1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tunanetra merupakan salah satu jenis dari disabilitas yaitu ketika
seseorang telah kehilangan ataupun berkurang fungsi indera pengelihatannya.
Penyandang disabilitas dikategorikan menjadi tiga kelompok. Kelompok yang
pertama yaitu seseorang yang memiliki kelainan secara fisik, terdiri dari :
tunanetra, tunadaksa, tunarungu, dan tunawicara. Kelompok kedua yaitu
seseorang dengan kelaianan non fisik yang terdiri dari tunagrahita, autis, dan
hiperaktif. Kelompok ketiga yaitu seseorang yang memiliki lebih dari satu jenis
kelainan (Sholeh, 2015).
Pengertian kata tunanetra menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu
tidak dapat melihat (Murjoko, 2012). Berdasarkan data dari badan kesehatan
dunia (WHO) pada tahun 2017 tunanetra yang ada di dunia berjumlah 253 juta
jiwa. Menurut Lancet Global Health akan meningkat tiga kali lipat di tahun 2050
(Pertiwi, 2017). Tahun 2012 tercatat 3,5 juta penduduk Indonesia yang mengalami
kebutaan sekaligus membuat Indonesia menempati urutan kedua dengan jumlah
tunanetra terbanyak di dunia (Wiyono, 2012).
Berdasarkan waktu terjadinya, tunanetra dibedakan menjadi dua, yaitu
tunanetra sejak lahir atau biasa disebut tunanetra bawaan sedangkan tunanetra
yang sebelumnya dapat melihat namun kemudian mengalami kecelakaan,
penyakit, atau bencana alam sehingga membuatnya tidak lagi dapat melihat,
disebut dengan tunanetra non bawaan (Lukitasari, 2011).
2
Terdapat perbedaan reaksi dari seorang tunanetra bawaan dan non bawaan.
Penelitian Rosa (dalam Fitriyah) mengungkapkan bahwa seorang tunanetra
bawaan memiliki perasaan bahagia dan menerima kondisi dirinya karena merasa
tidak kehilangan apapun. Hal tersebut tentunya berbeda dengan yang dialami oleh
tunanetra non bawaan. Rahma (2015) mengungkapkan bahwa pada kondisi awal,
seorang tunanetra non bawaan tidak dapat langsung menerima kondisinya.
Mereka mengalami berbagai perasaan negatif seperti malu, rendah diri, kecewa,
tidak berguna, dan putus asa. Sejalan dengan Rahma, Santoso dan Erawan (2016)
mengungkapkan bahwa reaksi awal tunanetra non bawaan adalah marah dan
kecewa dengan keadaan yang dialami.
Khusnia dan Rahayu (2010) mengungkapkan terdapat reaksi internal dan
eksternal yang dialami oleh tunanetra non bawaan. Reaksi internal meliputi
kurang percaya diri, pesimis dan khawatir dalam mengungkapkan gagasan yang
dimiliki. Sedangkan reaksi eksternal yang muncul ialah dari pandangan
masayarakat yang menilai bahwa tunanetra tidak berdaya, tidak mandiri, dan
menyedihkan.
Meskipun merasakan kesedihan dan keputusasaan, namun banyak
tunanetra yang mencoba untuk bangkit dari keterpurukan dan kembali menjalani
hidup. Rudijati dan Sugiono (2002) mengungkapkan bahwa setelah melalui proses
panjang, tunanetra non bawaan kembali menemukan jati diri dan menerima
keadaannya. Rahma (2015) menambahkan dalam mengatasi masalahnya,
dukungan keluarga, teman, proses belajar, dan keimanan menjadi faktor tunanetra
non bawaan dapat bangkit dan menerima dirinya. Pernyataan Rahma didukung
3
oleh penelitian dari Marida dan Ekasari (2017) yang mengungkapkan adanya
hubungan positif antara dukungan keluarga dengan penyesuaian tunanera.
Semakin tinggi dukungan keluarga pada tunanetra, maka akan tinggi juga
penyesuaian sosialnya.
Berdasarkan data dari sakertnas tahun 2017, terdapat 10.810.451
penyandang disabilitas yang tidak bekerja bekerja (Richard, 2018). Sedangkan
data dari kementrian ketanagakerjaan memaparkan bahwa di tahun 2010 tercatat
7.126.409 pekerja yang merupakan seorang disabilitas dan 2.137.923 dari hasil
tersebut merupakan penyandang tunanetran (Arief, 2014). Hal tersebut
menunjukkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh tunanetra tidak selalu
menjadi hambatan dirinya dalam menjalani kehidupan.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan
orang lain dalam menjalani kehidupannya. Setiap manusia memiliki dorongan
sosial untuk menjalin sebuah hubungan ataupun melakukan interaksi dengan
orang lain (Alfiyatun, 2010). Tidak hanya manusia yang memiliki fisik normal
yang dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain melainkan seorang
penyandang tunanetra pun dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Hasil wawancara yang telah dilakukan menambahkan informasi terkait
dengan hubungan sosial tunanetra. Wawacara dilakukan dengan bapak PN,
seorang tunanetra yang mengalami kebutaan sejak dirinya berusia tiga tahun. saat
ini bapak PN mengikuti banyak organisasi karna dirinya menyukai organisasi.
Selain itu dirinya juga dipilih menjadi ketua dalam salah satu organisasi yang
diikutinya yaitu sabtu wage.
4
―...Saya dulu ikutnya banyak ya mbak (iter: nggih) satu soalnya
yo, gimana yo, diajak orang itu yo seneng, berorgani itu saya yo
seneng saya. Em pertama saya yang terakhir ini sabtu wage ya,
yang sebelumnya saya ikut juga pertuni. Ini masih....‖
(W.PN/798-805)
Wawancara selanjutnya dilakukan dengan bapak HS seorang tunanetra
non bawaan yang mengalami kebutaan sejak dirinya berusia tiga belas tahun karna
sebuah kecelakaan. Menjadi seorang tunanetra tidak membuat bapak HS dijauhi
oleh teman-temannya melainkan hubungannya dengan teman atau keluarga
semakin terjalin dengan erat.
―...mereka tahu ternyata kamu ada gangguan pengelihatan, jadi
kalau kemana itu digandeng temen-temen itu. Misalnya diajak..
dia juga nggak malu...‖ (W.HS/268-272)
Seorang tunanetra seringkali dihubungkan dengan sikap kurang percaya
diri dan kurang mampu untuk berinteraksi dengan orang awas. Hal tersebut juga
berkaitan dengan sikap yang ditunjukkan oleh orang normal terhadap keterbatasan
penyandang tunanetra (Maharani, Hartati, dan Dewi, 2009) namun berdasarkan
kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa bukan hanya orang awas yang dapat
berinteraksi dengan baik namun seorang tunanetra juga mampu untuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Seorang tunanetra juga dapat membangun sebuah
keluarga dari hasil interaksi yang telah dilakukannya dengan orang lain.
Hal tersebut diungkapkan oleh bapak ST seorang tunanetra yang
mengalami kebutaan sejak berusia satu tahun namun tetap dapat menjalin suatu
relasi sosial dengan orang awas maupun sesama tunanetra. Saat ini bapak ST
bekerja sebagai ASN di X Surakarta, menjadi salah satu pengurus RW, dan kerap
5
berkolaborasi bermain karawitan dengan grup karawitan ataupun mahasiswa X
Surakarta.
―Kebetulan saya apa, kalau di masyarakat sebagai apa ya,
pengurus RW. RW dikampung, juga seksi dakwah di masjid,
selain itu juga kebetulan em kadang kadang berkolaborasi
dengan anak anak X Surakarta.. dalam bidang kesenian.‖
(W.ST/66-73)
Hubungan sosial yang terjadi antara satu seseorang dengan orang lainnya
biasa disebut dengan relasi sosial. Spradley dan McCurdy (1972) menjelaskan
bahwa hubungan sosial atau relasi sosial merupakan suatu pola yang terbentuk
dari jalinan hubungan antara dua orang atau lebih dalam kurun waktu yang relatif
lama.
Hal-hal yang telah dipaparkan diatas merupakan sebuah contoh dari relasi
sosial dimana adanya kebersamaan, kesamaan, kerjasama, kedekatan, kecocokan,
kenyamanan, berbagi, kompetensi, hubungan timbal balik, dan karakteristik
individu (Faturochman, 2018). Relasi sosial tidak hanya dapat dilakukan oleh
seseorang yang memiliki fisik normal, melainkan juga dibutuhkan oleh
penyandang disabilitas. Maka dari itu penulis ingin meneliti lebih lanjut terkait
dengan dinamika relasi sosial pada tunanetra.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka diperoleh
rumusan masalah yaitu bagimana dinamika relasi sosial yang dilakukan oleh
tunanetra.
6
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan, faktor, bentuk,
dan dampak dari relasi sosial yang dilakukan oleh tunanetra.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dan praktis yang ingin dicapai oleh peneliti yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam bidang
psikologi sosial serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian yang serupa
di waktu mendatang.
b. Penelitian ini memberikan gambaran terkait dengan relasi sosial tunanetra
2. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi mahasiswa, dosen, ataupun masyarakat umum tentang gambaran relasi
sosial pada tunanetra.
E. Keaslian Penelitian
Tabel 1 Penelitian Terdahulu Terkait Relasi Soial
No Penelit
i
Judul Metode Hasil Saran
1. Gulo,
Irawan
,
Pariyat
i
(2018)
Relasi
Sosial
Nelayan
Pemilik
Modal
dan
Nelayan
Buruh
Pada
Kehidupa
n
Jenis
penelitian ini
adalah
deskriptif
kualitatif.
Teknik
pengumpulan
data yang
digunakan
dalam
penelitian ini
Relasi sosial yang
terjalin nelayan
pemilik modal dan
nelayan buruh dalam
kehiduan nelayanan
di Kelurahan Buluri
adalah hubungan
kerja yang saling
menguntungkan atau
simbiosis yang
terjadi adalah
Peneliti
selanjutnya
disarankan
untuk
mengkaji lebih
dalam tentang
relasi sosial
dengan subjek
yang berbeda
sehingga
menambah
7
Nelayan
di
Keluraha
n Buluri
Kota Palu
adalah
melalui
metode
observasi,
wawancara,
dan
dokumentasi
mutualisma yakni
simbiosis yang
saling membutuhkan
antara juragan
terhadap buruh dan
sebaliknya. Disini
nelayan pemilik
modal
mempekerjakan
nelayan buruh dalam
membantu
menangkap ikan
dilaut dan diberikan
upah sesuai dengan
hasil tangkapannya
penemuan
baru.
2. Sikwa
n
(2017)
Dinamika
Interaksi
Antaretni
k dalam
Mewujud
kan
Keserasia
n Sosial
di
Wilayah
Perbatasa
n Negara
Indonesia
-
Malaysia
Jenis
penelitian
yang
digunakan
dalam
penelitian ini
adalah
deskriptif
analisis
dengan
menggunaka
n pendekatan
kualitati
Dinamika hubungan
sosial antaretnik
terwujud dalam
bentuk hubungan
sosial yaitu
hubungan sebagai
anggota keluarga
atau kerabat, sebagai
sahabat, dan sebagai
teman atau kenalan.
Munculnya unsur
prasangka sosial dan
stereotipe antaretnik
bukan merupakan
factor penghalang
interaksi social
dalam rangka
memperkokoh iklim
keserasian sosial.
Untuk
menambah
gambaran
tentang
keserasian
sosial
masyarakat di
kecamatan
secara holistik,
perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
dengan hal-hal
yang dapat
dijadikan
tumpuan
perhatian
antara lain
bentuk
kelembagaan,
mekanisme
serta kegiatan-
kegiatan
―Forum
Komunikasi
Warga‖ yang
lebih memiliki
asas manfaat
3. Derina
h
Relasi
Sosial
Jenis
penelitian
Relasi antara
petugas pembina,
Peneliti
selanjutnya
8
(2017) Antara
Aktor
dalam
Pembinaa
n Kerja
dengan
Kemitraa
n di
Lembaga
Permasya
rakatan
Kelas I
Cipinang
Jakarta
yang
digunakan
adalah
kualitatif
menggunaka
n metode
wawancara
dan observasi
pihak kemitraan, dan
warga binaan
menggambarkan
terjadinya
pelaksanaan
pembinaan kerja
yang
mengedepankan
undang-undang dan
peraturan lain untuk
menghasilkan warga
binaan yang lebih
baik sehingga tidak
mengulangi
kesalahan yang telah
dilakukannya.
disarankan
untuk
melakukan
penelitian di
lapas lain
untuk
membandingk
an kegiatan
bina kerja dan
memperdalam
penelitian
mengenai
ketimpangan
hak yang
diperoleh
warga binaaan
saat
pembinaan
kerja
4. Fitriya
dewi,
Suarya
(2016)
Peran
Interaksi
Sosial
Terhadap
Kepuasan
Hidup
Lanjut
Usia
Penelitian ini
merupakan
sebuah
penelitian
kuantitatif
dengan
menggunaka
n teknik
analisis
regresi
sederhana
Hasil dari penelitian
ini diperoleh nilai
signifikansi sebesar
0.001 atau berada
dibawah 0,05
(p<0,05).
Berdasarkan hasil
tersebut dapat
dikatakan bahwa ada
hubungan antara
interaksi sosial
dengan kepuasan
hidup lansia,
semakin tinggi
interaksi sosial yang
dilakukan lansia
maka kepuasan
hidup lansia semakin
tinggi, dan begitu
pula sebaliknya
apabila interaksi
sosial rendah maka
kepuasan hidup
lansia juga rendah.
Nilai R square
sebesar 0.101 yaitu
interaksi sosial
Saran bagi
peneliti
selanjutnya
yang akan
mengambil
tema yang
sama dengan
penelitian ini
sebaiknya
mendampingi
lanjut usia
dalam
pengisian
kuesioner agar
hasil
kuesioner
lebih valid
serta teknik
pengambilan
sampel yang
digunakan
sebaiknya
random
sehingga
memberikan
kesempatan
yang sama
9
memberikan
kontribusi sebesar
10.1% terhadap
kepuasan hidup
lansia. Sebanyak 100
subjek pada
penelitian ini
tergolong kedalam
kategori subjek yang
memiliki interaksi
sosial dan kepuasan
hidup yang
cenderung baik.
kepada semua
lanjut usia
untuk menjadi
sampel
penelitian
5. Marset
yoning
rum
(2013)
Gambara
n Relasi
Sosial
Siswa
Gifted di
Kelas
Akseleras
i SMP
Negeri 1
Surabaya
Penelitian ini
menggunaka
n metode
kualitatif
Relasi sosial siswa
gifted yang belajar
di kelas akselerasi
sangatlah kompleks,
terdapat beberapa
hal yang
menggambarkan
kompleksitas
tersebut yaitu respon
mereka terhadap hal-
hal negatif, perasaan
mereka ketika
masuk kelas
akselerasi, perasaan
mereka terhadap
teman sekelas,
bentuk komunikasi,
bentuk relasi,
kenyamanan di kelas
akselerasi,
pertemanan dengan
teman wanita
maupun teman
lelaki, dan penilaian
terhadap diri
mereka. Hal-hal
tersebut membentuk
relasi sosial mereka
sebagai siswa gifted
yang belajar di kelas
akselerasi.
Peniliti
disarankan
untuk
mengkaji lebih
luas tentang
relasi sosial
siswa gifted,
tidak hanya
dengan teman
dikelas
melainkan
juga relasi
sosialnya
dengan siswa
dikelas lain
ataupun relasi
sosial siswa
gifted dengan
guru di
sekolah.
6. Lund, Stressful Penelitian ini Hubungan sosial Penelitian
10
Tabel 2 Penelitian Terdahulu Terkait Tunanetra
N
o
Peneliti Judul Metode Hasil Saran
1. Santoso
&
Erawan
(2016)
Coping
Stress
Penyandang
Tunanetra
Late-Blind
Jenis
penelitian ini
adalah
kualitatif
dengan
pendekatakan
fenomenologi
s
Reaksi awal
tunanetra late
blind adalah
marah dan
kecewa dengan
keadaannya,
selain itu
tanggapan
negatif orang
Diharapkan
peneliti
selanjutnya
dapat lebih
dalam
menggali
pentingnya
komunitas
untuk
Christ
ensen,
Nilsso
n,
Kriegb
aum,
Rod
(2014)
social
relations
and
mortality
: a
prospecti
ve cohort
study
menggunaka
n data dasar
dari The
Studi
Longitudinal
Denmark
tentang
Pekerjaan,
Penganggura
n dan
Kesehatan,
termasuk
9875 pria
dan wanita
berusia 36–
52 tahun,
terkait
dengan
Cause of
Death
Registry
Denmark
untuk
informasi
tentang
semua
penyebab
kematian
hingga 31
Desember
201
yang penuh stres
terkait dengan
peningkatan resiko
kematian di
kalangan pria dan
wanita paruh baya.
Kekhawatiran dari
hubungan sosial
terdekat seperti
pasangan dan anak-
anak lebih erat
kaitannya dengan
kematian daripada
kekhawatiran dan
tuntutan dari relasi
yang lebih jauh.
selanjutnya
disarankan
untuk meneliti
lebih lanjut
tentang
kemungkinan
perbedaan
gender dalam
kerentanan
terhadap
hubungan
sosial
11
lain membuat
tunanetra
semakin
terpuruk.
Namun setelah
bergabung
dengan
komunitas
tunanetra, para
tunanetra
tersebut dapat
menerima
kondisinya dan
mampu
beradaptasi.
Dukungan
teman dan
keluarga sangat
penting dalam
proses adaptasi
tunanetra late
blind
penyandang
disabilitas.
2. Mahdia
(2014)
Stres Kerja
Pada Tuna
Netra Yang
Bekerja
Sebagai
Karyawan
Perusahaan
Berbasis
Profit Di
Jakarta
Penelitian ini
menggunakan
metode
kualitatif
fenomenologi
Hasil dari
penelitian ini
menunjukkan
bahwa
mayoritas
tunanetra
cenderung
mengalami stres
kerja karena
terdapat kendala
dalam hubungan
antar relasi
karyawan, dan
dampak kepada
iklim kerja oleh
karena
negatifnya
hubungan antar
relasi karyawan.
Namun secara
keseluruhan,
tunanetra
mampu
mencoping diri
Peneliti
selanjutnya,
disarankan
untuk
melakukan
penelitian
dengan
variabel
yang lain
seperti
kepercayaan
diri pada
karyawan
tuna net- ra
atau harga
diri pada
karyawan
tuna netra
12
secara psikis
sehingga hal
tersebut tidak
terlalu
mengganggu
proses kerja
subjek.
3. Khairani
(2016)
Media
Flashcard
Braille
Terhadap
Kemampuan
Membaca
Permulaan
Anak
Tunanetra
Penelitian ini
menggunakan
metode
kualitatif dan
rancangan
penelitian
menggunakan
penelitian
eksperimen
Media flashcard
berpengaruh
terhadap
kemampuan
membaca
permulaan anak
tunanetra. Hal
ini terlihat dari
nilai terlihat dari
perbedaan nilai
rata-rata pada
siswa tunanetra
sebelum
diberikan
perlakuan
menggunakan
media flashcard
braille yaitu 34
dan setelah
diberikan
perlakuan
menggunakan
media flashcard
braille yaitu
82,5. Sehingga
hasil penelitian
ini terdapat
pengaruh yang
signifikan
penggunaan
media flashcard
braille terhadap
kemampuan
membaca
permulaan anak
tunanetra di
SLBA YPAB
tegalsari
Surabaya.
Peneliti yang
hendak
melakukan
penelitian
yang sama
dapat
menjadikan
penelitian ini
sebagai
bahan
rujukan
penerapan
media
flashcard
terhadap
kemampuan
membaca
permulaan
dalam skala
luas dengan
subjek yang
berbeda
13
4. Rahma
(2017)
Kesejahteraa
n Psikologis
Penyandang
Tunanetra
(Studi Pada
Mahasiswa
Tunanetra
Fakultas
Ilmu
Pendidikan
Universitas
Negeri
Yogyakarta)
Penelitian ini
menggunakan
pendekatan
kualitatid
dengan
metode
wawancara
dan observasi
1. Penerimaan
diri : Ketiga
subjek telah
menerima
kondisi
ketunanetraa
nnya
2. Tujuan
Hidup :
Pemaknaan
positif dari
ketunanetraa
n yang
dialami
ketiga
subjek
menumbuhk
an motivasi
untuk
mencapai
tujuan atau
cita-cita
3. Pertumbuha
n diri pada
ketiga
subjek
terbentuk
melalui
pengembang
an potensi-
potensi yang
dimiliki dan
terbuka
terhadap hal-
hal baru
4. Otonomi :
Kemandirian
pada ketiga
subjek
terlihat dari
aktivitas
sehari-hari
yang
dilakukan
secara
mandiri dan
Peneliti
selanjutnya
disarankan
untuk
mengkaji
lebih dalam
tentang
kesejahteraa
n psikologi
tunanetra
dengan
memperluas
wilayah
penelitian
seperti di
komunitas
difabel.
Disarankan
juga untuk
meneliti
subjek
tunanetra
yang masih
menempuh
studi
sehingga
memperoleh
banyak
fenomena
yang
menarik.
14
pengambilan
keputusan
yang tidak
banyak
bergantung
dengan
orang lain
5. Penguasaan
Lingkungan
: Kesulitan
dalam hal
mobilitas
dialami oleh
ketiga
subjek
namun t etap
dilakukan
upaya agar
dapat
menguasai
lingkungan
yaitu dengan
cara
memanfaatk
an sumber-
sumber
peluang di
lingkungan
6. Hubungan
Positif
dengan
Orang Lain :
pada ketiga
subjek
terlihat dari
kedekatanny
a dengan
keluarga,
teman
sesama
tunanetra
dan teman
awas
5. Rasyida
h (2015)
Kepercayaan
Diri Pada
Tuna Netra
Penelitian ini
menggunakan
pendekatan
Keikutsertaan
subjek dalam
berlatih ilmu
Peneliti yang
ingin
mengangkat
15
(Studi Kasus
Pengguna
Ilmu Getaran
Perguruan
Pencak Silat
Beladiri
Tangan
Kosong
Merpati
Putih)
kualitatid
dengan
metode studi
kasus
getaran di
Merpati Putih
memberikan
peningkatan
dalam
penglihatan,
kesehatan tubuh,
serta interaksi
sosial. Selain itu
subjek juga
optimis dan
yakin dengan
pekerjaan yang
ia lakukan.
tema yang
sama
disarankan
untuk
melakukan
penelitian
dengan
menggunaka
n purposive
sampling
dan
perluasan
lokasi
penelitian
6. Kyzar,
Brady,
Summer
s,
Haines,
Turnbul
l
Services and
Supports,
Partnership,
and Family
Quality of
Life: Focus
on Deaf-
Blindness
Metode
penelitian
menggunaka
survei yang
terdiri dari 4
skala yang
ditujukan
pada 227
orang tua dari
anak-anak
tunanetra dan
tunarungu
Anak-anak
penyandang
cacat dilaporkan
mengalami
perawatan
berkualitas
rendah dari
rekan-rekannya
yang normal dan
orang tua
mereka
melaporkan
tingkat kepuasan
yang lebih
rendah
Penelitian
selanjutnya
diharap
untuk
berusaha
memahami
indikator
spesifik yang
dianggap
penting oleh
keluarga
dalam
mendefinisik
an layanan
pendidikan
berkualitas
tinggi
untuk anak-
anak mereka
yang buta
tuli
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Perbedaan terletak pada variabel yang akan diteliti yaitu relasi sosial
pada tunanetra. Penelitian terkait relasi sosial pada tunanetra belum pernah diteliti
sehingga hal tersebut membuat peneliti ingin meneliti tentang bagaimana
dinamika relasi sosial pada tunanetra.