1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang semakin pesat menyebabkan kebutuhan hidup
manusia menjadi semakin kompleks. Dimana untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya tidak jarang orang memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada
pendapatan yang diterima. Harga kebutuhan yang semakin melonjak,
banyaknya promo menarik, dan persaingan usaha yang semakin ketat,
membuat banyak orang mencari tempat yang dapat memberikan pinjaman
uang. Bank adalah salah satu lembaga yang banyak diminati masyarakat
perorangan atau badan usaha untuk meminjam uang.
Sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) fungsi
utama perbankan adalah penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dana
yang dihimpun dari masyarakat berbentuk simpanan (giro, deposito, sertifikat
deposito, tabungan maupun bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu).
Sedangkan dana yang disalurkan kembali kepada masyarakat berbentuk
kredit. Bank akan memberikan kredit kepada masyarakat dengan suatu
persetujuan atau kesepakatan. Kesepakatan tersebut dapat berupa sebuah
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis (lisan). Pada praktiknya perjanjian
kredit atau utang-piutang yang dibuat oleh bank saat ini hanya berupa
perjanjian tertulis, dengan tujuan agar perjanjian kredit tersebut dapat
dijadikan sebagai alat bukti di Pengadilan apabila terjadi wanprestasi. Jenis
perjanjian kredit tertulis ada dua, yakni perjanjian kredit di bawah tangan
(akta di bawah tangan) dan perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan
notaris (akta otentik).
Dalam praktik perbankan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank
harus disertai dengan adanya suatu jaminan. Jaminan tersebut diperlukan
untuk menjamin pelunasan kredit yang dilakukan oleh masyarakat
2
perseorangan atau badan hukum. Jaminan yang sering digunakan oleh
masyarakat atau badan hukum dalam memperoleh kredit bank adalah hak
tanggungan. Hak tanggungan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, dan hak atas tanah. Pengikatan hak tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
merupakan perjanjian accecoir dari perjanjian kredit sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya
disingkat UU Hak Tanggungan).
Namun dalam menjalankan tujuan tersebut, seringkali terdapat risiko yang
sulit untuk dihindari oleh pihak bank dan disebut dengan risiko kredit. Risiko
kredit atau sering juga disebut dengan default risk, merupakan suatu risiko
akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah
pinjaman yang diperoleh dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditentukan atau dijadwalkan. Ketidakmampuan nasabah
memenuhi perjanjian kredit yang disepakati kedua pihak, secara teknis
keadaan tersebut merupakan default (Dahlan Siamat, 2005: 280).
Salah satu bentuk dari risiko kredit adalah kredit bermasalah. Kredit
bermasalah menggambarkan suatu situasi dimana persetujuan pengembalian
kredit mengalami risiko kegagalan, bahkan menunjukkan bahwa bank akan
memperoleh rugi yang potensial. Suatu kredit dapat dikategorikan sebagai
kredit bermasalah apabila tingkat kolektibilitasnya kurang lancar, diragukan,
dan macet. Berdasarkan Pasal 4 Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia
Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998, kredit macet terjadi
apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 270 hari atau kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru
atau dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan
pada nilai wajar. Apabila permasalahan kredit macet tidak segera
diselesaikan, maka bank akan mengalami kerugian yang dapat mengakibatkan
bank tersebut tidak sehat bahkan bank tersebut menjadi bangkrut.
Upaya penyelesaian kredit macet dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan
jalur non litigasi. Upaya penyelesaian kredit macet melalui jalur non litigasi,
3
yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli. Sedangkan
upaya penyelesaian kredit macet melalui jalur litigasi, yaitu bank dapat
mengajukan gugatan kepada debitor dan/atau penjamin karena telah
melakukan wanprestasi atas kredit yang telah diberikan oleh bank dan bank
dapat mengajukan eksekusi terhadap agunan kredit debitor yang telah diikat
secara sempurna dengan sertifikat hak tanggungan (parate eksekusi). Upaya
melalui jalur non litigasi seringkali tidak mencapai kesepakatan, sehingga
bank menggunakan upaya melalui jalur litigasi untuk menyelesaikan
permasalahan kredit macet. Namun, upaya penyelesaian kredit macet melalui
jalur litigasi memiliki kelemahan dan kelebihan. Dalam penelitian ini penulis
membatasi ruang lingkup penelitian dalam komparasi parate eksekusi dan
gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai penyelesaian kredit macet
dengan jaminan hak tanggungan. Pembatasan ini dilakukan dengan tujuan
agar penulis dapat lebih fokus dalam melakukan analisa yang dilakukan.
Selanjutnya penulis menuliskannya dalam bentuk skripsi yang berjudul :
“STUDI KOMPARASI PARATE EKSEKUSI DAN GUGATAN
PERDATA DI PENGADILAN NEGERI SEBAGAI UPAYA
PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN HAK
TANGGUNGAN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan yang
hendak dikaji sebagai berikut :
a. Bagaimana proses parate eksekusi hak tanggungan sebagai upaya
penyelesaian kredit macet?
b. Bagaimana proses gugatan perdata di Pengadilan Negeri dengan
jaminan hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit macet?
c. Apa kelebihan dan kekurangan parate eksekusi dan gugatan perdata
di Pengadilan Negeri sebagai upaya penyelesaian kredit macet
dengan jaminan hak tanggungan?
4
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tentu memiliki sebuah tujuan yang hendak dicapai.
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya,
berikut ini dikemukakan tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui proses parate eksekusi hak tanggungan sebagai
upaya penyelesaian kredit macet.
b. Untuk mengetahui proses gugatan perdata di Pengadilan Negeri
dengan jaminan hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit
macet.
c. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan parate eksekusi dan
gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai upaya penyelesaian
kredit macet dengan jaminan hak tanggungan.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan teori-teori di bidang
ilmu hukum, khususnya pada hukum acara perdata.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar
Srata 1 dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan
manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya mengenai kajian tentang
parate eksekusi dan gugatan perdata di pengadilan negeri sebagai
upaya penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak tanggungan.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan referensi bagi
dilakukannya penelitian lanjutan terhadap obyek yang sama.
5
2. Manfaat Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan analisa,
penalaran, dan pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan
kepada pendidikan ilmu hukum terhadap parate eksekusi dan gugatan
perdata di pengadilan negeri sebagai upaya penyelesaian pada kredit
macet dengan jaminan hak tanggungan.
c. Untuk memberikan informasi tambahan kepada masyarakat dan bank
terkait dengan parate eksekusi dan gugatan perdata di pengadilan
negeri sebagai upaya penyelesaian pada kredit macet dengan jaminan
hak tanggungan dan membutuhkan pengetahuan tentang norma
hukum yang mengaturnya.
E. Metode Penelitian
Penulisan maupun penelitian hukum merupakan sesuatu kegiatan ilmiah
berdasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya.
Metode penelitian merupakan prosedur atau langkah-langkah yang
dianggap efektif dan efisien, dan pada umumnya sudah mempola untuk
mengumpulkan, mengolah, dan menganalisa data dalam rangka menjawab
permasalahan dengan teliti dan benar.
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan
masalah dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang
mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan. adapun peran metode penelitian dalam penelitian
ilmiah adalah sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 1986:7) :
1. Menambah kemampuan para ilmuan untuk mengadakan atau
melaksanakan suatu penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap.
2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal
yang belum diketahui.
6
3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan
penelitian indisipliner.
4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan pengetahuan,
mengenai masyarakat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif menurut Peter Mahmud
Marzuki sama dengan istilah legal research (Peter Mahmud Marzuki,
2014:55). Penelitian hukum legal research (normatif) adalah
menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai
norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu
sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai
dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki,
2014:47).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penulis adalah preskripsi, yang
berusaha untuk mengkaji dan mendalami serta mencari jawaban tentang
apa yang seharusnya dari setiap permasalahan. Hal ini bertujuan untuk
menemukan aturan hukum, menguraikan, dan menganalisis secara jelas
kelebihan dan kekurangan parate eksekusi dan gugatan perdata di
Pengadilan Negeri sebagai upaya penyelesaian kredit macet dengan
jaminan hak tanggungan.
3. Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan historis
(historical approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang
bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang
dihadapi. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar
7
belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai
isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2011:93-95).
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang digunakan pada penelitian adalah data sekunder.
Data sekunder meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu:
a. Bahan hukum primer meliputi :
1) Herziene Inlandsch Reglement (yang selanjutnya disingkat
HIR);
2) Rechtsreglement voor de buitengewesten (yang selanjunya
disingkat RBg);
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt);
4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan;
6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan;
7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
8) Peraturan Direktur Jendral Kekayaan Negara Nomor PER-
03/KN/2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang;
b. Bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan
hukum kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur-
literatur hukum acara perdata atau perbankan yang berhubungan
dengan penyelesaian hukum yang berkaitan dengan parate eksekusi
dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai upaya
penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak tanggungan.
5. Teknik Pengumpulan Data
8
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini
menggunakan teknik studi dokumen, dilakukan dengan cara membaca,
menelaah, dan mengutip peraturan perundang-undangan, buku-buku,
literatur yang berkaitan dengan proses, kelemahan, kelebihan parate
eksekusi dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai upaya
penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak tanggungan.
6. Metode Analisis Data
Pada penelitian ini metode analisis data dilakukan secara
interpretasi, dimana Penulis menganalisis data sekunder yang
dikumpulkan, mendeskripsikan dalam bentuk narasi, dan menarik
kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum,
maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, dan tiap-tiap
bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk mempermudah
pemahaman mengenai seluruh isi penulisan ini. Adapun penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan landasan-landasan teori yang
digunakan dan menjadi acuan bagi penulis dalam menyusun
skripsi. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang jaminan,
perjanjian, hak tanggungan, kredit, eksekusi, dan lelang.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai hasil dan
pembahasan yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan
rumusan masalah yang diteliti, terdapat tigaa pokok permasalahan
9
yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu : proses parate eksekusi
hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit macet, proses
gugatan perdata di Pengadilan Negeri dengan jaminan hak
tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit macet, dan
kelebihan dan kekurangan parate eksekusi dan gugatan perdata di
Pengadilan Negeri sebagai upaya penyelesaian kredit macet.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang
diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti,
serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para
pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Jaminan
a. Pengertian Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu
zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum
cara-cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping
pertanggungan jawab umum debitor terhadap barang-barangnya
(Herowati Poesoko, 2008: 31). Menurut Rachmadi Usman pengertian
jaminan berhubungan dengan suatu sarana perlindungan keamanan
kreditor, yaitu kepastian akan pelunasan utang debitor atas pelaksanaan
suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor (Rachmadi
Usman, 2001: 61). Berkaitan dengan hal tersebut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) juga memberikan
sarana perlindungan bagi para kreditor melalui jaminan secara umum
sebagaimana dimuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan 1132
KUHPerdata yang berbunyi :
Pasal 1131 KUHPerdata :
“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan”.
Pasal 1132 KUHPerdata :
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang mengutangkan padanya pendapatan penjualan benda-
benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecil
piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang ada
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
11
Jaminan merupakan kebutuhan bank untuk memperkecil risiko
kredit apabila debitor tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban
yang berkenaan dengan kredit yang telah diberikan. Dengan adanya
jaminan apabila debitor tidak mampu membayar maka debitor dapat
memaksakan pembayaran atas kredit yang telah diberikannya.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat dilihat bahwa
jaminan sangat bermanfaat bagi bank dalam suatu pelaksanaan kredit.
Manfaat jaminan tersebut meliputi: menjamin terpenuhinya prestasi
debitor kepada bank, dapat meminimalisir risiko terjadinya kredit
macet, memberikan hak kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dari penjualan barang yang dijaminkan apabila terjadi suatu
wanprestasi.
b. Jenis Jaminan
Menurut jenisnya jaminan dibagi menjadi dua, yaitu jaminan
materiil (kebendaan) dan jaminan immateriil (perorangan). Jaminan
materiil adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang
mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda
tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti
bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan kebendaan ini selain dapat
diadakan antara kreditor dengan debitornya juga dapat diadakan antara
kreditor dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban
debitor sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang
langsung terhadap bendanya. Jaminan kebendaan meliputi hak
tanggungan, hipotik, gadai dan jaminan fidusia, sedangkan jaminan
immateriil adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada
perorangan tertentu. Jaminan immateriil hanya dapat dipertahankan
terhadap debitor tertentu yaitu terhadap harta kekayaan debitor pada
umumnya. Jaminan perorangan menganut asas kesamaan dalam arti
tidak membedakan mana piutang yang terjadi lebih dulu dan piutang
yang terjadi kemudian. Jaminan perorangan meliputi: penanggungan
12
(borg), tanggung-menanggung, dan perjanjian garansi (Salim, 2011: 23-
25).
2. Tinjauan tentang Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta
benda antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu (Subekti, 2003: 122).
Suatu perjanjian dikatakan sah apabila perjanjian tersebut memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang
mempunyai akibat hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata syarat-
syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian adalah
(Abdulkadir Muhammad, 2000 : 228) :
1) Ada kesepakatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Sepakat adalah persesuaian kehendak (konsensus) antara para
pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kata lain segala hal
yang tercantum dalam perjanjian merupakan kehendak bersama
para pihak. Sebelum ada persetujuan biasanya para pihak
mengadakan perundingan mengenai objek perjanjian dan syarat
perjanjian. Persesuaian kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak
ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan
sukarela para pihak, juga tidak ada kekhilafan dan penipuan.
Persetujuan kehendak tidak boleh ada ancaman atau paksaan, baik
dengan kekerasan jasmani maupun dengan menakut-nakuti.
”Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu dapat menimbulkan
sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran
sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada
orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan
suatu kerugian yang terang dan nyata” (Pasal 1324 KUH Perdata).
Tetapi kekhilafan ini tidak mengakibatkan suatu perjanjian batal
13
apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat benda yang menjadi
pokok perjanjian (Pasal 1322 KUH Perdata).
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan hukum. Seorang dikatakan
cakap melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut telah
dewasa, batas usia dewasa menurut KUH Perdata adalah 21 tahun
atau sudah kawin. Pasal 1330 KUH Perdata memberikan batasan
mengenai orang yang tidak cakap untuk menjadi subjek hukum
atau tidak cakap membuat perjanjian yaitu :
a) Orang-orang yang belum dewasa.
b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang perjanjian perjanjian tertentu.
3) Ada suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,
prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus mempunyai bentuk
yang tertentu atau jenis tertentu. Dalam perjanjian kredit, yang
menjadi objek perjanjian telah ditentukan dengan jelas yaitu uang
yang besarnya telah ditentukan dengan pasti.
4) Ada suatu sebab yang halal (causa).
Kata “causa” berasal dari bahasa latin artinya “sebab” yang artinya
sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang
mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata
sebab yang halal tidak menunjuk tentang pengertian bahwa sebab
itu mendorong orang membuat perjanjian tetapi menunjuk dalam
arti isi perjanjian tersebut, yang menggambarkan tujuan yang
dicapai oleh para pihak. Suatu sebab tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat
kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif karena
14
menyangkut pelakunya atau subjeknya, sedangkan syarat adanya
suatu hal dan sebab yang halal merupakan syarat objektif karena
menyangkut objeknya. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-
syarat diatas maka perjanjian tersebut tidak diakui secara hukum.
Apabila syarat subjektifnya tidak dipenuhi maka perjanjian itu
dapat dibatalkan oleh salah satu pihak, sedangkan apabila syarat
objektifnya tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum,
artinya bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak ada. Suatu
perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat yang sah sesuai
ketentuan undang-undang maka perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal
1338 KUH Perdata).
b. Perjanjian Kredit atau Utang-piutang
Dalam pelaksanaan kredit ada dua jenis perjanjian yang digunakan,
yaitu perjanjian pokok dan perjanjian tambahan. Perjanjian pokok
berupa perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara
pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk
perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian
yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun
demikian adanya, perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus
karena di dalamnya terdapat kekhususan, dimana pihak kreditor adalah
pihak bank sedangkan objek perjanjian adalah uang. Perjanjian kredit
ini dibuat secara tertulis, tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai
apa yang mereka perjanjikan (Abdulkadir Muhammad, 2000: 226).
Dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit adalah Pasal 8 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang
menyatakan bahwa : “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitor untuk melunasi utangnya atau
15
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.”
Dalam praktiknya bank akan membuat suatu perjanjian antara
debitor dan kreditor, dimana kreditor mempunyai hak kebendaan atas
benda milik debitor atau pihak ketiga sebagai jaminan utang.
Pengikatan jaminan ini bersifat accesoir (tambahan) artinya eksistensi
adanya perjanjian jaminan tergantung pada perjanjian pokok
(Suharnoko, 2009:23-26). Pengikatan jaminan itu lahir, hapus dan
beralih mengikuti atau tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu
utang-piutang atau perjanjian kredit.
3. Tinjauan tentang Hak Tanggungan
a. Pengertian Hak Tanggungan
Pengertian hak tanggungan menurut Undang-Undang Hak
Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1
butir 1 adalah “hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”
Ciri Hak Tanggungan adalah (Salim, 2011:98) :
1) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.
2) Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun
objek itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan
ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya
kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap masih
berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur
cedera janji;
16
3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
berkepentingan; dan
4) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian
kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
5) Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan
sebelumnya. Hak tanggungan yang melekat pada suatu jaminan
berupa tanah dan banggunan, tidak dapat ditetapkan hanya melekat
di sebagian bidang tanah sebagian bidang rumah. Namun, dapat
pula diperjanjikan bahwa hak tanggungan yang membebeni
beberapa bidang tanah, dapat dihapuskan secara sebagian-sebagian,
sesuai dengan proporsi pelunasan fasilitas kredit yang dilakukan
oleh debitur (Irma Devita Purnamasari, 2014 : 43).
Subjek hukum dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi
hak tanggungan (debitor) dan pemegang hak tanggungan (kreditor).
Debitor adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan
sebagai jaminan atas uang yang telah dipinjam dari lembaga perbankan,
sedangkan yang disebut kreditor adalah orang atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak berpiutang (Salim, 2011:104).
Pada pengertian hak tanggungan, telah dijelaskan bahwa yang
dapat menjadi objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah. Hak-
hak atas tanah tersebut termasuk dalam benda tetap atau tidak bergerak.
Sebagaimana dicantumkan pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang dimaksud dengan benda tidak bergerak atau tetap adalah
1) tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya;
2) penggilingan;
3) pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap dalam
tanah, buah pohon yang belum dipetik, demikian pula barang-
17
barang tambang seperti batu bara, sampah bara dan sebagainya,
selama barang-barang itu belum dipisahkan dan digali dari tanah;
4) kayu belukar dari hutan tebangan dan kayu dari pohon yang tinggi,
selama belum ditebang;
5) pipa dan salurán yang digunakan untuk mengalirkan air dari rumah
atau pekarangan; dan pada umumnya segala sesuatu yang tertancap
dalam pekarangan atau terpaku pada bangunan.
Barang tak bergerak adalah hak-hak seperti : hak pakai hasil dan
hak pakai barang tak bergerak; hak pengabdian tanah; hak numpang
karang; hak guna usaha; bunga tanah, baik dalam bentuk uang maupun
dalam bentuk barang; hak sepersepuluhan; bazar atau pasar yang diakui
oleh pemerintah dan hak istimewa yang berhubungan dengan itu;
gugatan guna menuntut pengembalian atau penyerahan barang tak
bergerak.
Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun
1996 ada lima objek hak tanggungan, yaitu :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu
kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap
kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan tidak
menggangu hak orang lain (Pasal 570 KUH Perdata).
2) Hak guna usaha
Hak guna usaha adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati
sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang
lain, dengan kewajiban untuk membayar upeti tahunan kepada si
pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa
uang, baik berupa hasil atau pendapatan (Pasal 720 KUH Perdata).
3) Hak guna bangunan
Hak guna bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
18
sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 19
UUPA).
4) Hak pakai, baik hak milik maupun hak atas negara
Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah hak milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini (Pasal 41 UUPA).
5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang
telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta
pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
b. Pemberian Hak Tanggungan
Prosedur pemberian hak tanggungan didahului dengan adanya janji
untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang
piutang. Janji tersebut dituangkan di dalam suatu Akta yang dibuat oleh
PPAT, berupa Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian hak
tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT. Sebagai
bukti adanya hak tanggungan, maka Kantor Pertanahan menerbitkan
Sertifikat Hak Tanggungan yang diberikan kepada pemegang hak
tanggungan. Sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
19
4. Kredit
a. Pengertian dan Unsur Kredit
Kredit berasal dari bahasa latin “Credere” yang artinya
kepercayaan dari kreditor terhadap debitor yang berarti kreditor percaya
bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai
perjanjian kedua belah pihak. Bagi penerima kredit berarti ia menerima
kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali
pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Jadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu pemberian kredit dapat terjadi apabila di
dalamnya terkandung ada kepercayaan orang atau badan yang memberi
kredit kepada orang yang menerima kredit (Thomas Suyatno, 1995:12).
Menurut Muhamad Djumhana ada 4 (empat) unsur yang terdapat
dalam kredit, yaitu (Muhamad Djumhana, 1993:219) :
1) Kepercayaan
Keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya
dalam bentuk uang, barang atau jasa, akan benar-benar diterimanya
kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
2) Tenggang waktu
Suatu masa yang akan memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan
datang. Dalam unsur ini, terkandung pengertian nilai agio dari
uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang
yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3) Degree of risk
Tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat adanya jangka
waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi degan
kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama
kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena
kemampuan manusia untuk menerobos masa depan masih terbatas,
maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat
diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko.
20
Dengan adanya unsur risiko inilah, maka timbul adanya jaminan
pemberian kredit.
4) Prestasi atau objek kredit
Tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat
berbentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi
modern sekarang didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi
kredit yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam
praktik perbankan.
b. Kredit Macet
Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan oleh bank dalam
menyalurkan kredit kepada masyarakat. Namun dalam menjalankan
usahanya, bank harus siap menghadapi risiko kredit yang menyebabkan
kredit tersebut menjadi bermasalah. Salah satu bentuk dari risiko kredit
adalah kredit bermasalah. Kredit bermasalah menggambarkan suatu
situasi dimana persetujuan pengembalian kredit mengalami risiko
kegagalan, bahkan menunjukkan bahwa bank akan memperoleh rugi
yang potensial. Suatu kredit dapat dikategorikan sebagai kredit
bermasalah apabila tingkat kolektibilitasnya kurang lancar, diragukan,
dan macet. Kredit macet terjadi apabila terdapat tunggakan angsuran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari atau kerugian
operasional ditutup dengan pinjaman baru atau dari segi hukum maupun
kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.
Untuk meminimalkan resiko itu bank harus melakukan
perencanaan dan analisis untuk mengetahui dan menentukan apakah
seseorang itu layak atau tidak untuk memperoleh kredit. Pada umumnya
pihak perbankan menggunakan instrumen analisis yang dikenal dengan
the five of credit atau the 5C, yaitu character (kepribadian) yaitu
penilaian atas karakter atau watak dari calon debitornya, capacity
(kemampuan) yaitu prediksi tentang kemampuan bisnis dan kinerja
bisnis debitor untuk melunasi hutangnya, capital (modal) yaitu
21
penilaian kemampuan keuangan debitor yang mempunyai korelasi
langsung dengan tingkat kemampuan bayar kreditor, condition of
economy (kondisi ekonomi) yaitu analisis terhadap kondisi
perekonomian debitor secara mikro maupun makro dan collateral
(agunan) yaitu harta kekayaan debitor sebagai jaminan bagi pelunasan
hutangnya jika kredit dalam keadaan macet (Munir Fuady, 2002:21).
Selain menggunakan prinsip pemberian kredit tersebut diatas bank
dalam memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3R, yaitu returns
(hasil yang diperoleh), repayment (pembayaran kembali), dan risk
bearing ability (kemampuan menanggung resiko) (Munir Fuady,
1996:24-25).
c. Penyelesaian Kredit Macet
Permasalahan kredit macet berpengaruh pada perputaran kas suatu
bank yang dapat mengakibatkan perputaran kas tersebut menjadi
semakin kecil atau terhenti. Hal ini menjadi alasan bahwa permasalahan
kredit macet harus segera diselesaikan oleh bank supaya bank tidak
mengalami kerugian yang dapat mengakibatkan bank tersebut tidak
sehat bahkan bank tersebut menjadi bangkrut. Ada dua cara
penyelesaian kredit macet, yaitu melalui jalur non litigasi dan jalur
litigasi. Jalur non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar
pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di
pengadilan. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
23/12/BPP tanggal 28 Februari 1991, upaya penyelamatan kredit yang
dapat dilakukan oleh bank adalah :
1) Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu upaya berupa
melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit yang
berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali atau jangka waktu
kredit termasuk masa tenggang atau grace periode baik termasuk
perubahan besarnya jumlah angsuran maupun tidak.
22
2) Persyaratan kembali (recoditioning), atas sebagian atau seluruh
syarat-syarat perjanjian kredit, yang tidak terbatas hanya kepada
perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu kredit saja.
Namun perubahantersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau
tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit
menjadi equity perusahaan.
3) Penataan kembali (restructuring), yaitu berupa upaya
melakukan perubahan syarat syarat perjanjian kredit berupa
pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluruh
atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan yang dilakukan
dengan atau tanpa rescheduling dan atau tanpa reconditioning.
Selain itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga mengatur tentang
penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi, yaitu dapat dilakukan
dengan cara (Sudikno Mertokusumo, 2014:381) :
1) Konsultasi, yaitu permintaan pertimbangan pendapat oleh para
pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga untuk penyelesaian
suatu sengketa secara kekeluargaan.
2) Negosiasi, yaitu proses tawar menawar dengan jalan berunding
antara pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan
bersama.
3) Mediasi, yaitu pengikutsertaan pihak ketiga (mediator) dalam
penyelesaian sengketa antara dua pihak.
4) Konsiliasi, yaitu suatu usaha mempertemukan keinginan para pihak
yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan guna menyelesaikan
sengketa secara kekeluargaan.
Apabila penanganan melalui jalur non litigasi tidak dapat tercapai,
maka upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh bank dalam
menyelesaikan permasalahan kredit macet adalah melalui pengadilan
atau jalur litigasi. Ada dua upaya penyelesaian kredit macet yang
dilakukan melalui pengadilan, yaitu :
23
1) Bank mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri kepada debitor
dan/atau penjamin karena telah melakukan wanprestasi atas kredit
yang diberikan oleh bank.
2) Bank mengajukan eksekusi terhadap jaminan kredit (parate
eksekusi) berdasarkan Akta Notaris yang berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengenai
pengikatan jaminan (Grosse Akta).
5. Eksekusi
a. Pengertian Eksekusi
Menurut Sudikno, eksekusi diartikan sebagai realisasi dari kewajiban
pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam
putusan tersebut. Pelaksanaan putusan (eksekusi) dilakukan dengan
bantuan pengadilan secara paksa, karena pihak yang dikalahkan tidak mau
melaksanakan putusan hakim secara sukarela (Sudikno Mertokusumo,
2010:338).
Dalam hukum acara perdata, putusan hakim terdapat beberapa jenis
sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Abdul Kadir Muhammad yaitu :
a. Putusan Kondemnator (Condemnatoir vonnis) atau putusan
menghukum;
b. Putusan Deklarator (declaratoir vonnist) atau putusan yang
menegaskan suatu keadaan hukum;
c. Putusan Konstitutif (Constitutief vonnis) atau putusan yang
meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum baru.
Terdapat dua jenis eksekusi perdata, yakni eksekusi riil dan eksekusi
pembayaran. M. Yahya Harahap menjelaskan :
“Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang
hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan
pengadilan. Adakalanya sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi
sesuai dengan amar atau dictum putusan, yaitu melakukan suatu “tindakan
nyata” atau “tindakan riil”, sehingga eksekusi semacam ini disebut
“eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai
24
dengan amar putusan, melakukan “pembayaran sejumlah uang”. Eksekusi
yang seperti ini disebut “pembayaran uang”.
Eksekusi merupakan akhir dari gugatan perkara perdata dimana
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) dilaksanakan. Tidak semua jenis putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dapat dieksekusi. Lilik
Mulyadi berpendapat :
“Pada asasnya putusan hakim hanya yang bersifat “condemnatoir” dengan
amar berisi penghukuman saja yang dapat dieksekusi. Seperti:
penghukuman berisi penyerahan sesuatu barang, mengosongkan sebidang
tanah, membayar sejumlah uang atau melakukan sesuatu perbuatan
tertentu dan lain-lain, sedangkan terhadap putusan hakim dengan sifat
amar “deklaratoir” atau “konstitutif” tidak memerlukan eksekusi oleh
karena pada putusan tersebut mengandung sifat dan dan keadaan
dinyatakan sah serta keadaan baru telah mulai berlaku/tercipta sejak
putusan itu diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum.”
Putusan yang bersifat kondemnator mengandung arti putusan yang
bersifat menghukum. Putusan-putusan yang memiliki sifat deklarator atau
konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang
demikian itu begitu diputuskan oleh hakim, maka keadaan dinyatakan sah
oleh putusan dan mulai berlaku pada saat itu juga. Putusan kondemnator
bisa berupa putusan untuk:
a. Menyerahkan suatu barang.
b. Mengosongkan sebidang tanah.
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu.
d. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
e. Membayar sejumlah uang.
Asas-asas eksekusi adalah putusan telah berkekuatan hukum tetap atau
in krachts van gewijsde (kecuali putusan UVB, putusan provisi, putusan
perdamaian, eksekusi terhadap grosse akta), putusan tidak dijalankan
25
dengan sukarela, putusan bersifat menghukum (condemnatoir), atas
perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
b. Parate Eksekusi
Parate eksekusi merupakan suatu bentuk eksekusi secara langsung
tanpa melalui proses persidangan berdasarkan titel eksekutorial yang
terdapat di dalam akta otentik yang memuat irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Titel eksekutorial tersebut
dianggap sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Hal
tersebut dimuat dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBg yang berisi
“Grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris
dan berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
berkekuatan sama dengan putusan hakim.” Berdasarkan Pasal 224 HIR
dan Pasal 258 RBg parate eksekusi dilakukan karena adanya suatu
perjanjian.
Selain grose akta, parate eksekusi juga dapat dilakukan terhadap objek
jaminan suatu kredit. Parate eksekusi terhadap objek jaminan merupakan
hak kreditor pemegang jaminan, apabila debitor wanprestasi atau cidera
janji, maka kreditor dapat mengajukan eksekusi secara langsung dengan
cara melakukan penjualan objek jaminan untuk pelunasan hutangnya.
Parate eksekusi dapat dilakukan terhadap objek jaminan gadai (Pasal 1155
KUHPerdata), jaminan fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia), dan jaminan hak tanggungan (Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan). Pasal 1155 KUHPerdata
menyatakan bahwa :
“Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika
debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah
lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan
peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan
tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual barang
gadainya di hadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan
26
dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang
itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu.”
Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia menyatakan apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera
janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat
dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima
Fidusia, penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan, dan penjualan di
bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan
Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan menyatakan eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu penjualan jaminan melalui proses lelang, eksekusi
atas titel eksekutorial, dan eksekusi di bawah tangan. Dalam
menyelesaikan permasalahan kredit macet bank dapat mengajukan
permohonan eksekusi secara langsung terhadap agunan milik debitor yang
telah diikat secara sempurna dengan sertifikat hak tanggungan. Parate
eksekusi hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit macet
dilakukan melalui proses lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang (untuk selanjutnya disebut KPKNL).
27
A. Kerangka Pemikiran
Perjanjian Kredit
Non Litigasi
Proses Parate Eksekusi
Litigasi
Debitor Bank
Jaminan Hak
Tanggungan
Kredit Macet
Proses melalui Gugatan
Perdata di Pengadilan Negeri
Kelebihan dan
Kekurangan
28
Keterangan :
Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan pemikiran penulis dalam
menganalisis, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan
dalam penelitian ini, yaitu mengenai Studi Komparasi Parate Eksekusi dan
Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
Macet. Bank sebagai perusahaan yang bergerak di bidang keuangan memiliki
tujuan untuk menyalurkan dana bagi masyarakat. Penyaluran dana yang
dilakukan oleh bank tersebut berupa suatu kredit, dimana dana itu digunakan
sebagai sumber dana tambahan bagi masyarakat dalam memenuhi
kebutuhannya maupun mengembangkan usahanya. Untuk memperoleh dana
tersebut disyaratkan adanya jaminan yang berupa benda tetap. Jaminan
tersebut disebut dengan jaminan hak tanggungan, yang selanjutnya diikat
dalam perjanjian pengakuan hutang atau grosse akta. Namun pada praktiknya,
pelaksanaan kredit yang dijalankan oleh bank seringkali mendapatkan kendala
yang menyebabkan kredit menjadi macet.
Penyelesaian kredit macet dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu non
litigasi dan litigasi. Jalur non litigasi merupakan penyelesaian kredit macet
berdasarkan hasil kesepakatan antara pihak kreditor (bank) dan debitor.
Penyelesaian melalui jalur non litigasi pada bank tersebut seringkali tidak
dapat mencapai suatu kesepakatan, akibatnya untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut bank harus menggunakan jalur litigasi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyelesaian kredit macet
dengan jaminan hak tanggungan melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan
2 (dua) cara, yaitu melalui parate eksekusi dan gugatan perdata di Pengadilan
Negeri. Pelaksanaan parate eksekusi dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri
sebagai upaya penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak tanggungan
memiliki permasalahannya masing-masing, sehingga para pihak akan memilih
upaya yang lebih mudah ditempuh dan tidak memiliki risiko yang akan timbul
dikemudian hari.
Dalam memilih upaya yang terbaik, penulis ingin mengetahui apa
kekurangan dan kelebihan masing-masing upaya, sehingga dapat
29
menyelesaikan permasalahan yang muncul akibat adanya kredit macet dengan
jaminan hak tanggungan.
30
BAB III
PEMBAHASAN
A. Proses Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian
Kredit Macet
Eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Latar
belakang lahirnya eksekusi ini adalah debitor tidak melaksanakan prestasinya
sebagaimana mestinya, walaupun yang bersangkutan telah diberikan somasi
tiga kali berturut-turut oleh kreditur. Eksekusi hak tanggungan dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu penjualan jaminan melalui proses lelang,
eksekusi atas titel eksekutorial, dan eksekusi di bawah tangan. Dalam
menyelesaikan permasalahan kredit macet bank dapat mengajukan
permohonan eksekusi secara langsung terhadap agunan milik debitor yang
telah diikat secara sempurna dengan sertifikat hak tanggungan. Eksekusi
secara langsung tersebut dalam praktiknya disebut dengan parate eksekusi.
Parate eksekusi hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit macet
dilakukan melalui proses lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (untuk selanjutnya disebut KPKNL).
Proses lelang sebagai parate eksekusi hak tanggungan dilakukan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016, yang
dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap persiapan lelang dan tahap pelaksanaan
lelang. Tahap persiapan lelang dimulai dari pengajuan permohonan lelang
yang berbentuk surat dari pemilik barang atau penjual kepada Kepala
KPKNL untuk dimintakan jadwal pelaksanaan lelang dan disertai dokumen
persyaratan lelang. Dokumen persyaratan lelang yang harus diserahkan
kepada Kepala KPKNL meliputi dokumen persyaratan lelang yang bersifat
umum dan dokumen persyaratan yang bersifat khusus. Dokumen persyaratan
lelang diatur di dalam Peraturan Direktur Jendral Kekayaan Negara Nomor
PER-03/KN/2010. Dokumen persyaratan lelang yang bersifat umum adalah
31
daftar barang yang akan dilelang. Sedangkan dokumen persyaratan lelang
yang bersifat khusus terdiri atas :
1. Salinan atau fotokopi Perjanjian Kredit;
2. Salinan atau fotokopi Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta
Pemberian Hak Tanggungan;
3. Salinan atau fotokopi Sertifikat Hak Atas Tanah yang dibebani
Hak Tanggungan;
4. Salinan atau fotokopi Perincian Utang atau jumlah kewajiban
debitur yang harus dipenuhi;
5. Salinan atau fotokopi bukti bahwa debitor wanprestasi, berupa
peringatan- peringatan maupun pernyataan dari pihak kreditor;
6. Surat pernyataan dari kreditor selaku pemohon lelang yang isinya
akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan; dan
7. Salinan atau fotokopi surat pemberitahuan rencana pelaksanaan
lelang kepada debitor oleh kreditor, yang akan diserahkan paling
lama 1 (satu) hari sebelum lelang dilaksanakan.
Pelaksanaan lelang atas barang berupa tanah atau tanah dan bangunan
harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) atau Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT). Permintaan penerbitan Surat
Keterangan Tanah (SKT) atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT)
diajukan oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II kepada Kepala
Kantor Pertanahan setempat. Penjual harus meminta Surat Keterangan dari
Lurah atau Kepala Desa yang isinya menerangkan status kepemilikan tanah
atau tanah dan bangunan, apabila tanah atau tanah dan bangunan yang akan
dilelang belum terdaftar di Kantor Pertanahan setempat. Surat Keterangan
dari Lurah atau Kepala Desa tersebut diserahkan kepada Kepala KPKNL atau
Pejabat Lelang Kelas II sebelum permintaan penerbitan Surat Keterangan
Tanah (SKT) atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) diajukan.
Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II wajib meneliti kelengkapan
dokumen persyaratan lelang dan legalitas formal subyek dan obyek lelang.
Apabila dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi
32
legalitas formal subyek dan obyek lelang, maka Kepala KPKNL atau Pejabat
Lelang Kelas II tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan
kepadanya. Namun, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II wajib
menolak permohonan lelang yang bukan merupakan kewenangannya,
dokumen persyaratan lelang tidak lengkap atau tidak memenuhi legalitas
formal subyek dan obyek lelang.
Setelah penjual atau pemilik barang memenuhi kelengkapan dokumen
persyaratan lelang yang bersifat umum maupun khusus dan telah memenuhi
legalitas formal subjek dan objek lelang, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang
Kelas II harus menetapkan dan memberitahukan kepada Penjual/Pemilik
Barang tentang jadwal lelang secara tertulis, yang berisi:
1. Penetapan waktu dan tempat lelang
Waktu pelaksanaan lelang ditetapkan oleh Kepala KPKNL
atau Pejabat Lelang Kelas II, yang dilakukan pada jam dan hari
kerja KPKNL. Tempat pelaksanaan lelang harus berada dalam
wilayah kerja KPKNL atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas
II tempat barang berada.
2. Permintaan untuk melaksanakan pengumuman lelang dan
menyampaikan bukti pengumuman kepada Kepala KPKNL atau
Pejabat Lelang kelas II
Pengumuman lelang adalah pemberitahuan kepada
masyarakat tentang akan adanya lelang dengan maksud untuk
menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak
yang berkepentingan. Menurut Rachmadi Usman tujuan
diadakannya pengumuman lelang ini agar dapat diketahui oleh
masyarakat luas, sehingga bagi masyarakat yang berminat dapat
menghadiri pelaksanaan lelang, dengan kata lain dapat
menghimpun peminat lelang. Selain itu pengumuman lelang ini
juga dapat memberikan kesempatan kepada pihak ketiga yang
merasa dirugikan untuk mengajukan sanggahan atau verzet dan
dapat menjadi shock therapy bagi masyarakat agar menimbulkan
33
efek jera, sehingga diharapkan debitor yang tadinya bermalas-
malasan memenuhi kewajibannya akan timbul kesadaran untuk
melunasi kewajiaban-kewajibannya, karena takut barang miliknya
dilelang sebagai bagian pelunasan utang-utangnya. Berdasarkan
pasal 53 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016
pengumuman lelang paling sedikit memuat :
a. Identitas penjual;
b. Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang
dilaksanakan;
c. Jenis dan jumlah barang;
d. Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada atau
tidak adanya bangunan;
e. Nilai limit;
f. Cara penawaran lelang;
g. Jangka waktu kewajiban pembayaran lelang oleh
pembeli; dan
h. Alamat domain KPKNL atau Balai Lelang yang
melaksanakan lelang dengan penawaran lelang melalui
internet, atau alamat surat elektronik ( email) KPKNL
atau Balai Lelang atau Pejabat Lelang Kelas II yang
melaksanakan lelang dengan penawaran lelang melalui
surat elektronik ( email).
Pengumuman Lelang dilaksanakan melalui surat kabar
harian yang terbit dan/atau beredar di kota atau kabupaten tempat
barang berada dan harus mempunyai tiras atau oplah paling
rendah 5.000 (lima ribu) eksemplar. Apabila surat kabar harian
yang terbit dan/atau beredar di kota atau kabupaten tidak ada,
maka pengumuman lelang diumumkan dalam surat kabar yang
terbit dan/atau beredar di kota atau kabupaten terdekat atau di
ibukota propinsi atau ibukota negara dan beredar di wilayah kerja
KPKNL atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II . tempat
34
barang akan dilelang. Surat kabar yang terbit dan/atau berdedar di
ibukota propinsi harus mempunyai tiras atau oplah paling rendah
15.000 (lima belas ribu) eksemplar, sedangkan surat kabar yang
terbit dan/atau berdedar di ibukota negara harus mempunyai tiras
atau oplah paling rendah 20.000 (dua puluh ribu) eksemplar.
Pengumuman lelang diterbitkan pada hari kerja KPKNL
dan harus dicantumkan dalam halaman utama atau reguler, tidak
dapat dicantumkan pada halaman suplemen atau tambahan atau
khusus. Pengumuman dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, jangka
waktu pengumuman lelang pertama ke pengumuman lelang kedua
berselang 15 (lima belas) hari kalender dan tidak boleh jatuh pada
hari libur atau hari besar. Pengumuman pertama dapat dilakukan
melalui surat kabar harian atau selebaran, tempelan yang mudah
dibaca oleh umum, dan/atau melalui media elektronik termasuk
internet. Namun pengumuman kedua harus dilakukan melalui
surat kabar harian dan dilakukan paling singkat 14 (empat belas)
hari kalender sebelum pelaksanaan lelang.
3. Nilai Limit
Nilai limit adalah harga minimal barang yang akan dilelang
dan ditetapkan oleh penjual. Penjual menetapkan nilai limit
berdasarkan penilaian oleh penilai atau penaksiran oleh penaksir.
Penilai merupakan pihak yang melakukan penilaian secara
independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya, sedangkan
penaksir merupakan pihak yang berasal dari penjual, yang
melakukan penaksiran berdasarkan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh penjual. Penetapan nilai limit lelang
eksekusi hak tanggungan dengan nilai limit paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) harus berdasarkan hasil
penilaian penilai. Nilai limit dibuat secara tertulis dan diserahkan
oleh penjual kepada Pejabat lelang paling lambat sebelum
pengumuman lelang.
35
Dalam pelaksanaan lelang hak tanggungan, peserta lelang harus
menyetorkan atau menyerahkan uang jaminan penawaran lelang dan
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NJOP) paling lambat sehari
sebelum lelang dilakukan. Uang jaminan penawaran lelang disetorkan melalui
rekening KPKNL atau Pejabat Kelas I. Besarnya jaminan penawaran lelang
ditentukan oleh penjual paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari nilai limit
dan paling banyak 50% (lima puluh persen) dari nilai limit (Pasal 38
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016). Adanya uang
jaminan penawaran lelang adalah sebagai salah satu cara untuk menyeleksi
peserta lelang yang benar-benar berminat untuk mengikuti lelang dan untuk
menjamin agar uang lelang dibayar tepat pada waktunya oleh pemenang
lelang.
Pada tahap pelaksanaan lelang, cara penawaran lelang ditentukan oleh
pemohon lelang atau penjual. Apabila pemohon lelang atau penjual tidak
menentukan cara penawaran lelang, maka Kepala KPKNL berhak untuk
menentukan sendiri cara penawaran lelangnya. Pada pelaksanaan lelang hak
tanggungan setiap peserta lelang harus melakukan penawaran paling sedikit
sama dengan nilai limit. Penawaran lelang dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu lisan, tertulis, dan kombinasi tertulis dilanjutkan dengan lisan apabila
penawaran tertinggi belum mencapai nilai limit. Penawaran lisan dilakukan
secara langsung dengan kehadiran peserta lelang, sedangkan penawaran
tertulis dapat dilakukan dengan atau tanpa kehadiran peserta lelang.
Penawaran tertulis tanpa kehadiran peserta lelang dapat dilakukan melalui
surat elektronik (email), melalui surat tromol pos, dan melalui internet.
Penawaran tersebut dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali untuk setiap
barang, dengan ketentuan nilai penawaran yang tertinggi yang dianggap sah
dan mengikat.
Penawaran lelang yang dilakukan secara tertulis dilaksanakan dengan
menyampaikan surat penawaran dalam amplop tertutup. Surat penawaran
tersebut harus ditulis dengan bahasa Indonesia berisi nama dan alamat
penawar, barang yang ditawar, harga penawar dalam rupiah dengan angka
36
dan huruf, dan tanda tangan di atas materai. Penyampaiannya dapat dilakukan
dengan cara dikirim dengan surat tercatat yang dialamatkan ke tromol pos dan
harus diterima paling lama sebelum pelaksanaan lelang, diserahkan langsung
kepada Pejabat Lelang setelah lelang dibuka atau dimasukkan dalam kotak
penawaran. Penawaran tertulis dibuka pada saat pelaksanaan lelang oleh
Pejabat Lelang bersama dengan penjual dan 2 (dua) orang saksi, masing-
masing 1 (satu) orang dari KPKNL atau Kantor Pejabat Lelang Kelas II dan 1
(satu) orang dari penjual. Penawaran lelang yang diselenggarakan KPKNL
dapat dilakukan dengan harga lelang inklusif atau dengan harga lelang
eksklusif. Lelang dengan harga lelang inklusif dilakukan dengan harga
penawaran sudah termasuk bea lelang pembeli, sedangkan lelang dengan
harga lelang eksklusif dilakukan dengan harga penawaran belum termasuk
bea lelang pembeli. Setelah diperoleh harga tertinggi yang telah mencapai
atau melampaui nilai limit, maka Pejabat Lelang mengesahkan penawar
sebagai pembeli.
Pembeli dapat mengambil dan menguasai barang yang dibelinya setelah
memenuhi kewajiban pembayaran lelang dan pajak atau pungutan sah
lainnya. Pelunasan pembayaran harga lelang dan bea lelang harus dilakukan
secara tunai (cash) atau cek atau giro paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah
pelaksanaan lelang. Pelunasan pembayaran lelang dapat dilakukan melalui
rekening KPKNL atau secara langsung kepada bendahara penerimaan
KPKNL dan dibuatkan kuitansi atau tanda bukti pembayaran. Bea lelang dan
Pajak Penghasilan (PPh) disetorkan ke Kas Negara paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah pembayaran diterima oleh bendahara penerimaan KPKNL.
Kemudian hasil bersih lelang diberikan kepada penjual atau pemilik barang
paling lambat 3 (tiga) hari kerja setalah pembayaran diterima oleh bendahara
penerimaan KPKNL.
Pejabat Lelang harus menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau
barang yang dilelang kepada pembeli paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
pembeli menunjukkan kuitansi atau tanda bukti pelunasan pembayaran, dan
menyerahkan bukti setor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
37
(BPHTB), apabila dokumen kepemilikan yang asli telah diserahkan oleh
penjual kepada Pejabat Lelang sebelum pelaksanaan lelang. Namun bila
penjual tidak menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada Pejabat Lelang,
penjual harus menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau barang yang
dilelang kepada pembeli paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pembeli
menunjukkan kuitansi atau tanda bukti pelunasan pembayaran, dan
menyerahkan bukti setor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Selain harus menyerahkan asli dokumen kepemilikan, Pejabat Lelang
juga harus menyerahkan berita acara lelang yang disebut dengan risalah
lelang. Risalah lelang merupakan suatu akta otentik yang dibuat oleh Pejabat
Lelang. Risalah lelang harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan diberi nomor
urut per tahun anggaran. Fungsi risalah lelang adalah sebagai bukti, bahwa
telah dilakukan perbuatan hukum lelang yang bersifat tunai dan membuktikan
berpindahnya hak atas tanah atau tanah dan bangunan kepada penerima hak.
Pembeli dapat menggunakan risalah lelang sebagai sarana untuk melakukan
balik nama terhadap objek lelang.
B. Proses Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri sebagai Upaya
Penyelesaian Kredit Macet dengan Jaminan Hak Tanggungan
Penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak tanggungan melalui
Pengadilan Negeri dapat dilakukan dengan eksekusi jaminan berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap. Upaya
penyelesaian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :
1. Gugatan
Upaya tersebut ditempuh bank dengan cara mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi yang dilakukan oleh debitor. Proses
penyelesaian kredit macet melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri
dilakukan berdasarkan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan
Rechtsreglement voor de buitengewesten (RBg). Tahapan dari proses
penyelesaian tersebut diawali dengan pengajuan gugatan yang dibuat oleh
38
bank secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Surat
gugatan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 8 no. 3 Rv, pada pokoknya
berisi tentang :
a. Identitas para pihak
Di dalam surat gugatan harus diuraikan secara jelas dan lengkap
identitas dari pihak-pihak yang berperkara, baik penggugat maupun
tergugat. Penggugat adalah orang atau pihak yang merasa dirugikan
haknya oleh orang atau pihak lain, dalam hal ini yaitu bank.
Sedangkan tergugat adalah orang atau pihak yang dianggap
merugikan hak orang atau pihak lain, dalam hal ini yaitu debitor.
Identitas yang dimaksud adalah nama, tempat tinggal, dan pekerjaan.
Dapat juga dicantumkan agama, umur dan status.
b. Posita
Posita atau fundamentum petendi adalah uraian-uraian yang menjadi
dasar dari diajukannya gugatan, yang memuat tentang uraian kejadian-
kejadian atau peristiwa-peristiwa yang merupakan penjelasan duduk
perkaranya dan uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang
menjadi dasar yuridis dari gugatan. Posita harus ditulis secara jelas
dan terperinci, supaya gugatan tidak dinyatakan kabur atau obscuur
libel dan tidak dapat diterima. Posita yang dibuat oleh bank yaitu
berdasarkan perjanjian kredit yang telah dibuat dihadapan notaris
tergugat tidak melakukan prestasi sebagian atau seluruhnya dengan
melakukan keterlambatan pembayaran, sehingga tergugat harus
membayar hutang pokok, bunga, dan denda. Apabila tergugat tidak
dapat membayar hutang pokok, bunga, dan denda tersebut, mohon
diletakkan sita jaminan terhadap kekayaan tergugat.
c. Petitum
Petitum atau tuntutan merupakan apa yang diminta atau diharapkan
akan dikabulkan dalam putusan hakim. Petitum harus dibuat secara
jelas, tegas dan didasarkan pada posita yang ada. Petitum yang tidak
jelas dan tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan
39
tersebut. Petitum atau tuntutan yang dibuat oleh bank yaitu
mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, menyatakan sah dan
berharga perjanjian kredit, menyatakan tergugat telah melakukan
wanprestasi, menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap harta
kekayaan tergugat, menghukum tergugat untuk membayar hutang
pokok, bunga, dan denda, menghukum tergugat untuk membayar
biaya perkara.
Surat gugatan ditandatangani oleh penggugat (bank) atau kuasa
hukumnya dan tidak perlu dibubuhi materai, karena materai hanya diwajibkan
untuk surat yang akan dijadikan alat bukti. Gugatan yang sudah
ditandatangani, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, penggugat
juga harus membayar biaya perkara yang meliputi biaya kantor kepaniteraan,
pemanggilan, dan pemberitahuan para pihak. Setelah gugatan diajukan dan
didaftarkan, maka Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan menunjuk
hakim yang akan memeriksa perkara dengan suatu surat penetapan
penunjukan. Ketua Majelis Hakim yang telah ditunjuk menetapkan hari
persidangan dan memerintahkan memanggil pihak bank sebagai penggugat
dan debitor sebagai tergugat supaya hadir pada persidangan yang telah
ditetapkan, disertai dengan saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk
diperiksa dan dengan membawa bukti-bukti yang diperlukan. Surat panggilan
bagi para pihak diserahkan oleh juru sita atau juru sita pengganti dan
disertakan juga salinan (turunan) surat gugatan. Setelah melakukan panggilan,
juru sita wajib menyerahkan risalah (relas) panggilan kepada hakim yang
akan memeriksa perkara.
2. Sita jaminan
Upaya gugatan perdata ini harus disertai dengan mengajukan
permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) atas jaminan hak tanggungan
dan harta kekayaan debitor lainnya. Sita jaminan tersebut dilakukan untuk
menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan apabila gugatan bank
dimenangkan. Penyitaan dilakukan oleh juru sita atau juru sita pengganti
dengan adanya surat ketetapan yang dibuat ketua majelis hakim pemeriksa
40
perkara. Dalam pelaksanaannya juru sita atau juru sita pengganti wajib
membuat berita acara penyitaan dan dibantu oleh dua orang saksi yang ikut
menandatangani berita acara tersebut. Isi berita acara penyitaan tersebut harus
diberitahukan kepada tergugat (debitor).
3. Mediasi
Pada hari yang ditentukan apabila para pihak yang berperkara hadir
dalam persidangan, maka hakim wajib mengusahakan perdamaian bagi para
pihak dengan menunda proses persidangan dan memberikan kesempatan
untuk menempuh proses mediasi terlebih dahulu. Prosedur mediasi dilakukan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan. Proses mediasi dipimpin oleh mediator yang
dipilih para pihak yang berperkara atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
dengan suatu penetapan. Hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak dapat
bertindak sebagai mediator. Mediator yang telah menerima penetapan,
selanjutnya menentukan hari dan tanggal pertemuan mediasi. Juru sita atau
juru sita pengganti melakukan pemanggilan kepada para pihak untuk hadir
dalam proses mediasi. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak
penetapan mediator, para pihak dapat menyerahkan dokumen yang memuat
duduk perkara dan usulan perdamaian kepada pihak lain dan mediator. Proses
mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
penetapan perintah melakukan mediasi. Jika mediasi berhasil mencapai
kesepakatan, maka pihak bank dan debitor wajib membuat kesepakatan
perdamaian secara tertulis yang berisi hasil kesepakatan antara kedua pihak.
Kesepakatan perdamaian akan dikuatkan oleh hakim pemeriksa perkara
dalam akta perdamaian.
4. Jawaban gugatan
Apabila mediasi tidak berhasil, maka mediator memberitahukannya
secara tertulis kepada hakim pemeriksa perkara. Setelah menerima
pemberitahuan hakim pemeriksa perkara segera menerbitkan penetapan untuk
melanjutkan pemeriksaan perkara. Proses persidangan selanjutnya adalah
pembacaan gugatan penggugat yang selanjutnya akan dijawab oleh debitor
41
sebagai pihak tergugat. Pada perkara perdata pihak tergugat (debitor) tidak
diwajibkan untuk memberikan jawaban atas gugatan dari penggugat (bank).
Debitor dapat mengajukan jawaban gugatan supaya kepentingannya dapat
diperhitungkan oleh majelis hakim dan duduk permasalahannya menjadi
jelas. Apabila debitor tidak mengajukan jawaban gugatan, maka hakim hanya
melihat permasalahan dari sudut pandang yang dikemukakan oleh pihak bank
saja. Akibat tidak adanya jawaban gugatan adalah tidak jelasnya duduk
permasalahan yang terjadi antara pihak-pihak yang berperkara karena dalam
perkara perdata hakim bersifat pasif dan tergugat memiliki kemungkinan
yang besar untuk menjadi pihak yang kalah karena dalil-dalil yang dimuat di
dalam gugatan dianggap benar. Tergugat dapat memberikan jawaban gugatan
secara lisan maupun tertulis. Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan dan
bantahan. Jawaban gugatan yang berupa pengakuan diartikan bahwa tergugat
membernarkan apa yang dimuat di dalam isi gugatan dari penggugat baik
seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan jawaban gugatan yang berupa
bantahan berarti tergugat menolak dalil yang dicantumkan oleh penggugat di
dalam gugatannya.
5. Replik dan duplik
Penggugat dapat menjawab jawaban gugatan dengan mengajukan replik.
Replik diperlukan untuk membantah atau mematahkan alasan-alasan
penolakkan yang dikemukakan oleh tergugat di dalam jawaban gugatannya.
Bank dapat mengajukan replik untuk membantah apa yang telah
dikemukakan oleh debitor di dalam jawaban gugatannya. Bank juga dapat
menguatkan dalil-dalil yang dimuat dalam gugatannya dengan memberikan
tambahan . Tergugat dapat meneguhkan jawabannya terhadap gugatan dari
penggugat dengan mengajukan duplik sebagai jawaban atas replik yang
diajukan oleh penggugat. Debitor dapat memberikan jawaban atau penolakan
terhadap replik yang dibuat oleh bank dan meneguhkan penolakan atas
gugatan dari bank yang telah dikemukakan dalam jawaban gugatannya.
Menurut Sudikno Mertokusumo kedua pihak dapat melakukan jawab
menjawab sekurang-kurangnya berlangsung hingga tiga kali sidang.
42
6. Pembuktian
Dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh penggugat dan tergugat harus
disertai dengan bukti-bukti yang sah. Penyajian bukti-bukti tersebut dalam
persidangan disebut sebagai proses pembuktian. Pembuktian diperlukan
untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan oleh para pihak. Pembuktian dapat menjadi pertimbangan bagi
hakim dalam membuat putusan atas perkara yang sedang berlangsung.
Dengan adanya pembuktian maka hakim dapat mengetahui lebih jelas
peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan antara para pihak
yang berperkara. Pembuktian diawali dengan pengajuan alat bukti berupa
tulisan, yaitu surat yang berupa akta dan surat yang bukan akta. Menurut
Riduan Syahrani akta merupakan surat yang dengan sengaja dibuat sebagai
alat bukti, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akta dibagi menjadi dua
bentuk, yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang (akta otentik) dan akta yang dibuat sendiri oleh para pihak yang
berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum atau akta di bawah tangan. Akta
otentik atau akta dibawah tangan yang dapat diajukan oleh kedua pihak
sebagai alat bukti surat adalah perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, akta
pembebanan hak tanggungan (APHT), perincian hutang kreditdan kuitansi
atau tanda bukti pembayaran kredit.
Pembuktian selanjutnya adalah pembuktian saksi, persangkaan,
pengakuan, dan sumpah. Sebelum memberikan kesaksian di dalam
persidangan setiap saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Setiap orang
yang menjadi saksi harus melihat, mengetahui, mendengar atau melakukan
sendiri apa yang dikatakan dalam pengadilan. Kesaksian yang diberikan tidak
boleh berupa kesimpulan atau pendapat. Alat bukti persangkaan adalah
kesimpulan yang diambil oleh undang-undang atau hakim dari suatu
peristiwa yang jelas atau terang ke arah peristiwa yang belum terang atau
jelas. Alat bukti pengakuan dapat dilakukan di depan pengadilan maupun di
luar pengadilan. Pengakuan merupakan pernyataan yang isinya membenarkan
43
peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang dikemukakan pihak lawan baik
sebagian atau seluruhnya. Alat bukti pengakuan memiliki kekuatan
pembuktian yang lengkap dan menentukan, sehingga tidak perlu dibuktikan
lagi dengan alat bukti lainnya. Alat bukti sumpah merupakan suatu
pernyataan yang diucapkan pada waktu memberikan keterangan dalam
peradilan dengan mendasarkan pada tindakan yang religius, bagi yang
memberikan keterangan tidak benar akan mendapatkan hukuman dari Tuhan.
7. Kesimpulan dan putusan
Tahapan selanjutnya adalah kesimpulan, dimana masing-masing pihak
penggugat dan tegugat mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan
perkara yang disengketakan. Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan
hal-hal yang menyangkut kepentingannya, majelis hakim kemudian
bermusyawarat untuk merumuskan putusan. Hakim tidak diizinkan
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih
dari pada yang digugat (Pasal 178 HIR).
Setelah diputus oleh Pengadilan Negeri maka pihak yang tidak menerima
atau tidak puas terhadap putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum
banding ke Pengadilan Tinggi. Tata cara pengajuan banding sebagai berikut :
1. Mengajukan permohonan banding dengan membuat akta pernyataan
banding di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara
tersebut dalam waktu paling lambat 14 hari sejak putusan dibacakan (jika
prinsipal atau kuasanya hadir di persidangan) atau sejak relaas putusan
diterima jika putusan dibacakan secara verstek. Jika lewat waktu maka
berakibat permohonan banding tidak dapat diterima.
2. Penggugat atau tergugat atau kuasa hukumnya membuat permohonan
banding dan membuat memori banding.
3. Penyerahan memori banding tidak harus dilakukan secara bersamaan
dengan pembuatan akta banding, penyerahan memori banding dapat
dilakukan kapan saja asalkan selama perkara banding tersebut belum
diputus pengadilan tinggi. Hal ini didasarkan pada Putusan Mahkamah
Agung No. 39 K/Sip/1973 yang menyatakan undang-undang tidak
44
menentukan batas waktu penyampaian memori banding, sehubungan
dengan itu, memori banding dapat diajukan selama pengadilan tinggi
dalam tingkat banding belum memutus perkara tersebut.
4. Kontra memori banding dapat dilakukan kapan saja selama perkara
banding tersebut belum diputus di Pengadilan Tinggi.
5. Membayar biaya perkara banding.
Setelah hakim mengeluarkan putusan pada tingkat banding yaitu di
Pengadilan Tinggi, maka apabila ada dari pihak yang berperkara tidak
menerima atau tidak puas dengan putusan tingkat banding tersebut, pihak
tersebut dapat mengajukan upaya selanjutnya yaitu pengajuan permohonan
kasasi ke Mahkamah Agung. Proses pada tingkat kasasi adalah sebagai
berikut :
1. Mengajukan permohonan kasasi dengan membuat akta pernyataan kasasi
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama, tenggang waktunya adalah paling lambat 14 hari sejak putusan
diterima.
2. Penggugat atau tergugat atau kuasa hukumnya membuat pemohonan
kasasi dan membuat memori kasasi.
3. Pemohon kasasi wajib menyerahkan memori kasasi dengan tenggang
waktu 14 hari setelah permohonannya didaftar.
4. Kontra memori kasasi wajib diserahkan dalam waktu selambat-lambatnya
14 hari setelah salinan memori kasasi diterima.
5. Membayar biaya perkara kasasi.
Pihak bank dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap kekayaan
debitor yang menjadi jaminan pelunasan hutang berdasarkan putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap, apabila debitor tidak menjalankan putusan
hakim dengan sukarela untuk membayar hutang kepada pihak bank.Tahap
awal proses eksekusi adalah peringatan (aanmaning). Proses peringatan
merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik
pada eksekusi riil maupun eksekusi pembayaran sejumlah uang. Peringatan
(aanmaning) baru dapat dilakukan setelah diterimanya pengajuan
45
permohonan eksekusi dari pihak pemohon eksekusi. Bentuk pengajuan
eksekusi dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Selama
belum ada permohonan eksekusi, proses peringatan tidak dapat dilakukan.
Namun demikian, ketika sudah diajukan permohonan eksekusi maka Ketua
Pengadilan Negeri wajib melakukan peringatan (aanmaning). Batas waktu
masa peringatan aanmaning ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri
maksimal adalah 8 (delapan) hari (Pasal 196 HIR).
Setelah dilakukan peringatan (aanmaning), apabila pihak tergugat tidak
hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah
masa peringatan dilampaui tetap tidak mau memenuhi pembayaran yang
dihukumkan kepadanya, sejak saat itu Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau juru
sita untuk melakukan sita eksekusi (executoriale beslag). Sita eksekusi
merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran
sejumlah uang. Tata cara sita eksekusi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 197
HIR, Pasal 198 HIR, dan Pasal 199 HIR. Tahapan sita eksekusi (executorial
beslag) adalah sebagai berikut :
1. Sita Eksekusi berdasarkan surat perintah eksekusi oleh Ketua Pengadilan
Negeri.
2. Sita Eksekusi dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. Panitera atau jurusita
berfungsi sebagai pejabat yang melaksanakan eksekusi, sedangkan Ketua
Pengadilan Negeri berfungsi sebagai pejabat yang memerintahkan dan
memimpin eksekusi (Pasal 197 ayat (1) HIR).
3. Panitera atau juru sita yang diperintahkan menjalankan sita eksekusi
dibantu dan disaksikan oleh dua orang saksi.
4. Pelaksanaan sita eksekusi dilakukan di tempat barang yang hendak disita
berada ( Pasal 197 ayat (5) dan ayat (9) HIR).
5. Dibuat berita acara sita eksekusi yang memuat rincian lengkap tindakan
eksekusi (waktu pelaksanaan eksekusi, tempat, dan identitas tanah),
memuat nama dua (2) orang saksi, ditandatangani panitera atau juru sita
dan dua (2) orang saksi.
46
6. Sita eksekusi dapat dijalankan pelaksanaannya di luar hadirnya pihak
tersita. Pelaksanaan sita eksekusi tidak digantungkan atas hadirnya pihak
tersita. Hadir atau tidak hadir, sita dapat dijalankan pelaksanaannya.
7. Penjagaan barang yang disita tetap berada dalam penguasaan pihak tersita.
Penjagaan dan penguasaan barang yang disita tidak boleh diserahkan
kepada pemohon eksekusi. Pihak tersita bebas menggunakan dan
menikmati barang yang disita (Pasal 197 ayat (9) HIR).
Setelah sita eksekusi dilaksanakan penjualan barang sitaan dilakukan
berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR. Penjualan barang yang disita dilakukan
dengan bantuan kantor lelang. Dokumen yang diperlukan dalam mengajukan
penjualan melalui KPKNL meliputi :
1. Salinan atau fotokopi putusan dan/atau penetapan pengadilan;
2. Salinan atau fotokopi penetapan aanmaning/teguran kepada tereksekusi
dari Ketua Pengadilan;
3. Salinan atau fotokopi penetapan sita oleh Ketua Pengadilan;
4. Salinan atau fotokopi Berita Acara Sita;
5. Salinan atau fotokopi perincian hutang atau jumlah kewajiban tereksekusi
yang harus dipenuhi; dan
6. Salinan atau fotokopi Pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi.
Tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh
Pejabat Lelang dari KPKNL. Setelah pemenang lelang membayar harga
lelang, KPKNL wajib menyerahkan dokumen dan petikan risalah lelang
kepada pemenang lelang untuk digunakan sebagai bukti balik nama.
C. Kelebihan dan Kekurangan Parate Eksekusi dan Gugatan Perdata di
Pengadilan Negeri sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Macet dengan
Jaminan Hak Tanggungan
Penyelesaian kredit macet pada praktiknya saat ini yang lebih dipilih oleh
bank adalah melalui upaya parate eksekusi dengan alasan bahwa prosesnya
lebih cepat dan upaya gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai
penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak tanggungan sudah mulai
47
ditinggalkan oleh bank. Namun upaya gugatan perdata sebenarnya juga
memiliki keunggulan dibandingkan upaya parate eksekusi dan parate
eksekusi juga memiliki permasalahan yang sering terjadi di dalam proses
pelaksanaannya. Kekurangan dan kelebihan parate eksekusi dan gugatan
perdata meliputi :
Upaya
penyelesaian
hak
tanggungan
Kelebihan Kekurangan
Parate
Eksekusi
1. Prosesnya lebih cepat.
2. Biaya yang dikeluarkan
lebih murah.
1. KPKNL tidak memiliki
hak untuk mengosongkan
rumah.
2. Hasil lelang lebih sedikit
dari hutang debitor.
3. Pihak debitor dapat
melakukan gugatan
perlawanan.
Gugatan
Perdata
1. Pengadilan dapat
melakukan eksekusi
pengosongan rumah.
2. Jumlah hutang yang
dimiliki debitor lebih jelas
dan transparan.
3. Pada tahap mediasi dapat
diperoleh win-win solution.
4. Adanya sita jaminan.
1. Prosesnya lebih lama.
2. Biaya yang dikeluarkan
lebih mahal.
Adanya undang-undang hak tanggungan dapat mempermudah bank
untuk melakukan penjualan terhadap objek jaminan. Bank dapat melakukan
penjualan jaminan hak tanggungan melalui parate eksekusi di Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Parate eksekusi memiliki
48
proses yang lebih cepat dan murah dibandingkan gugatan perdata. Proses
parate eksekusi hanya melalui tahapan pengajuan permohonan lelang serta
dokumen-dokumen yang diperlukan, permohonan Surat Keterangan Tanah
(SKT) atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) kepada Kantor
Pertanahan, penetapan waktu dan tempat lelang, pengumuman lelang di surat
kabar, pelaksanaan lelang, dan penyerahan dokumen serta risalah lelang
untuk balik nama. Namun dalam kenyataannya, hak-hak yang melekat pada
jaminan kredit tersebut tidak sepenuhnya mudah untuk dilaksanakan.
Sekalipun jelas sekali undang-undang mengatur mengenai kemudahan bagi
bank untuk melakukan penjualan objek jaminan kredit yang dilakukan
melalui kantor lelang, tetapi dalam praktik, hal tersebut masih terdapat
kendala, yaitu masih diperlukannya fiat eksekusi dari Pengadilan bagi objek
lelang hak tanggungan dari pihak lain selain debitor atau tereksekusi terkait.
Berdasarkan penjelasan pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Hak
Tanggungan, bahwa terdapat kata-kata “melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara
perdata.” Ini berarti, sekalipun debitur telah cidera janji, penjualan objek hak
jaminan tersebut belum serta merta dapat dilakukan. Dalam praktik, pihak
kantor lelang akan meminta adanya fiat pengadilan mengenai eksekusi
jaminan kredit. Tanpa adanya penetapan pengadilan mengenai eksekusi
jaminan kredit, pelaksanaan penjualan akan mengalami kesulitan dan masih
terdapat permasalahan hukum.
Walaupun pengadilan telah menetapkan adanya eksekusi atas objek
jaminan kredit, namun masih sering terjadi pihak debitor mengadakan upaya
bantahan atau perlawanan mengenai penetapan eksekusi tersebut dengan
alasan-alasan yang dapat diterima hakim. Hal demikian juga akan
memperpanjang pelaksanaan eksekusi jaminana kredit, karena proses akan
berlangsung seperti penyelesaian perkara perdata yang diawali dengan
pengajuan gugatan, proses mediasi, pengajuan jawaban gugatan, pengajuan
replik dan duplik, proses pembuktian, pengajuan kesimpulan, dan putusan.
Apabila salah satu pihak belum menerima putusan yang diberikan oleh hakim
49
masih terdapat upaya banding dan kasasi, sehingga memerlukan proses yang
lebih panjang dan lama.
Kekurangan dari proses parate eksekusi yang dilakukan melalui
pelelangan umum di KPKNL adalah KPKNL hanya memiliki kewenangan
untuk melakukan pelelangan atas jaminan hak tanggungan yang dimiliki oleh
debitor. Permasalahan yang timbul apabila tanah atau tanah dan bangunan
yang menjadi jaminan hak tanggungan berada dalam penguasaan pihak lain
atau debitor tidak dengan sukarela meninggalkan benda yang telah
dijaminkan. Hal demikian memerlukan adanya eksekusi riil yaitu
pengosongan tanah atau tanah dan bangunan, tetapi KPKNL tidak memiliki
kewenangan dalam mengosongkan jaminan hak tanggungan. Eksekusi
pengosongan benda jaminan hanya dapat dilakukan oleh badan peradilan.
Sehingga bank harus mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Negeri.
Selain itu kekurangan dari proses parate eksekusi melalui KPKNL yaitu
bank tidak mendapatkan jaminan atas kekayaan debitor lainnya apabila hasil
penjualan hak tanggungan yang dilakukan masih belum dapat memenuhi
pembayaran atau hasil yang diperoleh lebih kecil dari hutag debitor. Bank
tidak mendapatkan jaminan pelunasan pembayaran hutang walaupun jaminan
hak tanggungan sudah dijual melalui pelelangan umum. Dalam hal ini proses
melalui gugatan perdata memiliki kelebihan dibandingkan parate eksekusi,
karena pada penyelesaian perkara perdata terdapat sita jaminan atas kekayaan
debitor. Sita jaminan yang dapat diajukan bukan hanya pada jaminan hak
tanggungan saja, namun dapat juga diajukan terhadap kekayaan debitor
lainnya. Melalui proses perdata tersebut bank mendapatkan jaminan atas
terpenuhinya pelunasan hutang debitor. Apabila debitor tidak memiliki harta
kekayaan lainnya, maka bank dapat mengajukan gugatan untuk memenuhi
sisa hutang yang belum dibayar pada saat debitor memiliki aset atau
kekayaan yang baru.
Kelebihan proses perkara perdata di Pengadilan Negeri adalah memiliki
tahapan mediasi. Apabila proses mediasi berhasil, maka upaya melalui
50
gugatan perdata dapat berlangsung lebih cepat daripada proses melalui
pelelangan umum. Dengan adanya proses mediasi, maka kepentingan kedua
pihak dapat diperhitungkan oleh mediator dan hasil yang diperoleh adalah
win-win solution. Mediasi tidak hanya dilakukan sebelum proses persidangan,
tetapi pada setiap proses perkara perdata berlangsung, sebelum adanya
putusan sesuai dengan pasal 33 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang berbunyi :
“Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, Hakim Pemeriksa Perkara tetap
berupaya mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum
pengucapan putusan. Para pihak atas dasar kesepakatan dapat mengajukan
permohonan kepada hakim pemeriksa perkara untuk melakukan perdamaian
pada tahap pemeriksaan perkara. Setelah menerima permohonan para pihak
untuk melakukan perdamaian, ketua majelis hakim pemeriksa perkara dengan
penetapan segera menunjuk salah seorang hakim pemeriksa perkara untuk
menjalankan fungsi mediator dengan mengutamakan hakim yang
bersertifikat. Hakim pemeriksa perkara wajib menunda persidangan paling
lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak penetapan.”
Pada proses parate eksekusi tidak ada tahapan untuk mengemukakan
pendapat dan tahapan pembuktian, sehingga duduk permasalahan sebenarnya
yang terjadi tidak dapat diketahui dengan jelas. Namun sebaliknya, pada
proses perdata di Pengadilan Negeri duduk permasalahannya menjadi jelas
dan kedua pihak dapat mengemukakan kepentingan masing-masing pada
tahap jawab menjawab yang ada di dalam gugatan, jawaban gugatan, replik
dan duplik. Melalui proses perdata hutang yang dimiliki oleh debitor lebih
jelas dan transparan. Sering kali terjadi permasalahan debitor tidak mau
melunasi hutangnya karena bank tidak transparan dalam memberikan
perincian kredit yang belum dan telah dibayarkan oleh debitor. Dalam proses
perdata debitor dapat meminta haknya untuk menerima perincian hutang yang
harus dibayar, sehingga jumlah hutang yang dimiliki oleh debitor kepada
bank menjadi jelas.
51
BAB IV
Simpulan dan Saran
A. Simpulan
1. Proses parate eksekusi hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit
macet meliputi :
a. Pengajuan permohonan lelang kepada KPKNL disertai dengan
dokumen persyaratan lelang hak tanggungan;
b. Permohonan Surat Keterangan Tanah (SKT) atau Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT) yang diajukan oleh Kepala KPKNL atau
Pejabat Lelang Kelas II kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat;
c. Penetapan tanggal atau hari dan jam lelang oleh Kepala KPKNL atau
Pejabat Lelang Kelas II;
d. Penjual menetapkan nilai limit berdasarkan penilaian oleh penilai atau
penaksiran oleh penaksir;
e. Pengumuman lelang di surat kabar dilakukan sebanyak 2 (dua) kali;
f. Peserta lelang menyetorkan uang jaminan ke Rekening KPKNL;
g. Pelaksanaan lelang dapat dilakukan dengan penawaran lisan, tertulis
dan kombinasi tertulis dilanjutkan dengan lisan;
h. Pemenang lelang membayar harga lelang kepada KPKNL; dan
i. KPKNL menyerahkan dokumen dan petikan risalah lelang kepada
pemenang lelang.
2. Proses penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak tanggungan
melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri meliputi :
a. Pengajuan gugatan dari bank kepada debitor atas dasar wanprestasi;
b. Tahap mediasi antara para pihak yang berperkara dibantu oleh
mediator;
c. Jawaban gugatan tergugat yang berisi bantahan dan pengakuan atas
dalil-dalil gugatan penggugat;
d. Pengajuan replik atau jawaban atas jawaban gugatan tergugat yang
isinya mematahkan alasan-alasan penolakan tergugat;
52
e. Pengajuan duplik oleh tergugat yang berisi bantahan atas replik
penggugat dan meneguhkan jawaban gugatan tergugat;
f. Pengajuan alat bukti yangberupa surat, saksi, persangkaan,pengakuan,
dan sumpah;
g. Masing-masing pihak mengampaikan pendapat akhir secara tertulis
tentang hasil pemeriksaan perkara yang dituangkan dalam suatu
kesimpulan; dan
h. Hakim menjatuhan putusan atas perkara yang disengketakan.
Apabila ada pihak yang tidak puas dengan putusan hakim, maka
pihak tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan
Tinggi. Setelah adanya putusan hakim Pengadilan Tinggi terdapat upaya
hukum kasasi yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung apabila salah
satu pihak tidak merasa puas dengan putusan hakim pada tingkat banding
tersebut.
Setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, maka
pihak bank dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap harta
kekayaan debitor yang telah disita oleh Pengadilan Negeri, apabila
debitor tidak menjalankan putusan hakim dengan sukarela untuk
membayar hutang kepada pihak bank. Proses eksekusi diawali dengan
adanya peringatan (aanmaning) yang ditujukan kepada debitor untuk
melunasi hutangnya. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat
penetapan sita eksekusi, apabila pihak tergugat tidak hadir memenuhi
panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan
dilampaui. Pihak bank menyerahkan dokumen kepada KPKNL untuk
melaksanakan pelelangan. Setelah lelang dilaksanakan pemenang lelang
telah membayar harga lelang kepada KPKNL. KPKNL menyerahkan
dokumen dan petikan risalah lelang kepada pemenang lelang untuk
melakukan balik nama.
3. Dari kedua upaya penyelesaian kredit macet dengan jaminan hak
tanggungan melalui baik parate eksekusi maupun gugatan perdata
memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu :
53
a. Parate eksekusi
1) Kelebihan : Prosesnya lebih cepat dan biaya yang dikeluarkan lebih
murah.
2) Kekurangan : KPKNL tidak memiliki hak untuk mengosongkan
rumah, hasil lelang lebih sedikit dari hutang debitor, dan pihak
debitor dapat melakukan gugatan perlawanan.
b. Gugatan perdata
1) Kelebihan : Pengadilan dapat melakukan eksekusi pengosongan
rumah, jumlah hutang yang dimiliki debitor lebih jelas dan
transparan, pada tahap mediasi dapat diperoleh win-win solution,
dan adanya sita jaminan.
2) Kekurangan : Prosesnya lebih lama dan biaya yang dikeluarkan
lebih mahal.
B. Saran
1. Sebelum bank memberikan kredit kepada masyarakat, sebaiknya dalam
menafsirkan nilai jaminan diperhitungkan juga resiko yang akan timbul
apabila terjadi permasalahan kredit macet. Sehingga apabila terjadi
permasalahan kredit macet, hasil yang akan didapatkan pada pelelangan
jaminan debitor dapat melunasi hutang debitor kepada bank.
2. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam
menentukan nilai limit sebaiknya memperhitungkan juga hutang debitor
kepada bank supaya harga yang didapatkan oleh pemenang lelang lebih
besar dari hutang debitor, sehingga debitor dapat melunasi hutangnya
kepada bank dengan tidak menimbulkan permasalahan untuk selanjutnya.
3. Bagi debitor yang memiliki permasalahan kredit macet sebaiknya
diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau musyawarah mufakat, karena
apabila permasalahan kredit macet diselesaikan melalui pelelangan
maupun badan peradilan, biaya yang timbul dalam proses tersebut
ditanggung oleh debitor.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Dahlan Siamat. 2005. Managemen Lembaga Keuangan. Edisi Kelima. Jakarta:
LPFE UI.
H. Salim HS. 2011. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Cetakan V.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Herowati Poesoko. 2008. Parate execcutie Obyek Hak Tanggungan
(inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT).
Cetakan II. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo Yogyakarta.
Lilik Mulyadi. 1997. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan
di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Muhamad Djumhana. 1993. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Munir Fuady. 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Munir Fuady. 2002. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
M.Yahya Harahap. 2006. Ruang Lingkup Permasalahan EksekusiBidang Perdata.
Jakarta: Sinar Grafika.
M.Yahya Harahap.2013. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Cetakan XI. Jakarta: Kencana
Predana Media Group.
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum. Cetakan IX. Jakarta: Kencana
Predana Media Group.
Rachmadi Usman. 2001. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa.
Sudikno Mertokusumo. 2014. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cetakan V.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Suharnoko. 2009. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Cetakan VI.
Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Thomas Suyatno. 1995. Dasar-Dasar Perkreditan. Edisi IV. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
HIR (Herziene Inlandsch Reglement)
RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)
Rv (Reglement op de Bergerlijk Rechtsvondering)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27
Februari 1998
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/12/BPP tanggal 28 Februari 1991
Putusan Mahkamah Agung No. 39 K/Sip/1973