Download - Autopsi Klinik Dan Aspek Medicolegal
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Data statistik mortalitas, yang meningkat di negara didasari karena surat
kematian pada 99 % pada kasus. Validitas dan reabilitas dari data statistik
tergantung bagaimana akuratnya pengukuran penyebab kematian pada surat
kematian di level populasi. Keakuratan dari surat kematian dapat dilihat dari
kualitas investigasi postmortem, kualitas data yang ada pada setiap kematian, dan
prosedur koding selama proses registrasi. 1
Keakuratan surat kematian dapat dibantu dengan adanya proses autopsi.
Dengan autopsi dapat ditemukan proses penyakit dan atau adanya cedera. Autopsi
sendiri merupakan pemeriksaan terhadap tubuh mayat yang terdiri dari
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam.2
Di Indonesia terdapat tiga macam autopsi, yaitu autopsi anatomi, autopsi
klinik, dan autopsi medikolegal. Autopsi klinik dan autopsi medikolegal
memegang peranan penting dalam penentuan sebab kematian dan digunakan
secara umum dalam praktek kedokteran. Oleh sebab itu pada makalah ini akan
dibahas mengenai autopsi klinik dan medikolegal.
1.2. Tujuan Penulisan
Mengetahui tentang autopsi klinik dan aspek medikolegal yang digunakan
dalam praktek autopsi klinik.
1.3. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini dengan menggunakan metode kepustakaan
yang mengacu dari berbagai literatur.
1
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat bagi Mahasiswa
Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi
baru kepada mahasiswa untuk mengetahui mengenai autopsi klinik dan aspek
medikolegalnya dalam penerapannya di ilmu kedokteran forensik.
1.4.2. Manfaat bagi Masyarakat
Diharapkan dari penulisan makalah ini dapat memberikan wawasan
kepada masyarakat mengenai autopsi klinik dan aspek medikolegalnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Autopsi
Autopsi berasal dari kata auto yang artinya sendiri dan opsis yang artinya
melihat. Autopsi ialah pemeriksaan terhadap tubuh mayat yang terdiri dari
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan
sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab
kematian.2,3
Berdasarkan tujuannya, autopsi terbagi atas tiga jenis, yaitu:
1. Autopsi Anatomi
Autopsi anatomi dilakukan untuk kepentingan pendidikan mahasiswa
kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit
yang telah disimpan selama 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran
foensik dan tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Kemudian diawetkan
di laboratorium anatomi dan disimpan sekurang-kurangnya satu tahun
sebelum digunakan.2
2. Autopsi Klinik
Autopsi klinik adalah autopsi yang dilakukan terhadap mayat seseorang
yang dirawat di rumah sakit dan diduga meninggal akibat suatu penyakit.2
3. Autopsi Forensik atau Medikolegal
Autopsi forensik atau medikolegal adalah autopsi yang dilakukan terhadap
mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak
wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri.
Autopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan
adanya penyidikan suatu perkara.2
2.2. Indikasi Autopsi
3
UCDAVIS Health System Department of Pathology and Laboratory
Medicine membagi indikasi autopsi menjadi dua jenis, yaitu 4:
a. Indikasi umum
1. Penyebab kematian yang tidak diketahui
2. Kematian yang dipertanyakan mengenai keefektifan terapi atau
perkembangan penyakitnya
3. Permintaan keluarga atau asuransi
4. Kematian yang dicurigai oleh penyakit genetik tetapi belum
dikonfirmasi kebenarannya sebelum kematian
5. Kematian ketika menjalani terapi atau sedang menjalani prosedur
diagnostik
6. Kematian tiba-tiba yang terjadi di rumah sakit yang merupakan
kematian wajar
b. Indikasi khusus
1. Kematian yang tidak diharapkan yang terjadi saat menjalani
prosedur terapi gigi, bedah, medikal
2. Kematian yang wajar yang mememang termasuk kasus forensik:
a. Death on Arrival
b. Kematian yang terjadi dalam 24 jam setelah tatalaksana di
rumah sakit
c. Kematian dimana pasien menderita cedera saat dirawat di
rumah sakit.
3. Kematian karena resiko tinggi infeksi dan penyakit menular
2.3. Teknik Autopsi
Teknik autopsi dapat berbeda-beda di setiap bagian kedokteran forensik.
Terdapat beberapa teknik autopsi yang digunakan di bagian kedokteran forensik
di Indonesia, antara lain5,6:
1. Teknik R. Virchow
Teknik ini merupakan teknik tertua dan telah digunakan secara luas
dengan beberapa metode. Setelah pembukaan rongga tubuh, organ di
keluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Langkah pertama yaitu
4
dengan membuka rongga kepala diikuti tulang belakang lalu
mengeluarkan organ thoraks, servikal, dan abdominal sehingga kelainan
yang terdapat pada masing-masing organ dapat terlihat. Tetapi hubungan
anatomi antarorgan menjadi sulit dideteksi.6
2. Teknik Rokitansky
Teknik ini dilakukan dengan cara mengiris secara insitu dan
dikombinasikan dengan mengeluarkan organ sekaligus (enblok). Organ-
organ yang diperiksa dengan melakukan beberapa irisan insitu setelah itu
organ-organ tersebut dikeluarkan dalam kumpulan-kumpulan organ
(enblok). Teknik ini jarang dipakai karena tidak menunjukkan keunggulan
yang lebih baik dibandingkan teknik lain.6
3. Teknik Letulle
Rongga tubuh dibuka lalu organ yang berada di leher, dada, diafragma,
dan perut dikeluarkan sekaligus. Teknik ini merupakan teknik terbaik pada
pemeriksaan rutin. Keunggulan dari teknik ini adalah hubungan semua
organ masih dapat dipertahankan setelah keluar dari rongga tubuh dan
tubuh dapat bertahan sekurang-kurangnya 30 menit tanpa harus secepatnya
dideteksi.6
4. Teknik Ghon
Teknik ini dilakukan dengan pembukaan rongga tubuh dimana organ
leher, dada, hati, limpa, dan organ pencernaan, serta organ urogenital
diangkat keluar sebagai tiga kumpulan organ-organ (blok). Modifikasi
teknik ini sering digunakan 6.
2.4. Pelaksaan Autopsi
Sebelum autopsi dimulai, ada beberapa hal perlu mendapat perhatian antara
lain sebagai berikut 2:
a. Kelengkapan surat-surat mengenai autopsi yang akan dilakukan. Untuk
autopsi klinik, yang harus diperhatikan apakah surat izin autopsi klinik
telah ditandatangani oleh keluarga terdekat dan yang bersangkutan.
Perhatikan pula jenis autopsi yang diizinkan oleh pihak keluarga.
Sedangkan dalam hal autopsi forensik, hal yang perlu diperhatikan
5
apakah Surat Permintaan Pemeriksaan/ Pembuatan Visum et Repertum
telah ditandatangani oleh pihak penyidik yang berwenang. Untuk Autopsi
forensik, mutlak dilakukan pemeriksaan lengkap yang meliputi
pembukaan seluruh rongga tubuh dan pemeriksaan seluruh organ.2
b. Mayat yang diautopsi harus benar-benar mayat yang dimaksudkan dalam
surat yang bersangkutan. Dalam hal autopsi forensik, yang diperhatikan
apakah terhadap mayat yang akan diperiksa telah dilakukan identifikasi
oleh pihak yang berwenang berupa penyegelan dengan label polisi yang
memuat antara lain nama, alamat, tanggal kematian, tempat kematian dan
sebagainya yang harus diteliti apakah sesuai dengan data-data yang
tertera dalam Surat Permintaan Pemeriksaan.2
c. Keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian mungkin
dikumpulkan dengan lengkap. Pada kasus-kasus autopsi klinik status
riwayat penyakit dan pengobatan dapat memberi petunjuk arah
pemeriksaan yang akan dilakukan. Untuk kasus-kasus autopsi forensik,
informasi mengenai kejadian yang mendahului kematian, keadaan pada
Tempat Kejadian Perkara (TKP) dapat memberi petunjuk bagi
pemeriksaan serta dapat membantu menentukan jenis pemeriksaan
khusus yang mungkin diperlukan. Kurang atau tidak terdapatnya
keterangan-keterangan tersebut di atas dapat mengakibatkan terlewat atau
hilangnya bukti-bukti yang penting, misalnya saja tidak diambilnya
cairan empedu, padahal korban kemudian ternyata adalah seorang
pecandu narkotika.2
d. Untuk melakukan autopsi yang baik, tidaklah diperlukan alat-alat yang
“mewah”, namun tersedianya beberapa alat tambahan kiranya perlu
mendapat perhatian yang cukup. Apakah telah tersedia botol-botol berisi
larutan formalin yang diperlukan untuk pengawetan jaringan bagi
pemeriksaan histopatologik? Adakah botol-botol atau tabung-tabung
reaksi untuk pengambilan darah, isi lambung atau jaringan untuk
pemeriksaan toksikologi? 2
6
Untuk melakukan suatu autopsi yang baik, diperlukan alat – alat sebagai
berikut2 :
Kamar autopsi
Meja autopsi
Peralatan autopsi
Peralatan untuk pemeriksaan tambahan
Peralatan tulis menulis dan fotografi
Pelaksaan autopsi meliputi 2,7:
1. Pemeriksaaan Luar
a. Mengidentifikasi tubuh.
Label mayat
Tutup mayat
Bungkus mayat
Pakaian
Perhiasan
Benda di samping mayat
b. Vertifikasi izin autopsi: validitas dan jangka waktu.
c. Berat, ukuran tubuh, dan inspeksi tubuh untuk:
Presentasi
Tanda terapi
d. Identifikasi
Identifikasi umum
Hal-hal yang menunjukkan identitas mayat, seperti: jenis kelamin,
bangsa atau ras, umur, warna kulit, keadaan gizi, tinggi dan berat
badan, keadaan zakar yang disirkumsisi, adanya striae albicantes
pada dinding perut.2
Identifikasi khusus
Catat segala sesuatu yang dapat digunakan untuk penentuan
identitas secara khusus. 2
o Rajah/ tattoo.
o Jaringan parut.
7
o Kapalan (callus).
o Kelainan pada kulit. Adanya kutil, angioma, bercak hiper
atau hipopigmentasi, eksema dan kelainan lain sering kali
dapat membantu dalam penentuan identitas.
o Anomali dan cacat pada tubuh. Kelainan anatomis berupa
anomali atau deformitas akibat penyakit atau kekerasan
perlu dicatat dengan seksama.
e. Perubahan perimortem atau postmortem
Lebam mayat
Dilakukan pencatatan letak/ distribusi lebam pada mayat, adanya
bagian tertentu di daerah lebam mayat yang justru tidak
menunjukkan lebam (karena tertekan pakaian, terbaring di atas
benda keras dan lain-lain). Warna dari lebam mayat serta intensitas
lebam mayat (masih hilang pada penekanan, sedikit menghilang
atau sudah tidak menghilang sama sekali). 2
Gambar 1. Lebam mayat15
Kaku mayat
Catat distribusi kaku mayat serta distribusi kekakuan pada
beberapa sendi (daerah dagu/ tengkuk, lengan atas, siku, pangkal
paha, sendi lutut) dengan menentukan apakah mudah atau sukar
dilawan. Apabila ditemukan adanya kadaverik (cadaveric spasm)
8
maka ini harus dicatat sebaik-baiknya, karena spasme kadaverik
petunjuk apa yang sedang dilakukan oleh korban saat terjadi
kematian. 2
Suhu tubuh mayat
Sekalipun perkiraan saat kematian menggunakan kriteria
penurunan suhu tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan,
namun pencatatan suhu tubuh mayat kadang dapat masih
membantu dalam hal perkiraan saat kematian. Pengukuran suhu
mayat dilakukan dengan menggunakan thermometer rectal. Jangan
lupa juga melakukan pencatatan suhu ruangan pada saat yang
sama. 2
Pembusukan
Tanda pembusukan yang pertama tampak berupa kulit perut
sebelah kanan bawah yang berwarna kehijauan. Kadang-kadang
mayat diterima dalam keadaan pembusukan yang lebih lanjut,
merupakan mayat dengan kulit ari yang terkelupas, terdapat
gambaran pembuluh darah superfisial yang melebar berwarna biru-
hitam, ataupun tubuh yang telah mengalami penggembungan
akibat pembusukan lanjut. 2
Gambar 2. Pembusukan mayat 15
Lain-lain
Cara perubahan tanatologik lain yang mungkin ditemukan,
misalnya mumifikasi atau adiposera.2
f. Pemeriksaan rambut
9
Pemeriksaan terhadap rambut dimaksudkan untuk membantu identifikasi.
Pencatatan dilakukan terhadap distribusi, warna, keadaan tumbuh, serta
sifat dari rambut tersebut baik dalam hal halus atau lurus ikalnya. Bila
pada tubuh mayat ditemukan rambut yang mempunyai sifat yang berlainan
dari rambut mayat, rambut-rambut ini harus diambil. Disimpan dan diberi
label untuk pemeriksaan laboratorium lanjutan bila ternyata diperlukan di
kemudian hari. 2
g. Pemeriksaan mata
Periksa apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Pada kelopak mata,
diperhatikan pula akan adanya tanda-tanda kekerasan serta kelainan lain
yang ditimbulkan oleh penyakit dan sebagainya. Periksa pula keadaan
selaput lendir kelopak mata, bagaimana warnanya, adakah pembuluh darah
yang melebar, adakah bintik perdarahan atau bercak perdarahan. Terhadap
bola mata, dilakukan pula pemeriksaan terhadap kemungkinan terdapatnya
tanda kekerasan, kelainan seperti ptosis bulbi, pemakaian mata palsu dan
sebagainya. Perhatikan pula keadaan selaput lendir bola mata akan adanya
pelebaran pembuluh darah, bintik perdarahan atau kelainan lain terhadap
kornea (selaput bening mata) ditentukan apakah jernih, adakah kelainan,
baik fisiologik (arcus senelis) maupun patologik (leucoma). Iris (tirai
mata) dicatat warnanya untuk membantu identifikasi. Catat pula kelainan
yang mungkin ditemukan. Perhatikan pupil (teleng mata) dan catat
ukurannya. Apakah sama pada mata yang kanan dan yang kiri. Bila
terdapat kelainan pada lensa mata, ini pun harus dicatat.2
h. Pemeriksaan daun telinga dan hidung
Pemeriksaan meliputi pencatatan terhadap bentuk dari daun telinga dan
hidung, terutama pada mayat dengan bentuk yang luar biasa karena hal ini
mungkin dapat membantu dalam identifikasi. Catat pula kelainan serta
tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa apakah dari lubang telinga dan
hidung keluar cairan/ darah.2
i. Pemeriksaan terhadap mulut dan rongga mulut
10
Pemeriksaan meliputi bibir, lidah, rongga mulut serta gigi geligi. Catat
kelainan atau tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa dengan teliti
keadaan rongga mulut akan kemungkinan terdapatnya benda asing (pada
kasus penyumbatan misalnya). Terhadap gigi geligi, pencatatan harus
dilakukan selengkap-lengkapnya meliputi jumlah gigi yang terdapat, gigi
geligi yang hilang/ patah/ mendapat tambalan/ bungkus logam, gigi palsu,
kelainan letak, perwarnaan (staining) dan sebagainya. Data gigi geligi
merupakan alat yang sangat berguna untuk identifikasi bila terdapat data
pembanding. Perlu diingat bahwa gigi geligi adalah bagian tubuh yang
paling keras dan tahan terhadap kekerasan.2
j. Pemeriksaaan alat kelamin dan lubang pelepasan
Kelainan atau tanda kekerasan yang ditemukan harus mendapat perhatian
dan dicatat selengkapnya. Pada mayat laki-laki, catat apakah alat kelamin
mengalami sirkumsisi. Cara kelainan bawaan yang mungkin ditemukan
(epispadia, hypospadia phymosis, dan lain-lain), adanya manik-manik
yang ditanam dibawah kulit, juga keluarnya cairan dari lubang kemaluan
serta kelainan yang ditimbulkan oleh penyakit atau sebab lain. Pada
dugaan telah terjadinya suatu persetubuhan beberapa saat sebelumnya,
dapat diambil preparat tekan menggunakan kaca objek yang ditekankan
pada daerah glans atau corona glandis yang kemudian dapat dilakukan
pemeriksaan terhadap adanya sel epitel vagina menggunakan teknik
laboratorium tertentu. Pada mayat wanita, periksa pada keadaan selaput
dara dan komisura posterior akan kemungkinan adanya tanda kekerasan.
Pada kasus dengan persangkaan telah melakukan persetubuhan beberapa
saat sebelumnya, jangan lupa dilakukan pemeriksaan laboratorium
terhadap cairan/sekret liang senggama. Lubang pelepasan perlu pula
mendapat perhatiaan. Pada mayat yang sering mendapat perlakuan
sodomi, mungkin ditemukan anus berbentuk corong yang selaput
lendirnya sebagian berubah menjadi lapisan bertanduk dan hilangnya
rugae.2
k. Lain-lain
11
Perlu diperhatikan akan kemungkinan adanya2:
Tanda perbendungan, ikterus, warna kebiruan pada kuku, ujung-
ujung jari (pada sianosis) atau adanya edema(sembab).
Bekas pengobatan berupa bekas kerokan, tracheotomi, suntikan,
pungsi lumbal, dan lain-lain. Terdapatnya bercak lumpur atau
pengotoran lain pada tubuh,
kepingan atau serpihan cat, pecahan kaca, lumuran aspal dan lain-
lain.
l. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/ luka
Pada pemeriksaan terhadap tanda kekerasan/ luka yang ditemukan, perlu
dilakukan pencatatan yang teliti dan objektif terhadap 2 :
Letak luka.
Jenis luka.
Bentuk luka.
Arah luka.
Sudut luka.
Dasar luka.
Sekitar luka.
Ukuran luka.
Saluran luka.
Lain-lain.
m. Pemeriksaan terhadap patah tulang
Tentukan letak patah tulang yang ditemukan serta catat sifat/ jenis masing-
masing patah tulang yang terdapat.2
2. Pemeriksaan Dalam
a. Pengeluaran Organ Dalam
Mayat yang akan dibedah diletakkan terlentang dengan bagian bahu
ditinggikan (diganjal) dengan sepotong balok kecil. Dengan demikian, kepala
akan berada dalam keadaan flexi maksimal dan daerah leher tampak jelas.2 Insisi
kulit dilakukan mengikuti garis pertengahan badan mulai bawah dagu, diteruskan
ke arah umbilikus dan melingkari umbilikus di sisi kiri dan seterusnya kembali
12
mengikuti garis pertengahan badan sampai di daerah simphysis pubis. Pada
daerah leher, insisi hanya mencapai kedalaman setebal kulit saja. Pada daerah
dada, insisi kulit sampai kedalaman mencapai permukaan depan tulang dada
(sternum) sedangkan mulai daerah epigastrium, sampai menembus ke dalam
rongga perut. Insisi bentuk huruf I di atas merupakan insisi yang paling ideal
untuk suatu pemeriksaan bedah mayat forensik.2
Gambar 3. Insisi huruf I 2
Pada keadaan tertentu, bila tidak mengganggu kepentingan pemeriksaan,
atas indikasi kosmetik dapat dipertimbangkan insisi kulit berbentuk huruf Y, yang
dimulai pada kedua puncak bahu. Insisi pada daerah dada sebelah kanan dan kiri
dipertemukan di garis pertengahan kira-kira setinggi incisura jugularis. Dengan
insisi berbentuk huruf Y, maka pengeluaran alat-alat leher menjadi lebih sukar.2
Gambar 4. Insisi huruf Y2
13
Insisi pada dinding perut biasanya dimulai pada daerah epigastrium dengan
membuat irisan pendek yang menembus sampai peritoneum. Dengan jari telunjuk
dan jari tengah tangan kiri yang dimasukkan kedalam lubang insisi ini, maka
dinding perut dapat ditarik/diangkat ke atas. Pisau diselipkan diantara dua jari
tersebut dan insisi dapat diteruskan sampai simfisis pubis. Di samping berfungsi
sebagai pengangkat dinding perut, kedua jari tangan kiri tersebut berfungsi juga
sebagai pemandu (guide) untuk pisau, serta melindungi alat-alat dalam rongga
perut dari kemungkinan teriris pisau.2
Gambar 5. Tangan kiri yang telunjuk dan jari tengahnya dimasukkan ke dalam
rongga perut, menarik dinding perut ke arah atas untuk menghindari
terpotongnya alat-alat dalam.2
Dengan memegang dinding perut bagian atas dan memuntir dinding perut
tersebut ke arah luar (dilakukan ibu jari di sebelah dalam/sisi peritoneum dan
empat jari lainnya di sebelah luar/sisi kulit), dinding dada dilepaskan dengan
memulai irisan pada otot-otot sepanjang arcus costae. Pelepasan dinding dada
dilakukan terus ke arah dada bagian atas sampai daerah tulang selangka dan ke
samping garis ketiak depan. Pengirisan terhadap otot dilakukan dengan bagian
perut pisau dan bidang pisau (blade) yang tegak lurus terhadap otot. Dengan
demikian, dinding dada telah dibebaskan dari otot-otot pectorales, dan kelainan
yang ditemukan dapat dicatat dengan teliti. Kelaianan pada dinding dada dapat
merupakan resapan darah, patah tulang maupun luka terbuka. Kulit daerah leher
yang berada dibawahnya. Perhatikan akan adanya tanda kekerasan maupun
kelainan-kelainan lainnya. 2
14
Gambar 6. Pada daerah lengkung iga; dinding perut bagian atas dilepaskan dari
dinding dada. Perhatikan cara tangan memuntir 2
Pada dinding perut, diperhatikan keadaan lemak bawah kulit serta otot-otot
dinding perut, catat tebal masing-masing serta luka-luka bila terdapat. Rongga
perut diperiksa dengan mula-mula memperhatikan keadaan alat-alat perut secara
umum. Bagaimana penyebaran tirai usus (omentum), apakah menutupi seluruh
usus-usus kecil, ataukan mengumpul pada satu tempat akibat adanya kelainan
setempat. Periksalah keadaan usus-usus, adakah kelainan volvulus, intususepsi,
infark, tanda-tanda kekerasan lainnya. Bila mayat telah mengalami operasi
sebelumnya, perhatikan pula bagian/alat-alat perut yang mengalami penjahitan,
reseksi, atau tindakan lainnya. Perhatikan adakah cairan dalam rongga perut, dan
bila terdapat cairan, catat sifat dari cairan tersebut serous, purulen, darah atau
cairan keruh. Dinding perut sebelah dalam diperhatikan keadaan selaput
lendirnya. Pada selaput lendir yang normal, tampak licin dan halus berwarna
kelabu mengkilat. Pada kelainan peritonitis, akan tampak selaput lendir yang tidak
rata, keruh dengan fibrin yang melekat.2
Tentukan pula sekat rongga badan (diafragma), dengan membandingkan
tinggi diafragma terhadap iga di garis pertengahan selangka (midclavicular line).
Rongga dada dibuka dengan jalan mengiris rawan-rawan iga pada tempat
setengah sampai datu sentimeter medial dari batas rawan tulang masing-masing
iga. Dengan bagian perut pisau dan bidang pisau (knife blade) yang diletakkan
tegak lurus, rawan iga dipotong mulai dari iga ke 2 terus ke arah kaudal.
Pemotongan ini dapat dilakukan dengan mudah pada mayat yang masih muda
karena bagian rawan belum mengalami penulangan. Dengan tangan kanan
15
memegang pisau dan telapak tangan kiri menekan punggung pisau, pisau
digerakkan memotong rawan iga-iga tersebut mulai dari iga kedua sampai daerah
arcus costae. Lakukan hal yang sama pada sisi tubuh yang lain.2
Gambar 7. Pemotongan iga mulai iga kedua2
Iga pertama dipotong dengan meneruskan irisan pada iga kedua ke arah
kraniolateral, dengan demikian, irisan dihindarkan dari mengenai manubrium
sterni yang keras. Setelah rawan iga pertama terpotong, pisau dapat diteruskan ke
arah medial menyusuri tepi bawah tulang selangka untuk mencapai sendi antara
tulang selangka dan tulang dada (articulatio sternoclavicularis) dan
memotongnya. Bila ini telah dilakukan pada kedua sisi, maka bagian depan
dinding dada telah dapat dilepaskan. 2
Gambar 8. Iga pertama dipotong ke arah kraniolateral, selanjutnya mulai iga
kedua dipotong ke arah laterokaudal 2
16
Perhatikan pertama-tama letak paru terhadap kedua jantung. Biasanya
dengan mencatat bagian kandung jantung yang nampak antara kedua tepi paru-
paru. Kandung jantung yang tampak hanya 1 jari di antara paru-paru
menunjukkan keadaan pengembangan paru yang berlebih (pada edema paru atau
emfisema paru). Dengan tangan, paru dapat ditarik ke arah medial dan rongga
dada dapat diperiksa, apakah terdapat cairan, darah, atau lainnya. Kandung
jantung dibuka dengan melakukan pengguntingan pada dinding depan mengikuti
bentuk huruf Y terbalik. Perhatikan apakah rongga kandung jantung terisi oleh
cairan atau darah. Periksa pula akan adanya luka baik pada kandung jantung
maupun pada permukaan depan jantung sendiri.
Gambar 9.Tentukan berapa jari kandung jantung tampak antara kedua paru.
Kandung jantung dibuka dengan gunting mengikuti huruf Y
terbalik.2
Pada dugaan adanya thrombosis a. pulmonalis, permukaan depan bilik
jantung kanan diiris memanjang dengan septum jantung kurang lebih 1 cm lateral
dari septum. Irisan ini kemudian diperpanjang dengan gunting ke arah
a.pulmonalis. Periksa pula akan adanya kelenjar kacangan (thymus) yang terletak
di sebelah atas dinding depan kandung jantung. Untuk pemeriksaan lebih lanjut,
alat-alat leher akan dikeluarkan bersama-sama dengan alat rongga dada,
sedangkan usus halus mulai dari jejunum sampai rektum dilepaskan tersendiri dan
kemudian alat rongga perut dikeluarkan bersama alat dalam rongga panggul.
17
Pengeluaran alat leher dimulai dengan melakukan pengirisan insersi otot-
otot dasar mulut pada tulang rahang bawah. Irisan dimulai tepat dibawah dagu,
menembus rongga mulut dari bawah. Insisi diperlebar ke arah kanan maupun ke
arah kiri. 2
Gambar 10. Pengirisan insersi otot-otot dasar mulut 2
Lidah ditarik kearah bawah sehingga dapat dikeluarkan melalui tempat
bekas irisan. Perhatikan keadaan rongga mulut dan catat kelainan yang mungkin
terdapat, antara lain adanya benda asing dalam rongga mulut, palatum mole, untuk
mencatat kelainan yang ditemukan Pallatum mole kemudian diiris sepanjang
perlekatan dengan pallatum durum yang kemudian diteruskan kearah lateral kanan
dan kiri, sampai ke permukaan depan dari tulang belakang dan sedikit menarik
alat-alat leher kearah depan bawah. Seluruh alat leher dapat dilepaskan dari
perlekatannya.
Gambar 11. Penarikan lidah 2
Lakukan pemotongan terhadap pembuluh serta saraf yang berjalan di
belakang tulang selangka dengan terlebih dahulu menggenggam pembuluh-
18
pembuluh dan saraf tersebut. Lepaskan perlekatan antara paru-paru dengan
dinding rongga dada, bila perlu secara tajam. Dengan tangan kanan memegang
lidah dan dua jari tangan kiri yang diletakkan pada sisi kanan dan kiri hilus paru,
alat rongga dada diarah kaudal sampai keluar dan rongga paru. 2
Gambar 12. Pembuluh cabang aorta yang keluar ke arah lengan dipotong di
subclavia 2
Lepaskan esophagus bagian kaudal dari jaringan ikat sekitarnya dan buatlah
dua ikatan di atas diafragma. Esophagus digunting di antara kedua ikatan tersebut
di atas. Tangan kiri kini digunakan untuk menggenggam bagian bawah alat
rongga dada tepat di atas diafragma dan lakukan pengirisan terhadap genggaman
tersebut. Dengan demikian, alat leher bersama alat rongga dada dapat dikeluarkan
seluruhnya. 2
Usus-usus dilepaskan dengan pertama-tama melakukan dua ikatan pada
awal jejunum, dekat dengan tempat menembusnya duodenum dari arah
retroperitoneal. Secara topografis, bagian duodenum ini terletak kaudal terhadap
colon transversum, kira-kira di garis pertengahan selangka. Pengguntingan
dilakukan diantara dua ikatan yang dibuat, agar isi duodenum tidak tercecer.
Dengan tangan kiri memegang pada ujung distal dan mengangkatnya maka
mesenterium yang melekatkan usus halus dengan dinding rongga perut dapat
diiris dekat pada usus. Pengirisan dilakukan dengan pisau organ yang bidang
pisaunya (knife blade) diletakkan tegak lurus pada usus dan digerakkan maju
mundur seperti gerakan menggergaji. Pengirisan seperti itu dilakukan sepanjang
usus halus sampai daerah ileum terminalis. Pada daerah coecum pengirisan
dilakukan terhadap mesokolon, dengan meotong mesokolon pada bagian lateral
19
dan kolon ascenden pada daerah ini. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-
hati, lapis demi lapis agar tidak teriris ginjal kanan serta duodenum pars
retroperitonealis.2
Pada daerah kolon transversum, lepaskan perlekatan antara kolon dengan
lambung. Mesokolon kembali diiris di sebelah lateral dari kolon descenden
dengan memisahkannya juga dari limpa dan ginjal kiri. Kolon sigmoid dapat
dilepaskan dari dinding rongga perut dengan memotong mesokolon di bagian
belakangnya.
Rektum dipegang dengan tangan kanan, mulai dari bagian distal dan
mengurutnya kearah proksimal, agar isi rektum dipindahkan ke arah kolon
sigmoid dan rektum dapat diikat dengan dua ikatan, kemudian diputuskan di
antara dua ikatan tersebut. Setelah dilakukan pelepasan usus halus dan usus besar,
dapat dilakukan pemeriksaan sepanjang usus tersebut untuk melakukan kelainan,
baik yang diakibatkan oleh kekerasan berupa luka, akibat penyakit dalam bentuk
ulkus atau kelainan lainnya. 2
Untuk melepaskan rongga perut dan panggul, pengirisan dimulai dengan
memotong diafragma dekat pada insersinya pada dinding rongga badan.
Pengirisan diteruskan kearah bawah, sebelah kanan dan kiri, lateral dari masing-
masing ginjal sampai memotong arteri iliaca communis.
Alat rongga panggul dilepas dengan terlebih dahulu melepas peritoneum di
daeerah simphysis (alat rongga panggul terletak retroperitoneal). Kandung
kencing serta alat lain dapat dipegang dalam tangan kiri sampai kearah belakang
bersama-sama rektum. Pemotong melintang dilakukan dengan patokan setinggi
kelenjar prostat pada mayat laki-laki dan setinggi sepertiga proksimal vagina pada
mayat perempuan. Alat rongga panggul ini kemudian dilepaskan seluruhnya dari
perlekatan dengan sekitarnya dan dapat diangkat bersama-sama dengan alat
rongga perut yang telah dilepaskan terlebih dahulu.
Pemeriksaan pada kepala dimulai dengan membuat irisan pada kulit kepala,
dimulai dari prosessus mastiodeus, melingkari kepala kearah puncak kepala
(vertex) dan berakhir pada prosessus mastoideus sisi lain. Pada mayat yang lebat
rambut kepalanya, sebaiknya sebelum dilakukan pengirisan pada kulit kepala,
dilakukan terlebih dahulu penyisiran pada rambut sehingga terjadi garis belahan
20
rambut sepanjang kulit kepala yang akan diiris tersebut. Pengirisan dibuat sampai
pisau mencapai periosteum. Kulit kepala kemudian dilepas, kearah depan sampai
kurang lebih 1-2 sentimeter sampai sejauh protuberentia occipitalis externa.
Perhatikan dan catat kelainan yang terdapat, baik pada permukaan dalam kulit
kepala maupun permukaan luar tulang tengkorak. Kelainan yang biasa ditemukan
adalah tanda kekerasan, baik merupakan resapan darah maupun garis retak/patah
tulang. Untuk membuka rongga tengkorak, melingkar di daerah frontal sejarak
kurang lebih 2 sentimeter di atas daun telinga.
Gambar 13. Pengirisan kulit kepala dan penggergajian tulang tengkorak 15
Gambar 14. Garis penggergajian tengkorak mayat dewasa 5
Pada daerah temporal ini, penggergajian dilakukan melingkar kearah
belakang, kurang lebih 2 sentimeter sebelah atass protuberentia occipitalis
21
externa, dengan penggergajian yang membentuk sudut kurang lebih 120 derajat
dari garis penggergajian terdahulu. Hal ini dilakukan agar setelah selesai
pemeriksaan, atap tengkorak dapat terpasang kembali tanpa tergelincir/tergeser.
Agar penggergajian tidak merusak jaringan otak, penggergajian harus dilakukan
hati-hati dan dihentikan setelah terasa tebal tulang tengkorak telah terlampaui.
Atap tengkorak selanjutnya dilepas dengan menggunakan pahat berbentuk T (T-
chisel) dengan jalan mendongkel pada garis penggergajian.
Setelah atap tengkorak dilepaskan, pertama-tama lakukan penciuman
terhadap bau yang keluar sebab pada beberapa jenis keracunan dapat tercium bau
yang khas. Kemudian, perhatikan adanya kelainan baik pada permukaan dalam
atap tengkorak maupun pada durameter yang kini tampak. Kelainan dapat berupa
luka pada durameter, perdarahan epidural atau kelainan lain. Durameter kemudian
digunting mengikuti garis penggergajian, dan daerah subdural dapat diperiksa
akan adanya perdarahan, penggumpalan nanah dan sebagainya.
Otak dikeluarkan dengan pertama-tama memasukkan dua jari tangan kiri di
garis pertengahan daerah frontal, antara bagian otak dan tulang tengkorak. Dengan
sedikit menekan bagian frontal akan tampak falk cerebri yang dapat dipotong atau
digunting sampai dasar tengkorak. Kedua jari tangan kiri tersebut kemudian dapat
sedikit mengangkat bagian frontal dan memperlihatkan nn.olfactorius, nn.opticus,
yang kemudian dipotong sedekat mungkin pada dasar tengkorak. Pemotongan
lebih lanjut dapat dilakukan pada aa. Carotis interna yang memasuki otak, serta
saraf-saraf otak yang keluar pada dasar otak. Dengan memiringkan kepala mayat
kesalah satu sisi, serta jari-jari tangan kiri sedikit menarik/mengangkat bagian
pelipis (temporal) sisi yang lain, tentorium cerebella akan jelas tampak dan mudah
dipotong dimulai dari foramen magnum ke arah lateral menyusuri tepi belakang
tulang karang otak (os petrosum). Potong pula saraf-saraf otak yang keluar pada
dasar otak. Dengan cara yang sama, tentorium cerebella sisi lainnnya juga
dipotong. Perlu diperhatikan bahwa bila tentorium cerebelli ini tidak dipotong,
otak kecil niscaya akan tertinggal dalam rongga tengkorak.
Dengan tangan kiri menyanggah daerah bagian occipital. Dua jari tangan
kanan dapat ditempatkan di sisi kanan dan kiri batang otak yang telah terpotong
22
untuk kemudian menarik bagian bawah otak ini dengan gerakkan
memutar/meluksir sehingga keluar dari rongga tengkorak.
b. Pemeriksaan Organ Dalam 2
Pemeriksaan organ/alat tubuh biasanya dimulai dari lidah, esophagus,
trachea dan seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya
diperiksa terakhir.
1. Lidah. Pada lidah, perhatikan permukaan lidah, adakah kelainan bekas
gigitan, baik yang baru maupun yang lama. Pengirisan lidah sebaiknya tidak
sampai teriris utuh, agar setelah selesai autopsi, mayat masih tampak berlidah
utuh.
2. Tonsil. Perhatikan penampang tonsil, adakah selaput, gambaran infeksi,
nanah dan sebagainya.
3. Kelenjar gondok. Untuk melihat kelenjar gondok dengan baik, otot-otot
terlebih dahulu dilepaskan dari perlekatannya di sebelah belakang. Setelah
otot leher ini terangkat, maka kelenjar gondok akan terlihat jelas dan dapat
dilepaskan dari perlekatannya pada rawan gondok dan trachea.
4. Kerongkongan (oesophagus). Oesophagus dibuka dengan jalan menggunting
sepanjang dinding belakang. Perhatikan adanya benda-benda asing, keadaan
selaput lendir serta kelainan yang mungkin ditemukan (misalnya striktura,
varices).
5. Batang tenggorok (trachea). Pemeriksaan dimulai pada mulut atas batang
tenggorokan, dimulai dari epiglotis. Perhatikan adanya edema, benda asing,
perdarahan dan kelainan lainnya. Perhatikan pula pita suara dan kotak suara.
Pembukaan trachea dilakukan dengan melakukan pengguntingan dinding
belakang (bagian jaringan ikat pada cincin trachea) sampai mencapai cabang
broncus kanan dan kiri. Perhatikan adanya benda asing, busa, darah, serta
selaput lendirnya.
6. Tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (cartilage thyroidea), dan rawan
cincin (cartilago cricoidea). Tulang lidah kadang-kadang ditemukan patah
unilateral pada kasus pencekikan. Perhatikan adanya patang tulang, resapan
darah. Rawan gondok dan rawan cincin seringkali juga menunjukkan resapan
23
darah pada kasus kekerasan pada daerah leher (pencekikan, penjeratan,
gantung).
7. Arteria carotis interna. Arteri carotis comunis interna biasanya tertinggal
melekat pada permukaan depan ruas tulang leher. Bila kekerasan pada leher
mengenai arteri ini, kadang-kadang ditemukan kerusakan pada intima di
samping terdapatnya resapan darah.
8. Kelenjar kacangan (Thymus). Kelenjar kacangan terdapat melekat di sebelah
atas kandung jantung. Pada permukaannya perhatikan akan adanya
perdarahan berbintik serta kemungkinanan adanya kelainan lain.
9. Paru-paru. Kedua paru masing-masing diperiksa tersendiri. Tentukan
permukaan paru-paru. Pada paru yang mengalami emphysema, dapat
ditemukan cekungan bekas penekanan iga. Perhatikan warnanya. Serta bintik
perdarahan, bercak perdarahan akibat aspirasi darah ke dalam alveoli (tampak
pada permukaan paru sebagai bercak berwarna merah-hitam dengan batas
tegas), resapan darah, luka, bulla, dan sebagainya. Perabaan paru yang normal
terasa seperti meraba spon/karet busa. Pada paru dengan proses peradangan,
perabaan dapat menjadi padat atau keras. Pada penampang paru ditentukan
warnanya serta dicatat kelainan yang mungkin ditemukan.
10. Jantung. Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepalan tinju
kanan mayat. Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bintik-bintik
perdarahan. Pada autopsi jantung, ikuti sitematika pemotongan dinding
jantung yang dilakukan dengan mengikuti aliran darah di dalam jantung.
Pertama-tama jantung diletakkan dengan permukaan ventral menghadap ke
atas. Posisi in dipertahankan terus sampai autopsi jantung selesai. Vena cava
superior dan inferior dibuka dengan jalan menggunting dinding belakang
vena-vena tersebut. Dengan gunting buka pula aurikel kanan. Perhatikan akan
adanya kelainan baik pada aurikel kanan maupun atrium kanan. Dengan pisau
panjang, masuki bilik jantung kanan sampai ujung pisau menembus apeks di
sisi kanan septum dengan mata pisau mengarah ke lateral. Tebal dinding bilik
kanan diukur dengan terlebih dahulu membuat irisan tegak lurus pada dinding
belakang bilik kanan ini, 1 sentimeter di bawah katup. Irisan pada dinding
bilik depan kanan dilakukan menggunakan gunting. Mulai dari apex,
24
menyusuri septum pada jarak setengah sentimeter, ke arah atas menggunting
dinding depan arteria pulmonalis dan memotong katup semilunaris pulmonal.
Katup diukur lingkarannya dan keadaan katup semilunaris pulmonal. Katup
diukur lingkarannya dan keadaan daun katupnya dinilai. Pembukaan serambi
dan bilik kiri dimulai dengan pengguntingan dinding belakang
vv.pulmonales, yang disusul dengan pembukaan aurikel kiri. Dengan pisau
panjang, apeks jantung sebelah kiri dari septum ditusuk. Lalu diiris ke arah
lateral sehingga biliki kiri terbuka. Lakukan pengukuran lingkaran katup
mitral serta penilaian terhadap keadaan katup. Tebal otot jantung sebelah kiri
diukur pada irisan tegak yang dibuat 1 sentimeter di sebelah bawah katup
pada dinding belakang. Dengan gunting dinding depan bilik kiri dipotong
menyusuri septum pada jarak ½ sentimeter, terus ke arah atas. Membuka juga
dinding depan aorta dan memotong katup semilunaris, aorta. Lingkaran katup
diukur dan daun katup dinilai. Pada daerah katup semilunaris aorta dapat
ditemukan dua muara aa. Coronaria kiri dan kanan. Untuk memeriksa
keadaan a.koronaria sama sekali tidak boleh menggunakan sonde. Karena ini
akan dapat mendorong thrombus yang mungkin terdapat. Pemeriksaan nadi
jantung ini dilakukan dengan membuat irisan melintang sepanjang jalannya
pembuluh darah A. Coronaria kiri berjalan di sisi depan septum dan a.
Coronaria kanan keluar dari dinding pangkal aorta ke arah belakang. Pada
penampang irisan diperhatikan tebal dinding arteri. Kedaan lumen serta
kemungkinan terdapatnya thrombus. Septum jantung dibelah untuk melihat
kelainan otot, baik merupakan kelainan yang bersifat degeneratif maupun
kelainan bawaan. Nilai pengukuran pada jantung normal orang dewasa adalah
sebagai berikut; ukuran jantung sebesar kepalan tangan kanan mayat. Berat
sekitar 300 gram. Ukuran lingkaran katup serambi bilik kanan sekitar 11
sentimeter, yang kiri sekitar 9,5 sentimeter. Lingkaran katup pulmonal sekitar
7 sentimeter dan aorta sekitar 6,5 sentimeter. Tebal otot bilik kanan 3 sampai
5 milimeter sedangkan kiri sekitar 14 milimeter.
25
Gambar 15. Autopsi Jantung 15
11. Aorta thoracalis. Pengguntingan pada dinding belakang aorta thoracalis dapat
memperlihatkan permukaan dalam aorta. Perhatikan kemungkinan
terdapatnya deposit kapur, ateroma atau pembentukan aneurisma. Kadang-
kadang pada aorta dapat ditemukan tanda-tanda kekerasan merupakan
resapan darah atau luka. Pada kasus kematian bunuh diri dengan jalan
menjatuhkan diri dari tempat tinggi. Bila korban mendarat dengan kedua kaki
terlebih dahulu. Seringkali ditemukan robekan melintang pada aorta
thoracalis.
12. Aorta abdominalis. Bloc organ perut dan panggul diletakkan diatas meja
potong dengan permukaan belakang menghadap ke atas. Aorta abdominalis
digunting dinding belakangnya mulai dari tempat pemotongan aa.iliaca
comunis kanan dan kiri. Perhatikan dinding aorta terhadap adanya
penimbunan, pekapuran, atau atheroma. Perhatikan pula muara dari pembuluh
nadi yang keluar dari aorta abdominalis ini, terutama muara aa.renalis kanan
dan kiri dibuka sampai memasuki ginjal. Perhatikan apakah terdapat kelainan
pada dinding pembuluh darah yang mungkin merupakan dasar dideritanya
hipertensi renal bagi yang bersangkutan.
13. Anak ginjal (glandula suprarenalis). Anak ginjal kanan terletak di bagian
mediokranial dari kutub atas ginjal kanan, tertutup oleh jaringan lemak,
berada antara permukaan belakang hati dan permukaan bawah diafragma.
Anak ginjal kemudian dibebaskan dari jaringan sekitarnya dan diperiksa
26
terhadap kemungkinan adanya kelainan ukuran, resapan darah dan
sebagainya. Anak ginjal kiri terletak dibagian medio-kranial kiri kutub atas
ginjal kiri, juga tertutup dalam jaringan lemak, terletak antara ekor kelenjar
liur perut (pankreas) dan diafragma. Pada anak ginjal yang normal,
pengguntingan anak ginjal akan memberikan penampang dengan bagian
korteks dan medula yang tampak jelas.
14. Ginjal, ureter, dan kandung kencing. Adanya trauma yang mengenai daerah
ginjal seringkali menyebabkan resapan darah pada capsula. Dengan
melakukan pengirisan di bagian lateral kapsula, ginjal dapat dilepaskan. Pada
ginjal yang mengalami peradangan, simpai ginjal mungkin akan melekat erat
dan sulit dilepaskan. Setelah simpai ginjal dilepaskan, lakukan terlebih dahulu
pemeriksaan terhadap permukaan ginjal. Adakah kelainan berupa resapan
darah, luka-luka ataupun kista-kista retensi. Pada penampang ginjal,
perhatikan gambaran korteks dan medula spinalis. Juga perhatikan pelvis
renalis akan kemungkinan terdapatnya batu ginjal, tanda peradangan, nanah
dan sebagainya. Ureter dibuka dengan meneruskan pembukaan pada pelvis
renalis, terus mencapai vesika urinaria. Perhatikan kemungkinan terdapatnya
batu, ukuran penampang, isi saluran serta keadaan mukosa. Kandung kencing
dibuka dengan jalan menggunting dinding depannya mengikuti bentuk huruf
T. Perhatikan isi serta selaput lendirnya.
Gambar 16. Pengangkatan ginjal 15
27
15. Hati dan kandung empedu. Pemeriksaan dilakukan terhadap permukaan hati,
yang pada keadaan biasa menunjukkan permukaan yang rata dan licin,
berwarna merah-coklat. Kadang kala pada permukaan hati dapat ditemukan
kelainan berupa jaringan ikat, kista kecil, permukaan yang berbenjol-benjol,
bahkan abses. Pada perabaan, hati normal memberikan perabaan yang kenyal.
Tepi hati biasanya tajam. Hati yang normal menunjukkan penampang yang
jelas gambaran hatinya. Pada hati yang telah lama mengalami perbendungan
dapat ditemukan gambaran hati pula. Kandung empedu diperiksa ukurannya
serta diraba akan kemungkinan terdapatnya batu empedu. Untuk mengetahui
ada tidaknya sumbatan pada saluran empedu, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan jalan menekan kandung empedu ini sambil memperhatikan muaranya
pada duodenum (papilla vateri). Bila tampak cairan coklat-hijau keluar dari
muara tersebut, ini menandakan saluran empedu tidak tersumbat.
16. Limpa dan kelenjar getah bening. Limpa dilepaskan dari sekitarnya. Limpa
yang normal menunjukkan permukaan yang berkeriput, berwarna ungu
dengan perabaan lunak kenyal. Buatlah irisan penampang limpa, limpa
normal mempunyai gambaran limpa yang jelas, berwarna coklat-merah dan
bila dikikis dengan punggung pisau, akan ikut jaringan penampang limpa.
Jangan lupa mencatat ukuran dan berat limpa. Catat pula bila ditemukan
kelenjar getah bening regional yang membesar.
Gambar 17. Pengangkatan limpa 15
28
17. Lambung, usus halus dan usus besar. Lambung dibuka dengan gunting
curvatura mayor. Perhatikan isi lambung dan simpan dalam botol atau
kantong plastik bersih bila isi lambung ingin diperlukan untuk pemeriksaan
toksikologik atau pemeriksaan laboratorik lainnya. Selaput lendir lambung
diperiksa terhadap kemungkinan adanya erosi, ulserasi, perdarahan/resapan
darah. Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta
kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta kemungkinan terdapatnya
kelainan bersifat ulseratif, polip dan lain-lain.
18. Kelenjar liur perut (pancreas). Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar
liur perut ini dari sekitarnya. Kelenjar liur perut yang normal menunjukkan
warna kelabu agak kekuningan, dengan permukaan yang berbelah-belah dan
perabaan yang kenyal. Perhatikan ukuran dan beratnya. Cata bila ada
kelainan.
Gambar 18. Pengirisan pankreas 16
29
19. Otak besar, otak kecil, dan batang otak. Perhatikan permukaan luar dari otak
dan cacat kelainan yang ditemukan. Adakah perdarahan subdural, perdarahan
subarakhnoid, kontusio jaringan otak atau kadangkala bahkan sampai terjadi
laserasi. Pada oedema cerebri, gyrus otak akan tampak mendasar dan sulkus
tampak menyempit. Perhatikan pula kemungkinan terdapatnya tanda
penekanan yang menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar. Pada
daerah ventrak otak, perhatikan keadaan sirkulus Willisi. Nilai keadaan
pembuluh darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat kelainan
ateroma, adakah penipisan dinding akibat aneurysma, adakah perdarahan.
Bila terdapat perdarahan hebat, usahakan agar dapat ditemukan sumber
perdarahan tersebut. Perhatikan pula bentuk serebelum. Pada keadaan
peningkatan tekanan intrakranial akibat edema serebri misalnya, dapat terjadi
herniasi serebllum ke arah foramen magnum, sehingga bagian bawah
serebellum tampak menonjol. Pisahkan otak kecil dan otak besar dengan
melakukan pemotongan pada pedunculus serebri kanan dan kiri. Otak kecil
ini kemudian dipisahkan juga dari batang otak dengan melakukan
pemotongan pada pedunculus serebelli. Otak besar diletakkan dengan bagian
ventral menghadap pemeriksa. Lakukan pemotongan otak besar secara
koronal/melintang, perhatikan penampang irisan.
30
Gambar 19. Pengirisan otak 15
Tempat pemotongan haruslah sedemikian rupa sehingga struktur penting
dalam otak besar dapat diperiksa dengan teliti. Kelainan yang dapat
ditemukan pada penampang otak besar antara lain adalah: perdarahan pada
korteks akibat contusio cerebri, perdarahan berbintik pada substansi putih
akibat emboli, keracunan barbiturat serta keadaan lain yang menimbulkan
hipoksia jaringan otak. Infark jaringan otak, baik yang bilateral maupun yang
unilateral akibat gangguan perdarahan oleh arteri, abses otak, perdarahan
intracerebral akibat pecahnya a. lenticulostriata dan sebagainya. Otak kecil
diperiksa penampangnya dengan membuat suatu irisan melintang, catatlah
kelainan perdarahan, perlunakan dan sebagainya yang mungkin ditemukan.
Batang otak diiris melintang mulai daerah pons, medulla oblongata sampai ke
bagian proksimal medulla spinalis. Perhatikan kemungkinan adanya
perdarahan. Adanya perdarahan di daerah batang otak biasanya mematikan.
20. Alat kelamin dalam (genitalia interna). Pada mayat laki-laki, testis dapat
dikeluarkan dari scrotum melalui rongga perut. Jadi tidak dibuat irisan baru
31
pada scrotum. Perhatikan ukuran, konsistensinya serta kemungkinan ada
resapan darah. Perhatikan pula bentuk dan ukuran epididimis. Kelenjar
prostat diperhatikan ukuran dan konsistensinya. Pada mayat wanita,
perhatikan bentuk serta ukuran kedua indung telur, saluran telur dan uterus
sendiri. Pada uterus diperhatikan kemungkinan terdapatnya perdarahan,
resapan darah ataupun luka akibat tindakan abortus provokatus. Uterus
dibuka dengan membuat irisan berbentuk huruf T pada dinding depan melalui
saluran serviks serta muara kedua saluran telur pada fundus uteri. Perhatikan
keadaan selaput lendir uterus, tebal dinding, isi rongga rahim serta
kemungkinan terdapatnya kelainan lain.
21. Timbang dan catatlah berat masing-masing alat/organ. Sebelum
mengembalikan organ-organ (yang telah diperiksa secara makroskopis)
kembali ke dalam tubuh mayat, pertimbangkan terlebih dahulu kemungkinan
diperlukannya organ guna pemeriksaan histopatologik. Potongan jaringan
untuk pemeriksaan histopatologik diambil dengan dengan tebal maksimal 5
mm. Usahakan mengambil bagian organ di daerah perbatasan antara bagian
yang normal dan yang mengalami kelainan. Potongan ini kemudian
dimasukkan ke dalam botol yang berisi cairan fiksasi yang dapat merupakan
larutan formalin 10% (larutan formaldehida 4%) atau alkohol 90-96%,
dengan jumlah cairan fiksasi sekitar 20-30 kali volume potongan jaringan
yanng diambil. Jumlah organ yang perlu diambil untuk pemeriksaan
toksikologi disesuaikan dengan kasus yang dihadapi serta ketentuan
laboratorium pemeriksa. Sedapat mungkin setiap jenis organ ditaruh dalam
botol tersendiri. Bila diperlukan pengawetan, agar digunakan alkohol 90%.
Pada pengiriman bahan untuk pemeriksaan toksikologik, contoh bahan
pengawet agar juga turut dikirimkan di samping keterangan klinik dan hasil
sementera autopsi atas kasus tersebut.
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu 2,18 :
32
1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ.
Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan
difiksasi dalam formalin 10%. Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati,
limpa, pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal,
prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain yang
menunjukkan adanya kelainan.
2. Pemeriksaan toksikologi
Lambung dan isinya.
Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-
ikatan pada pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.
Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari
perifer (v. jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing
50 ml dan dibagi dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang
lain tidak diberi bahan pengawet.
Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat
khususnya atau bila urine tidak tersedia.
Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan
sianida, dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang
mempunyai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah
mengalami pembususkan.
Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan
diekskresikan melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk
keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan,
jaringan otot, lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan
cairan otak.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil
sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk
pemeriksaan histopatologik. Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan
33
alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel padat atau organ. NaF 1%
dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel cair. Sedangkan
natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet
urine.
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan
sediaan limpa untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar
dengan menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan
darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah
dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara
tersebut di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril diambil
sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan
kedua tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi.
4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati.
Mungkin perlu dilakukan untuk melihat parasit malaria. Sediaan
hapus lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan mukosa.
5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa
biokimia.
6. Pemeriksaan urine dan feces.
7. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual.
8. Cairan uretra.
2.6. Autopsi Klinik
Autopsi klinik merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi penyebab kematian.4 Autopsi
klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit dan dirawat
di rumah sakit tetapi kemudian meninggal.2
Autopsi ini penting karena secara langsung dapat memberikan manfaat
kepada keluarga mayat dan masyarakat sekeliling. Yang penting dalam autopsi ini
adalah mencari penyakit apa saja yang terdapat pada mayat itu dan apa yang
menyebabkan kematian. Dalam hal ini masyarakat menentang kerana autopsi ini
dianggap sebagai bertujuan ilmiah atau penyelidikan semata-mata dan tidak ada
34
manfaatnya kepada ahli waris.5 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ioan et al,
membuktikan bahwa autopsi merupakan salah satu pemerikasaan yang penting
dilakukan untuk menilai kualitas perawatan, untuk meningkatkan proses
pendidikan kedokteran, tantangan bagi klinis dalam menegakkan diagnosis.16
Autopsi klinik dapat dilakukan bila sudah mendapat izin dari keluarga,
oleh sebab itu harus meminta izin keluarga terlebih dahulu. Untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, yang terbaik adalah melakukan autopsi klinik yang lengkap
meliputi pembukaan rongga tengkorak, dada, dan perut/ panggul, serta memeriksa
seluruh organ-organ dalam. Dalam autopsi tidak semua organ dalam tubuh
dikeluarkan tetapi hanya diambil sebagian kecil berupa irisan yang cukup untuk
diperiksa di bawah mikroskop atau dengan alat-alat lain. Namun apabila keluarga
berkeberatan, dapat dilakukan autopsi klinik parsial, yaitu terbatas pada satu atau
dua rongga badan. Apabila masih tidak disetujui, dapat dilakukan needle necropsy
terhadap organ tertentu untuk kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologik. 2,5
Autopsi klinik dapat dilakukan tanpa persetujuan dari keluarga apabila
diduga mayat yang meninggal menderita penyakit yang dapat membahayakan
orang lain atau masyarakat sekitarnya.2
Autopsi klinik adalah salah satu peran dalam evolusi pengobatan. Namun
autopsi sering ditolak karena berbagai alasan seperti, progresivitas diagnosis
penyakit, ketekutan bila salah mendiagnosis, penolakan dari keluarga,
ketidakmauan dari pihak patologi forensik karena resiko infeksi dan waktu yang
dibutukan lama. Meskipun ilmu kedokteran berkembang pesat, dapat terjadi
perbedaan antara diagnosis kematian yang ditegakkan oleh klinisi dengan
diagnosis yang ditegakan oleh patologi forensik setelah autopsi dilakukan.16
2.6.1.Tujuan dan Manfaat Autopsi Klinik
Tujuan utama autopsi klinik ialah untuk menentukan penyebab kematian
yang pasti. Penjabaran tujuan autopsi klinik yaitu 2:
1. Menentukan sebab kematian yang pasti
2. Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan
sesuai dengan diagnosis postmortem
35
3. Mengetahui korelasi antara proses penyakit yang ditemukan dengan
diagnosis klinik dan gejala-gejala klinik
4. Menentukan efektifitas pengobatan
5. Mempelajari secara lazim suatu proses penyakit
6. Untuk pendidikan para mahasiswa kedokteran dan dokter
Pelaksanaan autopsi klinis akan membawa manfaat bagi keluarga, institusi
penyelenggara pelayanan kesehatan dan individu di dalamnya serta membawa
manfaat bagi masyarakat luas. 4
Bagi keluarga manfaat yang diperoleh antara lain:
Diperolehnya informasi mengenai adanya kemungkinan kelainan
genetik atau kelainan yang sifatnya diturunkan pada generasi
berikutnya dalam garis keluarga
Mengkonfirmasi penyebab kematian, dan memantau adanya
kemungkinan kelalaian medik dalam pelayanan
Berpartisipasi dalam pendidikan dan penelitian kedokteran
Bagi Institusi Penyelenggara pelayanan kesehatan manfaat yang diperoleh
adalah4,11:
Mengkonfirmasi diagnosis klinis yang dibuat selama pengobatan dan
perawatan
Mengetahui asal penyakit dan perjalanan penyakit yang diderita
pasien
Mendidik dokter dan perawat hingga pada gilirannya meningkatkan
kualitas pelayanan
Merancang obat dan pengobatan yang efektif
Mengidentifikasi efek samping dari pengobatan
Mendapatkan hasil statistik vital yang lebih akurat
Mendapatkan hasil yang akurat mengenai penyebab kematian untuk
perkembangan penelitian
Mengidentifikasi dan mengevaluasi penyakit emergensi dan re-
emerging diseases.
36
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Shojania dkk kemungkinan jika
dilakukannya autopsi dapat menunjukan bukti penting yang tidak diduga
sebelumnya. 17
Bagi masyarakat manfaat yang diperoleh adalah 4:
Mengevaluasi teknologi pemeriksaan kedokteran yang baru
Menilai efektifitas metode pengobatan yang diberikan pada pasien
Menyelidiki adanya penyakit terkait kondisi lingkungan kerja atau
lingkungan tinggal
2.6.2. Prosedur Autopsi Klinik
Persiapan dokumen yang diperlukan 4
1. Rekam medis lengkap dari pasien yang menjelaskan mengenai penyakit
yang diderita saat meninggal maupun riwayat penyakit terdahulu
2. Persetujuan dari keluarga terdekat yang menyatakan kesediaan untuk
dilakukannya autopsi klinik dan kesediaan untuk turut membantu autopsi
klinik, dalam hal ini mengenai pengumpulan data-data yang diperlukan
dalam proses autopsi
3. Surat permintaan resmi dari rumah sakit, klinik, puskesmas, ataupun
penyelenggara pelayanan kesehatan resmi lainnya untuk dilakukan autopsi
klinik
Persiapan fasilitas penunjang 4
Untuk melakukan autopsi klinik diperlukan peralatan yang lengkap dan
ruangan dengan fasilitas memadai seperti adanya kulkas penyimpanan mayat
dan meja autopsi dengan drainase yang baik, selain itu ruangan yang digunakan
selama pemeriksaan harus memiliki pencahayaan yang baik.
Prosector
Autopsi klinik ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelaksanaan tindakan medis
tersebut dilakukan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat yaitu norma hukum, norma agama, kesusilaan, dan norma
kesopanan.
37
Prosedur pelaksanaan
Setelah pengkajian dokumen-dokumen yang telah dikumpulkan, autopsi
klinik lengkap, parsial, maupun needle necropsy dapat segera dilakukan.
Pemeriksaan luar dan dalam dilakukan secara sistematis dengan pencatatan
segala bentuk kelainan yang ditemukan. Autopsi klinis harus dilakukan sesuai
dengan standar pemeriksaan autopsi dengan membuka rongga kepala, dada dan
perut, serta melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentukan
sebab kematian. Berbeda dengan autopsi forensik, pada autopsi klinik
dilakukan pemeriksaan pada kolumna vertebralis dan korda spinalis.
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga pada autopsi
forensik hanya dilakukan atas indikasi tertentu. 4
Adapaun cara pemeriksaan kolumna vertebralis dan korda spinalis
adalah dengan12:
1. Melepaskan otot psoas.
2. Dengan mengunakan oscillating saw, buka korda spinalis antara L5-Si dan
diskus C3-C4
a. Pada regio lumbal, potong pedikel, dan tanpa mencederai korda
b. Pada regio thoraks, dengan bantuan osteotome untuk
memperlihatkan kepala iga dan memotong korda melalui leher iga
dan pedikel vertebre.
c. Pada regio servikal, memoloh daerah lateral dari badan vertebre
dan masuk ke dalam kanalis vertebre, mulai pada bagian terbawah
dan naik ke atas columan vertebralis dan cari sambungan dari
ligamentum ke korda.
3. Perlihatkan semua ganglia posterior dan akar serabut saraf yang secara
kntinue dilepas dari korda. Kembangkan pleksus sakralis dengan jari
antara plesus dan dinding pelvik. Potong akar serabut saraf sakral tetapi
pertahankan sambungan dengan lumbal. Lepaskan korda dan tempel saraf
dari arah belakang ke arah depan. Bebaskan korda servikalis bagian atas
dengan memotong duramater yang melewati foramen magnum.
38
4. Periksa korda dengan membuka duramater garis pertengahan anterior dan
atau posterior atau dengan memotong korda secara transversal tanpa
merusak duramater, biasanya setelah fiksasi adekuat.
Gambar 20. Pemeriksaan Kolumna Vertebralis dan Korda Spinalis 12
Pada akhir autopsi, penyebab kematian ditentukan dari pemeriksaan
organ dan jaringan. 4
Hasil Autopsi Kinik
Hasil autopsi klinik dapat dilampirkan di dalam rekam medis dan dapat
diketahui oleh keluarga dan pihak peminta autopsi klinis dengan mengingat
batasan aturan mengenai rekam medis yang tercantum dalam Permenkes
269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis.6
2.6.3. Dasar Hukum Autopsi Klinik
39
Secara hukum pelaksanaan autopsi klinik dalam praktek kedokteran
berlandasankan pada Undang Undang RI nomor 36 Tahun 2009:7
Pasal 119
Ayat 1:
Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapaat
dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.
Ayat 2:
Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
Ayat 3:
Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
persetujuan tertulis keluarga terdekat terdekat pasien.
Ayat 4:
Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan
masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan
diognosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.
Pasal 121
Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter
sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan
norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
2.7. Autopsi Medikolegal
Autopsi medikolegal dilakukan oleh ahli forensik dengan tujuan mencari
penyebab utama kematian. Autopsi ini dilakukan atas permintaan resmi dari pihak
berwajib apabila terdapat kecurigaan atas kematian yang tidak sewajarnya atau
40
kematian karena kasus kriminal. Hasil autopsi kemudian menjadi informasi resmi
untuk membantu penegakan keadilan.8
2.7.1. Tujuan Autopsi Medikolegal
Tujuan dari autopsi medikolegal adalah:9
a. Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau
belum jelas.
b. Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan
saat kematian.
c. Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
d. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam
bentuk visum et repertum.
2.7.2. Dasar Hukum Autopsi Forensik
Autopsi forensik mutlak dilakukan atau dasar pemeriksaan luar dan
pemeriksaan dalam dari mayat. Aturan pengadaan autopsi diatur dalam KUHAP
Pasal 133, Pasal 134, Pasal 179, KUHP Pasal 222. Untuk melakukan autopsi
forensik diperlukan Surat Permintaan Visum (SPV) dari pihak kepolisian.3
Pasal 133 KUHAP
Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara
tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
41
Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134 KUHAP
Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib
menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tersebut.Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun
dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-
undang ini.
Pasal 179 KUHAP
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.Semua
ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 222 KUHP
Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pemeriksaan mayat untuk pengadilan diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Poin penting dalam pelaksanaan autopsi dapat disingkat dengan 6W, yaitu:10
1. Who is the victim (sex, race, age, distinguishing characteristics)?
2. When did death and the injuries occur?
42
3. Where did death and the injuries occur?
4. What injuries are present (type, distribution, pattern, path, and direction)?
5. Which injuries are significant (major vs. minor, time vs. Artefactual or
postmortem injuries)?
6. Why and how did the injuries and death occur (mechanism and manner of
death)?
Dalam menjalani autopsi, terdapat beberapa hal pokok yang harus
diperhatikan yaitu:2
1. Autopsi harus dilakukan sedini mungkin
Perubahan postmortem dapat mengubah keadaan suatu luka maupun suatu
proses patologik sedemikian rupa sehingga mungkin diinterpretasikan
salah. Sebagai contoh, rongga pleura yang semula kosong dapat berisi
cairan merah kehitaman akibat pembusukan.
2. Autopsi harus dilakukan lengkap
Agar autopsi dapat mencapai tujuannya, maka autopsi harus lengkap
meliputi pemeriksaan luar, pembedahan yang meiputi pembukaan tulang
tengkorak, dada, perut, dan panggul.
3. Autopsi dilakuan sendiri oleh dokter, tidak boleh diwakilkan kepada
perawat ataupun mantri. Dokter harus menginterpretasikan hasil
pemeriksaan yang dilakukan, untuk memenuhi ketentuan dalam undang-
undang yang menuntut dilakukan pemeriksaan sejujurnya dengan
pengetahuan sebaik-baiknya.
4. Pemeriksaan dan pencatatan harus dilakukan seteliti mungkin. Semua
kelainan yang ditemukan harus dicatat sebaik-baiknya. Di samping itu
perlu juga dicatat penemuan negatif pada kasus tertentu yang
menunjukkan bahwa dokter pemeriksa telah melakukan pemeriksaan dan
mencari kelainan tertentu tapi tidak menemukannya.
BAB III
43
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Keakuratan surat kematian dapat dibantu dengan adanya proses autopsi.
Dengan autopsi dapat ditemukan proses penyakit dan atau adanya cedera. Di
Indonesia terdapat tiga macam autopsi, yaitu autopsi anatomi, autopsi klinik, dan
autopsi medikolegal. Autopsi klinik dan autopsi medikolegal memegang peranan
penting dalam penentuan sebab kematian dan digunakan secara umum dalam
praktek kedokteran.
Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita
penyakit dan dirawat di rumah sakit tetapi kemudian meninggal dengan tujuan
mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi penyebab
kematian. Autopsi medikolegal dilakukan oleh ahli forensik dengan tujuan
mencari penyebab utama kematian. Autopsi ini dilakukan atas permintaan resmi
dari pihak berwajib apabila terdapat kecurigaan atas kematian yang tidak
sewajarnya atau kematian karena kasus kriminal.
Baik dalam melakukan autopsi klinik maupun autopsi forensik, ketelitian
yang maksimal harus diusahakan. Kelainan sekecil apapun harus dicatat dengan
seksama. Autopsi sendiri harus dilakukan sedini mungkin sehingga dapat
ditentukan tujuan utama dari autopsi yaitu memukan proses penyakit dan atau
adanya cedera penyebab kematian.
3.2. Saran
1. Perlu diadakannya autopsi klinik dalam praktek kedokteran umum sehari-
hari untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti
2. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat dan pihak rumah sakit
mengenai autopsi klinik
DAFTAR PUSTAKA
44
1. Philippe L, Anne L, Sanna S. 2007. Surveillance of Injury Related Deaths:
Medicolegal Autopsy Rates and Trends in Finland in Injury Prevention.
Helsinki, Finland: National Public Health Institute, Injury Prevention Unit;
13: 282–284.
2. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 2000. Teknik Autopsi
Forensik. Jakarta: Penerbit Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. UCDAVIS heatlh System, 2014, Indication of Autopsy, Departement of
Pathology and Laboratotory: University of California. yang diakses dari
http:www.ucdmc.ucdavis.edu/pathology/services/clinical/anatomic@patho
logy/autopsy/indication.html. pada tanggal 8 Juli 2014 Pukul 12.00 WIB
4. Kotabagi RB, Charati SC, Jayachandar MD. 2005. Clinical Autopsy vs
Medicolegal Autopsy. India: MJAFI; 61: 258-263.
5. Solichin S, Apuranto H, Agus MA. 2010. Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal. Surabaya.
6. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 2000. Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta: Penerbit Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Undang Undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009
8. Pathak A, Mangal HM. 2007. Histo-Pathology Examination in
Medicolegal Autopsy Pros & Cons. India: J Indian Acad Forensic Med;
32: 2.
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2010. Autopsi.
Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta:
Media Aesculapius.
10. Eckert WG. 1997. Introduction to Forensic Sciences. United States of
America: CRC Press.
11. Kaven G, Shojania, Burton EC. 2008. The Vanishing Nonforensic
Autopsy. N Engl J Med 358;8. diunduh dari www.nejm.org.
45
12. Collins KA, Hutchins GM. An Introduction To Autopsy Technique : Step-
by-Step Diagram. College of American Pathologists : Advancing
Excellence;2005.Hal.1-22
13. Dix, Jay. Color atlas of forensic pathology. Florida: CRC Press LC; 2000.
14. Sheaff MT, Hopster DJ. General Inspection and Initial Stages of
Evisceration dalam Post Mortem Technique Handbook 2nd Edition.
London : Springer;2005.Hal.56 – 81
15. Finkbeiner WE, Ursell PC, Davis RL. Autopsy pathology a manual and
atlas. 2nd Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
16. Ioan B, Alexa T, Alexa ID,2012. Do we still need the autopsy? Clinical
diagnosis versus autopsy diagnosis, Rom J Leg Med [20] 307-312
17. Shojania KG, et al, 2003. Changes in Rates of Autopsy-Detected
Diagnostic Errors Over Time. JAMA, June 4, 2003—Vol 289, No. 21
18. Mozayani A. Toxicology in The Crime Laboratory. In: Mozayani A,
Noziglia C, editors. The Forensic Laboratory Handbook Procedures and
Practice. New Jersey: Humana Press; 2006.p.249-264
46