1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi terhadap implementasi
kebijakan program Bantuan Operasional Sekolah di Sekolah Dasar Negeri 7
Kebumen. Penelitian ini perlu untuk dilakukan mengingat kebijakan BOS ini
sebagai upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan pemerataan
pendidikan dan biaya pendidikan yang mahal. Serta mewujudkan cita-cita
Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa sesuai yang tertuang dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah telah menetapkan wajib
belajar 9 tahun. Yakni Sekolah Dasar (SD) selama 6 tahun dan di lanjut ke
jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama 3 tahun masa belajar.
Kebijakan wajib belajar 9 tahun yang di tetapkan pemerintah ini bukanlah
tanpa aral rintang dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Permasalahan lain
kemudian muncul disini. Kemiskinan menjadi penghambat tercapainya wajib
belajar 9 tahun tersebut. Internasional Labour Organisation (ILO)
memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999
mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari jumlah penduduk (BPS,
1999). Angka kemiskinan ini akan menjadi lebih besar lagi jika di masukkan
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang jumlahnya mencapai
lebih dari 21 juta jiwa.
2
Prosentase angka kemiskinan dari tahun ke tahun mengalami penurunan
yang berarti. Tahun 2003 dari 38 juta atau 23 persen dari penduduk Indonesia
hidup di bawah garis kemiskinan dan 12,7 juta diantaranya adalah fakir
miskin (Republika, 5 Mei 2003). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada
bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran
per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai
28,07 juta orang (11,37 persen), berkurang sebesar 0,52 juta orang
dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang sebesar
28,59 juta orang (11,66 persen).
Meskipun terus mengalami penurunan angka kemiskinan, tentu tidak
menjadikan hal ini dapat memecahkan permasalahan yang ada. Tanggungan
biaya yang harus di keluarkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya,
menjadi tambahan beban baru selain memenuhi kebutuhan hidup yang lain.
Maka tak jarang, putus sekolah menjadi langkah yang ditempuh untuk
memutus rantai beban biaya sekolah yang semakin mahal. Terdapat 10,268
juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib
belajar sembilan tahun. Di sisi lain, masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang
tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. (Kompas, 26 Desember 2011).
Tanggapan pemerintah selanjutnya dalam memandang permasalahan ini
adalah dengan dibuatnya Program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
atas dasar Pertimbangan UU No 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS serta
PP No 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan. Program ini pada
dasarnya bertujuan untuk menyongkong program wajib belajar 9 tahun yang
3
bermutu, dengan meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan
pendidikan. Dana BOS ini akan ditujukan bagi seluruh siswa SD/MI Negeri
dan SMP/MTS Negeri. Kecuali pada rintisan sekolah bertaraf Internasional
(RSBI) dan sekolah bertaraf Internasional (SBI). Membebaskan seluruh siswa
miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri
maupun sekolah swasta.
Respon masyarakat pada umumnya menanggapi kebijkan ini cenderung
menerima, karena segala yang diberi “embel-embel” gratis tak pernah
menjadi polemik di masyarakat. Penerimaannya akan cenderung bermanfaat
dibandingkan kerugiannya. Terlebih bagi wali murid di SDN 7 Kebumen,
yang notabene mayoritas dari kalangan tidak mampu. Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) adalah suatu kegiatan yang merupakan realisasi
atau implementasi kebijakan dalam perluasan dan pemerataan akses
pendidikan, khususnya dalam mendukung program wajib belajar pendidikan
dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun. BOS merupakan implementasi dari
Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya serta wajib
belajar merupakan tanggung jawab Negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan dari pemerintah daerah dan masyarakat.
Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah pemerintah
dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh
peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan
4
pendidikan lain yang sederajat dengan menjamin bahwa peserta didik tidak
terbebani oleh biaya pendidikan. Jika niatan awal pembuatan program ini
begitu optimis dapat memecahkan permasalahan sebagian orang tua murid
terkait dengan biaya sekolah yang mahal. Bagaimanakah dengan hasil
implementasi dari program ini sendiri?. Apakah program BOS ini bisa
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan sebelumnya?. Hal tersebut yang
kemudian melatarbelakangi penulis untuk menganalisa evaluasi kebijakan
program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di salah satu Sekolah Dasar
Negeri di Kabupaten Kebumen. Yang dalam hal ini penulis memilih obyek
penelitian di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hasil implementasi kebijakan program Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan BOS
di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen?
C. Tujuan Penelitian
1. Melihat hasil implementasi kebijakan program Dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen.
2. Mengetahui faktor apa saja yang dapat mendukung atau menghambat
implementasi kebijakan program BOS di Sekolah Dasar Negeri 7
Kebumen.
5
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana
evaluasi dari implementasi kebijakan program Dana BOS, terutama di
Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen. Sehingga masyarakat pada umumnya, dan
peneliti sendiri mendapatkan pengetahuan baru serta dapat berkontribusi
bersama-sama dalam check and balances kebijakan ini. Untuk SD Negeri 7
Kebumen sendiri bisa menjadi acuan pembenahan ke arah yang lebih baik
lagi dalam mengimplementasikan kebijakan program Dana BOS.
E. Landasan Konseptual dan Kerangka Teori
Pemahaman mengenai evaluasi kebijakan program dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dalam kerangka berfikir diawali dari menganalisa
permasalahan, proses kebijakan, implementasi kebijakan sampai kepada
evaluasi kebijakan. Penulis menggunakanan teori Grindle tentang konteks
dan konten kebijakan dalam memahami implementasi kebijakan program
dana Bantuan Operasional Sekolah.
E.1 Kebijakan Publik
Kebijakan publik mempunyai makna yang sangat luas. Sehingga, untuk
dapat memahami konsep kebijakan publik perlu diketahui terlebih dahulu
klasifikasi pengertian definisi yang dikemukakan para ahli. Berikut beberapa
pengertian kebijakan publik dari beberapa para ahli. Chandler dan Plano (1988)
menyatakan bahwa, kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis
terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-
6
masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk
intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi
kepentingan kelompok yang kurang secara terus menerus oleh pemerintah
demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar
mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano ini
mengklasifikasikan kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah. Dimana,
dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki
untuk mengatasi persoalan publik. Adapun Carl Friedrich yang juga
mengklasifikasikan kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah. Carl
Friedrich mengungkapkan kebijakan publik adalah, suatu arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan
terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud
tertentu.
Selain Chandler dan Plano serta Carl Friedrich, beberapa ahli lainnya
juga mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu intervensi pemerintah.
Beberapa para ahli yang juga menklasifikasikan kebijakan publik sebagai
intervensi negara atau pemerintah adalah: James Anderson, Richard Rose,
Easton ,dan Robert Eyestone. Dimana, di saat pemerintah memecahkan
masalah ataupun ketika membuat suatu kebijakan publik pemerintah atau
negara mengikutsertakan berbagai macam sumberdaya ataupun instrumen
7
yang berada di luar negara atau pemerintah baik dari segi lingkungannya
maupun sosio kulturalnya. Sehingga, dalam hal ini pemerintah bukanlah
merupakan aktor yang tunggal yang dapat membuat kebijakan seenak hatinya
saja. Melainkan harus melibatkan apa yang ada di sekelilingnya.
Thomas R. Dye (1981) mengklasifikasikan kebijakan Publik sebagai
sebuah keputusan (decision making), pemerintah mempunyai wewenang
untuk menggunakan keputusan otoritatif. Termasuk keputusan untuk
membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.
Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa
yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara.
Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan
yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik.
Adalah Edward III dan Sharkansky yang turut mengklasifikasikan
kebijakan publik sebagai keputusan (decision making), menyatakan bahwa,
kebijakan publik merupakan apa yang dikatakan dan dilakukan atau tidak
dilakaukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau tujuan
dari berbagai program pemerintahan. Serta, kebijakan itu dapat ditetapkan
secara jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk
pidato pejabat pemerintah.
John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) mengklasifikasikan kebijakan
publik sebagai proses manajement serta membagi wacana kebijakan publik ke
dalam beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang
melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model
8
inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel
internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi
status quo. (3) model rasional. (4) model garbage can dan (5) model
collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme
perumusan kebijakan.
Charles O. Jones (1991) di dalam mengklasifikasikan kebijakan sebagai
democratic governance dan mendefinisikan kebijakan publik sebagai antar
hubungan di antara unit pemerintah tertentu dengan lingkungannya. Agaknya
definisi ini sangat luas sekali nuansa pengertiannya, bahkan terdapat satu
kesan sulit menemukan hakekat dari pada kebijakan publik itu sendiri.
Berdasarkan beberapa definisi oleh para ahli di atas, kebijakan dapat
diklasifikasikan dalam beberapa variasi. Yang salah satunya yaitu memahami
konsep kebijakan publik dari aspek kedalaman yang di dalamnya mencakup
beberapa varian, yakni kebijakan sebagai keputusan (decision making),
kebijakan sebagai proses manajement, kebijakan sebagai intervensi
pemerintah , serta kebijakan sebagai democratic governanace.
Kebijakan dapat dianggap sebagai kebijakan publik apabila memenuhi
dua komponen mendasar. Yakni, pertama dibuat oleh institusi yang
mempunyai otoritas dalam hal ini adalah pemerintah. Kedua, kebijakan
tersebut diarahkan pada atau memberi implikasi terhadap kelompok
masyarakat yang memberi otoritas kepada pemerintah yang mengambil
kebijakan. Keputusan menjadi kebijakan publik hanyalah keputusan yang
mengandung nilai-nilai kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah
9
keputusan yang menjadi kebijakan publik tidak hanya harus berisikan hal-hal
yang sifatnya faktual (factual propositon), akan tetapi juga harus
mengandung nilai-nilai luhur bagi kehidupan masyarakat yang sama besarnya.
Proses kebijakan publik merupakan dimensi paling inti dari analisa
kebijakan. Dimana, kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan
kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara
berkesinambungan, saling menentukan, saling membentuk. Proses kebijakan
publik tidak dapat dilepaskan dari isu-isu dan lingkungan obyek yang
melingkupinya. Model proses kebijakan paling klasik dikembangkan oleh
David Easton. Pendekatan sistem ini dimulai dari identifikasi dukungan dan
tuntutan kemudian berproses sehingga menghasilkan output politik dan
feedbacknya.
Proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem politik dengan
mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri atas dua hal yaitu, tuntutan
dan dukungan. Model yang diperkenalkan Easton inilah yang kemudian
dikembangkan oleh para ahli akademisi di bidang kebijakan publik. Sebut
saja Anderson, Dunn, Patton dan Savicky, dan Effendy. Adapun Grindle dan
John Thomas (1991) sepakat bahwa pada dasarnya proses kebijakan tidak
sepenuhnya linear, melainkan bergerak seperti digram pohon keputusan
(decision tree model).
Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan
publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif. Pada model linier,
fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan
10
fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai
tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan
tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan
gagal maka yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang
dianggap kurang memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang
lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.
Pada dasarnya, perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat
kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus
diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah
formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi.
Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi
kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan
pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi.
Sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah
uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang
fleksible terhadap realitas tersebut. Meskipun pada akhirnya uraian yang
dihasilkan itu tidak sepenuhnya sama dengan nilai ideal normatif. Hal
tersebut bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu sesuai dengan
realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001).
E.2 Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan publik merupakan serangkaian siklus kebijakan
publik yang tidak dapat dilepaskan keberadaannya. Evaluasi kebijakan tidak
dapat dilepaskan dari adanya implementasi kebijakan. Dimana dalam siklus
11
kebijakan publik evaluasi kebijakan berada setelah adanya implementasi
kebijakan publik. Sehingga seringkali terjadi overlap untuk memahami antara
studi implementasi dengan studi evaluasi kebijakan publik.
Menurut rumusan Sabatier dan Mazamnian melakukan studi
implementasi berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi setelah
suatu program diberlakukan, yakni peristiwa dan kegiatan dalam usaha untuk
mengadministrasikannya dan usaha–usaha untuk memberikan dampak
tertentu pada masyarakat. Dari rumusan itu, maka lingkup studi implementasi
adalah seluruh kegiatan dan peristiwa yang terjadi setelah suatu kebijakan
diberlakukan.
Analisis dalam studi implementasi misalnya tidak mempertanyakan
apakah sebuah kebijakan yang gagal dalam pengimplementasiannya adalah
sebuah kebijakan yang benar-benar tepat untuk mencapai tujuan yang
didinginkan (ini adalah pertanyaan evaluatif), studi implementasi
mempertanyakan apakah terjadi kesalahan atau kekurangan dalam proses
pengimplementasian dan apa sebabnya.
Studi implementasi hanya berkaitan dengan pertanyaan bagaimana cara
agen publik mengimplementasikan sebuah kebijakan untuk mencapai
perubahan sebagaimana yang dimaksudkan oleh kebijakan tersebut. Lebih
jelasnya dapa dilihat pada pendapat Jenkins bahwa, studi implementasi adalah
studi perubahan : bagaimana perubahan itu terjadi, bagaimana kemungkinan
perubahan bisa dimunculkan. Juga merupakan studi tentang mikrostruktur
dari kehidupan politik: bagaimana organisasi di dalam dan di luar system
12
politik menjalankan fungsi mereka dan berinteraksi satu sama lain: apa
memotivasi tindakan – tindakan mereka dan apa motivasi lain yang mungkin
membuat mereka bertindak secara berbeda (Jenkins, 1978, p.200).
Sementara tujuan dan lingkup analisis (riset) evaluasi menurut Carol H.
Weiss (1972, p.4) adalah “To measure the effects of a program against the
goals it set out to accomplish as a means of contributing to subsequent
decision making about the program and improving future programming. The
effect emphasizes the outcomes of the program, rather than its efficiecy,
honesty, morale, or adherence to rule or standars. The comparison of effects
with goals stresses the use of explicit criteria for judging how well the
program is doing”.
Weis secara tegas menyatakan bahwa tujuan analisis evaluasi lebih
pada pengukuran efek dan dampak sebuah program atau kebijakan pada
masyarakat, dibanding pengukuran atas efisiensi, kejujuran pelaksanaan, dan
lain-lain yang terkait dengan standar-standar pelaksanaan. Tujuan kebijakan
itu sendiri adalah untuk menghasilkan dampak atau perubahan, sehingga
wajar jika untuk itulah evaluasi dilakukan. Adapun yang membedakan antara
analisis studi implementasi dengan analisis studi evaluasi dapat kita lihat
yang dinyatakan oleh Parsons :” … evaluation eximines ‘how public policy
and the people who deliver it may be appraised, audited, valued and
controlled” while the study of implementation is about “how policy is put into
action and practice” (1995, p. 461).
13
Meskipun dilakukan secara sistematis, namun ada beberapa hal yang
membedakan analisi evaluasi dengan analisis akademik lainnya, yang
menurut Weiss (p. 6-7)adalah :
1. Evaluasi ditujukan untuk pembuatan keputusan, untuk menganalisis
problem sebagaimana yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan
oleh periset, sebab si pembuat keputusanlah yang berkentingan terhadap
hasil evaluasi.
2. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam
setting akademik, karenanya pertanyaan-pertanyaan evaluasi diarahkan
oleh program. Peneliti tidak membangun asumsi dan hipotesisnya sendiri
sebagaimana pada studi-studi lain.
3. Evaluasi memberikan penilaian atas pencapaian tujuan, bukan
mengevaluasi tujuan.
Atau dari pernyataan Browne & Wildavsky : “Evaluators are able to
tell us a lot about what happened – which objectives, whose objectives, were
achieved – and a little about why – the causal connections (Hill & Hupe, 12),
yang merupakan wilayah analisis implementasi. Karena meski tujuan dan
dampak saling berinteraksi namun dampak tidak dapat dinilai melalui
seperangkat tujuan yang dirumuskan secara tegas. Jadi dapat disimpulkan
bahwa, evaluasi kebijakan publik adalah analisa dampak terhadap kesesuaian
tujuan kebijakan yang telah diimplementasikan.
14
E.3 Evaluasi Kebijakan Publik dalam Kerangka Grindle
Berbicara mengenai evaluasi kebijakan, implementasi program atau
kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam proses kebijakan
publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai
dampak dan tujuan yang diinginkan. Wahap dalam Setyadi (2005) mengutip
pendapat para pakar yang menyatakan bahwa proses implementasi kebijakan
tidak hanya menyangkut perilaku badan administrative yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri
kelompok sasaran, tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik,
ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi
perilaku semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap
dampak negative maupun positif, dengan demikian dalam mencapai
keberhasilan implemetasi, diperlukan kesamaan pandangan tujuan yang
hendak dicapai dan komitmen semua pihak untuk memberikan dukungan.
Guna mencari tahu faktor-faktor yang bisa mengubah arah tujuan
kebijakan, perlu untuk melihat konten dan konteks kebijakannya. Bagi
penulis, suatu kebijakan yang diimplementasikan akan memiliki pola
pelaksanaan yang berbeda tergantung dari bagaimana implementor
melaksanakan isi kebijkan serta tanggapan implementor terhadap fenomena
di luar kebijakan itu sendiri. Maka dari itu penulis menggunakan teori
evaluasi yang diperkenalkan Grindle karena dapat membantu penulis untuk
menganalisa faktor di luar lingkup kebijkan.
15
Model Grindle memaparkan dua sub variable besar yakni isi (konten)
kebijakan dan lingkungan (konteks) implementasi. Variabel isi kebijakan
mencakup:
a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat
dalam isi kebijakan. Dimana, kebijakan merupakan sebuah intervensi yang
sebelumnya telah ada sebelumnya. Aktor-aktor yang terlibat tentu
memiliki nilai-nilai kepentingan yang dibawanya. Jika keputusan
kebijakan yang akan diimplementasikan ternyata berimplikasi negatif atau
tidak sesuai dengan kepentingannya, tentu akan menimbulkan konflik dari
para aktor tersebut. Tidak menutup kemungkinan hal ini bisa
menggagalkan proses implementasi dan tercapainya tujuan kebijakan.
b. Jenis manfaat yang diterima oleh target group. Setiap aktor memiliki
kepentingan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan.
d. Apakah letak sebuah program sudah tepat.
e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci,
dan
f. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangakan variabel lingkungan kebijakan mencakup, seberapa besar
kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang
terlibat dalam implementasi kebijakan, karakteristik institusi dan rejim yang
sedang berkuasa, serta tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Strategi, sumber dan posisi kekuasaan implementor akan menentukan tingkat
16
keberhasilan kebijakan yang diimplentasikannya. Apabila suatu kekuatan
politik merasa berkepentingan atas suatu program, maka mereka akan
menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam
implementasi sehingga mereka dapat menikmati outputnya. Implementasi
suatu program dapat menimbulkan konflik bagi yang kepentingan-
kepentingannya dipengaruhi. Strategi penyelesaian konflik mengenai ”siapa
mendapatkan apa”, dapat menjadi petunjuk tak langsung mengenai ciri-ciri
penguasa atau lembaga yang menjadi implemento.
Dengan kata lain, konten kebijakan atau isi kebijakan merupakan
pembahasan mengenai bagaimana implementor melaksanakan kebijakan
tersebut. Apakah telah sesuai dengan isi kebijakan yang ada. Sedangkan
konteks kebijakan atau lingkungan kebijakan merupakan pembahasan
mengenai bagaimana setiap aktor merespon baik fenomena politik, ekonomi,
maupun sosial di lingkungan kebijakan.
E.4 Evaluasii Kebijakan Program Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS)
BOS merupakan implementasi dari Undang Undang Nomor 20 tahun
2003 pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya serta wajib belajar merupakan tanggung jawab
Negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dari pemerintah
daerah dan masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut
adalah pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
17
pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan
SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat dengan menjamin bahwa
peserta didik tidak terbebani oleh biaya pendidikan.
18
Gambar 1.1
Model Evaluasi Kebijakan Grindle:
Sumber: Samodra,Wibawa (1994 : 23)
TUJUAN KEBIJAKAN
Pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh:
a. Isi Kebijakan 1. Kepentingan yang dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yang diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Penatalaksanaan program 6. Sumber daya yang dilibatkan b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat. 2. Karaktersitik lembaga dan penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap
TUJUAN YANG INGIN
DI CAPAI
Hasil kebijakan a.Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok b.Perubahan dan peneri- maan oleh masyarakat.
Program aksi dan proyek individu yang didesain dan dibiayai.
Program yang dijalankan seperti yang direncanakan.
19
Dalam kerangka teori Grindle, guna menganalisa evaluasi kebijakan
dana bantuan operasional sekolah di SDN 7 Kebumen pertama perlu
menganalisis bagaimana dampak yang dirasakan masyarakat, kelompok atau
individu setelah kebijakn ini diimplementasikan. Atau mungkin perubahan
dan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini. Setelah mengetahui hasil
implementasi yang dilihat dari segi dampak dan perubahan tadi kemudian
dikaitkan dengan tujuan awal hadirnya kebijakan BOS ini.
Tahapan selanjutnya adalah mencari tahu penyebab gagal atau
keberhasilan implementasi kebijakan dengan melihat dari konten kebijkan
dan konteks kebijkannya. Konten kebijakan dibagi menjadi tiga lokus utama.
Dilihat dari bagaimana implentor menjalankan peran dan tugasnya, apakah
sudah sesuai dengan JUTLAK dan JUKNIS. Kedua, apakah regulasi yang ada
tepat untuk memastikan implementor menjalankan peran dan tanggung
jawabnya masing-masing. Ketiga, terkait dengan apakah dukungan politik
atau regulasi yang ada mampu memastikan kebijakan publik dilakukan
dengan tepat.
Selanjutnya, untuk konteks kebijkanpun dibagi menjadi tiga lokus
utama. Pertama, apakah implementor mampu merespon konteks kebijakan
secara progresif. Kedua, Apakah regulasi yang ada mampu merespon konteks
kebijkan secara progresif dan tanggap. Ketiga, apakah terdapat dukungan
politik atau regulasi untuk merespon konteks.
20
F. Definisi Konseptual
1. Kebijakan Publik, adalah kebijakan atau keputusan yang di ambil
pemerintah yang memiliki wewenang dan sifatnya mengikat atas sebuah
permasalahan tertentu atau atas wilayah tertentu yang mempunyai
implikasi kepada masyarakat luas.
2. Kebijakan Program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), adalah
suatu kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi kebijakan
dalam perluasan dan pemerataan akses pendidikan, khususnya dalam
mendukung program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas)
sembilan tahun.
3. Evaluasi Kebijakan, analisa dampak terhadap kesesuaian tujuan kebijakan
yang telah diimplementasikan.
G. Definisi Operasional
1. Evaluasi Kebijakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan adalah konten (isi) kebijakan dan konteks kebijakan. Isi
kebijakan, indikatornya adalah:
Kepentingan publik yang dipengaruhi oleh kebijakan.
Tingkat perubahan yang dikehendaki dari implementasi kebijakan.
Manfaat dari perubahan yang di kehendaki.
Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia pelaksana kebijakan.
Struktur pemerintah pelaksana kebijakan yang jelas.
Konteks kebijakan, indikatornya adalah:
21
Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung implementasi kebijakan.
Sikap dan persepsi pelaksana kebijakan dalam pencapaian tujuan
kebijakan.
Derajat koordinasi dan komunikasi antar bidang dalam pelaksanaan
tugas.
Pembagian kewenangan dalam hal pelaksanaan implementasi
kebijakan.
2. Kebijakan Program Dana BOS indikatornya sesuai dengan JUKNIS
dan JUTLAK kebijakan dalam peraturan Menteri Pasal 3:
Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Dana BOS Tahun Anggaran 2013 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Peraturan Menteri.
Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Dana BOS untuk Sekolah Indonesia di Luar Negeri Tahun Anggaran
2013 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri.
3. Keberhasilan Implementasi indikatornya,
Implementasi dilakukan dengan mempertimbangkan variabel
administrtif serta politik.
Proses Implementasi dilakukan sesuai dengan Juknis dan Jutlak yang
telah di tetapkan.
Adanya kesesuaian antara tujuan dan outcomenya.
22
H. Metodologi Penelitian
H.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian
studi kasus (case study). Penggunaan case study dalam penelitian ini menurut
saya dapat menjadi metode yang tepat dalam penulisan penelitian ini. Dengan
case study ini saya bisa lebih mengeksplorasi lagi kasus yang saya pilih.
Selain itu penggunaan case study ini di maksudkan untuk dapat melihat
fenomena di balik sebuah kasus. Sehingga, apa yang menjadi tujuan pada
penelitian ini, yakni melihat lebih jauh lagi motif ataupun fenomena dalam
kasus tersebut.
H.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya untuk memperoleh data, saya melakukan wawancara, dan
studi pustaka. Wawancara sendiri akan saya tujukan pada beberapa pihak
yang relevan dalam kasus ini. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah: dari
Kepala Sekolah SD Negeri 7 Kebumen yang notabene merupakan aktor
utama yang mengatur pengelolaan pendanaan Dana BOS.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kecamatan Kebumen, yang
mana pihak tersebut adalah mengeluarkan surat untuk pengambilan Dana Bos
dari pusat. Kemudian mewawancarai pihak Komite Sekolah, yang
anggotanya terdiri dari beberapa wali murid dan tokoh-tokoh yang di tunjuk.
Selain itu dalam rangka memperoleh data sayapun berpengangan pada
literature yang relevan. Seperti literature yang berhubungan dengan kebijakan
23
publik seperti buku yang di tulis Nicholas Evans dalam bukunya yang
berjudul Sang Penerjun.
H.3 Jenis Data
1. Data Primer, yaitu data-data yang langsung diperoleh dari sumber-
sumber informasi termasuk dari informan penelitian.
2. Data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh melalui studi literatur atau
kajian pustaka, data tentang Program Dana Bantuan Operasional Sekolah,
serta data lain yang relevan dengan objek penelitian.
H.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen. Yang
terletak di Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
I. Sistematika Penulisan
Bab I membahas tentang pendahuluan, di dalam pendahuluan tersebut
akan dijelaskan alasan pentingnya membahas tema yang sedang ingin diteliti,
latar belakang dari timbulnya permasalahan yang sedang diangkat dan di kaji
dalam tema penelitian, yang didukung dengan kerangka teori sebagai dasar
dalam menjelaskan jabaran dari rumusan masalah, serta metode pengumpulan
data sebagai teknik dalam mengumpulkan, mengkaji, dan menganalisis data
untuk disajikan kedalam bentuk pembahasan.
Bab II Menjabarkan gambaran kebijakan Program Dana BOS di
Kabupaten Kebumen. Selain itu, pada bab ini dipaparkan profil Sekolah
Dasar Negeri 7 Kebumen, serta pembahasan hasil implementasi kebijakan.
24
Bab III menganalisa konten kebijakan serta analisa faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan program dana BOS di SDN 7
Kebumen dilihat dari konten kebijakan.
Bab IV menganalisa konteks kebijakan serta analisa faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan program dana BOS di SDN 7
Kebumen dilihat dari konteks kebijakan.
Bab V. merupakan kesimpulan yang diperoleh dari bab-bab yang telah
dijelaskan sebelumnya.