1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini kecurangan adalah salah satu kejahatan yang fenomenal di dunia.
Tindak kecurangan ini berkembang pesat ditengah-tengah perkembangan
teknologi dan perekonomian di semua negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Tindak kecurangan telah membudaya baik di kalangan pemerintahan
ataupun perusahaan, bahkan sekarang ini kalangan pemerintah dan pengusaha
bergandengan tangan melakukan tindak kecurangan untuk mendapatkan
keuntungan bersama. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak kecurangan ini telah
melanda semua kalangan. Semua kecurangan ini menyebabkan kerugian yang
begitu besar, hal ini diperkuat dengan temuan Association of Certified Fraud
Examiner atau ACFE (2010) yang membuat laporan statistik atas biaya akibat
fraud sebesar US$ 400 milyar pertahunnya. Kemudian KPMG (2003) dalam
Ardiansyah (2013) mengemukakan bahwa kerugian perusahaan yang disebabkan
financial reportingfraud sebesar US$ 257,9 juta dan jumlah kerugian tersebut
cenderung meningkat setiap periodenya.
Indonesia sendiri saat ini juga menjadi tempat berkembangnya tindak
kecurangan khususnya kasus korupsi. Hal ini diperkuat dengan survei dari
organisasi pengamat korupsi internasional yaitu Transparency international
dalam situsnya www.transparency.org yang menempatkan Indonesia pada ranking
114 dari 177 negara dengan skor 32 dari skor tertinggi yaitu 100, bahkan pada
2
tahun 2013 organisasi ini menyebutkan bahwa kontrol korupsi di Indonesia itu hanya
27%. Hal ini memperlihatkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat
memprihatinkan dan harus segera mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat
agar bisa memulihkan kembali nama baik Indonesia di kalangan dunia.
Sebenarnya perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan
titik terang, hal ini terlihat dari pembentukan panitia yang memiliki wewenang
khusus untuk memberantas korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal tersebut merupakan salah satu wujud nyata dari keseriusan pemerintah untuk
memberantas korupsi. Komisi baru tersebut sudah banyak menorehkan prestasi
beberapa tahun ini dengan berbagai penemuan penyelewengan-penyelewengan besar
yang merugikan negara. Kasus-kasus korupsi yang pernah ditemukan oleh KPK
antara lain yaitu : kasus Bailout Bank Century, makelar kasus “Gayus Tambunan”,
Kasus Suap daging impor, kasus korupsi penggelapan dana pembangunan wisma atlit
Hambalang oleh “Nazarudin” dan yang paling terbaru adalah kasus penggelapan
pajak oleh mantan kepala Direktorat Jendral Pajak Hadi Purnomo. Suhartanto (2012)
mengatakan bahwa keberhasilan KPK tersebut menjadi cambuk bagi beberapa profesi
pemeriksa yang ada pada instansi pemerintah yaitu auditor sektor publik.
Keberhasilan-keberhasilan KPK dalam mengungkap sejumlah kasus besar korupsi
dan tindakan kecurangan tersebut menandakan melemahnya fungsi auditor khususnya
auditor sektor publik. Pernyataan tersebut diperparah dengan adanya kasus-kasus
yang memperlihatkan menurunnya kualitas pemeriksaan auditor sektor publik.
3
Pemerintah selalu berupaya untuk meminimalisir tindak kecurangan yang ada,
hal ini dikarenakan tindak kecurangan tersebut menimbulkan kerugian yang besar
bagi negara. Saat ini selain membentuk komisi khusus pemberantasan korupsi,
pemerintah juga terus berupaya untuk memaksimalkan peran auditor, baik auditor
internal ataupun eksternal. Salah satu upaya yang efektif dan efisien yaitu dengan
memaksimalkan peran auditor internal dalam pencegahan dan pendeteksian
kecurangan. Sifat dari pencegahan dan pendeteksian kecurangan yang lebih proaktif,
lebih mudah dilakukan dan diterapkan daripada tindakan yang bersifat reaktif,
contohnya tindakan investigatif atau forensik untuk kecurangan. Auditor internal
memiliki posisi yang lebih mudah untuk menemukan tindakan kecurangan
dibandingkan dengan auditor eksternal. Hal ini dikarenakan auditor internal tersebut
biasanya melekat dalam sebuah organisasi, bertugas untuk melakukan pengawasan
dan pemberian rekomendasi.
Rafael (2013) menyatakan bahwa, di dalam pemerintahan, pengawasan
terhadap urusan pemerintahan di daerah atau dapat dikatakan sebagai auditor internal
pemerintahan dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sesuai
dengan fungsi dan kewenangannya. Aparat Pengawas Intern Pemerintah sebagaimana
dimaksud adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota,
hal ini seperti yang tertulis di PP Nomor 79 tahun 2005 pada pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2). APIP ini juga memiliki peran untuk memberantas korupsi, kolusi, dan
nepotisme dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan.
4
Saat ini peran APIP yang diharapkan dapat mampu meminimalisir tindak
kecurangan dan mendeteksi lebih dini adanya tindak kecurangan dihadapkan pada
fakta besar penemuan-penemuan tindak korupsi oleh BPK dan KPK. Sederet kasus
yang ditemukan oleh auditor eksternal pemerintah tersebut dan lembaga pemberantas
korupsi tersebut telah memperlihatkan ketidakmampuan auditor internal untuk
mencegah dan mendeteksi adanya tindak kecurangan khususnya korupsi di dalam
instansinya.
Fakta tersebut diperkuat oleh Ardiansyah (2013) yang menyebutkan bahwa
kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini menimbulkan opini negatif
masyarakat menyangkut ketidakmampuan profesi auditor sektor publik dalam
menjalankan tugas khususnya dalam pencegahan dan pendeteksian kecurangan.
Masyarakat menuntut auditor sektor publik untuk menjaga keprofesionalannya dan
tetap menjaga produk-produk audit yang dia hasilkan. Hal ini menyangkut laporan
keuangan yang diaudit oleh auditor sektor publik semata-mata tidak hanya untuk
kepentingan instansi/auditinya tetapi juga terdapat hak-hak dan kepentingan-
kepentingan pihak lain yang lebih penting seperti masyarakat. Pernyataan Ardiansyah
(2013) tersebut juga didukung oleh Amiruddin dan Sundari (2010), yang menyatakan
bahwa saat ini telah terjadi expectation gap antara masyarakat dan auditor.
Masyarakat menginginkan agar dalam pemeriksaanya, auditor senantiasa selalu bisa
menemukan kecurangan yang terjadi dalam laporan keuangan tetapi kenyataan yang
terjadi auditor terkadang tidak mampu menemukan kecurangan tersebut karena
adanya keterbatasan-keterbatasan dalam mendeteksi adanya tindak kecurangan/fraud.
5
Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (2008) bagian
Perencanaan pasal 3022 tentang Ketidakpatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
undangan, Kecurangan dan Ketidakpatutan (Abuse) juga menyatakan:
“Auditor harus merancang auditnya untuk mendeteksi adanya ketidakpatuhanterhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatutan (abuse).Lebih lanjut auditor harus menggunakan pertimbangan profesional untuk mendeteksikemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,kecurangan dan ketidakpatuhan (abuse). Auditor diwajibkan untuk melaporkanindikasi terjadinya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,kecurangan dan ketidakpatuhan (abuse) ini kepada pihak-pihak tertentu sesuai denganperaturan perundang-undangan.”
Standar-standar tersebut menjelaskan begitu besar tanggung jawab auditor
dalam menemukan suatu kecurangan atau fraud, tetapi hal ini begitu bertentangan
dengan fakta-fakta yang terjadi dilapangan, berbagai kasus kegagalan dan
ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi adanya tindak kecurangan membuktikan
bahwa masih lemahnya kepatuhan auditor terhadap standar yang telah ditetapkan.
Rafael (2013) menyatakan bahwa seorang auditor baik internal maupun eksternal
harus memiliki kemampuan untuk mendeteksi fraud yang dapat timbul. Kemampuan
mendeteksi fraud terlihat dari bagaimana auditor tersebut dapat melihat tanda-tanda
atau sinyal yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya fraud yang disebut juga red
flags. Auditor yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi fraud, pasti bisa
mengidentifikasi indikator-indikator kecurangan dalam instansinya yang memerlukan
tindakan pemeriksaan lebih lanjut (investigasi).
Banyak faktor yang menyebabkan ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari sisi internal (dalam diri auditor)
6
maupun sisi eksternal. Karim (2012) menyebutkan bahwa salah satu penyebab
ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan itu
adalah minimnya sikap skeptis yang dimiliki oleh auditor. Hal ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Security and Exchange Commision (SEC) dalam
Hasanah (2010) yang menemukan bahwa urutan ketiga penyebab kegagalan audit
adalah tingkat skeptisisme profesional yang kurang memadai, dan dari 40 kasus audit
yang diteliti oleh SEC, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak
menerapkan tingkat skeptisisme profesional yang memadai.
Sejalan dengan hal tersebut, PCAOB (2007) juga menemukan bahwa
skeptisisme profesional merupakan masalah yang serius pada auditor saat melakukan
investigasi kecurangan, terutama dalam merespon risiko kecurangan sehingga gagal
untuk memenuhi standar. Auditor yang baik seharusnya memiliki skeptisisme
profesional, karena hal ini adalah salah satu tuntutan keahlian yang wajib dimiliki
sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN, 2007) yang
dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pernyataan Standar
Pemeriksaan No. 01 yang menyatakan:
“Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntutauditor untuk melaksanakan skeptisisme profesional”.
Skeptisismeprofesional ini juga terbentuk tak hanya dari diri auditor sendiri,
tetapi juga dari pengalaman dan pelatihan-pelatihan yang didapatkannya. Adanya
tuntutan bagi auditor untuk mampu mendeteksi kecurangan sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam berbagai standar audit, mengharuskan auditor untuk
7
meningkatkan kemampuannya. AICPA (2003) menyarankan bahwa fraud training
dapat membantu auditor dalam meningkatkan kemampuan dalam pertimbangan
kecurangan. Noviyani dan Bandi (2002) juga menyebutkan bahwa seorang auditor
yang telah mendapatkan pelatihan lebih, berpengaruh terhadap perhatian pada
perusahaan yang mengalami kekeliruan. Penelitian yang dilakukan oleh Fullerton dan
Durtschi (2004) juga menyimpulkan hal yang sama, yaitu terdapat perbedaan respon
terhadap tanda-tanda kecurangan sebelum dan setelah fraudawareness training.
Tetapi kesimpulan-kesimpulan tersebut bertolak belakang dengan kesimpulan Karim
(2012) yang menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan antara auditor yang pernah mengikuti pelatihan khususnya
audit investigatif/audit Forensik dengan auditor yang tidak pernah mengikuti
pelatihan audit investigatif/audit forensik.
Sesuai dengan permasalahan yang ada di Indonesia saat ini, yaitu banyaknya
tindak korupsi, menuntut seorang auditor memiliki keahlian khusus. Keahlian-
keahlian khusus tersebut bisa didapat dari sebuah pelatihan-pelatihan khusus salah
satunya adalah pelatihan tentang audit kecurangan. Audit kecurangan dalam Modul
Fraud Auditdari Pusdiklatwas BPKP (2008) diartikan sebagai disiplin ilmu baru guna
untuk mencegah, mendeteksi, dan mengungkapkan tindak kecurangan seperti
penggelapan, salah saji laporan keuangan, kejahatan di berbagai sektor baik swasta
maupun sektor publik dari mark-up biaya sampai dengan penyuapan. Amiruddin dan
Sundari (2010) mengatakan bahwa saat ini auditor sering mengalami kegagalan
dalam mendeteksi kecurangan dikarenakan tidak semua auditor pernah mengalami
8
kasus terjadinya tindak kecurangan ini sehingga pengalaman auditor berkaitan dengan
kecurangan masih minim, dari sinilah sisi pelatihan audit kecurangan sangat
dibutuhkan untuk melatih auditor memahami hal-hal atau gejala-gejala yang
berkaitan dengan adanya tindak kecurangan yang terjadi. Penjelasan tersebut
mengindikasikan bahwa sesuai dengan permasalahan dan fenomena saat ini,
dibutuhkan pelatihan audit kecurangan atau fraud audit bagi auditor. Auditor pasti
akan mendapatkan keahlian-keahlian dan pengalaman baru sesuai dengan
permasalahan yang terjadi di masyarakat sekarang dan pastinya akan meningkatkan
kemampuan auditor dalam melihat ada atau tidaknya indikasi-indikasi kecurangan
dalam instansinya setelah mendapatkan pelatihan tentang audit kecurangan tersebut.
Selain faktor skeptisismeprofesional dan pelatihan fraud audit, sikap
independensi adalah salah satu hal yang penting dalam keberhasilan pendeteksian
kecurangan dan peningkatan kemampuan auditor. Independensi saat ini menjadi
sorotan masyarakat karena banyaknya kasus suap-menyuap auditor menyebabkan
independensi seakan-akan menjadi suatu hal yang lumrah untuk diabaikan (Singgih
dan Bawono, 2010). Sebenarnya dalam hampir semua standar audit, independensi
adalah salah satu sikap yang benar-benar diutamakan dari seorang auditor, hal ini
sudah diungkapkan dalam beberapa standar audit salah satunya adalah dalam standar
SPKN. Dalam standar tersebut disebutkan bahwa independensi adalah sikap bebas
baik dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan
organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya (SPKN, 2007). Hal ini juga
9
sesuai dengan standar auditing yang dikeluarkan oleh IAPI, yaitu Standar Umum
kedua yang berbunyi
“Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalamsikap mental harus dipertahankan oleh auditor” (Mulyadi, 2002).
Ardiansyah (2013) menyebutkan bahwa independensi ini sangat berperan
dalam membantu tugas auditor untuk menemukan dan mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Keberanian auditor melaporkan adanya kesalahan dan kecurangan
pada laporan keuangan tergantung pada independensi auditor. Hal ini diperkuat
dengan penelitian milik Singgih dan Bawono (2010) yang menyimpulkan bahwa
independensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Singgih dan Bawono (2010)
juga menyebutkan bahwa sebuah audit hanya dapat menjadi efektif jika auditor
bersikap independen dan dipercaya untuk lebih cenderung melaporkan pelanggaran
perjanjian antara prinsipal (saham dan kreditur) dan agen (manajer). Hal ini sungguh
berbeda dengan penelitian milik Ardiansyah (2013) yang tidak menemukan pengaruh
antara independensi auditor dengan pendeteksian kecurangan pada laporan keuangan.
Auditor sebagai lembaga pemeriksa atas laporan keuangan saat ini memang
benar-benar menjadi sorotan publik. Pada sektor pemerintahan sendiri auditor itu
terbagi menjadi dua bagian yaitu auditor internal dan auditor eksternal. Auditor
internal dilaksanakan oleh inspektorat sedangkan auditor eksternal dilaksanakan oleh
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Tugas dari inspektorat sebagai auditor internal
adalah menyelenggarakan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang
diberikan kepala daerah. Sedangkan tugas dari BPK adalah mengeluarkan pendapat
atau opini atas kewajaran laporan keuangan yang diperiksa. Dari perbedaan tugas
10
inilah terdapat suatu permasalahan yang timbul yaitu inspektorat sebagai aparat yang
berada di bawah wewenang Kepala Daerah biasanya berada di bawah pengaruh pihak
penentu kebijakan yang menyebabkan dekatnya hubungan interpersonal, baik
hubungan kekerabatan atau relasi kepentingan lain. Hal ini dapat mempengaruhi
independensi aparat inspektorat dalam melakukan fungsi pengawasan.
Objek penelitian ini diambil dari Inspektorat Kabupaten Sleman, hal ini
dikarenakan Inspektorat Kabupaten Sleman ini adalah salah satu Inspektorat teladan
di lingkungan Inspektorat se-Jawa Tengah dan DIY, keberhasilan daerah ini yang
dalam dua tahun terakhir ini sudah bisa mengantongi opini dari BPK Wajar Tanpa
Pengecualian dengan paragraf penjelasan menjadikan percontohan bagi Inspektorat-
inspektorat lain di sekitarnya. Di DI Yogyakarta sendiri, dari empat kabupaten yaitu
Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Sleman, hanya Kabupaten Sleman-lah yang
bisa mendapatkan opini WTP, berbeda dengan kabupaten lain yang masih beropini
Wajar Dengan Pengecualian. (www.inspektoratsleman.go.id). Hal ini bertolak
belakang dengan fakta lain yang terjadi yaitu dibalik semua keberhasilan tersebut ada
suatu kasus yang cukup memberatkan Inspektorat Kabupaten Sleman ini, kasus
terakhir yaitu penyelewengan dana hibah KONI 2010-2011 yang mengakibatkan
kerugian cukup besar. Sangat disayangkan bahwa kasus tersebut ditemukan dan
dilaporkan langsung lewat pengaduan masyarakat ke Pengadilan. Dari kasus ini
terlihat bahwa ada indikasi ketidakmampuan Auditor Inspektorat Kabupaten Sleman
dalam mendeteksi tindak kecurangan, dikarenakan dana hibah tersebut berasal dari
APBD Sleman, dan menjadi salah satu objek pemeriksaan yang seharusnya
11
penggunaan dana tersebut mendapat pengawasan dari Inspektorat Kabupaten Sleman.
Pemilihan Inspektorat Kabupaten Sleman sebagai Objek penelitian juga didasarkan
oleh banyaknya jumlah dari auditor yang dimiliki oleh lembaga ini yaitu 31 orang.
Jumlah auditor sebesar ini seharusnya bisa meminimalisir tindak penyelewengan
yang terjadi di daerahnya tetapi buktinya masih saja ditemukan kasus-kasus
kecurangan selama kurun waktu lima tahun terakhir ini (www.infokorupsi.com).
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Yang pertama
yaitu Ardiansyah (2013) yang meneliti pengaruh kompetensi dan independensi
auditor dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan menyimpulkan bahwa
kompetensi berpengaruh positif dalam pendeteksian kecurangan laporan keuangan
dan yang kedua menyimpulkan bahwa independensi tidak berpengaruh secara
signifikan dalam pendeteksian kecurangan laporan keuangan. Penelitian yang kedua
milik Abdul Karim (2012) yang meneliti tentang pengaruh skeptisisme profesional,
pelatihan audit investigatif/audit forensik dan pengalaman audit terhadap kemampuan
auditor untuk mendeteksi kecurangan hasilnya adalah terdapat perbedaan kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan antara auditor yang memiliki tingkat
skeptisisme profesional yang tinggi dengan auditor yang memiliki tingkat skeptisisme
profesional yang rendah, kesimpulan yang kedua tidak terdapat perbedaan
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan antara auditor yang pernah
mengikuti pelatihan audit investigatif/audit forensik dengan auditor yang tidak pernah
mengikuti pelatihan audit investigatif/audit forensik. Penelitian yang ketiga yaitu
12
milik Fullerton dan Durtschi (2004) yang juga meneliti tentang pengaruh skeptisisme
profesional pada kemampuan mendeteksi kecurangan internal auditor dengan
menggunakan alat analisis ANOVA, menemukan auditor yang memiliki tingkat
profesional skeptisisme lebih besar pada umumnya memiliki keinginan yang lebih
besar untuk meningkatkan pencarian informasi yang berkaitan dengan tanda-tanda
kecurangan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa
terdapat perbedaan respon atas tanda-tanda kecurangan sebelum dan sesudah fraud
awareness training. Penelitian yang terakhir yaitu milik Noviyani dan Bandi (2002),
mereka meneliti tentang pengaruh pengalaman dan pelatihan terhadap struktur
pengetahuan auditor tentang kekeliruan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
pengalaman berpengaruh positif terhadap pengetahuan auditor tentang jenis
kekeliruan serta program pelatihan tidak mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan
auditor tentang jenis-jenis kekeliruan.
Berdasarkan pada perbedaan hasil penelitian-penelitian terdahulu dan masih
jarangnya penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan membuat hal tersebut menarik untuk diteliti, oleh
karena itu akan dilakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Skeptisisme
Profesional, Pelatihan Audit kecurangan, dan Independensi Terhadap
Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Studi di Inspektorat
Kabupaten Sleman)”.
13
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan
dan pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Apakah skeptisisme profesional auditor berpengaruh terhadap kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan?
b. Apakah pelatihan audit kecurangan berpengaruh terhadap kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan?
c. Apakah independensi auditor berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
a. Menguji secara empiris pengaruh skeptisisme auditor terhadap kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan
b. Menguji secara empiris pengaruh pelatihan audit kecurangan terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan
c. Menguji secara empiris pengaruh independensi auditor terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan.
14
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
a. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
pengetahuan di bidang auditing khususnya dalam mempersiapkan calon-calon
auditor yang berkualitas.
b. Bagi praktisi khususnya auditor, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
untuk kepentingan rekrutmen calon auditor internal maupun eksternal dengan
menambahkan beberapa kategori baru dalam penyeleksian calon auditor yaitu
skeptisisme dan independensi.
c. Bagi organisasi yaitu pihak Inspektorat Sleman, sebagai masukan dalam penilaian
kinerja seorang auditor dan peningkatan kualitas dalam penugasan serta
peningkatan kemampuan dalam pencegahan dan pendeteksian tindak kecurangan.
Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
berarti dalam pengembangan ilmu akuntansi, khususnya pada bidang akuntansi
keperilakuan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan
perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan faktor
yang berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
15
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan ini disajikan dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I Bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya
penelitian ini. Bab ini terdiri dari : latar belakang masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II Bab ini menguraikan landasan teori mengenai konsep-konsep yang terkait
dengan fraud, kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, auditor
internal, skeptisisme profesional, independensi, dan pelatihan audit
kecurangan dan juga pengembangan hipotesis.
BAB III Bab ini menjelaskan mengenai metode penelitian yang akan digunakan
dalam penelitian ini, sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Bab
ini terdiri dari : Definisi dan pengukuran variabel, jenis dan sumber data,
metode pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan.
BAB IV Bab ini berisi pembahasan atas hasil pengolahan data dan analisisnya.
BAB V Bab ini menyajikan kesimpulan, keterbatasan, implikasi dan saran bagipenelitian-penelitian selanjutnya.