1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Adanya pandemi covid 19 di Indonesia yang penyebarannya tidak
dapat dipungkiri telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, tidak
hanya ekonomi, politik, sosial dan budaya, dunia peradilan pun ikut
terkena dampaknya. Seperti yang dapat kita ketahui, persidangan di tiap
pengadilan baik untuk kasus perdata, perdata agama, tata usaha negara
maupun kasus pidana setiap hari berlangsung. Dengan adanya himbauan
mengenai physical distancing serta adanya PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar) di beberapa wilayah di Indonesia demi menekan
penyebaran covid-19 maka penegak hukum yang semula dalam berperkara
di pengadilan bertemu dan bertatap muka secara langsung tetapi saat ini
hanya bisa dilakukan dimasing-masing tempat kerjanya. Seolah bisa
memprediksi adanya Covid-19 ini yang mengharuskan untuk melakukan
physical disrancing dan tidak berkumpul dalam jumlah yang banyak tetapi
harus tetap melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai penegak hukum,
maka pada tahun 2018 silam Mahkamah Agung telah memperkenalkan
sistem peradilan secara online yang bernama E-Court.
Di Indonesia sendiri belum banyak masyarakat yang tahu
mengenai sistem E-Court yang sebenarnya telah ada sejak tahun 2018. E-
court merupakan salah satu bentuk implementasi Sistem Pemerintah
Berbasis Elektronik (SPBE) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
2
95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. E-court
sendiri terdapat di Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018 (Perma
3/2018) tentang administrasi perkara di pengadilan secara elektronik yang
ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, M. Hatta Ali, pada tanggal
29 Maret 2018 dan dimulai diundangkan pada tanggal 4 April 2018. Perma
ini mengatur mulai dari penggunaan layanan administrasi perkara secara
elektronik, pendaftaran administrasi perkara, pemanggilan para pihak,
penerbitan salinan putusan, dan tata kelola administrasi yang seluruhnya
dilaksanakan secara online. Aplikasi E-court sendiri diluncurkan pertama
kali pada tanggal 13 Juni 2018. Saat ini Perma No. 3 Tahun 2018 (Perma
3/2018) tentang administrasi perkara di pengadilan secara elektronik telah
dicabut dan digantikan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara
Elektronik.1
Pengertian dari E-Court adalah layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk
Pendaftaran Perkara Secara Online, Mendapatkan Taksiran Panjar Biaya
Perkara secara online, Pembayaran secara online, Pemanggilan yang
dilakukan dengan saluran elektronik, dan Persidangan yang dilakukan
secara Elektronik. Di dalam E-Court sendiri ada 4 fasilitas utama yakni :
1. e-Filing (Pendaftaran Perkara Online di Pengadilan)
2. e-Payment (Pembayaran Panjar Biaya Perkara Online)
3. e-Summons (Pemanggilan Pihak secara online)
1 FJP Law Office, 2020, E-Court: Sebuah Terobosan Dalam Pengadilan Indonesia, https://fjp-
law.com/, 1 Desember 2020
3
4. e-Litigation (Persidangan secara online)2
Aplikasi e-Litigation berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2019, hanya ditujukan pada persidangan perkara Perdata di
Pengadilan Negeri, Perdata Agama di Pengadilan Agama dan Tata Usaha
Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan dalam
perkara-perkara tersebut tidak melibatkan terdakwa yang sedang ditahan.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak menerapkan e-Litigation hanya
pada perkara-perkara pidana, karena melibatkan terdakwa yang sedang
dalam masa penahanan. Hal tersebut Diatur dalam pasal 3 ayat (1)
PERMA Nomor 1 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa :
“ Pengaturan administrasi perkara dan persidangan secara
elektronik dalam Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk
jenis perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer dan tata
usaha negara.”.3
Dalam PERMA juga disebutkan bahwa peraturan ini dimaksudkan sebagai
landasan hukum penyelenggaraan administrasi perkara di pengadilan
secara elektronik untuk mendukung terwujudnya tertib administrasi
perkara yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan
modern.4 Setelah PERMA Nomor 1 Tahun 2019 diundangkan beberapa
bulan kemudian ada sebuah peristiwa yang mempengaruhi tatanan
kehidupan baik itu dari aspek ekonomi, pendidikan, politik bahkan
2 e Court Mahkamah Agung, https://ecourt.mahkamahagung.go.id/, diakses tanggal 1 Desember
2020 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidagan di Pengadilan Secara
Elektronik 4 RR. Dewi Anggraeni, Agustus 2020, Wabah Pandemi Covid-19, Urgensi Pelaksanaan Sidang
Secara Elektronik, ‘Adalah; Buletin Hukum dan Keadilan Vol. 4 No. 1 diakses tanggal 1 Desember 2020
4
mempengaruhi dunia peradilan di Indonesia yakni merebaknya wabah
Corona Virus Disease 2019 atau Covid 19. Meningkatnya penyebaran
pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) mendorong sejumlah lembaga
penegak hukum bersepakat menggelar sidang secara online. Meski sidang
secara online sudah diterapkan melalui kebijakan e-Court dan e-Litigation
sebelum masa pandemik, tapi penerapan hanya berlaku untuk perkara
perdata, perdata agama, TUN.
Sidang perkara pidana saat masa pandemi juga dituntut dilakukan
secara elektronik melalui SEMA No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di
Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya tertanggal 23 Maret
2020, persidangan perkara pidana tetap dilaksanakan khusus terhadap
perkara-perkara yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak
dapat diperpanjang lagi selama masa pencegahan Covid-19. Atau
persidangan perkara pidana, pidana militer, jinayat terhadap terdakwa
yang secara hukum penahanannya masih beralasan untuk dapat
diperpanjang, ditunda sampai berakhirnya masa pencegahan penyebaran
Covid-19 di lingkungan MA dan Badan Peradilan di bawahnya.5
Sebuah MoU (Memorandum of Understanding) kesepakatan antara
pihak Mahkamah Agung diwakili oleh Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H.
(Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum), Kejaksaan Agung diwakili
Sunarta (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum) dan 5 Anggitalumbanraja, Juli 2020, PERKEMBANGAN REGULASI DAN PELAKSANAAN PERSIDANGAN
ONLINE DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT SELAMA PANDEMI COVID-19, JURNAL CREPIDO Vol. 2 No. 1 diakses tanggal 1 Desember 2020
5
KEMENKUMHAM RI diwakili oleh Nugroho (Plt. Direktur Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM) juga telah disahkan.
MoU tersebut terkait kesepakatan pelaksanaan persidangan selama masa
pandemi Covid-19 yang akan dilaksanakan sampai dengan berakhirnya
wabah Covid-19 di Indonesia. Dalam MoU itu ditetapkan salah satunya
kesepakatan untuk menjalankan persidangan perkara pidana secara
online.6 Lebih jelasnya Hal tersebut, juga sesuai instruksi Jaksa Agung
yaitu untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid 19 agar perkara
pidana disidangkan secara online. Instruksi tersebut tertuang dalam Surat
Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27
Maret 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan
Kewenangan Kejaksaan di tengah pandemi Covid 19.7
Upaya melaksanakan persidangan online dimasa pandemi Covid-
19 dianggap sebagai langkah progresif, dalam memecahkan permasalahan
stagnasi perkara akibat penyebaran Covid-19. Akan tetapi dibalik
terselenggaranya persidangan online perkara pidana, yang dianggap
sebagai sebuah inovasi dibidang hukum, ternyata menemui kendala dalam
proses berjalannya.
Advokat senior Luhut MP Pangaribuan mengatakan penggunaan
teknologi teleconference dalam sidang-sidang pengadilan untuk masa
depan adalah sebuah keniscayaan. Namun, dia menilai penerapan sidang
6 Perjanjian Kerja Sama Antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Republik
Indonesia, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (MoU) Tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference 7 Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor B-049/A/SUJA/03/2020
6
perkara pidana secara online secara tergesa-gesa dapat mengurangi
(mengesampingkan) ketentuan hukum acara pidana yang berlaku,
khususnya standar pembuktian. Menurut Luhut, jika persidangan pidana
secara online terus digelar bakal mengganggu prinsip fair trial (peradilan
jujur dan adil). Sebab, jika infrastruktur untuk mendukung peradilan
online yang kurang memadai potensial mengurangi keabsahan proses
pembuktian.8
Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam
acara pidana, dimana hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
akibatnya manakala hakim berdasarkan kenyakin ada adanya alat bukti
yang tidak benar menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan
tindakan yang didakwakan kepadanya. Hukum acara pidana selalu mencari
kebenaran materiil dan berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup
hanya mengetengahkan kebenaran formil.9
Dalam kaitan ini, hal yang penting untuk diperhatikan adalah apa
yang tertuang dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana, kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya
8 Agus Sahbani, 2020, Problematika Sidang Pidana Daring Saat Pandemi,
https://www.hukumonline.com/, diakses tanggal 1 Desember 2020 9 Prof Koesparmono Irsan, S.IK., S.H., M.M., M.B.A dan DR. Armansyah, S.H., M.H, 2019,
PANDUAN MEMAHAMI HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PERDATA SAN HUKUM PIDANA, (Bekasi: Gramata Publishing), hlm. 233
7
Pasal 183 KUHAP :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”10
Dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti
persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam hukum pidana
adalah kebenaran materiil. Kendatipun demikian, pembuktian dalam
perkara pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan
menemukan peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah ada pembuktian,
dengan tindak penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna membuat
terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan
tersangkanya.11
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa pembuktian dilihat dari
perspektif hukum acara pidana, yakni ketentuan yang membatasi sidang
pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik
oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasihat hukum. Semua
terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Dan apabila kita memperhatikan
penjelasan Pasal 183 KUHAP, maka maksud pasal tersebut adalah untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang.
10
Pasal 183 KUHAP 11
Eddy O.S. Hiariej, 2012, TEORI & HUKUM PEMBUKTIAN, (Jakarta: ERLANGGA), hlm. 7
8
Persoalan pembuktian perkara pidana saat ini dengan penerapan
sidang secara online atau melalui teleconference yang sejatinya dalam
praktik, terdakwa menjalani sidang dengan tetap berada di Lembaga
Pemasyarakatan, sementara hakim berada di ruang persidangan dan
penuntut umum berada di kantor kejaksaan ataupun diruang sidang
bersama-sama dengan hakim, telah mempengaruhi pembuktian dalam
persidangan. Untuk perkara pidana yang pembuktiannya mudah, hal
tersebut sejatinya tidak terlalu berpengaruh. Namun, untuk perkara yang
pembuktiannya rumit dan membutuhkan alat bukti yang spesifik,
penerapan sidang secara online atau melalui teleconference kurang dapat
dilaksanakan.12
Selain itu, masih banyak pihak yang belum bisa menggunakan
teknologi informasi dan ketersediaan jaringan internet di daerah tertentu
saat ingin melakukan persidangan elektronik. Meski sudah ada nota
kesepahaman terkait penggunaan video conference perkara pidana,
terutama untuk pemeriksaaan saksi. Tapi, ada sebuah hambatan
ketersediaan perangkat elektronik di tempat keduduan masing-masing
instansi, posisi terdakwa, dan keberadaan pihak terkait (saksi). Pada saat
sidang online berlangsung para pihak yang berperkara berada di tempat
kedudukan masing-masing, misalnya terdakwa di rutan, hakim di
pengadilan, jaksa di kantor kejaksaannya.13
12
Refah Kurniawan, 2020, Keabsahan Pembuktian dalam Persidangan Online di Masa Pandemi Covid-19, https://yoursay.suara.com/, diakses tanggal 1 Desember 2020 13
Aida Mardatillah, 2020, Sidang Pidana Online Dinilai Sulit Menemukan Kebenaran materil, https://www.hukumonline.com, diakses tanggal 1 Desember 2020
9
Isu ini juga menjadi pertimbangan Ombudsman RI yang
menemukan potensi maladministrasi terkait dengan pelasanaan
persidangan online di tengah pandemi Covid-19. Salah satu usulannya,
Ombudsman merekomendasikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk
membentuk Tim Khusus untuk mengarahkan dan menilai pelaksanaan
persidangan dalam jaringan sistem (online) atau electronic litigation. Dari
hasil pemeriksaan Ombudsman yang mengamati, ditemukan adanya
kendala teknis dalam penyelenggaraan persidangan daring di 16 pengadian
negeri, yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok,
Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi,
Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan PN Manokwari.
Penghalang seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim,
koordinasi antarpihak yang kurang baik, penasihat hukum tidak berada
berdampingan dengan terdakwa, dan tidak dapat memastikan saksi dan
terdakwa dalam tekanan/dusta.14
Berdasarkan penggambaran di atas, penulis tertarik untuk berkonsentrasi
lebih dalam dan menyusun dalam bentuk skripsi dengan judul
“EFEKTIVITAS HUKUM DAN KEABSAHAN PEMBUKTIAN
DALAM PERSIDANGAN SECARA ONLINE DI MASA PANDEMI
CORONA VIRUS DISEASE 19 (COVID-19).”
14
Agus Sahbani, 2020, Problematika Sidang Pidana Daring Saat Pandemi, https://www.hukumonline.com/, diakses tanggal 1 Desember 2020
10
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam suatu penelitian, perumusan masalah merupakan hal yang penting. Agar
dalam penelitian dapat lebih terarah dan terperinci sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana efektivitas hukum dalam perjanjian kerja sama antara
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020,
Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: KEP-17/E/Ejp/04/2020, dan
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tentang pelaksanaan persidangan melalui
teleconference pada masa pandemi covid-19 ditinjau dalam teori Soerjono
Soekanto?
2. Bagaimana keabsahan pembuktian pada perkara pidana terkait persidangan
secara online di masa pandemi covid-19 ?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui efektivitas hukum dalam perjanjian kerja sama antara
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020,
Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: KEP-17/E/Ejp/04/2020, dan
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tentang pelaksanaan persidangan melalui
teleconference pada masa pandemi covid-19 ditinjau dalam teori Soerjono
Soekanto.
11
2. Untuk mengetahui keabsahan pembuktian pada perkara pidana terkait
persidangan secara online di masa pandemi covid-19.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun yang menjadi suatu harapan dan tujuan dari hasil-hasil penelitian yaitu
dapat memberikan faedah kepada semua pihak baik secara teoritis maupun
praktis, antara lain :
1. Manfaat Teortis
Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi dan sumbangsih pemikiran bagi
semua pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan ilmu dibidang
hukum pada umumnya serta dalam bidang hukum pidana pada khususnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan informatif bagi para
pembaca agar mengetahui efektivitas hukum dan keabsahan pembuktian terkait
persidangan secara online dalam masa pandemi covid-19.
E. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan pijakan baru di bidang ilmu hukum
dalam rangka menambah pengetahuan dan wawasan tentang studi kasus diteliti
oleh penulis, sekaligus sebagai syarat akademik untuk memperoleh gelar
kesarjanaan S1 dibidang ilmu hukum.
12
2. Bagi Penegak Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi penegak hukum untuk mengetahui
efektivitas hukum dari persidangan secara online dalam masa pandemi CORONA
VIRUS DISEASE 19 (COVID-19) yang selama ini diberlakukan.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat untuk menambah
wawasan sehingga masyarakat mampu memahami tentang efektivitas hukum dan
keabsahan pembuktian dalam persidangan secara online di masa pandemi
CORONA VIRUS DISEASE 19 (COVID-19).
F. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah diuraikan,
maka metode pendekatan yang diambil adalah pendekatan yuridis
normatif. Penelitian Yuridis Normatif, pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara
menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan
ini dengan pendekatan kepustakaan, yakni degan mempelajari buku-buku,
peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.15
15
Yudiono OOS, 2013, Metode Penelitian, diakses di http://digilib.unila.ac.id Diakses pada tanggal 25 Desember 2020
13
2. Jenis Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Data Primer
Data yang diperoleh dari hukum positif / peraturan perundang-
undangan, yang terkait dengan aturan mengenai persidangan secara
online, antara lain perjanjian kerja sama antara Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Kejaksaan
Republik Indonesia Nomor: KEP-17/E/Ejp/04/2020, dan Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: PAS-
08.HH.05.05 Tahun 2020 tentang pelaksanaan persidangan melalui
teleconference.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang
berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk
laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.16
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam hal ini penulis mencari sumber-
sumber data melalui studi kepustakaan, yaitu dengan mencari,
menginventarisasi, mencatat, dan mempelajari bahan hukum primer,
sekunder, yang berhubungan dengan masalah yang terkait dengan aturan
mengenai persidangan secara online. Dan melakukan studi internet yaitu
penulis melakukan penelitian dengan cara pencarian bahan-bahan yang
16
Prof, Dr. H. Zainudin Ali, M.A, 2016, METODE PENULIAN HUKUM, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 106
14
terdapat diberbagai website resmi yang berkaitan dengan permasalahan
didalam penelitian ini.
4. Teknik Analisa Data
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis Deskriptif
Kualitatif, yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai
dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini guna
memberikan pemahaman yang jelas dan terarah yang diperoleh dari hasil
penelitian nantinya, sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang
jelas tentang simpulan atas penelitian yang dicapai.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tersusun secara
berurutan, dengan tujuan agar menghasilkan suatu pembahasan yang sistematis.
Mulai BAB I sampai dangan BAB IV, secara garis besar diuraikan sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan
- Pada bab pertama ini penulis menguraikan secara umum latar belakang
permasalahan, kemudian rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan, sehingga dalam bab I ini tersusun secara terperinci.
Bab II Tinjauan Pustaka
15
- Pada bab II ini akan diuraikan mengenai pengertian-pengertian dan
tinjauan teori yang berkaitan dengan tinjauan umum tentang efektivitas
hukum dan tinjauan umum tentang pembuktian dalam perkara pidana yang
digunakan untuk membantu dalam membahas permasalahan yang
diangkat.
Bab III Hasil Pembahasan
- Dalam bab III ini berisi tentang pembahasan yang telah dikaji dan
dianalisis secara sistematis berdasarkan pada kajian pustaka sebagaimana
dalam bab II.
Bab IV Penutup
- Bab IV berisikan mengenai kesimpulan dari pembahasan yang telah
dilakukan pada pokok permasalahan, dan juga berisi mengenai saran yang
menjadi sumbangan pemikiran penulis sebagai upaya untuk penemuan
pemecahan masalah atau problem-solving atas isu hukum yang diangkat.