1
Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo
Sapuroh dan Ibnu Wahyudi
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak
Kuntowijoyo adalah sastrawan yang cukup berpengaruh bagi kesusastraan Indonesia. Kontribusinya dalam
bidang sastra tidak hanya diwujudkan melalui karya sastra, tetapi juga melalui ide sastra profetik. Sastra profetik
adalah sastra yang mengandung tiga nilai, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dengan metode kualitatif
dan pendekatan sosiologi sastra, penelitian ini berusaha mengungkap apakah konsep sastra profetik yang
dicetuskan oleh Kuntowijoyo diterapkan dalam cerpen-cerpennya atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa cerpen-cerpen Kuntowijoyo mengandung nilai-nilai profetik, namun cerpen-cerpen tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai sastra profetik. Hal ini karena ketiga unsur yang ada dalam sastra profetik dihadirkan secara
terpisah dalam cerpen-cerpennya.
Kata Kunci: Cerpen; Kuntowijoyo; Sastra Profetik.
The Prophetic Elements in Three Short Stories of Kuntowijoyo
Abstract
Kuntowijoyo is one of the most influential man of letters for Indonesian literature. His contribution in the field
of literature is not only formed within the literature itself, but also by the ideas of prophetic. Prophetic literature
is consisted by three values, namely: humanization, liberation, and transcendence. By using qualitative and
literature sociology methods, this research was aimed to express the concept of prophetic literature used in
Kuntowijoyo‟s short stories. The result of this research shows that those short stories contain of prophetic values,
but they cannot fully categorized as prophetic literature because the three values in the prophetic literature were
presented separately in those short stories.
Keywords: Kuntowijoyo; Prophetic Literature; Short Story.
Pendahuluan
“Karya sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Kepribadian, emosi, dan
kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastra yang diciptakannya” (Griffth dalam
Siswanto, 2008: 72). Pernyataan Griffth yang dikutip oleh Wahyudi Siswanto ini
membenarkan pandangan bahwa karya sastra mengandung gagasan pengarangnya. Gagasan
ini muncul sebagai gambaran, kritik, atau lebih jauh, kondisi ideal yang diinginkan oleh
pengarang atas lingkungan sosial yang ada di sekitarnya.
Salah satu pengarang yang menggunakan karya sastra sebagai media penyampai
gagasannya adalah Kuntowijoyo. Menurut Abdul Hadi W. M., dalam esainya yang berjudul
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
2
“Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia” (1999: 24-
29), Kuntowijoyo merupakan sastrawan sufistik karena ia memiliki kecenderungan
mengangkat nilai-nilai kesufian pada beberapa karyanya. Pernyataan Abdul Hadi ini
dibenarkan oleh Memen Durachman dalam hasil penelitiannya. Menurut Durachman (1996:
167), ada gagasan sufi/tasawuf yang dihadirkan Kuntowijoyo dalam novel Khotbah di Atas
Bukit. Konsep sufi yang ditampilkan dalam novel ini adalah perjalanan rohani (suluk) yang
disebut salik. Orang yang akan melakukan perjalanan ini harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, salah satunya adalah seseorang harus memutuskan diri dari belenggu kepemilikan
materi dan sarana serta menjauhkan diri dari berbagai keterikatan duniawi.
Namun, Wan Anwar pada tahun 2007 mengemukakan hasil penelitian yang berbeda
mengenai gagasan yang ada dalam karya-karya Kuntowijoyo. Anwar (2007: 8-9) mengatakan
bahwa karya Kuntowijoyo adalah karya sastra profetik. Hal ini karena Kuntowijoyo selalu
menghadirkan dikotomi dua dunia, baik dalam cerpen, novel, sajak, maupun esai-esainya.
Melalui dua dunia ini, Kuntowijoyo tidak sekadar mencari perbedaan dikotomis, melainkan
mencari sintetis yang dapat “menyatukan” keduanya. Dengan kata lain, Kuntowijoyo ingin
membuat fisik dan metafisik berjalan berdampingan, bukan memisahkannya seperti yang
dilakukan dalam konsep sufi.
Sastra profetik itu sendiri adalah sastra yang mengandung nilai humanisasi, liberasi,
dan transendensi. Gagasan ini disampaikan oleh Kuntowijoyo secara resmi melalui esainya
“Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra” yang dimuat dalam majalah
Horison pada tahun 2005. Sastra profetik sebenarnya merupakan “pembaruan” atas konsep
sastra transendental yang disampaikan oleh Kuntowijoyo pada Temu Sastra Dewan Kesenian
Jakarta, 6-8 Desember 1982.
Melalui esainya, “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental”,
Kuntowijoyo menggagas sastra transendental sebagai upaya pembebasan atas pengekangan
aktualitas. Menurut Kuntowijoyo, modernisasi yang masuk dalam kehidupan masyarakat
telah membuat manusia terkungkung pada realitas yang hanya ditangkap oleh alat indera dan
akalnya. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengembalikan ruh dalam dirinya dengan
menanamkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupannya. Salah satu usaha menanamkan nilai
spiritual ini adalah dengan sastra transendental.
Akan tetapi, sastra transendental yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo ini pada akhirnya
hanya mengarah pada satu dimensi, yaitu transendensi (ketuhanan). Padahal, ia menghendaki
keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan
manusia. Oleh karena itu, melalui sastra profetik, Kuntowijoyo berusaha “membumikan”
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
3
sastra transendental yang selama ini dianggap hanya berurusan dengan dimensi ketuhanan. Ia
menghadirkan nilai humanisasi dan liberasi sebagai bentuk realitas duniawi yang juga harus
diperhatikan agar seseorang tidak lupa pada tugas-tugas kemanusiaannya.
Ada tiga nilai yang terdapat dalam sastra profetik, yaitu humanisasi, liberasi, dan
transendensi. Humanisasi adalah usaha memanusiakan manusia. Konsep ini muncul sebagai
upaya untuk menentang dehumanisasi modern dan dehumanisasi tradisional yang ada dalam
masyarakat. Dehumanisasi modern terjadi ketika manusia tanpa sadar terikat oleh modernitas
yang menjadikannya manusia mesin, yaitu manusia yang bekerja tanpa berdasar pada akal
sehat, nilai, dan norma. Ia hanya mengikuti perilaku mayoritas masyarakat. Sementara,
dehumanisasi tradisional terjadi ketika masyarakat terikat pada mitos dan tradisi mistik yang
membuatnya terkungkung pada cara berpikir irasional.
Aspek kedua yang ada dalam sastra profetik adalah liberasi. Kata liberasi diambil dari
kata liberation yang artinya „pembebasan‟, „tindakan memerdekakan‟. Istilah ini kemudian
dipilih oleh Kuntowijoyo untuk mewakili gagasan liberasi dalam sastra profetik, yaitu
pembebasan manusia dari pengekangan dan penindasan yang dilakukan oleh manusia lain,
masyarakat, atau bahkan negara. Penindasan ini dapat dilakukan oleh kelompok mayoritas
kepada minoritas, kelompok borjuis kepada kaum proletar, dan kelompok adikuasa kepada
kelompok yang lemah.
Selain humanisasi dan liberasi, sastra profetik juga mengandung nilai-nilai
transendensi. Transendensi atau kesadaran ketuhanan diambil dari bahasa Latin, transcendere
yang artinya „melampaui‟. Dalam Islam, transendensi akan terwujud dalam khauf (penuh rasa
takut), raja’ (sangat berharap), tawakkal (pasrah), qana’ah (menerima pemberian Tuhan),
syukur, dan ikhlas.
Gagasan profetik yang dirumuskan oleh Kuntowijoyo ini didasarkan pada Alquran,
surat Ali Imran ayat 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.
Kuntowijoyo melakukan transformasi nilai-nilai normatif yang ada dalam ayat ini menjadi
sebuah teori. Menyuruh kepada yang ma‟ruf (humanisasi), mencegah dari yang mungkar
(liberasi), dan beriman kepada Allah (transendensi).
Konsep ini sebenarnya merupakan adopsi dari gagasan ego terbatas dan ego tak
terbatas yang disampaikan oleh Muhammad Iqbal, seorang sastrawan dan pemikir Islam dari
Pakistan. Menurut Iqbal, kesempurnaan manusia tercapai ketika manusia yang telah bertemu
dengan ego tak terbatas atau Tuhan tidak hanyut dalam dimensi ketuhanan, tetapi ia justru
menyerap nilai-nilai ketuhanan dalam dirinya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
4
Kemampuan Nabi Muhammad untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dengan dimensi
ketuhanan inilah yang menjadi ide munculnya sastra profetik.
Dengan adanya gagasan sastra profetik yang disampaikan oleh Kuntowijoyo ini,
penulis ingin melihat apakah gagasan sastra profetik ini tercermin dalam karya-karyanya atau
tidak. Untuk membuktikan hal tersebut, penulis melakukan telaah intrinsik pada cerpen-
cerpen Kuntowijoyo.
Tinjauan Teoretis
Dalam analisis cerpen Kuntowijoyo ini, penulis menggunakan pendapat Panuti
Sudjiman tentang konsep tokoh, latar, alur, dan tema sebagai dasar analisis. Unsur-unsur
intrinsik yang membangun cerita ini selanjutnya akan dijelaskan secara singkat sebagai
berikut.
a. Tokoh
Dalam bukunya, Memahami Cerita Rekaan (1988: 16-19), Panuti Sudjiman
mengatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa. Ia merupakan
unsur pembangun keutuhan sebuah karya sastra. Berdasarkan fungsinya, kedudukan tokoh ini
dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Pembagian ini didasarkan
pada intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.
Tokoh sentral yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis.
Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan
dalam kisahan. Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut
antagonis atau tokoh lawan. Antagonis juga merupakan tokoh sentral.
Selain tokoh sentral, di dalam cerita ada pula tokoh yang berfungsi sebagai tokoh
bawahan. Josep E. Grimes, seperti yang dikutip oleh Panuti Sudjiman (1988: 19), mengatakan
bahwa tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi
kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.
b. Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,
ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Dengan mengacu pada
pembagian latar yang dilakukan oleh William Henry Hudson, Panuti Sudjiman membagi latar
menjadi dua, yaitu latar fisik dan latar sosial. Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisik,
seperti bangunan dan daerah, sedangkan latar sosial adalah penggambaran keadaan
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
5
masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan
lain-lain yang melatari peristiwa (Sudjiman, 1988: 44).
Panuti Sudjiman (1988: 45) juga mengatakan bahwa dalam suatu cerita, sering kali
pelukisan latar hanya sekadar melengkapi cerita. Kapan dan di mana peristiwa tersebut terjadi
tidak terlalu dipentingkan. Oleh karena itu, biasanya pengarang hanya menyebutkan “pada
suatu pagi” tanpa menjelaskan pukul berapa dan “di sebuah kota” tanpa merinci di kota mana.
Bentuk latar seperti ini disebut latar netral.
Akan tetapi, tidak selamanya penyebutan latar yang tidak spesifik ini merupakan latar
netral. Jika penggambaran latar fisik dalam suatu cerita memunculkan dugaan-dugaan atau
tautan pikiran tertentu pada pembaca maka bisa jadi cerita tersebut memiliki latar spiritual.
c. Alur dan Pengaluran
Dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu. Urutan
peristiwa yang membangun tulang punggung cerita inilah yang disebut alur. Alur dalam
sebuah cerita dapat ditentukan berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa, maupun
hubungan sebab-akibat yang melatari terjadinya peristiwa (Sudjiman, 1988: 29-30).
Peristiwa yang dialami tokoh dalam sebuah cerita dapat tersusun menurut urutan
waktu terjadinya (temporal sequence). Dalam hal ini, menurut Sudjiman (1988: 29), tidak
berarti semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara berurutan dari kelahiran si
tokoh, tetapi peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memperhatikan kepentingannya
dalam membangun cerita. Cerita dengan susunan peristiwa yang kronologis ini memiliki alur
linear.
Selain menyajikan rentetan peristiwa dalam urutan temporal, seperti yang Panuti
Sudjiman kutip dari E.M. Forster, peristiwa-peristiwa dalam cerita juga dapat tersusun dengan
memperhatikan hubungan kausalnya (sebab-akibat). Akan tetapi, dalam sebuah cerita yang
tersusun rapi, hubungan kausalitas ini tidak selalu tampak. Kuncinya mungkin terdapat dalam
urutan waktu peristiwa yang meloncat-loncat atau gerakan dan ucapan tertentu dari salah
seorang tokoh.
Untuk menyusun peristiwa-peristiwa menjadi sebuah cerita, dibutuhkan pengaluran,
yaitu pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita. Jika sebuah cerita memuat peristiwa
pertama hingga akhir secara berurutan, dapat dikatakan bahwa cerita tersebut disusun secara
ob ovo. Sebaliknya, jika peristiwa-peristiwa yang ada di cerita dihadirkan secara tidak
berurutan, cerita tersebut dikatakan berawal in medias res (Sudjiman, 1988: 31).
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
6
Panuti Sudjiman (1998: 33) juga mengatakan bahwa jika urutan kronologis peristiwa-
peristiwa yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya,
dalam cerita tersebut terjadi alih balik atau sorot balik. Sorot balik ini dapat ditampilkan
dalam dialog, mimpi, lamunan, atau ingatan pada peristiwa masa lalu.
d. Tema
Pengarang tidak hanya menyampaikan cerita dalam karya sastranya. Ada sebuah
gagasan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang melalui karya sastra yang ia
ciptakan. Gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra inilah yang
disebut tema (Sudjiman, 1988: 50).
Tema dalam karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan baik dan buruk.
Secara lebih konkret, tema pertentangan ini dinyatakan dalam bentuk kebohongan melawan
kejujuran, kezaliman melawan keadilan, dan korupsi melawan hidup sederhana.
Tema cerita juga dapat dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Menurut Panuti
Sudjiman (1988: 50-57), tema yang dinyatakan secara eksplisit biasanya terlihat pada judul
karya sastra tersebut, sedangkan tema yang implisit hanya bisa ditemukan dengan pembacaan
yang tekun dan cermat pada karya sastra. Karya sastra dengan tema implisit inilah yang
biasanya memunculkan multitafsir. Gagasan yang ditemukan pembaca dalam karya sastra
(makna muatan) dapat berbeda dengan gagasan yang dimaksud oleh penulis (makna niatan).
Tema sebuah karya sastra didukung oleh pelukisan latar, tokoh atau penokohan, dan alur.
Unsur-unsur pembentuk karya sastra ini diikat dan menopang tema. Jika gagasan dalam
sebuah karya sastra begitu dominan, tema di sini berfungsi sebagai kekuatan yang
mempersatukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memilih tiga cerpen sebagai sampel penelitian untuk
membuktikan apakah cerpen-cerpen Kuntowijoyo merupakan bentuk sastra profetik atau
bukan. Ketiga cerpen tersebut adalah “Ikan-Ikan dalam Sendang”, “Samurai”, dan “Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga”.
Pemilihan tiga cerpen tersebut sebagai sampel penelitian didasarkan pada dua alasan.
Pertama, tiga cerpen tersebut telah berhasil menampilkan permasalahan mistik, sosial, dan
religius yang merupakan kecenderungan tematik cerpen-cerpen Kuntowijoyo. Kedua, tiga
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
7
cerpen ini tergolong dalam sastra majalah yang memiliki deskripsi alur, tokoh, dan latar lebih
detail jika dibandingkan dengan cerpen lain yang termasuk dalam sastra koran.
Selanjutnya, penulis menggunakan metode kualitatif untuk memahami objek
penelitian lebih dalam. Penulis melakukan analisis struktural pada unsur-unsur intrinsik yang
ada di ketiga cerpen tersebut. Dari analisis ini, penulis akan melihat apakah nilai-nilai yang
ada dalam sastra profetik ditanamkan Kuntowijoyo melalui unsur intrinsik yang membangun
ketiga cerpen tersebut atau tidak.
Analisis Intrinsik pada Tiga Cerpen Kuntowijoyo
Dalam penelitian ini, penulis melakukan telaah intrinsik pada tiga cerpen
Kuntowijoyo, yaitu “Ikan-Ikan dalam Sendang”, “Samurai”, dan “Dilarang Mencintai Bunga-
Bunga”. Unsur intrinsik yang diteliti pada cerpen-cerpen tersebut adalah alur, tokoh, tema,
dan latar. Namun, pada cerpen “Samurai” dan “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” unsur latar
tidak dipentingkan oleh pengarang sehingga deskripsinya tidak terlalu kuat. Oleh karena itu,
latar dalam kedua cerpen tersebut tidak akan dibahas lebih lanjut. Hasil telaah intrinsik pada
ketiga cerpen tersebut selanjutnya dipaparkan secara singkat sebagai berikut.
1. Ikan-Ikan dalam Sendang
Secara garis besar, cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang” bercerita tentang terbongkarnya
kebohongan seorang kakek tentang cerita kekeramatan sendang yang selalu ia sampaikan
kepada warga dusun. Kepercayaan warga dusun pada sendang keramat hilang setelah seorang
warga melihat kakek memancing di sendang keramat. Padahal, memancing di sendang
keramat adalah larangan bagi semua warga dusun. Warga pun sadar bahwa selama ini mereka
ditipu oleh kakek. Kakek mengatakan bahwa sendang tersebut keramat dan melarang warga
memancing di tempat itu agar seluruh ikan dalam sendang menjadi miliknya.
Selanjutnya, untuk analisis alur yang ada dalam cerpen ini, penulis membagi alur
berdasarkan peristiwa-peristiwa yang membangunnya. Pembagian ini didasarkan pada
pendapat Panuti Sudjiman (1988: 29) yang mengatakan bahwa suatu cerita dapat dibangun
oleh peristiwa-peristiwa yang tersusun menurut urutan waktu terjadinya (temporal sequence).
Oleh karena itu, berdasarkan urutan waktu terjadinya, cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”
tersusun atas delapan peristiwa.
Delapan peristiwa yang membangun cerita ini selanjutnya dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu peristiwa utama yang membentuk alur utama dan peristiwa pelengkap yang
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
8
membentuk alur bawahan. Secara sederhana peristiwa utama dan peristiwa pelengkap yang
ada dalam cerpen ini akan digambarkan pada skema berikut.
Gambar 1. Peristiwa Utama dan Peristiwa Pelengkap dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”
Peristiwa utama dalam cerpen ini muncul pada peristiwa 1, peristiwa 3, peristiwa 6,
peristiwa 7, dan peristiwa 8. Pada peristiwa utama ini digambarkan bahwa kepercayaan warga
pada sendang keramat telah hilang. Adapun peristiwa 2, peristiwa 4, dan peristiwa 5 adalah
peristiwa pelengkap yang ditampilkan melalui ingatan tokoh kakek. Pada peristiwa pelengkap
ini digambarkan kondisi awal ketika warga dusun masih percaya bahwa sendang di dusunnya
keramat. Jika mengacu pada pendapat Panuti Sudjiman (1988: 33), dalam cerita ini terjadi
alih balik atau sorot balik.
Untuk mengetahui hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam
Sendang”, delapan peristiwa di dalam cerpen ini akan diurutkan dari peristiwa masa lalu
hingga peristiwa yang terjadi sekarang. Perubahan susunan peristiwa tersebut dapat dilihat
pada bagan di bawah ini.
Gambar 2. Urutan Peristiwa dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang” Berdasarkan Waktu Terjadinya Peristiwa
Awalnya, warga percaya bahwa sendang di dusun mereka keramat. Warga dusun juga
percaya bahwa kakek adalah orang tertua di dusun yang memiliki kesaktian. Mereka menuruti
perintah kakek untuk tidak memancing di sendang. Keadaan sosial ini digambarkan melalui
peristiwa 4, peristiwa 2, dan peristiwa 5.
Namun, warga tidak percaya lagi pada kekeramatan sendang setelah mereka
mengetahui bahwa kakek melanggar larangan untuk tidak memancing di sendang. Peristiwa 7
yang menggambarkan seorang laki-laki mengetahui kakek memancing di sendang merupakan
penyebab dari ketidakpercayaan warga dusun kepada kekeramatan sendang. Jika digambarkan
melalui skema, hubungan sebab-akibat dalam cerpen ini sebagai berikut.
1 2 3 4 5 6 7 8
4 2 5 1 3 6 7 8
Peristiwa utama
Peristiwa pelengkap
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
9
Gambar 3. Hubungan Sebab-Akibat dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”
Dalam setiap peristiwa yang menyusun cerita ini, ada enam tokoh yang berlakuan di
dalamnya. Keenam tokoh tersebut adalah kakek, anak-anak dusun, anak-anak dusun lain, laki-
laki 1, laki-laki 2, dan warga dusun. Keenam tokoh ini jika dilihat dari fungsinya dalam cerita,
dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan (Sudjiman, 1988: 16).
Kakek merupakan tokoh sentral, sedangkan lima tokoh lainnya merupakan tokoh
bawahan. Hal ini karena intensitas keterlibatan tokoh kakek dalam peristiwa lebih besar
dibandingkan dengan tokoh lain. Ini terbukti dari delapan peristiwa yang ada di cerpen, tokoh
kakek selalu terlibat di dalamnya. Berikut ditampilkan tokoh yang berperan dalam setiap
peristiwa.
Gambar 4. Keterlibatan Tokoh pada Setiap Peristiwa dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”
Keterangan:
AAD = Anak-anak dusun
AADL = Anak-anak dusun lain
LK 1 = Laki-laki 1
LK 2 = Laki-laki 2
WD = Warga dusun
Selain alur dan tokoh, latar dalam cerita ini juga memiliki kedudukan yang cukup
penting. Mengacu pada pembagian latar yang dilakukan oleh William Henry Hudson, seperti
yang dikutip oleh Panuti Sudjiman (1988: 44), pada analisis kali ini penulis menemukan
adanya latar fisik dan latar sosial dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”. Deskripsi latar
4 2 5 1 3 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8
Warga percaya pada
kekeramatan
Kebohongan
terungkap
Warga tidak
percaya pada
kekeramatan
Kakek
1. Kakek
2. AAD
3. AADL
1. Kakek
2. LK 1
Kakek
1. Kakek
2. AAD
1. Kakek
2. WD
1. Kakek
2. LK 2
3. WD
Kakek
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
10
fisik (latar waktu dan latar tempat) dalam cerpen ini dilakukan secara sederhana. Pengarang
hanya menggambarkan latar waktu dan tempat tanpa menyebutkannya secara spesifik.
Misalnya, latar tempat dalam cerita ini adalah pedusunan. Namun, tidak dijelaskan secara
rinci dusun tersebut bernama apa dan terletak di mana.
Akan tetapi, deskripsi latar sosial yang ada di cerpen ini cukup memunculkan dugaan-
dugaan mengenai latar tempat yang ada dalam cerpen ini secara lebih spesifik. Tradisi, mitos,
dan karakter warga yang digambarkan dalam cerpen ini memunculkan dugaan bahwa
masyarakat dusun yang ada dalam cerpen tersebut adalah masyarakat Jawa. Hal ini diperkuat
dengan penyebutan wali, raja Jawa, dan simbol-simbol yang ada pada tradisi Jawa. Karena
deskripsi latar pada cerita ini memunculkan dugaan-dugaan, cerpen “Ikan-Ikan dalam
Sendang” ini memiliki latar spiritual.
Dari analisis alur, tokoh, dan latar yang telah dilakukan, gagasan yang ingin
disampaikan oleh Kuntowijoyo melalui cerpen ini adalah penolakan atas budaya mistik Jawa
(kejawen). Penolakan tradisi kejawen ini ditunjukkan dengan adanya perubahan cara berpikir
masyarakat dari mitos ke logis. Masyarakat dusun yang awalnya percaya pada kekeramatan
sendang pada akhirnya menjadi tidak percaya karena mereka sadar bahwa kekeramatan
sendang hanyalah sebuah kebohongan.
2. Samurai
Cerpen “Samurai” bercerita tentang seorang istri yang melakukan perlawanan atas
penganiayaan fisik dan batin yang dilakukan suami kepada dirinya. Cerita ini diawali dengan
pengakuan seorang laki-laki yang merasa disalahkan oleh orang-orang atas permasalahan
rumah tangganya. Kemudian, cerita dilanjutkan dengan kisah hidup laki-laki tersebut dari
awal pernikahan hingga saat istrinya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.
Peristiwa akhir dalam cerpen ini ditampilkan di awal cerita, sedangkan peristiwa
lainnya yang merupakan peristiwa utama ditampilkan secara berurutan setelah peristiwa akhir
tersebut. Jika mengacu pada pendapat Panuti Sudjiman (1988: 33), terjadi sorot balik dalam
cerpen ini. Alur yang ada pada cerpen “Samurai” ini dapat dilihat pada skema berikut.
Gambar 5. Alur dalam Cerpen “Samurai”
Peristiwa:
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
11
Alur cerita:
Untuk mengetahui hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen ini, peristiwa-
peristiwa yang membangun cerita disusun dari peristiwa awal hingga peristiwa akhir. Secara
singkat, susunan peristiwa awal hingga akhir dalam cerpen ini dapat dilihat pada skema
berikut.
Gambar 6. Urutan Peristiwa dalam Cerpen “Samurai” Berdasarkan Waktu Terjadinya Peristiwa
Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa peristiwa 9, yaitu seorang istri yang
menggugat cerai suaminya terjadi karena peristiwa 8, yaitu sang suami menghunuskan
samurai kepada istrinya. Akan tetapi, pemicu terjadinya peristiwa penghunusan itu
sebenarnya telah muncul dari peristiwa 2, yaitu saat laki-laki tersebut merasa terhina dan
kalah dari istrinya.
Pada peristiwa 3 juga ditunjukkan bahwa sang suami merasa rendah diri karena status
status sosial istrinya lebih tinggi dari dirinya. Ia merasa cemburu karena istrinya seorang guru,
sedangkan ia hanya seorang buruh. Perbedaan status sosial ini mengakibatkan munculnya
keinginan pada sang suami untuk menunjukkan kekuasaannya pada istrinya.
I A B C D E F G H
2
Seorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan
3
Laki-laki tersebut cemburu kepada sang
istri karena status sosial istrinya lebih tinggi
4
Ia menduga istrinya tidak menyukai pekerjaannya
5
Ia memasang samurai di dinding untuk menunjukkan kekuasaannya
6
Laki-laki tersebut menceritakan asal usul samurai kepada istrinya
7
Ia mengasah samurai di depan istrinya
8
Laki-laki tersebut menghunuskan samurai
ke tubuh istrinya
9
Sang istri menggugat cerai suaminya
1
Laki-laki tersebut merasa semua orang menyalahkan dirinya atas perceraiannya
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
12
Segala cara dilakukan oleh suami untuk menunjukkan bahwa istrinya lemah. Usaha
sang suami ini ditampilkan melalui peristiwa 4, peristiwa 5, peristiwa 6, dan peristiwa 7.
Akan tetapi, semua yang dilakukannya itu gagal. Ia merasa istrinya selalu menang dengan
ketenangannya. Akhirnya, di suatu malam ia menghunuskan samurai ke tubuh istrinya.
Hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen ini dapat dilihat pada skema berikut.
Gambar 7. Hubungan Sebab-Akibat dalam Cerpen “Samurai”
Dalam cerpen “Samurai”, ada empat tokoh yang membangun cerita. Keempat tokoh
tersebut adalah aku (suami), istri, masinis, dan petugas dari pengadilan agama. Tokoh suami
dan istri dalam cerita ini merupakan tokoh sentral, sedangkan tokoh masinis dan petugas dari
pengadilan agama adalah tokoh bawahan. Seperti pada cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”,
penentuan tokoh sentral dan tokoh bawahan pada cerita ini juga didasarkan pada intensitas
keterlibatan masing-masing tokoh dalam membangun cerita.
Tokoh suami dan tokoh istri, keduanya merupakan tokoh sentral. Suami merupakan
tokoh protagonis dalam cerpen ini karena ia merupakan tokoh utama yang menjadi pusat
sorotan. Kehadiran suami sebagai tokoh aku dalam cerpen ini menjadikan ia lebih dominan
dari tokoh istri. Tokoh istri yang juga berfungsi sebagai tokoh sentral dalam cerita ini
merupakan tokoh penentang dari tokoh suami sehingga ia merupakan tokoh antagonis.
Tokoh suami dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang yang sensitif, namun
tidak peka. Ia mudah tersinggung dengan sikap orang lain, namun ia tidak mampu memahami
orang lain. Sang suami selalu menganggap istrinya sebagai saingan. Ia akan menentang semua
yang dikatakan istrinya. Sikap negatif sang suami ini berawal dari kecemburuannya pada
istrinya karena istrinya memiliki status sosial yang lebih tinggi darinya. “Aku seorang buruh
kereta api rendahan, beristerikan seorang guru!” (Kuntowijoyo, 2003: 69).
Kecemburuan sang suami ini membuat dirinya selalu berpikir negatif kepada istrinya.
Ia menduga istrinya tidak menyukai pekerjaannya. Ia pun berusaha untuk menutupi rasa
rendah dirinya dengan menunjukkan kekuasaannya pada sang istri. Berbagai cara dilakukan
oleh sang suami untuk menunjukkan kelemahan istrinya, termasuk dengan menghunuskan
pedang ke tubuh istri.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemicu Penyebab Akibat
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
13
Tokoh istri yang merupakan tokoh penentang dari tokoh suami dalam cerpen ini
digambarkan memiliki karakter yang lembut, sopan, dan cerdas. Sifat-sifat sang istri ini juga
membuat sang suami bersikap sinis. Awalnya, sikap sang suami ditanggapi biasa oleh sang
istri. Ia berusaha memahami dan menenangkan suaminya saat gelisah. Akan tetapi, sikap
otoriter dan penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya secara terus-menerus membuat sang
istri melakukan perlawanan, yaitu dengan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.
Dari analisis alur dan tokoh tersebut, dapat diketahui bahwa gagasan atau ide yang ada
dalam cerpen ini adalah perlawanan seorang istri atas penindasan yang dilakukan oleh
suaminya. Rasa cemburu sang suami pada status sosial istrinya yang lebih tinggi membuat ia
bersikap kasar, sewenang-wenang, dan otoriter. Ini dilakukan oleh sang suami sebagai usaha
untuk menunjukkan kekuasaannya. Sikap otoriter sang suami ini dilawan dengan gugatan
cerai yang diajukan oleh sang istri ke pengadilan agama.
3. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” bercerita tentang seorang anak yang
dihadapkan pada dua pilihan tentang kesempurnaan hidup. Menurut sang ayah, kesempurnaan
hidup didapat dengan bekerja, sedangkan menurut kakek, kesempurnaan hidup hanya
diperoleh dengan mencintai bunga-bunga. Sang anak akhirnya mengikuti konsep
kesempurnaan hidup menurut ayah dan ibunya. Ayahnya selalu mengajarkan kerja, sedangkan
ibunya selalu mengingatkannya untuk mengaji.
Jika dilihat dari urutan waktu terjadinya, peristiwa-peristiwa yang membangun cerpen
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” disusun secara berurutan. Jika peristiwa-peristiwa dalam
cerpen ini dilihat berdasarkan urutan waktu terjadinya, ada sembilan peristiwa yang
membangun cerpen ini.
Pilihan sang anak untuk mengikuti konsep kesempurnaan hidup menurut ayah dan
ibunya merupakan akibat dari adanya dua kondisi yang dialami oleh sang anak. Sang kakek
menawarkan ketenangan jiwa, sedangkan ayahnya menuntut untuk bekerja. Oleh karena itu,
hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen ini adalah anak memilih karena adanya kondisi
yang memaksanya untuk memilih. Pilihan sang anak ini ditampilkan pada peristiwa 9,
sedangkan kondisi yang menjadi penyebab sang anak untuk memilih dihadirkan melalui
peristiwa 3, peristiwa 4, peristiwa 5, peristiwa 6, peristiwa 7, dan peristiwa 8.
Akan tetapi, munculnya pilihan atas dua konsep kesempurnaan hidup ini dipicu oleh
perkenalan anak dengan kakek. Anak yang awalnya telah mengenal konsep kerja dari sang
ayahnya, dihadapkan pada pilihan lain yaitu konsep kesempurnaan hidup dengan mencintai
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
14
bunga-bunga yang ditawarkan oleh sang kakek. Perkenalan anak dengan kakek ini
ditampilkan melalui peristiwa 2. Hubungan sebab-akibat dalam cerpen ini dapat dilihat dalam
skema berikut.
Gambar 8. Hubungan Sebab-Akibat dalam Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”
Ada empat tokoh yang berperan dalam cerpen ini, yaitu aku (anak), kakek, ayah, dan
ibu. Berdasarkan fungsinya dalam cerita, tokoh anak, kakek, dan ayah merupakan tokoh
sentral, sedangkan tokoh ibu merupakan tokoh bawahan. Tokoh anak, kakek, dan ayah dalam
cerpen ini merupakan tokoh sentral karena ketiga tokoh tersebut memiliki intensitas
keterlibatan yang tinggi pada setiap peristiwa.
Berbeda dengan ketiga tokoh lainnya, tokoh ibu merupakan tokoh bawahan dalam
cerpen ini karena kehadirannya dan keterlibatannya dalam permasalahan yang diangkat dalam
cerpen ini sangat sedikit apabila dibandingkan dengan tokoh lain. Keterlibatan tokoh dalam
setiap peristiwa yang ada dalam cerpen ini terlihat dalam bagan berikut.
Gambar 9. Keterlibatan Tokoh pada Setiap Peristiwa dalam Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”
Tokoh anak, yang dalam cerita ini merupakan tokoh aku, memiliki sifat ramah,
lembut, penurut, dan cerdas. Akan tetapi, ia mudah terpengaruh, saat kakek mengajarinya
tentang konsep ketenangan jiwa melalui bunga-bunga. Kecintaannya pada bunga
memunculkan rasa sombong dalam diri sang anak. Ia merasa hanya dia yang memiliki
ketenangan jiwa yang sempurna.
Selain itu, kecintaannya pada bunga yang berlebihan membuat perubahan sikap pada
dirinya. Ia yang awalnya senang bermain dengan teman-temannya menjadi tertutup dan
mengurung diri dalam kamar. Ia lebih suka berlama-lama dengan bunganya daripada
bersosialisasi dengan temannya.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemicu Kondisi (penyebab) Akibat
Anak 1. Anak
2. Kakek
1. Anak
2. Ayah
1. Anak
2.Kakek
1. Anak
2. Kakek
3. Ibu
1. Anak
2. Ayah
1. Anak
2. Ayah
3. Kakek
1. Anak
2. Ayah
3. Ibu
1. Anak
2. Ayah
3. Kakek
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
15
Sifat antisosial ini juga dimiliki oleh kakek. Kakek adalah orang yang menutup diri. Ia
tidak pernah bergaul dengan orang lain. Kakek menganggap rendah dunia. Ia berpendapat
bahwa kesempurnaan hidup hanya dicapai dengan ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa ini
diperoleh melalui bunga-bunga. Dunia hanyalah nafsu, sedangkan bunga-bunga adalah budi.
Menurutnya, tidak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin.
Konsep kesempurnaan hidup dengan ketenangan jiwa yang disampaikan kakek ini
berlawanan dengan kesempurnaan hidup menurut ayah. Bagi ayah, seorang laki-laki harus
bekerja, bukan bermain bunga. Orang tidak akan bisa hidup hanya dengan bunga.
Kesempurnaan hidup bagi ayah adalah dengan bekerja karena dunia ini butuh dibangun.
Awalnya, sang anak lebih mencintai kakek daripada ayahnya. Menurut sang anak,
kakek orang yang lembut, sedangkan ayah orang yang keras. Sang anak lebih mencintai
kakek daripada ayahnya karena kakek membuat hatinya menjadi tenang, sedangkan ayahnya
selalu membuatnya gelisah. Akan tetapi, ketika sang anak dihadapkan pada dua pilihan, yaitu
antara kakek dan ayahnya, ia lebih memilih ayahnya. Namun, ia tidak sepenuhnya memilih
ayahnya. Ia memilih ayah karena ada ibu sebagai pendampingnya. Ayah selalu mengajarkan
tentang kerja, sedangkan ibu mengingatkannya untuk mengaji.
Dari analisis alur dan tokoh tersebut, dapat dilihat bahwa dalam cerpen “Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga” terdapat kritik yang disampaikan oleh Kuntowijoyo atas zuhud,
yaitu salah satu pandangan dalam ajaran sufi/tasawuf. Zuhud, yaitu cara hidup yang
terkonsentrasi penuh dengan ibadah kepada Allah serta meninggalkan kemewahan dan
perhiasan duniawi. Melalui tokoh kakek, pengarang menggambarkan keadaan orang yang
menjalankan zuhud. Ia mencari kesempurnaan hidup hanya dengan mencintai bunga-bunga.
Kecintaan kakek pada bunga-bunga yang terlalu berlebihan menjadikannya pribadi
yang tertutup dan antisosial. Ia tidak peduli pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia
menjadi sombong karena merasa memiliki ketenangan jiwa lebih tinggi dari orang lain. Ia pun
menjadi sinis memandang dunia. Ia menganggap dunia sebagai nafsu, sedangkan bunga
adalah budi.
Kecintaan kakek pada bunga-bunga merupakan simbol dari kecintaan seorang hamba
pada Tuhannya. Kecintaan seorang hamba kepada Tuhan yang terlalu berlebihan hingga
membuat dirinya lupa pada tugas kemanusiaannya tidak dibenarkan. Hal ini karena Tuhan
tidak pernah menyuruh hambanya untuk beribadah pada Tuhan saja, tetapi juga mewajibkan
manusia bekerja demi kelangsungan hidup manusia.
Kritik pengarang atas sikap kakek ini ditunjukkan dengan menghadirkan tokoh anak
yang menolak untuk mengikuti jejak sang kakek. Awalnya, sang anak merasa kagum pada
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
16
konsep ketenangan jiwa dengan mencintai bunga-bunga yang diajarkan oleh kakek. Dia pun
mengikuti perilaku sang kakek. Akan tetapi, ia sadar bahwa seseorang tidak akan hidup hanya
dengan bunga-bunga. Manusia juga harus bekerja karena dunia ini harus dibangun.
Kesempurnaan hidup tidak akan dicapai oleh seseorang hanya dengan beribadah pada
Tuhan. Seseorang juga harus menunaikan tugas kemanusiaanya. Keseimbangan hubungan
manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia ini dalam Islam dikenal dengan konsep
habluminallah (hubungan dengan Allah) dan habluminannas (hubungan dengan manusia).
Dalam cerpen, keseimbangan ini ditunjukkan dengan sikap anak yang memilih mengikuti
ayah dan ibunya. Ayah mengajarkan konsep kerja padanya dan ibu selalu mengingatkannya
untuk mengaji.
Tiga Cerpen Kuntowijoyo dalam Tinjauan Sastra Profetik
Dari analisis intrinsik yang telah dilakukan pada tiga cerpen Kuntowijoyo, yaitu “Ikan-
Ikan dalam Sendang”, “Samurai”, dan “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, ada usaha yang
dilakukan oleh Kuntowijoyo untuk menanamkan nilai profetik di dalam karyanya. Hal ini
terlihat dari adanya kecenderungan tokoh dan tema yang diangkat dalam cerpen-cerpennya.
Dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang” dan “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”,
pengarang menghadirkan kakek dan anak sebagai tokoh. Tokoh kakek dan anak yang
dihadirkan oleh Kuntowijoyo dalam cerpennya merupakan simbol dari tradisi dan modernitas
serta materi dan spiritual. Dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, tokoh kakek
merupakan simbol dari spiritual (hubungan dengan Tuhan), sedangkan tokoh anak merupakan
simbol dari materi (realitas duniawi). Kedua karakter ini dikontraskan bukan untuk
dipisahkan, melainkan disatukan. Artinya, ada keseimbangan antara hubungan manusia
dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan realitas duniawi.
Tokoh kakek dan anak juga merupakan simbol dari tradisi dan modernitas. Kakek
mewakili masyarakat tradisional, sedangkan anak merupakan simbol masyarakat modern.
Penolakan tradisi kejawen yang ada dalam masyarakat tradisional ditampilkan melalui cerpen
“Ikan-Ikan dalam Sendang”. Cara berpikir mitos yang ada dalam masyarakat tradisional
digantikan dengan cara berpikir logis yang ada dalam masyarakat modern.
Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa ada nilai-nilai profetik yang disampaikan
oleh Kuntowijoyo melalui tokoh anak dan kakek. Tokoh anak dan kakek yang merupakan
simbol materi dan spiritual dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” digunakan
Kuntowijoyo untuk menyampaikan konsep transendensi. Konsep transendensi ini berupa
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
17
keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah) dan manusia dengan
manusia (habluminannas).
Selain itu, melalui tokoh anak dan tokoh kakek yang merupakan simbol dari tradisi
dan modernitas, Kuntowijoyo juga menyampaikan konsep humanisasi. Dalam cerpen “Ikan-
Ikan dalam Sendang”, Kuntowijoyo menolak dehumanisasi tradisional berupa pemujaan
terhadap mitos dan kebudayaan kejawan.
Selain kecenderungan tokoh, cerpen-cerpen Kuntowijoyo juga memiliki
kecenderungan tematik. Dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”, tema yang diangkat
adalah penolakan atas mistik Jawa (kejawen). Gagasan yang diusung cerpen ini selaras
dengan konsep humanisasi yang berbentuk penolakan atas dehumanisasi tradisional. Warga
dusun yang awalnya percaya pada kekeramatan sendang pada akhirnya sadar bahwa
kekeramatan sendang hanyalah sebuah kebohongan. Masyarakat yang awalnya memiliki cara
pandang mitos, berubah menjadi berpikir logis.
Namun, tidak hanya humanisasi, Kuntowijoyo juga menghadirkan nilai liberasi yang
merupakan unsur sastra profetik melalui cerpen “Samurai”. Dalam cerpen ini digambarkan
ada seorang istri yang mengalami penganiayaan fisik dan batin yang dilakukan oleh
suaminya. Penganiayaan ini akhirnya dilawan dengan gugatan cerai (khulu’) yang diajukan
sang istri kepada pengadilan agama. Melalui cerpen ini, Kuntowijoyo menegaskan bahwa
seorang perempuan juga memilki hak dalam rumah tangga. Anggapan bahwa agama memihak
kaum laki-laki dipatahkan dalam cerpen ini.
Selain humanisasi dan liberasi, cerpen-cerpen Kuntowijoyo juga mengandung nilai
transendensi, seperti yang terdapat dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Pada
cerpen ini pengarang menampilkan konsep yang ada dalam ajaran tasawuf. Ia menampilkan
konsep tersebut bukan untuk mengukuhkan, melainkan mengkritiknya. Seorang anak yang
pada awalnya tertarik pada ketenangan jiwa yang diajarkan oleh seorang kakek, akhirnya
memutuskan untuk menolak konsep tersebut. Seseorang tidak akan hidup hanya dengan
beribadah pada Tuhan. Ia juga harus bekerja karena dunia ini butuh dibangun.
Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa cerpen-cerpen Kuntowijoyo
mengandung nilai-nilai profetik. Akan tetapi, meski mengandung nilai-nilai profetik, cerpen-
cerpen Kuntowijoyo tidak dapat dikatakan sebagai sastra profetik. Hal ini karena, jika
kembali kepada konsep sastra profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo, yang dinamakan
sastra profetik adalah sastra yang mengandung tiga nilai, yaitu humanisasi, liberasi, dan
transendensi. Sementara, cerpen-cerpen Kuntowijoyo hanya mengandung satu nilai profetik
pada masing-masing cerpen.
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
18
Terpisahnya nilai-nilai profetik pada cerpen-cerpen Kuntowijoyo inilah yang
mengakibatkan gagasan profetik Kuntowijoyo tidak diterima dengan baik oleh pembaca. Ini
terlihat pada gelar sastrawan sufistik yang diberikan Abdul Hadi W.M. kepadanya. Dalam
esainya yang berjudul “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di
Indonesia” (1999: 24-29), melalui cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, “Sepotong
Kayu untuk Tuhan”, dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon”, Abdul Hadi mengatakan bahwa
Kuntowijoyo merupakan sastrawan sufistik. Ini karena cerpen-cerpen Kuntowijoyo tersebut,
menurut Abdul Hadi, menampilkan nilai-nilai sufistik/transendental.
Namun, berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan, gagasan transendensi yang
disampaikan Kuntowijoyo sebenarnya menghendaki keseimbangan antara hubungan manusia
dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, bukan pengkultusan atas konsep zuhud, yaitu
pemisahan ibadah dengan kerja yang terdapat dalam aliran sufi. Oleh karena itu, Kuntowijoyo
juga tidak dapat dikatakan sebagai sastrawan sufistik.
Kesimpulan
Ada kecenderungan tokoh dan tema dalam tiga cerpen Kuntowijoyo. Kecenderungan
ini digunakan sebagai sarana penyampai tiga nilai yang ada dalam sastra profetik, yaitu
humanisasi, liberasi dan transendensi. Kuntowijoyo menggunakan tokoh anak dan kakek
dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” sebagai simbol atas penyatuan materi dan
spiritual (transendensi), serta tokoh anak dan kakek dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”
sebagai simbol atas modernitas dan tradisi (humanisasi).
Tiga cerpen Kuntowijoyo ini juga memiliki tema yang idenya sama dengan nilai-nilai
yang ada dalam sastra profetik. Gagasan penolakan tradisi kejawen yang ada dalam cerpen
“Ikan-Ikan dalam Sendang” sejalan dengan nilai humanisasi berupa penolakan atas
dehumanisasi tradisional yang ada dalam sastra profetik. Begitu pula dengan perlawanan
seorang istri atas penindasan yang dilakukan oleh suaminya yang ada dalam cerpen
“Samurai”. Gagasan perlawanan atas ketidakadilan ini sama dengan ide pembebasan (liberasi)
yang ada dalam sastra profetik. Selain itu, nilai transendensi yang ada dalam sastra profetik
juga tercermin melalui gagasan penolakan konsep zuhud yang ada dalam cerpen “Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga”. Melalui transendensi, Kuntowijoyo berusaha menghadirkan
keseimbangan antara realitas dunia dengan dimensi ketuhanan.
Akan tetapi, meskipun mengandung nilai-nilai profetik, cerpen-cerpen Kuntowijoyo
tidak dapat dikatakan sebagai sastra profetik. Hal ini karena nilai-nilai profetik dalam cerpen-
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013
19
cerpen Kuntowijoyo dihadirkan terpisah. Terpisahnya nilai-nilai profetik dalam karya
Kuntowijoyo inilah yang mengakibatkan Kuntowijoyo mendapat gelar sastrawan sufistik dari
beberapa kritikus. Hal ini karena kritikus hanya melihat nilai transendensi di beberapa karya
Kuntowijoyo.
Saran
Terpisahnya nilai-nilai profetik dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo mengakibatkan
cerpen-cerpennya tidak dapat digolongkan sebagai sastra profetik. Namun, apakah karya-
karya Kuntowijoyo yang lain, seperti novel, drama, dan puisi juga memiliki nilai-nilai
profetik yang terpisah. Untuk melihat hal tersebut, penelitian lanjutan tentang sastra profetik
ini dapat dilakukan, mengingat novel dan drama memiliki media yang lebih luas
dibandingkan cerpen.
Selain itu, pembaca juga dapat meneliti apakah sastrawan Indonesia, selain
Kuntowijoyo, ada yang telah berhasil menulis karya sastra yang tergolong sebagai sastra
profetik. Penelitian ini sangat mungkin dilakukan karena penelitian tentang sastra profetik di
Indonesia masih jarang dilakukan.
Daftar Referensi
Anwar, Wan. (2007). Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.
Durachman, Memen. (1996). “Khotbah di Atas Bukit, Novel Gagasan Karya Kuntowijoyo”.
Program Studi Susastra, Bidang Ilmu Budaya, Program Pascasarjana, Universitas
Indonesia.
Iqbal, Muhammad. (1966). Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. terj. Ali
Audah, dkk. Jakarta: Tintamas.
Kuntowijoyo. (2003). Dilarang Mencintai Bunga-bunga Jakarta: Pustaka Firdaus.
---. (2006). Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
---. “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental”. Esai yang dibacakan
dalam Temu Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 6-8 Desember 1982.
Muthari, Abdul Hadi Wiji. (1999). Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra
Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Siswanto, Wahyudi. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.
Sudjiman, Panuti. (1988). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013