1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasisme adalah masalah rasial yang mendarah daging di tengah
kehidupan masyarakat multikultur di berbagai belahan dunia. Rasisme
berkembang pesat di suatu negara seiring berkembangnya teknologi dan
perdagangan yang mengakibatkan berkembangnya tingkat kemajemukan dalam
negara tersebut. Ketertarikan akan kehidupan yang lebih baik yang ditawarkan
oleh negara dengan iklim perdagangan yang baik itulah yang kemudian
mengundang kedatangan masyarakat dari berbagai kelompok ras. Mitos-mitos
tentang ras unggul dan ras kelas bawah merupakan faktor penyebab semakin
peliknya masalah rasisme. Mereka yang dikonstruksikan sebagai ras unggul
seringkali melakukan tindakan rasisme terhadap golongan ras kelas bawah.
Tindakan-tindakan rasisme tersebut terjadi dalam berbagai bidang dalam
kehidupan bermasyarakat seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, hiburan dan
lain sebagainya.
Realita dari pernyataan di atas dapat dilihat dari situasi negara Amerika
Serikat yang di dalamnya terdapat berbagai macam kelompok ras. Hampir semua
sektor kehidupan di Amerika Serikat dikuasai oleh warga kulit putih yang
merupakan ras kaukasoid. Pada awal kedatangannya di benua Amerika, orang-
orang ras kulit putih mempunyai keinginan untuk menghabiskan semua warga
suku asli yang menempati benua Amerika pada saat itu yaitu suku Indian yang
2
merupakan bagian dari ras mongoloid. Usaha nyata yang dilakukan warga kulit
putih untuk menguasai Amerika yaitu dengan melakukan pembantaian massal
terhadap orang Indian yang berdampak menurunnya jumlah warga suku bangsa
Indian sejak Colombus menginjakkan kakinya di Benua Amerika dari 10juta jiwa
menjadi 400.000 jiwa. warga kulit putih juga menindas para pendatang watga
Africans-Americans yang berasal dari ras Negroid. Warga kulit putih
menempatkan warga ras negroid pada posisi terendah dalam strata ras dan etnik
berdasarkan derajat dominasi. Warga ras negroid juga dipisahkan dari warga kulit
putih dalam fasilitas sosial dan dibatasi ruang geraknya dalam bidang politik.
Rasisme yang menjangkiti suatu negara multikultur memang membawa
dampak yang cukup buruk seperti tingginya angka kriminalitas, bentrokan-
bentrokan, prasangka antar golongan ras dan ketidaknyamanan dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal itu semakin diperkeruh dengan adanya pemberitaan-
pemberitaan yang berpihak pada salah satu kelompok. Sebagai alat pendorong
kohesi dosial dalam masyarakat, media seharusnya mampu memberikan informasi
dengan teknik cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara berimbang).
Namun pada kenyataannya media di Amerika sering kali menyudutkan golongan
ras kuliat hitam dengan melakukan pemberitaan yang berlebihan tentang
kriminalitas yang dilakukan oleh golongan ras kulit hitam seperti perampokan,
kekerasan, peredaran dan penggunaan narkoba, serta perilaku negatif lainnya. Hal
ini sengaja dilakukan untuk membentuk persepsi masyarakat Amerika tentang
perilaku negatif yang identik dengan warga kulit hitam. Dengan demikian kita
3
dapat menilai bahwa dalam media massa Amerika juga terdapat tindakan rasisme
terhadap warga kulit hitam.
Selain pers, film juga merupakan media massa yang dapat membentuk
persepsi masyarakat melalui cerita yang terdapat di dalamnya karena biasanya
cerita dari sebuah film berangkat dari fenomena yang terjadi di kehidupan sehari-
hari (film sebagai keoleksi local content). Pengaruh film terhadap jiwa manusia
sangat kuat karena penonton tidak ganya terpengaruh dengan pesan yang
disampaikan dalam film tersebut, tetapi terus sampai waktu yang lama. Dengan
demikian film merupakan bagian dari media massa yang cukup penting dalam
menyampaikan pesan kepada khalayak, atau setidaknya untuk mempengaruhi
khalayak dalam bertindak maupun menilai sesuatu seperti gaya berpakaian dan
gaya berbicara remaja saat ini yang meniru karakter tertentu dalam sebuah film.
Karena berbagai permasalahan tersebut di atas peneliti memiliki
ketertarikan untuk meneliti sebuah film yang di dalamnya sarat akan tema
rasisme. Judul film yang dipilih oleh peneliti adalah film ―Freedom Writer‖ karya
sutradara Richard La Gravense produksi Paramount Picture. ―Freedom Writer‖
bercerita tentang perjuangan seorang guru berkulit putih bernama Erin Gruwell
yang pantang menyerah dalam menyelesaikan konflik-konflik rasis yang terjadi di
antara murid-muridnya di SMU Woodrow Wilson di kawasan Long Beach,
California. Film ini bersetting tahun 1990an dimana pada masa-masa itu
kerusuhan berbasis ras sedang terjadi di beberapa kota di California. Dalam film
ini terdapat empat golongan ras yang menonjol yaitu ras Americans-Africans
(kulit hitam), Americans-Asians, Hispanic dan ras kulit putih. Namun karakter
4
mereka digambarkan berbeda-beda. Secara umum Ras kulit putih digambarkan
sangat berpendidikan, santun dan selalu menjadi korban tindakan rasis orang-
orang diluar kulit putih, warga Hispanic digambarkan sebagai sosok yang diam-
diam menghanyutkan, warga Americans-Asians memiliki karakter yang hampir
sama dengan ras Hispanic namun terlihat sedikit lebih santai, sedangkan orang-
orang kulit hitam digambarkan sangat anarkis, rasis dan sama sekali tidak punya
sopan santun.
Dalam film ini tokoh Erin Gruwell yang diperankan oleh Hillary Swank
melakukan metode pengajaran yang lain daripada yang lain. Ia banyak melibatkan
murid-muridnya secara langsung seperti dengan adanya game yang mengharuskan
mereka bersikap jujur, Toast for Change (saat Gruwell mengajak mereka untuk
melakukan perubahan dengan memberikan tos akan perubahan yang akan mereka
lakukan dan dengan membagikan buku sebagai diary mereka), debat terbuka,
menulis kisah hidup mereka dalam sebuah diary dan lain-lain. Ia juga rela bekerja
paruh waktu sebagai pegawai di sebuah hotel dan toko pakaian dalam wanita agar
dapat membelikan murid-muidnya sejumlah buku yang berhubungan dengan
keadaan mereka saat itu seperti Diary of Anne Frank dan sebagainya. Gruwell
juga mau mengajak mereka ke Museum of Tolerance dan makan bersama dengan
korban-korban Holocaust yang masih hidup di restoran tempat ia bekerja agar
mereka benar-benar paham tentang apa yang disebut dengan Holocaust.
Kesibukannya inilah yang nantinya membuat Gruwell bercerai dengan Scott
(Patrick Dempsey), suaminya. Sejak murid-murid di ruang 203 membaca buku-
buku tersebut dan paham mengenai Holocaust, mereka berubah total. Mereka
5
tidak lagi mempermasalahkan ras. Mereka mulai mengenal dan dekat satu sama
lain.
Secara sepintas film ―Freedom Writer‖ seperti menggambarkan betapa
tertindasnya orang-orang ras kulit putih oleh orang-orang di luar kulit putih.
Namun peneliti memiliki kecurigaan tertentu yang terdapat dalam film tersebut
yang dapat dianalisa menggunakan teknik analisis semiotika, bahwa terdapat
makna rasisme dimana film ini sesungguhnya lebih menempatkan posisi ras kulit
putih sebagai ras yang paling hebat diantara ras-ras yang lain. Padahal jika melihat
respon masyarakat, film ini mendapat banyak sanjungan tentang pesan anti
rasisme, baik yang tertulis dalam beberapa media online maupun pendapat
langsung dari masyarakat.
Di antara beditu banyak film Holywood, terdapat beberapa film yang
selalu menggambarkan kepositifan orang kulit putih dibandingkan orang-orang
dari ras di luar kulit putih antara lain film seri ―Tintin‖ yang diputar pada tahun
1970an, ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh
seorang ras kulit hitam, dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang
kepahlawanan Marinir AS dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah.
Hollywood sebagai industri perfilmaan terbesar di dunia memiliki kecenderungan
untuk mengangkat tema-tema tentang kemenangan dan ke-positif-an Amerika
Serikat, yang digambarkan melalui kelompok ras kulit putih.
6
Dari uraian di atas peneliti dapat merumuskan sebuah judul penelitian
yaitu RASISME dalam FILM PRODUKSI AMERIKA (Analisis Semiotik dalam
Film Freedom Writer Karya Richard LaGravenese).
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana makna rasisme yang terdapat dalam film
―Freedom Writer‖ karya Richard LaGravenese?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui makna rasisme yang digambarkan dalam film
―Freedom Writer‖ karya Richard LaGravenese.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan tambahan keilmuan
bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian sejenis, khususnya pada
kosentrasi Audio Visual tentang penggunaan media massa film sebagai
penyampaian pesan karena film selalu bertautan dengan nilai budaya dalam
masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
E.1. Mitos Ras superrior
Mitos tentang unggulnya salaha stu ras manusia disbanding dengan ras
yang lainnya muncul ketika pada tahun 1871 Darwin menerbitkan bukunya
yang berjudul The Descent of Man. Dalam buku ini ia menyatakan bahwa
manusia berevolusi dari makhluk mirip kera. Darwin tak dapat memberikan
bukti apapun yang mendukung klaimnya selain membuat sejumlah skenario
7
khayalan. Darwin memiliki sebuah pemikiran bahwa sejumlah ras berevolusi
lebih cepat dan, karenanya, lebih maju dari yang lain; sedangkan ras-ras lain
dianggapnya masih setingkat dengan kera (Gramsci,1971:128).
Menurut Darwin, ras pilihan adalah ‗bangsa kulit putih Eropa‘,
sedangkan Ras Asia atau Afrika gagal dalam perjuangan mempertahankan
hidup. Darwin melangkah lebih jauh, bahkan mengatakan bahwa ras-ras ini
akhirnya akan dihapuskan sama sekali. Ia meyakini bangsa kulit putih
pertama-tama akan memperbudak, dan kemudian memusnahkan ras-ras kelas
rendah. Gagasan Darwin mendapat sambutan baik dari bangsa kulit putih
yang sedang mencari teori untuk membenarkan tindakan mereka di masa itu
seperti ketika. Sejak abad keenam belas, Eropa mulai menjajah berbagai
belahan dunia. Penjajah pertama adalah bangsa Spanyol di bawah pimpinan
Christopher Columbus. Dalam waktu singkat, penjajah Spanyol menyerbu
Amerika Selatan. Mereka memperbudak penduduk asli, yaitu suku Indian
berkulit merah yang termasuk dalam ras mongoloid yang sebelumnya hidup
damai.
E.2. Rasisme Dan Media Massa
Menurut George M Fredickson (2005:3) istilah ―rasisme‖ sering
digunakan secara longgar dan tanpa banyak pertimbangan untuk melukiskan
permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis atau ―masyarakat‖
terhadap kelompok lain, serta sebagai tindakan yang dihasilkan dari sikap-
sikap itu. ―Rasisme‖ adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang
menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia
8
menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih
superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.
Rasisme merupakan salah satu bentuk khusus yang memfokuskan diri
pada variasi fisik di antara manusia. Rasisme juga dapat diartikan sebagai
suatu kompleks keyakinan bahwa subspecies dari manusia lebih rendah
daripada subspecies yang lain. Pembendaan antara yang superior dan inferior
tersebut memiliki tujuan tertentu misalnya untuk menciptakan sebuah ideologi
budaya.
Media massa merupakan kependekkan dari media komunikasi massa
memiliki pengertian sebagai sarana yang digunakan oleh komunikator dalam
proses komunikasi massa. Menurut Maletzke (dalam Effendy, 2003: 27-28)
ada dua definisi komunikasi massa yaitu:
1. Komunikasi massa diartikan setiap bentuk komunikasi yang
menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran
teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar
2. Komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan
suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada
sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau
beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa
juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk
menyampaikan komunikasi agar supaya komunikasi itu dapat
mencapai pada saat yang sama pada semua orang yang mewakili
berbagai lapisan masyarakat
9
Salah satu fungsi dari media massa adalah mendorong kohesi sosial.
Kohesi yang dimaksud disini adalah penyatuan. Artinya, media massa
mendorong masyarakat untuk bersatu. Jika media itu mampu meliput
informasinya dengan teknik cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda
secara seimbang), maka media massa tersebut secara tidak langsung berperan
dalam mewujudkan kohesi sosial. Namun pada kenyataannya media massa
sering kali berpihak dalam menyampaikan pesan-pesan kepada komunikan
dalam hal ini publik. hal ini tentu dapat berdampak buruk bagi kelompok
masyarakat yang memang saling memiliki prasangka negatif. Misalnya saja
penempatan perempuan dalam wilayah domestik pada iklan-iklan televisi, hal
ini yang kemudian memunculkan kritik di kalangan feminis.
Mitos tentang keunggulan ras kulit putih tidak hanya menyebar dari
mulut ke mulut, tetapi melalui media massa posisi ras kulit putih juga
dikonstruksikan sebagai ras yang paling unggul. Iklan yang merupakan produk
media massa juga dianggap rasis ketika pada massa Victoria sekitar tahun
1884 muncul sebuah iklan sabun mandi merk Imperial Leather. Iklan sabun
mandi pada mulanya merupakan representasi dari kemewahan, sehingga
dimaksudkan bagi orang kelas menengah. Iklan sabun juga muncul dan
terasialkan bersama keterpesonaan terhadap kulit putih dan ke-putih-an yang
juga secara tidak terelakkan berkaitan dengan putih sebagai ras (Aquarini,
2003:37).
Mc Clintock (dalam Aquarini, 2003:38) membahas bahwa iklan sabun
pada awalnya begantung pada kebudayaan yang imperial (imperial culture)
10
dan alam yang terjajah (colonialised nature) sebagai dikotomi hitam/putih.
Iklan sabun dianggap mengkomodifikasi rasisme sedemikian rupa sehingga
rasisme merangkul setiap produk kebutuhan rumah tangga dengan
kedigdayaan yang bersinar atas kemewahan imperial dan potemsi rasial.
Sabun sebagaimana dikatakan Mc Clintock adalah rasisme komoditas
sedemikian sehingga sabun lebih dari sekedar komoditas sehari-hari
merupakan agen ideologis rasisme dan superioritas kulit putih.
E.3. Film Sebagai Media Representasi Ras
Film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa modern yang
kedua muncul di dunia (Sobur,2004:126). Film adalah bentuk komunikasi
massa elektronik yang berupa media audio visual. Dalam banyak penelitian
tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan
masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi
dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya,
tanpa berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini
didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana
film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, kemudian memproyeksikannya ke atas layar
(Irawanto,1999:13).
Sebagai media dokumentasi sejarah, film terkadang tidak hanya
merefleksikan sebuah peristiwa ke atas layar. Namun film juga
merepresentasikan kejadian di masa lampau tersebut. Hal ini dikarenakan film
tidak dibuat oleh seorang sejarahwan melainkan oleh seorang sineas yang juga
11
memiliki latar ideologi sendiri dalam mengkonstruksikan dan menggambarkan
sebuah peristiwa. Seperti yang dikatakan Turner bahwa bagaimanapun film
tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya (Irawanto, 1999:16).
Film yang dibuat oleh seorang komunis tentu akan berbeda dengan
film yang dibuat oleh seorang nasionalis, film yang dibuat oleh orang-orang
kulit putih di Amerika tentu akan berbeda dengan film-film karya orang-orang
kulit hitam karena masing-masing dari mereka memiliki sejarah dan ideologi
yang mempengaruhi ruang imajinasinya ketika mengkonstruksikan setiap
peristiwa dalam film. Secara ringkas, film sebagai media komunikasi massa
membentuk pandangan dunia dari orang - orang di sekelilingnya. Didalamnya
termasuk media film yang begitu sarat dengan muatan ideologis dari sang
komunikatornya. Dengan demikian film merupakan obyek yang potensial
untuk dikaji khususnya dalam kerangka komunikasi massa yang sarat dengan
muatan pesan baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Perbedaan kelas antara ras kulit putih dengan lainnya ternyata tidak
hanya dipresentasikan dalam iklan, tetapi juga dalam film. Pada tahun 1970an
muncul film Tintin yang sangat popular yang menggambarkan kepahlawanan
orang kulit putih terhadap orang kulit hitam (Indian), ―Just Cause‖ yang
bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh seorang ras kulit hitam,
dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang kepahlawanan Marinir AS
dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah, dan masih banyak lagi film-
film yang mengkotak-kotakan peran manusia berdasarkan ras mereka.
12
E.4. Hegemoni Ras Kulit Putih Dalam Perfilman Amerika
Bagi Gramsci, hegemoni berarti situasi dimana suatu ‗blok historis‘
faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas
kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekeuatan,dan terlebih lagi
dengan konsensus. Suatu blok hegemoni tidak pernah terdiri dari kategori
sosial-ekonomi tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi dimana
suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin. Ideologi memainkan peran
krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini(awalnya dikonsepsikan
dalam terminologi kelas)menanggalkan kepentingan sempit usaha-ekonomi
dan mengutamakan kepentingan ‗nasionalis-populer‘. Jadi,‘suatu kesatuan
soaial-budaya‘diperoleh ‗melalui aneka ragam kehendak,yang tujuan
heterogennya secara bersama-sama dimasukkan ke dalam satu tujuan tunggal,
sebagau basis suatu konsepsi tentang dunia yang adil dan
alamiah(Gramsci,1971:349).
Hegemoni secara konstan disesuaikan dan direnegosiasikan.Gramsci
mengatakan bahwa hegemoni tidak dapat didapat begitu saja. Pada fase pasca
revolusioner (ketika kelas pekerja telah mendapatkan kontrol) fungsi
kepemimpinan hegemik tidak hilang tetapi merubah karakternya.Namun,
Gramsci menyebutkan dua mode berbeda kontrol sosial:
a. kontrol koersif : termanifestasi melalui kekuatan langsung atau ancaman
(dibutuhkan oleh sebuah kepemimpinan ketika kepemimpinan
hegemonik rendah atau lemah)
13
b. kontrol konsesual : muncul ketika individu secara seukarela berasimilasi
dengan pandangan dari kelompok yang mendominasi (kepimimpinan
hegemonik)
Peran serta Amerika dalam sejarah perfilman dunia dimulai pada tahun
1894 ketika seoranga warga kulit putih Amerika Woodville Latham beserta
dua anaknya Otway dan Gray mengembangkan teknologi kamera dan
proyektor. Pada 1905 Amerika memulai industri perfilmannya dengan
munculnya teater lokal, di tahun ini pula Nickelodeon mulai menampilkan
film-filmnya. Tahun 1905-1907 Nickelodeon berkembang melalui
pertunjukkan di bioskop dengan memutar film-film pendek yang berdurasi 15
menit. Nickelodeon mampu menghasilkan 3 program berbeda tiap minggu
yang berarti sama dengan 450 judul tiap tahun. Tetapi disaat yang sama
Amerika masih tetap megimpor film dari luar negeri. Dalam waktu yang tidak
jauh berselang muncul beberapa production house yang kemudian merajai
perfilman Amerika seperti MGM Film (Metro Goldwyn Mayer), Paramount
Picture, Warner Bross, Miramax, 20th
Century Fox, Columbia Picture, Fox
Searchlight, dan lain sebagainya (http://www.filmalloy.de/feed/492/)
Sejak awal Amerika punya kesadaran untuk menciptakan produk
hiburan yang bisa dinikmati siapa saja. Yaitu dengan daerah yang diciptakan
sebagai pembuatan film daerah yang biasa disebut Hollywood. Suburb
Hollywood adalah sebuah daerah dimana menjadi tempat berkumpulnya
pendirian studio-studio yang berada di New Jersey, Florida, Chicago dan
Philadelphia. Seiring berjalannya waktu Hollywood kemudian menjadi ikon
14
perfilman Amerika. Film-film Hollywood memiliki ciri khas yaitu tema-tema
yang mereka angkat adalah tema-tema kepahlawanan, romantisme dan
peperangan dengan setting megah dan endingnya mudah ditebak.
Academy Awards, yang lebih dikenal sebagai Oscar merupakan bukti
sejarah yang tidak dapat terelakkan bahwa dalam industri perfilman
Hollywood, kulit putihlah yang menguasai segalanya. Ajang penghargaan film
di Amerika yang memulai masa kejayaannya sejak tahun 1940an ini mencatat
nama-nama sutradara dan karya mereka yang didominasi oleh orang-orang
kulit putih. Masa jaya Oscar yang sebenarnya dimulai awal tahun 40an hingga
akhir tahun 50an, ketika pemenang piala dipenuhi nama-nama ‗filmmaker‘
tenar seperti Elia Kazan, Billy Wilder, John Ford atau William Wyler. Era 40
dan 50an menyajikan film yang memiliki ciri khas dengan jalan cerita linear,
dengan motivasi tokoh utama yang tak tergoyahkan, dipenuhi karakter-
karakter kuat (jiwa dan raga) dengan susunan adegan yang menyajikan
solidisitas cerita kuat.
Era New Hollywood kemudian dibuka pada tahun 60an oleh para
pendatang muda, yang bersama pergantian zaman menamai diri mereka
‗director‘, istilah filmmaker nyaris tidak pernah digunakan lagi dalam industri
dan telah menyempurnakan teknik film mereka di Eropa. Nama-nama besar
dari zaman ini menghiasi Oscar selama puluhan tahun berikutnya, sebut saja
mulai dari Steven Spielberg, Martin Scorsese, Woody Allen, Francis Ford
Coppola dan Peter Bogdanovich. Era New Hollywood melahirkan banyak
sutradara-sutradara alternatif yang memanfaatkan teknologi film warna zaman
15
itu, mematikan film Golden Age dan musical. Untuk bangkit Hollywood
membutuhkan sesuatu yang baru, film seperti The Graduate dan Bonnie and
Clyde langsung mendapat penghargaan Oscar. Di tahun 70-80an nama-nama
tersebut masih menguasai perfilman Hollywood dengan dengan ciri khasnya
yang menyabet penghargaan di ajang Academy Award.
Selain ke-khas-an pada tema-temanya, film produksi Amerika juga
cenderung menempatkan orang-orang kulit putih dalam peran-peran
protagonis yang memiliki karakter penuh dengan kepositifan, sedangkan
orang-orang di luar ras kulit putih ditempatkan dalam peran-peran antagonis
atau hanya sekedar sebagai peran pembantu. Film-film tersebut antara lain
adalah film seri ―Tintin‖ yang diputar pada tahun 1970an, ―Just Cause‖ yang
bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh seorang ras kulit hitam,
dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang kepahlawanan Marinir AS
dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah.
Berbagai prasangka pun muncul seiring dengan kecenderungan-
kecenderungan tersebut di atas yang tergambar dalam film-film produksi
Amerika. Salah satu prasangka yang muncul adalah adanya hegemoni yang
disebabkan kepemilikan rumah-rumah produksi di Hollywood oleh orang-
orang ras kulit putih terhadap content film-film Amerika. Sebagaimana yang
dikutip dari http://kajianzionisme.multiply.com/journal/item/16 disebutkan
bahwa para petinggi rumah produksi di Hollywood semmuanya adalah orang-
orang ras kulit putih, berikut nama-nama pejabat rumah produksi terbesar
Hollywood:
16
1. Sandy Krushow, Ketua Fox Entertaiment
2. Barry Meyer, Ketua Warner Bros
3. Sherry Lansing. Presiden Komunikasi Paramount dan Ketua
Paramount Pictures Grup Motion
4. Harvey Weinstein, CEO. Miramax Films.
5. Barry Diller, Ketua Amerika Serikat Interaktif, bekas pemilik
Universal Entertaiment
6. Terry Semel, CEO, Yahoo dan Warner Bros.
7. Gail Berman, Presiden Fox Entertainment.
8. Stephen Spielberg, co-pemilik Dreamworks.
9. Jeffrey Katzenberg, co-pemilik Dreamworks
10. Jordan Levin, presiden Warner Bros Entertainment
11. Howard Stringer, Kepala Sony Corp of America
12. Amy Pascal, Ketua Columbia Pictures.
Entah memiliki hubungan secara langsung atau tidak mengenai
keberadaan orang-orang kulit di balik industri perfilman Amerika dengan
kecenderungan tema-tema dan penempatan peran dalam film-filmnya. Data di
atas sudah cukup membuktikan bahwa orang-orang kulit purih memang
menempati level yang tinggi dalm industri perfilman Amerika.
E.5. Politik Identitas Berbasis Ras Di Amerika
Jean Baudrillard dalam Abdilah (2002:28) menyangsikan adanya suatu
identitas yang pasti pada suatu subjek yang selama ini melekat ada
17
(orisinalitasnya) karena semuanya telah mengalami peristiwa dekonstruksi.
Namun sebuah identitas dapat ditelusuri melalui suatu kajian psikologi yang
disebut dengan te ori identifikasi. Teori identifikasi tersebut dikembangkan
oleh Sigmund Freud dari ajarannya yang disebut dengan Psikoanalisa.
Teori dari Sigmund Freud tentang penelusuran identitas kemudian
disempurnakan oleh Erik Homburger Erikson yang juga seorang psikoanalisis.
Dalam teorinya Erik lebih berbicara tentang formasi identitas dalam proses
perkembangan dari anak-anak menjelang tua. Tulisan-tulisan Erik
menggambarkan tentang pertumbuhan konfigurasi perkembangan sosial dan
psikologis dengan pembentukan identitas melalui perputaran siklus hidup
manusia.
Erikson dalam Abdilah (2002:38) menekankan bahwa identitas itu
merupakan ―proses yang terjadi‖ secara bertahap pada inti individu meskipun
juga dalam inti kebudayaannya pula, sebenarnya merupakan proses pendirian
identitas dari kedua identitas ini. Erikson menggambarkan bahwa sebenarnya
identitas ego tidak terlepas dari pengaruh hubungan sosial dan sejarah. Sejarah
kehidupan pribadi seseorang juga terjalin erat dengan sejarah pada umumnya.
Abdilah (2002:41) menyebutkan pengamanan terhadap identitas
individual merupakan bentuk usaha yang inheren dalam setiap individu dan
tidak akan membiarkannya dicampuri atau di reduksi orang lain. Dalm
konetks inilah terjadinya suatu bentuk pemujaan terhadap identitas dasar
kelompok etnis. Bahwa etnisitas telah menjadi sentimen ―ego‖, ―saya‖ (dalam
konsep Fromm) yang hidup kembali, aktif menjadi penggerak individu-
18
individu dan kelompok yang membentuk kesadaran kolektif budaya dan
politik Isaac dalam Abdilah (2002:41).
Hellner dalam Abdilah (2002:41) menyebutkan bahwa politik identitas
yang sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang
satu kelompok yang diidentikam oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan
biologisnya dari suatu titik pandang, sebagai contoh adalah politik ras dan
politik jender. Biopolitik merupakan suatu bentuk kritik terhadap konsep
sejarah politik dan sosiologi seperti pandangan superioritas dan inferioritas
satu ras atas yang lain atau yang disebut sebagai rasisme.
Menurut buku Garis Besar Sejarah Amerika yang diterbitkan oleh
Badan Penerangan Amerika Serikat (United States Information Agency)
halaman 246-247 menerangkan bahwa dalam sensus penduduk resmi pertama
Amerika pada tahun 1970 terdapat sebanyak 3.929.214 jiwa yang setengah
penduduk dari 13 negara bagian asli adalah keturunan inggris, sisanya adalah
keturunan Skotlandia, Irlandia, Jerman, Belanda, Perancis, Swedia Wales dan
Finlandia. Seperlima penduduk lainnya adalah orang-orang Afrika yang
diperbudak. Pada tahun 1840-an berjuta-juta imigran masuk lagi ke Amerika
akibat menjalarnya penyakit kentang di Irlandia dan revolusi yang terus
berlanjut di Jerman. Gelombang imigran terus berdatangan sampai pada abad
ke dua puluh mayoritas imigran yang datang bukan lagi mereka yang berasal
dari Inggris, tetapi mereka berasal dari Amerika Latin dan Asia. Mereka
berimigran dengan alasan yang sama yaitu kesempatan dan kebebasan. Pada
penutup buku ini disebutkan pula bahwa menurut pengamat politik Ben
19
Wattenburg, Amerika Serikat merupakan negara yang disebut sebagai negara
universal pertama di dunia dengan penduduk sebanyak hampir 250 juta jiwa
yang mewakili nyaris semua kebangsaan dan kelompok etnis di dunia.
Di semua Negara bagian di Amerika Serikat terdapat berbagai macam
ras dalam kehidupan masyarakatnya seperti yang tergambar dalam film
Freedom Writer yang bersetting di Negara bagian California, Amerika.
Namun menurut Thomas Well dalam bukunya Mosaik Amerika, ras terbesar
di Amerika Serikat ada 4 macam. Ke empat ras tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Warga kulit putih atau White Anglo Saxon Protestant (WASPs)
Warga kulit putih atau White Anglo Saxon Protestant (WASPs) adalah
sebuah tradisi atau bahkan bisa disebut ideologi tentang siapa yang
seharusnya menjadi penguasa Amerika Serikat. Pada awalnya tradisi
ini diperkenalkan oleh orang-orang Inggris yang merasa dirinya
superior. Karena merekalah yang pertama masuk ke Amerika Serikat
dan Membangun Amerika dengan pengetahuan dan ketrampilan
tertentu dengan orientasi kerja dalam berbagai bidang ekonomi dan
politik. Keyakinan tersebut juga didorong oleh moralitas agama
protestan yang diasumsikan sebagai agama yang paling kuat
mendorong orang bekerja lebih produktif (Liliweri, 2005:116).
Warga kulit putih cenderung tidak disukai atau dianggap tidak baik
oleh berbagai ras yang ada karena perbuatan mereka pada jaman
dahulu hingga sekarang. Menurut Killian warga kulit hitam diketahui
20
memiliki prasangka buruk kepada warga kulit putih dikarenakan
perlakuan warga kulit putih pada jaman perbudakan Amerika Selatan
terhadap warga kulit hitam.
2. Warga kulit hitam atau Africans-Americans
Warga kulit hitam adalah kelompok etnik pertama dari benua Afrika
yang dijadikan budak oleh orang-orang Spanyol dalam eksplorasi ke
dunia baru Amerika, sejak tahun 1619 sampai akhir abad ke-18.
Jumlah warga kulit hitam di AS diperkirakan 10 juta orang yang
tinggal di bagian barat benua.masalah umum yang dihadapi warga
kulit hitam adalah pendapatan mereka yang rendah, kemiskinan, dan
diskriminasi oleh orang-orang kulit putih di berbagai sendi kehidupan
sosial (Liliweri, 2005:116).
Warga kulit hitam seringkali tidak disukai atau dianggap negatif oleh
warga kulit putih karena mereka dulu menjadi budak warga kulit putih.
namun seiring dengan kemajuan jaman, keberadaan warga kulit hitam
juga terus maju. Hal tersebut dianggap sebagai keaadaan yang
mengancam warga kulit putih.
3. Warga Asia yang tinggal di Amerika atau Asian-Americans
Adalah warga Asia yang tinggal di Amerika atau yang biasa disebut
Asian-Americans. Mereka adalah orang Amerika dengan subkultur
Asia. Jumlah waraga Asian-Americans adalah sekitar 4% dari warga
Amerika. Mayoritas dari mereka berasal dari Cina dan Jepang, di
21
samping imigran dari Filipina, Korea, Kamboja dan yang terakhir dari
Vietnam (Liliweri, 2005:117).
Warga Amerika-Asia kurang disukai keberadaannya, karena sejak
pertama kali datang ke Amerika kedatangan mereka dianggap merusak
standar buruh yang ada. Warga dari ras lain sering menganggap warga
Amerika-Asia sebagai orang-orang yang serakah. Bahkan di Merika
sempat memiliki peraturan yang melarang kedatangan warga Asia ke
Amerika
4. Warga Hispanic-Americans
Adalah warga yang mewakili tiga budaya sekaligus yaitu Meksiko,
Puerto Rico dan Cuba. Jumlah keturunan Amerika Hispanik
diperkirakan mencapai 12% dari penduduk AS. Prosentase ini
cenderung meningkat karena imigrasi dan tingkat kelahiran yang tinggi
(Liliweri, 2005:118).
Warga Amerika-Hispanik diantipati oleh berbagai ras di Amerika
karena keberadaan mereka yang seringkali menyebabkan keresahan
karena tindakan anarkis yang mereka lakukan pada masa lalu di Los
Angeles.
Prasangka berkembang luas di negara multi ras karena perbedaan latar
belakang budaya dan kejadian pada masa lampau membuat seseorang
mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang lain ketika melihat
sesuatu yang dirasa tidak biasa. Di negara Amerika sendiri prasangka sering
kali muncul mengingat Amerika merupakan satu-satunya negara yang
22
memiliki keanekaragaman ras terbesar di dalamnya. Dalam presangka, emosi
sering kali memaksa seseorang untuk berpikir secara subyektif dan tidak
melihat realita serta fakta yang terjadi. Sehingga sekali prasangka sudah
mencekam pikiran seseorang, maka orang tersebut tidak akan bisa berfikir
obyektif dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif
(Liliweri, 2005:200)
E.6. Neo-Kolonialisme oleh Ras Kulit Putih
Peristiwa kolonialisme akan selalu menyisakan kompleksitas ekses yang
berkepanjangan pada masa selepas kolonialisme. Poskolonial atau
pascakolonial itu sendiri berarti masa selepas kolonial, dan pada saat yang
sama kata post atau pasca selalu berada dalam keterkaitan dengan
kolonialisme (Budianta, 2004:61). Sebagai bagian dari wacana kolonial,
bangsa, etnis, ras ataupun kelas sosial dalam suatu komunitas masyarakat
yang pernah terjajah mempunyai kecenderungan untuk selalu dimarginalkan,
dipinggirkan, diasingkan, dibaca, serta dikendalikan, oleh kaum imperialis
penjajah dan keturunan anak cucu kolonial. Di saat yang sama kaum yang
pernah terjajah berpersepsi bahwa kaum penjajah adalah kaum yang kuat,
hebat, makmur, kaya, pintar, dan sebagainya yang dapat menjanjikan
kemampuan untuk mengubah keterpurukan-kemiskinan hidup seseorang,
dengan syarat apabila Sang Terjajah rela ―dibaca dan dikendalikan,
bersimpuh dan berpihak‖ kepada Sang Penjajah
23
Dalam pemaknaan tesktual yang dimaksud dengan neo kolonialisme
adalah bentuk penjajahan baru. Penjajahan ini berbeda dengan penjajahan
model lama, bahwa suatu bangsa menguasai langsung terhadap negara
jajahan, seperti Inggeris yang menguasai India dan kawasan Asia lainnya,
serta Belanda menguasai Indonesia. Untuk membedakan bagaimana tipologi
jajahan, Sukarno membedakan antara ―finanz capital ― dan ―handelz capital‖.
Untuk tipologi pertama, negara jajahan adalah tempat pengambilan sumber-
sumber alam untuk keperluan industri negara penjajah, dan tempat pemasaran
hasil industry. Tipologi ini dipraktekan Belanda terhadap negara jajahan
Indonesia. Sedangkan pda ―handelz capital‖ , negara jajahan hanya sebagai
tempat pemasaran hasil industri, hal ini dipraktekan Inggeris dengan negara
jajahannya.
Ronald H. Chilote (57:2003) juga berpendapat bahwa neo kolonialisme
adalah suatu strategi dalam tahapan imperialism setelah berkhirnya Perang
Dunia II. Ciri-cirinya adalah monopoli dan munculnya suatu system
internasional korporasi. Korporasi sejagat sedang menghantarkan suatu
perekonomian dunia yang sejati dalam sebuah pusat perbelanjaan dunia‖.
Sejalan dengan pendapat di atas, untuk mendorong adanya perluasan pasar
bebas (liberalisasi) atau globalisasi isu yang dikembangkan pun berubah tidak
sekedar ―modernisasi‖ tetapi meluas dalam beragam isu, seperti
demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), penegakan hukum (law
enforcement), pemerintahan yang bersih (good government), dan lingkungan
hidup (environment). Isu-isu tersebut menjadi alat untuk memaksakan
24
kehendak terhadap negara berkembang. Apabila, suatu rezim menentang atau
tidak mematuhi, maka tidak segan-segan kekuatan neo kolonialis akan
mengganti suatu rezim sebelumnya dengan rezim yang baru, baik langsung
ataupun tidak langsung.
Fenomena kolonialisme pada masa sekarang atau yang biasa disebut
dengan Neo-Kolonialisme atau Kolonialisme baru memang masih didominasi
oleh kelompok Ras Kulit Putih yang notabene merupakan manusia-manusia
Barat. Hegemoni di hampir semua bidang masih dikendalikan oleh dunia
barat. Hal ini mungkin terjadi karena warisan sejarah dan mitos yang terlanjur
melekat pada masyarakat dunia bahwa orang-orang Kulit Putih atau orang-
orang barat lah yang memiliki kuasa untuk memonopoli seluruh sendi
kehidupan global. Berbagai sector kehidupan saat ini pada kenyataannya
memang dikuasai oleh Barat, baik industry tekonologi, perekonomian,
hiburan, gaya hidup dan lain sebagainya.
E.7. Semiotika Dalam Kajian Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis
strukturalis atau semiotik. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya
sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan
kamera, dan pertunjukannya yang menggunakan proyektor dan layar.
Menurut Art Van Zoest (1993:113), ―Semiotika film untuk membuktikan hak
keberadaannya- yang dalam hal-hal penting menyimpang dari sintaksis dan
semantik teks dalam arti harfiah—harus memberikan perhatian khusus‖.
Menurutnya, pada sintaksis dan semantik film dapat dipergunakan
25
pengertian-pengertian yang dipinjam dari ilmu bahasa dan sastra, tetapi akan
merupakan metafor-metafor, jadi dengan pengertian-pengertian yang
digunakan sebagai perbandingan-tidak perlu kita tolak.
Istilah semiotik secara etimologis berasal dari kata Yunani semion yang
berarti ‗tanda‘. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotik dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, dalam Alex
Sobur, 2002).
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia
dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Banyak hal yang dikomunikasikan di dunia ini. Kajian semiotika
sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika
komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori
tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya
enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (system
tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Yang
kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu
konteks tertentu. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tamda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan
bersamasama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada
26
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai
hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur
adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti
bahwa objek-objek itu tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek–objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system
terstruktur dari tanda.
Analisis semiotika modern dapat dikatakan dipelopori oleh dua orang–
Ferdinan de Saussure, ahli linguistik dari Swiss (1857-1913) dan Charles
Sanders Pierce, filosof Amerika (1839-1914). Peirce menyebut sistemnya
sebagai semiotika dan telah menjadi istilah dominan yang digunakan untuk
ilmu tentang tanda-tanda. Istilah dan konsep semiologi dari Saussure berbeda
dengan semiotika dari Peirce dalam beberapa hal, namun keduanya menaruh
perhatian kepada tanda-tanda. Saussure membagi tanda menjadi dua
komponen: penanda (signifier) atau ―citra suara‖ (sound image) dan penanda
(signified) atau ―konsep‖ (concept), serta sarannya bahwa hubungan antara
penanda dan petanda adalah sewenang-wenang yang merupakan titik penting
dalam perkembangan semiotik. Di pihak lain Peirce memfokuskan diri pada
tiga aspek tanda yaitu pada dimensi ikon-indeks dan simbol-nya.
Adapun menurut John Fiske ada tiga kajian utama dalam semiotik, yaitu:
a. Tanda itu sendiri. Ini terjadi atas bermacam-macam perbedaan tanda.
Banyak cara untuk memberikan pemaknaan dan cara yang
menghubungkan manusia yang menggunakannya.
27
b. Kode-kode atau sistem-sistem pada tanda-tanda yang terorganisir. Ini
mencakup cara-cara dimana kode-kode dapat berkembang atau untuk
menemukan keinginan atau kepentingan masyarakat atau individu atau
untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia.
c. Budaya dimana kode-kode dan tanda-tanda yang beroperasi. Ini
tergantunng pada penggunaan untuk masing-masing bentuk dan
keberadaan.
Secara substansial, semiotik adalah kajian yang concern dengan dunia
simbol, sebab pada dasarnya isi media massa adalah bahasa, sementara bahasa
merupakan dunia simbolik. Adapun simbol itu bisa berupa bahasa verbal seperti:
ucapan, dan bahasa non verbal yang meliputi: gesture, yang berasal dari indra
manusia maupun dari tanda-tanda yang menjadi struktur pesan dalam media yang
dapat dimaknakan secara denotatif maupun konotatif.
Pendekatan terhadap tanda-tanda dibagi menjadi:
a. Penanda dan petanda
Tanda menurut Saussure adalah kombinasi dari konsep dan citra suara
(sound image), kombinasi yang tidak dapat dipisahkan. Penanda
(signifiant)adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna
(aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Petanda (signified) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau
konsep (aspek mental) dari bahasa (Kurniawan, 2001).
28
Tanda (sign) yang kita temui di pada berbagai macam ruang, media,
atau karya tidak akan lepas dari dua unsur yang membentuknya, yaitu
penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda merupakan aspek
material tanda yang bersifat sensoris atau dapat diindrai (sensible).
Substansi penanda senantiasa berwujud material baik berupa bunyi-bunyi,
objek-objek, imaji-imaji, dan sebagainya. Sementara itu, petanda
merupakan aspek mental dari tanda-tanda, atau seringkali disebut sebagai
―konsep‖, yakni konsep-konsep ideasional yang bercokol di dalam benak
penutur. Keberadaan petanda tidak bersifat fisik, melainkan berupa hasil
pikiran tertentu, suatu sosok di dalam mimpi, atau mungkin makhluk
khayali, maka petanda adalah semata-mata sebuah representasi mental dari
―apa yang diacunya‖ (Kris Budiman, 2003: 47).
Kedua elemen tanda ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Sehingga kebergantungan antara satu dengan yang lain menjadikan:
penanda tidak akan ada tanpa petanda, dan petanda tidak akan ada tanpa
penanda. Dan apabila tidak ada penanda atau petanda, maka tidak akan ada
tanda.
b. Ikon, Indeks dan Simbol
Charles Sanders Peirce, seorang filsuf dan pemikir Amerika
menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
menyerupainya, keberdaanya memiliki hubungan sebab akibat dengan
tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan
29
sebab akibat, simbol untuk asosiasi konvensional. Menurut Peirce, sebuah
analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap
tanda ditentukan oleh objek.
Adapun konsep makna tanda dibagi menjadi: Pertama, dengan
mengikuti sifat objeknya, tanda disebut sebuah ikon. Kedua, menjadi
kenyataan dan keberadaanya berkaitan dengan objek individual, tanda
adalah sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa
hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai sebagai akibat dari
suatu kebiasaan, tanda disebut sebuah simbol (Alex Sobur, 2003).
c. Konotasi, Denotasi dan Mitos
Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa
pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure
tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure
terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari
representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Fokus perhatian Roland
Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of
signification) seperti terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 1.1
Signifikasi Dua Tahap Barthes
Deno
tation
Myth
Conn
otatio
n
30
Sumber : John Fiske, 1990:122
Barthes menyebut denotasi sebagai makna paling nyata dari tanda.
Pada level ini tanda dimaknai sebagimana adanya. Denotasi berarti
hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang
secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi
bersifat langsung , yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda
dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Denotasi
juga merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas
penunjukkan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang didasarkan
atas konvensi tertentu secara obyektif (Sobur, 2003:263)
Pada level konotasi, tanda dimaknai menurut makna tambahannya
(konotasi). Menurut Barthes konotasi menggambarkan interaksi yang
berlangsung pada saat tanda bertemu dengan emosi para penggunanya dan
nilai-nilai kulturalnya (Fiske, 1990:118). Konotasi sebagian besar bersifat
arbriter dan spesifik pada kultur tertentu. Konotasi bersifat ekspresif , lebih
mengutamakan pengalaman subyektif dari pada unsure obyektif. Konotasi
merupakan cara yang penting dimana encoder mentransmisikan emosi,
perasaan, atau penilaian mereka mengenai pesan dalam teks.
Ketika tanda lebih mengandung makna cultural daripada makna
representasional, maka proses signifikasi terhadap tanda melangkah pada
31
level mitos. Secara umum, mitos adalah cerita yang digunakan oleh suatu
kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek realitas
atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas social yang sudah
mempunyai suatu redenominasi (Sobur, 2002:128).
Mitos adalah suatu wahana dimana ideologi berwujud. Ideology
menunjuk pada realita dimana individu maupun kelompok, secara obyektif
maupun subyektif mengorientasikannya dalam dunia mereka masing-
masing. Raymond William (dalam Sobur, 2001:64) menanamkan ideology
sebagai himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan
tertentu atau secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu.
Ideology diorganisasikan kedalam kesatuan penerimaan social seperti
individualisme, patriarki, ras, gender, kelas, materealisme, kapitalisme dan
sebagainya.
d. Sintagmatik dan Paradigmatik
Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah sistem tanda didasarkan atas
relasi-relasi. Relasi ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik merujuk pada hubungan in
prasentia antar tanda dalam suatu sistem tanda. Relasi sintagmatik disebut
juga sebagai relasi linear, seperti yang dijumpai dalam hubungan antara
kata dengan kata dalam sebuah kalimat. Kebalikan relasi ini adalah relasi
paradigmatik. Paradigmatik merujuk pada suatu relasi in absentia yang
mengaitkan sebuah tanda dalam suatu sistem tanda dengan tanda-tanda
lain di luar sistem, entah berdasarkan kesamaan atau perbedaannya.
32
Misalkan dalam bahasa, hubungan kata dengan sinonim-sinonimnya atau
antonim-antonimnya, atau kata-kata lain yang memiliki kesamaan bentuk
dasar, bunyi dan seterusnya (Kris Budiman, 2003: 43).
Menurut Claude Levi-Strauss (1967; Berger, 2000:23) menyatakan
bahwa analisis paradigmatik pada teks akan menjelaskan apa yang
―sesungguhnya‖ terjadi. Berbeda dengan analisis sintagmatik yang
mengemukakan makna manifes (nyata-tampak), analisis paradigmatik
memperlihatkan makna laten. Analisis paradigmatik sebuah teks
melibatkan penyelidikan pola-pola pasangan oposisi berlawanan yang
tersembunyi dan menghasilkan makna. Elemen-elemen dikeluarkan dari
urutan yang terjadi dan dikelompokkan kembali dalam satu atau lebih
skema analitis. Mitos terdiri dari unit dasar dan minimal, ―mythemes‖,
yang dengan berbagai cara digunakan untuk menyampaikan pesan.
Paradigmatik pada sebuah teks melibatkan penyelidikan pola-pola
pasangan oposisi (berlawanan) yang tersembunyi dan menghasilkan
makna. Pasangan berlawanan digunakan oleh kaum strukturalis sebagai
dasar berfikir manusia dalam memproduksi makna, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Budi Irawanto dalam mempertentangkan karakter sipil dan
militer dalam bukunya yang berjudul ―Film, Ideologi dan Militer‖. Claude
Levi Strauss, seorang antropolog Perancis terkenal, mengemukakan bahwa
analisis sintagmatik teks memperlihatkan makna yang manifest (nyata-
nampak) dan analisis paradigmatik teks memperlihatkan makna yang
laten.
33
e. Metafora dan metonimia
Metonimia mencakup relasi bagian dan keseluruhan, artinya ―bagian‖
dari sesuatu digunakan untuk merujuk keseluruhan dari sesuatu tersebut.
Contohnya pada ―tangan‖ digunakan untuk merujuk kata pekerja keras.
Metonimia menggambarkan tubuh dari pekerja tersebut yaitu tangan yang
paling relevan dengan kegiatannya sebagai seorang pekerja. Sedangkan
metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau
konsep lain berdasarkan kias atau persamaan, misalnya kaki gunung, kaki
meja, berdasarkan kias pada kaki manusia. Metonimia adalah pemakaian
nama untuk benda lain yang berasosiasi atau menjadi atributnya misalnya
si kaca mata digunakan untuk menyebut orang yang sedang memakai
kacamata. Perbedaan antara metafora dan metonimia dapat terlihat dari ada
tidaknya pengalihan konsep antar ranah. Pada metafora terlihat jelas
adanya pengalihan konsep ranah secara keseluruhan. Namun pada
metonimia tidak terlihat adanya pengalihan konsep ranah. Oleh sebab itu
dalam bidang linguistik metonimia dinyatakan berbeda tetapi terkadang
dapat saling melengkapi.
F. Metode Penelitian
F.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dari penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe penelitian
interpretatif dimaksudkan untuk menginterpretasikan gambaran dan
pemahaman mengenai rasisme yang terdapat dalam film ―Freedom
34
Writer‖. Sedangkan metode yang digunakan mengacu pada teknik analisa
semiotika Roland Barthes.
F.2. Obyek Penelitian
Objek penelitian ini adalah film ―Freedom Writer‖ karya Richard
LaGravenese yang berdurasi 1:58 menit dan difokuskan pada scene-scene
yang diduga menyimpan muatan rasisme.
F.3. Unit Analis Data
Unit analisa dalam penelitian ini adalah scene, namun tidak smua scene
yang terdapat dalam film ini yang akan diteleti, namun hanya beberapa
scene yang diduga menyimpan makna rasisme. Selain scene, unit analisa
dalam penelitian ini juga akan diambil dari dialog, setting dan beberapa
karakter penokohan yang terdapat dalam film ―Freedom Writer‖
F.4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui dua cara:
1. Data Primer, dengan teknik pengumpulan data dan dokumentasi yaitu
memutar dan menyaksikan film ―Freedom Writer‖, kemudian
melakukan pemilihan scene yang sesuai dengan rumusan masalah
tersebut diatas.
2. Data Sekunder, dengan berbagai kepustakaan yang ada baik buku,
majalah, internet, maupun bahan tertulis lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan guna menunjang kelanjutan data.
35
F.5. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
semiotika yaitu dengan menggunakan teori semiotika dari Roland Barthes.
Pertama data dikumpulkan dengan cara mengamati secara keseluruhan obyek
yang akan diteliti dalam hal ini beberapa scene dalam film ―Freedom Writer‖,
dengan cara membaca dan menganalisanya kemudian mengelompokkan
makna-makna yang ada baik makna denotasi maupun konotasinya.
Untuk mempermudah mengidentifikasi makna yang tersembunyi
dibalik scene-scene tersebut serta mengetahui bagaimana makna konotatifnya
dikonstruksi, maka peneliti menggunakan peta tentang bagaimana tanda-tanda
tersebut bekerja milik Roland Barthes, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.1
Table semiotika Roland Barthes
1. signifier (penanda) 2.signified
(petanda)
3. Denotative sign ( tanda denotatif)
4. connotative signifier (penanda konotatif) 5. connotative signified
(petanda konotatif)
6. connotative sign (tanda konotatif)
(Sumber: Alex Sobur : Semiotika Komunikasi 2006:69) Peta
Tanda Roland Barthes.
36
Peta tentang tanda-tanda tersebut diatas dapat dideskrpsikan secara
ringkas sebagai berikut:
1. Mengamati secara keseluruhan obyek penelitian. Kemudian membuat
deskripsi secara keseluruhan tentang film.
2. Melakukan pemotongan-pemotongan gambar, pemilihan adegan
berdasarkan fokus penelitian dan disimpan dalam format JPEG
3. Melakukan identifikasi penanda dan petanda denotatifnya, serta
kemudian menganalisa makna denotatifnya
4. Dari data yang diperoleh pada langkah ke 3, kemudian
mencari penanda dan petanda konotatifnya, serta mencari
kemungkinan-kemungkinan makna konotatif dari sebuah tanda yang
ada pada obyek penelitian.
5. Mendeskripsikan secara detail tentang hasil dari identifikasi dat
yang berupa gambar yang telah dibuat berdasarkan struktur penandaan
dan makna yang ada di dalamnya.