BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi (PT) vokasi bertujuan
agar mahasiswa mampu berbahasa Inggris dengan tepat (appropriately), yaitu
tepat dari segi tata bahasa dan tepat dari segi konteks (Leech, 1983). Untuk
mencapai tujuan tersebut, bahasa Inggris dimasukkan sebagai salah satu mata
kuliah dalam kurikulum dengan jumlah kredit tertentu. Hal ini, diupayakan untuk
mengakomodasi kebutuhan mahasiswa akan pembelajaran bahasa Inggris yang
cukup. Buku ajar bahasa Inggris dan alat bantu mengajar juga disiapkan oleh
masing-masing dosen untuk menyelenggarakan pembelajaran. Selama periode
perkuliahan, mahasiswa diajari bahasa Inggris yang menekankan pada keempat
keahlian, yaitu berbicara (speaking), mendengar (listening), membaca (reading),
dan menulis (writing). Selain diselenggarakan di kelas, pembelajaran bahasa
Inggris juga dilakukan di laboratorium bahasa.
Hasil analisis sekilas terhadap satuan acara perkuliahan (SAP) mata kuliah
bahasa Inggris di Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi, menunjukkan
bahwa waktu pembelajaran bahasa Inggris cukup memadai. Mereka diajari bahasa
Inggris selama enam semester. Jumlah jam pembelajaran bahasa Inggris mereka
berkisar antara empat sampai delapan jam per minggu. Sistem pembagian waktu
pembelajaran bahasa Inggris di setiap kelas dikemas secara proporsional untuk
mendukung penguasaan kompetensi wicara. Pembagian waktu tersebut adalah
2
20% untuk ranah kognitif, 60% untuk ranah psikomotorik, dan 20% untuk ranah
afektif. Pembelajaran bahasa Inggris dikemas dengan memadukan pengajaran
bahasa atau struktur dan fungsi-fungsi bahasa untuk memfasilitasi penggunaan
bahasa Inggris mahasiswa (Silabus Bahasa Inggris Program Studi D4 Pariwisata,
2015). Durasi dan pengalokasian waktu pembelajaran tertersebut, secara teoretis
seharusnya sangat mendukung penguasaan bahasa Inggris mahasiswa. Namun,
kenyataannya kemampuan bahasa Inggris lulusan masih belum memadai.
Satuan acara perkuliahan (SAP) juga dirancang untuk mendukung
peningkatan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa. Pengajaran teori dan
praktik dilakukan dengan pembagian waktu yang seimbang. Prosedur pengajaran
didisain dengan lengkap mulai dari membuka kelas hingga menutup kelas.
Teknik-teknik pembelajaran pada masing-masing sesi juga dibuat beragam,
seperti diskusi, ceramah, kerja perorangan, kerja kelompok, mempraktikkan
dialog dan demonstrasi di depan kelas. Alat bantu mengajar seperti buku, hand
out, komputer, dan internet juga digunakan (Satuan Acara Perkuliahan Jurusan
Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi, 2015). Semua rancangan tersebut juga
seharusnya sangat mendukung penguasaan bahasa Inggris mahasiswa.
Hasil pengamatan sekilas terhadap pembelajaran bahasa Inggris di
beberapa kelas Program Studi D4 Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi
menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu nonkomunikatif dan komunikatif. Pendekatan nonkomunikatif
yang diimplementasikan pada saat pembelajaran tersebut adalah menulis narasi
dan mengerjakan latihan, sedangkan pendekatan komunikatif diimplementasikan
3
dengan mempraktikkan dialog atau model percakapan sesuai dengan buku paket,
mempraktikkan model percakapan tersebut ke dalam skup yang lebih luas, seperti
mengembangkan ide baru, berdiskusi secara berpasangan atau berkelompok, serta
mendemonstrasikan hasil diskusi atau dialog yang dipraktikan. Dalam
implementasinya, dosen belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran sesuai
dengan capaian yang digariskan oleh setiap bab. Dalam pembelajaran tersebut,
dosen mengembangkan materi pembelajaran terlalu luas sehingga terjadi
pembiasan dari tujuan yang digariskan. Di samping itu, pembagian waktu untuk
setiap aktivitas pembelajaran tampak tidak seimbang. Dosen menghabiskan waktu
yang cukup lama untuk membuka kelas, melakukan aktivitas elisitasi, dan
pemodelan. Walaupun pembelajaran berfokus lebih banyak pada aktivitas
komunikatif dan menyusupkan pengajaran tata bahasa (grammar) secara implisit,
tetapi durasi praktik berkomunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa masih
terbatas. Selain itu, walaupun dosen memberikan balikan sebelum pembelajaran
ditutup, umpan balik tersebut tidak bisa dilakukan secara optimal karena dosen
tidak bisa memantau aktivitas wicara mahasiswa secara optimal (Observasi
Pembelajaran di Kelas II B Program Studi D4 Pariwisata Perguruan Tinggi
Vokasi, 31 Maret 2015).
Respon para pimpinan hotel dan taman air (water park) di lingkungan
Kuta dan Nusa Dua menyatakan bahwa kompetensi bahasa Inggris para lulusan
Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi yang bekerja di empat perusahan
tersebut masih perlu tingkatkan, khususnya kompetensi wicara. Gambaran ini
diperoleh dari surve dan wawancara terhadap empat pimpinan perusahaan, yaitu
4
Sofitel, Awarta Nusa Dua, Waterbom, dan Kuta Town House tentang kompetensi
bahasa Inggris empat belas orang lulusan Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi
Vokasi. Dari hasil survei tersebut diperoleh gambaran bahwa kompetensi
komunikatif bahasa Inggris para karyawan tersebut masih rendah (Hasil
Wawancara dan Angket dengan para pimpinan hotel dan taman air di Kuta dan
Nusa Dua, Pebruari sampai Maret 2015). Mereka belum mampu memproduksi
ujaran-ujaran bahasa Inggris yang alamiah, kontekstual, dan situasional dengan
kaidah yang tepat. Data kuantitatif yang dirangkum dari pendapat para pimpinan
hotel dan taman air tersebut menunjukkan bahwa 25% dari keseluruhan karyawan
tersebut memiliki tingkat bahasa Inggris menengah (intermediate), 12% memiliki
kemampuan rata-rata, tetapi sebanyak 63% karyawan masih memiliki kemampuan
bahasa Inggris dasar (basic) (Hasil Angket dan Wawancara dengan Lima
Karyawan Asing di Industri Pariwisata, Pebruari sampai Maret 2015).
Gambaran kompetensi bahasa Inggris lulusan Jurusan Pariwisata
Perguruan Tinggi Vokasi juga selaras dengan frekuensi terjadinya keluhan tamu
terhadap kemampuan bahasa Inggris mereka. Dari hasil angket diperoleh bahwa
frekuensi keluhan tamu akibat kemampuan berbahasa Inggris karyawan tersebut
masih tinggi yaitu 50%. Persentase ini masih tergolong tinggi karena setiap hotel
berusaha menekan tingkat keluhan tamu di bawah 5% hingga 0%. Dari
wawancara mendalam yang juga dilakukan tersebut diperoleh bahwa faktor
pemicu terjadinya keluhan tamu adalah sikap dan rasa percaya diri karyawan
dalam berinteraksi, yaitu sebesar 25% dan hambatan bahasa (language barrier),
5
yaitu sebesar 75% (Hasil Angket dan Wawancara dengan Lima Karyawan Asing
di Industri Pariwisata, Pebruari sampai Maret 2015).
Kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan Program Studi D IV
Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi juga membutuhkan kemampuan berbahasa
Inggris yang sangat memadai. Lulusan program studi ini ditargetkan mampu
berbahasa Inggris dengan memadai dan bahasa asing lainnya serta mampu
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tingkatnya lebih tinggi dari pekerjaan
karyawan biasa. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah merencanakan dan
melaksanakan event khusus, menyelenggarakan, mengawasi, dan mengevaluasi
kegiatan front office, house keeping, food & baverage, food production,
menangani proses reservasi, serta membuat dan mengelola produk wisata dan
usaha perjalanan wisata. Semua kompetensi ini membutuhkan kemampuan bahasa
Inggris yang sangat memadai (Buku Pedoman Pendidikan Perguruan Tinggi
Vokasi 2015).
Bukti-bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa proses belajar mengajar
(PBM) di Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi pada saat ini masih kurang
efektif. Hal ini, disebabkan karena ada beberapa aspek pembelajaran bahasa
Inggris di kelas yang tidak mendapat perhatian. Hasil wawancara terhadap para
informan (Pebruari sampai Maret, 2015) menyatakan, bahwa aspek-aspek yang
perlu ditekankan dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah aktivitas berbahasa
Inggris di kelas, pengenalan kaidah bahasa Inggris, serta pengenalan budaya, dan
kosa kata lewat materi ajar yang otentik seperti teks bacaan, TV, internet, lagu
kata dengan persentase berturut-turut 60%, 25%, 15%. Pendapat para partisipan
6
penelitian ini sangat tepat untuk menutupi kekurangan-kekurangan dalam
melakukan pembelajaran bahasa Inggris di kelas di Jurusan Pariwisata.
Wawancara yang dilakukan terhadap pihak pengguna lulusan menyatakan
bahwa ada beberapa hal yang seyogyanya dilakukan lembaga dalam memberikan
pembelajaran bahasa Inggris tersebut di antaranya: (1) memberikan input kepada
mahasiswa tentang ungkapan-ungkapan yang lazim digunakan oleh penutur asli
atau native speaker (NS) dalam membicarakan topik tersebut; (2) mengenalkan
ungkapan-ungkapan bahasa Inggris yang bersifat kontekstual dan situasional
kepada mahasiswa; (3) mengenalkan slang-slang kepada mahasiswa dan strategi-
strategi berkomunikasi yang digunakan oleh NS pada saat melakukan interaksi
verbal. Selain itu, ada beberapa saran dari informan terhadap pembelajaran bahasa
Inggris di perguruan tinggi, di antaranya materi ajar, strategi belajar mahasiswa,
strategi pembelajaran yang digunakan oleh dosen, serta aktivitas-aktivitas
pendukung pembelajaran (task) (Hasil Wawancara dan Angket dengan Pimpinan
Hotel, Pebruari-Maret 2015).
Kelemahan-kelemahan di atas dapat ditutupi dengan mengajarkan cara
berbahasa yang benar dan baik. Berbahasa yang benar dapat dilakukan dengan
mengikuti kaidah-kaidah bahasa Inggris baku. Di sisi lain, berbahasa yang baik
harus memenuhi aspek-aspek sosial berbahasa seperti yang dikemukakan oleh
Brown dan Levinson (1987), yaitu dengan memperhatikan kekuatan (power)
lawan tutur, jarak sosial (distance) lawan tutur, dan tingkat pemberatan (rank of
imposition) atau dengan memperhatikan dua dimensi yang dikemukakan oleh
7
Leech (1983), yaitu dimensi kaidah bahasa dan dimensi sosial yang dikenal
dengan pragmalinguistik dan sosiopragmatik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di depan, masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah realitas pembelajaran bahasa Inggris di Perguruan Tinggi
Vokasi ditinjau dari segi model, teori dan hasilnya?
2. Model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan pragmatik yang
bagaimanakah memadai digunakan di Perguruan Tinggi Vokasi
Pariwisata?
3. Bagaimanakah kompetensi pragmatik bahasa Inggris mahasiswa
perguruan tinggi vokasi?
4. Bagaimanakah efektivitas dan persepsi mahasiswa dan dosen terhadap
model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan pragmatik?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran
bahasa Inggris berpendekatan pragmatik di perguruan tinggi (PT) vokasi.
8
1.3.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan khusus penelitian ini
adalah sebagai berikuG: (1) Mendeskripsikan realitas pembelajaran bahasa Inggris
selama ini di Perguruan Tinggi Vokasi; (2) Mengembangkan model pembelajaran
pragmatik bahasa Inggris yang tepat untuk diimplementasikan di perguruan tinggi
vokasi; (3) Mengungkap kompetensi pragmatik bahasa Inggris mahasiswa
Perguruan Tinggi vokasi setelah model pembelajaran bahasa Inggris
berpendekatan pragmatik diimplementasikan; dan (4) Menguji efektifitas serta
mengetahui persepsi mahasiswa dan dosen terhadap model pembelajaran yang
dikemabangkan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan karena akan memberikan dua manfaat. Manfaat
tersebut adalah manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara rinci, disajikan
berikut ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini dapat dirinci seperti berikut.
1. Mengembangkan teori pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
atau bahasa asing di perguruan tinggi vokasi.
2. Memperkokoh eksistensi, kehandalan, serta keyakinan tentang pentingnya
penguasaan kompetensi pragmatik (pragmatic competence) dan kesadaran
9
pragmatik (pragmatic awareness) untuk meningkatkan kompetesi
komunikatif (communicative competence) bahasa Inggris mahasiswa.
3. Memberikan referensi tambahan tentang kajian pragmatik bahasa antara
atau interlanguage pragmatics (ILP) untuk dikembangkan dalam
penelitian-penelitian sejenis yang melibatkan bahasa-bahasa lainnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.
1. Hasil penelitian ini dapat menguatkan pengajaran bahasa Inggris di
perguruan tinggi (PT) vokasi, baik menyangkut pemilihan materi ajar,
pembelajaran, serta penyusunan alat evaluasi.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tuntunan untuk pengembangan buku
ajar untuk pembelajaran bahasa Inggris di PT vokasi.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penyelenggaraan
pelatihan-pelatihan pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan
pragmatik
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memperjelas cakupan penelitian ini maka ruang lingkup penelitian
dapat dipaparkan sebagai berikut.
1. Kekuatan dan kelemahan pembelajaran bahasa Inggris saat ini di
perguruan tinggi vokasi baik dari segi teori. Pembelajaran saat ini yang
diinvestigasi menyangkut penerapan pendekatan, prosedur pembelajaran,
10
metode pembelajaran, paradigma pembelajaran, kurikulum, serta aktivitas-
aktivitas yang dilakukan di kelas pada saat pembelajaran. Di samping itu,
alat-lat pendukung pembelajaran, seperti materi ajar, kurikulum, silabus,
satuan acara perkuliahan, serta sistem evaluasi pembelajaran juga
dievaluasi.
2. Model pembelajaran bahasa Inggris yang sesuai dengan kebutuhan
pembelajaran bahasa Inggris di PT vokasi pariwisata. Model ini
dikembangkan dengan menggunakan disain dan prosedur pengembangan
yang diajukan oleh Dick dan Carey (1990) yang dipadukan dengan teori
pembelajaran pragmatik secara eksplisit, teori tindak tutur, teori
kompetensi komunikatif (communicative competence), teori sosiokultural
dan teori analisis linguistik. Semua teori pendanping ini (middle range
theory) membantu dalam mengembangkan model yang cocok untuk
diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris di PT vokasi. Kegiatan ini
dilakukan setelah fakta-fakta tentang pengajaran bahasa Inggris di
perguruan tinggi vokasi saat ini telah diketahui serta aspek-aspek yang
diabaikan dalam pengajaran selama ini berhasil diidentifikasi. Kedua aspek
tersebut digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran dengan
pendekatan pragmatik. Setelah draf model pembelajaran dengan
pendekatan pragmatik berhasil dikembangkan, uji coba model dilakukan
untuk mengetahui efektivitasnya terhadap peningkatan kompetensi
pragmatik mahasiswa. Model pembelajaran ini divalidasi baik dari segi isi
11
maupun disain sebelum digunakan sebagai model pembelajaran bahasa
Inggris yang valid.
3. Kompetensi pragmatik partisipan penelitian. Kompetensi pragmatik ini
dilihat dari jumlah dan jenis ujaran-ujaran yang mereka bisa produksi pada
saat diberikan T1 dan T2. Jenis ujaran-ujaran tersebut dikelompokkan ke
dalam beberapa jenis formula semantik menurut taksonomi request dan
refusal dari enam ahli pragmatik.
4. Indikator efektivitas model yang dikembangkan dilihat dari nilai hasil T1
dan T2 yang dicapai oleh partisipan penelitian.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
`
Dalam bab ini, dikaji beberapa penelitian sebelumnya, konsep, dan teori
yang relevan dengan topik yang diteliti. Subbab 2.1 membahas beberapa
penelitian pragmatik yang dilakukan dalam konteks bahasa kedua (L2) dan bahasa
asing atau foreign language (FL), Subbab 2.2 memaparkan konsep-konsep dasar
yang berhubungan dengan topik penelitian ini, dan subbab 2.3 membahas
beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini. Disain model penelitian
diulas dalam subbab 2.4.
2.1 Kajian Pustaka
Ada beberapa pustaka yang relevan dengan penelitian dikaji dalam subbab
ini. Pustaka-pustaka tersebut berkaitan dengan tindak tutur permintaan (request),
penolakan (refusal), dan pembelajaran pragmatik.
Avert dan Brumberek-Dyzman (2008) menginvestigasi tindak tutur
penolakan (refusal) dalam bahasa kedua (L2). Dengan melibatkan 106 orang
mahasiswa Polandia yang belajar bahasa Inggris sebagai L2 sebagai kelompok
satu dan 84 orang mahasiswa yang belajar biologi. Kajian itu bertujuan untuk
mengungkap apakah mengetahui dan memakai bahasa lain akan memengaruhi
kemampuan pragmalinguistik bahasa pertama (L1) partisipan. Di samping itu,
kajian itu bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan frekuensi
penggunaan formula semantik refusal pada dua kelompok dan mengetahui apakah
13
penggunaan bahasa lain secara terus-menerus memberikan efek pada sikap
pragmatik L2 pada saat membuat tindak tutur refusal mereka. Dengan
menggunakan instrumen Discourse Completion Task (DCT) yang berisikan
situasi-situasi berdasarkan teori sosiokultural Brown dan Levinson (1987),
partisipan diminta untuk mengisi bagian-bagian kosong pada DCT. Analisis
menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan signifikan antara
pemakai dan pelajar L2 terhadap kompetensi pragmalinguistik bahasa pertama
partisipan. Perbadaan formula semantik yang ditemukan hanya dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya status penutur dan lawan tutur. Formula semantik yang dibuat
partisipan sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh salah satu faktor yaitu
penggunaan DCT tertulis. Instrumen oral role play perlu diujicoba dalam
penelitian ini. Hal ini perlu dicoba dalam suatu penelitian.
Kajian refusal yang dilakukan oleh Martinez-Flor (2013) sangat berbeda.
Untuk menyelidiki keanekaragaman jumlah dan jenis strategi refusal, 16 (enam
belas) pasang mahasiswa jurusan bahasa Inggris dengan tingkat kemahiran di atas
menegah diberikan dua instrumen yaitu DCT tertulis dan oral role play. Dua ratus
delapan puluh delapan sampel respon yang diperoleh kemudian dibandingkan
untuk melihat efektivitas kedua jenis instrumen tersebut. Hasil analisis data
menunjukkan, bahwa secara umum perbedaan efektivitas kedua instrumen
tersebut tidak jauh berbeda, yaitu DCT mampu menghadirkan 51,60% fomula
semantis dan oral role play mampu menghasilkan 48,40% formula semantis.
Dengan menggunakan jumlah partisipan yang relatif kecil, kajian ini menujukkan
bahwa kedua instrumen tersebut sama-sama efektif. Penelitian itu perlu dicoba
14
ulang dengan menggunakan jumlah partisipan yang lebih banyak. Di samping itu,
perbedaan variasi-variasi formula semantik yang dihasilkan setelah menggunakan
kedua instrumen tersebut juga tidak diuraikan.
Kajian tindak tutur refusals yang dilakukan Felix-Brasdefer (2004) sangat
berbeda. Kajian itu dilakukan untuk menyelidiki strategi-strategi kesantunan yang
digunakan oleh NS dan NNS Spanyol pada saat melakukan penolakan dan untuk
mengetahui apakah lama tinggal di luar negeri berpengaruh terhadap produksi
strategi penolakan mereka. Instrumen yang digunakan adalah oral role play dan
verbal report (bandingkan dengan Avert dan Brumberek-Dyzman (2008) dan
Martinez-Flor (2013). Kedua instrumen ini digunakan karena dua alasan, yaitu
gampang untuk memperoleh interaksi percakapan yang lengkap, peneliti dapat
mengontrol percakapan, serta refleksi awareness tentang penggunaan tindak tutur
penolakan yang tepat. Dengan menggunakan kedua instrumen tersebut dan
melibatkan 64 (enam puluh empat) partisipan, yaitu 40 mahasiswa NS dan 24
mahasiswa NNS, diperoleh data interaksi penolakan sebanyak 384. Urutan
penolakan yang dibuat partisipan diuji melalui interaksi head act, pre dan post
refusal serta across conversational turn. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa
partisipan penelitian lebih banyak membuat negosiasi menggunakan mitigasi
leksikal, sintakmatiksis, solidaritas lebih tinggi, serta indirectness yang hampir
menyamai NS. Kajian refusals itu memberikan inspirasi karena menggunakan
oral role play untuk mencari data alamiah tetapi masih melibatkan NS sebagai
perbandingan. Penelitian yang khusus melibatkan partisipan NNS perlu dicoba
dengan menggunakan instrumen lain misalnya discourse completion task (DCT).
15
Kajian refusals dengan menggunakan instrumen tertulis dilakukan oleh
Lin (2014). Dengan melibatkan 90 (sembilan puluh) partisipan penelitian, yaitu
partisipan penelitian Cina berbahasa Mandarin dan partisipan penelitian Cina yang
belajar EFL dan penutur asli AS. Kajian itu ingin mengetahui strategi penolakan
lintas budaya bahasa Cina dan bahasa Inggris dan untuk mengetahui cara pelajar
EFL Cina membuat tindak tutur refusals. Data tindak tutur refusals diperoleh
dengan menggunakan instrumen DCT berbahasa Inggris dan berbahasa Cina
dengan tiga situasi penolakan dan scale response questionnaire (SRQ) untuk
mengetahui kemampuan sosiopragmatik partisipan penelitian. Dalam
implementasinya, partisipan penelitian disuruh untuk membaca instruksi atau
contoh dan melengkapi instrumen selama 30 menit sebelum data tersebut
dikodekan dengan skema Bebee (1990) dan dianalisis dengan statistik. Hasil
analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan strategi penolakan ketiga kelompok
partisipan penelitian tersebut. Pelajar EFL Cina membuat tindak tutur yang
mengancam muka lebih tinggi daripada penutur asli Cina dan penutur asli Inggris
AS. Terdapat kemiripan persepsi tentang penolakan yang mengancam muka
penutur asli Cina dan penutur asli Inggris yaitu penggunaan strategi indirectness
dan adjunct. Melihat fakta tersebut, perlu dicermati alasan pelajar EFL Cina dan
penutur asli Cina memiliki kompetensi-kompetensi pragmatik berbeda. Hal ini,
mungkin disebabkan oleh instrumen pengumpulan data. Untuk itu, perlu dicoba
instrumen yang dapat memberikan data yang lebih represetatif, misalnya oral role
play.
16
Penelitian dalam bidang pragmatik B2 dengan menggunakan instrumen
tertulis juga dilakukan oleh Cordina-Espurz (2013). Dengan melibatkan 192
partisipan penelitian mahasiswa S-2 jurusan Pendidikan dan Filologi bahasa
Inggris yang dibagi menjadi empat kelompok, yaitu beginner, elementary, lower
intermediate, dan upper intermediate, kajian itu dilakukan untuk dua tujuan.
Pertama, untuk mengetahui apakah pelajar dengan profisiensi tinggi mampu
memproduksi lebih banyak strategi refusals dibandingkan dengan mahasiswa
dengan kompetensi lebih rendah. Kedua, apakah mahasiswa dengan kompetensi
lebih tinggi mampu memproduksi strategi penolakan yang lebih beragam
dibandingkan dengan mahasiswa dengan kompetensi lebih rendah. Data digali
dengan menggunakan instrumen DCT dalam beberapa konteks, seperti bank,
universitas, pabrik roti, toko buku, dengan beberapa situasi permintaan (request)
dengan variabel pengontrol, seperti status sosial, jarak sosial dan jenis kelamin.
Respons mahasiswa dianalisis berdasarkan taksonomi penolakan, jumlah setrategi,
dan ketepatan strategi. Data tersebut diuji dengan ANOVA untuk melihat
signifikansi perbedaan di antara kelompok profisiensi tersebut. Setelah dianalisis,
ditemukan strategi refusals paling banyak dilakukan oleh kelompok beginner,
diikuti oleh lower intermediate, elementary dan upper intermediate. Kecakapan
berbahasa berperan dalam menentukan jumlah strategi dalam memproduksi
langsung. Kelompok beginner paling banyak membuat strategi langsung
dibandingkan dengan kelompok lain sedangkan penggunaan adjunct paling
banyak dilakukan oleh kelompok upper intermediate. Berdasarkan kenyataan
bahwa kelompok beginner mampu memproduksi tindak tutur paling banyak,
17
penelitian ini perlu dilakukan lagi dengan menggunakan instrumen berbeda,
seperti oral role play untuk membuktikan kebenaran fakta itu.
Tian (2014) mengkaji refusals bahasa Inggris sebagai B2 pelajar Cina
wanita. Penelitian itu menggunakan instrumen oral role play dengan enam
skenario refusal dan menggunakan variabel PDR (Brown dan Levinson, 1987)
untuk menginvestigasi strategi pragmatik yang cocok diterapkan oleh partisipan
penelitians dalam membuat refusals dalam B2. Di samping itu, kajian itu juga
mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi pilihan strategi tersebut dan menguji
kompetensi pragmatik B2 partisipan penelitians, menangani situasi-situasi
penolakan, serta menyoroti implikasinya terhadap tindakan pedagogis. Partisipan
penelitian diberikan enam situasi sebelum oral role play dilakukan tetapi dengan
menyembunyikan maksud aktivitas tesebut. Tindak tutur partisipan penelitians
direkam dan ditranskripsikan, kemudian dianalisis. Data ujaran partisipan
penelitians dianalisis dengan menggunakan teori kesantunan (Brown dan
Levinson, 1987). Hasil analisis menunjukkan bahwa partisipan penelitians
termotivasi untuk menggunakan strategi tak tangsung dalam keenam situasi.
Mereka menggunakan penyataan non performatif dalam penolakan langsung,
yaitu Don’t pay, I can’t leave my family now, No, I don’t want”. Mereka juga
menggunakan beberapa alasan untuk melengkapi penolakannya, seperti “It’s very
cheap, I have a little child, I already borrow it to Li Mei, My tape recorder is
broken”. Dengan hasil kajian tersebut diyakini bahwa aspek bahasa, pragmatik
dan sosiokultural merupakan faktor yang mempengaruhi pilihan strategi mereka,
18
terdapat hubungan profisiensi linguistik dengan pragmatik B2 partisipan
penelitians dan keterbatasan kompetensi pragmatik B2 mereka.
Sattar, Lah, dan Sulaeman (2011) mengkaji strategi refusals dalam bahasa
Inggris untuk menyelidiki formula semantik yang disukai oleh mahasiswa
Malaysia dalam menolak suatu permintaan dalam konteks akademis. Dengan
melibatkan empat puluh mahasiswa sebagai partisipan penelitian dari S-1 dan S-2.
Kajian itu menggunakan instrumen DCT dengan beberapa situasi. DCT dibuat
berdasarkan dua variabel yaitu relative power dan social distance. Partisipan
penelitian diberikan situasi tertulis dalam bahasa Inggris dan diminta menulis apa
yang mereka akan katakan untuk setiap situasi. Data DCT kemudian diuji dan
dikategorisasi berdasarkan taksonomi Bebee (1990), khususnya direct refusal,
indirect refusal, dan adjunct to refusal. Data tersebut kemudian dianalisis dengan
menggunakan formula semantik seperti a reason, an explanation, dan an
alternative (Fraser, 1981; Olshtain and Cohen, 1983; Bebee, dkk, 1990). Setelah
melakukan analisis data, ditemukan bahwa mahasiswa Malaysia lebih suka
menggunakan pola penolakan tak langsung, dan tindak tutur minta maaf dan
menjelaskan. Pilihan semantik ini banyak digunakan karena pengaruh budaya
rensponden. Pada strategi langsung, partisipan penelitian menghindari
penggunaan strategi seperti mengatakan “no”, sehingga mereka memilih memakai
negative ability. Pada strategi tak langsung, mereka lebeih cenderung
menggunakan excuse dan explanation, dan regret, diikuti dengan alternative,
wish, self defense, dan philosophy.
19
Ren (2012) juga meneliti perkembangan pragmatik siswa khususnya
tindak tutur refusals. Kajian pragmatik B2 itu berupaya menginvestigasi pengaruh
lingkungan belajar terhadap perkembangan pragmatik B2 dua kelompok
partisipan penelitian, yaitu partisipan penelitian dengan pengalaman belajar di luar
negeri atau study abroad (SA) dan dengan pengalaman belajar di Indonesia.
Kajian tersebut juga menyelidiki sejauh mana SA memengaruhi pilihan pragmatik
partisipan penelitian, sejauh mana SA mempengaruhi kosa kata dan adjunct
penolakan mereka, serta sejauh mana SA mempengaruhi kekayaan strategi
penolakan mereka. Partisipan penelitian yang dilibatkan adalah 20 kelompok
dengan pengalaman SA dan 20 kelompok partisipan penelitian dengan
pengalaman belajar di rumah atau study at home (AH). Instrumen penelitiannya
adalah multimedia elicitation task (MET), yaitu DCT berbasis multimedia
komputer dengan delapan skenario tentang refusals. Dalam pelaksanaannya,
partisipan penelitian disuruh menonton satu seri slide di komputer dan mendengar
instruksi serta memulai ujaran yang direkam dan direspon secara lisan. MET
diberikan tiga kali, pada tes awal, tes kedua, dan tes akhir. Data hasil tes dengan
MET dikelompokkan menjadi tiga, yaitu direct refusal, indirect refusal, dan
adjunct to refusal. Dari analisis data diperoleh bahwa kelompok SA melakukan
strategi menghindar (opt out) secara konsisten pada ketiga tes, memiliki
perbendaharaan pragmalinguistik dengan perkembangan yang signifikan,
melakukan strategi opt out paling sering dalam merespon penawaran, dan strategi
opt out merupakan strategi baru bagi mereka. Kelompok partisipan penelitian AT
juga membuat opt out sebagai hal yang baru, mereka memakai opt out paling
20
sering dalam merespon saran teman. Secara keseluruhan, pengalaman belajar di
luar negeri memengaruhi pilihan sosiopragmatik tindak tutur siswa SA.
Penelitian transfer pragmatik khususnya refusal juga dilakukan oleh Abed
(2011). Penelitian itu juga menggunakan instrumen DCT tertulis dengan
melibatkan 55 (lima puluh lima) partisipan penelitian. Penelitian itu bertujuan
untuk mengungkap proses transfer pragmatik pada pelajar EFL Irak tentang
penolakan, kesadaran pragmatik mereka, perbedaan penutur Irak dan AS dalam
menggunakan strategi penolakan dan adjunct, dan perbedaan pelajar pria dan
wanita Irak dalam menggunakan strategi penolakan. Dalam menjaring data, 30
(tiga puluh) pelajar EFL Irak dan 15 NS Arab Irak diberikan DCT, dan 10
(sepuluh) NS bahasa Inggris AS diberikan DCT lewat email. Data formula
semantik berbahasa Arab dan Inggris diklasifikasikan menurut strategi Bebee
(1990). Secara umum, ketiga kelompok tersebut menggunakan indirect strategy
lebih sering dibandingkan dengan direct strategy. Pria Arab tercatat menggunakan
lebih banyak strategi dibandingkan wanita Arab. Kedua kelompok partisipan
penelitian tersebut berbeda dari segi kultur dalam mengatakan refusal. Partisipan
penelitian Irak lebih sering menggunakan statement of excuse, reason,
explanation, statement of regret, statement of wish, dan refusal adjunct. Partisipan
penelitian AS lebih cenderung menggunakan statement of philosophy, statement
of acceptance sebagai penolakan serta evidence khususnya silence. Partisipan
penelitian Irak masih terkategori sadar secara pragmatik. Mereka cenderung
mengadopsi bahasa aslinya ketika menolak.
21
Penelitian produksi tindak tutur refusals itu cukup bervariasi baik dari segi
instrumen, jumlah partisipan penelitian, maupun analisis data. Dari sembilan
kajian itu, lima kajian menggunakan DCT secara utuh, seperti Avert, Brumberek,
Dyzman (2008), Sattar, Lah, Sulaeman (2011), Abed (2011), Ren (2012),
Cordina-Espuzs (2013), dan Lin (2014). Walaupun DCT bukan merupakan
instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini, tetapi beberapa penelitian itu
telah memberikan inspirasi seperti penggunaan statistik ANOVA dalam
menganalisis data (Cordina-Espurz, 2013), dengan mengkombinasikan instrumen
DCT dengan penggunaan bantuan multimedia elicitation task (MET) (Ren, 2012),
atau memodivikasi DCT dengan situasi-situasi lain seperti scale response
questionnaire (Lin, 2014). Beberapa kajian refusals itu telah menggunakan
instrumen oral role play. Kajian Tian (2014) menggunakan oral role play murni
sedangkan Felix-Brasdefer (2014) mengkombinasikan oral role play dengan
verbal report, dan Martinez-Flor (2013) mengkombinasikan oral role play dengan
DCT. Dari ketiga penelitian tentang refusals dengan menggunakan oral role play,
tidak ada satupun yang mengkaji pembelajaran pragmatik tetapi pengembangan
konsep. Walaupun Tian (2014) menggunakan oral role play dan menggunakan
teori kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987) tetapi
penelitian itu bukan penelitian pengembangan melainkan hanya menggunakan
satu teori, yaitu teori kesantunan. Di samping itu, partisipan penelitian yang
digunakannya masih terbatas.
Kajian tindak tutur request juga telah dilakukan oleh beberapa pakar
dalam bidang pragmatik B2. Hassall (2001) mengkaji kemampuan memodifikasi
22
request oleh mahasiswa Jepang. Sebanyak 187 siswa Jepang yang belajar di
Canada dan 111 siswa NS bahasa Inggris dibandingkan. Dengan menggunakan
kuesioner pilihan ganda berisikan situasi-situasi, kuesioner laporan diri, serta
TOEFL ITP untuk mengetes kecakapan bahasa Inggris partisipan, Hassall (2001)
bermaksud mengungkap tingkat perkembangan pragmatik siswa Jepang dan
menguji tingkat signifikansi efek langsung dan tak langsung dari kompetensi
pragmatik mereka. Dengan menganalisis data dengan tiga langkah, seperti
menggunakan statistik deskriptif, hubungan antarvariabel laten dan variabel yang
diobservasi dan perbandingan empat model diperoleh simpulan bahwa
kemampuan pragmatik bahasa Inggris siswa Jepang dalam menawarkan
mendekati kemampuan siswa NS.
Kajian Uso Juan, Campillo (2002) berbeda dari kajian Hassall (2001)
karena menggunakan buku teks sebagai sumber data. Dari buku teks tersebut
diperoleh 49 (empat puluh sembilan) transkrip yang diambil dari aktivitas
listening. Tujuan kajian itu adalah untuk menganalisis tindak tutur request
ditawarkan dalam materi listening tersebut, serta mengetahui permintaan yang
paling lumrah digunakan. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan
taksonomi Trosborg (1995). Hasil analisis data menunjukkan bahwa kategori 2,
yaitu conventionally indirect request, dan hearer-oriented condition merupakan
kategori yang paling lumrah digunakan dari taksonomi yang dikemukakan
Trosborg (1995), kategori dua muncul paling banyak, disusul oleh kategori tiga,
kategori empat dan kategori satu. Struktur yang paling banyak muncul adalah
ability dan willingness.
23
Bleltran, Martinez-Flor (2004) menyelidiki penggunaan request oleh 12
(dua belas) mahasiswa Inggris yang belajar B1. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui alat modifikasi request yang digunakan partisipan ketika membuat
tindak tutur tersebut serta menganalisis penggunaan alat modifikasi permintaan
internal dan eksternal oleh penutur asli tersebut pada saat melakukan oral role
play secara spontan. Instrumen penggalian data yang digunakan adalah oral role
play dengan 15 (lima belas) situasi. Secara berpasangan, partisipan itu diberikan
30 (tiga puluh menit) untuk melakukan oral role play secara spontan dan tidak
diberikan waktu untuk menyiapkan diri sebelumnya. Mereka membuat tiga
macam kesantunan, yaitu kesantunan tinggi (antar kolega professional yang tidak
dikenal), kesantunan solidaritas (antar teman, keluarga, tetangga), dan kesantunan
hirarkis (antara guru dan siswa). Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan alat modifikasi internal lebih tinggi dari yang eksternal (70%
disbanding 27%). Alat modifikasi yang digunakan adalah openers, softeners,
intensifiers, fillers, preparatory, grounders, disarmers, expanders, promise of
rewards, dan please. Penelitian ini cukup inspiratif dan perlu dicoba pada subjek
berbahasa Inggris sebagai B2.
Penelitian yang menggunakan instrumen oral role play juga dilakukan
oleh Martinez-Flor, Uso-Juan (2006) dengan dua kelompok partisipan mahasiswa
tahun kedua dari jurusan filologi bahasa Inggris dan bahasa Inggris bidang
komputer, yaitu 28 (dua puluh delapan) mahasiswa perempuan dan 12 (dua belas)
mahasiswa laki-laki. Partisipan penelitian disuruh melakukan oral role play secara
berpasangan dan secara spontan untuk direkam. Hasil rekaman ditranskripsikan
24
untuk dianalisis baik jumlah maupun jenis modifikasi internal dan eksternal tindak
tutur request yang dibuatnya. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa
partisipan dari jurusan Filologi bahasa Inggris membuat jauh lebih banyak
modifikasi request dibandingkan dengan mahasiswa jurusan bahasa Inggris
komputer. Kedua kelompok lebih banyak membuat modifikasi internal daripada
eksternal. Pelibatan partisipan penelitian itu masih belum seimbang antara laki-
laki dan perempuan.
Kajian tindak tutur request juga dilakukan oleh Taguchi tiga kali berturut-
turut pada tahun 2006, 2011, dan 2013. Kajian Taguchi pada tahun 2006
mengamati ketepatan produksi tindak tutur request pada 59 (lima puluh sembilan)
pelajar Jepang dikombinasikan dengan 20 (dua puluh) NS. Data diambil dengan
individual oral role play untuk melihat ketepatan pragmatik, tipe-tipe ekspresi dan
perbandingan kedua aspek tersebut. Penelitian tahun 2011 menyelidiki efek
pengalaman belajar terhadap produksi tindak tutur reqest 64 (enam puluh empat)
siswa Jepang dan dikombinasikan dengan 25 (dua puluh lima) NS. Dengan
menggunakan individual pragmatic speaking test partisipan disuruh membaca
situasi dan membuat tindak tutur permintaan. Data yang diperoleh dinilai dalam
tiga aspek, yaitu ketepatan (appropriatemenss), gramatika, dan kelancarannya.
Penelitiannya ketiga tahun 2013 mencoba mengungkap pengaruh individual
differences (ID) terhadap produksi tindak tutur yang tepat dan lancar. Dengan
melibatkan 48 (empat puluh delapan) mahasiswa semester 1, Taghuci (2013)
membuat DCT dan partisipan disuruh untuk membaca dan membuat tindak tutur
request dalam komputer. Hasil analisis kajian itu menunjukkan bahwa skil dan
25
akses leksikon sangat berpengaruh terhadap kelancaran tindak tutur partisipan.
Kajian Taguchi (2006) tentang ketepatan produksi tindak tutur request
menunjukkan bahwa hampir 50% siswa Jepang menggunakan ekspresi santun
dengan menggunakan ekspresi tak langsung dengan struktur would you – V1.
Kajian Taguchi (2011) menunjukkan bahwa profisiensi merupakan faktor penentu
ketepatan produksi tindak tutur partisipan dan tingkat gramatikalitasnya. Di
samping itu, pengalaman belajar di luar negeri juga memberikan pengaruh yang
besar. Ketiga penelitian itu menggunakan instrumen lisan seperti DCT lisan, oral
role play individu, dan individual pragmatic speaking test, tetapi masih dilakukan
dengan sistem monolog sehingga ujaran yang diproduksi partisipan belum bisa
digolongkan alamiah. Penelitian ini akan menggunakan oral role play yang
bersifat dialog.
Kajian request oleh Shively, Cohen (2008) berfokus pada perkembangan
pragmatik request dalam bahasa Spanyol dengan tujuan menganalisis request
yang dilakukan oleh mahasiswa America, efek karakteristik, interaksi dengan
orang Spanyol, peningkatan sensitivitas, dan perkembangan interkultural berefek
terhadap peningkatan kemampuan pragmatik partisipan, aspek apa yang
menyebabkan mereka kurang atau lebih dibandingkan dengan NS. Dengan
menggunakan kuesioner laporan diri dan produksi tindak tutur request tertulis,
serta pre dan post-test, data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kuantitatif
dengan menggunakan SPSS. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tindak
tutur request partisipan mengalami peningkatan setelah mereka belajar 1 semester
di luar negeri. Hal ini, dapat ditopang dengan bukti bahwa siswa mampu meniru
26
NS, seperti menggunakan verba downgrading. Mereka juga mampu mengurangi
penggunaan strategi langsung. Kedua hasil tes menunjukkan bahwa siswa lebih
suka menggunakan query preparatory, sama seperti penelitian Felix-Brasdefer
(2007). Request bahasa Sepanyol yang dilakukan oleh Rebeca Bataller (2010)
agak berbeda. Data dijaring dengan menggunakan open oral role play. Partisipan
yang menjadi partisipan penelitian sebanyak 31 (tiga puluh satu) orang
dihadapkan dengan 1 (satu) orang wanita Spanyol yang berperan sebagai penjual
di warung atau penjual sepatu di toko. Setiap orang diberikan kartu dengan dua
skenario, satu dengan imposisi rendah yaitu requesting something, dan imposisi
tinggi, yaitu asking to change a pair of shoes without receipt. Data yang direkam
kemudian ditranskripsikan dan dianalisis dengan metode kualitatif dan kuantitatif.
Kajian ini berhasil mengungkapkan bahwa partisipan menggunakan dua strategi
request, yaitu strategi langsung dan tak langsung. Strategi langsung digunakan
pada saat meminta sesuatu, dan strategi tak langsung digunakan jika meminta ijin
untuk menukar sepatu tanpa nota. Kajian kedua oleh Rebeca Bataller (2010)
memberikan masukan yang sangat berguna dibandingkan dengan kajian Shively,
Cohen (2008) yaitu tentang penggunaan instrumen open role play untuk
mendapatkan data yang tingkat alamiahnya tinggi. Namun, kajian Shively, Cohen
(2008) juga memberikan pandangan yang berguna, yaitu penggunaan pre dan post
test dan analisis dengan statistik inferensial.
Penelitian tentang produksi request dengan menggunakan oral role play
juga dilakukan oleh Rose (2009). Dengan melibatkan 3 (tiga) kelompok siswa
SMP penelitian itu mengungkap kompetensi serta perkembangan sosiopragmatik
27
dan pragmalinguistik partisipan. Instrumen cartoon oral production task (COPT)
dibuat dengan skenario guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa guru. Dengan
menggunakan parameter taksonomi Blum-Kulka (1989), diperoleh simpulan
bahwa strategi tertinggi hingga terendah adalah conventional, indirectness, hint,
dan direct. Strategi yang frekuensinya menurun adalah alertness dan please.
Secara umum, perkembangan kompetensi pragmalinguistik partisipan jauh lebih
baik dibandingkan dengan sosiopragmatik mereka. Penelitian produksi request
dengan menggunakan partisipan siswa SMP juga dilakukan oleh Brubaek (2013).
Kajian ini ingin menyelidiki kompetensi partisipan, strategi kesantunan dan
kemampuan mengadaptasikan B1 partisipan pada saat memproduksi tindak tutur
dalam bahasa Inggris. Sebanyak 40 (empat puluh) siswa diberikan DCT dengan 4
(empat) situasi. Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori muka (Brown
&Levinson, 1987). Simpulan kajian ini adalah kompetensi pragmatik masih belum
dihiraukan partisipan karena perbendaharaan kata mereka masih terbatas dan
mereka masih pada tingkat perkembangan awal. Sejalan dengan itu, kajian request
dengan instrumen DCT juga dilakukan oleh Economidou-Kogetsidis (2010).
Sebanyak 192 (seratus Sembilan puluh dua) mahasiswa Inggris dan Yunani
dilibatkan untuk melihat hubungan faktor sosial, situasi, dan budaya dengan sikap
permintaan, kesamaan cara membuat request orang Inggris dan Yunani. Instrumen
DCT sebagai instrumen utama dikombinasikan dengan situational assessment
questionnaire (SAQ) dan wawancara dengan semi-structured system. Hasil kajian
disimpulkan bahwa ada kesesuaian lintas budaya yang tinggi antara penutur
28
Yunani dan Inggris, terdapat perbedaan yang signifikan dalam menguji social
power penutur dan lawan tutur.
Kajian request pada tahun yang sama dilakukan oleh Jadidi (2012) dan
Satomi (2012). Penelitian pertama menggunakan DCT untuk meneliti
pengetahuan pragmatik, strategi kesantunan, serta efek jender sebagai variabel
budaya terhadap produksi tindak tutur 63 (enam puluh tiga) mahasiswa TEFL.
Tiga instrumen digunakan untuk menjaring data, yaitu multi-item scale, rating-
table, dan open-ended DCT. Dari analisis tersebut, diperoleh bahwa pengetahuan
laki-laki lebih tinggi 3% dibandingkan wanita, strategi request dan refusal yang
paling lumrah adalah indirectness. Penelitian kedua melibatkan 154 (seratus lima
puluh empat) mahasiswa Jepang dengan menggunakan tiga instrumen, yaitu
motivation questionnaire, proficiency measure, video dictation exercise. Kajian
ini menyelidiki hubungan kausal motivasi pelajar EFL dari Jepang, kemampuan
mereka untuk menggunakan klausa ganda yang kompleks, dan hubungan antara
motivasi belajar dan profisiensi mendengar mereka. Kecakapan mendengar
mahasiswa merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam memprediksi
kesadaran mereka tentang bentuk klausa ganda bahasa target dan rasa percaya diri
mehasiswa di kelas tidak mempengaruhi kesadaran pragmatik bahasa target
mereka.
Dari 14 (empat belas) penelitian request yang dikaji, beberapa dari
penelitian tersebut memberikan inspirasi dan ilham untuk mengadakan penelitian
ini. Instrumen oral role play digunakan oleh beberapa peneliti walaupun dengan
jenis yang agak berbeda, seperti open oral role play (Rebeca Bataler, 2013),
29
cartoon oral prodaction task (Rose, 2009), individual oral role play (Taguchi,
2006), dan oral role play (Bleltran, Martinez-Flor, 2004). Kajian ini akan
menggunakan instrumen oral role play (Bleltran, Martinez-Flor, 2004)
dikombinasikan dengan open role-play (Rebecca Bataller, 2010). Kajian lain yang
memberi sumbangan berguna adalah tentang penggunaan pre test dan post test
(Shively, Cohen, 2008) dan tentang fokus kajian yang ditekankan yaitu
pragmalinguistik dan sosiopragmatik (Rose, 2009) penelitian itu dan masih
menggunakan partisipan penelitian siswa SMP. Penelitian lainnya pada prinsipnya
juga memberikan sumbangan untuk penelitian ini, tetapi kebanyakan masih
menggunakan instrumen DCT tertulis yang masih belum mampu memberikan
data yang alamiah dan masih hanya berfokus pada satu tindak tutur saja yaitu
request. Hanya penelitian Jadidi (2012) yang menyelidiki dua tindak tutur seperti
kajian penelitian ini, yaitu refusal dan request namun penelitian itu menggunakan
instrumen DCT.
Selain penelitian tentang kompetensi produksi tindak tutur refusal dan
request¸ penelitian dalam bidang pembelajaran pragmatik juga telah dilakukan
oleh beberapa peneliti. Artikel yang dibuat oleh Bardovi-Harlig (1996) bertujuan
untuk mengutarakan fungsi dan tugas guru, penatar guru, atau peneliti dalam
pembelajaran pragmatik di kelas. Ada beberapa hal yang mendasari pemikirannya
bahwa perlu usaha yang cukup keras jika kita ingin mengajar pragmatik di kelas,
siswa menghasilkan tindak tutur yang berbeda-beda walaupun dihadapkan pada
situasi yang sama dengan NSs, dan kenyataan bahwa NNSs lebih sering menolak
ajakan, tetapi NSs lebih sering menyarankan atau memberi nasihat (Bardovi-
30
Harlig, dan Hartford, 1996). Tujuan pembelajaran pragmatik di kelas adalah untuk
menciptakan usaha atau keinginan untuk mengembangkan materi ajar. Salah satu
usaha untuk mengembangkan kompetensi pragmatik adalah menyediakan input
baik melalui materi ajar maupun langsung dari guru-guru. Untuk mencapai tujuan
tersebut, guru seyogyanya menyuruh siswa untuk mengobservasi sebanyak-
banyaknya oral role play yang dilakukan oleh NSs, mengembangkan materi awal
berdasarkan bahasa-bahasa otentik untuk dijadikan sebagai input untuk siswa, dan
membuat aktivitas membagi-bagi atau saling menukar temuan (sharing) secara
berkesinambungan lewat acara seminar, konferensi, dan loka karya. Konsep itu
memiliki kemiripan dengan hasil kajian Safont Jorda (2004) yang mengadakan
eksperimen tentang pengajaran pragmatik eksplisit di kelas English for academic
purposes (EAP). Dengan melibatkan 160 (seratus enam puluh) siswa EAP,
penelitian itu mengungkap apakah pengajaran pragmatik eksplisit (Kasper, 1996)
khususnya tindak tutur request mampu memacu siswa untuk menghasilkan
formulasi linguistik bervariasi dan apakah efek positif pengajaran yang
diasumsikan tersebut berpengaruh terhadap aktivitas wicara dan menulis siswa.
Sebelum siswa diberikan DCT untuk diisi dengan formulasi request alternatif,
siswa diajarkan formula-formula request seperti indirect, conversationally
indirect, direct serta contoh-contoh dialog berisikan formulasi request dan dibaca
secara keras-keras. Kemudian siswa diberikan kartu yang berisikan situasi tentang
request dan siswa memberikan respons. Ada dua data yang diperoleh, dari tes
awal dan tes akhir. Data tersebut diuji dengan paired t-test. Hasil analisis
menujukkan bahwa ada efek positif pengajaran pragmatik eksplisit kepada siswa
31
dalam memproduksi tindak tutur request, serta ada peningkatan kuantitas dan
variasi bentuk permintaan yang diterapkan siswa setelah tes akhir.
Penelitian yang dilakukan oleh Gordon (2004) dalam bidang pembelajaran
pragmatik B2 bertujuan untuk menguji efektivitas DCT dalam kelas pragmatik
serta untuk mengembangkan materi ajar ESL dan EFL. Sebanyak 18 (delapan
belas) mahasiswa Cina di Canada pada jurusan IPA, Biologi, Fisika, Matematika,
Ilmu Kepustakaan, dan Kerekayasaan dilibatkan dalam penelitian itu. DCT
berisikan 24 (dua puluh empat) skenario dengan tiga jenis tindak tutur, yaitu
request, refusal, apology. Situasi-situasi tersebut dibuat berdasarkan tiga faktor
sosial, yaitu power, distance, dan rank of imposition. DCT dilengkapi selama lima
belas menit sampai dua puluh menit dan dilanjutkan dengan tes wawancara.
Dalam wawancara tersebut, partisipan disuruh untuk mengelaborasi jawaban yang
telah ditulisnya dalam DCT. Setelah dianalisis, DCT yang telah diadopsi dan
direvisi terbukti berhasil mengenalkan input yang kaya dan mudah dipahami,
memacu partisipan untuk menggunakan bahasa untuk melakukan sesuatu, dan
memotivasi untuk memproses dan menggunakan bahasa.
Kajian yang dilakukan oleh Denny (2008) adalah penelitian tindakan kelas
(PTK). Penelitian itu menyelidiki tindak tutur bernegosiasi dalam bahasa Inggris
di New Zealand. Tujuan penelitian itu adalah mencari materi-materi dan strategi-
strategi yang otentik dengan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari
masyarakat. Ranah bahasa Inggris yang digunakan sebagai subjek penelitian
adalah bahasa Inggris umum. Sebelum dilakukannya kajian, kurikulum yang
diimplementasikan di sekolah di New Zealand direview. Kurikulum berbasis
32
kompetensi tersebut direview untuk dijadikan dasar pembuatan materi ajar dan
langkah-langkah pembelajaran (lesson plan). Kajian Denny (2008) pada dasarnya
mirip dengan kajian Castillo (2009), tetapi Castillo (2009) mengembangkan lebih
dalam sehingga berhasil membuat langkah-langkah pembelajaran yang cukup
lengkap. Dengan mengalami cultural shocked pada saat berinteraksi dengan NSs
di Amerika, Castillo (2009) berupaya untuk mencari pemecahan terhadap masalah
tersebut. Disimpulkan bahwa budaya bahasa target dan lawan tutur merupakan hal
yang sangat perlu dikuasai oleh setiap penutur jika ingin berhasil dalam
melakukan interaksi. Salah satu caranya adalah dengan memiliki kompetensi
pragmatik. Penelitian itu dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu mengetahui
cara yang efektif untuk belajar dan mengajar pragmatik, mengidentifikasi
tantangan dalam pembelajaran pragmatik, serta mereview model dan metode
pembelajaran pragmatik. Data diperoleh dari guru ESL dan EFL, NSs dan NNSs
bahasa Inggris, siswa TESOL, dan professor di universitas bersangkutan.
Menurutnya, cara yang paling baik untuk mempelajari pragmatik adalah dengan
experimental learning. Pembelajaran berbasis ekperimen sangat bermanfaat
karena tindakan dan pikiran seyogyanya berjalinan. Kajian itu berhasil
menghasilkan suatu langkah-langkah pembelajaran yang disingkat dengan
NAPKIN, yaitu need, accurate introduction of subject matter, practice,
knowledge review, internalization, dan natural application. Kajian pengembangan
model pembelajaran ini cukup inspiratif walaupun di dalam kajian ini tidak
dipaparkan dengan lengkap langkah-langkah pegembangan model sehingga
terciptanya model NAPKIN.
33
Kajian yang dilakukan oleh Alcon Soler (2012) juga mirip dengan kajian
Jorda (2004) tentang pengajaran pragmatik secara eksplisit. Secara khusus, Kajian
Alcon Soler (2012) bertujuan untuk mengetahui perdaan dan perubahan
pengajaran pragmatik terhadap kesadaran pragmatik pelajar selama perencanaan
dan pembuatan refusal, dan untuk mengetahui tingkat kedwibahasaan pelajar
berpengaruh terhadap kesadaran pragmatik refusal sebelum dan setelah periode
pengajaran. Partisipan penelitian yang dilibatkan adalah 92 (sembilan puluh dua)
siswa bahasa Inggris sebagai B3. Data dikumpulkan dari berbagai sumber, yaitu
wawancara yang direkam sebelum tes awal, laporan verbal siswa sebelum tes,
pada saat pembelajaran, wawancara direkam setelah tes akhir, dan laporan verbal
setelah tes akhir. Proses pembelajaran dilakukan sebagai berikuG: (1)
mengidentifikasi refusals dalam interaksi, yang dilakukan dengan beberapa
langkah, seperti siswa menonton video berisikan refusal dengan terhadap
undangan P (-) dan D (-), siswa mengidentifikasi urutan refusals dari awal sampai
akhir, guru berfokus pada struktur refusals; (2) menerangkan secara eksplisit
tindak tutur refusals untuk menyediakan informasi pragmalinguistik dan
sosiopragmatik dengan beberapa contoh yang diambil dari video; (3) mengenali
dan memahami urutan penolakan dengan tujuan untuk memperkuat pengetahuan
eksplisit siswa tentang penolakan; dan (4) memberikan kesempatan kepada pelajar
untuk membuat tindak tutur penolakan dengan cara membuat oral role play dan
membandingkannya dengan contoh di video. Hasil analisis menunjukkan bahwa
pengajaran refusal pada tingkat wacana dapat meningkatkan kesadaran
pragmalinguistik pelajar. Namun, dwibahasawan produktif tercatat melebihi
34
dwibahasawan reseptif dalam hal metapragmatik setelah menerima pembelajaran
penolakan.
Kajian yang dilakukan Yuan (2012) bertujuan untuk mengetahui persepsi
siswa tentang pragmatik dalam pembelajaran bahasa Inggris, sejauh mana siswa
berfokus pada pengetahuan pragmatik dalam pembelajaran tersebut, bagaimana
tingkat kompetensi pragmatik mereka, dan strategi apa yang mereka terapkan
dalam pembelajaran bahasa Inggris dan pragmatik. Partisipan penelitian yang
merupakan mahasiswa semester dua di Shanghai diberikan DCT, FGD, dan text
book task. Partisipan diberikan kuesioner untuk dilengkapi untuk menjaring data
kualitatif selain menggunakan pertanyaan terbuka data juga dikumpulkan dengan
menggunakan DCT dan FGD. Yuan (2012) menyimpulkan bahwa mahasiswa
Cina belum berkompeten dalam bidang pragmatik. Mereka belum merupakan
penutur bahasa Inggris sebagai B2 yang efektif dan memiliki tingkat profisiensi
tinggi walaupun mereka memiliki pengetahuan gramatika yang tinggi.
Pembelajaran masih menekankan pada kompetensi bahasa. Kebanyakan task yang
dimuat dalam buku ajar masih menekankan pada bidang linguistik, seperti: kosa
kata, struktur, tata bahasa, dan wacana. Disarankan bahwa pembelajaran
seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan dua ranah, yaitu isi pembelajaran,
seperti: pragmatic knowledge, knowledge of intercultural communication,
knowledge of English as a lingua franca, dan knowledge of language learning
strategies, dan proses pembelajarannya, seperti task-based approach, intercultural
communication approach, language learning strategies approach.
35
Kajian yang dilakukan oleh Dewi (2012) berfokus pada pengajaran
kesantunan dengan pendekatan pragmatik. Secara khusus, kajian itu mengungkap
peranan pendekatan pragmatik dalam proses pembelajaran bahasa Inggris,
perbedaan strategi kesantunan dalam merespon undangan, dan apakah penerapan
pendekatan pragmatik tersebut mampu meningkatkan keterampilan berbicara
siswa. Dua pendekatan digunakan dalam kajian itu, yaitu pendekatan kualitatif
untuk menganalisis model pragmatik yang diterapkan dalam pembelajaran
kesantunan serta menganalisis perbedaan-perbedaan strategi kesantunan dalam tes
awal dan tes siklus I. Di sisi lain, pendekatan kuantitatif digunakan untuk
menganalisis angka-angka statistik seperti perolehan nilai rata-rata siswa dalam
mengerjakan DCT. Dua kelompok siswa Sekolah Menengah Atas Pariwisata
(SMAP), yaitu kelas X1 dan X2 dijadikan sebagai partisipan penelitian. Beberapa
langkah dilakukan dalam penelitian ini, seperti mengamati silabus, memilih satu
topik untuk diajar dengan pendekatan pragmatik, memberikan tes DCT untuk
melihat kemampuan awal siswa, membuat silabus dan RPP dengan pendekatan
pragmatik, melakukan pembelajaran, melakukan tes akhir untuk mengetahui
peningkatan kemampuan siswa, dan melakukan refleksi berdasarkan hasil
pengamatan. Pada fase pembelajaran, ada beberapa langkah yang diterapkan,
yaitu menyimak contoh menyatakan dan merespon undangan, mengidentifikasi
kesesuaian strategi, melakukan tanya jawab antara guru dengan siswa,
mengerjakan latihan-latihan percakapan, melengkapi DCT. Data dikumpulkan
dengan metode observasi terhadap kurikulum, silabus, RPP, metode tes untuk
mencari nilai tes awal dan tes siklus I. Indikator ketercapaian yang memuat
36
kesesuaian unsur kalimat, kesesuaian pola kalimat, jumlah informasi, strategi
berkomunikasi, dan kesesuaian dengan konteks dengan menggunakan skala Likert
dengan 5 (lima) nilai digunakan untuk mengukur kinerja siswa. Hasil analisis
yang dilakukan Dewi (2012) menunjukkan bahwa penerapan pendekatan
pragmatik sangat penting dilakukan guru dalam pembelajaran. Hasil tes kedua
menunjukkan bahwa siswa mampu lebih santun setelah mendapatkan
pembelajaran dengan pendekatan pragmatik. Keterampilan siswa meningkat dari
dari X1 (53,1 – 84,4) dan X2 (52,6 – 79,4).
Kajian yang dilakukan Lenchuk dan Ahmed (2013) memiliki kemiripan
dengan kajian Castillo (2009), tetapi berbeda dalam hal penampilan lesson plan.
Kajian itu bertujuan untuk memaknai pragmatik, mengkaji keterkaitannya dengan
budaya, dan merancang lesson plan untuk mengajarkan tindak tutur
complimenting. Kajian itu didasari oleh pandangan bahwa salah satu cara untuk
mengajarkan pragmatik adalah dengan mengenalkan siswa ESL dengan pilihan
bahasa penutur bahasa target. Hal ini, bisa diupayakan dengan mengenalkan siswa
formula-formula percakapan dan ekspresi tindak tutur bahasa tersebut, memacu
mereka untuk mengingat, dan menghafalkannya. Dengan melibatkan siswa ESL
Lenchuk dan Ahmed (2013) mengembangkan lesson plan untuk siswa tingkat
menengah dengan berfokus pada empat keterampilan, yaitu membaca, menulis,
mendengar dan berbicara. Lesson plan itu digunakan pada segala program
pembelajaran B2, memacu siswa untuk mengobservasi dan menemukan tindak
tutur compliment, dan meningkatkan kesadaran siswa terhadap variabel-variabel
sosiolinguistik dan sosiokultural yang mempengaruhi pilihan bahasa penutur.
37
Langkah-langkah yang dimasukkan dalam lesson plan adalah warming up,
reading, acquiring compliment, listening, speaking, discourse completion task,
dan listening. Pengembangan lesson plan ini baik, tetapi belum disinggung
proses-proses validasi yang dilakukan terhadapnya.
Rycker (2014) meneliti strategi yang digunakan oleh NS bahasa Inggris di
Amerika Serikat dan siswa NNS dalam menolak proposal dan dampak pengajaran
pragmatik lintas budaya secara eksplisit khususnya dalam bidang menulis.
Sebanyak 80 siswa SMA di Indianapolis, AS dilibatkan sebagai partisipan dalam
aktivitas menulis penolakan terhadap proposal bisnis internasional. Dalam
simulasi, tim siswa mengirim undangan untuk melakukan kerja sama dan
beberapa orang sisanya menerima proposal sekaligus menulis balasan untuk
menerima atau menolak kerja sama tersebut. Ada 12 (dua belas) penolakan dibuat
oleh siswa NNS dari Belgia dan 9 (sembilan) penolakan dibuat oleh siswa NS dari
AS. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua kelompok partisipan tersebut sama-
sama berusaha memitigasi pesan negatifnya dengan buffers, reason, dan positive
ending, tetapi berbeda dalam mengungkapkan maaf dan berterima kasih. Siswa
AS jauh lebih sering mengungkapkan rasa terima kasih pada saat membuat
penolakan. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran
pragmatik secara eksplisit cukup efektif, tetapi perlu dicoba diterapkan dalam
penelitian lain dengan jumlah partisipan penelitian, topik, dan tindak tutur
berbeda. Cara perolehan data dengan naturally occurring discourse juga perlu
diterapkan dalam penelitian lain.
38
Kesepuluh kajian tentang pengajaran pragmatik L2 atau FL ini pada
prinsipnya saling melengkapi karena masih ada kelemahan pada masing-masing
penelitian tersebut. Pengajaran pragmatik secara eksplisit yang akan
dikembangkan dalam penelitian ini sudah dicoba dalam penelitian Jorda (2004),
Alcon Soler (2012), dan Rycker (2014). Namun, Jorda (2004) menerapkannya
pada pembelajaran tindak tutur request pada 160 (seratus enam puluh) mahasiswa
EAP perempuan dengan menggunakan instrumen perolehan data DCT. Alcon
Soler (2012) menyelidiki pembelajaran pragmatik secara eksplisit membuat
perbedaan atau perubahan kesadaran pragmatik pelajar. Kajian itu dilakukan
dengan membuat tahapan pembelajaran seperti menonton video, mengidentifikasi
refusals, guru menerangkan tindak tutur refusal secara eksplisit, siswa mengenali
tindak tutur refusals, dan melakukan oral role play. Kajian itu memberikan
masukan positif dalam hal pengajaran tindak tutur secara eksplisit dengan role
play, tetapi hanya membahas satu tindak tutur (refusal) dan belum membuat
langkah-langkah pembelajaran yang tervalidasi. De Rycker (2014) mengkaji
pengajaran pragmatik eksplisit dalam bidang menulis dengan menggunakan 80
(delapan puluh) siswa SMA. Jenis data yang digunakan pun masih tergolong
nonnaturally occurring karena kedua penelitian itu menggunakan instrumen
tertulis.
Penelitian pengembangan sempat dilakukan oleh Castillo (2009) dan
Lenchuk dan Ahmed (2013). Penelitian pertama menggunakan beragam
informan, seperti guru ESL, EFL, NSs, NNSs siswa TESOL dan professor.
Kajian Castillo (2009) berhasil membuat prosedur pengajaran yang disingkat
39
dengan NAPKIN. Sejalan dengan penelitian itu, penelitian Lenchuk dan Ahmed
(2013), juga menghasilkan suatu prosedur pengajaran pragmatik, tetapi tidak
diberi nama. Kedua prosedur pengajaran pragmatik ini tidak menggambarkan cara
memvalidasi lesson plan tersebut sehingga tingkat validasinya perlu diuji kembali.
Dibandingkan dengan Castillo (2009), kajian Lenchuk dan Ahmed (2013) masih
perlu dikembangkan karena menggunakan partisipan yang terbatas, yaitu siswa
ESL. Penelitian tersebut juga belum menggunakan instrumen pencari data yang
alamiah, seperti role play, sehingga perlu direplikasi lagi. Kajian Denny (2008)
juga bermaksud mengembangkan suatu lesson plan dengan menggunakan PTK.
Walaupun dilakukan dengan meriviu kurikulum, tetapi kajian itu masih bersifat
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan berkonsentrasi pada tindak tutur
negociating. Di samping itu, penelitian itu juga bukan merupakan research &
development (R&D) dan tidak menjelaskan dengan rinci cara menganalisis data
dan penyajian hasil analisis.
Kajian Bardovi-Harlig (1996) juga memberikan sudut pandang positif
terhadap penelitian ini yaitu mengoptimalkan pragmatic exposure kepada siswa
yaitu dengan memberikan input dari guru, mengobservasi aktivitas berbicara
otentik NSs dan mengembangkan materi otentik. Sejalan dengan itu, Gordon
(2004) dan Yuan (2012) juga menyoroti bagaimana pragmatik bisa diajarkan
kepada siswa. Kajian Gordon (2004) memberikan inspirasi tentang penggunaan
teori sosiokultural PDR dalam mengembangkan instrumen, tetapi penelitian itu
masih mnggunakan DCT yang tidak alamiah. Walaupun tindak tutur request dan
refusal diangkat sebagai objek kajian dan menyoroti ranah pragmalinguitik dan
40
sosiopragmatik, tetapi penelitian ini bukan merupakan penelitian pengembangan
(R&D). Kajian Yuan (2012) memberikan ilham terhadap pengembangan materi
ajar dengan pendekatan pragmatik dengan menyusupkan unsur-unsur pragmatik
dalam isi materi ajar dan proses pembelajaran, tetapi penelitian itu masih
menggunakan DCT dan text book test yang dihindari dalam penelitian ini. Kajian
terakhir oleh Dewi (2012) sangat dekat dengan kajian ini. Kajian itu
mengembangkan model pembelajaran dengan pendekatan pragmatik untuk
meningkatkan kesadaran dan kompetensi pragmatik siswa dengan melihat
peningkatan kesantunan mereka. Tes awal dan tes akhir dengan lima kriteria dan
lima nilai dengan skala Likert juga digunakan, tetapi selain menggunakan DCT
dan subjek siswa SMA, kajian ini belum menampilkan langkah-langkah validasi
model yang berhasil diciptakan.
Dari keseluruhan pustaka yang dikaji, belum ada pustaka yang sepenuhnya
mampu mengakomodasi rencana penelitian ini baik dari segi konteks, teori,
partisipan penelitian, analisis data, instrumen penggalian data, disain penelitian
serta cara menganalisis data. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting
dilakukan untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada penelitian itu.
Untuk menutupi celah-celah tersebut, kajian ini diupayakan untuk
mengembangkan suatu model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan
pragmatik.
41
2.2 Konsep
Ada beberapa istilah operasional yang dipaparkan dalam sub bab ini.
Istilah operasional tersebut merupakan variabel-variabel baik yang bersifat
eksplisit maupun implisit yang akan membantu untuk memahami ruang lingkup
penelitian ini. Berikut dijelaskan beberapa istilah operasional yang digunakan
dalam penelitian ini.
2.2.1 Model Pembelajaran Berpendekatan Pragmatik
Model pembelajaran berpendekatan pragmatik yang dimaksudkan di sini
adalah model pembelajaran yang memasukkan unsur-unsur pragmatik di dalam
intervensi pedagogisnya. Pragmatik merupakan kajian tentang maksud penutur,
makna kontekstual, kajian ungkapan dengan jarak yang relatif, hubungan tanda
dengan penerjemahannya, serta hambatan yang mereka cegah dalam
menggunakan bahasa dalam interaksi sosial, (Crystal, 1985; Levinson, 1989;
Yule, 2000). Unsur-unsur pragmatik mencakup pengetahuan pragmalinguistik dan
sosiopragmatik. Pragmalinguistik mengkaji aspek linguistik ujaran-ujaran,
sedangkan sosiopragmatik menyoroti ujaran-ujaran tersebut dari sudut konteks
sosialnya (Leech, 1993:15-16).
Model pembelajaran berpendekatan yang dikembangkan memasukkan dan
mengkondisikan semua aspek-aspek pembelajaran dengan kedua unsur pragmatik
tersebut (pragmalinguistik da sosiopragmatik), seperti materi ajar, prosedur
pembelajaran (lesson plan), satuan acara perkuliahan (SAP), dan silabus. Model
42
pembelajaran ini divalidasi oleh beberapa ahli sebelum dinyatakan valid untuk
digunakan.
2.2.2 Kompetensi Pragmatik
Kompetensi pragmatik adalah kemampuan penutur untuk memproduksi
ujaran secara tepat baik dari segi pragmalinguistik maupun sosiopragmatik. Hal
ini dimaksudkan agar penutur mampu menyampaikan ujaran dan lawan tutur
mampu mengertikan maksud ujaran tersebut, sehingga mereka harus memiliki
kompetensi pragmatik. Kompetensi pragmatik sangat penting untuk dikuasai
karena penutur akan mampu menggunakan bahasa secara tepat dalam suatu
konteks sosial dan secara fungsional. Misalnya, memproduksi tindak tutur,
membuat skenario atau skrip suatu pertukaran interaksi dengan memperhatikan
jarak sosial, status sosial antar penutur yang dilibatkan, pengetahuan budaya
mereka, kesantunan, serta menggunakan pengetahuan linguistik baik yang
eksplisit maupun implisit (Liu, 2005; Taguchi, 2009; Brubaek, 2013).
Menurut Taguchi (2009), kompetensi pragmatik, secara lebih spesifik,
adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa secara tepat dalam suatu konteks
sosial yang melibatkan kapasitas bawaan dan yang dipelajari serta
mengembangkannya secara alamiah melalui suatu proses sosialisasi. Dengan kata
lain, kompetensi pragmatik adalah penggunaan fungsional suatu bahasa, seperti
produksi tindak tutur dan membuat skenario atau skrip suatu pertukaran interaksi
(Brubaek, 2013). Konsep yang diajukan tentang kompetensi pragmatik selaras
dengan konsep yang dikemukakan oleh Liu (2005), yaitu kemampuan untuk
43
memahami dan memproduksi suatu tindak komunikasi termasuk pengetahuan
seseorang tentang jarak sosial, status sosial antarpenutur yang dilibatkan,
pengetahuan budaya mereka, seperti kesantunan dan pengetahuan linguistik baik
yang eksplisit maupun implisit.
2.2.3 Pengajaran Pragmatik Eksplisit
Pengajaran pragmatik secara eksplisit adalah pembelajaran bahasa Inggris
dengan cakupan-cakupan pragmatik yang dilakukan secara langsung (Jorda,
2004). Dalam mentransfer materi ajar, cakupan-cakupan pragmatik diperkenalkan
secara langsung dan tidak disembunyikan. Pada saat mengajar bahasa Inggris,
dosen mengenalkan formula-formula semantik ”menolak” dan ”menerima”
(refusal) dan (request).
Menurut Ortega (2000), pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan
pragmatik yang bersifat eksplisit dapat dilakukan dengan memberikan tugas atau
aktivitas yang dapat meningkatkan kesadaran pragmatik mahasiswa (awareness-
rising task) dan aktivitas yang dapat menyediakan mahasiswa kesempatan untuk
praktik berkomunikasi atau activities providing communication practice (Ortega,
2000). Mahasiswa diajak mengobservasi aspek-aspek pragmatik bahasa target dari
wacana lisan dan tulisan, serta mahasiswa untuk terlibat dalam interaksi kelompok
di mana siswa ikut dalam oral role play dan simulasi. Hal ini diupayakan agar
siswa mampu meningkatkan kesadaran mereka terhadap aspek-aspek pragmatik
karena pembelajaran pragmatik diyakini berefek pada tingkat kompetensi
pragmatik siswa (Kasper, 1999). Cara lain yang dapat diterapkan dalam
44
pembelajaran pragmatik diusulkan oleh Eslami-Rasekh, dkk. (2004) yaitu dengan
melakukan diskusi dipandu guru, kelompok kooperatif, role play, serta aktivitas
berorientasi pragmatik lainnya. Dengan mengadakan teknik-teknik seperti itu,
disimpulkan bahwa pemahaman siswa tentang tindak tutur meningkat secara
signifikan.
2.2.4 Kemampuan Produksi Tindak Tutur Permintaan dan Penolakan
Kemampuan memproduksi tindak tutur permintaan dan penolakan
merupakan kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa untuk membuat ujaran-
ujaran “permintaan” dan “penolakan”. Tindak tutur “permintaan” dan
“penolakan” yang diproduksi mahasiswa seyogyanya memenuhi kriteria dan
berkompeten secara pragmatik. Tindak tutur yang dihasilkan harus sesuai dengan
kaidah pragmalinguistik, yaitu kaidah-kaidah kebahasaan seperti fonologi,
morfologi, dan sintakmatiksis, dan sosiopragmatik yaitu sesuai dengan konteks
situasi.
2.2.5 Perguruan Tinggi Vokasi
Perguruan Tinggi (PT) vokasi yang dimaksud adalah perguruan tinggi
yang menyediakan program diploma jurusan atau program studi pariwisata yang
ada di Denpasar dan Badung. Perguruan tinggi ini menyediakan diploma dua, tiga,
atau empat pada jurusan tersebut. Ada beberapa PT pada bidang perhotelan yang
ada di Badung dan kota Denpasar.
45
Beberapa PT dijadikan lokus penelitian ini, seperti Politeknik Negeri Bali
(PNB), Sekolah Tinggi Perhotelan (STP) Nusa Dua, Dhyanapura, dan Mapindo.
PT lainnya yang ada di Denpasar dan Badung merupakan pendukung. Keempat
PT ini sudah mewakili semua PT yang ada di Denpasar dan Badung karena
memiliki kemiripan dalam berbagai aspek, seperti jurusan perhotelan,
karakteristik mahasiswa, mata kuliah yang diberikan, input siswa, kualifikasi
tenaga pendidik, jumlah jam perkuliahan bahasa Inggris per minggu, serta jenis
bahasa Inggris yang diberikan PT tersebut. Kemiripan-kemiripan ini digunakan
sebagai indikator bahwa pemilihan hanya satu lokus akan memberikan data yang
representatif untuk mewaliki semua PT tersebut.
2.3 Landasan Teori
Ada dua jenis teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori
payung (grand theory) dan teori pendukung (middle range theory). Teori payung
yang melandasi penelitian ini adalah teori pembelajran bahasa dan pemerolehan
bahsa kedua, khususnya teori noticing hypothesis. Teori pendukung digunakan
untuk membedah permasalahan-permasalahan penelitian.
2.3.1 Teori Payung (Grand Theory)
Teori payung yang melandasi penelitian ini adalah teori noticing
hypothesis. Teori pembelajaran bahasa kedua ini berbasis pada pembelajaran
eksplisit, yaitu pengajaran bentuk-bentuk bahasa yang dilakukan secara langsung
dan nyata. Hipotesis ini menyatakan bahwa suatu input tidak akan menjadi sebuah
46
intake dalam pembelajaran bahasa jika input tersebut tidak diperhatikan atau
dimasukkan (noticed) ke dalam benak pelajar secara sadar (Schmidt, 1990, 2001).
Segala bentuk-bentuk atau struktur bahasa atau yang lainnya harus diperhatikan
(to be noticed) agar menjadi suatu input dan diregister ke dalam pikiran pelajar itu
sendiri secara sadar (consiuosly) (Unlu, 2015). Dengan kata lain, pelajar akan
mampu mendapatkan sesuatu yang benar-benar diperhatikan sehingga menjadi
input, dan memasukkan input tersebut ke dalam pikirannya agar menjadi intake.
Noticing akan terjadi jika didukung oleh sikap positif (positive attitude) serta
lingkungan yang optimal (optimal learning environment). Pelajar tidak akan
berhasil memperoleh fitur-fitur gramatika tanpa didukung oleh minat, perhatian,
dan usaha keras (Schmidt, 1990). Dalam implementasinya, pelajar harus
memperhatikan (notice) materi-materi atau bentuk-bentuk linguistik kemudian
memasukkannya ke dalam pikirannya.
Dua contoh studi kasus berikut akan memperjelas penerapan teori noticing
hypothesis. Wes, seorang pelajar berkebangsaan Jepang yang migrasi ke Amerika
Serikat, mengalami kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris. Selama periode
belajar, dia tidak banyak memperhatikan fitur-fitur gramatika bahasa Inggris,
tidak memasukkan bentuk-bentuk gramatika tersebut ke dalam pikirannya. Setelah
beberapa tahun belajar bahasa Inggris secara tidak formal, dia masih mengatakan
“Yesterday, I’m go beach and tomorrow I’m go beach” tanpa menggunakan kata
sandang, kata depan, dan pemarkah kala. Padahal, dalam kenyataanya, dia sering
mendengar orang-orang mengatakan ujaran seperti “I went to the beach
yesterday” tetapi dia tidak benar-benar memasukkan formula-formula kalimat
47
seperti itu ke dalam pikirannya. Schmidt (1990) berasumsi bahwa Wes kurang
memiliki usaha noticing dan terlalu percaya pada strategi pembelajaran implisit,
belajar melalui interaksi, dengan sangat sedikit memperhatikan bentuk-bentuk
bahasa dan sedikit refleksi sadar tentang struktur bahasa. Scmhidt (1990)
menyimpulkan bahwa pembelajaran secara tidak sadar (unconscious learning)
tidak mungkin dilakukan oleh pelajar dewasa karena kaum dewasa tidak memiliki
kemampuan misterius seperti yang dimiliki anak-anak.
Schmidt (1983) mengalami hal yang kontradiktif. Penguasaan bahasa
Portugisnya yang sempurna disebabkan karena dia mengikuti kelas bahasa
Portugis. Selama mengikuti kursus bahasa Portugis, dia memperoleh banyak input
yang sangat penting lebih penting dari interaksi di kelas. Input yang diperolehnya
berguna karena selama pembelajaran dia secara sadar memasukkan input ke
dalam benaknya (noticed). Dia menyarankan bahwa pelajar harus memperhatikan
dan memasukkan fitur-fitur bahasa sebagai input yang diperolehnya ke dalam
benaknya selama pembelajaran jika input tersebut harus menjadi intake. Noticing
hypothesis telah diimplementasikan dalam menerapkan model pembelajaran
bahasa Inggris pragmatik di PT vokasi.
Teori noticing hypothesis digunakan sebagai landasan karena penelitian ini
merupakan penelitian pembelajaran, yaitu pembelajaran bahasa kedua atau bahasa
asing. Penelitian ini merupakan penelitian pembelajaran bahasa Inggris dengan
pendekatan pragmatik, bukan penelitian pragmatik. Pembelajaran yang dimaksud
adalah pembelajaran bahasa Inggris khususnya dengan konteks perhotelan dengan
menggunakan pendekatan pragmatik. Pembelajaran bahasa Inggris berpendekatan
48
pragmatik bertujuan untuk mengajarkan mahasiswa bentuk-bentuk bahasa Inggris
yang tepat digunakan secara situasional dalam berinteraksi dengan dengan tamu
hotel. Dengan kata lain, tujuan akhir pembelajaran adalah agar mahasiswa sadar
dan mampu memilih bentuk-bentuk bahasa Inggris untuk digunakan sesuai
dengan konteks sosialnya. Sedangkan tujuan akhir penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah teori noticing hypothesis ini valid atau tidak.
2.3.2 Teori Pendukung
Teori pendukung (supporting theory) secara umum digunakan untuk
membedah permasalahan-permasalahan penelitian. Teori ini digunakan untuk
melakukan atau membuat hal-hal khusus dalam pelaksanaan penelitian, seperti
instrumen penggalian data, pembuatan materi pembelajaran, pembuatan langkah-
langkah pembelajaran, atau menganalisis data. Ada beberapa teori pendukung,
seperti teori sosiokultural, teori pembelajaran pragmatik, dan teori tindak tutur.
2.3.2.1 Teori Sosiokultural
Teori sosiokultural digunakan untuk membuat instrumen penggalian data
ujaran tindak tutur request dan refusal partisipan penelitian dan instrumen
pengetesan kompetensi pragmatik mereka. Instrumen yang dimaksud adalah oral
role play card. Teori sosiokultural yang digunakan ini dikemukakan oleh Brown
dan Levinson (1987) yang berfokus pada kesantunan sebagai suatu fenomena
pragmatik.
49
Brown dan Levinson (1987) menyatakan bahwa ada tiga variabel yang
memengaruhi situasi tindak tutur, yaitu kekuatan atau power (P), jarak atau
distance (D), dan tingkat pemberatan atau rank of imposition (R). P mengacu pada
tiga jenis hubungan penutur dan lawan tutur dalam hal status sosial. Ketiga
hubungan tersebut adalah status pendengar atau hearer lebih tinggi, sama, dan
status pendengar lebih rendah. D mengacu pada familiaritas yang dapat
memengaruhi bahasa dan sikap pada dua pelibat tersebut, yaitu hubungan dekat
dan hubungan jauh. R mengacu pada tingkat pemberatan terhadap lawan tutur
yang memuat dua skala, yaitu besar dan kecil. Seperti contoh, dalam permintaan,
jika anda meminta tolong yang besar maka tingkat pemberatannya (R) akan besar
pula dan jika hanya meminta pertolongan kecil, tingkat pemberatannya (R) akan
kecil (Geyang, 2007). Tian (2014) menambahkan bahwa penerapan strategi-
strategi tersebut ditentukan oleh hubungan antara penutur dengan pendengar dan
isi tuturannya. Tingkat R dapat diranking sesuai dengan jarak sosial (D) dan status
sosial (P) penutur dan lawan tutur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa status sosial
membuat perbedaan yang besar dalam penerapan strategi. Dan jarak sosial juga
berkontribusi luas terhadap pilihan strategi penutur dan pendengar (Tian, 2014).
Dalam situasi R tinggi, jumlah bentuk-bentuk kesantunan diharapkan tinggi. Jika
hubungan jarak sosial rendah, kesantunan juga harus rendah, dan jika kekuatan
penutur lebih tinggi dari pendengar, bentuk-bentuk kesantunan yang digunakan
diharapkan juga rendah. Ketiga proposisi tersebut ditunjukkan pada gambar
tersebut.
50
Gambar 2.1 Aspek Sosiokultural Brown dan Levinson (1987)
(R) Imposisi Kesantunan (D) Jarak sosial Kesantunan
(P) Kekuatan penutur Kesantunan
Namun implementasi teori sosiokultural ini tidak sepenuhnya murni
seperti yang dipaparkan tadi melainkan dapat dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan dan situasi data yang akan digunakan. Modifikasi ini diperlukan karena
jenis data yang dicari adalah ujaran-ujaran yang digunakan oleh karyawan hotel
pada saat berinteraksi dengan tamu.
Pada situasi meminta (to request) tamu untuk melakukan sesuatu, power
(P +) besifat mutlak atau tidak berubah karena tamu sudah pasti memiliki P+ di
situasi apapun di hadapan staf hotel. Oleh karena itu, pada situasi meminta, P
tidak akan digunakan sebagai aspek pengukuran. Jarak sosial (D) juga memiliki
posisi yang mutlak atau tidak berubah yaitu positif (+) karena dalam koteks hotel
jarak antara tamu dengan staf pasti jauh (+). Namun pemberatan (R) merupakan
satu-satunya aspek yang dapat diubah atau tidak mutlak. Dalam sutuasi meminta
(request), seorang staf hotel bisa meminta tamu untuk melakukan tamu sesuai
dengan prosedur yang berlaku atau pemintaah biasa dengan R-, atau pada situasi
tertentu dapat meminta tamu untuk melakukan sesuatu secara terpaksa atau tidak
51
sesuai dengan prosedur dengan R+. Dengan demikian formula situasi tersebut
dapat digambarkan menjadi P+ D+ R- dan P+ D+ R+.
Dalam situasi menolak (refusal) terhadap permintaan tamu, aspek P dan D
juga bersifat mutlak karena baik stauts maupun jarak sosial tamu masih tetap
tinggi terhadap staf. Namun pemberatan (R) malahan tidak berlaku karena tidak
ada penolakan dengan memberatkan atau meringankan tamu. Penolakan terhadap
tamu tidak melibatkan pemberatan terhadap tamu, baik pemberatan yang kuat atau
pemberatan lemah (R+ dan R-). Oleh karenanya, situasi refusal ini akan
dibedakan menjadi dua, yaitu penolakan biasa di mana karyawan bisa menolak
permintaan tamu karena aturan, dan penolakan terpaksa atau khusus di mana
karyawan tidak bisa menolak tetapi karena alasan tertentu yang tidak mungkin
dinegosiasikan dia harus menolaknya. Keempat situasi tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut. Situasi penolakan ini dapat diformulasikan menjadi
P+ R+ Biasa, dan P+ R+ Khusus. Keempat situasi tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 2.2 Modifikasi teori sosiokultural PDR
Permintaan 1 Permintaan 2 Penolakan 1 Penolakan 2
P+
D+
R+
P+
D+
R-
P+
D+
Biasa
P+
D+
Khusus
Dalam implementasinya oral role play card dengan tindak tutur
permintaan (request) dan penolakan (refusal) ini diformulasikan dengan kode
52
yang sederhana dan mudah dipahami menjadi Rq (R-); Rq (R+); Rf (B); Rf (K).
Rq adalah request dan Rf adalah refusal, B adalah ”biasa” dan K adalah ”khusus”.
2.3.2.2 Teori Pembelajaran Pragmatik
Ada beberapa kajian tentang pembelajaran pragmatik telah dilakukan oleh
beberapa pakar. Madrid dan Sanchez (2001) menawarkan model pembelajaran
yang bersifat eksplisit. Model eksplisit sistematis adalah model pembelajaran
yang berfokus pada pengajaran komponen bahasa target seperti tata bahasa,
fonetik, kosa kata, dan ejaan.
Stern (1992) menyatakan bahwa model eksplisit bersifat rasional, formal,
intelektual dan dilakukan dengan sadar melalui pembelajaran peran, analitis
dengan teori konduktif, mengembangkan strategi metakognitif dan metalinguistik
dengan pendekatan rasionalis. Dengan kata lain, pembelajaran eksplisit bersifat
sadar melalui kemampuan yang spontan, sedangkan pembelajaran implisit bersifat
kurang refleksif, informal dan insidentil dengan pemahaman secara global, lebih
behavioristis, mengembangkan strategi komunikatif, sosial, dan afektif dengan
pendekatan empiris.
Safont Jorda (2004) mengatakan bahwa pembelajaran eksplisit berfokus
pada deskripsi, penjelasan, diskusi tentang fitur pragmatik serta cara
mempraktikkan penggunaan fitur tersebut. Kajian yang dilakukannya
menunjukkan suatu perkembangan positif pada kompetensi pragmatik siswa
setelah mengimplementasikan model pembelajaran tersebut.
53
Ortega (2000) menyarankan dua cara untuk melakukan pembelajaran
pragmatik dan menyimpulkan bahwa pembelajaran eksplisit lebih berhasil dari
pada pembelajaran implisit. Kedua cara pembelajaran eksplisit tersebut adalah
memberikan tugas atau aktivitas yang dapat meningkatkan kesadaran pragmatik
siswa (awareness-rising task) dan aktivitas yang dapat menyediakan siswa
kesempatan untuk praktik berkomunikasi (activities providing communication
practice). Dalam aktivitas yang pertama, siswa diajak mengobservasi aspek-aspek
pragmatik bahasa target dari wacana lisan dan tulisan. Aktivitas yang kedua
mensyaratkan siswa untuk terlibat dalam interaksi kelompok dan siswa ikut dalam
oral role play dan simulasi. Hal ini, diupayakan agar siswa mampu meningkatkan
kesadaran mereka terhadap aspek-aspek pragmatik karena pembelajaran
pragmatik diyakini berefek pada tingkat kompetensi pragmatik siswa (Kasper,
1999). Cara lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran pragmatik diusulkan
oleh Eslami-Rasekh, dkk. (2004) yaitu dengan melakukan diskusi dipandu guru,
kelompok koperatif, role-play, serta aktivitas berorientasi pragmatik lainnya.
Dengan mengadakan teknik-teknik seperti itu, disimpulkan bahwa pemahaman
siswa tentang tindak tutur meningkat secara signifikan. Salah satu cara yang dapat
ditempuh dari serangkaian teknik tersebut adalah dengan meneliti kesalahan atau
penyimpangan sosiopragmatik atau paralinguistik yang dilakukan oleh para siswa
untuk digunakan sebagai topik pengajaran dan informasi metapragmatik untuk
seluruh siswa. Pembelajaran metapragmatik dan diskusi metapragmatik untuk
meningkatkan perolehan aspek pragmatik siswa (House, 1996) dapat juga
54
dikombinasikan dengan beberapa aktivitas, di antaranya penilaian metapragmatik,
umpan balik introspektif, wawancara yang semi terstruktur, dan oral role play.
Dari beberapa teori pembelajaran pragmatik yang dipaparkan, teori
pembelajaran pragmatik secara eksplisit (Safont Jorda, 2004) dan teori
pembelajaran pragmatik yang memacu adanya ”awareness-rising task” dan
”activities providing communication practice” (Ortega, 2000) yang digunakan
dalam penelitian pengembangan ini. Penelitian pengembangan model
pembelajaran bahasa Inggris pragmatik ini mengadopsi model pembelajaran
ekplisit dan implisit.
2.3.2.3 Teori Tindak Tutur
Teori tindak tutur atau speech act diilhami oleh buah pikiran Austin
(1955), yang mengatakan bahwa pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia
juga melakukan sesuatu. Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise),
dia sebenarnya tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan
tindakan berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar,
2009:11). Tuturan ini disebut tuturan performatif, sedangkan kata kerja yang
digunakan dalam tuturan ini disebut kata kerja performatif (lihat Yule, 2000;
Levinson, 1985; Austin, 1962). Cohen (2008:2) menambahkan bahwa tindak tutur
sering, tetapi tidak selalu, merupakan suatu bahasa yang terpola dan bersifat rutin
yang penutur asli dan juga penutur serta penulis nonasli lakukan. Mereka secara
pragmatik dianggap berkompeten walaupun dengan berbagai versi dialeknya
55
menggunakan bahasa tersebut dengan fungsi-fungsi bahasanya, seperti
mengucapkan terima kasih, memuji, meminta, menolak, dan mengeluh.
Terkait dengan pendapat Austin (1962), Searle (1977:22) juga mengatakan
hal yang senada yaitu menggunakan suatu bahasa berarti kita terlibat dalam suatu
bentuk tindakan, atau berbicara adalah melakukan suatu tindakan menurut aturan.
Dilihat dari macam-macam tindakan yang dihasilkannya, tindak tutur dibedakan
menjadi tiga, di antaranya, tindak lokusioner (utterance act/locutionary act),
tindak ilokusioner (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act)
(Searle, 1975; Yule, 2000; Nababan, 1987) dan Levinson (1989). Namun Cohen
(2008:214) melihat dari segi maknanya, yaitu ujaran“Do you have a watch?”
secara literal menanyakan apakah seseorang memiliki sebuah arloji dan ada
padanya sekarang. Makna ini disebut dengan makna sesungguhnya atau “makna
proposisional”, yaitu meminta (request). Di sisi lain, ada suatu makna yang
dimaksud oleh penutur (intended illocutionary meaning) atau makna yang tersirat
yaitu meminta agar lawan tutur memberitahu penutur pukul berapa sekarang.
Jika dicermati ada banyak jenis dan contoh tindak tutur, tetapi dalam
kajian ini tindak tutur yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah tindak
tutur permintaan (request) dan penolakan (refusal). Pemilihan tindak tutur ini
dilakukan berdasarkan rangkuman yang dibuat peneliti setelah mengadakan survei
dan wawancara dengan beberapa manager HRD hotel tentang ujaran-ujaran yang
sering digunakan pegawai hotel kepada tamu. Di samping itu, tindak tutur
permintaan dan penolakan sangat potensial untuk mengukur tingkat kesantunan
penuturnya (Brown dan Levinson, 1987). Tindak tutur permintaan dan penolakan
56
bersifat unik dalam percakapan asimetris yaitu percakapan yang memiliki status
partisipan tutur yang tidak sama karena kedua tindak tutur ini memiliki tujuan
yang bertentangan (convicting goals). Tindak tutur permintaan termasuk
kesantunan positif (positive politeness) dan tindak tutur penolakan termasuk
kesantunan negatif (negative politeness). Tindak tutur suatu merupakan tindak
tutur yang melanggar muka negative, yaitu kemauan orang untuk tidak disuruh-
suruh, sedangkan tindak tutur penolakan melanggar muka positif yaitu kemauan
orang untuk tetap dihargai. Dengan kata lain, tindak tutur suatu meminta
merupakan tindakan yang mengancam muka (face threatening acts). Meminta
juga membuat kedekatan dan keakraban karena penutur harus merasa cukup dekat
dengan lawan tutur untuk bisa meminta untuk melakukan sesuatu yang karenanya
permintaan tersebut harus juga dianggap masuk dalam kesantunan positif (positive
politeness).
Ketiga teori pragmatik ini merupakan teori pendukung bukan teori payung
karena bersifat mendukung dan melengkapi proses, seperti pembuatan instrumen
pengumpulan data, membuat alat uji, menentukan tindak tutur, serta menentukan
pendekatan pembelajaran.
57
2.4 Model Penelitian
Gambar 2.3 Model Penelitian
Pendekatan Kualitatif Teknik Observasi,
Perekaman, Pencatatan
Model Pembelajaran
Bahasa Inggris
Berpendekatan Pragmatik
di PT Vokasi Pariwisata
Kondisi Pembelajaran Saat Ini
Formula Semantik Baru Request
& Refusal pada Konteks
Perhotelan
Sekuensi Ujaran Tindak Tutur
Request & Refusal
Model Pembelajaran
yang Dikembangkan
Temuan:
Model
Model Pembelajaran
yang Tepat
Efektivitas Model
Pembelajaran yang
Dikembangkan
Kondisi
Pembelajaran Saat
Ini
Tindak Tutur
Sosiokultural
R & D
Noticing Hypotesis
Pembelajaran Pragmatik
Pragmalinguistik
Sosiopragmatik
Linguistik
Konten Pembelajaran
Proses Pembelajaran
Buku Ajar
Sintakmatik Pembelajaran
Alat Evaluasi Pembelajaran
Rubrik Penilaian Pembelajaran
Kartu oral role play
5 Formula Baru
Sekuensi T T Rq dan
Rf (SIRAT)
Kompetensi
Pragmatik Partisipan
Penelitian
58
Bagan di atas menggambarkan aspek-aspek yang akan digunakan sebagai pijakan
dalam penelitian ini. Aspek-aspek tersebut adalah penentuan target atau tujuan penelitian,
metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, perumusan masalah penelitian, teori yang
digunakan dalam penelitian, serta model pengembangan yang digunakan.
Target penelitian ini adalah terbentuknya model pembelajaran bahasa Inggris dengan
pendekatan pragmatik di Perguruan Tinggi Vokasi Perhotelan. Metodologi yang digunakan
untuk melakukan penelitian ini mencakup beberapa hal sebagai berikut. Partisipan yang
dilibatkan sebagai subjek penelitian adalah mahasiwa perogram studi D4 Pariwisata
Perguruan Tinggi Vokasi. Penelitian ini berlokasi di Program Studi D4 Jurusan Pariwisata
Perguruan Tinggi Vokasi. Ada tiga jenis data yang digunakan dalam penelitian, yaitu
pembelajaran bahasa Inggris di Program Studi D4 saat ini, Jurusan Pariwisata Perguruan
Tinggi Vokasi, perilaku awal dan karakteristik mahasiswa, serta hasil tes. Teknik yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik observasi, simak (bebas) libat cakap, dan
pencatatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Penyajian hasil analisis dilakukan
dengan teknik formal dan nonformal.
Permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi empat.
Satu, pembelajaran bahasa Inggris saat ini di Program Studi D4 Jurusan Pariwisata Perguruan
Tinggi Vokasi saat ini. Dua, model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan
pragmatik yang memadai untuk diterapkan di perguruan tinggi vokasi. Ketiga, kompetensi
pragmatik bahasa Inggris mahasiswa perguruan tinggi okasi. Empat, efektivitas model
pembelajaran dan persepsi dosen dan mahasiswa terhadap model pembelajaran yang
dikembangkan.
Keempat permasalahan tersebut dipecahkan dengan menggunakan beberapa teori.
Teori pembelajaran pragmatik bahasa kedua (B2) (Safont Jorda, 2004) dan teori noticing
59
hypothesis (Schmidt, 1990) digunakan untuk memecahkan masalah satu dan dua, yaitu
pembelajaran bahasa Inggris saat ini di Perguruan Tinggi Vokasi dan model pembelajaran
bahasa Inggris dengan pendekatan pragmatik yang memadai untuk diterapkan di perguruan
tinggi vokasi. Teori kompetensi komunikatif (communicative competence) (Canale & Swain,
1980; Canale, 1983; Calce-Murcia, 2007), teori Sosiokultural (Brown dan Levinson, 1987),
teori tindak tutur (Searle, 1975; Leech, 1990, Yule, 2000) digunakan untuk membahas
permasalahan tiga dan empat.
Model yang digunakan dalam melakukan pengembangan model pembelajaran bahasa
Inggris ini adalah model research and development (R&D) yang dikembangkan oleh Dick
and Carey (1985). Model pengembangan ini memuat beberapa langkah. Model
pengembangan ini digunakan karena memuat langkah-langkah yang lengkap dan cocok untuk
pengembangan model pembelajaran bahasa Inggris di Perguruan Tinggi Vokasi. Temuan
penelitian pengembangan ini adalah model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan
pragmatik di Perguruan Tinggi Vokasi yang sudah teruji dan tervalidasi.