Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena sosial yang pada saat ini
sedang melanda bangsa-bangsa di dunia. Modernisasi merupakan produk dari
aliran filsafat modern. Filsafat abad modern dimulai dengan tiga aliran yaitu
empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1220 M), rasionalisme dengan
tokohnya Rene Decartes (1596 M) dan kritisisme yang dipelopori oleh
Immanuel Kant (1724). Ketiga aliran ini menghasilkan pemikiran-pemikiran
modern yang bersifat positivistik, teknosentrik, dan rasionalistik, serta grand
narrative yang dimaknai sebagai suatu kebenaran yang bersifat universal.
Lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern, menghasilkan
peradaban modern. Menurut Soekanto (2001. Hlm.387) , untuk menjadi modern
masyarakat harus memiliki, cara berpikir ilmiah (scientific thinking), sistem
pengumpulan data yang baik dan teratur, terciptanya iklim yang favourable,
terciptanya sistem administrasi yang baik, tingkat organisasi yang tinggi, serta
sentralisasi perencanaan sosial (social planning). Apabila syarat-syarat tersebut
terpenuhi maka masyarakat sedang memasuki peradaban modern.
Syarat tersebut mendorong terjadinya transformasi sosial budaya di
kalangan masyarakat dari masyarakat tradisional yang mendambakan menjadi
masyarakat modern. Mereka meyakini bahwa melalui modernitas dan
globalisasi, masyarakat dapat mengembangkan atau mengadopsi pola berpikir
orang modern. Peradanan modern inilai yang akhirnya melahirkan globalisasi.
Barchuk dan Harkins (2010, hlm.1) bahwa: “Globalization enable a better
understanding of the modern world and inspires responsible actions that will
change our future for the better”.
Fenomena globalisasi merupakan bagian yang diawali pada abad 17
dengan terjadinya revolusi industri sehingga bangsa Eropa berlomba-lomba untuk
mencari sumber bahan mentah dan pemasaran, Giddens (1990, hlm. 64)
memaknai globalisasi „…as the intensification of worldwife social relations which
2
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
link distant localities in such a way that local happening are shaped by events
occurring many miles away and vice versa”. Melalui globalisasi terjadi interaksi
sosial dan budaya yang sangat inten antar bangsa-bangsa di dunia. Sebagaimana
dikemukakan oleh Kellnes, 2002 (dalam Ritzer dan Goodman, 2003, hlm. 590)
bahwa:
Globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkat relasi sosial dan
aliran komuditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk-bentuk kultur, dan
penduduk yang melewati batas-batas nasional via jaringan masyarakat
global...Transmutasi teknologi dan kapital bekerja sama menciptakan
dunia baru yang mengglobal dan saling terhubung. Revolusi teknologi
yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi dan
pertukaran merupakan praanggapan (presupposition) dari ekonomi global,
bersama dengan perluasan dari sistem pasar kapitalis dunia yang menarik
lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi ke
dalam orbitnya.
Relasi modernisasi dan globalisasi dengan kebudayaan menurut Scholte
(dalam Mubah, 2011,hal. 302-308) dapat diamati melalui lima faktor yaitu
intenasionalisasi, liberalisasi ekonomi, westernisasi, demokratisasi dan
deteritorialisasi. Internalisasi mengglobalnya berbagai fenomena dan peristiwa
yang terjadi di dunia, liberalisasi ekonomi, menunjukkan tanda-tanda dimana
ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada pasar sehingga peran pemerintah dan
masyarakat menjadi tereduksi. Westernisasi ditandai terjadinya difusi budaya dan
gaya hidup dari masyarakat barat sebagai sumber masyarakat modern. Faktor
demokratisasi mentranformasi pola kehidupan sosial dan politik yang memberi
kekuatan seluas-luasnya kepada masyarakat, sedangkan deteritorialiasi ditandai
dengan berkurangnya peran negara sebagai pelaku yang tergantikan oleh
kekuatan-kekuatan opini dan persepsi yang dibangun melalui teknologi informasi
dan komunikasi yang bersifat kecenderungan-kecenderungan dan syarat dengan
kepentingan.
Dampak yang perlu dicermati dan dikritisi dari modernisasi dan globalisasi
adalah homogeneity bidang sosial, budaya dan ekonomi bahkan ideologi bangsa-
bangsa di dunia. Dari aspek budaya, karena kekuatan globalisasi ini dikendalikan
oleh negara-negara yang memiliki peradaban yang lebih maju baik dari segi
3
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
teknologi, finasial maupun manajerial, maka homogeneity didominasi oleh
kekuatan negara-negara modern yang efeknya terjadi proses transformasi lokal
yang mengarah pada melunturnya nilai sosial budaya lokal itu sendiri.
Sebagaimana diingatkan oleh Giddens,1990 (dalam Ritzer and Goodman,
2005, hlm. 553), yang menganalogikan modernitas dengan istilah Juggernaut atau
panser raksasa…
yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga
terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur lebur.
Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan
meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun juga
sewaktu-waktu dapat berbelok kearah yang tak terbayangkan
sebelumnya. Perjalanannya bukan sama sekali tak menyenangkan atau
tak bermanfaat; ada kalanya memang menyenangkan dan berubah
sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi sepanjang institusi modernitas
ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan
sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kitapun takkan
pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya
penuh dengan bahaya.
Kuatnya daya tarik dan propaganda yang luar biasa tentang modernisasi
dan globalisasi, berujung pada saling berlombanya bangsa-bangsa di dunia
termasuk Indonesia untuk bertransformasi dari masyarakat tradisional menuju
bangsa modern. Gambaran masyarakat modern yang identik dengan kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi dan politik menjadi daya
tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa baik di negara-negara terbelakang maupun
negara berkembang. Ditambah dengan hadirnya organisasi-organisasi dunia yang
dirancang oleh negara barat/negara maju hal ini memberi kekuatan tersendiri
untuk menyeret bangsa-bangsa di dunia ke dalam arena modernisasi dan
globalisasi yang dirancang mereka yang notabene sebagai negara maju.
Sadar atau tidak harus diakui bahwa aktor utama proses modernisasi dan
globalisasi dipelopori oleh negara-negara maju alias negara-negara barat seperti
Amerika, Australia, Jepang, China dan negara-negara di Eropa Barat. “Mereka
berupaya mengeksport nilai-nilai lokal di negaranya untuk disebarkan di seluruh
dunia sebagai nilai-nilai global” (Mubah, 2011, hlm 320-308). Padnan sosial dan
kebudayaan, maka budaya modernisasi dan globalisasi akan berhadapan dengan
4
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
budaya dan peradaban lokal. Konsekwensinya adalah terjadi difusi, akulturasi,
asimilasi atau hegemoni dari bangsa-bangsa yang lebih kuat. Menurut Faqih
(dalam Lutfiana 2014, hlm, 69) bahwa “globalisasi merupakan krisis sejarah
dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lain”. Sudah barang tentu bangsa
Indonesia tidak ingin kalah dalam pertarungan pengaruh antar budaya tersebut.
Untuk itu bangsa Indonesia perlu memperkuat ketahanan budaya agar tidak
mudah tergusur oleh budaya asing
Sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia harus mewaspadai
sekaligus menangkal dampak negatif modernisasi dan globalisasi. Karena
apabila keliru dalam mengsikapinya dan mengantisipasinya taruhannya adalah
eskistensi bangsa dan negara. Homogeneity tidak saja berakibat pada hilangnya
budaya lokal, tetapi menurut Tilaar (2007, hlm. 14) globalisasi akan melahirkan
“dunia tanpa batas (Keniche Ohmae), dunia yang rata (Friedman) menunjukkan
gejala-gejala melunturnya peranan etnisitas di dalam kehidupan global
millennium ketiga”
Dalam situasi seperti ini modernisasi dan globalisasi harus disikapi dari
dua perspektif. Pertama, menjadikan modernisasi dan globalisasi sebagai sarana
meningkatkan kesejahteran. Kedua, modernisasi dan globalisasi dianggap
sebagai suatu ancaman yang harus disikapi dengan hati-hati. Kedua hal tersebut
sejalan dengan pandangan Setiadi dan Kolip, (2011, hlm. 703) bahwasanya:
Modernisasi dan globalisasi melahirkan fenomena media bidang kultur
yang memiliki empat ciri yaitu: Sekularisasi: merosotnya arti penting
keyakinan agama, kekuatan gaib, nilai, dan norma dan diganti oleh
gagasan dan aturan yang disahkan oleh argumen dan pertimbangan
duniawi. Peran sentral ilmu yang membuka jalan untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar dan selanjutnya dimanfaatkan dalam bentuk
teknologi atau kegiatan produktif. Demokratisasi pendidikan, yang
menjangkau lapisan penduduk yang makin luas dan tingkat pendidikan
yang makin tinggi. Munculnya kultur massa, produk estetika,
kesusastraan, dan artistik berubah menjadi komuditas yang tersebar luas di
pasar dan menarik semua lapisan.
Sekularisasi merupakan salah satu ciri para penggagas modernism, yang
menjauhkan diri dari nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari transendental. Hal
5
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ini bertentangan dengan watak kebangsaan Indonesia yang bersifat religious dan
berke-Tuhanan. Peran sentral ilmu yang berbasis pada metode ilmiah dengan
landasan rasionalistik, empiristik dan universalitas pada masyarakat modern
menapikkan nilai-nilai kearifan lokal serta meminimalisir dimensi transsendental
spiritualitas keagamaan dalam kehidupan, sehingga menimbulkan kegamangan
akan nilai yang dianutnya. Kegamanangan tersebut menurut Sauri (2013, hlm. 1)
“…merupakan akibat manusia lebih mengutamakan kemampuan akal,
memarginalkan peranan nilai-nilai transendental serta tunduk pada paham
individualism dan kapitalisme”. Kondisi ini diperparah dengan sistem demokrasi
pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi
dengan mengadopsi sistem pendidikan barat yang sekuler, yang menjauhkan dan
meminimalisir nilai-nilai kearifan lokal.
Dari aspek budaya munculnya kultur massa sebagai produk dari
modernisasi dan globalisasi, ditenggarai akan mengakselerasi kematian atau
eksistensi budaya lokal. Sebagaimana dikemukakan oleh Mubah (2011, hlm. 302-
308) bahwa: “ Situasi yang kemudian muncul adalah Indonesia menjadi salah satu
pasar potensial berkembangnya budaya asing milik negara maju berkekuatan
besar. Situasi ini mengancam budaya-budaya lokal yang telah lama mentradisi
dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia”.
Walaupun para pemikir kritis seperti (Gidden, 1990), Tilaar (2007), Ali,
(dalam Laode, 2013) , Lee and Leung ( 2006), Setiadi dan Kolip (2011), Ritzer
(2003), menyadari akan bahaya modernisasi dan globalisasi. Namun bangsa-
bangsa di dunia termasuk Indonesia tidak dapat mengelaknya. Karena kondisi
sekarang setiap negara di dunia satu sama lain memiliki tingkat ketergantungan
yang tinggi, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi.
Namun demikian fenomena tersebut harus disikapi dengan kritis dan hati-hati.
Strategi dan langkah penting yang harus dilakukan dalam menghadapi
dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah upaya meningkatkan daya
tahan budaya lokal agar mampu bertahan bahkan dapat bersaing dengan budaya
luar. Mubah (2011) menggagas ada empat strategi untuk meningkatkan daya
6
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
tahan budaya lokal, yaitu (1) pembangunan jatidiri bangsa, (2) pemahaman
falsafah bangsa, (3) penerbitan peraturan daerah, dan (4) pemanfaatan teknologi
informasi.
Strategi pertama, yaitu pembangunan jati diri bangsa, mengandung arti
pentingnya internalisasi nilai-nilai budaya lokal sedini mungkin di kalangan
generasi muda. Internalisasi nilai-nilai budaya lokal dapat masuk melalui
pendidikan informal seperti di kalangan keluarga, pendidikan nonformal di
kalangan masyarakat dan pendidikan formal seperti di sekolah-sekolah.
Kedua perlunya pemahaman falsafah budaya di kalangan generasi muda
Indonesia. Menurut teori strukturalism “aktivitas sosial seperti mitos/dongeng,
ritual-ritual, sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal dan
sebagainaya secara formal dapat dilihat sebagai bahasa yakni sebagai tanda dan
simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Budaya menurut pandangan
strukturalisme merupakan simbol, yang pada tataran lokal di dalamnya
mengandung nilai-nilai kearifan. Mempelajari budaya lokal akan menjadi tidak
bermakna dan tidak menarik tanpa mengetahui dan memahami ide dan gagasan
yang terkandung di dalamnya. Tetapi apabila nilai-nilai sosial budaya
ditransformasikan dengan baik, maka akan tercipta internalisasi nilai-nilai
kearifan lokal di kalangan generasi muda.
Ketiga adalah penerbitan peraturan daerah, bahwasanya daya tahan budaya
lokal akan menjadi lemah manakala tidak didukung dengan perangkat regulasi
yang memproteksi unsur-unsur budaya lokal dari kepunahan. Melalui regulasi
dimungkinkan segenap lapisan masyarakat dituntut untuk secara sadar dan
sukarela bahkan dipaksa untuk menghidupkan unsur-unsur budaya lokal yang
pernah hidup atau yang masih eksis di masyarakat.
Strategi yang terakhir adalah memanfaatkan teknologi informasi. Menurut
Mubah (2011, hlm. 302 – 308) “budaya lokal yang khas dapat menjadi suatu
produk yang memiliki nilai tambah tinggi apabila disesuaikan dengan
perkembangan media komunikasi dan informasi”. Menurut pandangan aliran
kritis bahwa transformasi sosial terjadi, “asalkan proses komunikasi dilakukan
7
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
oleh pelaku-pelaku sadar diri secara terbuka dan terus menerus, dengan
mempertajam dialog-dialog, mempertemukan kepentingan-kepentingan pribadi
dengan komunikasi aktif untuk mengambil konsensus-konsensus titik-titik temu
kepentingan bersama. Melalui pemanfaatan teknologi informasi tidak saja
memperkuat daya tahan budaya lokal tetapi diharapkan mampu mengangkat
derajat budaya from locally to globally.
Masyarakat Cirebon secara administratif berada di wilayah Provinsi
Jawa Barat, tetapi secara kultural berbeda dengan masyarakat Pasundan, dan
masyarakat di Indonesia lainnya. Perbedaan yang nampak adalah pada bahasa
lokal. Penduduk asli Cirebon menggunakan bahasa lokal (basa Cerbon) sebagai
alat komunikasi sehari-hari. Walaupun menurut Noer (2014) bahasa Cirebon “
belum dapat dikategorikan bahasa yang mandiri, tapi masih merupakan
dialek/bagian dari bahasa Jawa Tengah dan Yogyakarta serta Jawa Timur”,.
namun masyarakat Cirebon mengganggapnya sebagai bahasa Cerbon yang
mandiri, sehingga di sekolah ada kurikulum muatan lokal Basa Cerbon.
Selain dari segi bahasa, perbedaan yang menonjol antara budaya Pasundan
dengan budaya Cirebon adalah pada sistem kesenian, lukisan kaca, ragam hias
batik Cirebon, golek cepak, jaran lumping, topeng Cirebon, macapat, tarling,
sandiwara/marses, brai. Kesenian tersebut memiliki perbedaan baik dari aspek
bentuk keindahannya maupun makna ide dan gagasannya.
Perbedaan lain adalah dari sisi budaya sistem kepercayaan. Masyarakat
Cirebon maupun Pasundan sebagian besar memeluk agama Islam. Tetapi budaya
ke-Islaman di Cirebon berbeda dengan budaya ke-Islaman Pasundan pada
umumnya. Di kalangan masyarakat Cirebon dikenal ada tradisi panjang jimat
(untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad), kliwonan Gunung Jati, rasulan,
sedekah humi, grebeg syawal, nadran, apeman, sebrah, bubur Syura, yang
kekhasannya tidak ditemukan di tempat lain.
Budaya artefact, yang cukup menonjol adalah arsitektur bangunan khas
Cirebon. Struktur bangunan pada keraton-keraton di Cirebon, seperti bentuk atap
Limasan, teknik Cukit pada kaso bangunan, struktur kuta kosod, dan gapura.
8
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Satu-satunya masjid di Indonesia yang atapnya berbentuk Limasan hanya di
jumpai pada Masjid Agung Sangciptarasa di Cirebon. Bahkan bentuk limasan
dan teknik cukit ini telah diadopsi pada bangunan atap pendhapa Museum
Sonobudoyo Yogyakarta.
Cirebon merupakan kawasan yang memiliki ragam kekayaan budaya lokal
yang tinggi. engidentifikasi ada banyak jenis cabang seni tradisional terdapat di
wilayah Cirebon, yang merupakan warisan para leluhur terutama di era
kejayaan kerajaan Islam Cirebon. Sedangkan di Pemerintah Kota Cirebon (2014)
bahwa:
Kota Cirebon memiliki enam kawasan yang dilindungi eksistensinya yaitu:
Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, Kawasan
Gua Sunyaragi, Kawasan Etnik Arab (Panjunan) dan Kawasan Etnis
China (Pecinan), dan 52 cagar budaya dalam bentuk bangunan yang
mendapat perlindungan khusus.
Warisan budaya leluhur baik berupa warisan budaya benda maupun
bukan benda disamping memiliki nilai-nilai nyata (tangible values), juga memiliki
nilai-nilai makna kehidupan (intangible values), yang dapat dijadikan sebagai
nilai tuntunan dalam kehidupan yang bertatanan. Nilai-nilai kehidupan yang
terkandung di dalam warisan budaya leluhur tersebut, menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk melestarikannya melalui transformasi kepada generasi muda.
Upaya melestarikan budaya lokal dihadapkan pada dua tantangan besar.
Pertama tantangan dari luar dengan kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang
dapat mengeliminasi eksistensi budaya lokal sebagaimana diuraikan di atas.
Tantangan yang kedua, bersumber dari dalam yaitu mulai ditinggalkannya
tradisi-tradisi leluhur tersebut oleh para generasi muda Cirebon. Sebagaimana di
kemukakan pada Saresehan Seni Budaya Cirebon tanggal 5 Mei 2014 di Keraton
Kacirebonan, bahwa: “Ada kecenderungan para generasi muda Cirebon, sudah
kurang berminat untuk mempelajari atau mewarisi budaya sendiri”.
Perlu dilakukan studi yang komprehensif untuk mengetahui faktor
penyebab internal mengapa generasi muda cenderung meninggalkan budaya
leluhurnya. Namun salah satu isu yang kerap menjadi perdebatan di kalangan
9
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
masyarakat adalah masalah ideologi. Konflik ideologi yang berkenaan dengan
tradisi di keraton seperti kliwonan, panjang jimat, ziarah kubur hakekatnya terjadi
dalam konteks gagasan, tataran pemikiran atau pemahaman yang berbeda antara
kelompok masyarakat Islam yang pro dan kontra.
Fenomena konflik tersebut di atas tidak hanya pada tradisi kliwonan di
Astana Gunung Jati, tetapi terjadi juga pada tradisi-tradisi lainnya seperti ziarah
pada lokasi situs-situs peninggalan wali, upacara panjang jimat, syawalan,
nadran, sedekah bumi dan lain-lain. Karena pada umumnya tradisi dan budaya
tersebut bersinggungan dengan unsur kepercayaan dan nilai-nilai yang bersifat
subtansial.
Sampai saat ini Keraton Cirebon memposisikan dirinya sebagai
komunitas pemangku adat. Dengan demikian keaslian budaya Cirebon core-nya
ada pada komunitas keraton Cirebon. Keraton menjadikan dirinya sebagai benteng
pertahanan budaya Cirebon. Oleh sebab itu walaupun ada golongan masyarakat
yang pro maupun yang kontra terhadap tradisi keraton, mereka tetap
mempertahankan tradisi yang telah ada. Sepanjang tahun di keraton tidak luput
dari kegiatan yang sudah mentradisi. Bagi mereka melaksanakan tradisi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya meneruskan ajaran leluhur
mereka. Para pendahulu mereka mengajarkan den hormat ing wong tua dan den
hormat ing leluhur, melestarikan tradisi dan ajaran leluhur merupakan bentuk
penghormatan dan penghargaan kepada pendahulu mereka.
Faktor eksternal dan internal ini memberi kontribusi terhadap
melunturnya budaya lokal di kalangan generasi muda. Transformasi kebudayaan
sendiri merupakan suatu keniscayaan dan kepastian. Namun demikian perubahan
sosial dan budaya yang lepas dari akar budaya lokal berdampak pada hilangnya
identitas etnik dan kebangsaan. Transformasi budaya dapat disetting sedemikian
rupa agar akar budaya lokal tidak terlepas dari induk budaya asalnya. Disisi lain
transformasi budaya juga harus mempertimbangkan sejauhmana nilai-nilai budaya
yang ada berkonstribusi terhadap kemajuan suatu bangsa.
10
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Untuk mengantisipasi melunturnya budaya lokal yang berkepanjangan,
maka pendidikan berbasis budaya merupakan pilihan yang harus diambil.
Petama, melalui pendidikan transformasi dapat dilakukan rekonstruksi budaya
kepada generasi muda sedini mungkin. Kedua transformasi budaya yang terjadi
di masyarakat tetap masih berakar pada nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai
kearifan lokal ini merupakan bagian dari sistem sosial yang berfungsi mengatur
tata peri kelakuan anggota masyarakatnya. Oleh karena itu pendidikan harus
difungsikan sebagai upaya “… menggali, menemukan, membangun dan
mentransmisikan moral dan nilai berasal dari keunggulan lokal karena
kearifannya menjadi suatu kebutuhan” (Maryani, 2011, hlm. 6), di era masyarakat
yang terbuka dan demokratis.
Menurut Anthony D. Smith (dalam Tilaar, 2007, hlm. 143) , dalam dunia
pendidikan ada tiga asumsi dasar yang harus menjadi pemikiran, yaitu…
pertama, adanya unsur-unsur sentral seperti simbolik, mitos, memori,
tradisi, nilai-nilai, ritus-ritus dan simbol, yang berfungsi di dalam
terbentuknya suatu bangsa. Kedua, unsur-unsur simbol tersebut di atas
diambil dari simbol-simbol etnis dan simbol-simbol etno religious, mitos,
memori dan tradisi dari penduduk yang mempunyai hubungan satu dengan
yang lainnya. Ketiga unsur-unsur etno simbolik tersebut meskipun dapat
berubah dari beresonasi diantara penduduk untuk waktu yang lama bahkan
sebelum lahirnya nasionalisme modern.
Cirebon sebagai masyarakat multi etnik, maka budaya memiliki
kontribusi yang nyata dalam membangun jiwa nasionalisme/kebangsaan. Untuk
itu perlu upaya penggalian terhadap apa yang disebut nilai-nilai kearifan lokal
(local wisdom). Sebagaimana dikemukakan Maryani, (2011, hlm.1) bahwa:
“Dalam penjelajahan jaman untuk mencapai tujuan „kesejahtaeraan dan kebesaran
suatu bangsa‟, Indonesia membutuhkan energi dalam bentuk jati diri (sense of
identity), solideritas (sense of solidarity), rasa saling memiliki (sense of
belonging), dan kebanggaan bangsa (sense of pride)”.
Sikap dan rasa serta dorongan untuk mempertahankan identitas diri suatu
bangsa sehingga memiliki jati diri yang akan menjadi kepribadian bangsa,
merupakan modal sosial (social capital) yang sangat potensial untuk
11
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pembangunan suatu bangsa yang beridentitas dan bermartabat. Dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan seperti patriotisme dan nasionalisme,
tanggung jawab, kejujuran serta kerja keras, maka Indonesia akan menjadi negara
yang eksistensinya dihormati oleh bangsa-bangsa di dunia.
Di era modernisasi dan globalisasi yang begitu hebat melanda bangsa-
bangsa di dunia, maka nilai kearifan lokal memiliki kedudukan yang sangat
penting dan strategis, oleh sebab itu perlu dilestarikan dan dijaga. Karena
menurut Wagiran (2012, hlm. 333) bahwa.
Kearifan lokal merupakan modal pembentukan karakter luhur. Karakter
luhur adalah watak bangsa yang senantiasa bertindak dengan penuh
kesadaran, purba diri, dan pengendalian diri. Pijaran kearifan lokal selalu
berpusat pada upaya menanggalkan hawa napsu, meminimalisir keinginan
dan menyesuaikan dengan empan papan. Kearifan lokal adalah suatu
wacana keagungan tata moral.
Melalui identifikasi nilai sosial budaya lokal, keluarga, masyarakat dan
sekolah dapat memformulasikan dengan tepat, teruji, dan terukur bagaimana
nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sebagai media atau sumber pembelajaran
di sekolah. Perlu pula disadari bahwa“..modal kultural bukanlah sesuatu yang
berkaitan dengan ras, biologis, tetapi merupakan sesuatu yang dilahirkan dan
dikembangkan dalam suatu komunitas, apakah komunitas etnis atau komunitas
suatu bangsa” (Tilaar, 2007, hlm.57).
Sudah sewajarnya lingkungan sosial budaya menjadi basis dalam
proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Institusi pendidikan di negeri ini
jangan sampai “tidak ada pelajaran yang menyebabkan si siswa mengenal
sumber budayanya. Tidak ada yang menganggap perlu anak-anak didik yang akan
menjadi pewaris negara dan bangsa Indonesia mengenal dengan baik sumber
budayanya.
Pada dasarnya pendidikan mencakup seluruh proses yang membantu
pembentukan pola pikir, dan karakter manusia sepanjang hidup. Dapatlah
dikatakan bahwa generasi muda secara kultur tidak matang dengan sendirinya
akan tetapi mereka perlu ditunjuki jalan untuk mencapai kematangan. Sudah
12
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
semestinya lingkungan sosial budaya menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam sistem kurikulum dan pengajaran di sekolah.
Peletakan dasar-dasar nilai dan sikap (Values and attitude), yang didasari
pada nilai sosial budaya, baik pada tataran lokal, regional, nasional merupakan
suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Pendidikan dasar minimal memiliki empat fungsi, yaitu: fungsi pengembangan
pribadi, fungsi pengembangan kemampuan sosial, fungsi pembekalan untuk
melanjutkan studi dan fungsi persiapan untuk mengembangkan karier”.
Mata pelajaran IPS pada sistem pendidikan nasional memiliki kedudukan
(legal standing) yang strategis dalam membingkai kelangsungan pembangunan
dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003, pasal 37 menyatakan: „Pendidikan IPS bertugas untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi
sosial masyarakat, untuk kemudian secara bertahap ikut mengurangi dan
mengatasi problem-problem sosial yang ada”.
Dalam konsteks kebangsaan (unity), pendidikan IPS harus dimaknai
sebagai pendidikan yang „tidak bebas nilai tetapi syarat dengan nilai‟.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat melahirkan
fenomena globalisme yang merasuk pada sendi-sendi kehidupan generasi muda
Indonesia. Pendidikan IPS dihadapkan pada banyak tantangan, oleh sebab itu
“pendidikan IPS akan memiliki kekuatan epistemologi yang kokoh, apabila
dikembangkan atas paradigma modern yang berbasis pada keterpaduan sains,
teknologi dan agama dalam situasi sosial kultural Indonesia didukung oleh
kekuatan epistemologi penelitian” (Al Muchtar, 2013,hlm.35). Pernyatan tersebut
dipertegas oleh Tilaar (2007, hlm. 210) yang mengkritisi sistem pendidikan pada
era Orde Baru dimana: “…pendidikan formal maupun non formal secara
sistematik mulai terasingkan dari kebudayaan, baik kebudayaan lokal maupun
kebudayaan nasional”. Dari perspektif ini pembelajaran IPS memiliki kedudukan
yang strategis, untuk meluruskan arah praktik pendidikan dan pengajaran di
sekolah agar pendidikan nasional Indonesia mampu membekali siswa pada
13
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pengenalan, pemahaman, penyadaran, pewarisan, pengembangan dan
pengamanan terhadap nilai-nilai sosial budaya baik lokal maupun nasional.
Melalui pendidikan IPS berbasis nilai sosial budaya ini diharapkan ada
dua pencapaian yang dapat diraih. Pertama, pendidikan sebagai proses pewarisan
nilai-nilai tradisi budaya (transmisi nilai). Kedua, pendidikan sebagai proses
transformasi nilai. Menurut Sarjio dan Pannen (2005, hlm. 88) bahwa: “Dalam
pembelajaran berbasis sosial budaya, maka fenomena sosial budaya menjadi
sebuah media bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke
dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang alam‟.
Implikasinya adalah pembelajaran berbasis nilai sosial budaya ini, tidak
hanya sebagai proses transmisi, tetapi juga untuk membangun ketrampilan
berpikir kritis pada siswa. Pembelajaran dapat menciptakan kebermaknaan dan
siswa memperoleh pemahaman akan informasi yang didapat tersebut sebagai
suatu landasan yang rasional dalam mensikapi suatu nilai budaya yang yang
dipelajarinya Lebih lanjut Sarjio dan Pannen (2005, hlm.86) menyatakan bahwa:
…proses pembelajaran berbasis budaya bukan sekedar mentransfer atau
menyampaikan budaya atau perwujudan budaya tetapi menggunakan
budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus
batas imajinasi, dan kreativitas untuk mencapai pemahaman yang
mendalam tentang mata pelajaran yang dipelajarinya”.
Pendekatan pembelajaran berbasis nilai sosial budaya lokal, sangat relevan
untuk diterapkan pada pembelajaran IPS. Karena salah satu ruang lingkup dari
pembelajaran IPS adalah fenomena sosial dan budaya mulai dari lingkungan
sekitar sampai pada tataran yang lebih luas. Dengan sistem kurikulum yang
berbasis pada satuan pendidikan serta desentralisasi penyelenggaraan pendidikan,
maka pendidikan dan pengajaran IPS yang berbasis pada nilai sosial budaya lokal
sangat terbuka untuk mengakomodasi nilai-nilai sosial budaya tersebut ke dalam
kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah.
Budaya lokal melahirkan kearifan lokal. Terdapat pada suatu masyarakat,
baik masyarakat dalam arti luas maupun masyarakat dalam konteks komunitas
sekalipun. Menurut Rahyono, (dalam Wahyuningsih, 2014, hlm. 172) dikatakan:
14
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh
kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.
Artinya kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui
pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat lain. Nilai-
nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai
itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang sepanjang keberadaan
masyarakat tersebut.
Dari pandangan tersebut di atas dapat dimaknai bahwa kurikulum dan
pembelajaran IPS hendaknya tidak melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya.
Namun demikian dalam praktik di kelas pembelajaran IPS harus dapat
membangun kompetensi siswa terhadap pemahaman nilai-nilai sosial budaya di
lingkungannya. Dalam arti proses transformasi nilai melalui pembelajaran IPS
harus dapat membantu siswa agar memiliki wawasan, pengetahuan, kesadaran,
daya kritis serta tindakan yang tepat dalam mengsikapi nilai-nilai sosial budaya
lokal yang ada di lingkungannya. Sehingga siswa memiliki kesadaran nilai-nilai
mana yang harus dipertahankan, dikembangkan atau yang harus dihindarkan.
Adanya konflik antara kelompok masyarakat yang pro dan yang kontra
terhadap tradisi-tradisi yang ada di Cirebon, derasnya arus globalisasi,
melunturnya minat generasi muda terhadap budaya lokal, itu semua harus
mendapat perhatian di kalangan stakeholder pendidikan dan pembelajaran IPS
di sekolah. Artinya para stakeholder ke-IPS-an harus memiliki gagasan yang
konseptual bagaimana praksis pembelajaran IPS di sekolah mampu memberikan
konstribusi terhadap pemecahan masalah sebagaimana dikemukakan di atas.
Atas dasar kajian baik secara teoritis maupun kajian empirik tersebut di
atas, peneliti memiliki ide dan gagasan untuk melakukan studi etnopedagogis
pada Komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon. Melalui studi etnopedagogis ini
diharapkan dapat memperkaya ontologi, epistemologi dan aksiologi
pembelajaran IPS di sekolah, utamanya pada pengembangan kurikulum dan
pembelajaran IPS yang berbasis pada kearifal lokal.
B. Identifikasi Masalah Penelitian
15
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Cirebon merupakan kawasan di Timur Laut Jawa Barat, yang memiliki
keragaman dan kekayaan sosial budaya. Keragaman dan kekayaan budaya
Cirebon, tidak lepas dari latar belakang geografis dan sejarah peradaban Cirebon
itu sendiri. Pengaruh budaya primordial (lokal) yang masih diwarnai dengan
nuansa anismisme dan dinamisme, serta munculnya peradaban Hindu dan Buddha
pada masa kekuasaan raja-raja di tatar Pasundan, masuk pula peradaban Islam
pada abad ke 15, serta bangsa Eropa pada abad ke 17 menjadikan Cirebon sebagai
„muara budaya‟ (meltingpot) dari berbagai peradaban, agama dan etnik. Namun
“seiring dengan adanya transformasi sosio-kultural dalam serbuan globalisasi
dewasa ini, menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terutama kaum muda
terhadap budaya sendiri” (Dahuri,dkk, 2004, hlm. xi).
Mengkritisi hal tersebut di atas, peran pendidikan dan pengajaran IPS
menjadi sangat penting dalam mentransformasikan nilai-nilai sosial budaya lokal.
Ada dua alasan mengapa transformasi nilai sosial budaya dalam pembelajaran di
sekolah memiliki kedudukan yang strategis. Pertama, arus modernisasi dan
globalisasi berdampak terjadinya transformasi nilai budaya lokal yang dapat
mengeliminasi nilai-nilai kearifan budaya setempat. Kedua, transformasi nilai
sosial budaya juga dianggap penting, manakala terjadinya distorsi terhadap nilai-
nilai sosial budaya yang ada di masyarakat, seperti munculnya perilaku
totenisme, sinkretifisme, sikap pasrah/menyerah pada nasib, pemikiran mistis,
berorientasi pada masa lalu dan lain sebagainya.
Untuk menggali fenomena sosial budaya yang terjadi di Cirebon, peneliti
melakukan berbagai pendalaman melalui studi pendahuluan, maupun mengikuti
berbagai forum diskusi. Seperti (1) Diskusi Revitlisasi Keraton Sebagai Pusat
Budaya Lokal di Keraton Kesepuhan Pada tanggal 18 Juni 2012. (2) Forum
Diskusi Pembangunan Cirebon di Islamic Center Kota Cirebon pada tanggal 13
April 2013. (3) Forum diskusi Cirebon Menuju Era Keemasan di Jalan
Gerilyawan 12 Desember 2013. (4) Saresehan Seni Budaya Cirebon di Keraton
Kecirebonan pada tanggal 5 Mei 2014.
16
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Dari berbagai kegiatan diskusi dan survey pendahuluan, teridentifikasi temuan
permasalahan sebagai berikut.
1. Ada kecenderungan terjadi demoralisasi di kalangan remaja Cirebon, seperti
meningkatnya tingkat kenakalan remaja, penyalahgunaan obat-obatan
terlarang, kematangan sexual sebelum waktunya, kurang sopan santun,
kurang menghormati orang tua, gaya hidup kebarat-baratan yang tidak selaras
dengan nilai-nilai lokal.
2. Menurunnya animo generasi muda Cirebon terhadap seni dan budaya lokal.
khususnya pada seni-seni tradisional, salah satu indikator adalah sedikitnya
animo masyarakat untuk menjadi siswa SMK Pakungwati Cirebon, yang
merupakan satu-satunya lembaga pendidikan seni dan budaya di Kota
Cirebon.
3. Adanya konflik antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap
tradisi-tradisi budaya Cirebon, dapat mempercepat melunturnya budaya dan
tradisi Cirebon.
4. Nilai sosial budaya Cirebon belum teridentifikasi secara menyeluruh, hal ini
merupakan hambatan dalam proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai
sosial budaya lokal Cirebon kepada generasi muda.
5. Kurangnya peran aktif masyarakat Cirebon, sehingga proses internalisasi,
enkulturasi dan transformasi nilai-nilai budaya Cirebon belum efektif.
6. Secara konseptual sekolah belum memasukkan nilai sosial budaya lokal
Cirebon ke dalam kurikulum dan pembelajaran sekolah.
7. Pengembangan kurikulum IPS di SMP belum menyentuh ranah sosial
budaya lokal, karena persepsi guru yang masih terlalu fokus pada pencapaian
target kurikulum dalam setiap pembelajaran.
8. Kurangnya sumber-sumber informasi tentang sosial budaya Cirebon seperti
buku bacaan, jurnal penelitian, artikel dan lain-lain, merupakan salah satu
kendala bagi guru dalam mengembangkan kurikulum berbasis sosial budaya
lokal Cirebon.
17
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Persoalan budaya sebagaimana teridentifikasi di atas, merupakan masalah
tidak hanya bagi masyarakat lokal Cirebon, tetapi merupakan masalah yang
berskala nasional. Kalau dibiarkan akan berakibat pada makin berkurangnya
kekayaan budaya nasional. Untuk itu diperlukan studi empirik dan kajian kritis
terhadap kekayaan budaya lokal termasuk budaya Cirebon. Cara ini merupakan
sarana untuk menggunakan pendekatan etnopedagogi dalam pembelajaran IPS.
Atas dasar pemikiran tersebut diatas, penelitian ini fokus pada (1)
kehidupan sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon, (2) identifikasi
nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diangkat ke dalam kurikulum dan
pembelajaran IPS di SMP, (3) bagaimana mentransformasikan nilai-nilai tersebut
melalui pembelajaran IPS di sekolah.
C. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Fokus penelitian adalah “Transformasi nilai sosial budaya komunitas
Keraton Kasepuhan Cirebon, ke dalam kurikulum dan pembelajaran IPS pada
Sekolah Menengah Pertama di Kota Cirebon”. Adapun rumusan pertanyaan
penelitian adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kehidupan sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon?
2. Nilai sosial budaya apa yang terdapat pada komunitas Keraton Kasepuhan
Cirebon yang dapat ditransformasikan ke dalam kurikulum dan
pembelajaran IPS pada jenjang pendidikan SMP di Cirebon ?
3. Bagaimana mentransformasikan nilai sosial budaya komunitas Keraton
Kasepuhan Cirebon ke dalam Kurikulum dan Pembelajaran IPS di
sekolah ?
D. Pembatasan Masalah
Karena terbatasnya waktu dan biaya, penelitian ini dibatasi pada.
1. Subjek dan situs studi sosial budaya dilakukan pada Komunitas Keraton
Kasepuhan Cirebon, yang terletak di Kampung Mandalangen Kelurahan
Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon.
18
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2. Subjek atau situs penelitian pada benda artifacts difokuskan pada
baluwarti (bangunan) keraton, Masjid Agung Sangciptarasa dan Astana
Gunung Jati. Unsur mentifacts difokuskan pada petata-petiti leluhur keraton.
Unsur Sociofacts difokuskan pada tradisi muludan, tradisi kliwonan (ziarah
kubur), dan seni pertunjukkan topeng Cirebon.
3. Subjek penelitian untuk implementasi transformasi dalam pembelajaran IPS
adalah guru, dan siswa kelas VII A, SMP Negeri 3 Cirebon.
4. Sikap sosial yang bersumber dari nilai sosial budaya komunitas keraton
yang transformasikan melalui pembelajaran IPS di SMP Kota Cirebon
adalah fokus pada nilai-nilai toleransi, kepedulian atau gotong royong dan
tanggungjawab.
5. Pembelajaran menggunakan pendekatan terintegrasi (additive approach) ke
dalam Kurikulum IPS tahun 2013 kelas VII. Thema pembelajaran “Keadaan
Alam dan aktivitas penduduk Indonesia” sedangkan subthema “Kehidupan
sosial Masyarakat pada masa praaksara, Hindu-Buddha dan Islam”.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah: Untuk memperoleh pengetahuan
empirik bagaimana nilai-nilai sosial budaya lokal Cirebon dapat
ditransformasikan melalui desain pembelajaran nilai pada mata pelajaran IPS di
SMP”. Sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh gambaran umum tentang kehidupan sosial budaya komunitas
Keraton Kasepuhan Cirebon.
2. Mengidentifikasi nilai sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan
Cirebon yang dapat ditransformasikan ke dalam kurikulum dan
pembelajaran IPS pada SMP di Kota Cirebon.
3. Memvertifikasi bagaimana transformasi nilai-nilai sosial budaya komunitas
Keraton Cirebon ke dalam pembelajaran IPS pada SMP di Kota Cirebon.
F. Manfaat Penelitian
Transformasi nilai sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon
akan dijadikan sebagai pendekatan etnopedagogi dalam pengembangan
19
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kurikulum dan pembelajaran IPS di Sekolah Menengah Pertama. Tema penelitian
ini dipilih dengan harapan dapat memperkaya kajian pendidikan pembelajaran
IPS di sekolah, yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian tentang Cirebon telah banyak dilakukan oleh para peneliti
dari berbagai disiplin ilmu. Mereka yang mengambil subjek penelitian tentang
sosial budaya Cirebon diantaranya adalah, Humaedi (2013), Haris,T. (2010),
Dadan Wildan (2002), Hendriyana (2007), Hasim,W. (2014), Dyah
Ayuningsih, (2010) dan Abdullah Ali (2007), Masduqi, (2012), Karim, M.,
dkk., (2012)
Penelitian mereka berlatar studi sosial dan humaniora. Adapun
penelitian ini fokus pada studi etnopedagogi tradisi sosial budaya komunitas
keraton Kasepuhan Cirebon. Setidak-tidaknya ada dua manfaat studi
etnopedagogis yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal ke dalam
pembelajaran IPS. Pertama, melalui pendekatan etnopedagogi dapat
ditemukan nilai-nilai kearifan lokal komunitas Kasepuhan Cirebon yang
relevan dengan kebutuhan pendidikan dan pengajaran IPS di sekolah. Kedua,
melalui studi etnopedagogi tersebut, dan hasilnya ditransformasikan melalui
pembelajaran IPS akan ditemukan teori pembelajaran IPS yang berbasis pada
nilai kearifan lokal, hal ini akan memperkaya ontologi, epistemologi dan
aksiologi pendidikan dan pembelajaran IPS.
2. Manfaat praktis
a. Pendidikan karakter menjadi isu yang mengemuka dalam sistem
pendidikan nasional di Indonesia, utamanya pada dekade awal tahun 2010-
an. Isu ini direspon oleh Kementrian Pendidikan Nasional pada saat itu,
dengan menyisipkan (additive) pendidikan karakter ke dalam KTSP tahun
2006. Pada Kurikulum 2013 pendidikan karakter lebih diperkuat dengan
memasukkan Kompetensi Inti 2 (KI 2), yaitu kompetensi inti sikap sosial
ke dalam setiap mata pelajaran tidak terkecuali mata pelajaran IPS.
Dengan demikian hasil studi etnopedagogi pada komunitas Keraton
20
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Kasepuhan Cirebon, dapat diimplementasikan tidak hanya pada mata
pelajaran IPS tetapi dapat dimanfaatkan pula untuk mata pelajaran lain.
b. Hasil penelitian ini dapat memberi inspirasi bagi guru untuk
mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPS yang bersumber pada
lingkungan sosial budaya lokal (kearifan lokal).
c. Hasil penelitian ini, apabila diimplementasikan ke dalam kurikulum dan
pembelajaran, dapat memperkaya pengalaman belajar siswa. Hal ini
penting untuk menumbuhkan motivasi belajar serta menumbuhkan
kesadaran untuk memelihara, mewarisi nilai-nilai sosial budaya di
lingkungan tempat tinggalnya.
G. Struktur Organisasi Penulisan Disertasi
Ada lima bab penulisan laporan penelitian ini, yaitu bab pendahuluan,
tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, serta bab
terakhir meliputi simpulan, implikasi hasil penelitian, rekomendasi dan
keterbatasan penelitian.
Bab pendahuluan berisi latar belakang masalah penelitian, identifikasi
masalah, fokus dan pertanyaan penelitian, pembatasan masalah penelitian, tujuan
dan manfaat penelitian serta organisasi struktur penulisan disertasi.
Bab dua, berisi tinjauan pustaka meliputi. Pertama, komunitas keraton
ditinjau dari teori sistem. Pada sub bab ini dibahas teori sistem sosial masyarakat
Indonesia, dan teori tentang keraton sebagai sistem masyarakat, berdasarkan
teori fungsional struktural dari Parson‟s. Termasuk penjelasan tentang konsep
sistem sosial, sistem budaya serta konsep dan teori masyarakat. Kedua, teori
transformasi nilai sosial budaya, berisi penjelasan konsep dan teori transformasi,
transformasi sebagai proses sosial budaya serta penjelasan konsep dan teori
nilai-nilai sosial budaya.
Tinjauan pustaka ketiga, berisi penjelasan konsep dan teori tentang
pendidikan nilai dalam kerangka pembelajaran IPS di sekolah. Meliputi
penjelasan tentang konsep dan teori ke-IPS-an, tujuan pendidikan dan
pembelajaran, materi dan sumber pembelajaran, serta teori pendidikan IPS
21
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
berbasis nilai sosial budaya. Tinjauan pustaka yang keempat, berisi kerangka
konseptual transformasi nilai sosial budaya dalam kurikulum pembelajaran IPS.
Pada sub judul ini dibahas tentang desain pembelajaran IPS berbasis kearifan
lokal, meliputi landasan filosofis, teori belajar, teknik klarifikasi nilai sebagai
pendekatan dalam pembelajaran nilai. Kelima, pada akhir bab diangkat beberapa
hasil peenelitian terdahulu yang relevan serta rumusan paradigma penelitian.
Bab tiga, penjelasan tentang metodologi penelitian yang digunakan
peneliti. Berisi lima penjelasan berturut-turut, penjelasan tentang motode dan
pendekatan penelitian, desain penelitian, situs dan subjek penelitian, sumber data
dan teknik pengumpulan data, instrument penelitian, serta analisis data dan teknik
men-validasi data.
Bab empat berisi deskripsi analisis hasil penelitian dan pembahasan. Pada
bab ini menyajikan lima thema atau sub judul. Thema pertama, yaitu deskripsi
kondisi sosial budaya Kota Cirebon, meliputi latar sejarah singkat, latar
georgrafis, struktur demografis, sosial ekonomi dan sosial politik di Kota
Cirebon. Thema kedua, yaitu deskripsi dan analisis data hasil studi sosial
budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon. Data yang disajikan dan
dianalisis meliputi situs bangunan atau benda cagar budaya, geneologi, sistem
keperibadian, sistem sosial dan sistem budaya, pada akhir thema diuraikan hasil
pembahasan.
Thema ketiga, yaitu deskripsi hasil penelitian tentang nilai-nilai kearifan
lokal yang dapat diangkat dalam kurikulum dan pembelajaran IPS di SMP.
Meliputi deskripsi dan interpretasi nilai-nilai simbolik pada cagar budaya
artifacts, deskripsi dan interpretasi nilai-nilai simbolik pada budaya mentifacts,
deskripsi dan interpretasi nilai-nilai simbolik pada budaya sociofacts. Pada akhir
analisis data dilakukan pembahasan dari ketiga wujud budaya tersebut.
Keempat, yaitu deskripsi analisis dan interpretasi hasil penelitian
implementasi transformasi nilai sosial budaya ke dalam kurikulum dan
pembelajaran IPS. Penyajian data diawali dengan pemetaan nilai sosial budaya
yang ditransformasikan ke dalam kurikulum IPS tahun 2013, dilanjutkan dengan
22
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
penjelasan singkat profil SMP Negeri 3 sebagai subjek penelitian. Selanjutnya
deskripsi singkat terhadap karakteristik kurikulum 2013 pada mata pelajaran IPS.
Sub bab selanjutnya menyajikan bagaimana pendekatan etnopedagogi
diimplementasi ke dalam pembelajaran IPS di sekolah. Pada sub bab ini diakhiri
dengan pembahasan hasil analisis interpretasi implementasi transformasi nilai-
nilai sosial budaya ke dalam pembelajaran IPS di subjek penelitian. Kelima, yaitu
men-identifikasi temuan dari ketiga fokus penelitian.
Bab lima merupakan bab yang terakhir dari rangkaian laporan hasil
penelitian. Ada empat poin yang diuraikan pada bab ini. Pertama, yaitu simpulan
hasil penelitian. Kedua, penjelasan tentang implikasi hasil penelitian. Ketiga,
berupa rekomendasi yang sasaarnnya adalah stakeholder insan pendidikan dan
pengajaran IPS, serta para peneliti pendidikan dan pembelajaran IPS. Pada akhir
bab lima disampaikan beberapa kelemahan yang disadari oleh peneliti.
Pada akhir penulisan dilaporkan pula daftar pustaka atau daftar literatur
sebagai rujukan. Serta lampiran penelitian berupa matrik penelitian, instrument
penelitian, transkrip hasil wawancara dengan nara sumber, dokumentasi catatan
hasil penelitian, administrasi penelitian, dan daftar riwayat hidup peneliti.