1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan salah satu hal yang paling berharga bagi manusia.
Dengan tubuh yang sehat, berbagai aktivitas yang bermanfaat dapat dijalankan
dengan baik. Namun pada saat tubuh sakit dan memerlukan terapi tambahan
dengan obat, maka dibutuhkan obat yang memenuhi aspek produk obat yang baik
yaitu safety, quality, dan efficacy (World Health Organization, 2003).
Perkembangan dunia pengobatan saat ini telah sampai pada tahap yang
cukup baik, dengan ditemukannya berbagai obat-obat baru yang dapat membantu
penyembuhan banyak penyakit, semakin canggihnya peralatan untuk pengobatan,
keberhasilan dalam penyempurnaan dan penemuan berbagai bentuk sediaan
farmasi yang sangat membantu dalam efektivitas dan kemudahan proses
pengobatan. Pada akhirnya dunia pengobatan saat ini mulai melirik kepada aspek
herbal, dengan semakin banyaknya praktisi kesehatan yang sadar akan banyaknya
efek samping obat sintesis sehingga kemudian melakukan pengembangan
terhadap obat herbal sebagai produk komplementer (Pramudjito, 2011), terutama
untuk penyakit-penyakit kronis (Pal, 2002).
Aspek ekonomi terkait dengan pemanfaatan tumbuhan obat juga semakin
meningkat. Beberapa contoh peningkatan tersebut antara lain berkembangnya
budi daya tumbuhan obat dan produksi simplisia sebagai bahan baku obat
tradisional, mulai dibukanya instalasi herbal di rumah sakit, banyaknya industri
2
farmasi yang juga membuka divisi herbal dan memperbanyak persentase
penjualan obat herbal di dalam produk-produk mereka, serta kemunculan industri-
industri kecil farmasi yang berfokus pada obat herbal. Pada akhirnya produk
herbal mulai marak beredar dan digemari di tengah masyarakat (Pranata, 2011).
Hal tersebut memunculkan tantangan kepada pemerintah dan segenap
praktisi kesehatan di Indonesia untuk mengawal dan menjaga kualitas produk
herbal yang beredar di pasaran. Sehingga kemudian pemerintah mulai
meningkatkan fokus di bidang pengembangan obat herbal yang salah satunya
adalah munculnya aturan dalam menjaga kualitas obat herbal dengan cara
menstandardisasi proses pembuatan dan parameter mutu produk. Salah satu
produk peraturan pemerintah yang dihasilkan adalah Farmakope Herbal Indonesia
(FHI) yang hingga disusunnya penelitian ini pada Januari 2014, telah terbit edisi
pertama dan empat suplemennya.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, tidak hanya berupa
bahan tambang tetapi juga kekayaan akan jenis-jenis tumbuhan terutama yang
telah dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Meski demikian, bukan berarti bahan
baku yang tersedia terjamin. Cukup banyak industri herbal yang merasa kesulitan
mendapatkan bahan baku karena budi daya tanaman obat belum marak dan masih
dalam tahap pengembangan. Menurut Badan POM (2006), 283 tanaman telah
diregistrasi untuk penggunaan obat tradisional/jamu dan 180 jenis diantaranya
merupakan tanaman obat yang masih ditambang dari hutan (bukan tanaman budi
daya). Keadaan ini juga dapat memicu adanya pemalsuan bahan baku oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal yang juga mempengaruhi pentingnya
3
dilakukan penjagaan kualitas bahan baku obat herbal adalah karena banyaknya
faktor yang dapat mempengaruhi kualitas bahan baku yang berasal dari tanaman
seperti tempat tumbuh, nutrisi tanah, dan sebagainya (Pramono, 2014). Hal inilah
yang kemudian menyebabkan pentingnya dilakukan pemenuhan terhadap standar
parameter mutu ekstrak yang terdiri dari berbagai parameter standar umum dan
parameter standar spesifik yang berkorelasi langsung dengan kualitas dan
reprodusibilitas produk.
Salah satu tumbuhan yang sering digunakan dalam obat tradisional adalah
mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.). Bagian tanaman yang umumnya
digunakan untuk pengobatan adalah biji mahoni. Secara empirik biji mahoni telah
digunakan masyarakat dengan cara menumbuk biji mahoni sampai halus,
ditambah dengan air hangat, dan diminum secara langsung sehingga komponen
biji mahoni dapat masuk ke dalam tubuh. Namun jika tahan pahit, biji mahoni
dapat dimakan mentah-mentah (Hamzari, 2008).
Berdasarkan fakta, mahoni bukanlah tumbuhan yang memiliki tingkat
populasi tinggi, bahkan tanaman ini masuk ke dalam tumbuhan dengan kelompok
populasi rentan (IUCN, 1998). Oleh karena itu keterbatasan bahan baku mahoni
dapat menjadi salah satu faktor tingginya potensi pemalsuan dan variasi kualitas
produk yang beredar di pasaran. Dalam proses pengembangannya, FHI juga
belum mencantumkan mahoni yang telah terstandar. Publikasi ilmiah yang
mendeskripsikan secara khusus tanaman mahoni sulit peneliti jumpai, tidak
sebanyak jika dibandingkan dengan tanaman obat lainnya.
4
Hal yang cukup memprihatinkan adalah semakin tingginya budaya
konsumtif dan serba instan yang ada di masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi
pada pola konsumsi melainkan juga pola hidup sehari-hari (Wahyudi, 2010). Sisi
negatif dari budaya serba instan adalah masyarakat dimanjakan dengan berbagai
produk yang beredar di masyarakat (Nadarlis, 2012), sehingga pengetahuan
mengenai bahan-bahan kebutuhan hidup pada umumnya dan obat-obatan pada
khususnya menjadi menurun seiring dengan semakin banyaknya produk instan di
masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan penelitian ini akan sangat bermanfaat
dalam upaya memberikan edukasi mengenai pengenalan terhadap bahan baku
obat herbal kepada masyarakat serta mendukung pengembangan obat herbal di
Indonesia menuju ke arah yang lebih baik sehingga dapat bermanfaat bagi
masyarakat, bangsa, dan negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah aspek yang dapat dikaji sebagai tindakan awal dalam mengenali
simplisia biji mahoni Kabupaten Ponorogo?
2. Apa saja aspek parameter mutu yang dapat digunakan sebagai pedoman
dalam penjagaan kualitas ekstrak etanolik biji mahoni Kabupaten
Ponorogo?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji aspek-aspek pendahuluan yang dapat dilakukan untuk
mengenali simplisia biji mahoni Kabupaten Ponorogo.
2. Menetapkan parameter standar mutu pendahuluan ekstrak biji mahoni
Kabupaten Ponorogo
5
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat umum dan yang sedang melakukan penelitian, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber dalam
mengetahui ciri-ciri dan identitas khas dari biji mahoni (Swietenia
mahagoni (L.) Jacq.) sebagai bahan kajian ilmiah yang pada akhirnya
dapat dimanfaatkan dalam rangka mengenali simplisia biji mahoni.
2. Bagi Fakultas Farmasi UGM, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
mendukung kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang pengembangan
bahan baku obat herbal.
3. Bagi industri herbal dan obat tradisional, hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai gambaran awal dan informasi ilmiah dalam rangka
penelitian maupun sarana pertimbangan dalam rencana produksi obat
herbal yang menggunakan bahan baku biji mahoni.
4. Bagi Pemerintah khususnya Departemen Kesehatan, hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai bahan kajian ilmiah yang dapat digunakan
sebagai gambaran awal atau sarana masukan dalam penyusunan
Farmakope Herbal Indonesia dan produk aturan hukum lainnya.
6
E. Tinjauan Pustaka
1. Deskripsi tanaman Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.)
a. Nomenklatur
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Sapindales
Suku : Meliaceae
Marga : Swietenia
Spesies : Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
(Tjitrosoepomo, 2000)
b. Nama Indonesia
Mahagoni, Mahoni, Moni (Permadi, 2011), dan Maoni
(Wijayakusuma, 2008).
c. Morfologi tanaman
Gambar 1. Pohon Mahoni
7
Mahoni termasuk tumbuhan anggota suku Meliaceae, memiliki
ciri dan karakter sebagai tumbuhan berhabitus pohon, batang tumbuh
tegak, tinggi batang dapat mencapai 30 m. Helaian daun merupakan
daun majemuk dengan susunan daun majemuk menyirip, genap,
dengan jumlah anak daun 4-14 pasang pada setiap ibu tangkai daun,
letak helaian daun berhadapan, pangkal sampai tepi daun agak
melekuk, bentuk daun bulat telur atau bulat memanjang, ujung runcing
atau meruncing, ukuran helaian daun panjang 3-12 cm, lebar 1,3-5 cm,
dengan panjang tangkai daun 3-13 mm. Bunga majemuk tipe malai,
dengan panjang malai 2-10 cm, panjang tangkai bunga 1-4 mm;
kelopak berlekatan membentuk tabung kelopak, mahkota bunga hijau
kekuningan, panjang mahkota 3-4 mm; panjang tabung benang sari 2-3
mm, pangkal tabung benang sari mula-mula jingga dan setelah masak
berwarna merah; panjang putik 0,5 mm; buah berukuran 7-10 cm; biji
membulat dan pipih, ukuran biji termasuk sayapnya 4,5-5,5 cm; daging
biji dan sayap berongga, tumbuhan yang berbunga sepanjang tahun,
tumbuh di daerah kering (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1965).
Ada dua jenis tanaman mahoni, yaitu spesies mahoni Swietenia
mahagoni (L.) Jacq. dan Swietenia macrophylla King dengan
penampakan yang hampir sama persis (Sunanto, 2009). Namun
tanaman tersebut dapat dibedakan berdasarkan ukuran buah dan
daunnya. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. memiliki daun dan buah yang
relatif lebih kecil dan lebih melengkung, sedangkan Swietenia
8
macrophylla King memiliki daun yang lebih besar dan lebar serta buah
yang lebih besar (Santosa, 2014).
Gambar 2. Herbarium daun dan buah
Swietenia mahagoni (L.) Jacq. (Poppleton, 1971)
Gambar 3. Herbarium daun, sayap dan kulit buah
Swietenia mahagoni (L.) Jacq. (Poppleton, 1971)
9
d. Budi daya tanaman
Perlakuan pendahuluan dalam budi daya tidaklah begitu penting,
Perkecambahan benih (biji) dapat ditingkatkan dengan merendam
dalam air selama 12 jam. Untuk pengujian, benih dikecambahkan
pada media pasir dengan kisaran suhu 30 sampai 35°C, atau suhu
tetap 30°C selama 1 atau 0,5 jam terang/gelap. Di persemaian, benih
ditabur di bak pasir terbuka sedalam 3 sampai 7 cm atau langsung
ditabur di kantong. Benih akan berkecambah dalam 10 sampai 12 hari.
Bibit dijaga tetap dalam naungan sampai ditanam di lapangan setelah
tingginya mencapai 50–100 cm (Joker, 2001).
Tumbuhan dapat diperbanyak dengan menggunakan biji,
cangkok, maupun okulasi. Mahoni dirawat dengan disiram air yang
cukup, dijaga kelembapan tanahnya, dan dipupuk dengan pupuk
organik (Hariana, 2008).
e. Kandungan kimia
Kandungan kimia dari ekstrak etanolik biji mahoni antara lain
alkaloid, terpenoid, dan flavonoid. Menurut Shahidur dkk. (2009),
golongan triterpenoid yang terdapat di dalam biji mahoni adalah
senyawa limonoid, yaitu swietenin, swietenolida, swietemahonin,
kayasin, augustineolida, 7-deaseto-7-oksogenudin, 6-deoksi swietenin
proseranolida, 6-hidroksi swietenina, dan 6-O-asetil swietenolida
(Sianturi, 2001).
10
Biji mahoni juga memiliki kandungan metabolit sekunder berupa
alkaloid, flavonoid, terpenoid/steroid, dan saponin (Rasyad dkk.,
2012).
f. Khasiat dan kegunaan
Secara empiris, biji mahoni telah digunakan masyarakat unuk
pengobatan dengan cara menumbuk biji mahoni sampai halus,
ditambah dengan air hangat, dan diminum secara langsung sehingga
komponen biji mahoni dapat masuk ke dalam tubuh, namun jika tahan
pahit, biji mahoni dapat dimakan mentah-mentah (Hamzari, 2008). Biji
mahoni juga dapat berfungsi sebagai penurun kadar gula darah (Raja,
2008). Selain itu biji mahoni memiliki efek antibakteri (Haryanti,
2002) dan aktivitas antioksidan (Kumar & Kumar, 2009). Menurut
Hariana (2007), biji mahoni juga bermanfaat sebagai penurun panas,
penurun tekanan darah, mengobati rematik, menambah nafsu makan,
dan untuk mengobati eksim.
2. Standardisasi Obat Herbal/Tradisional dan Parameter Mutu
a. Dasar dan pengertian standardisasi
Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian
parameter, prosedur, dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan
unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu dalam artian
memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk
jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian pada
umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter
11
standar umum dan parameter standar spesifik. Hal ini berkaitan dengan
tegaknya aspek quality, safety dan efficacy (Wahyono, 2013).
Standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir
obat (ekstrak bahan alam) mempunyai nilai parameter tertentu yang
konstan (ajeg) dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih
dahulu. Pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup
berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik
(Wahyono dkk., 2013).
Obat tradisional atau yang disebut juga dengan obat herbal adalah
material herbal yang digunakan untuk kepentingan terapi, baik zat
aktifnya sudah diketahui ataupun belum (Gaedcke & Steinhof, 2003).
Obat herbal merupakan tanaman atau bagian dari tanaman yang telah
diproses hingga siap digunakan (Hansel, 1991). Definisi menurut
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia yang
tercantum dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.41.1384
tahun 2005, menerangkan bahwa Obat Tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Sedangkan Jamu adalah nama lazim bagi obat tradisional
yang berasal dari Indonesia.
Tanaman obat meliputi tanaman liar dan tanaman yang ditanam
secara industri (kultivasi) yang dapat digunakan untuk tujuan
12
pengobatan, baik secara langsung maupun tidak langsung karena
bahan berkhasiat (aktif) yang dikandungnya (Agoes, 2007).
Pemeriksaan mutu simplisia sebaiknya dilakukan secara periodik.
Pertama kali dilakukan perhatian khusus pada saat bahan simplisia
diterima dari pengepul atau pedagang lainnya. Buku pedoman yang
digunakan sebagai pegangan adalah Materia Medika Indonesia atau
Farmakope Indonesia. Agar diperoleh simplisia yang tepat, sebaiknya
dilakukan arsipasi simplisia sebagai standar intern atau pembanding.
Mengenai pemeriksaan mutu, akan lebih baik lagi jika dibangun suatu
laboratorium pemeriksaan mutu simplisia atau obat tradisional yang
terakreditasi serta dapat melayani kebutuhan pemeriksaan mutu dari
produsen obat tradisional. Setelah pemeriksaan mutu dan ternyata
sesuai standar obat herbal, maka obat herbal dapat digunakan untuk
kesehatan (Emilan dkk., 2011).
b. Proses Ekstraksi
Penyarian merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut
dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Zat aktif
yang awalnya berada di dalam sel, ditarik cairan penyari sehingga
terjadi pelarutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut. Pada
umumnya penyarian akan bertambah baik apabila permukaan
serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas
(Anonim, 1986).
13
Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria berikut:
1) Murah dan mudah diperoleh
2) Stabil secara fisik dan kimiawi
3) Bereaksi netral
4) Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
5) Selektif dalam menyari zat yang berkhasiat
6) Tidak berpengaruh terhadap zat berkhasiat
7) Diizinkan oleh peraturan
(Anonim, 1986)
Metode penyarian itu sendiri dapat dibedakan menjadi:
infundasi, maserasi, perkolasi, dan penyarian berkesinambungan
(Anonim, 1986).
c. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke
dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel
dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat
aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi larutan di
dalam dan di luar sel, larutan yang terpekat didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel (Anonim, 1986).
Penyarian dengan metode maserasi memerlukan pengadukan
secara berkala agar tidak terjadi kejenuhan penyari pada lapisan
14
antara cairan penyari dan bahan yang disari. Keuntungan cara
penyarian dengan maserasi yaitu cara pengerjaan dan peralatan
yang digunakan sederhana dan mudah dilakukan. Kerugian cara
maserasi yaitu waktu pengerjaan lama dan penyarian kurang
sempurna (Anonim, 1986).
Remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya, dengan
kata lain adalah replikasi dengan pelarut yang sama dengan jumlah
sama terhadap bahan (Anonim, 2000).
d. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah
ditentukan (Anonim, 1995).
Penguapan (pemekatan) merupakan peningkatan jumlah bagian
solut (senyawa terlarut) secara penguapan tanpa sampai menjadi
kondisi kering, namun hanya sampai menjadi kental atau pekat
(Anonim, 2000).
15
e. Parameter Non-Spesifik
1) Susut pengeringan
Susut pengeringan merupakan kadar bagian yang menguap
dari suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, sebanyak 1 g sampai 2 g zat
ditetapkan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai
bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan
mendingin dalam keadaan tertutup di dalam eksikator hingga suhu
kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan,
pengeringan dilakukan pada suhu antara 5°C dan 10°C dibawah
suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu
penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap
(Anonim, 1989).
Tujuan dari susut pengeringan adalah untuk memberikan
batas maksimal (rentang) besarnya senyawa yang hilang selama
proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait
dengan kemurnian dan kontaminasi (Anonim, 2000). Pada biji,
susut pengeringan yang dipersyaratkan adalah kurang dari 10%
(Agoes, 2007).
2) Kadar abu total
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai
tujuan antara lain:
a) menentukan baik tidaknya suatu pengolahan,
b) mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan
16
c) penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan.
(Pine dkk., 2011)
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu
fisiologik apabila simplisia dipijarkan hingga seluruh unsur
organik hilang. Abu fisiologik merupakan abu yang diperoleh dari
sisa pemijaran (Anonim, 2000).
Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai
terbentuknya ekstrak. Nilai maksimal atau rentang yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi berkaitan
dengan zat anorganik (Anonim, 2000).
Prinsip kerja penetapan kadar abu adalah dengan
memasukkan 1 g sampai 2 g zat yang telah ditimbang saksama,
kemudian dipijarkan perlahan hingga arang habis lalu didinginkan
dan ditara (Anonim, 1989).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada
macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar berhubungan dengan
mineral yang dikandung dalam suatu bahan. Mineral yang terdapat
dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu:
a) Garam-garam organik, misalnya garam dari asam malat,
oksalat, asetat, pektat, dan lain-lain.
17
b) Garam-garam anorganik, misalnya fosfat, karbonat,
klorida, sulfat nitrat, dan logam alkali.
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat
terbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organik.
Menentukan jumlah mineral dalam bentuk aslinya memerlukan
proses yang sangat sulit, oleh karena itu biasanya hanya dilakukan
penetapan kadar abu dari sisa pembakaran garam mineral tersebut
(Sudarmadji, 1986).
3) Kadar abu tak larut asam
Penetapan kadar abu tidak larut asam merupakan kelanjutan
dari penetapan kadar abu, yaitu dengan melarutkan hasil abu dari
penetapan kadar abu sebelumnya dalam larutan asam. Parameter
ini memberikan profil mengenai kemungkinan adanya senyawa
yang tidak larut terhadap asam. Nilai maksimal atau rentang yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi
(Anonim, 2000).
Besarnya kadar abu total dalam ekstrak mengindikasikan
bahwa ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi dan infudasi
banyak mengandung mineral. Sedangkan kandungan abu yang
tidak larut dalam asam menunjukkan adanya pasir atau kotoran
yang lain (Pine dkk., 2011).
18
4) Kadar sari larut air dan etanol
Kadar sari larut air adalah kadar senyawa yang dapat larut
dalam air. Tujuan dilakukan penetapan ini adalah untuk
memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa yang larut
dalam air (Anonim, 2000).
Kadar sari larut etanol adalah kadar senyawa yang dapat
larut dalam etanol. Tujuan dilakukan penetapan ini adalah untuk
memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa yang larut
dalam etanol. (Anonim, 2000).
Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan
kelarutan dalam air. Sedangkan sifat lipofilik atau hidrofobik
berhubungan dengan kelarutan dalam lemak. Gugus yang
meningkatkan kelarutan dalam air disebut gugus hidrofilik (polar)
sedangkan gugus yang meningkatkan kelarutan dalam lemak
disebut gugus lipofilik (non polar). Sifat kelarutan berhubungan
dengan aktivitas biologis obat. Senyawa yang lebih non polar akan
lebih mudah dalam menembus membran lipid (Siswandono, 2014).
5) Kadar air
Parameter kadar air merupakan banyaknya hidrat yang
terkandung dalam bahan. Tujuan penetapan kadar air adalah untuk
memberikan batasan maksimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air di dalam bahan. Nilai maksimal atau rentang yang
19
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi
(Anonim, 2000).
Kadar air berhubungan dengan potensi tumbuhnya
mikroorganisme yang dapat menurunkan daya tahan bahan.
Parameter ini juga dapat menggambarkan besaran potensi
degradasi senyawa akibat proses hidrolisis atau degradasi karena
mikroorganisme dengan air sebagai pendukungnya (Pramono,
2014).
Air dalam suatu bahan makanan terdapat dalam tiga bentuk
yaitu air bebas, air terikat secara lemah, dan air terikat kuat.
a) Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antarsel dan inter
granular dan pori-pori yang terdapat dalam bahan.
b) Air yang terikat secara lemah karena (teradsorbsi) pada
permukaan koloid makromolekuler seperti protein, pectin,
pati, sellulosa. Selain itu, air juga terdispersi di antara koloid
tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel.
Air yang ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat
air bebas dan dapat dikristalkan pada proses pembekuan.
Ikatan antara air dengan koloid tersebut merupakan ikatan
hidrogen.
c) Air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat.
Ikatannya bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan
atau diuapkan.
20
Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu
terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses
mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan oleh aktivitas serangga
perusak. Sedangkan air dalam bentuk lainnya tidak membantu
terjadinya proses kerusakan tersebut diatas. Oleh karenanya kadar
air bukan merupakan parameter absolut yang dapat dipakai untuk
meramalkan kecepatan terjadinya kerusakan bahan makanan.
Dalam hal ini digunakan pengertian Aw (Aktivitas air) untuk
menentukan kemampuan air dalam proses kerusakan bahan
makanan (Sudarmadji dkk., 1996).
Biji dapat mengalami masa tidak aktif (dormansi) akibat
kandungan air dalam biji yang rendah, yaitu sekitar 5-10%.
Dormansi pada biji dapat dilihat dari kulit biji yang keras yang
menghalangi penyerapan air dan oksigen. Peningkatan kandungan
air dalam biji dapat memicu pengaktifan enzim-enzim dalam
kotiledon yang akan merombak cadangan makanan menjadi
molekul-molekul sederhana, yang selanjutnya akan diangkut
menuju lokasi pertumbuhan pada embrio (Furqonita, 2007).
f. Parameter Spesifik
1) Parameter Identitas
Parameter identitas meliputi deskripsi tata nama (nama
ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan,
nama Indonesia tumbuhan) dan dapat mempunyai senyawa
21
identitas. Tujuannya untuk memberikan identitas objektif dari
nama dan identitas spesifik dari senyawa identitas (Anonim, 2000).
2) Organoleptik
Parameter organoleptik merupakan cara mendeskripsikan
bentuk, warna, bau, dan rasa dengan menggunakan panca indera.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk pengenalan awal
yang sederhana dan seobjektif mungkin (Anonim, 2000).
3) Profil kromatografi lapis tipis (KLT)
Pada parameter profil kromatografi lapis tipis atau pola
kromatogram, ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan
cara tertentu, lalu dianalisis kromatografi sehingga memberikan
pola kromatogram yang khas. Parameter ini mempunyai tujuan
untuk memberikan gambaran awal komponen kandungan kimia
berdasarkan pola kromatogram (Anonim, 2000).
3. Analisis Mikroskopi
Analisis mikroskopi dari material herbal didasarkan pada bentuk,
ukuran, warna, karakteristik permukaan, tekstur, dan penampakan
penampang melintangnya. Bagaimanapun penilaian terhadap aspek ini
sangat subjektif. Kehadiran dari konten-konten pengotor sel seperti plastid,
lemak, minyak, dan sebagainya dapat mengganggu pengamatan. Reagen
yang dapat melarutkan beberapa dari konten tersebut dapat digunakan
untuk menjernihkan pandangan dalam proses pengamatan. Beberapa
reagen yang sering digunakan untuk pengamatan adalah Chloralhydrate,
22
Lactochoral, Lactophenol, Sodium Hypochlorite. Selain itu digunakan
juga solven untuk lemak dan minyak seperti Xylene dan Light Petroleum
(World Health Organization, 1998).
a. Struktur umum tumbuhan biji tertutup (angiospermae)
Angiospermae merupakan tumbuhan berbiji tertutup yang memiliki
bunga. Ciri-ciri angiospermae adalah memiliki akar, batang, daun, dan
bunga yang sesungguhnya. Organ reproduksi terletak pada bunga.
Selain itu memiliki bentuk yang bervariasi. Bunga pada angiospermae
memiliki bagian steril, yaitu sepal (mahkota) dan petal (kelopak).
Bagian reproduksinya adalah stamen (benang sari) untuk jantan dan
pistillium (putik) untuk betina. Semua anggota angiospermae
ditempatkan dalam satu divisi yakni Antophyta. Divisi Antophyta
dibagi menjadi dua kelas, yakni monokotil dan dikotil (Ferdinand &
Ariebowo, 2007).
Biji mengandung tumbuhan embrio, yang diselubungi dan
dilindungi oleh kulit biji, serta dilindungi dengan sumber makanan
cadangan. Embrio tumbuhan terdiri atas sumbu kecil dengan dua kutub
(titik tumbuh tunas akar dan titik tumbuh tunas pucuk). Pada sumbu
kecil itu, terdapat kotiledon atau keping biji yang berkedudukan
menyamping. Makanan yang diperlukan untuk perkecambahan anak
tumbuhan biasanya disimpan dalam keping-keping biji atau dalam
endosperma (Fahn, 1982).
23
Biji dapat berkecambah karena di dalamnya terdapat embrio atau
lembaga tumbuhan. Embrio atau lembaga tumbuhan memiliki tiga
bagian, yaitu akar lembaga/calon akar (radikula), daun lembaga
(kotiledon), dan batang lembaga (kaulikulus).
Gambar 4. Bagian biji tanaman dikotil (Aryulina dkk., 2004)
Dycotiledonae atau tumbuhan biji belah adalah tumbuhan yang
bijinya memiliki dua daun lembaga. Biji ini jelas terlihat terdiri atas
dua belahan atau dua keping. Lembaga adalah calon tumbuhan baru,
biasa disebut dengan istilah embrio. Daun lembaga (cotyledo)
merupakan daun pertama pada suatu tumbuhan.
Daun lembaga dapat memiliki fungsi yang berbeda-beda antara
lain:
1) Sebagai tempat penimbunan makanan, yang kemudian terlihat
tebal, seringkali berbentuk cembung pada satu sisi dan rata pada
sisi yang lainnya, jumlahnya biasanya dua dan duduk berhadapan
pada sisi yang rata. Seringkali fungsi ini membuatnya dinamakan
sebagai belahan biji atau keping biji, yang sebenarnya tidak tepat.
2) Sebagai alat untuk melakukan asimilasi, hal ini sama seperti daun-
daun tumbuhan biasanya. Seringkali dapat kita saksikan bahwa
24
daun-daun lembaga itu kemudian berwarna hijau dan tinggal agak
lama pada tumbuhan yang masih kecil.
3) Sebagai alat penghisap makanan untuk lembaga dari putih lembaga
(albumen). Dalam hal ini, daun lembaga merupakan suatu alat
berupa lapisan tipis yang memisahkan putih lembaga dari
lembaganya. Oleh karena bentuknya seperti perisai kecil, biasanya
dinamakan skuletum (sculletum). Dalam keadaan ini biji sama
sekali tidak memperlihatkan belahan atau keping biji.
Gambar 5. Bagian-bagian biji (Saktiyono, 2004)
Biji pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu
kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus), dan inti biji (isi biji).
Pada tumbuhan Angiospermae, kulit biji memiliki dua lapisan yaitu
kulit luar (testa) dan kulit dalam (tegmen). Kulit luar bersifat tipis
tetapi keras, sedangkan kulit dalam tipis seperti selaput dan sering
disebut kulit ari. Tali pusat (funiculus) merupakan bagian yang
menghubungkan biji dengan papan biji (plasenta). Jika biji telah
masak, tali pusat lepas sehingga pada biji hanya terlihat bekasnya
sebagai pusat biji (hilus). Inti biji (nucleus seminis) adalah semua
25
bagian biji yang terdapat di dalam kulit ari, terdiri dari lembaga
(embrio) sebagai calon individu baru dan putih lembaga (endosperm)
sebagai tempat cadangan makanan. Tidak semua biji memiliki putih
lembaga, seperti pada Leguminoceae (polong-polongan), cadangan
makanan tersimpan dalam daun lembaga (Mikrajuddin dkk., 2007).
b. Jaringan tumbuhan
Tumbuhan tersusun atas berbagai jaringan. Banyaknya
pengetahuan tentang struktur jaringan menyebabkan kesulitan dalam
memberi definisi yang tepat kepada suatu jaringan. Definisi jaringan
adalah sekelompok sel dengan asal usul, struktur, dan fungsi yang
sama. Definisi ini tidak tepat untuk semua kasus. Diperlukan definisi
yang lebih lentur untuk jaringan tumbuhan tingkat tinggi. Bentuk-
bentuk peralihan menimbulkan kesulitan dalam pengelompokan
jaringan. Percobaan dengan suatu perlakuan dapat menyebabkan suatu
tipe sel berubah menjadi tipe sel yang lain. Sebagai contoh, sel
parenkim dapat dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi unsur
berpembuluh. Jaringan mungkin juga terdiri atas sel yang berbeda
bentuk, bahkan fungsinya, tetapi susunannya selalu sama. Berdasarkan
jumlah tipe sel penyusunnya, jaringan dibedakan menjadi jaringan
sederhana dan jaringan rumit. Jaringan sederhana bersifat homogen,
hanya terdiri atas satu tipe sel, sedangkan jaringan rumit bersifat
heterogen, terdiri atas dua atau lebih tipe sel. Parenkim, kolenkim, dan
26
sklerenkim adalah jaringan sederhana, sedangkan xilem, floem, dan
epidermis adalah jaringan rumit (Mulyani, 2006).
Masing-masing jaringan pada hewan menunjukan perbedaan yang
mudah diamati. Sedangkan pada tumbuhan, batas-batas antara jenis-
jenis jaringanya cenderung kabur dan satu jenis jaringan bisa berubah
menjadi jaringan lain seiring degan tahap perkembangannya. Selain
itu, ciri-ciri struktural yang tampak begitu jelas pada sel-sel hewan,
sangat tidak jelas pada sel-sel tumbuhan (Fried & Hademenos, 1999).
1) Jaringan Meristem
Pada tahap perkembangan embrio, semua sel mengalami
pembelahan. Pertumbuhan dan perkembangan sel lebih lanjut
menunjukkan adanya diferensiasi menjadi bagian khusus tumbuhan
dan juga masih ada sel yang tetap bersifat embrional, yaitu mampu
mengadakan pembelahan secara terus menerus. Jaringan embrional
dalam tubuh tumbuhan dewasa ini disebut meristem. Pembelahan
sel juga dapat terjadi dalam jaringan selain jaringan meristem,
contohnya dalam korteks batang muda dan pada perkembangan
jaringan pembuluh. Pembelahan dalam jaringan ini terbatas.
Sementara, sel meristem terus menerus membelah sehingga
menghasilkan sel baru yang menambah tubuh tumbuhan. Ada pula
meristem yang mengalami masa istirahat sementara.
Sifat sitologi meristem; sel meristem biasanya berdinding
tipis, bentuknya lebih isodiametris dibandingkan dengan sel
27
jaringan dewasa dan relatif lebih banyak mengandung protoplasma.
Biasanya protoplas sel meristem tidak mengandung bahan
cadangan dan kristal. Hampir semua sel meristem pucuk dari
sejumlah besar tumbuhan, khususnya angiospermae, memiliki
vakuola yang sangat kecil, tidak terlihat, dan tersebar dalam
protoplas. Pada Pteridophyta, beberapa sel meristem pucuk
memiliki vakuola yang jelas. Sel kambium juga mempunyai
banyak vakuola.
Ukuran sel meristem beragam. Perbandingan antara ukuran
sel dan inti sangat besar. Dinding sel meristem biasanya tipis, tetapi
sel tertentu dalam meristem pucuk mempunyai dinding tebal
(Mulyani, 2006).
2) Jaringan Parenkim
Jaringan parenkim merupakan jaringan dasar yang ditemukan
pada hampir semua bagian (organ) tumbuhan. Jaringan parenkim
disebut sebagai jaringan dasar karena menyusun sebagian besar
jaringan pada akar, batang, daun, dan buah, serta terdapat diantara
jaringan lain seperti xilem dan floem. Jaringan parenkim dapat
dibedakan dengan jaringan lain karena memiliki ciri-ciri :
a) Sel-selnya merupakan sel hidup yang berukuran besar dan
tipis, serta umumnya berbentuk segi enam
b) Memiliki banyak vakuola
c) Letak inti sel mendekati dasar sel
28
d) Mampu bersifat embrional atau meristematis karena dapat
membelah diri
e) Memiliki ruang antar sel yang banyak sehingga letaknya tidak
rapat (Aryulina dkk., 2004).
Beberapa tumbuhan memiliki sel parenkim dengan vakuola
yang cukup besar untuk menyimpan damar atau getah. Secara
umum, sel parenkim berfungsi dalam fotosintesis, respirasi, sekresi,
serta penyimpanan makanan cadangan dan air (Ferdinand &
Ariebowo, 2007).
3) Jaringan Kolenkim
Jaringan kolenkim merupakan jaringan hidup yang memiliki
banyak sifat jaringan parenkim dan secara struktural dapat
dianggap sebagai jaringan parenkim khusus yang menunjang organ
muda pada tumbuhan. Bila kolenkim dan parenkim terletak
berdampingan, keduanya akan berbaur menjadi bentuk transisi.
Kemiripan antara kolenkim dan parenkim juga ditunjukkan oleh
sering terdapatnya kloroplas pada kolenkim dan kemampuan
kolenkim untuk melanjutkan aktivitas meristem. Sel-sel kolenkim
memanjang ke arah poros panjang organ tempatnya berada dan
ditandai oleh adanya sel primer yang berdinding sel tebal dan tidak
berlignin (tidak memiliki zat kayu). Walaupun demikian, penebalan
dinding sel-sel kolenkim tidak merata pada seluruh permukaan
29
dinding dalam sel, melainkan menebal pada sudut-sudut sel
(Aryulina dkk., 2004).
4) Jaringan Sklerenkim
Jika jaringan kolenkim berfungsi sebagai penunjang organ-
organ muda, maka jaringan sklerenkim memiliki peran sebagai
penyokong organ-organ tua. Ketika pertumbuhan pada organ sudah
mulai berkurang, jaringan kolenkim yang dominan, perlahan
digantikan perannya oleh jaringan sklerenkim yang jauh lebih kuat.
Jaringan sklerenkim merupakan jaringan sel yang mengalami
penebalan di seluruh bagian dinding selnya. Dinding selnya lebih
kuat dibandingkan jaringan kolenkim. Hal tersebut karena sel
sklerenkim memiliki lignin (Ferdindand & Ariebowo, 2007).
Jaringan sklerenkim umumnya terdapat pada bagian-bagian
keras seperti tulang daun dan batang. Jaringan sklerenkim tersusun
oleh sel-sel dengan dinding yang keras. Jaringan sklerenkim
berfungsi menutup bagian luar dari biji atau buah, biasanya pada
kenari dan tempurung kelapa (Saktiyono, 2004).
5) Jaringan Epidermis
Jaringan epidermis merupakan lapisan sel paling luar pada
daun, akar, buah, biji, dan batang. Jaringan epidermis terdiri atas
deretan sel tunggal yang tersusun rapat. Jaringan epidermis
memiliki beberapa modifikasi, baik yang terdapat pada akar,
batang, maupun daun. Pada dinding sel-sel epidermis terdapat
30
lapisan lilin atau kutikula yang dapat mencegah atau
meminimalisasi hilangnya air dari tumbuhan. Lapisan tersebut juga
berguna sebagai pelindung terhadap serangan bakteri dan
organisme patogenik lainnya. Pada umunya jaringan epidermis
berfungsi sebagai pelindung untuk semua bagian tumbuhan.
Namun, fungsi demikian dapat menjadi berkembang dengan
ditemukannya beberapa modifikasi pada jaringan epidermis. Pada
permukaan daun bagian bawah, terdapat bentuk modifikasi dari sel-
sel epidermis, yaitu berupa sel penutup pada stomata (mulut daun).
Susunan sel-sel epidermis pada akar tidak serapat pada daun
sehingga air dan mineral dapat masuk ke dalam tumbuhan. Pada
tumbuhan berkayu yang telah tua, sel epidermis batang berganti
membentuk jaringan gabus. Lapisan gabus pada tumbuhan berguna
untuk memperbesar daya perlindungan batang dan mengurangi
pengupan air (Sudjadi & Laila, 2007).
c. Preparasi bahan uji
Preparasi bahan uji dapat dilakukan dengan cara
membersihkannya dari kotoran dengan air mengalir, kemudian
ditiriskan dan dibuat penampang melintang, diberi kloralhidrat,
dipanaskan, dan kemudian diamati dengan mikroskop (Mulyani dkk.,
2013).
31
d. Reagen kloralhidrat
Kloralhidrat merupakan salah satu dari beberapa reagen penjernih
dalam analisis mikroskopi. Fungsi dari kloralhidrat sebagai reagen
penjernih sudah diketahui sejak lama dan telah digunakan oleh
berbagai kalangan dalam berbagai protokol penelitian, untuk
menganalisis berbagai bahan dan spesies secara mikroskopi. Dalam
penggunaannya kloralhidrat mampu membuat preparat menjadi lebih
transparan, secara nyata mengatasi problema pencahayaan yang
biasanya ada pada pengamatan mikroskopi, sehingga gambar dapat
diamati dengan lebih jelas dan dengan resolusi yang lebih tinggi
(Haselof, 2003). Pada akhirnya kloralhidrat menjadi standar industri
dan reagen penting yang diperlukan dalam penaksiran kualitas produk
herbal (Villani dkk., 2013).
e. Pembuatan reagen kloralhidrat
Sejumlah 80,0 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 mL air dengan
pemanasan (Stahl, 1973).
4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Egon
Stahl dengan menghamparkan penyerap pada lempeng gelas, sehingga
berupa lapisan tipis. KLT merupakan kromatografi serapan, tetapi dapat
juga merupakan kromatografi partisi karena bahan penyerap telah dilapisi
air dari udara. Sistem ini memberikan banyak keuntungan, yaitu peralatan
32
yang diperlukan sedikit, relatif murah, sederhana, waktu analisis cepat,
dan daya pisah cukup baik (Sudjadi, 1988).
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya
metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua,
dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan
dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi
(Gritter dkk., 1985).
a. Dasar kromatografi lapis tipis
Konsep pemisahan pada sistem KLT adalah berdasarkan
perbedaan polaritas. Pemisahan dilakukan akibat keseimbangan
berturutan cuplikan dalam dua fasa, satu diantaranya (fase gerak)
bergerak terhadap yang lainnya (fase diam). Terjadi proses
penyebaran molekul cuplikan karena proses nonideal (Sudjadi, 1988).
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan
fisikokimia. Fase diam ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas,
logam, ataupun lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah,
berupa larutan, ditotolkan pada fase diam berupa bercak maupun garis
(awal). Selanjutnya fase diam dimasukkan ke dalam bejana tertutup
rapat yang telah berisi fase gerak yang sesuai. Pemisahan terjadi
selama pengembangan, selanjutnya senyawa yang tidak berwarna
dideteksi dengan metode yang sesuai (Stahl, 1973).
33
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya
dinyatakan dengan angka Rf atau hRf
Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat
ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h),
menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1973).
b. Fase diam
Pada semua prosedur kromatografi, kondisi optimum suatu
pemisahan merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase
gerak. Dalam KLT, fase diam harus mudah didapat. Pada umumnya
fase diam yang digunakan adalah silika gel. Fase diam dapat
dikelompokkan berdasarkan beberapa hal, yaitu sifat kimianya;
senyawa organik atau anorganik, dan mekanise pemisahan. Namun
ada beberapa faase diam yang sukar dikelompokkan seperti poliamida
dan porapak (Sudjadi, 1988).
Silika gel merupakan fase diam yang paling sering digunakan
untuk KLT. Untuk penggunaan dalam suatu tipe pemisahan
perbedaannya tidak hanya pada struktur tetapi juga pori-pori dan
struktur lubangnya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan disamping
pemilihan fase gerak. Dalam perdagangan, silika gel mempunyai
ukuran 10 sampai 40 µ. Ukuran ini terutama mempengaruhi kecepatan
alir dan kualitas pemisahan. Sedangkan proses serapan terutama
34
dipengaruhi oleh ukuran porinya, yang bervariasi antara 20 sampai
150 Å. Masalah aktivasi silika gel tidak begitu mempengaruhi
kebanyakan jenis pemisahan, tetapi deaktivasi silika gel merupakan
hal yang perlu dipertimbangkan. Derajat deaktivasi ditentukan oleh
kelembapan relatif kamar dimana pemisahan dilakukan dan lempeng
silika gel disimpan (Sudjadi, 1988).
Ada beberapa macam silika gel yang beredar, diantaranya:
1) Silika gel dengan pengikat
2) Silika gel dengan pengikat dan indikator fluoresensi
3) Silika gel tanpa pengikat
4) Silika gel tanpa pengikat dengan indikator fluoresensi
5) Silika gel untuk keperluan pemisahan preparatif.
Jenis silika gel dengan pengikat dan indikator fluoresensi
biasanya berfluoresensi kehijauan jika dilihat pada sinar ultraviolet
pada panjang gelombang pendek. Sebagai indikator biasanya
digunakan timah-kadmium sulida atau mangan-timah silikat aktif.
Jenis ini biasa dikenal sebagai Silica Gel GF atau GF254 (Sudjadi,
1988).
c. Fase Gerak
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa macam pelarut, yang bergerak dalam fase diam karena
adanya gaya kapiler. Pelarut yang digunakan adalah pelarut berderajat
analitik, jika dimungkinkan campuran pelarut yang paling baik adalah
35
yang paling sederhana dan tidak lebih dari tiga macam campuran.
Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian volume
sedemikian rupa sehingga volume total adalah 100 (Stahl, 1973).
Pada proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silika gel,
alumina, dan fasa diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan
kromatografi kolom serapan. Sistem tak berair paling banyak
digunakan dan contoh pelarut organik dalam seri pelarut mikrostop
adalah sebagai berikut:
1) Kelompok pemisahan senyawa hidrofil, contohnya adalah
air, formaldehida, metanol, asam asetat, etanol, isopropanol,
aseton, n-propanol, tert-butanol, fenol, n-butanol, dan
lainnya.
2) Kelompok pemisahan senyawa lipofil, contohnya adalah n-
amil alkohol, etil asetat, eter, n-butil asetat, kloroform,
benzena, tolueana, sikloheksana, eter petroleum, petroleum,
minyak parafin, dan lainnya.
Jika fase gerak yang digunakan adalah sistem pelarut campuran,
pada lapisan fase diam, susunan pelarut itu dapat mengalami
perubahan sedikit demi sedikit. Hal ini akan menghasilkan pemisahan
yang kurang baik. Oleh karena itu sistem dua pelarut lebih disenangi.
Hal yang mempengaruhi kualitas pemisahan adalah kejenuhan bejana
pengembang. Penyusunan sistem pelarut dapat dipilih sesuai dengan
kemampuan membentuk ikatan hidrogen dalam satu seri dari hidrofil
36
sampai ke hidrofob. Kombinasi pelarut yang mempunyai sifat berbeda
memungkinkan didapatkannya sistem pelarut yang cocok (Sudjadi,
1988).
d. Prinsip kromatografi jerap
Penjelasan berikut adalah konsep dari kromatografi jerap:
1) Hidrokarbon jenuh terjerap sedikit atau tidak sama sekali. Oleh
karena itu ia akan bergerak paling cepat. Penjerapan hidrokarbon
tidak jenuh meningkat dengan meningkatnya jumlah ikatan
rangkap dan ikatan rangkap terkonjugasi. Oleh karena itu, untuk
pemisahan harus digunakan suatu penjerap yang aktif dan pelarut
pengembang yang kurang polar. Kemungkinan lainnya adalah
dengan pembalikan fase. Dalam hal ini fase diam dibacem dengan
suatu lipida dan sebagai pelarut digunakan pelarut hidrofilik.
2) Bila gugusan fungsi dimasukkan ke dalam suatu hidrokarbon,
afinitas jerap naik menurut urutan berikut:
Misalnya jika digunakan benzena sebagai larutan
pengembang, eter dan ester akan terdapat pada bagian atas
kromatogram KLT berlapis silika gel atau aluminium hidroksida,
keton, dan aldehida kurang lebih berada di tengah, alkohol berada
di bawahnya, sedangkan asam berada di titik awal. Dengan kata
lain, pemisahan terjadi menurut kepolaran senyawa dalam larutan
uji (Stahl, 1973).
37
e. Senyawa pembanding
Disamping larutan cuplikan, selalu ada suatu campuran
pembanding yang dielusi bersamaan dengan sampel. Campuran
senyawa pembanding dapat terdiri atas 1 – 5 senyawa yang diketahui,
dengan konsentrasi yang diketahui pula. Bila mungkin, senyawa
pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat di dalam larutan
cuplikan atau sampel. Namun, senyawa lain yang berbeda boleh
digunakan jika memiliki sifat rambat yang serupa dengan senyawa
cuplikan. Jika mungkin, akan lebih baik digunakan pelarut yang sama
untuk membuat larutan pembanding dan larutan cuplikan (Stahl,
1973).
Dalam proses pembuatan larutan uji, jumlah obat atau sampel
yang ditimbang harus sedikit, jika dimungkinkan lakukan maserasi
sederhana dengan memakai pelarut yang jumlahnya minimum (0,5 – 5
mL). Selanjutnya ekstraksi dapat dilakukan dalam tabung reaksi kecil.
Endapan yang tersisa dapat dihilangkan dengan beberapa cara, antara
lain dengan pemusingan (sentrifugasi) atau dengan penyaringan
melalui corong yang telah diberi kertas saring atau kapas (Stahl,
1973).
Zat indikatif (senyawa pembanding) dapat dipilih di antara
konstituen tanaman obat, tanpa memandang apakah zat ini merupakan
zat aktif atau zat lain yang terdapat dalam tanaman. Syaratnya adalah
38
karakteristik untuk tanaman obat yang diteliti mudah untuk
ditunjukkan (Agoes, 2007).
f. Pengembangan kromatogram
Kromatogram biasanya dikembangkan dengan teknik naik linier
dengan menggunakan bejana pengembang gelas atau logam. Pada
bejana itu diberi kertas saring dan fase gerak sampai kedalaman 0,5
cm. Agar pemisahannya baik, jarak antara permukaan fase gerak dan
garis batas harus sama (1 – 2 cm). Harga Rf sering tidak sama karena
perbedaan kejenuhan (Sudjadi, 1988).
g. Penetapan kadar secara KLT-Densitometri
KLT dapat digunakan untuk penetapan kuantitatif dengan cara
mengukur besar dan intensitas pada bercak. Alat untuk mengukur
besar dan intensitas bercak secara langsung pada lempeng KLT adalah
densitometer, yang terdiri dari alat mekanik yang menggerakkan
lempeng atau alat pengukur sepanjang sumbu x dan y, perekam,
integrator atau komputer yang sesuai. Untuk zat yang memberikan
respon terhadap UV-vis, fotometer dengan sumber cahaya, digunakan
alat optik yang mampu menghasilkan cahaya monokromatis dan foto
sel dengan sensitivitas yang sesuai untuk mengukur pantulan. Pada
pengukuran fluoresensi, diperlukan filter yang sesuai untuk mencegah
cahaya yang digunakan untuk eksitasi mencapai fotosel dengan
membiarkan emisi yang spesifik dapat lewat. Rentang linearitas dari
alat pencacah harus diverifikasi. Jika perlu dilakukan penotolan pada
39
lempeng tidak kurang dari 3 larutan baku dari zat yang ditetapkan,
dengan kadar di antara perkiraan zat dalam larutan uji (misal: 80%,
100%, 120%). Jika perlu dilakukan derivatisasi dengan pereaksi dan
rekam pantulan atau fluoresensi pada kromatogram. Gunakan hasil
pengukuran untuk perhitungan jumlah zat dalam larutan uji (Anonim,
2008).
h. Metode Identifikasi (Deteksi)
Menurut Sudjadi (1988), untuk melihat senyawa tak berwarna
pada lempeng, biasanya digunakan metode sebagai berikut:
1) Melihat kromatogram di bawah sinar ultraviolet (254 nm
atau 366 nm)
a) Pada lapisan berfluoresensi, misalnya silika gel GF254,
bercak muncul sebagai noda hitam.
b) Untuk senyawa berfluoresensi, digunakan lapisan biasa,
bercak terlihat berfluoresensi.
2) Menyemprot dengan pereaksi yang menghasilkan warna dan
atau berfluoresensi.
i. Anisaldehida-Asam Sulfat
Anisaldehida-asam sulfat adalah nama lain atau singkatan dari
pereaksi anisaldehida yang dilarutkan dalam larutan asam sulfat.
Anisaldehida juga dapat dibuat dalam larutan lain seperti dalam asam
asetat. Anisaldehida (4-Methoxybenzaldehyde, C8H8O2) merupakan
senyawa berbentuk cair dalam suhu ruang, tidak berwarna (colourless)
40
sampai berwarna kuning, larut baik dalam air dan bercampur dengan
etanol (World Health Organization, 2006). Cara pembuatan
anisaldehida-asam sulfat adalah dengan mencampurkan 0,5 mL
anisaldehida dengan 10 mL asam asetat glasial. Kemudian
ditambahkan 85 mL metanol dan 5 mL asam sulfat P. Lalu dilakukan
pemanasan pada suhu 100°C selama 5 – 10 menit (Wagner & Bladt,
1996). Cara lainnya adalah dengan memanaskan pada suhu 100-110°C
selama 10 menit. Deteksi dilakukan di bawah sinar tampak (Stahl,
1973).
Pengamatan profil KLT dilakukan pada saat sebelum dan
setelah plat KLT disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam sulfat.
Anisaldehida-asam sulfat merupakan reagen umum yang digunakan
untuk produk-produk alam, diantaranya antioksidan, steroid
prostaglandin, karbohidrat, fenol, glikosida, sapogenin, terpenoid,
antibiotik dan mikotoksin (Fried & Sherma, 1999), flavonoid,
terpenoid, saponin (D’Amelio, 1999), steroid glikosida, terpenoid
glikosida (Wagner & Bladt, 1996), dan senyawa yang umum dan
spesifik yang secara spesifik telah diteliti seperti alilestrenol (Trivedi
dkk., 2007), partenolida (Tampubolon dkk., 2005), aestin (senyawa
resin), borneol, santonin, kanabinoid, dan masih banyak lainnya
(European Pharmacopoeia Commision, 2004).
Pereaksi penampak bercak untuk senyawa yang sudah dielusi
diperlukan untuk mengenali golongan senyawa tertentu. Pada cahaya
41
tampak, karbohidrat akan menghasilkan warna merah (Agrawal dkk.,
2012) saponin akan menghasilkan warna biru, biru violet
(Hostettmann & Marston, 1995), dan kuning (Fried & Sherma, 1996).
Alkaloid opium/ alkaloid akan menghasilkan warna merah violet dan
hijau (Svendsen, 1983). Steroid akan menghasilkan warna jingga
(Gorog, 1983). Steroid dan glikosidanya akan memberikan warna
biru, biru violet, atau merah muda (Kumar dkk., 2010), glikosida
flavonoid berwarna merah sampai merah jingga, glikosida iridoid,
terpenoid alkohol, terpenoid aldehida, terpenoid keton dan ester akan
berwarna biru violet, furano sesquiterpen akan berwarna violet.
Komponen minyak esensial/ minyak atsiri akan berwarna biru, hijau,
merah hingga cokelat dengan baik, Sedangkan pada UV 366, iridoid
glikosida akan berfluoresensi hijau. Furanoid akan berfluoresensi biru
violet dan terpenoid alkohol akan berfluoresensi cokelat-merah
(Wagner & Bladt, 1996).
j. Folin-Ciocalteu
Metode yang saat ini dikembangkan untuk mendeteksi senyawa
fenol berasal dari sekitar 100 tahun yang lalu yang diinisiasi oleh Folin
dan Denis (1912), yang melakukan penelitian dengan membuat metode
kolorimetri untuk mendeteksi asam amino tirosin. Kemudian reagen
Folin-Denis ini disempurnakan pada tahun 1927 oleh Folin dan
Ciocalteu. Reagen ini tidak hanya dapat mendeteksi tirosin dan
42
triptopan, melainkan juga dapat mendeteksi senyawa fenolik dari
berbagai sumber secara luas (Vermerris & Nicholson, 2008).
Folin-Ciocalteu digunakan untuk mendeteksi adanya fenol total.
Pengujian ini didasarkan pada proses oksidasi senyawa fenolik yang
diamati dengan timbulnya gugus kromofor akibat dari tereduksinya
reagen. Adanya beberapa senyawa reduktor seperti asam askorbat,
asam amino, xantin, protein, dan lainnya dapat mengganggu pengujian
(Makkar, 2003).
Reaksi folin dengan protein pada penelitian menunjukkan
timbulnya bercak berwarna biru (Rastogi, 2005). Reaksi folin dengan
agen pereduksi seperti protein dan senyawa fenol juga dapat
memberikan warna biru pada plat (Spangenberg dkk., 2011). Folin-
Ciocalteu (10%) juga digunakan untuk mendeteksi senyawa polifenol
(Voeks & Rashford, 2013), bercak fenol yang terjadi akan berwarna
biru, namun dapat menjadi keabuan saat diberikan senyawa amoniak
(Dey & Harborne, 1989), khususnya pada senyawa fenol yang
memiliki inti katekol dan hidroquinon (Harborne, 1998).
k. Senyawa Fenol
Istilah senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang
memiliki cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih
hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena
umumnya mereka sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida,
dan biasanya terdapat dalam vakuola sel.
43
Flavonoid merupakan golongan yang terbesar, diikuti fenol
monosiklik sederhana seperti fenilpropanoid dan kuinon fenolik.
Beberapa golongan bahan polimer penting dalam tumbuhan seperti
lignin, melanin, dan tanin juga merupakan senyawa polifenol.
Kadang-kadang satuan fenolik juga dijumpai pada protein, alkaloid,
dan terpenoid (Harborne, 1973).
F. Keterangan Empiris yang Diharapkan
1. Deskripsi mengenai simplisia biji mahoni dan gambaran mikroskopis awal
dari sayatan melintang biji dan sayap biji dari tanaman mahoni.
2. Besaran nilai parameter mutu serta profil KLT dari ekstrak etanolik biji
mahoni Kabupaten Ponorogo.