Download - Bab 3 Hubungan Internasional
BAB III
HUBUNGAN INTERNASIONAL
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan dunia yang sudah melintasi batas-batas wilayah teritorial
negara lain sangat membutuhkan alasan yang jelas dan tegas agar tercipta suasana
kerukunan dan kerja sama yang saling menguntungkan. Kerja sama dalam bentuk
hubungan antarbangsa atau hubungan internasional sangat memerlukan aturan-aturan
hukum yang bersifat internasional. Bangsa- bangsa di dunia sudah lama melakukan
hubungan kerja sama dengan bangsa lain, ketentuan atas hubungan yang dapat
mengikat dua atau beberapa pihak telah dibuat dalam bentuk aturan yang harus ditaati
oleh semua pihak yang mengadakan hubungan dan kerja sama internasional.
Ketentuan ini disebut “Pack sunt servanda”. Perjanjian internasional menjadi hukum
terpenting bagi kerja sama internasional karena perjanjian internasional akan
mengakibatkan hukum yang juga sekaligus akan menjalin kepastian hukum. Pada
perjanjian internasional juga di atas hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban
antara subjek-subjek hukum internasional. Menurut Pasal 38 Ayat (1) tentang Status
Mahkamah Internasional, menyatakan bahwa “Perjanjian internasional merupakan
sumber utama dari sumber hukum yang lainnya”. Hal ini dapat dibuktikan dalam
setiap kerja sama internasional dewasa ini yang sering berpedoman pada perjanjian
internasional antara para subjek hukum internasional yang mempunyai kepentingan
yang sama, misalnya Deklarasi Bangkok 1968 yang melahirkan organisasi ASEAN
dengan tujuan kerja sama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk itu negara-
negara sepakat menolak kehadiran militer asing yang tidak ada kepentingan dengan
ASEAN. Kedaulatan perjanjian internasional sebagai suatu usaha mempererat kerja
sama internasional sangat penting. Hal itu disebabkan sebagai berikut :
1. Kerja sama kepastian hukum sebab perjanjian internasional diadakan secara
tertulis
2. Mengatur masalah-masalah kepentingan bersama dari kerja sama antarnegara.
B. KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI
1. Dasar Pertimbangan
Pada tahun-tahun pertama berdirinya negara Republik Indonesia, kita dihadapkan
pada kenyataan sejarah, yaitu munculnya dua kekuatan besar di dunia. Satu pihak
Barat (Amerika) dengan ideologi liberal dan di pihak lain blok Timur (Uni Soviet)
dengan ideologi komunis. Kenyataan demikian sangat berpengaruh terhadap usaha-
usaha bangsa Indonesia untuk konsolidasi demi kelangsungan hidup negara. Pengaruh
lain adalah adanya ancaman dari Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa
Indonesia. Kondisi itulah membuat bangsa Indonesia bertekad untuk merumuskan
politik luar negerinya.
Pada tanggal 2 September 1948, pemerintah segera mengumumkan pendirian
politik luar negeri Indonesia di hadapan badan pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat yang antara lain berbunyi : “.... tetapi mestikah kita, bangsa Indonesia yang
memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita hanya harus memilih antara
pro-Rusia atau pro-Amerika? Apakah tak ada pendirian lain yang harus kita ambil
dalam mengejar cita-cita kita”.
Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil adalah pendirian
untuk menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, tetapi harus tetap
menjadi subjek yang berhak menentukan sikap sendiri dan memperjuangkan tujuan
sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya. Perjuangan kita harus dilaksanakan di
atas semboyan kita yang lama, yaitu percaya akan diri sendiri dan berjuang atas
kesanggupan kita sendiri. Dengan semboyan ini kita menjalin hubungan dengan
negara-negara lain di dunia. Keterangan inilah yang kemudian menjadi dasar
pertimbangan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Sudah seharusnya
kita tetap mempertahankan politik luar negeri bebas aktif itu agar kita tidak hanyut
dalam arus pertentangan negara-negara besar.
2. Landasan
Landasan bagi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Landasan idill Pancasila
b. Landasan kontitusional/ struktur UUD 1945
c. Landasan operasional, yaitu :
1) Ketetapan MPR tentang GBHN
2) Kebijakan Presiden (Keppres)
3) Kebijakan Menlu, antara lain peraturan Menlu.
3. Tujuan
Politik luar negeri Indonesia antara lain bertujuan seperti berikut :
a. Pembentukan satu negara Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan negara
kebangsaan yang demokrasi dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai
Merauke.
b. Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual dalam
wadah negara kesatuan Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama
sekali dengan negara-negara Afrika dan Asia atas dasar bekerja sama membentuk
satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju kepada
perdamaian dunia yang sempurna.
Mengenai tujuan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif
Drs.Mohammad Hatta dalam bukunya dasar politik luar negeri Republik Indonesia
merumuskan sebagai berikut :
a. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara.
b. Memperoleh barang-barang yang diperlukan dari luar untuk memperbesar
kemakmuran rakyat apabila barang-barang itu tidak atau belum dapat dihasilkan
sendiri.
c. Meningkatkan perdamaian internasional karena hanya dalam keadaan damai,
Indonesia dapat membangun dan memperoleh syarat-syarat yang diperlukan untuk
memperbesar kemakmuran rakyat.
d. Meningkatkan persaudaraan segala bangsa sebagai pelaksanaan cita-cita yang
tersimpul di dalam Pancasila, dasar dan filsafat negara kita.
4. Pedoman Perjuangan
Pedoman perjuangan politik luar negeri yang bebas aktif berdasarkan pada faktor-
faktor berikut:
a. Dasa – Sila Bandung yang mencerminkan solidaritas negara-negara Asia sendiri
dengan kerja sama regional.
b. Pemulihan kembali kepercayaan negara-negara bangsa-bangsa lain terhadap
maksud dan tujuan revolusi Indonesia dengan cara memperbanyak kawan
daripada lawan, menjauhkan kontradiksi dengan mencari keserasian yang sesuai
dengan falsafah Pancasila.
c. Pelaksanaan dilakukan dengan keluwesan dalam pendekatan dan penanggapan
sehingga pengaruhnya harus dilakukan untuk kepentingan nasional terutama
kepentingan ekonomi rakyat.
5. Prinsip-Prinsip Pokok
Berdasarkan yang telah disampaikan pemerintah pada tanggal 2 September 1948
di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, dapat ditemukan pokok-
pokok yang menjadi dasar politik luar negeri Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a. Negara Indonesia menjalankan politik damai.
b. Negara Indonesia bersahabat dengan segala bangsa atas dasar saling menghargai
dengan tidak mencampuri soal susunan dan corak pemerintahan negeri masing-
masing.
c. Negara Indonesia memperkuat sendi-sendi hukum internasional dan organisasi
internasional untuk menjamin perdamaian yang kekal.
d. Negara Indonesia berusaha mempermudah jalannya pertukaran pembayaran
internasional.
e. Negara Indonesia membantu pelaksanaan sosial internasional dengan berpedoman
pada Piagam PBB.
f. Negara Indonesia dalam lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
berusaha menyokong perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa yang masih dijajah.
Tanpa kemerdekaan, persaudaraan, dan perdamaian internasional, hal itu tidak
akan tercapai.
6. Pelaksanaan
Pemerintah Orde Baru telah berhasil menetapkan kembali kebijaksanaan politik
luar negeri kita pada tahun 1966, dengan dikeluarkannya ketetapan MPRS No.
XII/MPRS/1966. Ketetapan MPRS inilah yang menjadi pedoman pelaksanaan
pemerintah yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Ketetapan MPR (GBHN)
Tahun 1973, 1978 dan Ketetapan-ketetapan MPR selanjutnya. Pengalaman masa Orde
Lama dengan politik luar negeri yang membentuk proses Jakarta-Pyongyang-Peking,
sangat tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian yang tercermin dalam Pembukaan
UUD 1945. Dalam rangka menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan
sejahtera negara kita harus tetap melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan
aktif.
a. Bebas, artinya kita bebas menentukan sikap dan pandangan kita terhadap masalah-
masalah internasional dan terlepas dari ikatan kekuatan-kekuatan raksasa dunia
yang secara ideologis bertentangan (blok Timur dengan komunisnya dan blok
Barat dengan liberalnya).
b. Aktif, artinya kita dalam politik luar negeri senantiasa aktif memperjuangkan
terbinanya perdamaian dunia. Aktif memperjuangkan ketertiban dunia, dan aktif
ikut serta menciptakan keadilan sosial.
Perwujudan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dapat kita lihat
pada contoh berikut ini :
1) Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 yang melahirkan
semangat dan solidaritas negara-negara Asia-Afrika yang kemudian
melahirkan deklarasi Bandung.
2) Keaktifan Indonesia sebagai salah satu negara pendiri gerakan Non Blok tahun
1961 yang berusaha membantu dunia internasional untuk meredakan
ketegangan perang dingin antara blok barat dan blok timur.
3) Indonesia juga aktif dalam merintis dan mengembangkan organisasi di
kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Ikut aktif membantu penyelesaian konflik di Kamboja, perang saudara di
Bosnia, pertikaian dan konflik-konflik antara pemerintah Filipina dan bangsa
Moro, dan masih banyak lagi yang lainnya.
GBHN 1999-2004 tentang Bidang Politik (hubungan luar negeri) menegaskan
bahwa arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berorientasi pada
kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang,
mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam
segala bentuk serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama internasional
untuk kesejahteraan rakyat. Penjelasan mengenai kehendak GBHN tidak terlepas dari
faktor-faktor yang menentukan perumusan politik luar negeri yang mencakup hal-hal
berikut :
a. Posisi Geografis
Indonesia berada di posisi silang dunia dapat membawa pengaruh terhadap segala
aspek kehidupan bangsa Indonesia ideologi, politik, ekonomi, sosial, pertahanan,
dan keamanan.
b. Sejarah Perjuangan
Bangsa Indonesia yang telah dijajah oleh bangsa lain, terus berjuang untuk
memperoleh kemerdekaannya.
c. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi modal kekuatan. Sebaliknya, apabila
jumlah penduduk yang besar tersebut tidak dimanfaatkan akan mengundang
kelemahan-kelemahan dalam hubungannya dengan politik luar negeri.
d. Kekayaan Alam
Bila kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan secara efektif dan optinal, tidak
mustahil Indonesia pada suatu saat nanti dapat memainkan peranan yang besar
dalam menanggulangi krisis pangan dunia.
e. Militer
Bila militer Indonesia kuat, akan dapat menangkal ancaman yang datang, baik dari
dalam maupun dari luar.
f. Situasi Internasional
Terjadi konflik regional maupun perkembangan iptek dpat memicu timbulnya
konflik internasional.
g. Kualitas Diplomasi
Keberadaan para diplomat agar dapat menjalankan tugas secara efektif.
h. Pemerintahan yang Bersih
Untuk mendapatkan kepercayaan dan penghargaan, baik dari rakyat maupun
negara lain, sangat diperlukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
i. Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional Indonesia lebih berorientasi pada pembangunan segala
bidang. Oleh karena itu, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus mengabdi
kepada kepentingan nasional yang selaras dengan kiprah perjuangan bangsa.
C. PERJANJIAN INTERNASIONAL
1. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional
Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional disebutkan
bahwa dalam pembuatan perjanjian baik bilateral ataupun multilateral dapat dilakukan
melalui tahap-tahap :
a. Perundingan ( Negotiation)
Perundingan merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara tentang objek
tertentu. Sebelumnya belum pernah diadakan perjanjian. Oleh karena itu, diadakan
penjajakan terlebih dahulu atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak
yang berkepentingan. Dalam melaksanakan negoisasi, suatu negara dapat diwakili oleh
pejabat yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full power). Selain mereka, hal ini
juga dapat dilakukan oleh kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, atau
duta besar.
b. Penandatanganan (Signature)
Lazimnya penandatanganan dilakukan oleh para menteri luar negeri (Menlu) atau
kepala pemerintahan. Untuk perundingan yang bersifat multilateral, penandatanganan
teks perjanjian sudah dianggap sah jika dua per tiga suara peserta ynag hadir memberikan
suara, kecuali ditentukan lain. Namun, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-
masing negara, sebelum diratifikasi oleh masing-masing negaranya atau perjanjian akan
berlaku setelah ditandatangani pada tanggal waktu diumumkan atau mulai berlaku pada
tanggal yang ditentukan pada perjanjian itu sendiri.
c. Pengesahan (Ratification)
Suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjajnjian dengan syarat apabila telah
disahkan oleh badan berwenang (treaty making powers) di negaranya. Penandatanganan
atas perjanjian yang bersifat sementara dan masih harus dikuatkan dengan pengesahan
atau penguatan ini dinamakan ratifikasi.
Ratifikasi perjanjian internasional dapat dibedakan sebagai berikut :
1) Ratifikasi oleh badan eksekutif. Ini biasa digunakan oleh raja absolut dan
pemerintahan otoriter.
2) Ratifikasi oleh badan legislatif. Secara umum sistem ini jarang digunakan, tetapi
sistem ini pernah diterapkan di negara Turki tahun 1924, Elsavador tahun 1950,
Honduras tahun 1936.
3) Ratifikasi campuran (DPR dan Pemerintah) sistem ini paling banyak digunakan
karena legislatif dan eksekutif secara bersama-sama menentukan dalam proses
ratifikasi suatu perjanjian.
Dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 24 menyebutkan bahwa berlakunya sebuah
perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
1) Pada saat sesuai dengan yang ditentukan dalam naskah perjanjian tersebut.
2) Pada saat peserta perjanjian mengikat diri pada perjanjian itu bila dalam naskah tidak
disebut saat berlakunya. Persetujuan untuk mengikat diri dapat diberikan dengan
berbagai cara, tergantung pada persetujuan mereka. Misalnya, dengan
penandatanganan ratifikasi pernyataan turut serta (accession) ataupun pernyataan
menerima (acceptance) dan dapat juga dengan cara pertukaran naskah yang sudah
ditandatangani.
Berikut ini beberapa contoh perjanjian internasional yang dapat ditemukan dari
perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia.
a. Persetujuan Indonesia dengan Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (sekarang
Papua). Karena pentingnya materi yang diatur di dalam agreement tersebut maka
dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan
persetujuan DPR dalam bentuk pernyataan pendapat.
b. Persetujuan Indonesia dengan Australia mengenai garis batas wilayah antara
Indonesia dengan Papua New Guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12 Februari
1973 dalam bentuk agreement. Namun, karena pentingnya materi yang diatur dalam
agreement tersebut maka pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan
dituangkan dalam bentuk undang-undang, yaitu UU Nomor 6 Tahun 1973.
c. Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Singapura tentang
selat Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting,
namun dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan
dalam bentuk keputusan presiden.
2. Persyaratan Perjanjian Internasional
Negara yang mengajukan persyaratan, tidak mengundurkan diri dari perjanjian
(multilateral). Negara tersebut masih tetap sebagai peserta dalam perjanjian, tetapi dengan
syarat hanya terikat pada bagian-bagian tertentu yang dianggap membawa keuntungan
bagi kepentingan nasionalnya.
Unsur-unsur yang penting dalam persyaratan adalah sebagai berikut :
a. Harus dinyatakan secara formal/resmi.
b. Bermaksud untuk membatasi, meniadakan atau mengubah akibat hukum dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian itu. Mengenai persyaratan dalam
perjanjian internasional, terdapat dua teori yang cukup berkembang, yaitu sebagai
berikut :
1) Teori Kebulatan Suara (Unanimity Principle)
Persyaratan itu sah atau dapat berlaku bagi yang mengajukan persyaratan ini dan
diterima oleh seluruh peserta dari perjanjian meskipun tidak secara aklamasi.
Misalnya berdirinya Lembaga Bangsa Bangsa (LBB) atau PBB yang pada setiap
mengeluarkan resolusi atau menerima anggota baru, memerlukan kebulatan suara
dari seluruh anggota.
2) Teori Pan Amerika (Menekankan Kedaulatan Negara)
Setiap perjanjian itu mengikat negara yang mengajukan persyaratan dengan
negara yang menerima persyaratan. Hal ini dikarenakan oleh lunaknya sikap
terhadap persyaratan. Teori ini biasanya dianut oleh organisasi-organisasi negara
Amerika. Misalya dengan adanya NATO atau AFTA, setiap negara peserta diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam perjanjian yang dibentuk
tersebut.
3. Berlakunya Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional berlaku pada saat peristiwa berikut ini:
a. Mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara
perunding.
b. Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah
persetujuan diikat dan dinyatakan oleh semua negara perunding.
c. Bila persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu
berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali
bila perjanjian menentukan lain.
d. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan
persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal
berlakunya, persyaratan, fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang
timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlakunya sejak saat
disetujuinya teks perjanjian itu.
4. Pelaksanaan Perjanjian Internasional
Ketaatan terhadap perjanjian internasional dilakukan berdasarkan sebagai berikut :
a. Perjanjian yang Harus Dipatuhi (Pacta Sunt Servanda).
Prinsip ini sudah merupakan kebiasaan karena merupakan jawaban atas pertanyaan
mengapa perjanjian internasional memiliki kekuatan mengikat.
b. Kesadaran Hukum Nasional.
Suatu negara akan menyetujui ketentuan perjanjian internasional yang sesuai dengan
hukum nasionalnya.
5. Penerapan Perjanjian
a. Daya Berlaku Surut (Retroactivity)
Biasanya, suatu perjanjian dianggap mulai mengikat setelah diratifikasi oleh peserta,
kecuali bila ditentukan dalam perjanjian bahwa penerapan perjanjian sudah dimulai
sebelum diratifikasi.
b. Wilayah Penerapan (Teritorial Scope)
Suatu mengikat di wilayah negara peserta, kecuali bila ditentukan lain. Misalnya,
perjanjian itu hanya berlaku pada bagian tertentu dari wilayah suatu negara, seperti
perjanjian perbatasan.
c. Perjanjian Penyusul (Successive Treaty)
Pada dasarnya, suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perjanjian serupa
yang mendahuluinya. Namun, bila perjanjian yang mendahului tidak sesuai lagi maka
dibuatlah perjanjian pembaruan.
6. Penafsiran Ketentuan Perjanjian
Supaya perjanjian mempunyai daya guna yang baik dalam memberikan solusi atas
kasus hubungan internasional, perlu diadakan penafsiran aspek-aspek pengkajian dan
penjelasan perjanjian tersebut. Penafsiran dalam praktiknya dilakukan dengan
menggunakan tiga metode. Adapun metode-metode itu seperti berikut :
a. Metode dari aliran yang berpegang pada kehendak penyusun perjanjian dengan
memanfaatkan pekerjaan persiapan.
b. Metode dari aliran yang berpegang pada naskah perjanjian, dengan penafsiran
menurut arti yang umum dari kosa katanya.
c. Metode dari aliran yang berpegang pada objek dan tujuan perjanjian.
7. Kedudukan Negara Bukan Peserta
Negara bukan peserta pada hakikatnya tidak memiliki hak dan kewajiban untuk
mematuhinya. Akan tetapi bila perjanjian itu bersifat multilateral (PBB) atau objeknya
besar (Terusan Suez, Selat Malaka, dan lain-lain) mereka juga dapat terikat dengan
kondisi sebagai berikut :
a. Negara tersebut menyatakan diri terikat terhadap perjanjian itu.
b. Negara tersebut dikehendaki oleh para peserta.
8. Pembatalan Perjanjian Internasional
Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969, karena berbagai alasan suatu perjanjian
internasional dapat batal antara lain sebagai berikut :
a. Negara atau wakil kuasa penuh melanggar ketentuan hukum nasionalnya.
b. Adanya unsur kesalahan (error) pada saat perjanjian itu dibuat.
c. Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain
waktu pembentukan perjanjian.
d. Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption) melalui kelicikan atau
penyuapan.
e. Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta. Paksaan tersebut baik
dengan ancaman maupun penggunaan kekuatan.
f. Bertentangan dengan suatu kaidah dasar hukum internasional umum.
9. Berakhirnya Perjanjian Internasional
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H. dalam buku pengantar hukum internasional
mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir karena hal berikut :
a. Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu.
b. Masa berlakunya perjanjian internasional itu sudah habis.
c. Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu.
d. Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian itu.
e. Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang
terdahulu.
f. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu
sudah dipenuhi.
g. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima
oleh pihak lain.
D. PERWAKILAN DIPLOMATIK
Perwakilan diplomatik adalah lembaga kenegaraan di luar negeri yang bertugas dalam
membina hubungan politik dengan negara lain. Tugas dan wewenang ini dilakukan oleh
perangkat korps diplomatik, yaitu duta besar, duta kuasa usaha, dan atase-atase.
Ketentuan mengenai perwakilan diplomatik diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
pada Pasal 13, yaitu sebagai berikut :
1. Presiden mengangkat dua dan konsul.
2. Presiden menerima duta negara lain.
Kekuasaan presiden dalam mengangkat dan menerima duta negara lain ini adalah
konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai kepala negara.
1. Diplomasi
Istilah diplomatik berasal dari bahasa latin, yaitu diploma yang berarti piagam, surat
perjanjian. Dalam pertumbuhan sejarah negara-negara, arti diplomatik itu berkembang
hingga meliputi kegiatan yang sangat luas seperti kegiatan yang menyangkut hubungan
antar-negara.
Dahulu hubungan antarnegara dilakukan secara tertutup dan rahasia serta dilakukan
antarkepala negara. Akan tetapi, sejak tumbuhnya kesadaran demokrasi, timbul pula apa
yang disebut diplomasi terbuka. Dalam kegiatannya, diplomasi dilakukan dengan suatu
tata cara yang halus, mengindahkan kesopanan hubungan yang menjadi kelaziman dalam
hubungan internasional, dan dijalankan oleh dinas diplomat yang merupakan bagian dari
Dinas Luar Negeri.
Dalam praktik hubungan internasional diperlukan taktik dan prosedur tertentu untuk
mencapai tujuan nasional suatu negara. Kepentingan nasional dapat diperkenalkan kepada
bangsa lain dengan menggunakan diplomasi. Dalam arti luas, diplomasi meliputi seluruh
kegiatan politik luar negeri, yaitu sebagai berikut :
a. Menentukan tujuan dengan menggunakan semua daya dan tenaga untuk mencapai
tujuan tersebut.
b. Menyesuaikan kepentingan bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan
tenaga dan daya yang ada padanya.
c. Menentukan apakah tujuan nasional sejalan atau berbeda dengan kepentingan negara
lain.
d. Mempergunakan sarana dan kesempatan yang ada sebaik-baiknya.
Dalam melaksanakan kegiatan diplomasi, selain terampil berdiplomasi juga harus
berhati-hati. Mengapa demikian? Karena hal itu sangat penting untuk menghindari
konflik antarbangsa dan membentuk perdamaian dunia. Pada umumnya, para diplomat
menggunakan sarana diplomasi ajakan, kompromi, dan menunjukkan kekuatan (militer
dan ekonomi) dalam mencapai tujuan negara yang diwakilinya.
Ada tiga fungsi diplomat dalam mewakili negara dan bangsanya :
a. Sebagai lambang prestise nasional di luar negeri dan mewakili kepala negaranya di
negara penerima.
b. Bertindak sebagai perwakilan yuridis yang resmi dari pemerintahannya. Misalnya,
menandatangani perjanjian, mengumumkan pernyataan, dan ratifikasi dokumen.
c. Sebagai perwakilan politik, yaitu alat penghubung timbal balik antara kepentingan
negaranya dengan kepentingan negara penerima.
Melihat fungsi dan kegiatan diplomasi di atas, dewasa ini ada tiga hal yang
memberikan kemungkinan adanya pengawasan diplomasi, antara lain sebagai berikut :
a. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Pasal 102 yang mewajibkan negara-
negara anggota PBB untuk mendaftarkan persetujuan-persetujuan yang telah dicapai
oleh negara tersebut kepada Sekretariat PBB.
b. Kesempatan bagi Menteri Luar Negeri dari berbagai negara untuk dapat bertemu
dalam Sidang Umum PBB setiap tahun.
c. Pemerintah demokrasi menghendaki bahwa setiap persetujuan yang telah diadakan
antarnegara. Sebelum diresmikan, harus mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat negara masing-masing.
2. Organ dan Petugas Diplomatik
a. Jenis Perwakilan Diplomatik
Dalam praktik internasional terdapat dua jenis perwakilan diplomatik.
1. Kedutaan Besar, yang ditugaskan tetap pada suatu negara tertentu untuk saling
memberikan hubungan rutin antarnegara tersebut.
2. Perutusan Tetap, yang ditempatkan pada suatu organisasi internasional (PBB).
Ketua perwakilan diplomatik dipimpin oleh seorang duta besar luar biasa dan
berkuasa penuh serta bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri luar negeri.
b. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik
Secara umum, tugas perwakilan diplomatik adalah sebagai berikut :
1. Menjamin efisiensi dari perwakilan asing di suatu negara.
2. Menciptakan pengertian bersama (good will).
3. Memelihara dan melindungi kepentingan negara dan warga negaranya di negara
penerima.
Fungsi perwakilan diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 adalah mewakili negara
pengirim dinegara penerima untuk hal-hal berikut :
1. Melindungi segala kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara
penerima dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional.
2. Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima.
3. Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima dengan
cara yang diizinkan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara
pengirim.
4. Memelihara hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima dan
mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.
c. Kepangkatan Perwakilan Diplomatik
Tingkatan perwakilan diplomatik menurut Kongres di Aachen tahun 1918 adalah
sebagai berikut :
1. Duta Besar (Ambassador)
Adalah tingkat tertinggi dalam perwakilan diplomatik. Duta besar mempunyai
kekuasaan penuh dan luar biasa, ditempatkan pada negara yang banyak hubungan
timbal balik. Dalam beberapa hal, dia dapat memutuskan sesuatu yang menyangkut
negaranya tanpa konsultasi dengan kepala negaranya terlebih dahulu.
2. Duta (Gerzant)
Adalah kepangkatan yang setingkat lebih rendah dari duta besar. Segala persoalan
yang menyangkut kedua negara harus dikonsultasikan dengan pemerintah negaranya.
3. Menteri Presiden (Minister President)
Adalah mereka yang tidak dianggap sebagai wakil kepala negara, tetapi hanya
ditempatkan untuk mengurus urusan-urusan negaranya.
4. Kuasa Usaha (Charge D’affair)
Kuasa usaha tidak diperbantukan kepada kepala negara, tetapi kepada menteri luar
negeri.
d. Kekebalan Diplomatik
Para anggota diplomatik memperoleh perlakuan yang istimewa dari pemerintah di
negara ia ditempatkan. Perlakuan istimewa itu merupakan ketentuan yang dalam
pergaulan internasional ditetapkan oleh protokol. Orang menetapkan semua aturan yang
berhubungan dengan tugas, hak serta kewajiban anggota diplomatik adalah Kepala
Protokol atau Direktur Protokol yang berasal dari pegawai Departemen Luar Negeri.
Selain diperlukan istimewa, seorang anggota diplomatik mendapat hak kekebalan (hak
imunitas) dan hak ekstrateritorial.
1. Hak Imunitas atau Kekebalan Diplomatik
Hak imunitas menyangkut diri pribadi seorang diplomat serta gedung perwakilannya.
Yang dimaksud dengan hak imunitas pribadi adalah seorang anggota diplomatik berhak
mendapat perlindungan istimewa terhadap keselamatan diri serta harta bendanya.
Mengapa demikian? Tujuannya agar mereka mendapat perlindungan dari segala macam
gangguan dan dari penahanan penguasa-penguasa setempat. Ia dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak, termasuk bea cukai. Akan tetapi, hal ini bukanlah hak melainkan hanya
sekedar resiprositas (timbal balik) saja.
Anggota diplomatik tidak tunduk kepada yurisdiksi pengadilan pidana maupun
perdata di negara yang didiaminya. Akan tetapi, ia wajib tunduk kepada undang-undang
pidana dan peraturan polisi dari negara yang didiaminya. Jika melanggar, dapat diusir
atau dikembalikan ke negara asalnya. Walaupun ia tidak tunduk pada yurisdiksi
(menyelesaikan perkara) perdata dimana ia berada, ia tidak kebal terhadap perkara yang
menyangkut benda tidak bergerak. Tuntutan terhadap perkara perdata dari seorang
anggota diplomatik harus dilakukan oleh pemerintahannya sendiri. Ia dapat pula dituntut
oleh negara yang mengutusnya. Terhadap anggota diplomatik tidak diperkenankan
penggunaan alat paksa. Seorang anggota diplomatik dapat pula tunduk atau mengikuti
yurisdiksi perdata maupun pidana dari negara tempat ia bertugas tetapi harus minta izin
kepada pemerintah yang mengutusnya. Ia juga dapat menolak terhadap permintaan untuk
menjadi saksi di muka hakim/pengadilan dalam perkara pidana.
Imunitas terhadap gedung perwakilan dapat diartikan bahwa alat negara seperti polisi
dan pejabat kehakiman tidak boleh memasuki daerah kediaman anggota diplomatik tanpa
izin pihak perwakilan tersebut. Apabila seorang penjahat melarikan diri ke kedutaan, atas
permintaan pemerintah, penjahat itu harus diserahkan kepada yang berwajib.
2. Hak Ekstrateritorial
Hak ekstrateritorial adalah hak yang dianggap berdiam di luar lingkungan wilayah
negara yang menerimanya. Akan tetapi, utusan diplomatik tidak memiliki hak asylum
atau hak suaka (hak perlindungan). Hak asylum dalam hukum antarbangsa merupakan
rangkaian peraturan yang memberikan kemungkinan suatu negara untuk memberi
perlindungan kepada warga negara asing yang melarikan diri karena berbagai alasan.
Berdasarkan atas hak-hak istimewa tersebut, bagi siapapun yang berani mengganggu
hak-hak ini harus dihukum lebih berat daripada hukuman atas orang biasa, tetapi tidak
mutlak. Kalau bukti perkara seorang duta cukup lengkap dalam hal melakukan kekacauan
atau gangguan di dalam negara di mana ia ditempatkan, atau mengadakan komplotan
guna merongrong dan dengan sengaja telah merencanakan untuk menggulingkan
pemerintah negara tempat ia bertugas, maka duta ia dianggappersona nongrata.
Pemerintah dapat meminta kepada duta itu secara langsung untuk segera meninggalkan
negara yang ditempatinya sekaligus menarik kembali duta itu.
E. SIKAP POSITIF TERHADAP KERJA SAMA DAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Negara Indonesia sebagai negera yang merdeka dan berdaulat, berhak menentukan
nasibnya sendiri serta kebijakan luar negerinya. Kerja sama dengan bangsa lain dalam
bentuk hubungan internasional mutlak diperlukan baik yang mneyangkut bidang politik,
ekonomi maupun sosial budaya. Bagi Indonesia, hubungan kerja sama degan negara lain
dilandasi pada kemauan bebas dan persetujuan dari beberapa atau semua negara. Menurut
buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI (RENSTRA), hubungan
antarbangsa dalam segala hal aspeknya dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai
kepentingan nasional negara tersebut.
Hubungan ini dalam Encylopedia Americana dilihat sebagai hubungan antarnegara
atau antarindividu dari negara yang berbeda-beda, baik berupa hubungan politik, budaya,
ekonomi, ataupun hukum. Konsep ini berhubungan erat dengan subjek-subjek seperti
organisasi internasional, diplomasi hukum internasional, dan politik internasional. Bangsa
Indonesia dalam membina hubungan dengan negara lain menerapkan prinsip politik luar
negeri yang bebas dan aktif yang diabadikan bagi kepentingan nasional, terutama untuk
kepentingan pembangunan di segala bidang serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pembangunan
hubungan luar negeri Indonesia dituntut untuk meningkatkan persahabatan dan kerja
sama bilateral, regional, dan multilateral melalui berbagai macam forum sesuai dengan
kepentingan dan kemampuan nasional.
Dalam hubungan ini perlu dikembangkan citra Indonesia yang positif di luar negeri.
Untuk menandai hubungan dengan negara lain lazimnya didahului dengan pembukaan
utusan (konsuler dan diplomatik) yang bersifat bilateral. Dewasa ini hubungan
internasional diselenggarakan oleh korps diplomatik sebagai unsur Departemen Luar
Negeri yang harus menjabarkan aspirasi nasional di luar negeri. Tugas-tugas yang
dijalankan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) harus dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum kepada presiden sebagai pemerintahan dan mandaris MPR.
F. MENGHARGAI KERJA SAMA DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Bagi bangsa Indonesia kerja sama internasional yang bermanfaat dapat diukur dari
perjuangan bangsa Indonesia untuk menuju kemerdekaan berdasarkan nilai-nilai yang
dikandung dalam pembukaan UUD 1945 yaitu sebagai berikut :
1. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan :
“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Dalam hal ini, kerja sama dengan
perjanjian internasional apapun bentuknya harus didukung sepanjang perjuangan
kemerdekaan suatu bangsa dan juga sebagai usaha menjamin kedaulatan bagi suatu
negara.
2. Alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
“.......... ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial”.
Pernyataan ini mengandung makna bahwa bangsa Indonesia akan mendukung bentuk-
bentuk kerja sama internasional yang berkaitan dengan hak-hak berikut :
a. Pelanggaran/pelarangan perlombaan senjata.
b. Pelucutan senjata.
Selain itu citra positif Indonesia dalam pergaulan dunia terus dikembangkan,
antara lain dengan usaha-usaha sebagai berikut :
1. Memperkenalkan kebudayaan nasional, hasil-hasil pembangunan, dan daerah-
daerah tujuan wisata.
2. Pertukaran pelajar, mahasiswa,pemuda, dan kegiatan olahraga dalam skala
internasional.
3. Berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan dunia yang bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
4. Konstruktif dan konsisten dalam memperjuangkan masalah dunia yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
5. Kemampuan antisipasi dan penyesuaian terhadap perkembangan,perubahan, dan
gejolak dunia melalui jalur diplomasi disertai dengan pendekatan yang tepat
sesuai dengan kepentingan nasional.
6. Penggalangan dan pemupukan solidaritas,kesatuan, dan sikap kerja sama di antara
negara-negara berkembang maupun negara maju, dilakukan dengan
memanfaatkan forum organisasi internasional, seperti ASEAN, OKI, Gerakan
Non-Blok,dan PBB.
7. Meningkatkan kegiatan ekonomi (melalui perdagangan ekspor-ekspor yang saling
menguntungkan), tukar-menukar ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka
memperkukuah persatuan dan ketahanan nasional masing-masing negara serta
terwujudnya kawasan dunia yang aman, damai, bebas, netral, sejahtera, dan bebas
dari bahaya senjata nuklir. Misalnya, kerja sama internasional antara pemerintah
Indonesia dengan Tunisia memiliki manfaat bagikedua belah pihak negara yang
bersangkutan.peluang-peluang kerja sama yang diperoleh adalah dibidang
perdagangan, perkebunan, elektronik, pariwisata, dan home industry, sangat
berperan dalam mempererat hubungan internasional kedua negara.
KESIMPULAN
1. Bangsa dan negara Indonesia dalam rangka kerja sama dengan bangsa lain senantiasa
dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 serta kebijaksanaan
politikluar negeri yang bebas dan aktif.
2. Indonesia menjalin kerja sama dengan lembaga/organisasi regional dan internasional,
yaitu dalam bentuk kerja sama ASEAN, Solidaritas Asia-Afrika, OPEC, dan PBB.
3. Manfaat kerja sama antarbangsa terutama diabadikan pada kepentingan nasional
dengan tetap menghormati kedaulatan masing-masing negara, baik di bidang
ekonomi, politik, sosial, budaya maupun hankam.
4. Melalui pengembangan hubungan kerja sama antarbangsa, masalah-masalah bilateral,
regional, dan multilateral akan dapat diselesaikan dengan dilandasi rasa kekeluargaan,
saling menghormati dan menghargai sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan
bermartabat.
5. Tahap-tahap perjanjian internasional sebagai berikut :
a. Perundingan (negotiation)
b. Penandatanganan (signature)
c. Pengesahan (ratification)
6. Jenis perwakilan diplomatik ada dua, yaitu kedutaan besar dan perutusan tetap.
DAFTAR PUSTAKA
Lukman, Cecilia, Dadi Pakar. 1996. Ensiklopediku yang Pertama. Jakarta: PT Widyadara.
Majalah, Tempo. Jakarta: PT Tempo Inti Media, Tbk.
Majalah, Kartini. Jakarta: PT Kartini Cahaya Lestari.
Materu, Mohamad Sidky Daeng. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia.
Jakarta: PT Gunung Agung.
Munandar, Haris. 1994. Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi di Indonesia.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Noor Effendi, Tajuddin. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogayakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar Offset.
Nursito. 1999. Membina Majalah Dinding. Jakarta: Adicita Karya Nusa.
Oetama,Jakob. 2001. Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Jakarta: Kompas.
Patton, John. 1997. Children’s Encylopedia, Jilid 5. Connecticut : Grolier Incorporated.
P. Huntington Joan Nelson, Samuel.---tt---. Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Patton, John.1997. Children’s Encylopedia, Jilid 6. Connecticut: Grolier Incorporated.
Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi.
Jakarta: LP3S.