1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti
tercantum dalam Alinea keempat Pembukaan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil
dan makmur. Tujuan negara menciptakan kesejahteraan masyarakat adalah sesuai
dengan pandangan dari tipe negara kesejahteraan (walfare state).
Harapan dan cita-cita dari para founding fathers menciptakan masyarakat yang
sejahtera, adil dan makmur merupakan tugas dan tanggung jawab utama dari
pemerintah selaku penyelenggara negara serta didukung pula oleh pihak swasta dan
seluruh elemen masyarakat untuk merealisasikannya melalui berbagai program
pembangunan. Namun realitasnya hingga kini harapan tersebut belum optimal dapat
terwujud.
Pemerintah sejak era orde lama (ORLA), era orde baru (ORBA) bahkan dalam
era reformasi telah dan terus melaksanakan berbagai program pembangunan untuk
mewujudkan tujuan tersebut kendatipun hasilnya belum optimal. Kondisi ini terjadi
antara lain karena adanya kebocoran dana pembangunan sebagai akibat perilaku
aparat yang korup, sebagaimana telah dikemukakan oleh Sumitro Djojohadikusumo
bahwa kebocoran dana pembangunan di Indonesia mencapai 30 persen pertahun dari
keseluruhan alokasi dana pembangunan dalam APBN bahkan ada pula pendapat yang
memperkirakan tingkat kebocoran anggaran pembangunan telah mendekati angka
rata-rata 50 persen pertahun.1
1 Mubyarto,1995. Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media, Yogyakarta, hlm. 86.
2
Salah satu penyebab tidak optimalnya program pembangunan disebabkan oleh
adanya praktek korupsi yang dilakukan sendiri oleh oknum aparat penyelenggara
negara maupun yang dilakukan secara bersama-sama dengan oknum-oknum dari
pihak swasta yang terlibat dalam proses pembangunan. Secara empiris dari perspektif
sosiologis masalah korupsi sesungguhnya sejak lama telah mewarnai berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat di berbagai negara di dunia, utamanya dialami oleh
negara-negara sedang berkembang termasuk di Indonesia. Selama beberapa
dasawarsa korupsi telah menjadi persoalan nasional yang amat sangat sukar
ditanggulangi. Bahkan secara sinis ada komentar di sebuah jurnal asing yang
mengulas kondisi korupsi di Indonesia dengan mengatakan bahwa “corruption is way
of life in Indonesia” yang berarti bahwa korupsi telah menjadi pandangan dan jalan
kehidupan bangsa Indonesia.2
Penilaian seperti ini telah lebih dahulu dikemukakan oleh Muhammad Hatta,
salah seorang tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia yang mengatakan bahwa
korupsi cenderung sudah membudaya, atau sudah menjadi bagian dari kebudayaan
bangsa Indonesia. Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta pada akhir tahun 60-an
itu, sampai saat ini telah menjadi sebuah fakta yang amat sulit dibantah. Skala
korupsi yang terjadi telah menjadi semakin “menggurita”. Korupsi di Indonesia tidak
saja telah membudaya namun juga telah melembaga. Perilaku menyimpang itu telah
mengalami proses institusionalisasi, sehingga hampir tidak ada lembaga negara yang
steril dari perilaku menyimpang tersebut.3 Hal ini ditegaskan pula oleh Etty Indriati
yang menyatakan bahwa hampir semua sektor lembaga pemerintah dari pusat hingga
2
Amin Rais, Pengantar dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.),1999. Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, hlm. ix
3 Elwi Danil, 2012. Korupsi Konsep,Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Edisi I, Cet. 2,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 65.
3
daerah terlibat korupsi demikian pula pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka
benar korupsi telah membudaya di Indonesia.4
Betapa terkejutnya masyarakat Indonesia ketika M. Akil Mochtar Ketua
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ditangkap oleh penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 2 Oktober 2013 di rumah dinasnya
karena tersangkut kasus korupsi sehingga KPK pada 3 Oktober 2013 menetapkan
M. Akil Mochtar sebagai tersangka penerima suap dalam penanganan perkara
sengketa pemilihan kepala daerah Lebak (Banten) dan Gunung Mas (Kalimantan
Tengah) di Mahkamah Konstitusi.5
Setelah melewati proses persidangan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, M. Akil Mochtar pada akhirnya dijatuhi
pidana penjara seumur hidup berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor : 10 / Pid. Sus / TPK / 2014 tertanggal
30 Juni 2014. Atas putusan ini, M. Akil Mochtar dan Jaksa Penuntut Umum Komisi
Pemberantasan Korupsi mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta. Namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sesuai Putusan Pengadilan
Nomor : 63 / Pid./ TPK / 2014 / PT. DKI Jakarta, tertanggal 12 Nopember 2014,
menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. M. Akil Mochtar kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung, dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor : 336 / K /
Pid. Sus / 2015, tertanggal 23 Pebruari 2015, Mahkamah Agung menolak permohonan
pemohon kasasi M. Akil Mochtar dan menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI
4 Etty Indriati, 2014. Pola dan akar Korupsi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm. 68-69. 5
http://www.antaranews.com/berita/403114/akil-mochtar-diberhentikan-tidak- dengan-hormat, diunduh pada tanggal 1 Nopember 2013, Jam. 21.34. Wita. (Setelah melewati proses persidangan perkara di pengadilan, Akil Mochtar pada akhirnya divonis penjara seumur hidup).
4
Jakarta Nomor : 63 / Pid./ TPK / 2014 / PT. DKI Jakarta, tertanggal 12 Nopember
2014.
Putusan hakim Mahkamah Agung tersebut di atas tentunya diharapkan
memberikan efek jera kepada para penyelenggara negara untuk tidak melakukan
tindak pidana korupsi dalam menjalankan tugas pelayanan publik. Namun realitasnya
kadang sangat memprihatinkan karena masih saja ada penyelenggara negara yang
terlibat kasus korupsi seperti kasus tertangkapnya Andri Tristianto Sutrisna (Kasubdit
Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah
Agung Republik Indonesia) dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi
Pemberantasan Korupsi pada Jumat 12 Pebruari 2016 di Jakarta bersama dengan
pengusaha Ichsan Suaidi dan pengacara Awang Lazuardi Embat.6
Muhamad Yusuf, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) menyatakan korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi di
negeri ini begitu parah, mengakar bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadi
hampir di setiap lapisan masyarakat dan birokrasi, baik legislatif, eksekutif maupun
yudisial serta telah pulah menjalar ke dunia usaha. Ibarat penyakit, korupsi
merupakan penyakit yang sudah kronis, sehingga sangat sulit untuk mengobatinya.7
Bukti korupsi di Indonesia sudah bersifat massif dan meluas dapat dilihat dari
data KPK yang telah banyak melakukan tindakan penegakan hukum terhadap pelaku
tindak pidana korupsi sejak lembaga ini dibentuk hingga sekarang seperti terlihat
dalam tabel berikut :
6
https://news.detik.com/berita/3142283/fokus-ott-kpk-belum-pikirkan-jerat-pejabat-ma-dengan-pencucian-uang, diunduh Senin, 15 Pebruari 2016, Jam 09.10 Wita
7 Muhamad Yusuf, 2013. Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 1.
5
Tabel 1
Penanganan Korupsi Oleh KPK Tahun 2004 - 2015
Penindakan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah
Penyelidikan 23 29 36 70 70 67 54 78 77 81 80 87 752
Penyidikan 2 19 27 24 47 37 40 39 48 70 56 57 468
Penuntutan 2 17 23 19 35 32 32 40 36 41 50 62 389
Inkracht 0 5 17 23 23 39 34 34 28 40 40 37 320
Eksekusi 0 4 13 23 24 37 36 34 32 44 48 38 333
Sumber : Bahan hukum sekunder, diolah
Data pada tabel di atas, menunjukkan peningkatan jumlah kasus korupsi yang
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahap penyelidikan dan
penyidikan, maupun jumlah kasus yang dilimpahkan ke Pengadilan oleh Jaksa
Penuntut Umum serta kasus yang telah diputus oleh hakim dan memiliki kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewisjde) sehingga dapat dieksekusi oleh Jaksa.
Perkembangan menarik lainnya adalah jumlah keterlibatan penyelenggara negara
dalam tindak pidana yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi seperti
terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-2015
Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jmlh
Anggota DPR & DPRD 0 0 0 2 7 8 27 5 16 8 4 1 78
Kepala Lembaga / Kementerian
0 1 1 0 1 1 2 0 1 4 9 2 22
Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 0 4
Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7
Gubernur 1 0 2 0 2 2 1 0 0 2 2 1 13
Walikota/Bupati & Wakil
0 0 3 7 5 5 4 4 4 3 12 0 45
Eselon I/II/III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 2 1 117
Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 3 2 0 10
Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 15 0 109
Lainnya 0 6 1 2 4 4 9 3 3 8 8 0 48
Jumlah Total 4 23 29 27 55 45 65 39 50 59 54 5 453
Sumber : Bahan hukum sekunder, diolah
6
Kini penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi
kompetensi tiga lembaga penegak hukum yaitu POLRI, Kejaksaan dan KPK.
Diantara ketiga lembaga ini, KPK dikenal sebagai lembaga super body karena
memiliki kewenangan yang sangat besar yaitu kewenangan untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan kewenangan melakukan penuntutan. KPK juga
memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kasus-
kasus korupsi yang ditangani oleh pihak POLRI dan Kejaksaan, serta melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan melakukan monitoring
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Masalah korupsi di Indonesia dapat juga dilihat dalam laporan survey
Transparency International (TI) yang dipublikasikan dan dikutip oleh berbagai media
massa, memposisikan Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu ke dalam deretan
salah satu negara dengan tingkat korupsi paling tinggi di dunia. Berdasarkan hasil
survei lembaga ini pada tahun 1998, skor Indonesia adalah 2,0. Kondisi ini jauh lebih
rendah dari pada skor tahun sebelumnya, yaitu 2,72 pada tahun 1997 dan 2,65 pada
tahun 1996. (nilai 10 berarti sangat bersih dan nilai 0 berarti sangat korupsi)8.
Setelah satu dasawarsapun ternyata indeks persepsi korupsi Indonesia tidak
mengalami perkembangan atau kenaikan yang signifikan seperti terlihat dalam tabel
berikut.
8Transparency International, sebagaimana dikutip oleh H. Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak
Pidana dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 66.
7
Tabel 3
Perbandingan Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
dan Beberapa Negara di Dunia Tahun 2012 - 2015
Peringkat Negara 2015 2014 2013 2012
1 Denmark 91 92 91 90
8 Singapura 85 84 86 87
13 Australia 79 80 81 85
18 Hongkong 75 74 75 77
54 Malaysia 50 52 50 49
76 Thailand 38 38 35 37
88 Indonesia 36 34 32 32
95 Philipina 35 38 36 34
112 Vietnam 31 31 31 31
123 Timor Leste 28 28 30 33
147 Myanmar 22 21 21 15
Sumber : https://www.transparency.org/cpi2015, diunduh pada hari Senin, 1 Pebruari
2016, Jam 1.02 Wita. Diolah penulis.
Peningkatan peringkat secara signifikan terjadi pada tahun 2015 oleh karena
dari 168 negara yang disurvei, Indonesia berada pada peringkat 88 dengan skor 36
seperti dikatakan Direktur Program Transparancy International Indonesia Ilham
Saenong bahwa skor Indonesia naik 2 poin dan 19 peringkat bila dibandingkan
dengan tahun 2014. Meskipun meningkat, Indonesia belum mampu menandingi skor
dan peringkat Malaysia (skor 50), Singapura (85), Thailand (38). Namun kini
Indonesia lebih baik dari Filipina (35), Vietnam (31), dan Myanmar (22). Faktor yang
membuat skor dan peringkat Indonesia meningkat disebabkan peningkatan
8
akuntabilitas publik dan efektivitas pencegahan dan pemberantasan dalam
menurunkan korupsi9.
Political and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC) sebuah perusahan
konsultasi yang banyak mengkaji dan mengulas tingkat resiko ekonomi dan bisnis
dari negara-negara di Asia, dalam studinya terhadap masalah korupsi, berkesimpulan
dan menempatkan Indonesia pada posisi sebagai sebuah negara dengan kondisi
korupsi yang sangat serius dan memprihatinkan. Political and Economic Risk
Consultancy Ltd, (PERC) meliris hasil penelitiannya dalam Annual review of
corruption in Asia 2015 seperti tersaji dalam tabel berikut :
Tabel 4
Perubahan Persepsi Korupsi Selama Satu Dasawarsa di Beberapa Negara
Negara 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Australia 1.67 0.83 0.98 1.40 1.47 1.39 1.28 2.35 2.55 2.61
Hongkong 3.13 1.87 1.80 1.74 1.75 1.10 2.64 3.77 2.95 3.17
Indonesia 8.16 8.03 7.98 7.69 9.07 9.25 8.50 8.83 8.85 8.09
Malaysia 6.13 6.25 6.37 7.00 6.05 5.70 5.59 5.38 5.25 4.96
Philipina 7.80 9.40 9.00 7.68 8.25 8.90 9.35 8.28 7.85 7.43
Singapura 1.30 1.20 1.13 0.92 0.99 0.37 0.67 0.74 1.60 1.33
Thailand 7.64 8.03 8.00 6.76 7.33 7.55 6.57 6.83 8.25 6.88
Vietnam 7.91 7.54 7.75 7.40 7.13 8.30 7.75 8.13 8.73 8.24
Sumber : Political & Economic Risk Consultancy, Ltd, Issue #920, April 1, 2015,
Asian Intelligence, page 5, diolah penulis.
Sajian data di atas menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi salah satu
negara yang serius menghadapi masalah korupsi di antara negara-negara Asean
dengan rata-rata indeks korupsi di atas angka 8 (delapan) bila dibandingkan dengan
negara lainnya. Singapura merupakan negara dengan tingkat korupsi paling rendah
9
http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/3208-pemberantasan-korupsi-membaik, diunduh, Sabtu, 30 Januari 2016, Jam 10.29 Wita.
9
sedangkan Malaysia memperlihatkan tingkat korupsi yang terus menurun bila
dibandingkan dengan negara lainnya.
Memasuki abad ke 21, perhatian dan keprihatinan komunitas internasional
terhadap masalah korupsi yang menimpa berbagai negara berkembang termasuk
negara Indonesia sangat menguat. Dalam kongres internasional tentang “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” yang diprakarsai oleh PBB
masalah korupsi dan penanggulangannya cukup intens dibicarakan dan mendapat
perhatian yang serius dari para peserta. Hal ini terbukti dengan ditempatkannya
masalah korupsi sebagai bagian dari agenda pembicaraan dalam berbagai kongres,
misalnya kongres PBB tahun 1980, di Caracas Venesuela, Tindak pidana korupsi
diklasifikasikan ke dalam tipe kejahatan yang sukar dijangkau oleh hukum (offences
beyond the reach of the law)10
. Sementara itu dalam Konfrensi Internasional Anti
Korupsi ke 7 tahun 1995 di Beijing, mencatat Tindak pidana korupsi sebagai bentuk
kejahatan yang sulit pembuktiannya. Kesimpulan yang sama diungkapkan pula di
dalam kongres PBB ke 9 di Kairo, yang menyatakan bahwa pola perkembangan
tindak pidana korupsi semakin menyulitkan aparat penegak hukum untuk melakukan
penanggulangan. Oleh karena itu kongres merekomendasikan kepada anggota PBB
agar memberikan perhatian yang intensif guna menemukan langkah-langkah baru
dalam memerangi korupsi di kalangan pejabat publik11
Visi masyarakat internasional untuk saling bekerja sama dalam pemberantasan
Tindak pidana korupsi semakin jelas terlihat dan menguat yang ditandai dengan
ditanda tanganinya “Declaration of 8th International Conference Against
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 133. (Selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief 1)
11 The United Nations, 1996. The United Nations and Crime Prevention, New York, hlm. 31-32,
sebagaimana dikutip oleh H. Elwi Danil, 2012. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 62.
10
Corruption” pada tahun 1997 di Lima Peru. Bagian penting yang patut dicatat dari
deklarasi tersebut adalah adanya klausula yang meletakkan keharusan bagi setiap
negara untuk meningkatkan efektivitas hukum yang berkaitan dengan korupsi
semaksimal mungkin. Keharusan mana mesti dijaga agar tetap berada dalam koridor
konstitusi masing-masing negara dan norma-norma hak hak asasi manusia yang
bersifat universal.
Perhatian masyarakat internasional mencapai puncaknya ketika Perserikatan
Bangsa - Bangsa (PBB) menetapkan korupsi sebagai salah satu jenis transnational
crime seperti tercantum dalam United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (UNCATOC) yang juga turut ditandatangani oleh Pemerintah
Republik Indonesia pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo Italia. Konvensi PBB
ini kemudian disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan UU RI Nomor 5
Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi).
PBB pada tahun 2003 telah menetapkan konvensi khusus tentang korupsi yaitu
United Nations Convention Against Corruption 2003. Konvensi ini kemudian
disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
PBB Anti Korupsi, 2003). Pada bagian pembukaan konvensi ditegaskan bahwa
masyarakat internasional peserta konvensi prihatin atas keseriusan masalah-masalah
dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan
keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi,
nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan
11
supremasi hukum. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan komprehensif dan
multidisipliner untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif.12
Secara normatif, upaya penanggulangan masalah korupsi melalui kebijakan
perundang-undangan dan penegakan hukum pidana telah lama dilakukan, tetapi
ternyata korupsi tetap saja ada, tumbuh dan berkembang seirama dengan
perkembangan masyarakat sehingga semakin sulit diberantas. Pengaturan tentang
tindak pidana korupsi di dalam peraturan perundang-undangan sudah di mulai
semenjak berlakunya KUHP, meskipun tidak secara eksplisit menggunakan
terminologi korupsi dalam rumusan tindak pidana seperti diatur dalam Pasal 209,
Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP, akan tetapi sesungguhnya
mengandung hakikat tindak pidana korupsi.
Pemerintah telah menetapkan dan memberlakukan berbagai peraturan
perundang-undangan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi sejak
era ORLA, ORBA sampai era reformasi. Peraturan era ORLA seperti Peraturan
Penguasa Militer Nomor : Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, tanggal 9
April 1957; Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM/03/1957 tentang Penilikan
Terhadap Harta Benda, tanggal 27 Mei 1957; Peraturan Penguasa Militer Nomor :
Prt/PM/011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-Barang, tanggal 1 Juli
1957; Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor :
Prt./Peperpu/013/1958, tertanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda, yang berlaku di
daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat, sedangkan untuk daerah-daerah
yang dikuasai oleh Angkatan Laut penerapannya berdasarkan Peraturan Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut nomor : Prt/Z.I./I/7 tanggal 17 April 1958.;
12
Elwi Danil, Op.Cit., hlm. 64.
12
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian
diubah menjadi Undang Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan era ORBA yaitu Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan pada era reformasi pemerintah
juga telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi seperti :
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme
2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1998 Tentang
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
3. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme
4. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
7. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
13
KorupsiUndang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberatas Tindak Pidana Korupsi
8. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
10. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nations Conventions Against Corruption,2003
11. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
12. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
13. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
14. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2011
15. Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2012
16. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2012 Tentang Strategi
Nasional Pencegahan Korupsi
17. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2013.
18. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2014.
14
19. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2015.
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah era
reformasi seperti disebutkan di atas, sesungguhnya dapat dikelompokkan atas dua
bagian yaitu pertama, peraturan perundang-undangang yang terkait dengan bidang
pencegahan dan kedua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bidang
pemberantasan seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Upaya pemerintah menetapkan berbagai produk hukum yang berkaitan dengan
korupsi seperti tersebut di atas, diharapkan mampu mengemban fungsi ganda yaitu
sebagai sarana preventif dan sekaligus berfungsi sebagai sarana represif. Namun pada
kenyataannya tindak pidana korupsi tidak berkurang tetapi malah sebaliknya bagaikan
fenomena gunung es. Hampir setiap hari dapat dibaca melalui liputan media massa
tentang terungkapnya beberapa kasus tindak pidana korupsi yang tergolong besar
(grand corruption) karena besarnya jumlah kerugian keuangan negara yang
ditimbulkan oleh modus operandi kasus-kasus tersebut.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semester I tahun 2014, telah
melakukan pemeriksaan dan mengungkap sebanyak 14.854 permasalahan senilai
Rp 30,87 triliun. Diantaranya, sebanyak 4.900 permasalahan merupakan temuan
berdampak finansial senilai Rp 25,74 triliun. Selama proses pemeriksaan, entitas telah
menindaklanjuti temuan ketidakpatuhan tersebut dengan penyerahan aset atau
penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan senilai Rp 6,34 triliun. Sedangkan pada
semerter II tahun 2014, pemeriksaan BPK berhasil mengungkap sebanyak 13.564
permasalahan senilai Rp 55,3 triliun. Diantaranya, merupakan temuan berdampak
finansial sebanyak 3.293 permasalahan senilai Rp 14,75 triliun. Selama proses
15
pemeriksaan, entitas telah menindaklanjuti temuan ketidakpatuhan tersebut
dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara / daerah / perusahaan senilai
Rp 461,11 miliar.13
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK tersebut di atas,
membuktikan bahwa potensi kerugian keuangan negara dalam proses pembangunan
nilainya sangat besar (Rp. 40,49 triliun) sedangkan yang dapat diselamatkan melalui
mekanisme administrasi jumlahnya sangat kecil (Rp. 6, 80 triliun).
Kejaksaan sebagai lembaga penuntut yang juga berkewenangan melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus korupsi telah berhasil menyelamatkan
uang negara dalam proses penanganan perkara korupsi yang datanya penulis sajikan
pada berikut :
Tabel 5
Perkara Tindak pidana korupsi Yang Ditangani Kejaksaan Agung
No Tahun Penyidikan Penuntutan Penyelamatan Keuangan Negara
1
2009
1.609
1.258
Rp. 4.823.603.045.156,-
US $ 67.882,42,-
BAHT 3.835.192.76
2 2010 2.315 1.706 Rp. 345.525.832.720,-
3
2011
1.729
1.499
Rp. 198.210.963.791,-
US $ 6.760.69,-
4
2012
1.341
1.501
Rp. 294.432.682.984,-
US $ 500.000,-
5
2013
1.653
2.023
Rp. 403.102.000.215,-
US $ 500.000,-
6
2014
1.537
2.225
Rp. 390.526.490.570,-
US $ 8.100.000,-
11 2015
Sumber : Bahan hukum sekunder, diolah.
13
Laporan Tahunan 2014 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, hlm., 37
16
Berdasarkan hasil Laporan Tahunan Kejaksaan RI, pada tahun 2013 tingkat
keberhasilan penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti (PUP) sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 baru mencapai 14,44% yaitu terlihat dari
jumlah Pembayaran Uang Pengganti yang berhasil ditagih oleh bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara (Datun) adalah sebesar Rp.1.069.385.915.712,98 dari total yang
harus ditagih yaitu sebesar Rp.7.404.999.848.421,06.14
Tahun 2014 jumlah
keuangan/kekayaan negara yang berhasil diselamatkan pihak Kejaksaan melalui
penyelesaian perkara Tindak pidana korupsi sebagai berikut :
1. Eksekusi pidana denda sebesar Rp. 26.498.506.540,-
2. Eksekusi pidana uang pengganti sebesar Rp. 102.125.689.928,-
3. Eksekusi biaya perkara sebesar Rp. 2.090.500,-
4. Uang rampasan Rp. 478.160.698.128.30,-
5. Barang Rampasan Rp. 13.013.122.236,-
6. Uang rampasan setor ke kas daerah sebesar Rp. 83.305.313.436,-
7. Penyelamatan keuangan negara tahap penyidikan dan penuntutan sebesar
Rp. 390.526.490.570,- dan US Dolar 8.100.000,-15
Bila dilakukan perhitungan matematis antara kerugian keuangan negara sesuai
hasil laporan BPK tersebut di atas dengan besaran jumlah kerugian keuangan negara
yang diselamatkan oleh pihak Kejaksaan dalam proses penyelesaian perkara tindak
pidana korupsi, ternyata uang negara yang berhasil diselamatkan total nilainya masih
sangat kecil.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mempublikasikan hasil pemantauannya
pada tahun 2014 ditemukan adanya kerugian negara akibat korupsi adalah sebesar
Rp 5,29 triliun16
, sedangkan pada semester pertama tahun 2015, total kerugian negara
akibat korupsi adalah Rp 691,772 miliar dari 161 kasus. Namun yang diputus untuk
14
Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2013, hlm. 53. 15
Ibid. hlm. 52. 16 http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/17/icw-kerugian-negara-tahun-2014-
akibat-korupsi-rp-529-triliun, diunduh hari Minggu, 7 Pebruari 2016, Jam 11.46 Wita.
17
membayar uang pengganti hanya 99 kasus dengan total uang pengganti sebesar
Rp 63,175 miliar.17
Hal serupa dikemukakan juga oleh Rimawan Pradiptyo bahwa
kerugian negara akibat korupsi selama 2001-2013 mencapai Rp 96,37 triliun namun
total hukuman finansial yang dibebankan kepada koruptor hanya Rp 10,77 triliun
atau hanya 10,05 persen dari total kerugian negara.18
Fakta seperti ini tentunya
menguatkan pandangan bahwa korupsi sungguh-sungguh sangat merugikan keuangan
negara sehingga harus ditempuh cara-cara yang lebih progresif untuk mengembalikan
kerugian keuangan negara.
KPK sebagai satu-satunya lembaga dengan tugas khusus untuk mencegah dan
memberantas korupsi, telah berhasil menyelamatkan keuangan negara akibat
terjadinya Tindak pidana korupsi seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 6
Pengembalian Kerugian Negara dari Perkara Tindak Pidana Korupsi
Yang Ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi
No Tahun Denda Pembayaran Uang Pengganti
1 2007 2.300.000,- 34.312.007.190,-
2 2008 2.750.000,- 387.861.132.964,-
3 2009 7.600.000.000,- 31.507.684.042,-
4 2010 5.842.000.000,- 40.282.956.146,-
5 2011 8.046.700.000,- 46.851.093.033,-
6 2012 4.500.000.000,- 16.539.520.000.-
7 2013 6.750.000.000,- 90.965.447.061,-
8 2014 8.950.000.000,- 10.295.648.128,-
Sumber : Bahan hukum sekunder, diolah.
17
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/08/25/39272//25/ICW-Hanya-9-Persen-Kerugian-Negara-Akibat-Korupsi-yang-Digantikan, diunduh hari Minggu, 7 Pebruari 2016, Jam 11.56 Wita
18 http://jogja.antaranews.com/berita/336635/pakar-hukuman-finansial-koruptor-masih-
rendah, diunduh Sabtu, 13 Pebruari 2016, Jam 10.16 Wita.
18
Penulis berpendapat kerugian negara akibat tindak pidana korupsi jumlah sangat
besar sedangkan yang dapat diselamatkan dalam proses penegakan hukum oleh aparat
penegak hukum pada tahapan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan oleh hakim
yang menjatuhkan pidana terhadap para pelaku sangat kecil.
Tumpak Hatorangan Panggabean, menyatakan bahwa kerugian negara akibat
korupsi tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 mencapai Rp 689,19 miliar. Angka itu
berasal dari berbagai proyek pengadaan barang dan jasa dengan nilai sekitar Rp1,9
triliun. Kerugian negara tersebut sebagian besar terjadi karena proses penunjukan
langsung dalam proyek pengadaan barang dan jasa. "Kerugian negara jenis ini
mencapai Rp 647 miliar atau 94 persen dari total kerugian negara, Sementara sisa
kerugian negara diakibatkan oleh praktik penggelembungan harga, yaitu sebesar
Rp 41,3 miliar atau enam persen dari total kerugian negara19
.
BPKP melaporkan hasil audit investigasi sepanjang 2008 - 2010 yang sudah
dilaporkan mencapai 478 kasus. Dari kasus tersebut, jumlah kerugian negara/daerah
diperkirakan mencapai Rp 939,04 miliar dan US$11,66 juta.20
Sedangkan menurut
Jaksa Agung RI, Basrif Arief sejak tahun 2004 hingga 2012 atau dalam kurun waktu 9
tahun, kerugian negara Republik Indonesia akibat tindak pidana korupsi mencapai
Rp. 39,3 triliun.21
Sedangkan KPK melansir kerugian negara akibat korupsi sepanjang
2004-2011 mencapai Rp 39,3 triliun.22
19
http://www.inilah.com/news/read/politik/2009/12/02/198522/kpk-akibat-korupsi-negara-rugi-rp- 689-miliar/, diakses tanggal 7 Maret 2010. (Tumpak Hatorangan Pangabean adalah mantan wakil ketua KPK periode 2003-2007 dan juga menjadi pelaksana tugas ketua KPK pasca Antasari Azhar dicopot dari jabatannya karena kasus pembunuhan Nazarudin).
20 http://m.news.viva.co.id/news/read/201631-bpkp--kerugian-negara-mencapai-rp939-
miliar, diunduh 10 des, 2013 jam 19,05 wita. 21
Ibid. 22
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/372404-puluhan-triliun-rupiah-menguap-akibat-korupsi, diunduh tanggal 10 Desember 2013, Jam : 19.20. Wita
19
Memperhatikan sajian data di atas, ternyata bahwa kerugian negara akibat
terjadi tindak pidana korupsi sangat besar jumlahnya sedangkan penyelamatan uang
negara melalui proses judisial melalui jalur pengadilan memperlihatkan hasil yang
masih rendah/kecil. Kondisi seperti ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus
berlangsung tetapi harus dicarikan solusi pemecahannya dengan upaya pembaruan
maupun pembentukan legislasi dan regulasi yang baru demi mengatasi kondisi
tersebut termasuk usaha rekonstruksi ketentuan sanksi pidana dalam undang-undang
Tindak pidana korupsi karena tidak lagi memadai dan responsif untuk mengembalikan
kerugian negara akibat terjadinya Tindak pidana korupsi dengan modus-modus yang
baru.
Menurut Saldi Isra, hukuman bagi koruptor harus diperberat sekaligus koruptor
dimiskinkan dengan menyita seluruh harta dan segala manfaat dari hasil korupsinya
sehingga hukuman itu akan memberikan efek jera23
. Untuk memberikan efek jera,
menurut wakil koordinator badan pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson
Yuntho, hukuman terhadap koruptor seharusnya dibuat secara kumulatif sehingga
pidana yang dijatuhkan menjadi maksimal. Namun, ini bisa dilakukan apabila
pemerintah dan DPR merevisi UU Pemberantasan Tindak pidana korupsi, khususnya
di bagian lamanya pemidanaan24
.
Terkait dengan masalah pemidanaan, Trimedya Panjaitan berpendapat perlu ada
klasifikasi terhadap vonis kasus korupsi sehingga lebih mengakomodasi rasa keadilan
masyarakat. Variabel seperti penyelenggara negara atau penegak hukum serta nilai
kerugian negara dalam jumlah tertentu perlu menjadi pertimbangan dalam
menjatuhkan vonis. Misalnya, jika pelakunya penegak hukum, vonisnya bisa lebih
23 http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1356-koruptor-harus-ganti-biaya-sosial-dan-
ekonomi, diunduh pada tanggal 5 Desember 2013, jam. 13.56. wita. 24
http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1356-koruptor-harus-ganti-biaya-sosial-dan-ekonomi, diunduh pada tanggal 5 Desember 2013, jam. 13.56. wita.
20
berat, atau misalnya kerugian negara lebih dari Rp 10 miliar dapat dihukum pidana di
atas 10 tahun.25
Abraham Samad menyatakan putusan-putusan pengadilan tindak pidana korupsi
belum memuaskan rasa keadilan masyarakat dan belum memberikan efek jera bagi
para koruptor26
. Oleh karena itu menurut Busyro Muqoddas, hakim pengadilan tindak
pidana korupsi harus responsif dan berpikir ke depan dalam mengadili terdakwa kasus
korupsi27
.
Berbagai pendapat seperti dipaparkan di atas merupakan harapan masyarakat
agar koruptor dijatuhi dengan hukuman yang berat agar dapat memberikan efek jera
kepada calon koruptor namun kenyataannya sesuai hasil penelitian Indonesia
Corruption Watch (ICW) selama tahun 2013 Majelis Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi menjatuhkan vonis pidana kepada koruptor dengan lama masa pidana
penjara rata-rata 2 tahun 11 bulan dan pada tahun 2014 rata-rata lama masa pidana
penjara adalah 2 tahun 8 bulan, sedangkan pada tahun 2015 rata-rata lama masa
pidana penjara adalah 2 tahun 2 bulan28
.
Bukti hakim yang berpikir progresif sekaligus mau menyelamatkan uang negara
serta memberi efek jera kepada koruptor antara lain ditunjukkan oleh hakim agung
Artidjo Alkostar, M.S. Lumme dan Mohammad yang telah menjatuhkan vonis yang
lebih berat bagi Angelina Sondahk yang semula hanya 4 tahun 6 bulan, menjadi
12 tahun penjara denda Rp. 500 juta dan membayar uang pengganti kerugian negara
25
Ibid. 26
Abraham Samad dalam KPK Tak Lekang, Penyunting : Arif Zulkifli,dkk, 2013. Penerbit PT Gramedia, Jakarta, hlm. 91.
27 Ibid.
28 http://kpk.go.id/id/berita/berita-sub/3230-vonis-rendah-hambat-penegakan-hukum,
diunduh pada Jumat, 12 Februari 2016, Jam 10.41 Wita
21
Rp. 12,58 miliar dan USD 2,35 juta.29
Selain itu pada peradilan tingkat banding,
pemikiran dan pendekatan progresif juga telah ditunjukkan oleh hakim Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta yaitu Roki Panjaitan, Humuntal Pane, M Djoko, Sudiro, dan
Amiek pada Rabu 18 Desember 2013 telah menerima upaya hukum banding yang
diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK dan memperbaiki putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta, sehingga telah menjatuhkan putusan kepada Irjen
Djoko Soesilo sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yaitu dihukum penjara 18
tahun dan denda Rp. 1 miliar subsider 1 tahun kurungan dan membayar uang
pengganti kerugian negara sebesar Rp. 32 miliar dan hukuman berupa pencabutan hak
politik untuk memilih dan dipilih.30
Putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang juga patut
diapresiasi adalah Putusan hakim dalam kasus korupsi dengan terdakwa Ir. Jero
Watjik, S.E., mantan Menteri ESDM pada era pemerintahan Soesilo Bambang
Yudhoyono yang telah divonis dengan hukuman penjara 4 (empat) tahun denda
Rp. 150 juta subsider 3 (tiga) bulan penjara dan membayar uang pengganti sebesar
Rp. 5, 07 miliyar subsider satu tahun penjara.
Putusan hakim dalam kasus korupsi sangat variatif dan masih banyak terjadi
diskriminasi putusan terutama terkait pidana tambahan pembayaran uang pengganti
dan subsider pidana penjara pengganti yang tidak memenuhi harapan dan rasa
keadilan masyarakat, seperti terlihat dalam putusan-putusan Mahkamah Agung yang
penulis sajikan dalam tabel berikut.
29 jpnn.com/read/2013/11/30/203446/Tangani-Kasus-Soeharto-hingga-Angelina-Sondakh-
dan-dr-Ayu- diunduh pada tanggal 10 Desember 2013, Jam 19.20 Wita. 30
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52b26c04e2473/putusan-banding-cabut-hak-politik-djoko-susilo, diunduh selasa 06 mei 2014 jam 22.31 wita.
22
Tabel 7
Disparitas Putusan Mahamah Agung Atas Kasus Korupsi Yang Memuat
Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dan Subsider Penjara Pengganti
Nomor Putusan Pembayaran Uang
Pengganti (Rp)
Subsider Penjara
Pengganti (Bulan)
470 K/Pid.Sus/2012 70.709.700,- 1
2188 K/Pid.Sus/2012 1.000.000,- 1
204 K/Pid.Sus/2012 818.565.000,- 2
803 K/Pid.Sus/2012 5.700.000,- 2
2240 K/Pid.Sus/2012 237.218.510,- 2
2 K/Pid.Sus/2012 2.763.058.855,- 3
346 K/Pid.Sus/2012 2.400.250,- 3
1230 K/Pid.Sus/2012 286.500.000,- 3
2281 K/Pid.Sus/2012 30.550.000,- 3
181 K/Pid.Sus/2012 300.000.000,- 4
719 K/Pid.Sus/2012 12.997.111,- 4
1272 K/Pid.Sus/2012 243.985.150.- 4
474 K/Pid.Sus/2012 946.736.000,- 6
476 K/Pid.Sus/2012 7.250.000,- 6
521 K/Pid.Sus/2012 408.303.600,- 6
823 K/Pid.Sus/2012 26.034.000,- 6
1269 K/Pid.Sus/2012 228.462.120,- 6
1188 K/Pid.Sus/2012 62.950.000,- 10
137 K/Pid.Sus/2012 19.545.000,- 12
155 K/Pid.Sus/2012 2.654.030.000,- 12
2027 K/Pid.Sus/2012 1.306.700.000,- 12
2198 K/Pid.Sus/2012 66.822.000,- 12
2327 K/Pid.Sus/2012 250.000.000,- 12
1348 K/Pid.Sus/2012 100.266.500,- 15
1488 K/Pid.Sus/2012 16.069.932.964,- 21
161 K/Pid.Sus/2012 5.300.000.000,- 24
556 K/Pid.Sus/2012 362.867.802,- 24
1221 K/Pid.Sus/2012 178.166.611,- 30
253 K/Pid.Sus/2012 10.586.575.000,- 36
313 K/Pid.Sus/2012 20.500.000.000,- 36
356 K/Pid.Sus/2012 2.664.500.000,- 36
664 K/Pid.Sus/2012 770.000.000,- 36
Sumber : Hasil Penelitian ICW31
, diolah.
31
Ibid. hlm.54-64
23
Adanya perbedaan dalam penjatuhan hukuman atau disparitas pemidanaan pada
dasarnya adalah hal yang wajar, karena dapat dipastikan bahwa tidak ada perkara
yang benar-benar sama. Disparitas pemidanaan menjadi masalah ketika rentang
perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara yang serupa sedemikian besarnya
sehingga menimbulkan kesan ketidakadilan dalam masyarakat. Disparitas pemidanaan
dalam perkara korupsi bukanlah hal yang baru, karena disparitas pemidanaan tidak
hanya terbatas pada pidana pokok dan pidana denda, tetapi juga menyangkut
pembayaran uang pengganti dan subsider penjara pengganti manakala uang pengganti
tidak dibayar oleh terpidana. Padahal pidana pembayaran uang pengganti merupakan
kekhasan dari perkara tindak pidana korupsi32
.
Terjadinya disparitas pidana penjara pengganti seperti terlihat pada tabel di atas,
harus segera diatasi karena akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.
Meskipun hakim memiliki diskresi dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa, namun
perlu dibuatkan pedoman pemidanaan agar tercipta vonis hakim yang memenuhi rasa
keadilan masyarakat, dan secara khusus terkait subsider pidana penjara pengganti
harus dibuatkan kategorisasi sehingga rentangan waktu pidana penjara pengganti
dapat disesuaikan dengan besaran pembayaran uang pengganti yang harus dibayar
oleh terpidana.
Dalam Pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana terdiri atas :
a. Pidana pokok meliputi :
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
32
Tama S. Langkun, (dkk), 2014. Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi, ICW, hlm. 11.
24
b. Pidana tambahan meliputi :
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Pengaturan jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP di atas, merupakan
ketentuan yang bersifat umum (lex generalis) sedangkan jenis – jenis pidana
(strafsoort) yang terdapat dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK) merupakan lex specialis memiliki beberapa perbedaan dengan
KUHP.
Tabel 8
Ancaman Sanksi Pidana Dalam UU PTPK
Pasal
Jenis Ancaman Pidana
Pidana Mati Pidana Penjara Pidana Denda
- Minimal Maksimal Minimal (Rp) Maksimal (Rp)
Pasal 2 (1) - 4 tahun Seumur
hidup
200.000.000,- 1.000.000.000,-
Pasal 2 (2) Pidana Mati - - - -
Pasal 3 - 1 tahun Seumur
hidup
50.000.000,- 1.000.000.000,-
Pasal 5 (1) - 1 tahun 5 tahun 50.000.000,- 250.000.000,-
Pasal 6 (1) - 3 tahun 15 tahun 150.000.000,- 750.000.000,-
Pasal 7 (1) - 2 tahun 7 tahun 100.000.000,- 350.000.000,-
Pasal 8 - 3 tahun 15 tahun 150.000.000,- 750.000.000,-
Pasal 9 - 1 tahun 5 tahun 50.000.000,- 250.000.000,-
Pasal 10 - 2 tahun 7 tahun 100.000.000,- 350.000.000,-
Pasal 11 - 1 tahun 5 tahun 50.000.000,- 250.000.000,-
Pasal 12 - 4 tahun 20 tahun 200.000.000,- 1.000.000.000,-
Pasal 12A
ayat (2)
- -- 3 tahun -- 50.000.000,-
Pasal 12B
ayat (2)
- 4 tahun 20 tahun 200.000.000,- 1000.000.000,-
Pasal 13 - -- 3 tahun -- 150.000.000,-
Pasal 21 - 3 tahun 12 tahun 150.000.000,- 600.000.000,-
Pasal 22 - 3 tahun 12 tahun 150.000.000,- 600.000.000,-
Pasal 23 - 1 tahun 6 tahun 50.000.000,- 300.000.000,-
Pasal 24 - -- 3 tahun -- 150.000.000,-
Sumber : Bahan hukum sekunder, diolah
25
Merujuk sajian data pada tabel di atas, jenis pidana pokok yang terberat bagi
seorang pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana mati, pidana penjara seumur
hidup dan denda maksimalnya satu miliyar rupiah. Sampai dengan saat ini dalam
proses perkara tindak pidana korupsi, belum pernah ada vonis pidana mati bagi
seorang koruptor di Indonesia. Pidana yang terberat yang pernah dijatuhkan oleh
hakim dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pidana penjara seumur hidup yang
dijatuhkan oleh majelis hakim kepada Adrian Waworuntuh dan Muhammad Akil
Mochtar33
.
Di samping pidana pokok tersebut perihal pidana tambahan dalam UU PTPK
diatur dalam Pasal 18 selengkapnya penulis kutip di bawah ini :
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama
1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat
disita oleh jaksa dan dapat dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk
menbayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
33 http://news.detik.com/berita/2842185/akil-mochtar-koruptor-kedua-yang-dikirim-ke-penjara-
hingga-meninggal-dunia, diunduh Rabu, 9 Desember 2015, Jam 2.36 Am.
26
maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan dalam undang-undang ini
dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Demi mewujudkan putusan hakim dalam kasus korupsi yang memenuhi rasa
keadilan masyarakat dan memberikan efek jera serta dapat mengembalikan kerugian
keuangan negara, maka menurut penulis perlu dilakukan revisi terhadap jenis-jenis
sanksi pidana (strafsoort) dan lamanya masa pidana (strafmaat) yang ada dalam UU
PTPK yang sekarang berlaku sekaligus diatur pedoman bagi hakim dalam
menjatuhkan pidana penjara, pidana denda maupun pidana tambahan pembayaran
uang pengganti serta perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan
dengan instrumen hukum internasional seperti UNCAC 2003 maupun UNCATOC
yang telah diratifikasi oleh pemerintah. Hal ini sejalan trend dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi saat ini adalah tidak hanya dapat mempidanakan para pelaku
tetapi juga harus dapat memulihkan kerugian keuangan negara.34
Terkait dengan masalah pengembalian kerugian keuangan negara akibat
terjadinya tindak pidana korupsi hingga saat ini masih menjadi kendala dalam proses
penegakan hukum, karena jaksa sebagai pihak penuntut dan hakim sebagai pihak yang
memiliki kewenangan menjatuhkan putusan bagi koruptor lebih berorientasi pada
pidana penjara dan pidana denda. Hanya sedikit saja hakim yang menjatuhkan juga
pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti seperti diatur dalam Pasal 18
ayat (1) huruf b UU PTPK terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Selain itu belum adanya satu kesatuan sikap hakim yang mengadili perkara
korupsi untuk menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK, seperti
34
Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2013, hlm. 51
27
nyata dalam kasus korupsi yang diadili di Pengadilan Negeri Maros dengan terdakwa
Muh. Yasin, Pekerjaan Kontaktor/Direktur CV. Nur Azizah,
Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum, didakwa melakukan Tindak pidana
korupsi mark-up rencana anggaran belanja (RAB) pembangunan Pasar Sentral Maros
yang merugikan negara/Pemda Maros sebesar Rp. 175.800.545.000.- sehingga oleh
karenanya terdakwa dituntut dengan dakwaan Primer melanggar Pasal 2 ayat (1) jo
Pasal 18 UU N0. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1)
ke - 1, KUHP, dan dakwaan Subsider melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU N0. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1, KUHP.
Ketika persidangan di PN Maros, terdakwa terbukti melanggar dakwaan Primer:
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU N0. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo
Pasal 55 ayat (1) ke - 1, KUHP. Oleh sebab itu JPU menuntut terdakwa dijatuhi
pidana penjara 4 tahun, denda 50 juta rupiah subsider satu bulan kurungan, dan
membayar uang Pengganti Rp. 85.220.690. Subsider tiga bulan penjara. Sesuai
putusan hakim PN Maros No. 111/Pid.B/2005/PN. Maros. tertanggal 1 Agustus 2006,
Terdakwa Muh. Yasin terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah
melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu terdakwa dihukum dengan pidana
penjara selama 4 (empat) tahun, denda 50 Juta subsider satu bulan kurungan serta
membayar uang pengganti sebesar Rp. 38.847.236. subsider tiga bulan penjara.
Atas putusan PN. Maros tersebut di atas, terdakwa Muh. Yasin mengajukan
upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Makasar. Selanjutnya terhadap upaya
hukum banding tersebut hakim PT Makasar memberikan putusan sesuai Putusan PT
Makasar No. 345/Pid./2006/PT.MKS. tertanggal 21 Agustus 2007, dengan amar
putusan :
1. Menerima permintaan banding dari Terdakwa Muh. Yasin;
28
2. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Maros, tanggal 1 Agustus 2006,
No. 111/Pid.B/2005PN.Maros, yang dimintakan banding;
Mengadili sendiri :
1. Menyatakan surat dakwaan JPU kabur (obscuur libel)
2. Menyatakan surat dakwaan tersebut batal demi hukum
3. Membebaskan terdakwa Muh Yasin dari dakwaan tersebut
4. Membebankan biaya perkara kepada negara
Terhadap putusan PT Makasar tersebut JPU pada Kejaksaan Negeri Klas IB
Maros mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, yang kemudian oleh
hakim MA memberikan putusan sesuai dengan Putusan MA RI No. 353 K/
Pid.Sus/2008 tanggal 28 April 2008, dengan amar putusan selengkapnya sebagai
berikut :
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : JPU pada Kejaksaan
Negeri Klas IB Maros.
2. Membatalkan putusan Putusan PT Makasar, Tertanggal 21 Agustus 2007,
No. 345/Pid./2006/PT.MKS. yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Klas
IB Maros, tanggal 1 Agustus 2006, No. 111/Pid.B/2005PN.Maros.
Mengadili sendiri :
1. Menyatakan terdakwa Muhammad Yasin terbukti secara sah dan meyakinkan telah
bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.
2. Menghukum terdakwa Muhammad Yasin dengan pidana penjara selama 4 (empat)
tahun dan denda sebesar 50 juta, subsider pidana kurungan selama satu bulan.
3. Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 38.847.236,-
subsider pidana penjara selama tiga bulan.
29
Terdakwa Muhammad Yasin selanjutnya mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali atas putusan MA tersebut dan hakim MA yang mengadili perkara tersebut
pada tingkat peninjauan kembali memberikan putusan sesuai Putusan MA RI No. 32
PK/ Pid.Sus/2009, tertanggal 8 Januari 2010, sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan PK dari Muh. Yasin
2. Membatalakan putusan MA RI No. 353 K/Pid.Sus/2008 tanggal 28 April 2008 jo.
Putusan PT Makasar, No. 345/Pid./2006/PT.MKS. tanggal 21 Agustus 2007, jo
putusan Pengadilan Negeri Klas IB Maros, No. 111/Pid.B/2005PN.Maros. tanggal
1 Agustus 2006,
Mengadili sendiri :
1. Menyatakan terdakwa Muh. Yasin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam semua dakwaan;
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya;
4. Menetapkan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara dan dijadikan bukti
dalam perkara lain sedangkan barang bukti yang berupa uang tunai sebesar
90.579.694.,- dikembalikan kepada yang berhak.
5. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada negara.
Putusan atas kasus tersebut di atas, tentunya menarik untuk dikaji terutama
pemeriksaan pada tingkat Mahkamah Agung, karena pada saat pemeriksaan Kasasi
hakim MA sependapat dengan JPU namun kemudian hakim MA juga yang pada saat
pemeriksaan Peninjauan Kembali justru membatalkan putusan hakim MA yang
memeriksa perkara korupsi tersebut pada tingkat kasasi dan mengabulkan
30
permohonan terdakwa. Artidjo Alkostar selaku salah satu anggota majelis hakim
yang mengadili perkara tersebut mengajukan dissenting opinium yang pada intinya
menolak alasan-alasan pemohon peninjauan kasasi. Namun karena putusan diambil
secara musyawarah dan demokratis maka permohonan PK Muh. Yasin diterima.35
Apabila kita mengkaji dan menganalisis rumusan ketentuan Pasal 17 dan
Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK, ternyata ada kekaburan norma (vage normen)
bila harus digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti karena dalam bagian penjelasan
Pasal 18, tidak ada penjelasan tentang ukuran atau pedoman dasar yang dapat dipakai
oleh hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Dalam rumusan ketentuan Pasal 17 secara tegas diatur sebagai berikut : “Selain
dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai
dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18”.
Rumusan norma sanksi dalam Pasal 17 tersebut, tidak mengandung makna atau
pengertian wajib tetapi bersifat fakultatif dalam artian hakim bebas untuk
menjatuhkan ataupun tidak menjatuhkan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 tersebut kepada terdakwa, karena hakim memiliki kewenangan diskresi.
Dalam perspektif keilmuan hukum, menurut Philipus M. Hadjon dalam
menghadapi norma hukum yang kabur, langkah pertama harus berpegang pada rasio
hukum yang terkandung dalam aturan itu dan selanjutnya menetapkan metode
interpretasi apakah yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan norma yang kabur
35
Putusan MA RI, Nomor : 32 PK/Pid.Sus/ 2009.
31
itu.36
Bagi Curzon, interpretasi atau penafsiran diartikan memberikan makna yang
tepat, arti kata suatu pasal undang-undang; konstruksi merujuk pada mengatasi
ambiguitas atau multi tafsir, kekaburan dan ketidakpastian norma hukum pasal-pasal
undang-undang.37
Solusi dalam mengatasi norma kabur dapat dilakukan dengan cara interpretasi,
seperti dijelaskan oleh Ahmad Rifai bahwa secara umum ada 11 (sebelas) macam
metode interpretasi hukum sebagai berikut :
1. Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang
sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2. Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-
undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu
dibentuk dulu;
3. Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak
satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan
seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya
dengan jenis peraturan lainnya;
4. Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang
ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa
yang ingin dicapai dalam masyarakat;
5. Interpertasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan
memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan
memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang
bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang
(ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);
7. Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau
mempersempit makna dari suatu aturan;
8. Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi
melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9. Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan
penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di
dalam undang-undang itu sendiri;
10. Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran
yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas
hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
36 Philipus M. Hadjon,1994. Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 26 37
Atmadja, I Dewa Gede, 2013. Filsafat Hukum Dimensi Tematis & Historis, Setara Press, Malang, hlm. 19.
32
11. Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi
dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang
seadil-adilnya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.38
Sudikno Merto Kusumo menjelaskan interpretasi atau penafsiran merupakan
salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan
sehubungan dengan peristiwa tertentu.39
Menghadapi situasi problematis dalam upaya pengembalian uang negara akibat
terjadinya tindak pidana korupsi, penulis berpendapat harus dilakukan rekonstruksi
dan harmonisasi terhadap Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2001, agar upaya pengembalian kerugian keuangan negara
dapat dilaksanakan secara optimal dan efektif oleh aparat penegak hukum yang
bersinergis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berkenaan dengan fakta seperti diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa
harus dilakukan suatu pengkajian yang komprehensif terhadap berbagai legislasi
maupun regulasi yang berkaitan dengan kebijakan dan strategi pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi, melalui pendekatan yang bersifat integratif
secara bersinergis untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang masalah di atas, penulis
merumuskan masalah yang akan dikaji dalam disertasi ini sebagai berikut :
1. Mengapa diperlukan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi?
38 Ahmad Rifai, 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 62-72. 39
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.13.
33
2. Bagaimana formulasi/rumusan sanksi pidana tambahan pembayaran uang
pengganti dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi?
3. Bagaimana sebaiknya formulasi / rumusan sanksi pidana pembayaran uang
pengganti dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi perspektif
ius constituendum?.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian disertasi ini adalah :
1.3.1. Tujuan umum yaitu melakukan pengkajian dan analisis secara holistik dan
kritis terhadap dasar pemikiran filosofis, sosiologis, yuridis dan teoritis
penetapan dan penerapan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
1.3.2. Tujuan Khusus terbagi atas :
a. Mengkaji secara kritis justifikasi pentingnya sanksi pidana tambahan
pembayaran uang pengganti diatur secara jelas dan tegas dalam undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Melakukan pengkajian dan analisis secara kritis terhadap formulasi/rumusan
norma sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
c. Merekonstruksi dan memformulasi sanksi pidana pembayaran uang
pengganti dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
sebagai sarana pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan
hukum kasus tindak pidana korupsi dimasa mendatang.
34
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis yaitu hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan
referensi ilmu hukum terkait masalah korupsi disamping itu kajian dalam
disertasi ini dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan naskah akademik
pembaharuan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya
yang terkait formulasi/rumusan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
korupsi.
1.4.2. Manfaat praktisnya adalah pemikiran penulis dalam penelitian ini dapat
dimanfaatkan oleh pihak pembentuk undang-undang, dalam hal ini pihak
legislatif dan pihak eksekutif ketika menyusun konsep rumusan sanksi pidana
pembayaran uang pengganti dalam pembaharuan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) pada masa
mendatang (ius constituendum) sedangkan bagi hakim pengadilan tindak pidana
korupsi hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan teoritis dalam mengadili dan
menjatuhkan putusan tambahan berupa pembayaran uang pengganti terhadap
pelaku tindak pidana korupsi.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Setelah melakukan penelusuran kepustakaan maupun penelusuran melalui
media internet ditemukan beberapa penelitian disertasi yang telah dilakukan
berkenaan dengan tindak pidana korupsi antara lain sebagai berikut :
1. Disertasi dengan judul : Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
Dalam Rangka Pengembalian Keuangan Negara, yang ditulis oleh A. Djoko
Sumaryanto, Alumni Program Doktor Program Pascasarjana Universitas Airlangga
Surabaya tahun 2008, yang membahas 3 (tiga) masalah yaitu (1) Apa konsep
35
kerugian keuangan negara dan bagaimana upaya pemulihan keuangan negara
dalam perspektif hukum pidana?; (2) Pembalikan beban pembuktian tindak pidana
korupsi dalam kaitannya dengan tujuan hukum pidana; (3) Bagaimana model
pembalikan beban pembuktian terhadap pengembalian kerugian keuangan negara
dalam tindak pidana korupsi di masa mendatang?.
2. Disertasi dengan judul “ Problematik Sistem Hukum Pidana dan Implikasi pada
Penegakan Hukum Tindak pidana korupsi”, ditulis oleh IGM. Nurdjana alumni
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 2009,
menjelaskan tentang pengaruh sistem hukum global terhadap sistem hukum di
Indonesia khususnya perkembangan sistem hukum pidana. Kondisi ini sangat
mempengaruhi perkembangan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Tindak pidana korupsi sebagai produk politik hukum di Indonesia.
Konfigurasi atas kondisi sistem hukum pidana sangat berpengaruh signifikan dan
berimplikasi buruk dalam penegakan hukum Tindak pidana korupsi. Praktek
menegakkan hukum yang didasarkan pada penerapan sistem hukum dan dogmatik
hukum menurut hukum positip Indonesia menjadikan “anomali” dan menciptakan
problematik sistem hukum pidana bahkan telah terjebak teori gunung es yaitu
perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi bahaya laten.
3. Formulasi Rumusan Tindak Pidana Penerima Hasil Korupsi Dalam Perspektif
Kebijakan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, yang ditulis oleh Herlambang dan
telah dipertahankan dalam Sidang Penguji Disertasi Universitas Brawijaya Malang
pada tahun 2011.
Adapun rumusan masalah yang dikaji dan dibahas dalam disertasi berkaitan
dengan pertanyaan bagaimanakah bentuk formulasi norma perbuatan tindak pidana
penerima hasil korupsi; bagaimanakah konsep pertanggungjawaban pidana
36
penerima hasil korupsi dan bagaimanakah jenis sanksi yang sesuai bagi penerima
hasil korupsi.
Hasil penelitiannya adalah bahwa bentuk formulasi tindak pidana penerima hasil
korupsi belum diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sejak
Indonesia merdeka hingga saat ini. Oleh karena itu direkomendasikan agar Tindak
Pidana Penerima Hasil Korupsi sebaiknya ditetapkan sebagai salah satu perbuatan
korupsi dan ditambahkan pada Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, dalam Pasal khususnya
diantara Pasal 13 dan Pasal 14 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999.
4. Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, ditulis oleh
Muhammad Yusuf, Alumni program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Bandung, 2012, membahas dua masalah pokok yaitu (1) Apakah konsep
perampasan asset berdasarkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2001, telah secara optimal mengembalikan kerugian
keuangan negara?; dan (2) Bagaimana kebijakan hukum perampasan asset tanpa
tuntutan pidana berdasarkan konvensi PBB anti korupsi dapat secara efektif
mengembalikan kerugian keuangan negara?.
5. Formulasi Pedoman Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Penyelenggara Negara
yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi yang ditulis Aulia, dan telah
dipertahankan di depan Majelis Penguji dalam ujian terbuka Disertasi Universitas
Brawijaya Malang pada tanggal 5 Oktober 2012.
Adapun 2 (dua) masalah yang dikaji dan dibahas dalam disertasi yaitu :
(1) Bagaimana penjatuhan sanksi pidana terhadap penyelenggara Negara yang
melakukan tindak pidana korupsi? (2) Bagaimana formulasi pedoman penjatuhan
37
sanksi pidana terhadap penyelenggara Negara yang melakukan tindak pidana
korupsi?
Hasil penelusuran dan pengkajian yang penulis lakukan terhadap judul, rumusan
masalah, isi serta simpulan dari masing-masing disertasi tersebut di atas, diketahui
bahwa penelitian dengan judul dan permasalahan seperti yang akan diteliti oleh
penulis belum dibahas dalam disertasi maupun tesis tersebut di atas dan oleh karena
itu penulis berpendapat bahwa penelitian yang akan dilakukan untuk penulisan
disertasi ini memenuhi aspek orisinalitasnya.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berpikir dan bertindak logis,
metodis dan sistematis mengenai gejala yurisdis, peristiwa hukum atau fakta empiris
yang terjadi atau yang ada disekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan
kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan.40
Oleh karenanya menentukan pilihan
untuk menggunakan suatu metode tertentu dalam kegiatan penelitian ilmiah
merupakan hal yang amat penting dan strategis demi menjamin kualitas dan validitas
hasil penelitian.
Jujun S. Suriasumantri, menjelaskan bahwa metode adalah prosedur atau cara
untuk mengetahui sesuatu berdasarkan langkah-langkah yang sistematis41
. Sedangkan
menurut IK. Rai Setiabudhi, metode penelitian digunakan sebagai alat untuk
membantu menjawab permasalahan dalam penelitian melalui prosedur, cara dan
40
Abdulkadir Muhamad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2.
41 Jujun S. Suriasumantri, 1990. Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 119.
38
teknik dengan menggunakan langkah-langkah penelitian dan menggunakan penalaran
serta berpikir yang logis analitis42
.
Merujuk pada pendapat kedua pakar hukum tersebut di atas, maka dalam
penelitian untuk penulisan disertasi ini penulis tunduk dan patuh pada berbagai
langkah atau tahapan yang harus diikuti dalam melakukan suatu penelitian khususnya
penelitian hukum normatif.
1.6.1. Jenis Penelitian
Menurut Johny Ibrahim penelitian normatif adalah penelitian hukum yang
berusaha menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya43
. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian
hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum44
.
Abdulkadir Muhamad menyatakan bahwa penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori,
sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,
konsistensi, penjelasan umum dan Pasal demi Pasal, formalitas dan mengikatnya
suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan. Penelitian normatif tidak
mengkaji aspek terapan atau implementasinya, maka penelitian hukum normatif
42
IK. Rai Setiabudhi, 2010. Kedudukan dan Fungsi Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 179.
43 Johny Ibrahim, 2005. Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Cet.1, hlm. 57
44 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, Cet. 8, hlm. 14.
39
sering juga disebut “penelitian hukum dogmatik” atau “penelitian hukum teoritis”
(dogmatig or theoretical law research)45
.
Berpedoman pada pendapat para pakar tersebut di atas, maka penelitian disertasi
ini termasuk dalam tipe penelitian hukum normatif, karena dalam penelitian ini akan
dikaji tentang ketentuan hukum tertulis dalam hal ini Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) difokuskan pada aspek
formulasi/rumusan sanksi pidana, yang dalam pengkajiannya didasarkan pada teori-
teori hukum yang relevan seperti teori keadilan, teori kebijakan formulasi, teori
pemidanaan dan teori pembalasan, teori harmonisasi hukum, teori kewenangan, teori
utilitas dan teori pembuktian.
1.6.2. Pendekatan Masalah
Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian hukum normatif, maka dalam
penelitian ini akan digunakan beberapa metode pendekatan. Johnny Ibrahim
menjelaskan bahwa dalam penelitian normatif dapat digunakan beberapa model
pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach)
3. Pendekatan Analitis (analytical approach)
4. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)
5. Pendekatan Historis (historical approach)
6. Pendekatan Filsafat (philosophical approach)
7. Pendekatan Kasus (case approach)46
Demikian pula Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa di dalam
penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
45
Abdulkadir Muhamad, Op.Cit., hlm. 101-102. 46
Johnny Ibrahim, Op.Cit, hlm. 246.
40
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach)47
.
Mengacu pada pendapat kedua pakar di atas, maka metode pendekatan
masalah yang dipergunakan dalam penelitian disertasi ini yaitu :
1. Pendekatan undang-undang (statute approach), digunakan untuk melakukan
penelusuran, inventarisasi dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
hukum positip maupun instrumen-instrumen hukum internasional yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi.
2. Pendekatan komparatif atau perbandingan (comparative approach) yaitu penelitian
tentang perbandingan hukum, baik mengenai perbandingan sistem hukum antar
negara maupun perbandingan produk hukum dan karakter hukum antar waktu
dalam suatu negara48
. Pendekatan ini digunakan untuk melakukan studi
perbandingan tentang pengaturan hukum tindak pidana korupsi sejak era
pemerintahan orde lama sampai dengan era pemerintahan reformasi, secara khusus
mengenai sanksi pidana pembayaran uang pengganti. Disamping itu juga mengkaji
penyelesaian Asset Forfeiture di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Swis,
Irlandia, Australia, Filipina dan Kolombia.
3. Pendekatan sejarah (historical approach), adalah pendekatan dengan melakukan
pelacakan sejarah pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi dari waktu ke
waktu baik itu pada jaman pemerintahan ORLA, ORBA maupun dalam era
reformasi demi memahami aspek yuridis, sosiologis maupun dimensi filosofis dari
kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
47
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 133.
48 Johnny Ibrahim, Op.Cit. hlm. 320.
41
4. Pendekatan filosofis (philosophical approach), adalah salah satu model pendekatan
dalam penelitian hukum normatif yang mengupas isu hukum (legal issues).
Johnny Ibrahim menyatakan bahwa “Dengan sifat filsafat yang
menyeluruh, mendasar dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu
hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya
secara mendalam. Dengan demikian penjelajahan dalam filsafat meliputi ajaran
ontologis (ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai),
epistemologis (ajaran tentang pengetahuan), teleologis (ajaran tentang tujuan)
untuk memperjelas secara mendalam, sejauh dimungkinkan oleh pencapaian
pengetahuan manusia.49
Isu hukum yang akan dibahas secara mendalam dan menyeluruh adalah
(1) Mengapa diperlukan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi?; (2) Bagaimana
formulasi/rumusan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi? dan (3) Bagaimana sebaiknya
formulasi / rumusan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi perspektif ius constituendum?.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
C.F.G. Sunaryati Hartono, mengemukakan ada dua macam sumber bahan
hukum yaitu bahan hukum primer (primary sources or authorities) seperti undang-
undang dan putusan pengadilan; dan bahan hukum sekunder (secondary sources or
authorities) misalnya makalah atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli, karangan
berbagai panitia pembentukan hukum (law reform organization) dan lain-lain50
.
49
Johnny Ibrahim, Op.Cit. hlm. 367. 50
C.F.G. Sunaryati Hartono, 2006. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, hlm. 141.
42
Peter Mahmud Marzuki mennyatakan bahwa sumber-sumber penelitian
hukum adalah berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundangan dan putusan-putusan hakim. Bahan-bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan51
.
Penelitian hukum bersifat normatif, maka jenis bahan hukum yang lazim
dipergunakan adalah :
a. Bahan-bahan hukum primer
1. Norma Dasar Pancasila
2. Peraturan Dasar, batang tubuh Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
3. Peraturan perundang-undangan
b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan-bahan hukum primer dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer adalah :
1. Rancangan peraturan perundang-undangan
2. Hasil karya ilmiah para sarjana
3. Hasil-hasil penelitian
c. Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi
bibliografi.52
1.6.3.1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
b. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
c. Kitab Undang Undang Hukum Pidana
d. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
e. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Prp Tahun 1964 Tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
51
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 181. 52
Ronny Hanitijo Soemantri, 1998. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 11-12.
43
f. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
g. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
h. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang Undang Nomor 31Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
i. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
j. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nations Conventions Against Corruption,2003
k. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan
United Nations Conventions Against Transnational Organized Crime
l. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
m. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
1.6.3.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan – bahan yang dapat menjelaskan bahan
hukum primer dan dapat dipakai untuk menganalisis dan memahami bahan hukum
primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini terdiri dari Rancangan KUHP
Nasional; Rancangan KUHAP, Hasil karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi seperti disertasi dan tesis, maupun laporan akhir tahunan dari
Komisi Pemberantasan Korupsi.
44
1.6.3.3. Bahan Hukum Tersier.
Bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Black’s Law Dictionary yang digunakan untuk memberi batasan pengertian
kata secara etimologis, Opini para pakar dan berita di berbagai surat kabar seperti
Kompas, Jawa Pos dan lain-lain serta tulisan ilmiah di internet yang penulis unduh
dari berbagai web seperti : kpk.go.id., acch.kpk.go.id., www.theguardian.com,
kompas.com, hukumonline.com dan dan lain-lain yang dapat dipakai untuk memberi
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatiannya pada bahan hukum, maka
pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library
research) dan studi dokumen. Studi kepustakaan ini tidak hanya meliputi
pengumpulan bahan hukum melalui penelusuran bahan-bahan pustaka yang berbentuk
buku maupun jurnal melainkan juga bahan-bahan pustaka yang diterbitkan secara
berkala, misalnya majalah “Varia Keadilan” dan melakukan browsing bahan hukum
melalui internet. Semua bahan hukum ini diinventarisasi dan dikumpulkan dengan
cara mencatat dan menyalin (card system), difotocopy dan mengunduh dari internet
ke dalam flash disk maupun compact disc (CD) dan selanjutnya diklasifikasikan
sesuai kebutuhan sehingga dapat digunakan untuk mengkaji permasalahan yang telah
dirumuskan dalam disertasi ini.
45
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisa dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan
konsisten tehadap gejala tertentu53
. Bertolak dari pengertian ini maka erat kaitannya
antara metode analisa dengan pendekatan masalah. Ada beberapa tehnik analisis yang
digunakan yaitu Deskriptif, inventarisasi, interpretasi, sistematisasi dan evaluasi.
Deskriptif berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari
proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. Inventarisasi dilakukan dengan maksud
mendata berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana
korupsi pada umumnya dan secara khusus fokus pada pengaturan sanksi pidana
tambahan pembayaran uang pengganti untuk selanjutnya dilakukan sistematisasi
untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara
peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun dengan yang tidak sederajat.
Selanjutnya dilakukan evaluasi yakni melakukan penilaian/mengevaluasi tepat atau
tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan,
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan
hukum primer maupun sekunder. Interpretasi akan dilakukan dengan model
penafsiran otentik/resmi, penafsiran menurut penjelasan undang-undang, dan
interpretasi teleologis.
53
Soerjono Soekanto, 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 137. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto 1)