BAB I
PENDAHULUAN
Profesi akuntan publik (auditor) merupakan profesi yang sangat penting dalam
dunia bisnis yang kian berkembang. Peran penting auditor terutama terletak pada
peningkatan kualitas dan kredibilitas atas laporan keuangan yang disusun oleh
suatu perusahaan, melalui laporan audit yang diterbitkan oleh auditor tersebut.
Dalam penyusunan laporan audit ini, pertimbangan (judgment) auditor
memainkan peran yang penting, karena judgment dari auditor inilah yang akan
menjadi dasar bagi publik dalam mengambil berbagai keputusan. Penelitian ini
bermaksud untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan (role stress)
terhadap kinerja (job performance) auditor yang diproksikan dengan judgment
auditor. Tekanan dalam pekerjaan diduga akan berpengaruh pada judgment
auditor ketika ia dihadapkan pada banyak tekanan di dalam pekerjaannya.
1.1. Latar Belakang
Kualitas audit merupakan produk judgment individu dari auditor yang dipengaruhi
oleh kompetensinya, sementara kompetensi auditor ditentukan oleh seberapa besar
auditor dapat mematuhi standar profesionalnya, baik standar audit maupun kode
etik profesi (Watkins et al., 2004). Kualitas judgment ini akan menunjukkan
kinerja auditor dalam menjalankan penugasannya. Judgment auditor dipengaruhi
oleh banyak hal, baik yang bersifat teknis maupun non teknis (Pflugrath et al.,
2
2007). Secara teknis, Yustrianthe (2012) mengemukakan bahwa judgment auditor
antara lain dapat dipengaruhi oleh pengalaman, tekanan ketaatan baik dari atasan
maupun entitas, kompleksitas tugas, ataupun gender, sedangkan secara non teknis
Watkins et al. (2004) mengemukakan bahwa judgment auditor dapat dipengaruhi
oleh lingkungan etika (ethical environment). Dengan demikian, tekanan/stress
merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi judgment auditor.
Stress yang dialami oleh karyawan pada berbagai organisasi, biasa disebut
role stress (Fisher, 2001) atau job stress (Almer and Kaplan, 2002) banyak
menjadi topik penting dalam penelitian di bidang keperilakuan, tak terkecuali di
bidang akuntansi/auditing (Fogarty et al., 2000; Fisher, 2001; Almer and Kaplan,
2002; Pasewark and Viator, 2006). Beberapa penelitian menemukan bahwa stress
akan berpengaruh pada kinerja auditor (Rebele and Michael, 1990; Fisher, 2001;
Viator, 2001; Burney and Widener, 2007, Marginson and Bui, 2009). Rebele and
Michael (1990), Viator (2001), dan Burney and Widener (2007) menguji
anteseden dan konsekuensi dari role stress yang dialami auditor independen.
Bentuk dari role stress yang diuji dalam penelitian tersebut adalah ambiguitas
peran (role ambiguity) dan konflik peran (role conflict). Hasil ketiga penelitian
tersebut menunjukkan bahwa ambiguitas peran berhubungan dengan kinerja
auditor, sementara konflik peran belum mendapatkan dukungan empiris yang
cukup untuk menunjukkan adanya hubungan antara konflik peran dengan kinerja
auditor. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Marginson and Bui (2009) yang
menguji potential human cost pada berbagai ekspektasi peran, menemukan
adanya hubungan antara konflik peran dan kinerja auditor. Dukungan empiris bagi
3
hubungan antara konflik peran dan kinerja auditor ditunjukkan pula oleh hasil
penelitian Fisher (2001), meskipun ia meneliti role stress sebagai variabel
independen utama dan bukan sebagai variabel mediasi. Dengan adanya hasil
penelitian yang belum konsisten ini perlu dilakukan suatu penelitian yang menguji
hubungan antara role stress dengan kinerja untuk memperkuat dugaan adanya
hubungan antara konflik peran dengan kinerja auditor. Dengan menginvestigasi
hubungan antara stress dengan kinerja auditor, maka KAP dapat mengambil
kebijakan yang sesuai untuk mengurangi dampak negatif dari tekanan yang
dialami oleh auditor di tempat kerja, karena satu opsi mungkin akan sesuai dengan
satu kondisi namun tidak bagi kondisi yang lain.
Hasil penelitian sebelumnya yang masih belum konsisten tersebut
kemungkinan dapat disebabkan oleh penggunaan metode yang diterapkan. Semua
penelitian tersebut menggunakan metode survei dengan instrumen berupa
kuesioner yang dikembangkan oleh Rizzo et al. (1970) yang berbentuk self
perception (penilaian pada diri sendiri), sehingga yang diukur bukan kinerja
auditor yang sesungguhnya namun penilaian auditor terhadap dirinya sendiri.
Hasil penelitian dengan menggunakan metode survei dapat bersifat sangat
subjektif karena jawaban yang diperoleh merupakan judgment subjektif dari
responden (Rahman, 1986). Gould (2002) menyebutkan beberapa kelemahan
survei, antara lain: terjadinya sampling error yang besar ketika jumlah sampelnya
sangat kecil dan/atau tidak mencerminkan populasi; kejujuran dalam menjawab
kuesioner dapat dipertanyakan terutama ketika kebenaran tersebut bertentangan
dengan kebiasaan yang berlaku umum; waktu, usaha, dan biaya yang dikeluarkan
4
cukup mahal dalam mengumpulkan, mengkodifikasi, dan menganalisis data dari
survei; penyusunan kuesioner dan metode pengumpulan data sangat memengaruhi
hasil survei; serta panjangnya kuesioner dapat memengaruhi ketertarikan
responden pada penelitian dan responden menjadi tidak kooperatif. Beberapa
kelemahan lain yang dapat terjadi dalam penggunaan metode survei dengan
menggunakan instrumen kuesioner antara lain adalah terjadinya bias karena
penggunaan kata-kata yang tidak tepat, seperti misalnya responden bingung
terhadap maksud pertanyaan, responden menginterpretasikan pertanyaan dengan
salah, responden sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan, akibatnya
responden dapat menjawab sekenanya atau tidak menjawab sama sekali, yang
disebut sebagai bias tidak merespon/ nonresponse bias (Hartono, 2008).
Survei dengan menggunakan kuesioner yang dikirim lewat pos memiliki
kelemahan antara lain adanya kemungkinan bahwa pihak yang mengisi kuesioner
bukanlah pihak/responden yang dituju oleh peneliti. Dewasa ini telah berkembang
survei dengan berbasis internet. Survei berbasis internet ini memiliki kelebihan
dalam kecepatan respon dari subjek dan tingkat nonresponse bias yang lebih
rendah dibandingkan survei lewat pos (Kwak and Radler, 2002). Nahartyo (2012)
mengungkapkan bahwa kelemahan utama dalam penelitian survei adalah peneliti
tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol variabel-variabel lain yang
berpotensi memengaruhi variabel dependen namun tidak relevan dengan tujuan
penelitian (biasa disebut sebagai variabel pengganggu atau extraneous variable).
Meskipun telah diungkapkan beberapa kelemahan dari survei, namun
survei secara umum memiliki beberapa keunggulan di bandingkan metode lain.
5
Beberapa keunggulan survei yang diungkapkan oleh Mathiyazhagan and Nandan
(2000) antara lain: pengumpulan data yang lebih cepat dibandingkan metode lain;
pengumpulan data relatif murah; data survei akan sangat akurat jika samplingnya
probabilistik; cakupan akses partisipan yang luas; menggunakan metode, material,
dan latar belakang dari situasi kehidupan yang nyata saat pengambilan data
sehingga memberikan keyakinan validitas ecological; merupakan satu cara
mendapatkan kembali informasi tentang pengalaman masa lalu responden; dan
merupakan satu-satunya metode dimana generalisasi informasi dapat dikumpulkan
dari hampir seluruh populasi manusia.
Penelitian dalam disertasi ini mencoba untuk mengatasi kelemahan metode
survei kuesioner tersebut, terutama berkaitan pengukuran kinerja dengan
menggunakan self rating dalam metode survei diganti dengan pengukuran
judgment auditor dengan menggunakan metode eksperimen. Pengerjaan dan
pengumpulan data eksperimen ini dilakukan melalui media website di internet,
sehingga penelitian ini disebut sebagai eksperimen berbasis internet, dengan
memberikan perlakuan konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban
kerja pada auditor sebagai subjek eksperimen. Penggunaan metode eksperimen
dalam penelitian ini diharapkan mampu melengkapi penelitian tentang role stress
sehingga dapat memperkaya literatur yang ada. Pengujian dampak tekanan dalam
pekerjaan yang dialami auditor dengan metode eksperimen sangat mungkin
memberikan hasil yang berbeda dengan pengujian yang dilakukan melalui survei.
Kekuatan utama dari penelitian eksperimen seperti diungkapkan Nahartyo (2012)
adalah adanya kontrol yang dimiliki peneliti terhadap variabel independen yang
6
akan menyebabkan perubahan pada variabel dependen. Melalui manipulasi dari
satu atau lebih variabel, dan dengan mengontrol variabel-variabel pengganggu,
peneliti dapat memperoleh tingkat keyakinan yang tinggi terhadap kejadian-
kejadian mana yang menyebabkan suatu efek dan menentukan secara tepat
mengenai bentuk yang tepat dari hubungan yang terjadi (Gould, 2002). Dengan
demikian metode eksperimen lebih tepat digunakan untuk menguji hubungan
sebab akibat antara dua atau lebih variabel. Dalam eksperimen, peneliti secara
aktif memanipulasi variabel independen dan mengukur dampaknya pada variabel
dependen, sedangkan pada metode lain, seperti survei misalnya, peneliti bersifat
pasif terhadap variabel independen dan hanya mengukurnya bersama dengan
proses pengukuran variabel dependen, oleh karena itu metode eksperimen dapat
juga disebut sebagai metode riset aktif (Nahartyo, 2012). Keunggulan metode
eksperimen dalam penelitian ini adalah peneliti dapat memanipulasi variabel
konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja yang kemudian
mengukur dampaknya pada kinerja auditor berupa judgment pengendalian internal
klien. Dengan demikian, diharapkan pengukuran judgment auditor ini merupakan
dampak dari variabel konflik peran, ambiguitas peran, ataupun kelebihan beban
kerja, dan bukan karena variabel lain.
Penelitian dengan menggunakan eksperimen berbasis internet memiliki
keunggulan dibandingkan eksperimen tradisional dengan menggunakan kertas dan
pena. Salganik and Watts (2009) menyebutkan keunggulan dari metode ini adalah
meminimalisasi interaksi antar subjek dalam melakukan penugasan eksperimen
karena partisipan diminta untuk membuat keputusan saat ini juga. Penelitian ini
7
akan memberikan kontribusi dalam metodologi karena sepanjang pengetahuan
dan bacaan peneliti, belum ada penelitian yang menghubungkan antara ketiga
bentuk tekanan dalam pekerjaan dan kinerja auditor dengan menggunakan metode
eksperimen.
Berkaitan dengan karakteristik individu, beberapa penelitian menemukan
bahwa karakteristik individu mampu memengaruhi capaian pekerjaan dari
seseorang (Keenan and McBain, 1979; Liedtka et al. 2008). Individu dengan
karakteristik tertentu akan mengalami reaksi yang berbeda ketika dihadapkan pada
masalah dan situasi yang sama. Sebagai contoh, Fisher (2001) menyebutkan
bahwa individu tipe A (TAPB) dideskripsikan sebagai individu yang hiperaktif
terhadap tekanan lingkungan. Ketika individu tersebut dihadapkan pada situasi
pekerjaan yang tertekan maka ia cenderung akan bereaksi dengan usaha yang
lebih keras untuk mencapai suatu tujuan, memiliki rasa persaingan yang tinggi,
permusuhan, agresif, tidak sabar, dan mudah marah (Glass, 1977a, 1977b).
Penelitian tentang karakteristik individu dalam hubungannya dengan tekanan
dalam pekerjaan dan kinerja auditor, dilakukan oleh Fisher (2001) dengan
memasukkan karakteristik individu tipe A sebagai moderasi hubungan antara
tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Individu
tipe A tentunya akan bereaksi secara berbeda terhadap tekanan dalam
pekerjaannya dibandingkan dengan individu tipe B. Namun hasil penelitian gagal
untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan.
Keenan and McBain (1979) melakukan penelitian di bidang psikologi
yang mengkaitkan karakteristik TAPB dan tingkat toleransi terhadap ambiguitas
8
pada hubungan antara role stress dengan capaian pekerjaan. Hasil penelitian
menunjukkan adanya korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja
yang lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup
yang menoleransi ambiguitas.
Perlunya memasukkan karakteristik individu dalam penelitian ini
disebabkan perbedaan karakteristik seseorang akan memberikan perbedaan respon
terhadap perlakuan yang diberikan, sehingga mungkin akan memengaruhi hasil
penelitian. Auditor yang memiliki karakter yang toleran atau tidak toleran
terhadap ambiguitas diduga akan memengaruhi judgment yang dibuatnya. Auditor
yang memiliki karakteristik yang tidak toleran terhadap ambiguitas akan memiliki
perasaan tidak nyaman jika dihadapkan pada situasi yang ambigu dan akan selalu
berusaha untuk menyangkalnya, sehingga akan mempengaruhi judgment yang
dibuatnya. Di sisi lain, jika auditor memiliki karakteristik yang toleran terhadap
ambiguitas, tidak akan mempengaruhi judgment yang dibuatnya meskipun pada
kondisi ambiguitas peran yang tinggi. Terdapat dugaan bahwa tingkat toleransi
terhadap ambiguitas ini akan memperlemah atau memperkuat hubungan antara
ambiguitas peran dan judgment auditor. Sepanjang pengetahuan peneliti, masih
sangat jarang penelitian di bidang psikologi, teori organisasi, dan terutama
akuntansi, yang menguji dampak variabel tingkat toleransi terhadap ambiguitas
pada hubungan antara role stress dengan kinerja. Dengan memahami karakteristik
individu, KAP dapat mengambil kebijakan yang dapat mengurangi hubungan
negatif antara stress dengan kinerja auditor.
9
Disertasi ini bertujuan untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan
yang bersumber dari konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja,
terhadap judgment yang diberikan oleh auditor. Selain itu, penelitian ini juga ingin
menguji apakah variabel karakteristik individu, yaitu tingkat toleransi terhadap
ambiguitas memoderasi hubungan antara ambiguitas peran dengan judgment yang
dibuat oleh auditor. Tekanan yang dihadapi oleh auditor ini dapat berdampak
positif (eustress) maupun negatif (distress) pada auditor (Jarinto, 2010; Saether,
2011), dan tingkat toleransi terhadap ambiguitas diduga akan memperkuat atau
memperlemah hubungan antara ambiguitas peran dan kinerja auditor tersebut.
Baker (1977) menyatakan bahwa profesi akuntan publik memiliki potensi
konflik dan ketidakjelasan peran yang tinggi. Murtiasri (2007) menyebutkan
bahwa salah satu sumber dari stress adalah terperangkapnya auditor dalam situasi
di mana auditor tidak dapat lepas dari tekanan dalam pekerjaan. Sebagai boundary
spanners, yaitu orang yang berinteraksi dengan banyak orang, baik dari dalam
maupun dari luar organisasi, dengan tuntutan dan ekspekstasi yang berbeda,
profesi akuntan publik memiliki tingkat stress yang tinggi berkaitan dengan
kebutuhan untuk memahami dan memenuhi ekspektasi dari banyak pihak tersebut
(Fisher, 2001).
Beberapa penelitian menemukan bahwa stress dapat berdampak pada
tingkat turnover auditor pada Kantor Akuntan Publik (Fogarty et al. 2000; Almer
and Kaplan, 2002; Pasewark and Viator, 2006). Dengan demikian, tingginya
tingkat stress pada auditor dapat diindikasikan dari tingginya pergantian auditor
(employee turnover) di KAP. Pasewark and Viator (2006) menyatakan bahwa
10
turnover auditor di KAP merupakan masalah yang cukup serius, tingkat turnover
di beberapa tahun terakhir berkisar antara 10% sampai 16% per tahun. Survei
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di beberapa KAP terkemuka di
Yogyakarta, menunjukkan bahwa terdapat turnover auditor yang tinggi, terutama
di level auditor junior. Dari jumlah karyawan yang berkisar antara 25 hingga 30
orang pada satu KAP, rata-rata terjadi perekrutan 10-15 karyawan baru setiap
tahunnya. Hasil wawancara dengan beberapa auditor yang telah keluar
menyebutkan bahwa mereka keluar dengan alasan banyaknya pekerjaan yang
harus mereka tangani sehingga terkadang mereka harus melakukan lembur selama
berhari-hari untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Banyaknya pekerjaan
yang harus ditangani atau kelebihan beban kerja ini merupakan salah satu bentuk
tekanan dalam pekerjaan.
Hasil survei awal tersebut menemukan bahwa auditor dihadapkan pada
berbagai macam bentuk tekanan, namun tekanan yang dialami tersebut pada
intinya dapat dibedakan ke dalam dua hal, yaitu tekanan yang dialami oleh auditor
pada level atas (yaitu partner atau manajer) dan tekanan yang dihadapi oleh
auditor level bawah (auditor junior dan senior). Berdasarkan hasil wawancara
dengan partner di beberapa KAP, tekanan yang dihadapi oleh auditor level bawah,
terutama auditor junior pada dasarnya lebih disebabkan oleh keterbatasan
kecakapan atau ketrampilan yang dimiliki olehnya. Auditor junior akan lebih
mengalami tekanan dalam pekerjaan (role stress) dikarenakan ia belum terbiasa
dengan kondisi dan situasi kerja saat melaksanakan penugasannya. Tekanan
tersebut dapat berasal dari ambiguitas peran, konflik peran, maupun kelebihan
11
beban kerja yang dihadapinya saat menjalankan penugasan audit. Berbeda halnya
dengan tekanan yang dihadapi oleh auditor level atas. Auditor level atas tidak lagi
menghadapi tekanan yang berasal dari ambiguitas peran, konflik peran maupun
kelebihan beban kerja, hal ini disebabkan karena auditor level atas telah terbiasa
dalam melakukan penugasan audit, sehingga ia cenderung dapat mengelola
pekerjaan dan waktunya dengan baik. Tekanan yang dihadapi oleh auditor level
atas lebih disebabkan oleh adanya pemeriksaan, baik oleh teman sejawat (peer
review) maupun oleh instansi lain, seperti misalnya dari kantor pajak. Hal yang
paling dikhawatirkan dan menimbulkan tekanan, lebih pada ketakutan dalam
menghadapi adanya ancaman litigasi dari klien. Smith and Everly (1990)
menunjukkan bahwa orang yang memiliki kekuasaan (power) dan jaminan kerja
(job security) lebih besar (misalnya tenured individual) baik yang berasal dari
akademisi maupun dari praktisi, dilaporkan mempunyai penyebab stress dan
gejala fisik yang berhubungan dengan stress yang secara signifikan lebih rendah,
serta memiliki perilaku pengatasan stress yang relatif lebih tinggi dibandingkan
yang masih level junior. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu untuk dibedakan
antara penelitian yang menguji tekanan yang dihadapi oleh auditor level atas dan
level bawah. Penelitian ini mencoba untuk menguji tekanan dalam pekerjaan yang
dihadapi oleh auditor level bawah yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik
peran, dan kelebihan beban kerja, yang dikaitkan dengan kualitas penilaiannya
dalam melaksanakan penugasan audit.
Teori yang mendukung penelitian di bidang ini adalah Teori Peran (Role
Theory) yang dikemukakan oleh Kahn et al. tahun 1964 sebagaimana yang
12
disebutkan dalam Pfeffer (1982) bahwa teori Peran menekankan sifat individual
sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku sesuai dengan posisi yang
ditempatinya di lingkungan kerja dan masyarakat. Individu akan mengalami
konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara
bersamaan yang ditujukan pada diri seseorang. Salah satu sumber stress yang
pada umumnya dihadapi oleh banyak individu dalam setting pekerjaan adalah role
stress (Fisher, 2001) atau job stress (Almer and Kaplan, 2002).
Tekanan dalam pekerjaan (role stress) menunjukkan seberapa luas
ekspektasi serangkaian peran anggota organisasi menghadapi situasi yang
mengandung tiga konstruk, yaitu: a) ketidakjelasan peran (ambiguity), b) ketidak-
sesuaian peran sehingga antar peran bertentangan satu dengan lainnya (conflict)
dan c) beratnya tekanan dalam pekerjaan (overload) (Wolfe and Snoek, 1962).
Sementara Almer and Kaplan (2002) yang memperluas penelitian yang dilakukan
oleh Fogarty et al. (2000) menyebutkan tiga bentuk job stressors, yaitu: a) konflik
peran (role conflict), b) ambiguitas peran (role ambiguity), dan c) kelebihan beban
kerja (role overload). Konflik peran terjadi ketika karyawan menghadapi
ketidakcocokan harapan seperti kepatuhan pada satu ekspektasi akan membuatnya
sulit atau tidak mungkin untuk secara efektif memenuhi ekspektasi yang lain
(Kahn et al. 1964), sementara ambiguitas peran muncul ketika karyawan tidak
cukup informasi untuk kinerja yang efektif dari peran tertentu (Senatra, 1980).
Role overload dinyatakan oleh Schick et al.(1990) terjadi ketika auditor memiliki
beban pekerjaan sangat berat yang tidak sesuai dengan waktu dan kemampuan
yang dimiliki. Penelitian ini akan menguji tekanan dalam pekerjaan yang
13
bersumber dari konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja,
seperti halnya yang dilakukan oleh Fogarty (2000) dan Almer and Kaplan (2002).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan
metode eksperimen untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih objektif, serta
memasukkan karakteristik tingkat toleransi terhadap ambiguitas untuk
memoderasi hubungan antara ambiguitas peran dengan kinerja auditor.
Pentingnya memasukkan karakteristik ini karena auditor yang toleran terhadap
ambiguitas mungkin akan bereaksi berbeda dibandingkan dengan auditor yang
tidak toleran terhadap ambiguitas, karena individu yang tidak toleran terhadap
ambiguitas akan merasa tidak nyaman pada situasi yang ambigu sehingga ia
cenderung akan melakukan penyangkalan atas ketidaknyamanan tersebut sehingga
akan berpengaruh pada judgment yang dibuatnya, namun tidak demikian halnya
pada individu yang toleran terhadap ambiguitas.
Sejumlah penelitian telah menguji beberapa anteseden dari tekanan dalam
pekerjaan, antara lain Boundary Spanning Activity (Rebele and Michaels, 1990);
Strategic Performance Measurement System dan Job Relevant Information
(Burney and Widener, 2007); Iklim Organizational (Senatra, 1980), Status
Organisasional (Pei and Davis, 1989), dan Mentor (Viator, 2001). Sementara role
stress akan membawa pada beberapa konsekuensi dari job outcome, seperti:
Kepuasan Kerja (Almer and Kaplan, 2002; Fisher, 2001; Pasewark and Strawser,
1996; Collins and Killough, 1992; Senatra, 1980); Job Performance (Burney and
Widener, 2007; Fisher, 2001; Rebele and Michael, 1990); Turnover Intention
14
(Almer and Kaplan, 2002; Viator, 2001; Collins and Killough, 1992; Senatra,
1980); dan Job-Related Tension (Rebele and Michael, 1990; Senatra, 1980).
Terdapat dua isu pokok dalam penelitian ini, yaitu: (1) tekanan dalam
pekerjaan dan (2) tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Berkaitan dengan isu
yang pertama, penelitian ini bermaksud untuk menguji pengaruh tekanan dalam
pekerjaan terhadap pertimbangan (judgment) yang dibuat oleh auditor. Penilaian
kinerja dari auditor menjadi hal yang penting bagi Kantor Akuntan Publik (KAP),
mereka bahkan bersedia untuk memakai metode yang rumit yang mengonsumsi
banyak waktu dan sumberdaya, untuk dapat mengukur kinerja anggotanya dengan
baik (Fogarty, 1994). Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) menjadi
pedoman bagi auditor dalam menjalankan pekerjaannya.
Dalam SPAP disebutkan bahwa tujuan audit atas laporan keuangan oleh
auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran dalam
semua hal yang material, posisi keuangan, hasil operasi, serta arus kas sesuai
dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Tanggung jawab
manajemen adalah menyelenggarakan pengendalian intern yang memadai dan
menyajikan laporan keuangan yang wajar atas jalannya operasi yang dilakukan
perusahaan. Sementara tanggung jawab auditor adalah merencanakan dan
melaksanakan audit guna memperoleh kepastian yang layak tentang apakah
laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material, baik yang disebabkan
oleh kekeliruan ataupun kecurangan/kesengajaan.
Dalam kaitannya dengan tujuan audit yang berkaitan dengan saldo suatu
akun/rekening, auditor dihadapkan pada beberapa pekerjaan, antara lain:
15
memastikan eksistensi jumlah yang tercantum memang ada, memeriksa
kelengkapan jumlah yang dicantumkan, mengecek keakuratan jumlah yang
tercantum telah dinyatakan dengan benar, dan lain-lain, ataupun saat auditor
menilai pengendalian internal dari perusahaan klien. Berkaitan dengan hal itu,
auditor dihadapkan pada sejumlah pertimbangan (judgment) dan keputusan
(decision) yang harus dibuat berkaitan dengan pekerjaannya.
Beberapa penelitian mencoba menguji kinerja auditor berdasarkan
pertimbangan (judgment) yang dibuat oleh auditor. Hasil penelitian yang
dilakukan Arnold et al. (2000) menunjukkan bahwa limit waktu memengaruhi
waktu yang dibutuhkan individual untuk membuat keputusan, mengganggu proses
pembuatan keputusan, namun nampaknya memengaruhi grup secara berbeda
tergantung pada lingkungan keputusan. Penelitian lain dilakukan oleh Guess et al.
(2000) menemukan bahwa risiko dan ambiguitas secara signifikan memengaruhi
estimasi waktu audit yang dianggarkan oleh auditor. Sejalan dengan penelitian-
penelitian tersebut, diduga bahwa tekanan dalam pekerjaan akan memberikan
pengaruh pada judgment auditor ketika auditor dihadapkan pada banyak tekanan
di dalam pekerjaannya.
Isu kedua berkaitan dengan tipe kepribadian yang tidak atau yang
menoleransi ambiguitas, yang memoderasi hubungan antara ambiguitas peran
dengan kinerja auditor. Seseorang yang memiliki tipe kepribadian yang tidak
menoleransi adanya ambiguitas (ambiguity intolerant), cenderung untuk
menerima situasi yang ambigu sebagai suatu ancaman (Budner, 1962).
Ketidaktoleransian terhadap ambiguitas dapat memengaruhi persepsi dan
16
judgment dalam berbagai bidang, termasuk juga akuntansi. Auditor yang tidak
menoleransi ambiguitas akan memersepsikan proses audit secara berbeda (Gupta
and Fogarty, 1993) dan akan kurang yakin/percaya diri dalam memberikan opini
pada laporan keuangan (Pincus, 1991).
Berhubungan dengan ambiguitas, individual yang tidak menoleransi
ambiguitas biasanya akan bereaksi dengan cara menunjukkan ketidak-
nyamanannya (Liedtka et al. 2008). Satu reaksi yang mungkin dilakukan adalah
penyangkalan, atau mengubah realita yang ada agar sesuai dengan keinginan dari
si penerima. Sebagai contoh, individu yang tidak menoleransi ambiguitas akan
mengecilkan atau mengabaikan petunjuk-petunjuk yang ambigu untuk
menghindari mempertimbangkan informasi yang membuatnya tidak nyaman.
Dengan demikian individu yang memiliki tingkat toleransi ambiguitas yang
rendah atau tidak menoleransi adanya situasi yang ambigu cenderung akan
memandang segala sesuatunya menjadi hitam dan putih.
Beberapa penelitian menemukan bahwa individu yang memiliki tipe
kepribadian yang tidak menoleransi atau menoleransi ambiguitas akan
berpengaruh pada capaian (outcome) pekerjaannya. Keenan and McBain (1979)
menemukan adanya korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja lebih
tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang
menoleransi ambiguitas. Sementara Liedtka et al. (2008) mendokumentasikan
bahwa pola dalam mengevaluasi Balanced Scorecards (BSC) bervariasi dengan
kualitas dari evaluator. Hasil penelitiannya menemukan bahwa evaluator yang
tidak menoleransi ambiguitas dapat memengaruhi reaksi mereka pada variasi
17
diantara pengukuran kinerja dalam kategori BSC. Khususnya, variabilitas akan
memengaruhi evaluasi dari individual yang tidak menoleransi ambiguitas ketika
kinerja dalam kategori BSC yang relevan relatif kuat, namun tidak ketika kategori
BSC yang relevan relatif lemah. Sebaliknya, Liedtka et al. (2008) tidak
menemukan bukti bahwa variabilitas kinerja dalam kategori BSC berdampak pada
evaluasi dari evaluator yang menoleransi ambiguitas. Hasil ini konsisten dengan
argumen bahwa individu yang tidak menoleransi ambiguitas lebih mungkin tidak
memperhitungkan atau mengabaikan info yang ambigu ketika ambiguitas tersebut
berkaitan dengan informasi yang positif. Dengan demikian individu yang
memiliki tipe kepribadian yang tidak menoleransi ambiguitas akan mengalami
ambiguitas peran yang rendah sehingga berdampak pada kualitas kinerjanya akan
meningkat. Dalam hal ini diasumsikan bahwa ketidaktoleransian terhadap
ambiguitas akan mendorong individu untuk menghindari peran kerja yang ambigu
kapan saja hal tersebut dimungkinkan.
1.2. Perumusan Masalah
Profesi akuntan publik sangat rentan terhadap kondisi stress yang disebabkan oleh
tuntutan pekerjaan. Sebagai boundary spanners, menyebabkan auditor memiliki
potensi konflik dan ketidakjelasan peran yang tinggi sebagaimana dinyatakan oleh
Baker (1977). Tekanan dalam pekerjaan menunjukkan seberapa luas serangkaian
ekspektasi peran anggota organisasi menghadapi situasi yang berkaitan dengan
ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja.
18
Konsekuensi dan capaian dari tekanan tidak selalu bersifat negatif
(distress), tetapi dapat juga positif (eustress). Hal ini tergantung pada persepsi
individu, interpretasi, reaksi terhadap tekanan dan pemicu stress, serta bagaimana
mereka dapat mengelola sensor mereka untuk mengubah kekurangan menjadi
tantangan untuk meningkatkan kinerja mereka (Al-Khasawneh and Futa, 2013).
Distress akan berdampak pada penurunan kinerja, sementara eustress akan
berdampak pada peningkatan kinerja. Penelitian yang menghubungkan antara
tekanan peran yang berasal dari dalam (tekanan dalam pekerjaan) dan luar
organisasi, menemukan hasil yang masih belum konsisten. Banyak penelitian
yang menemukan adanya hubungan negatif antara tekanan dalam pekerjaan
dengan kinerja (Rebele and Michaels, 1990; Burney and Widener, 2007; Fisher,
2001; Marginson and Bui, 2009; Jamal, 2011), sementara beberapa penelitian
menemukan hasil yang berlawanan, yaitu terdapat hubungan positif antara
tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja (Meglino, 1977; Saether, 2011). Hal ini
diperkuat oleh sejumlah peneliti yang menemukan adanya hubungan inverted-U
antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja (Yerkes and Dodson, 1908;
Onyemah, 2008), penelitian-penelitian ini mengemukakan bahwa individu pada
level tekanan yang sangat rendah atau sangat tinggi akan menghasilkan kinerja
yang rendah, sementara pada tingkat stress menengah akan memicu individu
untuk menghasilkan kinerja yang tinggi.
Hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja pada
lingkungan auditor, masih menemukan hasil yang juga belum konsisten. Rebele
and Michaels (1990) dan Burney and Widener (2007) memperlihatkan bahwa
19
ketidakpastian lingkungan dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan
kinerja, sedangkan konflik peran tidak memperoleh dukungan bukti. Pada sisi
yang lain, penelitian Fisher (2001) dan Marginson and Bui (2009) menemukan
bahwa meningkatnya konflik peran akan mendorong pada menurunnya kinerja.
Fisher (2001) mengukur kinerja auditor secara umum, dengan mengambil
sampel 169 responden auditor di dua KAP besar yang termasuk the Big 6 di New
Zealand. Responden yang dipilih adalah responden yang setidaknya telah
mempunyai pengalaman selama 1 tahun (12 bulan). Pengukuran kinerja
menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Choo (1986). Sementara
Marginson and Bui (2009) mengukur kinerja manajer yang multi fungsi, dalam
hal ini manajer dituntut sebagai pimpinan yang ‘creative innovation’dan juga
dapat mencapai tujuan perusahaan. Sampel yang digunakan sebanyak 229
responden yang merupakan manajer tingkat menengah yang diambil dari empat
diantara delapan bisnis unit di Telserve, yang meliputi bagian mesin,
pengembangan produk, penjualan dan pemasaran, serta operasi. Pengukuran
menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Mahoney et al.(1963, 1965).
Rebele and Michaels (1990) menguji anteseden dan konsekuensi dari
tekanan peran yang dihadapi oleh auditor. Dinyatakan dalam penelitian ini bahwa
tekanan peran berhubungan dengan kepuasan kerja yang rendah, meningkatnya
tension yang berhubungan dengan pekerjaan, kinerja yang rendah, dan keinginan
yang tinggi untuk keluar dari pekerjaan. Sampel yang digunakan adalah 211
auditor yang bekerja pada empat KAP internasional besar. Penelitian Rebele and
Michaels (1990) ini menggunakan auditor yang telah berpengalaman minimal
20
satu tahun, dan pengukuran kinerja menggunakan instrumen yang dikembangkan
sendiri oleh peneliti. Sementara Burney and Widener (2007) mengeksplorasi
respon perilaku manajerial yang berhubungan dengan sistem pengukuran kinerja
perusahaan yang terhubung dengan strategi dari perusahaan. Penelitian ini
menggunakan 700 responden yang berasal dari manajer yang menjadi anggota
Institute of Management Accountants (IMA). Alasan pemilihan sampel ini karena
diasumsikan bahwa anggota IMA merupakan informan yang berpengetahuan
tentang isi dan pekerjaan dari sistem kinerja organisasi. Pengukuran kinerja yang
digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari literatur-literatur yang
mendasari penelitian ini.
Rebele and Michaels (1990) dan Burney and Widener (2007) menemukan
bahwa konflik peran tidak berpengaruh terhadap kinerja, sementara Fisher (2001)
dan Marginson and Bui (2009) menemukan hasil yang sebaliknya. Rebele and
Michaels (1990) dan Fisher (2001) menggunakan auditor sebagai subjek
penelitian, sementara Burney and Widener (2007) dan Marginson and Bui (2009)
menggunakan manajer sebagai subjeknya, hal ini berarti bahwa subjek penelitian
mungkin bukan merupakan penyebab adanya perbedaan hasil penelitian tersebut.
Jika ditilik dari jumlah responden penelitian, tidak terlalu menampakkan beda
yang besar, sehingga mungkin jumlah responden bukanlah faktor penyebab
perbedaan tersebut. Metode pengumpulan data dari keempat penelitian tersebut
dilakukan dengan survei dan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang
berbentuk self perception untuk pengukuran kinerja. Penggunaan pengukuran self
perception memiliki kelemahan berkaitan dengan subjektifitas dari jawaban yang
21
diberikan responden untuk mengukur kinerja dari auditor. Pengukuran berupa self
perception memiliki kelemahan bahwa persepsi ini barangkali tidak
mencerminkan fakta yang sesungguhnya (fakta yang objektif) karena sifatnya
yang sangat subjektif (Rahman, 1986; Saether, 2011). Besar kemungkinan
penggunaan metode survei ini merupakan salah satu penyebab perbedaan hasil
penelitian. Sementara itu, pengukuran dengan menggunakan metode survei
kuesioner dan berbentuk persepsi, tidak mengukur kinerja auditor yang
sesungguhnya, karena tidak berkaitan dengan pekerjaan auditnya. Oleh karena itu
perlu untuk meneliti keterkaitan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja
audit yang dihubungkan dengan penugasan audit, misalnya pertimbangan yang
dibuat oleh auditor dalam penugasannya. Tekanan dalam pekerjaan, yang
bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja,
diduga akan memengaruhi judgment yang dibuat oleh auditor. Dengan demikian
pertanyaan penelitian 1 yang diajukan adalah sebagai berikut:
Apakah auditor yang mengalami tekanan dalam pekerjaan akan membuat
judgment yang berbeda dengan auditor yang tidak mengalami tekanan dalam
pekerjaan?
Karakteristik individu diduga menjadi variabel yang memoderasi
hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja auditor. Fisher (2001)
memasukkan karakteristik individu tipe A sebagai moderasi hubungan antara
tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Individu
yang memiliki karakteristik tipe A yang digambarkan sebagai individu yang hiper
reaktif terhadap tekanan lingkungan (kompetitif, agresif, berusaha keras untuk
22
mencapai prestasi, dan seterusnya), tentunya akan bereaksi secara berbeda
dibandingkan dengan individu tipe B yang digambarkan sebagai individu yang
sebaliknya, dalam merespon adanya tekanan dalam pekerjaannya. Namun hasil
penelitian gagal untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan.
Kegagalan untuk memperoleh dukungan tersebut menimbulkan pertanyaan,
barangkali ada variabel karakteristik individu yang lain yang mungkin
memoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dari
auditor, seperti misalnya tingkat toleransi terhadap ambiguitas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Keenan and McBain (1979) di bidang
psikologi menemukan adanya hubungan kuat antara role ambiguity dengan
ketidakpuasan dalam pekerjaan pada grup yang memiliki kepribadian tipe A
dibandingkan grup yang memiliki kepribadian tipe B. Selain menginvestigasi
karakteristik kepribadian tipe A pada hubungan antara role stress dengan capaian
kerja, Keenan and McBain (1979) juga meneliti tentang karakteristik kepribadian
yang lain, yaitu tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Mereka menemukan adanya
korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja yang lebih tinggi pada
grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang menoleransi
ambiguitas. Sementara Liedtka et al.(2008) mengkaitkan kepribadian yang tidak
menoleransi ambiguitas dengan pengukuran kinerja menggunakan Balanced
Scorecards (BSC). Mereka mendokumentasikan bahwa pola dalam mengevaluasi
BSC bervariasi sesuai dengan kualitas evaluator. Hasil penelitiannya menemukan
bahwa evaluator yang tidak menoleransi ambiguitas dapat memengaruhi reaksi
mereka pada variasi diantara pengukuran kinerja dalam kategori BSC. Khususnya,
23
variabilitas akan memengaruhi evaluasi individu yang tidak menoleransi
ambiguitas ketika kinerja dalam kategori BSC yang relevan relatif kuat, namun
tidak terjadi ketika kategori BSC yang relevan relatif lemah. Sebaliknya, Liedtka
et al.(2008) tidak menemukan bukti bahwa variabilitas kinerja dalam kategori
BSC berdampak pada evaluasi dari evaluator yang menoleransi ambiguitas.
Kedua penelitian tersebut yang mendasari pemikiran bahwa tingkat
toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi (toleran terhadap ambiguitas), meskipun
ambiguitas perannya tinggi tidak akan berpengaruh pada kinerjanya, sehingga
kinerjanya akan tetap baik. Karena subjek yang digunakan dalam penelitian ini
adalah auditor level bawah, maka auditor senior dan auditor junior yang memiliki
karakteristik toleran terhadap ambiguitas akan meminimalisir atau memperkuat
dampak dari ambiguitas peran terhadap judgment yang dibuatnya. Dengan
demikian pertanyaan penelitian 2 yang diajukan adalah sebagai berikut:
Apakah kinerja pada auditor yang mengalami tekanan dalam pekerjaan
akan lebih tinggi pada individu yang toleran terhadap ambiguitas
dibandingkan individu yang tidak toleran terhadap ambiguitas, atau
sebaliknya?
Penelitian ini menguji tekanan dalam pekerjaan yang dihadapi oleh
auditor level bawah yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran, dan
kelebihan beban kerja, yang dikaitkan dengan kualitas penilaiannya dalam
melaksanakan penugasan audit. Dengan demikian subjek yang diteliti dalam
penelitian ini adalah auditor level bawah, khususnya auditor junior.
24
1.3. Motivasi Penelitian
Kantor Akuntan Publik (KAP) sangat berkepentingan dengan penilaian kinerja
dari anggotanya, mereka bahkan memakai metode yang rumit, yang
mengkonsumsi waktu dan sumber daya yang besar, hanya untuk mengukur
kinerja (Fogarty, 1994). Kinerja tidak saja merupakan pengukuran kepatuhan
individu terhadap tuntutan profesinya, tetapi juga merupakan internalisasi standar
dari keunggulan yang telah dicapai.
Sejumlah penelitian telah menguji hubungan antara tekanan peran dan
kinerja. Rebele and Michaels (1990) dengan menggunakan 155 auditor dari empat
perusahaan sebagai sampel penelitiannya menemukan bahwa ketidakpastian
lingkungan dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan kinerja auditor.
Namun hal serupa tidak terjadi pada hubungan antara konflik peran dengan
kinerja. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Fisher (2001)
menunjukkan bahwa ambiguitas peran dan konflik peran berhubungan dengan
kinerja auditor.
Penelitian-penelitian terkait di beberapa tahun terakhir, antara lain
dilakukan oleh Burney and Widener (2007) yang menguji anteseden dan
konsekuensi dari tekanan peran yang dialami oleh auditor independen. Hasil
penelitian menunjukkan hasil yang sama dengan Rebele and Michaels (1990)
bahwa ambiguitas peran dan ketidakpastian lingkungan berhubungan negatif
dengan kinerja, namun hubungan konflik peran dengan kinerja tidak memperoleh
dukungan yang cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Marginson and Bui (2009)
25
memberikan hasil yang mendukung Fisher (2001) bahwa meningkatnya konflik
peran akan mendorong pada menurunnya kinerja.
Hasil dari keempat penelitian di atas memperlihatkan hasil yang belum
konsisten, hal ini menunjukkan bahwa pengukuran yang digunakan untuk
mengukur kinerja auditor mungkin belumlah tepat. Mereka menggunakan
pengukuran self perception yang memiliki kelemahan berkaitan dengan
subjektifitas dari jawaban yang diberikan responden untuk mengukur kinerja dari
auditor. Selain itu penggunaan metode survei juga masih memungkinkan adanya
faktor-faktor lain di luar variabel penelitian yang diteliti yang dapat memengaruhi
hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dan kinerja. Pengukuran dengan
menggunakan metode survei kuesioner dan berbentuk persepsi, tidak mengukur
kinerja auditor yang sesungguhnya, karena tidak berkaitan dengan pekerjaan
auditnya. Oleh karena itu perlu untuk meneliti keterkaitan antara tekanan dalam
pekerjaan dengan kinerja audit yang dihubungkan dengan penugasan audit,
misalnya auditor diminta untuk membuat pertimbangan dalam melaksanakan
penugasan penelitian, dengan demikian kinerja auditor yang diteliti merupakan
pencerminan kinerja auditor yang sesungguhnya. Pemberian perlakuan dalam
penelitian disertasi ini yang berupa tekanan dalam pekerjaan yang bersumber dari
ambiguitas peran, konflik peran dan kelebihan beban kerja diduga akan
berdampak bagi auditor dalam menjalankan penugasannya, sehingga akan
memengaruhi pertimbangan/judgment-nya. Sejalan dengan Nahartyo (2012),
dengan penggunaan metode eksperimen peneliti dapat mengontrol variabel lain
yang tidak relevan dengan tujuan penelitian yang berpotensi memengaruhi
26
variabel dependen, dan peneliti dapat secara aktif memanipulasi variabel
independen dan mengukur dampaknya pada variabel dependen, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa kinerja auditor yang terjadi memang disebabkan oleh
perlakuan ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja yang
diberikan oleh peneliti. Sepanjang pengetahuan dan bacaan peneliti, masih belum
ada penelitian yang menguji hubungan antara tekanan dalam pekerjaan yang
berasal dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja, dengan
kinerja auditor yang sesungguhnya dengan menggunakan desain eksperimen
sehingga mendorong peneliti untuk mengembangkan penelitian ini. Selama ini,
sebagian besar penelitian yang menghubungkan tekanan dalam pekerjaan dan
kinerja auditor menggunakan desain survei, sehingga pengukuran kinerja
dilakukan dengan menggunakan ukuran self perception atau superior rating yang
sifatnya sangat subjektif dalam menilai kinerja dari individu.
Memasukkan karakteristik individu dalam menguji hubungan tersebut,
penting karena tipe individu yang berbeda tentunya akan merespon tekanan yang
dihadapinya juga secara berbeda. Fisher (2001) memasukkan karakteristik
individu tipe A sebagai pemoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan
dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Namun hasil penelitian gagal
untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan. Kegagalan untuk
memperoleh dukungan tersebut memberikan motivasi bagi peneliti, barangkali
ada variabel karakteristik individu yang lain yang mungkin memoderasi hubungan
antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dari auditor, seperti misalnya
tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Tingkat toleransi terhadap ambiguitas
27
merupakan salah satu karakteristik individu yang berkaitan dengan tekanan dalam
pekerjaan. Keenan and McBain (1979) di bidang psikologi meneliti karakteristik
tingkat toleransi ambiguitas terhadap hubungan antara ambiguitas peran dan
kepuasan kerja. Mereka menemukan adanya korelasi antara ambiguitas peran dan
kepuasan kerja yang lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas
dibandingkan grup yang menoleransi ambiguitas. Penelitian di bidang akuntansi
dilakukan oleh Liedtka et al.(2008) yang mengkaitkan kepribadian yang tidak
menoleransi ambiguitas dengan pengukuran kinerja menggunakan BSC. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa evaluator yang tidak menoleransi ambiguitas
dapat memengaruhi reaksi mereka pada variasi diantara pengukuran kinerja dalam
kategori BSC. Berdasar penelitian-penelitian tersebut, masih belum ada penelitian
di bidang akuntansi yang mengkaitkan antara tingkat toleransi terhadap
ambiguitas pada hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dan capaian kinerja
yang dilakukan oleh auditor, khususnya dalam membuat judgment audit.
1.4. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah kontribusi dalam
pengembangan teori, metodologi penelitian, dan praktik. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang kesahihan teori peran melalui
eksperimen lapangan. Dalam Positive Accounting Theory (PAT) yang
diungkapkan oleh Watts and Zimmerman (1986), sebuah teori positif dibangun
dengan menggabungkan penelitian-penelitian empiris. Pengembangan teori
28
berawal dari pemikiran peneliti untuk menjelaskan beberapa fenomena. Hasil
penelitian ini diharapkan mampu memberikan dukungan empiris pada teori peran.
Teori peran menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik dalam
dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan
yang ditujukan pada dirinya (Kahn et al. 1964). Sumber stress atau tekanan yang
dihadapi oleh banyak individu dalam setting pekerjaan inilah yang disebut sebagai
role stress atau job stress. Banyak penelitian yang menghubungkan bentuk dari
tekanan dalam pekerjaan ini, yaitu ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan
beban kerja dengan kinerja dari auditor. Namun hasil penelitian-penelitian
tersebut masih belum memberikan hasil yang konsisten. Sejumlah penelitian
menyebutkan bahwa ambiguitas peran saja yang berhubungan dengan kinerja,
sementara konflik peran tidak berhubungan dengan kinerja (Burney and Widener,
2007; Rebele and Michaels, 1990), sementara penelitian yang dilakukan oleh
Fisher (2001) dan Marginson and Bui (2009) menemukan hasil yang berbeda,
konflik peran berhubungan dengan kinerja, dengan semakin meningkatnya konflik
peran maka akan menurunkan kinerja. Keempat penelitian yang tidak konsisten
tersebut belum terkait erat dengan pekerjaan audit, dengan demikian hasil
penelitian dengan menggunakan pertimbangan auditor dalam penugasan
pembuatan judgment yang sesungguhnya ini, diharapkan mampu memperjelas
arah hubungan antara konflik peran dengan kinerja dari auditor. Teori peran yang
dikemukakan oleh Kahn et al. (1964) menyatakan bahwa individu akan
mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang
terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada dirinya. Peneliti sebelumnya
29
menguji ketiga bentuk dari tekanan dalam pekerjaan secara terpisah, namun
penelitian ini mencoba untuk mengkombinasikan ketiga bentuk peran tersebut
karena seorang auditor mungkin tidak hanya mengalami satu bentuk tekanan saja
di dalam pekerjaannya, namun kemungkinan ia dapat mengalami lebih dari satu
tekanan secara bersamaan. Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada penelitian
yang melakukan hal ini, dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini mampu
memberikan kontribusi bagi pengembangan teori peran. Penelitian ini
memberikan kontribusi bagi akuntansi karena penugasan dalam penelitian ini
adalah penugasan pembuatan kertas kerja audit dan pengambilan judgment atas
pengendalian internal klien, sehingga meskipun penelitian ini banyak mengambil
teori dari psikologi namun fenomena yang terjadi adalah bidang akuntansi. Dalam
bidang audit, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya literatur bahwa
auditor mungkin tidak hanya mengalami satu bentuk tekanan saja dalam dirinya
seperti konflik peran saja, ambiguitas peran saja, atau kelebihan beban kerja saja,
namun sangat mungkin ia mengalami lebih dari dua tekanan secara bersamaan
sehingga dapat mempengaruhi judgment yang dibuat olehnya. Ketika tekanan
dalam pekerjaan mempengaruhi judgment auditor, maka selanjutnya akan
berdampak pada laporan audit yang dihasilkannnya.
Kontribusi teori yang kedua adalah memperkuat literatur tentang pengaruh
karakteristik individu pada hubungan antara role stress dengan kinerja auditor.
Penggunaan variabel tingkat toleransi terhadap ambiguitas sebagai variabel
moderasi dalam hubungan antara ambiguitas peran dengan kinerja auditor, diduga
akan memperlemah atau memperkuat hubungan antara ambiguitas peran dengan
30
kinerja. Tingkat toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi (toleran terhadap
ambiguitas), meskipun terdapat ambiguitas peran yang tinggi, cenderung tidak
akan memengaruhi kinerjanya. Sepanjang literatur yang peneliti baca, belum
banyak penelitian yang menghubungkan tingkat toleransi terhadap ambiguitas
pada hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja, khususnya di
bidang akuntansi. Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangan
pada literatur pengaruh karakteristik individu terhadap hubungan antara role stress
dan kinerja auditor, yang masih belum terjawab dari penelitian yang telah
dilakukan oleh Fisher (2001).
Sementara kontribusi penelitian di bidang metodologi adalah, penelitian
ini mencoba untuk menggunakan desain eksperimen untuk menguji dampak
tekanan dalam pekerjaan terhadap kinerja auditor dengan menggunakan
penugasan audit atas laporan keuangan dan pembuatan judgment pengendalian
internal klien untuk mengukur kinerja auditor tersebut. Selama ini kebanyakan
penelitian di bidang ini menggunakan survei kuesioner dengan memakai
pengukuran self perception atau superior rating untuk mengukur kinerja dari
auditor, yang dalam hal ini pengukuran tersebut merupakan persepsi yang sifatnya
sangat subjektif, sehingga tidak mencerminkan kinerja dari auditor yang berkaitan
dengan penugasan audit.
Penelitian ini juga berkontribusi bagi praktik karena penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dampak tekanan dalam pekerjaan yang berasal dari
konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja terhadap kinerja
auditor, maka jika terbukti ketiga dimensi role stress tersebut memiliki dampak
31
terhadap kinerja, maka KAP dapat memprioritaskan cara untuk mengurangi agar
tekanan dalam pekerjaan tersebut tidak terlalu mengganggu kinerja auditor atau
justru akan mampu mendorong kinerja auditor. Peneliti mengharapkan penelitian
ini dapat dipergunakan oleh KAP dalam mengambil kebijakan yang sesuai untuk
mengatasi tekanan peran yang dialami oleh auditor, khususnya auditor yang masih
junior, karena satu opsi mungkin sesuai dengan satu kondisi namun tidak untuk
kondisi yang lain. Sebagai contoh, untuk kondisi kelebihan beban kerja, ketika
kelebihan beban kerja berdampak negatif pada kinerja, dapat diatasi dengan cara
KAP membuat skedul kerja/prioritas pekerjaan bagi auditor. Untuk kondisi
konflik peran, ketika konflik peran berdampak negatif terhadap kinerja, dapat
diatasi dengan menggunakan mentoring pada auditor junior. Sedangkan untuk
mengurangi kondisi ambiguitas peran yang berdampak negatif terhadap kinerja,
maka sebelum menerima penugasan dari klien, auditor sebaiknya mencari
informasi terlebih dahulu tentang kondisi klien, terutama jika ini merupakan
penugasan yang pertama untuk klien tersebut.