i
ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH
DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN
KOTA BEKASI TAHUN 2011-2013
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
FAJRIATIN WAHYUNINGSIH
1110101000005
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2014
Fajriatin Wahyuningsih
ii
iii
iii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI
KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 7 Juli 2014
Fajriatin Wahyuningsih, NIM: 1110101000005
ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN KOTA BEKASI TAHUN
2011-2013
XIII+ 88 halaman, 11 tabel, 8 gambar, 6 lampiran
ABSTRAK
Latar Belakang: Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi cenderung meningkat selama tahun 2011-2013.
Tahun 2011 terdapat 49 kejadian DBD, tahun 2012 terdapat 42 kejadian dan tahun
2013 terdapat 139 kejadian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi
spasial penyebaran kejadian DBD dan distribusi frekuensi kepadatan penduduk,
kepadatan jentik vektor, penyelidikan epidemiologi DBD serta fogging fokus di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif
dengan ecological study. Populasi penelitian ini ialah seluruh kejadian DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 dengan kriteria memiliki alamat
jelas dengan jumlah yaitu 216 kejadian DBD. Penelitian ini menggunakan data
sekunder yang meliputi data kejadian DBD dari Puskesmas Pengasinan serta data
jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi pada tahun
2011-2013 dan data primer terkait lokasi geografis kejadian DBD. Adapun instrumen
penelitian yang digunakan ialah tabel checklist dokumen, lembar observasi kejadian
DBD dan Global Positiong System (GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian didapatkan bahwa pola penyebaran kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 berpola mengelompok
dengan nilai Nearest Neighbour Index (NNI) yang semakin menurun, yakni 0,86 tahun
2011, 0,78 tahun 2012, dan 0,64 tahun 2013. Adapun luas penyebaran kejadian DBD
di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 semakin meluas, yakni
509,838 Ha tahun 2011; 535,316 Ha tahun 2012; dan 570,869 Ha tahun 2013. Tahun
2011-2013 Incidence Rate (IR) DBD, penyelidikan epidemiologi dan fogging fokus
mengalami peningkatan akan tetapi kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor
mengalami penurunan.
Simpulan: Kejadian DBD dari tahun 2011-2013 di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan paling banyak berada di Kelurahan Pengasinan. Berdasarkan penelitian
tersebut diharapkan program intervensi kesehatan dapat dilakukan di sekitar wilayah
penyebaran kejadian DBD dengan menyesuaikan luas wilayah sebaran kejadian DBD
untuk mencegah terjadinya KLB DBD. Kata Kunci: Spasial, Epidemiologi, Demam Berdarah Dengue
Daftar Bacaan: 67 (2003-2013)
iv
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ISLAMIC STATE UNIVERSITY
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH
Undergraduated Thesis, 7th
July 2014
Fajriatin Wahyuningsih, NIM: 1110101000005
SPATIAL ANALYSIS THE INCIDENCE OF DENGUE HAEMORRHAGIC
FEVER IN HEALTH CENTER PENGASINAN AREA BEKASI 2011-2013
XIII+ 88 pages, 11 tables, 8 pictures, 6 appendixs
ABSTRACT
Introduction : Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) in health center Pengasinan area
has increased during 2011-2013. There was been 49 cases of DHF in 2011, 42 cases in
2012 and 139 cases in 2013. This study was conducted to determine the spread of DHF
incidence through spatial analysis and to describe incidence of DHF with population
and larvae density, epidemiological investigations and fogging focus.
Methods: This study was epidemiological study with ecological. The population study
was all of the case DHF in health center Pengasinan area from 2011-2013 with the
criteria data should have a legal address, and the amount is 216 the cases of DHF. This
study used secondary and primary data. The primary data was related to the
geographic location of the incidence of DHF. The research instrument used a
document checklist table, observation sheets and Global Positiong System (GPS)
Garmin Ex-Trex type 30.
Results: The results showed that the spread pattern of DHF incidence in health center
Pengasinan at 2011-2013 were clustered pattern, and the value of NNI is decreased
0.86 in 2011, 0.78 in 2012 and 0.64 in 2013. Wide spread of DHF has increased in
health center Pengasinan area from 2011-2013, 509,838 Ha in 2011; 535,316 Ha in
2012; and 570,869 Ha in 2013. From 2011-2013 Incidence Rate of DHF,
epidemiological investigations and fogging focus have increased, but population and
larvae density has decreased.
Conclusion: Pengasinan village has higher incidence of DHF compare to Sepanjang
Jaya village during 2011-2013 in health center Pengasian area. The health intervention
programs are expected to do in the area around the incident spread of DHF through
adjusting the spreading area of DHF to prevent outbreaks.
Keywords: Spatial, Epidemiology, Dengue Haemorrhagic Fever
Reading list: 67 (2003-2013)
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN KOTA BEKASI TAHUN
2011-2013
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juli 2014
Mengetahui
Pembimbing I
Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes
NIP. 19840404 200912 2 007
Pembimbing II
Minsarnawati, S. KM, M.Kes
NIP. 19750215 200901 2 003
vi
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Jakarta, Juli 2014
Mengetahui
Penguji I
Hoirun Nisa, Ph. D
NIP. 19790427 200501 2 005
Penguji II
dr. Sholah Imari, M. Sc
Penguji III
Catur Rosidati, MKM
NIP. 19750210 200801 2 018
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Fajriatin Wahyuningsih
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 30 Desember 1992
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Narogong Permai XIII no 8 A RT 04 RW 02
Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi Provinsi Jawa
Barat
Telepon : 085888232723
E-mail : [email protected]
Pendidikan Formal : 1. TK Bani Saleh 2 Bekasi (1997-1998)
2. SD Bani Saleh 2 Bekasi (1998-2004)
3. SMP Bani Saleh 2 Bekasi (2004-2007)
4. MA Negeri 2 Kota Bekasi (2007-2010)
5. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Kesehtaan Masyarakat, Peminatan
Epidemiologi (2010-2014)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya saya
dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulisan skripsi ini dalam rangka memenuhi
persyaratan untuk mendapatkan gelar S1 Sarjana Kesehatan Masyarakat. Saya
menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangat sulit
untuk menyelesaikan penelitian ini, oleh sebab itu saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tua saya Drs. H Sariban, M.Pd dan Hj. Gunarti, S. Pdi yang
telah memberikan dukungan penuh dan memberikan motivasi serta do’a
yang tiada henti.
2. Bapak Prof.Dr.(HC).dr.MK.Tadjudin,Sp.And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.
3. Ibu Febrianti, M. Si selaku Kepala Prodi Kesehatan Masyarakat UIN
Jakarta dan dosen pembimbing akademik.
4. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes. selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu
Minsarnawati, S. KM, M. Kes. selaku dosen pembimbing 2 sekaligus PJ
Peminatan Epidemiologi yang senantiasa memberikan motivasi dan
bimbingannya.
5. Bapak Fajar Nugraha, S. Si, M. Si selaku dosen mata kuliah Sistem
Informasi Geografis dan membantu dalam analisis spasial.
6. Ibu dr. Anne Nur Chandrani MARS selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota
Bekasi.
7. Bapak Andi Widyo Suryono, S. Sos selaku Lurah Kelurahan Pengasinan
dan Bapak Faizal Alang, S. Sos selaku Lurah Kelurahan Sepanjang Jaya
yang telah memberikan izin untuk penelitian dan pengambilan data.
8. Ibu dr. Krisadriyani Ratnawati selaku Kepala Puskesmas Pengasinan yang
telah memberikan izin untuk penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan dan pengambilan data dan Ibu Goyi Rahmawati Putri, A. Md
selaku pemegang program DBD di Puskesmas Pengasinan yang telah
membantu pengumpulan data.
9. Adinda Oktisya Puji dan Hasna Tsanyfitri yang telah membantu
pengumpulan data di lapangan.
10. Seluruh teman mahasiswa epidemiologi angkatan 2010 dan 2011 yang
senantiasa memberi motivasi dan dukungan kepada saya.
Atas bantuan dari semua pihak tersebut saya tidak bisa membalas apa-apa, dan
hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT membalas kebaikannya. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Jakarta, 7 Juli 2014
Peneliti
ix
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................ .......................................................... iii
ABSTRACT......... .................................................................................................. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 5
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 5
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
1.5.1 Bagi Puskesmas Pengasinan ............................................................. 6
1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi................................................... 6
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ...................................... 7
1.5.4 Bagi Peneliti ...................................................................................... 7
1.5.5 Bagi Peneliti Lain .............................................................................. 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ............................................................... 9
2.1.1 Pengertian .......................................................................................... 9
2.1.2 Etiologi DBD .................................................................................... 9
2.1.3 Penularan DBD ............................................................................... 11
2.1.4 Riwayat Alamiah Penyakit DBD .................................................... 11
2.2 Epidemiologi DBD .................................................................................... 14
2.2.1 Karakteristik Host ........................................................................... 14
2.2.2 Karakteristik Perilaku...................................................................... 17
2.2.3 Karakteristik Lingkungan................................................................ 19
2.2.4 Karakteristik Vektor ....................................................................... 22
2.2.5 Pelayanan Kesehatan ....................................................................... 24
2.3 Analisis Spasial ......................................................................................... 28
2.3.1 Manfaat Analisis Spasial Bagi Informasi Kesehatan ..................... 28
2.4 Kerangka Teori .......................................................................................... 32
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 33
3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 33
3.2 Definisi Operasional .................................................................................. 35
x
x
BAB 1V ................................................................................................................. 38
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 38
4.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 38
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 38
4.3 Populasi Penelitian .................................................................................... 39
4.4 Instrumen Penelitian .................................................................................. 39
4.5 Manajemen Data ....................................................................................... 39
4.5.1 Pengumpulan Data .......................................................................... 39
4.5.2 Pengolahan Data ............................................................................. 41
4.6 Analisis Data .............................................................................................. 42
4.6.1 Analisis Univariat ........................................................................... 42
4.6.2 Analisis Spasial ............................................................................... 43
4.7 Penyajian Data ............................................................................................. 45
BAB V ................................................................................................................... 46
HASIL ................................................................................................................... 46
5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian ................................................................. 46
5.1.1 Peta Wilayah .................................................................................... 46
5.1.2 Kependudukan .................................................................................. 47
5.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan .......................... 49
5.2.1 Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD ....................................... 49
5.2.2 Pola Penyebaran Kejadian DBD ...................................................... 51
5.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan ... 57
Kelompok Umur ........................................................................................ 57
5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan
Penduduk ................................................................................................... 58
dan Kepadatan Jentik Vektor .................................................................... 58
5.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan ..... 60
Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus ................................................... 60
BAB VI ................................................................................................................. 62
PEMBAHASAN ................................................................................................... 62
6.1 Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 62
6.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan .......................... 62
6.2.1 Pola Penyebaran Kejadian DBD .................................................... 64
6.2.2 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan
Kelompok Umur ........................................................................................ 67
6.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan
Penduduk dan Kepadatan Jentik Vektor ................................................... 71
6.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan ... 76
Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus .................................................... 76
BAB VII ................................................................................................................ 81
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 81
7.1 Simpulan ..................................................................................................... 81
7.2 Saran ........................................................................................................... 82
7.2.1 Bagi Puskesmas ................................................................................ 82
7.2.2 Bagi Peneliti Lain ............................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 84
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Penelitian Analisis Spasial DBD ..................................................30
Tabel 3.1 Definisi Operasional .....................................................................35
Tabel 4.1 Jadual Penelitian .......................................................................... 39
Tabel 4.2 Sumber Data ................................................................................ 40
Tabel 5.1 Jumlah Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2011-2013 ..................................................... 48
Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 ...... 49
Tabel 5.3 Morbiditas dan Mortalitas DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2011-2013 ..................................................... 50
Tabel 5.4 Analisis Pola Penyebaran .............................................................53
Tabel 5.5 Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Tahun 2011-2013..58
Tabel 5.6 Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan
Kepadatan Jentik Vektor di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
Tahun 2011-2013 ...........................................................................59
Tabel 5.7 Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan Epidemiologi
dan Fogging Fokus di Wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Tahun
2011-2013.......................................................................................61
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori ................................................................................. 32
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 34
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan .....................................47
Gambar 5.2 Peta Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun
2011-2013 ........................................................................................51
Gambar 5.3 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2011 ...................................................................53
Gambar 5.4 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2012 ...................................................................54
Gambar 5.5 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2013 ...................................................................55
Gambar 5.6 Polygon Peta Penyebaran Kejadian DBD di Wilayah Kerja
Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 Melalui Analisis Convex
Hulls..................................................................................................56
xiii
xiii
DAFTAR SINGKATAN
ABJ : Angka Bebas Jentik
CFR : Case Fatality Rate (%)
DBD/ DHF : Demam Berdarah Dengue/ Dengue Haemorrhagic Fever
Dinkes : Dinas Kesehatan
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
GPS : Global Positiong System
IR : Insidens Rate (per 100.000 penduduk)
Jumantik : Juru Pemantau Jentik
Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
KLB : Kejadian Luar Biasa
NNI : Nearest Neighbor Index
P2PDBD : Program Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue
P2PL : Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
PE DBD : Penyelidikan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
PJB : Pemantauan Jentik Berkala
PSN 3 M : Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menutup Menguras
Mengubur
SKD-KLB : Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa
WHO : World Health Organizati
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan
di Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2009), masalah DBD di Indonesia mengalami peningkatan khususnya tahun
2008-2009, yaitu Incidence Rate (IR) sebesar 59,02 per 100.000 penduduk dan
Case Fatality Rate (CFR) 0,86% di tahun 2008 menjadi 68,2 per 100.000
penduduk dan 0,89% di tahun 2009 . Pada tahun yang sama, Jawa Barat
merupakan provinsi dengan kasus kematian karena DBD terbanyak di Indonesia
dengan CFR sebesar 0,83%.
Berdasarkan data Profil Kesehatan Republik Indonesia (2011) diketahui
ternyata kejadian DBD menjadi masalah di Jawa Barat dengan IR sebesar 31,87
per 100.000 penduduk, dan mengakibatkan 26% wilayah Jawa Barat terjangkit
DBD. Sedangkan, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
(2011) diketahui bahwa Kota Bekasi menempati urutan ke lima dengan kejadian
DBD paling tinggi se- Jawa Barat dengan CFR sebesar 1,43% pada tahun 2011.
Sampai saat ini, penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan di Kota
Bekasi. Berdasarkan laporan Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas
Kesehatan Kota Bekasi (2013), telah terjadi peningkatan kejadian DBD dari tahun
2011-2013. Pada tahun 2011 IR DBD sebesar 27 per 100.000 penduduk, tahun
2012 sebesar 37 per 100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 58 per 100.000
2
penduduk serta telah melewati indikator IR DBD nasional tahun 2013 sebesar 52
per 100.000 penduduk.
Terdapat beberapa wilayah di Kota Bekasi yang menjadi wilayah endemis
DBD selama tahun 2011-2013, salah satunya Kecamatan Rawalumbu. Puskesmas
Pengasinan merupakan Puskesmas dengan wilayah kerja yang berada di
Kecamatan Rawalumbu dan memiliki jumlah kejadian DBD paling tinggi di
antara wilayah kerja puskesmas lain di Kecamatan Rawalumbu dengan 139
kejadian dari jumlah 149 kejadian DBD di Kecamatan Rawalumbu pada tahun
2013.
Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan cenderung
meningkat dari tahun 2011-2013. Pada tahun 2011 terdapat 49 kejadian DBD
dengan 2 kejadian meninggal. Tahun 2012 terdapat 42 kejadian dengan 2 kejadian
meninggal. Tahun 2013 kejadian DBD mengalami peningkatan 3 kali lipat dari
dua tahun sebelumnya yakni 139 kejadian.
Kejadian DBD dapat menimbulkan kematian dan Kejadian Luar Biasa
(KLB), oleh karena itu kejadian DBD perlu diatasi berdasarkan faktor yang dapat
berhubungan dengan kejadian DBD. Kejadian DBD yang tinggi dapat dipengaruhi
oleh mobilitas serta kepadatan penduduk (Putri, 2008).
Faktor kepadatan penduduk dapat berhubungan dengan kejadian DBD di
suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Daud (2005) di
Kota Palu dengan desain cross sectional melalui analisis spasial diketahui bahwa
kepadatan penduduk berhubungan dengan kejadian DBD. Penelitian lain oleh
3
Suyasa et al (2007) di Kota Denpasar juga menunjukkan bahwa kepadatan
penduduk berhubungan dengan kejadian DBD.
Program penanggulangan DBD seperti penyelidikan epidemiologi DBD
dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) DBD berdampak pada angka kejadian
DBD. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Hairani (2009) di Kota
Depok dengan desain ecological study melalui analisis spasial, diketahui bahwa
semakin besar cakupan penyelidikan epidemiologi DBD maka semakin rendah
angka kejadian DBD. Adapun kegiatan PJB dapat mengetahui kepadatan jentik
vektor di suatu lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erliyanti
(2008) di Kota Metro Provinsi Lampung, diketahui bahwa kepadatan jentik vektor
berhubungan dengan angka kejadian DBD.
Penyelesaian masalah DBD dapat dilakukan dengan teknik analisis
manajemen penyakit berbasis wilayah dengan analisis spasial (Achmadi, 2005).
Pemanfaatan analisis spasial kejadian DBD diharapkan dapat memberikan
manfaat untuk mengetahui pola penyebaran penyakit DBD sehingga dapat
menyelesaikan masalah DBD berdasarkan luas wilayah. Sebagaimana
pemanfaatan analisis spasial yang telah dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan oleh Hasyim (2009), dapat memperlihatkan pola penyebaran
DBD melalui pemetaan dan dihubungkan dengan determinan lain seperti kegiatan
upaya pengendalian DBD yang telah dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan.
Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Faiz et al (2013) di Kota Semarang,
diketahui bahwa analisis spasial dapat menghasilkan informasi tentang pola
4
penyebaran DBD cenderung berkelompok di Kota Semarang dan dapat digunakan
untuk upaya pengendalian berdasarkan wilayah sebaran di Kota Semarang.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada bulan Februari 2014
diketahui bahwa pemanfaatan analisis spasial belum digunakan di Dinas
Kesehatan Kota Bekasi dan Puskesmas Pengasinan. Diketahui juga bahwa tidak
adanya penelitian sebelumnya mengenai faktor yang berhubungan dengan
kejadian DBD di Puskesmas Pengasinan. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti
bagaimana penyebaran kejadian DBD dengan analisis spasial dan mengamati
faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD, karena sampai saat ini kejadian
DBD masih tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian DBD di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan dari tahun
2011-2013. Puskesmas Pengasinan merupakan Puskesmas dengan jumlah
kejadian DBD yang tinggi di Kota Bekasi. Berdasarkan pengamatan sebelumnya,
diketahui bahwa belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor yang
berhubungan dengan kejadian DBD dan penyebaran DBD melalui analisis spasial
di Puskesmas Pengasinan. Analisis spasial diharapkan dapat mengidentifikasi
distribusi pola penyebaran penyakit DBD di Puskesmas Pengasinan. Oleh karena
itu, peneliti ingin meneliti bagaimana penyebaran kejadian DBD di wilayah
tersebut karena sampai saat ini DBD masih tinggi.
5
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran kejadian
DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-
2013?
2. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD menurut kelompok umur
dan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi
tahun 2011-2013?
3. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan kepadatan
penduduk dan kepadatan jentik vektor di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013?
4. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan penyelidikan
epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi
tahun 2011-2013.
6
2. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD menurut kelompok
umur dan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota
Bekasi tahun 2011-2013.
3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan
kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
4. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan
penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas Pengasinan
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi terkait wilayah
rentan dengan mengetahui penyebaran DBD serta bahan untuk
pelaksanaan program pengendalian DBD di Puskesmas Pengasinan Kota
Bekasi.
1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk mengevaluasi
dan meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya bagi program
pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD di Kota Bekasi melalui
pemetaan penyakit berdasarkan wilayah.
7
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan dokumentasi
yang dapat digunakan untuk data dalam penelitian serupa di masa
mendatang, serta menjadi informasi berbasis bukti yang menjadi dasar
advokasi dalam upaya peningkatan program pengendalian DBD.
1.5.4 Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan sarana untuk memenuhi persyaratan guna
mendapat gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dan mendalami
pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat khususnya bidang epidemiologi.
1.5.5 Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi, informasi dan
pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran
spasial kejadian DBD dan upaya program pengendalian serta
pemberantasannya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deskriptif dengan
ecological study. Analisis spasial digunakan untuk mengetahui pola dan luas
penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tahun 2011-
2013. Adapun variabel dalam penelitian ini ialah umur, jenis kelamin, kepadatan
penduduk, kepadatan jentik vektor, fogging fokus, penyelidikan epidemiologi
DBD dan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi.
8
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang meliputi data kejadian
DBD dari Puskesmas Pengasinan serta data jumlah penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi pada tahun 2011-2013 dan data primer terkait
lokasi geografis kejadian DBD. Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian
seperti tabel checklist dokumen, lembar observasi kejadian DBD dan Global
Positiong System (GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30. Penelitian ini dilaksanakan
selama bulan April-Mei tahun 2014.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Pengertian
DBD merupakan jenis penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak pertama kali dilaporkan
pada tahun 1968 jumlah kejadian DBD cenderung meningkat, demikian
juga penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan
peningkatan mobilitas penduduk dan majunya teknologi melalui
transportasi sehingga memudahkan penyebaran virus dengue dan vektor
penularnya ke berbagai wilayah.
DBD adalah penyakit yang ditandai dengan beberapa gejala klinis
seperti: demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung
terus menerus selama 2-7 hari, terjadi manifestasi perdarahan (petekie,
purpura, pendarahan konjungtiva, epistkasis, ekimosis, melena dan
hematuri), uji Tourniqet positif, Trombositopeni (100.000/ µl atau kurang),
terjadi peningkatan hematokrit 20% atau lebih, bila status lanjut dapat
disertai pembesaran hati (Kemenkes RI, 2011a).
2.1.2 Etiologi DBD
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue. Virus Dengue dapat
ditularkan oleh vektor Aedes aegypti. Aedes aegypti adalah spesies
nyamuk tropis dan subtropis yang biasanya ditemukan antara garis lintang
10
350 LU dan 35
0 LS, kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm
100 C. Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian dan biasanya
tidak ditemukan di atas ketinggian 1000 m, akan tetapi pernah dilaporkan
distribusi nyamuk ini pada ketinggian 2121 m di India, pada 2200 m di
Kolombia dan pada ketinggian 2400 m di Eritrea (WHO dan Depkes RI,
2003).
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat
serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2. DEN-3, DEN-4) dapat dibedakan
dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
menghasilkan imunitas seumur hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe
yang jenisnya sama, tetapi hanya memberikan perlindungan sementara
terhadap serotipe yang lain.
Virus dengue berbagai serotipe sekarang menjadi endemis
dibanyak negara tropis (Chin, 2000). Akan tetapi, pada setiap wilayah
memiliki karakteristik serotipe DBD yang berbeda dengan wilayah lain
seperti di Indonesia. Berdasarkan penelitian epidemiologi yang dilakukan
oleh Prasetyowati dan Astuti (2010) menemukan bahwa virus DEN-2
adalah serotipe yang dominan di Jawa Barat. Studi epidemiologi lain juga
dilakukan oleh Yamanaka et al (2009) diketahui bahwa pada penderita
Demam Dengue (DD) dan DBD justru ditemukan virus DEN-1 genotip IV
yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
11
2.1.3 Penularan DBD
Penyakit DBD merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui
gigitan nyamuk yang infektif, terutama Aedes aegypti. Bila terinfeksi,
nyamuk tetap akan terinfeksi seumur hidupnya, menularkan virus ke
individu rentan selama menggigit dan menghisap darah. Nyamuk betina
yang terinfeksi juga dapat menurunkan virus ke generasi nyamuk dengan
penularan transovarian, tetapi ini jarang terjadi dan kemungkinan tidak
memperberat penularan yang signifikan pada manusia.
Manusia adalah penjamu utama yang dikenai virus, meskipun
beberapa studi menunjukkan bahwa monyet pada beberapa bagian dunia
dapat terinfeksi dan mungkin bertindak sebagai sumber virus untuk
nyamuk penggigit. Virus bersirkulasi dalam darah manusia terinfeksi pada
kurang lebih waktu dimana mereka mengalami demam, dan nyamuk yang
tak terinfeksi bisa mendapatkan virus apabila mereka menggigit individu
saat keadaan viraemik. Virus kemudian berkembang di dalam nyamuk
selama periode 8 – 10 hari, setelah itu nyamuk dapat menularkan ke
manusia lain selama menggigit atau menghisap darah berikutnya. Lama
waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada
kondisi lingkungan, khususnya suhu sekitar (WHO, 2004).
2.1.4 Riwayat Alamiah Penyakit DBD
Perjalanan penyakit DBD sering susah diramalkan, karena gejala
klinis DBD menyerupai penyakit lain dan sebagian penderita dengan
12
renjatan berat dapat disembuhkan walaupun hanya dengan pengobatan
yang sederhana. Penjelasan tentang riwayat alamiah penyakit DBD dapat
dibagi menjadi beberapa fase, yaitu fase suseptibel (rentan), subklinis,
klinis dan akhir.
Fase suseptibel dimulai pada saat nyamuk Aedes aegypti yang tidak
infektif kemudian menjadi infektif setelah menggigit manusia yang sakit
atau dalam keadaan viremia (WHO, 2004). Nyamuk Aedes aegypti yang
telah menghisap virus dengue dapat menjadi penular DBD seumur
hidupnya.
Fase subklinis merupakan tahapan yang dimulai dari paparan agen
penyebab DBD hingga timbulnya manifestasi klinis disebut dengan masa
inkubasi DBD. Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan
gejala klinis, atau disebut dengan fase subklinis (asimtomatis). Masa
inkubasi ini dapat berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik
atau hipersensitivitas.
Fase subklinis DBD ialah waktu setelah virus Dengue masuk
bersama air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian
memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar
getah bening untuk kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi darah.
Virus ini berada di dalam darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan oleh
nyamuk (Lestari, 2007).
Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit dalam tubuh masih dalam
keadaan normal selama 3 hari pertama (Rena et al, 2009). Akan tetapi,
13
sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan
terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai
antigennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang
merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun.
Proses autoimun menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah
satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler
dan dapat mengakibatkan bocornya sel-sel darah seperti trombosit dan
eritrosit (Widoyono, 2008). Jika hal ini terjadi, maka penyakit DBD akan
memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan gejala dan tanda
secara klinis adanya suatu penyakit.
WHO (2004) membagi menjadi 4 (empat) tingkatan derajat berat
penyakit DBD, antara lain:
a. Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji tourniqet.
b. Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan
atau perdarahan lain. Terjadi hemokonsentrasi yaitu peningkatan
hematokrit di atas atau sama dengan 20% karena perembesan plasma.
c. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan darah menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis dengan tanda kebiruan di sekitar mulut, kulit dingin dan
lembap dan anak tampak gelisah.
d. Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
14
Fase terakhir dalam perjalan penyakit DBD ialah tahap pemulihan
atau kematian jika tidak tertangani dengan baik. Tahap pemulihan
bergantung pada penderita dalam melewati fase kritisnya. Tahap
pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau transfer
trombosit. Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka pada hari
keenam dan ketujuh penderita akan berangsur membaik dan kembali
normal pada hari ketujuh dan kedelapan, namun apabila penderita tidak
dapat melewati masa kritisnya maka akan menimbulkan kematian (Lestari,
2007).
2.2 Epidemiologi DBD
Komponen penyebab kejadian suatu penyakit dapat diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik host, agent¸dan environment (Gertsman, 2003).
Sedangkan berdasarkan paradigma sehat oleh Hl. Blum (1974) dalam
Notoadmodjo (2007) terdapat empat faktor determinan yang berkontribusi
terhadap status kesehatan yakni faktor genetik, perilaku, lingkungan dan
pelayanan kesehatan.
2.2.1 Karakteristik Host
2.2.1.1 Umur dan Jenis Kelamin
Penyakit DBD dapat terjadi pada semua orang, namun ada
beberapa kecenderungan kejadian DBD pada karakteristik
tertentu. Selama satu dekade terakhir ini kejadian DBD cenderung
15
mengalami kenaikan proporsi pada kelompok umur dewasa
dibandingkan usia 5-14 tahun. Adapun kejadian DBD
berdasarkan jenis kelamin hampir sama, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki persentase sebesar 53,78% dan 46,23%
untuk terkena DBD pada tahun 2008 (Kemenkes RI, 2010).
Adapun kejadian DBD di wilayah Kota Bekasi
berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi tahun 2013
diketahui bahwa kejadian DBD paling banyak diderita oleh laki-
laki sebesar 55% dibandingkan perempuan sebesar 45%.
Sedangkan kejadian DBD menurut kelompok umur di Kota
Bekasi paling banyak terjadi pada kelompok umur di atas 15
tahun sebesar 70%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dardjito et al
(2008) di Banyumas dengan desain case control dan sampel
sebanyak 100 penderita DBD (50 kasus dan 50 kontrol) diketahui
bahwa usia (p=0,024, OR= 19,056, CI=1,418-128,022) dan jenis
kelamin (p=0,002, OR=4,896, CI= 1,864-17,252) memiliki
hubungan dengan kejadian DBD. Akan tetapi berdasarkan
penelitian oleh Djati et al (2012) di Kabupaten Gunung Kidul
dengan desain case control dan sampel sebanyak 70 penderita
DBD (35 kasus dan 35 kontrol) diketahui bahwa usia memiliki
hubungan dengan kejadian DBD (p= 0,004), sedangkan jenis
16
kelamin tidak memiliki hubungan dengan kejadian DBD
(p>0,05).
2.2.1.2 Pengetahuan
Pengetahuan seseorang biasanya dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan seseorang melalui perilaku, karena merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (Notoadmodjo, 2007). Sebagaimana penelitian yang
telah dilakukan oleh Fatma (2006) di Demak dengan desain case
control dan sampel sebanyak 104 (52 kasus dan 52 kontrol)
diketahui bahwa tingkat pengetahuan memiliki hubungan dengan
kejadian DBD. Penelitian lain juga dilakukan oleh Suhardiono
(2005) di Kota Medan dengan desain cross sectional dan sampel
berjumlah 100 orang, diketahui bahwa tingkat pengetahuan
mengenai DBD memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=
0,015, OR= 3,077, CI= 1,218-7,776).
2.2.1.3 Imunitas dan Status Gizi
Menurut Soegijanto (2003) dalam Candra (2010) imunitas
individu dapat mempengaruhi derajat infeksi DBD. Secara
invitro, antibodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi
biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody
dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC). Berdasarkan
17
perannya, terdiri dari antibodi netralisasi atau neutralizing
antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah
infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang
mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi
yang berperan dalam patogenesis DBD dan Dengue Shock
Syndroem (DSS).
Kekebalan host terhadap infeksi juga dipengaruhi oleh
faktor lain, antara lain: usia dan status gizi, usia lanjut akan
menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status gizi dapat
menyebabkan tingkat keparahan kejadian penyakit infeksi.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hakim L dan
Kusnandar. J. A (2012) dengan desain cross sectional dan sampel
berjumlah 200 orang penderita DBD, diketahui bahwa status gizi
memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,004). Penelitian
lain juga dilakukan oleh Nelli (2007) dengan desain cross
sectional dan sampel berjumlah 94 orang penderita DBD,
diketahui 63,6% renjatan DBD lebih banyak dialami oleh
penderita dengan status gizi kurang.
2.2.2 Karakteristik Perilaku
Perilaku kesehatan menurut Notoadmodjo (2007) ialah suatu
respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Becker
18
(1979) dalam Notoadmodjo (2007) mengklasifikasikan perilaku yang
dapat berhubungan dengan kesehatan, yaitu:
a. Perilaku kesehatan, yaiu hal – hal yang berkaitan dengan tindakan
atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan mengingkatkan
kesehatannya, seperti mencegah penyakit.
b. Perilaku sakit, yaitu tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh
individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal rasa
sakitnya.
c. Perilaku peran sakit, yaitu segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan.
Perilaku sehat individu pada kejadian DBD dapat dilihat dari
perilaku mencegah penyakit DBD seperti penggunaan kelambu,
penggunaan obat nyamuk dan penggunaan kassa nyamuk. Penggunaan
kelambu dan penggunaan obat nyamuk memiliki hubungan dengan
kejadian DBD pada seseorang. Sebagaimana penelitian yang telah
dilakukan oleh Ratag et al (2013) di Manado dengan desain case control
dan sampel berjumlah 96 (48 kasus dan 48 kontrol), diketahui bahwa
penggunaan kelambu (p=0,000, OR=8,2, CI=2,22-30,48) dan penggunaan
obat nyamuk (p=0,000, OR= 30,3, CI=9,88-93,07) memiliki hubungan
dengan kejadian DBD. Penelitian lain juga dilakukan oleh Kusnadi (2010)
di Lombok Timur, diketahui bahwa penggunaan kelambu memiliki
hubungan dengan kejadian DBD. Sedangkan penelitian yang dilakukan
19
oleh Widodo (2012) di Kota Mataram dengan desain case control dan
sampel berjumlah 198 orang, diketahui bahwa penggunaan kassa nyamuk
memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,011, OR= 0,41 CI=0,206-
0,815) .
Perilaku kesehatan seseorang dapat disadari secara langsung
maupun tidak bahwa perilaku mereka dapat mempengaruhi kesehatan,
seperti perilaku mobilisasi. Mobilisasi penduduk akan mendorong
terjadinya KLB penyakit infeksi (Wilder dan Gubler, 2008). Sebagaimana
penelitian yang telah dilakukan oleh Roose (2008) di Pekanbaru dengan
desain case control dan sampel berjumlah 170 (85 kasus dan 85 kontrol),
diketahui bahwa mobilisasi merupakan faktor dominan yang berhubungan
dengan kejadian DBD (OR=20,90). Penelitian serupa juga dilakukan
Rahayuningsih (2012) dan diketahui bahwa ada hubungan antara
mobilisasi dengan kejadian DBD (p=0,006, OR= 0,5,371) .
2.2.3 Karakteristik Lingkungan
2.2.3.1 Lingkungan Fisik
Kondisi lingkungan erat kaitannya dengan kehidupan
manusia. Virus membutuhkan tempat dengan kondisi yang sesuai
agar bisa bertahan hidup dan menginfeksi kepada host.
Lingkungan fisik maupun non fisik memiliki sejumlah
karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi kondisi
perkembangan suatu penyakit.
20
Virus dengue dapat berkembang dengan baik berdasarkan
kondisi wilayah tertentu. Penyakit DBD dapat menyebar pada
semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000
meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan
suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak
sempurna.
Kondisi faktor lingkungan fisik seperti unsur iklim yang
terdiri dari: curah hujan, kelembaban nisbi, suhu udara dapat
mempengaruhi kejadian DBD melalui keberadaan vektor.
Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata
dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berkembang
dari fase telur menjadi nyamuk dewasa sehingga potensi penular
DBD tinggi (Dudiarto dan Anggraeni, 2001; Mangguang, 2010).
Kondisi iklim dapat berhubungan dengan kejadian DBD.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Wirayoga (2013) di
kota Semarang dengan desain correlation study dan diketahui
bahwa faktor iklim khususnya curah hujan dan kelembaban udara
berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,001, r=0,403 dan
p=0,001, r=0,533).
21
2.2.3.2 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang
berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi seperti arus
urbanisasi. Urbanisasi dapat menimbulkan masalah sosial yaitu
kepadatan penduduk (Dudiarto dan Anggraeni, 2001). Kepadatan
penduduk juga dapat menyebabkan masalah kesehatan.
Wilayah dengan kepadatan dan mobilitas penduduk yang
tinggi biasanya juga memiliki kejadian DBD yang tinggi
(Kemenkes RI, 2010). Mobilitas penduduk yang tinggi berakibat
pada pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat, hal tersebut
bisa disebabkan karena membaiknya sarana dan prasarana
transportasi sehingga pengendalian populasi menjadi lemah dan
memungkinkan terjadinya KLB DBD (Candra, 2010).
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Daud
(2005) dengan desain cross sectional melalui analisis spasial dan
sampel berjumlah 545 kejadian DBD, diketahui bahwa kepadatan
penduduk memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,004) .
Penelitian lain yang dilakukan oleh Suyasa et al (2007) dengan
sampel berjumlah 90 penderita dan desain cross sectional,
diketahui bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan
kejadian DBD (p= 0,024).
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali
dapat mengakibatkan permasalahan seperti kesenjangan sosial
22
dan kemiskinan. Faktor kemiskinan dapat mengakibatkan orang
tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah
yang benar, sehingga kesehatan dapat terganggu.
2.2.4 Karakteristik Vektor
Kejadian DBD dapat dipengaruhi oleh keberadaan vektor dan jenis
vektor, sebagaimana penjelasan yang telah tertera pada bagian sub bab
etiologi DBD. Tidak semua jenis vektor dapat menularkan penyakit DBD.
Keberadaan dan perkembangbiakan vektor DBD dipengaruhi oleh
karakteristik fisik dan geografis lingkungan.
Aedes aegypti sebagai vektor penular DBD mengalami
metamorfosis lengkap/ metamorfosis sempurna yaitu dengan bentuk siklus
hidup berupa telur, larva, pupa dan dewasa. Larva nyamuk akan
menggantungkan dirinya pada permukaan air untuk mendapatkan oksigen
dari udara. Pupa nyamuk akan berenang naik turun dari bagian dasar ke
permukaan air. Dalam waktu dua atau tiga hari perkembangan pupa sudah
sempurna dan siap menjadi nyamuk dewasa (Palgunadi et al, 2013).
Nyamuk dewasa siap mengisap darah dan memiliki pola aktivitas
gigitan. Hanya nyamuk betina yang mengisap darah dan kebiasaan
mengisap darah pada Aedes aegypti umumnya pada waktu siang hari
sampai sore hari. Kegiatan menggigit dapat berbeda menurut umur, waktu
dan lingkungan.
23
Upaya penanggulangan DBD dapat dilakukan dengan pengendalian
vektor sebelum menjadi nyamuk dewasa yakni dengan mengidentifkasi
keberadaan jentik vektor. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan
oleh Erliyanti (2008) di Kota Metro Provinsi Lampung diketahui bahwa
keberadaan jentik vektor memiliki hubungan dengan kejadian DBD
(p=0,000, OR=9,796, CI=4,304-22,299). Keberadaan jentik vektor dapat
juga diidentifikasi dari kepadatan jentik vektor.
Kepadatan jentik vektor biasanya dinyakatan oleh Angka Bebas
Jentik (ABJ). Perhitungan ABJ dapat dilakukan dengan cara (Kemenkes
RI, 2011a):
a. ABJ
Jumlah rumah/bangunan yang bebas jentik
X 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
b. Container Index:
Jumlah container ada jentik
X 100%
Jumlah container yang diperiksa
c. House Index:
Jumlah rumah yang ditemukan jentik
X 100%
Jumlah rumah yang diperiksa
d. Breteau Index:
Jumlah container dengan jentik
X 100%
100 rumah
24
2.2.5 Pelayanan Kesehatan
2.2.5.1 Tata Laksana Kasus
Sampai saat ini belum ada obat ataupun vaksin DBD.
Adapun prinsip dasar pengobatan DBD ialah penggantian cairan
tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Kemenkes RI, 2010).
Di samping itu, pengobatan DBD dapat dikelompokkan menjadi
pengobatan simptomatif dan suportif. Pengobatan DBD yang sesuai
diharapkan dapat menurunkan tingkat keparahan dan penyebab
kematian DBD.
DBD merupakan penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah. Berdasarkan UU No 4 tahun 1984 tentang
wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No.
1501 tahun 2010, setiap penderita yang termasuk tersangka DBD
harus segera dilaporkan selambat-lambatnya 24 jam oleh unit
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.
2.2.5.2 Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Penyakit DBD berpotensi mengakibatkan KLB bila tidak
ditanggulangi dengan tepat. Pemerintah Republik Indonesia telah
membuat suatu program kesehatan untuk mencegah terjadinya
KLB DBD melalui program penanggulangan DBD. Program
penanggulangan tersebut antara lain:
25
a. Penemuan dan Pelaporan Penderita
Petugas kesehatan di unit-unit pelayanan kesehatan harus
segera melaporkan penemuan penderita DBD. Penemuan dan
pelaporan penderita untuk mencegah terjadinya KLB disebut
dengan Penyelidikan Epidemiologi DBD. Penyelidikan
Epidemiologi DBD dilakukan dengan pencarian penderita atau
tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik ditempat tinggal
penderita dan rumah/ bangunan sekitarnya, termasuk tempat-
tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter
(Kemenkes RI, 2011a). Penemuan penderita DBD dengan cepat
diharapkan dapat mengurangi kejadian DBD, dan kegiatan tata
laksana kasus dapat segera diterapkan.
b. Penanggulangan Fokus
Penanggulangan fokus dapat dilakukan dengan
penyemprotan insektisida atau disebut dengan fogging fokus,
jika dari penyelidikan epidemiologi ditemukan penderita atau
tersangka DBD sekurang-kurangnya 3 orang dengan tanda
demam tanpa sebab yang jelas dan terdapat hasil jentik di
wilayah tersebut (Kemenkes RI, 2011a). Penyemprotan
insektisida dapat diikuti dengan kegiatan penyuluhan dan
gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh masyarakat.
Pelaksanaan penanggulangan fokus yang tepat
diharapkan dapat mencegah kejadian KLB DBD. Berdasarkan
26
penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayani (2010) di Kota
Surabaya dengan pendekatan analisis spasial, diketahui bahwa
kegiatan penanggulangan fokus dapat mempengaruhi kejadian
DBD (p= 0,001, r=0,206) .
c. Pemberantasan Vektor Intensif
Pemberantasan vektor intensif dapat dilakukan melalui
kegiatan pengendalian vektor dan gerakan PSN. Pengendalian
vektor dapat dilakukan secara biologi, kimiawi dan manajemen
lingkungan (Kemenkes RI, 2011a). Sedangkan gerakan PSN
dapat dilakukan dengan kegiatan seperti pemberantasan sarang
nyamuk melalui peran aktif masyarakat melalui langkah 3 M,
yaitu:
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur
paling sedikit seminggu sekali atau menaburkan bubuk
abate ke dalamnya.
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3. Mengubur atau menyingkirkan barang bekas yang dapat
menampung air hujan seperti kaleng-kaleng bekas dan
plastik (Depkes, 2007).
Pelaksanaan pemberantasan vektor diharapkan dapat
mencegah terjadinya KLB DBD melalui kegiatan PSN dengan
menilai keberadaan jentik vektor. Sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Santoso dan Budiyanto (2008) di Kota
27
Palembang dengan desain cross sectional dan sampel berjumlah
606 orang, diketahui bahwa gerakan PSN mempengaruhi
keberadaan jentik vektor DBD. Penelitian serupa juga
dilakukan oleh Harya et al (2013) di Kota Bengkulu dengan
sampel berjumlah 280 orang, dan diketahui bahwa memang ada
hubungan antara gerakan PSN dengan keberadaan jentik vektor
(p=0,002) .
d. Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang
dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan
keyakinan, sehingga diharapkan dapat merubah perilaku
kesehatan seseorang. Dalam hal ini, kegiatan penyuluhan terkait
informasi penularan dan pencegahan DBD dapat disebarluaskan
ke masyarakat agar masyarakat dapat melakukan kegiatan
penanggulangan dan pengendalian DBD secara mandiri.
e. Pemantauan Jentik Berkala
Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dapat
dilakukan oleh juru pemantau jentik (jumantik) (Kemenkes RI,
2011a). Kegiatan ini bertujuan untuk memantau tingkat
kepadatan jentik dari hasil pemeriksaan rumah-rumah dan
tempat-tempat umum. Keberadaan jumantik diharapkan dapat
menurunkan kejadian DBD melalui peran aktif masyarakat.
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Widayani
28
(2011) di Kabupaten Sleman, diketahui bahwa adanya hubungan
antara keberadaan jumantik dengan kejadian DBD.
2.3 Analisis Spasial
Analisis spasial merupakan teknik atau proses yang melibatkan sejumlah
hitungan dan evaluasi logika (matematis) yang dilakukan dalam rangka mencari
atau menemukan (potensi) hubungan yang terdapat di antara unsur-unsur
geografis (Prahasta, 2009). Adapun sistem informasi geografis menurut Chrisman
(1997) dalam Prahasta (2009) terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data,
manusia, organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan dan menganalisis serta menyebarluaskan informasi mengenai daerah-
daerah di permukaan bumi.
Pemanfaatan analisis spasial harus didukung dengan data spasial. Data
spasial adalah data yang berkaitan dengan lokasi berdasarkan geografi yang terdiri
dari lintang-bujur dan wilayah. Menurut Pfeiffer et al (2008) dalam Faiz (2013)
data spasial menerapkan prinsip distribusi geografis berupa fenomena fisikal
seperti iklim, kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan sesuai lokasi
sebenarnya.
2.3.1 Manfaat Analisis Spasial Bagi Informasi Kesehatan
Analisis spasial dengan sistem informasi geografis, memiliki
peranan penting terutama di bidang kesehatan. Saat ini pemanfaatan
29
analisis spasial memberikan kontribusi dalam bidang kesehatan seperti
(Nuckols et All, 2004):
a) Memonitor status kesehatan untuk mengidentifikasi status kesehatan
yang ada di masyarakat.
b) Menentukan studi populasi dalam studi epidemiologi.
c) Mengidentifikasi sumber dan rute infeksi penularan penyakit.
d) Memperkirakan terinfeksinya suatu lingkungan karena paparan
tertentu.
e) Mengukur masalah kesehatan masyarakat di suatu wilayah.
Pemanfaatan analisis spasial juga dapat memperkirakan paparan
penyakit pada wilayah tertentu (Yu et al, 2006) serta untuk monitoring
kesehatan dengan identifikasi sumber paparan dalam studi epidemiologi
tertentu (Nukcols, 2004). Analisis spasial dapat dilakukan dengan
melakukan geocoding alamat di area studi selama periode waktu yang
relevan dengan penyakit. Hal tersebut dilakukan untuk memonitor dan
mengontrol penyebaran penyakit melalui langkah pengawasan.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh beberapa
peneliti lain, diketahui bahwa pemanfaatan analisis spasial dapat
digunakan untuk penelitian penyakit DBD. Berikut ialah tabel terkait
penelitian terdahulu tentang pemanfaatan analisis spasial pada kejadian
DBD:
30
Tabel 2.1
Penelitian Analisis Spasial DBD
Nama
Peneliti Tahun Desain
Populasi dan
Sampel
Penelitian
Analisis Spasial
yang Digunakan Hasil
Widyawati,
et al
2011 Ecological
Study
Populasi: Semua
kejadian DBD di
Kelurahan
Pademangan
Jakarta Utara
berjumlah 138
kejadian DBD
Sampel: Seluruh
data populasi
Elementary anlysis
dengan data
sekunder dan
primer melalui
observasi lokasi
kejadian DBD
Penggunaan
analisis spasial
dapat memprediksi
lokasi potensial
penyakit DBD
melalui data ABJ
di Kelurahan
Pademangan
Jakarta Utara
Febriyetti 2010 Ecological
Study
Populasi: Semua
Kejadian DBD
di DKI Jakarta
2000-2009
Sampel: Seluruh
data populasi
Overlay atau
tumpang susun
layar dengan
menggunakan data
sekunder
Penggunaan
analisis spasial
dapat memberikan
informasi pola
variasi cuaca dan
kasus DBD secara
spasial di DKI
Jakarta
Rosli, et al 2010 Ecological
Study
Populasi: Semua
kasus dengue
yang berhasil
tercatat di Sub
distrik Hulu
Langat Selangor
Malaysia tahun
2003 sebanyak
197 kasus
Sampel: Seluruh
data populasi
Nearest Neighbour
Index dengan
menggunakan data
primer terkait titik
lokasi geografi
kasus DBD
Penggunaan
analisis spasial
memberikan
informasi bahwa
kasus dengue di
Sub distrik Hulu
Langat Selangor
Malaysia tahun
2003 berpola
mengelompok
dengan nilai NNI
sebesar 0,518755
Hairani L.K 2009 Ecological
Study
Populasi: Semua
Kejadian DBD
di Kecamatan
Cimanggis Kota
Depok tahun
2005-2008
sebanyak 2133
kejadian DBD
Sampel: Seluruh
data populasi
Overlay atau
tumpang susun
layar dengan
menggunakan data
sekunder
Penggunaan
analisis spasial
dapat memberikan
informasi daerah
penyebaran DBD
di Kecamatan
Cimanggis Kota
Depok
Putri M. K 2008 Ecological
Study
Populasi: Semua
Kejadian DBD
Overlay atau
tumpang susun
Penggunaan
analisis spasial
31
di Kotamadya
Jakarta Timur
tahun 2004-2006
Sampel: Seluruh
data populasi
layar dengan
menggunakan data
sekunder
dapat memberikan
informasi daerah
penyebaran DBD
di Kotamadya
Jakarta Timur dan
menentukan daerah
rawan melalui ABJ
32
2.4 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber: HL. Blum (1974) dalam Notoadmodjo (2007); Gertsman (2003); Kemenkes RI (2011)
Lingkungan Fisik:
Suhu
Kelembaban Udara
Kecepatan Angin
Curah Hujan
Ketinggian Tempat
Karakteristik Individu:
Umur
Jenis Kelamin
Imunitas
Status Gizi
Perilaku:
Penggunaan Kelambu
Penggunaan Kassa Nyamuk
Penggunaan Obat Nyamuk
Mobilisasi
Lingkungan Sosial:
Kepadatan Penduduk
Vektor:
Kepadatan Jentik
Vektor
Jenis Nyamuk
Program Pelayanan
Kesehatan:
Pemeriksaan Jentik
Berkala
Gerakan PSN
Program Pelayanan Kesehatan:
Penyelidikan Epidemiologi
Fogging Fokus
Kejadian
DBD
Pengetahuan
Penyuluhan
33
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya diketahui ada beberapa faktor
yang dapat berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).
Peneliti memilih kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, fogging fokus,
penyelidikan epidemiologi DBD, jenis kelamin, umur dan kejadian DBD sebagai
variabel penelitian.
Namun terdapat faktor yang tidak menjadi variabel penelitian ini, hal ini
terjadi karena pertimbangan khususnya terkait kondisi data sekunder yang
tersedia. Berdasarkan pendahuluan yang telah dilakukan pada Februari 2014,
diketahui bahwa data terkait status gizi, status imunitas dan pendidikan tidak
tersedia di institusi penelitian. Sedangkan jenis nyamuk yang menggigit,
kebiasaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), penggunaan kelambu,
penggunaan kassa, penggunaan obat nyamuk dan mobilisasi tidak dijadikan
variabel, karena peneliti akan melakukan penelitian pada satu waktu saja.
Sedangkan faktor tersebut membutuhkan informasi tentang komponen perilaku
dan pengamatan untuk waktu tiga tahun dan jika diukur sesaat dikhawatirkan
terjadi bias informasi.
Suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, curah hujan, ketinggian tempat
dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) tidak dijadikan variabel penelitian oleh
peneliti. Hal tersebut dikarenakan telah ada penelitian sebelumnya terkait
hubungan iklim yakni suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan curah hujan
34
dengan kejadian DBD di kota Bekasi oleh Zainudin (2005) melalui analisis
spasial, dan didapatkan informasi bahwa tidak ada hubungan antara iklim dengan
kejadian DBD. Di samping itu iklim, ketinggian tempat, dan PJB pada wilayah
yang akan diteliti tidak memiliki variasi nilai dan terlalu homogen. Peneliti juga
mendapatkan informasi bahwa wilayah yang akan diteliti semuanya telah
mengikuti pembinaan Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan Penyakit
DBD (Pokjanal DBD) dan terbentuk tim juru pemantau jentik (jumantik) di setiap
kelurahan untuk melakukan PJB.
Oleh karena itu, kerangka konsep yang dipakai dalam penelitian dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
Kejadian DBD
Jenis Kelamin
Umur
Kepadatan Penduduk
Kepadatan Jentik Vektor
Penyelidikan Epidemiologi DBD
Fogging Fokus
35
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Kejadian
DBD
Penderita DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan dan
tercatat oleh petugas Puskesmas
Pengasinan pada buku register
Puskesmas dengan alamat jelas
yang dapat diobservasi melalui
lintang geografi serta dijadikan
data spasial
1. Telaah dokumen dihitung dengan:
Jumlah kejadian baru DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun
2011-2013
Jumlah Penduduk di wilayah kerja
Puskesmmas Pengasinan pada tahun yang
sama
2. Observasi langsung terhadap titik lokasi
lintang geografis menggunakan alat GPS
dan tabel observasi
Angka insidens
rate per
100.000
penduduk
Peta titik
kejadian DBD
dengan skala
1:16000
Rasio
2 Umur Lamanya tahun kehidupan yang
dimiliki oleh penderita DBD
yang tertera dalam buku register
DBD Puskesmas Pengasinan
Telaah dokumen 1. 0-4 tahun
2. 5-14 tahun
3. 15-24
tahun
4. 25-49
Ordinal
Tabel 3.1
Definisi Operasional
36
tahun
5. > 50 tahun
3 Jenis
Kelamin
Karakteristik identitas berupa
jenis kelamin penderita yang
tertera dalam buku register DBD
Puskesmas Pengasinan
Telaah dokumen 1. Laki-laki
2. Perempuan
Ordinal
4 Kepadatan
Penduduk
Jumlah penduduk yang berada di
wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan dibagi satuan luas
wilayah tersebut
Telaah dokumen dan dihitung dengan:
Jumlah penduduk
Luas wilayah
Jiwa/ km2
Rasio
5 Kepadatan
Jentik Vektor
Persentase jumlah jentik vektor
penular DBD yang diambil dari
nilai Angka Bebas Jentik (ABJ)
dari setiap kelurahan yang telah
dilakukan oleh petugas
Puskesmas Pengasinan
Telaah dokumen dan dihitung dengan:
Mencari rata-rata nilai ABJ di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013,
nilai ABJ didapat dengan menghitung:
Jumlah rumah di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan yang bebas jentik
x100 %
Jumlah rumah yang diperiksa
% Rasio
6 Penyelidikan
Epidemiologi
DBD
Kegiatan pelacakan penderita
lainnya dan pemeriksaan jentik
nyamuk penular penyakit DBD
Telaah dokumen
Jumlah
penyelidikan
epidemiologi
Rasio
37
di rumah penderita/tersangka
dan rumah-rumah sekitarnya
dalam radius sekurang-kuranya
100 meter, serta tempat umum
yang diperkirakan menjadi
sumber penyebaran penyakit
lebih lanjut yang dilakukan oleh
petugas Puskesmas Pengasinan
7 Fogging
Fokus
Kegiatan penanggulangan fokus
dengan penyemprotan memakai
insektisida di wilayah
Puskesmas Pengasinan yang
terdapat penderita DBD
Telaah dokumen
Jumlah fogging
fokus
Rasio
38
BAB 1V
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deskriptif
dengan ecological study. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
penyebaran kejadian Demam Beradarah Dengue (DBD) di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan tahun 2011-2013. Desain ecological study dipakai
karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder berbasis populasi.
Kelemahan penelitian ini ialah kemungkinan adanya data kejadian
DBD yang tidak terlaporkan ke Puskesmas karena penelitian ini hanya
menggunakan data sekunder yang bersumber dari Puskesmas. Adapun
variabel yang diukur pada penelitian ini ialah, umur, jenis kelamin,
kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, pelaksanaan fogging fokus
dan pelaksanaan penyelidikan epidemiologi DBD dan kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
yang terdiri dari dua kelurahan yakni: Kelurahan Pengasinan dan
Kelurahan Sepanjang Jaya. Pengumpulan data telah dilakukan selama
bulan April-Mei tahun 2014. Adapun jadual penelitian yang telah
dilakukan dapat digambarkan sebagai berikut:
39
Tabel 4.1
Jadual Penelitian
Kegiatan
Bulan
April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Revisi Proposal Penelitian
Pengambilan data sekunder
Observasi lapangan
Analisis data
Penyusunan laporan
Bimbingan
4.3 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi dari tahun 2011-2013
yang berhasil tercatat di Puskesmas Pengasinan pada buku register DBD
dengan kriteria memiliki alamat jelas yaitu berjumlah 216 kejadian DBD
sedangkan 14 kejadian lainnya tidak memiliki alamat jelas sehingga tidak
diteliti.
4.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tabel ceklist data,
tabel observasi plotting kejadian DBD dan alat Global Positiong System
(GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30.
4.5 Manajemen Data
4.5.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui dua teknik, yaitu
pengumpulan data sekunder dan data primer. Pengumpulan data
40
sekunder dilakukan untuk mendapatkan data kejadian DBD,
kepadatan penduduk, pelaksanaan penyelidikan epidemiologi
(PE) DBD, pelaksanaan fogging fokus dan kepadatan jentik
vektor. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini telah diperoleh dari berbagai instansi seperti:
Tabel 4.2
Sumber Data
No Sumber Data
1 Data kejadian DBD dari Puskesmas Pengasinan
2 Data kepadatan penduduk dari Kelurahan Sepanjang Jaya
dan Kelurahan Pengasinan
3 Data cakupan PE DBD dari Puskesmas Pengasinan
4 Data cakupan fogging fokus dari Puskesmas Pengasinan
5 Data kepadatan jentik vektor/ ABJ dari Puskesmas
Pengasinan
Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan
observasi ke tempat tinggal penderita DBD untuk mendapatkan
data spasial DBD melalui alat GPS Garmin tipe Ex-Trex 30 dan
lembar observasi plotting kejadian DBD. Adapun tahapan
pengumpulan data spasial dilakukan sebagai berikut:
a. Collecting, merupakan tahapan pengumpulan data kejadian
DBD dari laporan Puskesmas tahun 2011-2013, dan
berdasarkan laporan kejadian DBD yang berhasil tercatat
pada buku register DBD jumlah kejadian DBD selama 2011-
2013 adalah 230 kejadian DBD.
41
b. Cleaning, merupakan tahapan pemilihan data terkait kejadian
DBD yang memiliki alamat jelas agar dapat dijadikan data
spasial dan berdasarkan hasil telaah dokumen dari keterangan
pada buku register DBD diketahui bahwa jumlah kejadian
DBD selama 2011-2013 adalah 220 kejadian.
c. Plotting, merupakan tahapan obbservasi dengan perekaman
dan pencatatan lokasi penderita DBD melalui alat GPS dan
berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan diketahui
bahwa jumlah kejadian DBD selama 2011-2013 yang dapat
ditemukan sesuai dengan lokasi rumah penderita adalah 216
kejadian.
4.5.2 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan.
Pengolahan data menggunakan beberapa software pendukung seperti
software pengolah data dan software pengolah khusus data spasial
seperti Quantum GIS liboa versi 1.8.0. dan Easy GPS. Tahapan
pengolahan data dilakukan berdasarkan analisis yang akan digunakan
yakni analisis spasial dan analisis statistik. Adapun tahapan pengolahan
data untuk analisis spasial ialah:
a. Transferring, merupakan proses memindahkan data waypoint
kejadian DBD dari alat GPS ke komputer melalui kabel usb dan
software Easy GPS.
42
b. Processing, merupakan proses perubahan data waypoint menjadi
data spasial kejadian DBD menjadi bentuk shapefile ke
Quantum GIS versi 1.8.0
c. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data
dengan melihat jumlah titik lokasi kejadian DBD dengan tabel
observasi plotting kasus untuk menghindari kesalahan.
Sedangkan tahapan pengolahan data statistik untuk analisis
univariat ialah:
a. Processing, merupakan proses memasukkan data ke dalam
software pengolah data statistik dengan template yang sudah
dipersiapkan sebelumnya.
b. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data yang
berhasil dikumpulkan dengan memperhatikan tujuan dan definisi
operasional penelitian untuk menghindari kesalahan.
c. Editting, merupakan tahapan menyusun data setelah tahapan
cleaning agar siap untuk dianalisis.
4.6 Analisis Data
4.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi
frekuensi kejadian DBD berdasarkan kelompok umur dan jenis
kelamin, kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, penyelidikan
epidemiologi DBD dan fogging fokus.
43
4.6.2 Analisis Spasial
Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan point pattern methode. Point pattern methode dalam
epidemiologi spasial merupakan penampilan distribusi kejadian
penyakit berdasarkan ruang (Lai et al, 2009). Adapun point pattern
methode yang digunakan pada penelitian ini memakai analisis spasial
elementary analaysis of disease, Nearest Neighbour Index (NNI) dan
Convex hulls .
Elementary analysis of disease digunakan untuk mengetahui,
penyebaran penyakit di masyarakat yang terungkap melalui plotting
kejadian penyakit (di lokasi rumah individu yang terinfeksi) yang aktif
dengan geocoding atau alamat yang sesuai (Lai et al, 2009).
Elementary analysis of disease digunakan untuk mengetahui
penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
berdasarkan titik kejadian DBD yang tergambarkan pada peta.
Analisis NNI digunakan untuk mengetahui pola penyebaran
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tahun 2011-
2013. Menurut Rosli et al (2010) nilai NNI dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
44
Keterangan:
: rata-rata jarak observasi antara masing-masing kejadian dan
tetangga terdekatnya,
: expected NNI
: jarak antara kejadian i dan kejadian tetangga terdekatnya,
m : jumlah kejadian
A : luas daerah.
Analisis convex hulls digunakan untuk mengetahui luas
wilayah penyebaran dari lokasi terjauh kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan. Convex hulls menurut Prahasta (2009)
dilakukan dengan cara membuat unsur spasial baru bertipe poligon
yang mempersentasikan domain horizontal dari titik-titik yang saling
terhubung.
Pada penelitian ini, nilai NNI dan convex hulls diketahui dari
perhitungan lokasi geografis kejadian DBD yang dihasilkan melalui
software Quantum GIS lisboa versi 1.8. Adapun nilai NNI yang akan
dihasilkan antara lain (Cromley dan McLafferty, 2002):
a. NNI = 1 berarti kejadian DBD di wilayah pengamatan berpola
acak (random)
NNI =
45
b. NNI < 1 berarti kejadian DBD di wilayah pengamatan berpola
berkelompok (clustered)
c. NNI > 1 berarti kejadian DBD di wilayah pengamatan berpola
menyebar (dispersed).
4.7 Penyajian Data
Pada penelitian ini penyajian data ditampilkan ke dalam bentuk
tabel dan peta. Penyajian dalam bentuk tabel digunakan untuk
menyajikan distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin
dan umur, penyelidikan epidemiologi DBD, fogging fokus, kepadatan
jentik vektor dan kepadatan penduduk. Sedangkan penyajian dalam
bentuk peta digunakan untuk menyajikan distribusi kejadian DBD serta
pola penyebaran DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.
46
BAB V
HASIL
5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian
5.1.1 Peta Wilayah
Puskesmas Pengasinan berada di Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi
dan memiliki karakteristik wilayah dataran rendah dengan ketinggian 19 m
di atas permukaan laut. Puskesmas Pengasinan memiliki wilayah kerja
sebanyak dua kelurahan yaitu Pengasinan dan Sepanjang Jaya, dengan luas
wilayah masing-masing 2,72 km2 dan 2,94 km
2. Puskesmas Pengasinan
secara geografis terletak di Kelurahan Pengasinan.
Kelurahan Pengasinan meliputi wilayah lingkungan perumahan dan
perkampungan warga, sedangkan Kelurahan Sepanjang Jaya didominasi
dengan lingkungan perumahan dengan status sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Kelurahan Pengasinan. Berikut ialah peta wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan:
47
Gambar 5.1
Peta Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
5.1.2 Kependudukan
Wilayah kerja Puskesmas Pengasinan memiliki luas cakupan pelayanan
berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk yang ada di Kelurahan
Pengasinan dan Sepanjang Jaya. Berikut adalah jumlah penduduk dan luas
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan:
Tabel 5.1
Jumlah Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
Tahun 2011-2013
Kelurahan Luas
(Km2)
2011 2012 2013
Jum.
Penduduk
Kepadatan
(Jiwa/ Km2)
Jum.
Penduduk
Kepadatan
(Jiwa/ Km2)
Jum.
Penduduk
Kepadatan
(Jiwa/ Km2)
Pengasinan 2,72 52311 19231,99 52410 19268,38 52326 19237,50
Sepanjang Jaya 2,94 33589 11424,83 32428 11029,93 32182 10946,26
Total 5,66 85900 15176,68 84838 14989,05 84508 14930,74
Sumber: Data Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya
Keterangan:
Puskesmas
48
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa kepadatan penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan setiap tahunnya mengalami perubahan. Selama tahun
2011-2013 kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena di Kelurahan Sepanjang Jaya
dan Pengasinan mengalami mutasi penduduk keluar dengan jumlah lebih besar
daripada pendatang. Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa
kepadatan penduduk kelurahan Pengasinan lebih tinggi dari pada Kelurahan
Sepanjang Jaya setiap tahunnya. Adapun jumlah penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan menurut jenis kelamin dan kelompok umur dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Tabel 5.2
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di
Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013
Keterangan Tahun
Jenis Kelamin 2011 2012 2013
Perempuan 42558 41874 41873
Laki- laki 43342 42964 42635
Total 85900 84838 84508
Kelompok Umur
0-4 5555 5471 5556
.5-14 13614 13472 13506
15-24 15161 14959 15048
25-49 40038 39663 39452
> 50 11532 11273 10946
Total 85900 84838 84508
Sumber: Data Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari tahun 2011-2013 jumlah
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berjenis kelamin laki-laki lebih
tinggi dari pada perempuan. Adapun jumlah penduduk menurut kelompok umur
tahun 2011-2013 di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan paling banyak berada
49
pada kelompok umur 25-49 tahun di antara kelompok umur lainnya, sedangkan
kelompok umur 0-4 tahun merupakan kelompok umur dengan jumlah paling
rendah di antara kelompok umur lainnya.
5.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
5.2.1 Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD
Morbiditas dan mortalitas kejadian DBD dapat diketahui melalui
jumlah kasus kejadian DBD serta jumlah meninggal akibat DBD. Jumlah
kejadian DBD dan meninggal akibat DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan selama tahun 2011-2013 ialah sebagai berikut:
Tabel 5.3
Morbiditas dan Mortalitas DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2011-2013
Kelurahan
Tahun
2011 2012 2013
K IR M CFR K IR M CFR K IR M CFR
Pengasinan 39 74,55 1 2,56 20 38,16 1 5 94 179,64 0 0
Sepanjang Jaya 7 20,84 1 14,28 20 61,68 1 5 36 111,86 0 0
Total 46 53,55 2 4,34 40 47,15 2 5 130 153,83 0 0
Sumber: Data Puskesmas Pengasinan (kejadian dan meninggal), Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang
Jaya (jumlah penduduk) , Keterangan: K= Kasus, M= Meninggal, IR= Incidens Rate per 100.000
penduduk, CFR= Case Fatality Rate (%)
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa angka kejadian DBD pada
populasi penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan (IR DBD) dan
kematian terhadap kasus DBD (CFR DBD) dari tahun 2011-2013
mengalami perubahan. Pada tahun 2012-2013 terjadi peningkatan angka
kejadian DBD pada populasi penduduk sebesar tiga kali lipat, sedangkan
50
pada tahun 2011-2012 terjadi peningkatan angka kematian terhadap kasus
DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.
Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan pada tahun 2011, diketahui
bahwa Kelurahan Pengasinan memiliki angka IR DBD lebih tinggi daripada
Kelurahan Sepanjang Jaya. Adapun IR DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan tahun 2011 berada di atas indikator IR nasional DBD tahun
2011 (54 per 100.000 penduduk). CFR DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan juga berada di atas CFR nasional (2%).
Pada tahun 2012 diketahui bahwa IR DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan tahun 2012 berada di bawah IR nasional DBD. Akan tetapi,
CFR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan mengalami peningkatan
dan berada di atas CFR nasional.
Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan pada tahun 2013, diketahui
bahwa Kelurahan Pengasinan memiliki IR DBD lebih tinggi daripada
Kelurahan Sepanjang Jaya. Adapun IR DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan tahun 2013 mengalami peningkatan dan berada jauh di atas IR
nasional DBD, akan tetapi tidak ada kejadian meninggal akibat DBD.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 dapat
digambarkan sebagai berikut:
51
Gambar 5.2
Peta Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-
2013
Berdasarkan gambar 5.2 diketahui bahwa kejadian DBD dapat
disimbolkan dengan titik pada peta. Kejadian DBD tahun 2013 lebih
banyak dibandingkan kejadian DBD pada tahun 2011 dan 2012. Jika dilihat
berdasarkan wilayah kelurahan sepanjang tahun 2011-2013, diketahui
bahwa Kelurahan Pengasinan lebih banyak memiliki titik kejadian DBD
dibandingkan Kelurahan Sepanjang Jaya.
5.2.2 Pola Penyebaran Kejadian DBD
Pola penyebaran kejadian DBD diketahui dengan menghitung indeks
jarak tetangga terdekat atau Neaesrt Neighbour Index (NNI) serta convex
Keterangan:
Kejadian DBD
th.2011
Kejadian DBD
th.2012
Kejadian DBD
th.2013
Meninggal
Puskesmas
52
hulls yang didapat melalui software Quantum GIS dan didapatkan hasil
sebagai berikut:
Tabel 5.4
Analisis Pola Penyebaran
Parameter Tahun
2011 2012 2013
Luas wilayah (Ha) 509,838 535,316 570,863
Jumlah titik kasus 46 40 130
NNI 0,86 0,78 0,64
Pola sebaran Clustered Clustered Clustered
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa, nilai NNI kejadian DBD dari
tahun 2011-2013 mengalami penurunan dan diikuti dengan peningkatan
jumlah kasus DBD. Nilai NNI kejadian DBD dari tahun 2011-2013 berada
di bawah angka 1 yang artinya pola penyebaran kejadian DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan tahun 2011-2013 berpola mengelompok.
Penurunan nilai NNI dari tahun 2011-2013 menandakan bahwa jarak rata-
rata antara kasus DBD dari satu wilayah ke wilayah lainnya semakin dekat.
Di samping itu, luas wilayah kejadian DBD selama tahun 2011-2013
juga semakin bertambah. Pertambahan luas wilayah selama tahun 2011-
2013 menandakan bahwa wilayah penyebaran DBD semakin meluas.
Pola penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
juga dapat digambarkan berdasarkan tahun kejadian melalui peta
penyebaran kejadian DBD sebagai berikut
53
Gambar 5.3
Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
Tahun 2011
Berdasarkan gambar 5.3 diketahui bahwa kejadian DBD tahun 2011
disimbolkan dengan titik berwarna biru pada peta, sedangkan kejadian
meninggal akibat DBD disimbolkan dengan titik warna merah. Jika dilihat
berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa titik kejadian DBD di
kelurahan Pengasinan lebih banyak dari pada Kelurahan Sepanjang Jaya.
Terdapat 1 kejadian meninggal di Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang
Jaya. Sebagaimana analisis NNI yang telah dilakukan terhadap titik kejadian
DBD, didapatkan hasil bahwa pola penyebaran kejadian DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2011 memiliki nilai NNI sebesar
Keterangan:
Kejadian DBD
Meninggal
Puskesmas
54
0,86 yang artinya pola penyebaran DBD di atas berpola berkelompok
(clustered).
Gambar 5.4
Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
Tahun 2012
Berdasarkan gambar 5.4 diketahui bahwa kejadian DBD tahun 2012
disimbolkan dengan titik berwarna hitam pada peta. Jika dilihat berdasarkan
wilayah kelurahan, diketahui bahwa jumlah titik hitam di wilayah
Kelurahan Pengasinan sama dengan Kelurahan Sepanjang Jaya. Terdapat 1
kejadian meninggal di Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya. Ada titik
kejadian DBD yang posisinya dekat dengan Puskesmas Pengasinan.
Sebagaimana analisis NNI yang telah dilakukan terhadap titik kejadian
DBD, didapatkan hasil bahwa pola penyebaran kejadian DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2012 memiliki nilai NNI sebesar
Keterangan:
Kejadian DBD
Meninggal
Puskesmas
55
0,77 yang artinya pola penyebaran DBD di atas berpola berkelompok
(clustered).
Gambar 5.5
Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
Tahun 2013
Berdasarkan gambar 5.5 diketahui bahwa kejadian DBD tahun 2013 di
wilayah Kelurahan Pengasinan disimbolkan dengan titik berwarna kuning
pada peta. Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa titik
kejadian DBD lebih banyak terdapat di Kelurahan Pengasinan dari pada
Kelurahan Sepanjang Jaya. Ada titik kejadian DBD yang posisinya dekat
dengan Puskesmas Pengasinan. Sebagaimana analisis NNI yang telah
dilakukan dari titik kejadian DBD, didapatkan hasil bahwa pola penyebaran
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2013
Keterangan:
Kejadian DBD
Puskesmas
56
memiliki nilai NNI sebesar 0,64 yang artinya pola penyebaran DBD di atas
berpola berkelompok (clustered).
Pertambahan luas penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan selama tahun 2011-2013 juga dapat digambarkan
seperti peta di bawah ini:
Gambar 5.6
Polygon Peta Penyebaran Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2011-2013 Melalui Analisis Convex Hulls
a b
c
Keterangann: a= Luas penyebaran kejadian DBD tahun 2011, b= Luas penyebaran kejadian
DBD tahun 2012, c= Luas penyebaran DBD tahun 2013, *peta diperkecil hingga 45%
57
Berdasarkan gambar 5.6 dapat diketahui bahwa luas penyebaran
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-
2013 semakin bertambah. Menurut analisis convex hulls diketahui bahwa
luas penyebaran kejadian DBD paling luas ialah pada tahun 2013 seluas
570,863 Ha, kemudian tahun 2012 seluas 535,516 Ha dan tahun 2011 seluas
509,838 Ha. Artinya luas penyebarannya meningkat dari tahun ke tahun.
5.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan
Kelompok Umur
Jumlah kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
menurut jenis kelamin dan kelompok umur dapat disajikan dalam tabel di
bawah ini:
Tabel 5.5
Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Tahun
2011-2013
Variabel
Tahun
2011 2012 2013
n % IR n % IR n % IR
Jenis Kelamin
Perempuan 25 54,34 58,74 21 52,5 50,15 56 43,07 133,74
Laki – laki 21 45,65 48,45 19 47,5 44,22 74 56,92 173,57
Total 46 100 53,55 40 100 47,15 130 100 153,83
Kelompok Umur
0-4 tahun 2 4,34 36 3 7,5 54,8 12 9,23 215,9
5-14 tahun 13 28,26 95,4 14 35 103,9 34 26,15 251,7
15-24 tahun 12 26,08 79,1 10 25 66,8 39 30 259,1
25-49 tahun 16 34,78 39,9 8 20 20,1 32 24,61 81,1
> 50 tahun 3 6,52 26 5 12,5 44,3 13 10 118,7
Total 46 100 53,5 40 100 47,1 130 100 153,8 Sumber: Data Puskesmas Pengasinan , Keterangan: IR= Incidens Rate per 100.000 penduduk
58
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa pada tahun 2011-2012 penyakit
DBD paling banyak diderita oleh perempuan, sedangkan pada tahun 2013
paling banyak diderita oleh laki-laki. Sedangkan kejadian DBD pada setiap
kelompok umur selalu mengalami perubahan. Angka IR DBD paling tinggi
terjadi pada kelompok umur 5-14 pada tahun 2011-2012 dan kelompok
umur 15-24 tahun pada tahun 2013. Ada peningkatan IR DBD pada
kelompok umur 0-4 tahun di tahun 2013.
5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk
dan Kepadatan Jentik Vektor
Jumlah kepadatan jentik vektor dapat dilihat melalui rata- rata nilai
Angka Bebas Jentik (ABJ). Suatu wilayah memiliki kepadatan jentik vektor
tinggi apabila memiliki nilai ABJ di bawah 95%. Adapun jumlah kejadian
DBD berdasarkan kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan ialah sebagai berikut:
Tabel 5.6
Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan
Kepadatan Jentik Vektor Melalui ABJ di Wilayah Kerja
Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013
Kelurahan
2011 2012 2013
IR DBD Kepadatan
Penduduk ABJ IR DBD Kepadatan
Penduduk ABJ IR DBD Kepadatan
Penduduk ABJ
Pengasinan 74,55 19231,99 94 38,16 19268,38 96,25 179,64 19237,50 95,75
Sepanjang
Jaya 20,84 11424,83 95,38 61,68 11029,93 97,25 111,86 10946,26 96,5
Total 53,55 15176,68 94,69 47,15 14989,05 96,75 153,83 14852,83 96,13
Sumber: Data Puskesmas Pengasinan, Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya , Keterangan:
IR= Incidens Rate per 100.000 penduduk , Kepadatan Penduduk dalam Jiwa/ Km2
59
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa pada tahun 2011-2013 kejadian
DBD pada populasi penduduk (IR DBD) di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan mengalami peningkatan, tingkat kepadatan penduduk
mengalami penurunan dan nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan cenderung mengalami peningkatan atau kepadatan jentik vektor
menurun.
Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa pada tahun
2011 dan 2013 IR DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan
kepadatan penduduk paling tinggi serta nilai ABJ paling rendah atau
kepadatan jentik vektor tinggi yakni Kelurahan Pengasinan. Sedangkan pada
tahun 2012 IR DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan kepadatan
penduduk yang paling rendah serta wilayah dengan nilai ABJ paling tinggi
atau kepadatan jentik vektor rendah yakni Kelurahan Sepanjang Jaya.
Diketahui bahwa nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari
tahun 2011-2013 mengalami perubahan. Pada tahun 2011, kepadatan jentik
vektor di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tinggi karena nilai ABJ di
bawah 95%, sedangkan pada tahun 2012-2013 kepadatan jentik vektor
rendah karena nilai ABJ berada di atas 95%. Dan diketahui dari tahun
2011-2013 nilai ABJ Kelurahan Sepanjang Jaya lebih tinggi dibandingkan
Kelurahan Pengasinan.
60
5.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan
Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus
Penyelidikan epidemiologi dilakukan sebagai upaya penanggulangan
DBD. Penyelidikan epidemiologi dilakukan oleh petugas Puskesmas
berasarkan kasus DBD yang berhasil terlaporkan. Penyelidikan
epidemiologi dilakukan untuk mencegah KLB.
Fogging fokus merupakan kegiatan penyemprotan insektisida di
wilayah yang terdapat penderita DBD. Jumlah fogging fokus DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan didapatkan dari pelaksanaan fogging
fokus terhadap kejadian DBD yang berhasil diselidiki melalui
penyelidikan epidemiologi.
Adapun jumlah kejadian DBD berdasarkan penyelidikan
epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas selama
tahun 2011-2013 adalah sebagai berikut:
Tabel 5.7
Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan Epidemiologi
(PE) DBD dan Fogging Fokus di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2011-2013
Kelurahan
2011 2012 2013
Kejadian
DBD PE (%) FF (%)
Kejadian
DBD PE (%) FF (%)
Kejadian
DBD PE (%) FF (%)
Pengasinan 39 5 (71,4) 1 (50) 20 16 (61,5) 4 (100) 94 72 (78,3) 8 (100)
Sepanjang
Jaya 7 2 (28,6) 1 (50) 20 10 (38,5) 0 36 20 (21,7) 0 (0)
Total 46 7 (100) 2 (100) 40 26 (100) 4 (100) 139 92 (100) 8 (100)
Sumber: Data Puskesmas Pengasinan , Keterangan: PE = Penyelidikan Epidemiologi FF=
Fogging Fokus
Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa jumlah penyelidikan
epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas
61
Pengasinan selama tahun 2011-2013 mengalami peningkatan. Jika dilihat
berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa dari tahun 2011-2013
jumlah penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling banyak
dilakukan di Kelurahan Pengasinan. Dari tahun 2011-2013 kejadian DBD
paling tinggi terjadi pada wilayah dengan penyelidikan epidemiologi DBD
dan fogging fokus paling tinggi.
62
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder untuk variabel kejadian DBD,
populasi penduduk, ABJ, penyelidikan epidemiologi dan fogging fokus. Pada
penelitian ini tidak semua data tentang kejadian DBD dapat dianalisis karena
terdapat data dengan alamat tidak jelas. Hal ini terjadi karena 14 pasien tidak
memberikan alamat yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengolahan data dilakukan
hanya dari data sekunder yang tersedia, sehingga ada peluang penderita yang tidak
teridentifikasi sebagai kasus DBD.
6.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan
Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi yang banyak ditemukan di daerah
tropis. Penyakit DBD sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan
mengakibatkan kematian pada masyarakat. Penyakit DBD termasuk penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue mengakibatkan
spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau Dengue Shock
Syndrome (DSS) (Chandra, 2010).
Permasalahan penyakit DBD di suatu wilayah dapat diketahui dengan melihat
jumlah kejadian DBD serta jumlah meninggal akibat DBD. Sedangkan angka
kejadian DBD di suatu wilayah dapat dilihat dari angka Incidence Rate (IR) dan
63
angka kematian terhadap kasus DBD di wilayah tersebut dilihat dari Case Fatality
Rate (CFR) DBD.
Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa IR DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berada di atas angka IR nasional pada tahun
2011 dan 2013. Dan angka CFR DBD berada di atas CFR nasional pada tahun
2011-2012 (tabel 5.4).
IR dan CFR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berada di atas
angka IR dan CFR nasional tidaklah terlepas dari permasalahan DBD yang tidak
kunjung selesai khususnya di Kota Bekasi. Pada tahun 2013 angka kejadian DBD
di Kota Bekasi telah melewati indikator nasional yaitu sebesar 52 per 100.000
penduduk dan seluruh wilayah di Kota Bekasi menjadi endemis DBD (Dinas
Kesehatan Kota Bekasi, 2013).
Kondisi lingkungan geografis di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota
Bekasi juga sangat mendukung berkembangbiaknya virus DBD sehingga kejadian
DBD tinggi. Kondisi lingkungan wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dengan
banyak komplek perumahan penduduk yang biasanya memiliki pekarangan rumah
atau tempat penampungan air dapat berisiko untuk menjadi sumber penularan
DBD. Hal ini disebabkan karena banyaknya tempat yang mudah menjadi sarang
nyamuk, seperti pekarangan rumah, tempat penampungan air dan kaleng-kaleng
kosong yang dibuang sembarangan, serta tempat minum burung atau tatakan pot
bunga yang kurang pengontrolan kebersihannya. Sebagaimana Achmadi (2011)
menyebutkan bahwa larva nyamuk penular DBD dapat ditemukan di air bersih,
64
wadah yang dibuat oleh manusia seperti ban, kaleng, tangki air hujan, tong air,
vas dan botol-botol.
6.2.1 Pola Penyebaran Kejadian DBD
Penyakit DBD dapat ditularkan oleh nyamuk di wilayah dengan
karakteristik tertentu. Spesies nyamuk penular DBD dapat ditemukan di
wilayah dengan ketinggian tidak lebih dari 1000 m di atas permukaan laut
(WHO dan Depkes RI, 2003). Sebagaimana penelitian yang telah
dilakukan, diketahui bahwa wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota
Bekasi berada pada ketinggian 19 m di atas permukaan laut, hal tersebut
menandakan bahwa spesies nyamuk penular DBD dapat hidup dan
berkembangbiak dengan baik. Dengan demikian, Kota Bekasi termasuk
daerah yang rawan berjangkitnya penyakit DBD.
Sesungguhnya penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan dapat dicegah agar tidak menyebabkan KLB melalui kegiatan
penanggulangan. Penanggulangan penyakit DBD bisa dilakukan secara
efektif, apabila dilakukan sesuai kejadian di lapangan seperti pemetaan
penyakit.
Menurut Achmadi (2005) pemetaan penyakit bisa memberikan
informasi geografis yang cukup kompleks tentang kejadian penyakit,
sedangkan menurut Lai et al (2009) pemetaan penyakit dapat memberikan
informasi penyakit berdasarkan fenomena geografis. Sebagaimana
penelitian oleh Widyawati et al (2011) dengan pemanfaatan analisis
65
spasial di Kelurahan Pademangan Barat, diketahui tampilan titik sebaran
kejadian DBD dapat menggambarkan kejadian DBD secara geografis di
lapangan. Sebaran kejadian DBD dapat diidentifikasi dengan karakteristik
keadan geografis di sekitar titik kejadian.
Pemetaan penyakit dapat dimanfaatkan untuk menyusun langkah
penanggulangan DBD dengan menerapkan teknik analisis spasial (Nucklos
et al, 2004). Pemanfaatan teknik analisis spasial dapat memberikan
informasi mengenai lokasi penyebaran kejadian DBD dan pola penyebaran
yang sesungguhnya melalui tampilan muka bumi. Sebagaimana penelitian
oleh Rasidi et al (2014) dengan analisis spasial diketahui bahwa kejadian
DBD selama tahun 2003-2009 dengan jumlah kejadian sebesar 6076 kasus
di Kecamatan Seremban Malaysia dapat memperlihatkan pola penyebaran
kasus DBD yang membentuk kelompok (clustered).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa
penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dapat
digambarkan melalui titik sebaran berdasarkan lokasi geografis di
lapangan. Sebagaimana hasil yang telah didapatkan, diketahui bahwa
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2013
terlihat lebih banyak dibandingkan tahun 2011 dan 2012 (gambar 5.2).
Dan berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 paling banyak
berada di Kelurahan Pengasinan serta terdapat titik kejadian DBD berada
dekat dengan lokasi Puskesmas Pengasinan pada tahun 2012-2013.
66
Hasil penelitian secara analisis spasial telah menunjukkan bahwa
pola penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
dari tahun 2011-2013 berpola mengelompok (clustered) dengan nilai NNI
yang mengecil, yakni sebesar 0,86 (gambar 5.3) tahun 2011, 0,77 (gambar
5.4) tahun 2012 dan 0,64 (gambar 5.5) tahun 2013. Di samping itu, luas
area penyebaran kejadian DBD selama tahun 2011-2013 juga semakin
meluas (gambar 5.6).
Apabila di suatu wilayah memiliki pola penyakit berkelompok dan
jarak yang berdekatan secara geografis, hal tersebut dapat menandakan
probabilitas faktor hubungan sebab akibat terhadap kejadian DBD semakin
bertambah (Timmreck, 2005). Nilai NNI kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan yang mengalami penurunan tahun 2011-2013,
memiliki arti bahwa jarak antara penderita DBD yang satu dengan yang
lainnya semakin berdekatan dan menandakan bahwa probabilitas faktor
hubungan sebab akibat semakin tahun juga semakin bertambah, sehingga
perlu adanya analisis untuk mencari sumber penyakit DBD khususnya
terkait faktor individu.
Pertambahan luas area penyebaran kejadian DBD menandakan
bahwa wilayah risiko penularan penyakit DBD semakin meluas. Informasi
tentang luas wilayah penularan DBD dapat digunakan petugas Puskesmas
untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan melalui kegiatan
penanggulangan DBD. Kegiatan penanggulangan DBD yang dapat
67
dilakukan antara lain Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD.
Pola penyebaran kejadian DBD yang telah diketahui melalui
analisis spasial dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan KLB DBD
dengan cara melakukan penyelidikan yang mengarah pada sumber yang
ditemukan (Davis et al,2014). Informasi mengenai pola penyebaran
kejadian DBD sebenarnya juga dapat digunakan untuk menyusun strategi
intervensi program kesehatan (Aziz et al, 2012). Pola penyakit DBD yang
berkelompok di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan sebenarnya dapat
mempermudah petugas Puskesmas untuk melakukan intervensi program
kesehatan dibanding pola menyebar.
Analisis spasial lebih lanjut seperti perbandingan wilayah secara
lebih luas ke depannya sangatlah dibutuhkan, sehingga dapat mengetahui
wilayah mana yang lebih berkelompok pola penyebaran DBD di
bandingkan wilayah lain. Oleh karena itu diperlukan analisis tentang
perbandingan pola penyebaran antar wilayah yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan dan wilayah kerja Puskesmas lainnya yang berada
di Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi.
6.2.2 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan
Kelompok Umur
Penyakit DBD merupakan penyakit yang dapat ditularkan oleh
nyamuk ke manusia (WHO, 2004). Penyakit DBD dapat diderita oleh
68
setiap orang. Kecenderungan kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin
hampir sama (Kemenkes RI, 2010).
Penyakit DBD dapat diderita oleh siapa saja baik muda maupun tua,
anak anak atau orang dewasa, laki-laki juga wanita. Akan tetapi selama
satu dekade terakhir, penyakit DBD cenderung mengalami kenaikan
proporsi pada kelompok umur dewasa di bandingkan usia 5-14 tahun
(Kemenkes RI, 2014).
Beberapa hasil penelitian lain menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara jenis kelamin dan kelompok umur dengan kejadian DBD
sebagaimana penelitian oleh Dardjito et al (2008) menyatakan bahwa ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD dengan OR sebesar
4,896. Sedangkan berdasarkan penelitian oleh Subagia et al (2012) di
Denpasar, diketahui bahwa laki-laki berpotensi terkena kejadian DBD
dibanding perempuan dengan OR sebesar 1,878. Laki-laki memiliki risiko
lebih besar dibandingkan perempuan karena laki-laki lebih banyak
beraktifitas.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Dardjito et al (2008) di
Kabupaten Banyumas, diketahui bahwa kelompok umur <12 tahun
memiliki risiko lebih tinggi kejadian DBD dibandingkan kelompok umur
lainnya dengan nilai OR sebesar 19,056. Sedangkan penelitian oleh Daud
(2005), proporsi kejadian DBD paling banyak di Kota Palu sebesar 46,6%
berada pada kelompok umur <15 tahun sebagai kelompok umur anak usia
sekolah.
69
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa
penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dapat diderita oleh
laki-laki maupun perempuan (tabel 5.5). Pada tahun 2011-2012 penyakit
DBD paling banyak diderita oleh perempuan, sedangkan pada tahun 2013
penyakit DBD paling banyak diderita oleh laki-laki.
Diketahui bahwa jumlah kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan berdasarkan kelompok umur selalu mengalami perubahan dari
tahun 2011-2013 (tabel 5.5). Jumlah kejadian DBD paling banyak tidak
selalu diikuti oleh angka Incidence Rate (IR) DBD paling tinggi. Hal ini
dikarenakan angka IR DBD dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang ada
di setiap wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.
Pada tahun 2011-2012 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan paling banyak berada pada kelompok umur 5-14 tahun yang
merupakan kelompok umur anak usia sekolah. Anak usia sekolah dapat
tertular DBD baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pagi hari
anak sekolah beraktifitas di lingkungan sekolah, sedangkan pada sore hari
mereka berada di rumah. Pola ini sesuai dengan kebiasaan nyamuk penular
DBD menggigit manusia.
Diketahui juga bahwa pola penyebaran DBD di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan memiliki pola berkelompok. Hal tersebut dapat
menandakan bahwa adanya penularan DBD yang bersumber pada satu
wilayah seperti sekolah. Di samping itu, berdasarkan pengamatan yang
telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan terdapat fasilitas
70
pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
Oleh karena itu dibutuhkan analisis lebih lanjut seperti distance index
untuk membuktika adanya korelasi penularan DBD dengan tempat potensi
sumber penular DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.
Tindakan penanggulangan DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan sebenarnya dapat dilakukan secara efektif melalui kegiatan
pencegahan kepada anak usia sekolah. Hal tersebut dapat dilakukan
melalui kegiatan kader jumantik cilik atau kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) DBD di lingkungan sekolah. Namun demikian, diketahui
bahwa kegiatan tersebut belum dilakukan di sekolah-sekolah yang berada
pada wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.
Pada tahun 2013 telah terjadi perubahan yakni IR DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan paling banyak diderita oleh kelompok umur
15-24 tahun. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi
diketahui bahwa kejadian DBD di Kota Bekasi tahun 2013 paling banyak
diderita oleh laki-laki dan kelompok umur di atas 15 tahun. Hal tersebut
sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan di Puskesmas Pengasinan
Kota Bekasi.
Kejadian DBD pada kelompok umur dewasa dapat diakibatkan karena
aktivitas luar dan perilaku mobilisasi. Oleh karena itu dibutuhkan analisis
lebih lanjut tentang aktivitas dan perilaku mobilisasi penduduk di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan.
71
Pada tahun 2013 juga diketahui adanya perubahan peningkatan IR
DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan yakni pada kelompok umur
0-4 tahun atau usia balita. Hal ini dapat memungkinkan adanya penularan
setempat dikarenakan usia balita tidak melakukan kegiatan mobilisasi
seperti anak usia sekolah atau dewasa. Sehingga dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap
penularan kejadian DBD di Puskesmas Pengasinan.
6.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan
Penduduk dan Kepadatan Jentik Vektor
Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang dapat ditangani
dengan manajemen penyakit berbasis wilayah (Achmadi, 2005).
Penanganan penyakit DBD yang berbasis wilayah dapat ditinjau dari segi
lingkungan sosial seperti arus urbanisasi penduduk yang dapat
menimbulkan kepadatan penduduk.
Kepadatan penduduk di suatu wilayah bisa berdampak pada
penyebaran penyakit DBD (Daud, 2005). Penyakit DBD ditularkan
melalui vektor nyamuk yang mempunyai daya terbang hingga jarak 100
meter (WHO, 2003). Oleh karena itu, wilayah dengan kepadatan penduduk
yang tinggi menandakan risiko penularan melalui nyamuk harus
diwaspadai, karena kemampuan daya terbang nyamuk yang cukup dekat.
Kepadatan penduduk dapat mempengaruhi kejadian DBD
sebagaimana penelitian oleh Daud (2005) dengan sampel berjumlah 545
kejadian DBD dari 12 Kelurahan di Kecamatan Palu Selatan,
72
menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan antara kepadatan penduduk
dengan kejadian DBD (p = 0,0049). Penelitian oleh Astuti (2009) dengan
sampel berjumlah 1571 kejadian DBD dari 11 Kelurahan di Kecamatan
Tambora menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan penduduk
dengan kejadian DBD (p =0,002, r=0,516). Penelitian oleh Hairani (2009)
dengan sampel berjumlah 2133 kejadian DBD dari 13 Kelurahan di
Kecamatan Cimanggis Depok didapatkan hasil bahwa ada hubungan
antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD (p=0,026, r=0,309).
Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa pada
tahun 2012-2013 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
mengalami peningkatan, akan tetapi kepadatan penduduk mengalami
penurunan (tabel 5.6). Peningkatan IR DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan dipengaruhi oleh jumlah kasus DBD yang meningkat dan
jumlah penduduk yang semakin menurun. Jika dilihat berdasarkan
Kelurahan, selama tahun 2011-2013 kejadian DBD paling banyak terjadi
di Kelurahan Pengasinan.
Banyaknya kejadian DBD yang berada di Kelurahan Pengasinan
selama tahun 2011-2013 berkaitan dengan jumlah kejadian DBD yang
setiap tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan Kelurahan Sepanjang
jaya. Jumlah DBD di Kelurahan Sepanjang Jaya yang lebih rendah
dibandingkan Pengasinan berkaitan dengan jumlah penduduk di Kelurahan
Sepanjang jaya yang memang lebih rendah dibandingkan Kelurahan
Pengasinan. Di samping itu, wilayah Kelurahan Sepanjang Jaya
73
didominasi dengan wilayah perumahan dengan status sosial lebih tinggi
sehingga ada kemungkinan penderita DBD berobat ke Rumah Sakit di luar
Kota Bekasi dan tidak tercatat di Dinas Kesehatan Kota Bekasi maupun
Puskesmas Pengasinan.
Penurunan tingkat kepadatan penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan selama tahun 2011-2013 terjadi karena penduduk
di Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya mengalami mutasi
penduduk keluar dengan jumlah lebih besar daripada pendatang. Adapun
peningkatan kejadian DBD dapat terjadi dikarenakan oleh hal lain seperti
penanganan masalah DBD yang belum efektif dari tahun ke tahun,
sehingga kepadatan penduduk menurun namun jumlah kejadian DBD
justru meningkat.
Penyebaran penyakit DBD tidak hanya dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk melainkan juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan jentik vektor
penular DBD. DBD dapat ditularkan oleh vektor jenis tertentu, seperti
Aedes Aegypti (WHO, 2003). Keberadaan vektor penular DBD dapat
diidentifikasi dari kepadatan jentik vektor, karena siklus perkembangan
nyamuk penular DBD tidak membutuhkan waktu yang lama. Jentik vektor
DBD dapat ditemukan pada tempat yang berpotensi untuk
perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti seperti genangan air pada
pekarangan rumah dan tempat penampungan air, kaleng-kaleng bekas,
tatakan pot dan lain sebagainya.
74
Penanggulangan DBD sebenarnya dapat dilakukan melalui
pengendalian vektor dengan mengidentifikasi keberadaan jentik vektor.
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Erliyanti (2008) di Kota
Metro diketahui bahwa keberadaan jentik vektor memiliki hubungan
dengan kejadian DBD (p=0,000, OR=9,796, CI=4,304-22,299).
Kepadatan jentik vektor di suatu wilayah dapat dilihat dari rata-rata
nilai ABJ yang dihasilkan melalui kegiatan PJB. PJB oleh petugas
Puskesmas. Kepadatan jentik vektor yang tinggi ditandai oleh nilai ABJ
yang rendah yakni < 95 %. Sedangkan kepadatan jentik vektor yang
rendah ditandai oleh nilai ABJ yang tinggi yakni > 95 % (Kemenkes RI,
2011).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa secara
deskriptif menunjukan bahwa kejadian DBD terjadi pada wilayah dengan
kepadatan vektor tinggi (tabel 5.6). Pada tahun 2011-2013 IR DBD dan
nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan cenderung mengalami
peningkatan.
Pada tahun 2012-2013 nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan sudah di atas 95 %. IR DBD paling tinggi dapat terjadi pada
wilayah dengan ABJ paling rendah (tabel 5.6). Penelitian spasial yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa pola penyebaran DBD di wilayah
kerja Puskesmas Pengasinan berpola mengelompok dari tahun 2011-2013.
Pola penyebaran yang mengelompok merupakan indikator bahwa ada
75
konsentrasi habitat vektor, sehingga berpotensi terjadi penularan setempat
(Boewono et Al, 2012).
Angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan masih
tinggi walaupun kepadatan jentik vektor rendah, itu dapat terjadi karena
beberapa hal seperti pelaksanaan PJB dalam mengidentifikasi kepadatan
jentik vektor. PJB yang selama ini dilakukan oleh petugas Puskesmas
tidak dilakukan pada seluruh rumah atau tempat-tempat umum yang
memiliki kejadian DBD paling tinggi dan bisa saja jentik yang ditemukan
bukan merupakan jentik vektor penular DBD.
Melalui pemanfaatan informasi dari hasil analisis spasial kejadian
DBD, Puskesmas Pengasinan dan pihak Kelurahan diharapkan dapat
mengaktifkan kembali peran Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal)
DBD melalui kegiatan kader jumantik di setiap RW yang ada, khususnya
wilayah dengan kejadian DBD paling banyak. Hal tersebut dapat
membantu petugas untuk melaksanakan kegiatan PJB, sehingga data PJB
yang ditemukan dapat mewakili seluruh wilayah yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan.
Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menganalisis lebih lanjut
antara kemampuan daya terbang vektor melalui pengamatan terhadap
tempat perindukan vektor. DBD dengan kejadian DBD yang terjadi.
Analisis tersebut dapat dilakukan dengan analisis distance index. Analisis
distance index dapat mengukur jarak kejadian DBD dengan tempat
perindukan vektor. Analisis distance index diharapkan dapat memberikan
76
informasi adanya hubungan antara pola penyebaran DBD yang
berkelompok dengan kemampuan daya terbang vektor DBD. Pada
penelitian ini tidak dilakukan analisis tersebut dikarenakan penelitian ini
berfokus pada pola penyebaran kejadian DBD bukan kejadian DBD
terhadap habitat vektor.
6.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan
Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus
Penyelidikan epidemiologi DBD merupakan kegiatan pencarian
penderita tersangka atau DBD lainnya dari penderita yang telah
terlaporkan sebelumnya. Penyelidikan epidemiologi DBD dilakukan
langsung oleh petugas Puskesmas dengan mengunjungi rumah penderita
DBD. Penemuan penderita DBD melalui penyelidikan epidemiologi
dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB DBD (Kemenkes RI, 2011a).
Tujuan dilakukan penyelidikan epidemiologi ialah untuk menentukan jenis
tindakan apa yang harus dilakukan dan luasnya cakupan wilayah untuk
dilakukan kegiatan pemberantasan DBD (Haryanti, 2010).
Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi DBD juga berkaitan dengan
pelaksanaan fogging fokus DBD. Fogging fokus merupakan cara untuk
pemberantasan nyamuk dewasa dengan melakukan pengasapan
insektisida. Fogging fokus dilakukan apabila diketahui terdapat kasus
DBD positif dari hasil penyelidikan epidemiologi DBD (Kemenkes RI,
2011a). Pelaksanaan fogging memiliki hubungan dengan kejadian DBD di
77
suatu wilayah, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh lain oleh
Hairani (2009) di Kecamatan Cimanggis Kota Depok (p=0,045).
Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa pada
tahun 2011-2013 penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus
mengalami peningkatan. Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan,
diketahui bahwa dari tahun 2011-2013 jumlah penyelidikan epidemiologi
DBD dan fogging fokus paling banyak dilakukan pada wilayah dengan
jumlah kasus DBD paling tinggi yaitu Kelurahan Pengasinan (tabel 5.7).
Kejadian DBD paling tinggi dapat terjadi pada wilayah dengan
penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling banyak dapat
berkaitan dengan adanya ketersediaan anggaran dalam program
penanggulangan DBD di Puskesmas Pengasinan. Ketersediaan anggaran
dapat diprioritaskan ke dalam program penanggulangan DBD melalui
penyelidikan epidemiologi jika kasus yang ditemukan tinggi, hal tersebut
dilakukan sebagai langkah upaya penanggulangan DBD.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan peneliti, diketahui
bahwa pelaksanaan penyelidikan epidemiologi di lapangan sebenarnya
memiliki hambatan. Semua kejadian DBD paling banyak terdata karena
datang ke Rumah Sakit, sedangkan Rumah Sakit sering mengalami
keterlambatan pelaporan ke pihak Dinas Kesehatan. Keterlambatan
pelaporan dari Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi
mengakibatkan keterlambatan penerimaan informasi kejadian DBD ke
Puskesmas Pengasinan.
78
Penyelidikan epidemiologi sering dilakukan ketika penderita telah
sembuh, sehingga kejadian DBD yang ditemukan tidak banyak. Hal
tersebut dikarenakan pemberian informasi kejadian DBD yang berasal dari
Rumah Sakit oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi ke Puskesmas Pengasinan
masih dilakukan secara manual, sehingga Puskesmas Pengasinan
mengalami keterlambatan informasi tentang kejadian DBD. Oleh karena
itu dibutuhkan peralatan atau sistem tambahan untuk mengatasi masalah
tersebut dengan cara penambahan fasilitas faksimili di setiap Puskesmas,
email atau layanan sms center agar informasi dapat langsung diterima dari
Rumah Sakit ke Puskesmas Pengasinan.
Melalui analisis spasial dapat diketahui pola penyebaran DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan yakni berpola berkelompok dari
tahun 2011-2013. Dengan memanfaatkan informasi tersebut, Puskesmas
Pengasinan juga diharapkan dapat membangun komunikasi dengan
melibatkan peran serta masyarakat dengan aksi tanggap kejadian DBD
yang bersumber dari masyarakat, sehingga tidak perlu menunggu waktu
lama tentang informasi kejadian DBD dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Puskesmas juga diharapkan dapat melakukan pencarian penderita dan
pencatatan kejadian DBD melalui surveilans aktif di wilayah kerja
Puskesmas. Jika surveilans secara aktif dilakukan maka pelaksanaan
penyelidikan epidemiologi DBD diharapkan juga dapat berjalan secara
efektif karena banyak kejadian yang ditemukan secara cepat.
79
Pelaksanaan fogging fokus juga mengalami hambatan. Fogging fokus
selama ini dilakukan dengan mengacu ada atau tidaknya kejadian DBD
yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Kegiatan fogging
fokus bisa dilakukan apabila ada laporan dari masyarakat terkait kejadian
DBD di wilayahnya, kemudian ditindak lanjuti oleh petugas Puskesmas
Pengasinan ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Selama ini fogging hanya
dilaksanakan dalam satu siklus saja karena keterbatasan anggaran, padahal
seharusnya penyemprotan dilakukan dalam 2 siklus (Depkes RI, 2008).
Penyemprotan kedua dilakukan selang 1 minggu setelah penyemprotan
pertama.
Penyemprotan dengan satu siklus mungkin hanya membunuh nyamuk
dewasa saja, tetapi tidak untuk jentik yang bisa berkembang beberapa
minggu kemudian menjadi nyamuk dewasa kembali. Oleh karena itu,
berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hasil tidak ada hubungan antara
fogging fokus dengan kejadian DBD.
Melalui analisis spasial dapat diketahui pola penyebaran DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 yaitu memiliki
pola penyebaran berkelompok. Pola penyebaran berkelompok dapat
menjadi tanda adanya fokus sumber penularan pada wilayah tertentu.
Dengan memanfaatkan informasi tersebut, maka pelaksanaan fogging
fokus yang hanya satu siklus diharapkan tetap dapat dilakukan secara
efektif, yakni dengan cara melakukan penyemprotan di wilayah yang
80
memiliki penyebaran paling berkelompok dan mengambil titik tengah di
antara semua kejadian yang ada.
Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menghitung mean center atau
titik tengah dari lokasi kasus-kasus DBD dan membandingkan kasus DBD
di setiap RW yang ada. Dalam penelitian ini tidak dilakukan hal tersebut
karena penelitian ini hanya berfokus untuk mengidentifkasi pola dan luas
penyebaran kejadian DBD.
81
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan selama bulan April-Mei 2014 maka simpulan yang didapatkan
adalah sebagai berikut :
1. Penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari
tahun 2011-2013 paling banyak berada di Kelurahan Pengasinan,
penyebaran DBD berpola berkelompok (clustered) dengan nilai NNI yang
semakin mengecil, yakni 0,86 tahun 2011, 0,78 tahun 2012, dan 0,64
tahun 2013 dan wilayah penyebarannya semakin meluas, yakni 509, 838
Ha tahun 2011, 535,316 Ha tahun 2012, dan 570,869 Ha tahun 2013.
2. Pada tahun 2011-2012 penyakit DBD paling banyak diderita oleh
perempuan dan kelompok umur 5-14 tahun, sedangkan pada tahun 2013
penyakit DBD paling banyak diderita laki-laki dan kelompok umur 15-24
tahun serta adanya peningkatan kejadian DBD pada kelompok umur 0-4
tahun.
3. Pada tahun 2011-2013 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
mengalami peningkatan, sedangkan tingkat kepadatan penduduk dan
kepadatan jentik vektor mengalami penurunan. IR DBD paling tinggi
terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk paling tinggi serta nilai
ABJ paling rendah atau kepadatan jentik vektor tinggi yakni Kelurahan
Pengasinan.
82
4. Pada tahun 2011-2013 jumlah penyelidikan epidemiologi DBD dan
fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan mengalami
peningkatan. Kejadian DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan
penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling tinggi.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Puskesmas
1. Program intervensi kesehatan dapat dilakukan di sekitar wilayah
penyebaran lokasi kejadian DBD, khususnya pada wilayah dengan
kejadian paling banyak, yakni Kelurahan Pengasinan dengan
menyesuaikan luas wilayah sebaran kejadian DBD untuk mencegah
terjadinya KLB DBD.
2. Program intervensi penanggulangan penyakit DBD lebih diprioritaskan
kepada anak sekolah seperti pembentukan kader jumantik cilik serta
PSN DBD di lingkungan sekolah dan kepada ibu rumah tangga untuk
mencegah penularan setempat di lingkungan rumah.
3. Aktifkan kembali peran serta masyarakat lewat pokjanal DBD dalam
kegiatan PJB di setiap RW untuk menjaga agar kepadatan jentik vektor
tidak tinggi.
4. Puskesmas Pengasinan dapat menambah fasilitas seperti faksmili untuk
mempermudah dan mempercepat pelaporan kejadian DBD dari Dinas
Kesehatan ke Puskesmas jika memiliki anggaran yang cukup atau jika
anggaran terbatas dapat dilakukan sistem penyebaran informasi melalui
email atau sms center.
83
5. Melakukan surveilans aktif secara rutin dan mengajak partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaanya untuk pencarian penderita DBD agar
kasus DBD yang tertangkap lebih banyak khususnya di lokasi yang
jauh dengan Puskesmas sehingga segera dilakukan penyelidikan
epidemiologi DBD.
7.2.2 Bagi Peneliti Lain
1. Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui sumber terjadinya
DBD seperti hubungan individu, perilaku dan faktor lain yang mungkin
berhubungan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan Kota Bekasi.
2. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan melalui analisis distance index
dan mean center untuk mengetahui secara lebih lanjut mengenai sebab
pola penyebaran yang terjadi.
3. Memilih unit penelitian yang lebih luas lagi seperti tingkat kecamatan
atau kota pada penelitian spasial sehingga bisa membandingkan
kejadian DBD di suatu kelompok dengan wilayah lain.
84
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, UF. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku
Kompas: Jakarta.
_____________. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Rajawali
Press: Jakarta.
Asmara. Lela. 2007. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Incidence Rate
Kasus Tersangka Demam Berdarah Dengue di Tingkat Kecamatan
Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005-2007. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Uniiversitas Indonesia. Depok.
Astuti, Dian. 2009. Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kecamatan Tambora, Jakarta Barat Tahun 2007-2009. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Aziz, S., Ngui, R., Lim, Y.A.L., Sholehah, I., Nur Farhana, J., Azizan, A.S. dan
Wan Yusoff, W.S. 2012. Spatial Pattern Of 2009 Dengue Distribution in
Kualalumpur Using GIS Application. Journal of Tropical Biomedicine
29(1): 113–120.
Boewono, D.T., Ristiyanto, Widiarti, U. Widyastuti. 2012. Distribusi Spasial
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), Analisis Indeks Jarak dan
Alternatif Pengendalian Vektor di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan
Timur. Jurnal Media Litbang Kesehatan 22 (3): 131-137.
BPS. 2012. Jawa Barat Dalam Angka. Jawa Barat: Badan Pusat Statistika.
Candra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. Jurnal Aspirator 2(2) : 110 –119.
Chin,J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Terjemahan I Nyoman
Kandun, Edisi 17. Jakarta: Kemenkes RI.
Cromley, E.K dan S. McLaffery. 2002. GIS and Public Health. New York: The
Guilford Press.
Dardjito. E, S. Yunarno, C. Wibowo, A. Saprasetya, dan H. Dwiyanti. 2008.
Beberapa Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Banyumas. Jurnal Media Litbang
Kesehatan 8 (3): 126-136.
Daud, Oslan. 2005. Studi Epidemiologi Kejadian Penyakit DBD dengan
Pendekatan Spasial Sistem Informasi Geografis di Kecamatan Palu Selatan
Kota Palu. Tesis. Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Davis, G.S, N. Sevdalis dan L.N. Drumright. 2014. Spatial and Temporal
Analyses To Investigate Infectious Disease Transmission Within
Healthcare Settings. Journal of Hospital Infection 86: 227-243.
Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) Dengan Pendekatan Komunikasi
Perubahan Perilaku. Jakarta: Dirjen PP dan PL.
85
Dinkes Kota Bekasi. 2013. Laporan Program Pemberantasan dan
Penganggulangan Penyakit Demam Dengue Berdarah Bidang
Pengendalian Masalah Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2011-2013.
Djati, A. P, B. Rahayujati, dan S. Raharto. 2012. Fsaktor Risiko Demam Berdarah
Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan, 31 Maret.
Universitas Jend. Soedirman: 1-6.
Dudiarto, E dan D. Anggareni. 2001. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Erliyanti. 2008. Hubungan Lingkungan Fisik dan Karakteristik Individu Terhadap
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Metro. Tesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia: Depok.
Faiz. N, R. Rahmawati, dan D. Safitri. 2013. Analisis Spasial Penyebaran
Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Indeks Moran Dan Geary’s C
(Studi Kasus Di Kota Semarang Tahun 2011). Jurnal Gaussian 2 (1): 69-
78.
Fatma, F. A. 2006. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Orang Tua
Terhadap Kejadian DBD pada Anak Usia Sekolah diWilayah Kerja
Puskesmas Demak I. Skripsi. Program Studi Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Febriyetti. 2010. Pola hubungan variasi cuaca yang mencakup curah hujan, suhu
udara, kelembaban, kecepatan angin, dan lama penyinaran matahari
terhadap pola kejadian DBD secara korelasi dan spasial di DKI Jakarta
tahun 2000-2009. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok.
Gerstman, B. B. 2003. Epidemiology Kept Simple: An Introduction to Classic and
Modern Epidemiology Second Edition. Canada: Wiley-Liss, Inc.
Hairani, L. K. 2009. Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Angka Insidensnya di Wilayah
Kecamatan Cimanggis Kota Depok tahun 2005-2008. Skripsi. Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Hakim, L dan J. A Kusnandar. 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur
Dengan Status Infeksi Virus Dengue. Jurnal Aspirator 4 (1): 34-45.
Harya. F, A. Fitriani dan Sudiyanto. 2013. Hubungan Pemberantasan Sarang
Nyamuk dan Sampah Padat Dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti di
Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2013. Artikel Penelitian.
Stikes Dehasen: Bengkulu.
Haryanti, E. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan
Petugas Dalam Melaksanakan Penyelidikan Epidemiologi Demam
Berdarah Dengue (DBD) Puskesmas di Kota Semarang tahun 2010.
Skripsi. Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang: Semarang.
Hasyim, H. 2009. Analisis Spasial Demam Berdarah Dengue di Provinsi Sumatera
Selatan. Jurnal Pembangunan Manusia 9 (3).
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pengendalian Demam Berdarah Untuk
Pengelola Program DBD Puskesmas. Jakarta: Dirjen PP dan PL.
86
_____________. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Topik Utama DBD Volume
2, Agustus 2010.
_____________. 2011a. Modul Pengendalian dan Pemberantasan Demam
Berdarah . Jakarta: Dirjen PP dan PL.
_____________. 2011b. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dalam Pengendalian Penyakit Arbovirus Tahun 2010.
Jakarta: Dirjen PP dan PL.
____________. 2012. Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011.
Kusnadi, B. 2010. Laporan Penyelidikan KLB Demam Chikungunya di Lombok
Timur Tahun 2010. Laporan proyek Lapangan. Program Pasca Sarjanan
(FETP) Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Lai. P.C, F.M. So dan K. W Chan. 2009. Spatial Epidemiological Approaches in
Disease Mapping and Analysis. London: CRC Press.
Lestari, K. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Indonesia. Jurnal Farmako Universitas Padjadjaran, 5 (3) .
Mangguang, M D. 2010. Analisis Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah
Dengue Melalui Pendekatan Spasial Temporal dan Hubungannya Dengan
Faktor Iklim di Kota Padang Tahun 2008-2010. Artikel penelitian Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas. Padang.
Nelli, S. 2007. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Renjatan Pada Penderita
Anak Demam Berdarah Dengue Periode Januari – Juni 2006 di RS M.
Djamil Padang. Tesis. Program Studi Biomedik Universitas Andalas:
Padang.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta: Rineka Cipta.
Nukcols. J. R, M. H. Word dan L. Jarup. 2004. Using Geographic Information
Systems for Exposure Assessment in Environmental Epidemiology
Studies. Journal of Environmental Health Perspectives 112 ( 9): 107-
105.
Palgunadi. B.U dan Rahayu. 2013. Aedes Aegypti sebagai Vektor Penyakit
Demam Berdarah Dengue. Artikel Penelitian. Universitas Wijaya Kusuma:
Surabaya.
Prahasta, E. 2009. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar (Perspektif
Geodesi dan Geomatika). Bandung: Informatika.
Prasetyowati, H dan E.P. Astuti. 2010. Serotipe Virus Dengue di Tiga
Kabupaten/Kota Dengan Tingkat Endemisitas DBD Berbeda di Propinsi
Jawa Barat. Jurnal Aspirator 2 (2): 120 –124.
Putri, M. K. 2008. Analisis Spasial Kejadian Demam Berdarah Dengue di
Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005-2007.Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia: Depok.
Rahayani, B.R. 2010. Analisis Spasial Faktor Kepadatan Penduduk, Angka Bebas
Jentik, dan Cakupan Penanggulangan Fokus Dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kota Surabaya Tahun 2006-2009. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga: Surabaya.
Rahayuningsih, S. 2012. Hubungan Antara Faktor Demografi Dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran).
Skripsi. Universitas Muhammdiyah Semarang.
87
Rasidim M.N.M, Sahani. M, Othman. H, Hot. R, Idrus. S, Ali. Z.M, Choy. E.H,
dan Rosli. M.H. 2013. Aplikasi Sistem Maklumat Geografi untuk
Pemetaan Reruang-masa: Suatu Kejadian Kes Dengi di Daerah Seremban,
Negeri Sembilan, Malaysia. Journal of Sains Malysiana 42 (8): 1073-
1080. Ratag. B, J. Prang, dam N. O Soputan. 2013. Analisis Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Pasien
Anak di Irina E. Blu RSUP Prof. DR.R.D Kandou Manado. Artikel
Penelitian. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.
Renya, N. M., S. Utama, dan T. Parwati. 2009. Kelainan Hematologi pada
Demam Berdarah Dengue. Jurnal Penyakit Dalam 10 (3): 218-225.
Roose, A. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan Dengan Kejadian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru Tahun 2008. Tesis. Program Pasca Sarjanan Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara: Medan.
Rosli, M.H., Er, A.C., Asmahani A., M. Naim M.R., dan Harsuzilawati. 2010.
Spatial Mapping of Dengue Incident: A Case Study in Hulu Langat
District, Selangor, Malaysia. International Journal of Human and Social
Sciences 5(6) : 410 - 414.
Santoso dan A. Budiyanto. 2008. Hubungan Pengetahuan Sikap & Perilaku (PSP)
Masyarakat Terhadap Vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera
Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan 7 (2): 732-739.
Subagia. K, A.A.S. Sawitri, dan D.N. Wirawan. 2013. Lingkungan Dalam Rumah,
Mobilitas, dan Riwayat Kontak Penderita Sebagai Determinan Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Denpasar Tahun 2012. Jurnal Public Health
and Preventive Medicine, 1 (1).
Suhardiono. 2005. Sebuah Analisis Faktor Risiko Perilaku Masyarakat Terhadap
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Keurahan Halvetia Tengah
Medan Tahun 2005. Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia. 1 (2); 48-65.
Sunardi. 2007. Deteksi Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD)
Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Grogol
Kabupaten Sukoharjo . Tesis. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Suyasa, I. N. G, N.A. Putra, dan I.W.R. Aryanta. (2007). Hubungan Faktor
Lingkungan dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Vektor Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.
Jurnal Ecotrophic 3 (1): 1-6. Timmreck, T. C. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar. Terjemahan: Fauziah,
Apriningsih dan Palupi. Jakarta: EGC.
WHO & Depkes RI. 2003 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit. Jakarta:
EGC
WHO. 2004. Demam Berdarah Dengue Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,
Pengendalian Edisi 2. Jakarta: EGC.
Widayani, P. 2011. Pemodelan Spasial Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Menggunakan Sistem Informasi Geografi Di Kecamatan Depok
Kabupaten Sleman Yogyakarta. Artikel Penelitian. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarat.
88
Widodo, N. P. 2012. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2012. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia:
Depok.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
Widyawati, I.F. Nitya, S Syaukat, R.P. Tambunan, dan T.E.B Soesilo. 2011
Penggunaan Sistem Informasi Geografis Efektif Memprediksi Potensi
Demam Berdarah di Kelurahan Endemik. Jurnal Makara Kesehatan 5(1):
21-30.
Wilder S. A dan Gubler D. 2008. Geographic Expansion of Dengue: the Impact
of International Travel. Journal Med Clin Nam Vol. 92:1377-90.
Wirayoga, M. A. 2013. Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue Dengan
Iklim di Kota Semarang Tahun 2006-2011. Jurnal Kesmas Universitas
Semarang 2(4): 1-9.
Yamanaka.A, K.C. Mulyatno, H. Susilowati, E. Hendrianto, A.P Ginting, dan D.
D Sary. 2011. Displacement Of The Predominant Dengue Virus From
Type 2 To Type 1 With A Subsequent Genotype Shift From IV To I In
Surabaya 2008-2010. Journal of Plos One 6(11):1-8.
Yu C.L, S. F. Wang, P. C. Pan, M. T. Wu, C. K . Ho, T. J. Smith, dan Y. Li. 2006.
Residential Exposure to Petrochemicals and The Risk Of Leukemia: Using
Geographic Information System Tools To Estimate Individual-Level
Residential Exposure. American Journal of Epidemiology Vol. 164: 200-
207.
Zainudin. 2005. Analisis Spasial Kejadian DBD di Kota Bekasi Tahun 2003.
Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
89
Lampiran 1
TABEL CHECKLIST DATA
(Telaah Dokumen)
Jenis Data Keterangan
Laporan Kejadian DBD tahun 2011
Laporan Kejadian DBD tahun 2012
Laporan Kejadian DBD tahun 2013
Laporan pelaksanaan fogging fokus tahun 2011
Laporan pelaksanaan fogging fokus tahun 2012
Laporan pelaksanaan fogging fokus tahun 2013
Laporan pelaksanaan PE tahun 2011
Laporan pelaksanaan PE tahun 2012
Laporan pelaksanaan PE tahun 2013
Laporan data ABJ per kelurahan tahun 2011
Laporan data ABJ per kelurahan tahun 2012
Laporan data ABJ per kelurahan tahun 2013
Laporan jumlah penduduk per kelurahan tahun 2011
Laporan jumlah penduduk per kelurahan tahun 2012
Laporan jumlah penduduk per kelurahan tahun 2013
90
Lampiran 2
Tanggal: ....................................
LEMBAR OBSERVASI PLOTTING KASUS
No Nama Penderita Kelurahan RW RT Jalan Xo
Yo
91
92
93