukkan dalam iklim investasi
untuk mengatasi kegagalan pasar
dan multiplier efect, dan juga harus
dikaitkan dengan pertumbuhan
investasi yang berbasis kinerja.
Daya Tarik investasi
dan Pungli di DIY
Mudrajad
Kuncoro,
Anggi
Rahajeng
KPPOD
methode
Analisis hirarki
Daya tarik investasi di DIY relatif
lebih dipengaruhi oleh faktor non
ekonomi dibandingkan dengan
faktor ekonomi, karena sifatnya
yang tidak terkontrol.
Analisis determinan
pertumbuhan ekonomi
dan kebutuhan investasi
di Kabupaten Maros
Khairil
Anwar,
Raharjo
adisasmita,
Nursini
multiple linear
regression,
ICOR, Klassen
Tipology,
and descriptive
analysis of the
RPJMD
document
Investasi swasta memiliki dampak
positif dan signifikan pada
pertumbuhan ekonomi.
Pengembangan model
investasi regional
Direktorat
Pengemban
gan
wilayah
Bappenas
Investasi swasta dan pemerintah
berdampak positif bagi kinerja
perekonomian, dengan indikator
kenaikan PDRB, penurunan jumlah
penduduk miskin dan
pengangguran
Determinan investasi di
daerah : Studi kasus
Propinsi di Indonesia
Jamzani
Sodik, Didi
Nuryadin
Data panel
dinamis dan Co
integrasi
Pilihan berinvestasi dipengaruhi
oleh market size, infrastruktur dan
tingkat keterbukaan ekonomi.
2.11. Kerangka Pemikiran
Pembangunan daerah di Propinsi Bengkulu mengacu kepada kegiatan
pembangunan secara sektoral sekaligus menjadi pusat dan lokasi kegiatan sosial
ekonomi, dan pemerintahan daerah yang berjalan baik. Kondisi perkembangan
seluruh kabupaten/kota yang ada di provinsi ini akan diklasifikasikan dengan
menggunakan tipologi Klasen. Digunakannya tipologi klasen ini diharapkan akan
mendapat gambaran tentang pola pertumbuhan ekonomi dari masing-masing
kabupaten di Propinsi Bengkulu.
Setelah mengetahui perkembangan dari masing-masing kabupaten,
dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui sektor apa saja yang menjadi
sektor basis di Propinsi Bengkulu untuk itu dilakukan analisis LQ. Lebih lajut LQ
ini pun dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat spesialisasi sektor-sektor di
suatu wilayah, dalam hal ini spesialisasi sektor-sektor di kabupaten atau kota yang
ada di propinsi Bengkulu. Dengan diketahuinya sektor basis, maka dapat
diketahui sektor yang menjadi basis ekspor di masing-masing kabupaten/kota.
Lebih lanjut akan dianalisis tingkat pertumbuhan sektor ekonomi dari
masing-masing kabupaten/kota sebagai indikator keberhasilan pembangunan desa,
dalam hal ini dipergunakan analisis shift share. Untuk mencapai tingkat
31
pertumbuhan yang diinginkan maka dibutuhkan tingkat investasi dan kapasitas
fiskal tertentu, dalam hal ini akan dipergunakan analisis kebutuhan investasi dan
kapasitas fiskal. Semua analisis ini bermuara pada permasalahan yaitu untuk
mengetahui struktur ekonomi dan pola pertumbuhan sekaligus sektor basis dan
keterkaitan antara sektor untuk mencapai suatu tingkat pertumbuhan tertentu.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Propinsi Bengkulu, ternyata di
dominasi oleh aktivitas konsumsi masyarakat, sedangkan pertumbuhan investasi
di wilayah ini sangat rendah. Untuk itu sejalan dengan teori, dimana pertumbuhan
eekonomi akan stabil dan berkelanjutan jika ditopang oleh pertumbuhan investasi,
maka Propinsi Bengkulu dalam hal ini mencoba mencari bagaimana cara untuk
menarik para investor. Adapun cara menarik para investor dengan cara memahami
kondisi iklim investasi yang ada di Propinsi Bengkulu, sekaligus mencari tahu
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi investasi di Propinsi Bengkulu.
Kondisi iklim investasi akan dianalisis dengan menggunakan persamaan
logit, sedangkan analisis faktor yang mempengaruhi akan dianalisis dengan
menggunakan analisis data panel.
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :.
32
Per
Gambar 9 Kerangka Pemikiran
Pembangunan
Wilayah di 9
Kabupaten dan
1 kota
Pendapatan
Perkapita
Kontribusi
Sektoral
Pertumbuhan
ekonomi
Perwilayahan Pembangunan
Sumber Pembiayaan Pembangunan
Pendapatan
Asli Daerah
Dana
Perimbang
an
Investasi
Swasta
Kapasitas Fiskal
Iklim
Investasi
Infrastruktur
daerah
Perizinan
Usaha
Biaya
Transaksi
Kepemilikan
lahan
Kondusif Tidak
Peningkatan
jumlah PMA,
PMDN
Keluarnya investor dari
wilayah, Rendahnya
jumlah UKM
Faktor Penentu
Investasi
Tinggi
Pelaksanaan
Pembangunan
Wilayah
Peningkatan PDRB Perkapita, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi
Pendapat
an lain
Peraturan
daerah
33
2.12. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel akses lahan, infrastruktur daerah, peraturan daerah, biaya transaksi,
menentukan iklim investasi di Propinsi Bengkulu.
2. Variabel PDRB perkapita, infrastruktur jalan, listrik dan air, hasil pertanian, hasil
pertambangan, belanja modal mempengaruhi tingkat investasi industri Pertanian
dan non pertanian di Propinsi Bengkulu.
.
2.13. Kebaruan
Perkembangan investasi yang ada di Provinsi Bengkulu tidak terlepas dari tata
kelola kegiatan pembangunan yang mempengaruhi iklim investasi, daya tarik
wilayah dan pemahaman atas keinginan para investor untuk masuk ke wilayah
Bengkulu. Penelitian investasi yang ada belum melakukan pengamatan secara
komperensif atas hal-hal tersebut di Provinsi Bengkulu. Maka kebaruan dari
penelitian ini adalah :
1. Analisis komprehensif mengenai kondisi investasi di Provinsi Bengkulu,
diawali dengan struktur perekonomian, potensi daerah dikaitkan dengan tata
kelola usaha untuk penciptaan iklim investasi yang kondusif.
2. Analisis persepsi para`investor yang mampu memberikan gambaran yang
lebih lengkap mengenai praktik tatakelola terkait perizinan usaha.
3. Gambaran yang komprehensif mengenai apa saja yang secara statistika
signifikan mempengaruhi iklim dan tingkat investasi baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
4. Ditemukan bahwa faktor-faktor pendorong investasi di Provinsi Bengkulu
masih berada pada tahap yang sangat buruk/kurang memadai, sehingga upaya
peningkatan kinerja investasi harus dimulai dengan perbaikan mendasar
terhadap faktor-faktor tersebut.
Pertumbuha
n ekonomi
dan
Pendapatan
Perkapita
34
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian:
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Bengkulu, yang terdiri dari 9
(sembilan) kabupaten dan 1 (satu) kota yaitu kabupaten Bengkulu Selatan, Rejang
Lebong, Bengkulu Utara, Kepahiang, Lebong, Bengkulu Tengah, Seluma, Kaur,
Muko-Muko, dan Kota Bengkulu.
Gambar 10. Peta administrasi Propinsi Bengkulu
35
3.2. Metode Analisis
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahapan
yaitu :
1. Metode deskriptif, metode ini dipergunakan untuk menganalisis
perwilayahan pembangunan di Propinsi Bengkulu, dengan
menggunakan metode Tipologi Klassen, LQ, Shift Share, dan
kapasitas fiskal.
2. Analisis ekonometrik dalam penelitian ini terdiri dari dua tahapan
yaitu :
Menggunakan data primer (kuesioner) untuk mengetahui kondisi
iklim usaha di Propinsi Bengkulu, sehingga dapat diketahui
hambatan-hambatan apa saja yang mengakibatkan sulitnya
perkembangan usaha di Propinsi Bengkulu. Alat analisis yang
dipergunakan adalah persamaan Regresi Logit.
Menggunakan data sekunder untuk mengetahui faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi investasi. Alat analisis yang dipergunakan
adalah Regresi panel.
3.3. Data dan metode pengumpulan data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Adapun yang dimaksud dengan data primer dalam penelitian ini adalah
data yang dikumpulkan dan diolah langsung oleh peneliti. Pengambilan data
primer dilakukan dengan mengadakan observasi pada seluruh perusahaan PMA,
dan PMDN yang melakukan kegiatan usaha di Propinsi Bengkulu.
Pengumpulan data primer ini menggunakan kuesioner tertutup. Kuesioner
tertutup ini terdiri dari 5 (lima) variabel. Masing-masing variabel terdiri dari 10
pertanyaan dan masing-masing pertanyaan sudah disediakan pilihan jawaban.
Skala pengukuran untuk setiap jawaban pertanyaan adalah ordinal. Skala
ordinal dipilih karena jawaban memiliki urutan kategori yang jelas namun jarak
antara kategori-kategori itu tidak diketahui (Juanda, 2009). Proses pengumpulan
data ini dipergunakan untuk menganalisis iklim investasi di Propinsi Bengkulu.
Indikator yang dipergunakan untuk menganalisis iklim usaha ini bersumber dari
Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011 yang dikeluarkan oleh Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah/Regional Autonomy Watch (KPPOD) .
Skala yang dipergunakan dalam kuesioner ini adalah skala Likert dimana
pilihan jawaban yang dipergunakan adalah :
36
Tabel 4. Penentuan nilai score pada kuesioner iklim investasi :
Variabel Pilihan Jawaban Nilai Skor
Akses lahan Sangat Baik
Baik
Cukup
Buruk
Sangat Buruk
5
4
3
2
1
Ketersediaan Infrastruktur daerah Sangat Memadai
Baik
Cukup
Kurang Memadai
Tidak memadai
5
4
3
2
1
Pengaturan Perizinan Sangat Baik
Baik
Cukup
Buruk
Sangat Buruk
5
4
3
2
1
Pelaksanaan Peraturan Daerah Sangat Setuju
Setuju
Ragu
Tidak Setuju
Sangat tidak setuju
5
4
3
2
1
Transparansi biaya transaksi Sangat Setuju
Setuju
Ragu
Tidak Setuju
Sangat tidak setuju
5
4
3
2
1
Data sekunder dikumpulkan dengan mempergunakan data yang sudah
dipublikasikan dari Bapeda Propinsi Bengkulu, Dinas Perindustrian, perdagangan
dan UKM, BKPMD dan Biro Pusat statistik Propinsi Bengkulu. Periode waktu
yang dipergunakan adalah tahun 2010-2013.
3.4. Populasi dan sampel
Populasi responden yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi
seluruh perusahaan yang berada dalam klasifikasi usaha besar swasta yang
meliputi Penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan Penanaman modal Asing
(PMA) yang aktif menjalankan usahanya dan ada dalam pelaporan kegiatan
penanaman modal di BKPMD Provinsi Bengkulu. Adapun jumlah perusahaan
yang ada di Propinsi Bengkulu berdasarkan klasifikasi tersebut adalah :
37
Tabel 5 Jumlah perusahaan yang masuk dalam kategori, usaha besar swasta, dan
BUMD di Propinsi Bengkulu
Kabupaten/Kota Usaha besar swasta BUMD
PMDN PMA Bengkulu Selatan 0 0 - Rejang lebong 0 0 - Bengkulu Utara 8 9 0 Kaur 0 1 - Seluma 5 1 - MukoMuko 3 6 - Lebong 1 2 - Kepahiang 0 1 - Bengkulu Tengah 5 3 - Kota Bengkulu 5 3 1 Propinsi Bengkulu 27 26 1
Sumber : BKPMD, Pemda dan Dinas Perindustrian Propinsi Bengkulu
Berdasarkan populasi tersebut akan dilakukan penarikan sampel dengan
menggunakan metode cluster. Metode ini dipilih berdasarkan sampel yang ada
dari masing-masing kelompok perusahaan tersebut.
Adapun sampel dari penelitian ini adalah :
Tabel 6 Populasi dan Sampel Penelitian
Klasifikasi Usaha Populasi Sampel
PMA
PMDN
BUMD
27
26
1
20
12
1
Total 54 33
3.5. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini :
1. Sektor basis yaitu Kegiatan ekonomi yang selain mampu memenuhi
kebutuhan domestik tetapi juga mampu mengekspor barang dan jasa
keluar batas perekonomian yang bersangkutan.
2. Sektor non basis yaitu kegiatan ekonomi yang menyediakan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan orang yang bertempat tinggal didalam
batas perekonomian wilayah tersebut.
3. Iklim Investasi (IC) yaitu : lingkungan yang menyediakan kualitas hukum,
regulasi dan penataan kelembagaan yang dapat memungkinkan usaha
untuk memiliki daya saing, pertumbuhan serta penciptaan lapangan kerja
yang maksimal. Nilai IC dinyatakan 0 (IC=0) jika iklim investasi tidak
38
kondusif ditandai oleh rendahnya tingkat investasi, IC=1 jika iklim
investasi kondusif ditandai tingginya tingkat investasi yang masuk ke
Provinsi Bengkulu.
4. Akses lahan yaitu Proses kepemilikan lahan, kepemilikan fasilitas usaha,
proses sertifikat, penyelesaian konflik kepemilikan, Pelaksanaan jual beli,
Pembebasan tanah, Kebijakan PEMDA dalam hal akses lahan.
5. Infrastruktur daerah yaitu Ketersediaan fasilitas oleh pemerintah daerah
berupa jalan, listrik dan air bersih.
6. Perizinan yaitu Proses pengurusan perizinan resmi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah meliputi IMB, HO, SITU dan SIUP.
7. Peraturan Daerah yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah yang berkaitan dengan usaha peningkatan pendapatan daerah dan
perkembangan dunia usaha
8. Biaya transaksi yaitu Kejelasan dalam proses pemungutan biaya dibidang
usaha.
9. Investasi industri Pertanian yaitu Aktivitas investasi di bidang industri
pengolahan hasil-hasil sektor pertanian. Nilai investasi industri di setiap
kabupaten/ kota periode 2013=2014.
10. Investasi industri bukan pertanian yaitu Aktivitas investasi di bidang
industri pengolahan hasil-hasil bukan sektor pertanian. Nilai investasi
bukan industri di setiap kabupaten/ kota periode 2010 – 2013.
11. PDRB perkapita yaitu tingkat pendapatan perkapita masyarakat di seluruh
kabupaten/kota atas dasar harga konstan. Tingkat PDRB perkapita periode
2010-2013.
12. Infrastruktur listrik yaitu penyediaan listrik di seluruh kabupaten/kota.
Daya terpasang di seluruh kabupaten/kota.
13. Infrastruktur jalan yaitu kualitas jalan yang ada di Provinsi Bengkulu
meliputi jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Diukur dengan
mengunakan persentase jalan berkualitas baik.
14. Infrastruktur air yaitu penyediaan dan penyaluran air yang disalurkan oleh
PDAM di setiap kabupaten/kota. Cara pengukuran yang dilakukan melalui
debit air yang disalurkan.
15. Share pertanian pada PDRB yaitu Share pertanian terhadap PDRB. Nilai
sektor pertanian di dalam penghitungan PDRB menurut lapangan Usaha.
16. Share pertambangan pada PDRB yaitu Share sektor pertambangan
terhadap PDRB. Nilai sektor pertambangan dalam penghitungan PDRB
menurut lapangan usaha.
17. Tenaga kerja yaitu Jumlah tenaga kerja yang terdidik dengan tingkat
pendidikan diploma, Strata 1, strata 2 dan strata 3. diukur dengan
menggunakan persentase jumlah tenaga kerja terdidik.
18. Belanja Modal yaitu pengeluaran anggaran yang dugunakan dalam rangka
memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi
manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal
kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset
tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu
satuan kerja bukan untuk dijual.
39
3.6. Metode Pengolahan data
Studi ini menggunakan beberapa metode analisis dalam menjawab tujuan yang
akan dicapai. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut :
Analisis PERWILAYAHAN PEMBANGUNAN dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan metode :
1. Analisis Tipologi Klassen
Alat analisis ini digunakan untuk mengetahui gambaran pola dan struktur
pertumbuhan ekonomi daerah
2. Analisis Location Quotient (LQ)
Metode LQ untuk mengidentifikasi komoditas unggulan diakomodasi dari
Miller & Wright (1991), Isserman (1997), dan Ron Hood (1998).
Analisis LQ digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
spesialisasi sektor-sektor di suatu daerah atau sektor-sektor apa saja yang
merupakan sektor basis atau leading sector. Hasil dari analisis ini akan
memperlihatkan sektor yang berperan secara dominan sebagai sektor basis
dan sektor yang tidak berperan secara dominan disebut sebagai sektor non
basis. Metode ini memiliki bentuk persamaan sebagai berikut:
⁄
⁄
LQ adalah Location Quotient, vi adalah output sektor i di suatu daerah, Vi
adalah output sektor i nasional, vt adalah output total daerah tersebut, Vt
adalah output total nasional
Pengelompokan sektor basis dan non basis berdasarkan besaran LQ yang
diperoleh dari hasil analisis adalah sebagai berikut:
LQ < 1: Berarti sektor tersebut memiliki potensi yang kecil untuk
menjadi sektor basis wilayah.
LQ = 1: Berarti sektor tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan
lokalnya dan dapat berpotensi sebagai kegiatan basis ekonomi
wilayah.
LQ > 1: Berarti sektor tersebut merupakan sektor basis ekonomi
wilayah.
Alat ukur yang umum digunakan dalam menghitung LQ adalah
kesempatan kerja (employment). Namun karena data tenaga kerja di wilayah
penelitian sukar diperoleh, maka perhitungan nilai LQ dalam penelitian ini
menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan. Berdasarkan hasil
perhitungan LQ dapat diketahui potensi relatif dari masing-masing sektor di
wilayah tertentu. Analisis ini membandingkan antara PDRB kabupaten
dengan PDRB Propinsi sebagai wilayah acuan. Metode LQ ini cukup
memiliki relevansi dengan kajian Analisis Potensi dan Pengembangan
Investasi Di Propinsi Bengkulu karena dapat mengetahui sektor-sektor
perekonomian yang memiliki potensi di wilayah tersebut untuk lebih
ditumbuh kembangkan melalui kegiatan-kegiatan investasi dan kegiatan
ekonomi melalui pendekatan perbandingan.
40
3. Analisis shift-share (S-S)
Metode analisis ini dapat digunakan untuk memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi suatu daerah dan sebagai analisis di dalam riset pembangunan
pedesaan. Tehnik ini diawali dengan perhitungan perubahan PDRB suatu
sektor di suatu daerah antara 2 periode. Terdapat 3 komponen utama dalam
analisis Shift Share (Budiharsono, 2001). Ketiga komponen pertumbuhan
wilayah tersebut adalah komponen pertumbuhan nasional/propinsi/kabupaten
(PN), komponen pertumbuhan regional dan komponen pertumbuhan pangsa
wilayah (PPW). Masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan secara rinci
pada bagian berikut:
a. Komponen Pertumbuhan Nasional (National Growth Component)
Komponen pertumbuhan nasional (PN) adalah perubahan
produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh
perubahan produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan
ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi
perekonomian semua sektor dan wilayah.
b. Komponen Pertumbuhan Proposional (Proposional Mix Growth
Component) Komponen pertumbuhan proposional (PP) tumbuh karena
perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam
ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti
kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam
struktur dan keragaman pasar.
c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Regional Share Growth
Component). Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul
karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam
suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya
pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya
ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan
kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional
pada wilayah tersebut.
Hubungan antara ketiga komponen tersebut secara lengkap dapat dilihat pada
gambar 11 di bawah ini. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah
tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor
ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW > 0, maka dapat dikatakan
bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok
progresif (maju).Sementara itu, PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan
sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat.
Adapun model analisis Shift share yang dipergunakan adalah :
41
Sumber : Budiharsono
Gambar 11 Model analisis shift share
4. Peta Kapasitas Fiskal
Kapasitas fiskal merupakan sebuah parameter yang menggambarkan
kemampuan keuangan suatu daerah provinsi/kabupaten/kota dalam
membiayai pembangunannya. Kapasitas fiskal ini dicerminkan melalui
penerimaan umum Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) (tidak
termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan
penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu, tidak termasuk untuk belanja pegawai) dengan dikaitkan pada jumlah
penduduk miskin. Perhitungan kapasitas fiskal setiap daerah didasarkan pada
formula berikut (Keputusan Menteri Keuangan No. 538/KMK.07/2003) :
( )
KF = kapasitas fiskal; PAD = pendapatan asli daerah; BH=Bagi hasil
pajak dan bagi hasil bukan pajak (sumberdaya alam); DAU=Dana alokasi
umum; P = Penerimaan lain-lain yang sah, kecuali dana alokasi khusus,
dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lainnya yang dibatasi
penggunaannya; BP = Belanja pegawai.
Peta Kapasitas Fiskal Daerah adalah gambaran kapasitas fiskal yang
dikelompokan berdasarkan indeks kapasitas fiskal daerah. Penghitungan
Indeks kapasitas Fiskal masing-masing daerah dilakukan dengan cara
menghitung kapasitas fiskal masing-masing daerah kabupaten/kota dibagi
dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh daerah kabupaten/kota. Adapun
kategori dari indeks kapasitas fiskal sebagai berikut :
a. Indeks fiskal ≥ 2 daerah dengan kategori kapasitas fiskal sangat tinggi.
b. 1 ≤ Indeks fiskal < 2 daerah dengan kategori kapasitas fiskal tinggi.
c. 0.5 ≤ Indeks fiskal < 1 daerah dengan kategori kapasitas fiskal sedang.
d. Indeks fiskal ≤ 0.5 daerah dengan kategori kapasitas fiskal tinggi.
Komponen Pertumbuhan
nasional
Wil ke j, sektor
ke i
Wil ke j, sektor
ke i
Komponen pertumbuhan
proporsional
Komponen pertumbuhan
pangsa wilayah
Maju
PP+PPW≥0
Lambat
PP+PPW<0
42
Analisis PERWILAYAHAN INVESTASI mempergunakan metode :
1. Model Regresi Logit
Dalam penelitian ini akan dilakukan pengumpulan data dengan
mempergunakan kuesioner untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi iklim usaha mengunakan variabel Dummy. Hal ini sejalan
dengan skala yang pengukuran yang dipergunakan dalam menilai iklim usaha
yaitu ordinal (iklim kondusif=1; tidak kondusif =0). Karena respon yang
akan dianalisis berbentuk biner, maka metode analisis regresi yang
dipergunakan adalah analisis regresi Logit. Menurut Gujarati (2004) analisi
regresi Logit ini dikenal dengan istilah Kualitatif response regression models,
dimana variabel terikatnya dalam bentuk variabel biner atau dikotomi.
Variabel terikat dalam analisis logit ini dapat berbentuk ordinal maupun
nominal.
Adapun model yang dipergunakan disini adalah :
Tabel 7 Variabel model Regresi Logit
Variabel Indikator Penilaian
Iklim
investasi/climate
investment (CI)
Suasana mendukung yang
menciptakan perkembangan
investasi
0 = kondusif
1 = tidak
kondusif
Kepemilikan
Lahan (LHN)
Persepsi para investor
mengenai kemudahan untuk
mendapatkan lahan, waktu
yang dibutuhkan untuk
mengurus sertifikat tanah
SKALA
LIKERT
Infrastruktur
daerah
Ketersediaan dan kualitas
infrastruktur sekaligus
pemeliharaannya
SKALA
LIKERT
Perizinan usaha Proses pengurusan izin,
mencakup waktu dan biaya
SKALA
LIKERT
Peraturan Daerah Kesesuaian dan kekonsistenan
pelaksanaan Peraturan daerah
SKALA
LIKERT
Adapun hipotesis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
Ho : β1 = β2 =....= βk = 0 (model tidak dapat dijelaskan)
H1 : Minimal ada βj ≠ 0 (model dapat dijelaskan)
Dengan kriteria pengambilan keputusan :
Ho ditolak jika statistik G > Χ2
α,k-1
43
Jika Ho ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada β j ≠ 0 artinya
model Regresi Logit dapat menjelaskan atau memprediksi pilihan individu/
pengamatan.
Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata terhadap
pilihannya, maka dilakukan uji signifikansi dari parameter koefisien secara
parsial dengan statistik uji Wald
( )
Kriteria pengujian :
Ho : βj = 0 (Peubah Xj tidak berpengaruh nyata)
H1 : βj ≠ 0 (Peubah Xj berpengaruh nyata)
untuk j = 2,3,...k
2. Model Regresi Data panel
Keunggulan dari penggunaan model data panel menurut (Verbek 2004)
dalam Firdaus (2011) adalah Pertama, mengkombinasikan data time series dan
cross section membuat jumlah observasi menjadi lebih besar, dan marjinal effect
dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga
parameter yang diestimasi akan lebih akurat. Selain itu menurut Hsiao (2004),
data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinieritas antar
peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan
efisiensi. Kedua, data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek
yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data
time series saja. Regresi dengan menggunakan data panel disebut model regresi
data panel. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan data
panel. Pertama, data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak sehingga
akan menghasilkan degree of freedom yang lebih besar. Kedua, menggabungkan
informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang
timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (ommited variable).
Ada berbagai pendapat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
investasi, diantaranya :
1. Market size, pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, pengembalian investasi,
kebijakan investasi pemerintah, stabilitas politik, strategi global dari
perusahaan, ekspor impor, teknologi dan infrastruktur (Ali dan Wei Guo
(2005)) 2. Laporan Bank Indonesia, faktor yang mempengaruhi investasi adalah suku
bunga riil, jumlah kredit yang disalurkan PDRB, dan nilai tukar. 3. Pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, inflasi, akses pasar, dan ketenaga kerjaan
(Hsio dan Shen (2003)) 4. Faktor yang mempengaruhi market regional, infrastruktur, kebijakan
preferensial, upah, pendidikan (Cheng (2000)) 5. PDRB, goverment size, sumber daya alam, dan variabel kelembagaan (Eltayeb
dan Sidiropolous (2010)),
44
Dengan mengacu pada berbagai pendapat diatas sekaligus disesuaikan
denan kondisi wilayah di Propinsi Bengkulu, maka model regresi yang digunakan
untuk menganalisis faktor penentu investasi adalah sebagai berikut :
Iit = βi + β2 PDRBkapitait + β3 Infr_Lit + β4 Infr_JNasit + β5 Infr_JProvit
+ β6 Infr_JKabit + β7 Infr_Airit + β8 SDA_Agrit+ β9 SDA_M
+ β10 TKit + β11BMit
Tabel 8 Variabel dalam Model Regresi Panel
Variabel Proxi Satuan
Investasi Invetasi industri pertanian (IP); industri
non pertanian (INP), total investasi
industri.
Ribu rupiah
PDRBkapita PDRB Perkapita atas dasar harga konstan Juta rupiah
InfrR_L Daya listrik terpasang Ribu Va
Infr_JNas
Infr_JProp
Infrastruktur jalan Nasional berkualitas
baik
Infrastruktur jalan Provinsi berkualitas
baik
Km
Km
Infr_JKabupaten
Infr_Air
SDA_Agr
Infrastruktur jalan kabupaten berkualitas
baik
Air disalurkan
Share sektor pertanian di PDRB
Km
M3
Juta rupiah
SDA_M Share sektor pertambangan dan
penggalian
Juta rupiah
Tenaga Kerja (L)
Belanja Modal
(BM)
Tenaga kerja dengan tingkat pendidikan
Akademi, S1 dan S2
Belanja modal pemerintah
Kabupaten/kota
Persen
Ribu rupiah
i Unit cross section (9 kabupaten dan 1
kota (i=10)
t Jumlah tahun yang diteliti (2010-2013)
Terdapat dua pendekatan yang umum diaplikasikan dalam data panel yaitu :
a. Fixed effect Model(FEM). Model ini muncul ketika antara efek individu
dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola
yanng sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek
individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep.
Adapun model yang dipergunakan :
One way komponen eror Yit=αi + λi + Xit β + uit
Two way komponen eror Yit=αi + λi + μt + Xit β + uit
b. Random EffectModel (REM). REM ini muncul pada saat efek individu
dan regresor tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari
efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam eror.
Adapun model yang dipergunakan :
One way komponen eror Yit=αi + Xit β + uit + λi
Two way komponen eror Yit=αi+ Xit β + uit + λi + μt
45
4. GAMBARAN UMUM PROVINSI BENGKULU
Provinsi Bengkulu adalah salah satu provinsi di Indonesia yang berada
di pesisir barat pulau Sumatra. Pada awalnya provinsi ini bergabung dengan
Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan Undang-Undang No 9 tahun 1967 tentang
Pembentukan Provinsi Bengkulu maka Bengkulu resmi sebagai provinsi.
Sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang, Provinsi Bengkulu mengalami
beberapa kali pemekaran. Semula Provinsi Bengkulu terdiri dari 3 kabupaten dan
1 kota yaitu Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Rejang Lebong dan Kota
Bengkulu. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.3 tahun 2003 tentang
kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur di Provinsi
Bengkulu, maka Bengkulu Utara mengalami pemekaran menjadi kabupaten
Bengkulu Utara dan Mukomuko. Bengkulu Selatan pun berdasarkan undang-
undang yang sama mengalami pemekaran menjadi Bengkulu Selatan, Seluma dan
Kaur.
Pada tahun yang sama juga dikeluarkan Undang-Undang No. 39 tahun
2003 tentang pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di
Provinsi Bengkulu. Atas dasar itu Kabupaten Rejang Lebong mengalami
pemekaran menjadi Kabupaten Rejang Lebong, Lebong dan Kepahiang.
Terakhir pada tahun 2008 dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 24
tahun 2008 tentang Pembentukan kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng) maka
kabupaten Bengkulu Utara kembali mengalami pemekaran menjadi dua wilayah
kabupaten yaitu kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah.
Adapun wilayah pemekaran yang ada di Provinsi Bengkulu adalah sebagai
berikut :
Tabel 9 Kabupaten induk dan kabupaten Pemekaran di Provinsi Bengkulu
Kabupaten Induk Landasan Hukum Kabupaten Pemekaran
Bengkulu Selatan UU No 3 tahun 2003
UU No 3 tahun 2003
Seluma,
Kaur
BengkuluUtara UU No 3 tahun 2003
UU No 24 tahun 2008
Mukomuko,
Bengkulu Tengah
Rejang Lebong UU No 39 tahun 2003
UU No 39 tahun 2003
Lebong,
Kepahiang
Kota Bengkulu Tidak dimekarkan
Sumber : Data diolah 2014
Berdasarkan Laporan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) di Provinsi Bengkulu 2005-2025, delapan kabupaten di Provinsi
Bengkulu (Bengkulu Tengah belum dimekarkan) masuk kedalam kategori daerah
tertinggal. Hanya Kota Bengkulu yang tidak termasuk daerah tertinggal.
Berdasarkan keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor
001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah
Tertinggal, yang dimaksud dengan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten
yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan
daerah lain dalam skala nasional. Faktor penyebab daerah tertinggal antara lain.
46
(1). Geografis, (2). Sumber daya alam, (3). Sumber Daya Manusia, (4). Sarana
dan Prasarana.
Kondisi geografis beberapa desa di kabupaten yang ada di Provinsi
Bengkulu relatif sulit terjangkau, karena kondisi geografisnya yang jauh di
perdalaman, perbukitan/pegunungan, dan pulau terpencil. Transportasi yang ada
didominasi transportasi darat, kualitas jalan yang ada relatif belum memadai. Hal
ini mengakibatkan beberapa desa yang ada di Provinsi ini masuk dalam kategori
tertinggal karena sulit dijangkau oleh jaringan transportasi maupun media
komunikasi.
Sumber Daya Alam yang ada di Provinsi Bengkulu tidak tersebar secara
merata di seluruh kabupaten. Ada beberapa kabupaten yang kaya sumber daya
tambang berupa batu bara seperti kabupaten Bengkulu Utara (54.81 juta ton),
Bengkulu Tengah (71.23 juta ton) dan Seluma (55.14 juta ton). Sementara
kabupaten Lebong dan Mukomuko walaupun memiliki kekayaan sumber daya
pertambangan ini tidak dapat dieksploitasi secara bebas karena termasuk ke
wilayah konservasi. Berdasarkan total taman nasional yang ada di Provinsi
Bengkulu (412324.6 hektar), 24 persen berada di wilayah kabupaten Lebong dan
36 persen berada di kabupaten Mukomuko. Bahkan kabupaten Lebong tidak
memiliki hutan produksi semua wilayah hutannya masuk kedalam kawasan suaka
alam dan hutan lindung.
Tingkat pendidikan Sumber daya manusia yang ada di seluruh
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bengkulu relatif rendah. Berdasarkan data
dari Bengkulu dalam angka tahun 2014 diketahui bahwa rata-rata lulusan
universitas di seluruh kabupaten baru berada pada kisaran 2-7.5 persen. Hanya
kota Bengkulu yang memiliki lulusan Universitas sebesar 13.25 persen.
Persentase terbesar dari tingkat pendidikan penduduk adalah tamat SD. Hanya
kabupaten Bengkulu Selatan dan Kota Bengkulu yang mayoritas penduduknya
berpendidikan SMA. Tingkat putus sekolah pun relatif besar yaitu rata-rata 13-20
persen dari total jumlah penduduk yang berusia diatas 15 tahun. Hanya Kota
Bengkulu yang memiliki jumlah penduduk putus sekolah hanya 5.58 persen.
Sarana dan Prasarana jalan, listrik, air bersih dan telepon baru mencapai
wilayah ibukota kabupaten dan sekitarnya. Sedangkan wilayah yang jauh dari
kota kabupaten masih belum memadai sarana dan prasaranya. Fasilitas pelabuhan
di Provinsi ini hanya memiliki 1 (satu) pelabuhan laut dan 1 bandara nasional.
Diantara seluruh kabupaten ada di Provinsi Bengkulu, kabupaten
Mukomuko yang paling sedikit memiliki desa tertinggal (21 persen). Sedangkan
kabupaten yang terbanyak memiliki desa tertinggal adalah Bengkulu Tengah (73
persen). Secara umum penilaian perkembangan wilayah seluruh kabupaten/kota di
Provinsi Bengkulu diuraikan berikut ini.
4.1.Perkembangan dan Struktur Perekonomian Provinsi Bengkulu
Pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan di setiap
kabupaten/kota memperlihatkan arah perubahan yng beragam. (gambar 11)
47
Sumber : Bengkulu dalam Angka, BPS 2014
Gambar 12 Laju pertumbuhan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu pada
tahun 2013 (dalam persen)
Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa dari 9 kabupaten yang ada di
Provinsi Bengkulu yang meliputi Bengkulu Selatan (BS), Rejang Lebong (RL),
Bengkulu Utara (BU), Kaur, Seluma (SLM), Mukomuko (Muko2), Lebong (Lbg),
Kepahiang (Kphg), Bengkulu Tengah (BT) dan Kota Bengkulu (Kota) secara
umum tingkat pertumbuhan ekonomi di seluruh kabupaten kota yang ada di
Provinsi Bengkulu pada tahun 2013 berada pada kisaran angka yang relatif sama
yaitu antara 5-6 persen. Hanya Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Selatan
yang memiliki tingkat pertumbuhan diatas Provinsi. Selain Kota Bengkulu dan
Kabupaten Bengkulu Selatan Rejang Lebong, Mukomuko dan Kepahiang juga
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi diatas 6 (enam) persen tetapi tingkat
pertumbuhannya masih dibawah tingkat pertumbuhan provinsi. Sedangkan
kabupaten lain masih berada dalam kisaran dibawah 6 persen.
Selain tingkat pertumbuhan ekonomi, hal lain yang juga menjadi perhatian
utama dalam menilai keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu wilayah adalah
berdasarkan pendapatan perkapita (PDRB perkapita) dan struktur tenaga kerja.
PDRB perkapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan
nyata ekonomi perkapita penduduk suatu wilayah. Secara konsep, PDRB
perkapita dihitung dengan membagi Pendapatan Domestik Regional Brutto
dengan jumlah penduduk. PDRB perkapita dapat mengindikasikan kemampuan
masyarakat yang didukung oleh daya beli masyarakat. Struktur tenaga kerja
diperlukan untuk mengetahui pergeseran atau pergerakan tenaga kerja antar
sektor.
Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa PDRB perkapita tertinggi dimiliki
oleh kabupaten Rejang Lebong pada periode 2012-2013 berada pada kisaran 19-
21 juta rupiah. Berdasarkan data tahun 2013, Pendapatan perkapita kabupaten
Rejang Lebong (21 juta) bersama dengan Kota Bengkulu (20 juta) dan Kepahiang
(18 juta) berada diatas PDRB perkapita Propinsi Bengkulu pada kisaran 14-15
juta. Sedangkan PDRB perkapita kabupaten lain masih pada kisaran 8-14 juta
pertahun.
Kepahiang dan Lebong sebagai kabupaten pemekaran baru ternyata PDRB
perkapitanya mampu mengungguli kabupaten lain yang sudah lebih dulu
berkembang. Sedangkan PDRB perkapita terendah dimiliki oleh kabupaten
6,27 6,12 5,58 5,98
5,29 6,05 5,62 6,01
5,37 6,44 6,21
BS RL BU Kaur SLM Muko2 Lbg Kphg BT Kota Prov
Laju PertumbuhanLaju Pertumbuhan (%)
48
Seluma yaitu sebesar 6 juta rupiah. Adapun sebaran PDRB perkapita di Provinsi
Bengkulu seperti pada Gambar 13 :
Sumber : Bengkulu dalam Angka, BPS 2014
Gambar 13 PDRB perkapita seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu pada
tahun 2013
Gambar 13 menyatakan PDRB perkapita diseluruh kabupaten/kot yang
ada di Provinsi Bengkulu. Untuk mengetahui PDRB perkapita Provinsi Bengkulu
di tingkat nasional dapat diketahui dari Gambar 14 dibawah ini. PDRB perkapita
provinsi Bengkulu berada pada kelompok provinsi dengan pendapatan perkapita
rendah bersama dengan Maluku Utara, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
Sumber : Provinsi Bengkulu dalam Angka 2014
Gambar 14 Sebaran PDRB perkapita seluruh provinsi di Indonesia (dalam jutaan
rupiah)
Jika dihubungkan antara Gambar 13 dan 14, diperoleh gambaran bahwa dari
seluruh kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Bengkulu hanya 3 kabupaten
yang memiliki tingkat PDRB perkapita diatas PDRB perkapita provinsi.
Sedangkan di tingkat nasional PDRB perkapita Bengkulu berada ada jajaran
bawah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa secara umum PDRB perkapita di
kabupaten/kota yang ada di Bengkulu relatif rendah.
11 12
19 21
8 9 6 7 6 6
13 14 16 18
11 12
18 20
14 15
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
20
12
20
13
BS RL BU Kaur Seluma Lbg Kphg BT Kota Prov
PDRB Perkapita (ADHK) dalam jutaan rupiah
0
20
40
60
80
100
120
PDRB kapita
49
Untuk mengetahui perwilayahan hasil pembangunan dengan mengacu
pada nilai pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masing-masing
kabupaten/kota dilakukan analisis Tipologi klassen untuk mengklasifikasikan
kondisi keberhasilan pembangunan kedalam empat kategori yang hasilnya sebagai
berikut :
Sumber : Data diolah 2014
Gambar 15 Tipologi klasen kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu
Secara geografis, provinsi Bengkulu memiliki bentuk wilayah relatif
memanjang sejajar garis pantai dengan panjang garis pantai ± 525 km. Mayoritas
wilayah berbatasan langsung dengan samudra Indonesia. Hanya kabupaten
Lebong dan Rejang Lebong yang tidak berada di pesisir pantai. Perbedaan lokasi
ini mengakibatkan perbedaan karakter masyarakatnya. Perbedaan luas wilayah,
karakter masyarakat dan aktivitas ekonomi wilayah menyebabkan perbedaan
kemajuan pembangunan.
Berdasarkan analisis tipologi klasen, perwilayahan kemajuan pembangunan
dikelompokkan menjadi empat yaitu :
Wilayah yang cepat maju dan cepat tumbuh ditandai dengan tingkat
pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi tinggi meliputi kabupaten
Rejang Lebong, Kepahiang dan Kota Bengkulu.
Wilayah yang maju tetapi tertekan ditandai dengan tingkat pendapatan
perkapita tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi rendah meliputi kabupaten
Lebong.
Wilayah yang berkembang cepat ditandai dengan tingkat pendapatan
perkapita rendah, tetapi pertumbuhan ekonomi tinggi meliputi kabupaten
Mukomuko, Bengkulu Selatan dan Kaur.
Bengkulu Selatan
Rejang Lebong
Bengkulu Utara
Kaur
Seluma
Muko
Lebong
KepahiangBengkulu Tengah
Kota Bengkulu
Tipologi KlassenPE Rendah- Perkapita Rendah
PE Tinggi - Perkapita Rendah
PE Rendah- Perkapita Tinggi
PE Tinggi - Perkapita Tinggi
50
Wilayah yang relatif tertinggal meliputi tingkat pendapatan perkapita dan
pertumbuhan ekonomi rendah meliputi kabupaten Bengkulu Utara,
Bengkulu Tengah dan Seluma.
Sebelum menjelaskan tipologi klassen, perlu dilakukan pembahasan mengenai
fluktuasi Pendapatan Domestik regional Brutto (PDRB) perkapita. PDRB
perkapita adalah suatu konsep yang membandingkan PDRB dan jumlah
penduduk. Beberapa wilayah dengan tingkat PDRB yang relatif tinggi terkadang
harus masuk kedalam kategori wilayah PDRB perkapita rendah dikarenakan
beban jumlah penduduk yang dimiliki. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan
pada tingkat PDRB dan jumlah penduduk untuk mendukung hasil analisis tipologi
klasen. Adapun sebaran pendapatan dan jumlah penduduk adalah sebagai berikut
:
Sumber : Bengkulu Dalam Angka 2014
Gambar 16 Sebaran tingkat PDRB dan jumlah penduduk seluruh kabupaten/Kota
pada tahun 2013
Berdasarkan sebaran PDRB pada Gambar 16, terlihat bahwa Kota
Bengkulu, Rejang Lebong dan Bengkulu Utara memiliki tingkat PDRB yang
tertinggi dibandingkan kabupaten lain, sedangkan kabupaten Kaur memiliki
tingkat PDRB terendah. Jika dilakukan pengamatan pada jumlah penduduk di
masing-masing kabupaten/kota. Jumlah penduduk terbesar dimiliki oleh
kabupaten Bengkulu Utara sedangkan Kabupaten Kaur, Lebong dan Kepahiang
memiliki jumlah penduduk terendah.
PDRB perkapita adalah konsep yang membagi nilai PDRB total dengan
jumlah penduduk. Tingginya PDRB perkapita akan tercapai pada kondisi tingkat
PDRB tinggi atau sedang dibandingkan dengan jumlah penduduk rendah. Hal ini
terjadi di Kabupaten Rejang Lebong dan Kota Bengkulu, tingginya tingkat PDRB
dipadukan dengan jumlah penduduk yang relatif rendah, hal ini mendukung
pencapaian tingginya tingkat PDRB perkapita di kedua wilayah.
Hal sebaliknya yang terjadi di kabupaten Bengkulu Utara, walaupun
Tingkat PDRB wilayah ini tinggi, tetapi karena beban jumlah penduduk yang
besar menyebabkan tingkat PDRB perkapita di wilayah ini menjadi rendah.
0,00
2000000,00
4000000,00
6000000,00
8000000,00
10000000,00
12000000,00
PDRB harga konstan (juta rupiah) jumlah Penduduk
51
Hasil analisis Tipologi klassen menyatakan bahwa kabupaten Bengkulu Utara
berada pada kelompok wilayah tertinggal.
Kemajuan suatu wilayah menurut Todaro (2006) ditandai dengan
perubahan struktur ekononomi. Selain pertambahan output sebagai indikator
perkembangan suatu wilayah, pergerakan tenaga kerja pun menjadi indikator
perkembangan wilayah. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha pun
ikut menentukan pendapatan perkapita dan pertumbuhan wilayah.
Sumber : Bengkulu Dalam Angka 2014
Gambar 17 Persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut
lapangan usaha (2010-2013)
Sektor yang dibahas pada Gambar 17 meliputi (1) Pertanian, (2)
Pertambangan, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, gas dan air bersih, (5).
Konstruksi, (6) Perdagangan, restorant dan hotel, (7) Angkutan dan Komunikasi
(8) Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, (9) Jasa.
Diantara seluruh seluruh sektor ekonomi yang ada terlihat bahwa
mayoritas penduduk yang bekerja di Provinsi Bengkulu berada di sektor
pertanian. Sedangkan sektor yang paling sedikit menyerap tenaga kerja adalah
listrik, gas dan air bersih.
Dalam rentang waktu 2010-2013 terlihat bahwa pada sektor pertanian
terjadi penurunan jumlah penduduk yang berkerja, sedangkan di sektor jasa
jumlah tenaga kerja sektoralnya mengalami kenaikan. Sektor lain diluar pertanian
dan jasa, pertumbuhan tenaga kerjanya relatif tetap. Selain pertanian, sektor yang
juga banyak menyerap tenaga kerja adalah perdagangan, restoran dan hotel.
Adanya perbedaan perkembangan pembangunan dari masing-masing
daerah adalah hal yang menarik untuk dikaji. Terlebih lagi jika ditinjau dari sisi
kultur masyarakat, kendala dan keunggulan di masing-masing kabupaten/kota,
ditampilkan pada Tabel 10 berikut :
0
10
20
30
40
50
60
70
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2010 2011 2012 2013
52
Tabel 10 Kultur, Kendala dan Keunggulan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Bengkulu Kabupaten/
Kota
Kultur daerah
Kendala
Keunggulan
Sektor Prioritas
KAUR Primordial/
kesukuan
dominan
disemua sisi
Kultur sosisal
budaya yang kurang
kooperatif terhadap
pendatang dan SDM
yang kurang
mendukung kinerja
Pemerintah Daerah
Wilayah luas,
SDA banyak
khususnya
perikanan dan
lahan
perkebunan,
maupun hutan
(1). Pengelolaan
hasil baru berupa
pengolah CPO
(2). Memiliki
potensi pasir besi
dengan
klasifikasi yang
dapat
dikonsumsi pada
tingkat dunia
BENGKULU
SELATAN
Sukuisme/
Primordial
tinggi
SDA yang tidak
memungkinkan utk
investasi pada skala
besar di sektor
pertambangan
maupun perkebunan
Kabupaten
Induk dengan
tata aturan yang
relatif memadai
SELUMA Sukuisme/
Primordial
tinggi
Kinerja Pemerintah
daerah yang
cenderung birokratis
terlalu
mengedepankan
kepenting birokrat
Wilayah luas,
SDA banyak
khususnya
perikanan dan
lahan
perkebunan,
hutan
Perencanaan
pembangunan
pabrik semen
tersandung pada
kasus lahan, dan
penunjukan
proyek tidak
sesuai prosedur,
memiliki potensi
pasir besi dengan
klasifikasi yang
dapat
dikonsumsi pada
tingkat dunia
KOTA
BENGKULU
Kebijakan
baru sebatas
Teoritis, baru
mencapai
tatanan konsep
Banyaknya
kebijakan yang
kontradiktif
Ibukota
provinsi dengan
fasilitas dan
infrastruktur
yang memadai,
SDM yang
relatif baik
BENGKULU
TENGAH
Kompleks
karena terdiri
dari berbagai
suku
SDM aparat
pemerintahanya
rendah. Daya
dukung terhadap
investasi baik dari
pemerintah maupun
masyarakat buruk
SDA berupa
lahan
pertambangan
dan perkebunan
sangat memadai
(sisi kalori
maupun deposit
rendah) di Bukit
Sunur
Memiliki Pabrik
karet terbesar se-
sumbagsel
53
Kabupaten/
Kota
Kultur daerah
Kendala
Keunggulan
Sektor Prioritas
KEPAHIANG Lebih terbuka
terhadap
perubahan,
Daerah yang relatif
sempit sehingga
pengembangan SDA
tidak optimal
Masyarakatnya
relatif terbuka,
SDM sudah
relatif memadai
Program
Sengonisasi,
Memiliki
rencana pabrik
triplek terbesar
sesumatra yang
gagal karena
tersandung kasus
korupsi
REJANG
LEBONG
Terbuka,
sejarah
peradaban
sosial
budayanya
berkembang
lebih dulu
dibandingkan
daerah lain di
bengkulu
Regulasi
Pemerintahan
ditangan orang yang
tidak kompeten,
konflik sosial nya
tinggi akibat
ketidakadilan yang
dirasakan oleh salah
satu suku minoritas
(lembak)
Ibukota
provinsi dengan
fasilitas dan
infrastruktur
yang memadai,
SDM yang
relatif baik
LEBONG Keras,
tertutup,
individualis
70-75% wilayahnya
adalah kawasan
hutan lindung dan
konservasi
memiliki hutan
produksi yang
luasannya sangat
tidak memadai
untuk pendapatan
Memiliki SDA
yang relatif
memadai
Pertambangan
emas rakyat,
PLTA Tes-Musi
sebagai pemasok
listrik se-
Sumbagsel
BENGKULU
UTARA
Terbuka
terhadap
inovasi
didominasi
oleh
pendatang,
SDM relatif
memadai,
Aksesibilitas buruk
(pembangunan
Pelabuhan Laut di
Ketahun gagal),
ketiadaan fasilitas
Pendukung yang
modern, Pusat
pemerintahan
Kabupaten tidak
dijadikan sebagai
pusat bisnis
sehingga terjadi
kebocoran wilayah
Luas wilayah
memadai untuk
pengembangan
sektor pertanian
dan
perkebunan,
dan kandungan
deposit serta
kalori di sektor
pertambangan
yang relatif
tinggi
Kabupaten
Terkaya dengan
jumlah PMA dan
PMDN yang
besar
dibandingkan
kabupaten lain
di provinsi
Bengkulu.
Potensi ikan
sangat baik,
memiliki
pelabuhan laut
Kahyapu di P.
Enggano
MUKO-MUKO Berada di
wilayah
perbatasan,
tetapi kultur
masyarakatnya
cenderung
tertutup,
kurang
menerima
pendatang
Kultur masyarakat
yang menolak
perubahan, terisolir
karena jarak yang
jauh ke ibukota
provinsi dan tidak
memiliki potensi
pertambangan
Luas Wilayah
memadai untuk
sektor pertanian
dan perkebunan
Memiliki
pelabuhan udara
perintis (Bandara
Mukomuko)
54
Kabupaten Bengkulu Selatan, Kaur dan Seluma pada awalnya berada pada
satu wilayah kabupaten yaitu Bengkulu Selatan. Berawal dari satu kabupaten
induk inilah yang menyebabkan kultur masyarakatnya relatif sama yaitu masih
sangat primordial atau kesukuannya tinggi. Kultur sosial budaya yang didominasi
oleh sikap kesukuan yang sangat kuat mengakibatkan tipikal masyarakat di ketiga
wilayah ini relatif kurang terbuka terhadap pendatang dan perubahan.
Salah satu hal menarik di ketiga kabupaten ini dalam proses pengangkatan
pejabat daerah oleh kepala daerah. Mayoritas pejabat Pemerintah Daerah di
kabupaten ini berasal dari suku yang sama dengan kepala daerahnya. Sehingga
terkadang proses pengangkatan tersebut tidak didasari oleh kompetensi tetapi
didominasi oleh suku dan kedekatan pribadi. Tingginya tingkat subjektivitas yang
berlaku di kalangan pegawai Daerah mengakibatkan sumber daya manusia yang
dilibatkan dalam pengelolaan Pemerintahan Daerah menjadi relatif kurang
berkualitas, sangat birokratis dan lebih mengutamakan kepentingan pejabat
dibandingkan masyarakat.
Hal menarik yang terjadi sehubungan dengan pemecahan wilayah,
kabupaten Bengkulu Selatan yang pada awalnya adalah kabupaten induk. Setelah
pemekaran menjadi wilayah yang memiliki area terkecil (1185.7 km2)
dibandingkan kabupaten Seluma (2400 km2) dan Kaur (2363 km
2) sebagai
kabupaten pemekarannya. Bahkan sumber daya alam yang berpotensi secara
ekonomi menjadi masuk ke wilayah kabupaten pemekaran baru. Sumber daya
tambang dan perkebunan besar pun yang semula berada di wilayah kabupaten
Bengulu Selatan menjadi berada di wilayah Kabupaten Seluma dan Kaur.
Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi kabupaten yang tidak memiliki SDA yang
memadai.
Keunggulan yang dimiliki oleh kabupaten Bengkulu Selatan adalah
keteraturan pengelolaan pemerintah daerah yang relatif memadai. Kabupaten Kaur
dan Seluma memang memiliki kapasitas SDA yang mendukung secara ekonomis,
tetapi pengelolaan Pemerintahan Daerah di kedua kabupaten pemekaran masih
belum berjalan baik dibandingkan dengan kabupaten induk, masih banyak proyek
besar seperti perencanaan pembangunan pabrik semen yang gagal dilaksanakan
karena ketidakjelasan aturan dan prosedur.
Kota Bengkulu sebagai ibukota provinsi relatif maju di bandingkan
kabupaten lain di Provinsi Bengkulu. Maju dengan tingkat infrastruktur yang
memadai dan kualitas SDM yang relatif baik. Kendala yang dihadapi oleh Kota
Bengkulu ini adalah masih banyaknya kebijakan-kebijakan baru yang terkadang
kontradiktif antara satu dengan lainnya dan baru mencapai tatanan konsep.
Kabupaten Bengkulu Tengah, Mukomuko dan Bengkulu Utara pada
awalnya merupakan satu kabupaten yaitu Bengkulu Utara. Kabupaten Bengkulu
Utara terkenal sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya didominasi oleh
kaum pendatang, khususnya para transmigrasi dari pulau Jawa. Hal inilah yang
menjadi salah satu penyebab beragamnya kultur yang ada di masyarakat.
Masyarakat di wilayah ini relatif lebih terbuka menerima perubahan dibandingkan
kabupaten lain. Kendala utama yang dihadapi oleh kabupaten Bengkulu utara
adalah aksesibilitas yang buruk. Proyek pembangunan pelabuhan laut di Ketahun
gagal karena ketiadaan fasilitas pendukung yang modern. Padahal jumlah
penanaman modal asing dan domestik yang masuk ke provinsi Bengkulu
55
terbanyak di kabupaten Bengkulu Utara. Terjadinya perbedaan lokasi antara
Pusat pemerintahan Kabupaten dan pusat bisnis menjadikan wilayah ini hanya
menjadi wilayah pengambilan/eksploitasi SDA semata.
Mukomuko sebagai kabupaten hasil pemekaran dari Bengkulu Utara,
relatif lebih tertutup terhadap pendatang dibandingkan kabupaten induknya.
Padahal kabupaten ini berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat
sehingga konektivitas antar provinsi relatif tinggi melalui kabupaten ini.
Kabupaten Mukomuko adalah satu-satunya kabupaten di Provinsi Bengkulu yang
memiliki bandara walaupun baru untuk pesawat kecil karena kabupaten ini
memiliki jarak terjauh ke ibukota provinsi.
Bengkulu Tengah sebagai kabupaten pemekaran baru (dimekarkan tahun
2008) relatif lebih terbuka terhadap pendatang. Memiliki kekayaan tambang
terbesar diantara seluruh kabupaten/kota. Kabupaten ini berbatasan langsung
dengan Kota Bengkulu sehingga memudahkan aksesibilitas dari dan menuju pusat
kota. Bahkan mayoritas pegawai di Pemerintahan Kabupaten Bengkulu Tengah
bertempat tinggal di Kota Bengkulu. Hal ini dapat diasumsikan terjadinya
kebocoran wilayah. Sedangkan Penduduk asli kabupaten ini masih berada pada
kategori tertinggal dan miskin. Sumber daya Manusia yang ada di kabupaten ini
relatif masih rendah.
Secara ekonomi, kabupaten Bengkulu Utara, Mukomuko dan Bengkulu
Tengah memiliki potensi ekonomi yang sangat baik, karena didukung oleh
kondisi alam. Infrastruktur yang relatif memadai dan mampu menjadikan industri
pengolahan sebagai sektor basis.
Kabupaten Rejang Lebong, Kepahiang dan Lebong. Berasal dari
kabupaten induk Rejang Lebong. Ketiga kabupaten ini memiliki kondisi yang
sama yaitu berada di dataran tinggi dan di wilayah timur provinsi. Suku terbesar
yang ada di ketiga kabupaten ini adalah suku Rejang, hal inilah yang terkadang
memunculkan konflik akibat ketidaksamaan perlakuan antar suku. Kabupaten
Rejang Lebong sudah memiliki kondisi sosial budaya yang relatif berkembang
dibandingkan kabupaten lain.
Fasilitas infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia yang memadai.
Keterbukaan masyarakat terhadap perbedaan tidak hanya terjadi di Kabupaten
Rejang Lebong, hal serupa terjadi di Kabupaten Kepahiang. Kekayaan SDA yang
ada di ketiga kabupaten ini tidak sebanyak kabupaten Bengkulu Utara dan
kabupaten pemekarannya. Kabupaten Lebong dan kepahiang memiliki kendala di
bidang SDA akibat tidak memadainya kawasan yang dimiliki.
Beberapa daerah dalam wilayah Provinsi Bengkulu di dominasi oleh
kawasan hutan konservasi dan hutan lindung sehingga kegiatan budidaya dan
pemukinan menjadi sangat terbatas. Persentase luas kawasan hutan konservasi dan
hutan lindung yang paling tinggi terdapat di kabupaten Lebong. Hutan konservasi
di kabupaten Lebong yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) berbatasan
langsung dengan hutan lindung sebagai buffer zone.
Kondisi perkembangan dari masing-masing sektor perekonomian yang ada
di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu dianalisis dengan
menggunakan Tipologi klasen dan shiftshare analysis untuk melakukan
pengklasifikasian dari masing-masing sektor berdasarkan kontribusi sektoral dan
pertumbuhan sektoral. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sektor basis dan
pergerakan pertumbuhan sektoral. Wilayah yang mampu memenuhi kebutuhannya
56
sekaligus menjadi produsen bagi wilayah lain akan menjadi wilayah yang
memiliki multiplier efek yang besar. Kemampuan wilayah dalam menghasilkan
barang dan jasa baik untuk pasar lokal maupun luar daerah akan mendorong
peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah tersebut. Sektor yang mampu
menghasilkan barang atau jasa untuk pasar dalam maupun luar wilayah disebut
dengan sektor basis. Penjualan luar daerah akan menghasilkan pendapatan daerah.
Adanya arus pendapatan dari luar daerah menyebabkan terjadinya kenaikan
investasi dan konsumsi di daerah tersebut, dan pada gillirannya akan menaikkan
pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Sektor-sektor perekonomian
basis dan non basis akan mendorong perbedaan tingkat pertumbuhan dan corak
perekonomian wilayah. Adapun hasil analisisnya adalah sebagai berikut :
Tabel 11 Hasil Analisis sektor basis dan pertumbuhan sektoral di Provinsi
Bengkulu Kab/Kota Location Quatient
(Sektor basis)
Shiftshare
(Pertumbuhan
sektoral)
Bengkulu Selatan Jasa
Perdagangan
Konstruksi
Transportasi
Lambat
Lambat
Cepat
Lambat
Rejang Lebong
Pertanian
Lambat
Bengkulu Utara
Pertambangan
Konstruksi
Jasa
Lambat
Cepat
Cepat
Kaur
Konstruksi
Transportasi
Pertanian
Cepat
Lambat
Lambat
Seluma
Pertanian
Konstruksi
Pertambangan
Lambat
Cepat
Lambat
Muko-muko
Industri pengolahan
Keuangan
Pertanian
Lambat
Cepat
Lambat
Lebong Pertanian Lambat
Kepahiang Pertanian Lambat
Bengkulu Tengah
Pertambangan
Industri Pengolahan
Konstruksi
Lambat
Lambat
Cepat
Kota Bengkulu Transportasi dan komunikasi
Perdagangan
Keuangan
Jasa
Listrik, gas dan air bersih
Cepat
Cepat
Cepat
Cepat
Lambat
Lambat
57
Adapun keterkaitan antara tingkat keberhasilan pembangunan dan struktur
perekonomian di masing-masing kabupaten kota adalah sebagai berikut :
4.1.1 Wilayah maju dan bertumbuh cepat
Kabupaten yang berada di wilayah ini adalah Rejang Lebong, Kepahiang
dan Kota Bengkulu. Kabupaten Rejang lebong memiliki sektor basis di sektor
pertanian. Khususnya sub sektor Tanaman pangan dan holtikultura. Adapun yang
dimaksud dengan pertanian sub sektor tanaman pangan disini adalah semua
kegiatan ekonomi yang menghasilkan komoditas bahan pangan meliputi padi dan
palawija serta tanaman serelia lainnya. Sedangkan tanaman holtikultura terdiri
dari tanaman holtikultura semusim dan tahunan. Komoditas yang dihasilkan oleh
kegiatan ini meliputi kelompok komoditi sayuran, buah-buahan, dan tanaman
hias. Walaupun sektor pertanian sub sektor Tanaman pangan menjadi sektor
unggulan di Kabupaten ini, pertumbuhan sektoralnya masih relatif lambat.
Kabupaten Kepahiang sama halnya dengan Kabupaten Rejang Lebong
juga memiliki sektor basis di sektor pertanian sub sektor tanaman pangan dan
holtikultura. Pertumbuhan sektor ini pun masih lambat. Kabupaten Rejang
Lebong dan Kepahiang sama-sama berada di bagian timur provinsi yang berupa
dataran tinggi, tidak memiliki keunggulan di bidang pertambangan. Tingkat
investasi di wilayah ini pun relatif rendah, proporsi PMA di kedua kabupaten ini
terhadap total PMA di Provinsi Bengkulu dalam rentang waktu 2010-2013 hanya
mencapai 0.76 persen sedangkan PMDN tak satupun masuk ke wilayah ini. Hal
ini dikarenakan keunggulan yang dimiliki kedua kabupaten ini adalah sektor
pertanian khususnya pertanian Tanaman pangan berupa holtikultura. Jenis hasil
pertanian khususnya pertanian tanaman pangan bukan merupakan tujuan para
investor. Investor yang masuk ke provinsi Bengkulu mayoritas merujuk pada sub
sektor perkebunan khususnya kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit diwilayah
ini pun relatif sedikit. Komoditi yang dihasilkan oleh Perkebunan besar swasta
yang masuk di daerah Rejang Lebong dan Kepahiang didominasi oleh kopi dan
Teh.
Selain kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang, Wilayah lain yang juga
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang tinggi
berada di wilayah barat provinsi. Berbeda dengan wilayah di bagian timur, satu-
satunya kota yang berada di bagian barat provinsi Bengkulu tepatnya di pesisir
pantai barat pulau Sumatra ini tidak memiliki keunggulan di bidang pertanian,
tetapi memiliki banyak sektor unggulan di sektor Transportasi dan komunikasi,
Perdagangan, Keuangan, Jasa, Listrik, gas dan air bersih. Dari seluruh sektor yang
menjadi sekor basis di kabupaten Bengkulu hanya sektor jasa; listrik, gas dan air
bersih yang pertumbuhan sektoralnya lambat. Sedangkan sektor transportasi dan
komunikasi, perdagangan, dan keuangan memiliki pertumbuhan sektoral cepat.
Wilayah ini berkembang selain sebagai ibukota provinsi juga berkembang sebagai
kota Jasa. Kota ini menjadi pusat pertumbuhan bagi wilayah di sekitarnya.
58
4.1.2. Wilayah maju tetapi tertekan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
tinggi tetapi pendapatan perkapita rendah.\
Kabupaten Kaur, Bengkulu Selatan dan Mukomuko masuk dalam
kelompok Wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi
pendapatan perkapita rendah. Berada di wilayah ujung selatan dan Utara provinsi.
Kabupaten Kaur yang berada di ujung selatan Provinsi Bengkulu yang berbatasan
dengan Provinsi Lampung. Kabupaten Kaur memiliki sektor basis pada sektor
konstruksi, transportasi dan Pertanian. Dari ketiga sektor ini pertumbuhan sektor
konstruksi relatif maju. Sedangkan sektor transportasi dan Pertanian pertumbuhan
sektoralnya relatif lambat.
Kabupaten Bengkulu Selatan memiliki keunggulan yang sama dengan
kabupaten Kaur di bidang transportasi dan konstruksi. Selain kedua sektor
tersebut. Kabupaten ini masih memiliki sektor basis pada sektor jasa dan
perdagangan. Dari keempat sektor unggulan tersebut hanya konstruksi yang
pertumbuhan sektoralnya cepat, sedangkan sektor lain pertumbuhannya relatif
lambat. Hal menarik, kabupaten Bengkulu Selatan tidak menjadikan sektor
pertanian menjadi sektor basis tetapi telah berpindah dari sektor primer ke sektor
tersier yaitu jasa.
Kabupaten Mukomuko adalah satu diantara dua kabupaten di Provinsi
Bengkulu yang menjadikan industri pengolahan sebagai sektor basis walaupun
pertumbuhan sektoralnya masih relatif lambat. Selain industri pengolahan,
keuangan dan pertanian sub sektor perkebunan juga menjadi sektor unggulan
dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan pertanian relatif lambat.
4.1.3. Wilayah berkembang pesat ditandai dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi rendah tetapi pendapatan perkapita tinggi
Wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah tetapi tingkat
perkapita tinggi adalah Kabupaten Lebong. Berada di bagian timur provinsi.
Sektor Pertanian khususnya sub sektor tanaman Pangan menjadi sektor unggulan
di kabupaten ini, walaupun pertumbuhan sektoralnya masih lambat. Tanaman
padi merupakan komoditi unggulan di Kabupaten Lebong. Kabupaten Lebong
merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di Propinsi Bengkulu, yang
diresmikan pada tanggal 7 Januari 2004
Kabupaten Lebong merupakan salah satu dari 10 Kabupaten/Kota yang
ada di Provinsi Bengkulu.Luas wilayah Lebong sebesar 192.924 Ha Wilayah
Kabupaten Lebong terletak pada ketinggian di atas 500 meter dari permukaan laut
dengan lebih dari 50 persen luas wilayah di Kabupaten Lebong berupa hutan
lindung (taman nasional).
4.1.4. Wilayah relatif tertinggal dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita rendah.
Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah dan Seluma adalah wilayah
yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita rendah. Bengkulu
59
utara dan Bengkulu Tengah dan Seluma ini memiliki keunggulan yang sama yaitu
disektor pertambangan dan sektor pertanian sub sektor perkebunan (kelapa sawit
dan karet).
Kabupaten Bengkulu Utara memiliki banyak sektor basis meliputi sektor
Pertambangan, Konstruksi dan Jasa. Berada di bagian tengah provinsi yang
berupa dataran rendah. Kabupaten ini menjadikan pertambangan sebagai sektor
yang paling diunggulkan karena Kabupaten ini memiliki deposit batubara yang
terbesar di Provinsi Bengkulu sesudah Kabupaten Bengkulu Tengah. Tetapi
ternyata tidak serta merta menjadikan wilayah ini kaya. Hal ini dikarenakan beban
jumlah penduduk yang relatif besar.
Kabupaten Bengkulu Tengah sebagai kabupaten pecahan dari Bengkulu
Utara memiliki keunggulan utama atau basis di sektor pertambangan. Bahkan
analisis LQ menunjukkan bahwa sektor pertambangan di kabupaten ini memiliki
nilai koefisien LQ terbesar. Selain pertambangan, sektor industri pengolahan dan
konstruksi juga menjadi sektor basis di kabupaten ini. Seperti halnya kabupaten
lain, sektor konstruksi juga menjadi sektor unggulan di kabupaten ini. Walaupun
kabupaten Bengkulu Tengah ini baru terbentuk berdasarkan UU No 24 tahun
2008, kabupaten ini mampu menjadikan sektor industri pengolahan menjadi
sektor unggulan, walapun pertumbuhan sektoralnya relatif lambat.
Kabupaten Seluma selain menjadikan pertambangan dan konstruksi
sepertin halnya kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengahsebagai sektor
basis. Satu hal yang berbda adalah dijadikannya pertanian khususnya sub sektor
perkebunan sebagai komoditas unggulan/sektor basis. Mayoritas investor asing
maupun domestik memilih ke tiga kabupaten ini sebagai lokasi investasi, tetapi
tingkat pendapatan perkapita maupun pertumbuhannya relatif rendah.
Banyaknya sektor basis yang dimiliki suatu kabupaten dapat diartikan
tingginya daya saing wilayah tersebut dibandingkan wilayah lain yang ada di
Provinsi Bengkulu. Hasil analisis shiftshare memperlihatkan hanya sektor
konstruksi yang memiliki tingkat pertumbuhan cepat pada tingkat kabupaten/kota
dibandingkan dengan kondisi di tingkat Provinsi. Sedangkan sektor pertanian
walaupun menjadi sektor basis di hampir seluruh kabupaten/kota tetap lambat
pertumbuhannya dibandingkan dengan pertumbuhan sektoral pada level regional.
Jika sektor basis tersebut dapat dipercepat pertumbuhannya, maka usaha
peningkatan pendapatan masyarakat maupun daerah akan dapat tercapai.
60
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dinyatakan sektor pertanian belum dapat
ditinggalkan peranannya dalam pencapaian peningkatan pendapatan masyarakat dan
pertumbuhan ekonomi, sedangkan kekayaan tambang di suatu wilayah tidak mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi jika hanya menjadikan wilayah tersebut sebagai
lokasi eksploitasi atau backwash bagi pusat pertumbuhan.
Adapun pengelompokkan sektor perekonomian seluruh Kabupaten/Kota menurut
perkembangannya dijelaskan pad Tabel 12 berikut :
Tabel 12 Tipologi Klassen sektor perekonomian di seluruh kabupaten kota (tahun
2010-2013)
Kabupaten/Kota Sektor maju
dan tumbuh
Pesat
(kuadran 1)
Sektor maju
tetapi
tertekan
(kuadran 2)
Sektor
potensial atau
masih dapat
berkembang
pesat
(kuadran 3)
Sektor
relatif
tertinggal
(Kuadran 4)
Seluma Pertanian
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
jasa
Pertambangan
Industri
Bengkulu
selatan
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
Jasa
Pertanian
Pertambangan
Industri
Listrik
Bengkulu
Tengah
Pertambangan
Industri
Konstruksi
Pertanian
Listrik
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
jasa
Kepahiang Pertanian
Listrik
Pertambangan
Industri
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
jasa
Rejang Lebong Pertanian
Industri
Listrik
Jasa
Pertambangan
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
61
Kabupaten/Kota Sektor maju
dan tumbuh
Pesat (kuadran
1)
Sektor maju
tetapi
tertekan
(kuadran 2)
Sektor
potensial atau
masih dapat
berkembang
pesat
(kuadran 3)
Sektor
relatif
tertinggal
(Kuadran4)
Lebong Pertanian Pertambangan
Industri
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
Jasa
Kaur Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Pertanian Pertambangan
Industri
Listrik
Keuangan
Jasa
Bengkulu Utara Pertambangan
Industri
Konstruksi
Jasa
Pertanian
Listrik
Perdagangan
Transportasi
Keungan
Mukomuko Industri
Keuangan
Pertanian
Pertambangan
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Jasa
Kota Bengkulu Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
Jasa
Pertanian
Pertambangan
Industri
Hasil analisis Tipologi klassen di sini mengklasifikasikan sektor menjadi 4 kategori
yaitu (1) sektor maju dan tumbuh berkembang, (2) Sektor maju tetapi tertekan, (3)
Sektor potensial dan masih bisa berkembang (4) Sektor relatif tertinggal.
Hampir seluruh sektor yang ada di Kabupaten Seluma berada pada kategori maju dan
tumbuh pesat. Hanya sektor pertambangan dan industri yang pertumbuhannya masih
potensial. Jika dihubungkan dengan analisis sektor basis pada Tabel 11, kabupaten
Seluma memiliki tiga sektor basis yaitu Pertanian, Konstruksi dan Pertambangan,
maka dapat dinyatakan bahwa untuk meningkatkan pendapatan di Kabupaten Seluma
maka Pemerintah Daerah Seluma harus mampu mendorong pertumbuhan sektor
pertambangan karena tingkat pertumbuhannya masih perlu dikembangkan (masih
62
potensial) dan relatif lambat. Sedangkan penciptaan peluang investasi dapat
dilakukan dengan memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki suatu
wilayah.
Untuk kabupaten Bengkulu Selatan, ternyata semua sektor yang masuk dalam
kategori primer dan sekunder yaitu Pertanian, pertambangan, Industri pengolahan dan
listrik masih dalam kategori potensial masih bisa dikembangkan. Sedangkan sektor
lain yang masuk dalam kategori tersier seperti konstruksi, perdagangan, transportasi,
keuangan dan jasa berkembang maju dan tumbuh pesat. Atas dasar itu maka dapat
dinyatakan bahwa perekonomian di kabupaten Bengkulu Selatan sudah mulai bergeser
dari sektor primer ke sektor jasa.
Kondisi yang terjadi di Bengkulu Tengah, sektor pertambangan, industri dan
konstruksi yang masuk dalam kategori maju dan berkembang pesat. Sedangkan sektor
lain masih potensial dan dapat dikembangkan. Hal menarik disini adalah semua sektor
yang perkembangannya sudah maju dan tumbuh pesat adalah juga sektor basis.
Kabupaten Kepahiang hanya memiliki sektor pertanian dan listrik yang relatif maju
dan berkembang. Sedangkan sektor lain masih dalam kondisi potensial dan dapat
berkembang. Sektor pertanian yang memiliki pertumbuhan sektoral maju adalah juga
sektor basis bagi kabupaten ini. Berkembangnya sektor listrik di kabupaten ini tidak
terlepas dari kepemilikan Sumber daya air sebagai salah satu sumber energi
pembangkit listrik.
Kabupaten Rejang Lebong sebagai kabupaten induk memiliki banyak sektor yang
sudah berkembang seperti pertanian, industri pengolahan, listrik dan jasa. Sedangkan
sektor lain masih dalam kategori potensial. Melihat sektor perekonomian yang
berkembang tersebut maka dapat dinyatakan bahwa kondisi perekonomian yang ada di
kabupaten Rejang Lebong bercirikan pertanian dan pengolahan hasil pertanian dimana
listrik menjadi infrastruktur pendukungnya dan jasa administrasi pemerintah turut
berperan di dalamnya.
Kabupaten Kaur adalah satu-satunya kabupaten yang memiliki sektor
perekonomian maju tetapi tertekan yaitu sektor pertanian. Kabupaten ini pun menjadi
wilayah yang dikembangkan oleh sektor jasa karena sektor konstruksi, perdagangan,
dan transportasi yang sudah maju, sedangkan sektor lain masih potensial.
Kabupaten Lebong sebagai daerah pemekaran baru, hanya memiliki sektor
pertanian yang maju dan merupakan sektor basis. Sedangkan sektor perekonomian
lain masih masuk dalam kategori potensial sehingga masih harus dikembangkan lebih
lanjut. Kabupaten Bengkulu Utara memiliki kecenderungan sektor pertambangan
sebagai penggerak utama perekonomiannya. Ditandai dengan sektor perekonomian
yang sudah maju dan berkembang meliputi pertambangan, industri pengolahan,
konstruksi dan Jasa. Sedangkan sektor lain masih masuk dalam kategori potensial dan
dapat berkembang. Kabupaten Mukomuko memiki sektor yang sudah maju berbeda
dengan kabupaten lain. Sektor industri pengolahan dan keuangan adalah sektor yang
relatif maju dan berkembang. Sedangkan sektor lain masih berada dalam kategori
potensial dan belum berkembang.
Adapun yang terjadi di Kota Bengkulu, hanya sektor primer yaitu pertanian,
pertambangan dan industri pengolahan yang berada pada klasifikasi potensial,
sedangkan sektor lain telah maju dan tumbuh cepat. Kondisi yang terjadi di Kota
Bengkulu dan Bengkulu relatif sama yaitu perekonomian yang mengarah pada kondisi
perekonomian jasa.
63
Uraian diatas menjabarkan kondisi pembangunan di Provinsi Bengkulu dari
sisi output atau PDRB. Lebih lanjut akan dilakukan analisis dari sisi ketenagakerjaan
sektoral. Berdasarkan hasil analisis sektor basis diketahui bahwa sektor basis dari sisi
ketenagakerjaan di Provinsi Bengkulu meliputi sektor pertanian dan jasa. Sedangkan
sektor non basis terendah dari sisi tenaga kerja di Provinsi Bengkulu adalah pada
sektor industri pengolahan. Ditinjau dari sisi pertumbuhan sektoral, tenaga kerja di
sektor pertanian pertumbuhannya lamban. Sedangkan pertumbuhan tenaga kerja di
sektor jasa pemerintahan pertumbuhannya sangat maju (progresif). Atas dasar itu dapat
dinyatakan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang harus diutamakan
perkembangannya karena selain menjadi sektor basis di 6 (enam) kabupaten jumlah
tenaga kerja di sektor ini sangat besar.
Provinsi Bengkulu adalah wilayah yang memiliki ketergantungan tinggi pada
Pemerintah Pusat. Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa hampir seluruh kabupaten
memiliki derajat desentralisasi fiskal yang sangat rendah yaitu dibawah 5 persen hal ini
berarti ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat mencapai diatas 95 persen.
Hanya kota Bengkulu yang memiliki derajat desentralisasi fiskal sebesar 6 persen
(ketergantungan pada bantuan Pemerintah pusat 94 persen). Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa perekonomian di Provinsi Bengkulu masih sangat tergantung pada
bantuan dan sumbangan dari Pemerintah Pusat.
Sumber : Bengkulu dalam angka 2014
Gambar 17. Derajat desentralisasi fiskal seluruh kabupaten/Kota di Provinsi
Bengkulu tahun 2013
Kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing
daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah untuk membiayai tugas pemerintah setelah dikurangi belanja
Pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin (Menkeu 2012). Secara
umum kapasitas fiskal Provinsi Bengkulu masih masuk dalam kategori rendah.
Diantara seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bengkulu hanya Kabupaten
Bengkulu Tengah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, Kabupaten Mukomuko
0
20
40
60
80
100
120
Derajat Desentralisasi fiskal Ketergantungan pada pemerintah pusat
64
dan Lebong yang memiliki kapasitas fiskal kategori sedang. Sementara kabupaten
lain masih memiliki kapasitas fiskal rendah.
Tabel 13 Peta Kapasitas fiskal Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu
Kabupaten Kota Indeks Kapasitas
Fiskal
Kategori
Bengkulu Selatan
Rejang Lebong
Bengkulu Utara
Kaur
Seluma
Mukomuko
Kepahiang
Lebong
Bengkulu Tengah
Kota Bengkulu
0.63
0.58
0.69
0.90
0.57
1.12
1.16
1.66
2.94
0.36
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sangat Tinggi
Rendah
Hasil pemetaan kapasitas fiskal pada Tabel 13 yang menyatakan bahwa Kota
Bengkulu sebagai ibukota provinsi ternyata memiliki kapasitas fiskal rendah
sedangkan beberapa kabupaten pemekaran baru ternyata memiliki kapasitas
fiskal tinggi seperti Kepahiang dan Lebong. Hal ini terkait dengan besarnya
jumlah penduduk miskin yang ada di kota Bengkulu yang mengakibatkan
rendahnya kapasitas fiskal di wilayah tersebut.
Bengkulu Tengah sebagai kabupaten yang paling baru dimekarkan
memiliki tingkat kapasitas fiskal sangat tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya
pendapatan Asli daerah dan masih rendahnya jumlah penduduk miskin yang ada
di wilayah ini.
Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah dan tingkat kemiskinan dalam
kaitannya dengan Peta kapasitas fiskal lebih lanjut diuraikan pada gambar 16.
Komponen pembentuk Kapasitas Fiskal yang diantaranya adalah Pendapatan asli
Daerah (PAD), dana perimbangan dari Pemerintah daerah berupa DAU dan DAK
dan tingkat kemiskinan. Ternyata ada beberapa kabupaten yang memiliki tingkat
PAD dibawah garis kemiskinan seperti terlihat pada gambar 18 berikut ini :
Sumber : Bengkulu Dalam Angka 2014
Gambar 18 Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Tingkat Kemiskinan
01020304050
PAD (juta) Tingkat Kemiskinan (juta)
65
Pada Gambar 18 terlihat di Kabupaten Bengkulu Selatan, Mukomuko,
Lebong, Kepahiang dan Bengkulu Tengah memiliki PAD yang lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Jika kita hubungkan dengan kapasitas
fiskal dimana kelima kabupaten tersebut kecuali Bengkulu Selatan memiliki
tingkat kapasitas fiskal yang tinggi terlihat bahwa peranan pemerintah Pusat di
daerah ini masih sangat dominan. Hanya Kota Bengkulu yang relatif mampu
berkembang pada tingkat kapasitas fiskal yang rendah dengan PAD jauh
melampaui tingkat kemiskinan walaupun jumlah penduduk Kota Bengkulu
tertinggi dibanding wilayah lain yang ada di Provinsi ini. Struktur ekonomi di
Kota Bengkulu telah mampu merubah wilayah ini menjadi Pusat Pertumbuhan di
Provinsi Bengkulu dengan menjadi Kota Jasa, terlihat dari sektor
perekonomiannya yang menjadikan sektor transportasi dan komunikasi,
Perdagangan, Keuangan, Jasa dan Listrik, gas dan air bersih sebagai basis.
Tingginya ketergantungan pada Bantuan dari Pemerintah Pusat di seluruh
kabupaten/kota mengharuskan Pemerintah Daerah untuk mampu menciptaan
iklim investasi yang kondusif sehingga menarik minat para investor baik dari luar
maupun dalam negeri (PMA dan PMDN) dan industri kecil maupun menengah.
Menurut (Kinda 2008) yang menjadi kendala dari iklim investasi adalah
infrastruktur fisik maupun keuangan, sumber daya manusia dan institusi daerah.
4.1. Perwilayahan Pembangunan
Penetapan wilayah pembangunan dilakukan melalui penilaian terhadap potensi
sumber daya sehingga dapat melalui penilaian terhadap potensi sumber daya
sehingga dapat dikembangakan menjadi penggerak utama pembangunan. Dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi Bengkulu ditetapkan 11 wilayah
Pembangunan (WP) sebagai berikut :
1. WP Bengkulu, berpusat di Kota Bengkulu, mencakup seluruh wilayah di
kota Bengkulu dengan luas lahan 186.346 ha. Kegiatan Perekonomian
yang menonjol di wilayah ini adalah perdagangan dan jasa, pertanian
tanaman pangan, perkebunan, perikanan laut dan pariwisata. Kegiatan
perekonomian yang potensial dimasa yang akan datang adalah
pertambangan dan peternakan, industri pengolahan dan kerajinan.
2. WP Kepahiang, berpusat di simpul Kepahiang, mencakup wilayah
kabupaten Kepahiang dengan luas lahan 66.480 ha. Kegiatan
perekonomian dan produksi yang menonjol pada WP ini adalah pertanian
tanaman pangan, perkebunan perdagangan dan jasa, pariwisata dan
peternakan, perikanan darat dan industri.
3. WP Curup, berpusat di simpul Curup, mencakup wilayah Kabupaten
Rejang Lebong dengan luas lahan 151.576 ha. Kegiatan perekonomian dan
produksi yang menonjol adalah pertanian tanaman pangan, perkebunan,
pariwisata, serta perdagangan dan jasa antar wilayah. Kegiatan ekonomi
yang potensial adalah peternakan, perikanan darat dan industri.
4. WP Muara Aman, berpusat di simpul Muara Aman, mencakup wilayah
Kabupaten Lebong dengan luas lahan 192.926 ha. Kegiatan perekonomian
dan produksi yang menonjol pada WP ini adalah pertanian tanaman
pangan, perkebunan dan pertambangan. Kegiatan Perekonomian yang
potensial adalah perdagangan dan jasa antar wilayah, pariwisata,
66
peternakan, perikanan laut dan darat, dan pertambangan dengan teknologi
baru.
5. WP Argamakmur, berpusat di simpul Argamakmur, mencakup wilayah
kabupaten Bengkulu Utara bagian Tengah dengan luas lahan 145.390 ha.
Kegiatan perekonomian yang menonjol adalah perkebunan, pertanian
tanaman pangan, serta perdagangan dan jasa intra dan antar wilayah.
Kegiatan ekonomi Potensial adalah perikanan laut, pariwisata, peternakan,
pertambangan dan industri pengolahan produk pertanian.
6. WP Ketahun, berpusat di simpul Ketahun, mencakup wilayah kabupaten
Bengkulu Utara bagian Utara dengan luas lahan 257.010 ha. Kegiatan
perekonomian yang menonjol adalah peternakan, perikanan laut,
pariwisata, pertambangan dengan tekologi baru, perdagangan, dan jasa
intra wilayah dan antar wilayah. Kegiatan ekonomi potensial meliputi
peternakan, perikanan laut, pariwisata, pertambangan dengan teknologi
baru, perdagangan dan jasa intra wilayah dan industri pengolahan produk
pertanian.
7. WP Mukomuko, berpusat di simpul Mukomuko mencakup wilayah
Kabupaten Mukomuko dengan luas lahan 403.670 ha. Kegiatan
perekonomian dan produksi yang menonjol adalah perkebunan, pertanian
tanaman pangan, serta perdagangan dan jasa intra dan antar wilayah.
Kegiatan perekonomian potensial adalah perikanan laut, peternakan,
perikanan darat, pariwisat dan industri pengolahan hasil pertanian.
8. WP Tais, berpusat di simpul Tais, mencakup wilayah sebagian besar
Kabupaten Seluma bagian selatan. Dengan luas lahan 180.543 ha.
Kegiatan perekonomian dan produksi yang menonjol adalah pertanian
tanaman pangan, perkebunan, serta perdagangan dan jasa antar wilayah.
Kegiatan potensialnya adalah peternakan, perikanan laut, perikanan darat,
pariwisata, pertambangan dan industri pengolahan produk pertanian.
9. WP Manna, berpusat di simpul Manna, mencakup wilayah Kabupaten
Bengkulu Selatan dengan luas lahan 117.870 ha. Kegiatan perekonomian
yang menonjol adalah pertanian tanaman pangan, perkebunan, serta
perdagangan dan jasa antar wilayah. Kegiatan potensial adalah peternakan,
perikanan laut, perikanan darat, pariwisata, pertambangan dan industri
pengolahan produk pertanian.
10. WP Bintuhan, berpusat di simpul Bintuhan, mencakup wilayah kabupaten
Kaur dengan luas lahan 236.230 ha. Kegiatan perekonomian dan produksi
yang menonjol adalah perkebunan dan pertanian tanaman pangan.
Kegiatan perekonomian potensial adalah perikanan laut, peternakan dan
pariwisata.
11. WP Enggano, merupakan wilayah frontier yang terletak di Pulau Enggano,
terpisah relatif jauh dari daratan pulau Sumatera dengan luas lahan 40.060
ha. Kegiatan perekonomian dan produksi yang menonjol adalah perikanan
laut pada skala kecil dan belum berdampak nyata terhadap perekonomian
wilayah. Potensial ekonomi adalah perkebunan, pariwisata bahari dan
perikanan laut berikut industri pengolahannya. Faktor pendukung
terpenting dalam pengembangan WP ini adalah Pengembang sarana
transportasi.
67
Berdasarkan keseluruhan perwilayahan pembangunan yang ada, maka dapat
disimpulkan bahwa sektor yang paling banyak dikembangkan di Provinsi
Bengkulu adalah sektor pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, dan
perikanan baik darat maupun laut; dan sektor perdagangan antar dan intra
wilayah. Sedangkan sektor industri pengolahan masih berupa potensi yang belum
dikembangkan.
Mengacu pada hasil analisis sektor tenaga kerja, maka tepat jika pertanian
didorong perkembangannya karena paling banyak menampung tenaga kerja di
Provinsi Bengkulu. Untuk mengembangkan sektor industri pengolahan maka
terlebih dahulu harus dilakukan pembinaan di bidang ketenagakerjaan karena
masih rendahnya jumlah tenaga kerja di sektor ini.
5. Iklim Investasi
Iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan
lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal
untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang Iklim
usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang
melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi dan
dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin (Stern 2002).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi iklim investasi, dalam penelitian
ini digunakan variabel-variabel yang berasal dari Tata Kelola Ekonomi Daerah
2011 yang dikeluarkan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Variabel bebas yang dipergunakan adalah akses lahan (Lhn), infrastruktur Daerah
(Infr), Perizinan (izin), Peraturan Daerah (PERDA), dan Biaya Transaksi.
Sedangkan variabel terikatnya adalah iklim investasi dengan 2 kategori yaitu
iklim investasi kondusif (IC=1) dan iklim investasi tidak kondusif (IC=0).
Analisis iklim investasi ini menggunakan data primer. Objek Penelitian
yang adalah seluruh PMA dan PMDN yang tercatat di Laporan Kegiatan
Penanaman Modal (LKPM) Badan Kegiatan Penanaman Modal Daerah Propinsi
Bengkulu yang ada di seluruh kabupaten/kota. Responden yang dipergunakan
sebanyak 33 perusahaan.
Sebelum dilakukan penyebaran data kepada para responden dilakukan uji
validitas dan reliabilitas. Hasil uji validitas untuk masing-masing variabel adalah
sebagai berikut :
Tabel 14 Hasil uji validitas dan Reliabilitas
Variabel Jumlah
Pertanyaan
Sign Kesimpulan Kesimpulan
Akses lahan 1-10 0.000 Valid Reliabel
Infrastruktur daerah 1-10 0.000 Valid
Perizinan 1-10 0.000 Valid
Peraturan Daerah 1-10 0.000 Valid
Transparansi Biaya
transaksi
1-10 0.000 Valid
Sumber : data diolah 2015
68
Berdasarkan uraian pada Tabel 14. Memperlihatkan bahwa seluruh variabel yang
dipergunakan dalam kuesioner penelitian ini valid dan reliable. Sehingga hasil
dari analisis ini dapat dipertanggungjawabkan.
5.1. Hasil rekapitulasi data
Kuesionar dalam penelitian ini disebarkan kepada 40 perusahaan PMA
dan PMDN yang ada di seluruh kabupaten kota yang ada di Provinsi Bengkulu.
Adapun jumlah kuesioner yang dikembalikan kepada peneliti adalah sebanyak 33
buah. Informasi yang diperoleh dari para responden adalah sebagai berikut :
5.1.1. Akses lahan,
Lahan merupakan salah satu aspek penting untuk menciptakan iklim
investasi yang baik bagi pelaku usaha, dengan kewenangan yang belum
didesentralisasikan. Karena itu kebijakan yang berpihak terhadap kemudahan
mendapatkan lahan akan mendukung peluang investasi baru. Kemudahan
mendapatkan lahan sama pentingnya dengan mempertahankan
kepemilikan/penggunaan lahan tersebut. Jika hak kepemilikan atau penggunaan
lahan mendapatkan jaminan, besar kemungkinan pelaku usaha akan menanamkan
investasinya (KPPOD 2011).
Akses lahan sangat mempengaruhi dunia usaha karena perusahaan tidak
akan melakukan investasi baru jika tidak memiliki akses pada lahan. Sementara
itu, kegiatan usaha yang sedang berjalan juga akan berpengaruh jika tidak ada
kepastian akan status lahan yang digunakan mereka.
Kondisi yang terjadi di Provinsi Bengkulu sehubungan dengan akses
kemudahan lahan relatif belum kondusif. Masih banyak permasalah yang muncul
dibidang akses lahan. Opini yang muncul mengenai akses lahan adalah sebagai
berikut :
Gambar 20 Opini para investor tentang kemudahan mengakses lahan
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 10 9
6 5 6 6 4 3 4
20 23 23 25 24 24
19 22 23
19
0 0 1 2 4 3 8 7 7
10
Sangat Baik Baik Cukup Buruk sgt Buruk
69
Berdasarkan Gambar 20 menggambarkan seluruh indikator yang dipergunakan
dalam menganalisis akses lahan seperti kepemilikan lahan, kepemilikan fasilitas
kerja, proses mendapatkan sertifikat, penyelesaian konflik kepemilikan,
pemindahan kepemilikan dan jual beli lahan mayoritas masih masuk dalam
kategori buruk. Kondisi terburuk ada pada proses penyelesaian konflik
kepemilikan.
Walaupun Pemerintah daerah berusaha untuk mencari solusi untuk
memudahkan proses pengurusan dan mengatasi masalah kepemilikan lahan. Bagi
para investor peranan pemerintah daerah dalam penyelesaian masalah ini masih
buruk bahkan ada yang beropini sangat buruk. Faktor kepemilikan lahan usaha
seringkali menjadi masalah. Para investor seringkali harus berhadapan dengan
oknum baik yang berasal dari instansi Pemerintah, masyarakat lokal maupun
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menghalangi aktivitas para investor
dalam proses mengurus kepemilikan lahan. Ketidakjelasan kepemilikan dengan
masih banyaknya lahan yang belum bersertifikat atau bahkan bersertifikat ganda,
sehingga dalam proses kepemilikannya menimbulkan sengketa.
Ketidakjelasan Pemerintah Daerah dalam menentukan areal yang boleh
dijadikan lahan produktif atau konservasi seringkali menyebabkan investor
masuk dalam kategori perusak hutan. Ditambah lagi banyaknya penduduk lokal
yang melakukan aktivitas pertaniannya di lokasi yang sebenarnya sudah menjadi
area perkebunan swasta. Kesemuanya ini terjadi karena ketidakjelasan dibidang
administrasi baik itu dibidang pengurusan sertifikat, waktu pengurusan yang
seringkali tidak dapat diprediksi, dan biaya pengurusan yang seringkali diluar
perkir
5.1.2. Infrastruktur Daerah.
Infrastruktur Daerah memiliki hubungan yang erat dengan Produk
Domestik Brutto (PDB) dan keputusan pelaku usaha untuk melakukan investasi.
Ketersediaan infrastruktur daerah merupakan faktor penentu keputusan pelaku
usaha karena sangat menentukan biaya distribusi input dan output produksinya.
Ketersediaan infrastruktur dapat menjadi faktor pendorong produktivitas suatu
daerah (KPPOD 2011).
Jalan kabupaten/kota yang baik, penyediaan listrik, lampu penerangan
jalan, air bersih dan telekomunikasi merupakan prasyarat agar kegiatan usaha
dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sebaliknya, kualitas pengelolaan
infrastruktur yang buruk dapat menambah biaya yang besar bagi pelaku usaha
untuk berinvestasi dan berkembang.
The Gobal Competitiveness Report 2010-2011 (the World Economic
Forum, 2010) menunjukkan bahwa kinerja infrastruktur Indonesia amat rendah.
Provinsi Bengkulu berdasarkan hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)
2007 menurut para pelaku usaha yang ada di Provinsi ini, 53 persen menyatakan
kualitas jalan masuk dalam kategori Buruk dan sangat buruk, 65 persen
menyatakan kualitas lampu penerangan jalan buruk dan sangat buruk, 40 persen
menyatakan kualitas air PDAM buruk dan sangat buruk, 38 persen menyatakan
kualitas listrik PLN buruk dan sangat buruk, 13 persen menyatakan kualitas
telepon masuk buruk dan sangat buruk.
70
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan infrastruktur bila
mengalami kerusakan di Provinsi Bengkulu membutuhkan waktu 27 hari untuk
perbaikan jalan, 10 hari untuk perbaikan lampu penerangan jalan, 4 hari untuk
perbaikan air PDAM, 7 hari untuk perbaikan listrik PLN dan 2 hari untuk
perbaikan telepon (Studi TKED 2007).
Banyaknya kendala yang dihadapi di Provinsi Bengkulu sehubungan
dengan infrastruktur daerah (seperti diuraikan pada Tabel 16). Adapun Opini yang
mucul sehubungan dengan infrastruktur daerah adalah sebagai berikut :
Sumber : Data diolah 2015
Gambar 21 Opini investor tentang infrastruktur daerah di Propinsi Bengkulu
Gambar 21 memperlihatkan bahwa seluruh indikator yang menjadi faktor
penentu infrastruktur daerah dalam penelitian ini masih berada dalam kondisi
kurang. Bahkan ada diantara para responden yang menjawab tidak memadai.
Penyelesaian perbaikan atas kerusakan yang terjadi di bidang infrastruktur
dianggap tidak memadai.
Penyediaan listrik dan air bersih menjadi faktor yang dinilai paling kurang
memadai. Persediaan listrik yang ada baru mampu mencukupi kebutuhan rumah
tangga. Untuk itu jika dilakukan pengamatan lebih lanjut mengenai pemakaian
listrik di sektor industri akan mengganggu pasokan pemenuhan kebutuhan listrik
rumah tangga akibat penyediaannya yang belum memadainya. Konsumsi listrik di
Provinsi Bengkulu sangat didominasi oleh rumah tangga mencapai 76 persen dari
total daya terpasang, usaha 12 persen, dan industri 28 persen. Hal ini dapat
diartikan masih rendahnya aktivitas produktif yang ada. Frekuensi pemadaman
listrik di Propinsi Bengkulu masuk dalam kategori sering.
Kualitas jalan dijelaskan pada Gambar 22 berikut :
10 8
5 3 2 2 1 1 1 1
22 23 24 23 24 20
18 17 19
22
1 2 4
7 7 11
14 15 13
10
Sangat Baik Baik Cukup Kurang Tidak memadai
71
Sumber : Bengkulu Dalam Angka 2014
Gambar 22 Kualitas infrastruktur jalan di Propinsi Bengkulu.
Pada Gambar 22 , terlihat ada 3 pengelompokkan jalan yaitu jalan
nasional, jalan Propinsi, dan jalan kabupaten, dengan total panjang jalan 8395.64
persen. Jalan nasional memiliki panjang 774.82 km2 atau 9.23 persen dari total,
jalan provinsi memiliki panjang 1590.52 km2 atau 18.95 persen, sedangkan jalan
kabupaten memiliki panjang 6030.3 km2 atau 71.82 persen. Kualitas jalan
nasional relatif stabil dengan persentase terbesar berada pada kategori baik.
Begitu pula halnya dengan jalan provinsi. Hal berbeda terjadi pada jalan
kabupaten dimana terihat dari tahun ke tahun perubahan kualitas jalan terus
mengalami perubahan. Kualitas jalan kabupaten terus mengalami peningkatan
bahkan pada tahun 2012 jalan kabupaten yang masuk kedalam kategori kualitas
rusak berat sangat kecil sekali. Hal ini menandakan adanya upaya di bidang
perbaikan infrastruktur jalan oleh Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah terus
dilakukan.
Infrastruktur air bersih di Provinsi Bengkulu pun ketersediaannya relatif
kurang memadai. Penggunaannya didominasi oleh aktivitas non niaga (93 persen),
sedangkan penggunaan air bersih di sektor industri baru mencapai 0.2 persen. Hal
ini menyatakan rendahnya pemakaian air bersih yang berasal dari perusahaan air
minum daerah dalam aktivitas produksi. Penggunaan air tanah masih sangat
mendominasi.
Indikator dalam mengukur persepsi infrastruktur daerah adalah
ketersediaan infrastruktur, kualitas jalan, kualitas penyediaan listrik, sambungan
telpon, air bersih, penyerdiaan perbaikan jalan, penyelesaian pemadaman listrik,
perbaikan permasalahan air. Secara umum mayoritas investor yang menjadi
responden dalam penelitian ini menyatakan masih kurang bahkan tidak
memadainya infrastruktur daerah.
5.1.3. Perizinan.
Perizinan usaha yang sederhana dan murah dapat mendorong
perkembangan usaha baru. Sebaliknya prosedur pengurusan perizinan usaha yang
sulit, lama, dan mahal akan mengakibatkan keengganan pelaku usaha untuk
mengurus perizinan dan menghambat pertumbuhan kegiatan usaha baru.
0,00500,00
1000,001500,002000,002500,003000,003500,004000,004500,00
Baik Sedang RusakRingan
RusakBerat
Baik Sedang RusakRingan
RusakBerat
Baik Sedang RusakRingan
RusakBerat
Jalan Nasional Jalan Propinsi Jalan Kabupaten
2010
2011
2012
2013
72
Ada lima izin dasar yang perlu dimiliki oleh sebagian besar pelaku usaha
yaitu (1). Izin Mendirikan Bangunan, izin ini dibutuhkan para pelaku usaha yang
akan membangun gedung, (2). Izin gangguan (Hinder ordonantie atau HO) izin
ini dibutuhkan jika usaha yang dilakukan memiliki eksternalitas-dapat
menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya seperti kebisingan atau
polusi, (3). Surat Izin Tempat Usaha (SITU) izin ini dibutuhkan jika usahanya
tidak memiliki eksternalitas. Setelah pelaku usaha memiliki IMB dan HO/SITU,
izin seharusnya yang dimiliki adalah (4) izin operasional yaitu SIUP (Surat Izin
Usaha Perdagangan) izin bagi para pelaku usaha yang memperdagangankan
produknya, dan TDI (Tanda Daftar Industri) yaitu izin bagi pelaku usaha yang
bekerja di sektor industri, (5) Paling lambat tiga bulan setelah perusahaan
memperoleh SIUP dan/atau TDI atau beroperasi, maka perusahaan wajib
mendaftarkan perusahaannya untuk mendapatkan Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
sehingga pemerintah mempunyai informasi mengenai seluruh pelaku usaha di
daerahnya.
Instansi yang berwenang menyelenggarakan pelayanan perizinan Di
tingkat daerah adalah instansi teknis (Satuan Kerja Pemerintah Daerah atau
SKPD) yang diberi wewenang seperti misalnya Dinas Perdagangan/Perindustrian.
Pelayanan perizinan juga bisa dilaksanakan oleh pejabat yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sesuai dengan yang
diamanatkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) No
24/2006. PTSP adalah institusi yang mendapatkan wewenang dari kepala daerah
untuk menerbitkan berbagai izin usaha.
Pengajuan perizinan di Provinsi Bengkulu menurut para responden masih
masuk kategori buruk. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan cukup
baik. Keluhan utama ada pada masalah penyelesaian pengurusan perizinan seperti
HO, SITU. Kebijakan pemerintah daerah terkait dengan perizinan pun dirasakan
oleh para investor masih belum memadai.
Adapun opini para investor sehubungan dengan proses perizinan yang ada
di Provinsi Bengkulu adalah sebagai berikut :
Gambar 23 Opini investor tentang perizinan di Provinsi Bengkulu
Di bidang Perizinan, hal utama yang dihadapi oleh para pengusaha adalah
besarnya pungutan liar dalam proses perizinan. Walaupun beberapa kabupaten
sudah melaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, seringkali proses perizinan
yang ada belum dilaksanakan secara benar.
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12
2 9 9 9
6 7 3
6 11
21 21 22 22 21 17
21 20 19 20
0
10
2 2 3 10
5 10 8
2
Sangat Baik Baik Cukup Buruk Sangat Buruk
73
Ketidakjelasan proses, waktu dan prosedur yang mengakibatkan aktivitas
percaloan maupun pungutan liar terus berlangsung. Bahkan ada di salah satu
kabupaten dimana oknum Pemerintah Daerah yang mendatangi para pelaku usaha
berkedok untuk memberikan pelayanan perizinan dengan sistem jemput bola,
dengan biaya yang melebihi jumlah semestinya.
Untuk semua jenis perizinan, terdapat kecenderungan semakin besar skala
usaha, semain tinggi tingkat kepemilikan izin dasar. Hampir sebagian besar
pelaku usaha besar memiliki TDP sementara hanya sebagian kecil usaha mikro
yang memiliki izin dasar tersebut.
Rendahnya tingkat kepemilikan izin dasar oleh para pelaku usaha mikro
dan kecil mempersulit mereka untuk mengembangkan usahanya, karena tanpa
adanya berbagai izin dasar ini akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan akses
pada kredit dari perbankan dan juga untuk berpartisipasi dalam program
pemerintah.
Indikator variabel perizinan adalah proses pengurusan perizinan, waktu
pengurusan perizinan, penyelesaian pengurusan HO, Situ, TDP dan lama waktu
yang dibutuhkan dalam proses perizinan. Mayoritas responden menyatakan bahwa
proses perizinan yang masih dalam kategori buruk.
5.1.4. Peraturan Daerah.
Merupakan gambaran kerangka kebijakan Pemerintah daerah dalam
mengembangkan perekonomian daerahnya. Peraturan yang rumit dan
membingungkan dapat menjadi kendala bagi pelaku usaha di daerah, karena hal
tersebut dapat mengakibatkan ketidakpastian dan mempersempit usaha
perdagangan dan akses pasar.
Peraturan di daerah merupakan sebuah instrument kebijakan Pemerintah
Daerah (PEMDA) yang dapat mengindikasikan keberpihakan terhadap dunia
usaha. Undang-Undang (UU) No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRI)
memberikan kewenangan yang besar kepada PEMDA untuk menerbitkan
peraturan di daerah yang dapat digunakan untuk mendorong dan menciptakan
insentif atau sebaliknya, menjadi penghambat bagi perkembangan dunia usaha.
Implikasinya adalah banyaknya persoalan yang muncul akibat keinginan PEMDA
yang terlalu besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
memberatkan pelaku usaha dan masyarakat luas.
Secara umum, mayoritas responden menyatakan tidak setuju dengan
pernyataan bahwa Pemerintah daerah telah mampu mengatur segala hal yang
berhubungan dengan iklim berusaha di Provinsi Bengkulu
74
Gambar 24. Opini investor tentang Peraturan Daerah.
Gambar 24 memperlihatkan mayoritas responden menyatakan tidak setuju
jika dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah telah mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif, telah mampu konsisten pada pelaksanaan aturan. Banyak kendala
yang dihadapi oleh para responden sehubungan dengan Peraturan Daerah (Tabel
16). Peraturan daerah yang ada belum mampu memberikan batasan yang jelas
bagi para pengusaha.
Pengusaha seringkali mengeluhkan peraturan daerah yang kerapkali
berubah sesuai dengan keinginan Pejabat Daerah. Bahkan dibeberapa kabupaten
keputusan untuk menerima investor mutlak ditentukan oleh Kepala Daerah tanpa
didukung oleh Prosedur yang jelas. Ketidakjelasan aturan adalah sepertinya secara
sengaja dipertahankan dibeberapa kabupaten.
Indikator yang dipergunakan dalam menilai peraturan daerah (PERDA)
adalah kemampuan PERDA mendukung usaha, mampu direvisi sesuai dengan
kondisi yang ada, menyebutkan tata aturan di bidang usaha secara jelas, jelas
menyatakan biaya usaha, berlaku umum, jelas menyatakan batasan pelanggaran,
konsisten. Opini mayoritas responden menyatakan sangat tidak setuju dengan
pernyataan Peraturan Daerah yang ada telah mendukung usaha, konsisten dan
transparan dalam pelaksanaannya.
5.1.5. Biaya Transaksi
Biaya transaksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam suatu
wilayah. Biaya transaksi resmi meliputi pajak, retribusi dan sumbangan pihak
ketiga (SP3) yang ditetapkan melalui peraturan daerah. Pajak daerah meliputi
pungutan wajib yang diterapkan pemerintah tanpa adanya imbal jasa secara
langsung, sementara retribusi daerah menyangkut pungutan sebagai kompensasi
atas layanan atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah
dalam hubungannya dengan kepentingan perusahaan.
Sumbangan pihak ketiga (SP3) yang resmi adalah sejumlah pembayaran
yang diberikan oleh perusahaan kepada pemerintah daerah atas dasar peraturan
daerah atau surat keputusan bupati/walikota yang tidak bersifat wajib (KPPOD
2011). Pajak, retribusi dan biaya transaksi lainnya baik yang legal maupun illegal
dapat menjadi penghambat bagi kegiatan usaha di daerah jika hanya diberlakukan
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 6 6 6 6 5 6 5 6
10
17 19
22 19 20 21 20 20 20
17
6 8
5 8 7 7 7 8 7 6
Sangat Setuju Setuju Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
75
untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa memperhatikan dampaknya bagi
perkembangan usaha. Sebaliknya, pungutan-pungutan tersebut tidak menjadi
penghambat apabila diberlakukan dengan alasan yang jelas, diterapkan secara
benar, dan hasilnya ditujukan untuk memperbaiki pelayanan publik.
Selain pungutan resmi, pelaku usaha di Provinsi Bengkulu seringkali juga
dibebani berbagai pembayaran tambahan untuk biaya keamanan. Biaya legal ini
dibayarkan kepada oknum keamanan, organisasi kemasyarakatan dan Preman,
sehingga menambah beban biaya yang harus ditanggung perusahaan.
Gambar 25 Opini responden atas biaya transaksi di Provinsi Bengkulu.
Opini para resonden tentang biaya transaksi pun kerapkali mengakibatkan
gagalnya seorang investor menanamkan modalnya di propinsi Bengkulu.
Seringkali porsi biaya tak terduga melebih biaya resmi. Ketidakjelasan dalam
jenis maupun besaran biaya transaksi pun terjadi dalam proses perizinan.
Seringkali dinyatakan sebagai biaya non teknis. Bahkan untuk memulai suatu
usaha pun pengusaha sudah dibebankan biaya transaksi yang tinggi.
Indikator yang digunakan dalam membahas biaya transaksi meliputi pajak
dan distribusi daerah ditetapkan berlaku umum, segala pungutan berlaku resmi.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan di peroleh informasi bahwa mayoritas
investor yang menjadi responden ini menyatakan tidak setuju dengan pernyataan
bahwa aktivitas usaha di Provinsi Bengkulu telah bebas dari pungutan liar
(Pungli).
Setelah diketahui pendapat dari para investor mengenai faktor-faktor
penentu iklim investasi diatas. Lebih lanjut dilakukan pengamatan terhadap
sejumlah kendala yang dihadapi oleh para investor dalam menjalankan usahanya.
Secara umum kendala yang dihadapi oleh para responden yang melakukan
aktivitas usahanya di Provinsi Bengkulu adalah sebagai berikut :
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 9 10
8
4 1
3
7 9
5
19 22
18 20 20
17 16
21 21 18
2 2 5 5
9
15 14
5 3
10
Sangat Setuju Setuju Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
76
Tabel 15 Kendala dalam aktivitas investasi di Propinsi Bengkulu
Variabel Kendala
Akses Lahan
(Lahan)
1. Status kepemilikan lahan penduduk secara ganda.
2. Masih banyaknya lahan masyarakat yang belum
bersertifikat
3. Status lahan yang sebagian masih berupa hutan
(hutan konservasi sehingga perlu proses panjang
untuk dapat dimiliki secara pribadi
4. Kurangnya perhatian dari PEMDA atas kepemilikian
lahan sehingga seringkali menimbulkan konflik
antara masyarakat dan pengusaha khususnya dalam
hal ganti rugi lahan.
5. Masih banyaknya lahan yang menjadi sengketa
6. Masih banyaknya lahan yang digarap masyarakat
secara illegal
7. Pihak BPN harus benar-benar meneliti berkas yang
diajukan untuk pembuatan sertifikat hak kepemilikan
8. Proses dan waktu pembuatan sertifikat yang terlalu
lama dan berbelit (mencapai 3 bulan).
9. Tingginya tingkat kesulitan dan biaya dalam
pengurusan surat kepemilikan lahan.
Infrastruktur
Daerah (Infr)
Kurangnya penyediaan sambungan telepon, air bersih
dan listrik, sedangkan kondisi kualitas jalan baru dalam
kategori cukup.
Perizinan Usaha
(Izin)
Pungutan liar sangat mendominasi proses perizinan
Peraturan Daerah
(Perda)
1. PERDA belum mampu menciptakan kenyamanan
dalam berusaha
2. Belum adanya PERDA yang berpihak pada
pengusaha
3. PERDA belum mampu mendukung iklim berusaha,
tidak berlaku umum dan konsisten
4. Belum adanya PERDA yang mampu secara optimal
menjadi acuan dasar dalam pelaksanaan kegiata
usaha khususnya dibidang perkebunan
5. Pelaksanaan PERDA masih sangat lemah dan kurang
disosialisasikan, sehingga banyak pelaku usaha yang
tidak mengetahui dan memahaminya
6. PERDA belum mampu dilaksanakan secara
konsisten dan berkesinambungan.
7. PERDA seringkali dilanggar oleh pembuatnya
sendiri
8. Masih adanya tebang pilih dalam pelaksanaannya
Biaya Transaksi
(X5)
1. Besarnya biaya tak terduga dan Pungutan liar
2. Banyaknya biaya tak resmi yang muncul dalam
proses perizinan (transaksi non teknis)
3. Ketidakjelasan biaya transaksi baik dalam sisi jenis
77
maupun besarannya
4. Porsi biaya tak terduga melebihi biaya transaksi
resmi yang seharusnya dikeluarkan
5. Tingginya biaya transaksi untuk memulai suatu
usaha
6. Tidak adanya fasilitas yang mendukung khususnya
dalam hal biaya transaksi untuk memulai suatu usaha
Program Pengembangan usaha Swasta masih sangat minim sekali.
Terbukti dari rendahnya minat berusaha di Propinsi Bengkulu. Sehingga aktivitas
perekonomian di wilayah ini sangat didominasi oleh kegiatan pemerintah.
Menjadi pegawai negeri sipil adalah pilihan utama masyarakat di Propinsi ini.
Usaha yang banyak berkembang di Propinsi ini baru berada pada kategori usaha
mikro.
Untuk masalah Kriminalitas, para pengusaha seringkali mengeluhkan
maraknya praktek premanisme yang dilakukan oleh oknum polisi bahkan
penanganan masalah kriminalitas pun cenderung diabaikan jika tidak tersedia
dana.
Banyaknya kendala yang dihadapi oleh para pengusaha yang ada di Propisi
Bengkulu memerlukan penanganan serius dari para Pemeritah Daerah sebagai
fihak yang bertanggung jawab dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Perlunya memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap iklim investasi
yang ada di Propini Bengkulu.
5.2. Hasil analisis faktor penentu iklim investasi di Provinsi Bengkulu
Untuk itu dengan mempergunakan analisis Regresi Logistik. Data yang
dipergunakan berasal dari kuesioner yang disebarkan pada 33 perusahaan PMA
dan PMDN yang melakukan aktivitasnya di Provinsi Bengkulu. Kuesioner yang
dipergunakan ada di Lampiran.
Variabel bebas yang dipergunakan meliputi Kemudahan mendapatkan lahan
(Lhn); Ketersediaan InfraStruktur Daerah (Inf); Tingkat Kesulitan dalam proses
perizinan (IZ); Kejelasan Peraturan Daerah (PD); Transparansi biaya transaksi
(TC); terhadap iklim investasi (CI). Sedangkan Iklim investasi dalam penelitian
ini dijelaskan dengan menggunakan kategori 0 = tidak kondusif, dan 1 =
Kondusif.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan Regresi Logistic diperoleh hasil
analisis sebagai berikut :
78
Tabel 16 Hasil analisis iklim investasi di Propinsi Bengkulu
Parameter Estimasi Uji W P value Odd
Ratio
Akses Lahan
Infrastruktur daerah
Perizinan
Peraturan Daerah
Biaya Transaksi
Constanta
0.806
0.580
-0.352
-0.309
0.349
-19.049
6.112
3.774
2.473
3.533
3.281
5.623
0.013*
0.052*
0.116
0.06*
0.07*
0.018
2.238
1.785
0.703
0.734
1.418
0.000
Chi Square 29.029 0.000**
*signifikan pada α=10%, **signifikan pada α=5 %,
Berdasarkan hasil analisis iklim investasi pada Tabel 16, terlihat bahwa
variabel lahan, infrastruktur daerah, perizinan, Peraturan Daerah, Biaya transaksi,
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap iklim investasi yang ada di
Propinsi Bengkulu. Hal ini berarti para pembuat kebijakan dalam hal ini
Pemerintah Daerah harus memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan
kondisi ini.
Akses lahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses kemudahan
untuk memperoleh lahan. Positifnya tanda menyatakan semakin mudah atau baik
proses pengurusan lahan dalam artian proses pembebasan lahan, pengurusan
sertifikat, kejelasan kepemilikan maka akan semakin kondusif iklim investasi.
Perubahan pada akses lahan mendorong pergerakan iklim investasi sebesar 2.238
kali lebih besar dibandingkan dengan pergerakan variabel lain.
Infrastruktur daerah pun memiliki tanda positif. Infrastruktur daerah yang
dimaksudkan sebagai kemampuan dari pemerintah daerah menyediakan fasilitas
sarana dan prasarana yang menunjang aktivitas investasi wilayah. Positifnya tanda
antara insfrastruktur daerah dan iklim investasi dapat diartikan semakin baik
kualitas infrastruktur daerah yang meliputi fasilitas jalan, jaringan telepon, listrik,
air bersih, maka akan semakin kondusif iklim investasi yang ada di Propinsi
Bengkulu.
Infrastruktur daerah adalah salah satu faktor penentu investor masuk ke
suatu wilayah. Ottaviano (2008) menyatakan perbaikan infrastuktur
mempengaruhi distribusi geografis kegiatan ekonomi. Berdasarkan hasil estimasi,
ternyata infrastruktur daerah yang dalam penelitian ini terdiri dari infrastruktur
jalan, listrik dan air bersih memiliki pengaruh yang signifikan pada iklim
investasi.
Berdasarkan data Badan Pusat statistik (BPS) Propinsi Bengkulu, panjang
jalan nasional yang ada di propinsi ini dalam beberapa tahun terakhir tidak
mengalami perubahan yaitu tetap sepanjang 774,82 km, artinya tidak ada
perubahan jalan nasional yang baru. Secara umum kualitas jalan nasional antara
tahun 2010-2013 mengalami perbaikan terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Misalnya pada tahun 2010 kondisi jalan yang baik adalah 54.55 persen, sedang
29.21 persen, buruk 16.24 persen. Pada tahun 2013 kondisi jalan nasional yang
baik naik menjadi 76.57 persen, kualitas sedang turun menjadi 6.64 persen dan
kualitas buruk naik menjadi 16.79 persen. Berdasarkan data dari BPS Propinsi
Bengkulu (2014) juga terlihat bahwa kondisi jalan nasional berdasarkan
79
kabupaten dan kota pada tahun 2013 kondisi jalan nasional yang masuk kategori
rusak berat banyak terdapat di kabupaten Mukomuko (29.10 km), Bengkulu Utara
(20 km), Bengkulu Tengah (15.34 km) dan Kota Bengkulu (3.43 km). Banyaknya
ruas jalan nasional yang rusak di daerah ini, karena banyak dilalui oleh kendaraan
angkutan barang dengan muatan yang melebihi tonase kelas jalan. Jalan nasional
yang ada saat ini hanya kelas III.
Infrastruktur listrik pun berdasarkan laporan dari PLN 2014, konsumsi
listrik perkapita terendah untuk tingkat sumatera adalah Provinsi Bengkulu
sebesar 283.41 kWh/kapita. Infrastruktur dalam bentuk penyediaan air bersih pun
di Bengkulu relatif masih rendah terlihat dari rendahnya pangsa sektor ini pada
total PDRB Provinsi Bengkulu. Firdaus (2008) dalam Permana dan Alla (2010)
menyatakan bahwa suplai tenaga listrik dan infrastruktur social berpengaruh
signifikan terhadap daya tarik investasi pada suatu wilayah. Untuk itu jika
keadaan infrastruktur yang ada di provinsi Bengkulu masih belum mengalami
perbaikan yang signifikan akan menjadi salah satu penyebab rendahnya daya
saing dan daya tarik investasi.
Perizinan memiliki koefisien bertanda negatif. Perizinan yang
dimaksudkan disini adalah pelaksanaan proses perizinan. Semakin sulit dan
panjangnya waktu yang dibutuhkan dalam proses perizinan maka akan semakin
rendah iklim investasi. Proses perizinan di beberapa kabupaten/kota sudah
memakai metode Pelayanan Terpadu Satu Pintu, tetapi beberapa kabupaten
masuh belum menerapkannya. Keputusan perizinanan terkadang masih sangat
tergantung pada keputusan kepala daerah/Bupati. Sehingga waktu pengurusan dan
biaya pengurusan agak sulit untuk diprediksi. Hal ini yang seringkali menjadi
penyebab mundurnya investor di Provinsi Bengkulu.
Peraturan Daerah memiliki tanda negatif. Peraturan daerah yang
dimaksudkan disini adalah banyaknya peraturan daerah yang dikeluarkan oleh
Pemerintah daerah, tingkat kesulitan pelaksanan Perda. Hal ini dapat diartikan
semakin tinggi ketidak jelasan atau kesulitan Pelaksanaan peraturan daerah maka
akan semakin rendah atau buruk iklim investasi yang ada. Sebaliknya semakin
mudah pelaksanaan peratuan daerah maka semakin kondusif iklim investasi yang
ada.
Penelitian ini tidak membahas jumlah biaya transaksi yang dikenakan.
Melainkan membahas tentang transpransi dalam biaya transaksi. Positifnya tanda
antara transparansi biaya transaksi dan iklim investasi menandakan semakin
transparans proses pemungutan biaya transaksi maka akan semakin kondusif iklim
investasi yang ada. Sebaliknya semakin tidak jelas pemungutan biaya transaksi
yang dikenakan atau semakin tidak transparan pungutan biaya yang dikenakan
kepada para pelaku usaha maka akan semakin tidak kondusif iklim investasi yang
ada.
Secara Parsial, variabel kemudahan kepemilikan lahan, ketersediaan
infrastruktur daerah, Kejelasan peraturan daerah, Transparansi biaya tansaksi
berpengaruh secara signifikan pada iklim investasi sedangkan variabel lain belum
berpengaruh secara signifikan. Hanya variabel perizinan yang belum memiliki
pengaruh yang signifikan pada iklim investasi yang ada di Provinsi Bengkulu.
Sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan khususnya Pemerintah Daerah,
maka kemudahan dalam proses kepemilikan lahan, kepemilikan fasilitas usaha,
80
sertifikat, penyelesaian konflik kepemilikan, proses pelaksanaan jual beli lahan
dan kelengkapannya adalah hal utama yang harus diperhatikan.
Kemudahan dalam mengakses lahan tidak dapat dipisahkan dengan
infrastruktur daerah. Masih kurangnya infrastruktur jalan yang berkualitas baik,
masih tingginya frekuensi pemadaman listrik dan masih sangat kurangnya
penyediaan air bersih adalah hal penting yang harus diperhatikan oleh para
pembuat kebijakan.
Kejelasan biaya transaksi adalah juga hal penting yang harus diperhatikan.
Tingginya keluhan para investor akan banyaknya pungutan liar dan banyaknya
biaya siluman yang terkadang besarannya melebihi modal yang dimiliki, adalah
hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam penciptaaan iklim investasi yang
kondusif.
Selain akses lahan, infrastruktur daerah dan biaya transaksi, maka hal
penting lain yang juga harus diperhatikan adalah Peraturan daerah yang
memudahkan aktivitas investasi. Memudahkan yang dimaksudkan disini adalah
kejelasan dalam pelaksanaan, sasaran dan tujuan.
Iklim investasi dapat didefinisikan sebagai tentang lingkungan di mana
perusahaan dan pengusaha dari kelompok memiliki kesempatan dan insentif untuk
berinvestasi produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas (Bank Dunia,
2005). Iklim investasi ini terdiri dari faktor lokasi tertentu yang membentuk
lingkungan yang memungkinkan bagi perusahaan untuk berinvestasi produktif
dan tumbuh (Smith dan Hallward - Driemeier, 2005)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (2005)
ada 3 faktor utama yang mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif,
antara lain : (1) Kondisi ekonomi makro mencakup stabilitas ekonomi makro,
keterbukaan ekonomi, persaingan pasar dan stabilitas social dan politik; (2)
Kelembagaan, mencakup kejelasan dan efektifitas peraturan, perpajakan dan
sistem hukum. Pada sektor keuangan, fleksibilitas pasar tenaga kerja yang
terdidik dan terampil, (3) Infrastruktur mencakup sarana transportasi,
telekomunikasi, listrik dan air. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
menyatakan adanya pengaruh yang signifikan antara variabel infrastruktur daerah,
peraturan daerah dan biaya transaksi terhadap iklim investasi di Provinsi
Bengkulu.
Setelah diketahui faktor-faktor penentu iklim investasi. Untuk itu dapat
dinyatakan bahwa iklim investasi akan kondusif jika seluruh faktor penentu iklim
investasi berjalan baik. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh World
Bank (2010) yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembang an sektor
swasta yang optimal sangat membutuhkan institusi hokum yang dapat menjalin
perlindungan atas property right, peraturan, regulasi dan biaya transaksi yang
efisien dan transparan, kemampuan meminimalkan biaya transaksi yang harus
ditanggung oleh perusahaan. Konstelasi institusional yang bussines-friendly ini
merupakan lingkungan usaha yang memudahkan pelaku usaha di sektor swasta
untuk memulai usaha dan berinvestasi. Dengan demikian maka dapat dinyatakan
bahwa iklim investasi yang baik akan mendorong peningkatan investasi di
Provinsi Bengkulu.
81
6. FAKTOR PENENTU INVESTASI INDUSTRI
Investasi merupakan kombinasi antara tingkat permintaan untuk
berinvestasi dari perusahaan dengan tabungan dari rumah tangga (Romer 2006).
Peningkatan aktivitas investasi baik asing maupun domestik adalah hal yang
diharapkan oleh setiap pelaku ekonomi dan wilayah. Minat investor untuk
menanamkan modalnya atau berinvestasi sangat beragam tergantung pada daya
tarik wilayah yang ada. Daya tarik wilayah erat kaitannya dengan iklim investasi
daerah. Iklim investasi daerah akan mendorong peningkatan investasi wilayah.
Sebaran investasi di Propinsi Bengkulu relatif tidak merata.
Investor (PMA dan PMDN) relatif terpusat di wilayah utara propinsi. Hal
ini dikarenakan wilayah ini memiliki keunggulan dalam hal kekayaan tambang
berupa batubara dan hasil galian lain. Wilayah timur propinsi ini memiliki
keunggulan di sektor petanian khususnya pertanian tanaman pangan, hal ini juga
didukung oleh kondisi wilayahnya berupa dataran tinggi. Sedangkan wilayah
barat dan selatan berada di pesisir pantai sumatera sehingga aktivitas
perekonomian pun sangat diwarnai oleh corak perekonomian dan budaya
masyarakat pesisir yaitu .
Aktivitas Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) di Provinsi Bengkulu berdasarkan laporan dari Badan Kegiatan
Penanaman Modal (BKPM) tahun 2014, sangat didominasi oleh aktivitas industri
pertanian meliputi pengolahan hasil perkebunan berupa industri kelapa sawit dan
pengolahannya berupa minyak mentah kelapa sawit (CPO), perkebunan teh hijau
dan pengolahannya, perkebunan kopi dan pengolahannya.
Peyebaran investasi di Provinsi Bengkulu yang tidak merata di setiap
kabupaten yang ada di Provinsi Bengkulu menyebabkan ketidaklengkapan data
investasi PMA dan PMDN untuk proses pengolahan data panel dalam penelitian
ini. Untuk mengatasi ketidaklengkapan data tersebut, maka dalam penelitian ini
untuk menganalisis data investasi PMA dan PMDN dipergunakan proxy data
investasi industri yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian Provinsi Bengkulu.
Data investasi industri mengambarkan aktivitas investasi di sektor
industri. Industri yang dimaksudkan disini adalah investasi industri pertanian yang
mengolah hasil-hasil pertanian dari sub sektor tanaman bahan makanan,
perkebunan, perikanan dan peternakan. Sedangkan investasi industri bukan
pertanian meliputi investasi industri yang mengolah hasil dari sub sektor
pertambangan maupun jasa.
Industri bukan pertanian meliputi hasil pertambangan dan jasa. Masih
sedikit sekali investor yang menanamkan modalnya di sektor lain. Hal ini
dikarenakan penyediaan lahan, infrastruktur, Peraturan Daerah, dan Biaya
Transaksi yang belum memadai untuk beraktifitas di sektor lain.
Sektor industri pengolahan pun di Provinsi Bengkulu masih didominasi
oleh industri makanan dan minuman dengan kategori industri mikro dan kecil.
belum mampu beranjak ke industri pengolahan besar. Walaupun sudah ada
investor yang ingin membangun industri semen. Rencana pembuatan pabrik
82
semen masih sebatas wacana, belum terlaksana. Perencanaan pembangunan
pabrik triplek terbesar se-Asia Tenggara pun hanya sebatas rencana. Proyek ini
gagal akibat kasus korupsi yang melibatkan oleh Kepala daerah.
Adapun investasi industri pertanian dan bukan pertanian yang telah
direalisasikan di Provinsi Bengkulu oleh Penanaman Modal Asing dan dalam
negeri periode 2009-2013 adalah :
Tabel 17 Realisasi investasi PMA dan PMDN di Provinsi Bengkulu
Penanaman Modal Asing (PMA)
Sektor Sub sektor
Industri Makanan Industri minyak kelapa Sawit (CPO) serta hasil
pengolahannya
Tanaman pangan dan
Perkebunan Perkebunan kelapa sawit terpadu dengan
pengolahannya menjadi CPO, inti sawit, dan
minyak makan dari nabati.
Pembenihan tanaman jarak.
Perkebunan kopi.
Perkebunan teh hijau terpadu dan pengolahannya.
Industri Mineral dan
logam Pertambangan pasir besi, penggalian batu
kapur/gamping, tanah liat dan industri semen.
Pertambangan Pertambangan batubara
Pertambangan pasir besi
Pertambangan umum, dan jasa pertambangan.
Pertambangan gas alam dan pengusahaan tenaga
panas bumi.
Jasa penunjang pertambangan umum dan
perdagangan besar (ekspor)
Perdagangan dan
Reparasi Perdagangan eceran skala besar (Departemen
Store) dan jasa konsultasi manajemen bisnis.
Jasa penunjang pertambangan umum dan
perdagangan besar (ekspor).
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Jasa Kegiatan televisi swasta
Tanaman pangan dan
Perkebunan Perkebunan kelapa sawit dan pengolahan menjadi
minyak sawit dan inti sawit.
Perkebunan karet
Industri Makanan Industri minyak kasar (minyak makan) dari nabati.
Industri minyak goreng dari minyak kelapa sawit.
Sumber : BKPMD 2014
Kondisi infrastruktur dan kualitas sumber daya masih memegang peranan
penting dalam pengembangan usaha di suatu wilayah. Karena menurut Prastyo
dan Firdaus (2009) pembangunan infrastruktur diyakini dapat menjadi aselerator
pembangunan ekonomi. Adapun infastruktur yang dimaksud disini adalah
83
infrastruktur ekonomi yang meliputi infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi. Infrastruktur ini meliputi public utilities (tenaga,
telekomunikasi, air dan drainase) dan sekor transportasi (jalan, rel, pelabuhan,
lapangan terbang dana sebagainya (World Bank 1994). Dalam penelitian ini
dipergunakan 3 macam infrastruktur yaitu jalan, listrik dan air bersih.
Sumber daya manusia adalah faktor penting dalam mendorong investasi
wilayah. Dalam penelitian ini dipergunakan data jumlah tenaga kerja yang
memiliki tingkat pendidikan diploma, Strata 1 (S-1), strata 2 (S-2) dan strata 3 (S-
3). Dengan asumsi para tenaga kerja yang berada pada jenjang pendidik tersebut
akan memiliki kemampuan berfikiran dan berkerja yang berbeda dengan
kelompok yang tidak memiliki pendidikan. Pengujian faktor penentu investasi
dengan mengunakan data panel dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 2
model yaitu investasi industri Pertanian dan investasi industri Non Pertanian.
Hasil pengujian analisis ditampilkan dengan membandingkan hasil analisis
estimasi dengan model fixed effects dan Random Effect.
6.1. Analisis Faktor Penentu Investasi Industri Pertanian .
Investasi industri pertanian yang ada di Provinsi Bengkulu meliputi industri
pengolahan kelapa sawit berupa minyak kelapa sawit (CPO), industri minyak
makan dari nabati, perkebunan kopi dan pengolahannya, perkebunan dan
pengolahan teh hijau. Adapun hasil analisis estimasi industri pertanian sebagai
berikut :
Tabel 18 Hasil analisis faktor penentu investasi industri Pertanian
Parameter Investasi industri Pertanian
Koefisien P Value
C
PDRB perkapita
Infrastruktur Listrik
Infrastruktur Jalan Kabupaten
Infrastruktur Jalan Provinsi
Pangsa pertanian terhadap PDRB
Pangsa Pertambangan terhadap PDRB
Belanja Modal
TK
-4372588
1.49
-0.011
68879.54
239714.7
-69.07
460.07
-0.02
0.4146
0.009**
0.722
0.238
0.247
0.000**
0.002**
0.03**
R2
Prob Haussman Test
Prob (F-test)
0.99
0.000**
0.000**
Hasil analisis pada Tabel 18 menyatakan faktor yang mempengaruhi
Investasi industri pertanian secara simultan adalah PDRB perkapita, infrastruktur
jalan, listrik dan air bersih, pangsa pertanian terhadap PDRB, pangsa pertambang
terhadap PDRB, tenaga kerja terdidik, dan jumlah penduduk berpengaruh pada
investasi industri pertanian. Terlihat dari nilai Prob (F test) sebesar 0.000.
Tetapi Secara parsial hanya PDRB perkapita, pangsa Pertanian dan
Pertambangan terhadap PDRB dan belanja modal berpengaruh signifikan terhadap
84
investasi di bidang industri pertanian. Hal ini dapat diartikan untuk meningkatkan
investasi di sektor industri pertanian maka Pemerintah Daerah harus mampu
meningkatkan PDRB perkapita masyarakatnya, meningkatkan kualitas
infrastruktur jalan yang ada, meningkatkan pangsa pertanian dan pertambangan
terhadap investasi dan belanja modal. Adapun uraian untuk masing-masing faktor
yang berperan dalam peningkatan investasi daerah adalah sebagai berikut :
6.1.2 Peranan Pendapatan Domestik Regional Brutto perkapita terhadap
investasi industri pertanian.
PDRB perkapita adalah refleksi dari tingkat daya beli. PDRB perkapita
Propinsi Bengkulu dalam rentang waktu 2010-2013 terus mengalami kenaikan
dalam kisaran 4-5 juta rupiah (BDA 2014), Untuk itu dapat dinyatakan bahwa
kenaikan pendapatan perkapita mengindikasikan peningkatan daya beli
masyarakat. PDRB perkapita atas dasar harga konstan di Provinsi Bengkulu
periode 2010-2013 terus mengalami kenaikan. Hal ini menandakan pertumbuhan
ekonomi penduduk Bengkulu terus mengalami peningkatan dalam kisaran 6
sampai dengan 21 juta rupiah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Artige (2009)
menyatakan bahwa PDRB perkapita mempengaruhi investasi khususnya investasi
industri pertanian. Suatu perusahaan asing akan memutuskan untuk melakukan
investasi di lokasi tertentu jika wilayah yang dituju memiliki potensi permintaan
dengan indikator GDP/PDRB perkapita. Markusen (2002) berpendapat bahwa
faktor yang menentukan penanaman modal asing adalah ukuran pasar lokal
dengan pendekatan daya beli masyarakat dan biaya produksi marginal. Daya beli
masyarakat menjadi pertimbangan para investor dalam menentukan aktivitas
produksi mereka.
Koefisien PDRB perkapita sebesar 1.49 dapat diartikan bahwa antara
PDRB perkapita dan investasi memiliki arah perubahan yang sama. Kenaikan
PDRB perkapita akan mendorong minat investor untuk meningkatkan investasi
mereka. Signifikannya pengaruh PDRB secara parsial terhadap investasi dapat
diartikan perubahan pada PDRB perkapita akan berpengaruh pada tingkat
investasi masyarakat. Dengan kata lain salah satu cara untuk meningkatkat minat
investor untuk berinvestasi di provinsi Bengkulu adalah dengan meningkatkan
daya beli masyarakat melalui peningkatan PDRB perkapita.
6.1.2. Peranan infrastruktur listrik terhadap investasi industri pertanian.
Infrastruktur listrik di Provinsi Bengkulu masih sangat dirasa kurang.
Sehingga program pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Bengkulu 201-2015 adalah :
1. Pembangunan instalasi baru pembangkit listrik
2. Peningkatan pasokan daya listrik yang bersumber dari energy alternative
untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan, diantaranya mikrohidro,
angin, dan surya.
3. Pengembangan kapasitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA) meliputi
PLTA Tes; PLTA Musi dan pengembangan PLTA lain.
85
4. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang didukung
oleh cadangan batubara yang memadai, serta pengembangan Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau Geotherma.
Berdasarkan data dari BPS Provinsi Bengkulu (2014), Mayoritas pelanggan
listrik berasal dari Rumah tangga (75 persen), social (4 persen) dan gedung kantor
(5 persen), Usaha (12 persen), industri (3 persen) dan layanan khusus (2 persen).
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penggunaan listrik untuk sektor industri
dan usaha masih sangat rendah. Rendahnya pengunaan listrik untuk aktivitas
usaha dan industri karena minat berusaha di provinsi Bengkulu masih rendah.
Jumlah usaha industri kecil dan menengah pada tahun 2013 adalah sebanyak 3284
unit. Sedangkan industri besar di Provinsi Bengkulu belum ada. Di sektor
perdagangan pun pada tahun 2013 masih didominasi oleh perdagangan kecil dan
menengah sebanyak 13216 unit, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 105120
orang. Perdagangan Besar di provinsi Bengkulu pada tahun 2013 adalah sebanyak
741 unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 14920 orang.
Koefisien infrastruktur listrik sebesar 3685.38 dapat diartikan bahwa
peningkatan daya listrik dan kualitas infrastruktur listrik akan mendorong
peningkatan investasi industri khususnya industri pertanian. Signifikannya
pengaruh infrastruktur listrik terhadap investasi, menandakan jika pemerintah
daerah atau pembuat kebijakan ingin mendorong pertumbuhan investasi industri
pertanian maka cara yang dapat ditempuh dengan meningkatkan pasokan listrik
dan kualitas pelayanannya.
6.1.3. Pengaruh pangsa pertanian pada PDRB terhadap investasi industri
pertanian.
Peranan sektor Pertanian dalam perekonomian Provinsi Bengkulu hingga
tahun 2013 masih sangat dominan. Kedudukan sektor pertanian sebagai leading
sector dalam perekonomian Provinsi Bengkulu. Pangsa pertanian dalam PDRB
mencapai 38.34 persen (Bengkulu dalam Angka 2013). Sub sektor yang paling
berperan adalah tanaman bahan makanan/pangan.
Hal menarik bahwa pangsa pertanian terhadap PDRB periode 2010-2013
terus mengalami penurunan. Begitu pula halnya dengan pangsa sub sektor
tanaman bahan makanan yang terus menurun pada periode yang sama. Hal
sebaliknya terjadi pada sub sektor tanaman perkebunan, dalam periode 2010-2013
yang terus mengalami kenaikan.
Koefisien pangsa sektor pertanian terhadap PDRB sebesar -69.07 bertanda
negative memperlihatkan arah perubahan yang berlawanan antara pangsa
pertanian terhadap PDRB dan investasi industri Pertanian. Berdasarkan laporan
dari BKPMD Provinsi Bengkulu ternyata investasi yang masuk ke sektor
pertanian didominasi oleh subsektor perkebunan khususnya kelapa sawit dan
karet. Sedangkan berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
Hasil pertanian didominasi oleh hasil pertanian Tanaman bahan makanan.
Sehingga pertambahan areal perkebunan khususnya kelapa sawit akan
menurunkan penambahan area produksi tanaman bahan makanan. Kondisi ini
salah salah satunya terjadi di berapa Kabupaten dimana banyak area persawahan
86
berubah menjadi area perkebunan kelapa sawit dan karet. Signifikannya pengaruh
dari pangsa pertanian pada PDRB terhadap investasi industri dapat diartikan
bahwa salah satu cara untuk mendorong minat investasi industri pertanian maka
cara yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan aktivitas pertanian
khususnya pertanian sub sektor perkebunan.
6.1.4. Peranan Pangsa sektor pertambangan pada PDRB terhadap investasi
industri pertanian.
Pangsa sektor pertambangan pada PDRB masih relatif.kecil yaitu hanya
sebesar 3.88 persen. Namun Provinsi Bengkulu memiliki cadangan sumber daya
mineral yang cukup banyak meliputi pengelolaan usaha pertambangan (WP)
Sektor pertambangan di Provinsi Bengkulu didominasi oleh sub sektor
pertambangan tanpa migas. Potensi tambang di Provinsi Bengkulu meliputi
Batubara, Pasir Besi serta emas dan mineral pengikutnya.
Batubara yang diproduksi pada umumnya ditujukan untuk pasar ekspor
dengan produksi yang masih relatif kecil atau rata-rata kurang dari 80.000 ton
setiap bulannya. Kegiatan eksploitasi tambang batubara berada di kabupaten
Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah dan Seluma. Kegiatan eksplorasi selain
dilakukan di tiga kabupaten tersebut juga dilakukan di kabupaten Kaur.
Kegiatan pertambangan eksplorasi pasir besi di Provinsi bengkulu terdapat
di kawasan pantai barat yang tersebar di beberapa wilayah di masing-masing
kabupaten. Sedangkan untuk potensi tambang emas dan mineral pengikutnya telah
dikeluarkan beberapa Surat Ijin Penyelidikan Pendahuluan (SIPP) di beberapa
kabupaten.
Koefisien pangsa pertambangan terhadap PDRB memperlihatkan tanda
positif, yang berarti perubahan pada pertambahan hasil pertambangan akan
mendorong peningkatan investasi industri pertanian. Signifikannya peranan
pangsa pertambangan pada PDRB terhadap investasi industri pertanian
memperlihatkan bahwa untuk meningkatkan investasi industri pertanian maka
salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan aktivitas
pertambangan.
6.1.5. Peranan belanja modal terhadap investasi industri pertanian.
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran yang dugunakan dalam
rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi
manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal
kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap
tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja
bukan untuk d.ijual (Dirjen Anggaran, Kementrian Keuangan.
Menurut Peraturan dirjen Perbendaharaan tersebut, suatu belanja dikategorikan
sebagai belanja modal apabila :
1. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset
lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas
2. pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap
atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah
87
3. perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual
Berdasarkan analisis investasi diketahui bahwa belanja modal adalah salah
satu variabel yang berpengaruh signifikan pada investasi industri pertanian. Akan
tetapi tanda negative pada koefisien belanja modal dapat dijelaskan sebagai arah
perubahan yang berlawanan antara belanja modal dan investasi industri pertanian.
Negatifnya tanda pada belanja modal karena memang pada awal pemekaran
suatu wilayah, Pemerintah Daerah akan banyak membangun di bidang
infrastruktur fisik seperti gedung perkantoran, hal ini mengakibatkan aktivitas di
bidang investasi khususnya pertanian menjadi menurun.
6.2. Faktor Penentu investasi industri bukan pertanian.
Investasi industri bukan pertanian di Provinsi Bengkulu yang dilakukan
oleh para Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) meliputi bidang usaha kegiatan televisi swasta; industri mineral non
logam; listrik, gas dan air.
Variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model meliputi PDRB
perkapita, infrastruktur jalan, listrik dan air bersih, pangsa pertanian pada PDRB
dan Pangsa Pertambangan pada PDRB. Sedangkan variabel terikatnya adalah
investasi industri pertanian. Metode analisis yang dipergunakan adalah regresi
data Panel yang hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 19 Faktor Penentu tingkat investasi industri Bukan Pertanian
Parameter Investasi Industri Bukan Pertanian
Koefisien P value
C
PDRB perkapita
Infrastruktur Listrik
Infrastruktur Jalan Kabupaten
Infrastruktur Jalan provinsi
Pangsa pertanian terhadap PDRB
Pangsa Pertambangan terhadap PDRB
Belanja Modal
Tenaga kerja
-897135.3
0.098
-0.0097
2665.09
354756.4
-7.90
6.56
0.011
546624.9
0.797
0.772
0.716
0.960
0.105
0,427
0.899
0.1746
0.0635*
R2
Prob Haussman Test
Prob (F-test)
0.956
0.736
0.055*
Hasil analisis faktor penentu investasi industri bukan pertanian menyatakan
secara simultan PDRB perkapita, infrastruktur, tenaga kerja terdidik dan belanja
modal, secara bersamaan mempengaruhi investasi industri bukan pertanian (Prob
F (0.055) < 10%). Secara parsial, hanya faktor tenaga kerja terdidik yang
88
berpengaruh pada investasi bukan Pertanian. Infrastruktur jalan provinsi 0.105
menunjukkan bahwa bila taraf yang digunakan adalah α = 0.11 maka infrastruktur
jalan provinsi berpengaruh nyata terhadap investasi industri bukan pertanian.
Secara umum sektor industri yang berkembang di Propinsi Bengkulu masih
didominasi oleh industri mikro atau industri rumah tangga yang belum mampu
menyerap banyak tenaga kerja, cenderung hanya memperkerjakan anggota
keluarga. Minimnya tingkat investasi industri baik pertanian maupun non
pertanian mengakibatkan rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja.
Signifikannya pengaruh antara tenaga kerja terdidik terhadap industri non
pertanian dapat diartikan bahwa perkembangan industri non pertanian sangat
membutuhkan tenaga kerja dengan tingkat skill tertentu. Hal berbeda terjadi pada
investasi industri pertanian dimana tenaga kerja terdidik tidak memiliki pengaruh
yang signifikan dikarenakan masih rendahnya standart kemampuan yang
dibutuhkan untuk mampu berkerja pada sektor investasi industri pertanian,
dimana orientasi industri pertanian masih menuju pada produksi barang primer
berupa kayu bulat, kayu gergajian, pengolahan hasil perikanan dan lain-lain.
6.3. Hasil analisis faktor penentu investasi industri di Propinsi Bengkulu
Setelah uraian diatas membahas tentang aktivitas di bidang investasi industri
pertanian dan bukan pertanian maka lebih lanjut dilakukan analisis faktor penentu
investasi industri total. Model ini mempergunakan PDRB perkapita infrastruktur
jalan, listrik, air bersih, pangsa pertanian pada PDRB dan pangsa pertambangan
pada PDRB sebagai variabel bebas dan investasi industri total sebagai variabel
terikat. Adapun hasil analisis ditampilkan pada Tabel 20 :
Tabel 20. Faktor penentu tingkat investasi industri total
Parameter
Koefisien
P value
C
PDRB perkapita
Infrastruktur Listrik
Infrastruktur Jalan Kabupaten
Infrastruktur Jalan provinsi
Pangsa pertanian terhadap PDRB
Pangsa Pertambangan terhadap PDRB
Belanja Modal
Tenaga kerja
8818287
2.285
-0.046
62507.89
673373.4
-114.182
507.593
0.008
380555.8
0.409
0.045**
0.480
0.5861
0.108
0.0271**
0.062*
0.589
0.44
R2
Prob Haussman Test
Prob (F-test)
0.98
0.033**
0.000**
Berdasarkan analisis total investasi secara simultan, variabel PDRB
perkapita, infrastruktur listrik dan jalan, pangsa pertanian terhadap Pendapatan
89
Domestik Regional Brutto, pangsa pertambangan terhadap PDRB memiliki
pengaruh yang signifikan dan terhadap total investasi di Propinsi Bengkulu.
Secara parsial hanya PDRB perkapita dan pangsa pertambangan pada PDRB
yang memiliki pengaruh signifikan pada investasi industri total.
Berdasarkan analisis infrastruktur listrik ternyata memiliki tanda positif
Firdaus (2008) mengemukakan bahwa suplai tenaga listrik dan infrastruktur
social berpengaruh signifikan terhadap daya tarik investasi pada suatu wilayah.
Hal sebaliknya terjadi pada infrastruktur jalan, dimana untuk mendorong
peningkatan investasi di Provinsi Bengkulu menuntut ketersediaan fasilitas jalan
yang lebih baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Olajide (2013)
bahwa ketersediaan infrastruktur jalan yang berkualitas akan mendorong
penurunan biaya usaha..
Provinsi Bengkulu memiliki keunggulan di bidang pertanian khususnya
pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Pertanian tanaman pangan merupakan
penyumbang pendapatan daerah yang terbesar dengan produktivitas yang relatif
terus meningkat setiap tahunnya. Hasil analisis share sektor pertanian terhadap
investasi sektor pertanian memperlihatkan arah perubahan yang berbeda.
Perbedaan arah ini disebabkan ketidaksesuaian antara faktor dominan pada PDRB
pertanian yang didominasi oleh produksi hasil tanaman pangan seperti padi,
jagung, ketela, kacang tanah dan hortikultura, sedangkan investasi industri
pertanian didominasi oleh hasil dari sektor perkebunan antara lain perkebunan
kelapa sawit, karet, kelapa dan teh. Perkembangan sektor perkebunan ini
memungkinkan terjadinya trade off antara areal pertanian tanaman panan dan
areal perkebunan. Penelitian yang dilakukan oleh Darman Hari (2010) pada
seminar inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi menyatakan telah terjadi alih
fungsi lahan tanaman pangan menjadi lahan perkebunan. Kondisi ini
megakibatkan Pemerintah Provinsi Bengkulu harus mensuply kebutuhan pangan
terutama beras di kawasan pemukiman baru, jika hal ini terus berlanjut akan
mengakibatkan kerawanan pangan khususnya beras, alih fungsi lahan ke tanaman
perkebunan seperti kelapa sawit akan mengganggu keseimbangan lingkungan
seperti mikroorganisme tanah dan ketersediaan air tanah. Ketersediaan sumber
daya Pertanian adalah landasan utama perekonomi. Karena sektor pertanian
adalah sumber pangan, sandang, dan papan yang berkesinambungan bagi
masyarakat sekaligus sebagai bahan baku bagi industri. Tingginya daya beli
masyarakat akan berimbas pada permintaan barang hasil industri pertanian.
Seperti produk olahan makanan, olahan ikan, dan olahan hasil pertanian lain.
Menurut (Artige 2009) tingkat permintaan regional dan produktivitas adalah
fundamental utama dari suatu penanaman modal. Berdasarkan hal tersebut makan
dapat dinyatakan bahwa hal utama yang harus diperhatikan dalam peningkatan
minat investor masuk adalah peningkatan daya beli masyarakat dan produktivitas
kerja masyarakatnya.
Risal (2013) menyatakan aktivitas pertambangan memiliki dampak positif
terhadap perekonomian bagian sebagian masyarakat khususnya yang ada di
sekitar lokasi pertambangan, tetapi disisi lain juga berdampak negative bagi
lingkungan. Untuk analisis ini hanya dilakukan pengamatan pada dampak
ekonomi. Secara teori, wilayah yang memiliki kekayaan tambang relatif lebih
kaya dari sisi pendapatan asli daerah, akan tetapi kondisi yang terjadi di Provinsi
90
Bengkulu berbeda, wilayah yang banyak memiliki areal tambang (contoh:
batubara) seperti Bengkulu Utara, Seluma dan Bengkulu Tengah ternyata tidak
serta merta memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi dibandingkan
dengan wilayah yang tidak memiliki area pertambangan. Bahkan realisasi
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Pemerintah kabupaten Bengkulu Utara dan
Bengkulu Tengah mengalami defisit (BPS 2014).
Secara umum penduduk wilayah yang memiliki areal pertambangan akan
mendapat dampak positif secara ekonomi. Penduduk yang berada atau
beraktivitas di bidang pertambangan memiliki pertambahan pendapatan yang
lebih tinggi dibandingkan di sektor lain. Pendapatan masyarakat yang bekerja di
area pertambangan relatif tinggi dibandingkan pendapatan masyarakat di sektor
pertanian. Pertambahan pendapatan inilah yang menyebabkan pertambahan daya
beli masyarakat. Tingginya daya beli masyarakat akan mendorong peningkatan
investasi industri pertanian. Hal ini sesuai dengan hasil estimasi yang menyatakan
adanya pengaruh yang searah dan signifikan antara PDRB, infrastruktur jalam,
sektor pertambangan terhadap investasi industri total. Sedangkan pangsa
pertanian pada sektor pertanian memiliki pengaruh yang berlawanan arah denga
perubahan investasi industri. Secara umum perubahan pada investasi industri
dijelaskan oleh variabel PDRB perkapita, share pertanian dan pertambangan pada
PDRB.
6.4. Implikasi Kebijakan
Untuk membahas masalah iklim investasi dan faktor penentu investasi
daerah, perlu dipahami faktor penentu iklim investasi dan investasi industri.
Adapun Implikasi dari penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok seperti diuraikan
berikut :
6.4.1. Implikasi Kebijakan bagi Lembaga BKPMD dan BKPM
Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) antara lain
bertugas memberikan pelayanan perizinan Penanaman Modal. Kesimpulan hasil
penelitian di bidang iklim investasi menunjukkan yang ada. Persepsi masyarakat
pun menyatakan bahwa kondisi perizinan yang ada masih buruk. Disinilah
BKPMD dituntut untuk meningkatkan peranannya merubah image tersebut. Salah
satu cara pembenahan pelayanan di bidang perizinan adalah melalui
penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bagi penanaman modal.
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No 97 tahun 2014 tentang penyelenggaran
Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Menurut Perpres tersebut, penyelenggaraan PTSP
oleh Pemerintah provinsi dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi, sedangkan penyelenggaraan
PTSP oleh Pemerintah Kabupaten/kota dilaksanakan oleh BPMPTSP
Kabupaten/Kota.
Dalam konsep PTSP ini Gubernur/Bupati/Walikota memberikan
pendelegasian wewenang perizinan dan non perizinan yang menjadi urusan
pemerintar provinsi/kabupaten/kota kepada kepala BPMPTSP
Provinsi/Kabupaten/Kota.
91
BKPMD juga harus mampu memberikan sangsi dalam rangka penegakkan
peraturan bahkan sampai dengan pencabutan izin bagi para PMDN yang tidak
menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM). BKPMD perlu
lebih aktif dalam merencanakan, mengidentifikasikan dan mempromosikan
peluang investasi daerah yang sesuai dengan peluang/unggulan daerah. Sektor
utama penggerak perekonomian di Provinsi Bengkulu adalah Pertanian,
Pertambangan dan konstruksi. Ketiga sektor ini menjadi sektor basis di beberapa
kabupaten/kota. Wilayah yang memiliki keunggulan di bidang Pertanian terbukti
mampu meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Adapun sub sektor
yang menjadi penggerak utamanya adalah tanaman pangan dan perkebunan.
Beberapa wilayah sudah menjadi tujuan penanaman modal asing yang
melakukan aktivitasnya dibidang perkebunan dan pengolahan hasil perkebunan
seperti minyak mentah kelapa sawit, karet, kopi dan teh. Akan tetapi pangsa
pertanian terhadap PDRB dari tahun ketahun terus mengalami penurunan. Hal ini
sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang menyebabkan
terjadinya pergeseran struktur perekonomian dari sektor pertanian menjadi non
pertanian.
Sejalan dengan rendahnya aktivitas investasi yang ada di Provinsi
Bengkulu, dan belum mampunya BKPMD Provinsi Bengkulu menjalankan
peranannya sebagai pendorong investasi wilayah, maka dibutuhkan dorongan dari
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memaksimalkan kinerja
BKPMD yang berada di bawah koordinasinya. Peranan BKPM ini di antaranya
ialah menciptakan kesamaan pola fikir para pemimpin daerah akan pentingnya
investasi bagi pengembangan wilayahnya. Hal ini dapat ditempuh melalui
pengarahan yang sistematis oleh BKPM kepada seluruh kepala daerah, sehingga
dapat dilakukan perbandingan sekaligus sumbang saran antara satu dan lain
wilayah. Dengan kata lain kepala daerah menjadi sadar akan posisi dan kinerjanya
masing-masing terkait iklim dan tingkat investasi di daerahnya. Secara berkala
kinerja investasi tersebut dimonitor oleh BKPM dan berdasarkan hal tersebut,
bimbingan dan pengarahan diberikan oleh BKPM kepada para kepala daerah
khususnya yang berkinerja kurang melalui BKPM.
6.4.2. Implikasi bagi Pemerintah Daerah
Berdasarkan hasil analisis iklim investasi diketahui bahwa Peraturan
Daerah memiliki pengaruh yang signifikan bagi pengembangan iklim investasi
yang ada. Namun demikian, berdasarkan penilaian dari para investor Peraturan
Daerah yang ada dinilai belum mampu mendukung aktivitas usaha investasi,
belum konsisten dalam pelaksanaannya, serta kurang responsive terhadap
kebutuhan investor. Untuk itu Satuan Kerja perangkat Daerah harus lebih aktif
melakukan peninjauan ulang bahkan melakukan perbaikan atas Peraturan Daerah
agar mampu dilaksanakan secara konsisten dan transparan.
Dalam rangka meningkatkan kualitas peraturan daerah yang terkait dengan
investasi, Pemerintah Daerah disarankan untuk melakukan konsultasi Publik dan
Regulatory Impact Assesment (RIA=analisisi dampak kebijakan atau peraturan).
Melalui analisis dampak kebijakan tersebut diharapkan mampu menghitung
kerugian masyarakat yang terkena dampak dari usaha investasi. Hendaknya
92
peraturan Daerah yang dikeluarkan harus probisnis, merujuk kepentingan umum
dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya.
Peranan sektor pertanian menjadi sektor basis ini haruslah ditindaklanjuti
dengan tetap mempertahankan peranan pertanian sebagai penggerak utama
perekonomian masyarakat, akan tetapi perlu dilakukan pembenahan dalam proses
produksi. Proses produksi pertanian yang selama ini masih mengutamakan metode
pertanian tradisional untuk menghasilkan tanaman pangan harus dirubah menjadi
metode pertanian modern yang menitikberatkan pada subsektor perkebunan.
Hal ini terbukti di Kabupaten Seluma, dimana perekonomian masyarakatnya
mengalami peningkatan setelah masyarakat setempat berpindah orientasi
pertanian mereka dari penghasil tanaman pangan menjadi perkebunan kelapa
sawit. Cakupan usaha perkebunan mulai dari pengolahan lahan, penyemaian,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Informasi yang diperoleh dari lapangan menyatakan untuk meningkatkan hasil
perkebunan khususnya perkebunan rakyat dengan komoditas kelapa sawit maka
hendaknya Pemerintah Daerah mampu menyediakan bibit kelapa sawit yang
berkualitas. Untuk mendapatkan bibit kelapa sawit yang berkualitas maka petani
terkadang harus mengeluarkan dana yang relatif besar dan waktu pemesanan yang
relatif lama. Bibit yang banyak beredar di pasaran aadalah bibit kelapa sawit yang
berkualitas rendah, sehingga output yang dihasilkan pun berada di bawah standart
pabrik pengolahan buah sawit. Hal inilah penyebab munculnya budaya Pungutan
Liar (Pungli) dalam proses pensortiran kelapa sawit sebelum diolah menjadi
minyak mentah kelapa sawit. Tidak bisa dipungkiri perekonomian masyarakat
petani mulai mengalami peningkatan seiring dengan perubahan aktivitas pertanian
dari tanaman pangan menjadi perkebunan.
Sektor pertambangan Batubara menjadi sektor basis di beberapa
kabupaten. Pertambangan batubara ini mencakup usaha operasi penambangan,
pengeboran berbagai kualitas batubara baik pertambangan di permukaan tanah
atau bawah tanah. Kenyataan yag ada memperlihatkan beberapa kabupaten yang
kaya akan sumber daya tambang ternyata tidak lantas menjadikan masyarakatnya
menjadi sejahtera. Kabupaten Bengkulu Utara dan Seluma yang kaya akan
sumber daya tambang ternyata memiliki tingkat kemiskinan yang relatif tinggi,
tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang rendah.
Hal ini terjadi karena wilayah tersebut hanya menjadi lokasi pengambilan
hasil tambang saja (eksploitasi) sedangkan proses transaksi dan pengolahan
lanjutan dilakukan di wilayah lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kedua wilayah itu mengalami backwash atas sumber daya tambang yang
dimilikinya. Masyarakat yang ada di wilayah kaya hasil tambang itu hanya
sebagai pekerja dan tidak menikmati hasil. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan
atau peraturan yang jelas dari Pemerintah Daerah mengenai proses pengambilan
(eksploitasi), pengolahan dan bagi hasil tambang sehingga masyarakat dapat lebih
menikmati hasil kekayaan sumber daya alamnya. Pada gilirannya perekonomian
wilayah dapat makin berkembang akibat adanya peningkatan pendapatan
masyarakat dari sektor pertambangan tersebut. Informasi dari lapangan
menyatakan adanya ketidakjelasan dari perjanjian kerjasama antara Penanaman
Modal Asing maupun Peneneman Modal Dalam Negeri dengan Pemerintah
Daerah/Kabupaten sehingga kepala daerah dalam hal ini bupati seringkali
93
bertindak tidak berdasarkan ketentuan yang jelas dan cenderung menikmati
hasilnya secara pribadi.
Sektor Konstruksi adalah kegiatan usaha di bidang konstruksi umum dan
konstruksi khusus pekerjaan gedung dan bangunan sipil, baik yang digunakan
sebagai tempat tinggal atau pun sebagai sarana kegiatan lainnya. Kegiatan
konstruksi ini dilakukan baik oleh kontraktor umum, yaitu perusahaan yang
melakukan pekerjaan konstruksi untuk pihak lain, maupun oleh kontraktor
khusus, yaitu unit usaha atau individu yang melakukan kegiatan konstruksi untuk
dipakai sendiri.
Sektor konstruksi ini adalah satu-satunya sektor perekonomian yang
pertumbuhannya maju. Dalam rangka peningkatan pendapatan wilayah, maka
dirasa perlu adanya peraturan daerah yang mampu menyelenggarakan proyek-
proyek pembangunan pemerintah secara transparan sekaligus perizinan dalam hal
konstruksi untuk dipakai sendiri karena informasi yang muncul di lapangan adalah
masih rendahnya kepemilikan ijin mendirikan bangunan (IMB) dan sulitnya untuk
mendapatkan proyek pemerintah dikarenakan maraknya calo atau makelar proyek
sehingga kompetensi dari pelaku konstruksi ini terkadang tidak sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan. Akibatnya kualitas bangunan yang dihasilkan tidak
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Iklim investasi yang kondusif adalah harapan dari pemerintah Daerah, pelaku
usaha maupun masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa faktor
penentu iklim investasi yang kondusif di Provinsi Bengkulu meliputi akses lahan,
penyediaan infrastruktur, Peraturan Daerah dan biaya transaksi. Kondisi yang
terjadi di Provinsi ini di bidang akses lahan adalah masih banyaknya kepemilikan
sertifikat ganda dan proses pemindahan kepemilikan yang sulit. Berdasarkan hal
tersebut maka Pemerintah Daerah harus lebih efektif melakukan koordinasi
dengan Badan Pertanahan Nasional sehingga kasus kepemilikan sertifikan ganda
dapat diminimalisir dan proses pemindahan kepemilikan lahan menjadi lebih
mudah.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ketersedian infrastruktur daerah adalah hal
utama dalam penciptaan iklim investasi yang kondusif. Sementara itu kondisi yan
hasil penelitian menyatakan bahwa ketersedian infrastruktur daerah adalah hal
utama dalam penciptaan iklim investasi yang kondusif.g terjadi adalah masih
kurang memadainya penyediaan listrik dan jalan yang berkualitas. Sehubungan
dengan itu pemerintah Daerah perlu meningkatkan peran dan kemampuannya
dalam penyediaan infrastruktur daerah sesuai kewenangannya.
Biaya transaksi adalah faktor penentu iklim investasi. Kondisi yang ada saat
ini di Provinsi Bengkulu adalah maraknya praktek Pungutan Liar (PUNGLI) atau
biaya siluman. Hal ini mengakibatkan banyaknya investor atau pemodal yang
membatalkan rencananya untuk menanamkan modalnya di Bengkulu. Reformasi
Birokrasi berupa pemangkasan birokrasi dan kejelasan alur pengurusan maupun
informasi adalah cara efektif untuk meminimalkan biaya tak terduga.
Ketidakjelasan informasi yang mengakibatkan banyaknya biaya transakti siluman.
Investasi industri Pertanian dan non pertanian di Provinsi Bengkulu sangat
ditentukan oleh daya beli masyarakat (PDRB perkapita), pendapatan masyarakat
(PDRB), infrastruktur jalan dan listrik, pangsa pertanian terhadap PDRB dan
pangsa pertambangan terhadap PDRB. Aktivitas perekonomian di Provinsi
Bengkulu masih sangat didominasi oleh peranan pemerintah. Sekitar 80 persen
94
dari Anggaran Belanja Daerah dikeluarkan untuk membiayai gaji PNS, yang
jumlahnya setiap tahun terus bertambah. Sejalan dengan peranan PDRB perkapita
yang mempengaruhi aktivitas investasi industri di Provinsi Bengkulu maka
pemerintah harus mampu menggerakkan sektor lain di luar sektor Pemerintah
sebagai sumber pendapatan baru bagi masyarakat. Pemerintah daerah harus
mampu berperan aktif dalam meningkatkan peran swasta. Peran pemerintah ini
dapat dilakukan meliputi kebijakan atau peraturan daerah yang kondusif,
pemberian pelatihan bagi usaha mikro dalam proses pengembangan usaha,
Kebijakan pemberian Kredit Usaha kecil yang mudah dan tidak terlalu birokratis.
Mengembangkan kelembagaan masyarakat yang dapat membantu usaha
peningkatan masyarakat desa. Jika peningkatan PDRB perkapita ini dapat
terlaksana, maka usaha peningkatan PDRB pun akan tercapai
Investasi industri Pertanian di Provinsi Bengkulu sangat ditentukan oleh daya
beli masyarakat (PDRB perkapita), pendapatan masyarakat (PDRB), pangsa
pertanian terhadap PDRB dan pangsa pertambangan terhadap PDRB dan Belanja
Modal. Sedangkan investasi industri bukan pertanian sangat dipengaruhi oleh
tenaga kerja terdidik. Berperannya pangsa dari sektor pertanian dan Pertambangan
terhadap aktivitas investasi industri di Provinsi Bengkulu memerlukan suatu
kebijakan yang dapat menunjang keberhasilan usaha di kedua sektor tersebut.
Seperti misalnya pertanian, dalam rangka pencapaian ketahanan pangan, maka
Pemerintah Daerah wajib mendorong masyarakat petani untuk meningkatkan hasil
produksi mereka dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Misalnya melalui
penyediaan bibit unggul, penyediaan pupuk murah, pestisida yang ramah
lingkungan, pasar untuk hasil pertanian. Bidang pertambangan dapat ditempuh
dengan mengeluarkan kebijakan di bidang pengaturan proses eksploitasi dan
pemanfaatan hasil tambang.
Secara umum, diperlukan suatu Peraturan Daerah yang mengatur tentang
pemberian kemudahan dan/atau insentif bagi investor di daerah, yang sesuai
dengan kondisi yang ada di wilayahnya, serta berlaku secara konsisten.
6.4.3. Implikasi bagi PMA atau PMDN
Bagi para PMA dan PMDN, perlunya sosialisasi mengenai Badan Penanaman
Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP). Perlunya dilakukan sosialisasi
tentang kewajiban PMA dan PMDN untuk memberikan pelaporan aktivitasnya
berupa Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) secara rutin setiap 3 bulan
sekali/ tiap triwulan. PMA melaporkan aktivitas penanaman modalnya pada
BKPM. Sedangkan PMDN melaporkannya pada BKPMD.
Meningkatkan peranan dari perusahaan atau investor di sektor
pertambangan untuk lebih peduli kepada masyarakat sekitar perusahaan sehingga
eksternalitas dari proses pertambangan tersebut dapat diminimalkan. Selain itu
kasus-kasus sengketa kepemilikan lahan untuk perkebunan dan pertambangan pun
dapat diatasi jika dalam melaksanakan kegiatan usahanya ikut melibatkan
masyarakat sekitar.
95
7. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1. Wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi ditandai dengan
banyaknya sektor basis yang dimiliki. Sektor pertanian, pertambangan dan
konstruksi adalah sektor basis di hampir seluruh kabupaten/kota, walaupun
merupakan penggerak perekonomian di seluruh kabupaten/kota pertumbuhan
sektor pertanian dan pertambangan relatif lambat, hanya sektor konstruksi
yang tingkat pertumbuhannya cepat.
2. Secara simultan, faktor penentu iklim investasi adalah Akses lahan,
Infrastruktur daerah, Peraturan daerah, Perizinan dan biaya transaksi. Secara
parsial ternyata variabel perizinan tidak berpengaruh secara signifikan pada
iklim investasi di Provinsi Bengkulu. Diantara keempat faktor tersebut akses
lahanlah yang paling dominan pengaruhnya pada penciptaan iklim investasi
yang kondusif. Kemudahan mendapatkan lahan dan penyelesaian konflik
masalah lahan; kualitas infrastruktur daerah yang memadai; peraturan daerah
yang fleksibel, konsisten dan transparan; dan transparansi biaya transakti akan
menunjang usaha penciptaan iklim investasi yang kondusif.
3. Faktor penentu investasi industri pertanian dan non pertanian (sektoral)
maupun investasi industri total di Provinsi Bengkulu secara bersamaan adalah
PDRB perkapita; share pertanian serta share pertambangan terhadap PDRB;
dan belanja modal. Sedangkan secara parsial, hanya PDRB perkapita, share
pertanian dan pertambangan terhadap PDRB dan belanja modal yang memiliki
pengaruh secara signifikan pada investasi industri pertanian. Investasi industri
bukan pertanian secara parsial ditentukan oleh kualitas tenaga kerja yang ada.
Secara total, faktor penentu investasi industri di Provinsi Bengkulu adalah
PDRB, infrastruktur jalan dan listrik, share pertanian dan pertambangan
terhadap PDRB dan belanja modal.
7.2 Saran
Usaha pencapaian tingkat pembangunan yang mampu menghasilkan
kesejahteraan masyarakat Provinsi Bengkulu tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan sektor pertanian. Berdasarkan analisis diketahui bahwa pertumbuhan
sektor pertanian pada seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu masih relatif
lambat. Untuk itu salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan wilayah adalah
dengan mendorong pertumbuhan sektor pertanian melalui perbaikan cara bertani,
penyediaan sarana dan prasarana pertanian yang memadai dan menyediakan alur
pemasaran hasil pertanian yang tepat.
Rejang lebong merupakan wilayah yang memiliki tingkat pendapatan
perkapita dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Wilayah ini mampu menyatukan
antara sektor pertanian, industri pengolahan dan listrik sebagai sektor basis. Atas
dasar itu maka salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan wilayah yang
memiliki sektor basis di sektor pertanian adalah dengan menciptakan keterkaitan
96
antarsektor. Untuk itu dibutuhkan kebijakan yang mendorong usaha penciptaan
keterkaitan antar sektoral, melalui kerjasama antara Bappeda Kabupaten/Kota
untuk merumuskan kerjasama antar sektor atau wilayahnya.
Persepsi para investor terhadap iklim investasi di Bengkulu menyatakan
masih buruknya kondisi kepemilikan lahan, penyediaan infrastruktur daerah,
perizinan, peraturan daerah dan transparansi biaya transaksi. Untuk itu peran serta
Pemerintah Daerah sangat penting dalam penciptaan iklim investasi yang
kondusif. Peran serta ini salah satunya dalam bentuk pengaturan tata tertib
kepemilikan lahan, kemudahan pengurusan surat kepemilikan, penyelesaian
konflik kepemilikan, kejelasan peraturan dan proses perizinan serta transparansi
biaya transaksi dengan meminimalkan pungutan liar di berbagai instansi.
Pelaksanaan pembangunan di Provinsi dinilai belum dilaksanakan secara
terpadu. Terlihat dari belum meratanya hasil-hasil pembangunan, penyediaan
infrastruktur, masih banyaknya daerah tertinggal. Untuk itu Pemerintah Daerah
Bengkulu hendaknya lebih menyadari akan pentingnya perwilayahan
pembangunan sehingga perencanaan pembangunan yang ada dapat dilakukan
secara terpadu dengan mengutamakan keterpaduan intersektoral, interspasial, serta
antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah.
Dalam rangka meningkatkan investasi di Provinsi Bengkulu, diharapkan
Pemerintah daerah dan instansi terkait khususnya Badan Koordinasi Penanaman
Modal Daerah (BKPMD) Provinsi/Kabupaten/Kota mampu membuat suatu
Rencana Umum Penanaman Modal Daerah (RUPMD) secara lebih terperinci dan
sesuai dengan kondisi yang ada, tidak hanya melanjutkan rancangan dari BKPM
karena dalam penyusunan RUPMD ini dibutuhkan pemahaman lebih detail pada
kondisi wilayah dan potensi masing-masing daerah.
Penelitian ini memiliki keterbatas dalam hal data investasi PMA dan
PMDN yang melakukan aktivitasnya. Untuk itu hendaknya BKPMD harus
mampu mendorong para investor untuk melakukan pelaporan aktivitas penanaman
modalnya secara kontinu sesuai dengan Peraturan yang berlaku.
97
DAFTAR PUSTAKA
Ajayi, 2006. Determinant f Foreign Investment in Africa: A survey of the evidence
from Africa, Hal 11-32
Alfaro. 2004. FDI and Economic Growth: The Role of local Financial Markets.
Journal of International Economics .64: 89-112.
Alkadri. 2007. Estimasi Kebutuhan Biaya Investasi untuk Pembangunan Kawasan
Perbatasan antar negara.Jurnal sains dan Teknologi Indonesia Vol 9 No. 3
Hal 101-109
Al Khatib. H, Gassan SA, Samer MA, 2005. Economical determinant of domestik
investment, European Scientific Journal Edition April vol 8 No. 7.
Alkinkube, O. 2003. Flow of Foreign Direct Investment to Hitherto Neglected
Developing Countries. WIDER Conference on The New Economy in
Development. Helsinki. 2.
Ambardi , Urbanus M dan Socia P, 2002. Pengembangan wilayah dan otonomi
Daerah. Pusat Pengkajian Kebijakan Pengembangan wilayah (P2KTPW-
BPPT) Jakarta.
Anwar K, Rahardjo A, dan Nursini, (2001). Analisis Determinan Pertumbuhan
Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Kabupaten Maros.
Artige, L. 2009. Market Potential, Productivity dan Foreign Direct investment.
CSIC.
Asiedu E. 2002. On the Determinants of Foreign Direct Investment to Developing
Countries : Is Africa Different?. World Development Vol 30 No.1 Hal 107-
119.
Aziz, A. (2012). Relationship Between Foreign Direct Investment and Country
Population. International Journal of Bussiness and Management 7(8): 63-70.
Aysan A, Gaobo P, Marrie A, 2008. How to Boost private investment in Middle
East North Affica, JEL E22, 011,053
Basto . JN. 2004. Productivity and the investment climate
Budiharsono S. 2001. Tehnik Pengembangan wilayah pesisir dan lautan, Jakarta.
Pradnya Paramita..
Blanchard O.2009. Macroeconomics. Englewood Cliffs. New Jersey. Person
Prentice Hall.
Badan Pusat Statistik. 2011. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2011, CV.
Nagarindo Cipta Persada
________. 2012. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2012, CV. Nagarindo Cipta
Persada.
________. 2013. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2013, CV. Nagarindo Cipta
Persada
________. 2014. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2014, CV. Nagarindo Cipta
Persada
98
Bilington, N. (1999). The location of foreign Direct Investment: An empirical
Analysis. Applied Economics 31: 65-76.
Castelles A, Albert SO, 2005. The regional allocation on infrastructure
investment: The role of equity, efficiency and political factor, University de
Barcelona and Barcelona Institute of Economic.
Chakrabarti. 2001. The Determinans of foreign Direct Investment : Sensitivity
analysis of Cross Regresion. KYKLOS 54.Hal 89-114.
Cheng L, Kwan Y. 2000. What are the determinants of the Location of Foreign
Direct Investment? The chinnese experience. Journal of Internationall
Economics 51 hal 379-400.
Chenery. Hollis B 1986. Transitional Growth and World Industrialisation. The
International Allocation of Economic Activity, Edited by Bertil Ohlin et al.
Djojohadikusumo, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi dasar teori
ekonomi pertumbuhan dan ekonomi Pembangunan. Jakarta. LP3ES: 1994
Xlvi, 376p.
Duzer, J. V. (2008). Foreign Investment and Development the Role of Domestik
Policy and international Investment Aggreements. C. F. M. R. Report.
London, Commonwealth Secretariat.
Eltayeb SM, Sidiropolous MG. 2010. Another Look at the Determinants of
Foreign direct Investment in Mena Countries. Journal of economic
Development. Volume 35. Number 2.
Firdaus M. 2011, Aplikasi Ekonometrika untuk data Panel dan Time series,
Bogor. IPB Press.
Gujarati, Damodar. 2004. Basic Econometric : The McGraw- Hill Companies.
Hadjisarosa, Poernomosidi. 1982. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di
Indonesia, Jakarta; Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Hermes N, Lensink R. 2003. Foreign Direct Investment, Financial Development
and Economic Growth. Journal of.Vol 38.
IMF. 2003. Investment climate holds Indonesia Future. IMF survey 32-169
Development Studies.
Issard W. 1975. Introduction to Regional Science. Englewood Cliffs. New Jersey.
Prentice-Hall.
James S, 2009, Incentives dan Investment:Evidence & policy implication,
investment climate advisor service of the world bank Group.
Juanda, B. 2009, Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan, Bogor. IPB Press.
Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. , Bogor. IPB Press.
Jenkins, a. L. T. 2002. Foreign Direct Investment in Southern Affrica:
Determinants, Characteristic and Implications for Economic Growth and
Poverty Alleviation. Oxford University, Oxford : Center for the study of
African Economies.
Karagol E, 2004, A disaggregated analysis of government expenditure and private
investment in Turkey, Jurnal of Economic Corporation, 25,2. Hal 134-144.
Kauffman BG, Stone AH. 2004. Investments Climate Around the world:voice of
the firms from the world Bussines environment survey.
Kemmerling AAndreas Stephan, Determinants and Productivity of Regional
Transport Investment in Europe.
Kementrian Keuangan, (2012). Peta Kapasitas Fiskal Daerah K. K. R. Indonesia.
99
Kinda, T. 2008. Investment climate and FDI ini Developin Countries : Firm-
Level Evidence. CERDI-CNRS. Universite D'auvergne CERDI-CNRS.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2012. Tata Kelola Ekonomi
Daerah Tahun 2011, Asia Foundation.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2008, Pemeringkatan Iklim
Investasi 33 Propinsi di Indonesia tahun 2008.
Krugman. P. 1991. Increasing Returns and Economic Geography. Journal of
Political Economy 99. Hal 489-499.
Kuncoro M. 2003. Daya tarik investasi dan Pungli di Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian Ekonomi Negara
berkembang, Vol 10 No. 2. Hal 171-184.
Kuncoro M. 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang, Jakarta. Penerbit Erlanga.
Mankiw G. 2007, Makroekonomi,. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Murty S. 2000. Regional Disparities : Need and Measure for Balanced
Development In Regional Planning and Sustainable Development, New
Delhi. Shukla Kanishka Publishers.
Markusen, J. R. 1997. Trade versus investment Liberalization.. NBER working
paper 6231.
Mayer C. 2003. Finance, Investment and Growth. Journal of Financial economies.
191-226.
Morisset, P. 2000. Foreign Direct investment to Africa: Policies also Matter.
Transnational Corporation 9(2): 107-125.
Mukhenje A. 2011, Regional inequality in foreign direct investment flows to
India: The problem and the prospect,Papers vol 32 No 2 Reserve Bank of
India Occasional.
Noor H F, 2009, Investasi, Pengelolaan Keuangan Bisnis dan Pengembangan
ekonomi Masyarakat. Jakarta: Penerbit PT Indeks.
Onyeiwu S. 2003. Analysis of FDI Flows to Developing Countries: Is MENA
different? ERF 10 annual Conference, Maraksh. Monaco. Hal 1-22.
Ozturk I. 2007. Foreign Direct Investment: A review. International Journal of
applied econometrics and kuantitative studies vol 4-2.
Pananod P. 2008. Outward foreign direct investment from Asean: Implications
for regional integration, Thamnasat University, Bangkok: Thailand.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45 tahun 2008, tentang Pedoman
Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di
Daerah, Departemen dalam Negeri Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Bina Pembangunan Daerah, Jakarta.
Priyarsono, D.S, Sahara, Firdaus, 2007, Ekonomi regional: Jakarta : Universitas
Terbuka.
--------2012, Direktory Profil produk UKM Provinsi Bengkulu tahun 2012, Dinas
Koperasi, UKM Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bengkulu.
Phillpis Lauren M, 2006, Growth and investment climate:Progress and
challanges for asian economics, Challanges and Risks the development in
Asia.
100
Reside Renato E Jr. 2007, Can fiscal incentives stimulate regional investment in
the Philipines, Disscusion Paper No.0705.
Romer D. 2006. Advance Macroeconomics. New York, USA: McGraw-
Hill/Irwin.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D R., 2009, Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah: Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Saghir R, Khan A. 2006. Determinants of Public and Private Investment An
Empirical Study of Pakistan.The special Issues on Behavioral and Social
Science. International Journal of Business and Social Science Vol 3 No 4.
Sapoetro, Hasto. 2004. Perwilayahan Pembangunan sebagai masukan strategi
pengembangan wilayah Provinsi Gorontalo. [tesis]. Semarang. Semarang.
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Sinidra F. 2004. Economic Growth: a Conducive Climate for Investment.
Euromoney 35 , 4-5.
Siregar H. 2006, Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan ekonomi: Mendorong
investaso dan menciptakan Lapangan Kerja, Terbit di Bisnis dan ekonomi
Politik, 7(2), 29-45, Makro-Mikro Pembangunan, Kumpulan Makalah dan
Esai, Bogor. IPB Press..
Sodik J, Nuryadin D, 2002. Determinan Investasi Di daerah : Studi Kasus
Propinsi di Indonesia, Junal Kajian Ekonomi Negara berkembang Hal 223-
233.
Saghi R, Azra K, 2012, Determinants of public and private Investment : An
empirical Study of Pakistan, International Journal of Bussines and social
Science Vol 3 No.4 Spesial Issue.
Setiono. D NS. 2011. Ekonomi Pengembangan wilayah (Teori dan Analisis).
Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Ekonomi Pembangunan
Todaro MP, Stephen CS, 2006, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,
Jakarta. Penerbit Erlangga¸.
Olajide. 2013. Agricultural Resources and Economic Growth in Nigeria. Europen
Scientific Journal. Edition 8 No.22. ISSN 1857-7881. Hal 113-115.
Ottaviano, Gianmarco, 2008. Infrastructure and economic geographyc: An
overview of theory and evidence, EIB Papers Vol 13 N*2 Hal 8-35.
Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,
Kementrian Negara Koperasi dan Usaha kecil dan Menengah Republik
Indonesia tahun 2009.
Valadkhari A. 2004. What Determinants private investment in Iran. Faculty of
commerce-Papers. Rearch Online.
World Bank. 2003. Trade, Investment and Development in the Middle East North
Africa: Engagging with The World, Washington DC. World Bank,.
Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori dan Kebijakan. Jakarta.
Penerbit Erlangga.
101
LAMPIRAN
102
No
Iklim
Investasi Lahan
Infrastruktur
daerah Perizinan
Peraturan
Daerah
Biaya
Transaksi PPUS
1 1.00 33.00 30.00 32.00 20.00 40.00 20.00
2 1.00 31.00 30.00 31.00 50.00 41.00 50.00
3 1.00 31.00 30.00 30.00 20.00 36.00 20.00
4 1.00 30.00 30.00 29.00 47.00 41.00 47.00
5 1.00 31.00 30.00 30.00 20.00 36.00 20.00
6 1.00 30.00 30.00 34.00 20.00 27.00 20.00
7 1.00 36.00 31.00 32.00 30.00 41.00 30.00
8 1.00 34.00 30.00 31.00 30.00 32.00 30.00
9 1.00 32.00 30.00 31.00 20.00 31.00 20.00
10 1.00 36.00 32.00 37.00 44.00 34.00 44.00
11 1.00 30.00 28.00 28.00 30.00 35.00 30.00
12 1.00 30.00 30.00 37.00 20.00 43.00 20.00
13 1.00 31.00 30.00 27.00 40.00 40.00 40.00
14 0.00 38.00 32.00 38.00 30.00 34.00 30.00
15 1.00 33.00 31.00 30.00 42.00 34.00 42.00
16 1.00 30.00 30.00 36.00 30.00 34.00 30.00
17 1.00 35.00 35.00 30.00 40.00 27.00 40.00
18 1.00 36.00 36.00 36.00 34.00 30.00 34.00
19 1.00 30.00 25.00 23.00 21.00 20.00 21.00
20 1.00 36.00 36.00 38.00 30.00 29.00 30.00
21 1.00 36.00 31.00 31.00 33.00 31.00 33.00
22 1.00 34.00 13.00 33.00 37.00 40.00 37.00
23 1.00 38.00 32.00 39.00 34.00 39.00 34.00
24 0.00 40.00 32.00 31.00 40.00 27.00 40.00
25 0.00 33.00 32.00 35.00 32.00 27.00 32.00
26 0.00 40.00 40.00 30.00 36.00 30.00
27 0.00 37.00 40.00 39.00 30.00 34.00 30.00
28 1.00 39.00 31.00 36.00 30.00 28.00 30.00
29 0.00 29.00 23.00 32.00 33.00 34.00 33.00
20 0.00 36.00 30.00 36.00 30.00 18.00 30.00
Lampiran 1. Data untuk olah regresi Logit
Kriminalitas
18.00
18.00
18.00
18.00
19.00
18.00
19.00
18.00
18.00
19.00
16.00
18.00
17.00
18.00
15.00
18.00
20.00
15.00
13.00
18.00
17.00
15.00
14.00
13.00
18.00
19.00
23.00
18.00
17.00
18.00
Kab/Kota
Tahun
IIP
IINP
IPDRBKAPITA
INFR_L
Infr_Jnas
Infr_Jprov
Infr_Jkab
INFR_A
IRSD
A_A
GR
SDA_M
TKBelanja M
odal
"_BS"
2010
4910000.00
12541500.00
17451500.00
8546454.00
27927339.00
44.91
2.77
5.85
536424.00
179004.61
1704.80
5.37
44997459
"_BS"
2011
8470455.00
16534295.00
25004750.00
9491074.00
27290298.00
60.59
5.77
10.39
43393.00
188291.53
1812.14
7.70
76175630
"_BS"
2012
9370465.00
17434295.00
26804760.00
10511629.00
40489684.00
43.06
5.77
10.36
557480.00
198208.38
1910.95
8.86
81760404.00
"_BS"
2013
9370465.00
17434295.00
26804760.00
11731071.00
50552701.00
34.49
5.19
24.21
433129.00
207754.08
1972.08
10.42121295657.00
"_RL"
2010
1841754.00
773278.00
2615032.00
14778078.00
59456335.00
1.30
2.42
11.36
2174954.00
930060.65
1158.95
4.88110284397.00
"_RL"
2011
2341578.00
1077570.00
3419148.00
16593115.00
58531578.00
1.84
4.97
15.71
2159412.00
975568.75
1151.48
5.66
95939346.00
"_RL"
2012
3141578.00
1978320.00
5119898.00
18591588.00
69709742.00
2.84
5.85
16.72
135184.00
1028783.61
1203.45
6.02106638597.00
"_RL"
2013
3141578.00
1978320.00
5119898.00
20884107.00
77118296.00
2.57
5.84
18.62
183994.00
1074447.37
1247.39
6.02126316357.00
"_BU"
2010
1207600.00
926300.00
2133900.00
6595498.00
39020446.00
2.37
3.06
15.99
2726825.00
295555.28
98435.97
3.35
78867554.00
"_BU"
2011
3320500.00
2347685.00
5668185.00
7117678.00
44909402.00
5.23
5.34
10.81
3090944.00
309227.13
102959.99
4.99125568631.00
"_BU"
2012
4070500.00
9429000.00
13499500.00
7798382.00
50019065.00
18.85
8.85
7.71
3244812.00
326284.23
106343.85
5.91172744149.00
"_BU"
2013
4070500.00
3307685.00
7378185.00
8537084.00
54929965.00
6.02
8.85
9.41
2888678.00
343701.16
108640.40
6.33139750400.00
"_Kaur"
2010
1113000.00
525000.00
1638000.00
4894648.00
14568634.00
3.60
1.74
8.27
1125.00
114165.52
992.88
4.52
71749817.00
"_Kaur"
2011
2224300.00
1106002.00
3330302.00
5312287.00
17222319.00
6.42
2.58
4.56
1125.00
116639.17
1011.87
3.97
81463379.00
"_Kaur"
2012
4024300.00
3548000.00
7572300.00
5881419.00
21406156.00
16.57
5.31
12.72
4946.00
121459.01
1058.50
5.75
89474914.00
"_Kaur"
2013
4024300.00
1981002.00
6005302.00
6532599.00
24104860.00
8.22
5.31
24.01
29880.00
126353.81
1092.90
6.14106387657.00
"_Seluma
2010
7645091.00
445500.00
8090591.00
4543167.00
30757449.00
1.45
0.50
0.00
72588.00
189230.99
16232.41
3.48102449087.00
"_Seluma
2011
5645000.00
435900.00
6080900.00
4982592.00
33062311.00
1.32
3.33
9.36
98071.00
201107.95
13898.59
2.79140558185.00
"_Seluma
2012
6145000.00
445420.00
6590420.00
5477692.00
39454693.00
1.13
3.33
9.36
115000.00
213592.92
14149.48
3.85
91214820.00
Lampiran 2. Data un
tuk an
alisis Regresi Pan
el
"_Seluma
2013
6145000.00
445420.00
6590420.00
6060974.00
44258938.00
1.01
3.33
9.36
52885.00
224872.04
14333.29
3.63139750400.00
"_Muko"
2010
1800000.00
794000.00
2594000.00
8828541.00
20015981.00
3.97
0.71
22.81
302120.00
243290.46
4323.34
5.14
86720376.00
"_Muko"
2011
456000.00
192000.00
648000.00
9456540.00
25481076.00
0.75
3.23
14.45
293342.00
252991.59
4449.21
5.04
75261833.00
"_Muko"
2012
466000.00
200700.00
666700.00
10360147.00
37952547.00
0.53
3.32
19.02
21750.00
265834.68
4611.87
6.89
96458377.00
"_Muko"
2013
466000.00
200700.00
666700.00
11293747.00
51077471.00
0.39
3.32
19.70
8765.00
279192.00
4659.03
4.75152182809.00
"_Lebong"
2010
58505.00
25400.00
83905.00
10834984.00
14451283.00
0.00
0.99
0.00
1356884.00
407885.00
2959.00
3.49
86941158.00
"_Lebong"
2011
158505.00
119200.00
277705.00
11898047.00
17938142.00
0.00
4.51
7.43
1049820.00
429919.00
2962.00
3.38
93893613.00
"_Lebong"
2012
163505.00
127810.00
291315.00
12892003.00
19472170.00
0.00
3.67
8.60
987127.00
454524.98
2966.00
4.67
96833452.00
"_Lebong"
2013
163505.00
127810.00
291315.00
14287561.00
22445675.00
0.00
3.67
8.66
1188032.00
478936.61
2969.71
4.65
96833452.00
"_Kphg"
2010
409955.00
272700.00
682655.00
12988604.00
41466180.00
0.66
0.99
16.61
621431.00
512169.00
445.00
4.08152902152.00
"_Kphg"
2011
459400.00
291808.00
751208.00
14415519.00
26438454.00
1.10
1.31
17.96
634906.00
541517.00
451.00
4.35120657710.00
"_Kphg"
2012
460350.00
300308.00
760658.00
16059395.00
26438454.00
1.14
2.71
12.52
1003350.00
574967.34
459.86
5.32
99238540.00
"_Kphg"
2013
460350.00
300308.00
760658.00
17989646.00
26438454.00
1.14
1.46
18.53
828909.00
603529.34
465.00
4.79137904639.00
"‐BT"
2010
36509000.00
988800.00
37497800.00
8730634.00
0.00
0.00
13.34
0.00
130311.81
85481.66
2.62100300203.00
"‐BT"
2011
36609000.00
1018600.00
37627600.00
9774831.00
27532285.00
3.70
0.00
13.33
0.00
136704.81
91909.54
4.42128218520.00
"‐BT"
2012
44609000.00
1113600.00
45722600.00
10896321.00
50697583.00
2.20
0.48
1.67
0.00
143678.42
99173.59
2.53
77494883.00
"‐BT"
2013
44609000.00
1113600.00
45722600.00
12069041.00
56280008.00
1.98
0.48
2.41
0.00
150955.36
101587.62
3.07113169701.00
"_Kota"
2010
657019.00
638125.00
1295144.00
14948435.00
196900449.00
0.32
1.65
0.0012083102.00
117219.60
12162.17
16.72103582740.00
"_Kota"
2011
5817335.00
4938125.00
10755460.00
16399564.00
204438738.00
2.42
1.29
15.06
12083102.00
118954.70
12428.25
16.82
82133098.00
"_Kota"
2012
6452535.00
5893335.00
12345870.00
18133878.00
237740904.00
2.48
1.22
18.45
7099146.00
121366.89
12856.65
20.54
63069542.00
"_Kota"
2013
6452535.00
5893335.00
12345870.00
20162241.00
260745288.00
2.26
1.46
19.23
6645238.00
125149.57
12960.73
17.59277377979.00
La
mp
ira
n 3
U
ji R
elia
bil
itas
da
n V
ali
dit
as
Pe
rta
nya
an 1
P
ert
an
ya
an 2
P
ert
an
ya
an 3
P
ert
an
ya
an 4
P
ert
an
ya
an 5
P
ert
an
ya
an 6
P
ert
an
ya
an 7
P
ert
an
ya
an 8
P
ert
an
ya
an 9
P
ert
an
ya
a 1
0
Bia
ya
tra
nsaksi
Pe
rta
nya
an 1
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
1
.59
6**
.66
0**
.73
2**
.57
7**
.41
7*
.38
9*
.16
5
-.0
07
.a
.65
1**
Sig
. (2
-ta
iled
)
.00
1
.00
0
.00
0
.00
1
.02
2
.03
4
.38
4
.97
2
. .0
00
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 2
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
.59
6**
1
.85
5**
.80
8**
.82
6**
.67
6**
.65
4**
.27
4
.12
6
.a
.83
4**
Sig
. (2
-ta
iled
) .0
01
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.14
4
.50
9
. .0
00
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 3
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
.66
0**
.85
5**
1
.88
6**
.91
5**
.73
3**
.73
9**
.40
2*
.24
3
.a
.92
3**
Sig
. (2
-ta
iled
) .0
00
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.02
8
.19
5
. .0
00
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 4
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
.73
2**
.80
8**
.88
6**
1
.83
9**
.63
8**
.60
4**
.41
9*
.33
3
.a
.88
6**
Sig
. (2
-ta
iled
) .0
00
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.02
1
.07
2
. .0
00
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 5
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
.57
7**
.82
6**
.91
5**
.83
9**
1
.85
6**
.81
9**
.49
3**
.41
8*
.a
.96
9**
Sig
. (2
-ta
iled
) .0
01
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
6
.02
2
. .0
00
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 6
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
.41
7*
.67
6**
.73
3**
.63
8**
.85
6**
1
.94
7**
.26
7
.25
2
.a
.86
1**
Sig
. (2
-ta
iled
) .0
22
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.15
4
.17
9
. .0
00
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 7
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
.38
9*
.65
4**
.73
9**
.60
4**
.81
9**
.94
7**
1
.29
7
.26
6
.a
.85
0**
Sig
. (2
-ta
iled
) .0
34
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.11
1
.15
6
. .0
00
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 8
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
.16
5
.27
4
.40
2*
.41
9*
.49
3**
.26
7
.29
7
1
.79
2**
.a
.54
4**
Sig
. (2
-ta
iled
) .3
84
.14
4
.02
8
.02
1
.00
6
.15
4
.11
1
.00
0
. .0
02
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
an 9
P
ea
rson
Co
rrela
tio
n
-.0
07
.12
6
.24
3
.33
3
.41
8*
.25
2
.26
6
.79
2**
1
.a
.45
0*
Sig
. (2
-ta
iled
) .9
72
.50
9
.19
5
.07
2
.02
2
.17
9
.15
6
.00
0
. .0
13
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
Pe
rta
nya
a 1
0
Pe
ars
on
Co
rrela
tio
n
.a
.a
.a
.a
.a
.a
.a
.a
.a
.a
.a
Sig
. (2
-ta
iled
) .
. .
. .
. .
. .
.
N
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Bia
ya
tra
nsaksi
Pe
ars
on
Co
rrela
tio
n
.65
1**
.83
4**
.92
3**
.88
6**
.96
9**
.86
1**
.85
0**
.54
4**
.45
0*
.a
1
Sig
. (2
-ta
iled
) .0
00
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
0
.00
2
.01
3
.
N
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
30
**.
Co
rre
latio
n is s
ign
ific
an
t a
t th
e 0
.01
le
ve
l (2
-ta
iled
).
*. C
orr
ela
tio
n is s
ign
ific
an
t a
t th
e 0
.05
le
ve
l (2
-ta
iled
).
a.
Can
no
t b
e c
om
pu
ted
be
ca
use
at le
ast o
ne
of
the
va
riab
les is c
onsta
nt.
Scale
: A
LL
VA
RIA
BL
ES
Cas
e P
roc
es
sin
g S
um
ma
ry
N
%
Case
s
Va
lid
30
10
0.0
Exclu
de
da
0
.0
To
tal
30
10
0.0
a.
Lis
twis
e d
ele
tio
n b
ase
d o
n a
ll va
ria
ble
s in
the
pro
ced
ure
.
Reli
ab
ilit
y S
tati
sti
cs
Cro
nb
ach
's A
lph
a
N o
f It
em
s
.90
0
10
Ite
m-T
ota
l S
tati
sti
cs
S
ca
le M
ea
n if
Ite
m D
ele
ted
Sca
le V
ari
an
ce
if
Ite
m D
ele
ted
Corr
ecte
d I
tem
-
To
tal C
orr
ela
tion
Cro
nb
ach
's A
lph
a
if I
tem
De
lete
d
Pe
rta
nya
an 1
3
2.3
00
0
31
.803
.54
3
.89
8
Pe
rta
nya
an 2
3
2.0
66
7
31
.375
.77
9
.88
3
Pe
rta
nya
an 3
3
2.1
33
3
29
.361
.88
1
.87
4
Pe
rta
nya
an 4
3
2.2
33
3
30
.737
.85
9
.87
8
Pe
rta
nya
an 5
3
2.2
00
0
28
.441
.95
5
.86
8
Pe
rta
nya
an 6
3
2.4
33
3
27
.978
.79
4
.88
0
Pe
rta
nya
an 7
3
2.5
00
0
27
.983
.76
1
.88
3
Pe
rta
nya
an 8
3
2.6
33
3
34
.171
.47
6
.90
0
Pe
rta
nya
an 9
3
2.8
00
0
34
.579
.37
7
.90
5
Pe
rta
nya
a 1
0
33
.300
0
38
.148
.00
1
.91
7
Sc
ale
Sta
tis
tics
Me
an
V
ari
ance
Std
. D
evia
tio
n
N o
f It
em
s
36
.066
7
38
.409
6.1
975
2
10
2010
2013
2010
2013
Pertanian
189230.99
224872.04
4.71
131.53
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
1
Pertambangan dan
Pen
ggalian
16232.41
14333.29
‐2.92
9.71
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
6384.41
8006.46
6.35
4.57
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
3
Listrik, gas dan
air bersih
678.54
810.83
4.87
0.47
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
1
Bangunan
14832.16
17327.97
4.21
10.22
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
1
Perdagangan, hotel dan
restoran
49972.43
58996.00
4.51
34.61
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
1
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
25521.43
28848.72
3.26
17.27
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
1
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
7999.43
10545.71
7.96
5.89
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
1
Jasa‐jasa
45289.55
54008.53
4.81
31.54
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
1
Total
144293.54
170537.76
4.55
100.00
8077064.41
6975686.85
2010
2013
2010
2013
Pertanian
179004.61
207754.08
4.02
31.19
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
3
Pertambangan dan
Pen
ggalian
1704.80
1972.08
3.92
0.30
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
8687.65
11115.70
6.99
1.60
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
3
Listrik, gas dan
air bersih
848.94
959.93
3.27
0.15
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
3
Bangunan
28001.48
34905.89
6.16
5.07
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
1
Perdagangan, hotel dan
restoran
151747.00
179411.83
4.56
26.70
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
1
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
45138.56
56532.64
6.31
8.20
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
1
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
28112.80
34498.57
5.68
5.05
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
1
Jasa‐jasa
127060.64
142698.79
3.08
21.75
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
1
Total
570306.48
669849.51
8077064.41
6975686.85
Daerah Analisis Ben
gkulu Selatan
Tahun
Kuadran
Sektoral
Daerah acuan Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Tahun
Sektoral
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Rata2
kontribusi
Tahun
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Kuadran
Daerah Analisis Seluma
Daerah acuan
Tahun
Rata2
pertumbuhan
Lam
pira
n 3
Has
il an
alis
is T
ipol
ogi K
lase
n Se
ktor
al d
i sel
uruh
Kab
upat
en/K
ota
2010
2013
2010
2013
Pertanian
130311.81
150955.36
3.96
32.84
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
3
Pertambangan dan
Pen
ggalian
85481.66
101587.62
4.71
21.84
223896.23
236967.42
1.46
3.06
1
Industri Pen
golahan
21489.19
26677.69
6.04
5.62
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
1
Listrik, gas dan
air bersih
589.11
675.10
3.65
0.15
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
3
Bangunan
14829.52
18157.72
5.61
3.85
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
1
Perdagangan, hotel dan
restoran
53914.37
66544.12
5.86
14.06
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
3
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
18853.93
23638.31
6.34
4.96
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
3
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
16942.99
22043.36
7.53
4.55
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
3
Jasa‐jasa
45717.21
58147.66
6.80
12.13
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
3
Total
388129.79
468426.94
8077064.41
6975686.85
2010
2013
2010
2013
Pertanian
512169.00
603529.34
4.46
71.80
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
1
Pertambangan dan
Pen
ggalian
445.00
465.00
1.12
0.06
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
25909.00
32678.50
6.53
3.77
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
3
Listrik, gas dan
air bersih
2983.00
3488.00
4.23
0.42
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
1
Bangunan
15568.00
18192.00
4.21
2.17
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
3
Perdagangan, hotel dan
restoran
65988.00
85551.00
7.41
9.75
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
3
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
19144.00
23651.20
5.89
2.75
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
3
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
15075.00
18555.00
5.77
2.16
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
3
Jasa‐jasa
93009.00
17421.00
‐20.32
7.11
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
3
Total
750290.00
803531.04
8077064.41
6975686.85
Kuadran
Sektoral
TahunDaerah Analisis Kep
ahiang
Daerah acuan
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Tahun
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Tahun
Tahun
Sektoral
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Kuadran
Daerah Analisis Ben
gkulu Ten
gah
Daerah acuan
Daerah acuan
2010
2013
2010
2013
Pertanian
930061.00
1074447.37
3.88
52.25
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
1
Pertambangan dan
Pen
ggalian
1159.00
1247.39
1.91
0.06
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
89878.00
113179.46
6.48
5.29
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
1
Listrik, gas dan
air bersih
8715.00
10358.25
4.71
0.50
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
1
Bangunan
31529.00
38065.92
5.18
1.81
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
3
Perdagangan, hotel dan
restoran
266282.00
331557.90
6.13
15.58
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
3
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
100364.00
120901.69
5.12
5.77
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
3
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
53696.00
66272.02
5.86
3.13
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
3
Jasa‐jasa
263110.00
335287.80
6.86
15.60
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
1
Total
1744794.00
2091317.80
8077064.41
6975686.85
2010
2013
2010
2013
Pertanian
407885.00
478936.61
4.35
78.93
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
1
Pertambangan dan
Pen
ggalian
2959.00
2969.71
0.09
0.53
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
9054.00
10233.88
3.26
1.72
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
3
Listrik, gas dan
air bersih
1861.00
2356.80
6.66
0.38
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
3
Bangunan
11132.00
13942.74
6.31
2.23
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
3
Perdagangan, hotel dan
restoran
24733.00
30496.56
5.83
4.92
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
3
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
6323.00
7132.36
3.20
1.20
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
3
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
9172.00
11157.32
5.41
1.81
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
3
Jasa‐jasa
41927.00
51268.12
5.57
8.29
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
3
Total
515046.00
608494.10
8077064.41
6975686.85
Sektoral
Daerah Analisis Rejang Lebong
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Tahun
Tahun
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Kuadran
Kuadran
Sektoral
Tahun
Daerah Analisis Leb
ong
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Daerah acuan
Tahun
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
2010
2013
2010
2013
Pertanian
114165.52
126353.81
2.67
44.99
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
2
Pertambangan dan
Pen
ggalian
992.88
1092.90
2.52
0.39
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
4036.26
4821.14
4.86
1.66
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
3
Listrik, gas dan
air bersih
520.08
681.90
7.78
0.22
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
3
Bangunan
12149.09
14557.73
4.96
5.00
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
1
Perdagangan, hotel dan
restoran
46519.99
57058.00
5.66
19.38
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
1
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
23979.73
29588.92
5.85
10.02
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
1
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
8334.44
11304.85
8.91
3.67
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
3
Jasa‐jasa
34617.45
43784.92
6.62
14.67
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
3
Total
245315.44
289244.17
8077064.41
6975686.85
2010
2013
2010
2013
Pertanian
295555.28
343701.16
4.07
36.50
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
3
Pertambangan dan
Pen
ggalian
98435.97
108640.40
2.59
11.82
223896.23
236967.42
1.46
3.06
1
Industri Pen
golahan
39111.84
45643.50
4.17
4.84
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
1
Listrik, gas dan
air bersih
2362.28
2606.91
2.59
0.28
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
3
Bangunan
29132.16
37006.90
6.76
3.78
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
1
Perdagangan, hotel dan
restoran
97981.21
119014.63
5.37
12.39
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
3
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
51492.07
54934.06
1.67
6.08
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
3
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
31430.60
38650.55
5.74
4.00
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
3
Jasa‐jasa
159650.89
196039.21
5.70
20.31
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
1
Total
805152.30
946237.32
8077064.41
6975686.85
Tahun
Tahun
Sektoral
Kuadran
Daerah Analisis Kaur
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Tahun
Daerah acuan Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Sektoral
Daerah Analisis Ben
gkulu Utara
Tahun
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Daerah acuan
2010
2013
2010
2013
Pertanian
243290.46
279192.00
3.69
41.70
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
3
Pertambangan dan
Pen
ggalian
4323.34
4659.03
1.94
0.72
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
77462.39
96695.79
6.21
13.90
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
1
Listrik, gas dan
air bersih
761.95
888.67
4.16
0.13
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
3
Bangunan
16857.49
19766.28
4.31
2.92
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
3
Perdagangan, hotel dan
restoran
95403.91
115326.77
5.22
16.82
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
3
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
20688.70
26408.88
6.91
3.76
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
3
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
64978.10
79262.18
5.50
11.51
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
1
Jasa‐jasa
48267.46
58636.82
5.37
8.53
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
3
Total
572033.80
680836.42
8077064.41
6975686.85
2010
2013
2010
2013
Pertanian
117219.60
121366.89
0.88
5.24
3118893.27
3489741.77
2.97
43.90
3
Pertambangan dan
Pen
ggalian
12162.17
12856.65
1.43
0.55
223896.23
236967.42
1.46
3.06
3
Industri Pen
golahan
94785.96
103489.57
2.30
4.35
376798.70
349052.12
‐1.84
4.82
3
Listrik, gas dan
air bersih
19517.82
23120.64
4.61
0.94
38837.72
22826.39
‐10.31
0.41
1
Bangunan
82494.36
94833.61
3.74
3.89
256525.26
211923.15
‐4.35
3.11
1
Perdagangan, hotel dan
restoran
748624.72
853949.26
3.52
35.17
1601166.63
1043956.81
‐8.70
17.57
1
Pen
gangkutan dan
Komunikasi
363217.24
405994.04
2.94
16.88
674722.66
371636.78
‐11.23
6.95
1
Keu
angan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
193239.89
216220.04
2.97
8.99
428981.25
292289.56
‐7.97
4.79
1
Jasa‐jasa
498593.49
595315.74
4.85
24.01
1357242.69
957292.85
‐7.37
15.38
1
Total
2129855.25
2427146.44
8077064.41
6975686.85
Sektoral
Tahun
Tahun
Tahun
Daerah acuan
Daerah Analisis Kota Ben
gkulu
Tahun
Rata2
kontribus
ata2
pertumbuha
ta2 pertumbuhRata2
kontribus
Rata2
kontribusi
Sektoral
Daerah Analisis M
ukomuko
Daerah acuan
Rata2
pertumbuhan
Rata2
kontribusi
Rata2
pertumbuhan
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi
(Ra)
2010
2013
Pertumbuha
n Nasional
(PN)
Pertumbuhan
Proporsional
(PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa Wilayah
(PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
14262495.00
38068254.00
33805759.00
793.0979157
7.93
473599
417861
‐55738.00
‐11.77
691700.241
3756103.798
‐0.12
‐3811841.80
‐55738.00
2396832.00
1420767.00
1023935.00
258.0273264
2.58
8825
9573
748.00
8.48
12889.0784
22770.91156
0.08
‐22022.91
748.00
38034323.00
14883817.00
6849494.00
85.25290805
0.85
20562
24703
4141.00
20.14
30031.1875
17529.70295
0.20
‐13388.70
4141.00
4171898.00
250945.00
79047.00
45.98482821
0.46
1241
1326
85.00
6.85
1812.50383
570.6717181
0.07
‐485.67
85.00
52811320.00
6276723.00
3465403.00
123.2660458
1.23
35404
37097
1693.00
4.78
51708.2075
43641.11087
0.05
‐41948.11
1693.00
614046211.00
23737236.00
9691025.00
68.99387315
0.69
126021
137798
11777.00
9.35
184056.039
86946.76888
0.09
‐75169.77
11777.00
73464346.00
5040849.00
1576503.00
45.50651119
0.46
24533
20978
‐3555.00
‐14.49
35830.9076
11164.11239
‐0.14
‐14719.11
‐3555.00
81427632.00
2912418.00
1484786.00
104.0034126
1.04
7039
16512
9473.00
134.58
10280.5918
7320.800216
1.35
2152.20
9473.00
910417739.00
18213032.00
7795293.00
74.8271098
0.75
118517
135298
16781.00
14.16
173096.306
88682.84572
0.14
‐71901.85
16781.00
45032796.00
110804041.00
65771245.00
1598.959931
1.46
815741
801146
Indonesia
Ben
gkulu
2013Perband
2013
LQ
138068254.00
0.34
417861
0.52
1.52
21420767.00
0.01
9573
0.01
0.93
314883817.00
0.13
24703
0.03
0.23
4250945.00
0.00
1326
0.00
0.73
56276723.00
0.06
37097
0.05
0.82
623737236.00
0.21
137798
0.17
0.80
75040849.00
0.05
20978
0.03
0.58
82912418.00
0.03
16512
0.02
0.78
918213032.00
0.16
135298
0.17
1.03
110804041.00
801146
Indonesia
Prov Ben
gkulu
Perubahan
PDRB
Persen
Lampiran
4. A
nalisis LQ dan
Shiftshare untuk tenaga kerja
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi
(Ra)
2010
2013
Pertumbuha
n Nasional
(PN)
Pertumbuhan
Proporsional
(PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa Wilayah
(PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
14262495.00
38068254.00
33805759.00
793.0979157
7.93
473599
417861
‐55738.00
‐11.77
691700.241
3756103.798
‐0.12
‐3811841.80
‐55738.00
2396832.00
1420767.00
1023935.00
258.0273264
2.58
8825
9573
748.00
8.48
12889.0784
22770.91156
0.08
‐22022.91
748.00
38034323.00
14883817.00
6849494.00
85.25290805
0.85
20562
24703
4141.00
20.14
30031.1875
17529.70295
0.20
‐13388.70
4141.00
4171898.00
250945.00
79047.00
45.98482821
0.46
1241
1326
85.00
6.85
1812.50383
570.6717181
0.07
‐485.67
85.00
52811320.00
6276723.00
3465403.00
123.2660458
1.23
35404
37097
1693.00
4.78
51708.2075
43641.11087
0.05
‐41948.11
1693.00
614046211.00
23737236.00
9691025.00
68.99387315
0.69
126021
137798
11777.00
9.35
184056.039
86946.76888
0.09
‐75169.77
11777.00
73464346.00
5040849.00
1576503.00
45.50651119
0.46
24533
20978
‐3555.00
‐14.49
35830.9076
11164.11239
‐0.14
‐14719.11
‐3555.00
81427632.00
2912418.00
1484786.00
104.0034126
1.04
7039
16512
9473.00
134.58
10280.5918
7320.800216
1.35
2152.20
9473.00
910417739.00
18213032.00
7795293.00
74.8271098
0.75
118517
135298
16781.00
14.16
173096.306
88682.84572
0.14
‐71901.85
16781.00
45032796.00
110804041.00
65771245.00
1598.959931
1.46
815741
801146
Indonesia
Ben
gkulu
2013Perband
2013
LQ
138068254.00
0.34
417861
0.52
1.52
21420767.00
0.01
9573
0.01
0.93
314883817.00
0.13
24703
0.03
0.23
4250945.00
0.00
1326
0.00
0.73
56276723.00
0.06
37097
0.05
0.82
623737236.00
0.21
137798
0.17
0.80
75040849.00
0.05
20978
0.03
0.58
82912418.00
0.03
16512
0.02
0.78
918213032.00
0.16
135298
0.17
1.03
110804041.00
801146
Indonesia
Prov Ben
gkulu
Perubahan
PDRB
Persen
Lampiran
4. A
nalisis LQ dan
Shiftshare untuk tenaga kerja
LAMPIRAN 5 Hasil analisis Regresi Logistik
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 33 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 33 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 33 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
0 0
1 1
Block 0: Beginning Block
Classification Table
a,b
Observed
Predicted
Iklim Investasi Percentage
Correct 0 1
Step 0 Iklim Investasi 0 0 13 .0
1 0 20 100.0
Overall Percentage 60.6
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .431 .356 1.462 1 .227 1.538
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables LHN 13.408 1 .000
INF 6.373 1 .012
IZ .656 1 .418
PRD .025 1 .875
Cst 3.586 1 .058
Overall Statistics 19.447 5 .002
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 29.029 5 .000
Block 29.029 5 .000
Model 29.029 5 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square Nagelkerke R
Square
1 15.222a .585 .792
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Table
a
Observed
Predicted
Iklim Investasi Percentage
Correct 0 1
Step 1 Iklim Investasi 0 11 2 84.6
1 1 19 95.0
Overall Percentage 90.9
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a LHN .806 .326 6.112 1 .013 2.238
INF .580 .298 3.774 1 .052 1.785
IZ -.352 .224 2.473 1 .116 .703
PRD -.309 .164 3.533 1 .060 .734
Cst .349 .193 3.281 1 .070 1.418
Constant -19.409 8.185 5.623 1 .018 .000
a. Variable(s) entered on step 1: LHN, INF, IZ, PRD, Cst.
Lampiran 5 Deskripsi Data Primer
Akses Lahan
No Indikator
Sangat
Baik Baik Cukup Buruk sgt Buruk Total
1 Proses kepemilikan lahan 0 0 13 20 0 33
2 Proses kepemilikan fasilitas usaha 0 0 10 23 0 33
3 Proses mendapatkan sertifikat kepemilikan 0 0 9 23 1 33
4 Penyelesaian konflik kepemilikan 0 0 6 25 2 33
5 Proses pemindahan kepemilikan lahan 0 0 5 24 4 33
6 Proses pelaksanaan jual beli lahan 0 0 6 24 3 33
7 Proses pengurusan surat kepemilikan 0 0 6 19 8 33
8 Proses pembebasan tanah 0 0 4 22 7 33
9 Proses pengurusan lahan 0 0 3 23 7 33
10 Kebijakan PEMDA dengan akses lahan 0 0 4 19 10 33
Infrastrukt
Sangat Baik
Baik Cukup Kurang Tidak memadai Total
1 Ketersediaan infrastruktur 10 22 1 33
2 Kualitas jalan 8 23 2 33
3 Kualitas Penyediaan listrik 5 24 4 33
4 Kualitas Sambungan Telepon 3 23 7 33
5 Kualitas penyediaan air bersih 2 24 7 33
6 Penyelesaian perbaikan jalan 2 20 11 33
7 Penyelesaian pemadaman listrik 1 18 14 33
8 Penyelesaian perbaikan sambungan telp 1 17 15 33
9 Penyelesaian permasalahan air bersih 1 19 13 33
10
Kebijakan PEMDA yang berkaitan denganinfrastruktur 1 22 10 33
SangatBaik
1 Proses pengurusan perizinan usaha 0 0 12 21 0 33
2 Waktu pengurusan perizinan telah efisien 0 0 2 21 10 33
3 Penyelesaian pengurusan HO 0 0 9 22 2 33
4 Penyelesaian pengurusan SITU 0 0 9 22 2 33
5 Penyelesaian pengurusan TDP 0 0 9 21 3 33
6
Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan perizinan 0 0 6 17 10 33
7
Kebijakan PEMDA yang berhubungan dengan perizinan 0 0 7 21 5 33
8 Proses perizinan sesuai aturan yang berlaku 0 0 3 20 10 33
9 Pelayanan di bidang perizinan 0 0 6 19 8 33
10
Pelayanan perizinan sudah sangat mendukung iklim berusaha 0 0 11 20 2 33
Sangat Setuju
Setuju Ragu Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
1 Sangat mendukung usaha 0 0 10 17 6 33
2
Mampu direvisi sesuai dengan perubahan kondisi yang ada 0 0 6 19 8 33
3 Tata aturan di bidang usaha secara jelas 0 0 6 22 5 33
4
Jelas menyatakan sasaran yang ingin dicapai di bidang usaha 0 0 6 19 8 33
5 Jelas menyatakan biaya usaha 0 0 6 20 7 33
Baik Cukup Buruk Sangat Buruk
6 Berlaku umum/tidak memihak 0 0 5 21 7 33
7 Jelas menyatakan batasan pelanggaran usaha 0 0 6 20 7 33
8 Konsisten 0 0 5 20 8 33
9
Mengatur pelayanan yang dilakukan oleh PEMDA 0 0 6 20 7 33
10
Memberikan batasan antara pajak dan retribusi daerah. 0 0 10 17 6 33
Sangat Setuju
Setuju Ragu Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
1 Pajak daerah berlaku umum. 0 0 12 19 2 33
2 Retribusi daerah ditetapkan secara jelas. 0 0 9 22 2 33
3 Retribusi daerah jelas penggunaannya. 0 0 10 18 5 33
4 SP3 ditetapkan secara resmi 0 0 8 20 5 33
5
Segala pungutan yang berlaku memiliki aturan yang jelas dan baku 0 0 4 20 9 33
6 Pelaku usaha bebas dari pungutan illegal 0 0 1 17 15 33
7 PEMDA mampu menertibkan pungutan liar 0 0 3 16 14 33
8 skala usaha besar maka biaya transaksi besar 0 0 7 21 5 33
9 wilayah besar, biaya transaksi besar 0 0 9 21 3 33
10 Biaya transaksi bukan kendala dalam usaha 0 0 5 18 10 33
Lampiran 6 Hasil olah Data Panel
1. Investasi Industri Pertanian
Dependent Variable: IIP
Method: Panel Least Squares
Date: 07/28/15 Time: 17:22
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4372588. 5258483. 0.831530 0.4146
PDRBKAPIITA 1.491904 0.526844 2.831775 0.0097
INFR_L -0.011502 0.031894 -0.360641 0.7218
INFR_JKAB 68879.54 56781.48 1.213064 0.2380
INFR_JPROV 239714.7 201738.5 1.188244 0.2474
SDA_AGR -69.06732 24.20302 -2.853665 0.0092
SDA_M 460.0736 129.7907 3.544735 0.0018
BELANJA_MOD -0.016397 0.007116 -2.304305 0.0310
TK -154343.9 242844.2 -0.635568 0.5316
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.995239 Mean dependent var 6986512.
Adjusted R-squared 0.991561 S.D. dependent var 11737540
S.E. of regression 1078289. Akaike info criterion 30.92181
Sum squared resid 2.56E+13 Schwarz criterion 31.68181
Log likelihood -600.4362 Hannan-Quinn criter. 31.19660
F-statistic 270.5372 Durbin-Watson stat 2.672731
Prob(F-statistic) 0.000000
Dependent Variable: IIP
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 07/28/15 Time: 17:23
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 428596.6 3326620. 0.128838 0.8983
PDRBKAPIITA 0.741802 0.296560 2.501350 0.0179
INFR_L 0.033283 0.022705 1.465900 0.1527
INFR_JKAB 34846.39 43648.94 0.798333 0.4308
INFR_JPROV 128717.3 175136.4 0.734955 0.4679
SDA_AGR -22.57973 9.763714 -2.312617 0.0276
SDA_M 243.5552 50.60937 4.812454 0.0000
BELANJA_MOD -0.014315 0.006663 -2.148279 0.0396
TK -164888.2 232270.6 -0.709897 0.4831
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 6572878. 0.9738
Idiosyncratic random 1078289. 0.0262
Weighted Statistics
R-squared 0.601729 Mean dependent var 571154.9
Adjusted R-squared 0.498949 S.D. dependent var 1984496.
S.E. of regression 1404724. Sum squared resid 6.12E+13
F-statistic 5.854558 Durbin-Watson stat 1.336356
Prob(F-statistic) 0.000139
Unweighted Statistics
R-squared 0.309776 Mean dependent var 6986512.
Sum squared resid 3.71E+15 Durbin-Watson stat 0.022042
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 29.610609 8 0.0002
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
PDRBKAPIITA 1.491904 0.741802 0.189617 0.0850
INFR_L -0.011502 0.033283 0.000502 0.0456
INFR_JKAB 68879.544160 34846.385894 1318906807.736222 0.3487
INFR_JPROV 239714.669811 128717.348857 10025670597.636722 0.2676
SDA_AGR -69.067324 -22.579726 490.456217 0.0358
SDA_M 460.073622 243.555240 14284.317965 0.0700
BELANJA_MOD -0.016397 -0.014315 0.000006 0.4043
TK
-
154343.922288 -164888.199899 5023684620.370033 0.8817
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: IIP
Method: Panel Least Squares
Date: 07/28/15 Time: 17:24
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4372588. 5258483. 0.831530 0.4146
PDRBKAPIITA 1.491904 0.526844 2.831775 0.0097
INFR_L -0.011502 0.031894 -0.360641 0.7218
INFR_JKAB 68879.54 56781.48 1.213064 0.2380
INFR_JPROV 239714.7 201738.5 1.188244 0.2474
SDA_AGR -69.06732 24.20302 -2.853665 0.0092
SDA_M 460.0736 129.7907 3.544735 0.0018
BELANJA_MOD -0.016397 0.007116 -2.304305 0.0310
TK -154343.9 242844.2 -0.635568 0.5316
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.995239 Mean dependent var 6986512.
Adjusted R-squared 0.991561 S.D. dependent var 11737540
S.E. of regression 1078289. Akaike info criterion 30.92181
Sum squared resid 2.56E+13 Schwarz criterion 31.68181
Log likelihood -600.4362 Hannan-Quinn criter. 31.19660
F-statistic 270.5372 Durbin-Watson stat 2.672731
Prob(F-statistic) 0.000000
2. Investasi Industri Non Pertanian
Dependent Variable: IINP
Method: Panel Least Squares
Date: 07/28/15 Time: 17:26
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4445699. 6526434. 0.681184 0.5029
PDRBKAPIITA 0.792848 0.653879 1.212530 0.2382
INFR_L -0.034151 0.039584 -0.862737 0.3976
INFR_JKAB -6371.658 70472.91 -0.090413 0.9288
INFR_JPROV 433658.8 250382.7 1.731984 0.0973
SDA_AGR -45.11420 30.03897 -1.501856 0.1474
SDA_M 47.51962 161.0865 0.294995 0.7708
BELANJA_MOD 0.008623 0.008831 0.976359 0.3395
TK 534899.7 301400.0 1.774717 0.0898
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.957058 Mean dependent var 2981126.
Adjusted R-squared 0.923876 S.D. dependent var 4850542.
S.E. of regression 1338291. Akaike info criterion 31.35385
Sum squared resid 3.94E+13 Schwarz criterion 32.11384
Log likelihood -609.0770 Hannan-Quinn criter. 31.62864
F-statistic 28.84253 Durbin-Watson stat 3.066702
Prob(F-statistic) 0.000000
Dependent Variable: IINP
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 07/28/15 Time: 17:28
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -897135.3 3458314. -0.259414 0.7970
PDRBKAPIITA 0.098191 0.335101 0.293020 0.7715
INFR_L -0.009795 0.026636 -0.367756 0.7156
INFR_JKAB 2665.091 52810.53 0.050465 0.9601
INFR_JPROV 354756.4 212313.5 1.670908 0.1048
SDA_AGR -7.896158 9.812232 -0.804726 0.4271
SDA_M 6.448920 50.35847 0.128060 0.8989
BELANJA_MOD 0.011421 0.008219 1.389517 0.1746
TK 546624.9 284057.0 1.924349 0.0635
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 6265482. 0.9564
Idiosyncratic random 1338291. 0.0436
Weighted Statistics
R-squared 0.459325 Mean dependent var 316580.2
Adjusted R-squared 0.319796 S.D. dependent var 1547673.
S.E. of regression 1276435. Sum squared resid 5.05E+13
F-statistic 3.291966 Durbin-Watson stat 2.547550
Prob(F-statistic) 0.007789
Unweighted Statistics
R-squared 0.233097 Mean dependent var 2981126.
Sum squared resid 7.04E+14 Durbin-Watson stat 0.182851
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: IINP_RANDOM
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 5.200585 8 0.7359
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
PDRBKAPIITA 0.792848 0.098191 0.315266 0.2160
INFR_L -0.034151 -0.009795 0.000857 0.4056
INFR_JKAB -6371.657897 2665.090678 2177478712.068645 0.8464
INFR_JPROV 433658.765748 354756.437212 17614469731.529021 0.5522
SDA_AGR -45.114200 -7.896158 806.060020 0.1899
SDA_M 47.519622 6.448920 23412.873585 0.7884
BELANJA_MOD 0.008623 0.011421 0.000010 0.3864
TK 534899.682568 546624.940364 10153549211.506607 0.9074
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: IINP
Method: Panel Least Squares
Date: 07/28/15 Time: 17:29
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4445699. 6526434. 0.681184 0.5029
PDRBKAPIITA 0.792848 0.653879 1.212530 0.2382
INFR_L -0.034151 0.039584 -0.862737 0.3976
INFR_JKAB -6371.658 70472.91 -0.090413 0.9288
INFR_JPROV 433658.8 250382.7 1.731984 0.0973
SDA_AGR -45.11420 30.03897 -1.501856 0.1474
SDA_M 47.51962 161.0865 0.294995 0.7708
BELANJA_MOD 0.008623 0.008831 0.976359 0.3395
TK 534899.7 301400.0 1.774717 0.0898
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.957058 Mean dependent var 2981126.
Adjusted R-squared 0.923876 S.D. dependent var 4850542.
S.E. of regression 1338291. Akaike info criterion 31.35385
Sum squared resid 3.94E+13 Schwarz criterion 32.11384
Log likelihood -609.0770 Hannan-Quinn criter. 31.62864
F-statistic 28.84253 Durbin-Watson stat 3.066702
Prob(F-statistic) 0.000000
3. Investasi industry Total
Dependent Variable: I
Method: Panel Least Squares
Date: 07/28/15 Time: 17:33
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 8818287. 10476719 0.841703 0.4090
PDRBKAPIITA 2.284753 1.049656 2.176668 0.0405
INFR_L -0.045653 0.063544 -0.718452 0.4800
INFR_JKAB 62507.89 113128.4 0.552539 0.5861
INFR_JPROV 673373.4 401933.0 1.675337 0.1080
SDA_AGR -114.1815 48.22080 -2.367889 0.0271
SDA_M 507.5932 258.5880 1.962942 0.0624
BELANJA_MOD -0.007774 0.014177 -0.548359 0.5890
TK 380555.8 483829.7 0.786549 0.4399
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.984304 Mean dependent var 9967638.
Adjusted R-squared 0.972176 S.D. dependent var 12879255
S.E. of regression 2148325. Akaike info criterion 32.30044
Sum squared resid 1.02E+14 Schwarz criterion 33.06043
Log likelihood -628.0088 Hannan-Quinn criter. 32.57523
F-statistic 81.15711 Durbin-Watson stat 2.805066
Prob(F-statistic) 0.000000
Dependent Variable: I
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 07/28/15 Time: 17:36
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -279598.8 6541750. -0.042741 0.9662
PDRBKAPIITA 0.868626 0.586789 1.480303 0.1489
INFR_L 0.024217 0.045058 0.537456 0.5948
INFR_JKAB 36678.54 86786.76 0.422628 0.6755
INFR_JPROV 474477.0 348373.2 1.361979 0.1830
SDA_AGR -32.12110 19.16733 -1.675826 0.1038
SDA_M 251.9748 99.29083 2.537745 0.0164
BELANJA_MOD -0.003111 0.013269 -0.234422 0.8162
TK 384864.5 462332.5 0.832441 0.4115
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 12851252 0.9728
Idiosyncratic random 2148325. 0.0272
Weighted Statistics
R-squared 0.533484 Mean dependent var 830242.7
Adjusted R-squared 0.413093 S.D. dependent var 3006026.
S.E. of regression 2302913. Sum squared resid 1.64E+14
F-statistic 4.431251 Durbin-Watson stat 1.980851
Prob(F-statistic) 0.001171
Unweighted Statistics
R-squared 0.132023 Mean dependent var 9967638.
Sum squared resid 5.62E+15 Durbin-Watson stat 0.057998
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: IINP_RANDOM
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 12.621867 8 0.1255
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
PDRBKAPIITA 2.284753 0.868626 0.757456 0.1037
INFR_L -0.045653 0.024217 0.002008 0.1189
INFR_JKAB 62507.886263 36678.540689
5266086199.38
0863 0.7219
INFR_JPROV
673373.43555
9 474476.954760
40186269753.1
24928 0.3211
SDA_AGR -114.181524 -32.121105 1957.859343 0.0637
SDA_M 507.593244 251.974825 57009.098793 0.2844
BELANJA_MOD -0.007774 -0.003111 0.000025 0.3501
TK
380555.76028
0 384864.474544
20339863685.3
08990 0.9759
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: I
Method: Panel Least Squares
Date: 07/28/15 Time: 17:37
Sample: 2010 2013
Periods included: 4
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 8818287. 10476719 0.841703 0.4090
PDRBKAPIITA 2.284753 1.049656 2.176668 0.0405
INFR_L -0.045653 0.063544 -0.718452 0.4800
INFR_JKAB 62507.89 113128.4 0.552539 0.5861
INFR_JPROV 673373.4 401933.0 1.675337 0.1080
SDA_AGR -114.1815 48.22080 -2.367889 0.0271
SDA_M 507.5932 258.5880 1.962942 0.0624
BELANJA_MOD -0.007774 0.014177 -0.548359 0.5890
TK 380555.8 483829.7 0.786549 0.4399
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.984304 Mean dependent var 9967638.
Adjusted R-squared 0.972176 S.D. dependent var 12879255
S.E. of regression 2148325. Akaike info criterion 32.30044
Sum squared resid 1.02E+14 Schwarz criterion 33.06043
Log likelihood -628.0088 Hannan-Quinn criter. 32.57523
F-statistic 81.15711 Durbin-Watson stat 2.805066
Prob(F-statistic) 0.000000
PA
DB
agi h
asil
paj
akB
agi h
asil
Buk
an
paja
k/S
DA
Dan
a A
loka
si
Um
umP
ener
imaa
n L
ain2
yan
g sa
hB
elan
ja P
egaw
ai
Jum
lah
Pen
dudu
k m
iski
nK
apas
itas
Fis
kal
Inde
ks K
apas
itas
F
iska
lK
lasi
fika
si
BS
2010
1835
9605
1910
1737
1090
042
2854
8150
934
9661
5835
8999
051
2377
8458
012
1214
471
3770
032
15.2
3795
80.
40re
ndah
2011
1485
4005
1974
9490
3249
664
3222
9391
776
2940
1543
6441
091
2706
4848
616
5792
605
3280
050
54.6
5259
10.
63se
dang
2012
1891
1017
1950
1156
4096
146
3966
6510
277
1926
0751
6366
028
3203
7303
319
5992
995
3360
058
33.1
2485
10.
73se
dang
2013
1879
5420
1452
3573
5837
001
4440
4566
548
3201
659
3527
4389
813
0457
761
0.00
RL
2010
1794
2296
1750
6915
6606
844
3330
9379
790
4184
2846
5568
280
2614
2135
720
4146
923
4280
047
69.7
8792
10.
60se
dang
2011
1985
4005
2218
3605
3238
890
3744
9650
698
4182
6251
8191
268
2939
0934
522
4281
923
4220
053
14.7
3751
20.
67se
dang
2012
2892
7402
2309
1831
4078
244
4480
6500
059
5802
9156
3742
768
3324
4179
623
1300
972
4310
053
66.6
1187
90.
67se
dang
2013
4045
7162
2023
4085
4032
035
4980
7313
856
2796
420
3596
6060
520
3135
815
0.00
BU
2010
2241
7190
2494
2327
3943
551
3274
4178
222
0867
1840
0831
568
2631
0312
313
7728
445
5870
023
46.3
1081
80.
29re
ndah
2011
1909
9216
9539
556
3375
7828
3743
3471
271
1573
3950
7888
651
3058
9518
820
1993
463
3780
053
43.7
4240
70.
67se
dang
2012
2459
4244
2880
2095
2063
0414
4480
6500
071
9341
6359
4025
916
3510
2359
424
3002
322
3770
064
45.6
8493
40.
81se
dang
2013
00.
00
Kau
r20
1060
4614
425
5212
4911
5051
821
8613
498
2683
8420
2781
6982
913
4552
889
1436
1694
029
100
4935
.290
034
0.62
seda
ng
2011
6810
592
2141
4884
3292
959
2487
4246
048
7344
5732
8995
352
1658
5322
216
3142
130
2440
066
86.1
5286
90.
84se
dang
2012
7781
829
2364
5883
4271
371
3010
7666
152
0368
8338
8812
627
1800
4239
3708
0838
825
100
1477
3.24
255
1.85
ting
gi
2013
1037
6758
2100
3814
4200
612
3298
8135
336
5462
537
1946
6526
517
0797
272
0.00
Sel
uma
2010
5849
544
2314
3348
9782
6825
7750
821
2509
0772
3128
1275
318
4187
839
1286
2491
440
100
3207
.603
840.
40re
ndah
2011
5535
534
2148
7724
3303
151
2867
6012
488
0003
8240
5086
915
1826
5054
722
2436
368
3690
060
28.0
8585
40.
75se
dang
2012
1072
1156
2366
3760
4252
008
3497
8337
747
7013
6043
6121
661
2370
4208
619
9079
575
3780
052
66.6
5542
30.
66se
dang
2013
00.
00
Muk
o220
1083
7047
728
1652
410
8076
224
9926
507
7503
6787
3372
3105
714
5288
888
1919
4216
923
600
8133
.142
754
1.02
ting
gi
2011
9341
069
2839
4749
1164
434
2818
8947
163
1203
6438
3910
087
1664
3341
321
7476
674
2110
010
306.
9513
71.
29ti
nggi
2012
9217
504
2768
3538
4106
581
3382
0345
240
6171
5441
9828
229
1954
8516
922
4343
060
2160
010
386.
2527
81.
30ti
nggi
2013
2018
4372
2617
2714
4181
696
4043
9772
645
4936
508
2130
4229
624
1894
212
0.00
kepa
hian
g20
1096
7885
524
2764
7910
3551
323
4497
386
8006
0972
3495
4920
513
4776
728
2147
7247
720
700
1037
5.48
198
1.30
ting
gi
2011
1218
9653
2149
3871
3240
328
2645
4503
180
8254
1938
2294
302
1690
6426
921
3230
033
1260
016
923.
0184
92.
12ti
nggi
2012
1389
6281
2325
9118
4093
825
3171
0258
741
2396
4039
9591
451
1888
8790
521
0703
546
1950
010
805.
3100
51.
35ti
nggi
2013
00.
00
Leb
ong
2010
6371
271
3339
8281
1044
348
2186
1865
040
3157
1829
9748
268
1211
5615
717
8592
111
1360
013
131.
7728
71.
64ti
nggi
2011
7714
206
2663
3036
3353
326
2496
4057
972
7002
5136
0041
398
1419
8833
021
8053
068
1910
011
416.
3909
91.
43ti
nggi
2012
7749
145
2672
4689
4308
008
3122
7376
813
4717
2936
4527
339
1664
5362
919
8073
710
1290
015
354.
5511
61.
92ti
nggi
2013
00.
00
Ben
gkul
u T
e20
1031
3702
615
9004
8656
9730
720
8427
792
1092
3127
2440
8573
812
1673
463
1224
1227
50
0.00
2011
3830
465
1300
0881
1246
8604
2499
7628
227
9276
232
1605
6211
511
8714
117
6500
1826
3.71
031
2.29
ting
gi
2012
5743
484
1366
7329
1863
0916
2888
7539
040
3279
0936
7245
028
1846
6470
318
2580
325
6700
2725
0.79
478
3.41
ting
gi
2013
00.
00
Kot
a B
engk
u20
1026
6777
4429
4127
6310
6906
035
1461
812
1016
8569
551
0307
074
3155
2725
419
4779
820
5150
037
82.1
3242
70.
47re
ndah
2011
3931
8037
2782
8886
3236
829
3976
5490
811
6405
293
5844
4395
335
7489
082
2269
5487
169
900
3246
.850
801
0.41
rend
ah
2012
4162
6605
3478
6419
4078
506
4757
4550
088
7550
5064
4992
080
4038
6855
224
1123
528
7150
033
72.3
5703
50.
42re
ndah
2013
00.
00
Pro
v B
engk
u20
1035
1091
488
5040
4527
4369
710
5230
4129
050
9697
1897
9876
733
3293
6625
165
0510
482
3179
0020
46.2
7392
90.
26re
ndah
2011
4409
2018
354
3898
1913
8768
7060
7388
036
1379
7738
1130
3726
4636
4245
284
7661
2736
230
3400
2525
.139
624
0.32
rend
ah
2012
4837
6827
561
8482
6917
2166
2877
5311
166
1957
6044
815
3390
4786
4078
0333
311
2610
1453
3105
0036
26.7
3575
80.
45re
ndah
2013
5252
0793
553
9336
8617
1798
110
8546
4782
816
0558
7559
4257
2852
711
7985
9032
Tot
al
2555
33.7
886
7985
.430
892
Lampiran 7. Data Ka
pasitas Fiskal
Lampiran
8 SHIFTSHARE PDRB ADHK
Indonesia ADHB
Sektor
2010
2011
2012
2013Perubahan
%Ra
1 985 470.5
1 091 447.1
1 193 452.9
1 311 037.3
325 566.8
0.33
0.33
2 719 710.1
876 983.8
970 823.8
1 020 773.2
301 063.1
0.42
0.42
3 1 599 073.1
1 806 140.5
1 972 523.6
2 152 592.9
553 519.8
0.35
0.35
4 49 119.0
55 882.3
62 234.6
70 074.6
20 955.6
0.43
0.43
5 660 890.5
753 554.6
844 090.9
907 267.0
246 376.5
0.37
0.37
6 882 487.2
1 023 724.8
1 148 690.6
1 301 506.3
419 019.1
0.47
0.47
7 423 172.2
491 287.0
549 105.4
636 888.4
213 716.2
0.51
0.51
8 466 563.8
535 152.9
598 523.2
683 009.8
216 446.0
0.46
0.46
9 660 365.5
785 014.1
889 994.4
1 000 822.7
340 457.2
0.52
0.52
Total
6448861.9
7421198.1
8231451.4
9085985.2
2 637 123.3
0.41
0.41
N0
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
riPN
%PP
%PPW
%PB
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
0.39
2804432.96
0.41
‐538775.83
‐0.08
57721.39716
0.01
‐481054.44
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
0.32
196078.09
0.41
4499.15
0.01
‐70127.94901
‐0.15
‐65628.80
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
0.42
321330.40
0.41
‐49330.15
‐0.06
114716.4571
0.15
65386.30
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
0.36
32846.28
0.41
1421.77
0.02
‐3283.719416
‐0.04
‐1861.95
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
0.48
257593.99
0.41
‐22761.52
‐0.04
72344.70178
0.11
49583.18
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
0.48
1390871.65
0.41
224100.74
0.07
2608.350993
0.00
226709.09
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
0.41
582604.41
0.41
136921.97
0.10
‐42287.90495
‐0.03
94634.07
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
0.46
361893.31
0.41
48662.04
0.05
‐3492.487701
0.00
45169.56
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
0.51
1178830.43
0.41
307386.23
0.11
‐3197.849699
0.00
304188.38
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
7126481.51
3.68
112124.39
0.17
125001.00
0.05
237125.39
2010
2013
1179004.61
207754.08
28749.47
0.16
0.160607428
77659.44
0.434
‐8037.52
‐0.04
‐40872.46
‐0.23
‐48909.97
‐0.27
21704.80
1972.08
267.28
0.16
0.156780854
739.61
0.434
‐192.59
‐0.11
‐279.74
‐0.16
‐472.33
‐0.28
38687.65
11115.70
2428.05
0.28
0.279482944
3769.05
0.434
‐138.57
‐0.02
‐1202.43
‐0.14
‐1341.00
‐0.15
4848.94
959.93
110.99
0.13
0.13073951
368.30
0.434
‐62.88
‐0.07
‐194.44
‐0.23
‐257.31
‐0.30
528001.48
34905.89
6904.41
0.25
0.246573038
12148.18
0.434
1355.82
0.05
‐6599.59
‐0.24
‐5243.77
‐0.19
6151747.00
179411.83
27664.83
0.18
0.182308909
65833.99
0.434
6666.44
0.04
‐44835.60
‐0.30
‐38169.16
‐0.25
745138.56
56532.64
11394.08
0.25
0.252424535
19582.93
0.434
‐1297.17
‐0.03
‐6891.68
‐0.15
‐8188.85
‐0.18
828112.80
34498.57
6385.77
0.23
0.227148132
12196.47
0.434
635.04
0.02
‐6445.74
‐0.23
‐5810.70
‐0.21
9127060.64
142698.79
15638.15
0.12
0.123076273
55124.05
0.434
9767.88
0.08
‐49253.78
‐0.39
‐39485.90
‐0.31
570306.48
669849.51
99543.03
0.17
247422.03
8696.46
‐156575.46
‐147879.00
Pertumbuhan
bersih (PB)
Persen
Persen
Persen
Persen
Provinsi Ben
gkulu
Rasio
Produksi
sektoral
Komponen
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Komponen
Pertumbuhan
proporsional
(PP)
Komponen
Pertumbuhan
pangsa wilayah
(PPW)
PDRB Ben
gkulu Selatan
Perubahan
PDRB
Persen
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2013
Perubahan
PDRB
Persen
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
besih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
930061.00
1074447.37
144386.37
15.52
403498.10
‐41760.84
0.155
‐217350.90
‐259111.73
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
1159.00
1247.39
88.39
7.63
502.82
‐130.93
0.076
‐283.50
‐414.43
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
89878.00
113179.46
23301.46
25.93
38992.71
‐1433.62
0.259
‐14257.63
‐15691.25
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
8715.00
10358.25
1643.25
18.86
3780.92
‐645.46
0.189
‐1492.21
‐2137.67
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
31529.00
38065.92
6536.92
20.73
13678.56
1526.63
0.207
‐8668.26
‐7141.64
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
266282.00
331557.90
65275.90
24.51
115523.91
11698.11
0.245
‐61946.12
‐50248.01
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
100364.00
120901.69
20537.69
20.46
43541.96
‐2884.22
0.205
‐20120.06
‐23004.27
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
53696.00
66272.02
12576.02
23.42
23295.50
1212.94
0.234
‐11932.42
‐10719.48
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
263110.00
335287.80
72177.80
27.43
114147.77
20226.77
0.274
‐62196.74
‐41969.97
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2013
Perubahan
PDRB
Persen
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
295555.28
343701.16
48145.88
16.29
128223.8414
‐13270.78051
0.16
‐66807.18
‐80077.96
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
98435.97
108640.40
10204.43
10.37
42705.50744
‐11120.1155
0.10
‐21380.96
‐32501.08
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
39111.84
45643.50
6531.66
16.70
16968.29903
‐623.8620121
0.17
‐9812.78
‐10436.64
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
2362.28
2606.91
244.63
10.36
1024.852664
‐174.9589355
0.10
‐605.26
‐780.22
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
29132.16
37006.90
7874.74
27.03
12638.70997
1410.572089
0.27
‐6174.54
‐4763.97
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
97981.21
119014.63
21033.42
21.47
42508.21415
4304.439697
0.21
‐25779.23
‐21474.79
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
51492.07
54934.06
3441.99
6.68
22339.34382
‐1479.755769
0.07
‐17417.60
‐18897.35
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
31430.60
38650.55
7219.95
22.97
13635.86626
709.9888262
0.23
‐7125.91
‐6415.92
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
159650.89
196039.21
36388.32
22.79
69263.01707
12273.27675
0.23
‐45147.97
‐32874.70
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2013
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
243290.46
279192.10
35901.64
14.76
105549.25
‐10924.02847
0.15
456230658
456219734
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
4323.34
4659.03
335.69
7.76
1875.64
‐488.40
0.08
145290158.7
145289670.3
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
77462.39
96695.79
19233.4
24.83
33606.32
‐1235.58
0.25
25573964.52
25572728.94
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
761.95
888.67
126.72
16.63
330.56
‐56.43
0.17
5572217.76
5572161.331
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
16857.49
19766.28
2908.79
17.26
7313.46
816.24
0.17
697724681.2
697725497.5
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
95403.91
115326.77
19922.86
20.88
41390.08
4191.22
0.21
856261307
856265498.2
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
20688.70
26408.88
5720.18
27.65
8975.60
‐594.54
0.28
62624220.66
62623626.12
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
6978.10
79262.18
72284.08
1035.87
3027.38
157.63
10.36
146120863.3
146121020.9
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
48267.46
58636.82
10369.36
21.48
20940.38
3710.60
0.21
‐24650.97
‐20940.37751
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
Provinsi Ben
gkulu
Provinsi Ben
gkulu
Provinsi Ben
gkulu
PDRB REJANG LEB
ONG
PDRB BEN
GKULU
UTA
RA
Mukomuko
Perubahan
PDRB
Persen
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2013
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
130311.81
150955.36
20643.55
15.84
56534.53683
‐5851.153896
0.16
‐30039.83
‐35890.99
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
85481.66
101587.62
16105.96
18.84
37085.40351
‐9656.692894
0.19
‐11322.75
‐20979.44
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
21489.19
26677.69
5188.50
24.14
9322.880279
‐342.7680547
0.24
‐3791.61
‐4134.38
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
589.11
675.10
85.99
14.60
255.579759
‐43.63160103
0.15
‐125.96
‐169.59
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
14829.52
18157.72
3328.20
22.44
6433.645919
718.0417449
0.22
‐3823.49
‐3105.45
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
53914.37
66544.12
12629.75
23.43
23390.23559
2368.527134
0.23
‐13129.01
‐10760.49
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
18853.93
23638.31
4784.38
25.38
8179.597843
‐541.8156949
0.25
‐2853.40
‐3395.22
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
16942.99
22043.36
5100.37
30.10
7350.554736
382.7268198
0.30
‐2632.91
‐2250.18
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
45717.21
58147.66
12430.45
27.19
19833.97585
3514.543329
0.27
‐10918.07
‐7403.53
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2012
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
117219.60
121366.89
4147.29
0.04
50854.6063
‐5263.30
0.04
‐41444.02
‐46707.32
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
12162.17
12856.65
694.48
0.06
5276.441543
‐1373.94
0.06
‐3208.03
‐4581.96
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
94785.96
103489.57
8703.61
0.09
41121.98539
‐1511.90
0.09
‐30906.47
‐32418.38
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
19517.82
23120.64
3602.82
0.18
8467.620193
‐1445.56
0.18
‐3419.24
‐4864.80
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
82494.36
94833.61
12339.25
0.15
35789.39187
3994.36
0.15
‐27444.50
‐23450.14
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
748624.72
853949.26
105324.54
0.14
324783.7
32888.04
0.14
‐252347.20
‐219459.16
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
363217.24
405994.04
42776.80
0.12
157578.3379
‐10437.97
0.12
‐104363.57
‐114801.54
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
193239.89
216220.04
22980.15
0.12
83835.2846
4365.11
0.12
‐65220.25
‐60855.13
99
2882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
498593.49
595315.74
96722.25
0.19
216310.0338
38329.73
0.19
‐157917.52
‐119587.78
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
1905687.52
2189433.33
KEPAHIANG
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2012
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
512169.00
574967.34
62798.34
0.12
222199.6394
‐22996.99
0.12
‐136404.31
‐159401.30
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
445.00
459.86
14.86
0.03
193.0590089
‐50.27
0.03
‐127.93
‐178.20
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
25909.00
30366.77
4457.77
0.17
11240.37272
‐413.27
0.17
‐6369.34
‐6782.60
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
2983.00
3252.77
269.77
0.09
1294.146121
‐220.93
0.09
‐803.44
‐1024.38
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
15568.00
17223.48
1655.48
0.11
6754.028429
753.80
0.11
‐5852.35
‐5098.55
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
65988.00
76559.14
10571.14
0.16
28628.2649
2898.94
0.16
‐20956.06
‐18057.12
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
19144.00
21966.45
2822.45
0.15
8305.441948
‐550.15
0.15
‐4932.84
‐5482.99
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
15075.00
17325.07
2250.07
0.15
6540.145078
340.53
0.15
‐4630.61
‐4290.08
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
93009.00
106740.15
13731.15
0.15
40351.06823
7150.13
0.15
‐33770.05
‐26619.92
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
211767.00
243067.06
31300.06
0.15
Perubahan
PDRB
Persen
Perubahan
PDRB
Persen
Provinsi Ben
gkulu
Persen
PDRB BEN
GKULU
TEN
GAH
Perubahan
PDRB
Provinsi Ben
gkulu
KOTA
BEN
GKULU
Provinsi Ben
gkulu
LEBONG
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2012
Perubahan
PDRB
Persen
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
407885.00
454524.98
46639.98
0.11
176957.02
‐18314.51736
0.11
‐112002.52
‐130317.04
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
2959.00
2966.00
7.00
0.0024
1283.73
‐334.2723372
0.00
‐942.46
‐1276.73
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
9054.00
9804.00
750.00
0.08
3927.99
‐144.4178197
0.08
‐3033.57
‐3177.99
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
1861.00
2165.00
304.00
0.16
807.38
‐137.8323395
0.16
‐365.54
‐503.38
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
11132.00
13370.00
2238.00
0.20
4829.51
539.0087275
0.20
‐3130.52
‐2591.51
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
24733.00
28360.00
3627.00
0.15
10730.18
1086.552279
0.15
‐8189.73
‐7103.18
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
6323.00
6715.00
392.00
0.06
2743.17
‐181.7075081
0.06
‐2169.47
‐2351.17
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
9172.00
10545.00
1373.00
0.15
3979.18
207.1871843
0.15
‐2813.37
‐2606.18
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
41927.00
48041.00
6114.00
0.15
18189.63
3223.168215
0.15
‐15298.80
‐12075.63
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
515046.00
576490.98
KAUR
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2012
Perubahan
PDRB
Persen
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89392906
0.39
114165.52
121459.01
7293.49
0.06
49529.62
‐307932.4426
0.063885226
‐37109.97
‐345042.41
2479492.38
633348.28
153855.90
32.0872461
0.32
992.88
1058.50
65.62
0.07
430.75
‐54167.29926
0.066090565
‐252.97
‐54420.27
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.78897494
0.42
4036.26
4516.04
479.78
0.12
1751.09
‐12533.85732
0.118867466
‐1206.93
‐13740.79
480322.81
109221.10
28898.29
35.97768803
0.36
520.08
611.20
91.12
0.18
225.63
‐5948.995602
0.175203815
‐95.99
‐6044.99
5629924.31
933711.75
303787.44
48.22602258
0.48
12149.09
13762.27
1613.18
0.13
5270.77
30500.7816
0.132781961
‐4245.84
26254.94
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.77717467
0.48
46519.99
53146.42
6626.43
0.14
20182.25
149421.6489
0.142442636
‐15599.51
133822.14
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51029228
0.41
23979.73
27807.73
3828.00
0.16
10403.38
‐40942.6642
0.159634825
‐5886.26
‐46828.92
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.6429565
0.46
8334.44
10481.04
2146.60
0.26
3615.82
19990.88557
0.257557796
‐1657.48
18333.40
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07161872
0.51
34617.45
40066.73
5449.28
0.16
15018.45
221611.943
0.157414252
‐12230.41
209381.53
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.9759029
0.43
245315.44
272908.94
SELU
MA
No
2010
2013
Perubahan
Persen
Rasio
Produksi
Provinsi (Ra)
2010
2012
Perubahan
PDRB
Persen
Pertumbuhan
Nasional (PN)
Pertumbuhan
Proporsional (PP)
r i
Pertumbuhan
Pangsa
Wilayah (PPW)
Pertumbuhan
bersih
(PB)=PP+P
PW
16858003.51
9525350.53
2667347.02
38.89
0.39
189230.99
213592.92
24361.93
0.129
82096.06
‐8496.69
0.13
‐49237.43701
‐57734.13
2479492.38
633348.28
153855.90
32.09
0.32
16232.41
14149.48
‐2082.93
‐0.128
7042.28
‐1833.74
‐0.13
‐7291.463345
‐9125.21
3785786.30
1114158.34
328372.04
41.79
0.42
6384.41
7514.92
1130.51
0.177
2769.82
‐101.84
0.18
‐1537.469495
‐1639.31
480322.81
109221.10
28898.29
35.98
0.36
678.54
774.49
95.95
0.141
294.38
‐50.26
0.14
‐148.1730044
‐198.43
5629924.31
933711.75
303787.44
48.23
0.48
14832.16
16536.92
1704.76
0.115
6434.79
718.17
0.11
‐5448.200831
‐4730.03
63401258.93
5026284.35
1625025.42
47.78
0.48
49972.43
55619.71
5647.28
0.113
21680.06
2195.35
0.11
‐18228.13517
‐16032.78
71424709.79
2001863.89
577154.10
40.51
0.41
25521.43
27727.27
2205.84
0.086
11072.23
‐733.42
0.09
‐8132.965886
‐8866.39
8884979.46
1288910.25
403930.79
45.64
0.46
7999.43
9614.46
1615.03
0.202
3470.48
180.70
0.20
‐2036.146355
‐1855.45
92882730.07
4354986.98
1472256.91
51.07
0.51
45289.55
51248.18
5958.63
0.132
19648.44
3481.67
0.13
‐17171.47629
‐13689.81
17427207.56
24987835.47
7560627.91
381.98
0.43
144293.54
161521.03
Provinsi Ben
gkulu
Provinsi Ben
gkulu Provinsi Ben
gkulu
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
Yana Tatiana, Institut Pertanian Bogor Page 1
No Kuesioner……….
ANALISIS PERWILAYAH PEMBANGUNAN DAN INVESTASI DI
PROPINSI BENGKULU
Yana Tatiana, SE, M.Si
H162100151
(Mahasiswa Program Doktoral, Program Studi PWD, IPB Bogor)
Penelitian ini dilakukan untuk menyesaikan Disertasi pada Jenjang pendidikan Strata 3
Program Studi Perencanan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor yang
bertujuan untuk menganalisis iklim investasi yang ada di Propinsi Bengkulu dalam rangka
peningkatan pertumbuhan ekonomi yang menjadi indicator keberhasilan pembangunan wilayah.
Objek dalam penelitian ini adalah Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) dan Usaha kecil.
Untuk itu besar harapan kami agar bapak/ibu sebagai nara sumber dapat memberikan informasi
demi pencapaian hasil penelitian yang objektif dan tepat pada sasarannya. Hasil dari penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi usaha peningkatan investasi wilayah, dalam
rangka pencapaian tingkat investasi yang diinginkan.
Nama Perusahaan
:
……………………………………………………………….
Alamat Perusahaan : ……………………………………………………………….
Jenis Usaha
Lokasi usaha
:
:
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
AKSES LAHAN
N
o
Pertanyaan Sangat
Baik
Baik Cukup Buruk Sangat
Buruk
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Proses kepemilikan lahan usaha
Proses kepemilikan fasilitas usaha
Proses mendapatkan sertifikat
kepemilikan
Penyelesaian konflik dalam
pengurusan kepemilikan
Proses pemindahan kepemilikan
lahan
Proses pelaksanaan jual beli lahan
Proses pengurusan surat-surat
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
Yana Tatiana, Institut Pertanian Bogor Page 2
9.
10
.
kepemilikan
Proses pembebasan tanah
Proses penggusuran lahan
Kebijakan PEMDA yang
berhubungan dengan akses lahan
Kendala yang dihadapai berkaitan dengan kepemilikan lahan
…………………………………………………………………………………………………...
……………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………
INFRASTRUKTUR DAERAH
Sangat
Baik
Baik Cukup Kurang Tidak
memadai
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
.
Ketersediaan infrastruktur
Kualitas jalan
Kualitas Penyediaan listrik
Kualitas Sambungan Telepon
Kualitas penyediaan air
bersih
Penyelesaian perbaikan jalan
Penyelesaian pemadaman
listrik
Penyelesaian perbaikan
sambungan telp
Penyelesaian permasalahan
air bersih
Kebijakan PEMDA yang
berkaitan dengan
infrastruktur
Kendala yang dihadapi berkaitan dengan infrastruktur daerah
:…………………………………………………………………………………………………...
…………………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………………….
.
PERIZINAN USAHA
Sangat
Baik
Baik Cukup Buruk Sangat
Buruk
1.
2.
Bagaimana menurut anda
pengurusan perizinan usaha
di lokasi usaha anda?
Apakah waktu pengurusan
perizinan telah efisien ?
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
Yana Tatiana, Institut Pertanian Bogor Page 3
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Bagaimana menurut penilaian
anda, penyelesaian
pengurusan HO ?
Penyelesaian pengurusan
SITU
Penyelesaian pengurusan
TDP
Waktu yang dibutuhkan
untuk pengurusan perizinan
Kebijakan PEMDA yang
berhubungan dengan
perizinan
Menurut anda, proses
perizinan yang ada sudah
Sejalan dengan aturan yang
berlaku ?
Bagaimana menurut anda,
pelayanan di bidang perizinan
Setujukan anda bahwa
pelayanan perizinan yang ada
sudah sangat mendukung
iklim berusaha anda
Kendala yang dihadapi berhubungan dengan perizinan usaha :…………………………………
…………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………..
PERATURAN DAERAH (PERDA)
Sangat
Setuju
Setuju Ragu Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
1.
2.
3.
4.
5.
Setujukah anda, Peraturan daerah
yang ada sangat mendukung usaha ?
Setujukah anda, PERDA selalu
mampu direvisi sesuai dengan
perubahan kondisi yang ada
Setujukah anda, PERDA mampu
secara jelas menyebutkan tata aturan
di bidang usaha
Menurut anda, PERDA mampu
secara jelas menyebutkan sasaran
yang ingin dicapai di bidang usaha
Menurut anda, PERDA mampu
secara jelas menyebutkan biaya
dalam usaha
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
Yana Tatiana, Institut Pertanian Bogor Page 4
6.
7.
8.
9.
10
Menurut anda, PERDA berlaku
umum/tidak memihak
Menurut anda, PERDA mampu
secara jelas menyebutkan batasan
pelanggaran usaha
Menurut anda, PERDA berlaku
konsisten
Menurut anda PERDA mengatur
pelayanan yang dilakukan oleh
PEMDA
Menurut anda PERDA mampu
memberikan batasan antara pajak dan
retribusi daerah.
Kendala yang dihadapi sehubungan dengan Peraturan daerah :
…………………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………………….
..
BIAYA TRANSAKSI
Sangat
Setuju
Setuju Ragu Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Setujukah anda, bahwa Pajak
daerah yang ditetapkan berlaku
umum?
Setujukah anda, Retribusi
daerah ditetapkan secara jelas ?
Setujukah anda, Retribusi
daerah menyatakan secara jelas
penggunaannya ?
Setujukah anda, bahwa SP3
ditetapkan secara resmi
Setujukah anda, bahwa Segala
pungutan yang berlaku
memiliki aturan yang jelas dan
baku
Setujukah anda, bahwa Pelaku
usaha bebas dari pungutan
illegal
Setujukah anda, bahwa
PEMDA mampu menertibkan
berbagai pungutan yang bersifat
illegal
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
Yana Tatiana, Institut Pertanian Bogor Page 5
8.
9.
10
Setujukah bahwa Semakin besar
skala usaha maka semakin besar
biaya transaksi yang dikenakan
Setujukah bahwa Semakin besar
suatu wilayah maka semakin
besar pula biaya transaksi yang
dikenakan
Setujukah bahwa Biaya
transaksi yang ada tidak
menjadi kendala dalam usaha
Kendala yang dihadapi sehubungan dengan biaya transaksi ……………………………………
……………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………
PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA SWASTA (PPUS)
Sangat
Setuju
Setuju Ragu Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Setujukah bahwa PEMDA
mampu berperan dalam
mengembangkan UKM di
kab/kota ?
Setujukah bahwa PEMDA
mampu memfasilitasi
pembiayaan UKM di Kab/kota
Setujukah bahwa PEMDA
mampu menumbuhkan iklim
investasi dalam hal pendanaan
Setujukah bahwa PEMDA
mampu menumbuhkan iklim
investasi dalam hal sarana
prasarana
Setujukah bahwa PEMDA
mampu menumbuhkan iklim
investasi dalam hal perizinan
Setujukah bahwa PEMDA
mampu menumbuhkan iklim
investasi dalam hal
perlindungan usaha
Setujukah bahwa PEMDA
mampu mendorong investor
untuk mengembangkan
usahanya
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
Yana Tatiana, Institut Pertanian Bogor Page 6
8.
9.
10
.
Setujukah bahwa PEMDA
mampu menghasilkan peraturan
yang mendukung investasi
Setujukah bahwa PEMDA
menetapkan kebijakan yang
mendukung iklim usaha di
wilayahnya
Setujukah bahwa PEMDA
mampu mendorong sector
swasta untuk memgembangkan
usahanya
Kendala yang berhubungan dengan kemampuan PEMDA dalam mendorong perkembangan
usaha sector
swa………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………….
Kriminalitas
Sangat
Baik
Baik Cukup Kurang Sangat
Tidak
baik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Menurut anda, bagaimana
Penyelesaian kasus
kriminalitas di kab ini ?
Menurut anda, bagaimana
Putusan peradilan dalam
penyelesaikan kasus korupsi.
Menurut anda, bagaimana
Putusan peradilan dalam
penyelesaikan sengketa
dibidang pidana.
Menurut anda, bagaimana
Putusan peradilan dalam
penyelesaikan sengketa
dibidang perdata.
Menurut anda, bagaimana
Sikap masyarakat dalam
menyelesaikan masalah
kriminalitas
Menurut anda, bagaimana
Kebijakan PEMDA dalam
menyelesaikan masalah
kriminalitas
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
Yana Tatiana, Institut Pertanian Bogor Page 7
Kendala yang berhubungan dengan kriminalitas dalam usaha peningkatan
usaha………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………..
Terima Kasih atas bantuan bapak/ibu dalam memberikan informasi kepada kami untuk
menyelesaikan penelitian ini. Semoga penelitian yang kami lakukan ini dapat memberikan hasil
yang bermanfaat dalam pengembangan iklim berusaha di Propinsi Bengkulu.
Hormat Kami
Yana Tatiana, SE, M.SI
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Januari 1972, merupakan anak
pertama dari empat bersaudara. Dari pasangan Ir. Tamran Sahar, BE dan Zurniar
Taim.
Penulis menamatkan sekolah dasar pada tahun 1984 dari SD Sint Carolus
Bengkulu. Tamat dari Sekolah Menengah Pertama (SMPN) 1 Bengkulu pada
tahun 1987. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMAN) 4 Bengkulu pada tahun 1990, kemudian melanjutkan pendidikan pada
Fakultas Ekonomi, Jurusan Ilmu ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas
Bengkulu hingga memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1995.
Setelah menyelesaikan pendidikan strata-1 penulis bekerja sebagai Dosen di
Fakultas Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta sampai dengan tahun 2004.
Pada tahun 1996 penulis mengikuti pendidikan Strata-2 pada Program Studi
Statistika, Institut Pertanian Bogor dan menyelesaikannya pada tahun 1999.
Sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai Dosen
DpK pada Kopertis wilayah III dengan unit kerja di Fakultas Ekonomi Universitas
Azzahra, Jakarta. Pada tahun 2010 penulis kembali melanjutkan pendidikan
Strata-3 (S-3) pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana IPB.