Download - bab i, ii
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kematian maternal di Indonesia adalah 4,5 permil, tertinggi di antara
negara-negara ASEAN. Salah satu penyebab kematian tersebut adalah preeklampsia -
eklampsia, yang bersama infeksi dan perdarahan, diperkirakan mencakup 75 - 80% dari
keseluruhan kematian maternal. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Angsar,
insiden preeklampsia-eklampsia berkisar 10-13% dari keseluruhan ibu hamil. 1,4
Eklampsi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan
perinatal di Indonesia. Eklampsi diklasifikasikan kedalam penyakit hypertensi yang
disebabkan karena kehamilan. Sedangkan eklampsia ditandai oleh adanya koma dan/atau
kejang di samping ketiga tanda khas Pre-Eklampsi Berat/PEB (hipertensi sedang-berat,
edema, dan proteinuria yang masif).1
Penyebab dari kelainan ini masih kurang dimengerti, namun suatu keadaan
patologis yang dapat diterima adalah adanya iskemia uteroplacental.1 Diagnosis dini
dan penanganan adekuat dapat mencegah perkembangan buruk kearah eklampsia. Semua
kasus eklampsia dan PEB harus dirujuk ke rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas
penanganan intensif maternal dan neonatal, untuk mendapatkan terapi definitif dan
pengawasan terhadap timbulnya komplikasi- komplikasi.
Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita pre-eklampsia yang disusul
dengan koma. Kejang di sini bukan akibat kelainan neurologis (saraf). PreEklampsi-
Eklampsi hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada kehamilan pertama
(nullipara). Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrim, yaitu pada
remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun.
Kondisi gawat terjadi bila timbul kejang atau bahkan pingsan yang berarti sudah
terjadi gangguan di otak. Pada tahap ini bisa dikatakan penyakit berada pada tahap
eklampsia. Pada kasus yang sudah lanjut, sang ibu pada awalnya mengalami kejang
selama 30 detik, lalu meningkat selama 2 menit, sebelum akhirnya pingsan selama 10-30
menit. Kewaspadaan perlu ditingkatkan, karena bila penderita koma berkepanjangan bisa
timbul komplikasi berat. Seperti gagal jantung, gagal ginjal, terganggunya fungsi paru-
paru, dan tersendatnya metabolisme tubuh.
Kelainan pre-eklampsia dan eklampsia berbeda dengan kehamilan dengan
hipertensi. Bedanya, pada pre-eklampsia dan eklampsia tekanan darah yang tadinya
normal tiba-tiba naik ketika kehamilan masuk minggu ke-20. Sementara penderita
hipertensi yang hamil, tekanan darahnya tinggi sejak awal, bisa saja penderita hipertensi
juga menderita pre-eklampsia. Biasanya pada kehamilan minggu ke-20, tekanan darahnya
sudah mencapai 160/100. Tidak menutup kemungkinan penderita tekanan darah rendah
juga bisa terkena pre-eklampsia.
Oleh karena itu, pada kehamilan pertama setiap ibu harus waspada. Soalnya rahim
yang untuk pertama kalinya menerima hasil pembuahan, seringkali menimbulkan
serangkaian reaksi dan perubahan yang kurang wajar. Kehamilan mesti dipersiapkan
sebaik-baiknya secara fisik dan mental. Suami juga perlu dilibatkan sehingga secara
kejiwaan ibu dan bayi merasa “aman”. Karena kematian pada ibu melahirkan sebagian
besar disebabkan oleh pendarahan atau eklampsia yang terlambat ditangani, maka
pemeriksaan kehamilan secara teratur mutlak dilakukan. Apalagi kehamilan dengan
gangguan eklampsia tidak memandang usia ataupun tingkat sosial ekonomi tertentu.
Klasifikasi menurut American Committee and Maternal Welfare :1
I. Hypertensi yang hanya terjadi dalam kehamilan dank khas untuk kehamilan ialah
preeklampsia dan eklampsia. Diagnosa dibuat atas dasar hypertensi dengan proteinuri
atau oedem atau kedua-duanya pada wanita hamil setelah minggu 20
II. Hypertensi yang chronis (apapun sebabnya). Diagnosis dibuat atas adanya hypertensi
sebelum kehamilan atau penemuan hypertensi sebelum minggu ke 20 dari kehamilan
dan hipertensi ini tetap setelah kehamilan berakhir.
III. Preeklampsia dan eklampsia yang terjadi atas dasar hypertensi yang chronis. Pasien
dengan hypertensi yang chronis sering memberat penyakitnya dalam kehamilan,
dengan gejala-gejala hypertensi naik, proteinuri, oedem, dan kelainan retina.
IV. Transient hypertnsion. Diagnosis dibuat jika timbul hypertensi dalam kehamilan atau
dalam 24 jam pertama dari nifas pada wanita yang tadinya normotensi dan yang hilang
dalam 10 hari postpartum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EKLAMPSIA
2.1.1 Definisi
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya
timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada
wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma.
Eklampsia lebih sering pada primigravida daripada multipara. Tergantung dari saat
timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia gravidarum (eklampsia antepartum),
eklampsia parturientum (eklampsia intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia
postpartum). Kebanyakan terjadi antepartum. Perlu dikemukakan bahwa pada eklampsia
gravidarum sering kali persalinan mulai tidak lama kemudian.2
Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia didahului oleh pre-eklampsia,
tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan teratur, sebagai usaha untuk
mencegah timbulnya penyakit itu.2
Eklampsia lebih sering terjadi pada :1
1) Kehamilan kembar
2) Hydramnion
3) Mola hydatidosa
2.1.2 Terminologi1,4
Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi
dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan
normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥
90 mmHg digunakan sebagai pedoman.
Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik
yang bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita pre eklampsia
juga disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi diagnosis tersebut pada
wanita yang mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang yang berhubungan
dengan pre eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan komplikasi –
komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan dengan eklampsia antara tahun 1978 –
1998 di sebuah rumah sakit di Memphis, adalah solutio plasentae (10 %), defisit
neurologis (7 %), pneumonia aspirasi (7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %),
acute renal failure (4 %) dan kematian maternal (1 %)
2.1.3 Frekuensi
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan yang lain. Frekuensi rendah
pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik,
penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup dan penanganan pre-eklampsia yang
sempurna.2
Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% -
0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaiatu 0,05% - 0,1%.2
2.1.4 Etiologi
Sebab eklampsia belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah
bahwa eklampsia disebabkan ischemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplacentae).
Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak.1
Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini
sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat
diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik,
penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan
dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal
trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat
berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta.
Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel,
agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.
2.1.5 Patofisiologi
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis Preeklampsi-eklampsi.
Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan
hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel
setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan
mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya
vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi
uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta.
Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan
proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga
dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah
hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh.
Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara perok-sidase
terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih domi-nan, maka akan timbul keadaan
yang disebut stess oksidatif.3
Pada Preeklampsi-eklampsi serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta
menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal,
serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai
antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui
ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang
dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel
tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan meng-akibatkan antara lain :3
adesi dan agregasi trombosit,
gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma
terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dai rusaknya
trombosit
produksi prostasiklin terhenti
terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan
terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lema
2.1.6 Gejala dan Tanda
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras,
nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera
diobati, akan timbul kejangan; terutama pada persalinan bahaya ini besar. Konvulsi
eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :2
1. Tingkat awal atau aura (Tingkat Invasi). Keadaan ini berlangsung kira-kira 30
detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula
tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.2
2. Kemudian timbul tingkat kejangan tonik (Tingkat Kontraksi) yang berlangsung
kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya
kelihatan kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan
berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.2
3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik (Tingkat Konvulsi) yang
berlangsung antara 1 – 2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi
dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah
dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar. Kejang klonik ini
dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya.
Akhirnya, kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.2
4. Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama
secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, Kalau pasien sadar kembali maka
ia tidak ingat sama sekali apa yang telah terjadi, lamanya coma dari beberapa menit
sampai berjam-jam, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan
baru dan yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.2
Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai
40 derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti
(1) lidah tergigit; perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernapasan; (3) solusio plasenta;
dan (4) perdarahan otak.2
Sebab kematian eklampsia ialah : oedeme paru-paru, apoplexia dan accidosis.
Atau pasien mati setelah beberapa hari karena pneumonia aspirasi, kerusakan hati dan
gangguan faal ginjal.
Kadang-kadang terjadi eklampsia tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah
koma. Eklampsia semacam ini disebut ”eclampsia sine eclampsi”, dan terjadi pada
kerusakan hati yang berat. Pernafasan biasanya cepat dan berbunyi, pada eklampsia yang
berat ada cyanosis.
Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24 jam.
Juga kalau anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit akan
berkurang. Proteinuri hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal kembali kira-kira 2
minggu.
2.1.7 Diagnosa
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda
dan gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejangan seperti telah diuraikan,
maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus
dibedakan dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil
atau pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejang karena obat
anestesia; apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang;
(3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis,
uremia, keracunan.2
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi
yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.2
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita
hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo 15,5% sulusio plasenta disertai pre-eklampsia.2
2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar
fibrinogen secara berkala.2
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan
gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti
apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis
periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat
menerangkanikterus tersebut.2
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.2
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.2
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.2
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan
akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi
ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.2
8. Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet
count.2
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.2
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).2
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian jani intra-uterin.2
2.1.9 Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta
korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu
berkisar antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% -
48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya
kematian ibu dan anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang
sempurnanya pengawasan antenatal dan nata; penderita-penderita eklampsia sering
terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh
perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan
masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan.2
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak menyebabkan
hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa pada penderita yang
mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian
atau lebih tinggi daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.2
Prognosa kurang baik untuk Ibu dan anak. Prognosa bagi multipaara lebih buruk,
dipengaruhi juga oleh umur terutama kalau umur melebihi 35 tahun dan juga oleh
keadaan waktu masuk Rumah Sakit.
Jika diuresis lebih dari 800 cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa
agak baik. Oliguri dan anuri merupakan gejala yang buruk.
Gejala-gejala lain memberatkan prognosa dikemukakan oleh Eden :
1) Coma yang lama
2) Nadi > 120 x/menit
3) Suhu > 39°C
4) TD > 200 mmHg
5) > 10 serangan
6) Proteinuti 10 gr sehari atau lebih
7) Tidak adanya oedem
2.1.10 Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :2
1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya
segara apabila ditemukan;
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila
setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.2
2.1.11 Penanggulangan
Terapi profilaksis ialah dengan pencegahan, diagnosis dini dan terapi yang cepat
dan intensif dari pre-eklampsia.2
Tujuan utama pengobatan eklampsia ialah menghentikan berulangnya serangan
kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu
mengizinkan.2
Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan
penderita eklampsia, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke
rumah sakit diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya
kejang; penderita dalam hal ini dapat diberi diazepam 20 mg 1M. Selain itu, penderita
harus disertai seorang tenaga yang trampil dalam resusitasi dan yang dapat mencegah
terjadinya trauma apabila terjadi serangan kejang.2
Tujuan pertama pengobatan eklampsia ialah menghentikan kejang mengurangi
vasospasmus, dan meningkatkan diuresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu
diberikan jika timbul kejang ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas (Bersihkan
mulut yang mungkin berisi bahan-bahan hasil regurgitasi dari lambung, intubasi
endotrakeal), menghindarkan tergigitnya lidah (tong spatel dililit dengan kain, penyumbat
mulut, dompet), pemberian oksigen, dan menjaga agara penderita tidak mengalami
trauma (Kepala pasien diganjal dengan sesuatu: handuk, sweater), Baringkan pasien pada
sisi kiri (posisi tredelenburg) untuk mengurangi risiko aspirasi. Untuk menjaga jangan
sampai terjadi kejang lagi yang selanjutnya mempengaruhi gejala-gejala lain, dapat
diberikan beberapa obat, misalnya :2
1. Sodium pentothal sangat berguna untuk menghentikan kejang dengan segera bila
diberikan secara intravena. Akan tetapi, obat ini mengandung bahaya yang tidak
kecil. Mengingat hal ini, obat itu hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan
pengawasan yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi dan
resusitasi. Dosis inisial dapat diberikan sebanyak 0,2 - 0,3 g dan disuntikkan
perlahan-lahan.2
2. Sulfas magnesicus yang mengurangi kepekaan saraf pusat pada hubungan
neuromuskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan saraf. Obat ini
menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan diuresis, dan
menambah aliran darah ke uterus. Dosis inisial yang diberikan ialah 8 g dalam larutan
40% secara intramuskulus; selanjutnya tiap 6 jam 4g, dengan syarat bahwa refleks
patella masih positif, pernapasan 16 atau lebih per menit, diuresis harus melebihi 600
ml per hari; selain intrarnuskulus, sulfas magnesikus dapat diberikan secara intravena;
dosis inisial yang diberikan adalah 4 g 40% Mg S04 dalam larutan 10 ml intravena
secara pelahan-lahan, diikuti 8 g IM dan selalu disediakan kalsium glukonas 1 g
dalam 10 rnl sebagai antidotum. Bahaya sulfas magnesicus ialah dapat melumpuhkan
diafragma hingga pasien berhenti bernafas, malahan kontraksi jantung berhenti. Maka
untuk menjauhi bahaya tersebut di atas sebelum menyuntikkan sulfas magnesicus
harus diperiksa : refleks lutut dan pernafasan tidak boleh < 16 x/menit. Sebagai
antidotum selalu harus tersedia gluconas calcicus 1 gr dalam 10 cc dan bantu dengan
ventilator.2
3. Lyric cocktail yang terdiri atas petidin 100 mg, kiorpromazin 100 mg, dan
prometazin 50 mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500 ml dan diberikan secara infus
intravena. jumlah tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka dari
itu, tensi dan nadi diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan bila
keadaan sudah stabil, pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan penderita.2
Di sini ditekankan bahwa pemberian obat-obat tersebut disertai dengan
pengawasan yang teliti dan terus-menerus. Jumlah dan waktu pemberian obat disesuaikan
dengan keadaan penderita pada tiap-tiap jam demi keselamatannya dan sedapat-dapatnya
juga demi keselamatan janin dalam kandungan.2
Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita eklampsia harus
dihindarkan dari semua rangsang yang dapat menimbulkan kejang, seperti keributan,
injeksi, atau pemeriksaan dalam.2
Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi,
pernapasan dicatat tiap 30 menit pada suatu kertas grafik; suhu dicatat tiap jam secara
rektal. Bila penderita belum melahirkan, dilakukan pemeriksaan obstetrik untuk
mengetahui saat permulaan atau kemajuan persalinan. Untuk melancarkan pengeluaran
sekret dari jalan pernapasan pada penderita dalam koma penderita dibaringkan dalam
letak Trendelenburg dan selanjutnya dibalikkan ke sisi kiri dan kanan tiap jam untuk
menghindarkan dekubitus. Alat penyedot disediakan untuk membersihkan jalan
pernapasan, dan oksigen diberikan pada sianosis. Dower catheter dipasang untuk
mengetahui diuresis dan untuk menentukan protein dalam air kencing secara kuantitatif.
Balans cairan harus diperhatikan dengan cermat. Pemberian cairan disesuaikan dengan
jumlah diuresis dan air yans hilang melalui kulit dan paru-paru; pada umumnya dalam 24
jam diberikan 2000 nil. Balans cairan dinilai dan disesuaikan tiap 6 jam.2
Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolisme jaringan dan
asidosis. Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan infus
dekstran, glukosa 10%, atau larutan asam amino, seperti Aminofusin. Cairan Yang
terakhir ini, selain mengandung kalori cukup, juga berisi asam amino yang diperlukan.2
B.I. Perawatan Aktif
Pengobatan Medisinal
1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang (ICU), terpasang infus Dx/RL dari
IGD.
2) Total bed rest dalam posisi lateral decubitus.
3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
4) Antasida.
5) Anti kejang:
a) Sulfas Magnesikus (MgSO4)
Syarat: Tersedia antidotum Ca. Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3 menit). Reflek
patella (+) kuat, Rr > 16 x/menit, tanda distress nafas (-), Produksi urine > 100 cc
dalam 4 jam sebelumnya.
Cara Pemberian:
Loading dose secara intravenas: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4 menit, intramuskuler:
4 gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/ MgSO4 40% gluteus kiri. Jika ada tanda
impending eklampsi LD diberikan iv+im, jika tidak ada LD cukup im saja.
Maintenance dose diberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4 gr/MgSO4
40%/6 jam, bergiliran pada gluteus kanan/kiri.
Penghentian SM :
Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi, setelah 6 jam pasca
persalinan, atau dalam 6 jam tercapai normotensi.
b) Diazepam: digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4
tidak dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam.
Jika dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada pemberian, alih rawat R. ICU.
6) Diuretika Antepartum: manitol
Postpartum: Spironolakton (non K release), Furosemide (Krelease). Indikasi: Edema
paru-paru, gagal jantung kongestif, Edema anasarka
7) Anti hipertensi
Indikasi: T > 180/110 Diturunkan secara bertahap.
Alternatif:
antepartum
Adrenolitik sentral:
- Dopamet 3X125-500 mg.
- Catapres drips/titrasi 0,30 mg/500 ml D5 per 6 jam : oral 3X0,1 mg/hari.
Post partum
ACE inhibitor: Captopril 2X 2,5-25 mg dan Ca Channel blocker: Nifedipin 3X5-10
mg.
8) Kardiotonika , Indikasi: gagal jantung
9) Lain-lain:
Antipiretika, jika suhu >38,5 °C
Antibiotika jika ada indikasi
Analgetika
Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1X80 mg/hari Syarat: Trombositopenia
(<60.000/cmm)(7).
Pengobatan obstetrik
1) Belum inpartu
a) Amniotomi & Oxytocin drip (OD), Syarat: Bishop score >8, setelah 3 menit tx.
Medisinal.
b) Sectio Caesaria, Syarat: kontraindikasi oxytocin drip 12 jam OD belum masuk fase
aktif.
2) Sudah inpartu
Kala I
Fase aktif: 6 jam tidak masuk f. aktif dilakukan SC. Fase laten: Amniotomy saja, 6 jam
kemudian pembuatan belum lengkap lakukan SC (bila perlu drip oxytocin).
Kala II
Pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan VE. Untuk kehamilan < 37 minggu,
bila memungkinkan terminasi ditunda 2X24 jam untuk maturasi paru janin.
B.II. Perawatan konservatif
Perawatan konservatif kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
impending eklampsia, dengan keadaan janin baik. Perawatan tersebut terdiri dari:
SM Therapy: Loading dose: IM saja. Maintenance dose: sama seperti di atas.
Sulfas Magnesikus dihentikan bila sudah mencapai tanda Preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
Terapi lain sama seperti di atas.
Dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi.
Jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan SM 20% 2 gr/IV dulu.
Penderita pulang bila: dalam 3 hari perawatan setelah penderita menunjukkan
tanda-tanda PER keadaan penderita tetap baik dan stabil.
2.1.12 Tindakan Obstetri
Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki, maka
direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara
yang aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio sesarea atau dengan
induksi persalinan per vaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor, seperti
keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anestesia, tidak terdapat
koagulopati dan sebagainya.2
Persalinan per vaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan
cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan
amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam
dan keadaan serviks mengizinkan. Tetapi, apabila serviks masih lancip dan tertutup
terutama pada primigravida, kepala janin masih tinggi, atau ada persangkaan disproporsi
sefalopelvik, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.2
Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk mempercepat
partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau cunam.
Pilihan anestesia untuk mengakhiri persalinan pada eklampsia tergantung dari
keadaan umum penderita dan macam obat sedativa yang telah dipakai. Keputusan tentang
hal ini sebaiknya dilakukan oleh ahli anestesia. Anestesia lokal dapat dipakai bila sedasi
sudah berat. Anestesia spinal dapat menyebabkan hipotensi yang berbahaya pada
eklampsia; jadi sebaiknya jangan dipergunakan.2
Pengalaman menunjukkan bahwa penderita eklampsia tidak seberapa tahan
terhadap perdarahan postpartum atau trauma obstetrik; keduanya dapat menyebabkan
syok, Maka dari itu, semua tindakan obstetrik harus dilakukan seringan mungkin, dan
selalu disediakan darah. Ergomettin atau metergin boleh diberikan pada perdarahan
postpartum yang disebabkan oleh atonia uteri, tetapi jangan diberikan secara rutin tanpa
indikasi.2
Setelah kelahiran, perawatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam Bila
tekanan darah turun, maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam
postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 24 - 48
jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria berkurang.2
Perawatan post partum : antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau
kejang terakhir, teruskan antihipertensi jika tekanan diastolik masih > 110 mmhg, pantau
urin.2
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terdapat oliguria (< 400 ml/24 jam),
terdapat sindrom HELLP, koma berlanjut > 24 jam sesudah kejang.2
2.2 Ketuban Pecah Dini
2.2.1 Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) atau spontaneus/early/premature rupture of membrans
(PROM) adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan
tanda-tanda persalinan/inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus
teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya effacement atau dilatasi
serviks), atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan, atau
secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang
dari 5 cm pada multigravida.
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm
maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of membrans
atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut
ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan bila
terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM. 6,9,10
2.2.2 Etiologi
Membran fetus yang normal adalah sangat kuat pada awal kehamilan. Kombinasi
akibat peregangan membran dengan pertumbuhan uterus, seringnya kontraksi uterus dan
gerakan janin memegang peranan dalam melemahnya membran amnion. KPD pada
kehamilan aterm merupakan variasi fisiologis, namun pada kehamilan preterm
melemahnya membran merupakan proses yang patologis. KPD sebelum kehamilan
preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
bakteri yang terikat pada membran melepaskan substrat seperti protease yang
menyebabkan melemahnya membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks
metaloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh
karena infeksi7,9,10.
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan
beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini antara lain
adalah6,8,10:
1. Infeksi
Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk
melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di dalam
vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan meningkat 10
kali.
Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya
infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada membran
melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan melemahnya membran.
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks metaloproteinase merupakan enzim
spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi7,9,10.
2. Defisiensi vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen.
Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas
yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.
3. Faktor selaput ketuban
Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau
terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping juga
ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada sindroma Ehlers-
Danlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa dan
struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi, termasuk
pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen. 72 % penderita
dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan preterm setelah
sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm.
4. Faktor umur dan paritas
Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat
rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.
5. Faktor tingkat sosio-ekonomi
Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden
KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran
yang dekat.
6. Faktor-faktor lain
- Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan pecahnya
selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari kavum
uteri.
- Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat meningkatkan
risiko terjadinya ketuban pecah dini.
- Pada perokok secara tidak langsung dapat menyebabkan ketuban pecah dini
terutama pada kehamilan prematur.
- Kelainan letak dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan KPD
namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
- Faktor-faktor lain seperti hidramnion, gemeli, koitus, perdarahan antepartum,
bakteriuria, pH vagina di atas 4,5; stres psikologis, serta flora vagina abnormal akan
mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.
2.2.3 Patogenesis
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput
ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban3.
Gambar 1. Gambar skematis dari struktur selaput ketuban saat aterm8.
Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah
jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas
kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks
metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah
komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput
ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen fibril
(tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga
memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat
metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1 menghambat
aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3
dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1.
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh karena
aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi. Saat
mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan kadar MMP
yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan menyebabkan
terjadinya degradasi matriks ektraseluler selaput ketuban. Ketidakseimbangan kedua
enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas
kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini.
Sedangkan pada preterm didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9
serta kadar TIMP-1 yang rendah.
Terjadinya gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya
gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.
Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini
adalah asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari
kolagen. Zat tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban
pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah.
Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme.
Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, dan
Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya degradasi
membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban.
Respon terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi
sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan
tumor nekrosis faktor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion.
Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi prostalglandin
oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan ketuban pecah dini preterm
karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi kolagen membran. Beberapa jenis
bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor
prostalglandin dari membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi juga
menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang
diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II
yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi prostalglandin. Sampai saat ini
hubungan langsung antara produksi prostalglandin dan ketuban pecah dini belum
diketahui, namun prostaglandin terutama E2 dan F2α telah dikenal sebagai mediator dalam
persalinan mamalia dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada
selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-3.
Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik yaitu
temperatur rektal ibu dimana dikatakan positif jika temperatur rektal lebih 38°C,
peningkatan denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan
vaginal berbau7.
Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler pada
jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan
MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci
percobaan. Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan produksi
kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi produksi
kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan
jaringan ikat diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini
mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan
estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran janin.
Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput ketuban manusia saat
aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis pecahnya selaput ketuban
belum dapat sepenuhnya dijelaskan.
Kematian Sel Terprogram
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel
terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput ketuban.
Pada korioamnionitis telihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit,
yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian
sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks ekstraseluler dimulai,
menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut.
Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas8.
Peregangan Selaput Ketuban
Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput ketuban
seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang
aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan
korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase. Hal-
hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan
degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban8.
Gambar 2. Diagram berbagai mekanisme multifaktorial yang diteorikan sebagai
penyebab ketuban pecah dini8
2.2.4 Gejala Klinis
Pasien dengan ketuban pecah dini umumnya datang dengan keluhan keluarnya
cairan dalam jumlah cukup banyak secara mendadak dari vagina. Mungkin juga
merasakan ‘kebocoran’ cairan yang terus menerus atau kesan ‘basah’ di vagina atau
perineum. Pemeriksaan yang terbaik untuk diagnosis pasti adalah melalui observasi
langsung keluarnya cairan amnion dari lubang vagina.
Gejala klinis dan diagnosis dapat juga ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik antara lain6:
1. Anamnesis:
a. Kapan keluarnya cairan, warna dan baunya.
b. Adakah partikel-partikel dalam cairan (lanugo dan verniks).
2. Inspeksi: keluar cairan pervaginam.
3. Inspekulo: bila fundus uteri ditekan atau bagian terendah digoyangkan, keluar cairan
dari osteum uteri internum (OUI).
4. Pemeriksaan dalam:
a. Ada cairan dalam vagina.
b. Selaput ketuban sudah pecah.
Catatan:
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada ketuban pecah dini adalah:
1. Saat ketuban pecah ditentukan berdasarkan anamnesis diketahui pasti kapan
ketuban pecah.
2. Bila anamnesis tidak dapat memastikan kapan ketuban pecah, maka saat
ketuban pecah adalah saat penderita masuk rumah sakit.
Bila berdasarkan anamnesis pasti bahwa ketuban sudah pecah > 12 jam, maka dikamar
bersalin dilakukan observasi selama dua jam. Bila setelah dua jam tidak ada tanda-tanda
inpartu dilakukan terminasi kehamilan9
2.2.5 Diagnosis
Mendiagnosa ketuban pecah dini dapat dengan berbagai cara. Pertama, dengan
melakukan anamnesis yang baik dan teliti kapan mulai keluar air, jumlahnya, merembes
atau tiba-tiba banyak, konsistensinya encer atau kental dan baunya.
Kemudian dengan melakukan pemeriksaan fisik, sebagai berikut7:
- Semua wanita dengan keluhan keluar air pervaginam harus dilakukan pemeriksaan
inspekulo steril. Pemeriksaan serviks mungkin memperlihatkan keluarnya cairan
amnion dari lubang serviks.
- Jika meragukan apakah cairan berasal dari lubang serviks atau cairan pada forniks
posterior vagina, dilakukan pemeriksaan pH dari cairan tersebut (cairan amnion
akan merubah lakmus menjadi berwarna biru karena bersifat alkalis). Cairan vagina
dalam keadaan normal bersifat asam. Perubahan pH dapat terjadi akibat adanya
cairan amnion, adanya infeksi bahkan setelah mandi. Tes nitrazine kuning dapat
menegaskan diagnosa dimana indikator pH akan berubah berwarna hitam,
walaupun urine dan semen dapat memberikan hasil positif palsu.
- Melihat cairan yang mengering di bawah mikroskop, cairan amnion akan
menunjukkan fern-like pattern (gambaran daun pakis), walaupun tes ini sedikit
rumit dan tidak dilakukan secara luas.
- Batasi pemeriksaan dalam untuk mencegah ascending infection. Lakukan vaginal
swab tingkat tinggi. Jika curiga terjadi infeksi, periksa darah lengkap, cRP, MSU
dan kultur darah. Berikan antibiotika spektrum luas.
- Pemeriksaan lebih lanjut seperti USG digunakan untuk melihat organ interna dan
fungsinya, juga menilai aliran darah uteroplasenta. USG yang menunjukkan
berkurangnya volume likuor pada keadaan ginjal bayi yang normal, tanpa adanya
IUGR sangat mengarah pada terjadinya ketuban pecah dini, walaupun volume
cairan yang normal tidak mengeksklusi diagnosis.
- Pada masa yang akan datang, tes seperti cairan prolaktin atau alpha-fetoprotein,
dan penghitungan fibronektin bayi mungkin dapat menentukan dengan lebih tepat
adanya ketuban pecah dini.
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KPD dengan kehamilan aterm berdasarkan prosedur tetap RSUP
Sanglah adalah6:
Diberikan antibiotik profilaksis, ampisilin 4x500 mg selama 7 hari
Dilakukan pemeriksaan admission test, bila hasilnya patologis dilakukan
terminasi kehamilan.
Observasi temperatur rektal setiap 3 jam, bila ada kecenderungan meningkat atau
sama dengan 37,6 °C dilakukan terminasi segera.
Bila temperatur rektal tidak meningkat, dilakukan observasi selama 12 jam.
setelah 12 jam bila belum ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi.
Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan berdasarkan indikasi obstetrik.
Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi pelvic score (PS):
1. Bila PS lebih atau sama dengan 5, dilakukan induksi dengan oksitosin
drip.
2. Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan serviks dengan Misoprostol
50 ugr setiap 6 jam oral, maksimal 4 kali pemberian.
2.2.7 Komplikasi
KPD berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan. jarak antara pecahnya
ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten (lag period = LP). Makin muda
umur kehamilan makin memanjang LP-nya.
KPD dapat menimbulkan komplikasi yang bervariasi sesuai dengan usia
kehamilan, baik terhadap janin maupun terhadap ibu. Kurangnya pemahaman terhadap
kontribusi dari komplikasi yang mungkin timbul dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas perinatal bertanggung jawab terhadap kontroversi dalam penatalaksanaannya.8:
1. Terhadap janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi, tetapi janin sudah terkena
infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis)
sebelum gejala pada ibu dirasakan. jadi akan meninggikan morbiditas dan mortalitas
perinatal. Beberapa komplikasi yang berhubungan dengan KPD antara lain:
Infeksi intrauterin
Tali pusat menumbung
Kelahiran prematur
Amniotic Band Syndrome
2. Terhadap ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu
sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas),
peritonitis, septikemia, dan dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di
tempat tidur, partus akan menjadi lam, maka suhu badan naik, nadi cepat dan
nampaklah gejala-gejala infeksi. hal-hal tersebut dapat meninggikan angka kematian
dan morbiditas pada ibu.
2.2.8 Prognosis
Ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi yang mungkin
timbul serta umur kehamilan.
2.3 Kala II Lama
2.3.1 Definisi Partus Lama dan Kala II Lama
Persalinan lama, yang disebut juga dengan istilah distosia secara umum
dimaksudkan untuk persalinan yang abnormal atau sulit. Sementara itu, WHO secara
lebih spesifik mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor / partus lama) sebagai
proses persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses
persalinan yang dimaksud adalah penambahan kala I dan/atau kala II persalinan. Dalam
penentuan batas waktu, terdapat variasi terdapat sebuah sumber yang menyatakan bahwa
batasan waktu dalam penentuan partus lama adalah 18 jam.11,12
Nullipara Multipara
Prolonged latent phase > 20 jam >14 jam
Protracted dilation < 1.2 cm/ jam < 1.5 cm/ jam
Protracted descent < 1 cm/ jam < 2 cm/ jam
Arrest of dilation >2 jam >2 jam
Arrest of descent >2 jam >1 jam
Prolonged second stage >2 jam >1 jam
Prolonged third stage >30 menit >30 menit
Tabel 2.3.1. Perpanjangan fase-fase persalinan13
Kala II lama (Prolonged Second Stage) diartikan sebagai memanjangnya waktu
kala II dimana pada primigravida berlangsung lebih dari 2 jam dan pada multipara
berlangsung lebih dari 1 jam. Menurut AGOG (American Congress of Obstetricians and
Gynecologists), kala II lama didefiniskan sebagai tidak adanya kemajuan pada kala II
dengan batasan waktu dilakukan pimpinan persalinan sebagai berikut: persalinan dengan
anestesi epidural pada nullipara yang berlangsung lebih 3 jam dan multipara berlangsung
lebih 2 jam, sedangkan untuk persalinan tanpa anestesi epidural nullipara berlangsung
lebih 2 jam dan multipara berlangsung 1 jam.14,15
2.3.2 Faktor Resiko
Faktor Resiko terjadinya kala II lama masih belum diketahui secara pasti, tetapi
dalam South Australian Perinatal Practice Guidelines, disebutkan terdapat beberapa hal
yang mempengaruhi terjadinya variasi waktu dalam kala II, yaitu posisi ibu pada kala II,
posisi dari janin, penurunan pada saat pembukaan lengkap, kualitas dari his, penggunaan
oksitosin, kekuatan mengejan ibu dan penggunaan analgesik. Dalam penelitiannya,
Thomas dan Santolaya menemukan bahwa nullipara, preeklamsia, diabetes, makrosomia,
janin laki-laki, anestesi epidural, induksi persalinan, penggunaan oksitosin, serta
koriamnionitis sebagai faktor resiko terjadinya persalinan dengan kala II lama.
2.3.3 Etiologi
Secara umum penyebab kala II lama dapat dibagi ke dalam beberapa faktor yaitu
faktor tenaga (power), faktor panggul (passage), faktor anak (passenger), faktor psikis
dan faktor penolong.
Faktor Tenaga
His yang normal dimulai dari salah satu sudut di fundus uteri kemudian
menjalarmerata simetris ke seluruh korpus uteri dengan dominasi kekuatan pada
fundusuteri (lapisan otot uterus paling dominan) kemudian terdapat relaksasi
secaramerata dan menyeluruh. Kelainan his terutama ditemukan pada primigravidatua.
Kelainan anatomis uteri juga menghasilkan kelainan his. Pada multipara lebih banyak
ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Peregangan rahim yang berlebihan pada
kehamilan ganda atau hidramnion juga dapat menyebabkan inersia uteri.16
Kelainan tenaga pada kala II lama, dapat dibagi menjadi 2, yaitu:16
1. Inertia uteri Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus yaitu lebih singkat, dan
jarang daripada biasanya. Keadaan umum penderita biasanya baik, dan rasa nyeri
tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak banyak bahaya, baik bagi
ibu maupun bagi janin, kecuali jika persalinan berlangsung terlalu lama. Keadaan ini
dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic uterine contraction Kalau timbul
setelah berlangsungnya his kuat untuk waktu yang lama, hal itu dinamakan inersia
uteri sekunder. Hingga saat ini etiologi dari inertia belum diketahui tetapi beberapa
faktor dapat mempengaruhi: umum (primigravida pada usia tua, anemia, perasaan
tegang dan emosional, pengaruh hormonal: oksitosin dan prostaglandin, dan
penggunaan analgetik yang tidak tepat), dan lokal (overdistensi, perkembangan
anomali uterus misal hypoplasia, mioma, malpresentasi, malposisi, dan disproporsi
cephalopelvik, kandung kemih dan rektum penuh).
2. Incoordinate uterine action.
Disini sifat his berubah sehingga tonus otot uterus meningkat, juga diluar his, dan
kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronasi antara
kontraksi bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas,
tengah dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.
Selain 2 hal tersebut diatas, kurang adekuatnya mengejan dapat menyebabkan
terjadinya kala II. Kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat
terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui
vagina. Sedasi berat atau anestesia regional kemungkinan besar mengurangi dorongan
refleks untuk mengejan.17
2.3.4 Gejala Klinis18
Gejala klinis terjadinya kala 2 lama dapat dijumpai pada ibu dan janin. Gejala
klinis yang dapat dijumpai pada ibu meliputi:
1. Tanda-tanda kelelahan dan dehidrasi dari ibu (nadi cepat dan lemah, perut kembung,
demam, nafas yang cepat dan his hilang dan lemah)
2. Vulva edema
3. Cincin retraksi patologi Brandl
Sering timbul akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan
berlebihan segmen bawah uterus, dan menandakan ancaman akan rupturnya segmen
bawah uterus.
Gejala Klinis yang dapat ditemui pada janin:
1. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak teratur, bahkan negatif
2. Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan, berbau.
3. Kaput suksedaneum yang besar. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan
menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Biasanya kaput suksedaneum,
bahkan yang besar sekalipun, akan menghilang dalam beberapa hari.
4. Moulase kepala yang hebat akibat tekanan his yang kuat, tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain.
5. Kematian janin dalam kandungan atau intra uterine fetal death (IUFD).
2.3.5 Patofisiologi Uterus Pada Kala II Lama19
Pada awal persalinan, uterus akan menghasilkan energi untuk berkontraksi dan
relaksasi. Kondisi metabolik ini dapat berlangsung jika energi ibu cukup, dan aktivitas ini
dipertahankan selama berjam-jam. Namun, jika kondisi ini berlangsung terlalu lama,
akan menyebabkan patologi pada uterus. Pertama-tama, akan timbul gangguan emosi dan
kelelahan pada ibu yang mengakibatkan cadangan glikogen pada uterus akan berkurang,
sehingga ATP yang dihasilkan juga akan berkurang. Selain itu juga dapat terjadi
asidifikasi karena timbunan asam laktat untuk memenuhi kebutuhan ATP. Timbunan
asam laktat ini bisa mengurangi kemampuan uterus untuk berkontraksi. Kontraksi yang
terus-menerus pada miometrium yang mengalami deplesi energi dan hipoksia akan
mengakibatkan ruptur uteri.
Gambar 2.1. Patofisiologi Uterus Pada Persalinan Lama11
2.3.6 Diagnosis Kala II lama
Berdasarkan Nice Clinical Guidelines, diagnosis kala II lama dapat ditegakkan
sebagai berikut:15
1. Nullipara
Kala II lebih dari 2 jam tanpa pengaruh regional anestesi (AGOG 2003) atau lebih
dari 3 jam dengan pengaruh regional anestesi. (Kala II dimulai terjadi pembukaan
lengkap pada serviks)
2. Multipara:
Kala II lebih dari 1 jam tanpa pengaruh regional anestesis (AGOG 2003), atau
lebih dari 2 jam dengan pengaruh regional anestesi ((Kala II dimulai terjadi
pembukaan lengkap pada serviks)
2.3.7 Penatalaksanaan Kala II Lama
Kala II lama merupakan salah satu kegwawatdaruratan obstetrik yang
memerlukan penanganan tepat dan cepat dimana penanganan tersebut dapat mengurangi
morbiditas maupun mortalitas ibu dan janin. Ketika Kala II lama ditegakkan maka
penilaian klinik perlu dilakukan, diantaranya:20
1. Penilaian klinik terhadap ibu
Kondisi ibu
Kontraksi/his
Pemeriksaan klinik berupa: pemeriksaan kandung kemih, palpasi abdomen, dan
pemeriksaan dalam (evaluasi pelvik, imbangan feto pelvik/penentuan CPD,
maupun ada tidaknya tumor pada jalan lahir)
2. Penilaian Klinik terhadap janin
Janin berada di dalam atau di luar Rahim
Jumlah janin
Letak
Presentasi dan penurunan bagian terbawah janin
Posisi, moulage, dan kaput suksadenum
Bagian kecil janin (tangan, tali pusat dll)
Anomali kongenital yang dapat mengganggu ekspulsif bayi
Tafsiran berat janin
Gawat janin
Janin hidup atau tidak
3. Penilaian terhadap kekuatan mengejan ibu
Berdasarkan hasil penilaian tersebut, maka dapat ditentukan dengan segera
etiologi gangguan kemajuan proses persalinan saat kala II dapat segera diambil keputusan
yang tepat.
Faktor Temuan Klinik Diagnosis
Jalan Lahir Palpasi luar menunjukkan
bagian terbawah janin belum
masuk PAP
Diameter anteropsoterior
lebih kecil dari normal
Promotorium menonjol
Kesempitan pintu panggul
atas
Dinding samping panggul
menyempit dan krista iliaka
sangat menonjol
Arcus pubis kurang 900
Kesempitan panggul tengah
Sacrum melengkung ke
depan dan cocygeus
mengarah pada sumbu jalan
lahir
Kesempitan pintu panggul
bawah
Bayi Tafsiran berat badan ekstrim Makrosomia
Bagian terbawah muka Presentasi muka
Dagu dibelakang dan dasar
panggul
Mentoposterior persisten
Sutura sagitalis melintang
dan parietal tertahan di
promotorium
Asinklitimus
Teraba tangan atau lengan
disamping tangan atau
Presentasi Majemuk
bokong
Teraba rusuk dan atau lengan
dengan kepala di lateral
Letak Lintang
Bahu pada posisi
anteroposterior dan tertahan
pada dasar panggul
Distosia Bahu
Tenaga Ekspulsi Kontraksi lemah dan tidak
terkoordinasi
Inersia uteri
Ibu tidak mampu membuat
posisi efektif mengejan
Ibu kelelahan
Lingkaran konstriksi CPD
Tabel 2.3.7. Hubungan faktor penyebab Kala II lama, temuan klinik dan Diagnosis20
Setelah ditegakkan diagnosis, maka harus segera dilakukan intervensi untuk
menyelesaikan kala II, sebagai berikut:15,20
1. Pada wanita dengan kondisi fisik yang lelah dan panik, klinisi dapat memberikan
dukungan dan semangat untuk melakukan persalinan. Selain itu dapat diberikan
analgesik ataupun anestesi dan dilakukan rehidrasi maupun pemberian kalori.
2. Pemberian oksitosin sesuai dengan indikasi adanya inersia uteri.
3. Pada distosia bahu dilakukan ALARM
4. Tindakan bedah baik per vaginam maupun Sectio Cesaria sesuai indikasi
5. Sectio Cesaria dilakukan pada keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per
vaginam dengan tindakan operatif misalnya: panggul sempit, makrosomia,
malpresentasi, letak lintang, CPD, dan asinklitimus.
Gambar 2.2. Bagan Manajemen Kala II Lama21
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi pada persalinan dengan kala II lama dapat terjadi pada ibu maupun
pada bayi. Pada kala II lama dapat terjadi infeksi sampai sepsis. Infeksi adalah bahaya
serius yang mengancam ibu dan janinnya, terutama bila disertai pecahnya ketuban.
Bakteri didalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta
pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin.20
Selain itu dapat terjadi dehidrasi, syok, kegagalan fungsi organ-organ, robekan
jalan lahir, ruptur uteri. Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya
serius selama partus lama, terutama pada wanita dengan paritas tinggi dan pada mereka
dengan riwayat bedah sesar. Robekan serta pembentukan fistula pada buli-buli, vagina,
uterus dan rektum. Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul
tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak di
antaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan berlebihan. Karena gangguan
sirkulasi, maka dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah
melahirkan dengan munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal.
Umumnya nekrosis akibat penekanan ini terjadi setelah persalinan kala dua yang sangat
berkepanjangan.20
Gambar 3. Komplikasi Fistula Pada Kala II Lama11
Menurut Myles dan Santolaya, terjadinya morbiditas maternal yang meliputi
laserasi jalan lahir, dan pendarahan postpartum sebanding dengan lama kala II
berlangsung. Selain itu, dalam penelitiannya, Myles dan Santolaya mendapatkan bahwa
tindakan bedah obstetri meningkat sesuai dengan lama dari kala II. Dalam peneltiannya
Brown et al, menyimpulkan bahwa ibu dengan kala II lama memiliki resiko 1,4 kali
terjadinya inkontinesia urine dibandingkan ibu yang tidak mengalami kala II lama, dalam
3 bulan postpartum.17
Komplikasi yang terjadi pada janin akibat kala II lama adalah gawat janin dalam
rahim sampai meninggal. Juga dapat terjadi kelahiran janin dalam asfiksia berat sehingga
menimbulkan cacat otak menetap. Trauma persalinan merupakan akibat lain dari
persalinan kala II lama yang dilakukan tindakan operastif per vaginam. Trauma tersebut
meliputi eksoriasi kulit, sefalhematom, perdarahan subgaleal, ikterus neonatorum berat,
dan nekrosis kepala yang akan diikuti alopesia di kemudian hari. Selain itu dapat terjadi
patah tulang dada, lengan, kaki, kepala karena pertolongan persalinan dengan tindakan.22
2.3.9 Prognosis
Prognosis dari partus kala II lama ini ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan
dalam mendiagnosis serta menanganinya. Semakin lama partus tersebut berlangsung,
maka semakin besar kemungkinan terjadinya partus lama dan semakin banyak
komplikasi yang ditimbulkan baik pada ibu maupun pada janinnya hingga terjadinya
partus kasep.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Mose C, Johanes. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi,Ed. 2, Gestosis
hal 68 – 81, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran Bandung. EGC. Jakarta: 2005
2. Wiknjosastro. H, Prof, dr, SpOG. Ilmu Kebidanan. Ed.3, Cet. 8. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2006. Hal 281 – 300
3. Rambulangin, John, Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia, Cermin Dunia Kedokteran; 2003. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_139_kebidanan_dan_penyakit_kandungan.pdf)
4. Sudhaberatha, Ketut.Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia, UPF: Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Rumah Sakit Umum Tarakan
KalimantanTimur; 15 Juni 2008.
http://www.sidenreng.com/2008/06/penanganan-preeklampsia-berat-dan-
eklampsia/#more-37
5. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal. 2006.
Preeklmapsia Berat dan Eklampsia Hal M-38. Ed.1, Cet. 11. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
6. Anonim, Ketuban Pecah Dini. In: Prosedur Tetap Bagian/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK Unud/RS Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. Denpasar. 2004. p:8-10
7. Suwiyoga IK, Budayasa AA, Soetjiningsih. Peranan Faktor Risiko Ketuban Pecah
Dini terhadap Insidens Sepsis Neonatorum Dini pada Kehamilan Aterm. Cermin
Dunia Kedokteran, No 151. 2006. p: 14-17
8. Garite TJ, Prematur Rupture of the Membrans. In: Maternal-Fetal Medicine
Principle and Practice. Fifth edition. Editors: Creasy RK, Resnik R, Iams JD;
W.B. Saunders Company Ltd. USA. 2004. p: 723-37.
9. Goepfert AR, Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology Principle for
Practice. Editors: Ling FW, Duff P; McGraw Hill Medical Publishing Division,
USA. 2001. p: 357-67.
10. Svigos JM, Robinson JS, Vigneswaran R; Prematur Rupture of the Membrans. In:
High Risk Pregnancy Management Options. Editors: James DK, Steer PJ, Weiner
CP, Gonik B; W.B. Saunders Company Ltd. London. 1994. p: 163-70.
11. Anonymous. Managing Prolonged and Obstructed Labour. Education for Safe Motherhood. Second edition. Geneva:Department of Making Pregnancy safer WHO; 2006.
12. Mochtar., Rustam. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi,Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998.
13. Cunningham., Gary et-al. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York: Mc Graw Hill, 2010.
14. Ness, Amen., Golberg, Jay., Berghella, Vicenzo. Abnormalities of the First and Second Stages of Labor. J Obstet Gynecol Clin 2005: 32; 201-20.
15. Anonymous. Intrapartum care: Care of healthy women and their babies during childbirth. NICE Guidelines; 2007.
16. Neilson, J.P., lavender, T., Quenby, S., Wray, S. Obstructed labour: reducing maternal death and disability during pregnancy. British Medical Bulletin, 2003: 67: 191–204.
17. Myles, Thomas D., Santolaya, Joaquin. Maternal and Neonatal Outcomes in Patients With a Prolonged Second Stage of Labor. Jobstet Gynecol America 2003: 102 (1); 52-8.
18. Pernoll, M. L. Benson & Pernoll’s handbook of obstetrics and gynecology. Tenth edition. New York: Mc Graw Hill, 2001.
19. Syakurah, Risma. Tinjauan Pustaka Partus Kasep (Serial Online), 2011. http//www.wordpress.com. diakses tanggal 5 Mei 2012.
20. Anonymous. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jaarta:Bakti Husada, 2008.
21. Anonymous. South Australia Perinatal Practice Guideline: Chapter 9a Delays in the second stage of labour. South Australia, 2012.
22. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008.