ANALISIS TERHADAP ETIKA DAN TATA CARA MAKAN
MASYARAKAT JEPANG
NIHON NO SHAKAI NO TABEKATA TO MANAA NI TAISURU BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan
Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana
Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
ASTRID NABILLA RAHMADANI
140708094
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan
kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan pendidikan akhir guna memperoleh gelar Sarjana
Sastra di Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “ANALISIS
TERHADAP ETIKA DAN TATA CARA MAKAN MASYARAKAT JEPANG”.
Penulis memperoleh banyak bantuan, bimbingan dan dukungan baik secara
moril maupun materil yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung dari
berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, antara lain:
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Sastra
Jepang Universitas Sumatera Utara.
3. Drs. Amin Sihombing selaku Staff Pengajar Jurusan Sastra Jepang
Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing, yang telah banyak
meluangkan waktunya dan pikirannya dalam membantu penulis
mengerjakan skripsi ini, hingga selesai tepat pada waktunya.
4. Para Staff Pengajar Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan didikan dan ilmunya selama masa perkuliahan.
5. Terlebih penulis ucapkan terima kasih yang paling dalam dengan tulus hati
kepada kedua orang tua tercinta ayahanda Ir. Rachmad dan ibunda Dra.
Universitas Sumatera Utara
ii
Erlyna Lubis, serta adik-adik tercinta Amanda Salsabila Rahmadani,
Amelia Hanifa Rahmadani dan Muhammad Ariq Maulana Falah yang telah
memberikan kasih sayang dan bantuan moril maupun materil serta doa yang
tulus selama perkuliahan sampai selesainya Skripsi ini.
6. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk Muhammad Abiyyu Zhafran
yang selalu sabar dan membimbing dalam pencarian bahan dan dukungan
baik tenaga maupun moril dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.
7. Teman-teman seperjuangan di Sastra Jepang USU angkatan 2014, Selvi,
Zura, Ajid, Arep Cina, Fira, Ipit, Dila dan yang lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Serta teman-teman KKN Labura – 4 yang
juga memberi dukungan, Iman, Diki, Arep, Bundis, Ningnung, Ayak, Yuni,
Zizah, Devi, Atina.
8. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan disebabkan
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai
pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembacanya.
Medan, 23 Oktober 2018
Penulis
ASTRID NABILLA RAHMADANI
NIM. 140708094
Universitas Sumatera Utara
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .....................................................................1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................4
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...............................................................5
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ................................................6
1.4.1 Tinjauan Pustaka .......................................................................6
1.4.2 Kerangka Teori .........................................................................8
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................9
1.5.1 Tujuan Penelitian ....................................................................9
1.5.2 Manfaat Penelitian ..................................................................10
1.6 Metode Penelitian ...............................................................................10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORAN JEPANG, TATAMI
DAN PERALATAN MAKAN MASYARAKAT JEPANG
2.1 Restoran Jepang ...................................................................................13
2.2 Sejarah dan Budaya Makan Masyarakat Jepang ................................15
Universitas Sumatera Utara
iv
2.3.1 Sejarah Makanan .......................................................................15
2.3.2 Budaya Makan ..........................................................................19
2.3 Tatami .................................................................................................21
2.4 Jenis-Jenis Peralatan Makan ................................................................22
BAB III ANALISIS TENTANG ETIKA DAN TATA CARA MAKAN
MASYARAKAT JEPANG
3.1 Etika Makan Masyarakat Jepang ........................................................27
3.2 Tata Cara Makan Masyarakat Jepang ..................................................33
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan .........................................................................................38
4.2 Saran ....................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Table manner atau aturan dan etiket yang digunakan saat makan, pasti
memiliki perbedaan di setiap belahan dunia. Table manner dari Negara Barat kini
merupakan yang paling banyak dijadikan panutan dan digunakan oleh Negara lain,
seperti di Indonesia, Singapore, dan lainnya. Cara dan etiket yang digunakan di
setiap Negara nampaknya terbentuk dari tradisi yang terdapat di sebuah Negara,
Jepang sebagai Negara yang hingga kini masih berpegang erat pada tradisi-tradisi
mereka juga memiliki cara makan dan etika tradisional ketika menyantap makanan
di meja makan.
Setiap Negara di dunia memiliki etika dan tata cara ketika makan yang berbeda-
beda. Maka dari itu sangatlah penting untuk mengetahui etika dan tata cara makan
di berbagai Negara sebelum menimbulkan kesalahpahaman atau menyinggung tuan
rumah dari Negara tersebut. Dapat kita lihat dari salah satu Negara Maju seperti
Amerika serikat.
Table Manners utama di Negara Amerika Serikat adalah hanya tiga
peralatan makan yang harus ada di samping piring. Di bawah peralatan
makan tersebut harus terdapat serbet dengan ukuran sepuluh hingga lima
belas inchi. Dan dihamparkan hingga mengenai bagian tepi meja makan.
Untuk peralatan makan tambahan, mereka harus meletakkannya di
bagian lain. Sebelum makan dimulai, pastikan serbet makan sudah
Universitas Sumatera Utara
2
berada di pangkuan. Serbet makan tersebut digunakan untuk menyeka
mulut setelah selesai makan. Kemudian, jika hendak menggunakan garpu
dan pisau kecil untuk memotong steak, maka pegang garpu di tangan kiri
dan pisau kecil tersebut di tangan kanan. Makanlah potongan steak
dengan garpu yang tetap berada di tangan kiri.
Berbeda dengan Amerika Serikat yang merupakan Negara Maju,
Cina sebagai Negara Berkembang pun memiliki etika dan tata cara dalam makan
tersendiri. Etika makan di Cina adalah kita sebagai tamu tidak boleh makan duluan
sebelum dipersilahkan duduk oleh tuan rumah. Jika ada tamu kehormatan, maka
diharuskan menunggu tamu tersebut makan terlebih dahulu. Dalam menuangkan
minuman, misalnya teh tuan rumah berperan sebagai penuang minuman. Jika kita
sebagai tuan rumah, maka minuman dituangkan pada orang yang lebih tua terlebih
dahulu, selanjutnya kepada orang yang lebih muda.
Biasanya di Cina digunakan sumpit sebagai sendok dan mangkok sebagai
pengganti piring. Sumpit sendiri disediakan dua jenis. Sumpit untuk membawa
makanan dari hidangan ke piring masing masing dan sumpit yang digunakan untuk
makan. Berbeda dengan di Jepang, sumpit bisa dipakai untuk membawa makanan
dari hidangan sekaligus untuk makan. Hal terlarang dalam pemakaian sumpit
adalah, meletakkan sumpit di dalam mangkok ketika selesai menggunakan. Sumpit
di letakkan di pinggir mangkok. Sumpit juga tidak boleh 'dipisahkan'. Jangan
sesekali memegang satu sumpit di tangan kanan dan satu lagi di tangan kiri.
Terakhir, jika telah selesai makan, tempatkan sumpit disisi mangkok secara
berpasangan. Jangan membiarkan sumpit berada di dalam mangkok, karena ini
dianggap tidak sopan.
Universitas Sumatera Utara
3
Tidak jauh berbeda dari etika dan tata cara makan di Cina, Jepang pun
memiliki etika dan tata cara makan yang diadaptasi dari etika dan tata cara makan
di Cina. Untuk kali ini, etika dan tata cara yang akan dibahas adalah etika dan tata
cara makan di restoran tradisional bertatami.
Tatami adalah sebuah material penutup lantai tradisional berupa tikar yang
berasal dari Jepang. Tatami dibuat dari tenunan alang-alang dan kain sebagai
penutup di bagian ujung. Cukup banyak restoran-restoran khas Jepang yang ada di
Indonesia menggunakan konsep tatami ini. Ruangan tatami ini memiliki ukuran
yang berbeda, ruangan kecil muat untuk 5 atau 6 orang, ada yang ruangannya bisa
digabung dengan cara membuka sekat pintu dan ada juga yang ruangannya
memanjang untuk bisa masuk 16 sampai 20 orang.
Tatami merupakan bagian penting didalam kehidupan masyarakat Jepang.
Sejak dahulu secara tradisional, rumah dan bangunan Jepang memiliki lantai tikar
lembut yang dikenal dengan tatami. Banyak sejarah yang terkandung didalam
sebuah tatami. Oleh karena itu, banyak sekali orang Jepang yang bernostalgia
tentang tatami bagi beberapa orang terutama para wisatawan. Tatami memang
tidak senyaman lantai Negara barat tetapi tatami tetap populer bagi beberapa
kalangan terutama masyarakat Jepang.
Tatami dapat ditemukan di rumah-rumah Jepang, apartemen, kuil, restoran
dan hotel. Lantai rumah tua di Jepang biasanya selalu menggunakan tatami, namun
rumah-rumah baru seringkali hanya memiliki satu ruang tatami. Sebuah restoran di
Jepang juga sering memiliki bagian tatami namun juga ada bagian yang tidak.
Terdapat larangan juga untuk tidak menggunakan sepatu ketika menginjak tatami
Universitas Sumatera Utara
4
karena akan mengotori dan juga merusak tekstur dari tatami tersebut. Dapat
dikatakan bahwa tatami lebih dari sekedar sebuah penutup lantai saja tetapi juga
menjadi bagian tradisi gaya hidup masyarakat Jepang. Selain tatami, etika dan tata
cara makan masyarakat Jepang pun menjadi tradisi gaya hidup yang sudah
dipelihara sejak dahulu.
Bagi mereka makanan bukan hanya sekedar hidangan, namun juga
mempunyai aspek kultural atau budaya yang sangat kental. Dengan adanya
pemahaman seperti itu wajar jika masyarakat Jepang menjadi senang dengan
mempersiapkan berbagai hal agar dapat menikmati aneka hidangan, termasuk
dengan etika dan tata caranya. Etika dan tata caranya sendiri menjadi hal yang
cukup menarik dan bermanfaat untuk dibahas dalam tulisan ini.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis bermaksud meneliti
mengenai bagaimana etika dan tata cara makan masyarakat Jepang yang baik dan
benar melalui skripsi yang berjudul “ANALISIS TERHADAP ETIKA DAN TATA
CARA MAKAN MASYARAKAT JEPANG”.
1.2 Perumusan Masalah
Masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan dan kesopanan.
Sehingga tidak hanya dalam bekerja, dalam makan pun masyarakat Jepang
mempunya aturan tersendiri. Dalam menikmati beberapa makanan terutama
makanan tradisional Jepang pun mempunyai etika dan tata cara tersendiri. Di
berbagai restoran khas Jepang, memiliki gaya atau ciri khas nya masing-masing.
Ada restoran yang bertema modern, kuno, dan ada juga yang menggabungkan
Universitas Sumatera Utara
5
kedua tema tersebut tetapi dibuat dalam konsep ruangan yang berbeda-beda. Salah
satu dari tema restoran tersebut adalah restoran yang mengusung tema kuno yang
menggunakan tatami. Setiap restoran Jepang memiliki etika dan tata cara tersendiri
ketika berada di dalam restoran tersebut, demikian pula bagi restoran Jepang yang
mengusung tema kuno yaitu menggunakan tatami agar para pegunjung dapat
bernostalgia dan merasa seperti di Jepang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis merumuskan beberapa masalah
yang berdasar dari latar belakang sebagai berikut:
1. Bagaimana etika pada acara makan di restoran tradisional Jepang
bertatami?
2. Bagaimana tata cara makan pada acara makan di restoran
tradisional Jepang bertatami?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis
menganggap perlu adanya ruang lingkup pembatasan masalah. Dalam setiap
penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu
melebar sehingga penulis dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah
tersebut dan agar tidak menyulitkan pembaca untuk memahami pokok
permasalahan yang dibahas.
Data yang menjadi sumber analisis penelitian ini diambil dari tinjauan
lansung dari lapangan dan berbagai artikel-artikel yang ada di internet. Penulis
hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada sisi etika
Universitas Sumatera Utara
6
makan dan tata cara makan untuk situasi formal di Restoran Tradisional khas
Jepang yang lesehan menggunakan tatami.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1 Tinjauan Pustaka
Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks
kegiatan masak memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kepercayaan-
kepercayaan, pantangan-pantangan dan tahayul-tahayul yang berkaitan dengan
produksi, persiapan dan konsumsi makanan pendeknya, sebagai satu kategori
budaya yang penting (Foster, 1989).
Koentjaningrat (1990) menyatakan bahwa kebiasaan makan individu
keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh:
1. Faktor perilaku termasuk disini adalah cara berpikir, berperasaan,
berpandangan tentang makanan, kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan
dan memiliki makanan. Kejadian ini berulang kali dilakukan lalu menjadi
kebiasaan makan.
2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan tingkat dan
sifat lainnya.
3. Lingkungan ekonomi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, sistem usaha
tani, sistem pasar dan sebagainya.
4. Faktor kesediaan bahan pangan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang
bersifat hasil karya manusia, seperti sistem pertanian (perdagangan),
prasarana dan sarana kehidupan (jalan raya, dan lain-lain).
Universitas Sumatera Utara
7
Kebiasaan makan seseorang ditentukan oleh apa yang dimakannya,
demikian tingkat potensi yang dicapai sepenuhnya dipengaruhi oleh nutrisi yang
dimakan. Setiap kebiasaan makan dan kesadaran gizi berpengaruh besar terhadap
pola konsumsi makan dan selanjutnya menentukan status gizi mereka.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari pandangan-pandangan dan
persoalan-persoalan moral atau kesusilaan. Karena itu, kadang orang memakai pula
istilah filsafat etika, filsafat moral, filsafat Susila (Conny Setiawan 1984 : 8).
Ada beberapa tafsiran mengenai etika, seperti tata krama, tata sopan santun,
tata cara, peraturan sopan santun, norma sopan santun, tata pergaulan, perilaku yang
baik dan menyenangkan. Semua penafsiran itu dapat disimpulkan dalam satu
pengertian. Tata krama adalah kebiasaan atau sopan santun yang disepakati dalam
lingkungan pergaulan antarmanusia setempat. Tata krama terdiri dari kata “tata”
dan “krama”. Tata berarti adat, aturan, norma, cara, peraturan. Krama berarti sopan
santun, bahasa yang taklim, kelakuan, tindakan, perbuatan. Dengan demikian, tata
krama berarti adat sopan santun, kebiasaan sopan santun, atau tata sopan santun.
Etika dapat diartikan sebagai moral, masyarakat sering mengaitkan
moralitas dengan adat istiadat atau kebiasaan yang baik yang berlaku dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, etika dalam memakan makanan atau table manner di
Jepang sangatlah penting. Dengan etika dan tata cara kita memakan makanan
dengan semestinya, maka masyarakat akan menganggap kita mempunyai moral
atau kebiasaan yang baik.
Dilihat dari banyaknya masyarakat asing yang belum mengenal dengan baik
etika makan dan tata cara dalam menyantap makanan terutama makanan tradisional
Jepang, sering membuat kesalahpahaman terhadap masyarakat Jepang yang melihat
Universitas Sumatera Utara
8
hal tersebut. Masih banyak masyarakat asing yang masih sering melakukan
kesalahan atau melakukan hal yang tabu ketika menyantap makanan tersebut.
Hal-hal kecil yang kita anggap biasa jika dilakukan di Negara sendiri pun
dapat menjadi kesalahpahaman jika tidak sesuai dengan tata cara yang biasa
masyarakat Jepang lakukan. Oleh sebab itu, pentingnya untuk mengetahui etika dan
tata cara makan makanan Jepang sangatlah diperlukan, apalagi jika kita sedang
berada di Jepang.
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori kebiasaan makan.
Menurut Soedikaijati (2001) mengatakan bahwa:
“Kebiasaan makan adalah berhubungan dengan tindakan untuk
mengkonsumsi pangan dan mempertimbangkan dasar yang lebih terbuka
dalam hubungannya dengan apa yang biasanya orang makan, juga berkaitan
dengan kemungkinan kondisi perubahan kebiasaan pola pangan yang timbul
dari dalam dan luarnya.”
Selain teori kebiasaan makan, penulis juga menggunakan teori etika yang
menjelaskan bahwa tata karma atau etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk tentang hak dan kewajiban moral. Pengertian ini muncul mengingat
etika berasal dari Bahasa Yunani kuno “ethos” (ta etha), yang berarti adat,
kebiasaan, cara berkipikir, akhlak, sikap, watak, cara bertindak. Kemudian
diturunkan kata ethics (Inggris), etika (indonesia). Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1988) menjelaskan etika dengan membedakan tiga arti, yakni: (1) ilmu tentang apa
yang baik dan buruk, (2) kumpulan azas atau nilai, (3) dan nilai mengenai benar
Universitas Sumatera Utara
9
dan salah. Dengan pembedaan tiga definsi etika tersebut maka kita mendapatkan
pemahaman etika yang lebih lengkap mengenai apa itu etika, sekaligus kita lebih
mampu memahami pengertian etika yang sering sekali muncul dalam pembicaraan
sehari-hari baik secara lisan maupun tertulis. Objek etika terdapat dua macam etika,
yakni Etika Deskriptif dan Etika Normatif. Etika deskriptif adalah etika yang
menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan prilaku manusia serta apa
yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai.
Artinya, etika deskriptif berbicara mengenai fakta secara apa adanya. Sedangkan,
etika normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal
dan seharusnya dimiliki manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia
dan tindakan apa yang bernilai dalam hidupnya.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana etika yang baik dan benar ketika
makan makanan tradisional khas Jepang di restoran yang
menggunakan tatami.
2. Untuk mengetahui bagaimana tata cara makan makanan tradisional
khas Jepang di restoran yang menggunakan tatami.
Universitas Sumatera Utara
10
1.5.2 Manfaat Penelitian
1. Menambah pengetahuan tentang tata cara bagaimana memakan
beberapa makanan tradisional Jepang di restoran yang
menggunakan tatami.
2. Menambah pengetahuan agar mengurangi kesalahan masyarakat
asing terutama masyarakat Indonesia dalam etika dan tata cara
menyantap makanan khas Jepang di restoran yang menggunakan
tatami.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
membicarakan atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan penelitian, yaitu
meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis sampai
menyusun laporannya berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah (I
Made Wirartha 2006 : 68).
Penulis menggunakan metode deskriptif sebagai metode dasar dalam
penelitian ini. Menurut Nazir (1998 : 63) dalam Buku “Metode Penelitian”, metode
deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia,
suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang.
Selain metode deskriptif, penulis juga menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif. Metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menganalisis,
menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang
dikumpulkan berupa hasil wawacara atau pengamatan mengenai masalah yang
Universitas Sumatera Utara
11
diteliti yang terjadi di lapangan. Disebut kulitatif karena sifat data yang
dikumpulkan bercorak kualitatif dan tidak menggunakan alat pengukuran. Sumber
data yang utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata atau tindakan (I Made
Winartha 2006 : 155).
Penulis dalam pengumpulan data memanfaatkan fasilitas yang ada di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.Penulis juga mengumpulkan data dari koleksi pribadi.
Di samping itu, penulis juga memperoleh data-data dari media online yang
berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pemilihan topik dan judul penelitian.
2. Merumuskan masalah yang ingin diteliti.
3. Menyusun kerangka teori.
4. Melakukan studi pustaka.
5. Mengumpulkan data
6. Menganalisis data
7. Menggunakan referensi.
Universitas Sumatera Utara
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORAN JEPANG, TATAMI DAN
PERALATAN MAKAN MASYARAKAT JEPANG
2.1 Restoran Jepang
Restoran adalah suatu tempat atau bangunan yang diorganisasi secara
komersial, yang menyelenggarakan. Pelayanan dengan baik kepada semua tamunya
baik berupa makan maupun minum. Restoran ada yang berlokasi dalam suatu hotel,
kantor maupun pabrik, dan banyak juga yang berdiri sendiri di luar bangunan itu.
Pada umumnya restoran di Jepang maupun restoran dengan suasana Jepang
memiliki keunikan dan setiap makanan dan penyajian yang dihidangkan pun sangat
diperhatikan keindahan dalam penyajian makanannya. Masakan dengan tampilan
menarik dan sederhana akan mengenyangkan mata yang memakannya. Itulah
mengapa Jepang sangat mengutamakan penampilan demi kepuasan pengunjung.
Tidak jarang juga karena rasa dari makanan yang unik megundang orang asing akan
selalu ingin memakannya walau pernah menyicipinya.
Restoran-restoran yang ada di Jepang, pada dasarnya, tak ada perbedaan yang
signifikan dengan restoran-restoran yang ada disini. Restoran-restoran tersebut
menyediakan aneka menu yang disenangi oleh masyatakat setempat dan juga
kalangan turis asing yang datang berkunjung ke Jepang.
Universitas Sumatera Utara
13
Gambar 2.1 Salah Satu Restoran Unik yang Ada di Jepang
Beberapa tipe restoran yang disebut sebagai restoran umum di Jepang yakni
Izakaya, Family Restaurant, Shokudo dan Teishuko-ya. Izakaya merupakan jenis
restoran yang menawarkan berbagai hidangan kecil dan minuman.
Beberapa dishes yang tersedia di Izakaya seperti Robata atau makanan panggang,
berbagai salad. Jenis restoran ini ialah tempat makan yang paling populer bagi
masyarakat Jepang. Restoran Izakaya ini kerap dikunjungi sekadar untuk bersantai
dan mengganjal perut dengan makanan ringan yang tersaji bersama orang-orang
yang terdekat penuh keakraban.
Selain restoran Izakaya, ada juga tipe restoran keluarga (family restaurant) dan
Shukodu. Restoran keluarga juga dikenal dengan sebutan Famiresu yang
didalamnya menawarkan berbagai penganan lokal dan internasional untuk
menyenangkan segenap anggota keluarga yang berkunjung kesini. Berbagai
hidangan yang tersediapun sangat beragam, yang terdiri dari makanan dari Barat,
China, dan juga hidangan otentik Jepang. Makanya Anda yang membawa serta
keluarga ke Jepang bisa mencoba kesempatan bersantap di restoran keluarga atau
Shudoku ini.
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.2 Tipe Restoran Keluarga yang menggunakan Tatami
Sedangkan Teishuko-ya merupakan jenis restoran lainnya di Jepang yang
menjual set menu yang terdiri dari makanan utama semisal ikan goreng, nasi
mangkuk dan lauk. Restoran Teishuko-ya ini berada di area bisnis dan sibuk di
Jepang dan biasanya akan sangat ramai ketika waktu makan siang tiba. Selain itu,
ada juga Ryori Kaiseki yang merupakan restoran dengan penekanan pada
kesederhanaan dan keanggunan serta berkaitan dengan upacara meminum teh.
Terdapat juga tempat-tempat makan di pinggiran jalan sibuk yang dikenal dengan
Yatai. Hidangan yang cukup populernya ialah Okonomiyaki, Takoyaki dan juga
Yakisoba.
Gambar 2.3 Contoh Hidangan dari Restoran di Jepang
Universitas Sumatera Utara
15
2.2 Sejarah dan Budaya Makan Masyarakat Jepang
2.3.1 Sejarah Makanan
Orang Jepang mulai makan nasi sejak Zaman Jomon. Lauknya berupa
makanan yang direbus (nimono), dipanggang, atau dikukus. Cara mengolah
makanan dengan menggoreng mulai dikenal sejak Zaman Asuka, dan berasal dari
semenanjung Korea dan Cina. Teh dan masakan biksu diperkenalkan di Jepang
bersamaan dengan masuknya agama Buddha, namun hanya berkembang
dikalangan kuil. Makanan biksu yang vegetarian dikenal dengan sebutan shoujin
ryouri. Pada Zaman Nara pengaruh kuat kebudayaan Cina memengaruhi masakan
atau makanan Jepang sehingga teknik memasak dari Cina mulai dipakai untuk
mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara memasak ini dengan kondisi
alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan yang khas Jepang.
Masakan Jepang terus berkembang dengan pengaruh dari daratan Cina pada
Zaman Heian. Masyarakat Jepang pada saat itu mulai mengenal makanan seperti
kaarage dan kue-kue asal Dinasti Tang (Togashi), dan natto. Aliran memasak dan
etiket makan berkembang dikalangan bangsawan. Atas perintah Kaisar Koukou,
Fujiwara no Yamakage menyunting buku memasak aliran shijou ryuuhou choushiki.
Di Zaman Kamakura, makanan olahan tahu yang disebut dengan ganmodoki mulai
dikenal bersamaan dengan makin populernya tradisi minum teh dan ajaran Zen.
Pada Zaman Kamakura, makanan dalam porsi kecil untuk biksu yang menjalani
latihan disebut kaiseki. Pendeta Buddha bernama Eisai memperkenalkan teh yang
dibawanya dari Cina untuk dinikmati dengan hidangan kaiseki. Masakan dan
makanan ini berkembang menjadi makanan resepsi yang disebut juga dengan
kaiseki, tapi ditulis dengan kanji yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
16
Memasuki Zaman Muromachi, kalangan samurai ikut dalam urusan masak-
memasak di istana kaisar. Tata krama sewaktu makan juga semakin berkembang.
Aliran etiket Ogasawara yang masih dikenal sekarang bermula dari etiket kalangan
samurai dan bangsawan Zaman Muromachi. Kedatangan kapal-kapal dari luar
negeri pada Zaman Muromachi membawa serta berbagai jenis masakan yang
disebut dengan Namban ryouri (Masakan luar negeri) atau Nambangashi (kue luar
negeri). Namban adalah istilah orang jepang Zaman dulu untuk “Luar Negeri”,
khususnya Portugal dan Asia Tenggara. Dari kata namban dikenal istilah
Nambansen (kapal dari luar negeri).
Di Zaman Edo, kebudayaan orang kota berkembang sangat pesat. Makanan
penduduk kota seperti Tenpura dan teh gandum (mugicha) banyak dijual di toko-
toko. Pada waktu itu, banyak dijumpai rumah makan khusus Soba dan Nigirizushi.
Ourusuichaya adalah sebutan untuk rumah makan tradisional (ryoutei) yang
digunakan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta makan. Pada Zaman Edo
makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak mengikuti tata
cara makan formal seperti masakan Kaiseki atau masakan Honzen. Masakan
Ourusuichaya disebut dengan masakan Kaiseki (masakan jamuan makan) dan
ditulis dengan kanji berbeda dengan Kaiseki (untuk upacara minum teh).
Teknik pembuatan kue-kue tradisional (wagashi) pada zaman Edo juga
berkembang pesat berkat tersedianya gula pada zaman ini. Alat makan dari keramik
atau porselen mulai banyak digunakan dan diberi hiasan berupa gambar-gambar
artistik yang dikerjakan secara serius. Daging ternak mulai dikonsumsi orang
Jepang pada saat itu dan daging sapi dimakan sebagai obat. Sejak pertengahan
zaman Edo mulai dikenal teknik ukir sayur, dan makanan mulai dihias dengan
Universitas Sumatera Utara
17
hiasan dari lobak (wachigai daikon). Pada waktu itu juga mulai dikenal telur rebus
aneh dengan kuning telur berada diluar dan putih telur berada didalam (kimigaeshi
tamago).
Masakan Jepang modern adalah penyempurnaan dari masakan Zaman Edo.
Daimyo dari seluruh Jepang mengenal kewajiban Sankin Koutai. Mereka wajib
datang ke Edo untuk menjalani tugas pemerintahan bersama Shogun. Kedatangan
daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta cara memasak dan bahan
makanan khas dari daerah masing-masing. Bahan makanan laut segar dan enak dari
teluk Edo yang disebut Edomae.
Makanan yang lahir dari berbagi keanekaragaman di daerah Kanto disebut
dengan masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan Kanto digunakan
untuk membedakannya dari masakan Kansai yang dikenal orang lebih dahulu. Ciri
masakan Kanto adalah penggunaan kecap asin (shoyu) sebagai penentu rasa,
termasuk untuk makanan berkuah (shirumono) dan nimono. Tradisi membawa
pulang makanan pesta merupakan alasan penggunaan kecap asin dalam jumlah
banyak dalam masakan Kanto. Hal ini dilakukan agar rasa makanan tetap enak
walaupun sudah dingin. Berbeda dengan masakan Kanto, masakan Kansai tidak
terlalu asin walaupun mengandalkan sebagai penyedap rasa.
Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan Osaka atau masakan Kyoto.
Berbeda dari budaya Edo yang mewah, masakan Kyoto mencerminkan budaya
Kyoto yang elegan. Masakan Kyoto dipengaruhi masakan kuil Buddha. Ciri
khasnya adalah penggunaan banyak sayur- sayuran, tahu, kembang tahu, namun
sedikit makanan laut karena letak geografis Kyoto yang jauh dari laut.
Universitas Sumatera Utara
18
Osaka adalah kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah berbeda
dengan Kyoto. Oleh karena itu, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan
hasil laut. Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan ditempat dan
tidak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan
rasa makanan kalau sudah dingin karena pada prinsipnya makanan yang habis
dimakan.
Pada awal zaman Meiji, masakan Eropa mulai dikenal orang Jepang yang
melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Dikalangan rakyat tercipta
makanan gaya barat (youshoku) yang merupakan adaptasi masakan Eropa. Berbagai
aliran memasak mengalami kemunduran, dan aliran houchoushiki merupakan satu-
satunya aliran yang terus bertahan. Pelarangan makan daging dihapus sesuai dengan
kebijakan pemerintah Meiji tentang Haibutsu kishaku dan shinbutsu bunri sehingga
tercipta Sukiyaki. Sementara itu, Honzen ryouri yang merupakan aliran utama
masakan Jepang mulai ditinggalkan. Hidangan kaiseki telah menjadi makanan
standar dirumah makan tradisional (ryoutei) dan penginapan tradisional (ryokan).
Masakan vegetarian (shoujin ryouri) berlanjut sebagai tradisi kuil agama
Buddha. Hidangan porsi kecil yang disebut kaiseki ryouri bertahan hingga kini
sebagai hidangan upacara minum teh. Di kota-kota mulai banyak dijumpai rumah
yang memiliki meja pendek yang disebut Chabudai sebagai pengganti nampan
berkaki yang disebut Ozen. Keberadaan Chabudai yang bisa dipakai sebagai meja
makan untuk empat orang mengubah acara makan yang dulunya sendiri-sendiri
dengan Ozen pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.
Akibat dari gempa bumi Kanto yang memakan korban jiwa besar-besaran,
juru masak pewaris tradisi masakan Edo ikut menjadi berkurang, dan tradisi
Universitas Sumatera Utara
19
masakan Honzen mulai memudar. Etiket makan mulai longgar, dan orang-orang
Jepang semakin menyukai suasana makan dengan santai sewaktu makan.
Sejak tahun 1960, karena mendapat pengaruh dari pola makan orang
Amerika, makanan-makanan utama orang Jepang yang pada mulanya nasi berubah
sehingga selain nasi orang Jepang juga banyak yang mengonsumsi roti atau pun
daging. Untuk sarapan pagi orang Jepang yang pada umumnya berbeda-beda, ada
yang makan roti, tetapi untuk washoku biasanya menunya terdiri dari nasi, sup miso,
ikan, asinan (tsukemono), atau sayur yang direbus ditaburi wijen (goma), dan natto.
Pengaruh Amerika tidak hanya pada pola makannya saja, tetapi suasana makan pun
dipengaruhi oleh cara pikir Amerika. Pada masa sebelum perang, orang tua
terutama ayah sangat keras terhadap anak-anaknya sehingga kadang-kadang
terdengar suara kemarahan orang tua di tengah-tengah kesunyian ketika makan.
Tetapi setelah perang dunia, pola pikir orang Amerika bahwa makan itu sesuatu
yang menyenangkan meluas dan mulai disukai. Selain itu, meja makan pun berubah
dari chabudai (meja makan yang pendek) ke meja makan dan dari duduk di bawah
sampai duduk dikursi meja makan. Sumpit pun disesuaikan dengan situasi dan
kondisi kadang-kadang diganti dengan sendok dan garpu.
2.3.2 Budaya Makan
Masyarakat Jepang mempunyai Budaya makan atau pola makan yang masih
sangat dijaga oleh masyarakat Jepang sampai dengan sekarang ini. Disetiap daerah,
memiliki ciri khas masing-masing. Mulai dari bumbu-bumbu, bahan-bahan
masakan, peralatan hingga tata cara dan kebiasaan makan yang sangat
dipertahankan oleh masyarakat Jepang. Di Jepang, pada musim-musim tertentu
Universitas Sumatera Utara
20
juga memiliki budaya atau tradisi yang sering dilakukan saat makan. Misalnya,
pada musim semi biasanya orang-orang Jepang akan pergi bersama keluarga dan
teman untuk menikmati makanan atau minum sake sambil melihat bunga sakura
yang mekar pada musim semi.
Tidak hanya di musim semi, di musim dingin atau pada saat menyambut
tahun baru biasanya menyambutnya dengan acara makan-makan bersama rekan
kerja atau teman yang dikenal dengan istilah “Bounenkai” yang berarti “lupakan
masa lalu”. Makanan yang dimakan biasanya adalah Kabocha yaitu sejenis labu dan
mie soba. Makanan tersebut adalah makanan yang sudah menjadi tradisi untuk
dimakan di musim dingin atau menyambut tahun baru. Pada saat bekerja juga orang
Jepang biasa membawa bekal yang biasa dikenal dengan Bento.
Masakan Jepang atau Nihon Ryouri dikenal dengan istilah Washoku atau
Nihon Shoku. Biasanya salah satu ciri kebiasaan-kebiasaan makan khas Jepang
adalah pada saat menghidangkannya. Cita rasa alami dari sebuah makanan dan
keindahan menghidangkannya yang sangat dipertahankan oleh orang-orang Jepang
hingga saat ini. Kemudian bumbu-bumbu dan bahan-bahan yang digunakan juga
sangat khas. Pada umumnya, bahan-bahan makanan Jepang berupa beras, hasil
pertanian (sayur-mayur dan kacang-kacangan), dan makanan laut. Bumbu-bumbu
yang digunakan juga seperti doshi (air kaldu) yang dibuat dari ikan dan shitake,
ditambah dengan miso dan shouyu.
Orang Jepang makan dengan menggunakan sumpit dan mangkok.
Terkadang ada makanan yang susah untuk diambil dengan sendok pun, orang
Jepang tetap mengambilnya menggunakan sumpit. Orang-orang Jepang biasa
makan dengan lambat. Mereka diajari untuk menikmati setiap makanan dengan
Universitas Sumatera Utara
21
lambat. Karena, makan lebih lambat adalah kunci otak membutuhkan waktu selama
20 menit untuk merasa kenyang.
Peralatan makan, seperti sumpit, mangkuk, dan lain-lain yang digunakan
oleh masyarakat Jepang biasanya terbuat dari keramik, porselen, atau kayu yang
dipernis dengan urushi. Di rumah keluarga Jepang, setiap anggota keluarga
memiliki mangkuk nasi atau sumpit (hashi) sendiri, dan tidak saling dipertukarkan
dengan anggota keluarga yang lain. Sumpit yang digunakan bisa berupa sumpit
yang terbuat dari kayu, bambu, atau sumpit yang sekali pakai.
2.3 Tatami
Tatami adalah sebuah material penutup lantai tradisional berupa tikar yang
berasal dari Jepang. Tatami dibuat dari tenunan alang-alang dan kain sebagai
penutup di bagian ujung. Cukup banyak restoran-restoran khas Jepang yang ada di
Indonesia menggunakan konsep tatami ini. Ruangan tatami ini memiliki ukuran
yang berbeda, ruangan kecil muat untuk 5 atau 6 orang, ada yang ruangannya bisa
digabung dengan cara membuka sekat pintu dan ada juga yang ruangannya
memanjang untuk bisa masuk 16 sampai 20 orang.
Tatami merupakan bagian penting didalam kehidupan masyarakat Jepang.
Sejak dahulu secara tradisional, rumah dan bangunan Jepang memiliki lantai tikar
lembut yang dikenal dengan tatami. Ukuran umum dari tatami adalah 1 lantai tatami
( 176 x 88 cm ) yang disebut sebagai 1 jo. Kelipatan dari jo inilah yang menjadi
dasar penentu luas suatu ruangan. Ruang berukuran standart biasanya terdiri dari 6
jo. Tatami hanya dipasang di ruang tidur dan ruang keluarga/ ruang tamu. Luas
ruangan dihitung dari jumlah tatami yang dipakai, dimana satu tatami sama dengan
Universitas Sumatera Utara
22
(3x6). Susunan atau pola dalam pemasangan tatami pun tidak boleh sembarangan.
Tatami memiliki pola penyusunan tersendiri yaitu, Syugijiki dan Fusyugijiki.
Dengan demikian, bagi restoran yang mengusung tema yang menggunakan tatami
akan membuat para pengunjung merasa bernostalgia karena merasa seperti di
rumah sendiri.
Gambar 2.4 Pola Penyusunan Tatami
2.4 Jenis- Jenis Peralatan Makan
Dalam kegiatan makan juga ada etika yang harus diikuti, termasuk etika
dalam menggunakan peralatan makan. Peralatan makan jepang yang menjadi ciri
khasnya adalah sumpit. Meskipun rata-rata negera di Asia Timur menggunakan
sumpit sebagai peralatan makannya, di Jepang penggunaan sumpit memiliki tata
cara tersendiri. Selain sumpit, ada beberapa peralatan lain yang menjadi peralatan
dasar ketika menyantap makanan khas Jepang. Berikut beberapa peralatan yang
digunakan oleh masyarakat Jepang, yaitu:
1. Sumpit (Hashi)
Dalam jamuan makan Cina, sumpit atau dalam bahasa Jepang disebut
“Hashi”, merupakan alat makan utama seperti sendok, garpu, dan pisau dalam
hidangan Barat. Perbedaan sumpit Cina dengan Sumpit Jepang adalah sumpit
Universitas Sumatera Utara
23
Jepang ujungnya cenderung lebih tajam dan mengecil, sedangkan sumpit Cina
ujungnya lebih tebal dan persegi.
Di rumah keluarga Jepang setiap anggota rumah memiliki peralatan
makannya sendiri-sendiri. Sumpit yang digunakan bisa terbuat dari kayu, bambu
atau sumpit yang sekali pakai. Sumpit terdiri dari berbagai macam dan kegunaanya,
yaitu :
• Nuribashi : Sumpit yang digunakan untuk makan sehari-hari.
• Toribashi : Sumpit yang digunakan untuk megambil makanan di piring yang
sudah disajikan.
• Waribashi : Sumpit yang mudah dibuang dan biasanya digunakan oleh tamu
atau yang digunakan di restoran.
• Saibashi : Sumpit panjang untuk memasak
• Iwaibashi : Sumpit yang digunakan ketika ada perayaan. Bentuk sumpit ini
berbeda dengan kebanyakan karena pada kedua ujungnya sumpit ini sama-
sama runcing.
Berikut adalah cara menggunakan sumpit yang baik dan benar:
1. Pertama-tama, peganglah 1 batang sumpit seperti Anda memegang
pensil atau pena. Pegang di bagian pangkal sehingga ujung sumpit
berada memanjang ke bagian luar.
2. Selanjutnya, sumpit ke-2 diselipkan melalui celah antara sumpit
pertama dan bagian pangkal ibu jari.
3. Bagian atas sumpit berada di antara jari telunjuk dan jari tengah,
bagian bawahnya ditahan dengan pangkal ibu jari dan jari manis.
Universitas Sumatera Utara
24
Bagian bawah ditahan agar tidak bergeser, sedangkan bagian atasnya
diselipkan saja agar mudah bergerak.
Gambar 2.5 Cara Menggunakan Sumpit
2. Alas sumpit (Hashioki)
Alas sumpit atau biasa disebut hashioki adalah alas yang diletakkan di ujung
sumpit bagian yang meruncing. Meletakkan sumpit melintang di atas peralatan
makan seperti misalnya mangkuk nasi dianggap tidak sopan dalam etiket makan
Jepang. Untuk itu biasanya disediakan juga hashioki sebagai alas untuk meletakkan
sumpit ketika sedang makan. Hashioki umumnya terbuat dari kayu atau keramik
dan hadir dalam berbagai bentuk.
Gambar 2.6 Hashioki
Universitas Sumatera Utara
25
3. Mangkuk (Chawan)
Selain untuk hidangan yang disajikan perorangan seperti miso sup,
mangkuk juga digunakan untuk nasi hangat yang selalu tersaji dan diletakkan
disebelah kanan. Tata cara penggunaan mangkuk dan sikap tubuh seseorang saat
menyantap hidangan yang disajikan dalam mangkuk atau cawan dapat dibedakan
menurut jenis makanan dan minumannya. Ada tiga jenis cawan menurut
penggunaannya, yaitu:
• Meshiawan: Mangkuk untuk nasi ini disebut meshiwan dan memiliki
diameter sekitar 12 cm untuk orang dewasa. Meshiwan yang digunakan
perempuan biasanya lebih kecil dibandingkan meshiwan untuk laki-laki.
Ukurannya yang kecil membuat mangkuk nasi cukup ringan untuk diangkat
dengan satu tangan dan meshiwan umumnya terbuat dari keramik.
• Shiruwan: Di restoran-restoran Jepang, jika Anda memesan menu set
masakan Jepang biasanya Anda akan mendapatkan semangkuk kecil sup
miso juga. Mangkuk untuk wadah sup ini disebut dengan shiruwan.
Shiruwan terbuat dari bahan keramik atau kayu.
• Kobachi: Kobachi terdiri dari dua kata “ko” yang artinya “kecil” dan “hachi”
yang artinya “mangkuk”. Kobachi biasa digunakan sebagai wadah sayur-
sayuran, seperti sayur tumis, acar, salada, dan lain-lain. Kobachi biasanya
berbentuk dalam aneka bentuk dan corak yang indah.
Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 2.7 Chawan
4. Piring (Osara)
Piring atau osara yang digunakan di Jepang sama seperti piring-piring yang
digunakan di Indonesia. Orang Jepang menggunakan piring ntuk menghidangkan
makanan-makanan seperti nasi kari, chahan, dan makanan lain yang tidak berkuah.
Umumnya berbentuk bulat, tapi ada pula yang berbentuk lonjong, atau bahkan
kotak. Selain osara, ada juga piring kecil yang biasa disebut Mamezara. Mamezara
adalah piring mini yang berukuran sebesar telapak tangan dengan ukuran di bawah
10 cm. Mamezara bisa digunakan untuk menaruh lauk-pauk, saus, kecap asin, atau
bumbu-bumbu lainnya. Bentuk dan motif mamezara bermacam-macam,
membuatnya menjadi unsur yang menambah keindahan penyajian makanan Jepang.
Gambar 2.8 Osara dan Mamezara
Universitas Sumatera Utara
27
BAB III
ANALISIS TENTANG ETIKA DAN TATA CARA MAKAN
MASYARAKAT JEPANG
3.1 Etika Makan Masyarakat Jepang
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara restoran-restoran
yang ada di Jepang dengan restoran-restoran Jepang yang ada di Indonesia.
Restoran-restoran tersebut menyediakan aneka menu yang disukai oleh masyarakat
setempat dan juga kalangan turis asing yang datang berkunjung.
Sebagian besar restoran di Jepang sudah banyak menggunakan gaya barat
yaitu dengan kursi dan meja, namun meja rendah dimana pelanggan duduk di atas
bantal di atas tatami sudah umum ditemukan di restoran-restoran tradisional Jepang.
Untuk tema restoran yang menggunakan tatami di restoran tersebut, memiliki
peraturan yang harus dilakukan yaitu melepas alas kaki di depan pintu atau sebelum
duduk di bantal.
Etika makan sendiri memiliki manfaat guna meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan mengetahui jabaran umum tentang etika makan di meja makan, maka tidak
perlu lagi merasa canggung saat makan bersama orang asing. Hal ini sangat penting
karena rasa canggung dapat timbul karena tidak terbiasa dengan etika makan seperti
itu. Sehingga, memperlajari etika makan ini memiliki manfaatnya yang banyak
dalam kehidupan sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
28
Etika orang Jepang menekankan pada sikap sopan santun di antara para
anggota suatu kelompok tertentu. Memperlihatkan rasa terima kasih pada hal-hal
yang kecil adalah suatu hal yang sangat umum di Jepang. Oleh sebab itu, sangatlah
penting bila kita mengutamakan etika dalam bermasyarakat terutama dalam
masyarakat Jepang.
Gambar 3.1 Jamuan Makan Bersama Rekan Kerja
Ketika berada di restoran bertemakan tradisional seperti restoran yang
menggunakan tatami, ada beberapa peraturan tersendiri ketika mengunjunginya.
Berikut etika dalam jamuan makan di restoran tradisional khas Jepang, yaitu:
1. Etika ketika duduk di restoran yang menggunakan tatami adalah duduk di
atas zabuton. Zabuton adalah alas duduk khusus ketika duduk di atas tatami.
2. Sebelum duduk di zabuton, sebaiknya mendahulukan orang yang diundang
atau orang yang lebih dihormati.
3. Dalam jamuan makan, ketika kita di undangan oleh siapapun sebaiknya kita
tidak memesan makanan atau minuman karena akan menyinggung pihak
Universitas Sumatera Utara
29
yang mengundang. Hal itu dianggap tidak menghargai pemberian dari pihak
pengundang karena semua hal telah diatur oleh pihak pengundang.
4. Ketika akan memakan makanan yang telah disediakan, sebaiknya
mengucapkan “itadakimasu” yang bisa diartikan secara harfiah adalah
“selamat makan”.
Gambar 3.2 Mengucapkan “Itadakimasu”
5. Sebelum minum dari gelas sendiri, sebaiknya melakukan Kanpai guna
menghormati rekan yang lain.
Gambar 3.3 Kanpai
6. Memberikan makanan dengan sumpit kepada orang lain kemudian orang
tersebut menerimanya dengan mengambil lagi dengan sumpit.
Universitas Sumatera Utara
30
Gambar 3.4 Memberikan makanan dari sumpit ke sumpit
7. Ketika ingin mengambil makanan dari mangkuk utama, harus membalik
sumpit. Karena ujung sumpit yang digunakan untuk memasukkan makanan
ke mulut, harus berbeda dengan ujung sumpit yang digunakan untuk
mengambil makanan.
8. Tidak boleh mengaduk-aduk makanan di dalam mangkuk. Hal ini dianggap
jika kita memainkan makanan.
Gambar 3.5 Mengaduk Makanan
9. Tidak boleh memegang mangkuk nasi dan sumpit di tangan yang sama
secara bersamaan.
10. Tidak boleh meletakkan sumpit di atas mangkuk nasi ketika masi berisi
makanan walaupun sedikit.
Universitas Sumatera Utara
31
Gambar 3.6 Sumpit di atas mangkuk yang berisi makanan
11. Sebaiknya tidak memegang apalagi memainkan sumpit ketika berbicara saat
makan.
12. Jika kita atau rekan lain menuangkan sake dengan dua tangan, maka kita
juga harus menyambut dengan memegang gelas menggunakan dua tangan
pula.
Gambar 3.7 Menuang Sake
13. Sumpit tidak boleh ditancapkan di atas nasi, karena posisi seperti itu
merupakan sesaji orang Jepang untuk leluhur mereka atau dewa mereka.
Universitas Sumatera Utara
32
Gambar 3.8 Nasi yang Ditancapkan Sumpit
14. Tidak boleh menjilati sumpit.
Gambar 3.9 Menjilat Sumpit
15. Tidak boleh menusuk makanan seperti kentang dan sebagainya dengan
sumpit.
Universitas Sumatera Utara
33
Gambar 3.10 Menusuk Makanan
16. Tidak boleh memutar-mutar sumpit di atas piring untuk memilih makanan
dengan sumpit.
17. Tidak boleh memasukkan makanan sampai penuh ke mulut dengan sumpit.
18. Tidak boleh mencicipi sesuatu di piring dengan sumpit.
19. Tidak boleh menghisap sup dari sumpit.
20. Tidak boleh menggerakkan piring ke dekat anda dengan sumpit.
3.2 Tata Cara Makan Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang mempunyai Budaya makan atau pola makan yang masih
sangat dijaga oleh masyarakat Jepang sampai dengan sekarang ini. Disetiap daerah,
memiliki ciri khas masing-masing. Mulai dari bumbu-bumbu, bahan-bahan
masakan, peralatan hingga tata cara dan kebiasaan makan yang sangat
dipertahankan oleh masyarakat Jepang. Di Jepang, pada musim-musim tertentu
juga memiliki budaya atau tradisi yang sering dilakukan saat makan.
Universitas Sumatera Utara
34
Banyak restoran di Jepang menampilkan replika hidangan restoran yang
terbuat dari plastik ataupun lilin (wax) di jendela dekat pintu masuk. Replika ini
berfungi utuk menarik konsumen serta memberikan informasi kepada konsumen
menu apa saya yang ada di restoran tersebut.. Replika ini juga sangat membantu
wisatawan asing yang sama sekali tidak bias berbahasa Jepang.
Gambar 3.11 Replika Makanan
Replika dari hidangan restoran menjadi informasi yang cukup untuk
memesan makanan, tetapi tidak dengan tata cara makan yang baik dan benar
dilakukan ketika berada di restoran. Berikut tata cara makan dalam jamuan makan
di restoran tradisional khas Jepang, yaitu:
1. Ketika memasuki restauran, harap berjalan mengikuti pelayan dengan
perlahan dan tidak tergesa-gesa.
2. Ketika akan memasuki ruangan yang menggunakan tatami, pengunjung
wajib melepaskan alas kaki tetapi masih boleh menggunakan kaos kaki dan
letakkan alas kaki di tempat yang telah disediakan. Begitu juga dengan
mantel ataupun payung.
Universitas Sumatera Utara
35
Gambar 3.12 Menggunakan Kaos Kaki di Atas Tatami
3. Tata cara duduk ketika di atas zabuton adalah duduk di atas dua telapak kaki
yang di tekuk dengan punggung tegak lurus. Untuk wanita, kedua tangan
dipertemukan dan ditangkupkan di pangkuan. Lain halnya dengan pria yang
meletakkan telapak tangannya pada lutut.
Gambar 3.13 Cara Duduk di Atas Zabuton
4. Sebelum makan, biasanya disediakan handuk kecil yang digunakan untuk
mengelap tangan yang biasa dikenal dengan oshibori.
Universitas Sumatera Utara
36
Gambar 3.14 Oshibori
5. Pada saat makan mangkuk nasi harus diangkat, merupakan hal yang tidak
baik apabila makan nasi tidak mengangkat mangkuk tersebut dari atas meja
hanya dengan mendekatkan muka ke mangkuk nasi.
Gambar 3.15 Mengangkat Mangkuk dan Sumpit
6. Ketika ingin menambah makanan sebaiknya menanyakan orang lain dengan
cara halus. Caranya adalah dengan menyuruh orang lain untuk mengambil
makanan yang kita ambil. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi tabrakan
tangan ketika akan mengambil makanan. Tabrakan tangan di atas wadah
makanan di anggap tidak sopan.
Universitas Sumatera Utara
37
7. Sama hal seperti makanan, untuk minum sake pun sebaiknya menyuruh atau
menuangkan sake ke dalam gelas rekan kita kemudian di lanjutkan
menuangkan ke gelas sendiri.
8. Setelah selesai makan, sebaiknya mengucapkan “gochisousama deshita”
yang diartikan secara harfiah “terima kasih atas makanannya”.
9. Untuk system pembayaran, pihak pengundanglah yang akan membayar
semua biaya jamuan makan tersebut. Berbeda hal jika tidak dalam jamuan
makan. Biasanya bila pergi dengan teman, akan melakukan pembayaran
masing-masing sesuai makanan dan minuman yang telah dipesan.
Umumnya orang Jepang akan membayar harga makanannya sendiri-sendiri,
jadi total harga makanan akan dibagi rata sampai jumlah sen terkecil untuk
tiap orang.
Gambar 3.16 Sistem Pembayaran di Restoran
Universitas Sumatera Utara
38
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Etika dan tata cara makan di Jepang mengajarkan sopan santun. Dengan
adanya standar aturan yang umum pada etika makan bisa menjadi acuan
untuk mengajarkan sopan santun. Dimanapun sopan santun tetap harus
dijalankan karena banyak orang yang sangat terpikat dengan sopan santun
dan budi bahasa.
2. Banyak peraturan tertulis maupun tidak ketika berada di restaurant khas
Jepang yang menggunakan tatami. Cara duduk di restoran yang
menggunakan tatami memiliki aturan tersendiri yaitu tidak menggunakan
alas kaki tetapi masih boleh menggunakan kaos kaki. Dalam situasi formal,
duduk dengan posisi duduk diatas dua telapak kaki yang ditekuk dengan
punggung yang tegak lurus di atas zabuton. Sedangkan dalam situasi non-
formal boleh duduk santai di atas zabuton tetapi tetap dalam posisi yang
sopan.
4.2 Saran
1. Sebaiknya masyarakat asing terutama masyarakat Indonesia lebih banyak
mempelajari etika yang baik dan benar ketika makan makanan khas Jepang
Universitas Sumatera Utara
39
baik di Jepang maupun di negara-negara lain. Karena etika dan tata cara
makan khas Jepang mempunyai aturan tersendiri ketika menyantapnya.
2. Sebaiknya ketika menyantap makanan khas Jepang tidak sembarangan
mencampur aduk bahan-bahan atau bumbu-bumbu yang tersedia baik di
restoran maupun di rumah karena makanan yang tersedia sudah sesuai
dengan takaran yang disarankan oleh chef ataupun tuan rumah. Bertanya
kegunaan bumbu masakan ketika ingin menyantap makanan sangat
disarankan agar menghindari kesalahan dalam penyajian makanan yang
akan sidantap.
3. Sebaiknya ketika ingin menyantap makanan khas Jepang disarankan untuk
dapat menggunakan sumpit. Karena sumpit merupakan alat makan utama
ketika menyantap makanan khas Jepang.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, F, 1989. Antropologi Kesehatan. Universitas Indonesia, Jakarta.
Haryanti, Pitri, M.Pd.. 2013. All About Japan. Yogyakarta : Andi Offset, 2013.
Isnanto, Rizal. 2009. Buku Ajar Etika Profesi. Fakultas Teknik. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.Cetakan kedelapan. Jakarta:
PT Rineka Cipta. 1990.
_____________. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Edisi Revisi 2009. Cetakan
kesembilan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Syafrizal, Muhammad. 2013. Etika Dan Pola Makan Orang Jepang. Fakultas Ilmu
Budaya. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wirartha, I Made. 2006. Pedoman Penulisan Usaha Penelitian Skripsi dan
Tesis.Yogyakarta: Andi.
Zulianti, Dwi. 2010. Makalah Masakan Jepang. Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Website
https://www.bernas.id/28658-mengekspresikan-budaya-jepang-melalui-
makanan.html (diakses online pada 4 April 2018)
Universitas Sumatera Utara
http://www.sumberpengertian.co/pengertian-etika (diakses online pada 18 April
2018)
http://Epochtimes.co.id (diakses online pada 18 April 2018)
https://www.gulalives.co/budaya-orang-jepang/ (diakses online pada 20 April
2018)
http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-studi-pustaka/ (diakses online
pada 20 April 2018)
https://idtesis.com/metode-deskriptif/ (diakses online pada 20 April 218)
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPBS/article/view/8693/5659 (diakses
online pada 23 Juli 2018)
https://elqorni.wordpress.com/2017/09/26/disiplin-diri-orang-jepang/ (diakses
online pada 25 juli 2018)
http://gudangartikelterbaru.blogspot.com/2015/05/pengertian-etika-dan-
tatakrama.html (diakses online pada 3 agustus 2018)
https://tourist-note.com/id/20171118092523 (diakses online pada 28 agustus
2018)
https://matcha-jp.com/id/876 (diakses online pada 25 September 2018)
http://jepang.panduanwisata.id/files/2012/06/restoran-di-jepang4.jpg (diaskses online
pada 23 Oktober 2018)
https://cotoacademy.com/japanese-chopsticks-taboos/ (diaskses online pada 23
Oktober 2018)
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Etika dan tata cara yang digunakan saat makan pasti memiliki perbedaan
di setiap belahan dunia. Di Jepang, etika dan tata cara makan yang akan dibahas
adalah restoran tradisional yang menggunakan tatami.
Tatami adalah sebuah material penutup lantai tradisional berupa tikar yang
berasal dari Jepang. Tatami dibuat dari tenunan alang-alang dan kain sebagai
penutup di bagian ujung. Cukup banyak restoran-restoran khas Jepang yang ada di
Indonesia menggunakan konsep tatami ini. Ruangan tatami ini memiliki ukuran
yang berbeda, ruangan kecil muat untuk 5 atau 6 orang, ada yang ruangannya bisa
digabung dengan cara membuka sekat pintu dan ada juga yang ruangannya
memanjang untuk bisa masuk 16 sampai 20 orang.
Orang Jepang mulai makan nasi sejak Zaman Jomon. Pada Zaman Nara
pengaruh kuat kebudayaan Cina memengaruhi masakan atau makanan Jepang
sehingga teknik memasak dari Cina mulai dipakai untuk mengolah bahan
makanan lokal. Masakan Jepang terus berkembang dengan pengaruh dari daratan
Cina pada Zaman Heian. Aliran memasak dan etiket makan berkembang
dikalangan bangsawan. Di Zaman Kamakura selain makanan, mulai populernya
tradisi minum teh dan ajaran Zen. Pada Zaman ini, masakan dan makanan mulai
dibentuk dalam porsi kecil dan menjadi makanan resepsi yang disebut juga
dengan kaiseki. Memasuki Zaman Muromachi, kalangan samurai ikut dalam
urusan masak-memasak di istana kaisar. Tata krama sewaktu makan juga semakin
berkembang. Aliran etiket Ogasawara yang masih dikenal sekarang bermula dari
Universitas Sumatera Utara
etiket kalangan samurai dan bangsawan Zaman Muromachi. Di Zaman Edo,
kebudayaan orang kota berkembang sangat pesat. Pada Zaman Edo makanan
dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak mengikuti tata cara
makan formal seperti masakan Kaiseki atau masakan Honzen. Alat makan dari
keramik atau porselen mulai banyak digunakan dan diberi hiasan berupa gambar-
gambar artistik. Masakan Jepang modern adalah penyempurnaan dari masakan
Zaman Edo.
Daimyo dari seluruh Jepang mengenal kewajiban Sankin Koutai. Pada
awal zaman Meiji, masakan Eropa mulai dikenal orang Jepang yang melakukan
kontak sehari-hari dengan orang asing. Akibat dari gempa bumi Kanto yang
memakan korban jiwa besar-besaran, juru masak pewaris tradisi masakan Edo
ikut menjadi berkurang, dan tradisi masakan Honzen mulai memudar. Etiket
makan mulai longgar, dan orang-orang Jepang semakin menyukai suasana makan
dengan santai sewaktu makan. Itulah sejarah makanan masyarakat di Jepang.
Pada umumnya, bahan-bahan masakan Jepang berupa: beras, hasil
pertanian (sayuran dan kacang-kacangan), dan makanan laut. Bumbu berupa dashi
yang dibuat dari konbu, ikan dan shiitake, ditambah miso dan shōyu. Berbeda
dengan masakan negara-negara lain, makanan Jepang sama sekali tidak
menggunakan bumbu berupa rempah-rempah dan penyedap dari biji-bijian.
Dalam hal penyajian hidangan, dalam masakan Jepang tidak dikenal perbedaan
antara tata cara penyajian di rumah dengan tata cara penyajian di restoran. Jamuan
makan dan kaiseki merupakan pengecualian karena makanan disajikan secara
bertahap.
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah jenis-jenis makanan khas Jepang: (1) Makanan khas Jepang
yang bercampur makanan Barat seperti: sarada udon, gyouza, dan butashougayaki.
(2) Makanan khas Jepang seperti: onigiri, sushi, mochi, dll. Bumbu dan bahan
yang digunakan pun bermacam-macam seperti: katsuboshi, nori, shoyu, miso, dll.
Dalam menyantap makanan di Jepang, etika dan tata cara makan ada 2.
Jika diundang makan dengan orang penting seperti atasan atau mertua, kita
menggunakan etika dan tata cara yang formal. Melakukan semua hal secara
perlahan, sopan dan selalu mendahulukan orang yang lebih tua atau dihormati.
Aturan-aturan makan pun sangat diutamakan dalam situasi seperti ini. Cara duduk,
memegang sumpit, dan menuangkan sake pun sangat perlu diperhatikan agar
tidak menyinggung tamu atau orang yang dihormati. Berbeda dengan situasi tidak
formal ketika diajak makan oleh teman atau keluarga. Semua hal tetap dilakukan
secara perlahan dan sopan.
Etika makan sendiri memiliki manfaat guna meningkatkan rasa percaya
diri. Dengan mengetahui jabaran umum tentang etika makan di meja makan, maka
tidak perlu lagi merasa canggung saat makan bersama orang asing. Dengan
adanya standar aturan yang umum pada etika makan bisa menjadi acuan untuk
mengajarkan sopan santun. Dimanapun sopan santun tetap harus dijalankan
karena banyak orang yang sangat terpikat dengan sopan santun dan budi bahasa.
Mengetahui perbedaan inilah tujuan dari skripsi ini. Semoga menjadi manfaat
bagi pembaca.
Universitas Sumatera Utara
要旨
よ う し
国
くに
によって食事
しょくじ
の仕方
し か た
やマナーが違
ちが
うはずである。これから説明
せつめい
する日本
に ほ ん
の食事
しょくじ
の仕方
し か た
は
たたみを持
も
つ伝統的
でんとうてき
な和食レストランである。
たたみというのは床
ゆか
をカバーする日本
に ほ ん
の伝統的
でんとうてき
なマットである。たたみは雑草
ざっそう
から織
お
られ
て、端
はし
で布
ぬの
を使
つか
って閉
と
じる。インドネシアにもたたみをテーマにして使
つか
ってるレストランもたく
さんあります。このたたみ部屋
へ や
は色
いろ
んなサイズがあって、ちょっと狭
せま
い方
ほう
は5人
にん
―6人
にん
までの
人数
にんずう
と拾
ひろ
い方
かた
は16人
にん
ー20人
にん
までの人数
にんずう
もあります。
日本人
にほんじん
は縄文時代
じょうもんじだい
のときから米
こめ
を食
た
べいているそうである。奈良時代
な ら じ だ い
から中国
ちゅうごく
の文化
ぶ ん か
が
日本
に ほ ん
に入
はい
ってきて、日本
に ほ ん
の料理
りょうり
、または食
た
べ物
もの
に影響
えいきょう
があって、中国
ちゅうごく
の料理技術
りょうりぎじゅつ
を使
つか
うように
なった。平安時代
へいあんじだい
のときに中国本土
ちゅうごくほんど
から影響
えいきょう
で日本食
にほんしょく
はますます発展
はってん
した。料理
りょうり
のスタイル
す た い る
や
食事
しょくじ
マナーは貴族
き ぞ く
に広
ひろ
がっていた。鎌倉時代
かまくらじだい
には食
た
べ物
もの
だけじゃなく、お茶
ちゃ
を飲
の
む習慣
しゅうかん
や膳
ぜん
の教
おし
えも人気
に ん き
があった。この時代
じ だ い
にも料理
りょうり
や食
た
べ物
もの
を小部分
しょうぶぶん
にして、会席
かいせき
という活動
かつどう
の食
た
べ物
もの
として
使
つか
うようになった。室町時代
むろまちじだい
に入
はい
って、 侍
さむらい
の人
ひと
も天皇
てんのう
の宮殿
きゅうでん
で料理
りょうり
のことを係
かか
わるようになっ
た。食事
しょくじ
するときのマナーも発展
はってん
した。今
いま
までも知
し
られている小笠原
おがさわら
マナーはこの室町時代
むろまちじだい
の
Universitas Sumatera Utara
侍
さむらい
から始
はじ
めていた。江戸時代
え ど じ だ い
のときは町
まち
の人
ひと
の習慣
しゅうかん
を発展
はってん
するのが速
はや
かった。江戸時代
え ど じ だ い
には食
た
べ物
もの
を楽
たの
しめるときはお酒
さけ
を飲
の
んで、会席
かいせき
や本膳
ほんぜん
などの正式
せいしき
な食事
しょくじ
の仕方
し か た
をしていなかった。
食事道具
しょくじどうぐ
は美術的
びじゅつてき
な絵
え
が描
か
いてあるセラミックや磁器
じ き
を使
つか
うようになった。モダンな日本食
にほんしょく
は
江戸時代
え ど じ だ い
から改善
かいぜん
されたものである。
日本全国
にほんぜんこく
の大名
だいみょう
は参勤交代
さんきんこうたい
という義務
ぎ む
があることを知
し
っていた。明治時代
め い じ じ だ い
の始
はじ
めころに、
ヨーロッパの料理
りょうり
は海外
かいがい
の人
ひと
と良
よ
くやり取
と
りしている人々
ひとびと
に知
し
られるようになった。関東
かんとう
の方
ほう
に
大地震
おおじしん
があったせいで、大勢
おおぜい
の 命
いのち
を亡
な
くして、江戸料理
え ど り ょ う り
の相続人
そうぞくにん
の料理人
りょうりにん
の人数
にんずう
が減
へ
って、
本膳料理
ほんぜんりょうり
の文化
ぶ ん か
も少
すこ
し筒消
つ つ き
えていた。食事
しょくじ
するときのマナーが緩
ゆる
んで、食事
しょくじ
のときにのんびりな
食事
しょくじ
を好
す
きになった。これは日本食
にほんしょく
の歴史
れ き し
なのである。
一般的
いっぱんてき
に、日本料理
にほんりょうり
の材料
ざいりょう
は:米
べい
、農産物
のうさんぶつ
(野菜
や さ い
や豆
まめ
の植物
しょくぶつ
)、シーフードである。
調味料
ちょうみりょう
は昆布
こ ん ぶ
から作
つく
られた出汁
だ し
、魚
さかな
としいたけ、味噌
み そ
やしょうゆである。ほかの国
くに
の料理
りょうり
と違
ちが
って、日本食
にほんしょく
は全然穀物
ぜんぜんこくもつ
とスパイスの調味料
ちょうみりょう
を使
つか
ってない。食
た
べ物
もの
を出
だ
すときに、日本食
にほんしょく
では
家庭
か て い
での出
だ
し方
かた
とレストランでの出
だ
し方
かた
の違
ちが
いはない。宴会
えんかい
と会席
かいせき
は食
た
べ物
もの
が順番
じゅんばん
に出
だ
すから別
べつ
なのである。
Universitas Sumatera Utara
次
つぎ
は日本食
にほんしょく
の種類
しゅるい
である:①洋食
ようしょく
と混
ま
ざっている日本食
にほんしょく
、例
たと
えば:サラダ
さ ら だ
うどん、餃子
ぎょうざ
と
豚生姜焼
ぶたしょうがや
き。②日本食
にほんしょく
、例
たと
えば:おにぎり、寿司
す し
、餅
もち
などである。使
つか
った材料
ざいりょう
と調味料
ちょうみりょう
もいろ
いろあって、例
たと
えば:鰹節
かつおぶし
、海苔
の り
、しょうゆ、味噌
み そ
なのである。
日本
に ほ ん
で食事
しょくじ
するときは二
ふた
つの食事
しょくじ
の仕方
し か た
がある。上司
じょうし
や義理
ぎ り
の両親
りょうしん
に食事
しょくじ
を誘
さそ
われたとき
は正式
せいしき
な食
た
べ方
かた
を使
つか
う。何
なに
もかもゆっくりで、丁寧
ていねい
で、目上
め う え
の人
ひと
に優先権
ゆうせんけん
を与
あた
える。テーブルマ
ナーもとても大事
だ い じ
である。座
すわ
り方
かた
や箸
はし
の握
にぎ
り方
かた
、そしてお酒
さけ
を注
そそ
ぎ方
かた
まで注意
ちゅうい
しないといけない。
友達
ともだち
や家族
か ぞ く
と食事
しょくじ
するときの普通
ふ つ う
な食事
しょくじ
とは違
ちが
う。
食事
しょくじ
マナーは自信
じ し ん
を高
たか
めるための利益
り え き
がある。テーブルで一般的
いっぱんてき
なルールやマナーを知
し
っ
た限
かぎ
り、知
し
らない人
じん
の前
まえ
で食事
しょくじ
しても厄介
やっかい
ではない。一般的
いっぱんてき
な食事
しょくじ
マナーの標 準
ひょうじゅん
があるおかげ
で、礼儀
れ い ぎ
を教
おし
えることができる。どこでも礼儀
れ い ぎ
をしないといけない、なぜならば礼儀
れ い ぎ
や話
はな
し方
かた
に
興味
きょうみ
を持
も
つ人
ひと
が多
おお
いである。こういう違
ちが
いを理解
り か い
できて、役
やく
に立
た
つように、この論文
ろんぶん
を書
か
いた。
Universitas Sumatera Utara