BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecacingan
2.1.1. Definisi Kecacingan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) dengan memberi imbuhan ke
dan akhiran an terhadap suatu kata benda maka terhadap kata tersebut mengandung
arti menderita atau mengalami kejadian, dengan demikian kata kecacingan berarti
seseorang yang mengalami kecacingan. Sedangkan Menurut Dinkes Jawa Timur
(2003) Kecacingan ialah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit (berupa
cacing) ke dalam tubuh manusia (Ginting, 2008).
Kecacingan adalah kumpulan gejala gangguan kesehatan sebagai akibat
adanya cacing parasit di dalam tubuh. Penyebab cacingan yang populer yaitu : cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Oxyuriasis vermicularis), cacing
tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) dan cacing tambang
(Trichuris trichiura)( FK-UI 2010).
2.1.2. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan.
Secara epidemiologik, ada beberapa faktor yang memengaruhi kejadian
kecacingan atau disebut dengan segitiga epidemiologi, yaitu faktor host, agent dan
environment. Segitiga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam
menjelasakan konsep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah satunya
adalah terjainya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam memprediksi suatu
Universitas Sumatera Utara
penyakit. Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari keseimbangan dan
interaksi ke tiganya.
Segitiga epidemiologi cacingan sendiri sebagai berikut.
a. Host
Host atau penjamu ialah keadaan manusia yang sedemikan rupa sehingga
menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Manusia merupakan
satu-satunya host bagi E. vermicularis. Manusia terinfeksi bila menelan telur
infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi dewasa
dalam caecum, termasuk appendix (Mandell et al,1990).
b. Agent
Agent merupakan penyebab penyakit, dapat berupa makhluk hidup maupun
tidak hidup. Agent penyakit cacingan ini tentu saja adalah cacing.
c. Environment
Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya
penyakit cacingan. Hal ini karena faktor ini datangnya dari luar atau biasa
disebut dengan faktor ekstrinsik.
Menurut Soedarto,(1991) ada beberapa faktor yang memengaruhi kejadian
kecacingan yaitu, faktor sanitasi lingkungan dan faktor manusia dijelaskan sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Faktor Sanitasi Lingkungan
Mawardi (1990) dalam Riyadi (1994) menyatakan bahwa lingkungan adalah
sesuatu yang berada disekitar manusia secara lebih teperinci dapat dikatagorikan
dalam beberapa kelompok :
1. Lingkungan Fisik, yang termasuk dalam kelompok ini adalah tanah dan udara
serta interaksi satu sama lainnya diantara faktor-faktor tersebut.
2. Lingkungan biologis, yang termasuk dalam hal ini adalah semua organisme
hidup baik binatang, tumbuhan maupun mikroorganisme kecuali manusia
sendiri.
3. Lingkungan sosial yaitu termasuk semua interaksi antara manusia dari mahluk
sesamanya yang meliputi faktor sosial, ekonomi, kebudayaan dan psikososial.
Berdasarkan kategori diatas diartikan pula bahwa lingkungan adalah
kumpulan dari semua kondisi atau kekuatan dari luar yang memengaruhi kehidupan
dan perkembangan dari suatu organisme hidup (manusia).
Kesehatan lingkungan merupakan salah satu disiplin ilmu kesehatan
masyarakat dan merupakan perluasan dari prinsip-prinsip higiene dan sanitasi.
Kesehatan lingkungan adalah hubungan timbal balik antara manusia dan
lingkungannya yang berakibat atau memengaruhi derajat kesehatannya, WHO
mendefinisikan bahwa kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi
yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat
dari manusia, keadaan sehat mencakup manusia seutuhnya dan tidak hanya sehat fisik
Universitas Sumatera Utara
saja tetapi juga sehat mental dan hubungan sosial yang optimal di dalam
lingkungannya (Mawardi, 1992).
Dalam penanggulangan kecacingan, pengawasan sanitasi air dan makanan
sangat penting, karena penularan cacing terjadi melalui air dan makanan yang
terkontaminasi oleh telur dan larva cacing (Riyadi, 1994).
Paragdima Blum tentang kesehatan dari lima faktor dimana lingkungan
mempunyai pengaruh dominan. Faktor lingkungan yang memengaruhi status
kesehatan seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan sosial,
lingkungan rekreasi, lingkungan kerja.
1. Lingkungan Rumah
Darmayanti (2000), dalam Hidayat (2002) menunjukan adanya hubungan
yang erat antara faktor lingkungan tempat tinggal dengan prevalensi cacing pada anak
sekolah dasar. Tinggi angka prevalensi A.lumbricoides pada anak sekolah dasar di
desa dibandingkan dengan di kota menunjukan adanya perbedaan higiene dan sanitasi
lingkungan. Penelitian tersebut juga menggambarkan bahwa adanya infeksi ganda
A.lumbricoides di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hal ini menunjukan bahwa
lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di
desa.
2. Lingkungan Sekolah
Di samping lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan sekolah secara
tidak langsung mempunyai sumbangan terhadap terjadinya penularan penyakit infeksi
cacingan. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain baik
Universitas Sumatera Utara
dirumah maupun di sekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensial untuk
terjangkit penyakit infeksi kecacingan (Poespoprodjo dan Sadjimin, 2002).
b. Faktor Manusia
1. Higiene Perorangan
Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit
karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan
sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Azwar, 1993).
Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Higiene perorangan) adalah upaya
dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri
meliputi:
a. Memelihara kebersihan
b. Makanan yang sehat
c. Cara hidup yang teratur
d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani
e. Menghindari terjadinya penyakit
f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah
g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat
h. Pemeriksaan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah
dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan
masal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan
kesehatan (Soedarto, 1991).
Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain meminum air yang
sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali
sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum
memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau
penjepit dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang.
Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan
kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat
melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme
diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui
tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan
tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan
memakai sabun sebelum makan.
Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya
apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi
lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci
tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Perilaku
Notoatmodjo (2003) menyatakan perilaku manusia dapat dilihat dari 3 (tiga)
aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan sosial yang secara rinci merupakan refleksi dari
gejolak kejiwaan seperti : pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagian yang
ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik
dan sosial budaya masyarakat.
Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur perilaku dimana
salah satu adalah pengetahuan, dengan cara memperoleh data atau informasi tentang
indikator-indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan tingkat
pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara
(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta
lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan
lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor
yang menyangkut segi-segi higiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya.
Menurut Azwar (1993) perilaku sehat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti :
a) Latar belakang seseorang yang meliputi norma-norma yang ada, kebiasaan,
nilai budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku dimasyarakat.
b) Kepercayaan meliputi manfaat yang didapat, hambatan yang ada, kerugian
dan kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit.
Universitas Sumatera Utara
c) Sarana merupakan tersedia atau tidaknya fasilitas yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi kecacingan
adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi kecacingan. Wachidanijah (2002)
menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan seseorang
semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku
masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai
alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa
Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi
disekitar rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap
ternyata menyebabkan tinggi infeksi oleh ”Soil-Transmited Helminths” pada
masyarakat.
Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku L.Green (1991) mengidentifikasi
tiga faktor yang memengaruhi perilaku individu atau kelompok, mencakup
organization actions dalam hubungan dengan lingkungan, dimana masing-masing
mempunyai tipe yang berbeda dalam memengaruhi perilaku, yaitu faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat
(reinforcing factor).
A. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)
Faktor Predisposisi adalah faktor-faktor yang mendahului perilaku, dimana
faktor tersebut memberikan alasan atau motivasi untuk terjadinya suatu perilaku.
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan, sistem nilai
Universitas Sumatera Utara
yang dianut, kepercayaan pada diri sendiri, dan persepsi terhadap kebutuhan dan
kemampuan yang berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk
berperilaku. Faktor predisposisi mencakup dimensi kognitif dan efektif dari knowing,
feeling, believing, valuing dan having self confidence atau self efficacy. Faktor-faktor
yang berkaitan dengan variasi demografi, seperti status sosial ekonomi, umur, jenis
kelamin, dan jumlah keluarga juga termasuk faktor predisposisi. Faktor ini digunakan
untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan
berbeda dalam kondisi sehat dan sakit.
Untuk berperilaku sehat, misalnya dalam upaya pemberantasan penyakit
kecacingan dilakukan pemeriksaan tinja, diperlukan pengetahuan dan kesadaran
individu dan keluarga tentang manfaat pemeriksaan tinja, baik untuk kesehatan anak
maupun anggota keluarga. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan
sistem nilai masyarakata juga dapat mendorong atau menghambat individu untuk
melakukan inovasi yang ditawarkan. Misalnya, pemikiran orang-orang di sekitar yang
mengatakan “tinja tidak perlu di periksa-periksa, mengkonsumsi obat cacing tidak
merupakan kebutuhan”.
B. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)
Faktor Pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang
memfasilitasi terjadinya sebuah perilaku. Faktor pemungkin digambarkan sebagai
faktor-faktor yang memungkinkan (membuat lebih mudah) individu untuk merubah
perilaku atau lingkungan mereka. Faktor pemungkin meliputi ketersediaan,
keterjangkauan, dan kemampuan, fasilitas pelayanan kesehatan serta sumber daya
Universitas Sumatera Utara
yang tersedia di masyarakat, kondisi kehidupan, dukungan sosial, dan keterampilan-
keterampilan yang memudahkan untuk terjadinya suatu perilaku.
Untuk berperilaku sehat, anak SD memerlukan sarana dan prasarana
pendukung, misalnya untuk meyakinkan kelompok sasaran (anak SD) agar mau di
periksa tinjanya guna pencegahan dan pengobatan penyakit kecacingan tidak cukup
dengan kelompok sasaran tersebut tahu dan sadar manfaat dari pemeriksaan tinja saja,
melainkan kelompok sasaran tersebut harus dengan mudah menjangkau sarana dan
prasarana yang mendukung upaya pencegahan infeksi cacing, misalnya tersedianya
jamban sehat, obat cacing, air bersih, sandal dan hal lain yang mendukung perilaku
hidup sehat.
C. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
Faktor penguat adalah konsekuensi dari perilaku yang ditentukan apakah
pelaku menerima umpan balik positif (atau negatif) dan mendapatkan dukungan
sosial setelah perilaku dilakukan. Faktor penguat mencakup dukungan sosial,
pengaruh sebaya, serta advise dan umpan balik dari tenaga kesehatan. Faktor penguat
juga mencakup akibat secara fisik dari perilaku yang dilakukan seperti perasaan
bugar, tidak mengantuk di bangku sekolah dan nafsu makan meningkat setelah
minum obat cacing. Keuntungan sosial (seperti penghargaan), keuntungan fisik
(seperti kenyamanan, kebugaran, bebas dari gatal-gatal di dubur), keuntungan
ekonomi (tidak mengeluarkan biaya bila terjadi diare) dan imagine atau vicarious
(seperti peningkatan penampilan dan harga diri), semuanya akan memperkuat
perilaku.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmited Helminths)
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur
A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku
yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin, 1994).
Agustina (2000) mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku
yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di
Kecamatan Paseh Jawa Barat.
Selain melalui tangan, transmisi telur cacing ini dapat juga melalui makanan
dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat.
Telur cacing yang ada di tanah atau debu akan sampai pada makanan tersebut, jika
diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat (media perantara) yang
sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa
telur cacing tersebut (Helmy, 2000).
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses
membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut
diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk
harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa disinfektan (Brown, 1979).
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran
10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga
usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri
dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai,
Universitas Sumatera Utara
telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3
minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus
halus.
2. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah
langsung, tidak diperlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio
tertelan manusia, larva yang menjadi aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus
besar dan menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di
usus besar hospes. Telur yang infektif bila tertelan manusia menetes menjadi larva di
usus halus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran
limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru
(Onggowaluyo, 2002).
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi
karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini
erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan
umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya
tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia,
diare, sakit perut, mual dan berat badan turun (Onggowaluyo, 2002).
Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali
kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di
Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90 %.
Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak–anak. Faktor terpenting dalam
Universitas Sumatera Utara
penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur.
Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo, 2002).
Di Daerah endemik, laju infeksi dapat dicegah dengan pengobatan, pembuatan
MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan, pendidikan
tentang higienis dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002).
3. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, Cacing melekat pada
mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada
manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariorm yang ada di tanah.
Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina
mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa
berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur
hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah
1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam
waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus
kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva
ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh
darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan
dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva
filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Gandahusada dkk,
2004).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun
sangat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat
akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura
menimbulkan morbiditas yang tinggi (Soedarto, 1999).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi
manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi
ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori
yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat
dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi
vitamin A (Hidayat, 2002).
Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya
berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5
juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena
infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing
(Gandahusada dkk, 2004).
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing
tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu
menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan
Universitas Sumatera Utara
kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat
(Gandahusada dkk, 2004).
2.1.5. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan infeksi
kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan
terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan
VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena pada
periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup
anak (Dirjen P2M & PL, 1998).
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah
dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan
masal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan
kesehatan (Soedarto, 1991).
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegah dari penyakit kecacingan adalah
sebagai berikut (Nadesul, 1997).
1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan
sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.
2. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
3. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap
jempol.
4. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.
Universitas Sumatera Utara
5. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan
buang kotoran di jamban.
6. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban
7. Biasakan tidak jajan makanan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang
tangan.
8. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke
puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.
9. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas.
10. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya
kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.
11. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang
mentah atau setengah matang.
12. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.
13. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap
penyakit kecacingan
14. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang
mengalir.
Menurut Sasongko (2007) kunci pemberantasan cacingan adalah
memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan
dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau
mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di
sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan
Universitas Sumatera Utara
sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan
cacingan bisa diputus. Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan
harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak berarti
masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan adalah kerja
gotong royong yang butuh waktu bertahun-tahun. Negara maju seperti Jepang pun
pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu saat
Perang Dunia II, Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin, mereka
menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya, penularan cacing
menjadi tak terkendali, sampai menyerang 80% penduduk. Butuh waktu 10 tahun
untuk menurunkan angka kecacingan hingga di bawah 10%. Pada kasus cacingan
ringan sampai sedang, gejalanya sulit dikenali. Untuk memastikan, anak-anak harus
diperiksa tinjanya dengan mikroskop. Jika terbukti mengandung telur cacing, ia harus
segera diobati.
2.2. Sosio Budaya
Sosio-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan
dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku
manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah-laku kelompok. Tingkah-laku
yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja,
tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini
tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari
proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau
belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada
disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan.
Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun
kelompok yang sangat besar.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi
ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor (1871) dalam Tumanggor, dkk,
(2010), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus di dapat dengan belajar, yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada
masyarakat tanpa kebudayaan.
Menurut Tumanggor, dkk (2010) sosio budaya adalah konsep, keyakinan,
nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam
upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Konsep Kebudayaan
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan
Antropologi. Ralph Linton mendefinisi Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan
dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang
dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai
aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan
sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat
atau kelompok penduduk tertentu.
1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar
Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar.
kebudayaan tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal
ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh
kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya digerakan oleh insting.
Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut
digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam
kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan
makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan.
Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara
memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi
kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan manusia
melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara
makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya,
tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang
sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang
alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu
makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat
khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia
mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau
lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya.
Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut-semut yang
dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka
mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat
sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah
diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini
diwarisi secara genetis.
1. Kebudayaan Milik Bersama
Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang
individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi
membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para
warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang
sama yang didapat melalui proses belajar.
Universitas Sumatera Utara
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-
nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh
para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam
Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang
memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.
2. Kebudayaan sebagai Pola
Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-
pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya
pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat
hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban
yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering
disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang
dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama
sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi
dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa
yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola
yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena
pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh
masyarakat. Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh
para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu
pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah
dituntut oleh kebudayaan itu.
Universitas Sumatera Utara
Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia
ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu
pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak
langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal
yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau
bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada
sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang
dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada,
akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-
tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan
aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan tidak berarti menghilangkan kepribadian
seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan
tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang berjalan
dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut
menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang
mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat
mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas.
Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat
pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya.
Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena
Universitas Sumatera Utara
kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu,
kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang
meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya
merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang
baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan
pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan sistim
nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka anggap
bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah
serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
3. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif
Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan
melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan
fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-
geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam
hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada
kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat
tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya,
orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat
tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut mencapai
usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah
dimengerti, tetapi bagi masyarakat pendukung kebudayaan yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri
pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal
tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi
memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut.
Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu
pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami
lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-pantangan
tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan
oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan
dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu
melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial
suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang
tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air
dan sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih
tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan
sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan
tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat tekanan-tekanan sosial dari
kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga
mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka
adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara
penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian
Universitas Sumatera Utara
tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan
memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa
masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan
bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan
argumen. Alasan–alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu
penelitian untuk menjelaskannya. Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu
tidak harus selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab
walaupun pada umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai
jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal
itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malahan ada masyarakat
yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka
malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah
karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk
penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi
kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang
dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar
kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau
penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan,
norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu
hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan
sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil
belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-
Universitas Sumatera Utara
ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat
mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut.
Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini
tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini
juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap
masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai elemen dalam masyarakat,
perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda, terpelajar dan yang kolot dan
banyak lagi lainnya.
2.2.2. Subtansi Utama Budaya
Substansi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide
dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa
kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk atau sistem pengetahuan, nilai,
pandangan hidup, kepercayaan, persepsi dan etos kebudayaan.
a. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai mahluk sosial merupakan
suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami lingkungan.
Untuk memperoleh pengetahuan manusia melakukan tiga cara, yaitu:
1. Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahuan melalui
pengalaman langsung ini akan membentuk kerangka pikir individu untuk
bersikap dan bertindak sesuai dengan aturan yang dijadikan pedomannya.
Universitas Sumatera Utara
2. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan formal atau
resmi (di sekolah) maupun dari pendidikan non-formal (tidak resmi), seperti
kursus, penataran dan ceramah.
3. Melalui petunjuk-petunjuk yang bersifat simbolis yang sering disebut sebagai
komunikasi simbolik.
b. Nilai
Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan
dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu,
sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran),
indah (nilai estetika), baik (nilai-moral atau etis), religius (nilai agama).
C. Kluchohn mengemukakan, bahwa yang menentukan orientasi nilai budaya
manusia di dunia adalah lima dasar yang bersifat universal, yaitu:
1. Hakikat hidup manusia
2. Hakikat karya manusia
3. Hakikat waktu manusia
4. Hakikat alam manusia
5. Hakikat hubungan antar manusia
c. Pandangan Hidup
Pandangan hidup merupakan pedoman bagi suatu bangsa atau masyarakat
dalam menjawab atau mengatasi masalah yang dihadapi. Di dalamnya terkandung
konsep nilai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu masyarakat. Oleh sebab itu,
Universitas Sumatera Utara
pandangan hidup merupakan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dengan
dipilih secara selektif oleh individu, kelompok, atau bangsa.
d. Kepercayaan
Kepercayaan mengandung arti yang lebih luas daripada agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya, manusia yang memiliki
naluri menghambakan diri kepada yang mahatinggi, yaitu dimensi lain di luar diri dan
lingkungannya, yang dianggap mampu mengendalikan hidup manusia. Dorongan ini
sebagai akibat atau refleksi ketidakmampuan manusia dalam menghadapi tantangan-
tantangan hidup, dan hanya yang mahatinggi saja yang mampu memberikan kekuatan
dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup dan kehidupan.
e. Persepsi
Persepsi atau sudut pandang ialah suatu titik tolak pemikiran yang tersusun
dari seperangkat kata-kata yang digunakan untuk memahami kejadian atau gejala
dalam kehidupan.
f. Etos Kebudayaan
Etos sering tampak pada gaya perilaku warga atau masyarakat misalnya,
kegemaran-kegemaran warga masyarakat, serta berbagai benda budaya hasil karya
mereka, dilihat dari luar oleh orang asing.
2.2.3. Sifat-Sifat Budaya
Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama,
seperti di indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa berbeda, tetapi
setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan
Universitas Sumatera Utara
diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal, dimana sifat-sifat budaya itu
akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa
membedakan faktor ras, lingkungan atau pendidikan, yaitu sifat hakiki yang berlaku
umum bagi semua budaya di mana pun.
Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:
1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan
tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya
4. Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang,
dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
2.2.4. Sistem Budaya
Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayan yang bersifat abstrak
dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan dengan sistem
kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indoneisa lazim
disebut sebagai adat istiadat. Dalam adat istiadat terdapat juga sistem norma dan
disitulah salah satu fungsi sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan-
tindakan dan tingkah laku manusia.
Dalam sistem budaya terbentuk unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama
lainnya. Sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud dalam unsur
kebudayaan sebagai satu kesatuan.
Universitas Sumatera Utara
Sistem kebudayaan suatu daerah akan menghasilkan jenis-jenis kebudayaan
yang berbeda. Jenis kebudayaan ini dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kebudayaan material antara lain hasil cipta, karsa, yang berwujud benda,
barang alat pengolahan alam, jalan rumah dan sebagainya.
2. Kebudayaan non-material, merupakan hasil cipta, karsa, yang berwujud
kebiasaan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagaianya. Non-material
antaralain: volkways (norma kelaziman) , mores (norma kesusilaan), norma
hukum dan mode (fashion).
Kebudayaan dapat dilihat dari dimensi wujudnya adalah:
1. Sistem budaya, kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan
sebagainya.
2. Sistem sosial, merupakan kompleks dari aktivitas serta berpola dari manusia
dalam organisasi dan masyarakat.
3. Sistem kebendaan, wujud kebudayaan fisik atau alat-alat yang diciptakan
manusia untuk kemudahan hidupnya (Setiadi, dkk, 2009).
2.2.5. Sosio Budaya (Antropologi) Kesehatan dan Ekologi
1. Konsep-konsep Penting dalam Antropologi Kesehatan dan Ekologi
A. Sistem adalah Agregasi atau pengelompokan objek-objek yang dipersatukan
oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling tergantung, sekelompok
unit yang berbeda, yang dikombinasikan sedemikian rupa oleh alam atau oleh
seni sehingga membentuk suatu keseluruhan yang integral dan berfungsi,
beroperasi atau bergerak dalam satu kesatuan.
Universitas Sumatera Utara
B. Sistem Sosial-Budaya atau Kebudayaan adalah keseluruhan yang integral
dalam interaksi antar manusia.
C. Ekosistem adalah suatu interaksi antar kelompok tanaman dan satwa dengan
lingkungan nonhidup mereka (Hardesty 1977)
2. Hubungan Antropologi Kesehatan dengan Ekologi
Hubungan manusia dengan lingkungan, dengan tingkahlakunya, dengan
penyakitnya dan cara-cara dimana tingkahlakunya dan penyakitnya mempengaruhi
evolusi dan kebudayaannya selalu melalui proses umpanbalik. Pendekatan ekologis
merupakan dasar bagi studi tentang masalah-masalah epidemiologi, cara-cara dimana
tingkahlaku individu dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya
penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh pada
penyakit malaria ditemukan pada daerah beriklim tropis dan subtropis sedangkan
pada daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, juga pada daerah diatas
1700 meter diatas permukaan laut malaria tidak bias berkembang. Contoh lain,
semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda dengan bangsa yang
baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti malaria, demam berdarah, TBC,
dll pada umumnya terdapat pada negara-negara berkembang.
2.2.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya
1. Faktor sosial ekonomi: meliputi pekerjaan, pendapatan dan kondisi
perumahan. Kondisi sosial ekonomi yang rendah lebih memungkinkan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya penularan penyakit yang cepat, ini disebabkan nutrisi yang buruk
dan tempat tinggal yang kumuh dan padat.
2. Faktor pendidikan: Rendahnya pendidikan dan pengetahuan berpengaruh pada
tingkat kesadaran dan kesehatan, pencegahan penyakit.
3. Perilaku hidup tidak sehat seperti buang air besar di saluran terbuka atau
tanah, makan tanpa mencuci tangan, mandi dikali, perokok dan sebagainya.
4. Sanitasi lingkungan yang jelek: Lingkungan yang padat kumuh, rumah tanpa
ventilasi yang baik.
5. Status gizi yang baik: Malnutrisi mempercepat resiko terkena penyakit,
tingkat sosial ekonomi berpengaruh pada status gizi sesorang.
6. Faktor perilaku yang bersifat budaya: Tradisi yang ada dimasyarakat seperti
pandangan budaya mengenai kesakitan, kematian di tiap-tiap daerah berbeda
sesuai kepercayaan dan adat istiadat yang berlaku (Syafrudin, 2009).
2.3. Dukungan Keluarga
Menurut Sarwono dalam Yusuf (2007), dukungan adalah suatu upaya yang
diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang
tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Sistem dukungan untuk mempromosikan
perubahan perilaku ada 3, yaitu : (1) dukungan material adalah menyediakan fasilitas
latihan, (2) dukungan informasi adalah memberikan contoh nyata keberhasilan
seseorang dalam melakukan diet dan latihan, dan (3) dukungan emosional atau
semangat adalah memberi pujian atas keberhasilan proses latihan.
Universitas Sumatera Utara
Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan, bahwa keluarga
adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan
atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama
lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu
budaya. Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang
di rekat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama (Sugarda,
2001).
Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang
bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan.
Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga
antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling
menerima dan mendukung. Menurut Friedman (2003) dukungan keluarga merupakan
bagian integral dari dukungan sosial. Dampak positif dari dukungan keluarga adalah
meningkatkan penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam
kehidupan.
Studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial
sebagai koping keluarga. Menurut Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino serta
(1998) serta Taylor (1999), Keluarga memiliki beberapa dukungan, yaitu : (1)
Universitas Sumatera Utara
dukungan instrumental (tangible assisstence), (2) dukungan informasional, (3)
dukungan emosional, (4) dukungan harga diri.
2.3.1. Bentuk Dukungan Keluarga
1. Dukungan Instrumental (Tangible Assisstence)
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan
pertolongan langsung, seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan dan
pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat
langsung memecahkan masalah yang berhubungan dengan materi. Dukungan
instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah yang di anggap
dapat diatasi.
2. Dukungan Informasional
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran dan umpan balik
tentang situasi dan keadaan individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong
individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.
3. Dukungan Emosional
Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin
diperlukan untuk dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat
menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam
menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat diatasi.
4. Dukungan Harga Diri
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan tinggi pada individu, pemberian
semangat, persetujuan dengan pendapat individu, perbandingan yang positif dengan
Universitas Sumatera Utara
individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri
dan kompetensi.
Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa tidak
menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau
mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap persoalan yang
dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.
Efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi
bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti
berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi
kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Di samping itu, pengaruh positif dari dukungan
sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang
penuh dangan stress (Setiadi, 2008).
2.3.2. Fungsi Keluarga
Menurut Effendy (1998), ada tiga fungsi keluarga terhadap anggota keluarga
yaitu :
1. Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan
kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan
berkembang sesuai usia kebutuhan mereka.
2. Asuh adalah memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar
kesehatannya selalu terpelihara sehingga diharapkan menjadikan mereka
anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial maupun spiritual.
Universitas Sumatera Utara
3. Asah adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap menjadi
manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depan.
Menurut Friedman (1998) setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar
fisik, pribadi dan sosial. Keluarga juga berfungsi sebagai perantara bagi tuntutan-
tuntutan dan harapan-harapan dari semua individu yang ada dalam unit tersebut.
Keluarga juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Bagi anak-
anak keluarga memberikan perawatan fisik dan perhatian emosional, dan seiring
dengan itu, keluarga juga mengarahkan perkembangan kepribadian.
Friedman (1981), dalam Effendi, (1998) membagi lima tugas kesehatan
keluarga yang harus dilakukan oleh keluarga yaitu (1) Mengenal gangguan
perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga,(2) Mengambil keputusan untuk
melakukan tindakan yang tepat, (3) Memberikan keperawatan kepada anggota
keluarganya yang sakit, (4) Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan
kesehatan perkembangan kepribadian anggota keluarga dan (5) Mempertahankan
hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga–lembaga kesehatan, yang
menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas kesehatan yang ada.
2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Feiring dan Lewis (1984) dalam Friedman (1998), terdapat bukti
kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil
secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-
anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian dari pada
Universitas Sumatera Utara
anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua
(khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.
Menurut Friedman (1998), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak
bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris
dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua.
Faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas
sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan
atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah,
suatu hubungan lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga
kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua
dengan kelas sosial menengah mempunya tingkat dukungan, efeksi dan keterlibatan
yang lebih tinggi dari pada orang tua dengan kelas sosial bawah.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Landasan Teori
Modifikasi konsep teori Lawrence Green (1991) dan Caplan (1964, dalam
mendiagnosis perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:
,
Gambar 2.1. Hubungan Status Kesehatan dan Perilaku
Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Pengetahuan Sikap Adat istiadat Kepercayaan Sistem nilai
yang dianut
Faktor Penguat (Reinforcing Factor) Dukungan
keluarga
Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Ketersediaan
sarana dan prasarana
Perilaku Kesehatan
Status Kesehatan
Dukungan Keluarga - Dukungan Informasional - Dukungan Penilaian - Dukungan Instrumental - Dukungan Emosional
Theory Caplan (1964)
Universitas Sumatera Utara
Dari kerangka teori di atas dapat dijelas bahwa perilaku kesehatan dalam
upaya pencegahan penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut teori
Lawrence Green (1991), perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1)
faktor predisposisi (predisposing factor), (2) faktor pemungkin (enabling factor)dan
(3) faktor penguat (reinforcing factor). Pada penelitian ini faktor yang akan
digunakan adalah faktor predisposisi (predisposing factor ) dan faktor penguat
(reinforcing factor).
Faktor predisposisi (predisposing factor) yang mencakup pengetahuan, adat
istiadat dan kepercayaan, kemudian faktor penguat (reinforcing faktor) yaitu
dukungan yang bersumber dari keluarga. Menurut Caplan (1964) dukungan keluarga
terdiri dari:
a. Dukungan informasional
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar)
informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi
yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini
adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan
dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam
dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dukungan penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan
menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota
keluarga di antaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.
Universitas Sumatera Utara
c. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, di
antaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat,
terhindarnya penderita dari kelelahan.
d. Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan
serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional
meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan,
perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan pada landasan teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan
kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Sosio Budaya - Adat istiadat - Pengetahuan - Kepercayaan
Pencegahan Infeksi Kecacingan
Dukungan Keluarga - Dukungan Informasional - Dukungan Penilaian - Dukungan Instrumental - Dukungan Emosional
Universitas Sumatera Utara
Kerangka konsep menggambarkan bahwa variabel independen yaitu sosio
budaya (adat istiadat, pengetahuan, kepercayaan) dan dukungan keluarga (dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan emosional).
Variabel dependen adalah pencegahan infeksi kecacingan.
Universitas Sumatera Utara