ANALISIS STRATEGI PENERAPAN PRODUKSI BERSIH
PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA
SEPTIATRI WULANDARI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Strategi
Penerapan Produksi Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 2014
Septiatri Wulandari
NIM F34100042
ABSTRAK
SEPTIATRI WULANDARI. Analisis Strategi Penerapan Produksi Bersih pada
Rantai Logistik Industri Hortikultura (studi kasus di Wilayah Bogor). Dibimbing
oleh ANAS MIFTAH FAUZI.
Rantai logistik industri hortikultura memasok sayuran dari petani hingga ke
konsumen menghasilkan sampah yang mencemari lingkungan. Persentase sampah
pasar di wilayah Bogor pada tahun 2009 sebesar 13,3% dari total sampah yang
ada di Bogor setara dengan 305 m3/hari. Rantai logistik yang terkait dengan
komoditas hortikultura adalah petani, pengepul, packing house, supermarket dan
pasar tradisional. Produksi bersih merupakan metode preventif yang dapat
meminimalkan terbentuknya sampah sayuran. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memetakan rantai logistik industri hortikultura dan menganalisis potensti
terbentuknya limbah serta menentukan strategi penerapan produksi bersih yang
dapat diterapkan pada aliran rantai logistik industri hortikultura. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode quick scan pada aliran rantai
logistik dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kegiatan yang dilakukan packing house memberikan nilai tambah sebesar
36,96% untuk bayam hijau, 49,77% untuk kangkung dan 34,92% untuk sawi
hijau. Packing house dapat meminimalkan sampah sayuran sebesar 1,8% untuk
bayam hijau, 4% untuk kangkung dan 3,5% untuk sawi hijau. Alternatif strategi
produksi bersih yang diusulkan adalah penerapan Good Agricultural Practices,
produksi berbasis permintaan, penerapan sistem packing house, penyediaan sarana
dan prasarana untuk implementasi produksi bersih, serta pemanfaatan limbah
(sampah sayuran) untuk produk bernilai ekonomi. Hasil analisis AHP
memperlihatkan bahwa packing house adalah aktor terpenting dengan finansial
sebagai faktor terpenting dan pilihan produksi bersihnya adalah penerapan Good
Agricultural Practices.
Kata kunci: Analytical Hierarchy Process (AHP), industri hortikultura, produksi
bersih, rantai logistik, sampah sayuran
ABSTRACT
SEPTIATRI WULANDARI. Strategic Analysis of Implementation Cleaner
Production in Logistic Chain of Horticulture Industry (Case Study in Bogor
Region). Supervised by ANAS MIFTAH FAUZI.
Logistic chain of horticulture industry that supplies vegetables from farmers
to the consumers generates wastes that pollute the environment. In 2009, the
wastes value in Bogor was 13,3% of total wet market wastes which equivalent to
305 m3/day. The actors involved in logistic chain of horticulture commodity are
farmers, middle man traders, packing houses, supermarkets, and wet markets.
Cleaner production is a preventive method that can reduce the formation of
vegetable wastes. The objectives of this research were to map the logistic chain of
horticulture, to analyze the generated wastes and to select the cleaner production
options that can be applied to minimize the generated wastes along the logistic
chain. The methods that used in this research were quick scan of logistic chain
flow and Analytical Hierarchy Process (AHP). The results showed that the
percentage of added value at packing house were 36,96% for green spinach,
49,77% for water spinach, and 34,92% for chinese cabbage. The percentage of
vegetable wastes that has been reduced by packing house were 1,8% for green
spinach, 4% for water spinach and 3,5% for chinese cabbage. AHP was need to
select the best strategic option among the five options, namely implementation of
Good Agricultural Practices (GAP), demand-based production, implementation of
packing house system, providing facilities and infrastructure for the
implementation of cleaner production, and utilization of vegetable wastes for the
economic products value. The result showed that packing house is the most
important actor while the financial is the most important factor and
implementation of Good Agricultural Practices (GAP) is the best strategy option
for cleaner production implementation.
Keywords: Analytical Hierarchy Process (AHP), cleaner production, horticulture
industry, logistic chain, vegetable wastes
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
ANALISIS STRATEGI PENERAPAN PRODUKSI BERSIH
PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA
SEPTIATRI WULANDARI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Strategi Penerapan Produksi Bersih pada Rantai Logistik
Industri Hortikultura
Nama : Septiatri Wulandari
NIM : F34100042
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ( )
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil
tema Lingkungan, dengan judul skripsi Analisis Strategi Penerapan Produksi
Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura yang telah dilakukan dari bulan
Maret hingga Mei 2014.
Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng selaku dosen pembimbing
atas perhatian dan bimbingannya selama ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, M.Sc, St. dan Ibu Dr. Dwi
Setyaningsih, S.TP, M.Si selaku dosen penguji atas masukan dan arahannya
dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Pihak petani, pengepul, packing house Agribusiness Development Center
IPB, pasar Bogor, supermarket X dan Y di Kota Bogor atas izin dan bantuan
pengambilan data selama ini.
4. Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian
Kota Bogor, Bapak Anas D. Susila dan Bapak Sutresno atas bantuan dalam
pengambilan keputusan strategi produksi bersih.
5. Ayahanda Drs. Supardi, MM dan Ibunda Sri Widawati serta Diani Ika
Apriliawati, ST, Ari Dwi Nugroho, ST dan Muhammad Aji Wibisono atas
doa, dukungan dan perhatiannya selama ini.
6. Keluarga besar TIN 47 atas kebersamannya selama ini.
7. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Septiatri Wulandari
i
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR i
DAFTAR LAMPIRAN i
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
METODOLOGI 8
Kerangka Pemikiran 8
Teknik Pengumpulan Data 9
Tahapan Penelitian 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura 11
Limbah yang Terbentuk dalam Rantai Logitik 14
Penanganan Limbah yang Telah Diterapkan 16
Analisis Keuntungan dan Nilai Tambah dalam Rantai Logistik 17
Penentuan Pilihan Produksi Bersih 18
Analisis Kelayakan Alternatif Produksi Bersih Terpilih 22
SIMPULAN DAN SARAN 23
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 27
RIWAYAT HIDUP 62
i
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan sumber timbulan sampah Kota Bogor 4
2 Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami 7
3 Tahapan metode penelitian 10
4 Data produksi sayuran di wilayah Bogor 11
5 Pelaku rantai logistik industri hortikultura 12
6 Persentase sampah pada setiap aktor di rantai logistik model I 14
7 Dugaan volume sampah pada setiap aktor di rantai logistik model I 15
8 Persentase sampah pada setiap aktor di rantai logistik model II 15
9 Dugaan volume sampah pada setiap aktor di rantai logistik model II 15
10 Persentase produk tidak laku tingkat konsumen 16
11 Penanganan limbah yang telah diterapkan 16
12 Pilihan penerapan Produksi Bersih yang dapat diterapkan 18
13 Hasil analisis AHP dari responden 19
DAFTAR GAMBAR
1 (a) Kangkung, (b) Sawi hijau, (c) Bayam hijau 3
2 Aliran rantai logistik industri hortikultura 3
3 Identifikasi struktur rantai logistik industri hortikultura (sayuran) 13
4 Pola aliran dalam rantai logistik model I 13
5 Pola aliran dalam rantai logistik model II 14
6 Hasil analisis akhir penentuan pilihan produksi bersih 21
DAFTAR LAMPIRAN
1 Flowchart rantai logistik industri hortikultura (komoditas sayuran) 27
2 Neraca massa rantai logistik model I 28
3 Neraca massa rantai logistik model II 33
4 Perhitungan keuntungan petani pada rantai logistik model I 38
5 Perhitungan keuntungan petani pada rantai logistik model II 38
6 Perhitungan keuntungan tingkat pengepul 39
7 Perhitungan keuntungan tingkat supermarket 39
8 Perhitungan keuntungan tingkat pasar tradisional 39
9 Perhitungan nilai tambah tingkat packing house 40
10 Kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP) 41
11 Hasil akhir analisis struktur AHP 51
12 Struktur hirarki analitik berbobot 51
13 Analisis kelayakan finansial penerapan GAP 52
14 Analisis kelayakan finansial penerapan packing house 56
15 Desain packing house 59
16 Dokumentasi penelitian 60
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia terjadi setiap tahunnya, hal ini juga
terjadi di wilayah Bogor, baik kabupaten Bogor dan kota Bogor. Menurut BPS
(2012), jumlah penduduk kabupaten Bogor dan kota Bogor pada tahun 2012
mencapai 5.977.387 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk ini berdampak pada
peningkatan jumlah kebutuhan bahan pangan, salah satunya adalah sayuran. Saat ini
permintaan akan produk hortikultura terutama sayuran segar semakin meningkat
berdasarkan data dari PKHT (2013), konsumsi sayur penduduk Indonesia mengalami
peningkatan, yaitu pada tahun 2005 sebesar 60,5 kg per kapita per tahun, tahun 2008
sebesar 71,38 kg per kapita per tahun dan pada tahun 2011 sebesar 145,44 kg per
kapita per tahun. Hal ini mendukung adanya peningkatan kegiatan jual beli
komoditas sayuran di pasar dan secara tidak sadar kegiatan tersebut menimbulkan
sampah sayuran yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Komposisi
sampah di Kota Bogor terdiri dari sampah anorganik sebanyak 30% dan sampah
organik sebanyak 70%, dimana 69% dari sampah organik berasal dari sampah
sayuran (DLHK Kota Bogor 2005). Menurut data dari DLHK Kota Bogor, sampah
terbanyak dihasilkan oleh permukiman dan pasar tradisional. Sisa produk sayuran
dalam rantai logistik yang dalam kondisi baik dapat dimanfaatkan oleh pelaku bisnis
yang akan meningkatkan nilai tambah dari sampah tersebut.
Volume sampah pasar di Kota Bogor meningkat setiap tahunnya seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan volume sampah pasar
mengakibatkan penumpukan sampah yang dapat mencemari lingkungan. Sumber
timbulan sampah di wilayah Bogor salah satunya berasal dari pasar dengan
persentase pada tahun 2005-2009 menunjukkan angka sekitar 13% dari total sampah
yang ada di Bogor, dengan volume sampah pasar yang meningkat dari tahun 2005-
2009 yaitu 283,09 m3/hari, 284,05 m
3/hari, 287,3 m
3/hari, 289,12 m
3/hari, dan 305
m3/hari (DCKTR Kota Bogor 2009). Penumpukan sampah sayuran dapat terlihat di
jalan sekitar pasar yang mengganggu estetika lingkungan serta volume sampah yang
ditampung TPA akan semakin besar karena belum ada pengolahan maupun
penanggulangan yang baik pada sampah sayuran yang berasal dari pasar.
Pasokan sayuran ke kota besar dan sekitarnya merupakan komponen penting
dalam industri hortikultura. Suatu strategi untuk meminimalkan sampah pasar dapat
dilakukan melalui penerapan produksi bersih dalam rantai logistik industri
hortikultura. Analisis strategi dilakukan untuk menentukan pilihan alternatif produksi
bersih terbaik dalam rantai logistik industri hortikultura.
Perumusan Masalah
Masalah penelitian yang dapat dirumuskan adalah timbulnya sampah sayuran
yang dihasilkan dari rantai logistik industri hortikultura, maka dibutuhkan upaya
minimasi terbentuknya sampah tersebut melalui penerapan produksi bersih.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memetakan rantai logistik industri hortikultura serta menganalisis potensi
terbentuknya limbah.
2. Menentukan strategi penerapan produksi bersih terbaik dalam upaya
meminimalkan pembentukan sampah produk hortikultura di tingkat konsumen.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Bagi industri hortikultura sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam
menerapkan strategi produksi bersih pada setiap tahapan proses industri yang
dilakukan.
2. Bagi penulis sebagai sarana pengembangan wawasan serta pengalaman dalam
menganalisis permasalahan khususnya di bidang lingkungan.
3. Bagi kalangan pemerintahan dapat dijadikan usulan untuk minimalkan sampah
produk hortikultura.
4. Bagi kalangan akademis dapat dijadikan bahan penyusunan penelitian yang serupa
dan lebih mendalam.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah berikut:
1. Penelitian ini dibatasi pada rantai logistik sayuran dataran rendah di wilayah
Bogor.
2. Jenis komoditas yang akan diidentifikasi dalam rantai logistik industri hortikultura
adalah sayuran berdaun sebagai penyumbang terbesar dalam sampah pasar
khususnya sawi hijau, kangkung dan bayam.
3. Pelaku utama (stakeholder) yang diteliti adalah produsen (petani), distributor
(pengepul, packing house) dan konsumen (supermarket, pasar tradisional).
4. Penelitian ini dibatasi pada usaha meminimalkan pembentukan sampah sayuran di
tingkat konsumen (supermarket, pasar tradisional).
TINJAUAN PUSTAKA
Hortikultura
Menurut UU No. 13 tahun 2010 tentang hortikultura, hortikultura adalah segala
hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura,
termasuk didalamnya jamur, lumut dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran,
bahan obat nabati, dan atau bahan estetika. Tanaman hortikultura adalah tanaman
yang menghasilkan buah, sayuran, bahan obat nabati, florikultura, termasuk
didalamnya jamur, lumut dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan
obat nabati, dan atau bahan estetika. Sayuran merupakan sebutan umum bagi bahan
3
pangan asal tumbuhan yang biasanya mengandung kadar air tinggi dan dikonsumsi
dalam keadaan segar atau setelah diolah secara minimal. Macam-macam sayuran
menurut morfologinya terdiri atas delapan sayuran, yaitu sayuran daun, batang,
bunga, buah, umbi, polong, umbi lapis dan jamur. Jenis sayuran yang menjadi ruang
lingkup penelitian ini adalah sayuran daun, yaitu bayam hijau, kangkung dan sawi
hijau.
(a) (b) (c)
Gambar 1 (a) kangkung, (b) sawi hijau, (c) bayam hijau
Hubungan Rantai Logistik dengan Produksi Bersih
Rantai logistik terdiri dari serangkaian kegiatan produktif yang terhubung
antara aktivitas nilai yang satu dengan yang lainnya membentuk rantai nilai industri.
Menurut Marimin dan Maghfiroh (2010), keberhasilan kelembagaan rantai logistik
komoditas pertanian tergantung pihak-pihak yang terlibat mampu menerapkan kunci
sukses yang melandasi setiap aktivitas di dalam kelembagaan tersebut. Kunci sukses
ini teridentifikasi melalui penelusuran yang detail dari setiap aktivitas di dalam rantai
logistik. Kunci sukses tersebut adalah trust building, koordinasi dan kerjasama,
kemudahan akses pembiayaan dan dukungan pemerintah.
Pelaku utama rantai logistik komoditas sayuran terdiri dari petani sayuran
sebagai produsen, pengepul dan packing house sebagai agen yang mengumpulkan
atau membeli sayuran dari petani serta terakhir adalah konsumen yang terdiri dari
pasar tradisional dan supermarket. Model struktur rantai logistik produk hortikultura
khususnya komoditas sayuran dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Aliran rantai logistik industri hortikultura
Sampah dan Upaya Pengolahan Sampah
Sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi
oleh manusia atau benda-benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam
petani packing house
pengepul
supermarket
pasar tradisional
industri hortikultura
4
kegiatan manusia dan dibuang (Notoatmodjo 2007). Secara sederhana, jenis sampah
dapat dibagi berdasarkan sifatnya. Sampah dipilah menjadi sampah organik dan
anorganik. Sampah organik atau sampah basah ialah sampah yang berasal dari
makhluk hidup, seperti dedaunan dan sampah dapur. Sampah jenis ini sangat mudah
terurai secara alami (degradable). Sementara itu, sampah anorganik atau sampah
kering adalah sampah yang tidak dapat terurai (undegradable). Menurut data dari
DLHK Kota Bogor, sampah terbanyak dihasilkan oleh permukiman dan pasar
tradisional seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan sumber timbulan sampah Kota Bogor
Tahun Sumber Timbulan Volume Sampah
Jumlah (m3/hari) Persentase (%)
2005 Pemukiman 1344,89 63,09
Komersial & jalan 309,09 14,50
Pasar 283,09 13,28
Industri dan lainnya 194,63 9,13
TOTAL 2131,71 100
2006 Pemukiman 1398 63,99
Komersial & jalan 305,8 13,99
Pasar 284,05 13,01
Industri dan lainnya 196,65 9,01
TOTAL 2184,5 100
2007 Pemukiman 1414,4 64
Komersial & jalan 309,4 14
Pasar 287,3 13
Industri dan lainnya 198,9 9
TOTAL 2210 100
2008 Pemukiman 1423 64
Komersial & jalan 311,2 13,99
Pasar 289,12 13,01
Industri dan lainnya 200,16 9
TOTAL 2223,42 100
2009 Pemukiman 1455 63,43
Komersial & jalan 333 14,47
Pasar 305 13,3
Industri dan lainnya 201 8,8
TOTAL 2294 100
Sumber : DLHK Kota Bogor (2005) dan DCKTR Kota Bogor (2009)
Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah pasar yang banyak mengandung bahan
organik adalah sampah-sampah hasil pertanian seperti sayuran, buah-buahan dan
daun-daunan serta dari hasil perikanan dan peternakan. Limbah sayuran adalah
bagian dari sayuran atau sayuran yang sudah tidak dapat digunakan atau dibuang.
Limbah buah-buahan terdiri dari limbah buah semangka, melon, pepaya, jeruk, nenas
dan lain-lain sedangkan limbah sayuran terdiri dari limbah daun bawang, seledri,
sawi hijau, sawi putih, kol, limbah kecambah kacang hijau, klobot jagung, daun
kembang kol dan masih banyak lagi limbah-limbah sayuran lainnya. Limbah sayuran
5
memiliki kadar air yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan limbah buah-
buahan sehingga jika limbah sayuran digunakan sebagai bahan baku untuk pakan
ternak maka bahan pakan tersebut akan relatif tahan lama atau tidak mudah busuk.
Dengan volume sampah pasar yang meningkat setiap tahunnya, maka perlu
dilakukan upaya untuk meminimalkan sampah tersebut. Alternatif pertama adalah
penerapan Good Agricultural Practices, dimana dengan perbaikan pada sistem
produksi (sektor hulu) diharapkan mampu meminimalkan sampah sayuran dari hasil
sortasi di tingkat distributor maupun konsumen. GAP digunakan dalam sistem
pertanian berkelanjutan yang mencakup pengendalian hama terpadu, pengelolaan
hara terpadu, pengelolaan gulma terpadu, pengelolaan irigasi terpadu, dan
pemeliharaan (conservation) lahan pertanian (Effendi 2009). Dengan teknik
budidaya yang berdasarkan GAP tersebut dapat meminimalkan sayuran yang
memiliki mutu rendah dan menghasilkan produk yang bersih sehingga mampu
meminimalkan sampah hasil sortasi. Pihak Kementerian Pertanian sedang
menerapkan program GAP ini kepada petani-petani di Indonesia dan untuk petani
yang telah menerapkan GAP akan mendapatkan nomor registrasi lahan, sehingga
nantinya produk sayuran yang akan dipasarkan dapat tertelusur (Nugraha dan
Rachmani 2009). Penerapan GAP akan diikuti dengan penerapan Good Handling
Practices yaitu teknik penanganan pasca panen yang baik, seperti adanya rantai
berpendingin.
Alternatif kedua adalah produksi berbasis permintaan, dimana petani
diharapkan mampu mengendalikan produksinya berdasarkan permintaan konsumen
untuk meminimalkan sampah sayuran dari produk yang tidak laku. Alternatif ini
lebih tepat ditujukkan pada industri pengolahan dan ritel komoditas sayuran. Industri
mengetahui terlebih dahulu produk seperti apa yang diminta oleh pasar dan
kemudian memproduksi sesuai harapan konsumen, maka diperlukan suatu alat yang
mampu menangkap dengan tepat keinginan konsumen terhadap produk yang
dihasilkan industri (Marimin dan Muspitawati 2002). Industri pengolahan
memberikan informasi pasti terkait jadwal tanam produksi untuk para petani
(perencanaan dan pengaturan produksi).
Alternatif ketiga adalah penerapan sistem packing house yang menerapkan
penanganan pascapanen dengan baik. Proses-proses yang dilakukan dalam packing
house berhubungan dengan pengendalian mutu dimana terdapat proses sortasi ketat
pada komoditas sayuran sehingga menghasilkan produk yang bersih. Selain proses
sortasi, di dalam packing house juga terdapat proses pencucian, penyimpanan dingin
dan pengemasan yang dapat menjaga kesegaran dan mutu produk (Setyowati dan
Budiarti 1992).
Alternatif keempat adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk
implementasi produksi bersih. Sarana dan prasarana yang dimaksud seperti alat bantu
pengumpulan sampah sayuran di petani ke mesin pengomposan, teknologi
penanganan pascapanen yang baik, hingga perbaikan saluran distribusi. Produk
sayuran berdaun sangat mudah mengalami pelayuan akibat laju transpirasi tinggi.
Akibat dari transpirasi ini maka sedikit saja terjadi pelayuan pada pasar ritel
menyebabkan nilai jual menurun. Teknologi crisping sederhana dengan mencelupkan
ke dalam air hangat kemudian didinginkan secepatnya, telah mampu menyegarkan
kembali sayuran daun sawi cina, leaks, selada dan kangkung (Utama et al. 2007).
Alternatif kelima adalah pemanfaatan limbah (sampah sayur) menjadi produk
bernilai ekonomi. Limbah pasar sayur berpotensi sebagai pengawet maupun sebagai
6
starter fermentasi karena memiliki kandungan asam tinggi dan mikrobia
menguntungkan. Pengolahan limbah pasar sayur yaitu dengan memfermentasikannya
menggunakan garam dalam suasana anaerob fakultatif. Ekstrak limbah pasar dapat
disamakan dengan sauerkraut. Sauerkraut adalah hasil fermentasi kubis yang
diambil larutan atau ekstraknya (Buckle et al. 1987). Cara pembuatannya dengan
memotong-motong sampah sayuran kemudian ditambahkan garam 2,5% setelah itu
diperam selama 5 hari kemudian disaring (Yunizal 1986).
Produksi Bersih
Produksi bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat
preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses
produksi dan daur hidup produk (UNEP 2003). Menurut Indrasti dan Fauzi (2009),
prinsip-prinsip pokok dalam produksi bersih adalah :
(1) Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air, dan energi
(2) Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi
(3) Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya perubahan
dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait.
(4) Mengaplikasikan teknologi akrab lingkungan, manajemen dan prosedur standar
operasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
(5) Pelaksanaan program produksi bersih ini lebih mengarah pada pengaturan sendiri
dan peraturan yang sifatnya musyawarah.
Prinsip-prinsip dalam produksi bersih yang telah diuraikan dapat diaplikasikan
dalam bentuk kegiatan yang dikenal dengan 4R (Reuse, Recycle, Reduction dan
Recovery). Secara garis besarnya, pemilihan penerapan produksi bersih dapat
dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu:
(1) Good house-keeping
(2) Perubahan material input
(3) Perubahan teknologis
(4) Perubahan produk
(5) On-site Reuse
Pelaksanaan penerapan produksi bersih dilakukan melalui beberapa tahap
penting, yaitu quick scan dan AHP. Menurut Walder (2002), quick scan memeriksa
kualitas suatu proses untuk potensi produksi bersihnya dan mendefinisikan parameter
penilaian produksi bersih. Pelaksanaan quick scan dilakukan dengan
mengidentifikasi proses produksi dari awal bahan mentah masuk hingga menjadi
produk jadi serta mengidentifikasi limbah-limbah yang dikeluarkan dari setiap
prosesnya. Hasil quick scan dapat digunakan untuk menentukan teknik yang paling
tepat diterapkan pada tiap proses produksinya.
Konsep Nilai Tambah
Konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang terjadi karena adanya
perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi. Arus peningkatan nilai
tambah komoditas pertanian terjadi di setiap mata rantai pasok dari hulu ke hilir yang
berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Nilai tambah pada setiap
anggota rantai pasok berbeda-beda tergantung dari input dan perlakuan oleh setiap
anggota rantai pasok tersebut (Marimin dan Maghfiroh 2010).
7
Menurut Hayami et al., (1987) dalam Sudiyono (2002), ada dua cara untuk
menghitung nilai tambah, yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah
untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan
dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis
yang berpengaruh adalah kepastian produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan
tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah
tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain. Menurut Sudiyono (2002),
besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya
bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk
tenaga kerja. Dengan kata lain, nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga
kerja, modal, dan manajemen yang dapat dinyatakan secara matematik sebagai
berikut:
Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L} dimana,
K = Kapasitas produksi
B = Bahan baku yang digunakan
T = Tenaga kerja yang digunakan
U = Upah tenaga kerja
H = Harga output
h = Harga bahan baku
L = Nilai input lain (nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses
perlakuan untuk menambah nilai)
Tabel 2 Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami No Variabel Bayam Hijau
Output, Input dan Harga
1 Output (Kg/hari) (1)
2 Input (Kg/hari) (2)
3 Tenaga kerja langsung (Jam/hari) (3)
4 Faktor konversi (4) = (1) / (2)
5 Koefisien tenaga kerja (Jam/Kg) (5) = (3) / (2)
6 Harga produk (Rp/Kg) (6)
7 Upah tenaga kerja (Rp/jam) (7)
Penerimaan dan Keuntungan
8 Harga bahan baku (Rp/Kg) (8)
9 Harga input lain (Rp/Kg) (9)
10 Produksi (Rp/Kg) (10) = (4) x (6)
11 Nilai tambah (Rp/Kg) (11a) = (10) – (9) – (8)
Rasio nilai tambah (%) (11b) = (11a) / (10) x 100
12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) (12a) = (5) x (7)
Pangsa tenaga kerja (%) (12b) = (12a) / (11a) x 100
13 Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = (11a) – (12a)
Tingkat keuntungan (%) (13b) = (13a) / (10) x 100
Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process dikembangkan untuk mengorganisir informasi
dari parah ahli (judgement) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty
1983). Suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka pemikiran yang
terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif
atas persoalan tersebut dengan menggunakan AHP. Persoalan yang kompleks dapat
disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya.
8
Prinsip kerja AHP adalah penyedeharnaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata
dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara
subjektif tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan
dengan variabel lain. Melalui berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa
untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk
mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin dan Maghfiroh 2010).
AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu
kriteria majemuk atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria. Pemberian bobot
tersebut dilakukan secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan
berpasangan (Saaty 1983). Terdapat tiga prinsip dalam memecahkan persoalan
dengan analisis logis eksplisit, yaitu penyusunan hierarki, penetapan prioritas, dan
konsistensi logis.
Hal yang penting dalam pengambilan keputusan dengan metode AHP adalah
rasio inkonsistensi. Rasio inkonsistensi merupakan indikator untuk melihat pendapat
responden konsisten atau tidak. Pengambilan keputusan yang efektif jika
menggunakan pendapat responden yang konsisten. Pendapat responden dikatakan
konsisten jika rasio inkonsistensinya dibawah 0,1 atau 10% (Marimin dan Maghfiroh
2010).
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Kuantitas sampah perkotaan khusunya sampah sayuran yang berasal dari pasar
meningkat setiap tahunnya. Hal inilah yang menjadi landasan awal pemikiran untuk
penerapan produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura Produksi bersih
dapat diterapkan untuk membantu mengatasi permasalahan sampah produk
hortikultura yaitu sampah sayuran pasar. Pengolahan sayuran yang baik dari sektor
hulu industri disertai dengan pemanfaatan sampah sayuran akan menjadikan sampah
yang dihasilkan berkurang secara volume dan memberi keuntungan bagi industri dari
pemanfaatan sampah tersebut.
Pendekatan yang digunakan adalah dengan menganalisis timbulnya sampah
atau limbah produk hortikultura di sepanjang rantai logistik, peningkatan nilai
tambah dan minimasi limbah berdasarkan faktor teknis, ekonomi dan lingkungan.
Alternatif terbaik penerapan produksi bersih diperoleh melalui survei kepada pelaku
industi, pakar, konsumen dan pengelola kebijakan dengan pilihan alternatifnya
adalah penerapan Good Agricultural Practices, produksi berbasis permintaan,
penerapan sistem packing house, penyediaan sarana dan prasarana implementasi
produksi bersih serta pemanfaatan limbah (sampah sayuran) menjadi produk bernilai
ekonomi.
Komoditas sayuran yang diamati dalam penelitian ini adalah sayuran berdaun
sebagai penyumbang terbesar sampah sayuran yang ada di pasar. Studi kasus
produksi bersih yang dilaksanakan pada rantai logistik industri hortikultura di
wilayah Bogor mulai dari petani, Agribusiness Development Center IPB selaku
packing house, supermarket dan Pasar Bogor.
9
Teknik Pengumpulan Data
Pada tahapan pendahuluan penelitian dilakukan pengumpulan pustaka yang
terkait dengan tema penelitian. Data dan informasi mengenai proses penanganan
pasca panen komoditas sayuran, aliran logistik industri hortikultura, penumpukan
sampah perkotaan, serta parameter-parameter lain yang berpengaruh dalam
penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber pustaka. Pada tahapan pendahuluan
penelitian ini juga dilakukan wawancara dengan pihak Agribusiness Development
Center IPB.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan sekunder.
Data primer berupa neraca massa, penanganan limbah yang telah diterapkan,
perhitungan keuntungan dan nilai tambah di setiap rantai logistik serta penentuan
prioritas alternatif produksi bersih melalui AHP. Data primer diperoleh dari setiap
pelaku yang terlibat dalam rantai logistik industri hortikultura dengan cara
pengamatan dan pengukuran langsung serta wawancara dengan pihak terkait. Data
sekunder berupa data produksi sayuran, data jumlah penduduk, serta data timbulan
sampah di wilayah Bogor yang diperoleh dari dinas pertanian Provinsi Jawa Barat,
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup
Kota Bogor dan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor.
Teknik Analisis Data
Analisis Quick Scan
Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data dari rantai logistik komoditas
sayuran berdaun (kangkung, bayam hijau dan sawi hijau), mulai dari petani, packing
house hingga ke konsumen baik di pasar tradisional ataupun supermarket, serta
pengumpulan data dari setiap proses yang dilakukan oleh stakeholder tersebut.
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi proses produksi dan limbah
yang terbentuk pada setiap rantai logistik. Proses produksi diidentifikasi dengan cara
wawancara, pengamatan, dan pengukuran secara langsung. Identifikasi terhadap
industri dilakukan terhadap aliran rantai logistiknya. Identifikasi limbah dilakukan
dengan penyusunan neraca massa. Pelaksanaannya dilakukan dengan wawancara,
pengamatan secara langsung dalam kegiatan produksi, dan pengumpulan data
perusahaan sehingga diketahui sumber-sumber terbentuknya limbah.
Penentuan Alternatif Produksi Bersih
Setelah proses quick scan dilaksanakan pada keseluruhan proses produksi, data
yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan proses produksinya dan data tersebut
dirancang untuk menjadi berbagai alternatif produksi bersih. Rumusan alternatif
produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura berdasarkan hasil
pengamatan lapang dan wawancara dengan pakar.
Penetapan Strategi Produksi Bersih
Alternatif produksi bersih yang telah diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan metoda Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk didapatkan
10
prioritas penerapan alternatif produksi bersih pada industri hortikultura. Pengambilan
keputusan ini dilakukan melalui kuisioner yang diberikan kepada pakar, pelaku
industri, konsumen dan pembuat kebijakan. Prioritas alternatif produksi bersih
dianalisis menggunakan AHP yang pengolahannya menggunakan program Expert
Choice 2000.
Analisis Kelayakan
Alternatif penerapan produksi bersih terpilih dilakukan analisis kelayakan dari
faktor teknis, ekonomi dan lingkungan. Evaluasi teknis adalah evaluasi alternatif
penerapan produksi bersih terhadap beberapa kriteria teknis dari segi proses,
teknologi, sumber daya manusia (SDM), bahan, dan lain-lain. Evaluasi ini
dilaksanakan dengan melakukan studi literatur untuk melihat aspek teknis atau
teknologis terhadap alternatif kajian yang terpilih.
Evaluasi ekonomi merupakan analisis terhadap alternatif penerapan produksi
bersih dari segi finansial. Evaluasi ini dilakukan dengan cara mengukur nilai payback
period untuk mengetahui waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi
awal. Semakin cepat tingkat pengembalian investasi, maka alternatif tersebut dinilai
semakin baik untuk dilaksanakan. Evaluasi lingkungan menganalisis dampak
alternatif produksi bersih terpilih terhadap lingkungan.
Tabel 3 Tahapan metode penelitian
No Tahap penelitian Alat analisis
1. Analisis quick scan
- Kuisioner
- Wawancara dengan aktor yang terkait dengan
rantai logistik
- Pengamatan dan pengukuran langsung
2. Penentuan alternatif
produksi bersih Wawancara dengan pakar dan pelaku industri
3. Penetapan strategi produksi
bersih terbaik Analytical Hierarchy Process (AHP)
4.
Analisis kelayakan teknis
dan lingkungan terhadap
alternatif terpilih
Kajian pustaka
5. Analisis kelayakan finansial
terhadap alternatif terpilih
Wawancara dengan pihak terkait dan kajian
pustaka untuk menghitung nilai investasi awal,
keuntungan dan payback period
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura
Penelitian ini merupakan studi kasus di wilayah Bogor, maka dipilih komoditas
dengan produksi terbesar. Komoditas hortikultura yang dibatasi dalam penelitian ini
adalah sayuran berdaun, khususnya sawi hijau, bayam, dan kangkung. Menurut
Pujawan (2005), pada suatu rantai logistik umumnya terdapat tiga macam aliran yang
harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke
hilir (downstream), kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir
ke hulu, ketiga adalah aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun
sebaliknya. Aliran proses pada rantai logistik industri hortikultura khususnya
komoditas sayuran berdaun dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 4 Data produksi sayuran di wilayah Bogor
Tahun
Produk 2008 2009 2010 2011 2012
*)
Sawi Hijau 11.223 ton 12.101 ton 5.996 ton 9.328 ton 3.672 ton
Bayam Hijau 19.100 ton 30.725 ton 8.556 ton 21.035 ton 70.709 ton
Kangkung 23.112 ton 31.393 ton 18.521 ton 21.925 ton 18.344 ton
Keterangan : *)
Angka sementara
Sumber: http://diperta.jabarprov.go.id/
Logistik menurut Subagya (1988) adalah ilmu pengetahuan atau seni serta
proses mengenai perencaanaan dan penentuan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan,
penyaluran dan pemeliharaan serta penghapusan material-material maupun alat-alat.
Rantai logistik terdiri dari serangkaian kegiatan produktif yang terhubung antara
aktivitas nilai yang satu dengan yang lainnya membentuk rantai nilai industri. Rantai
logistik disini merupakan alur distribusi komoditas hortikultura dari hulu hingga ke
hilir produksi. Dalam rantai logistik industri hortikultura, aktor-aktor yang berperan
dalam rantai aliran sumber daya adalah petani, packing house, supermarket,
pengepul dan pasar tradisional. Setiap aktor atau pelaku rantai logistik industri
hortikultura mempunyai peran yang berbeda. Peran masing-masing anggota dalam
model rantai logistik hortikultura dapat dilihat dalam Tabel 5.
12
Tabel 5 Pelaku rantai logistik industri hortikultura
Tingkatan Pelaku Proses Aktivitas
Produsen o Petani
sayuran
o Budidaya
o Penjualan
o Distribusi
o Melakukan budidaya dan
produksi sayuran
o Melakukan distribusi ke
distributor atau
konsumen
o Menjual ke distributor
atau langsung ke
konsumen
Distributor o Packing
House
o Pembelian
o Sortasi
o Grading
o Pengemasan
o Pelabelan
o Distribusi
o Penjualan
o Membeli sayuran dari
petani
o Melakukan proses untuk
menambah nilai jual
sayuran
o Melakukan distribusi ke
konsumen (supermarket)
o Menjual ke konsumen
(supermarket)
o Pengepul o Pembelian
o Distribusi
o Penjualan
o Membeli sayuran dari
petani
o Melakukan distribusi ke
konsumen (pasar)
o Menjual ke konsumen
(pasar)
Konsumen o Supermarket o Pembelian
o Sortasi
o Pengemasan
o Penjualan
o Membeli sayuran dari
distributor (packing
house)
o Melakukan proses untuk
menambah niali jual
sayuran
o Melakukan penjualan ke
konsumen tingkat akhir
(dengan cara display)
o Pasar
tradisional
(pedagang)
o Pembelian
o Sortasi/
Pembersihan
o Penjualan
o Membeli sayuran dari
distributor (pengepul/
petani)
o Melakukan proses sortasi
dan pembersihan sayuran
o Melakukan penjualan ke
konsumen tingkat akhir
Struktur Rantai Logistik
Aliran rantai logistik komoditas sayuran di Bogor dipengaruhi oleh perbedaan
standar sayuran yang diperdagangkan sesuai tujuan penjualan, anggota rantai yang
terlibat di dalamnya, serta aturan main atau sistem yang dibangun di antara berbagai
pihak. Hal yang mendorong terjadinya perbedaan rantai logistik tersebut lebih karena
13
perbedaan standar sayuran yang dipasarkan yang mengakibatkan perbedaan sasaran
lokasi penjualan.
Secara umum, aliran komoditas sayuran tersebut terbagi ke dalam dua model
rantai logistik. Model pertama (I) melibatkan petani sebagai produsen dan pengepul
sebagai distributor memegang peran utama dalam rantai logistik ini. Sedangkan
model kedua (II) melibatkan packing house yang paling berperan dalam rantai
logisik ini. Kedua model rantai logistik tersebut dijelaskan pada Gambar 3.
Gambar 3 Identifikasi struktur rantai logistik industri hortikultura (sayuran)
Anggota primer dalam rantai logistik model I adalah petani dan pengepul
dimana konsumen yang dituju adalah pasar tradisional. Rantai logistik model I ini
umumnya tidak terdapat standar sayuran yang harus dipenuhi untuk memasok
komoditas ke pasar tradisional, sehingga petani dalam rantai logistik model ini tidak
melakukan sortasi yang ketat pada komoditas tersebut. Petani dalam rantai logistik
model I cenderung kurang memperhatikan Good Agriculure Practices dan Good
Handling Practices dalam menghasilkan produk yang bersih, sebab tidak ada kriteria
secara rinci dan tidak adanya insentif dari pihak pasar tradisonal (pedagang) bagi
petani yang menghasilkan produk yang bersih. Harga jual produk di pasar tradisional
mengikuti harga pasaran yang berlaku, sehingga jika petani ingin memperoleh
pendapatan yang besar maka mereka harus memasok produk yang diterima pasar
tradisonal dengan kuantitas tinggi tanpa memperhatikan kebersihan produk.
.
Keterangan:
Aliran barang
Aliran finansial
Aliran informasi
Gambar 4 Pola aliran dalam rantai logistik model I
Model rantai logistik berikutnya melibatkan perusahaan yaitu packing house
sebagai anggota primer yang memberikan nilai tambah pada komoditas sayuran yang
diperdagangkan. Petani yang terlibat dalam rantai logistik model ini merupakan mitra
Packing House
Petani Pengepul Pasar Tradisional
Supermarket
Petani
Pengepul
Pasar
Tradisional
Petani
Petani
Petani
Pengepul
14
tani dari packing house yang telah terikat dengan sistem kontrak. Hasil panen mitra
tani akan dibeli oleh packing house untuk kemudian dilakukan proses pencucian,
sortasi, pengemasan dan pendistribusian ke supermarket. Terdapat standar sayuran
(produk bersih) yang harus dipenuhi petani untuk memasok ke supermarket dalam
rantai logistik model II, sehingga petani dalam rantai logistik ini melakukan sortasi
yang ketat sebelum memasok komoditas ke packing house. Petani dalam rantai
logistik model II cukup memperhatikan Good Agriculure Practices dan Good
Handling Practices dalam menghasilkan produk yang bersih, sebab terdapat kriteria
secara rinci serta insentif dari pihak packing house bagi petani yang menghasilkan
produk yang bersih. Insentif yang diperoleh petani dari pihak packing house adalah
berupa harga jual yang tinggi jika produk yang dihasilkan semakin bersih. Untuk
menjamin mutu sayuran yang dipasok ke supermarket tetap sesuai standar yang
ditetapkan, packing house melakukan sortasi sayuran dari petani. Insentif yang
diberikan pihak supermarket untuk pemasok sayuran bersih berupa kepercayaan
untuk menjadi pemasok tetap bagi supermarket tersebut.
Keterangan:
Aliran barang
Aliran finansial
Aliran informasi
Gambar 5 Pola aliran dalam rantai logistik II
Limbah yang Terbentuk dalam Rantai Logistik
Pada rantai logistik model I, sampah sayuran yang terbentuk pada tingkat
produsen dan distributor cenderung lebih sedikit karena tidak terdapat persyaratan
yang harus dipenuhi sebelum dipasok ke tingkat konsumen yaitu pasar tradisional.
Hal ini menyebabkan pedagang-pedagang di pasar tradisional harus melakukan
sortasi atau pembersihan terhadap komoditas tersebut yang menimbulkan timbunan
sampah sayuran di pasar yang jumlahnya cukup banyak dan belum ada penanganan
maupun pengolahan yang baik terhadap sampah sayuran ini. Persentase sampah
sayuran pada setiap aktor di rantai logistik model I seperti pada Tabel 6.
Tabel 6 Persentase sampah pada setiap aktor di rantai logistik model I
Komoditas Petani Pengepul Pasar Tradisional
Bayam Hijau 5,3% 0% 11,4%
Kangkung 6,1% 0% 13,9%
Sawi Hijau 5,1% 0% 11,7%
Packing House
Supermarket
Petani
Petani
Petani
Supermarket
Supermarket
Penyedia sarana non sayuran
15
Persentase sampah di setiap aktor tersebut dapat dihitung secara kumulatif dan
dapat diketahui dugaan volume sampah yang terbentuk di setiap rantai dengan basis
100 kg. Peningkatan volume sampah pasar mengakibatkan penumpukan sampah di
jalan sekitar pasar yang mengganggu estetika lingkungan dan menimbulkan bau,
serta menjadi penyumbang tumpukan sampah di TPA Galuga. Dugaan volume
sampah pada setiap aktor di rantai logistik model I berdasarkan persentase sampah
kumulatif dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Dugaan volume sampah pada setiap aktor di rantai logistik model I
Komoditas Petani Pengepul Pasar Tradisional
Bayam Hijau 5,3 kg 0 kg 10,79 kg
Kangkung 6,1 kg 0 kg 13,05 kg
Sawi Hijau 5,1 kg 0 kg 11,10 kg
Pada rantai logistik model II, sampah sayuran yang terbentuk pada tingkat
produsen dan distributor lebih banyak karena terdapat persyaratan yang harus
dipenuhi sebelum dipasok ke supermarket. Hal ini menyebabkan produk yang masuk
supermarket merupakan produk bersih sehingga sampah sayuran yang terbentuk di
supermarket tidak banyak. Untuk menjaga kualitas produk sayuran yang akan dijual
supermarket melakukan sortasi sayuran dari packing house. Persentase sampah
sayuran pada setiap aktor di rantai logistik model II seperti pada Tabel 8.
Tabel 8 Persentase sampah pada setiap aktor di rantai logistik model II
Komoditas Petani Packing House Supermarket
Bayam Hijau 33,6% 17,6% 9,6%
Kangkung 29,9% 19,8% 9,9%
Sawi Hijau 22,8% 19,5% 8,2%
Persentase sampah di setiap aktor tersebut dapat dihitung secara kumulatif dan
dapat diketahui dugaan volume sampah yang terbentuk di setiap rantai dengan basis
100 kg. Dugaan volume sampah pada setiap aktor di rantai logistik model II
berdasarkan persentase sampah kumulatif dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Dugaan volume sampah pada setiap aktor di rantai logistik model II
Komoditas Petani Packing House Supermarket
Bayam Hijau 33,6 kg 11,69 kg 4,69 kg
Kangkung 29,9 kg 13,88 kg 4,98 kg
Sawi Hijau 22,8 kg 15,05 kg 4,73 kg
Kuantitas sampah total yang dihasilkan pada model rantai logistik II lebih
banyak daripada pada model rantai logistik I. Hal ini disebabkan pada model rantai
logistik II pembentukan sampah terbesar terjadi pada tingkat produsen dan
distributor, namun sampah yang dihasilkan di tingkat konsumen sedikit. Produk yang
diperoleh dari supermarket memiliki tingkat bagian yang dapat dikonsumsi (edible
portion) lebih tinggi dibandingkan produk yang diperoleh dari pasar tradisional.
Tingkat edible portion yang tinggi mengindikasikan rendahnya pembentukan sampah
dari produk tersebut karena konsumen akhir tidak perlu melakukan pembersihan
16
pada produk yang diperolehnya dari supermarket yang umumnya relatif sudah
bersih.
Selain menghasilkan sampah hasil sortasi, dalam usaha produk hortikultura
juga terdapat produk tidak laku terjual di tingkat konsumen. Produk yang tidak laku
terjual di pasar tradisional sebagian besar dibuang dan beberapa dibagikan ke
pedagang lainnya. Produk yang tidak laku terjual di supermarket akan dijual dengan
harga murah atau diberikan kepada karyawan supermarket, namun jika kualitas
produk sudah tidak layak maka produk tersebut akan dibuang. Persentase produk
tidak laku diperoleh berdasarkan basis produk yang siap jual atau yang telah
melewati proses sortasi atau pembersihan seperti terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Persentase produk tidak laku tingkat konsumen
Komoditas Pasar Tradisional Supermarket
Bayam hijau 20,28% 10,25%
Kangkung 22,00% 10,40%
Sawi hijau 18,36% 11,89%
Penanganan Limbah yang Telah Diterapkan
Penanganan limbah merupakan suatu kegiatan yang wajib dilakukan oleh tiap
pelaku usaha yang membuang sisa prosesnya ke lingkungan. Penanganan limbah ini
dapat meminimasi dampak negatif dari limbah sisa produksi yang dihasilkan.
Limbah yang dihasilkan dalam rantai logistik industri hortikultura merupakan
sampah organik berupa sampah sayuran. Sampah sayuran ini menimbulkan masalah
bagi lingkungan yaitu penumpukan sampah di jalan sekitar pasar yang mengganggu
estetika lingkungan dan menimbulkan bau, serta penumpukan sampah di Tempat
Pembuangan Akhir yang seharusnya dapat diolah menjadi sesuatu yang lebih bernilai
ekonomi karena sampah organik relatif lebih mudah untuk diolah. Secara umum
penanganan limbah yang dilakukan oleh tiap rantai logistik industri hortikultura
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Penanganan limbah yang telah diterapkan
Pelaku Penanganan Limbah yang Diterapkan
Petani Sebagian besar dijadikan kompos dan beberapa dijadikan pakan
ternak
Packing House Sebagian dijadikan kompos dan sisanya dibuang
Supermarket Dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir dan untuk produk yang
tidak laku dengan kualitas yang sudah tidak layak konsumsi
dikecilkan ukurannya untuk kemudian dibuang
Pasar Tradisional Dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir
Analisis Keuntungan dan Nilai Tambah dalam Rantai Logistik
Perhitungan keuntungan dilakukan pada petani, pengepul, supermarket,
pedagang pasar tradisional, sedangkan perhitungan nilai tambah dilakukan pada
packing house. Keuntungan yang diperoleh oleh setiap anggota berbeda-beda. Sukses
atau tidaknya suatu rantai logistik dilihat dari keuntungan yang diperoleh oleh rantai
17
logistik tersebut. Semakin besar keuntungan yang diperoleh menunjukkan semakin
suksesnya pelaksanaan rantai logistik.
Keuntungan di Tingkat Petani
Keuntungan diperoleh dari selisih antara pendapatan petani dengan biaya
produksi yang harus dikeluarkan. Data yang diperlukan untuk perhitungan
keuntungan pada masing-masing komoditas dilakukan melalui wawancara dengan
ketua kelompok tani di desa Ciaruteun Ilir, Bogor.
Keuntungan yang dihasilkan antara petani yang memasok sayuran ke pasar
tradisional (model rantai logistik I) dengan petani yang memasok sayuran ke packing
house (model rantai logistik II) berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sasaran
penjualan yang menyebabkan adanya perbedaan mutu produk yang dijual.
Keuntungan yang diperoleh petani model I untuk bayam hijau 19,3%, kangkung
18,8% dan sawi hijau 17,2%. Keuntungan yang diperoleh petani model II untuk
bayam hijau 31,5%, kangkung 28,2% dan sawi hijau 28,8%. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa keuntungan yang diperoleh petani model II lebih besar daripada
keuntungan yang diperoleh petani model I, hal ini dikarenakan mutu produk yang
dihasilkan petani model II lebih baik sehingga harga jualnya lebih tinggi dari petani
model I. Perhitungan keuntungan di tingkat petani dapat dilihat pada Lampiran 4
dan 5.
Keuntungan di Tingkat Pengepul
Keuntungan di tingkat pengepul dihitung berdasarkan selisih antara pendapatan
yang diperoleh pengepul dengan biaya yang dikeluarkan pengepul (harga beli
komoditas dari petani model rantai logistik I ditambah biaya distribusi). Data yang
dibutuhkan untuk perhitungan keuntungan diperoleh dari hasil wawancara dengan
salah satu pengepul yang menerima pasokan dari petani di Ciaruteun Ilir, Bogor dan
yang mengirim pasokan ke pasar Bogor. Keuntungan yang diperoleh pengepul untuk
komoditas bayam hijau 77,4%, kangkung 90,4% dan sawi hijau 50,8%. Perhitungan
keuntungan di tingkat pengepul dapat dilihat pada Lampiran 6.
Keuntungan di Tingkat Supermarket
Perhitungan nilai tambah tidak dilakukan pada supermarket dikarenakan
terbatasnya sumber data yang diperoleh. Hal ini menyebabkan hanya dapat
menghitung keuntungan yang diperoleh pihak supermarket. Keuntungan di tingkat
supermarket dihitung berdasarkan selisih antara nilai beli dari packing house dengan
nilai jual di supermarket. Data yang dibutuhkan untuk perhitungan keuntungan
diperoleh dari hasil pengamatan di salah satu supermarket di Bogor. Keuntungan
yang diperoleh supermarket untuk bayam hijau 10%, kangkung 17,9% dan sawi
hijau 17,8%. Perhitungan keuntungan di tingkat supermarket dapat dilihat pada
Lampiran 7.
18
Keuntungan di Tingkat Pasar Tradisional (pedagang)
Keuntungan di tingkat pedagang pasar tradisional dihitung berdasarkan selisih
antara nilai beli dari pengepul dengan nilai jual di pasar tradisional. Data yang
dibutuhkan untuk perhitungan keuntungan diperoleh dari hasil wawancara di pasar
Bogor. Keuntungan yang diperoleh pedagang pasar tradisional untuk bayam hijau
81,8%, kangkung 87,5% dan sawi hijau 30,4%. Perhitungan keuntungan di tingkat
pedagang pasar tradisional dapat dilihat pada Lampiran 8.
Nilai Tambah di Tingkat Packing House
Rasio nilai tambah di tingkat packing house dihitung berdasarkan biaya
produksi dan pendapatan yang diperoleh pihak packing house. Perhitungan nilai
tambah di tingkat packing house menggunakan metode Hayami. Data yang
dibutuhkan untuk perhitungan nilai tambah diperoleh dari data packing house, hasil
wawancara serta hasil pengamatan yang dilakukan di Agribusiness Development
Center (ADC) IPB. Nilai tambah yang diperoleh packing house untuk komoditas
bayam hijau 36,96%, kangkung 49,77% dan sawi hijau 34,92%. Perhitungan nilai
tambah di tingkat packing house dapat dilihat pada Lampiran 9.
Penentuan Pilihan Produksi Bersih
Berdasarkan pada hasil identifikasi input, output, dan limbah pada aliran rantai
logistik, didapatkan pilihan produksi bersih yang mungkin untuk diterapkan dalam
industri hortikultura. Pilihan produksi bersih yang didapatkan berasal dari kajian
langsung di lapangan serta hasil perumusan dengan pakar dan pihak terkait. Pilihan
produksi bersih yang mungkin diterapkan dalam industri hortikultura dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tabel 12 Pilihan penerapan Produksi Bersih yang dapat diterapkan
Pilihan Produksi Bersih Tujuan
Penerapan Good Agricultural
Practices
Petani mampu menghasilkan produk yang
bersih, karena menghasilkan sayuran
dengan mutu baik, sehingga
meminimalkan sampah sayuran yang
memiliki mutu rendah
Produksi berbasis permintaan Meminimalkan sampah sayuran dari
produk sayuran yang tidak laku
Penerapan sistem packing house Menghasilkan produk sayuran yang bersih
dan bernilai tambah sehingga dapat
meminimalkan sampah sayuran di tingkat
konsumen
Penyediaan sarana dan prasarana
untuk implementasi produksi bersih
Memberikan sarana penunjang dalam
kegiatan logistik industri hortikultura yang
berkaitan dengan meminimalkan sampah
Pemanfaatan limbah (sampah sayuran)
menjadi produk bernilai ekonomi
Meminimalkan sampah sayuran yang
terbentuk
19
Pilihan produksi bersih yang telah diperoleh, kemudian dianalisis
menggunakan metode analisis Analytical Hierarchy Process (AHP). Pada
perhitungan AHP, masing-masing faktor, aktor, dan alternatif produksi dilakukan
pembobotan terhadap tujuan yang ingin dicapai. Faktor, aktor, dan alternatif yang
memiliki bobot tertinggi merupakan hasil yang akan diimplementasikan. Seperti
terlihat pada Gambar 6, dalam hirarki pengambilan keputusan, terdapat tiga faktor
yaitu finansial, teknis, dan lingkungan dimana ketiga faktor tersebut memberikan
pengaruh dalam implementasi produksi bersih. Pada level aktor, terdapat lima aktor
yang berada dalam hirarki pengambilan keputusan yaitu petani, packing house,
supermarket, pedagang dan pemerintah. Penentuan kelima aktor tersebut berdasarkan
hasil diskusi dengan pakar dan analisis dari pengamatan selama penelitian mengenai
stakeholder yang memiliki peran cukup penting dalam industri hortikultura.
Pengambilan keputusan dalam menentukan strategi penerapan produksi bersih
pada industri hortikultura melibatkan beberapa golongan responden, yaitu akademisi,
pemerintah, pelaku industri dan konsumen. Hasil perhitungan AHP pilihan
penerapan produksi bersih menurut responden dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil
analisis AHP menurut responden tersebut menunjukkan rasio inokonsistensinya
dibawah 0,1 atau 10%, hal ini menunjukkan bahwa hasil tersebut telah konsisten.
Tabel 13 Hasil analisis AHP dari responden
Alternatif Bobot
Akademisi Pemerintah Pelaku Industri Konsumen
Penerapan Good
Agricultural
Practices 0,359 0,257 0,262 0,249
Produksi berbasis
permintaan 0,124 0,200 0,236 0,197
Penerapan sistem
packing house 0,187 0,200 0,281 0,168
Penyediaan sarana
dan prasarana untuk
implementasi
produksi bersih
0,145 0,235 0,116 0,311
Pemanfaatan
limbah (sampah
sayuran) menjadi
produk bernilai
ekonomi
0,184 0,108 0,106 0,074
Rasio Inkonsitensi 0,06 0,06 0,04 0,08
Alternatif penerapan Good Agricultural Practices menjadi prioritas utama bagi
pihak akademisi dan pemerintah yang memiliki bobot masing-masing 0,359 dan
0,257. Alternatif ini dapat meminimalkan sampah sayuran yang berada di pasar,
yaitu dengan cara perubahan dari sektor hulu industri hortikultura melalui teknik
budidaya yang sesuai dengan SOP yang baik sehingga dihasilkan produk yang
bersih. Prioritas utama menurut pihak pelaku industri adalah alternatif penerapan
sistem packing house dengan bobot 0,281. Alternatif ini bertujuan untuk
menghasilkan produk yang bersih dan bernilai tambah melalui proses sortasi dan
20
pengemasan, sehingga dapat meminimalkan sampah di tingkat konsumen.
Sedangkan, pada pihak konsumen prioritas utama adalah alternatif penyediaan sarana
dan prasaran untuk implementasi produksi bersih dengan bobot 0,311. Alternatif ini
bertujuan untuk mendukung kegiatan logistik pada industri hortikultura, seperti
pembangunan saluran distribusi yang baik agar produk sayuran tidak rusak selama
proses distribusi. Kurangnya infrastruktur dalam penyimpanan, proses dan distribusi
pada komoditas sayuran menyebabkan pembentukan sampah dalam jumlah yang
cukup besar di beberapa negara berkembang, salah satunya di Indonesia yang rata-
rata menyumbang sebesar 10-40% dari sampah total (Choudhury et al. 2004). Selain
itu, alternatif ini menyediakan alat untuk mengumpulkan sampah sayuran di petani
ke mesin pengomposan.
Usaha untuk meminimalkan terbentuknya sampah produk hortikultura
(sayuran) belum banyak dilakukan. Hal-hal yang telah dikaji terkait sampah sayuran
adalah metode end-of-pipe yaitu metode untuk mengolah limbah yang telah
terbentuk seperti pemanfaatan sebagai pakan ternak dan biogas. Limbah sayuran
akan bernilai guna jika dimanfaatkan sebagai pakan melalui pengolahan. Limbah
sayuran pasar berpotensi sebagai bahan pakan ternak, akan tetapi limbah tersebut
sebagian besar mempunyai kecenderungan mudah mengalami pembusukan dan
kerusakan, sehingga perlu dilakukan pengolahan untuk memperpanjang masa
simpan. Dengan teknologi pakan, limbah sayuran dapat diolah menjadi tepung dan
silase dapat digunakan sebagai pakan ternak (Saenab dan Retnani 2011). Limbah-
limbah seperti batang kangkung, kulit wortel, kulit bawang, dan sayuran daun
lainnya merupakan jenis-jenis limbah organik yang mampu menghasilkan gas dan
dapat dimanfaatkan dalam pembuatan biogas (Wardana et al. 2012). Menurut Utama
dan Mulyanto (2009) limbah pasar sayur memiliki potensi menjadi starter fermentasi.
Pengolahan limbah pasar sayur tersebut dengan menfermentasikannya menggunakan
garam dalam suasana anaerob fakultatif. Ekstrak limbah pasar sayur tersebut
merupakan larutan hasil fermentasi. Hasil fermentasi tersebut dapat disamakan
dengan sauerkraut.
Dari hasil analisis AHP pada Tabel 13, kemudian dilakukan analisis lanjut
untuk penentuan pilihan dari gabungan ke-empat golongan responden, dapat dilihat
pada Gambar 6 yang merupakan struktur hirarki analitik industri hortikultura dan
menggambarkan masing-masing bobot akhir setelah menyatukan hasil perhitungan
ke-empat golongan responden. Dapat dilihat bahwa tujuan dari struktur ini adalah
minimasi terbentuknya sampah sayuran. Pada gambar tersebut, perbandingan
kepentingan masing-masing faktor terhadap tujuan memberikan bobot tertinggi pada
faktor finansial dengan bobot 0,353 diikuti dengan faktor lingkungan dan teknis
dengan bobot 0,347 dan 0,300.
Dari sisi aktor, analisis perbandingan tingkat kepentingan aktor terhadap
faktor, aktor yang paling berpengaruh untuk mencapai tujuan adalah packing house
dengan bobot 0,260 diikuti pemerintah, petani, pedagang pasar dan supermarket
dengan bobot 0,224, 0,206, 0,175 dan 0,136. Hasil ini menunjukan bahwa packing
house sebagai pelaku industri merupakan aktor yang paling berperan penting dalam
pelaksanaan strategi untuk mencapai tujuan minimasi terbentuknya sampah sayuran
di tingkat konsumen. Dalam hal ini, packing house sebagai mitra petani yang
mendampingi petani dalam memproduksi produk yang bersih dan juga sebagai
industri yang memberikan nilai tambah pada komoditas sayuran. Selain itu,
pemerintah juga memiliki peran untuk memberikan sosialisasi dan pelatihan GAP
21
kepada petani dan juga pengawasan dan pemberian bantuan kepada petani seperti
pemberian bibit unggul.
Gambar 6 Hasil analisis akhir penentuan pilihan produksi bersih
Pada Gambar 6 terlihat bobot alternatif penerapan Good Agricultural
Practices yaitu sebesar 0,250 merupakan bobot alternatif tertinggi, hal ini
menunjukan bahwa teknik budidaya berdasarkan GAP merupakan prioritas utama
yang paling tepat untuk dilakukan sebagai implementasi produksi bersih pada rantai
logistik industri hortikultura untuk meminimalkan terbentuknya sampah sayuran di
tingkat konsumen. Namun, alternatif penerapan sistem packing house juga memiliki
pengaruh penting dalam pencapaian tujuan, hal ini dapat dilihat berdasarkan bobot
yang tidak terlalu jauh dengan alternatif penerapan GAP yaitu sebesar 0,200. Hasil
analisis akhir AHP memiliki rasio inkonsistensi sebesar 0,02 yang menunjukan
bahwa hasil analisis sudah konsisten.
Keterkaitan antara finansial sebagai faktor terpenting dengan packing house
sebagai aktor terpenting dan penerapan GAP sebagai prioritas alternatif penerapan
produksi bersih terpilih adalah perlu adanya aliran informasi dan aliran finansial
berupa insentif yang berjalan dengan baik karena kedua aliran tersebut mengalir dari
packing house ke petani. Aliran informasi mengalir dua arah baik dari hulu ke hilir
maupun dari hilir ke hulu terkait informasi tentang GAP, seperti adanya informasi
dan pengawasan penerapan GAP di petani yang dilakukan oleh packing house
ataupun pemerintah. Aliran finansial berupa insentif merupakan hal yang sangat
berpengaruh dalam penerapan GAP di tingkat petani. Aliran finansial mengalir dari
hilir ke hulu, yaitu dari konsumen ke produsen. Sehingga, perlu adanya jaminan
berupa insentif yang diberikan pihak konsumen (packing house) kepada produsen
(petani) yang telah menerapkan Good Agricultural Practices.
Aliran informasi dan finansial merupakan hal yang dijadikan perhatian selain
aliran barang dalam suatu rantai logistik. Aliran informasi dalam rantai logistik
industri hortikultura mengalir dua arah yaitu baik dari hulu ke hilir maupun dari hilir
ke hulu. Informasi yang perlu diketahui dari rantai hulu hingga hilir adalah
kebutuhan sayuran di pasar dan juga hasil panen di petani. Informasi tersebut dapat
22
diakses oleh pihak terkait melalui sistem informasi. Untuk pengembangan sistem
informasi ini, perlu adanya pengembangan kelembagaan yang mampu melakukan
komunikasi dengan petani seperti koperasi tani. Adanya sistem informasi tersebut
diharapkan petani mampu memproduksi sesuai permintaan pasar. Pengembangan
kelembagaan mitra tani seperti koperasi tani juga berfungsi dalam pengembangan
keuntungan yang diperoleh petani berbasis pada fair trade. Pihak koperasi tani
mengetahui keuntungan yang diperoleh oleh tiap aktor yang terlibat penjualan
produk hortikultura. Hal tersebut menjadi dasar bagi koperasi tani untuk
meningkatkan keuntungan bagi petani. Aliran finansial ini perlu diketahui agar petani
dapat memperoleh insentif yang dapat mendorong petani untuk menghasilkan produk
yang bersih dan bermutu baik.
Analisis Kelayakan Alternatif Produksi Bersih Terpilih
Setelah menentukan pilihan produksi bersih terbaik yaitu penerapan Good
Agricultural Practices, maka selanjutnya dilakukan analisis secara kuantitatif.
Analisis kelayakan juga dilakukan pada alternatif penerapan sistem packing house
sebagai alternatif yang memiliki bobot tertinggi kedua. Analisis kelayakan kedua
alternatif produksi bersih dilakukan dengan mengevaluasi aspek teknis, ekonomis,
dan lingkungan pada komoditas bayam hijau, kangkung dan sawi hijau.
Analisis Kelayakan Penerapan Good Agricultural Practices
Aspek teknis
Alternatif penerapan Good Agricultural Practices memiliki tujuan untuk
menghasilkan komoditas sayuran dengan mutu yang baik, sehingga dapat
meminimalkan sampah sayuran yang terbentuk dari sayuran yang memiliki mutu
rendah. Penerapan GAP seperti pengendalian hama terpadu, pengelolaan hara
terpadu dan pemeliharaan lahan pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan
pertanian organik. Hal yang paling penting adalah pengendalian hama terpadu yang
dapat dilaksanakan dengan tidak menggunakan pestisida maupun pupuk kimiawi
melainkan memaksimalkan penggunaan pupuk kandang, pupuk kompos dan pupuk
cair. Pelapisan lahan dengan plastik mulsa dan pemeliharaan lahan merupakan hal
penting lainnya dalam mengendalikan hama. Selain itu, perlu adanya tempat
penyimpanan berpendingin sederhana yang digunakan untuk proses distribusi.
Secara teknis, pilihan ini membutuhkan kedisiplinan dari pihak pemberi
sosialisasi serta memerlukan pengawasan yang berkelanjutan (pemerintah) agar
petani dapat menjalankan hasil pelatihan GAP dengan baik. Dengan adanya
penerapan GAP oleh petani dalam proses pembudidayaannya, maka diharapkan akan
dihasilkan produk yang bersih.
Aspek ekonomi
Alternatif penerapan Good Agricultural Practices diperlukan tambahan nilai
investasi sebesar Rp 11.625.000. Perhitungan keuntungan berdasarkan asumsi
kenaikan harga jual dan tanpa kenaikan harga jual. Jika menggunakan asumsi
kenaikan harga jual produk diperoleh tambahan keuntungan sebesar dan payback
period sebesar Rp 855.400/bulan dan 10,6 bulan untuk bayam hijau, Rp
831.500/bulan dan 9,3 bulan untuk kangkung, Rp 1.775.500/bulan dan 6,1 bulan
23
untuk sawi hijau. Jika menggunakan asumsi tanpa kenaikan harga jual produk
diperoleh tambahan keuntungan sebesar dan payback period sebesar Rp
105.400/bulan dan 33,2 bulan untuk bayam hijau, Rp 96.500/bulan dan 33,1 bulan
untuk kangkung, Rp 112.000/bulan dan 47,4 bulan untuk sawi hijau seperti terlihat
pada Lampiran 13. Melalui usaha meminimalkan terbentuknya sampah sayuran di
tingkat konsumen ini khususnya di pasar tradisional terdapat potensi untuk
menghemat biaya operasional pengolahan sampah di pasar sebesar Rp 2.645.142/hari
(Kurniah 2009).
Aspek lingkungan
Berdasarkan aspek lingkungan, penerapan Good Agricultural Practices
memiliki dampak positif bagi lingkungan berupa minimasi limbah industri
hortikultura khususnya sampah sayuran di tingkat konsumen (pasar tradisional).
Dengan penerapan GAP di tingkat produsen (petani) dapat menghasilkan produk
yang ramah lingkungan.
Analisis Kelayakan Penerapan Sistem Packing House
Aspek teknis
Alternatif penerapan sistem packing house dapat meminimalkan sampah
sayuran yang terbentuk dari sayuran yang memiliki mutu rendah. Proses yang
dilakukan oleh packing house seperti pencucian, sortasi, pengemasan dan distribusi
mampu menghasilkan produk hortikultura yang bersih.
Aspek ekonomi
Alternatif penerapan sistem packing house memiliki nilai investasi awal
sebesar Rp 226.417.000 dengan nilai payback period sebesar 66,9 bulan atau sekitar
6 tahun seperti terlihat pada Lampiran 14.
Aspek lingkungan
Berdasarkan aspek lingkungan, penerapan sistem packing house memiliki
dampak positif bagi lingkungan berupa minimasi limbah industri hortikultura
khususnya sampah sayuran di tingkat konsumen karena produk yang dihasilkan
merupakan produk yang bersih. Sampah produk hortikultura tidak terbawa hingga ke
konsumen karena sampah tersebut berhenti di packing house.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Identifikasi rantai logistik memiliki peran penting dalam menentukan strategi
yang terbaik dalam penerapan produksi bersih, yaitu mengurangi terbentuknya
sampah sayuran di tingkat konsumen dengan memberikan alternatif pencegahan dari
hulu hingga hilir pada industri hortikultura. Berdasarkan hasil identifikasi, rantai
logistik industri hortikulktura terdiri dari petani, penngepul, packing house,
supermarket, dan pasar tradisional. Terdapat dua model rantai logistik pada industri
hortikultura, yaitu model I (petani-pengepul-pasar tradisional) dan model II (petan-
24
packing house-supermarket). Sampah yang terbentuk di tingkat konsumen pada
model rantai logistik I lebih banyak daripada model rantai logistik II. Pada rantai
logistik pada model II (melibatkan packing house) mampu meminimalkan sampah
sayuran sebesar 1,8% untuk bayam hijau, 4% untuk kangkung dan 3,5% untuk sawi
hijau. Nilai tambah yang diperoleh packing house untuk komoditas bayam hijau
36,96%, kangkung 49,77%, dan sawi hijau 34,92%.
Berdasarkan hasil dari Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh hasil
faktor finansial sebagai faktor terpenting untuk mencapai tujuan dengan bobot 0,353,
dengan packing house sebagai aktor terpenting dengan bobot 0,260 dan alternatif
penerapan produksi bersih yang terpilih adalah penerapan Good Agricultural
Practices dengan bobot 0,250. Pengembangan kelembagaan seperti koperasi tani
diperlukan untuk mengoptimumkan fungsi aliran informasi dan aliran finansial pada
rantai logistik industri hortikultura. Hal ini diperlukan agar petani termotivasi untuk
memproduksi produk yang bersih dan bermutu baik.
Pelaksanaan alternatif GAP membutuhkan tambahan nilai investasi sebesar Rp.
11.625.000. Jika menggunakan asumsi kenaikan harga jual produk diperoleh
tambahan keuntungan sebesar dan payback period sebesar Rp 855.400/bulan dan
10,6 bulan untuk bayam hijau, Rp 831.500/bulan dan 9,3 bulan untuk kangkung, Rp
1.775.500/bulan dan 6,1 bulan untuk sawi hijau. Jika menggunakan asumsi tanpa
kenaikan harga jual produk diperoleh tambahan keuntungan sebesar dan payback
period sebesar Rp 105.400/bulan dan 33,2 bulan untuk bayam hijau, Rp 96.500/bulan
dan 33,1 bulan untuk kangkung, Rp 112.000/bulan dan 47,4 bulan untuk sawi hijau.
Penerapan sistem packing house memiliki pengaruh penting juga dalam
meminimalkan sampah produk hortikultura dengan bobot alternatif sebesar 0,200
dengan nilai investasi awal sebesar Rp. 226.417.000 dengan nilai payback period
sebesar 66,9 bulan atau sekitar 6 tahun.
Saran
Dalam proses penyempurnaan skripsi ini perlu dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai:
1. Analisis pengaruh implementasi Good Agricultural Practices dalam rantai
logistik industri hortikultura terhadap pembentukan sampah sayuran di tingkat
konsumen.
2. Analisis wujud insentif yang diberikan kepada petani dan pengaruhnya agar
petani mau untuk menerapkan Good Agricultural Practices.
3. Analisis pengaruh aliran informasi dan finasial dalam usaha meminimalkan
sampah sayuran di industri hortikultura.
25
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, KA, Edwards, RA, Fleet, GH, Wootton, M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia (diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono). Di dalam
Utama, CS dan Mulyanto, A. 2009. Potensi limbah pasar sayur menjadi starter
fermentasi. Jurnal Kesehatan. (2):1.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (ID). 2012. Jumlah Penduduk
Kabupaten/Kota di Jawa Barat [internet]. [diunduh 2014 mei 15]. Tersedia pada:
http://jabar.bps.go.id/.
Choudhury, ML, Susanta KR, dan Kumar, R. 2004. Recent developments in reducing
postharvest losses in the Asia-Pacific region. Proceedings of the APO Seminar on
Reduction of Postharvest Losses of Fruit and Vegetables. In Press.
[DLHK] Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor (ID). 2005. Status
Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kota Bogor. Dinas Lingkungan Hidup dan
Kebersihan Kota Bogor: Bogor.
[DCKTR] Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor (ID). 2009. Laporan
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor. Dinas Cipta Karya dan
Tata Ruang Kota Bogor: Bogor.
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. 2012. Data Produksi Sayuran di Wilayah Bogor
[internet]. [diunduh 2014 Maret 30]. Tersedia pada: http://diperta.jabarprov.go.id/.
Effendi, BS. 2009. Strategi pengendalian hama terpadu tanaman padi dalam
perspektif praktek pertanian yang baik (Good Agricutural Practices).
Pengembangan Inovasi Pertanian. 2(1): 65-78.
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta (ID): Yayasan
Idayu.
Hayami, YT, Kawagoe. Y, Marooka dan Siregar M. 1987. Agricultural Marketing
and Processing in Upland Java, a Perpective From Sunda Village. CEPRT. Bogor.
Indrasti, NS. dan Fauzi, AM. 2009. Produksi Bersih. Bogor (ID): IPB Press.
Kurniah, N. 2009. Alternatif pengelolaan sampah padat kota berdasarkan kajian
analisis penggunaan biaya energi (studi kasus di kota Bogor, Jawa Barat)
[skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Marimin dan Muspitawati, H. 2002. Kajian strategi peningkatan kualitas produk
industri sayuran segar (studi kasus di sebuah agroindustri sayuran segar). Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan. XIII(3).
Marimin dan Maghfiroh, N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam
Manajemen Rantai Pasok. Bogor (ID): IPB Press.
Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu dan Seni kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): Rineka
Cipta.
Nugraha, T dan Rachmani, ID. 2009. Situation of post harvest technology for fresh
produce in Indonesia [ulasan]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.
Pujawan, N. 2005. Supply Chain Management. Surabaya (ID): Guna Widya
[PKHT] Pusat Kajian Hortikultura Tropika. 2013. Konsumsi Perkapita Hortikultura.
Di dalam Ramadini, F. 2014. Perencanaan strategi produk hortikultura di
agribusiness development center [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
26
Saaty TL. 1983. Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for
Decission in Complex World. Pittsburgh. RWS Publication.
Saenab, A dan Retnani, Y. 2011. Beberapa model teknologi pengolahan limbah
sayuran pasar sebagai pakan alternatif pada ternak (kambing/domba) di perkotaan.
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia 2011. Jakarta:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Setyowati dan Budiarti. 1992. Pasca Panen Sayur. Di dalam, Sartika, J. 1997. Studi
perencanaan desain packing house untuk sayuran [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan
Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Subagya, HMS. 1988. Manajemen Logistik. Jakarta (ID): CV Haji Masagung.
Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang (ID): Muhammadiyah University
Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura.
Jakarta.
[UNEP] United Nations Environmental Programme. 2003. Cleaner Production
Assessment in Industries. Di dalam Indrasti, NS dan Fauzi, AM. 2009. Produksi
Bersih. Bogor (ID): IPB Press.
Utama, IMS. 2007. The Horticulture Value Chain Assessment in Eastern Indonesia:
Findings, Recommendations, Proposed Interventions. A presentation given to the
Workshop on “Agribusiness Value Chains: Assessments, Recommendations, and
Proposed Interventions in Eastern Indonesia" Conducted by AMARTA-USAID at
Intercontinental Bali Resort, Bali. Di dalam Utama, I Made Supartha Utama.
Pentingnya Rantai Pendingin dan Teknologi Praktis Pascapanen bagi
Pengembangan Hortikultura di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengkajian Buah-
buahan Tropika, Universitas Udayana. Bali.
Utama, CS dan Mulyanto, A. 2009. Potensi limbah pasar sayur menjadi starter
fermentasi. Jurnal Kesehatan. (2):1.
Walder, J. 2002. Guidelines for Cleaner Production-Conducting Quick-Scans in The
Company. Muttenz-Switzerland: FHBB.
Wardana, IW, Junaidi, Soeroso, RF, dan Akbar, PS. 2012. Sampah untuk energi:
kelayakan pemanfaatan limbah organik dari kantin di lingkungan UNDIP bagi
produksi energi dengan menggunakan reaktor biogas skala rumah tangga. Jurnal
Presipitasi. 9:(2).
Yanti, I. 2007. Analisis usaha tani sayuran organik di perusahaan matahari farm
Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Program Sarjana
Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Yunizal. 1986. Teknologi pengawetan ikan dengan proses silase. Jakarta: Direktorat
Jenderal Perikanan. Di dalam Utama, CS dan Mulyanto, A. 2009. Potensi limbah
pasar sayur menjadi starter fermentasi. Jurnal Kesehatan. (2):1.
LAMPIRAN
27
Lampiran 1 Flowchart rantai logistik industri hortikultura (komoditas sayuran)
non organik
Petani Pengepul Packing House Supermarket Pasar Tradisional
organik
non organiknon organik
pembudidayaan
panen
jenis produk
sortasi
pembelian
pembelian 2
sortasi 2
pengemasan
pengiriman 2pembelian 3
sortasi 3
penjualan
konsumen akhir
pembelian 4
sortasi 4
penjualan 2
konsumen akhir 2
pengiriman
28
Lampiran 2 Neraca massa rantai logistik model I
KOMODITAS: BAYAM HIJAU
`
sortasi
bayam hijau siap
panen
pemanenan
bayam hijau hasil panen
178 kg
produk terjual
168,5 kg
sampah
9,5 kg
petani
sortasi Keterangan:
persentase sampah= 5,3%
bayam hijau dari petani
168,5 kg
pengiriman
produk terjual
168,5 kg
pengepul
Keterangan:
persentase sampah= 0%
29
KOMODITAS: KANGKUNG
`
bayam hijau dari pemasok
23,54 kg
bayam hijau bersih
20,86 kg
sortasi sampah
2,68 kg
penjualan
produk terjual
16,63 kg
produk tidak laku
4,23 kg
pasar tradisional
Keterangan:
Persentase sampah= 11,4%
sortasi
kangkung siap
panen
pemanenan
kangkung hasil panen
253 kg
produk terjual
237,5 kg
sampah
15,5 kg
petani
sortasi Keterangan:
persentase sampah= 6,1%
30
kangkung dari petani
237,5 kg
pengiriman
produk terjual
237,5 kg
pengepul
Keterangan:
persentase sampah= 0%
kangkung dari pemasok
38,53 kg
kangkung bersih
33,17 kg
sortasi sampah
5,36 kg
penjualan
produk terjual
25,87 kg
produk tidak laku
7,3 kg
pasar tradisional
Keterangan:
Persentase sampah= 13,9%
31
KOMODITAS: SAWI HIJAU
`
sortasi
sawi hijau siap
panen
pemanenan
sawi hijau hasil panen
342,5 kg
produk terjual
325 kg
sampah
17,5 kg
petani
sortasi Keterangan:
persentase sampah= 5,1%
sawi hijau dari petani
325 kg
pengiriman
produk terjual
3255 kg
pengepul
Keterangan:
persentase sampah= 0%
32
sawi hijau dari pemasok
280 kg
sawi hijau bersih
247,35 kg
sortasi sampah
32,65 kg
penjualan
produk terjual
201,95 kg
produk tidak laku
45,41 kg
pasar tradisional
Keterangan:
Persentase sampah= 11,7%
33
Lampiran 3 Neraca Massa Rantai Logistik Model II
KOMODITAS: BAYAM HIJAU
bayam hijau siap
panen
pemanenan
bayam hijau hasil panen
19,25 kg
produk terjual
12,78 kg
sampah
6,47 kg
petani
sortasi Keterangan:
persentase sampah= 33,6%
bayam hijau dari petani
10,2 kg
sortasi
bayam hijau bersih
8,4 kg
sampah
1,8 kg
pengemas bahan pengemas
bayam hijau terkemas
8,4 kg
pengiriman
produk terkirim
8,4 kg
packing house
Keterangan:
persentase sampah= 17,6%
34
KOMODITAS: KANGKUNG
bayam hijau dari pemasok
13,5 kg
bayam hijau bersih
12,2 kg
sortasi sampah
1,3 kg
penjualan
produk terjual
10,95 kg
produk tidak laku
1,25 kg
supermarket
Keterangan:
persentase sampah= 9,6%
kangkung siap
panen
pemanenan
kangkung hasil panen
23,33 kg
produk terjual
16,35 kg
sampah
6,98 kg
petani organik
sortasi Keterangan:
persentase sampah= 29,9%
35
kangkung dari pemasok
15,8 kg
kangkung bersih
14,23 kg
sortasi sampah
1,57 kg
penjualan
produk terjual
12,75 kg
produk tidak laku
1,48 kg
supermarket
Keterangan:
persentase sampah= 9,9%
kangkung dari petani
20,32 kg
sortasi
kangkung bersih
16,3 kg
sampah
4,02 kg
pengemas bahan pengemas
kangkung terkemas
16,3 kg
pengiriman
produk terkirim
16,3 kg
packing house
Keterangan:
persentase sampah= 19,8%
36
KOMODITAS: SAWI HIJAU
sawi hijau siap
panen
pemanenan
sawi hijau hasil panen
7,58 kg
produk terjual
5,85 kg
sampah
1,73 kg
petani
sortasi Keterangan:
persentase sampah= 22,8%
sawi hijau dari petani
8,7 kg
sortasi
sawi hijau bersih
7 kg
sampah
1,7 kg
pengemas bahan pengemas
sawi hijau terkemas
7 kg
pengiriman
produk terkirim
7 kg
packing house
Keterangan:
persentase sampah= 19,5%
37
sawi hijau dari pemasok
7,42 kg
sawi hijau bersih
6,81 kg
sortasi sampah
0,61 kg
penjualan
produk terjual
6 kg
produk tidak laku
0,81 kg
supermarket
Keterangan:
persentase sampah= 8,2%
38
Lampiran 4 Perhitungan keuntungan petani pada rantai logistik model I
Basis perhitungan untuk 3000 m
2
Rincian Komoditas
Bayam Hijau Kangkung Sawi Hijau
Biaya produksi
Benih = 7 botol x Rp 35.000/
botol = Rp 245.000
= 20 kg x Rp 17.000/kg
= Rp 340.000
= 500 gr x Rp 90.000/500
gr = Rp 90.000
Pupuk kandang = 80 karung x Rp 5000/
karung = Rp 400.000
= 80 karung x Rp 5000/
karung = Rp 400.000
= 80 karung x Rp 5000/
karung = Rp 400.000
Pupuk urea = 90 kg x Rp 4000/kg
= Rp 360.000
= 90 kg x Rp 4000/kg
= Rp 360.000
= 90 kg x Rp 4000/kg
= Rp 360.000
Pestisida = 4 botol x Rp 25.000/
botol = Rp 100.000
= 4 botol x Rp 25.000/
botol = Rp 100.000
= 4 botol x Rp 25.000/
botol = Rp 100.000
Upah tenaga kerja
dan biaya
perawatan
= 20 hari x Rp
60.000/hari
= Rp 1.200.000
= 20 hari x Rp
60.000/hari
= Rp 1.200.000
= 20 hari x Rp 60.000/hari
= Rp 1.200.000
Jumlah Rp 2.305.000 Rp 2.400.000 Rp 2.150.000
Hasil penjualan
Hasil panen 5500 ikat 9500 ikat 900 kg
Harga jual Rp 500/ikat Rp 300/ikat Rp 2800/kg
Pendapatan Rp 2.750.000 Rp 2.850.000 Rp 2.520.000
Keuntungan Rp 445.000 Rp 450.000 Rp 370.000
Rasio keuntungan 19,3% 18,8% 17,2%
Lampiran 5 Perhitungan keuntungan petani pada rantai logistik model II
Basis perhitungan untuk 3000 m
2
Rincian Komoditas
Bayam Hijau Kangkung Sawi Hijau
Biaya produksi
Benih Rp 40.000 Rp 45.000 Rp 54.000
Pupuk kandang = 15 karung x Rp 5000/
karung = Rp 75.000
= 15 karung x Rp 5000/
karung = Rp 75.000
= 15 karung x Rp 5000/
karung = Rp 75.000
Pupuk cair organik = 10 L x Rp 8000/L
= Rp 80.000
= 10 L x Rp 8000/L
= Rp 80.000
= 10 L x Rp 8000/L
= Rp 80.000
Upah tenaga kerja
dan biaya
perawatan
= 13 hari x Rp 35.000/
hari
= Rp 455.000
= 13 hari x Rp 35.000/
hari
= Rp 455.000
= 13 hari x Rp 35.000/hari
= Rp 455.000
Jumlah Rp 650.000 Rp 655.000 Rp 664.000
Hasil penjualan
Hasil panen 95 kg 105 kg 95 kg
Harga jual Rp 9000/kg Rp 8000/kg Rp 9000/kg
Pendapatan Rp 855.000 Rp 840.000 Rp 855.000
Keuntungan Rp 205.000 Rp 185.000 Rp 191.000
Rasio keuntungan 31,5% 28,2% 28,8%
39
Lampiran 6 Perhitungan keuntungan tingkat pengepul
Rincian Komoditas
Bayam Hijau Kangkung Sawi Hijau
Biaya operasional
Harga beli satuan dari
petani
Rp 500/ikat Rp 300/ikat Rp 2800/kg
Jumlah komoditas
terangkut
2500 ikat 2500 ikat 1000 kg
Biaya distribusi Rp 300.000 Rp 300.000 Rp 250.000
Total biaya Rp 1.550.000 Rp 1.050.000 Rp 3.050.000
Pendapatan
Harga jual ke pedagang Rp 55000/50 ikat Rp 40000/50 ikat Rp 4600/kg
Harga satuan Rp 1100/ikat Rp 800/ikat Rp 4600/ikat
Jumlah komoditas yang
laku
2500 ikat 2500 ikat 1000 kg
Total pendapatan Rp 2.750.000 Rp 2.000.000 Rp 4.600.000
Keuntugan Rp 1.200.000 Rp 950.000 Rp 1.550.000
Rasio keuntungan 77,4% 90,4% 50,8%
Lampiran 7 Perhitungan keuntungan tingkat supermarket
Rincian Komoditas
Bayam Hijau Kangkung Sawi Hijau
Harga beli Rp 4500/pack Rp 4200/pack Rp 4500/pack
Harga jual Rp 4950/pack Rp 4950/pack Rp 5300/pack
Keuntugan Rp 450/pack Rp 750/pack Rp 800/pack
Rasio keuntungan 10% 17,9% 17,8%
Lampiran 8 Perhitungan keuntungan tingkat pedagang pasar tradisional
Rincian Komoditas
Bayam Hijau Kangkung Sawi Hijau
Harga beli Rp 1100/ikat Rp 800/ikat Rp 4600/kg
Harga jual Rp 2000/ikat Rp 1500/ikat Rp 6000/kg
Keuntugan Rp 900/ikat Rp 700/ikat Rp 1400/kg
Rasio keuntungan 81,8% 87,5% 30,4%
40
Lampiran 9 Perhitungan nilai tambah tingkat packing house
No Variabel Bayam Hijau Kangkung Sawi Hijau
Output, Input dan Harga
1 Output (Kg/hari) 8,40 16,30 7,00
2 Input (Kg/hari) 10,20 20,32 8,70
3 Sampah (Kg/hari) 1,8 4,02 1,7
4 Tenaga kerja langsung (Jam/hari) 7,00 7,00 7,00
5 Faktor konversi 0,82 0,80 0,80
6 Koefisien tenaga kerja (Jam/Kg) 0,69 0,34 0,80
7 Harga produk (Rp/Kg) 22500 21000 22500
8 Harga ekonomis sampah/kompos
(Rp/Kg) 1000 1000 1000
9 Upah tenaga kerja (Rp/jam) 325 325 325
Penerimaan dan Keuntungan
10 Harga bahan baku (Rp/Kg) 9000 8000 9000
11 Harga plastik berlabel (Rp/Kg) 3500 3500 3500
12 Harga isolasi hijau (Rp) 381 381 381
13 Harga kardus (Rp/buah) 600 600 600
14 Produksi (Rp/Kg) 18529,41 16845,47 18103,45
15 Nilai Kompos (Rp/Kg) 1800 4020 1700
16 Nilai tambah (Rp/Kg) 6848,41 8384,47 6322,45
Rasio nilai tambah (%) 36,96 49,77 34,92
17 Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) 223,04 111,96 261,49
Pangsa tenaga kerja (%) 3,26 1,34 4,14
18 Keuntungan (Rp/Kg) 6625,37 8272,51 6060,95
Tingkat keuntungan (%) 35,76 49,11 33,48
41
Lampiran 10 Kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP)
Kuesioner Penelitian Implementasi Produksi Bersih
pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (studi kasus di wilayah Bogor)
Tanggal Pengisian:
Penggunaan Proses Hirarki Analitik
Industri Hortikultura yang Ramah Lingkungan
Kuisioner ini merupakan salah satu instrumen dalam menyelesaikan penelitian.
Kuisioner ini disusun oleh:
Peneliti : Septiatri Wulandari
NRP : F34100042
Program Studi : Teknologi Industri Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Perguruan Tinggi : Institut Pertanian Bogor
Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M. Eng
IDENTITAS RESPONDEN
Nama Responden :
Instansi :
42
PE
NG
AN
TA
R
Pen
gis
ian
kuis
ioner
in
i ber
tuju
an
untu
k
men
entu
kan
st
rate
gi
dal
am
pen
erap
an
pro
duksi
ber
sih
pad
a in
dust
ri
hort
ikult
ura
yan
g
ram
ah
lingkun
gan
. S
truktu
r hir
arki
dap
at d
ilih
at p
ada
gam
bar
di
baw
ah i
ni:
Ga
mb
ar
1. H
irark
i k
epu
tusa
n p
ener
ap
an
pro
du
ksi
ber
sih
pad
a i
nd
ust
ri h
ort
iku
ltu
ra
42
TU
JUA
N
FA
KT
OR
AK
TO
R
AL
TE
RN
AT
IF
min
imas
i te
rben
tukn
ya
sam
pah
pro
duk h
ort
ikult
ura
(sa
yu
ran)
di
tin
gkat
konsu
men
(pas
ar d
an s
up
erm
ark
et)
mel
alui
pen
erap
an p
roduksi
ber
sih
dal
am r
anta
i lo
gis
tik i
ndust
ri h
ort
ikult
ura
finan
sial
lingkun
gan
teknis
pet
ani
pack
ing h
ou
se
super
mark
et
ped
agan
g p
asar
pem
erin
tah
pen
erap
an
Go
od
Ag
ricu
ltu
re
Pra
ctic
es
pro
duksi
ber
bas
is
per
min
taan
pen
yed
iaan
sar
ana
dan
pra
sara
na
un
tuk
imp
lem
enta
si p
rod
uksi
ber
sih
pem
an
faat
an l
imb
ah
(sam
pah
sayura
n)
untu
k p
rod
uk b
ernil
ai
eko
no
mi
pen
erap
an
sist
em
pa
ckin
g
ho
use
43
PETUNJUK PENGISIAN
I. UMUM
1. Isi kolom identitas yang terdapat pada halaman depan kuesioner.
2. Berikan penilaian terhadap hierarki penentuan strategi meminimumkan
terbentuknya sampah produk hortikultura (sayuran) melalui penerapan produksi
bersih dalam rantai logistik industri hortikultura.
3. Penilaian dilakukan dengan membandingkan tingkat kepentingan/peran
komponen dalam satu level hierarki yang berkaitan dengan komponen-
komponen level sebelumnya menggunakan skala penilaian yang terdapat pada
petunjuk bagian II.
4. Penilaian dilakukan dengan mengisi titik-titik pada kolom yang telah tersedia.
II. SKALA PENILAIAN
Definisi dari skala yang digunakan adalah sebagai berikut.
Nilai perbandingan
(A dibandingkan B) Definisi
1
3
-3
5
-5
7
-7
9
-9
2,4,6,8 atau -2,-4,-6,-8
A sama penting dengan B
A sedikit lebih penting dari B
Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A)
A jelas lebih penting dari B
Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A)
A sangat jelas lebih penting dari B
Kebalikannya (B sangat jelas lebih penting dari A)
A mutlak lebih penting dari B
Kebalikannya (B mutlak lebih penting dari A)
Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan
patokan di atas
Keterangan :
Dalam pengisian kuesioner ini Bapak/Ibu/Saudara/Saudari diminta untuk
membandingkan mana yang lebih penting antara elemen A dengan elemen B, lalu
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah
menentukan salah satu elemen yang menjadi prioritas untuk di-implementasikan
berdasarkan pendapat responden.
44
Contoh Pengisian :
Misalkan terdapat elemen yang mempengaruhi efisiensi pengeluaran jumlah limbah
yang dihasilkan yaitu faktor modal, teknologi, kebijakan industri dan dukungan
pemerintah. Berdasarkan tingkat kepentingan maka faktor tersebut disusun dalam
bentuk tabel seperti pada contoh berikut:
Elemen Faktor A Elemen Faktor B
Modal Teknologi Kebijakan industri Dukungan pemerintah
Modal 1 5(a)
-3(b)
9
Teknologi 1 6 7
Kebijakan industri 1 -2
Dukungan
pemerintah 1
Keterangan :
Nilai Pada (a)
: Faktor Modal jelas lebih penting dari Teknologi
Nilai Pada (b)
: Faktor Kebijakan Industri sedikit lebih penting dari Modal
Perhatian : Konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan
45
III. ISI KUESIONER
Tabel 1. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen faktor di bawah ini
berdasarkan Goal minimasi terbentuknya sampah sayuran melalui
penerapan produksi bersih dalam rantai logistik industri
hortikultura.
Elemen Faktor A Elemen Faktor B
Finansial Lingkungan Teknis
Finansial 1 ... ...
Lingkungan 1 ...
Teknis 1
Tabel 2.1. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen aktor di bawah ini
dengan memperhatikan faktor finanasial untuk minimasi terbentuknya
sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam rantai logistik
industri hortikultura.
Elemen Faktor A
Elemen Faktor B
Petani Packing
house Supermarket
Pedagang
pasar
Pemerintah
Petani 1 ... ... ... ...
Packing house 1 ... ... ...
Supermarket 1 ... ...
Pedagang pasar 1 ...
Pemerintah 1
Tabel 2.2. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen aktor di bawah ini
dengan memperhatikan faktor lingkungan untuk minimasi terbentuknya
sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam rantai logistik
industri hortikultura.
Elemen Faktor A
Elemen Faktor B
Petani Packing
house Supermarket
Pedagang
pasar
Pemerintah
Petani 1 ... ... ... ...
Packing house 1 ... ... ...
Supermarket 1 ... ...
Pedagang pasar 1 ...
Pemerintah 1
46
Tabel 2.3. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen aktor di bawah ini
dengan memperhatikan faktor teknis untuk minimasi terbentuknya sampah
sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam rantai logistik industri
hortikultura.
Elemen Faktor A
Elemen Faktor B
Petani Packing
house Supermarket
Pedagang
pasar
Pemerintah
Petani 1 ... ... ... ...
Packing house 1 ... ... ...
Supermarket 1 ... ...
Pedagang pasar 1 ...
Pemerintah 1
Tabel 3.1. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif di bawah
ini dengan memperhatikan aktor petani untuk minimasi terbentuknya
sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam rantai logistik
industri hortikultura.
Elemen Faktor
A
Elemen Faktor B
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
Produksi
berbasis
permintaan
Penerapan
sistem
packing
house
Penyediaan
sarana dan
prasarana
untuk
implementasi
produksi
bersih
Pemanfaatan
limbah
(sampah
sayuran)
untuk
produk
bernilai
ekonomi
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
1 ... ... ... ...
Produksi
berbasis
permintaan 1 ... ... ...
Penerapan
sistem packing
house 1 ... ...
Penyediaan
sarana dan
prasarana untuk
implementasi
produksi bersih
1 ...
Pemanfaatan
limbah (sampah
sayuran) untuk
produk bernilai
ekonomi
1
47
Tabel 3.2. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif di bawah
ini dengan memperhatikan aktor packing house untuk minimasi
terbentuknya sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam
rantai logistik industri hortikultura.
Elemen Faktor
A
Elemen Faktor B
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
Produksi
berbasis
permintaan
Penerapan
sistem
packing
house
Penyediaan
sarana dan
prasarana
untuk
implementasi
produksi
bersih
Pemanfaatan
limbah
(sampah
sayuran)
untuk
produk
bernilai
ekonomi
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
1 ... ... ... ...
Produksi
berbasis
permintaan 1 ... ... ...
Penerapan
sistem packing
house 1 ... ...
Penyediaan
sarana dan
prasarana untuk
implementasi
produksi bersih
1 ...
Pemanfaatan
limbah (sampah
sayuran) untuk
produk bernilai
ekonomi
1
48
Tabel 3.3. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif di bawah
ini dengan memperhatikan aktor supermarket untuk minimasi
terbentuknya sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam
rantai logistik industri hortikultura.
Elemen Faktor
A
Elemen Faktor B
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
Produksi
berbasis
permintaan
Penerapan
sistem
packing
house
Penyediaan
sarana dan
prasarana
untuk
implementasi
produksi
bersih
Pemanfaatan
limbah
(sampah
sayuran)
untuk
produk
bernilai
ekonomi
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
1 ... ... ... ...
Produksi
berbasis
permintaan 1 ... ... ...
Penerapan
sistem packing
house 1 ... ...
Penyediaan
sarana dan
prasarana untuk
implementasi
produksi bersih
1 ...
Pemanfaatan
limbah (sampah
sayuran) untuk
produk bernilai
ekonomi
1
49
Tabel 3.4. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif di bawah
ini dengan memperhatikan aktor pedagang pasar untuk minimasi
terbentuknya sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam
rantai logistik industri hortikultura.
Elemen Faktor
A
Elemen Faktor B
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
Produksi
berbasis
permintaan
Penerapan
sistem
packing
house
Penyediaan
sarana dan
prasarana
untuk
implementasi
produksi
bersih
Pemanfaatan
limbah
(sampah
sayuran)
untuk
produk
bernilai
ekonomi
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
1 ... ... ... ...
Produksi
berbasis
permintaan 1 ... ... ...
Penerapan
sistem packing
house 1 ... ...
Penyediaan
sarana dan
prasarana untuk
implementasi
produksi bersih
1 ...
Pemanfaatan
limbah (sampah
sayuran) untuk
produk bernilai
ekonomi
1
50
Tabel 3.5. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif di bawah
ini dengan memperhatikan aktor pemerintah untuk minimasi
terbentuknya sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih dalam
rantai logistik industri hortikultura.
Elemen Faktor
A
Elemen Faktor B
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
Produksi
berbasis
permintaan
Penerapan
sistem
packing
house
Penyediaan
sarana dan
prasarana
untuk
implementasi
produksi
bersih
Pemanfaatan
limbah
(sampah
sayuran)
untuk
produk
bernilai
ekonomi
Penerapan
Good
Agriculture
Practices
1 ... ... ... ...
Produksi
berbasis
permintaan 1 ... ... ...
Penerapan
sistem packing
house 1 ... ...
Penyediaan
sarana dan
prasarana untuk
implementasi
produksi bersih
1 ...
Pemanfaatan
limbah (sampah
sayuran) untuk
produk bernilai
ekonomi
1
51
Lampiran 11 Hasil akhir analisis struktur AHP
Lampiran 12 Struktur hirarki analitik berbobot
52
Lampiran 13 Analisis kelayakan finansial penerapan GAP
13.1 Asumsi-asumsi perhitungan kelayakan finansial penerapan GAP Uraian Harga Sumber Keterangan
Basis
perhitungan
lahan
- - 1000 m2
Benih bayam
hijau organik Rp 49.000/500 gr
http://tokoagro.com/product/109/5
1/Benih-Bayam-Cabut-Hijau-
Muda-500Gr
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 400 gram
benih
Benih bayam
hijau Rp 24.500/500 gr
Wawancara dengan petani di
Ciaruteun Ilir
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 400 gram
benih
Benih
kangkung
darat organik
Rp 37.500/kg
http://bursabibit.com/benih-
kangkung-kencana-1kg-id-
4852.html
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 1000 gram
benih
Benih
kangkung
darat
Rp 19.000/kg Wawancara dengan petani di
Ciaruteun Ilir
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 1000 gram
benih
Benih sawi
hijau organik Rp 13.500/25 gr
http://bursabibit.com/benih-sawi-
hijau-sri-tanjung-id-4837.html
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 75 gram benih
Benih sawi
hijau Rp 14.000/50 gr
Wawancara dengan petani di
Ciaruteun Ilir
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 75 gram benih
Pupuk
kandang Rp 9000/25 kg
http://bumipelangi.indonetwork.c
o.id/4261745/jual-pupuk-
kandang.htm
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 200 kg pupuk
kandang (Yanti 2007)
Pupuk
kompos Rp 500/kg
http://tabloidsinartani.com/read-
detail/read/peluang-usaha-pupuk-
organik/
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 240 kg pupuk
kandang (Yanti 2007)
Pupuk urea Rp 4000/kg Wawancara dengan petani di
Ciaruteun Ilir
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 30 kg pupuk
urea
Pestisida Rp 35.000/botol Wawancara dengan petani di
Ciaruteun Ilir
Untuk 1000 m2
dibutuhkan 3 botol
pestisida
Plastik Mulsa Rp 380.000/roll http://agromaret.com/jual/2677
6/jual_mulsa_plastik_pe Untuk 1000 m
2
dibutuhkan 1 roll
Waktu panen
seluruh
komoditas
1 bulan - 1 bulan = 20 hari
Harga sewa
lahan Rp 15.000/m
2 -
Untuk 1000 m2 = Rp
15.000.000/tahun (hasil
konversi)
PBB 10% dari harga
awal -
Pembayaran pajak
dilakukan setiap tahun
Upah tenaga
kerja
Rp 15.000/hari
(sebelum GAP)
Rp 22.500/hari
(setelah GAP)
(Yanti 2007) 1 hari = 8 jam
1 pekerja
Pompa air
shimizu PS Rp 940.000/unit
http://e-harga.com/93/daftar-
harga-mesin-pompa-air.html -
53
230 BIT
Instalasi air Rp 4.000.000 (Yanti 2007) -
Cangkul Rp 30.000/unit (Yanti 2007) -
Garukan Rp 25.000/unit (Yanti 2007) -
Kored Rp 15.000/unit (Yanti 2007) -
Parang Rp 15.000/unit (Yanti 2007) -
Sprayer Rp 125.000/unit (Yanti 2007) -
Mesin
pembuat
pupuk cair
Rp
11.500.000/unit
http://mesinpertanian.indonetw
ork.co.id/2562339/mesin-
produksi-pembuat-membuat-
pembuatan-pupuk-organik-
cair.htm
-
13.2 Total biaya investasi
Investasi Satuan Harga investasi
(Rp/unit)
Kebutuhan sebelum
penerapan GAP
Kebutuhan setelah
penerapan GAP
Sewa lahan m2 15.000 1000 1000
Instalasi air Unit 4.000.000 1 1
Mesin pompa air Buah 940.000 1 1
Cangkul Buah 30.000 4 4
Garukan Buah 25.000 2 2
Kored Buah 15.000 4 4
Parang Buah 15.000 2 2
Sprayer Buah 125.000 1 1 Tempat
penyimpanan
dingin
Buah 125.000 - 1
Mesin pembuat
pupuk cair Buah
11.500.000 - 1
Total Investasi Rp 20.325.000 Rp 31.950.000
Investasi Tambahan untuk Penerapan GAP Rp 11.625.000
Komoditas: Bayam Hijau
13.3 Total biaya operasional
Uraian biaya operasional
Harga sebelum
penerapan GAP
(Rp/bulan)
Harga setelah
penerapan GAP
(Rp/bulan)
Pajak Bumi dan Bangunan 125.000 125.000
Benih bayam 19.600 39.200
Pupuk kandang 36.000 36.000
Pupuk kompos 0 120.000
Pupuk urea 120.000 0
Pestisida 105.000 0
Plastik Mulsa 0 380.000
Upah tenaga kerja 300.000 300.000
Total Biaya Operasional 705.600 1.150.200
54
13.4 Total penerimaan dan keuntungan komoditas bayam hijau
Uraian Hasil sebelum
penerapan GAP
Hasil setelah
penerapan GAP
(dengan peningkatan
harga jual)
Hasil setelah
penerapan GAP
(tanpa peningkatan
harga jual)
Harga jual produk Rp 500/ikat Rp 9000/kg Rp 6000/kg
Jumlah produksi 1900 ikat/bulan 250 kg/bulan 250 kg/bulan
Total Penerimaan Rp 950.000/bulan Rp 2.250.000/bulan Rp 1.500.000/bulan
Keuntungan Rp 244.400/bulan Rp 1.099.800/bulan Rp 349.800
Net Keuntungan Rp 855.400/bulan Rp 105.400
13.5 Payback period penerapan GAP komoditas bayam hijau
Uraian
Hasil setelah penerapan
GAP (dengan peningkatan
harga jual)
Hasil setelah penerapan
GAP (tanpa peningkatan
harga jual)
Total investasi Rp 11.625.000 Rp 11.625.000
Keuntungan Rp 1.099.800/bulan Rp 349.800
Payback Period 10,6 bulan 33,2 bulan
Komoditas: Kangkung
13.6 Total biaya operasional
Uraian biaya operasional
Harga sebelum
penerapan GAP
(Rp/bulan)
Harga setelah
penerapan GAP
(Rp/bulan)
Pajak Bumi dan Bangunan 125.000 125.000
Benih kangkung 19.000 37.500
Pupuk kandang 36.000 36.000
Pupuk kompos 0 120.000
Pupuk urea 120.000 0
Pestisida 105.000 0
Plastik Mulsa 0 380.000
Upah tenaga kerja 300.000 450.000
Total Biaya Operasional 705.000 1.148.500
13.7 Total penerimaan dan keuntungan komoditas kangkung
Uraian Hasil sebelum
penerapan GAP
Hasil setelah
penerapan GAP
(dengan peningkatan
harga jual)
Hasil setelah
penerapan GAP
(tanpa peningkatan
harga jual)
Harga jual produk Rp 300/ikat Rp 8000/kg Rp 5000/kg
Jumlah produksi 3200 ikat/bulan 300 kg/bulan 300 kg/bulan
Total Penerimaan Rp 960.000/bulan Rp 2.400.000/bulan Rp 1.500.000/bulan
Keuntungan Rp 255.000/bulan Rp 1.251.500/bulan Rp 351.500/bulan
Net Keuntungan Rp 831.500/bulan Rp 96.500/bulan
55
13.8 Payback period penerapan GAP komoditas kangkung
Uraian
Hasil setelah penerapan
GAP (dengan
peningkatan harga jual)
Hasil setelah penerapan
GAP (tanpa peningkatan
harga jual)
Total investasi Rp 11.625.000 Rp 11.625.000
Keuntungan Rp 1.251.500/bulan Rp 351.500/bulan
Payback Period 9,3 bulan 33,1 bulan
Komoditas: Sawi Hijau
13.9 Total biaya operasional
Uraian biaya operasional
Harga sebelum
penerapan GAP
(Rp/bulan)
Harga setelah
penerapan GAP
(Rp/bulan)
Pajak Bumi dan Bangunan 125.000 125.000
Benih sawi hijau 21.000 40.500
Pupuk kandang 36.000 36.000
Pupuk kompos 0 120.000
Pupuk urea 120.000 0
Pestisida 105.000 0
Plastik Mulsa 0 380.000
Upah tenaga kerja 300.000 450.000
Total Biaya Operasional 707.000 1.151.500
13.7 Total penerimaan dan keuntungan komoditas sawi hijau
Uraian Hasil sebelum
penerapan GAP
Hasil setelah
penerapan GAP
(dengan peningkatan
harga jual)
Hasil setelah
penerapan GAP
(tanpa
peningkatan harga
jual)
Harga jual produk Rp 2800/kg Rp 9000/kg Rp 2800/kg
Jumlah produksi 300 kg/bulan 340 kg/bulan 340 kg/bulan
Total Penerimaan Rp 840.000/bulan Rp 3.060.000/bulan Rp 952.000/bulan
Keuntungan Rp 133.000/bulan Rp 1.908.500/bulan Rp 245.000/bulan
Net Keuntungan Rp 1.775.500/bulan Rp 112.000/bulan
13.8 Payback period penerapan GAP komoditas sawi hijau
Uraian
Hasil setelah penerapan
GAP (dengan
peningkatan harga jual)
Hasil setelah penerapan
GAP (tanpa peningkatan
harga jual)
Total investasi Rp 11.625.000 Rp 11.625.000
Keuntungan Rp 1.908.500/bulan Rp 245.000/bulan
Payback Period 6,1 bulan 47,4 bulan
56
Lampiran 14 Analisis kelayakan finansial penerapan packing house
14.1 Asumsi-asumsi perhitungan kelayakan finansial penerapan packing house Uraian Harga Sumber Keterangan
Mesin
penyimpanan
dingin
(Koronka
plug-in cold
room chiller)
Rp 66.526.000
http://tokopendingin.com/index.p
hp?action=store.showProduct&pr
oduct_id=310&title=Koronka%20
Plug-
in%20Cold%20Room%20Chiller
%20%28KPCR-116-C%29
- Umur ekonomis alat
20 tahun
- Temperatur chiller 2-
8oC
- Kapasitas 1500 kg
Hand sealer
besi 30 cm Rp 325.000/unit
http://ramesiamesin.com/hand-
sealer/
Umur ekonomis alat 6
tahun
Neraca
analitik digital
0,01-300 gr
Exelent
Rp 2.550.000/unit
http://www.indonetwork.co.id/pri
vate_equipment/1497729/jual-
timbangan-digital-analitic-mg-
murah-mulai-2-85-jt.htm
Umur ekonomis alat 6
tahun
Keranjang
industri
lubang
Rp 63.100/unit
http://vitta-
vitti.indonetwork.co.id/3944042/k
eranjang-industri-lubang.htm
- Umur ekonomis alat 8
tahun
- Tinggi keranjang 25
cm
Bak pencuci
stainless SB
42E
Rp 185.000/unit
http://keramik2014.blogspot.com/
2013/11/harga-bak-cuci-piring-
stainless-royal.html
Umur ekonomis alat 5
tahun
Meja panjang Rp 400.000/unit - -
Mobil eutetic
box (Panther
Isuzu box
pendingin)
tahun 2002
Rp 39.000.000/
unit
http://kendaraan.trovit.co.id/index
.php/cod.frame/url.http%253A%2
52F%252Fwww.tokobagus.com%
252Fiklan%252Fisuzu-box-
pendingin-
54127082.html/id_ad.T1D1K13U
1U161j/what_d.jual%20box%20p
endingin/origin.2/section.1/sectio
n_type.1/pop.1
Umur ekonomis mobil 25
tahun
Harga lahan Rp 200.000/m2
http://joglo.webs.com/apps/blog/s
how/22756989-akibat-
pembangunan-tak-merata-terjadi-
gap-harga-tanah-di-bogor-
Untuk 300 m2 = Rp
60.000.000 (hasil
konversi)
PBB 10% dari harga
awal -
Pembayaran pajak
dilakukan setiap tahun
Upah tenaga
kerja Rp 12.000/hari - 1 hari = 8 jam
ATK Rp 400.000 - Umur ekonomis 5 tahun
Harga akhir
alat Rp 0 -
Perhitungan biaya
penyusutan menggunakan
metode garis lurus
57
14.2 Biaya investasi alat pendirian packing house
Alat
Harga
Investasi
Alat
(Rp/unit)
Unit
Total Harga
InvestasI
Alat (Rp)
Umur
Ekonomis
(Tahun)
Harga
Penyusutan
(Rp/Tahun/Unit)
Total Harga
Penyusutan
(Rp/Tahun)
Cold room
chiller 66.526.000 1 66.526.000 20 3.326.500 3.326.500
Hand sealer 325.000 5 1.625.000 6 54.166,67 270.833,3
Neraca
analitik 2.550.000 3 7.650.000 6 425.000 1.275.000
Keranjang 63.100 10 631.000 8 7887,5 78.875
Bak pencuci 185.000 1 185.000 5 37.000 37.000
Meja panjang 400.000 1 400.000 10 40.000 40.000
Mobil box
pendingin 39.000.000 1 39.000.000 25 1.560.000 1.560.000
ATK 400.000 - 400.000 5 100.000 80.000
TOTAL INVESTASI ALAT 116.417.000 TOTAL PENYUSUTAN 6.668.208
TOTAL PENYUSUTAN (Rp/Bulan) 555.684
14.3 Total biaya investasi pendirian packing house
Uraian Harga Investasi (Rp)
Harga investasi alat dan instalasi
pertanian total 116.417.000
Harga investasi lahan (300 m2) 60.000.000
Pendirian bangunan 50.000.000
TOTAL BIAYA INVESTASI 226.417.000
14.4 Biaya tetap pendirian packing house
Uraian Nilai
(Rp/Bulan)
Pajak Bumi dan Bangunan 500.000
Total penyusutan alat 555.684
TOTAL BIAYA TETAP 1.057.351
58
14.5 Biaya variabel pendirian packing house
Uraian Kuantitas
(per bulan) Harga Satuan Nilai (Rp/ Bulan)
Bayam hijau dari
petani
306 kg Rp 9000/kg 2.754.000
Kangkung dari
petani
609,6 kg Rp 8000/kg 4.876.800
Sawi hijau dari
petani
261 kg Rp 9000/kg 2.349.000
Plastik berlabel Untuk
mengemas
sekitar 960
kg
Rp 3500/kg 3.360.000
Isolasi hijau 3 unit Rp 381/unit 1143
Upah tenaga kerja 3 orang Rp 360.000/orang/bulan 1.080.000
Biaya distribusi - Rp 60.000/hari 1.800.000
TOTAL BIAYA VARIABEL 16.220.943
14.6 Biaya total produksi pendirian packing house
Uraian Nilai
(Rp/Bulan)
Biaya tetap total 1.057.351
Biaya variabel total 16.220.943
BIAYA TOTAL 17.278.294
14.7 Total penerimaan dan keuntungan pendirian packing house
Uraian Nilai
Harga jual produk bayam hijau Rp 22.500/kg
Jumlah produksi bayam hijau 252 kg/bulan
Harga jual produk kangkung Rp 21.000/kg
Jumlah produksi kangkung 489 kg/bulan
Harga jual produk sawi hijau Rp 22.500/kg
Jumlah produksi sawi hijau 210 kg/bulan
Penerimaan bayam hijau Rp 5.670.000/bulan
Penerimaan kangkung Rp 10.269.000/bulan
Penerimaan sawi hijau Rp 4.725.000/bulan
TOTAL PENERIMAAN Rp 20.664.000
Keuntungan Rp 3.385.706
Payback Period 66,9 bulan = 6 tahun
59
Lampiran 15 Desain packing house
1
2
3
4
5
Keterangan ruangan
1 Pos satpam
2 Office
3 Ruang packing house
4 Tempat parkir
5 Toilet
Keterangan di ruang packing house
Ruang penyimpanan dingin
Tempat pencucian sayuran
Meja untuk proses pengemasan
Neraca digital
Rak penyimpanan keranjang dan bahan kemas
Papan pengumuman
Tempat sampah sayuran
60
Lam
pir
an
16
Dok
um
enta
si p
enel
itia
n
B
enih
Lah
an p
etan
i
P
rose
s pem
anen
an
H
asil
pan
en
K
om
odit
as s
ebel
um
sort
asi
K
om
odit
as s
etel
ah s
ort
asi
Sam
pah
has
il s
ort
asi
pet
ani
B
rand p
ack
ing h
ouse
R
uan
g p
encu
cian
di
pa
ckin
g h
ouse
R
uan
g p
rodu
ksi
pack
ing h
ouse
R
uan
g p
endin
gin
pack
ing h
ouse
A
lat
dis
trib
usi
pack
ing h
ouse
60
61
S
ort
asi
di
pack
ing h
ouse
Pro
ses
pen
imban
gan
di
pack
ing h
ouse
Sam
pah
has
il s
ort
asi
pack
ing h
ou
se
Pro
duk p
ack
ing h
ouse
P
rose
s pen
gep
akan
di
pa
ckin
g h
ouse
Pel
etak
kan
sayura
n d
i su
per
mark
et
Pel
etak
kan
sayura
n d
i pas
ar t
radis
ional
T
empat
Pem
buan
gan
Sem
enta
ra d
i pas
ar S
ampah
has
il s
ort
asi
ped
agan
g
P
enum
pukan
sam
pah
sayura
n d
i ja
lan s
ekit
ar p
asar
61
62
63
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 September 1992 dari ayah Drs.
Supard, MM dan ibu Sri Widawati. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara.
Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Depok dan pada tahun yang sama penulis
lulus dari seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Penerapan
Komputer pada tahun ajaran 2012/2013, sensory panelist in Research Absolute
Threshold of Basic Tastes, Collaboration Research of SEAFAST Center IPB and
Chikaku Research Center – SUNTORY, JAPAN pada bulan Maret 2013, dan
melaksanakan praktik lapang pada bulan Juni-Agustus 2013 dengan judul “Studi Aspek
Manajemen Proses dan Penanganan Limbah Industri di PT. Abbott Indonesia”.
Penulis telah menyelesaikan penelitian akhir dan menyusun skripsi dengan judul
“Analisis Strategi Penerapan Produksi Bersih Pada Rantai Logistik Industri
Hortikultura” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.ENG. yang
dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014.
62