1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberitaan terkait sepak terjang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) dapat kita jumpai baik di media cetak maupun televisi. Dengan gerak
langkah Satpol PP yang tidak pernah luput dari perhatian publik, citra yang
terbentuk di benak masyarakat atas sepak terjang aparat Satpol PP sangat jauh
dari sosok ideal, yang sejatinya menggambarkan aparatur pemerintah daerah
yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi norma hukum, norma
agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan
berkembang di masyarakat.
Penggusuran pedagang kaki lima oleh Satpol PP tidak jarang memakan
korban baik yang bersifat material yaitu dengan rusaknya tempat jualan
maupun gerobak yang diangkut maupun korban fisik dengan terjadinya
berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota Satpol PP terhadap
para pedagang kaki lima. Kericuhan dan bentrok fisikpun tidak jarang menjadi
bumbu penyedap setiap diadakannya penggusuran yang dilakukan oleh Satpol
PP.
Satpol PP kerap kali digambarkan sebagai sosok aparat yang kasar,
arogan, penindas rakyat kecil dan tidak berprikemanusiaan. Apakah memang
benar demikian? Sebaiknya kita jangan terlalu cepat memberi penilaian
sebelum mengenal lebih dekat tentang Satpol PP.
Ketentuan Pemerintah tentang Satpol PP terdapat dalam Peraturan
Pemerintah No 6 Tahun 2010, Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya
1
2
disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan
Peraturan Daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat.
Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin
oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur
melalui Sekretaris Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong
Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sehingga antar daerah bisa saja
memiliki nama, organisasi, dan tata kerja yang berbeda-beda. (Trisantono,
2001:45)
Melihat proses panjang perjalanan keberadaan Satpol PP, tindak
kekerasan yang dikedepankan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya
merupakan warisan kolonial yang membentuk watak kolonialisme diperparah
dengan militerisme yang sejak dulu sudah menjangkit di tubuh kelembagaan
nya.
Ironisnya, cara-cara lama (militerisme) masih saja dikedepankan dalam
konteks kekinian. Padahal seharusnya cara-cara tersebut sudah usang dan
harus segera ditinggalkan. Maka dalam konteks demokrasi saat ini mungkin
perlu dilakukan upaya restrukturisasi dan reformasi di tubuh atau internal
Satpol PP. Hal ini dikarenakan pola penertiban yang selama ini dikedepankan
selalu menggunakan cara-cara yang arogan dan sarat dengan kekerasan,
terutama kepada rakyat kecil. (Trisantono, 2001:33)
Munculnya perspektif negatif di mata masyarakat berkaitan dengan
keberadaan Satpol PP ini bukan tanpa alasan, karena berdasarkan fakta di
lapangan banyak oknum aparat Satpol PP bertindak semaunya bahkan
3
cenderung berbau pelecehan. Maka sudah menjadi wacana umum ketika orang
ditanya tentang Satpol PP, maka kata pertama yang diucapkan adalah
“Ketentraman dan Ketertiban (TRAMTIB)” yang kerap kali digambarkan
sebagai sosok aparat yang kasar dan arogan, tukang garuk PKL dan PSK.
Berkaitan dengan PKL dan PSK memang menjadi fenomena tersendiri yang
selalu dikaitkan dengan keberadaan Satpol PP, mungkin ini merupakan
dampak dari pemfungsian Satpol PP yang baru sebatas itu. Walaupun tidak
bisa dipungkiri bahwa keberadaan Satpol PP tidak selamanya buruk, karena
keberadaannya sangat dibutuhkan untuk menjalankan peraturan daerah.
Artinya keberadaan Satpol PP masih dibutuhkan dalam perspektif pemerintah
daerah sebagai eksekusi Perda. (Trisantono, 2001:60)
Pandangan negatif tentang Satpol PP diarahkan maasyarakat hampir di
semua daerah di Indonesia. Tidak terkecuali untuk Satpol PP Kabupaten
Wonogiri, sering pandangan negatif diarahkan kepada mereka dalam rangka
menciptakan ketertiban. Untuk itu Satpol PP Wonogiri harus terlebih dahulu
melakukan perbaikan dalam tubuh sendiri untuk menepis citra negatif itu.
Prestasi, disiplin, dedikasi, loyalitas yang tinggi adalah mutlak dimiliki oleh
seorang anggota Satpol PP. Citra yang selama ini melekat dalam tubuh Satpol
PP, seperti Pegawai Negeri Sisa, kasar, arogan, penindas rakyat kecil atau
apapun sebutannya yang berbau negatif harus segera dienyahkan.
Dalam proses pembentukan citra harus selalu ada subjek dan objek,
karena dalam hal ini Satpol PP Kabupaten Wonogiri diperankan sebagai
subjek, maka konsekuensinya harus siap berhadapan dengan objek, baik
sesama PNS maupun dengan masyarakat, termasuk resiko menjadi orang yang
dibenci dan tidak jarang pula berakhir dengan adu mulut atau bentrokan fisik.
4
Menyikapi segala pandangan negatif tentang keberadaan Satpol PP,
tentunya Satpol PP Kabupaten Wonogiri mempunyai kegiatan komunikasi
untuk bisa membentuk citra positif Satpol PP di mata masyarakat Wonogiri.
Maka dari itu, dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji bagaimana Strategi
Satpol PP Kabupaten Wonogiri dalam pembentukan citra Satpol PP
Kabupaten Wonogiri di mata masyarakat kota Wonogiri. Apa yang kemudian
dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Wonogiri untuk kemudian memperbaiki
citranya di mata masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terkait citra negatif yang sering
muncul terkait pelaksanaan ketentraman dan ketertiban yang dilakukan oleh
Satpol PP, permasalahan yang ingin penulis kemukakan dalam penyusunan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan apakah yang dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Wonogiri
dalam membangun citra di mata masyarakat Wonogiri?
2. Hambatan apakah yang dihadapi Satpol PP Kabupaten Wonogiri dalam
membangun citra di mata masyarakat Wonogiri?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka
secara umum tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penyusunan skripsi ini
adalah :
1. Untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten
Wonogiri dalam membangun citra di mata masyarakat Wonogiri.
5
2. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi Satpol PP Kabupaten
Wonogiri dalam membangun citra di mata masyarakat Wonogiri.
D. Manfaat Penelitian
Selain beberapa tujuan yang ingin dicapai seperti tersebut di atas,
penyusunan skripsi ini diharapkan mampu memberikan beberapa manfaat:
1. Manfaat Secara Teoritis
a. Sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan dan memberikan
sumbangsih teoritis pada dunia pendidikan khususnya yang berkaitan
dengan masalah-masalah sosial yang berkembang di dalam
masyarakat, khususnya mengenai upaya pembentukan citra yang
dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Wonogiri.
b. Sebagai sumbangsih dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
merangsang penelitian-penelitian yang sejenis.
2. Manfaat Secara Praktis
a. Sebagai ajang untuk melatih daya nalar dan mengasah intelektualitas
peneliti. Selain itu juga sebagai bukti dan implementasi dari ilmu yang
diterima di bangku kuliah, sekaligus untuk memenuhi persyaratan
dalam memperoleh gelar sarjana strata satu (S1).
b. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi Satpol PP Kabupaten
Wonogiri dalam strategi pembentukan citra Satpol PP Kabupaten
Wonogiri di mata masyarakat Wonogiri.
6
E. Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi
a. Pengertian komunikasi
Komunikasi adalah hubungan kontak antar dan antara manusia
baik individu maupun kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari disadari
atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu
sendiri. Sementara itu, untuk menjalin rasa kemanusiaan yang akrab
diperlukan saling pengertian sesama anggota masyarakat.
Menurut Book (dalam Cangara, 2005:18) menyebutkan bahwa
komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki
orang-orang mengatur lingkungannya dengan :
1) Membangun hubungan antarsesama manusia
2) Melalui pertukaran informasi
3) Untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain
4) Berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.
Sedang menurut Rogers (dalam Cangara, 2005:19) menyatakan
bahwa komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari
sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka.
Kincaid (dalam Cangara, 2005:19) menyatakan bahwa
komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama
7
lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang
mendalam.
Sementara menurut Effendy (2004:5) menyatakan bahwa
komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap,
pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak
langsung melalui media.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari
seseorang kepada orang lain. Komunikasi akan dapat berhasil baik
apabila sekiranya timbul saling pengertian yaitu kedua belah pihak si
pengirim dan si penerima dapat memahami. Hal ini tidak berarti bahwa
kedua belah pihak sama-sama memahami gagasan tersebut. Dalam hal
seperti inilah baru dapat dikatakan bahwa komunikasi telah berhasil
baik atau komunikatif.
b. Proses komunikasi
Menurut Effendy (2004: 6) dalam suatu proses komunikasi
terdapat sejumlah komponen atau unsur persyaratan terjadinya
komunikasi sebagai berikut :
1) Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan;
2) Pesan, yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang;
3) Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan;
8
4) Media, yaitu sarana atau saluran yang mendukung pesan bila
komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya;
5) Efek, yaitu dampak sebagai pengaruh dari pesan.
2. Komunikasi eksternal
Komunikasi eksternal menurut Zelko dan Dance yang dikutip oleh
Muhammad, adalah “Komunikasi yang dilakukan organisasi terhadap
lingkungan luarnya, seperti komunikasi dalam penjualan hasil produksi,
pembuatan iklan, dan hubungan dengan masyarakat umum.” (Muhammad,
2001: 66).
Komunikasi eksternal adalah komunikasi antara pimpinan
organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Pada instansi–instansi
pemerintah seperti departemen, direktorat, jawatan, dan pada perusahaan –
perusahaan besar, disebabkan oleh luasnya ruang lingkup, komunikasi
lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat (Public
Relations officer) daripada oleh pimpinan sendiri. Yang dilakukan oleh
pimpinan sendiri adalah terbatas pada hal – hal yang dianggap sangat
penting, yang tidak bias diwakilkan kepada orang lain, umapamanya
perundingan (negotiation) menyangkut kebijakan organisasi. Yang lainnya
dilakukan oleh kepala humas (PR) yang dalam kegiatan komunikasi
eksternal merupakan tangan kanan pimpinan.
3. Public Relations
Public Relations semua bentuk komunikasi yang terencana, baik
itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi dengan semua
9
khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang
berlandaskan pada saling pengertian.” (Jefkins, 2003:10)
Definisi Public Relations menurut J. C., Seidel dalam buku dasar-
dasar Public Relations adalah :
Public relations is the continuing process by which management
endeavors to obtain goodwill and understanding of its customers,
its employees and the public at large, inwardly through self
analysis and correction, outwardly through all means of
expression”.(Proses yang kontinu dari usaha-usaha management
untuk memperoleh goodwill dan pengertian dari para
langganannya, pegawainya dan publik umumnya; kedalam dengan
mengadakan analisa dan perbaikan-perbaikan terhadap diri sendiri,
keluar dengan mengadakan pernyataan-pernyataan.)
(Abdurrachman, 2001:24)
Publik dalam Public Relations merupakan khalayak sasaran dari
kegiatan Public Relations. Publik ini lebih sering disebut sebagai
stakeholder, yaitu kumpulan dari orang atau pihak yang berkepentingan
dalam organisasi. Secara garis besar stakeholder Public Relations terbagi
menjadi dua, yaitu internal public dan external public. Penetapan publik
menjadi salah satu bagian terpenting dalam sebuah proses berlangsungnya
aktivitas Public Relations. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi
segmen khalayak atau kelompok yang paling tepat untuk dijadikan sasaran
suatu program sekaligus untuk menciptakan skala prioritas, berkaitan
dengan adanya keterbatasan anggaran dan sumber-sumber daya lainya.
Selain itu, akan memudahkan praktisi PR dalam memilih media, teknik
dan metode penyusunan pesan yang paling efektif dan mudah diterima.
(Ruslan, 2006:18)
10
Aktivitas utama Public Relations secara garis besar yaitu berperan
sebagai:
a. Programming
Fungsi ini mencakup masalah dan peluang, menentukan tujuan dan
publik serta merekomedasikan dan merencanakan kegiatan (termasuk
di dalamnya pembuatan anggaran, penjadwalan, pembagian dan
pendelegasian tugas).
b. Relationship
Untuk menunjang dalam pengumpulan informasi dari berbagai
sumber, yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, seorang
praktisi Public Relations harus memiliki kemampuan dalam
bekerjasama dan menjalin hubungan baik dengan berbagai publik.
c. Writing and Editing
Sejalan dengan sasaran kegiatan Public Relations, yakni mencapai
publik yang amat besar, alat penting yang dapat digunakan adalah
melalui barang-barang cetakan, misalnya laporan tahunan, booklet,
media release, newsletter dan lain-lain. Tulisan yang jelas dan masuk
akan sangat penting bagi efektivitas kerja Public Relations.
d. Informations
Membangun sistem informasi yang baik merupakan salah satu cara
menyebarkan informasi secara efektif. Hal ini biasanya berkaitan
dengan usaha pengenalan cara kerja berbagai media atau saluran
komunikasi yang ada, yang akan sangat membantu pekerjaan praktisi
Public Relations dalam menyebarkan berbagai informasi kepada
publik.
12
e. Productions
Fungsi ini berkaitan dengan kegiatan produksi media komunikasi yang
digunakan menyebarkan pesan-pesan yang dirancang oleh praktisi
Public Relations. Untuk itu praktisi Public Relations harus memiliki
pengetauan tentang tata letak, tipografi, dan hal-hal lain yang berkaita
dengan produksi media komunikasi yang digunakan dalam kegiatan
media Public Relations.
f. Special Events
Kegiatan yang harus ditangani oleh praktisi Public Relations
diantaranya adalah press conference, pameran, HUT perusahaan,
kunjungan perusahaan dan lainlain. Kegiatan ini biasanya diarahkan
untuk dapat menarik perhatian dan memperoleh pengakuan dari publik
terhadap keberadaan perusahaan.
g. Speaking
Keterampilan penting yang juga harus dimiliki oleh seorang praktisi
Public Relations adalah keterampilan berbicara, baik untuk tatap muka
individual maupun tatap muka kelompok (public speaking).
h. Research and Evaluating
Aktivitas penting lainnya dalam Public Relations adalah pengumpulan
fakta. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan fakta,
baik itu formal maupun non formal. Penelitian biasanya digunakan
baik pada awal maupun akhir sebuah program Public Relations.
Pengevaluasian setiap program saat ini mulai mendapatkan perhatian
yang besar di kalangan praktisi Public Relations. (Putra, 1996:10)
13
Dalam pelaksanaan aktivitasnya, Public Relations menggunakan
komunikasi untuk memberitahu, mempengaruhi, dan mengubah
pengetahuan, sikap serta perilaku publik yang menjadi sasarannya.
Komunikasi dalam Public Relations merupakan suatu proses yang
mencakup suatu pertukaran fakta, pandangan, dan gagasan di antara suatu
bisnis atau organisasi tanpa laba dengan publiknya untuk mencapai saling
pengertian. Selain itu, komunikasi dalam PR juga memiliki ciri-ciri
tertentu, yang disebabkan karena fungsi, sifat organisasi dari lembaga,
sifat-sifat manusia yang terlibat, terutama publik yang menjadi sasaran,
serta faktor-faktor eksternal lain yang mempengaruhi.
Komunikasi merupakan salah satu komponen utama dalam
aktivitas PR. Harold D. Laswell seperti yang dikutip Rosady Ruslan
(2003:22-28) dalam bukunya, mendefinisikan komunikasi sebagai “Who
says what in which channel to whom with what effect”. Jika dijabarkan
dalam aplikasi aktivitas PR dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Who says (siapa yang mengatakan) = komunikator
Sebagai komunikator, mau tidak mau praktisi PR harus mampu
menjelaskan atau menyampaikan suatu kegiatan atau aktivitas dan
program kerja kepada publiknya. Sekaligus bertindak sebagai mediator
mewakili lembaga atau organisasi terhadap publik atau sebaliknya.
b. Says what (mengatakan apa) = pesan
Merupakan pesan atau message yang perlu disampaikan kepada
penerima. Baik berupa ide, gagasan, informasi, aktivitas, atau kegiatan
tertentu yang dipublikasikan atau dipromosikan untuk diketahui,
dipahami, dan dimengerti yang sekaligus diterima oleh publiknya.
14
c. In which channel (melalui saluran apa) = media
Merupakan sarana atau alat untuk menyampaikan pesan atau
sebagai mediator antara komunikator dengan komunikannya. Media
atau alat khusus yang digunakan untuk keperluan Public Relations (PR
Campaign) dapat digolongkan atau dikelompokkan sebagai berikut:
1) Media umum, yakni sarana-sarana seperti surat menyurat, telepon
dan sebagainya.
2) Media massa, berupa surat kabar, majalah, buletin, radio dan
televisi. Media massa mempunya efek serempak dan cepat dan
mampu mencampai khalayak dalam jumlah besar dan tersebar luas
di berbagai tempat secara bersamaan.
3) Media internal, media yang digunakan untuk kepentingan kalangan
terbatas dan nonkomersial serta lazim digunakan dalam aktivitas
PR.
d. To whom (kepada siapa) = komunikan
Yaitu publik yang menjadi sasaran dalam komunikasi, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dalam berkomunikasi, PR
menekankan pada pengertian, kesadaran, saling percaya, toleransi, dan
saling kerjasama dengan berbagai pihak untuk memperoleh dukungan
publik.
e. With what effect (dengan efek apa) = efek dan dampak
Efek atau dampak merupakan respon atau reaksi setelah proses
komunikasi tersebut berlangsung yang bisa menimbulkan umpan balik
atau feedback berbentuk positif atau sebaliknya negatif.
15
4. Citra
Citra merupakan gambaran yang menpunyai makna, “representing
the totaly of all information about the world any individual has procesed
organized and stored” (menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia
ini ynag diolah, diorganisasikan dan disimpan individu) lebih lanjut
diungkapkan bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan
perilaku tertentu tetapi cenderung mempengaruhi citra kita tentang
lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku.
(Rachmat, 2007:223)
Citra dapat diukur melalui pendapat, kesan, tanggapan seseorang
dengan tujuan untuk mengetahui secara pasti apa yang ada dalam pikiran
setiap individu mengenai suatu objek, bagaimana mereka memahami dan
apa yang mereka sukai atau tidak dari objek tersebut. Dimana suatu citra
terhadap satu objek sama bagi semua orang. Dengan demikian citra
merupakan salah satu asset terpenting dari perusahaan atau organisasi yang
selayaknya terus menurus dibangun dan dipelihara.
Pada citra berakar dari nilai-nilai kepercayaan yang kongkritnya
diberikan secara individual dan merupakan pandangan atau persepsi.
Proses akumulasi dari amanah yang telah diberikan oleh individu-individu
tersebut akan mengalami suatu proses cepat atau lambat untuk membentuk
sustu opini publikasian yang lebih luas, yang sering dinamakan citra
(image). Defenisi citra yang lain menyatakan:
“Image is the set beliefs, ideas, and impressions that a person hold
regarding an object. People’s attitude and actions towards an
object are highly conditioned by that object’s image” (Citra adalah
seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh seseorang
16
terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh citranya). (Kotler,
2005:607)
Sedang menurut Acker yang dialih bahasakan oleh Aris Ananda
citra adalah keseluruhan pesan yang dipikirkan dan yang diketahui oleh
seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu hal (Acker, 2004:60).
Pendapat lain menyatakan citra adalah total persepsi terhadap suatu obyek
yang dibentuk dengan memproses informasi dari berbagai sumber setiap
waktu. (Sutisna, 2001:83)
Sedangkan menurut Buchari Alma (2000:316) adalah Citra
terbentuk dari bagaimana perusahaan melaksanakan kegiatan
operasionalnya yang mempunyai landasan utama pada segi layanan.
Menurut Acker (2004:60) yang dialih bahasakan oleh Aris Ananda
citra adalah keseluruhan pesan yang dipikirkan dan yang diketahui oleh
seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu hal.
Dari beberapa pendapat di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa
gambaran bahwa usaha peningkatan citra dalam lembaga atau organisasi
adalah keharusan yang harus dilakukan. Citra yang baik nantinya akan
mempengaruhi segala hal baik itu di dalam ataupun di luar lembaga itu
sendiri.
Frank Jefkins memberikan pengertian citra secara umum sebagai
kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul tentang
sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya (Ruslan, 2006:56).
Citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan
pengertian seseorang tentang fakta-fakta atau kenyataan (Ruslan,
2006:57). Citra adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus
17
sesuai dengan realitas, citra adalah penggambaran dunia menurut persepsi
seseorang (Rachmat, 2007:42)
Menurut Frank Jefkins, ada beberapa jenis citra (image) yang
dikenal di dunia aktivitas hubungan masyarakat (Public Relations), dan
dapat dibedakan satu dengan yang lain sebagai berikut :
1) Citra Bayangan
Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi
(biasanya adalah pemimpin) mengenai anggapan orang pihak luar
tentang organisasinya. Citra seringkali tidak tepat, sebagai akibat tidak
memadainya informasi, pengetahuan, maupun pemahaman yang
dimiliki oleh kalangan dalam organisasi itu mengenai pandangan atau
pendapat pihak-pihak luar. Citra ini cenderung positif. Memandang diri
sendiri serba hebat.
2) Citra yang berlaku (current image)
Citra ini merupakan pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar
mengenai suatu organisasi. Citra yang berlaku ini jarang sesuai dengan
kenyataan karena semata-mata terbentuk dari pengalaman atau
pengetahuan orang-orang luar yang bersaangkutan yang biasanya tidak
memadai. Citra ini sepenuhnya ditentukan oleh banyak sedikitnya
informasi yang dimiliki oleh mereka yang mempercayainya. Citra ini
cenderung negatif.
3) Citra yang diharapkan (wish image)
Citra ini diinginkan oleh pihak manajemen. Citra yang diharapkan
biasanya lebih baik atau lebih menyenangkan daripada Citra yang ada,
walaupun dalam keadaan tertentu, citra yang terlalu baik terkadang
18
juga merepotkan. Citra yang diharapkan biasanya dirumuskan dan
diperjuangkan untuk menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni
ketika khalayak belum memiliki informasi yang memadai mengenai
hal tersebut (Ruslan, 2006:77).
4) Citra perusahaan (corporate image)
Citra perusahaan (adapula yang menyebutnya lembaga) adalah citra
dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk
atau pelayanannya. Citra perusahaan ini terbentuk oleh banyak hal,
antara lain: riwayat hidup perusahaan yang gemilang, keberhasilan-
keberhasilan yang diraih, hubungan masyarakat yang baik, reputasi
sebagai pencipta lapangan kerja dalam jumlah yang besar, kesediaan
memikul tanggung jawab sosial dan sebagainya.
5) Citra majemuk (multiple image)
Setiap perusahaan atau lembaga pasti memilioki banyak unit dan
anggota. Masing-masing unit dan individu memiliki perangai dan
perilaku tersendiri, sehingga secara sengaja atua tidak, sadar atau tidak
mereka pasti memunculkan citra yang belum tentu sama dengan citra
perusahaan atau lembaga secara keseluruhan, Untuk menghindari
berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi itu harus ditekan seminimal
mungkin, dan citra perusahaan atau lembaga itu secara keseluruhan
harus ditegakkan. Caranya antara lain mewajibkan semua karyawan
mengenakan pakaian seragam, simbol-simbol tertentu yang sama,
menyamakan jenis dan alat transportasi, dan sebagainya (Jefkins,
Frank. 1995:8)
19
5. Proses pembentukan Citra (image building)
Proses komunikasi adalah penyampaian isi pernyataan (pesan) dari
komunikator kepada komunikannya melalui saluran informasi (Soehoet,
2003:23)
Pesan yang disampaikan tidak serta merta diterima oleh khalayak/
komunikan. Ada rangkaian proses, mulai dari diterimanya pesan oleh
mata, bila pesan visual, diolah dengan membandingkannya dengan opini
penerima pesan dan opini publik, baru kemudian dimaknai dan menjadi
persepsi.
Pesan dapat disampaikan secara visual, verbal,dan prilaku. Pesan
visual, pada organisasi, biasanya dikenalkan melalui logo organisasi. Logo
organisasi ini harus mampu secara mandiri menyampaikan visi misi
organisasi. Untuk memperkuat pesan, logo dapat diikuti dengan pesan
verbal yaitu dengan menambahkan slogan/credo. Perilaku, merupakan
unsur pembentuk persepsi yang paling efektif; dapat membangun persepsi
yang baik, maupun persepsi yang buruk. Unsur perilaku ini lebih sulit
dikelola karena menyangkut perilaku seluruh anggota organisasi, bukan
hanya pimpinan organisasi saja. Persepsi yang dibentuk dalam benak
khalayak akan menjadi gambaran / citra mengenai organisasi tersebut yang
melekat pada benak khalayak. (Schiffman, 2004:72)
Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan
pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk
mengetahui citra seseorang tyerhadap suatu obyek dapat diketahui dari
sikapnya terhadap obyek tersebut. Solomon, dalam Rakhmat menyatakan,
20
semua sikap bersumber pada organisasi kognitif-pada informasi dan
pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori sikap atau aksi sosial
yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitif.
Efek kognitif dari kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses
pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan
dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara
langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi
cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan (Danusaputra,
1995:34-35)
Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai
dengan pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh John S. Nimpoeno,
dalam laporan penelitian tentang Tingkah Laku Konsumen, seperti yang
dikutip Danasaputra, sebagai berikut:
Kognisi
Persepsi Sikap
Motivasi
Gambar I.1
Model Pembentukan Citra Pengalaman mengenai Stimulus
(Soemirat, 2002:115)
Public Relations digambarkan sebagai input-output, proses intern
dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah
stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu.
Citra itu sendiri digambarkan melalui persepsi kognisi-motivasi-sikap.
21
“....proses-proses psikodinamis yang berlangsung pada individu
konsumen berkisar antara komponen-komponen persepsi, kognisi,
motivasi, dan sikap konsumen terhadap produk. Keempat
komponen itu diartikan sebagai mental representation (citra) dari
stimulus” (Soemirat, 2002:115)
Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus
yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons.
Stimulus (rangsang) yang diberikan pada individu dapat diterima atau
ditolak.
Jika rangsang ditolak proses selanjutnya tidak akan berjalan, hal ini
menunjukkan bahwa rangsang tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi
individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaloiknya, jika
rangsang itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan
terdapat perhatian dari organisme, dengan demikian proses selanjutnya
dapat berjalan.
Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai
citra individu terhadap rangsang. Berikut penjelasan mengenai empat
komponen tersebut :
a. Persepsi diartikan sebagai hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan
yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain
individu akan memberikan makna terhadap rangsang berdasarkan
pengalamannya mengenai rangsang.
b. Kognisi adalah suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus.
Keyakinan ini akan timbul apabila individu telah mengerti rangsangan
tersebut, sehingga individu harus diberikan informasi-informasi yang
cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya.
22
Kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli
psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan
dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang
memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan
masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis
yang berkaitan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan,
mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan
lingkungannya (Desmita, 2009).
Kognisi adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk
pengenalan, termasuk didalamnya mengamati, melihat, memperhatikan,
memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan
menilai. Secara tradisional, kognisi ini dipertentangkan dengan konasi
(kemauan) dan dengan afeksi (perasaan).
a. Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna
mencapai suatu tujuan.
Menurut McDonald dalam Sardiman (2004: 73), “Motivasi
adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya feeling dan ditandai dengan tanggapan terhadap adanya
tujuan”. Sardiman (2004: 76), menyatakan bahwa motivasi berkaitan
dengan minat dimana minat berarti sebuah kondisi yang merupakan
kecenderungan jiwa seseorang yang dihubungkan dengan keinginan
atau kebutuhannya sendiri.
Beliau dalam bukunya membedakan dua jenis motivasi yaitu
motivasi intrinsik, yaitu motif yang berfungsi tanpa memerlukan
23
rangsangan dari luar karena dalam diri individu sudah ada dorongan
untuk melakukan sesuatu. Yang kedua adalah motivasi ekstrinsik, yaitu
motif yang berfungsi karena adanya perangsang dari luar (Sardiman,
2004: 89).
Menurut Sardiman (2004: 85) fungsi motivasi dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu antara lain :
1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak yang
melepaskan energi.
2) Menentukan arah perbuatan ke tujuan yang akan dicapai
3) Menyeleksi perbuatan-perbuatan apa yang harus dikejakan guna
mencapai tujuan.
Dari pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa motivasi merupakan sebuah dorongan yang berasal baik dari diri
sendiri maupun dari pihak lain yang dapat membuat seorang individu
memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan suatu tindakan.
b. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan
merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan
perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan
cara-cara tertentu.
Dalam sebuah aliran, pengikut menganggap sikap sebagai suatu
evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap sebuah objek
social di pandang sebagai perasaan senang atau ketidak senangan.
Aliran lainnya menilai sikap sebagai kesediaan untuk menganggap
objek sosial dengan cara tertentu. Kesediaan ini dianggap sebagai
24
suatau rangkaian yang saling mengikat antara pengertian, perasaan dan
kegiatan terhadap sebuah objek sosial.
Jadi sikap, dalam aliran ini, adalah suatu rangkaian komponen
yang berkelanjutan termasuk didalamnya keyakinan dan penilaian
(komponen kognitif) dan kesediaan berperilaku (komponen aksi) yang
berkenaan dengan sejumlah objek sosial. Sedangkan menurut Goode,
sikap adalah kecenderungan untuk bertindak dan bereaksi secara positif
atau negatif terhadap sesuatu, yang didasarkan pada nilai-nilai
individual, dan berakar dalam pengalaman sosialnya
Proses pembentukan citra pada akhirnya akan menghasilkan sikap,
pendapat, tanggapan atau perilaku tertentu. Untuk mengetahui bagaimana
citra suatu perusahaan atau lembaga di benak publiknya dibutuhkan adanya
penelitian. Melalui penelitian, perusahaan dapat mengetahui secara pasti
sikap publik terhadap lembaganya, mengetahui apa yang disukai dan apa
yang tidak disukai oleh publiknya (Ardianto, 2002:115-116).
Penelitian citra menurut H. Frazier Moore dalam S. Soemirat dan E.
Ardianto, menemukan sosok institusional dan citra perusahaan dalam
pikiran dengan mengetahui secara pasti sikap masyarakat terhadap sebuah
organisasi, bagaimana mereka memahami dengan baik, dan apa yang
mereka sukai dan tidak sukai dengan organisasi tersebut. Penelitian citra
memberikan informasi untuk mengevaluasi kebijaksanaan memperbaiki
kesalahpahaman, menentukan daya tarik pesan hubungan masyarakat,
meningkatkan citra hubungan masyarakat dalam pikiran publik. Citra
bahwa pemerintah tidak pernah transparan dengan kebijakan yang mereka
25
buat merupakan citra buruk yang umum dimiliki oleh banyak pemerintah
dunia.
Menurut William V. Haney, dalam Danusaputra, pentingnya
penelitian mencakup: 1) memprediksi tingkah laku publik sebagai reaksi
terhadap tindakan lembaga/organisasi perusahaan; 2) mempermudah usaha
kerjasama dengan publik; 3) memelihara hubungan yang ada (Soemirat dan
Ardianto, 2002: 117).
Dengan melakukan penelitian citra, perusahaan dapat mengetahui
secara pasti sikap publik terhadap organisasi maupun terhadap produk
barang atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Dari
penelitian citra ini, perusahaan juga dapat mengetahui apa-apa yang disukai
dan tdak disukai pblik tentang perusahaan, dengan demikian perusahaan
dapat mengambil langkah-langkah yang tepat bagi kebijaksanaan
perusahaan selanjutnya. (Ardianto, 2002: 115).
Upaya membangun citra dapat dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya memberikan:
a. Penonjolan-penonjolan pada kesuksesan atau keberhasilan-keberhasilan
yang telah dicapai di masa lampau.
b. Menumbuhkan asosiasi pamikiran tentang partai atau kandidat dengan
kebesaran di masa lampau, seperti kejayaan bangsa, pemimpin
kharismatik yang pernah ada, dan bentuk-bentuk ekspresi simbolik baik
kata-kata maupun gambar-gambar.
c. Memberikan penonjolan orientasi ke depan, misalnya dengan
kecanggihan teknologi dan optimisme kemajuan-kemajuan di masa
datang.
26
d. Menghadirkan tokoh-tokoh tertentu dengan meumbuhkan dan
memperkokoh keyakinan akan kuat atau luasnya dukungan termasuk
tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pemimpin atau tokoh-tokoh
dari negara lain. (Ardianto, 2002: 118)
Membangun citra secara sederhana diartikan bahwa dalam proses
kehidupan kita selalu mempunyai cita-cita atau tujuan agar hal yang ingin
kita raih bisa terwujud. Salah satunya kita harus mencoba memahami
bahwa kita ini sebenarnya mau dicitrakan seperti apa dan itu akan terbentuk
seiring bergulirnya waktu. Sehingga kalau kita lihat dalam organisasi,
sumber daya kita terbatas karena sudah kita pakai atau sudah tidak relevan.
Sedangkan pada lingkungan sekitar kita akan selalu mengalami perubahan.
Saat kondisi sumber daya kita terbatas, kita perlu melakukan eksplorasi
atau pengembangan lingkungan yang cepat. Akhirnya banyak perusahaan
yang mengambil strategi yang disebut dengan image building (Muktiyo,
2006:37)
Komunikasi dan sosialisasi pada masyarakat sangat penting. Oleh
sebab itu kalau bicara tentang pencitraan tidak semata-mata programnya,
tapi bagaimana menyampaikan program kepada semua stakeholder agar
tidak muncul salah paham. Kadang kita mempunyai program-program yang
baik tapi hanya diketahuoi oleh elitenya saja. Jadi peraturan daerah harus
disosialisasikan secara terintegrasi agar masyarakat tahu. Kita sering
menganggap kalau sudah disahkan DPRD maka semua masyarakat sudah
tahu. Ini bisa dimulai dari semua policy pimpinan agar mendapat dukungan
dari publik. Misalkan dalam pemberantasan korupsi, jangan sekedar
diberantas, tapi sebaiknya dikomunikasikan ke masyarakat agar efek multi
27
playernya bisa lebih luas. Hal ini sering dianggap tidak manusiawi. Tapi
yang paling penting efek psikologisnya agar pelaku jera. Dalam istilah
Jawa, obat tidak harus manis tapi kadang harus pahit. (Muktiyo, 2006:161)
Citra lembaga terbentuk dan terbangun oleh banyak hal, hal-hal
positif yang dapat meningkatkan citra suatu perusahaan antara lain adalah
sejarah atau riwayat perusahaan yang gemilang, citra kehumasan bersumber
dari kesan dan impresi yang benar. Citra positif merupakan citra yang
diinginkan oleh pihak manajemen. Citra ini juga tidak sama dengan citra
sebenarnya. Biasanya citra diharapkan lebih baik atau lebih menyenangkan
daripada citra yang ada, walaupun dalam keadaan tertentu, citra yang
terlalu baik juga merepotkan. Namun secara umum yang disebut sebagai
citra adalah sesuatu yang berkonotasi baik.
Agar tercapai opini dan persepsi yang positif, dan untuk
memperoleh citra yang baik bagi perusahaan figur anggota Satpol PP
haruslah mampu menjadi komunikator dengan menguasai teknik
komunikasi.
Sudah menjadi kewajiban bagi semua anggota yang berada pada
barisan depan Satpol PP untuk selalu membangun opini, persepsi, serta
citra baik (good image) Dinas di mata publik. Hal ini dilakukan untuk
mencapai tujuan perusahaan secara maksimal. Oleh karena itu tujuan dan
sasaran pokok tersebut harus realistis, bukan khayalan serta dapat diukur,
baik secara kualitas maupun kuantitas, bermanfaat bagi semua orang atau
indiviidu, menyebutkan jangka waktu pencapaian dan jangka waktu yang
berlaku. Tujuan dan sasaran tersebut dapat mengikat, baik untuk
28
kepentingan organisasi dan publik internal maupun publik eksternal dan
feedbacknya adalah menciptakan citra positif. (Ruslan, 2003:43)
Citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu
kenyataan. Itulah pemahaman akan citra yang diberikan Rhenald Kasali
dalam bukunya, “Manajemen Public Relations”. Hal inilah yang menjadi
tujuan pokok suatu perusahaan (corporate image) yang baik di mata
khalayak atau publiknya akan banyak menguntungkan. Misalkan, akan
menularkan citra yang serupa kepada semua produk barang dan jasa yang
dihasilkannya, termasuk bagi para pekerjanya (employee relations) akan
menjadi suatu kebanggaan tersendiri, akan menimbulkan sense of belong
terhadap company tempat mereka bekerja. Tapi ini tidak berarti citra harus
dipoles agar lebih indah dari warna aslinya, karena hal ini justru
mengacaukannya. Suatu citra yang sesungguhnya dapat dimunculkan kapan
saja, termasuk di tengah terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk.
Caranya dengan menjelaskan secara jujur apa yang menjadi penyebabnya,
baik itu informasi yang salah atau suatu perilaku yang keliru.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang anggota Satpol PP tidak
selalu mendapatkan hasil yang maksimal atau berhasil menciptakan citra
Dinas, tetapi justru sebaliknya, kehilangan citra karena merosotnya
kepercayaan dari berbagai pihak. Jika sebuah lembaga atau dinas sudah
kehilangan citra dari berbagai pihak tadi, maka akan sulit untuk meraihnya
kembali dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa berhasil kembali
dalam usaha memulihkan citra (recovery image).
Anggota Satpol PP sendiri dalam menjalankan tugasnya harus
bersikap proaktif dan mampu mengatasi perubahan yang terjadi di
29
masyarakat secara cepat. Hal ini dikarenakan sebuah lembaga atau dinas
tidak bisa terlepas dari pengaruh dan perubahan serta persoalan yang
mungkin terjadi di masyarakat di era globalisasi ini. Dengan keadaan
internal yang sehat sebuah lembaga akan memacu dirinya untuk
memberikan layanan yang baik untuk masyarakat. Adanya layanan yang
baik dan memuaskan inilah yang nantinya turut berperan dalam membentuk
citra dan eksistensi sebuah lembaga.
Semakin besar sebuah lembaga, tentu akan semakin kompleks
pekerjaan serta permasalahan yang dihadapi. Lingkungan lembaga, baik
internal maupun eksternal sangat berpengaruh dan menunjang kinerja serta
eksistensi sebuah lembaga. Untuk itu diperlukan strategi dalam
membangun sebuah komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan
pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan lembaga.
Menjalin hubungan baik dengan masyarakat sangat diperlukan
karena lembaga hidup dan bekerja di tengah lingkungan masyarakat.
Hubungan yang baik berguna untuk saling menjaga dan agar tidak saling
mengganggu antar pihak satu dengan yang lainnya. Untuk itu kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga hendaknya tidak hanya berorientasi
pada keuntungan salah satu pihak saja. Elemen masyarakat pun menjadi
penting keberadaannya karena mau tidak mau sebuah lembaga hidup di
tengah wilayah mereka.
Kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga dan ditujukan kepada
masyarakat biasanya bersifat sosial serta mempunyai tujuan ikut membantu
masyarakat itu sendiri. Lembaga harus mempunyai serangkaian program
yang jelas dan terpadu sehingga di dalam pelaksanaannya tidak terdapat
30
hambatan yang berarti. Jika hal tersebut di atas terlaksana maka lembaga
yang bersangkutan akan mendapat dukungan dan simpati dari masyarakat.
Dengan demikian secara perlahan namun psti citra positif dan akan
menguntungkan lembaga dalam meningkatkan eksistensinya.
F. Metode Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian untuk memperoleh data sebagai bahan
penyusunan ini dilaksanakan di Kantor Dinas Satpol PP Kabupaten
Wonogiri yang beralamat di Jl. Kabupaten No. 6 Wonogiri Kota Kode Pos
57612. Untuk pelaksanaan penelitiannya dilakukan pada tanggal 1 Oktober
2012 sampai dengan 30 November 2012.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan penulis adalah jenis
penelitian deskriptif yang didukung oleh data kualitatif. Penelitian
kualitatif lebih mementingkan makna, tidak ditentukan oleh kuantitasnya.
Data yang dikumpulkan berwujud kata-kata dalam kalimat atau gambar
yang memiliki arti dari sekedar angka atau jumlah. Laporan penelitian
akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian
laporan yang berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video
tape, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya
(Moleong, 2004:3).
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan
31
subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-
lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. (Rakhmat, 2001:24.)
Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini hanya
memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari hubungan, tidak menguji
hipotesis, atau membuat prediksi (Rakhmat, 2001:24). Penelitian jenis
deskriptif seperti ini juga dapat digunakan sebagai pengukuran cermat
terhadap suatu fenomena sosial tertentu. Sehingga gambaran atau deskripsi
yang akan dibuat nantinya akan sesuai dengan fakta yang terjadi di
lapangan.
Peneliti menggunakan metode kualitatif karena ada beberapa
pertimbangan antara lain, menjelaskan menyesuaikan metode kualitatif
lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan-kenyataan ganda,
metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti
dengan responden, metode ini lebih reka dan lebih dapat menyesuaikan
diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadasp pola-pola
nilai yang dihadapi.
Orientasi teoritik untuk memahami makna dari kata yang
ditemukan sesuai dengan fokus kajian, peneliti menggunakan pendekatan
fenomena seperti yang diungkapkan oleh Moleong (2004:3) tentang
pendekatan fenomenologis, yaitu yang ditekan pada kaum enomenologis
ialah aspek subyektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk
ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa
sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang
32
dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya
sehari-hari.
3. Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah Aktivitas Kegiatan Satpol PP
Kabupaten Wonogiri dalam usaha pembentukan citra di mata masyarakat
Wonogiri. Alasan penulis memilih Satpol PP Kabupaten Wonogiri karena
lokasi yang berdekatan dengan domisili asli penulis, sehingga akan
memudahkan proses pengumpulan data atau informasi yang dibutuhkan.
4. Jenis Data Penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu :
a. Data Primer : adalah data yang langsung dikumpulkan oleh penulis
dari objeknya. Dalam penelitian ini data tersebut diperoleh dari sumber
di lokasi penelitian, diantaranya dengan melakukan wawancara dan
observasi, yaitu mengamati kegiatan anggota Satpol PP dalam
menjalankan tugasnya.
b. Data Sekunder : adalah data yang diperoleh penulis dengan mengutip
serta mengumpulkan keterangan dari sumber lain dengan tujuan
melengkapi data primer. Data sekunder biasanya berbentuk sebuah
dokumentasi, catatan-catatan, internet, atau arsip.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Observasi
Alasan pemilihan teknik observasi berdasarkan pada pendapat Guba
dan Lincoln yang ditulis oleh Lexy J. Moleong (2006:117) dalam buku
nya bahwa “Teknik pengamatan mampu memahami situasi-situasi yang
33
rumit teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan memahami
sendiri perilaku dan kejadian yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Pengamatan yang dimaksud di sini adalah pengamatan secara langsung
oleh penulis mengenai penggunaan komunikasi eksternal dalam
pembentukan citra Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Wonogiri,
sehingga dapat diperoleh data yang berupa kegiatan yang dilakukan
oleh Dinas Satpol PP Kabupaten Wonogiri.
b. Wawancara
Wawancara yang digunakan peneliti bersifat indepth yang dilakukan
secara open-ended, sistematis dan fleksibel. Wawancara dilakukan
untuk memperoleh data secara detail dan mendalam dari jajaran Dinas
Satpol PP Kabupaten Wonogiri diantaranya Kepala Satpol PP, staff
dan anggota Satpol PP, terkait upaya yang dilakukan dalam
pembentukan citra.
c. Studi Pustaka
Pencarian data yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu
penggunaan komunikasi eksternal dalam pembentukan citra, yang
diperoleh dengan cara mempelajari literatur, baik buku, dokumentasi,
artikel, majalah, situs-situs internet dan sebagainya.
6. Validitas Data
Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data
menggunakan metode triangulasi. Moleong (2006:330) mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan triangulasi adalah :
Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
34
pembanding terhadap data itu. Triangulasi yang paling banyak digunakan
ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Hal tersebut dilakukan dengan cara :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang di katakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan. (Moleong, 2006:178).
7. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif pada
prinsipnya dimaksudkan untuk memberikan makna terhadap data, menaf
sirkan atau mentransformasikan data ke dalam bentuik-bentuk narasi. Nara
si ini kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-pro
posisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan final.(Pawito,
2009:60)
Miles dan Huberman menawarkan satu teknik data yang disebut
analisis interaktif. Prosesnya terdiri dari tiga bagian yaitu reduksi data,
sajian data dan verifikasi data atau penarikan kesimpulan. Analisis
interaktif bersifat siklus dan tidak linear (H.B. Sutopo, 2002:96).
35
Diadopsi dari H. B. Sutopo, 2002: 96
Gambar I.2
Analisis Model Interaktif
Keberadaan data dalam sebuah penelitian merupakan hal yang
harus dipenuhi. Karena keberadaan sebuah data akan menunjang
keberhasilan sebuah penelitian. Penelitian tanpa data tidak lebih dari
sekedar asumsi yang tidak memiliki dasar kuat untuk dipertanggung
jawabkan.
a. Reduksi data
Merupakan proses seleksi, pemusatan perhatian dalam penyederhanaan
dan abstraksi data kasar yang muncul pada saat di lapangan. Data yang
didapat kemudian diringkas atau dibuatkan uraian singkat namun tidak
menghilangkan substansi dari data yang telah didapat sebelumnya.
Data yang penulis peroleh dari aktivitas kegiatan yang dilakukan oleh
Satpol PP Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:
1) Penyusunan Program dan pelaksanaan Ketentraman dan Ketertiban
umum, Penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah.
Pengumpulan data
Reduksi Data
Penarikan kesimpulan/
verifikasi
Sajian data
36
2) Pelaksanaan kewajiban pemeliharaan dan penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum daerah.
3) Pelaksanaan kebijakan Penegakan Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah.
4) Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum serta Penegakan Peraturan
Daerah, Keputusan Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian
Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur
pengawasan lainnya terhadap masyarakat, agar mematuhi dan
mentaati Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
(Mustika, 2009:2)
b. Penyajian data
Penyajian data adalah untuk mengintegrasikan semua informasi yang
telah didapat untuk kemudian disusun dalam satu wacana yang mudah
dipahami. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung dan memudahkan
proses penarikan kesimpulan dari sebuah penelitian. Penyajian data
meliputi jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan.
c. Penarikan kesimpulan
Merupakan sebagian dari suatu kegiatan dan konfigurasi yang utuh.
Kesimpulan juga diverifikasi selama proses penelitian berlangsung. Di
awal pengumpulan data, peneliti sudah memahami apa arti dari bagian-
bagian yang diteliti dengan melakukan pencatatan berbagai peraturan,
pola yang digunakan, pernyataan didapat, konfigurasi yang mapan,
arahan, sebab-akibat maupun proposisi-proposisi sehingga memudah-
kan dalam proses pengambilan kesimpulan.VALIDITAS DATA
123
Kenneth D. Plowman and Satina Chiu. 2007. Public Relations Journal: Corporate
Identity and Corporate Reputation in Silicon Valley: Case Studies in
Public Relations and Integrated Communications, Vol.1 No.1 Fall 2007.
Public Relations Society of America.
Kotler, Philip. 2005. Manajamen Pemasaran, Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Indeks.
Kelompok Gramedia
Madhavaram, Sreedhar, Vishag Badrinarayanan, dan Robert E. McDonald. 2005.
“Integrated Marketing Communication (IMC) and Brand Identity as
Critical Components of Brand Equity Strategy”. Journal of Advertising,
vol. 34, no. 4 (Winter 2005), pp. 69–80. American Academy of
Advertising. ISSN 0091-3367 / 2005.
Moleong, Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Muktiyo, Widodo. 2006. Membangun Usaha dengan Kekuatan Image,
Yogyakarta : PINUS
Pawito, 2009, Komunikasi Politik : Media Massa dan Kampanye Pemilihan.
Jogjakarta: Jala Sutra.
Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana
Rakhmat, Jalaluddin, 2001. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Robbins, Stephen. 2006. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT Indek Kelompok
Gramedia.
Rosady Ruslan. 2003. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi,
Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-------., 2006. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi Konsepsi dan
Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
-------., 2007. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi Konsepsi dan
Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Schiffman, l.G., & Leslie L.Kanuk, 2004. Consumer Behavior. 8th
edition.
Prentice Hall, New Jersey
Shimp, Terence A.. 2003. Periklanan Promosi; Aspek Tambahan Komunikasi
Pemasaran Terpadu, Penterjemah Revyani Sahrial. Jakarta : Erlangga.
124
Soemirat, Soleh, Elvinardo Ardianto, 2002, Dasar-dasar Public Relations,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Soleh, C dan Bambang Trisantono. 2001. Pamong Praja Dalam Perspektif.
Sejarah. Depok: CV Citra Utama
Sutisna, 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran. PT. Remaja.
Rosdakarya, Bandung
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan
Polisi Pamong Praja