BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
—Saat akan menghadiri ibadah di GBI Medan Plaza, mata saya dimanjakan terlebih dahulu oleh berbagai produk yang ditawarkan di gerai-gerai dan toko-toko sepanjang perjalanan saya menuju gereja, mulai dari lantai satu hingga ke lantai enam di mana GBI Medan Plaza tersebut berada. Saya lebih memilih menggunakan escalator daripada lift yang penuh karena disesaki oleh jemaat yang juga hendak beribadah seperti saya. Tentu sebuah pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya ketika saya hendak beribadah di gereja, di mana gereja tradisional1 biasanya tidak berdiri dan melakukan aktivitas ibadah di tempat-tempat publik dan elit, gedung-gedung bertingkat seperti hotel, mall, plaza dan pusat perbelanjaan lainnya.
Tentu saja orang tidak sepenuhnya mengira bahwa saya hendak beribadah ke gereja—jika mereka tidak melihat saya menggenggam Alkitab ditangan saya2—selain karena di gedung yang sama dan atap yang sama terdapat begitu banyak tempat yang bisa saya tuju selain beribadah ke gereja yang ada di lantai enam dan tujuh, juga karena baju yang saya gunakan lebih casual tidak formil seperti di gereja tradisional yang identik dengan pakaian formil dalam beribadah. Ketika saya tiba di lantai
1Sebuah terminologi yang diberikan kepada gereja-gereja yang ibadahnya dilakukan dengan
liturgikal. Paul Basden mengarahkan terminologi tersebut umumnya diberikan kepada gereja Protestan dan gereja Katolik (Paul Basden, The Worship: Finding a Style to Fit Your Church, Downers Grove:Intervarsity,1999.,hlm.42)
2Ada beberapa kemungkinan jemaat tidak membawa Alkitab ke gereja, pertama: kenyataannya saat ini telah tersedia Digital Bible yang dapat dengan mudah di simpan di dalam telepon selular atau perangkat (gadget) lainnya sehingga saat ibadah ketika pengkhotbah memerintahkan jemaat membaca Firman Tuhan, kita mungkin akan melihat beberapa orang justru sedang mengutak-atik telepon selularnya (kemungkinan sedang mencari ayat tertentu). Yang kedua, di gereja kharismatik tersedia in focus dengan screen yang siap menampilkan ayat-ayat yang sedang menjadi topik bahasan dalam khotbah, sehingga jemaat merasa tidak perlu membawa Alkitab dari rumah.
Universitas Sumatera Utara
enam, lobby gereja telah disesaki oleh jemaat yang antri menunggu masuk (ibadah jam sebelumnya sudah hampir usai, terdengar samar-samar doa syafaat sedang dipanjatkan).
Setibanya di pintu masuk, dengan sedikit berdesakan saya masih sempat disambut dengan hangat dan senyuman oleh diaken3 dan diakones yang mengenakan pakaian hitam putih, sambil mempersilahkan saya masuk tentunya tidak lupa diaken tersebut membagikan lembaran warta jemaat kepada saya. Setelah memilih tempat duduk, saya memandangi sekeliling ruangan gereja, cukup luas untuk ukuran sebuah gereja jika dibandingkan dengan gereja-gereja lain yang selama ini pernah saya kunjungi.
Dengan kapasitas gedung yang terbilang cukup besar, mampu menampung ±3300 jemaat,4 tentu tidak mudah bagi diaken untuk mengenal secara fisik maupun secara personal setiap jemaat yang hadir di ibadah.5 Seperti penuturan Bapak Simanjuntak salah seorang diaken yang pernah melayani di GBI Medan Plaza, beliau mengatakan bahwa saat ibadah berakhir dan saat akan memulai ibadah berikutnya merupakan suasana yang penuh sesak, karena jemaat yang hendak beribadah berusaha masuk, sedangkan jemaat yang selesai ibadah berusaha keluar. Walaupun sudah dikoordinasikan agar masuk dan keluar melalui pintu tertentu, tetapi dengan jumlah jemaat yang mencapai ribuan dan berusaha keluar dan masuk secara bersamaan menjadikan suasana berdesakan.
Terdapat panggung (stage)—dalam istilah teologia disebut altar—yang diatasnya terdapat podium kayu yang memiliki tanda salib di depannya seakan-akan menegaskan bahwa kita sedang berada di gereja, juga dilengkapi seperangkat alat band dan sound system Electro Voice (EV) tergantung di langit-langit (line arai), juga terdapat beberapa kamera video profesional yang siap menampilkan jalannya ibadah kedalam layar yang besar yang terpasang di atas mimbar. Semua perangkat hardware
3Pejabat/pelayan dalam jemaat purba yang melayani para janda dan orang miskin. Namun
dalam konteks gereja sekarang diaken (pria) dan diakones (wanita) melayani sebagai yang menerima dan meyambut jemaat di gereja.
4Persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus, baik yang di satu tempat maupun keseluruhan persekutuan Kristen
5Salah satu pola gereja Kharismatik saat ini adalah jumlah jemaat yang super-besar (mega church) namun Wilfred J. Samuel mengungkapkan dalam gereja yang super-besar koinonia (persekutuan) tidak berfungsi dengan maksimal. (Wilfred J. Samuel, Kristen Kharismatik, BPK Gunung Mulia, Jakarta.2007.hlm.43.
Universitas Sumatera Utara
tadi mungkin biasa ditemukan dalam suasana konser artis-artis profesional, tetapi saat ini telah “mampir” di gereja. Kebaktian dimulai dengan doa, sang pemimpin pujian (worship leader)6 dan penyanyi latar (singer) bernyanyi diiringi oleh combo band dengan membawa pujian dan penyembahan7 yang dilantunkan ±8-10 kali pengulangan. Jemaat kemudian diundang untuk bangkit berdiri sambil bernyanyi, melompat, menari, bersalaman, bersorak karena gembira, menangis, mengepalkan, mengacungkan tangan, dan sebagainya. Sementara itu bagi anggota jemaat yang telah lanjut usia, diperbolehkan tetap duduk dan menikmati musik yang terkesan “hingar-bingar”.
Setelah 45-50 menit ibadah berlangsung, saatnya bagi pengkhotbah menyampaikan Firman Tuhan, lalu pengkhotbah mulai naik ke altar, bernyanyi dan berdoa dengan suara ringan. Sambil menyapa jemaat, pengkhotbah mengeluarkan gadget-gadget pendukung dalam menyampaikan materi khotbah misalnya, Notebook, Handphone, I-Pad, Blackberry dan sebagainya.8 Sepanjang khotbah, diselingi beberapa nyanyian yang relevan dengan tema khotbah, menggunakan kisah-kisah kesaksian tentang kesembuhan, Roh Kudus,9 tentang berkat, menggunakan berbagai ilustrasi untuk menyampaikan Firman Tuhan dan diselingi humor-humor untuk menghindari perasaan kantuk jemaat. Khotbah dilakukan dengan sangat sistematis, menyerupai orasi, berapi-api, suara yang “menggelegar” dan cenderung komunikatif dua arah dengan mengajak jemaat untuk berdialog.
6Di lingkungan GBI Medan Plaza dan kalangan Kharismatik istilah worship leader dan singer
lebih populer digunakan, sehingga kedepannya dalam tulisan ini saya akan gunakan istilah tersebut. 7Istilah pujian dan penyembahan dapat mengacu kepada sebuah bentuk pola ibadah dan
repertoar lagu. Kata pujian atau penyembahan yang digunakan pada konteks yang berbeda memiliki arti yang berbeda juga.
8Pengkhotbah dalam gereja ini juga biasa menggunakan Microsoft Power Point untuk menyampaikan materi khotbah, sesuatu perlengkapan yang tidak digunakan dalam khotbah-khotbah dalam gereja-gereja tradisional.
9 Oleh Roh dan Firman-Nya Allah menciptakan langit dan bumi dan memberi nafas kepada manusia (Kejadian 1:2;2:7; Mazmur 33:6;104:23). Roh Allah juga menggerakkan orang-orang tertentu: hakim-hakim, raja-raja, nabi-nabi. Dalam Perjanjian Baru seringkali disebut:Roh Kudus atau Roh Allah atau Roh Yesus (Kisah Rasul 16:17) atau Roh Anak Allah (Galatia 4:6) ialah Roh pelaksana kehendak Allah di bumi. Ia sebagai Penghibur (penolong) melanjutkan dan menerapkan karya Keselamatan Yesus. Dialah dinamik pekabaran Injil. Ia memberi kesaksian Allah dalam hati orang-orang percaya bahwa mereka anak-anak Allah (Roma 8:15-16) [Seluruh ayat Alkitab terdapat pada lembar lampiran pada tesis ini]
Universitas Sumatera Utara
Tulisan di atas sengaja saya awali dalam topik ini untuk memberikan
gambaran bagaimana ibadah dilakukan oleh gereja masa kini. Gambaran suasana
ibadah persekutuan di atas mencerminkan sejumlah ciri khas gerakan10 dan
persekutuan gereja Kharismatik yang juga dapat dijumpai dibanyak tempat di seluruh
belahan dunia. Perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan yang terjadi
dialami gereja selama di dunia merupakan sebuah sejarah yang sangat panjang selama
±2000 tahun. Sejarah gereja menceritakan tentang kisah pergumulan antara Injil
dengan bentuk-bentuk yang digunakan untuk mengungkapkan Injil tersebut.11
Judul tulisan ini—saya harap—akan mewakili terhadap kerinduan saya dalam
mengkaji bagaimana sebuah ibadah yang dilakukan di GBI Medan Plaza yang
memanfaatkan musik sebagai media doa. Musik yang digunakan dalam ibadah
Kharismatik merupakan musik dengan gaya yang sangat berbeda dari gereja-gereja
tradisional yang himne. Kita melihat terjadi perkembangan perlakuan terhadap cara
menyanyi jemaat dalam ibadah. Awalnya nyanyian jemaat dalam ibadah hanya
mazmur12 saja, kemudian berkembang dengan adanya himne. Himne adalah nyanyian
berbait dengan syair baru (bukan dari kitab suci). Himne dan liturgi dikembangkan
10Gerakan dalam tulisan ini dapat mengacu kepada aktivitas gerak-gerik olah tubuh, seperti:
melompat, menari, bertepuk tangan, dan sebagainya. Namun juga dapat mengacu kepada sebuah periode masa perkembangan gereja seperti Gerakan Pentakostal, Gerakan Kharismatik dan sebagainya. Sehingga pada konteks yang berbeda kata gerakan akan memiliki arti yang berbeda pula.
11Dr. Th.van den End, Harta dalam Bejana, BPK Gunung Mulia.Jakarta.2004 12Mazmur ialah doa gereja yang dinyanyikan. Oleh karena itu, mazmur harus mendapat
tempat liturgis sendiri di dalam ibadah. (G.W.Oberman, De Gang van het Kerkelijk Jaar,’s Gravenhage,1947.blz.109vv dalam Dr. J.L.Ch.Abineno, Unsur-Unsur Liturgia Yang Dipakai Oleh Gereja-Gereja di Indonesia,BPK Gunung Mulia,Jakarta.2005, hlm.70. Mazmur juga merupakan nama kitab yang ditulis oleh Raja Daud pada Perjanjian Lama.
Universitas Sumatera Utara
oleh dua tokoh besar yaitu Ambrosius (333-397) dan Gregorius Agung (590-604).13
Ambrosius kemudian dianggap sebagai Bapak Himne Katholik karena nyanyian yang
diciptakan oleh kedua tokoh ini digunakan sebagai model himne bagi generasi
berikutnya dan sangat mempengaruhi perkembangan musik Barat pada jaman-jaman
selanjutnya.14
Sebagai sebuah kehidupan bersama religius yang berpusat pada Kristus,
gereja sarat akan aktivitas seni, khususnya musik. Sebagian besar dari hal tersebut
termanifestasi dalam ibadah. Ibarat dua buah sisi mata uang, musik dan ibadah tidak
dapat dipisahkan dalam sebuah tata ibadah gereja. Ibadah merupakan salah satu cara
jemaat untuk berhubungan dengan Sang Khalik secara dramatis-simbolis.15 Secara
historis, gereja telah meyakini bahwa ibadah merupakan tindakan komunal yang
ditawarkan dalam bentuk ucapan syukur sebagai pemberian kepada Allah, suatu
penerimaan akan Firman Allah dan berbagai anugerah dari Allah, juga sebagai
tanggapan atas pemberian dari setiap orang, semua yang kurang dari itu bukanlah
maksud sebenarnya dari ibadah itu sendiri.
David R. Ray mengatakan jika sebuah gereja ingin ibadahnya menjadi
autentik dan kontekstual, ibadah tersebut haruslah merefleksikan bagaimana jemaat
itu sesungguhnya. Suatu ibadah jemaat yang autentik merefleksikan siapa diri mereka
secara kultural, waktu dan tempat mereka tinggal, dan iman dari hati dan pikiran
13Stanley Sadie, The New Grove-Dictionary of Music and Musician-Volume VII, hlm.696 14Albert Seay, Music in the Medieval World, Prentice-Hall,Inc.1975, Englewood Cliffs, New
Jersey., hlm.48. 15F.W Fore, Para Pembuat Mitos dalam Kristian Feri Arwanto. 11 Oktober 2006 dalam situs
www.gkj.or.id
Universitas Sumatera Utara
mereka. Beribadah secara autentik dan kontekstual tidak semudah dan dapat diduga
seperti dengan cara biasanya dilakukan atau seperti diambil dari buku salah satu
denominasi, namun jauh lebih dapat dinikmati, diimani dan efektif16.
Selain perubahan dalam teologi dogmatika, dalam gereja juga terjadi
perubahan dan kontekstualisasi pola ibadah serta musik yang digunakan. Alkitab
menuliskan peran musik dalam kehidupan serta ibadah jemaat, namun setiap gereja
memiliki peran, “gaya musik” dan “porsi” musik yang berbeda-beda pula. Dalam
gereja tradisional misalnya, penyembahan dilakukan dengan lagu-lagu yang
dinyanyikan dari buku-buku himne yang sudah lama dan digunakan sebatas aktivitas
liturgikal17 dengan pola ibadah teratur.
Pola ibadah yang sifatnya liturgikal merupakan sesuatu yang telah lama
menjadi pertentangan hangat bagi kaum gereja tradisional dan Kharismatik. Kata
liturgi sendiri berasal dari bahasa Yunani litourgia, yang artinya mempersatukan
orang-orang.18 Secara populer masyarakat awam mengartikan liturgi sebagai upacara
gereja, atau tatacara ibadah gereja, dan sebagainya. Sangat berbeda dengan yang
dilakukan oleh kalangan gereja-gereja Kharismatik, musik dalam ibadah sifatnya
lebih fleksibel, spontan, tidak dilakukan dengan struktur yang “kaku”.
Ketika gereja Kharismatik menggunakan musik yang dikenal sebagai musik
16David R. Ray, Gereja Yang Hidup, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000.,hlm.41 17Tatacara liturgikal dalam kekristenan merupakan cara-cara yang ibadah yang digunakan
dalam Synagogue rumah doa, pujian, dan pengajaran agama kaum Yahudi.(Albert Seay, Op.Cit.,hlm.9.)
18Alexander Schemann, Sacraments and Orthodoxy, (New York, Herder and Herder,1965,hlm.28. dalam Wilfred J. Samuel,Op.Cit.,hlm.71.
Universitas Sumatera Utara
Kristen kontemporer (Christian contemporary music)19 dalam sebuah ibadah,
kalangan gereja tradisional justru menganggapnya sebagai sebuah ketidakmengertian
akan arti himne dan telah “mencuri” kemuliaan Allah. Penggunaan musik Kristen
kontemporer dengan peralatan combo band—gaya musik dan aransemennya seperti
musik populer umumnya—tersebut kemudian merefleksikan sebuah ibadah yang
disebut sebagai ibadah kontemporer (contemporary worship)20 yang sifatnya dinamis
dan penuh antusiasme.
Kalangan industri rekaman di Indonesia, produser dan pengamat musik
memberi label yang berbeda terhadap musik-musik yang memiliki pesan Injil, yakni
menyebutnya sebagai musik atau rohani. Sedangkan untuk lagu atau musik yang
bernafaskan Islam mereka menyebutnya sebagai musik atau lagu religi. Pembedaan
ini selain untuk memberi klasifikasi juga lebih bertujuan kepada motif penjualan di
pasar industri musik Indonesia.
Di luar dari perilaku penyanyinya, musik rohani merupakan musik yang
mengandung nilai-nilai ibadah. Musik rohani adalah musik gerejawi, namun musik
gereja adalah musik yang dipakai dalam ibadah gereja.21 Sementara itu kalangan
gereja Kharismatik memiliki pandangan yang berbeda terhadap musik-musik yang
19Istilah Christian Music Contemporer dianalogikan sebagai jenis musik gereja yang diluar
kaidah-kaidah musik maupun instrumentasi gereja tradisi yang menggunakan musik bergaya himne diiringi piano,organ dan sebagainya dalam setiap ibadah, sedangkan Christian Music Contemporer identik dengan terminologi musik masa kini dengan perangkat musik combo band komplit. Winardo Saragih, Misi Musik, Yogyakarta, Andi Offset,hlm.76
20Ibadah kontemporer (contemporary worship) merupakan ibadah yang sifatnya lebih fleksibel dan tidak diatur dalam sebuah rutinitas yang tersusun secara liturgis.
21Aris Sudibyo B.C.M (Kepala Program Apresiasi dan Pengembangan Musik Gereja Petra Surabaya) hasil wawancara dengan majalah Tiang Api, dalam Winnardo Saragih, Ibid., hlm.89.
Universitas Sumatera Utara
ada di luar gereja. Mereka menyebutnya sebagai musik “dunia”22 yang sangat
berbeda tujuan dengan musik-musik Kristen kontemporer. Bagi sebagian orang
sekilas tidak ada yang berbeda antara musik-musik Kristen kontemporer dengan
musik-musik “dunia” tadi, baik dari segi instrumentasi maupun aspek musikal, seperti
aransemen dan iramanya. Letak perbedaan yang signifikan justru hanya pada
penggunaan lirik lagu tersebut.
Musik Kristen kontemporer cenderung menggunakan lirik-lirik Alkitabiah
yang diarahkan vertikal kepada Allah, sedangkan musik “dunia” menggunakan lirik-
lirik yang lebih diarahkan horizontal kepada sesama manusia atau alam. Di dalam
musik gereja penggunaan lirik yang Alkitabiah mendapat perhatian khusus, karena
melalui lirik tersebut akan muncul interpretasi musikal yang akan menghidupkan lirik
tersebut. Dengan kekuatan lirik akan terjadi “aklamasi” dan “proklamasi” tentang
iman percaya di dalam nyanyian.23 Seorang imam musik sendiri ketika mengikuti
sebuah mata kuliah pujian dan penyembahan24 di STT Misi Internasional Pelita
Kebenaran berbicara secara terus terang, bahwa ia mengalami kesulitan membedakan
antara musik “dunia” dan musik gereja—yang kontemporer—jika tidak mendengar
dari liriknya. Hal ini terutama karena musik “dunia” dan musik Kristen kontemporer
22Dibaca “sekuler”, dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah “dunia” karena kata ini
lebih familiar di lingkungan gereja. 23Aklamasi: jemaat bernyanyi dan bermusik karena ingin memberikan jawaban iman percaya
melalui puji-pujian atas karya keselamatan yang telah dikerjakan oleh Allah melalui Yesus Kristus. Proklamasi: jemaat ataupun gereja juga harus memberitakan bagi orang lain tentang perbuatan-perbuatan Allah yang dahsyat melalui Yesus Kristus.
24Mata kuliah yang di asuh oleh Pdp.Obed Sembiring dan Pdt. R Bambang Jonan di STT Misi Internasional Pelita Kebenaran
Universitas Sumatera Utara
memiliki kesamaan dalam berbagai aspek musikal. Bapak Pdp.Obed Sembiring25
mengatakan agar berhati-hati memilih lagu yang akan digunakan dalam ibadah.
Menurut Bapak Pdp. Obed Sembiring bahwa banyak musik yang mengaku atau
dianggap sebagai lagu rohani tetapi justru tidak ada kata Yesus, Tuhan atau Allah
disitu.26
Hal ini kemudian menarik perhatian saya dan kemudian saya mencoba
menelaah hal tersebut. Saya kemudian teringat ketika diakhir tahun 2010 dalam
sebuah perayaan Natal di sebuah gereja, dimana saya termasuk salah seorang pemain
musik di acara ibadah Natal tersebut dalam rangka mengiringi sebuah vokal grup.
Vokal grup tersebut justru menyanyikan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Alm.
Chrisye dengan judul Hening, yang sama sekali tidak ada kata Yesus dan Allah di
dalamnya. Pdp. Obed Sembiring mengatakan memang terdapat kata Tuhan
disebutkan di lagu tersebut, tapi Tuhan yang mana? Tidak mengarah kepada satu
sosok pribadi, yaitu Yesus.
Dalam tulisan ini saya perlu mengulas unsur-unsur apa yang menjadikan
sebuah lagu bisa dikatakan sebagai lagu atau musik gereja. Karena saya menemukan
banyak kasus dalam lagu-lagu lain, sebagian orang menanggapi sebagai lagu rohani,
sementara pihak lain tidak demikian. Seperti lagu Ruth Sahanaya “Kaulah
25Pdp.Obed Sembiring adalah Ketua Departemen Musik GBI Rayon IV Medan Plaza,
Direktur Sekolah Musik FLOW yang juga dibawahi oleh GBI Medan Plaza. 26Pdp.Obed Sembiring mengatakan “Tidak semua musik yang memiliki kata Tuhan itu
sebagai lagu rohani” (Disampaikan dalam sebuah kuliah Pujian dan Penyembahan di STT Misi Internasional Pelita Kebenaran pada tanggal 25 Februari 2011)
Universitas Sumatera Utara
Segalanya”, atau lagu Josh Groban “You Raise Me Up” yang sering ‘mampir’ di
gereja. Hal ini bisa terjadi karena setiap pihak memiliki kriteria yang berbeda dalam
memberi label terhadap sebuah lagu sehingga menjadi lagu rohani. Hal ini bisa saja
akibat ketidakmengertian, minimnya pemahaman, atau karena batasan dan kriteria
yang berbeda-beda pada institusi-institusi gereja sehingga belum ada kriteria yang
“pas” dan dapat diterima banyak pihak untuk menentukan sebuah lagu rohani atau
tidak.
Hal ini mungkin akan menjadi sebuah perdebatan yang cukup serius bagi
kalangan gereja Kharismatik dan di luar Kharismatik. Khususnya dalam tulisan ini
saya mengaitkan permasalahan ini dengan musik Kristen kontemporer dan
Departemen Musik yang ada di GBI Medan Plaza yang sudah memiliki konsep-
konsep dan batasan yang jelas terhadap sebuah lagu, mana yang layak diberi label
lagu rohani (gereja) dan yang tidak layak—tanpa memandang genre27 musik—seperti
pernyataan Bapak Pdp.Obed Sembiring di atas. Sementara bagi kalangan di luar
GBI Medan Plaza memiliki pandangan yang lebih luas dan batasan yang sedikit
lebih “longgar” terhadap sebuah lagu yang layak diberi label rohani atau tidak.
Tujuan saya tidak untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi justru
saya merasa perlu dalam tulisan ini untuk menjelaskan bagaimana perbedaan musik
yang layak diberi label sebagai musik gereja dan musik “dunia” (sekuler)
Selanjutnya dalam tulisan ini akan mengulas bagaimana sesungguhnya
27Genre adalah jenis musik, kategori, seperti symphony, himne, ballad, march, atau opera.
(David Willoughby, The World of Music 3rd Edition, Brown & Benchmark Publisher, Susquehanna University,1996.hlm.26)
Universitas Sumatera Utara
struktur bentuk dari sebuah ibadah yang kontemporer tersebut. Ketika ibadah tersebut
dilakukan apa-apa saja yang dilakukan oleh para jemaat, oleh hamba Tuhan, dan
semua orang yang memiliki andil sehingga ibadah tersebut dapat berjalan dengan—
saya meminjam istilah Pdt. R. Bambang Jonan—“sukses”. Bagaimana sebuah ibadah
kontemporer dapat dikatakan “sukses” dan apa yang menjadi kriteria sebuah ibadah
kontemporer “sukses” juga menjadi perhatian menarik bagi saya untuk menelaahnya
lebih jauh.
Kajian lebih jauh juga saya tujukan pada ibadah kontemporer tersebut saat
dilakukan, kemudian melalui aktivitas ibadah tersebut akan terlihat begitu banyak
kebudayaan-kebudayaan Kharismatik yang termaktub di dalamnya melalui penyajian-
penyajian musik Kristen kontemporer. Adakah relevansi yang kuat antara refleksi
kebudayaan Kharismatik yang dilakukan jemaat dengan musik Kristen kontemporer,
atau ibadah kontemporer dengan visi GBI Medan Plaza untuk memulihkan pondok
Daud,28 sehingga muncul sebuah pola ibadah yang menurut Wilfred J. Samuel
cenderung berkesan selebratif, “hingar bingar” dan antusias. Dimana dalam suasana
yang selebratif jemaat merasa begitu dinamis serta aktif dalam ibadah termasuk
melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan atas tujuan tertentu. Perilaku jemaat
dalam ibadah kontemporer sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan
28Pondok Daud adalah pola ibadah yang dipenuhi sorak sorai dan puji-pujian, sukacita,
ucapan syukur, dan dapat dimasuki oleh semua bangsa (Lihat Mazmur 86:9). Pondok Daud merupakan satu pola ibadah yang sangat menekankan pujian dan penyembah yang dinominasi serta peranan musik sangat penting didalamnya, ibadah pujian dan penyembahan akan membawa kita kepada salah satunya adalah selebratif atau perayaan. Alkitab mencatat ada tiga tempat pemujaan yang digunakan untuk bersekutu dengan Tuhan. Ketiga tempat tersebut adalah Tabernakel Musa, Tabernakel (Bait) Salomo dan Tabernakel (pondok) Daud
Universitas Sumatera Utara
pemimpin pujian (worship leader), imam musik29 (worship musician) membangun
komunikasi yang aktif.30 Worship leader merupakan pelayanan yang memerlukan
kecakapan tersendiri, yang berbeda dengan pelayanan imam musik (worship
musician), pendeta, penatua atau penyanyi (singer). Worship leader memiliki beban
yang berat untuk memimpin seluruh jemaat (mereka yang sakit, letih, sakit hati, keras
kepala, malas, tak dapat diajar) ke dalam suatu suasana yang menciptakan hubungan
dengan Allah baik secara pribadi maupun jemaat secara keseluruhan.31 Ada tiga tugas
worship leader dalam sebuah ibadah kontemporer, yaitu: (1) membawa seluruh
jemaat ke dalam hadirat Allah sehingga mereka dapat memuji dan menyembah-Nya
dan mendengarkan-Nya dalam setiap ibadah, (2) mengkoordinir dan menyatukan para
penyanyi dan pemain musik dalam pelayanan mereka kepada Allah dan dalam
jemaat, (3) untuk mempersiapkan jemaat pada pelayanan Firman Tuhan. Kemudian
saya akan melihat perilaku jemaat dan aktivitas dalam ibadah tersebut melalui
perspektif sosiologis.
Sebuah ibadah kontemporer menurut pandangan ilmu sosial merupakan
sebuah pertunjukan seni (performing art) yang juga dengan mudah dipahami bagi
pandangan masyarakat awam. Dalam sebuah kesempatan bersama orang tua, saya
dan keluarga menghadiri satu ibadah di GBI Resto Surabaya dan merupakan salah
29Imam adalah suatu jabatan dalam umat Israel yang penting peranannya. Tugasnya:
mempersembahkan korban, mengadakan doa syafaat dan memberi berkat. Dalam gereja, imam musik adalah jabatan yang bertugas melayani dalam bidang musik
30Secara teologi pendapat ini tidak diterima, seorang worship leader dan imam musik tidak mengandalkan kemampuannnya dalam melayani Tuhan, melainkan karena Tuhanlah yang memampukan mereka melalui Roh Kudus.
31Mike & Viv Hibbert, Pelayanan Musik, Penerbit Andi, Yogyakarta,1988,hlm.90.
Universitas Sumatera Utara
satu cabang GBI Medan Plaza. Sepulang dari ibadah dalam perjalan pulang di mobil
orang tua saya berkata “Seperti melihat konser saya tadi!”. Saya menafsirkan orang
tua saya memiliki konsep yang cukup jelas bahwa apa yang disaksikannya adalah
sebuah pertunjukan seni seperti yang ia juga lihat dan kenal selama ini dibanyak
media. Karena ia menyaksikan seseorang menyanyi (worship leader) di panggung
diiringi oleh musisi (imam musik) yang memainkan seperangkat alat musik seperti,
piano, synthesizer, gitar bas, drum dan beberapa penyanyi latar (backing vocal).
Sehingga orang tua saya menyimpulkannya bahwa yang ia saksikan lebih menyerupai
sebuah konser daripada sebuah ibadah di gereja yang selama ini ia kenal.
Menurut Murgiyanto (1995)32 kajian-kajian keilmuan mengenai seni terbagi
dalam beberapa cabang seni, salah satunya adalah seni pertunjukan (performing art
atau cultural performance) yang didalamnya termasuk: seni musik, tari, teater, yang
juga meliputi seperti: sirkus, kabaret, olah raga, ritual, upacara, prosesi pemakaman,
dan lain-lain.
Dalam sebuah ibadah kontemporer, proses “membangun” mesbah33 bagi
Tuhan melalui doa, pujian dan penyembahan yang dipenuhi atmosfir penyembahan
yang intim dengan Tuhan dilakukan ketika lagu penyembahan pertama dinyanyikan.
Atmosfir penyembahan adalah menciptakan atau membangun suasana dalam
32Dalam Muhammad Takari, et al Masyarakat Kesenian di Indonesia, Studia Kultura Fakultas
Sastra, Universitas Sumatera Utara,2008.hlm.5 33Mesbah (the altar of God) merupakan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dimana
manusia menyembah dan menaikkan doa-doa kepada Tuhan dan Tuhan mencurahkan berkat-Nya (1Raja-Raja 18:36-37). Mesbah juga sebagai dasar tempat korban diletakkan. Sebenarnya tubuh manusia juga mesbah dimana korban-korban itu diletakkan, artinya setiap orang Kristen harus memberikan korban kepada Tuhan melalui puji-pujian.
Universitas Sumatera Utara
keintiman (intimacy) dengan Tuhan melalui musik sehingga menghadirkan suasana
yang penuh dengan hadirat Tuhan (His presence).34 Dalam hadirat Tuhan tersebut
ada, sukacita (Mazmur 16:11), kuasa (Kisah Para Rasul 1:8), karunia-karunia Roh
Kudus yang nyata (1 Korintus 12:7-11), berkat-berkat jasmani (Matius 6:33), doa dan
permintaan dan lain-lain.
Atmosfir penyembahan “dibangun” melalui lagu-lagu penyembahan yang
kemudian dilanjutkan dengan menggunakan sebuah pola akor penyembahan yang
disebut flowing dilakukan berulang-ulang dengan dinamik yang bervariatif dengan
mengundang Roh Kudus dan hadirat Tuhan memenuhi tempat ibadah tersebut.
Sementara itu menurut Pdp. Obed Sembiring akor penyembahan bukanlah sebuah
pola, tetapi akor penyembahan adalah cara untuk membawa jemaat dalam kesatuan
penyembahan melalui musik yang baik. Beliau mengatakan “Musik yang baik adalah
musik yang memiliki unsur doa, penyembahan dan firman”.
Dalam “membangun” mesbah atau atmosfir penyembahan setiap imam musik
harus memiliki kepekaan terhadap flowing, kepekaan tersebut dilatih melalui
pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Departemen Musik gereja ini dan melalui
kasih karunia yang diberikan oleh Roh Kudus. Imam musik harus dapat melihat
tuntunan Roh Kudus bagaimana menggunakan flowing tersebut lalu kemudian
diterapkan melalui dinamika-dinamika musik sehingga akan terbangun sebuah
34Kata hadirat itu sendiri berbeda pengertian dengan hadir, Tuhan itu “Maha Hadir” (Omni
Presence). Artinya Tuhan itu bisa berada dimanapun dan kapanpun Ia mau. Maksudnya, hadirnya Tuhan di satu tempat bukan karena Dia Maha ada yang tidak bisa memilih dimana Dia harus berada, tetapi Dia Maha ada dan dapat secara aktif menuaikan keinginannya untuk berada dimanapun, Dia memilih untuk ada secara nyata.
Universitas Sumatera Utara
suasana yang teduh, intim atau bahkan megah. Flowing yang digunakan di GBI
Medan Plaza sangat bervariatif dan memiliki makna yang berbeda dalam setiap
bentuknya. Saya akan melihat flowing sebagai progresi akor yang baku dan dipakai
dalam sebuah ibadah kontemporer, serta bagaimana bentuk progresi akor flowing
yang sarat akan improvisasi tersebut ditempatkan dan digunakan dalam ibadah.
Selain itu saya akan mengulas bagaimana musik tersebut disajikan dalam
ibadah dengan melihat karakteristik progresi akor, modulasi, kadens, open chord,
slash chord, pemakaian nada dasar, improvisasi, pemakaian kode jari, pola ending
dan sebagainya. Tulisan ini juga akan mengarahkan perhatian terhadap peran musik
dalam setiap ibadah. Saya akan mengulas mengapa mulai detik pertama ibadah
hingga akhir ibadah musik selalu hadir. Mengapa musik tersebut sangat dominan di
gereja ini, bahkan saat Pendeta berkhotbah musik yang lembut melalui permainan
piano memiliki peranan mengiringi jalannya khotbah. Hal ini juga pernah saya alami
ketika melayani sebagai imam musik di salah satu gereja cabang GBI Hermes Palace,
seorang istri pejabat gereja mendatangi saya ketika sesi ibadah kedua akan dimulai
dan mengatakan agar saya nanti tetap memainkan piano saya secara lembut dan
ringan ketika pendeta sedang berkhotbah, tentu saya taat dengan instruksi tersebut.
1. 2. “Porsi” dan Genre Musik Yang Berbeda
Universitas Sumatera Utara
Seorang ahli musik gereja John F. Wilson35 mengatakan, tidak semua musik
yang ditampilkan di gereja digunakan secara efektif bagi kemuliaan Tuhan.
Beberapa cara membawakan musik tidak menyumbangkan apa-apa hanya sekedar
atmosfir euphoria belaka, sementara yang lain melakukan sedikit lebih baik karena
berhasil menggugah emosi jemaat. Ada banyak alasan mengapa hal ini benar. Hal ini
sering ditelusuri kembali karena kelemahan komponis, pemain (imam musik) dan
pendengar (jemaat) dalam melakukan kewajibannya.
Di sisi lain, masalahnya dapat dihubungkan dengan fisik lingkungan, seperti
suhu udara, arsitektur gereja atau faktor lain. Bagaimanapun juga, anggapan bahwa
para pemain memiliki kemampuan teknis musikal yang sudah cukup memadai, tetapi
sesungguhnya sumber utama masalahnya hampir selalu terletak pada kekurangan
kekuatan Roh Kudus dibalik beberapa ibadah.36
Setiap denominasi gereja memiliki “porsi” dan “gaya” (genre) musik yang
berbeda-beda dalam ibadah mereka. Gereja Kharismatik dengan “gaya” musik
Kristen kontemporer-nya, gereja tradisional dengan “gaya” musik himne dan ibadah
yang liturgikal, gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) dengan musik tradisional
Karo yang dimainkan melalui program musik keyboard, atau GKJ (Gereja Kristen
Jawa) dengan musik gamelan dalam ibadahnya. Kebutuhan teologis memungkinkan
gereja melakukan inkulturasi karena dirasa efektif agar pekabaran Injil dapat diterima
oleh beragam suku bangsa. David J. Hesselgrave menyebutnya sebagai
35John F.Wilson, An Intorduction to Church Music, Moody Press, Chicago,1965 36John F.Wilson,Ibid.,hlm.18.
Universitas Sumatera Utara
“pempribumian”. Sehingga saat mengulas tentang musik gereja maka tidak dapat
dibatasi oleh satu genre musik tertentu, karena setiap gereja memiliki kebutuhan dan
“porsi” musik masing-masing.
Gereja sangat menekankan pentingnya sebuah komitmen bagi imam musik
yang melayani dibidang musik, sehingga musik yang digunakan jangan sampai
menjadi penghalang dalam ibadah. Penghalang dalam ibadah yang dimaksud seperti
pengalaman berikut. Dalam salah satu pelayanan gereja cabang dari GBI Medan
Plaza, ketika pujian penyembahan usai, dan Pendeta naik ke altar untuk
menyampaikan Firman Tuhan (khotbah), sang Pendeta berkata kepada tim musik dan
pemimpin pujian, “Maaf ya kepada worship leader dan tim musik, saya tidak
merasakan hadirat Tuhan di tempat ini”. Bahkan satu ketika dalam sebuah pelayanan,
piano yang saya gunakan tidak mengeluarkan suara saat doa syafaat37 (doa diakhir
ibadah selesai), sehabis berdoa koordinator ibadah, pendoa, rekan-rekan pengerja
mengatakan “agak aneh” atmosfir yang dirasakan jika berdoa tidak ada musik yang
mengiringi. “Seperti anti-klimaks, ujar rekan saya, Daniel Limbong”. Hal ini bisa
terjadi karena GBI Medan Plaza memiliki standar musik dalam pujian dan
penyembahan yang digunakan pada setiap ibadah dan telah menjadi ciri khas bagi
gereja ini. Sehingga ketika dalam ibadah imam musik tidak bermain dalam standar
musik yang telah ditetapkan oleh gereja, maka hal tersebut dapat menjadi penghalang
dan mengganggu kelancaran ibadah itu sendiri.
37Doa syafaat adalah doa yang dalam beberapa tata kebaktian gereja-gereja di Indonesia
disebut doa umum atau doa pastoral. Di luar negeri disebut dengan nama intercession.
Universitas Sumatera Utara
Wilfred J. Samuel dalam bukunya Kristen Kharismatik mengatakan bahwa
musik dalam ibadah kontemporer cenderung overdosis atau berlebihan dalam ibadah.
Memang pernyataan Wilfred sangat subyektif bahkan terdengar sedikit tendensius,
namun saya berharap bisa membagi pengalaman saya tersebut dan menempatkan isu
tentang musik yang menurut Wilfred overdosis tersebut pada sudut perspektif yang
tepat.
Ketika saya menghadiri ibadah di GBI Medan Plaza untuk pertama sekali
pada tahun 1998, saat itu saya “mencerna” musik yang digunakan dalam ibadah
tersebut sebagai musik yang bergenre pop-rock dan mudah digemari oleh kawula
muda karena dianggap lebih dinamis. Ketika saya kemudian mulai ikut bergabung
melayani dalam tim Departemen Musik yang merupakan cabang dari GBI Medan
Plaza, yaitu GBI MMTC, GBI Sun Plaza, GBI Swissbel Hotel dan GBI Hermes
Palace saya merasa tertarik untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana struktur
musik dan ibadah kontemporer yang digunakan di GBI Medan Plaza. Mengapa
gereja ini harus menekankan terhadap pujian dan penyembahan, hal ini juga harus
menjadi perhatian saya pada bab berikutnya.
Dengan menganalisis pertanyaan-pertanyaan seperti paragraf sebelumnya
tentu akan membuat faset-faset tersebut terwujud secara eksplisit. Suatu gambaran
yang komprehensif akan pekerjaan dan peringatan akan Allah dalam setiap ibadah di
GBI Medan Plaza dengan demikian akan dibuat menjadi jelas akan peran musik.
Dengan aspirasi dan keterbukaan maka saya akan berusaha secara sosial empiris dan
Universitas Sumatera Utara
teologis menyelidiki dan menganalisis musik dalam GBI Medan Plaza. Pengamatan
yang saya lakukan merupakan pengalaman saya selama ± 3 tahun melayani di
beberapa cabang gereja Kharismatik yang dibawahi oleh GBI Rayon IV Medan
Plaza.
1. 2. 1. Label Kharismatik
Ada dua hal berbeda yang dapat muncul dipikiran ketika seseorang
mendengar istilah "kharismatik”. Beberapa orang akan berpikir tentang sekelompok
orang “lapar” akan Tuhan, berjalan dalam kuasa rohani, Roh dalam ibadah, agresif
dalam penginjilan, dan berlimpah dalam kasih. Orang lain melihat kharismatik
sebagai individu-individu yang berorientasi pengalaman, imperialis dalam pandangan
(hanya mereka yang memiliki Injil penuh), elitis dalam sikap, tidak terkontrol dalam
ibadah, dan bebas dari setiap pegangan nyata dari Alkitab yang lebih dari sekedar
bukti teks. Gerakan Kharismatik memiliki perkembangan yang sangat pesat dan telah
menjadi lebih beragam, sehingga akan menyesatkan untuk menempatkan mereka
semua di bawah panji identik. 38
Tingkah laku-tingkah laku demikian sangat melekat dengan orang-orang yang
terlibat dalam gereja Kharismatik. Saat istilah “kebudayaan” digunakan dalam
konteks gereja kharismatik seperti GBI Medan Plaza, maka setiap pribadi-pribadi dan
kelompok-kelompok yang ada didalamnya memiliki kebutuhan yang spesifik, seperti
38Pastor Gilley’s March 1999, Thing on these Thing, IV No.3, Mei-Juni 1999.
Universitas Sumatera Utara
gaya, ekspresi, attitude yang mudah dikenali dan memberikan mereka image maupun
identitas yang khas sebagai Kharismatik. Contohnya, jemaat dalam lingkungan
Kharismatik sangat senang menggunakan sapaan shalom ketika bertemu dengan
yang lain, selalu berjabat tangan ketika bertemu dengan rekan-rekan, bahkan
beberapa orang memandang memiliki sikap rohani yang lebih—istilah populer oleh
Pdt.R. Bambang Jonan terlalu ‘nge-roh’—dari orang lain. Ekspresi lain juga tampak
melalui orang yang “gemar” berbahasa Roh jika dalam satu perbincangan ada hal-hal
yang mengejutkan dirinya, lalu dengan spontan ia mengeluarkan ucapan-ucapan
“seperti” bahasa Roh39 tadi.
1. 2. 2. Gereja Sebagai Organisme dan Organisasi40
P.G. van Hooijdonk berpendapat gereja sebagai organisme merupakan
kenyataan sosial yang memperlihatkan kehidupan dan pertumbuhan orang beriman
sebagai kelompok, communio.41 Anggota jemaat merupakan satu tubuh, satu iman,
satu baptisan dan satu Tuhan, satu Allah dan Bapa dari semua yang ada di atas kita
semua, oleh kita semua dan di dalam kita semua.
Sebagai organisasi gereja terdiri dari (1) Kesatuan (susunan) yg terdiri atas
bagian-bagian (orang dsb) dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu, (2) Kelompok
kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. (KBBI
39Bahasa Roh (glossolalia) adalah salah satu karunia Roh Kudus yang memuji Allah di dalam
doa dengan bahasa yang baru yang biasanya tidak dapat dipahami oleh orang yang memakainya (Lihat 1Korintus 12 dan 14)
40Pdt.Dr.Rijnardus A.van Kooij,Menguak Fakta, Menata Karya Nyata. Jakarta,BPK Gunung Mulia 2007,hlm.6.
41P.G. van Hooijdonk, Batu-batu yang Hidup, Yogyakarta,Kanisius 1996,hlm.32.
Universitas Sumatera Utara
online) Organisasi adalah hukum yang mengatur dan membina hidup manusia
sebagai masyarakat, bangsa dan negara. GBI hidup dan bergerak dalam Negara
Hukum Indonesia. Oleh sebab itu GBI adalah salah satu Organisasi Agama Kristen
yang telah diakui oleh pemerintah c,q Departemen Agama Pusat Jakarta.
Akan tetapi bagi Dr. H.L Senduk42 gereja tidak boleh diidentikkan dengan
organisasi dunia lainnya. Dengan kata lain, gereja bukan suatu organisasi agama.
Wujud gereja sama sekali berbeda dengan organisasi dunia umumnya. Beliau secara
tegas mengatakan, bahwa gereja adalah Tubuh Kristus, yakni organisme ilahi yang
hidup di dalam dunia saat ini. Tuhan Yesus Kristus adalah Kepala Gereja yang
memiliki banyak anggota tersebar di seluruh pelosok dunia. Sehingga gereja yang
dibentuk Allah tidak akan pernah mati dimakan oleh waktu, melainkan akan mekar
dan berkembang secara pesat. Karena gereja yang dinamis adalah gereja yang selalu
mengedepankan perintah Allah dan membiarkan Roh Kudus bekerja secara leluasa di
dalamnya.
1. 3. Mengkaji Struktur, Konteks dan Fungsi Sosial Dalam Ibadah
Kontemporer
1. 3. 1. Asumsi Dasar Penelitian
Ketika kita hendak memahami konteks dan fungsi musik dan ibadah
kontemporer, kita dapat memulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut.
42Beliau adalah founder dari Gereja Bethel Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Kapan, dimana, bagaimana dan mengapa musik disajikan? Bagaimana musik
tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan melayani kebutuhan masyarakat
pendukungnya, serta bagaimana musik tersebut berperan dalam kehidupan jemaat
GBI Medan Plaza khususnya? Salah satu cara memahami musik adalah dengan
mempelajari konteks dan fungsi sosialnya.43
Penelitian ini akan dilakukan dengan tiga asumsi dasar. Pertama, musik dalam
ibadah kontemporer memiliki side effect yang akan menstimulus perasaan dan fisik
jemaat yang ada, kemudian secara psikogis menimbulkan pengaruh timbal balik
(mutual influence) sehingga akan merefleksikan berbagai kebudayaan kharismatik di
dalam ibadah yang kontemporer tersebut. Kedua, musik Kristen kontemporer dan
ibadah kontemporer merupakan interpretasi apa yang dilakukan Raja Daud.44 Cara-
cara penyembahan di dalam hukum Taurat dan kitab para nabi juga sangat
mencerminkan kepada pondok Daud. Itulah yang menjadi pusat pewahyuan dari
pujian dan penyembahan dalam Alkitab. Begitu juga cara-cara penyembahan yang
muncul di GBI Medan Plaza sangat mencerminkan apa yang dilakukan oleh Daud
dan merupakan ungkapan isi hati serta perasaan jemaat kepada Tuhan menurut pola-
pola tertentu dan lambang-lambang tertentu.
Dalam konteks kekinian, musik Kristen kontemporer dan ibadah kotemporer
merupakan implikasi apa yang dilakukan Daud, terlebih lagi GBI Medan Plaza
43Mauly Purba,et.al,MusikPopuler,Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,Jakarta,2006.hlm.129 44Raja Israel yang kedua yang mempersatukan seluruh bangsa dan membuat kota Yerusalem
menjadi ibukotanya di mana tabut perjanjian Tuhan ditempatkan (2 Samuel 5-6). Kepada anaknya (bd.anak Daud) dijanjikan Tuhan tahkta yang kokoh dan kekal (2 Samuel 7)
Universitas Sumatera Utara
memiliki visi—istilah populernya “DNA"—untuk memulihkan pondok Daud yang
telah roboh. (Lihat dalam Amos 9:11) Ketiga, ibadah kontemporer dengan berbagai
refleski kebudayaan Kharismatik telah menjadi tools bagi jemat untuk memenuhi
kebutuhan spiritual mereka, ini yang kemudian disebut sebagai “lapar” rohani.
1. 4. Lingkup Penelitian
GBI mencakup wilayah yang lebih luas yaitu Indonesia dan di luar negeri,
dengan demikian dalam kajian ini ruang lingkup dibatasi pada penelitian di Medan
Plaza saja. Secara geografis penelitian meliputi Kota Medan dimana GBI Medan
Plaza berdiri. Kota Medan merupakan kota yang dihuni beragam etnis dan agama.
Kota ini dianggap sebagai barometer keamanan di Indonesia dan menjadi contoh
pluralisme di Indonesia. Kota Medan juga memiliki jumlah pemeluk agama Kristen
dari etnis Batak, Karo, Nias dan Tionghoa yang cukup besar dibanding dengan kota-
kota lainnya di Indonesia. Oleh karena itu pemahaman tentang jemaat dan hamba
Tuhan (Pendeta) lebih diarahkan kepada masyarakat kota Medan khususnya.
Pembatasan lingkup penelitian bertujuan agar tulisan tidak terjerumus dalam jumlah
data yang terlalu banyak yang ingin diteliti.
1. 5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Mengingat bahwa tulisan-tulisan yang ada berkenaan dengan Gerakan
Kharismatik, jika bukan merupakan satu bagian kecil dalam konteks studi yang lebih
luas, umumnya hanya membahas aspek tertentu dari rangkaian sejarah Gerakan
Universitas Sumatera Utara
Kharismatik dan ditulis oleh kalangan internal pengikutnya. Disamping itu, bertolak
dari asumsi bahwa banyak dari peristiwa musik lokal di Sumatera Utara khususnya
yang perlu diteliti, dengan itu kajian ini diharapkan memiliki arti penting dalam
rangka memperkaya kajian terhadap musik dalam gereja Kharismatik di Kota Medan
khususnya.
Sementara itu Gerakan Kharismatik GBI Medan Plaza merupakan salah satu
bagian dari gerakan-gerakan Kristen di negeri ini, yang memiliki ciri khas sebagai
gerakan spiritual di abad 20. Kekhasan Gerakan Kharismatik terlihat pada metode
penyebaran ajaran, keorganisasian, peribadahan, dan kegiatan-kegiatan yang
diupayakan adaptif dengan kebutuhan masyarakat berkembang. Sehingga ciri khas
dan keunikan yang dimilikinya penting dan menarik untuk diteliti.
Selain itu, GBI Medan Plaza telah menjadi contoh perubahan dalam
mekanisme penggembangan ajarannya, fungsionalisasi organisasi serta orientasi
gerakan sosial terutama di Sumatera Utara. Bahkan gereja ini sedang berusaha untuk
memperoleh sertifikat ISO (International Standard Operation). Artinya gereja juga
butuh pengakuan standar duniawi, sesuatu yang mungkin belum pernah dilakukan
oleh gereja-gereja lain sebelumnya.
Apa yang menjadi tujuan tulisan ini berikutnya adalah untuk secara singkat
merefleksikan berbagai kecendrungan Kristen Kharismatik saat ini yang tampak dan
berbagai kecendrungan yang tengah muncul dengan menunjukkan pola ibadahnya,
dan bagaimana musiknya. Melalui tulisan ini, tesis ini diharapkan berguna sebagai
Universitas Sumatera Utara
sumber referensi ilmiah dan teologis bagi banyak orang dan menjadi berkat dalam
melayani Tuhan khususnya bagi para pengerja.45
1. 6. Terminologi dan Konsep
Untuk dapat lebih jauh mengulas arti dari tema penelitian ini, yaitu musik,
struktur, konteks dan fungsi sosial ibadah kontemporer di GBI Medan Plaza, maka
terlebih dahulu dikemukakan terminologi dan konsep dari kata kunci, yakni: (1)
ibadah kontemporer, (2) kontekstualisasi, (3) atmosfir penyembahan, (4) hadirat
Tuhan, dan (5) pujian dan penyembahan, (6) imam musik, (7) worship leader, (8)
Kharismatik, (9) musik Kristen kontemporer, (10) flowing, (11) manifest, (12) Roh
Kudus, (13) korban46, (14) mesbah, (15) pondok Daud, (16) ibadah, (17) open chord,
(18) ibadah kontemporer, (19) pengerja.
Terminologi dan konsep yang saya gunakan dalam tulisan ini, merujuk
kepada apa yang ada dalam pemikiran dan dilakukan oleh para pengikut, yakni:
jemaat, imam musik, Pendeta dan para pengerja yang melayani di lingkungan GBI
Medan Plaza pada umumnya dan juga terhadap pemahaman disiplin sosial empiris
45Pengerja adalah merupakan istilah yang umum digunakan dalam GBI yang maksudnya
adalah karya secara menyeluruh semua umatnya untuk kepentingan penyebaran agama Kristen. Makna ini juga merujuk kepada struktur organisasi GBI, yang terdiri dari pendeta yang lazim disebut Bapak Pembina, departemen-departemen, serta umat. (Gugun Sihombing,Manajemen Organisasi, Pelatihan, dan Struktur Musik di Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, Skripsi Etnomusikologi USU, Medan.)
46Korban: Persembahan kepada Allah untuk memuliakan Dia (korban sajian dan korban minuman), untuk memelihara persekutuan dengan Dia (korban bakaran, korban keselamatan dan korban pujian), untuk menebus dosa dan kesalahan (korban penghapus dosa, korban penebus salah). Pada waktu pentahbisan imam ada persembahan unjukan dan persembahan khusus. Demikianlah keadaan di Israel. Yesus Kristus mengorbankan diri-Nya sekali untuk selamanya sebagai korban penebus dosa. Jemaat Kristen dianjurkan untuk berkorban atas dasar perbuatan Yesus itu, khususnya mempersembahkan korban pujian. (Ibrani 13:15)
Universitas Sumatera Utara
dan teologi Kristen. Hal ini saya lakukan pertama untuk melihat sejauh mana konsep
mereka terhadap tema dari ulasan dalam tulisan ini. Alasan kedua saya melihat
pentingnya mengetahui apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh masyarakat
pendukung Gerakan Kharismatik ini khususnya di lingkungan GBI Medan Plaza.
1. 7. Landasan Teori
Ketika seorang ilmuwan mengkaji sebuah fenomena alam fisik atau sosial,
dengan latar belakang masalah tertentu, ada yang relatif sederhana dan ada pula yang
kompleks, maka ilmuwan tersebut biasanya menggunakan teori-teori. Teori menurut
pendapat Marckward et al., memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah rancangan
atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada prinsip-
prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk
prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3) abstrak
pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau
rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena; (5) spekulasi atau
hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika
berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan
pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang
komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang
dieksekusi.47
47Marckward, Albert H. et al. (eds.),Webster Comprehensive Dictionary (volume 2).
Chicago: Ferguson Publishing Company,1990.hlm.1302.
Universitas Sumatera Utara
Teori mengarahkan ilmuwan untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis
permasalahan keilmuan yang ditemuinya. Sesuai dengan yang menjadi permasalahan
dalam tulisan ini, maka penulis menggunakan beberapa teori untuk mengkaji
beberapa pokok permasalahan, selain beberapa teori pendukung yang dirasa perlu
dalam mengulas topik tertentu dalam tulisan ini.
1. 7. 1. A functional theory of culture Bronislaw Malinowski.
Saya akan melihat pola-pola gereja Kharismatik yang sedang muncul melalui
perspektif etnologis. Etnologi adalah cabang dari Antropologi yang menganalisis
secara komparatif, kebudayaan-kebudayaan dari masyarakat kontemporer atau
kelompok-kelompok linguistis. Penelitian etnologis akan mencakup penelitian atas
pola-pola tingkah laku individual dan komunal48, nilai-nilai kehidupan, model-model
religius dan sebagainya. Tujuan tulisan ini mengadopsi pendekatan etnologis adalah
untuk memberi wawasan yang mendalam dan reflektif, khususnya menyangkut
dengan ibadah, teologi, dan praktek-praktek ajarannya.
Dalam metode antropologi kebudayaan tercatat setidaknya terdapat enam ciri
berbeda yang disebut kompleks kultural, dan menentukan cara suatu komunitas
berfungsi. Menurut Malinowski terdapat enam ciri pada tingkat mikro dapat
dijelaskan sebagai kebutuhan individual dan pada tingkat makro sebagai kebutuhan
komunal, keenam ciri kompleks kultural tersebut adalah (1) lapar, (2) reproduksi, (3)
keamanan, (4) gerakan, (5) pertumbuhan, (6) kesehatan.
48Teori pola tingkah laku individual dan komunal oleh Cooley dalam Wilfred J. Samuel,
Op.Cit.,hlm.80
Universitas Sumatera Utara
Malinowski mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk
menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori
fungsional tentang kebudayaan atau a functional theory of culture. Ketika
kebudayaan dikaitkan dalam konteks Kharismatik, maka akan tercermin pribadi-
pribadi atau kelompok-kelompok orang yang memiliki kebutuhan spesifik, seperti
“gaya hidup” dan ekspresi yang bisa dibedakan, yang membuat mereka mendapat
label Kharismatik. Sehingga kebudayaan dalam Kharismatik mengacu kepada
kebiasaan praktek-praktek agama yang dapat dilihat melalui jemaat yang melakukan
ekspresi, teologi, dan aktivitas yang sifatnya pentakostal. Sehingga tulisan ini dapat
secara seksama meneliti kebiasaan-kebiasaan Kharismatik atau praktek-praktek
kultural, sikap-sikap dan kebiasaan, dan tingkah laku keagamaan.
Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: (1)
fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, perilaku manusia
dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) fungsi sosial dari suatu adat,
institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai
pengaruh atau kesannya terhadap keperluan suatu adat atau institusi lain untuk
mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang
terlibat; dan (3) fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi
ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk
berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Universitas Sumatera Utara
1. 7. 2. Used and function theory Alan P. Merriam
Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba
menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam
membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi.
Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting.
Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada
keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang
biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari
aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain.49 Lebih jauh
Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai
berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a perticular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves.50
49Alan P. Merriam,Anthropology of Music,Blomington Indiana:UniversityPress,1964.hlm.210 50Ibid.,hlm.210.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kutipan di atas Merriam membedakan defenisi guna dan fungsi musik
berasaskan kepada proses dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik
gunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak
bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Kemudian Merriam memberikan contoh, jika
seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi
musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan
kesinambungan dalam melanjutkan keturunan, yakni dengan memenuhi hasrat
biologis, bercinta, kawin dan memiliki keturunan. Ketika seseorang menggunakan
musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan
dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan
kegiatan-kegiatan upacara.
“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan
manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai
melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat
dilayaninya. Merriam menekankan bahwa penggunaan lebih berkaitan dengan sisi
praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi
internal budaya.
Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan bahwa
sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikolog tentang fungsi
musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi. Kesepuluh
fungsi musik itu adalah: (1) sebagai pengungkapan emosional, (2) sebagai
penghayatan estetika, (3) sebagai hiburan, (4) sebagai komunikasi, (5) sebagai
Universitas Sumatera Utara
perlambangan, (6) sebagai reaksi jasmani, (7) sebagai yang berkaitan dengan norma-
norma sosial, (8) sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) sebagai
kesinambungan kebudayaan, dan (10) sebagai pengintegrasian masyarakat.51
Menurut Merriam bahwa fungsi musik terdiri dari sepuluh fungsi atau bisa
saja lebih luas dari sepuluh. Tetapi kenyataannya secara akademis para peneliti ketika
menganalisis fungsi musik sering memaksakan bahwa fungsi musik harus sepuluh
ini, tidak fleksibel seperti yang ditawarkan Merriam. Namun bagaimanapun fungsi
yang dikemukakan Merriam ini semacam menjadi referensi wajib dalam mengkaji
musik di bidang etnomusikologi.
1. 7. 3. Teori struktur upacara dan isi simbolik dalam agama oleh Victor Turner
Turner melakukan sejumlah analisa mengenai struktur upacara (baca: ibadah)
dan isi simboliknya, dengan melakukan kajian yang berkenaan terhadap: (1) sistem
dualisme dan triadisme; (2) dasar fisiologi dari simbol; dan (3) liminalitas sebagai
suatu konsep yang bersifat akomodatif untuk transformasi. Turner memandang
simbol-simbol itu pada hakekatnya dualistik, tetapi “setiap bentuk dualisme diberi
sebuah model klasifikasi yang lebih luas lagi”.52 Kedudukan simbol dan konteksnya
dalam sebuah upacara sangat berperan dalam menentukan corak hubungannya secara
konseptual dengan sistem simbolik upacara itu sendiri secara menyeluruh. Turner
kemudian memberi ilustrasi dalam uraiannya kedalam tiga warna, yakni warna merah
sebagai warna penghubung antara warna hitam dan warna putih. Yang sebenarnya
51Alan P.Merriam,Op.Cit.,1964. 52Victor Turner, The Forest of Symbols, Ithaca,Cornell University Press, hlm.,57
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu sistem dualisme dalam sistemnya sendiri. Nyatanya, warna putih
dan warna hitam sebagai dua puncak warna yang paling bertentangan, tetapi sebagai
suatu sistem binari dipertentangkan dengan warna merah sebagai dua satuan yang
berbeda atau bertentangan karena warna merah bersifat ambivalen, sehingga dapat
berfungsi sebagai penghubung karena sifatnya sebagai simbol yang berciri ganda.
Menurut Turner, sebuah sistem itu bersifat segitiga (triadik) dan bersifat
fleksibel menurut konteksnya. Secara konseptual simbol-simbol dilihat melalui
posisinya dalam struktur triadik, sehingga bisa dimanipulasi melalui
ketidakhadirannya serta melalui sifat ambivalen yang ada serta menjadi hakekatnya,
ke arah simbol-simbol lainnya yang berada di sekitarnya. Simbol-simbol dan
struktur-struktur upacara dengan demikian berfungsi sebagai jembatan untuk
mengantar satuan-satuan kenyataan-kenyataan yang ada dan berbeda-beda dari
pengalaman manusia. Hal ini dapat dan mungkin terjadi karena kedudukan manusia
sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi, selain karena ke-universalan dari motif-motif
dan dasar-dasar kognitif yang dimiliki oleh manusia.
Victor Turner menyumbang pemahaman besar terhadap usaha memahami
ekspresi agama yang berupa konsep mengenai proses yang ada dalam upacara.
Konsep yang dibuat berhubungan dengan liminalitas sebagai suatu jembatan
penghubung, yaitu yang tidak memiliki struktur, bersifat transisi, dan merupakan
suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi bagi yang diinisiasi, merupakan pencerminan
dari pandangannya mengenai upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat
formatif dan reflektif.
Universitas Sumatera Utara
1. 7. 4. Music and Trance: a theory of the relations between music and possession
oleh Gilbert Rouget
Trance dalam upacara-upacara ritual selalu diasosiasikan identik dengan
musik, mengapa dan bagaimana? Trance atau dalam Bahasa Indonesia trans menurut
KBBI online adalah (1) keadaan seseorang terputus hubungannya dengan
sekelilingnya: setelah mengisap ganja mereka berada dalam keadaan trans; (2)
keadaan tidak sadar (karena kerasukan dan sebagainya) sehingga mampu berbuat
sesuatu yang tidak masuk akal; dalam keadaan—ia menari-nari di atas bara. Gilbert
Rouget memberi analisis keterkaitan antara musik dan trans, dengan menyimpulkan
bahwa tidak ada hukum universal yang dapat menjelaskan hubungan antara musik
dan trans. Keduanya sangat berbeda jauh dan tergantung kepada cara pemahaman
kultural konteks masing-masing.
Untuk mengatur informasi yang sangat banyak ini, Rouget membuat teori
penting dalam area studi ini (1), Rouget mengembangkan beberapa tipe trance
berdasarkan simbol dan tampilan luar. Ia menggaris bawahi perbedaan antara trance
dan ecstasy, shamanism dan spirit possession, communal dan emotional trance.53
Musik dianalisis dalam hubungan dengan pemain, pelatihan, alat musik, dan
kaitannya dengan tari. Pada bab satu tulisannya, Rouget berusaha mengisolasi
perbedaan antara shamanism dengan possession dan menyimpulkannya melalui
53Rouget sendiri sedikit kesulitan membedakan arti kata “trance” dan “ecstasy”. Hingga ia
harus menekankan dengan melihat bentuk keduanya dalam sebuah artikel umum tentang possession dalam Encyclopedia of Religions and Ethics of 1918. Dalam artikel tersebut tertulis beberapa referensi tentang “nervous crisis”, “ecstasy”. Dengan kata lain kedua topik berkaitan dengan possession yang terdapat dikalangan orang-orang Yunani, Muslim dan Kristen.
Universitas Sumatera Utara
ekspresi dalam tiga perbedaan, yaitu: perjalanan kepada roh/dihadiri oleh roh;
dikuasai oleh roh/patuh terhadap roh; sengaja melakukan trans/tidak dengan sengaja
mengalami trans.54 (2), Rouget menyimpulkan baik secara ilmiah maupun secara
foklor bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara beberapa jenis musik dengan—
misalnya pukulan drum yang keras dan cepat, kalimat melodi yang diulang-ulang—
dengan beberapa jenis trans. Setiap jenis trans menggambarkan kekuatan dari musik
melalui cara yang berbeda dalam ritual.
Dalam possession trance, musik mengundang roh melalui orang yang sedang
trans untuk memperkenalkan dirinya dengan yang ia sembah dan mengijinkan yang
disembah itu untuk memberi tanda atas kehadirannya melalui sebuah tarian. (3),
Rouget menyimpulkan, bahwa musik baik vokal maupun instrumental mempengaruhi
secara psikologis dan efek emosional. Tidak terpisahkan dari pola kebersamaan dan
tingkah laku, dan bahwa musik dan trans adalah saling berhubungan dalam berbagai
cara sebagai struktur kebudayaan, dengan berbagai jenis musik dan dapat sering
dikaitkan dengan keadaan trans.
1. 7. 5. Perspective in music theory oleh Paul Cooper
Dalam satu tingkatan, teori musik adalah studi sistematis bagaimana musik
tersebut dapat berfungsi. Teori musik dasar memeriksa bagian-bagian yang berbeda,
atau elemen, dari sebuah karya musik dan bagaimana cara setiap masing-masing
elemen dikombinasikan dan dihubungkan untuk menghasilkan sebuah karya
54Gilbert Rouget, Music and Trance: a theory of relations between music and possession,The
University of Chicago Press,Chicago,1985.hlm.132.
Universitas Sumatera Utara
komposisi.55 Apa pentingnya teori musik? Duckworth mengatakan teori musik
memberikan informasi faktual tentang musik yang akan membuat kita menjadi musisi
yang lebih baik.56
Untuk melihat bagaiman ritem yang digunakan ketika sorak-sorai dilakukan
saya akan menggunakan klasifikasi ritem oleh Paul Cooper untuk menjelaskan
gerakan ritem yang konstan dan menyebutnya sebagai “Motor” rhythm.
Untuk menganalisis struktur garis harmoni (harmony shape) atau kontur
harmoni (harmonic contour) yang saya lakukan dengan menarik garis desain
geometrik (geometric design) beberapa sampel lagu yang cenderung ditemukan
memiliki kesamaan sehingga dapat terlihat jelas karakter harmoni lagu yang
digunakan dalam ibadah yang digunakan di GBI Medan Plaza. Sehingga akan tampak
harmonic construction musik beberapa lagu yang kemudian menjadi karakteritik
lagu-lagu pujian dan penyembahan. Geometrik desain dari kontur harmoni tersebut
saya beri warna merah pada progresi harmoni suara bas di kunci F melalui transkrip
piano.
1. 8. Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini ialah bagaimana musik
Kristen kontemporer digunakan dalam ibadah kontemporer, sehingga ibadah dalam
gereja Kharismatik sangat berbede dengan ibadah liturgikal yang ada dalam gereja-
55William Duckworth, Music Fundamentals 4th Edition, Wadsworth Publishing, Bucknell
University,1992,hlm.2. 56Ibid.,hlm.2.
Universitas Sumatera Utara
gereja tradisional. Kajian mengenai gereja ini akan difokuskan terhadap
permasalahannya di bidang peranan musik dalam ibadah dan menganalisis pola-pola
flowing yang sangat penting dan menentukan terhadap kualitas ibadah saat ibadah
berlangsung tersebut. Untuk itu pelacakan atas peristiwa-peristiwa serta penjabaran
permasalahan tersebut, akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan utama sebagai
berikut:
1. Bagaimana ibadah tersebut berlangsung dan disajikan dengan menggunakan
musik Kristen kontemporer yang gaya dan struktur ibadahnya fleksibel,
spontan dan tidak liturgikal.
2. Bagaimana musik tersebut digunakan untuk “membangun” atmosfir ibadah
yang penuh dengan hadirat Tuhan dan efeknya terhadap perilaku musik dalam
konteks perilaku sosial yang kompleks dan universal
3. Bagaimana porsi musik yang tepat dan seperti pandangan Wilfred tidak
overdose dalam sebuah ibadah kontemporer di GBI Medan Plaza
4. Melihat pola-pola gereja Kharismatik saat ini dan kaitannya dengan visi GBI
Medan Plaza
5. Menganalisis pola garis (shape) harmoni dari lagu pujian dan penyembahan
6. Bagaimana pola-pola flowing yang digunakan dalam pujian dan penyembahan
7. Bagaimana musik yang digunakan dalam ibadah, seperti kadens, pola ending,
modulasi, open chord.
1. 9. Tinjauan Pustaka
Universitas Sumatera Utara
Penelitian tentang gereja Bethel umumnya dan GBI Medan Plaza khususnya
telah dilakukan oleh para sarjana di Medan khususnya di Fakultas Sastra, Jurusan
Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara. Salah satu skripsi para sarjana yang
menulis tentang GBI lebih menitikberatkan kajiannya terhadap sistem organisasi
manajemen dan pelatihan musik di GBI Medan Plaza yang dilakukan oleh saudara
Gugun Sihombing. Adapun pembahasan yang dikaji oleh Gugun ialah sebuah proses
awal dimana seseorang yang ingin menjadi imam musik harus melalui program
pelatihan musik yang dilaksanakan di GBI Medan Plaza, sehingga proses tersebut
terangkum dalam sebuah tulisan ilmiah manajemen program pelatihan musik itu
sendiri.Gugun Sihombing juga melakukan kajian analisis terhadap dua buah lagu
yang berjudul Penuhiku dan Allahku Dahsyat menggunakan teori weighted scale.57
Gugun dalam skripsinya menulis bahwa skripsinya dilakukan dengan pendekatan
etnomusikologi. Sementara itu menurut Joseph Kerman analisis erat kaitannya
dengan teori musik dan sering digolongkan kedalamnya, analisis hanyalah sebagai
teori pelengkap yang bebas. Sehingga sesungguhnya masih banyak pendekatan
disiplin lain yang cukup menarik dapat dilakukan untuk menganalisis musik dan
ibadah dalam gereja Kharismatik seperti GBI Medan Plaza yang akan saya lakukan
dalam tesis ini.
Tulisan lain yang membahas tentang GBI Medan Plaza adalah skripsi yang
57Weigthed Scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada
delapan unsurnya, kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah (1) tangga nada, (2) nada pusat atau nada dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah nada, (5) penggunaan interval, (6) pola cadenza, (7) formula melodi, dan (8) kontur dalam Gugun Sihombing,Op.Cit.,hlm.33
Universitas Sumatera Utara
ditulis oleh saudara Daud Satria. Dalam skripsinya Daud membahas tentang guna dan
fungsi serta peranan musik pengiring dalam ibadah terhadap jemaat di GBI Medan
Plaza. Sementara itu tulisan lain yang penulis temukan tentang Gereja Bethel adalah
skripsi saudara Hans Marpaung yang berjudul “Deskripsi Tari Tamborin dan Musik
Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia (GBI) Tanjung Sari Medan”.
Tulisan ini mendeskripsikan bagaimana tari tamborin dan musik menjadi peranan
yang penting dalam setiap ibadah GBI Tanjung Sari.
Dari ketiga tulisan tersebut penulis merasa belum dilakukan kajian yang
mendalam tentang analisis terhadap peran musik dalam ibadah yang memberikan
ikhtisar tentang relevansi musik terhadap persoalan psikologis, sosiologis dan
teologis di GBI Medan Plaza, sehingga bisa mempengaruhi jemaat secara Roh dan
spiritual, kemudian melihatnya dalam konteks dan fungsi sosial.
1. 10. Metodologi Penelitian
1. 10. 1. Pendekatan Penelitian
Untuk mengkaji musik dalam ibadah kontemporer di GBI Medan Plaza dalam
tesis ini penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif. Menurut Nelson
metode kualitatif adalah sebagai berikut:
“Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are
Universitas Sumatera Utara
commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions”.58
Penelitian kualitatif cenderung digunakan dalam mempelajari terhadap kehidupan
sekelompok manusia. Namun bukan berarti penelitan dalam seni tidak dapat
dilakukan menggunakan metode kuantitatif, karena penelitian yang menggunakan
metode kualitatif juga membutuhkan data-data yang bersifat kuantitatif.
Untuk mencapai tujuan dalam tulisan ini, penulis menggunakan tiga metode
yaitu : metode literatur dan metode wawancara. Metode literatur adalah metode yang
menggali thesis ini melalui buku-buku, majalah, surat kabar, kamus, dan artikel-
artikel lainnya. Metode wawancara dengan tanya jawab penulis dengan orang-orang
yang mengetahui sedikit banyaknya mengenai musik dalam ibadah kontemporer di
GBI Medan Plaza, dan mengikuti perkuliahan umum di STT Misi Internasional Pelita
Kebenaran untuk mata kuliah pujian dan penyembahan, hal ini dilakukan penulis
guna menambah pengetahuan dan melengkapi atau membantu metode literatur.
1. 11. Sistematika Penulisan
Tulisan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut
a. Bab I : Pendahuluan. Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan
dan metodologi penelitian yang penulis pakai.
58Treichler, P.A., C. Nelson dan L. Grossberg, 1992. “Cultural Studies.” Cultural Studies. L.
Grossberg, C. Nelson dan P.A. Treichler (eds.). New York: Routledge
Universitas Sumatera Utara
b. Bab II: Melihat Sejarah Kharismatik dan Transformasi Musik di Dalamnya,
Dalam bab ini penulis akan mengkaji bagaimana musik telah mengalami
perubahan transformasi hingga sekarang yang di gunakan di GBI Medan Plaza,
dan memaparkan bagaimana gerakan Kharismatik itu muncul dan berkembang di
Indonesia.
c. Bab III: Musik Dalam Ibadah Kontemporer di GBI Medan Plaza, dalam bab ini
penulis akan melihat bagaimana garis harmoni (harmony shape) dan garis melodi
(melody shape) dalam lagu pujian dan penyembahan, melihat pola-pola, struktur
harmoni dan flowing yang sarat akan improvisasi, sehingga akan terlihat
bagaimana karakter dari musik yang digunakan dalam GBI Medan Plaza. Juga
pemakaian Nashville Numbers System dalam ibadah, pemakaian fingering code,
modulasi, open chord, ending, kadens, improvisasi, dan sebagainya.
d. Bab IV : Struktur Ibadah Kontemporer dalam Kajian Konteks dan Fungsi Sosial,
dalam bab ini penulis akan menelaah ibadah kontemporer bagaimana dapat
berlangsung dengan sukses, apa saja kriteria ibadah tersebut sukses secara
alkitabiah, dan bagaimana aktivitas di dalam ibadah tersebut, perangkat
pendukung ibadah, dan melihatnya berdasarkan landasan teori yang saya gunakan.
e. Bab V: Penutup.
Universitas Sumatera Utara