Download - BAB 2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Keluarga
2.1.1 Pengertian
Menurut Bussard and Ball (1966) dalam Setiyadi (2008), keluarga
merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang.
Di keluarga itu seseorang dibesarkan, bertempat tinggal, berinteraksi satu dengan
yang lain, dibentuknya nilai-nilai, pola pemikiran, dan kebiasaannya dan
berfungsi sebagai saksi segenap budaya luar, dan mediasi hubungan anak dengan
lingkungannya.
Depkes RI (1988) dalam Andarmoyo (2012), mendefinisikan bahwa
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yaitu terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap
dalam keadaan saling ketergantungan.
2.1.2 Ciri-Ciri Keluarga
Menurut Mac Iver dan Charles Horton dalam Setiadi (2008), membagi ciri
keluarga menjadi 5 yaitu :
1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.
2. Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan
perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.
3. Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama atau Nomen Clatur termasuk
perhitungan garis keturunan.
7
8
4. Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-
anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan
membesarkan anak.
5. Keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga.
2.1.3 Tipe Keluarga
Tipe keluarga menurut Setiadi (2008) adalah :
1. Tipe Keluarga Tradisional
a. Keluarga inti atau Nuclear family
Keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari
keturunannya atau adopsi atau keduanya.
b. Keluarga besar atau Extended family
Keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai
hubungan darah seperti kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu.
c. Keluarga Bentukan Kembali atau Dyadic family
Keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau
kehilangan pasangannya.
d. Orang tua tunggal atau single parent family
Keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat
perceraian atau ditinggal pasangannya.
e. Single adult living alone
Orang dewasa yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah.
f. The un married teenage mother
Ibu dengan anak tanpa perkawinan.
9
g. Keluarga Usila atau niddle age/ Aging Couple
Suami sebagai pencari uang, istri di rumah atau kedua-duanya bekerja atau
tinggal di rumah, anak-anaknya sudah meninggalkan rumah karena
sekolah, perkawinan, meniti karir.
2. Tipe Keluarga Non Tradisional
a. Communal family
Lebih satu keluarga tanpa pertalian darah hidup serumah.
b. Orang tua atau ayah dan ibu yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak
hidup bersama dalam satu rumah.
c. Gay and Lesbian Family
Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama.
2.1.4 Struktur Keluarga
Dalam Gusti (2013), struktur keluarga terdiri dari :
1. Patrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.
2. Matrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi di mana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.
3. Matrilokal
Sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.
4. Patrilokal
Sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.
10
5. Keluarga kawinan
Hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembina keluarga, dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya
hubungan dengan suami atau istri.
2.1.5 Fungsi keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dikutip dalam Gusti (2013)
adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Afektif
Fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk
mempersiapkan anggota keluarga berdampingan dengan orang lain.
2. Fungsi Sosialisasi dan Tempat Bersosialisasi
Fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial
sebelum meninggalkan rumah untuk berdampingan dengan orang lain di luar
rumah.
3. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga.
4. Fungsi Ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan
tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
11
5. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan
Fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap mempunyai produktivitas tinggi.
2.1.6 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Menurut Freeman (1981) dalam Setiadi (2008), membagi 5 tugas keluarga
dalam bidang kesehatan antara lain :
1. Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarga.
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.
3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit.
4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga.
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-
lembaga kesehatan atau pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada.
2.1.7 Peran Keluarga
Menurut Setiadi (2008), berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga
adalah sebagai berikut :
1. Ayah
Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah,
pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan
juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.
2. Istri
Ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh
dan pendidik anak-anaknya, pelindung keluarga dan juga sebagai anggota
12
masyarakat kelompok sosial tertentu.
3. Anak-anak
Anak-anak melaksanakan peranan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan
tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
2.1.8 Perawatan Kesehatan Keluarga
Perawatan kesehatan keluarga adalah tingkat perawatan kesehatan
masyarakat yang ditujukan atau dipusatkan pada keluarga sebagai unit atau
kesatuan yang dirawat, dengan sehat sebagai tujuan melalui perawatan sebagai
saran atau penyalur (Gusti, 2013).
Menurut Ruth B Freemen (1981) dalam Setiadi (2008) Alasan Keluarga
sebagai Unit Pelayanan :
1. Keluarga sebagai unit utama masyarakat dan merupakan lembaga yang
menyangkut kehidupan masyarakat.
2. Keluarga sebagai suatu kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah,
mengabaikan atau memperbaiki masalah kesehatan dalam kelompoknya.
3. Masalah kesehatan dalam keluarga akan saling mempengaruhi terhadap
anggota keluarga lainnya.
4. Keluarga berperan sebagai pengambil keputusan dalam memelihara kesehatan
para anggotanya.
5. Keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk berbagai upaya
kesehatan masyarakat.
13
2.2 Konsep TB Paru
2.2.1 Pengertian TB Paru
TB Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga
menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe
(Somantri, 2009).
TB paru atau Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang di
sebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar
melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (Kemenkes RI,
2013).
2.2.2 Etiologi
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um, dan tebal 0,3-0,6/um.
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak, sehingga kuman lebih tahan asam
dan lebih kuat terhadap gangguan kimia dan fisik (Harrison, 2013). Kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa
jam ditempat yang gelap dan lembab. Didalam jaringan tubuh kuman ini
dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Judarwanto, 2009).
2.2.3 Faktor Resiko TB Paru
Menurut Rab (2010), faktor resiko TB paru yaitu :
1. Berasal dari Negara berkembang
2. Anak-anak dibawah umur 5 tahun atau orang tua
3. Pecandu alkohol atau narkotik
14
4. Infeksi HIV
5. Diabetes Mellitus
6. Penghuni rumah beramai-ramai
7. Imunosupresi
8. Hubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum positive
9. Kemiskinan dan malnutrisi
2.2.4 Klasifikasi
Menurut Kemenkes RI (2011), klasifikasi TB paru antara lain :
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis yang menyerang jaringan atau parenkim paru, tidak termasuk
pleura atau selaput paru dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung atau perikardium, kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, dan lain-lainnya.
2. Klasifikasi TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu :
a. Tuberkulosis paru BTA positif.
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
2) Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thoraks dada
menunjukkan gambaran tuberculosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya positif dan biakan kuman TB positif.
15
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak hasilnya BTA negatif.
2) Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan atau dipertimbangkan oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu :
a. Kasus Baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan atau 4 minggu.
b. Kasus yang sebelumnya diobati
1) Kasus kambuh atau Relaps
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif.
2) Kasus setelah putus berobat atau Default
16
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
3) Kasus setelah gagal atau Failure
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
c. Pindahan atau Transfer In
Pasien yang dipindahkan dari fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pngobatannya.
d. Lain-lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.2.5 Patofisiologi
Seseorang yang dicurigai menghirup basil Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri menyebar melalui jalan napas ke alveoli, dimana pada daerah tersebut
bakteri tertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui
sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, korteks
serebri, dan area paru-paru lainnya atau lobus atas (Somantri, 2009).
Sistem kekebalan tubuh memberi respon dengan melakukan reaksi
inflamasi. Neutrofil dan makrofag memfagositosis atau menelan bakteri. Limfosit
yang spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan atau melisiskan basil dan
jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat
17
dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul
dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri (Somantri, 2009).
Interaksi antara M. tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa
awal infeksi membentuk sebuah masa jaringan baru yang disebut granuloma.
Yang berisi gumpalan basil hidup dan yang mati, dikelilingi oleh makrofag yang
membentuk dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa
jaringan fibrosa. Bagian tengah dari masa tersebut disebut Ghon tubercle. Materi
yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik, membentuk pengkejuan
atau disebut necrotizing caseosa. Setelah itu akan terbentuk klasifikasi,
membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi non aktif (Somantri,
2009).
Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena
respon sistem imun tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat infeksi
ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi
ulserasi pada ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan
pengkejuan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses penyembuhan membentuk
jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, Mengakibatkan
bronkopneumonia, pembentukan tuberkel dan seterusnya. Pneumonia seluler ini
dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan bacillus di fagosit
atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar getah
bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit
membutuhkan 10-20 hari. Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan
18
granulasi yang dikelilingi sel epitel dan fibroblast akan menimbulkan respon
berbeda dan akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel
(Somantri, 2009).
2.2.6 Manifestasi Klinik
Menurut Harrison (2013), gambaran klinis TB paru antara lain :
1. Gejala sistemik
a. Demam biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan
keringat mirip demam influenza yang segera mereda. Demam seperti
ini dapat hilang timbul dan makin lama makin panjang masa
serangannya, sedangkan masa bebas serangan makin pendek. Demam
dapat mencapai suhu tinggi.
b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksi dan
berat badan menurun.
c. Gejala ekstraparu, tergantung dari organ yang terlibat, misalnyapada
pleuritis TB terdapat gejala sesak dan nyeri dada pada sisi yang
terlibat.
2. Gejala respiratorik
a. Batuk lebih dari 2 minggu
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus.
Batuk mula-mula terjadi karena iritasi bronkus yang selanjutnya
akibat peradangan pada bronkus, batuk menjadi produktif. Dahak
dapat bersifat mukoid atau purulen.
b. Batuk darah
19
Terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya tergantung
dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru
yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah terjadi.
d. Nyeri dada
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura
terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik
2.2.7 Penatalaksanaan
Menurut Kemenkes RI (2011), pengobatan TB paru yaitu :
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat anti tuberkulosis atau OAT.
Tabel 2.1 Pengelompokan OATGolongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat LiniPertama
Isoniazid (H) Ethambutol (E)
Pyrazinamide (Z) Rifampicin (R) Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obatsuntik/ Suntikan lini kedua
Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm)
Golongan-3/ Golongan Floroquinolone
Ofloxacin (Ofx) Levofloxacin (Lfx)
Moxifloxacin (Mfx)
Golongan-4 / Obatbakteriostatik lini kedua
Ethionamide (Eto) Prothionamide (Pto) Cycloserine (Cs)
Para amino salisilat (PAS)
Terizidone (Trd)Golongan-5 / Obat yangbelum terbukti efikasinya dan tidakdirekomendasikan oleh WHO
Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoxilin-Clavulanate
(Amx-Clv)
Thioacetazone (Thz) Clarithromycin (Clr) Imipenem (Ipm).
20
b. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal atau monoterapi. Pamakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap atau disebut OAT-KDT lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung Directly Observed Treatment oleh pengawas menelan obat.
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu
a) Tahap awal atau intensif
(1) Pada tahap awal atau intensif pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
(2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut itu diberikan secara
tepat. Biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu.
(3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negative
atau konversi dalam 2 bulan.
b) Tahap Lanjutan
(1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
21
(2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
c. Panduan OAT yang Digunakan di Indonesia
1) Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia (2011), yaitu :
a) Kategori 1 : 2HRZE / 4(HR)3
b) Kategori 2 : 2HRZES / (HRZE) / 5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT sisipan : HRZE.
2) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa Obat Kombinasi Dosis Tetap atau OAT-KDT. Tablet OAT-
KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
3) Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampicin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan obat ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT-KDT.
4) Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan atau
kontinuitas pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien
dalam satu masa pengobatan.
Menurut Kemenkes RI (2011), KDT mempunyai beberapa keuntungan
dalam pengobatan TB, yaitu :
22
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep.
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
5) Paduan OAT dan peruntukannya :
a) Kategori 1 atau 2 HRZE / 4 H3R3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu :
(1) Pasien baru TB paru BTA positif.
(2) Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif.
(3) Pasien TB ekstra paru.
5. Efek Samping Obat dan Penatalaksanaanya
Menurut Kemenkes RI (2011), efek samping OAT ringan maupun berat yaitu :
Tabel 2.2 Efek samping ringan OATEfek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut
Rifampicin Semua OAT diminum malam sebelum tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri AspirinKesemutan s/d rasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari
Warna kemerahan pada air seni (urine)
Rifampicin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien
Sumber : Kemenkes RI, (2011)
23
Tabel 2.3 Efek samping berat OATEfek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit
Semua jenis OAT
Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *)
Tuli Streptomicin Streptomicin dihentikanGangguan keseimbangan Streptomicin Streptomicin dihentikan, ganti
etambutolIkterus tanpa penyebab lain
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang
Bingung, muntah-muntah (permulaan ikterus-karena obat)
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutolPurpura dan renjatan (syok)
Rifampicin Hentikan rifampicin
Sumber : Kemenkes RI, (2011)
2.2.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan foto rontgen thoraks
Untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini bergantung pada tipe
keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap OAT. Biasanya Sering
didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan
sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan
rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB
paru awal kecuali lokasi dilobus bawah dan biasanya berada disekitar hilus
(Muttaqin, 2008).
2. Uji Mantoux atau tuberkulin
Pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosa terutama anak-
anak. Biasanya diberikan suntikan Purified Protein Derivat atau PPD melalui
intra cutan 0,1 ml lokasi penyuntikan umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah
sebelah kiri bagian depan. Hasilnya dapat dilihat 48-72 jam setelah penyuntikan
24
mengukur dari pembengkakan atau indurasi. Indurasi 0-5 mm : negative, Indurasi
6-9 mm : meragukan dan Indurasi 0-5 mm : Positif (Manurung, 2009).
3. Needle biopsy og long tissue
Positif untuk granuloma TB, adanya sel-sel besar yang mengidentifikasi
nekrosis (Somantri, 2009).
4. BGA
Mungkin abnormal, bergantung pada lokasi, berat, dan sisa kerusakan paru
(Somantri, 2009).
5. Bronkografi
Untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB
(Somantri, 2009).
6. Laboratorium
a Darah
Biasanya ditemukan peningkatan leukosit dan laju endap darah
(Somantri, 2009).
b Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menemukan kuman tuberculosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak juga untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu atau SPS.
25
1) S atau Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
2) P atau Pagi : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan kepada
petugas di Fasyankes.
3) S atau Sewaktu : dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi. (Kemenkes RI, 2011)
2.2.9 Komplikasi
Menurut Manurung (2009), komplikasi yang dapat timbul pada TB paru
mencakup :
1. Malnutrisi
2. Empiema.
3. Efusi pleura
4. Hepatitis, Ketulian, dan gangguan gastrointestinal sebagai efek samping
obat-obatan.
2.3 Konsep Resiko Terjadinya Penularan TB Paru
2.3.1 Definisi resiko terjadinya penularan
Keadaan dimana seorang individu berisiko untuk menyebarkan agen-agen
pathogen atau oportunistik kepada orang lain (Carpenito, 2006).
2.3.2 Faktor yang berhubungan dengan resiko penularan
a. Patofisiologi
Berhubungan dengan:
26
1) Pemajanan penularan melalui udara
2) Pemajanan penularan kontak (langsung, tidak langsung, kontak dengan
droplet)
3) Pemajanan penularan melalui alat
b. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan:
1) Kondisi tempat tinggal yang tidak bersih (pembuangan limbah,
pencahayaan, higiene pribadi).
2) Kurang pengetahuan tentang sumber-sumber atau cara pencegahan
penularannya.
2.3.3 Cara penularan
Menurut Kemenkes RI (2011), cara penularan TB paru antara lain :
1. Sumber Penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak atau disebut Droplet Nuclei. Sesekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
27
4. Daya penularan seseorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
2.3.4 Resiko penularan TB paru
Menurut Kemenkes RI (2011), resiko penularan TB paru antara lain :
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
2. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
3. penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
4. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)
orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
5. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.
2.3.5 Pencegahan penularan TB paru
Menurut Depkes RI (2009), tindakan pencegahan TB agar tidak menularkan
ke orang lain adalah :
a Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh.
b Menutup mulutnya dengan sapu tangan pada waktu bersin dan batuk dan
mencuci tangan.
28
c Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang tempat khusus
dan tertutup yang sudah diberi air sabun.
d Buanglah dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam tanah di tempat yang
jauh dari keramaian.
e Perilaku hidup bersih dan sehat atau PHBS diantaranya : menjemur alat tidur,
membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk
karena sinar matahari langsung dapat mematikan kuman TB, makanan
bergizi, tidak merokok, mencuci pakaian hingga bersih, buang air besar di
jamban/WC, mencuci tangan hingga bersih di air yang mengalir setelah
selesai buang air besar, sebelum dan sesudah makan, beristirahat cukup, dan
jangan tukar menukar peralatan mandi.
2.4 Asuhan Keperawatan Keluarga pada Klien TB Paru dengan Masalah Resiko
Terjadinya Penularan
2.4.1 Pengkajian
1. Data Umum
a. Identitas kepala keluarga
Pada kasus TB paru menyerang golongan usia produktif yaitu 15-50
tahun, serta golongan sosial ekonomi lemah. Berdasarkan jenis kelamin,
penderita penyakit TB paru ternyata lebih banyak menyerang laki-laki
sebesar 54% dibandingkan perempuan sebesar 46% (Dinkes Jatim,
2013). Berdasarkan usia, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada
kelompok usia 25-34 tahun yaitu sebesar 21,72%, diikuti dengan usia
29
35-44 tahun sebesar 19,38%, kelompok usia 45-54 tahun sebesar 19,26 %
(Kemenkes RI, 2013).
b. Komposisi keluarga
No NamaJenis Hubungan Umur Pendidikan Status
Kelamin Keluarga Imunisasi
c. Genogram.
Pada keluarga yang salah satu anggotanya menderita tuberkulosis paru
genogram terutama yang tinggal serumah dengan pasien perlu dikaji
karena adanya risiko tinggi penularan (Setiadi, 2008).
d. Tipe Keluarga
Berisi mengenai tipe keluarga serta masalah yang terjadi dengan jenis
tipe keluarga tersebut (Setiadi, 2008).
e. Suku bangsa
Pada kasus TB paru biasanya cenderung terdapat di negara berkembang
(Rab, 2010).
f. Agama
Mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta kepercayaan yang dapat
mempengaruhi kesehatan (Setiadi, 2008).
g. Status sosial ekonomi
TB paru sering diderita pada golongan ekonomi menengah ke bawah
(Somantri, 2009).
30
h. Aktifitas rekreasi keluarga
Notoamodjo (2007) menyatakan TV, radio atau surat kabar merupakan
sumber informasi nonformal. Menonton TV dan mendengarkan radio
selain sebagai sarana rekreasi keluarga, juga akan meningkatkan
pengetahuan seseorang tentang pencegahan penularan dan pengobatan
TB paru.
2. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga
a. Tahap Perkembangan Keluarga Saat Ini
Tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak tertua dari
keluarga inti (Setiadi, 2008).
b. Tahap Perkembangan Keluarga yang Belum Tercapai
Adanya salah satu anggota keluarga yang menderita tuberkulosis
kemungkinan akan menganggu perkembangan keluarga (Mubarak,
2009).
c. Riwayat Kesehatan Keluarga Inti
Menjelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga inti, yang
meliputi riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing-masing
anggota keluarga, perhatian terhadap pencegahan penyakit atau status
imunisasi, sumber pelayanan kesehatan yang biasa digunakan keluarga
serta pengalaman-pengalaman terhadap pelayanan kesehatan (Setiadi,
2008). Vaksinasi BCG untuk pencegahan TB. (Muttaqin, 2008).
31
d. Riwayat Kesehatan Keluarga Sebelumnya
Dikaji apakah ada anggota keluarga dari pihak suami atau istri yang
menderita tuberkulosis (Mubarak, 2009).
3. Data Lingkungan
a. Karakteristik Rumah
Keadaan rumah yang sempit, ventilasi kurang, udara yang lembab,
kurangnya cahaya matahari yang masuk ke rumah termasuk rumah
dengan kondisi di bawah standart kesehatan merupakan salah satu faktor
yang bisa menyebabkan kuman tuberculosis bertahan hidup (Wulandari,
2013).
b. Karakteristik Rumah dan Komunitas RW
Pada TB paru biasanya timbul di lingkungan rumah dengan kepadatan
tinggi sehingga cahaya matahari masuk ke dalam rumah sangat minim
(Somantri, 2009).
c. Mobilitas Keluarga
Perlu dikaji mobilitas geografis keluarga ke tempat dengan risiko tinggi
tuberkulosis misalnya keluarga pernah tinggal didaerah yang banyak
penderita tuberkulosis dan pemukiman padat penduduk (Wulandari,
2013).
d. Perkumpulan Keluarga dan Interaksi dengan Masyarakat
TB paru memberikan dampak buruk secara sosial yaitu adanya stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat karena penyakit menular (Kemenkes
RI, 2011).
32
e. Sistem Pendukung Keluarga
Sistem pendukung keluarga yang baik akan meningkatkan status
kesehatan penderita TB sehingga mampu mendukung proses
penyembuhan (Setiadi, 2008).
4. Struktur Keluarga
a Pola Komunikasi keluarga.
Komunikasi yang terjadi secara terbuka dan dua arah akan sangat
mendukung bagi penderita TB paru. Saling mengingatkan dan
memotivasi penderita untuk terus melakukan pengobatan dapat
mempercepat proses penyembuhan (Setiadi, 2008).
b Struktur Kekuatan Keluarga
Adanya dukungan sosial keluarga internal yaitu dukungan dari suami-
istri atau saudara kandung dapat berperan penting dalam memelihara
keadaan psikologis individu yang mengalami tekanan, sehingga
menimbulkan pengaruh positif yang dapat mengurangi gangguan
psikologis seperti penderita TB yang berpotensi penuh dengan stres,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis karena adanya
perhatian dan pengertian akan menimbulkan perasaan memiliki,
meningkatkan harga diri (Setiadi, 2008).
c Struktur Peran
Penderita TB paru tidak bisa menjalankan fungsi perannya dengan baik,
seperti kepala rumah tangga yang menderita TB maka akan kehilangan
33
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30% (Kemenkes RI,
2011).
d Nilai dan Norma Keluarga
Sistem nilai yang ada dalam masyarakat berpengaruh dengan proses
penyembuhan penderita TB. Perlakuan yang tidak baik pada penderita
TB akan membuat takut bila diketahui menderita TB sehingga memilih
untuk berdiam diri dan tidak berusaha untuk memeriksakan diri bila
gejala TB sudah mulai timbul (Mubarak, 2009).
5. Fungsi Keluarga
a. Fungsi Afektif
Keluarga saling mengasah dan memberikan cinta kasih, serta saling
menerima dan mendukung seperti mendukung ketaatan dalam program
pengobatan menjadi PMO yang bertanggung jawab mengawasi pasien
menelan obat. Dan menciptakan suasana lingkungan yang mendukung
proses penyembuhan pasien (Rahajoe, 2007).
b. Fungsi Sosialisasi
Keluarga bisa mengingatkan pasien untuk selalu menutup mulut saat
batuk dan bersin, tidak meludah disembarang tempat untuk mencegah
penularan dan mengingatkan menggunakan masker (Depkes RI, 2009).
c. Fungsi Perawatan Keluarga
Menjelaskan sejauh mana keluarga menyediakan makanan, pakaian,
perlindungan serta merawat anggota keluarga yang sakit khususnya
menderita tuberkulosis. Sejauh mana pengetahuan keluarga mengenai
34
tuberkulosis. Kesanggupan keluarga di dalam melaksanakan perawatan
kesehatan dapat dilihat dari kemampuan keluarga melaksanakan 5 tugas
kesehatan keluarga, yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan,
mengambil keputusan untuk melakukan tindakan, melakukan perawatan
terhadap anggota keluarga yang sakit, menciptakan lingkungan yang
dapat meningkatkan kesehatan, dan keluarga mampu memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang terdapat dilingkungan setempat (Setiadi, 2008).
d. Fungsi Reproduktif
Berisi mengenai jumlah anak, Metode yang digunakan keluarga dalam
upaya mengendalikan jumlah anggota keluarga (Setiadi, 2008). Pada
penyakit TB tidak ada gangguan pada fungsi ini (Mubarak, 2009).
e. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi pada keluarga yang salah satu anggotanya menderita
tuberkulosis akan mengalami gangguan. Seorang pasien tuberkulosis
paru dewasa diperkirakan akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan sehingga berakibat pada kehilangan 20-30% pendapatan
tahunan rumah tangganya dan jika ia meninggal maka keluarga akan
kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun (Kemenkes RI, 2011).
6. Stres dan Koping Keluarga
a. Stress Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Anggota keluarga yang menderita tuberkulosis bisa menjadi sumber
stressor bagi keluarga (Mubarak, 2009).
35
1) Stresor jangka pendek yaitu stresor yang dialami keluarga yang
memerlukan penyelesaian dalam waktu ± 6 bulan. Pada pasien TB
biasanya merasa dikucilkan karena penyakit menular, tidak dapat
berkomunikasi dengan bebas karena setiap hari menggunakan
masker (Kemenkes RI, 2011).
2) Stresor jangka panjang yaitu stresor yang dialami keluarga
yang memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari 6
bulan. Dari segi ekonomi, pasien TB paru dewasa diperkirakan
akan kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-
30% (Kemenkes RI, 2011).
b. Kemampuan Keluarga dalam Berespon Terhadap Situasi/Stressor
Hal yang perlu dikaji adalah sejauh mana keluarga berespon
terhadap situasi atau stresor (Setiadi, 2008).
c. Strategi Koping yang Digunakan
Pada pasien TB dalam menghadapi masalah biasanya berupa
pendekatan religius dan berdiskusi dengan anggota keluarga lainnya
(Mubarak, 2009).
d. Strategi Adaptasi Disfungsional
Pada pasien TB paru biasanya menarik diri karena merasa dikucilkan
oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2011).
36
7. Pemeriksaan fisik pada anggota keluarga dengan TB paru
a Keadaan umum
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas
meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat
seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan
tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyulit seperti
hipertensi (Muttaqin, 2008).
b Head to toe (Rambut sampai ujung kaki)
1) Kepala
Pada pasien TB Paru biasanya tidak ditemukan kelainan, bentuk
kepala normal (Mubarak, 2009).
2) Mata
Pada pasien TB Paru dengan hemaptoe massif dan kronis biasanya
didapatkan adanya konjungtiva anemis, dan sclera ikterik pada TB
paru dengan gangguan fungsi hati (Muttaqin, 2008).
3) Hidung
Pada pasien TB Paru biasanya didapatkan Bentuk simetris, tidak
terdapat sekret, tidak ada lesi dan nyeri tekan, perdarahan hidung
tidak ada (Mubarak, 2009).
4) Mulut
Pada pasien TB Paru biasanya didapatkan Bentuk simetris, mukosa
bibir kering (Mubarak, 2009).
37
5) Telinga
Pada pasien TB Paru biasanya pendengarannya berkurang karena
efek obat-obatan (Mubarak, 2009).
6) Leher
Pada pasien TB Paru biasanya tidak Nampak bendungan vena
jugularis, tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid (Mubarak, 2009).
7) Thorak
a) Paru-paru
(1) Inspeksi
Klien dengan TB paru biasanya didapatkan batuk produktif yang
disertai peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang
purulent, tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi
diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi
diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru dengan efusi
pleura yang massif, maka terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga
dada, pelebaran intercostals space pada sisi yang sakit. TB paru yang
disertai atelektasi paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris,
mengalami penyempitan intercostals space pada sisi yang sakit
(Muttaqin, 2008).
TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan
pernapasan tidak mengalami perubahan. Jika terdapat komplikasi
yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien
38
akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas,
dan menggunakan otot bantu napas (Muttaqin, 2008).
(2) Palpasi
Palpasi trakea. Adanya pergeseran trakea Pada TB Paru yang
disertai adanya efusi pleura massif dan pneumothoraks akan
mendorong posisi trakea kearah berlawanan dari sisi sakit (Muttaqin,
2008).
Gerakan dinding thorak anterior pernapasan. TB paru tanpa
komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernafas
biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya
penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada
klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas (Muttaqin,
2008).
Getaran suara atau fremitus vocal. Adanya penurunan taktil
fremitus pada klien TB paru biasanya ditemukan dengan komplikasi
efusi pleura massif, sehingga hantaran suara menurun karena
transmisi getaran suara harus melewati cairan yang berakumulasi
dirongga pleura (Muttaqin, 2008).
(3) Perkusi
Pada klien pada TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya
akan didapatkan bunyi responan atau sonor pada seluruh lapang
paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi serta efusi
pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang
39
sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan dirongga pleura. Apabila
disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan
terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke
sisi yang sehat (Muttaqin, 2008).
(4) Auskultasi
Pada klien TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi)
pada sisi yang sakit, vesikuler melemah bila terdapat penebalan
pleura. dan pada klien TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumothorak didapatkan penurunan resonan vocal pada
sisi yang sakit (Muttaqin, 2008).
b) Jantung
Inspeksi, adanya parut dan keluhan kelemahan fisik. Palpasi,
denyut nadi perifer melemah. Perkusi, batas jantung mengalami
pergeseran pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura massif
mendorong ke sisi sehat. Auskultasi, tekanan darah biasanya
normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan
(Muttaqin, 2008).
8) Abdomen
Pada pasien TB Paru biasanya tidak didapatkan pembesaran hepar,
tidak kembung, pergerakan peristaltik usus baik (Mubarak, 2009).
40
9) Ekstremitas
Pada pasien TB Paru biasanya pada ekstremitas atas dan bawah tidak
terdapat odem, tidak terjadi kelumpuhan mampu menggerakkan,
mengangkat persendian (Mubarak, 2009).
10) Genetalia
Pada pasien dengan TB paru didapatkan urin berwarna jingga pekat
berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai eksresi
karena meninum OAT terutama Rifampicin (Muttaqin, 2008).
8. Harapan Keluarga
Keluarga berharap salah satu anggota keluarga sembuh dari penyakitnya
sehingga dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan nyaman
(Mubarak, 2009)
2.4.2 Diagnosis Keperawatan
Menurut Carpenito (2006), faktor yang berhubungan dengan masalah
keperawatan resiko terjadinya penularan meliputi :
1. Patofisiologi
Berhubungan dengan:
a. Pemajanan penularan melalui udara
b. Pemajanan penularan kontak (langsung, tidak langsung, kontak dengan
droplet)
c. Pemajanan penularan melalui alat
2. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan:
41
a. Kondisi tempat tinggal yang tidak bersih (pembuangan limbah,
pencahayaan, higiene pribadi).
b. Kurang pengetahuan tentang sumber-sumber atau cara pencegahan
penularannya.
Faktor-faktor di atas sebagai etiologi dari masalah keperawatan yang
dihubungkan dengan lima tugas keluarga dalam bidang kesehatan, antara lain :
(Santun.2008)
1. Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarga.
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.
3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit.
4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga.
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-
lembaga kesehatan atau pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada.
2.4.3 Intervensi
Menurut Mubarak (2009), intervensi keperawatan pada masalah resiko
terjadinya penularan yaitu :
a. Tujuan dan kriteria evaluasi:
1. Menunjukkan tidak terjadi penularan, dan dibuktikan dengan keluarga
dan klien dapat mengidentifikasi tindakan untuk mencegah atau
menurunkan resiko penularan pada anggota keluarga lainnya.
2. Menunjukkan keluarga dapat merawat anggota keluarga
a) Keluarga dan klien menjelaskan tentang cara penularan TB paru.
42
b) Menyebutkan upaya untuk mencegah terjadinya penularan.
c) Klien dan keluarga menunjukkan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
b. Intervensi Keperawatan
1. Kaji pengetahuan keluarga
Rasional : untuk mengetahui tingkat pemahaman keluarga.
2. Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang cara pencegahan
dan penularan TB paru.
Rasional : Pendidikan kesehatan dapat membawa akibat terhadap
perubahan perilaku sasaran (Machfoeda, Ircham 2005). .
3. Anjurkan untuk memakai masker, menutup mulut dengan sapu tangan
ketika batuk atau bersin.
Rasional : Agar saat batuk kuman TB tidak menyebar ke udara dan dapat
menyebabkan penularan.
4. Anjurkan keluarga untuk menyediakan wadah khusus untuk pembuangan
dahak
Rasional : Tempat khusus untuk dahak pasien TB paru perlu disediakan
agar kuman TB yang terkandung dalam dahak tidak tersebar dan
mengakibatkan penularan ke anggota keluarga yang sehat
5. Anjurkan untuk memisahkan alat makan dan menjemur alat-alat tidur
Rasional : Alat makan yang dipakai penderita dapat menyebabkan terjadi
penularan TB paru, menjemur alat tidur perlu dilakukan untk membunuh
kuman TB yang mungkin tertinggal pada kasur
43
2.4.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan, dimana tindakan yang
diberikan kepada keluarga dapat bersifat Independent, interdependent maupun
dependent (Setiadi, 2008).
2.4.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi
dengan kriteria evaluasi yang telah ditetapkan pada intervensi untuk melihat
keberhasilannya. Pada tahap ini di evaluasi menggunakan SOAP secara
operasional dengan tahapan sumatif yang dilakukan selama proses keperawatan
maupun evaluasi akhir atau disebut formatif (Setiadi, 2008). Pada masalah resiko
terjadinya penularan diharapkan evaluasi yang akan muncul yaitu:
1. Keluarga dan klien dapat mengidentifikasi tindakan untuk mencegah atau
menurunkan resiko penularan pada anggota keluarga lainnya
2. Keluarga dan klien menjelaskan tentang cara penularan TB paru.
3. Menyebutkan upaya untuk mencegah terjadinya penularan.
4. Klien dan keluarga menunjukkan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman (Mubarak, 2009).