1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kemajuan teknologi penginderaan jauh mampu menyediakan citra
penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial, resolusi spektral dan resolusi
temporal yang cukup tinggi. Hal ini tentu saja sangat membantu pelaksanaan aplikasi
citra penginderaan jauh dalam hal pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan
dengan lebih efisien dibandingkan pemetaan secara konvensional. Pada sistem sensor
satelit penginderaan jauh, resolusi spasial dan resolusi spektral citra merupakan hal
yang saling bertolak belakang. Beberapa satelit pengideraan jauh mampu
memberikan citra dengan informasi multispektral yang dapat membedakan fitur
secara spektral tetapi tidak secara spasial, begitu pula sebaliknya.
Keterbatasan pada penyediaan citra multispektral beresolusi tinggi ini
menyebabkan diperlukannya solusi untuk menghasilkan citra multispektral yang
kaya akan informasi spasial maupun informasi warna (spektral). Fusi citra atau pan-
sharpening adalah salah satu teknik yang tepat untuk menggabungkan detil geometri
(spasial) dan detil warna (spektral) pada pasangan citra awal sehingga didapatkan
citra multispektral baru dengan informasi spasial dan spektral setajam mungkin.
Proses fusi citra pada bidang penginderaan jauh bertujuan mempermudah langkah
analisis yang memerlukan ekstraksi obyek citra secara detail, antara lain pada metode
klasifikasi untuk analisis pemetaan penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan
(land cover). Dengan kenampakan resolusi spasial yang lebih baik berdasarkan fusi
citra, proses klasifikasi diharapkan dapat menjadi lebih terbantu dalam interpretasi
visual dan mengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas sesuai dengan
kenampakan objek di lapangan yang ada pada daerah penelitian. Meningkatnya
kemampuan interpretasi visual dan pengklasan objek menghasilkan akurasi
klasifikasi yang lebih baik dibandingkan jika menggunakan salah satu data saja.
Harus dipahami bahwa penggabungan citra dilakukan pada tingkat resolusi spasial
dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan.
2
Citra yang digunakan pada penelitian ini yaitu Landsat 7 ETM+ Multispektral
(Band 1, Band 2, Band 3, Band 4, Band 5, dan Band 7) dengan Landsat 7 ETM+
Pankromatik (Band 8). Resolusi spasial untuk masing-masing citra yaitu 30 meter
dan 15 meter. Terdapat tiga macam teknik yang digunakan untuk fusi citra yaitu:
penggantian intensitas (melalui transformasi RGB-HIS), transformasi Brovey, HSV,
PCA, dan CN Spectral Sharpening. Dalam tugas akhir ini hanya akan membahas
proses fusi citra pada tingkat piksel dan metode yang digunakan adalah transformasi
Brovey. Citra yang dihasilkan dari proses fusi kemudian akan dijadikan sebagai citra
masukan untuk klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan (LU/LC) dengan
metode maximum likelihood.
I.2. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah disampaikan pada latar belakang di atas, permasalahan
yang muncul diantaranya:
1. Bagaimana hasil citra fusi dengan menggunakan transformasi Brovey
secara visual (resolusi spektral dan resolusi radiometrik) maupun
geometriknya (resolusi spasial) ?
2. Dari hasil fusi citra tersebut, bagaimanakah akurasi hasil klasifikasi
penggunaan lahan dan penutup lahannya?
I.3. Tujuan Penelitian
1. Visualisasi citra hasil metode fusi citra (pan-sharpening) transformasi Brovey
pada menggunakan data citra Landsat 7 ETM+ Multispektral dan citra
Landsat 7 ETM+ Pankromatik.
2. Menghitung dan menganalisis akurasi hasil klasifikasi terkontrol (supervised
classification) penggunaan lahan dan penutup lahan (land use/land cover)
dengan masukan datanya adalah hasil fusi citra multisensor Landsat 7 ETM+
Multispektral dan citra Landsat 7 ETM+ Pankromatik.
3
I.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang akan diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain:
1. Mengeksplorasi kemampuan citra multispektral dengan resolusi (spasial)
sedang/menengah dan rendah agar menjadi citra yang handal dan efektif
untuk digunakan dalam berbagai keperluan pemetaan dan perencaan secara
detil dan teliti.
2. Mengekstraksi kemampuan spasial dari citra pankromatik yang tidak
mempunyai keberagaman warna dalam tampilan visualnya, untuk
digabungkan dengan citra multispektral yang handal dalam resolusi spektral
dan keberagaman kanal warnanya.
3. Memberikan gambaran akan manfaat teknik fusi citra satelit berupa
peningkatan informasi spasial dan informasi warna (spektral) pada citra
hasil fusi.
4. Memberikan alternatif untuk menghasilkan sebuah klasifikasi penggunaan
lahan dengan tingkat akurasi yang lebih baik dengan data citra resolusi
sedang atau menengah yang ekonomis dan mudah didapatkan.
I.5. Batasan Masalah
1. Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+
Multispektral dan citra Landsat 7 ETM+ Pankromatik pada epoch yang
sama yaitu 19 Oktober 2012.
2. Proses rektifikasi citra Landsat 7 ETM+ Pankromatik dilakukan dengan
transformasi koordinat dikarenakan pada saat mengunduh, citra Landsat 7
ETM+ yang digunakan sebagai citra utama dalam penelitian telah memiliki
koordinat tanah terproyeksi sentral (orthorektifikasi) namun pada
pengaturan zona lokasi mengalami kesalahan.
3. Daerah penelitian berada pada koordinat 346802,5700 E; 9158191,9000N
(top left) hingga 369128,4382 E; 9135926,0476 N (bottom right).
4. Metode fusi citra yang digunakan adalah metode fusi transformasi Brovey.
5. Klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan menggunakan metode
Supervised Classification : Maximum Likelihood.
4
I.6. Tinjauan Pustaka
Makarau, dkk (2010) menyajikan pendekatan fusi untuk citra resolusi sangat
tinggi menggunakan data SAR dan fusi data multispektral untuk klasifikasi otomatis
di daerah perkotaan. Data multispektral terintegrasi dengan menggunakan kerangka
INFOFUSE yang terdiri dari ekstraksi fitur, pengelompokan kelas tidak terbimbing
(unsupervised clustering), dan agregasi data (Bayesian atau jaringan saraf). Fusi data
TerraSAR-X, WorldView-2 (hanya VNIR saja ataupun dataset lengkap), dan Model
Permukaan Digital (DSM) memungkinkan berbagai jenis objek perkotaan
diklasifikasikan ke dalam kelas yang telah ditentukan dengan tujuan peningkatan
akurasi klasifikasi. Akurasi klasifikasi terbaik dihasilkan oleh metode Infofuse dan
jaringan saraf dalam kombinasi data multispektral dan data model permukaan digital
(DSM). Fusi data multisensor menggunakan Infofuse dan jaringan saraf
(OVA=90,1092, Kappa=0,8907) menmberikan akurasi yang lebih tinggi
dibandingkan hasil fusi dan klasifikasi dengan menggunakan metode jaringan saraf
saja (OVA=87,0697, Kappa=0,8566). TerraSAR-X dan DSM menghasilkan overall
accuracy sebesar 90 % dengan pendekatan persamaan Kappa sebesar 0,89 dan
menghasilkan 23 kelas objek material.
Sitanggang (2001) memperoleh hasil bahwa untuk identifikasi objek-objek
penutup lahan citra pansharpening HSV AVNIR-2 komposit 321 dan PRISM adalah
yang terbaik dibandingkan metode Brovey (Color Normalized), Gram-Schmidth, dan
PC Spectral Sharpening.
Penulis (2013) dalam penelitian ini menggunakan data yang berasal dari sensor
yang sama yaitu Landsat 7 ETM+ yang mempunyai citra multispektral dan citra
pankromatik.. Kedua data tersebut digunakan sebagai masukan untuk dilakukan fusi
atau pan-sharpening dengan menggunakan metode Brovey. Dari hasil fusi tersebut
kemudian dilakukan klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan dengan metode
Maximum Likelihood dan dilakukan uji lapangan, untuk kemudian hasilnya
dibandingkan dengan klasifikasi citra Landsat multispektral original (tanpa fusi).
Pemilihan data ini dikarenakan penulis ini menampilkan bahwa data yang ekonomis
dan mudah didapat namun mempunyai resolusi yang tidak terlalu baik dapat
dieksplorasi kemampuannya dengan teknik penginderaan jauh.
5
I.7. Dasar Teori
I.7.1 Citra Landsat
Landsat 1 adalah satelit pengamatan Bumi pertama kali di dunia (EOS), yang
diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1972. Satelit ini memiliki kemampuan
untuk mengamati Bumi jauh dari ruang angkasa, dan merupakan salah satu perangkat
terbaik dalam penginderaan jauh. Setelah Landsat 1, Landsat 2, 3, 4, 5, dan 7
diluncurkan, Landsat 7 saat ini dioperasikan sebagai satelit utama.
Gambar I.1. Satelit Landsat 7 (sumber: http://science.nasa.gov)
Landsat 5 dilengkapi dengan multispectral scanner (MSS) dan thematic mapper
(TM). MSS adalah sensor optik yang didesain untuk mengamati radiasi matahari yang
dipantulkan dari permukaan Bumi dalam empat band spektral yang berbeda, dengan
menggunakan kombinasi dari sistem optik dan sensor. TM adalah peralatan observasi
canggih yang digunakan dalam MSS. Peralatan ini mengamati permukaan Bumi di
tujuh band spektral yang berkisar dari sinar tampak hingga inframerah termal.
Landsat 7 telah berhasil diluncurkan dari Pangkalan Angkatan Udara Vandenburg
pada tanggal 15 April 1999. Satelit ini dilengkapi dengan instrumen Enhanced
Thematic Mapper Plus (ETM+), penerus TM. Jumlah band dari Landsat 7 sama
6
dengan Landsat 5 sebanyak tujuh band, tetapi pada Landsat 7 ditambahkan band 8
yaitu band pankromatik dengan resolusi 15 m.
Data Landsat telah digunakan oleh pemerintah, masyarakat komersial, industri,
sipil, dan pendidikan di seluruh dunia. Data tersebut mendukung berbagai berbagai
aplikasi dalam bidang-bidang seperti penelitian perubahan iklim global, pertanian,
kehutanan, geologi, manajemen sumberdaya, geografi, pemetaan, hidrologi, dan
oseanografi. Citra Landsat dapat digunakan dalam pemetaan perubahan antropogenik
dan ilmiah di Bumi selama periode beberapa bulan sampai dua dekade. Jenis
perubahan yang dapat diidentifikasi meliputi pembangunan pertanian, penggundulan
hutan, bencana alam, urbanisasi, dan pengembangan dan degradasi sumber daya air).
Spesifikasi satelit dan karakteristik band citra Landsat 7 disajikan pada Tabel I.1 dan
I.2.
Tabel I.1. Spesifikasi Satelit Landsat 7
Tanggal diluncurkan 15 April 1999, di Pangkalan Angkatan Udara
Vandenberg, California
Resolusi Spasial
30 meter
Orbit
705 +/- 5 km (di atas khatulistiwa) sun-synchronous
Kecondongan Orbit
98,2 +/- 0,15
Periode Orbit
98,9 menit
Resolusi Temporal
16 hari (233 orbit)
Resolusi
15 hingga 90 meter
Tabel I.2. Karaktristik Band Citra Landsat 7
Band Rentang Spektral
(µ)
Resolusi
Spasial (m)
Keterangan
1 0,450 – 0,515
(Blue - Green)
30 Didesain untuk menembus badan
air, membedakan tanah, vegetasi,
dan memetakan tipe hutan
2 0,525 – 0,605
(Green)
30 Cocok untuk mengukur nilai
reflektan hijau tertinggi pada
vegetasi. Direkomendasikan untuk
membedakan vegetasi dan figur
tanaman
7
Band Rentang Spektral
(µ)
Resolusi
Spasial (m)
Keterangan
3 0,630 – 0,690
(Red)
30 Band ini dioperasikan untuk
mengukur daerah absorpsi klorofil.
Baik untuk mendeteksi jalan, tanah
kosong, dan tipe vegetasi
4 0,775 – 0,900
(NIR)
30 Band ini digunakan untuk
mengestimasi biomassa. Walaupun
band ini bisa memisahkan badan
air dari vegetasi dan membedakan
kelembaban tanah, tetapi tidak
efektif untuk identifikasi jalan pada
TM3
5 1,550 – 1,750
(Medium Infrared)
30 Band 5 dipertimbangkan sebagai
band tunggal terbaik dari semua
banda. Band ini bisa membedakan
jalan, tanah kosong, dan air. Band
ini juga mendukung kontras yang
baik dalam membedakan tipe
vegetasi dan paling baik dalam
menembus kabut dan atmosfir
6 10,50 – 12,50
(Thermal Infrared)
60 Band ini merespon radiasi termal
yang erat hubungannya dengan
kelembaban tanah dan tempertatur
vegetasi baik untuk mengukur
stress tanaman akibat panas dan
pemetaan termal
7 2,090 – 2,35
(Medium Infrared)
30 Band ini baik dalam membedakan
tipe batuan dan mineral serta untuk
interpretasi tutupan vegetasi dan
kelembaban tanah
8 0,520 – 0,900
(Pankromatik)
15 Band ini diperuntukkan untuk
mempertinggi resolusi dan
kemampuan meningkatkan deteksi.
Sumber: http://satelit-inderaja.blogspot.com, diakses pada 12 Januari 2013
Landsat 7 diproses beberapa tingkatan citra, yaitu (Sumber: www.nasa.gov):
1. Level 0R
Hasil perekaman sensor Landsat 7 masih dalam format .raw atau mentah
sehingga belum mengalami koreksi geometrik dan radiometrik
Level 1R
Hasil perekaman sensor telah terproses radiometrik sedang aspek
geometriknya masih sama dengan level 0R.
(lanjutan) Tabel I.2. Karakteristik Band Citra Landsat
7
8
2. Level 1G
Merupakan produk 0R yang telah terkoreksi aspek radiometrik dan
geometrik. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra
satelit landsat 7 pada level 1G sehingga tahapan koreksi radiometrik tidak
lagi dilakukan pada proses pre-processing. Sedangkan untuk koreksi
geometrik masih tetap dilakukan dikarenakan pengaturan datum dan
proyeksi yang ditetapkan dari situs sumber (NASA) masih belum sesuai
dengan datum dan proyeksi yang benar pada lokasi penelitian.
I.7.2 Koreksi Geometrik
Data penginderaan jauh biasanya mengandung kesalahan sistematik dan non
sistematik. Kesalahan ini dapat dikategorikan ke dalam dua kelas, yaitu:
1. Kesalahan yang dapat dikoreksi dengan data yang didapat dari nilai epemeris
wahana.
2. Kesalahan yang tidak dapat dikoreksi tanpa adanya data Ground Control
Point (GCP). GCP adalah titik-titik di permukaan Bumi yang untuk
mengidentifikasikan koordinat citra (dalam baris dan kolom) dan koordinat
peta (dalam derajat, lintang, bujur, meter, dll).
Koreksi geometrik dilaksanakan dengan maksud agar citra memiliki skala yang
benar dan seragam dalam suatu sistem proyeksi tertentu. Kegiatan yang dilakukan
untuk menghasilkan citra yang terkoreksi geometrik memerlukan tahapan-tahapan
sebagai berikut:
a. Transformasi Koordinat
Kesalahan yang telah dipertimbangkan dan bersifat sistematik dikoreksi
dengan menerapkan rumus-rumus yang diturunkan dengan membuat model
matematis dari seumber kesalahan. Selain dapat mengeliminir kesalahan
sistematik, koreksi geometrik juga dapat mengeliminir kesalahan non
sistematik (Lillesand and Kiefer, 2000).
Koreksi menggunakan analisis kesesuaian titik control tanah pada citra
acuan yang telah terkoreksi geometrik dan citra yang masih dalam koordinat
9
citra, memerlukan ketersediaan citra yang teliti dan sesuai dengan liputan
citra. Koreksi distorsi geometrik pada umumnya menggunakan transformasi 2
dimensi dengan persamaan polynomial orde n. Rumus transformasi affine 2D
atau polynomial pada orde satu ditunjukkan pada rumus I.1 dan I.2 di bawah
ini (Jensen, 1996 dalam Harintaka, 2002) :
Ximg = a0 + a1Xmap + a2Ymap ……………………………..…...….…..(I.1)
Yimg = b0 + b1Xmap + b2Ymap……………………………………..….(I.2)
Keterangan:
(X, Y)map = posisi objek pada koordinat referensi (peta)
(X, Y)img = posisi objek pada koordinat citra
a0, a1, a2, b0, b1, b2 = parameter transformasi
Pada transformasi ini diperlukan minimal 5 parameter X dan 5
parameter Y (3 parameter (X, Y) untuk memenuhi jumlah minimal GCP dan
2 titik (X, Y) untuk pengukuran lebih) untuk mengubah posisi geometri citra
sama dengan posisi geometri citra acuan/referensi.
b. Resampling
Resampling citra merupakan suatu proses penentuan kembali nilai piksel
sehubungan dengan koordinat baru setelah transformasi koordinat.
Pelaksanaannya dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem
koordinat ke suatu sistem koordinat lainnya (Purwadhi, 2001).
Ada 3 metode dalam resampling, yaitu interpolasi tetangga terdekat
(nearest neighbor), interpolasi bilinear, dan interpolasi cubic convolution.
Dalam penelitian ini, metode resampling yang digunakan adalah interpolasi
tetangga terdekat (nearest neighbor). Nilai keabuan piksel baru ditentukan
berdasar nilai piksel tetangga yang paling dekat. Metode ini merupakan
metode yang paling sederhana dan mudah karena tidak menyebabkan
perubahan nilai piksel selama proses resampling.
I.7.3 Fusi Citra (Pan-sharpening)
Data citra yang sering dipakai dalam analisis penginderaan jauh antara lain
adalah citra pankromatik (pan) dengan informasi keabu-abuan yang umumnya
memiliki informasi spasial tinggi sehingga dapat membantu melokasikan suatu objek
10
di muka Bumi. Selain itu terdapat pula citra multispektral berwarna dengan saluran
multispektrum (inframerah, cahaya tampak maupun ultraviolet) yang lebih
memberikan informasi warna berdasarkan pantulan dan penyerapan sinar
elektromagnetik oleh objek yang ditangkap oleh sensor. Pada umumnya citra
multispektral yang ada memiliki resolusi rendah, dalam artian memiliki informasi
spasial yang rendah meskipun mampu memberi informasi yang tinggi.
Citra pankromatik dan multispektral ini, terlebih penggabungannya , memiliki
andil yang besar dalam aplikasi penginderaan jauh. Proses penggabungan citra
pankromatik dan citra multispektral ini umum dikenal dengan istilah image fusion
atau pan-sharpening/image sharpening. Fusi citra secara umum diartikan sebagai
teknik untuk mengintegrasikan detail geometri atau spasial dari suatu citra
pankromatik (hitam putih) beresolusi tinggi dengan citra multispektral beresolusi
rendah, dimana dua atau lebih gambar digabungkan menjadi satu gambar dengan
mempertahankan fitur penting dari masing-masing gambar asli.
Tujuan utama fusi citra adalah mengintegrasikan data-data yang didapat dari
berbagai sumber untuk mendapatkan informasi yang jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan informasi yang didapat dari satu sumber saja. Dalam hal ini,
manfaat dari fusi citra meliputi:
1. Memperluas jangkauan operasi.
2. Memperpanjang cakupan spasial dan temporal.
3. Mengurangi ketidakpastian.
4. Meningkatkan kehandalan.
5. Menguatkan kinerja sistem.
6. Kompak dalam penyajian informasi.
Fusi citra sendiri dapat dilakukan dalam beberapa tingkat, yaitu pada tingkat
piksel, tingkat ciri dan pada tingkat pengambilan keputusan. Gambar I.2.
menunjukkan perbedaan dari ketiga tingkat fusi citra:
11
Gambar I.2. Skema fusi data
Fusi citra pada tingkat piksel adalah fusi citra pada tingkat data paling dasar,
yaitu penggabungan parameter fisik dari citra itu sendiri yaitu data piksel-piksel yang
menyusun sebuah citra. Fusi pada tingkat ciri memerlukan ekstraksi cirri dari citra-
citra yang akan digabungkan, misalnya dengan melakukan segementasi terlebih
dahulu kemudian objek-objek yang dihasilkan akan digabungkan. Fusi tingkat cirri
jugadapat disebut fusi informasi. Sementara fusi pada tingkat pengambilan keputusan
adalah metode fusi dimana citra sumber diproses secara terpisah satu dengan yang
lainnya, baru kemudian informasi dari masing-masing citra tersebut digabungkan
untuk mendukung proses pengambilan keputusan/kesimpulan.
Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk fusi citra yaitu Principal
Component Merge, Multiplicative dan Brovey Transform. Principal Commponent
Merge merupakan metode penggabungan dua citra yang memiliki resolusi spasial
yang berbeda dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component
Analysis/PCA). Karson (1982 dalam Putra, 2003) menyatakan bahwa tujuan
dilakukannya analisis komponen utama adalah untuk memperoleh peubah baru
Level
Pixel
Image 1
Image 2
Image 3
Feature
Extraction
Feature
Identification Evaluation Result FUSION
Evaluation Result FUSION
Level
Pixel
Image 1
Image 2
Image 3
Image 1
Image 2
Image 3
Feature
Extraction Evaluation Result FUSION
12
(komponen utama) yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan informasi yang
terkandung pada peubah asal. Multiplicative merupakan suatu teknik fusi yang
digunakan untuk meningkatkan intensitas citra sehingga kenampakan cultural di
permukaan Bumi dipertegas pada citra tersebut. Brovey transform merupakan suatu
teknik fusi yang telah dikembangkan untuk meningkatkan kontras secara visual pada
citra. Oleh sebab itu, metode ini tidak cocok bagi mereka yang ingin
mempertahankan nilai radiometrik asli. Berbeda dengan kedua metode di atas, dalam
metode ini 3 band telah ditentukan terlebih dahulu untuk dimasukkan ke dalam
perhitungan matematis (Zakiah, 2007).
I.7.4 Transformasi Brovey
Transformasi Brovey adalah salah satu cara yang sederhana untuk
mengkombinasikan data dari beberapa sensor, dengan batasnya yaitu hanya tiga
kanal yang dapat disertakan. Transformasi ini melakukan normalisasi terhadap
sebuah citra RGB, kemudian mengalikan hasilnya dengan sebuah data citra yang
beresolusi lebih tinggi untuk meningkatkan komponen intensitas dari citra.
Hal ini dapat dirangkum dalam rumus sebagai berikut (Natsir, 2003) :
R = Band 5/(Band 5 + Band 4 + Band 2) * S1…………………..(I.3)
G = Band 4/(Band 5 + Band 4 + Band 2) * S1…………………..(I.4)
B = Band 2/(Band 5 + Band 4 + Band 2) * S1…………………..(I.5)
Band 2, Band 4, dan Band 5 menunjukkan kanal nomor 2, 4 dan 5 citra
multispektral (Landsat 7 ETM+), S1 menunjukkan citra pankromatik (kanal 8 dari
Landsat 7 ETM+).
Normalisasi warna menggunakan metode transformasi pan-sharpening Brovey
dapat mengaplikasikan teknik penajaman yang menggunakan kombinasi matematis
dari citra multispektral dengan kekayaan warna citra yang tinggi dan citra dengan
resolusi spasial tinggi.
Setiap band di citra multispektral dikalikan dengan rasio dari data resolusi
spasial tinggi yang dibagi dengan jumlah band warna. Fungsi tersebut secara
otomatis me-resampling 3 warna band tersebut ke dalam ukuran pixel resolusi tinggi.
Pilihan resampling yang banyak digunakan antara lain nearest neighbour, bilinear
atau cubic convulution.
13
Hasil citra RGB akan memiliki ukuran pixel dari masukan citra dengan resolusi
spasial tinggi.
I.7.5 Penggunaan Lahan dan Penutup Lahan
Penggunaan lahan dan penutupan lahan memiliki defenisi yang berbeda.
Menurut Lillesand dan Kiefer (2000), istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis
kenampakan yang ada di permukaan Bumi. Sedangkan istilah penggunaan lahan
berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Konecny (2003)
menyatakan bahwa penutupan lahan menggambarkan penampilan fisik dari
permukaan Bumi. Sementara itu, penggunaan lahan diartikan sebagai kategori lahan
yang berhubungan dengan hak penggunaan tanah tersebut secara ekonomi.
Parwati,dkk (2004) menggunakan citra Landsat 7 ETM dengan resolusi spasial
30 x 30 m untuk memetakan penutupan lahan. Klasifikasi penutupan lahan dilakukan
secara digital. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah metode supervised. Langkah
awal adalah membentuk training sample tersebut secara statistik. Dengan bantuan
training sample tersebut dilakukan proses klasifikasi secara digital, dimana objek
dengan nilai statistik terdekat dikelompokkan menjadi kelas sesuai dengan kelas
training sample yang diambil. Jenis penutup lahan yang diidentifikasi dari citra
Landsat dijadikan dasar untuk menginterpretasi jenis penggunaan lahan pada masing-
masing penutupan lahan tersebut. Hasil penetapan jenis penggunaan lahan tersebut
selanjutnya akan digunakan untuk mendeteksi perubahan penggunaan lahan. Proses
interpretasi jenis penutupan lahan didasarkan pada kondisi lapangan yang diperoleh
dari pengecekan lapangan.
I.7.6 Klasifikasi Digital
Klasifikasi ialah menetapkan objek-objek kenampakan atau unit menjadi
kumpulan di dalam suatu sistem pengelompokan yang dilakukan berdasarkan
kandungan isinya. Fungsi utama dari kumpulan yang komplek menjadi kelompok-
kelompok (disebut kelas, kategori) yang dapat diperlikan sebagai unit yang seragam
untuk keperluan khusus. Tahapan klasifikasi adalah mengenali, menentukan letak,
dan melakukan pengelompokan obyek menjadi kelas-kelas tertentu yang didasarkan
pada kesamaan nilai spektral setiap piksel.
14
Pembuatan klasifikasi baku untuk penggunaan lahan bukanlah pekerjaan yang
mudah dan cepat karena banyak memiliki syarat-syarat dan prosedur yang harus
dilakukan dengan benar. Hal ini sesuai dengan standar penelitian Anderson (1976)
yang membuat suatu batas klasifikasi penggunan lahan yang terdiri dari lima unsur
pokok, yaitu:
1. Konfigurasi permukaan topografi.
2. Tumbuhan/vegetasi serta komunitas tumbuhan yang ditentukan di wilayah
tersebut.
3. Pola ukuran dan ladang yang terlihat pada umumnya di wilayah tersebut.
4. Pola pemukiman, kepadatan pemukiman dan lokasi pemukiman.
5. Jaringan jalan atau jaringan transportasi dan kepadatan jaringan jalan yang
ada di wilayah tersebut.
Sutanto (1986) mengutarakan terdapat empat persyaratan untuk klasifikasi
penggunaan lahan, yaitu:
1. Dapat diterapkan untuk daerah luas, jadi tidak bersifat lokal.
2. Dapat diterapkan dengan citra yang dibuat pada musim yang berbeda.
3. Dapat diterapkan bagi citra dan foto udara yang skalanya lebih kecil atau
lebih besar.
4. Memungkinkan penambahan kelas-kelas penggunaan lahan yang baru.
Tujuan prosedur klasifikasi secara digital adalah untuk melakukan kategori
secara otomatik dari semua piksel citra ke dalam kelas dengan suatu tema tertentu.
Secara umum, data multispektral menggunakan bentuk klasifikasi pola spektral data
untuk kategori setiap piksel berbasis numerik. Pengenalan pola spektral (spectral
pattern recognition) merupakan prosedur klasifikasi yang menggunakan informasi
spektral setiap piksel untuk mengenal kelas-kelas obyek secara otomatis.
Suatu klasifikasi penggunaan lahan yang sudah disesuaikan dengan keadaan di
Indonesia, susunan klasifikasi penggunan lahan yang baik menurut Malingreau
adalah sebagai berikut (Malingreau, 1982 dalam Prayudha, 2008) :
1. Kelas-kelas tersebut diberi batasan yang tepat dan keanekaragaman dalam
kelas tersebut seminim mungkin.
2. Pemisahan diantara jenis kategori penggunaan lahan harus tegas.
3. Klasifikasi harus terbuka untuk memungkinkan penambahan kelas-kelas lagi.
15
4. Klasifikasi dibuat menurut suatu penggolongan kelas agar dapat digunakan
pada daerah yang berbeda-beda.
5. Klasifikasi dibuat menyesuaikan terhadap pengumpulan data yang tidak dapat
dilakukan menggunakan foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya.
Pada penelitian ini, algoritma klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan
adalah klasifikasi menurut Malingreau. Penggunaan klasifikasi ini mengingat:
1. Mempunyai batas yang tegas diantara kategori.
2. Mempunyai sifat-sifat yang terbuka sehingga memungkinkan penambahan
kelas-kelas lain bila diperlukan.
3. Penyusunan klasifikasi telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia sesuai
dengan klasifikasi yang lain.
Malingreau membuat klasifikasi penggunaan lahan sekaligus penutup lahan
yang ada di dalamnya. Klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreau dibagi
menjadi empat golongan utama yaitu :
1. Air.
2. Daerah vegetasi.
3. Daerah tak bervegetasi.
4. Pemukiman dan bangunan.
Proses klasifikasi penutup lahan meliputi dua langkah : (1) mengenali objek –
objek penutup lahan (2) pemberian nama-nama piksel untuk diklasifikasi
menggunakan algoritma klasifikasi tertentu. Ada dua pendekatan pemberian nama-
nama piksel ke dalam penutup lahan yaitu klasifikasi terkontrol (supervised
classification) dan klasifikasi tidak terkontrol (unsupervised classification) (Mather,
1999).
I.7.6.1. Klasifikasi Terkontrol (Supervised Classification)
Yaitu proses klasifikasi dengan pemilihan kategori yang diinginkan
dan memilih daerah contoh (training area) untuk setiap kategori penutup lahan.
Klasifikasi ini mengacu pada nilai piksel yang sudah diketahui jenis penutup
lahannya. Berdasarkan pada nilai piksel dari suatu penutup lahan yang
diketahui jenisnya akan dapat diketahui persebaran penutup lahan pada daerah
penelitian.
16
Pada tahap klasifikasi ini setiap piksel pada citra dibandingkan dengan
setiap kategori pada kunci interpretasi numerik, yaitu menentukan nilai piksel
yang tak dikenal dan paling mirip dengan kategori yang sama. Perbandingan ini
dapat dilakukan menggunakan berbagai metode klasifikasi terkontrol,
diantaranya jarak terdekat terhadap nilai rerata (minimum distance), nilai rata-
rata, klasifikasi parallelepiped, klasifikasi maximum likelihood dan klasifikasi
tetangga terdekat (nearest neighbor).
I.7.6.2. Klasifikasi Tidak Terkontrol (Unsupervised Classification)
Klasifikasi tidak terkontrol merupakan klasifikasi yang dilakukan
tanpa menggunakan daerah contoh atau daerah sampel (training area). Dalam
klasifikasi jenis piksel ini dikelompokan berdasar nilai spektralnya. Dasar
pemikiran klasifikasi ini bahwa piksel-piksel untuk satu jenis penutup lahan
akan mengelompok, sedangkan untuk penutup lahan yang berbeda akan
terpisah letaknya. Kelas-kelas yang dihasilkan belum diketahui jenis kelas
spektralnya karena pengelompokaannya tanpa menentukan daerah contoh.
Untuk mengetahui jenis kelas spektralnya ke dalam kategori penutup lahan
maka harus dibandingkan terhadap data acuan atau uji lapangan.
I.7.7 Training Area
Sesudah memilih skema klasifikasi, analisa dilanjutkan dengan memilih suatu
lokasi tertentu di citra yang mempunyai penutup lahan sesuai dengan klas yang
diinginkan. Penentuan area tersebut disebut dengan training area, dimana kegiatan ini
dapat dilakukan dengan bantuan peta, interpretasi foto udara dan sebagainya.
Setelah training area ditentukan batasnya kemudian dilakukan hitungan
statistik terhadap training area tersebut.
1.7.8 Uji Indeks Separabilitas
Dalam klasifikasi terbimbing, dilakukan pengambilan sampel pada tiap nilai
digital yang dikelompokkan berdasarkan klasifikasi tertentu. Sampel ini dijadikan
dasar oleh algoritma untuk dilakukan perhitungan klasifikasi nilai digital. Pada
17
pengambilan sampel perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena hal ini
berpengaruh terhadap akurasi hasil klasifikasi. daripada pemilihan algoritma
klasifikasi itu sendiri. Evaluasi tingkat separabilitas sampel dapat dilakukan melalui
metode pengukuran Transformed Divergen (TD), dan ajarak Jeffries-Matusita (JM).
Nilai yang dihasilkan dari evaluasi tersebut berkisar antara 0 hingga 2. Nilai indeks
lebih dari 1,9 memiliki arti bahwa sampel memiliki separabilitas (keterpisahan) yang
baik. Jika nilai separabilitas kurang dari 1, maka sampel tersebut harus
dikelompokkan menjadi satu kelompok kelas, karena separabilitasnya sangat buruk.
Pengambilan sampel nilai digital atau ROI (Region Of Interest) dilakukan
dengan mengelompokkan nilai-nilai digital sesuai dengan kategorisasi atau
pengklasan objek tertentu yang memiliki sifat hampir sama (homogen). Hal ini
dilakukan sebagai usaha untuk mempertajam interpretasi, yang pada dasarnya unsure
interpretasi terdiri dari 9 unsur, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola
tinggi, bayangan, situs dan asosiasi dan ditambah unsure tambahan yaitu
pengetahuan mengenai daerah yang dikaji (local knowledge) (Sutanto, 1994 dalam
Prayudha, 2008). Pada interpretasi visual, 9 unsur ini memungkinkan untuk
terpenuhi, tetapi untuk interpretasi secara digital yang berbasiskan pada nilai digital
yang mempresentasikan perbedaan warna, 9 unsur tersebut hanya terpenuhi pada
unsur rona/warna saja.
Jarak Jeffries-Matusita (JM) antara sepasang kemungkinan distribusi (kelas
spektral) yang digunakan untuk mengukur jarak rata-rata antara fungsi densitas dua
kelas (Wacker, 1971 dalam Richards, ) adalah:
………………..…………...(I.6)
Keterangan:
, = probabilitas klas sebelumnya (prior)
= posisi distribusi probabilitas kelas spektral
= jarak Jeffries-Matusita
Rata-rata jarak JM berpasangan dapat didefinisikan menjadi
…………………..…………..(I.7)
Dimana M adalah jumlah kelas spektral dan , merupakan probabilitas
klas prior.
18
I.7.9 Metode Klasifikasi
Ada tiga metode klasifikasi digital, yaitu:
a. Klasifikasi jarak minimum rata-rata kelas (minimum distance).
Merupakan salah satu dari metode klasifikasi terkontrol yang paling
sederhana, yaitu dengan cara menentukan nilai rata-rata setiap kelas. Suatu
piksel yang tak dikenal identitasnya dapat dikelaskan dengan cara
menghitung jarak terpendek dari nilai piksel rata-rata yang digunakan
sebagai kategori kelas (Purwadhi, 2001).
Tiap obyek yang sama dalam suatu ruang n dimensi, yang
menggambarkan saluran 1,2,3,…,n pada suatu sistem multispektral, akan
mempunyai nilai ganda pada saluran 1,2,3,..,n. setiap piksel dapat diplot
pada ruang spektral, dan diukur jarak spektralnya terhadap suatu piksel
sampel acuan (yang telah diketahui pasti jenisnya), dengan menggunakan
persamaan I.9 (Danoedoro, 1996) :
…………………………. ………...(I.8)
Keterangan:
n = jumlah saluran
i = saluran tertentu
c = kelas obyek tertentu
Xxyi = nilai berkas data piksel pada posisi x,y saluran i
JSxyc = jarak spektral dari piksel x,y ke rerata kelas c
b. Klasifikasi parallelepiped.
Proses klasifikasi dilakukan dengan memperhitungkan kisaran nilai
digital dari masing – masing rangkaian kategori nilai piksel daerah contoh.
Kisaran nilai digital dari dua saluran dapat digambarkan dalam bentuk
empat persegi panjang. Suatu piksel tak dikenal dapat dikelaskan pada
kategori kelas penutup lahan sesuai dengan wilayah dimana letak atau
posisi piksel tak dikenal tersebut berada.
Menurut Danoedoro (1996), langkah – langkah yang dilakukan dalam
klasifikasi ini adalah:
19
1. Memasukkan sampel berupa nilai kelompok piksel beserta dengan
namanya. Nilai kelompok piksel ini hanya akan dicatat sebagai nilai
rerata beserta dengan simpangan bakunya.
2. Sampel tersebut kemudian ditempatkan pada ruang spektral n
dimensi, dimana n adalah jumlah saluran spektral yang dijadikan
masukan.
3. Memasukkan suatu koefisien pengali p. nilai p ini nantinya akan
dikalikan dengan Sd pada tiap saluran. Nilai p x Sd digunakan sebagai
nilai panjang tiap sisi ang dibangun pada nilai rerata sebagai pusat
kotak.
Proses dimulai dari piksel baris 1 kolom1, sampai baris terakhir
kolom terakhir. Apabila vector piksel yang bersangkutan masuk ke salah
satu kotak sampel, maka piksel ini diklasifikasikan sebagai kelas yang
menandai kotak tersebut. apabila ternyata suatu vector tidak masuk kotak
manapun, maka piksel tersebut adalah sebagai piksel yang tidak
terklasifikasi.
c. Klasifikasi kemiripan maksimum (maximum likelihood).
Sistem klasifikasi ini pada dasarnya merupakan pengelompokan
piksel berdasarkan nilai pantulannya sesuai dengan daerah contoh yang
dipilih (Purwadhi, 2001). Pada penelitian ini, klasifikasi yang digunakan
adalah klasifikasi terkontrol yang didasari oleh pemasukan contoh nilai
spektral objek.
Pada algoritma klasifikasi kemiripan maksimum, diasumsikan bahwa
probabilitas untuk semua kelas dipandang sama. Pada kenyataannya, tidak
semua kelas dapat diperlakukan pada probabilitas sama untuk
dipresentasikan pada citra. Suatu gugugs sampel yang jauh lebih kecil dari
gugus – gugus sampel yang lain akan mempunyai probabilitas yang lebih
kecil untuk muncul, sehinga perlu adanya factor pembobot untuk masing –
masing kelas yang ada. Gugus sampel yang kecil ini secara logis dapat
diberi bobot yang lebih rendah dibandingkan gugus – gugus yang lain
(Danoedoro, 1996).
20
Metode klasifikasi ini pada dasarnya merupakan pengelompokan
piksel berdasarkan nilai pantulannya sesuai dengan daerah contoh yang
dipilih. Pelaksanaan klasifikasi dimulai dengan asumsi bahwa pikselnya
mengikuti kurva – kurva normal, maka persebaran pola spektralnya dapat
dilukiskan dengan baik yang selanjutnya dihitunh kemungkinan
pengelompokan secara statistik, untuk menentukan kelas penggunaan lahan.
Metode maximum likelihood ini memakai besaran statistik antar band
(matrik kovarian : Vo) yang telah dihitung sebelumnya. Ketentuan yang
dipakai dapat dilihat pada persamaan I.9 :
D = ln (ac)–[0.5 ln (|Covc|)–[0.5(X–Mc)T(Covc
-1)(X–Mc)]…….....(I.9)
Keterangan:
D = jarak yang diberi bobot
C = suatu kelas tertetu
X = vektor piksel yang diklasifikasi
Mc = vektor rerata sampel kelas c
Covc = matriks kovariansi piksel – piksel pada sampel kelas c
Melalui persamaan ini, suatu piksel akan dimasukkan sebagai kelas
c apabila nilai D untuk kelas c adalah yang terendah. Klasifikasi
menggunakan kemiripan maksimum menyangkut beberapa dimensi, maka
pengelompokan obyek dilakukan pada obyek yang mempunyai nilai piksels
ama dan identik pada citra.
I.7.10 Uji Ketelitian Hasil Klasifikasi
Kebutuhan untuk menilai akurasi dari peta yang dihasilkan dari data
penginderaan jauh, telah menjadi universal dan diakui sebagai komponen proyek
yang tidak terpisahkan Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar proyek
membutuhkan tingkat akurasi tertentu yang dicapai untuk proyek dan peta yang
dianggap akan sukses.
Ketelitian klasifikasi adalah ketepatan dan keakuratan peta dalam pendeteksian
dan pengidentifikasian suatu objek. Perhitungan ketelitian klasifikasi peta tutupan
lahan dilakukan dengan menghitung nilai kappa dari matriks konfusi dengan
21
menggunakan data inspeksi lapangan (ground truth) sebagai referensi validasi.
Adapun perancangan matriks konfusi adalah dengan cara membuat tabulasi silang
(crosstab) antara data hasil interpretasi (data peta tutupan lahan) dengan data
sebenarnya (data inspeksi lapangan. Nilai kappa adalah tingkat ketelitian dari suatu
klasifikasi.
Evaluasi dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi, yaitu meliputi analisis
statistik hasil klasifikasi dan uji ketelitian. Menurut teori Short , ketelitian klasifikasi
dari data Landsat dapat diuji menggunakan empat cara, yaitu:
1. Melakukan cek lapangan pada titik-titik tertentu (fields checks at selected
point). Pada metode ini, uji ketelitian dilakukan dengan melihat situasi di
lapangan dan membandingkannya dengan hasil klasifikasi, serta menilai
apakah hasil interpretasi sesuai dengan data yang sebenarnya di lapangan.
2. Estimasi kesesuaian antara Landsat dan oeta acuan atau foto (estimate of
agreement between Landsat and reference maps or photos). Metode ini
dilakukan dengan menumpangtindihkan atau meng-overlay antara Landsat
terkoreksi dengan peta acuan. Tingkat hubungan diantara tema yang sama,
kelas, dan batas kelas diestimasi atau dihitung dengan pengukuran statistik
yang cocok
3. Analisis statistik (statistical analysis). Metode ini dilakukan dengan
menggunakan nilai numeric dalam pengukuran, pengambilan sampel, dan
pemrosesan data. Perhitungan statistik yang berbeda dilakukan pada
pengukuran ketelitian yang diterapkan pada data mentah atau hasil akhir
termasuk dalam tes ini adalah RMSE (Root Mean Square Error), standard
error, analisis varians, koefisien korelasi, analisis regresi linier dan multiple
serta tes kuadrat terkecil.
4. Perhitungan matriks kesalahan (confussion matrix calculation). Metode ini
dilakukan dengan membuat tabel matriks kesalahan (confusion matrix) dan
merupakan metode yang teliti. Jumlah sampel yang benar pada
Matriks kesalahan adalah deretan angka dalam baris dan kolom yang
menyatakan jumlah satuan sampel (misalnya, piksel, kluster piksel atau poligon)
yang ditempatkan pada kategori kelas penggunaan lahan relative terhadap katgori
actual sebagaimana yang diverifikasi di lapangan. Kolom menyajikan data rujukan,
22
sedangkan baris menunjukkan klasifikasi yang dihasilkan dari data penginderaan
jauh.
Kesalahan untuk kelas individu dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Ketelitian hasil klasifikasi =
…………....(I.10)
Ketelitian pemetaan untuk tiap klas X =
....……..…(I.11)
Piksel Xomisi =
......................(I.12)
Kesalahan omisi yaitu sampel kelas tertentu pada data acuan yang terklasifikasi
secara benar yang dibagi kelas yang terletak pada kolom X tetapi tidak terletak pada
diagonal.
Piksel Xkomisi =
...…..…….(I.13)
Kesalahan komisi yaitu sampel kelas penggunaan lahan pada data terklasifikasi
secara benar, yaitu kelas yang terletak pada baris X tetapi tidak terletak pada
diagonal.
Untuk mendapatkan matriks kesalahan, sampel titik dipilih dari peta
penggunaan lahan interpretasi untuk dibandingkan dengan data kebenaran lapangan
dalam rangka menghemat pengecekan setiap titik. Uji ketelitian dilakukan dengan
cara menilai jumlah piksel hasil klasifikasi yang sama dengan data cek lapangan,
kemudian dibandingkan dengan jumlah keseluruhan cek lapangan, hasil ketelitian
diterima jika piksel terklasifikasi memenuhi ketelitian minimal 85 % (Short, 1982
dalam Prayudha, 2008).
I.8. Hipotesis
Berdasarkan studi literatur dan tinjauan pustaka yang telah dilakukan oleh
penulis dalam tahap persiapan penelitian ini, maka diperoleh hipotesis (dugaan
sementara) antara lain:
23
1. Penggabungan antara citra multispektral dan citra pankromatik mendukung
akurasi dalam proses identifikasi obyek dibanding jika menggunakan salah
satu citra saja.
2. Dengan peningkatan kualitas spasial dan spektral yang telah dilakukan,
akan menghasilkan akurasi hasil klasifikasi yang lebih baik yaitu dengan
menunjukkan tingkat kebenaran hasil klasifikasi terhadap kondisi di
lapangan.