1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi saat ini membuat
semakin maraknya dunia maya (online world) yang telah memikat banyak
kalangan masyarakat. Tidak hanya itu saja, penggunaannya bukan hanya
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun juga digunakan dalam dunia
maya (online world). Bahasa dalam dunia nyata (offline world) digunakan
sebagai alat komunikasi sehari-hari baik lisan maupun tulis seperti tuturan
sehari-hari, media cetak, dan simbol/kode yang tujukan pada mitra tutur.
Sedangkan penggunaan bahasa dalam dunia maya (online world) atau yang
lebih dikenal dengan situs jejaring sosial seperti penggunaan Facebook, BBM,
Path, Bee Talk, We Chat, Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan Twitter.
Melalui situs jejaring sosial tersebut orang-orang biasa mengutarakan apa yang
mereka rasakan dalam bentuk tulisan, gambar, ataupun video.
Bahasa berfungsi sebagai sarana pikir, ekspresi, dan sarana
komunikasi. Sebagai sarana pikir, bahasa menuntun masyarakat penuturnya
untuk bertindak tertib dan santun. Sebagai sarana ekspresi, bahasa membawa
penggunanya kepada suasana kreatif karena bahasa sebagai sarana
pengungkap pemikiran tentang ilmu, teknologi, dan seni membentuk
kecerdasan. Sebagai sarana komunikasi, bahasa menciptakan suasana
keakraban dan kebersamaan yang pada akhirnya dapat memupuk rasa
1
2
kekeluargaan dan kesetiakawanan dalam masyarakat (Dendy Sugono, 2007:
36).
Bahasa juga beragam, artinya meskipun bahasa memiliki kaidah atau
pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh masyarakat
yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang
berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam. Terjadinya keragaman atau
kevariasian bahasa itu bukan hanya disebabkan oleh masyarakat yang tidak
homogen, tetapi karena kegiatan interaksi sosial yang sangat beragam. Dalam
hal ini, ada kaitannya dengan penggunaan bahasa Jawa oleh kalangan anak
muda. Biasanya bahasa-bahasa ini muncul di situs jejaring sosial dalam bentuk
meme.
Situs jejaring sosial merupakan layanan berbasis web yang digunakan
untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan pihak lain baik dengan teman,
keluarga, maupun komunitas yang memiliki tujuan sama. Setiap situs jejaring
sosial memiliki daya tarik yang berbeda. Namun tujuannya sama yaitu untuk
berkomunikasi dengan mudah dan lebih menarik karena ditambah fitur-fitur
yang memanjakan penggunanya.
Kata yang dibaca meme ‘mim’ ini adalah sebuah fenomena internet
atau dunia maya yang masih terus berkembang. Tujuan meme sendiri
sebenarnya beragam namun lebih dominan untuk menghibur. Meme bisa
dikatakan sebagai sebuah seni modern dari dunia maya yang hanya dimainkan
melalui media elektronik. Ada beberapa meme yang dapat dimainkan secara
materi dunia nyata, namun meme akan mudah dipahami ketika ditampilkan di
media sosial (sketsanews.com/549753/pemerintah-memonitor-aktivitas-siber-
3
jangan-buat-meme-lecehkan-jokowi/, diakses 10 Oktober 2015, jam 09.15
WIB).
Keberadaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat adalah bukti bahwa
tuturan yang diwujudkan dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial
memiliki maksud tertentu sebagai hasil dari citraan zaman atas fenomena yang
terjadi dikalangan masyarakat luas.
Usaha peneliti dalam rangka mengungkapkan jenis tindak tutur ilokusi
khususnya tindak tutur ekspresif tersebut berawal dari asumsi peneliti bahwa
tuturan-tuturan dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial bukanlah
tuturan tanpa maksud atau mungkin saja terjadi maksud yang sesuai dengan
maknanya dan mungkin saja berlainan dengan maknanya.
Pada meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial banyak terdapat
penggunaan tuturan-tuturan yang secara tidak langsung menyampaikan
maksud, salah satunya berupa tuturan ekspresif. Searle menjelaskan tindak
tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar
tuturannya diartikan sebagai sikap psikologis penutur tehadap suatu keadaan.
Tuturan memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, mengucapkan
selamat, mengkritik, dan mengeluh termasuk ke dalam jenis tindak tutur
ekspresif ini (Searle, dalam Martinich (ed), 1996a: 148).
Teknologi informasi tampaknya terus mendorong kreator untuk terus
memproduksi meme baru, sehingga meme lama akan tergantikan dengan
meme-meme yang baru, dan hanya sedikit meme lama yang bisa bertahan.
Kreator atau para pembuat meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial
4
mempunyai kemampuan kebahasaan yang unik dalam mengonsep tuturannya
melalui meme berbahasa Jawa. Kemampuan kebahasaan tersebut dapat dilihat
dari bentuk tuturan dengan susunan kata-kata yang mampu menarik para
peminat situs jejaring sosial. Akan tetapi dalam penyampaian maksud
tuturannya sering kali kreator kurang memperhatikan kaidah kebahasaan dan
etika bertutur sehingga menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap
prinsip kesantunan Jawa.
Secara umum pragmatik merupakan kajian terhadap bahasa dalam
penggunaannya (dengan memperhitungkan unsur-unsur yang tidak dicakup
oleh tata bahasa dan semantik). Penggunaan bahasa tersebut dapat diatur oleh
kondisi pragmatik, yaitu maksud penutur, motivasi yang memicu maksud itu,
kepada siapa ia bertutur, tentang apa, dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Gunarwan (2007: 2) bahwa kondisi pragmatik tertakluk pada nilai-
nilai budaya masyarakat yang bersangkutan, bagaimana suatu tindak tutur
diungkapkan, hal ini bergantung kepada warga budaya yang manakah si
penutur itu. Peran mitra tutur sebagai penafsir dan bukan sekedar penerima
yang pasif (Black, 2011: 1-2).
Penelitian terhadap meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial dari
sudut pandang pragmatik ini menarik untuk dilakukan karena belum ada yang
membahasnya secara khusus. Selain itu meme berbahasa Jawa di situs jejaring
sosial dapat diperoleh berbagai macam makna sesuai dengan konteks
ujarannya. Suatu ujaran tidak hanya digunakan untuk penyampaian informasi
atau ide, tetapi ada beberapa meme yang mengandung maksud-maksud tertentu
yang tidak dapat ditangkap secara langsung. Keanekaragaman maksud tersebut
5
menjadi salah satu potensi utama meme berbahasa Jawa pada situs jejaring
sosial untuk menarik perhatian sekaligus mempermainkan tanggapan lawan
tutur. Maksud yang ditentukan oleh konteks situasi tutur inilah yang diteliti
dalam rangka pragmatik. Oleh karena itu, meme dianalisis dari sudut pandang
pragmatik yang memerlukan pendeskripsian relasi antara tanda dan
penafsirnya dalam meme berbahasa Jawa pada situs jejaring sosial. Untuk
mempertegas alasan tersebut, dapat diperhatikan contoh berikut.
Data (A/1, B/5)
Penulisan tuturan di atas Yomesti koe ayu, wong tengahe Y. Jajal nek
tengahe S, piye perasaanmu? yang tepat adalah Ya mesthi kowe ayu, wong
tengahe y. Jajal nek tengahe s. Piye perasaanmu? ‘Ya pasti kamu cantik, kan
tengahnya y. Coba kalau tengahnya s. Bagaimanakah perasaanmu?’.
Data tersebut termasuk dalam wujud tindak tutur ekspresif menyindir
yang berbentuk satuan lingual Ya mesthi kowe ayu, wong tengahe y. Jajal nek
tengahe s. Piye perasaanmu? menjadi penanda bahwa tuturan tersebut adalah
bermaksud menyindir. Karena penutur secara tidak langsung mengutarakan
ejekan dengan sindiran halus, namun melalui analogi realita sosial yang
penutur lihat. Ditambah penegasan dengan gambar seorang lelaki yang
menunjuk si perempuan dengan senyum sinis atau sindiran dan gambar
seorang wanita yang merasa kesal dengan ungkapan si lelaki tersebut.
6
Tuturan Ya mesthi kowe ayu, wong tengahe y. Jajal nek tengahe s. Piye
perasaanmu? ‘Ya pasti kamu cantik, kan tengahnya y. Coba kalau tengahnya
s. Bagaimanakah perasaanmu?’ melanggar prinsip kurmat ‘hormat’, karena
penutur tidak mempertimbangkan kepada siapa ia bertutur. Siapapun yang
berperan sebagai penutur baik orang kaya, miskin, berpendidikan maupun
yang tidak berpendidikan. Tuturan tersebut termasuk dalam penyimpangan
terhadap prinsip kesantunana Jawa yang menyalahi aturan kurmat dengan
mitra tuturnya yaitu seorang wanita karena kata ayu diubah menjadi asu.
Beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan pendekatan
pragmatik yang telah dilakukan oleh para peneliti adalah sebagai berikut.
1. Dian Wida Kisworo, pada tahun 2005, dengan judul Bahasa Jawa Pada
Spanduk Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2004 di Kota Surakarta (Kajian Pragmatik). Penelitian ini mengkaji
wujud tindak tutur, bentuk penyimpangan maksim, dan maksud dalam
bahasa Jawa pada Spanduk Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2004 di Kota Surakarta.
2. Dwi Sri Suharni, pada tahun 2009, dengan judul Wacana Kartun dalam
Majalah Jaya Baya (Suatu Kajian Pragmatik). Penelitian ini mengkaji
wujud tindak tutur, bentuk penyimpangan maksim kerja sama dan maksim
kesopanan, serta maksud yang terkandung dalam wacana kartun dimajalah
Jaya Baya.
3. Angga Cahyaning Utami, pada tahun 2012, dengan judul Wacana Stiker
Berbahasa Jawa (Suatu Kajian Pragmatik). Fokus kajian dalam
penelitian ini adalah kajian pragmatik yang digunakan untuk mengkaji
7
aspek jenis dan subjenis tindak tutur, implikatur tuturan, dan
penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa yang terdapat dalam
wacana stiker berbahasa Jawa.
4. Sebarina Novia Rahmawati, pada tahun 2014, dengan judul Tindak
Tutur Ekspresif dalam Tiga Judul Naskah Sandiwara Radio
Berbahasa Jawa Karya Kusama Danang Joyodi Radio Republik
Indonesia (RRI) Surakarta (Sebuah Kajian Pragmatik). Fokus kajian
dalam penelitian ini adalah jenis tindak tutur ekspresif, implikatur dalam
tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur ekspresif yang paling dominan
dalam naskah sandiwara radio berbahasa Jawa di radio RRI Surakarta.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan yang telah disebutkan di
atas, penelitian yang paling mendekati dengan penelitian ini adalah penelitian
mengenai wacana stiker berbahasa Jawa oleh Angga Cahyaning Utami. Akan
tetapi, ketiga skripsi yang lain juga peneliti gunakan sebagai tolak ukur dalam
menganalisis permasalahan yang ada. Hal ini disebabkan karena dalam analisis
pragmatik, permasalahan-permasalahan yang ada mempunyai kasus yang
sama.
Beberapa hasil penelitian tersebut di atas peneliti gunakan sebagai
referensi penelitian ini. Selain itu, penelitian ini dilakukan karena mempunyai
alasan sebagai berikut.
a. Meme dapat dikatakan sebuah fenomena tersendiri di dunia jejaring sosial.
Kehadiran berbagai jenis situs jejaring sosial juga mendorong fenomena
baru ini berkembang dengan cepat. Hal ini dikarenakan meme biasanya
akan disebarkan melalui situs jejaring sosial seperti Facebook, BBM,
8
Path, Bee Talk, We Chat, Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan
Twitter.
b. Sebagai media komunikasi, meme digunakan pula sebagai alat kritik,
sindiran maupun larangan terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Meskipun bersifat kritikan atau sindiran, meme berbahasa
Jawa dalam situs jejaring sosial dapat diterima dikalangan masyarakat.
Meme yang dikemas dalam bahasa yang menarik, menggelitik, tetapi tetap
komunikatif menjadi sumber keunikan bagi penelitian ini.
c. Adanya kebebasan kreator dalam pembuatan meme berbahasa Jawa dalam
situs jejaring sosial sering kali kurang memperhatikan kaidah kebahasaan
yang berlaku serta unggah-ungguh bahasa Jawa sehingga menyebabkan
terjadinya penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa.
d. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan kajian pragmatik
yang pernah dilakukan, penelitian tentang meme berbahasa Jawa dalam
situs jejaring sosial belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai meme berbahasa Jawa dalam situs jejaring
sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas, mengenai latar belakang adanya
penelitian ini, sejumlah alasan penelitian telah cukup memaparkan penelitian
ini dilakukan. Oleh karena itu, sebagai judul dari penelitian ini adalah Tindak
Tutur Ekspresif Meme Berbahasa Jawa dalam Situs Jejaring Sosial
(Suatu Kajian Pragmatik).
9
B. Pembatasan Masalah
Untuk mengarahkan penelitian agar lebih intensif dan efisien sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai, maka diperlukan adanya pembatasan
masalah. Penelitian ini membatasi kajian pada pemakaian bahasa Jawa pada
meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial. Hal yang dikaji mencakup wujud
tindak tutur ekspresif serta penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa
meme di situs jejaring sosial.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan dua
permasalahan yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah wujud tindak tutur ekspresif yang terdapat dalam meme
berbahasa Jawa di situs jejaring sosial?
2. Bagaimanakah penyimpangan terhadap prinsip kesantuanan Jawa yang
terdapat dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur ekspresif yang terdapat
dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial
2. Mendeskripsikan penyimpangan terhadap prinsip kesantuanan Jawa yang
terdapat dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring.
10
E. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoretis
Penelitian yang diharapkan adalah dapat menambah khazanah
penelitian tentang pemilihan kata dari sudut pandang pragmatik,
khususnya mengenai tindak tutur ekspresif serta penyimpangan
terhadap prinsip kesantunan Jawa dalam pragmatik.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat :
2.1 Digunakan sebagai salah satu referensi bagi para peneliti pragmatik,
khususnya yang berkaitan dengan pemilihan kata.
2.2 Memberi pemahaman dan maksud tindak tutur khususnya ekspresif
serta penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa yang terdapat
dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial bagi para
penikmat situs jejaring sosial.
2.3 Bahan bacaan yang menarik karena hasil penelitian berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa sosial dan budaya yang aktual dalam masyarakat.
F. Landasan Teori
Landasan teori adalah teori-teori yang dianggap paling relevan untuk
menganalisis objek (Nyoman, 2010:281). Dalam penelitian kualitatif objeklah
yang menentukan teori mana yang relevan untuk digunakan.
11
1. Pengertian Pragmatik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pragmatik
adalah yang berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi
tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177).
Levinson menjelaskan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara
bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dengan
demikian untuk memahami pemakaian bahasa dituntut pula pemahaman
konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang
dikemukakan Levinson, yaitu pragmatik mengkaji tentang kemampuan
pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang
sesuai dengan kalimat-kalimat tersebut (dalam Rohmadi, 2004: 4).
Menurut Leech (1993: 8), Pragmatik adalah studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi
unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan,
waktu, dan tempat.
Tarigan (1990: 21), mengatakan pragmatik menelaah ucapan-ucapan
khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang
merupakan wadah aneka konteks sosial. Reformasi bahasa dapat
mempengaruhi taksiran atau interpretasi pragmatik. Dalam menelaah bukan
hanya pada pengaruh-pengaruh fonem suprasegmental, dialek dan register,
tetapi justru memandang performasi ujaran pertama-tama sebagai kegiatan
sosial.
Berdasar pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan ilmu yang mempelajari maksud penutur yang disampaikan kepada
12
mitra tutur melalui tuturan yang dibuatnya. Pragmatik mengungkap maksud
suatu tuturan di dalam peristiwa tutur, analisis pragmatik berusaha
menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun
yang diekspresikan secara tersirat dalam tuturan tersebut. Latar belakang
pengalaman dan pengetahuan yang sejalan sangat diperlukan demi
tersampaikannya maksud penutur kepada mitra tutur.
2. Tindak Tutur
Searle (1969) mengatakan bahwa dalam semua komunikasi linguistik
terdapat tindak tutur, ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekedar
lambang atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil
dari lambang kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the
performance of specch acts). Lebih tegasnya bahwa tindak tutur adalah produk
atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan
terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan,
pertanyaaan, perintah, atau lainnya (Searle, dalam Suwito, 1983-33). Tindak
tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan
kelangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam
mengahadapi situasi tertentu (Chaer, dalam Rohmadi, 2010: 32).
Kridalaksana (2000: 17) mendefinisikan tindak tutur adalah (a)
perbuatan bahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan
kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; (b) perbuatan yang
menghasilkan bunyi bahasa secara beraturan menghasilkan ujaran yang
bermakna; (c) seluruh komponen linguistik dan non-linguistik yang meliputi
13
suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk
penyampaian amanat, topik, dan kontek amanat itu; (d) pengujaran kalimat
untuk menyatakan suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar,
penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu; (e) pengujaran kalimat
untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui oleh
pendengar.
Pemahaman mengenai tindak tutur sangat luas, sehingga dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah seluruh
kompenen bahasa dan nonbahasa yang meliputi perbuatan bahasa yang utuh.
Teori tindak tutur menurut Austin (1962) secara pragmatis ada tiga
jenis tindakan yang diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi
(locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act) (dalam Kreidler, 1998: 181).
2.1 Tindak Tutur Lokusi
Menurut Tarigan (2009: 100) tindak tutur lokusi adalah tindak tutur
untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of
Saying Something. Tuturan dibuat oleh penutur semata-mata berfungsi untuk
menginformasikan sesuatu tanpa memengaruhi lawan tuturnya. Menurut
Austin (dalam Ibrahim, 1993: 304), lokusi (locutionary) yaitu tindakan yang
mengatakan sesuatu dan makna sesuatu yang penutur katakan.
Parker menjelaskan tindak tutur lokusi merupakan tindak tutur yang
relatif paling mudah untuk diidentifiasikan karena dalam pengindentifikasian
cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup
dalam situasi tutur (Parker, dalam Wijana, 1996: 18).
14
Berdasar pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur lokusi
adalah pertuturan yang menyatakan sesuatu sebagaimana adanya.
2.2 Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi adalah melakukan suatu tindakan dengan
mengatakan sesuatu (Tarigan, 2009: 35). Menurut Wijana (1998: 18), tindak
ilokusi disebut juga dengan the act of doing something. Bahwa kalimat tidak
hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan
seusatu sejauh situasi tuturnya juga dipertimbangkan secara seksama. Tindak
ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tutur. Untuk memahami
tindak tutur ilokusi, maka harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan
tutur, serta kapan dan bagaimana tuturan itu terjadi.
Tindak tutur ilokusi merupakan tindakan yang berfungsi untuk
mengatakan atau menginformasikan sesuatu, serta digunakan penutur untuk
mempengaruhi lawan tutur untuk melakukan apa yang diinginkan oleh
penutur. Tindak tutur ini sering disebut dengan The Act of Doing Something.
Menurut Austin (dalam Ibrahim, 1993: 304), ilokusi (illocutionary) adalah apa
yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu. Menurut Searle (Searle,
dalam Geoffrey Leech, 1993: 164-166), tindak ilokusioner yang merupakan
bagian dari sentral dalam kajian tindak tutur. Tindak ilokusioner dibagi
menjadi lima yaitu:
2.2.1 Deklarasi
Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus,
untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Berhasilnya pelaksanaan
15
ilokusi mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas,
misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai), dan
sebagainya.
2.2.2 Asertif (representative)
Asertif (representative) merupakan tindak ilokusi yang penuturnya
terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Pernyataan tersebut
mengenai penegasan, menunjukkan, menyebutkan, menyimpulkan,
mengusulkan, meramalkan/memprediksi/menduga-duga, mendesak,
mengeluh, mengemukan pendapat, dan melaporkan.
2.2.3 Ekspresif
Ekspresif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang
dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan-pernyataan
psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kebencian,
kesenangan, atau kesengsaraan.
2.2.4 Direktif
Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk
menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa
yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi: perintah,
pemesanan, permohonan, menuntut, memberi nasihat, mengundang dan
pemberian saran. Ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh mitra tuturnya.
16
2.2.5 Komisif
Komisif, yaitu jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang,
misalnya menjanjikan, menawarkan, bergaul. Jenis ilokusi ini cenderung
berfungsi menyenangkan, dan kurang bersifat kompetitif, karena tidak
mengacu pada kepentingan penutur.
Berdasar pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur ilokusi
adalah pertuturan yang menyatakan tindakan atau maksud melakukan sesuatu.
2.3 Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi (perlocutionary act) yaitu tindak tutur yang
pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. TT
perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang
diutarakan seorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary
force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek yang timbul ini bisa secara
sengaja maupun tidak sengaja (Wijana, 1996: 17-22).
Tindak tutur perlokusi adalah tindakan yang berfungsi untuk
mempengaruhi lawan tutur yang dengan sengaja maupun tidak sengaja
mengakibatkan lawan tutur melakukan apa yang dikehendaki penutur.
Menurut Austein (dalam Ibrahim, 1993: 304) tindak perlokusi merupakan
tuturan yang diucapkan seseorang penutur yang sering kali memiliki efek atau
daya pengaruh (perlocutionary force).
Berdasar pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur
perlokusi adalah pertuturan yang memiliki pengaruh atau efek terhadap lawan
tutur.
17
3. Tindak Tutur Ekspresif
Menurut Austin, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur behabitif
(behabitives utterance).Tindak tutur behabitif adalah reaksi-reaksi terhadap
kebiasaan dan keberuntungan orang lain dan merupakan sikap serta ekspresi
seseorang terhadap kebiasaan orang lain. Verba ekspresif biasanya muncul
dalam konstruksi ‘S verba (prep) (O) (prep) Xn (dimana ‘(prep)’ adalah
preposisi fakultatif; dan Xn adalah frase nomina abstrak atau frase gerundif),
contoh meminta maaf, menaruh simpati, mengucapkan selamat, memaafkan
mengampuni, mengucapkan terima kasih (Tarigan, 1990: 117). Tindak tutur
Ekspresif memiliki fungsi untuk mengekspresikan, mengungkapkan atau
memberitahukan sikap psikologi sang pembicara menuju suatu pernyataan
keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi. Misalkan; mengucapkan terima kasih,
memaafkan, mengampuni, menyalahkan, memuji, menyatakan belasungkawa
dan sebagainya (Tarigan, 2009: 43).
Searle menjelaskan tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang
dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai sikap psikologis
penutur tehadap suatu keadaan. Tuturan memuji, mengucapkan terima kasih,
meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh termasuk ke
dalam jenis tindak tutur ekspresif ini (Searle, dalam Martinich (ed), 1996a:
148).
Kreidler juga menyebutkan tindak tutur ekspresif dalam teori tindak
tuturnya. Tindak tutur ekspresif tersebut disebutnya expressive utterances.
Tindak tutur ekspresif terjadi karena tindakan penutur, kegagalan penutur serta
18
akibat yang ditimbulkan kegagalan itu. Verba yang menandai tindak tutur ini
misalnya mengakui, bersimpati, memaafkan, dan sebagainya (Kreidler, 1998:
188).
Leech juga menjelaskan tindak tutur ekspresif dalam teori tindak
tuturnya. Leech mendefinisikan tindak tutur ekspresif sebagai jenis tindak
tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap
keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur. Verba yang menandai tindak
tutur ini misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa
ikut bersimpati, meminta maaf (Leech, dalam Oka, 1993: 328).
Dalam klasifikasi yang dibuat Ibrahim (1993: 17), tindak ilokusi
komunikatif dibagi menjadi 4 yaitu constatives, directives, comissives, dan
anknowledgments. Tindak tutur ekspresif diartikan sebagai anknowledgements
yang berarti mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur, baik yang
berupa rutinitas maupun yang murni. Perasaan dan mengekspresikan cocok
untuk jenis situasi tertentu. Misalnya, menyampaikan salam, berterima kasih,
meminta maaf, belasungkawa, mengucapkan selamat, dan menolak.
Anknowledgements diharapkan pada situasi tertentu, anknowledgements itu
seringkali disampaikan bukan karena perasaan yang benar-benar murni tetapi
karena ingin memenuhi harapan sosial sehingga perasaan itu perlu
diekspresikan (Ibrahim, 1993: 24).
Menurut Yule (2006: 93) tindak tutur ekspresif mencerminkan
pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan,
kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Nadar (2006:
19
16) menyatakan bahwa kata kerja tindak tutur ini ialah seperti kata
berterimakasih, mengucapkan selamat, dan menyambut.
Dari beberapa definisi tindak tutur ekspresif tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi
sebagai ungkapan perasaan penutur kepada mitra tutur terhadap suatu keadaan,
perasaan tersebut dapat berupa rasa senang, sedih, marah, takut dan
sebagainya.
Berikut contoh TTE menyindir yang terdapat dalam Meme Berbahasa
Jawa dalam situs Jejaring Sosial (MBJDS).
Data (A/49)
Penulisan tuturan di atas Lanang menang milih, wedok menang nolak.
Lanang sungkan nyedaki, Wedok kegeden gengsi. Lanang ratau peka, wedok
kakean kode. Mbulet ngunu ae terus sampe Indonesia udan salju. Penulisan
yang benar adalah Lanang menang milih, wedok menang nolak. Lanang
sungkan nyedhaki, wedok kegedhen gengsi. Lanang ora tau peka, wedok
kakean kode. Bulet ngunu wae terus nganti Indonesia udan salju ‘Lelaki
menang memilih, perempuan menang menolak. Lelaki sungkan mendekati,
perempuan kebanyakan gengsi. Lelaki tidak pernah peka, perempuan
20
kebanyakan kode. Berputar saja terus sampai Indonesia hujan salju’. Tuturan
di atas termasuk ke dalam TTE menyindir sebagai penanda lingualnya semua
tuturan tersebut, P secara tidak langsung mengemukakan maksudnya
mengenai analogi yang penutur lihat dan kemudian mengungkapkannya
melalui bentuk sindiran.
4. Prinsip Kerja Sama
Grice (dalam Wijana, 1996: 46) mengemukakan bahwa dalam
pelaksanaan prinsip kerja sama, penutur harus mematuhi empat maksim
kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim
relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).
4.1 Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)
Penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup dan
relatif memadai informasi yang diberikan tidak boleh melebihi informasi yang
sebenarnya dibutuhkan mitra tutur. Apabila tuturan mengundang informasi
yang berlebihan maka melanggar maksim kuantitas.
4.2 Maksim Kualitas (Maxim of Quality)
Dalam maksim kualitas, penutur diharapkan dapat menyampaikan
sesuatu yang nyata dan sesuai fakta. Fakta yang disampaikan harus didukung
dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.
4.3 Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)
Terjalinnya kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur
hendaknya masing-masing dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang
sesuatu yang dipertuturkan itu.
21
4.4 Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)
Aturan pertuturan yang mengharuskan peserta tutur bertutur secara
langsung, jelas, dan tidak kabur.
5. Prinsip Kesopanan
Prinsip kesopanan, atau yang disebut dengan retorik interpersonal
melengkapi prinsip kerja sama. Menurut Leech (1983) prinsip kesopanan
dijabarkan menjadi enam maksim, yaitu:
5.1 Maksim kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan menggariskan setiap peserta pertuturan untuk
meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi
orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif.
5.2 Maksim penerimaan
Maksim ini mewajibkan peserta tindak tutur untuk memaksimalkan
kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri.
Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif.
5.3 Maksim kemurahan
Maksim kemurahan dituturkan dengan kalimat ekspresif dan kalimat
asertif. Maksim ini menuntut peserta tindak tutur memaksimalkan rasa hormat
kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
Maksim kemurahan berpusat kepada orang lain.
5.4 Maksim Kerendahan Hati
Sama halnya dengan maksim kemurahan, maksim kerendahan hati
diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kerendahan hati
22
berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta tutur untuk
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa
hormat pada diri sendiri.
5.5 Maksim kecocokan
Maksim kecocokan disampaikan dengan tuturan ekspresif dan asertif.
Maksim ini menggariskan setiap penutur untuk memaksimalkan kecocokan
diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
5.6 Maksim kesimpatisan
Maksim kesimpatisan mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa simpati, meminimalkan rasa antipati kepada lawan
tuturnya. Maksim kesimpatisan dituturkan melalui tindakan asertif dan
ekspresif.
Penjelasan mengenai Prinsip Kerja Sama (4) dan Prinsip Kesopanan
(5), selanjutnya dipakai sebagai rujukan pada Prinsip Kesantunan Jawa yang
diformulasikan oleh Asim Gunarwan. Dalam penelitian ini poin 4 dan 5 tidak
dipakai sebagai acuan untuk menganalisis rumusan masalah. Hal ini
dikarenakan data meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial lebih tepat
dikaji melalui teori prinsip kesantunan Jawa, khususnya pada rumusan
masalah ke-2 yaitu tentang penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa
dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial.
6. Prinsip Kesantunan Jawa
Dalam kepustakaan pragmatik, dua teori prinsip percakapan yang
disebutkan di atas, yakni teori Grice (1975) mengenai prinsip kerja sama dan
23
teori Leech (1983) mengenai prinsip kesopanan, mengilhami prinsip
keseimbangan atau asas kerukunan Jawa atau yang disebut dengan prinsip
kesantunan Jawa (Gunarwan, 2004: 6). Prinsip kesantunan Jawa yang
dikemukakan oleh Gunarwan (2004) dijabarkan menjadi empat prinsip, yaitu:
6.1 Kurmat (hormatilah orang lain)
Jika seseorang mengharap dirinya dihormati orang, hormatilah orang
lain. Ini berarti jika seseorang tidak mau menghormati orang lain, orang
lainpun tidak akan menghormatinya, dalam pepatah Jawa disebut ‘ajining
dhiri saka lathi’ ‘harga diri seseorang itu terletak pada ucapannya’ dan
‘ajining raga saka busana’ ‘performance’ atau ‘penampilan baik seseorang itu
terletak pada busana atau pakaiannya’. Dalam bertutur, hendaknya harus
menghargai atau menghormati pendapat mitra tutur. Subprinsipnya adalah:
a. Janganlah memakai bahasa sedemikian rupa sehingga si penutur
merasa ia tidak ditempatkan sebagaimana layaknya.
b. Pilihlah tingkat tutur (speech level) dan pakailah honorifik jika
perlu sesuai dengan kedudukan si penutur serta jarak sosial Anda
dan penutur.
6.2 Andhap asor (berendah hatilah)
Sikap ‘andhap asor’ yang berarti rendah hati. Secara harfiah, frasa ini
bermakna ‘sangat rendah’ dan prinsip ini berisi nasihat agar orang selalu
berperilaku sangat rendah hati dan tidak congkak. Subprinsipnya adalah:
a. Pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si penutur merasa
bahwa ia dipuji (secara maksimal).
b. Janganlah pakai honorofik untuk mengacu ke diri sendiri.
24
6.3 Empan-papan (sadarilah tempatmu)
‘Empan-papan’ artinya sesuai waktu dan tempat. Cara menyikapi suatu
persoalan hendaknya melihat waktu dan tempat. Prinsip ini berisi nasihat agar
kita pandai-pandai membawa diri agar kita selalu menyadari tempat atau
kedudukan kita di dalam konstelasi masyarakat yang kita adalah anggotanya.
Subprinsipnya:
a. Pilihlah tingkat tutur sesuai dengan status sosial Anda serta status
sosial peserta tutur yang lain.
b. Susunlah ujaran Anda dan pilihlah kata-kata dengan
menimbangkan komponen-komponen peristiwa tutur.
6.4 Tepa Slira (jangan melakukan kepada orang lain apa yang kamu tidak
mau orang lain melakukan kepada kamu)
Kata tepa slira berasal dari kata tepa diartikan sebagai ‘ukuran’,
sehingga tepa slira dapat diartikan sebagai ‘ukurlah tubuh sendiri’. Hal ini
berarti jangan menganggap orang lain itu jelek, belum tentu yang dikatakan
jelek justru lebih baik daripada yang mengatakan. Kepada orang lain seseorang
tidak boleh syuudhon ‘berprasangka buruk’, tetapi harus khusnudhon
‘berprasangka baik’. Subprinsipnya adalah:
a. Pakailah bahasa yang patut kepada orang lain sebagaimana Anda
mau orang lain menggunakan bahasa yang patut kepada Anda.
b. Hindari penggunaan bahasa yang tidak patut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipaparkan contoh meme
berbahasa Jawa di situs jejaring sosial dengan prinsip kesantunan Jawa.
25
Data (A/7)
Penulisan tuturan di atas Ngopi karo mangan gorengan. Regane ora
sepira. Nikmate luar biasa ‘Minum kopi sambil makan gorengan. Harganya
tidak seberapa. Nikmatnya luar biasa’. Tuturan tersebut masih bisa diterima
oleh khalayak umum karena tidak menyalahi aturan dalam prinsip kurmat
‘hormat’, andhap-asor ‘rendah hati’, tepa slira ‘tenggang rasa’, dan empan
papan ‘sadar tempat’.
7. Konteks
Penjelasan mengenai konteks oleh Kridalaksana dalam Kamus
Linguistik (2011: 134) bahwa konteks merupakan aspek-aspek lingkungan
fisik atau sosial yang kait-mengait dengan ujaran tertentu. Konteks juga dapat
diartikan sebagai pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan
pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara.
Batasan konteks yang dikemukan Sperber dan Wilson (dalam Black
2011: 179) yakni, konteks sebagai sekumpulan premis atau ide yang
digunakan untuk menafsirkan sebuah ucapan. Pandangan terhadap konteks
adalah sebuah konstruk yang berada di bawah kendala pendengar, yang
diawali dari asumsi bahwa ucapan itu relevan. Konteks menyangkup
pengetahuan ensiklopedik yang diperlukan untuk mengolah tuturan, termasuk
26
pengetahuan ilmiah, sikap religius, pengetahuan budaya, atau segala sesuatu
yang mempengaruhi penafsiran individu (pembaca) terhadap sebuah tuturan.
Cumming (2007: 5) menegaskan bahwa kita dapat mendapatkan
defisnisi pragmatik yang lengkap bila konteksnya tidak ditemukan. Gagasan
tentang konteks berada diluar pengejawantahannya yang jelas seperti latar fisik
tempat dihasilkannya suatu ujaran yang mencangkup faktor-faktor linguistik,
sosial, dan epistemis.
Pemahaman mengenai konteks sangat luas, sehingga dari pengertian di
atas, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah penafsiran pembaca terhadap
sebuah ujaran yang didasarkan pada lingkungan fisik dan sosial.
8. Situasi Tutur
8.1 Aspek-aspek Situasi Tutur
Munculnya keragaman maksud yang dikomunikasikan oleh penutur
dalam tuturan, Leech (dalam Rohmadi, 2010: 27) mengemukakan sejumlah
aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam kajian pragmatik. Aspek-
aspek tersebut adalah sebagai berikut.
8.1.1 Penutur dan Lawan Tutur
Konsep penutur dan lawan tutur juga mencakup penulis dan pembaca
bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan ‘media tulis’. Aspek-aspek
yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang
sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain-lain.
27
8.1.2 Konteks Tutur
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua
aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks
yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting
sosial disebut konteks. Didalam pragmatik konteks pada hakikatnya adalah
semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami
bersama oleh penutur dan lawan tutur.
8.1.3 Tujuan Tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi
oleh maksud dan tujuan tuturan. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan
yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud atau
sebaliknya satu maksud dapat disampaikan dengan beraneka ragam tuturan. Di
dalam pragmatik berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan
(goal oriented activities).
8.1.4 Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas
Pragmatik berhubungan dengan tindakan verbal (verbal act) yang
terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hal ini pragmatik menangani bahasa
dalam tingkatannya yang lebih konkrit dibanding dengan tata bahasa. Tuturan
sebagai identitas yang konkrit, jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu
dan tempat pengutarannya.
8.1.5 Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal
Tuturan yang digunakan dalam kriteria empat merupakan wujud dari
tindak verbal dalam pragmatik. Dengan demikian, tuturan sebagai produk
28
tindak verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis
antara penutur dan lawan tutur.
8.2 Peristiwa Tutur
Setiap komunikasi antar individu pasti saling menyampaikan informasi
berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung.
Maka dalam setiap proses komunikasi terjadilah peristiwa tutur. Suwito
(dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 27) menjelaskan bahwa peristiwa tutur
(speech act) adalah serangkaian tindak tutur yang terorganisasikan untuk
mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Abdul Chaer (1995: 61) menjelaskan
bahwa peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan
tutur dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Bertolak dari kedua pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa
peristiwa tutur merupakan satu rangkaian tindak tutur dalam satu bentuk
ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur
dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Hal ini
masih berkaitan dengan aspek-aspek yang melingkupi tuturan dalam suatu
komunikasi antara penutur dan lawan tutur.
Terjadinya peristiwa tutur dalam suatu komunikasi selalu diikuti oleh
berbagai unsur yang tidak terlepas dari konteksnya. Menurut Dell Hymes ada
beberapa syarat terjadinya peristiwa yang terkenal dengan akronimnya
SPEAKING. Syarat-syarat terjadinya peristiwa tutur itu adalah:
29
a. Setting dan Scane. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan
berlangsung, sedangkan scane mengacu pada situasi tempat dan waktu,
atau situasi psikologi pembicara.
b. Participant, adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima.
c. End, merupakan maksud dan tujuan penuturan.
d. Act Sequance, mengacu pada bentuk dan isi ujaran yang digunakan oleh
penutur.
e. Key, mengacu pada cara dan semangat seorang penutur dalam
menyampaikan pesan. Apakah dengan sombong, rendah hati, angkuh atau
dengan cara yang lain.
f. Instrumentalies, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti
bahasa lisan, tertulis, isyarat, dan lain-lain.
g. Norm of interaction, mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi.
h. Genre, mengacu pada bentuk penyampain suatu pesan. Apakah dalam
bentuk puisi, prosa, doa, dan lain-lain (dalam Suwito, 1983: 32).
Peristiwa tutur tidak dapat terjadi pada semua tempat karena setiap
komunikasi yang terjadi dalam suatu situasi ujar belum tentu memenuhi
syarat-syarat terjadinya peristiwa tutur, sebagaimana dikemukakan oleh
Hymes. Pendapat Hymes ini sangat berhubungan erat dengan kelima aspek-
aspek situasi tutur yang disampaikan oleh Leech diatas, artinya kedua
pendapat tersebut dapat saling mendukung dalam kajian pragmatik.
30
9. Situs Jejaring Sosial
William dalam bukunya Social Networking Sites : How to Stay Safe
Sites: Multi-States Information Sharing & Analysis Center (MS-ISAC) yang
dikutip oleh Adam Mahamat Helou dan Nor Zairah Ab.Rahim dalam jurnal
yang berjudul The Influence of Social Networking Sites on Students’ Academic
Performance in Malaysia mengemukakan, Sosial Networking Sites is an
online community of internet users who want to communicate with other users
about areas of mutual interest (http://www.m sis.ac.org, diakses 10 Oktober
2015, jam 08.00 WIB).
Firmansyah (2010: 10) mengemukakan bahwa situs jejaring sosial
merupakan sebuah situs berbasis pelayanan yang memungkinkan penggunanya
untuk membuat profil, melihat list pengguna yang tersedia, serta mengundang
atau menerima teman untuk bergabung dalam situs tersebut. Tampilan dasar
situs jejaring sosial ini menampilkan halaman profil pengguna, yang di
dalamnya terdiri dari identitas diri dan foto pengguna.
Jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen
individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka
berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal
sehari-hari sampai dengan keluarga. Istilah ini diperkenalkan oleh professor
Barnes di tahun 1954. Jejaring sosial adalah struktur sosial yang dibentuk
dalam simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang
diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman,
keturunan, dll (www.ridwanforge.net/blog/2008/07/jejaring-sosial-social-
networking/, diakses 10 Oktober 2015, jam 08.20 WIB).
31
Setiap situs jejaring sosial memiliki daya tarik yang berbeda. Namun
pada dasarnya tujuannya sama yaitu untuk berkomunikasi dengan mudah dan
lebih menarik karena ditambah fitur-fitur yang memanjakan penggunanya.
Dengan beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa situs
jejaring sosial merupakan layanan berbasis web dimana digunakan untuk
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan pihak lain baik dengan teman,
keluarga, maupun suatu komunitas yang memiliki tujuan sama.
10. Meme (dibaca mim)
Kata meme pertama kali dikenalkan oleh Dawkins melalaui bukunya
The Selfish Gene pada tahun 1976. Istilah meme berasal dari Yunani ‘mimeme’
(sesuatu yang menyerupai/menirukan), dan terdengar serupa dengan gen
(gene). Dawkins memakai istilah ini untuk mendefinisikan lahirnya budaya
dengan anggapan terjadinya merupakan bentukan dari banyak replikator.
Hipotesisnya adalah manusia seharusnya melihat kelahiran budaya berasal dari
banyaknya bentukan replikator, yang umumnya mereplikasi melalui hubungan
dengan manusia, yang telah berevolusi sebagai peniru (walaupun tidak
sempurna) informasi maupun perilaku yang efisien. Meme tidak selalu terkopi
secara sempurna, bahkan dapat hilang, tercampur atau bahkan berubah
dikarenakan pengaruh ide lainnya, sehingga menjadikan suatu meme yang
baru. Meme tersebut dapat menjadi lebih baik atau bahkan buruk sebagai
replikator dibandingkan dengan meme sebelumnya.
Teori meme menjelaskan bahwa meme berkembang dengan cara seleksi
alam (mirip dengan prinsip evolusi biologi yang dijelaskan oleh penganut
32
Darwinian) melalui proses variasi, mutasi, kompetisi, dan warisan budaya
yang mana memengaruhi kesuksesan reproduksi di setiap individu. Maka
dengan demikian meme menyebar berupa ide dan bila tidak berhasil dia akan
mati, sedangkan yang lain akan bertahan, menyebar, dan (untuk tujuan yang
lebih baik bahkan lebih buruk) akan bermutasi. ‘Ilmuwan memetika
mempunyai pendapat bahwa meme yang mempunyai ketahanan terbaik akan
menyebar dengan efektif dan memengaruhisi objek (suatu individu)’
(https://id.wikipedia.org/wiki/Mimema,diakses 10 Oktober 2015, jam 09.00
WIB).
Kata yang dibaca meme ‘mim’ ini adalah sebuah fenomena internet
atau dunia maya yang masih terus berkembang. Tujuan meme sendiri
sebenarnya beragam namun lebih dominan untuk menghibur. Meme bisa
dikatakan sebagai sebuah seni modern dari dunia maya yang hanya dimainkan
melalui media elektronik. Ada beberapa meme yang dapat dimainkan secara
materi dunia nyata, namun meme akan mudah dipahami ketika ditampilkan di
media sosial (sketsanews.com/549753/pemerintah-memonitor-aktivitas-siber-
jangan-buat-meme-lecehkan-jokowi/, diakses 10 Oktober 2015, jam 09.15
WIB).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa meme adalah
fenomena komedi foto yang usianya tergolong masih sangat baru. Para
pembuat meme ini biasanya akan mengambil gambar atau foto dari internet
lalu melengkapinya dengan teks, atau dengan mengurangi dan menambahkan
elemen gambar melalui proses olah digital sederhana, tergantung kesesuaian
33
konteks informasi apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Setelah
proses penciptaan selesai, meme foto atau gambar akan disebar dan menyebar
melalui layanan share, retweet, atau repost di situs jejaring sosial.
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan) cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang
ditentukan (Fatimah Djajasudarma, 1993: 1). Metode penelitian merupakan
alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian atau
dalam mengumpulkan data.
Dalam metode penelitian ini akan dijelaskan mengenai 7 hal yaitu: (1)
sifat penelitian, (2) data dan sumber data, (3) alat penelitian, (4) populasi dan
sampel, (5) teknik pengumpulan dan klasifikasi data, (6) teknik analisis data,
dan (7) teknik penyajian analisis data.
1. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu penyajian data
berdasarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan pada
fakta-fakta yang ada (Nawawi dan Martini, 1996: 74). Dalam penelitian
kualitatif ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata. Penelitian ini berusaha
untuk mendeskripsikan data-data dan analisis kebahasaan terutama mengenai
tuturan-tuturan sebagaimana adanya, sehingga menghasilkan analisis yang
objektif.
34
2. Data dan Sumber Data
2.1 Data
Data merupakan fenomena lingual khusus yang mengandung dan
berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 5).
Subroto berpendapat bahwa data adalah semua informasi atau bahan yang
disediakan oleh alam (dalam arti luas), yang harus dicari atau dikumpulkan
dan dipilih oleh peneliti (1992: 34). Jadi, data adalah semua hal (makhluk
hidup atau bukan makhluk hidup) yang dapat dijadikan objek pengamatan atau
penelitian oleh peneliti.
Wujud data dalam penelitian ini adalah berupa tuturan satuan lingual
yang berwujud kata, frasa, dan kalimat. Data yang dikumpulkan untuk
penelitian ini adalah kalimat yang mengandung tuturan ekspresif dan tuturan
yang menyimpang dari prinsip kesantunan Jawa yang terdapat dalam meme
berbahasa Jawa di situs jejaring sosial.
2.2 Sumber Data
Sumber data merupakan asal-muasal data diperoleh. Dari sumber data
itu peneliti dapat memperoleh data yang dimaksud dan yang diinginkan
(Rahardi, 2005: 13). Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari situs jejaring sosial seperti Facebook, BBM, Path, Bee Talk, We Chat,
Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan Twitter tahun 2015. Dipilihnya
situs jejaring sosial dikarenakan pengguna situs jejaring sosial saat ini banyak
menggunakan bahasa-bahasa yang menyimpang dari kaidah kebahasaan yang
kemudian menjadi bahasa sehari-sehari mereka.
35
3. Alat penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama
karena alat tersebut yang paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat
bantu berguna untuk memperlancar jalannnya penelitian. Alat utama dalam
penelitan ini adalah peneliti sendiri, sedangkan alat bantunya meliputi media
elektronik (handphone dan laptop) yang terkoneksi dengan internet, falshdisk,
alat tulis, buku catatan dan alat lain yang dapat membantu jalannnya
penelitian. Peneliti merupakan orang mencari semua hal (baik manusia atau
bukan) yang menjadi sasaran dalam penelitian ini.
4. Populasi dan Sampel
4.1 Populasi
Populasi merupakan objek penelitian, dan populasi adalah keseluruhan
individu (baik manusia atau bukan) dari segi-segi tertentu yang diteliti
(Subroto, 1992: 32). Populasi dalam penelitian ini berupa keseluruhan tuturan
bahasa Jawa baik itu murni maupun campur kode yang mengandung tindak
tutur ekspresif dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial yang
terdapat di sumber data.
4.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian
langsung (Subroto, 1992: 32). Sampel hendaknya mampu mewakili atau
dianggap mewakili populasi secara keseluruhan. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan
sampel secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan
penelitian berdasarkan data yang ada (Subroto, 1985: 28). Sampel penelitian
36
ini adalah sebagian tuturan yang mengandung tindak tutur ekspresif meme
berbahasa Jawa di situs jejaring sosial seperti Facebook, BBM, Path, Bee Talk,
We Chat, Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan Twitter yang mewakili
populasi.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitan ini adalah metode simak
dan metode catat. Metode simak yaitu metode pengumpulan data dengan
menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Metode simak dalam
penelitian ini dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa yang
mengandung tindak tutur ekspresif dalam meme tersebut. Selanjutnya teknik
yang digunakan adalah teknik catat. Teknik catat merupakan teknik dengan
menggunakan alat tertentu. Data yang telah didapat oleh peneliti dapat
berbentuk file lalu didownload, dicrop, atau bahkan langsung diambil dari para
pengguna situs jejaring sosial karena biasanya meme berbahasa Jawa akan
disebar dan menyebar melalui layanan share, retweet, atau repost di situs
jejaring sosial. Setelah data didapat kemudian dikumpulkan menjadi satu.
6. Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
adalah metode agih, metode padan, dan metode kontekstual. Metode agih
adalah metode analisis data yang alat penentunya adalah bagian dari bahasa
yang bersangkutan itu sendiri. Adapun teknik dasar dari metode agih dalam
penelitian ini adalah teknik bagi unsur langsung (BUL) dan teknik lanjutannya
37
adalah teknik ganti (substitusi). Teknik BUL merupakan teknik dengan cara
membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur, dan
unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung
membentuk satuan lingual yang di maksud (Sudaryanto, 1993: 31), teknik
ganti (substitusi) dilakukan dengan menggantikan unsur tertentu satuan lingual
yang bersangkutan dengan ‘unsur’ tertentu yang lain di luar satuan lingual
yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 37). Kegunaan teknik ganti yaitu
mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti dengan unsur
pengganti khususnya bila tataran pengganti sama dengan tataran terganti.
Penggunaan metode agih dengan teknik BUL serta teknik lanjutan ganti
(substitusi) dalam penelitian ini untuk menganalisis penanda wujud satuan
lingual tindak tutur ekspresif pada meme berbahasa Jawa di situs jejaring
sosial.
Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di
luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan
(Sudaryanto,1993: 13). Subjenis metode padan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra wicara
(Sudaryanto, 1993:15). Dalam metode padan ini digunakan teknik dasar dan
teknik lanjutan. Adapun teknik dasarnya adalah teknik pilah unsur penentu
(PUP) yang menggunakan alat berupa daya pilah yang bersifat mental yang
dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993: 21). Teknik lanjutannya berupa
teknik hubung banding (HB) piranti bagi alatnya berupa daya banding yang
bersifat mental.
38
Metode kontekstual ialah metode analisis yang diterapkan pada data
dengan mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan konteks (Rahardi,
2005: 16). Perlu ditegaskan bahwa lingkungan fisik tuturan disebut co-text
(koteks), sedangkan lingkungan sosial tutur disebut context (konteks). Konteks
adalah segala latar belakang pengetahuan yang pahami bersama oleh penutur
(P) dan mitra tutur (MT) (Wijana, 1996: 11). Metode padan dan metode
kontekstual dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis jenis tindak
tutur ekspresif dan penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa yang
terdapat dalam meme berbahasa Jawa dalam situs jejaring sosial. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang penggunaan metode-metode tersebut, maka
diterapkan pada contoh tuturan dalam meme berbahasa Jawa dalam situs
jejaring sosial.
Data (A/12, B/1)
Tuturan di atas tertulis Panase koyo ndelok bojone minggat karo
gendakane!. Penulisan yang tepat adalah Panase kaya ndelok bojone minggat
karo gendhakane! ‘Panasnya seperti melihat suamiku pergi dengan pacar
gelapnya’. Aplikasi teknik ganti pada kalimat panase kaya ndelok bojone
minggat karo gendhakane! yakni dengan mengganti kelas kata yang sama
dengan kata gendhakane misalnya dengan kata dhemenane sehingga tuturan
menjadi panase kaya ndelok bojone minggat karo dhemenane, secara
39
gramatikal tuturan ini masih bisa diterima dan terkesan lebih halus dalam
penyampaiannya. Peran konteks dari tuturan panase kaya ndelok bojone
minggat karo dhemenane mempengaruhi maksud yang disampaikan kepada
MT.
Jenis tuturan tersebut termasuk dalam tindak tutur ekspresif mengeluh.
Sebagai penanda lingualnya berupa kata panase ‘panasnya’ yang bermaksud
mengeluhkan panas/cuaca yang diibaratkan seperti melihat orang yang dicintai
selingkuh dengan pacar gelapnya sehingga menimbulkan rasa panas. Kata
gendhakane! berfungsi sebagai penyeru, penekan, atau penegas pada tuturan
tersebut bahwa bermaksud jengkel dengan kondisi yang sedang terjadi dengan
maksud mengeluhkan cuacanya yang begitu panas.
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan Jawa terjadi dalam tuturan
melanggar prinsip andhap asor, karena P sangat bertentangan dengan sikap
merendahkan diri. Kata gendhakan oleh masyarakat Jawa diinterpretasikan
memiliki konotasi negatif, kata gendhakan berasal dari masyarakat Jawa
Timur yang mempunyai arti perempuan simpanan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa penyimpangan data diatas terdapat
penyimpangan terhadap prinsip andhap asor dikarenakan P tidak
mengindahkan aturan main prinsip andhap asor, yaitu P tidak memilih tingkat
bahasa sedemikian rupa sehingga si penutur merasa bahwa ia dipuji (secara
maksimal).
40
7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode ini menggunakan metode formal dan metode informal. Metode
penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun
dengan terminology yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145), sedangkan
penyajian formal adalah perumusan dengan menggunakan tanda dan lambang-
lambang (Sudaryanto, 1993: 144-145).
Hasil penelitian data berupa kaidah-kaidah yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Kaidah yang ditemukan disajikan dalam bentuk rumusan
yang disertai dengan contoh-contoh bentuk tindak tutur meme berbahasa Jawa
dalam situs jejaring sosial. Dengan demikian, dapat mempermudah
pemahaman terhadap hasil-hasil penelitian yang ditemukan.
Teknik informal, perumusan dengan bentuk uraian berupa kalimat-
kalimat yang diikuti pemerian secara terperinci. Hasil analisis data berupa
tuturan-tuturan. Teknik formal diuraikan dengan perumusan tanda, seperti
tanda hubung (-), tanda kurung ( ), tanda titik (.), tanda koma (,), serta tanda
garis miring (/). Adapun lambang yang dimaksudkan diantaranya lambang
huruf sebagai singkatan misalnya Penutur (P) dan Mitra Tutur (MT).
H. Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian laporan hasil penelitian terdiri dari 3 bab yang
masing-masing terdiri dari:
BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori,
metode penelitian dan sistematika penyajian.
41
BAB II Hasil Analisis Data dan Pembahasan. Pada bab ini merupakan
hasil analisis dari permasalahan yang dibahas dalam penelitian, yaitu meliputi
wujud tindak tutur ekspresif dan bentuk penyimpangan terhadap prinsip
kesantunan Jawa dalam MBJDS.
BAB III Penutup, yang berisi simpulan hasil penelitian dan saran.