Download - Askep Asli Tiroid
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 4
DARTO ELI
LAMRIA SITIO
NOVA PINTE NIATE
ZAHARA HUTABALIAN N
TKT:3.2
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan dan Kebidanan
Universitas Sari Mutiara Medan
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini disusun untuk mengetahui ASUHAN
KEPERAWATAN TIROIDITIS
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini, khususnya pada dosen pembimbing, yang
telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
karya tulis ini dengan baik.
Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritikan dan saran agar
penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak
terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, Oktober 2014
Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada
leher bagian bawah di sebelah anterior trachea. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus lateral yang
dihubungkan oleh sebuah istmus. Kelenjar tiroid mempunyai panjang kurang lebih 5 cm serta
3 cm dan berat kurang lebih 30 gr. Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang
berbeda tiroksin (T4), Trilodotironin (T3) dan Kalsitonin
Ambilan dan metabolisme Iodium. Iodium merupakan unsur esensial bagi tiroid untuk
sintesis hormon tiroid. Gangguan utama akibat defisiensi Iodium adalah perubahan fungsi
tiroid. Iodium dikonsumsi dari makanan dan diserap dalam darah di dalam traktus
gastrointestinal. Kelenjar tiroid bekerja sangat efisien dalam mengambil Iodium dari darah
dan kemudian memekatkannya dalam sel-sel kelenjar tersebut. Ion-ion iodida akan diubah
menjadi molekul Iodium yang akan bereaksi dengan tirosin (suatu asam amino) untuk
membentuk hormon tiroid.
Pengaturan fungsi tiroid. Sekresi tirotropin, atau TSH (Thyriod Stimulating Hormone), oleh
kelenjar hipofisis akan mengendalikan kecepatan pelepasan hormon tiroid. Selanjutnya,
pelepasan TSH ditentukan oleh kadar hormon tiroid dalam darah. Jika konsentrasi hormon
tiroid dalam darah menurun, pelepasan TSH meningkat sehingga terjadi peningkatan
keluaran T4 dan T3. Keadaan ini merupakan suatu contoh pengendalian umpan balik
(feedback control). Hormon pelepasan tirotropin (TRH) yang disekresi oleh hipotalamus
memberikan pengaruh yang mengatur pelepasan TSH dari hipofisis
.Fungsi hormon tiroid. Fungsi utama hormon tiroid T3 dan T4 adalah mengendalikan
aktivitas metabolik seluler. Kedua hormon ini bekerja sebagai alat pacu umum dengan
mempercepat proses metabolisme. Hormon tiroid mempengaruhi replikasi sel dan sangat
penting bagi perkembangan otak. Adanya hormon tiroid dalam jumlah yang adekuat juga
diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui efeknya yang luas terhadap metabolisme
seluler, hormon tiroid mempengaruhi sistem organ yang penting.
Kalsitonin atau tirokalsitonin merupakan hormon penting lainnya yang disekresi oleh
kelenjar tiroid. Hormon ini disekresi oleh kelenjar tiroid sebagai respon terhadap kadar
kalsium plasma dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium dalam tulang.
Efek hormon tiroid pada pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
otak selama kehidupan janin. Bila janin tidak dapat mensekresi hormon tiroid dalam waktu
yang cukup maka pertumbuhan dan pematangan otak sebelum dan sesudah bayi dilahirkan
akan sangat terbelakang dan otak tetap berukuran kecil dari normal. Hormon tiroid
meningkatkan laju metabolisme sebagian besar sel tubuh. Bila produksi hormon tiroid sangat
meningkat maka hampir selalu menurunkan berat adan. Dan bila produksinya menurun
hampir selalu meningkatkan nafsu makan. Keadaan ini dapat melebihi keseimbangan
perubahan kecepatan metabolism
Efek pada sistem kardiovaskuler hormon tiroid akan meningkatkan aliran darah dan curah
jantung, frekuensi denyut jantung, kekuatan denyut jantung, volume darah, dan tekanan
arteri.
Efek pada respiratori. Meningkatnya kecepatan metablisme akan meningkatkan pemakaian
oksigen dan pembentukan karbon dioksida. Ini akan mengaktifkan semua mekanisme yang
meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan
.Efek pada saluran cerna, meningkatkan nafsu makan dan asupan makanan, karena
hormon tiroid meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan gerakan saluran cerna.
Sering terjadi diare, kekurangan hormon tiroid dapat menimbulkan konstipasi.
Efek pada sistem syaraf pusat. Hormon tiroid meningkatkan kecepatan berfikir, tapi juga
sering menimbulkan disosiasi pikiran, dan sebaliknya berkurang hormon tiroid akan
menurunkan fungsi ini
.Efek terhadap fungsi otot. Peningkatan hormon tiroid dapat menyebabkan otot bereaksi
dengan kuat, namun bila jumlah hormon ini berlebihan, maka otot-otot malahan menjadi
lemah oleh karena berlebihnya katabolisme protein. Kekurangan hormon tiroid menyebabkan
otot sangat lambat, tremor pada otot
.Efek pada tidur. Karena efek yang melelahkan dari hormon tiroid pada otot dan sistem
syaraf pusat, maka penderita hipertiroid seringkali merasa capai terus menerus tetapi karena
efek ekstasi dari hormon tiroid pada sinaps, timbul kesulitan tidur. Sebaliknya, somuolen
yang berat merupakan gejala khas dari hipertiroidisme, disertai dengan waktu tidur yang
berlangsung selama 12 jam sampai 14 jam sehari.
Efek hormon tiroid pada fungsi seksual. Pada pria, berkurangnya hormon tiroid
menyebabkan hilangnya libido dan sebaliknya sangat berlebihannya hormon ini seringkali
menyebabkan impotensi. Pada wanita, kekurangan hormon tiroid seringkali menyebabkan
timbulnya menoragia dan polimenore.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Tiroditis merupakan peradangan akut kelenjar tiroid, dapat dikaitkan dengan supurasi
yang disebabkan oleh bakteri (stafilococcus, B-stafilococcus dan pneumokokus) atau dapat
bersifat non-supuratif dan sekunder akibat virus atau mekanisme imunologik.(Manning dkk,
1996)
Tiroditis merupakan inflamasi akut yang mengenai seluruh kelenjar tiroid, yang
mungkin disebabkan oleh filtrasi sel neutrofil yang disusul oleh sel-sel limfositdan histiosit;
jenis radang ini jarang ditemukan.(Quervein, Frizt. 1868-1940)
Tiroiditis menahun adalah penyakit autoimun yang disertai kenaikan kadarantibody tiroid di
dalam darah. (Sjamsun Hidajat, 1997)
2.2 KLASIFIKASI
1. Tiroiditis Akut
Merupakan kelainan langka yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, mikrobakteri
atau parasit pada kelenjar tiroid.Stapilokokus aureus atau jenis stafilokokus lain merupakan
penyebab yang paling sering dijumpai.Secara khas, penyakit ini menyebabkan nu\yeri serta
pembebgkakan leher pada bagian anterior, panas, disfagia, dan dispocia.Faringitis atau gejala
sakit leher sering dirtemukan.Pemeriksaan dapat menunjukkan rasa hangat, eritema
(kemerahan) dan nyeri tekan pada kelenjar tiroid.Tetapi teoriditis akut mencakup pemberian
preperat antibiotik dan penggantian cairan.Tindakan insisi dan drainase diperlukan jika
terdapat abses.
2. Tiroiditis Subakut
Tiroiditis sub akut dapat berupa tiroiditis garanula matosa sub akut (tiroiditis de
quervam) atau tiroiditis tanpa nyeri (silent thiroiditis atau tiroiditis limpfositik sub
akut).Tiroiditis granulomatosa sub akut merupakan kelainan inflamasi pada kelenjar tiroid
yang terutama mennterang wanita nberusia antara 40 hingga 50 tahun (sakiyuma 1993)
kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan yang nyeri pada leher bagian anterior, dan
berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian menghilang spontan tanpa gejala
sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra
simetris dan kadang-kadang terasa nyeri. Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa
hangat.Pasien merasa sulit menelan dan mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas,
kegelisahan insoumnia dan penurunan berat badan yang kesemuanya merupakan manipestasi
dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan banyak pasien juga merasakan gejala demam serta
menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis limposifik sub akut) sering terjadi pada periode
pasca partus dan diperkirakan disebabka oleh autoimun. Gejala hipertiroidisme atau
hipertiroidisme mungkin saja timbul, tetapi ditunjukkan untuk menangani gejala, dan
pemeriksaan tindak lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu dianjurkan untuk enentukan
aapakah pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma yang kemudian.
3. Tiroiditis kronis (tiroiditis hashimoto)
Tiroiditis kronis yang paling sering dijumpai pada wanita berusia 30 hingga 50 tahun
diberi nama penyakit hashimoto atau tiroiditis limfosik kronis.penegakan diagnostiknya
dilakukan berdasarkan gambaran histopatologis kelenjar tiroid yang mengalami
inflamasi.Berbeda denag tiroiditis akut, bentuk yang kronis ini biasanya tidak disertai nyeri,
gejala penekanan ataupun rasa panas, aktifitas kelenjar tiroid biasaya normal atau rendah dan
bukan meningkat
2.3 ETIOLOGI
Etiologi dari tiroiditis dibagi berdasarkan klasifikasi
1. Tiroiditis subakut
Yang jelas sampai sekarang tidak diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada
beberapa kasus dijumpai antibody autoimun.
2. Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan
pneumococcus. Infeksi dapat terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan
sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten,
kelainan yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini dapat
menjurus ke mediastinum, bahkan dapat pecah ke trakea dan esophagus.
`
3. Tiroiditis hashimoto
Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi
autoimun, membentuk antibodi yang menyerang kelenjar tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang
memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan
sindroma Kleinefelter.
4. Tiroiditis limfosotik laten
Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke
dalam kelenjar tiroid.
2.4 PATOFISIOLOGI
Terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid
↓
karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte)
↓
antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid
↓
mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi
PHATWAY
TIROIDITIS
Sekresi hormone tiroid yang berlebihan
hipertiroidisme
Aktivitas simpatik berlebihan
Gerakan kelopak mata relative lambat terhadap
bola mata
Hipemetabolisme m
Penurunan BBInfiltrasi limfosit, sel
masit ke jaringan orbital & otot mata
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Ketidakseimbangan energy dengan
kebutuhan tubuh
Perubahan konduksi listrik jantung
Kurang informasi
Kurang pengetahuan
Beban kerja jantung menurun
Aritmia, takikardia
Resiko penurunan curah jantung
eksoftalmus
Resiko kerusakan integritas jaringan
Gangguan Rasa nyaman : nyeri
hipertermi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor
penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu
lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data
epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI.
Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid
melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan
seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi
antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.
Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat
stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai
autoantigen.
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor
genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi
tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi
pada proses penyakit ini.
1. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun
seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang
mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase),
transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4),
CD4, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan
mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas
II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang
diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD4), dan berinteraksi dengan reseptor
(CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi
antigen (2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi
dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan
pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1,
penyakit Addison, dan myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.
Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi
antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune
thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan
kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto
dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan
asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan
HLA-DR9 pada bangsa Cina.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit
tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium,
defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi,
mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat
radiasi, serta infeksi virus dan bakteri .
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-
1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan beberapa faktor
yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.
Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak sempurna Antibodi TPO
Ekses iodium Tidak terjadi escape effect
Wolff-Chaikoff; Jod-Basedow
HT
GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses reproduktif
yang panjang
Efek estradiol HT
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid
menimbulkan efek antitiroid
HT dan GD
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE
tinggi
GD
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama
GO
Infeksi Yersinia
enterocolitica
Mimikri molekuler GD
Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis
GD : Graves’ disease
GO : Graves’ ophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti
penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan
intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa
mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang
menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang
terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari .
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan
prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman
kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan
dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang penyakit
tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat
gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom
fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan
menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut
diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang
pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya
merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang
juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi
selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus
Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.Di samping itu, selenium
merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan
penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan
gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat
meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar
selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas,
suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium
selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita
hipotiroid subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan
kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid.
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu
hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif.
Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2,
mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan
memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral
meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali
didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui
apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress.
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada tiga
kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI seperti :.
a. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
b. Induksi molekul MHC kelas II
c. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi
sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan
produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan
meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah
pengobatan dengan iodium radioaktif .
3. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat
limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran
sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja
autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga
autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,
dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal
antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan penyebab
utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh
karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda
(marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak
beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid;
antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroid pada
tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.
Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi:
a. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
b. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis
hormon tiroid;
c. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi
antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid
besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua (second
colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap
hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut sebagai
ophthalmic immunoglobulin).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi, keadaan
yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi hipertiroid
Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto,
dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves;
beberapa mekanisme mungkin berperan.
4. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI –
tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory cells
akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan
menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis
pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD
akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme
apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang akhirnya
akan menimbulkan manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.
5. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat bersumber dari
sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama
memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun
langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4,
IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan
terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan
menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta
ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan
sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan
reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan
fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-associated
ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO;
sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses
inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock
Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan
meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang
baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks
ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan
produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas,
memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat
dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.
2.5 TANDA DAN GEJALA
Tergantung pada ciri-cirinya, gejala tiroiditis dapat meniru tiroid kurang aktif atau terlalu
aktif.Gejala-gejala ini bisa meliputi:
1. Penurunan atau kenaikan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
2. Nyeri otot atau rasa lesu dan lemah.
3. gelisah atau cemas.
4. Kelelahan atau sulit tidur.
5. Detak jantung cepat.
6. Keringat bertambah
7. Periode menstruasi tidak teratur(pada wanita)
8. Kram otot
9. Berat badan menurun
10.Susah menelan
2.6 PENATALAKSANAAN
1. Tiroiditis Akut
Terapi antibakteri spesifik biasanya menyebabkan penyembuhan, tetapi mungkin
diperlukan drainase secara bedah.
2. Tiroiditis Subakut
o Pada kasus yang ringan aspirin cukup untuk mengontrol gejala.
o Pada kasus yang lebih berat, glukokortikoid (prednisone, 20 sampai 40 mg/hari).
o Prupanolol dapat digunakan untuk mengontrol tirotoksikosis yang berkaitan.
o Pada kebanyakan kasus, hanya diperlukan terapi simtomatik, contoh : asetraminofen
0,5 gram, 4x sehari.
o Bila nyeri, panas dan mailase sangat berat sampai menyebabkan penderita tidak bisa
apa-apa, terapi obat-obatan anti imflamasi non steroid atau glukokortikoid jangka
pendek seperti 20 mg, 3x sehari, selama 7 – 10 hari mungkin diperlukan untuk
mengurangi inflamasi.
o Levotiroksin 0,1 – 0,15 mg sekali sehari, diindikasikan selama fase hipotiroid penyakit
agar tidak terjadi eksaserbasi kembali dari penyakit yang dirangsang oleh kadar TSH
yang meningkat.
3. Tiroiditis Kronik (Tiroiditis Hashimoto)
Hipertiroidisme dalam kaitannya dengan tiroiditis hashimoto diobati dengan cara
konvensional, terapi-terapi ablasi lebih jarang digunakan karena tiroiditis kronik dan yang
berhubuingan cenderung membatasi lamanya hiperfungsi tiroid dan juga memberikan
predisposisi pada pasien untuk perkembangan hipertiroidisme setelah pembedahan atau
pengobatan radioterapi
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. T4 dan T3 serum
2. Tiroksin bebas
3. Kadar TSH serum
4. Ambilan isodium radioskopi
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid,
serum atau jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk
menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4
merupakan hormon yang lebih poten. Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan
prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat,
sedangkan pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan.
Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer
dan sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi
bedah.
2.8 KOMPLIKASI
1. Hipotiroidisme & Hipertiroidisme
2. Kerusakan pita suara (bisu)
3. DM tipe 1
4. Penyakit Addison
5. Leukemia
6. Sklerosis multiple
7. Kanker gastric
2.1.1 LANDASAN TEORITIS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Riwayat dan pemeriksaan kesehatan berfokus pada kekambuhan gejala yang berkaitan
dengan percepatan metabolisme.Hal ini mencakup keluhan keluarga dan pasien tentang
kepekaan dan peningkatan reaksi emosional.Penting juga untuk menentukan dampak dari
perubahan ini yang telah dialami dalam interaksi pasien dengan kelaurga, teman, dan rekan
kerja.Riwayatnya meliputi stresor lain dan kemampuan pasien untuk menghadapi stres.
Status nutrisi dan adanya gejala dikaji.Kekambuhan gejala berkaitan dengan output sistem
saraf berlebihan dan perubahan penglihatan dan penampilan mata.Oleh karena kemungkinan
adanya perubahan emosi yang berkaitan dengan hipertiroid, status emosi dan psikologi pasien
dievaluasi. Keluarga pasien mungkin memberikan informasi tentang perubahan terakhir
dalam status emosi pasien.
1. Data Subjektif
Hipersekresi kelenjar tiroid menimbulkan efek yang hebat pada kemampuan pasien
untuk berfungsi, begitu pula pada proses-proses fisiologis.Perawat mengumpulkan data dari
pasien atau anggota keluarganya mengenai keadaan yang lalu dan keadaan sekarang : Tingkat
energi, kemampuan suasana hati dan mental,Kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari,
Kemampuan mengatasi stress, Intoleransi terhadap panas atau dingin, Asupan makanan, Pola
eliminasi.
Wawancara harus dapat membantu perawat mengetahui pemahaman pasien atau keluarganya
mengenai penyakit dan pengobatannya, dan mengenai perawatan yang diperlukan oleh
pasien.
2. Data Objektif
Pemeriksaan fisik awal harus mencakup keterangan pokok mengenai pasien : status
mental (kemampuan mengikuti pengarahan),status gizi, status kardiovaskular, karakteristik
tubuh, penampilan dan tektur kulit, penampilan mata dan gerakan ekstraokuler, adanya
edema serta lokasinya, penampilan leher dan gerakannya, lingkaran perut, ekstremitas.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid,
serum atau jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk
menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4
merupakan hormon yang lebih poten Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan
prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan
pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH
dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder.
Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
4. Dasar Data Pengkajian
a. Aktifitas / istirahat
Gejala : insomnia, sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan otot.
Tanda : atrofi otot.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada (angina).
Tanda :disritma (vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan darah
dengan tekanan nada yang berat.Takikardi saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis
tiroksikosisi).
c. Eliminasi
Gejala : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feces, diare.
d. Integritas ego
Gejala : mengalami stres yang berat (emosional, fisik)
Tanda : emosi labil 9euforia sedang sampai delirium), depresi
e. Makanan & cairan
Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan banyak,
makannya sering kehausan, mual, muntah.
Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f. Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung, disorientasi,
gelisah, peka rangsang), tremor halus pada tangan, tanpa tujuan beberapa bagian
tersentak-sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital, fotofobia.
h. Pernapasan
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada krisis
tirotoksikosis).
i. Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium
(mungkin digunakan saat pemeriksaan).
Tanda : suhu meningkat di atas 37,4ºC, diaforesis kulit halus, hangat dan kemerahan
Eksotalus: retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering
terjadi pada pretibial) yag menjadi sagat parah.
j. Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.
2.1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Perubahan nutirsi kurang dari keb.tubuh berhubungan dengan proses penyakit
4. kurangnya pengetahuan b/d prognosis penyakit
5. resiko penurunan curah jantung
6. resiko kerusakan integritas jaringan
2.1.3 Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Intervensi Rasional
- Kaji lokasi dan skala nyeri
- ajarkan manajemen nyeri , teknik
napas dalam,& imajinasi
- pantau kondisi pasien tiap 2 jam
- kolaborasi untuk pemberian analgetik
- Membantu mengidentifikasi tindakan
selanjutnya untuk memberikan
kenyamanan
- Membantu klien meringankan rasa nyeri
- Mengetahui perkembangan kondisi klien
- Mengurangi dan meringankan rasa nyeri
tanpa memiliki kerja anastesi umum
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Intervensi Rasional
- Berikan kompres hangat pada ketiak
- anjurkan klien untuk menggunakan
pakaian tipis
- kolaborasi untuk pemberian obat
paracetamol
- Pengisatan air yg bertahap dari kasa
akan menyejukkan kulit dan menyerap
panas
- Untuk menyerap keringat
- Untuk menurunkan suhu tubuh
3. Perubahan nutirsi kurang dari keb.tubuh berhubungan dengan proses penyakit
Intervensi Rasional
- awasi pemasokan diet,berikan makan
sedikit tapi sering
- anjurkan klien makan dalam posisi
duduk tegak
- kolaborasi dengan tim gizi
- Untuk mengetahui asupan nutrisi yg
baik untuk klien
- Untuk menghindari injuri atau cidera
pada daerah yg sakit
- Untuk memberikan asupan gizi yg
terbaik
2.1.4 Implementasi
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Mengkaji lokasi dan skala nyeri
mengajarkan manajemen nyeri , teknik napas dalam,& imajinasi
memantau kondisi pasien tiap 2 jam
mengkolaborasikan untuk pemberian analgetik
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
memberikan kompres hangat pada ketiak
menganjurkan klien untuk menggunakan pakaian tipis
mengkolaborasikan untuk pemberian obat paracetamol
3. Perubahan nutirsi kurang dari keb.tubuh berhubungan dengan proses penyakit
mengawasi pemasokan diet,berikan makan sedikit tapi sering
menganjurkan klien makan dalam posisi duduk tegak
mengkolaborasikan dengan tim gizi