1
Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Sejak tahun 1970-an, isu tenaga kerja di kota telah menarik
perhatian minat banyak ahli perkotaan. Perhatian terutama ditujukan
untuk melihat keterkaitan antara masalah ketenagakerjaan di kota
dengan migrasi desa-kota (Manning dan Effendi 1991: 21; Rachbini
dan Hamid 1994:12). Terkait dengan hal ini, Todaro dan Stilkind
(1991:34), dalam tulisannya tentang Dilema Urbanisasi, menyatakan
bahwa migrasi desa-kota lebih menekankan keparahan kondisi
kehidupan pedesaan daripada perkembangan ekonomi perkotaan.
Mengingat sebagian besar penduduk memilih untuk tetap menjalani
kehidupan buruk di kota daripada kembali atau tinggal di desa. Karena
itu penduduk miskin semakin menumpuk di wilayah perkotaan sebagai
pusat aktivitas ekonomi dan lainnya.
Permasalahan utama dalam hubungan dengan masalah
ketenagakerjaan di negara-negara sedang berkembang adalah tingginya
tingkat pengangguran dan kurangnya sumber daya manusia yang
diakibatkan oleh minimnya pendidikan masyarakat. Kedua hal ini
merupakan fenomena umum yang silih berganti mewarnai wajah
kehidupan, masyarakat perkotaan yang membutuhkan sentuhan
tangan serta perhatian serius pemerintah maupun lembaga non-
pemerintah, dalam menata kehidupan warga masyarakat di kota
ataupun di wilayah-wilayah pedesaan ke arah yang lebih baik.
Tekanan terhadap kondisi kehidupan pedesaan terkait dengan
berbagai persoalan struktural, antara lain: (1) ketimpangan pola
kepemilikan lahan dan, (2) strategi pembangunan yang urban bias,
mementingkan industrialisasi, dan mengabaikan sektor pertanian
(Rachbini dan Hamid 1994: 17; Todaro dan Stilkind 1991:38). Berbagai
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
2
persoalan mendasar tersebut menjadi salah satu pendorong terjadinya
migrasi desa-kota yang mengakibatkan bertambahnya jumlah
penduduk di kota dengan berbagai persoalan.
Kota merupakan tempat pemukiman yang mempunyai wilayah
besar, memiliki penduduk yang padat, dan mempunyai latar belakang
penduduk dengan bermacam-macam individu. Dengan demikian kota
merupakan pusat kegiatan masyarakat maupun individu untuk
melaksanakan aktivitasnya dengan berbagai kepentingan yang berbeda
dari setiap tujuan yang mau dicapai.
Dari berbagai dinamikanya maka kota mempunyai daya tarik
tersendiri, sehingga menjadi tempat tujuan masyarakat desa untuk
datang dan menikmati kehidupan kota. Kota sering dianggap sebagai
tempat yang sangat menjanjikan untuk mencari mata pekerjaan. Dalam
beberapa hal, permasalahan yang ada menyebabkan perubahan bagi
kebiasaan orang, biasanya kebanyakan warga perkotaan berubah dari
cara hidup yang komunal menjadi individualis. Jika ada kepentingan
masyarakat maka itupun hanya sebatas kepentingan yang akan
menghasilkan sebuah keuntungan material ekonomi. Bagi setiap
individu, inilah yang menjadikan ikatan kelompok kekerabatan dan
hubungan antara warga satu dengan lainnya menjadi lemah. Oleh
karena itu masyarakat kota harus mampu menciptakan dan
mengembangkan usaha-usaha baru untuk memenuhi kebutuhan
material ekonomi setiap keluarga.
Salah satu usaha pada sektor ekonomi yang mudah dijangkau
oleh masyarakat perkotaan yang tidak memerlukan modal besar serta
keahlian khusus adalah dengan menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL).
PKL menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian dari masyarakat
perkotaan di negara-negara sedang berkembang, bahkan dapat
dikatakan merupakan salah satu ciri dan karakteristik dari negara-
negara yang sedang berkembang. PKL dibedakan dari pedagang lain
berdasar jenis peruntukan dan status kepemilikan lokasi usaha mereka,
bukan berdasar kekuatan modal, cara kerja ataupun status legalitas
mereka. PKL akan selalu memilih tempat strategis yang bisa ditempati
untuk berjualan. Di setiap tempat kosong yang menjadi arus lalu lintas
Pendahuluan
3
pejalan kaki maupun pengendara akan menjadi tempat utama
menggelar dagangannya. Barang yang diperdagangkanpun beragam
tergantung dari sifat dan karakter tempat dan aktivitas masyarakat
yang melakukan aktivitas di sekitar jalan1.
Di kota-kota besar, PKL sering dipandang oleh pemerintah
maupun pihak swasta sebagai sektor liar, dan sektor yang mengganggu,
tergolong dalam masyarakat jelata atau semata-mata dianggap sebagai
pekerjaan yang tidak sesuai standar legalitas formal. Mereka sebagai
korban dari langkanya kesempatan kerja yang produktif di kota atau
sebagai suatu pilihan terakhir kesempatan kerja bagi banyak orang agar
terhindar dari predikat pengangguran. Namun demikian sektor
modern berupa manufacturing tidak mampu menyerap angkatan kerja
baik penduduk kota yang semula ada dan ditambah penduduk
pendatang. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup memaksa angkatan
kerja untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal yaitu
PKL.
Perkembangan sektor informal terutama PKL menjadi semakin
menjamur dikarenakan strategi pembangunan yang dilakukan secara
keseluruhan menekankan pada kebijaksanaan pembangunan yang
dipusatkan di perkotaan dan mengabaikan pedesaan. Kegiatan sektor
pertanian di pedesaan akhirnya tidak dapat lagi menampung angkatan
kerja yang terus berkembang, sehingga angkatan kerja yang ada
melakukan migrasi ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan
dari sektor industri di perkotaan. Penambahan angkatan kerja baik
yang berasal dari kota itu sendiri dan ditambah dengan tenaga kerja
yang berasal dari perdesaan (biasanya mereka merupakan tenaga kerja
yang tidak memiliki keahlian khusus) tidak dapat ditampung oleh
sektor industri yang ada. Karena itu PKL merupakan salah satu
alternatif mendapatkan pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki
skill. Mereka bisa berjualan barang kebutuhan sehari-hari, makanan,
atau jasa dengan modal yang relatif kecil, modal sendiri atau modal
orang lain.
1 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/swara-bhumi/article/view/855. Diakses 8
Agustus 2015
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
4
Sebagai realitas perekonomian sektor informal jika dilihat
secara sosiologis, PKL merupakan entitas sosial yang di dalamnya
terdapat pengelompokkan menurut karakteristik tertentu seperti suku,
etnik, bahasa, adat istiadat, asal daerah, jenis kegiatan, dan juga agama
(Soerjono, 2015). Entitas ini memiliki aktivitas yang sama yakni
berdagang pada tempat-tempat yang tidak semestinya dalam tata letak
kota untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Barang dan jenis
dagangan yang berbeda biasanya terkait dengan perbedaan latar
belakang dan karakteristik pelaku PKL2.
PKL merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup
menjanjikan dan diminati oleh masyarakat migran di kota-kota besar.
Mengawali kerja sebagai PKL membutuhkan modal yang tidak terlalu
besar tetapi sangat dibutuhkan kekuatan mental yang tinggi karena
dinamikanya selalu saja penuh tantangan. Selain harus siap bertaruh
tidak laku selama beberapa bulan, juga harus siap menghadapi berbagai
tekanan dari pihak formal seperti birokrasi juga pihak lain seperti
preman. Tekanan dari birokrasi bisa seperti pembayaran retribusi
secara rutin dan juga penertiban, penggusuran atau larangan keras.
Fenomena penertiban PKL di kota-kota besar selalu menjadi peristiwa
harian yang tiada henti. Hampir setiap saat PKL harus bersiap perihal
kejadian-kejadian penertiban tempat lapak berdagang tersebut. Sebagai
profesi sektor informal, maka PKL memang selalu menerima resiko
berat ini.
Terminologi penertiban selalu mengandung pesan penggusuran
PKL dari tempat mereka berjualan. Alasan utamanya adalah untuk
ketertiban sosial dan meminimalisasi ketidaknyamanan aktivitas jalan
raya dari gangguan perdagangan. Sementara gangguan yang dialami
PKL dari luar birokrasi adalah pemerasan preman. Para preman
merupakan sindikasi yang seringkali melakukan aksi pemerasan kepada
hampir semua PKL dengan alasan jasa keamanan. PKL telah
menempati tempat-tempat tertentu yang dianggap sebagai daerah
kekuasaan para preman tersebut. Pada kondisi ini maka PKL berada
2 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/tag/1695/pelaku-sektor-informal. Diakses 8
Agustus 2015
Pendahuluan
5
dalam situasi dilematis yang membuat mereka harus menerima kondisi
tersebut.
Pertumbuhan PKL sangat pesat setelah masa krisis ekonomi
menjadi tidak terkendali. Hal itu dapat menjadi penghalang bagi visi
pemerintah kota untuk mewujudkan ketertiban umum bahkan muncul
fenomena sosial lainnya yang tidak terencana. Berbagai upaya telah
dilakukan, namun tetap saja tidak membuahkan hasil maksimal,
kecuali dilakukan tindakan-tindakan represif dan dari sinilah konflik
muncul dari sudut pandang yang berbeda antara PKL dan pemerintah.
Sampai saat ini konflik PKL di Indonesia terkait penataan
ruang kota maupun kebijakan-kebijakan pemerintah daerah untuk
menertibkan PKL, masih tetap menjadi isu nasional yang belum
terselesaikan secara baik. Munculnya konflik antar PKL dengan
berbagai stakeholder yang berada di sekitar lokasi maupun dengan
pemerintah bukanlah hal baru bagi Indonesia. Di media elektronik
maupun media sosial lainnya sering kita lihat dan dengar mengenai
konflik yang terjadi antar sesama PKL, maupun dengan stakeholder.
Jika kita menyimak secara komprehensip terkait keberadaan PKL dan
konflik yang terjadi, maka pada umumnya konflik yang terjadi adalah
antara PKL dengan pemerintah. Konflik ini selalu saja diwarnai dengan
penggusuran dan kekerasan terhadap PKL dengan alasan penegakan
peraturan daerah ataupun keputusan kepala daerah sebagai bagian dari
kebijakan pemerintah untuk membenahi wajah kota dari
kesemrawutan (Handoyo 2012: 9).
Jika dicermati secara bijak maka persoalan konflik PKL dan
pemerintah di kota-kota besar Indonesia adalah benturan antara
kepentingan pemerintah disatu sisi dan kebutuhan warga kota dalam
menyambung hidup di sisi lain. Bagi masyarakat kota menjadi PKL
adalah sebuah solusi untuk keluar dari kemelut yang namanya
pengangguran dan kemiskinan. Ketika warga berusaha keluar dari
berbagai persoalan pelik yang melilit hidupnya, maka secara tidak
langsung mereka juga telah membantu pemerintah untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi warganya, juga mengurangi jumlah
pengangguran. Karena itu pemerintah harus bijak dalam menyikapi
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
6
masalah PKL tanpa harus melakukan kekerasan ataupun berkonflik
dengan alasan penataan wajah kota terhadap PKL yang seharusnya
dilindungi serta didampingi.
Kebijakan pemerintah daerah untuk melakukan penataan fisik
kota dengan memperindah tampilan wajah kota agar lebih menarik,
dengan ruang publik yang aman dan nyaman sudah sepatutnya
dilakukan oleh pemerintah. Tetapi penggusuran dan tindak kekerasan
yang dilakukan terhadap PKL sebagai implementasi peraturan daerah
adalah hal yang tidak dapat dibenarkan dari segi hukum, kemanusiaan
dan keadilan (Handoyo, 2012: 10). Permasalahan Konflik PKL menjadi
menarik, karena menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah. Di
satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, di sisi lain mereka
menjalankan peran sebagai bayang-bayang ekonomi. Kontribusi PKL
dari sisi ekonomi sangat besar bagi semua kalangan masyarakat, karena
itu keberadaannyapun sangat membantu masyarakat ketika kondisi
ekonomi kurang stabil.
Realita tersebut menimbulkan masalah tersendiri bagi
pemerintah dengan dampak yang kompleks karena pemerintah
diperhadapkan pada situasi dilematis. Pertentangan antara kebutuhan
hidup warga masyarakat dan kepentingan pemerintah akan
berbenturan kuat dan menimbulkan friksi di antara keduanya. Para
PKL yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan
mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan
begitu banyak kendala yang harus dihadapi di antaranya kurangnya
modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah
dengan berbagai aturan seperti adanya perda yang melarang
keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya
semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat
atau ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Dari penjelasan di atas jika dihubungkan dengan fenomena
eksistensi PKL di kota Salatiga yang tidak lupat dari berbagai
permasalaannya, maka ada hal menarik yang merupakan keunikan dari
PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita
temui dalam pengalaman di kota-kota besar Indonesia yaitu PKL selalu
Pendahuluan
7
menimbulkan masalah di lingkungan tempat mereka beroperasi
dengan berbagai masalah ikutan tidak dapat dihindari. Dampak
terbesar yang ditimbulkan adalah konflik terbuka dengan eskalasi besar
dan multidimensi, karena melibatkan banyak pihak selain PKL itu
sendiri, pemerintah daerah, warga masyarakat pengguna fasilitas
umum, warga sekitar tempat berjualan, pedagang toko, tukang parkir,
sopir, dan stakeholder lainnya.
Pada tahun 2002 Kota Salatiga sebagai kota kecil dengan
jumlah PKL yang cukup banyak karena memiliki 2.750 pedagang
(FMPS 2003) diwarnai dengan berbagai konflik baik antara PKL
dengan PKL maupun dengan pihak pemerintah, masyarakat sekitar,
pedagang toko, pedagang pasar, tukang parkir, tukang becak, sopir
angkutan kota dan kusir andong. Konflik dipicu oleh berbagai sebab,
baik masalah kebersihan, kenyamanan, lokasi jualan, perbedaan harga,
monopoli, dan kecemburuan sosial antara PKL setempat dan PKL
pendatang. Berdasarkan informasi dari FMPS, terjadi konflik dengan
pemerintah hampir setiap minggu, karena dilakukan penggusuran,
perampasan/penyitaan barang dagangan dan gerobak oleh Satpol PP
Kota Salatiga. Hal tersebut merupakan kondisi umum yang biasa terjadi
di kota-kota besar di Indonesia, sehingga konflik yang terjadi akibat
eksistensi PKL pada ruang publik adalah permasalahan umum yang
selalu mendapat perhatian dari pemerintah.
Fenomena eksistensi PKL di kota Salatiga memiliki warna
tersendiri karena sangat kompleks jika dilihat dari keragaman suku dan
jenis barang dagangan yang mereka jual. Dari hasil identifikasi di
lapangan yang penulis lakukan, ditemukan bahwa PKL di Kota Salatiga
terbagi atas empat kelompok besar yaitu Jawa, Madura, Minang dan
Sulawesi. Untuk kelompok Jawa sendiri sebagai kelompok suku
terbesar mereka berasal berbagai daerah di luar Kota Salatiga yaitu
Boyolali, Kopeng, Semarang, Solo, Kudus, Malang, Surabaya, Bandung,
dan daerah lainnya. Selain keragaaman suku serta daerah asal, PKL juga
dikelompokkan dalam beberapa kelompok berdasarkan hasil jualan
mereka yaitu: ikan bandeng, buah, gula, pakaian, aneka makanan,
servis jam tangan, sol sepatu, sandal, vcd, bumbu, asesoris (sabuk, topi,
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
8
jam tangan, kaca mata, kalung dan gelang), mie ayam, karak, dan
barang bekas.
Dari identifikasi berdasarkan suku serta jenis barang dagangan
maka sangat besar kemungkinan terjadinya konflik, sebab Salatiga
adalah kota kecil tetapi memiliki jumah PKL yang sangat banyak jika
dilihat dari luas kota serta kondisi ruang publiknya. Memang harus
jujur diakui bahwa kompleksitas PKL kota Salatiga apabila
dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta,
Bandung, Semarang, dan kota besar lainnya di Indonesia, maka Kota
Salatiga tidak terlalu besar gaungnya dari segi jumlah penduduk dan
PKL. Tetapi potensi konflik akibat keragaman kepentingan serta latar
belakang budaya yang berbeda sesuai penjelasan di atas merupakan
sebuah fenomena menarik yang patut diteliti. Penulis melihat kondisi
PKL di Kota Salatiga sangatlah berbeda dengan kota lainnya di
Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari situasi kota yang kondusif
dalam waktu kurang lebih 14 tahun. Selain itu masalah penggusuran
PKL oleh pihak pemerintah daerah tidak pernah terdengar baik di
media masa, media elektronik maupun dalam pengalaman hidup ketika
penulis berada di Kota Salatiga sejak tahun 2005. Hal tersebut
mengundang rasa ingin tahu penulis atas situasi harmoni yang
terbangun di Kota Salatiga baik antar sesama PKL maupun dengan
stakeholder lainnya.
Sebelum masuk lebih jauh membahas mengenai pokok
penelitian ini beserta tujuannya, dan untuk menguatkan bahwa pokok
penelitian ini layak diteliti maka sebelumnya perlu dikemukakan
terlebih dahulu topik-topik penelitian terdahulu yang relevan dengan
masalah yang akan diteliti.
Penelitian Terdahulu tentang PKL
Penelitian tentang sektor informal di Indonesia dilakukan oleh
Hans Dieter Evers, dalam penelitiannya ia menganalogikan sektor ini
sebagai bentuk ekonomi bayangan dengan negara (Rachbini dan
Hamid, 1994: 3). Sedangkan penelitian terhadap PKL terutama di kota-
Pendahuluan
9
kota besar di Indonesia yang merupakan bagian dari sektor informal
dilakukan oleh Didik J. Rachbini dan Abdul Hamid, pada tahun 1990,
yang disponsori oleh United States Agency for International Development (USAID). Dari penelitian yang dilakukan khususnya di
dua kota besar yakni Jakarta dan Surabaya dikenali adanya
kecenderungan munculnya perdagangan sektor informal yang berderet
sepanjang jalan di setiap berdirinya gedung bertingkat (Rachbini dan
Hamid, 1994: 90-91).
Widodo (2000), melakukan penelitian pada PKL di Kota
Semarang, ia memfokuskan penelitiannya pada faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan lokasi berdagang. Faktor-faktor dimaksud
adalah modal, umur, pendidikan, jenis dagangan, sarana transportasi
yang dipakai, dan faktor jarak dengan lokasi keramaian. Pengambilan
sampelnya dilakukan pada suatu populasi yang terdiri atas sebelas
lokasi tempat PKL terkonsentrasi, ia menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpul data serta menggunakan metode explanatory yang
bertujuan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel
melalui pengujian hipotesa. Analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara
menyeluruh tentang karakteristik sosial dan ekonomi para PKL, serta
analisis korelatif yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara variabel. Dari penelitiannya itu hasilnya
menunjukkan 56.3% PKL merupakan pendatang (migran) ke Kota
Semarang. Lebih dari 50% responden adalah mereka yang berada pada
usia produktif. Sebanyak 62.3% respondenya adalah yang tidak
menamatkan SLTP sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka (PKL)
adalah orang-orang yang berasal dari latar belakang pendidikan
rendah.
Eka Evita, Bambang Supriyanto, dan Imam Hanafi (2013),
melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan penataan PKL di
Kota Batu. Tujuan penelitian mereka yaitu untuk mendeskripsikan dan
menganalisis kebijakan PKL, serta kendala yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan penataan PKL pada Batu Tourism Center (BTC) di Kota Batu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
10
dengan pendekatan kualitaftif, teknik pengumpulan data yang
digunakan yaitu dengan metode observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Dari hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa
implementasi kebijakan penataan PKL pada Batu Tourism Center
adalah implementasi kebijakan yang tidak berhasil. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa kendala dan permasalahan yang
menyebabkan sebagian besar pedagang kaki lima yang telah direlokasi
dari alun-alun kota ke Batu Tourism Center sebagai pusat kuliner,
aksesoris dan wisata belanja pakaian dengan tujuan supaya alun-alun
kota menjadi tertib, rapih, dan bersih, memilih kembali berjualan di
sepanjang jalan dan meninggalkan Batu Tourism Center. Persoalan
yang menyebabkan PKL yang direlokasi ke BTC dengan jumlah 300
orang terdiri dari pedagang makanan, pakaian dan aksesoris kembali
berjualan ke jalan adalah pemerintah tidak tegas dalam mengawal
implementasi kebijakan sehingga lokasi yang ditinggalkan ditempati
oleh pedagang baru. Hal lain yaitu tidak adanya dukungan dari
pemerintah untuk melakukan promosi BTC dan hanya membiarkan
pihak swasta jalan sendiri sehingga pengunjungnya sangat minim.
Anton Sujarwo (2012), meneliti tentang kebijakan publik
dalam pelaksanaan penataan pola PKL di Kota Malang, penelitian ini
menggunakan metode deskriptif melalui studi lapangan dan studi
pustaka. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu: PKL, organisasi yang mewadahi PKL, pedagang di pasar besar,
dan pedagang di sekitar stasiun kota. Dari hasil penelitiannya ia
menyimpulkan bahwa PKL merupakan salah satu penopang
perekonomian dalam kehidupan bersosialisasi dan bermasyarakat,
karena itu perlu perhatian dan penanganan serius dari pihak
pemerintah. Sebagai sektor informal, PKL juga dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD) jika ditangani secara baik dan serius oleh
pemerintah daerah.
Waluyo (2008), meneliti tentang kebijakan daerah dalam
penataan PKL guna mewujudkan pengelolaan PKL yang partisipatif
dan berkeadilan di Kota Surakarta Jawa Tengah. Metode penelitian
yang dipakai menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis, jenis data
Pendahuluan
11
primer yang dipakai bersumber dari para pejabat dan staf kantor
pengelolaan PKL kota Surakarta, serta data sekunder dari
perpustakaan. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, sedangkan teknik pengumpulan datanya melalui wawancara
dan studi dokumen, setelah data terkumpul selanjutnya dianalisis
secara kualitatif. Dari penelitiannya ia memperoleh hasil bahwa
kebijakan yang dilakukan dengan penataan berdasarkan kawasan atau
lokasi (zonasi) dan waktu berdagang oleh pemerintah kota maka ada
dua hal yang ditemukan yaitu: pertama dengan memberikan ruang dan
waktu yang cukup bagi pelaku PKL (termasuk komunitas atau
paguyuban PKL) masyarakat/LSM, dan stakeholder lainnya. Maka
kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan PKL tersebut dapat
memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Kedua meskipun
kebijakan pemerintah Kota Surakarta dikatakan sukses namun ternyata
dalam beberapa hal terkait dengan penataan PKL, pemerintah kota juga
mengalami beberapa permasalahan antara lain: aturan hukum yang
tidak sesuai kondisi saat ini, belum memadai SDM yang ada di kantor
PKL, belum terorganisasinya PKL secara keseluruhan, dan adanya
pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari keberadaan
PKL.
Penelitian lainnya terkait kebijakan pemerintah terhadap PKL
dilakukan oleh Parid (2003), ia melakukan penelitian mengenai respon
PKL terhadap implementasi kebijakan penertiban di kota Bandung
(Studi kasus di jalan Merdeka). Metode penelitian yang digunakan
adalah metode deskriptif, dengan tujuan agar dapat menganalisa dan
menggambarkan fakta-fakta di lapangan mengenai implementasi
kebijakan terhadap pedagang kaki lima dan respon terhadap kebijakan
tersebut. Pengambilan sampel wawancara dilakukan pada PKL dan
juga dari pihak pemerintah kota Bandung. Dari hasil penelitiannya
karakteristik PKL di jalan Merdeka menunjukkan ciri utamanya yaitu;
berusia produktif, mayoritas berasal dari luar daerah (urban),
berpendidikan rendah, dan sarana fisik yang digunakan berupa
gelaran/tikar dan meja kecil.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
12
Zees dan Sugiantoro (2013), mereka meneliti tentang
sensitifitas PKL terhadap lokasi pada skala mikro Kota Manado
Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan menggunakan analisis
karakteristik PKL dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang
memengaruhi pemilihan lokasi. Berdasarkan karakteristik PKL di
Manado, mereka meneliti 3 aspek yaitu: pertama mengidentifikasi
karakteristik sosial dan ekonomi PKL di Kota Manado yang terdiri dari
alamat pedagang, jumlah dan sampel penelitian, tingkat pendidikan
pedagang, tingkat usia, status pedagang, jumlah anak dan pendidikan
anak, kepemilikan usaha dan kepemilikan jenis kendaraan. Kedua
mengidentifikasi karakteristik lokasi dan aktivitas PKL di Kota Manado
yang terdiri atas jenis dagangan, luasan lapak, biaya sewa lapak, biaya
retribusi, kebersihan dan listrik. Ketiga mengidentifikasi preferensi
PKL di Kota Manado terhadap lokasi yang terdiri atas lokasi yang
disukai, lokasi yang menguntungkan dan alasan bertahan di lokasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian mereka yaitu deskriptif
kuantitatif dimana data yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi berdasarkan variabel yang diteliti. Dari hasil analisis
penelitiannya ditemukan yaitu: pertama, kategori pedagang yang
bertahan di tempat relokasi memberikan preferensi yang beragam,
namun hal mendasar yang membuat mereka bertahan di tempat
relokasi yaitu faktor modal yang terbatas sehingga mereka memilih
untuk bertahan dengan mempertimbangkan biaya sewa tempat yang
murah dihitung pertahun. Hal lain adalah status tempat yang legal
sehingga membuat PKL itu sendiri belum memiliki keinginan untuk
pindah sekalipun dari segi pendapatan perharinya minim jika
dibandingkan dengan lokasi awal sebelum mereka direlokasi. Selain itu
faktor jarak juga memengaruhi mereka tetap bertahan, karena jarak
antara tempat tinggal dan tempat berjualan rata-rata memiliki jarak
yang cukup dekat dan pedagang dengan jenis dagangan tertentu dilihat
cocok dengan kawasan yang ditempati. Kedua, kategori pedagang yang
pindah dari tempat relokasi memberikan preferensi yang beragam pula.
Jika dilihat dari faktor-faktor yang dijadikan variabel analisis maka
jawaban yang diperoleh yaitu dari segi pendapatan, jumlah
pengunjung, dan pembeli ditempat relokasi kurang menguntungkan.
Pendahuluan
13
Mereka tidak yakin modal yang dipakai tetap bertahan dan akan
berkembang usahanya.
Firdausy (1995), melakukan penelitian mengenai
pengembangan sektor informal PKL di empat kota besar Indonesia
yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengkaji dan membahas masalah-masalah
yang dihadapi PKL diperkotaan, khususnya di Bandung, Yogyakarta,
Semarang, dan Surabaya. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan analisis ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lingkungan.
Sumber data yang digunakan adalah hasil pertanyaan kuesioner kepada
responden dan informasi dari para narasumber yang terdiri dari PKL,
ketua asosiasi dan perkumpulan PKL, instansi pemda terkait serta
kepala pasar. Jumlah sampel yang terkumpul adalah 302 PKL. Teknik
analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis tabulasi
silang, analisis non-parametrik (Chi-Square) dan analisis deskriptif.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebanyak 70 persen responden
PKL belum ditata dengan baik, salah satu alasannya adalah biaya sewa
kios/lokasi yang masih relatif mahal menjadi salah satu penyebab PKL
tidak mau menempati lokasi yang telah ditetapkan untuk berdagang.
Selain itu dari hasil penelitian didapati sebanyak 11% menggunakan
modal berupa konsinyasi (barang titipan), sedangkan 89 persen
menggunakan modal kerja berupa uang sendiri atau pinjaman.
Indira (2014), melakukan penelitian tentang dinamika PKL di
beberapa negara Asia, penelitiannya di Bangladesh ditemukan bahwa
jumlah PKL sangat besar. Menurut Dhaka City Corporation ada sekitar
90.000 PKL di kota. Aktivitas para penjual dianggap sebagai
perdagangan ilegal dan PKL menghadapi pelecehan dari pihak
berwenang. PKL harus membayar bagian yang cukup besar dari
pendapatan mereka sebagai suap agar mereka tetap bisa berdagang.
Menurut delegasi Bangladesh yang menghadiri lokakarya regional Asia
tentang PKL yang dilaksanakan pada bulan Februari 2002 di Bodh
Gaya, India, PKL dari Bangladesh lebih rentan daripada di negara-
negara tetangga karena permasalahan kemiskinan, kurangnya ruang
untuk penjual dan kurangnya kesadaran tentang hak-hak mereka.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
14
Selain itu ditemukan juga beberapa serikat kerja yang berperan
untuk melindungi kepentingan PKL dalam melakukan aktivitas
mereka. Serikat yang paling berperan dalam memperjuangkan nasib
PKL adalah Federasi Bangladesh Hawkers, hal ini terkait dengan
federasi serikat buruh yang berkuasa yaitu Partai Nasional Bangladesh.
Pada sebagian besar negara ini dimana jumlah PKL besar, maka partai
yang berkuasa dan partai oposisi selalu saja memobilisasi para PKL
untuk tujuan politik mereka. Karena ketidakamanan mereka, PKL
cenderung berduyun-duyun ke pihak-pihak tersebut untuk
perlindungan. Partai-partai ini menggunakan PKL untuk keuntungan
politik mereka, dan sebagai imbalannya memberikan mereka sedikit
jaminan keamanan untuk perdagangan mereka.
Penelitiannya di Sri Lanka ditemukan bahwa PKL tampaknya
berada dalam posisi yang sedikit lebih baik daripada rekan-rekan
mereka di Bangladesh dan India. Jalanan di sebagian besar daerah
perkotaan tidak benar-benar ilegal dan PKL dapat berdagang di trotoar
dengan membayar pajak setiap hari untuk dewan kota. Meskipun
mendapatkan beberapa pengakuan hukum, PKL bisa diusir jika dewan
kota merasa bahwa mereka menyebabkan masalah untuk masyarakat
umum, tidak hanya PKL menghadapi penggusuran tetapi juga
pemerintah kota membakar kios mereka selama ini.
Meskipun PKL mendapatkan pengakuan berjualan di tempat
umum dari pemerintah kota karena mereka membayar pajak, tetapi hal
tersebut tidak selalu memberikan jaminan keamanan dalam berjualan.
Pada kebanyakan kasus, penyediaan ruang alternatif sangat tergantung
pada seberapa kuat kelompok PKL dapat menekan permintaan dari
pihak pemerintah atau dewan kota, karena dapat dipahami bahwa
nasib PKL tergantung pada kebijakan dewan kota juga.
Masalah yang merupakan problem utama PKL dalam
menjalankan aktivitas adalah keamanan terhadap keberlangsungan
mata pencaharian mereka dan kurangnya akses terhadap kredit.
Menurut laporan dari departemen sensus dan statistik Sri Lanka, 2002,
"pendapatan rata-rata harian dari penjual makanan jalanan di sekitar
Sri Lanka (SL) Rs 1.250 sedangkan keuntungan harian rata-rata yang
Pendahuluan
15
dihasilkan adalah sekitar SL Rs 575. Mereka mampu menghasilkan
pendapatan rata-rata bulanan SL Rs 31.250 dan laba rata-rata SL Rs
14.375.
Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi dari penjual makanan
jalanan ke ekonomi negara signifikan meskipun mereka menghadapi
masalah yang sama seperti PKL lainnya yaitu, kurangnya keamanan
dan kurangnya fasilitas. Berdasarkan realita tersebut maka dapat
dipahami mengapa para PKL tetap bertahan sekalipun harus
berhadapan dengan berbagai kendala baik dari pihak pemerintah,
dewan kota maupun masalah ketersediaan akses pinjaman untuk modal
usaha.
Selain di Sri Lanka penelitiannya di Bangkok Thailand
ditemukan bahwa aktivitas berjualan di jalan merupakan sumber
pendapatan penting bagi masyarakat miskin perkotaan. Jumlah PKL di
kota meningkat pesat setelah krisis moneter tahun 1998 yang
memengaruhi kelompok negara yang dikenal sebagai macan Asia.
Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan mereka turun ke jalan
untuk berjualan sebagai sumber penghidupan. Penjual makanan dari
Bangkok dikenal dengan makanan murah tapi bergizi. Bagi penduduk
lokal, warung makanan merupakan bagian integral dari kehidupan di
Bangkok. Ratusan orang bergantung pada mereka untuk makanan yang
baik dengan harga rendah. Pemerintah kota di Bangkok telah
membatasi wilayah di mana PKL dapat beroperasi. Lokasi resmi untuk
penjual jalanan tidak cukup untuk menampung semua PKL. Hal ini
telah menyebabkan PKL beroperasi di daerah yang tidak sah atau di
luar wilayah resmi. Mayoritas PKL di kota beroperasi pada wilayah
yang tidak sah.
Fitur unik dari PKL di Bangkok adalah tidak ada serikat pekerja
sebagaimana di negara-negara Asia lainnya. Sejumlah besar PKL selalu
saja menghadapi masalah dari pihak berwenang tanpa adanya
pembelaan ketika diperlakukan tidak sewajarnya. Jika mereka punya
serikat pekerja maka di sisi lain mungkin bisa memberi mereka
perlindungan untuk melaksanakan kegiatan perdagangan setiap saat,
serta mendapat pengakuan dan dukungan pemerintah.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
16
Negara Asia lainnya yang diteliti adalah Singapura, berdasarkan
laporan dari departemen perdagangan pemerintah Singapura tahun
2003, mungkin negara ini menjadi satu-satunya negara di dunia
dimana semua PKL berlisensi. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan
baik karena departemen perdagangan Singapura bekerja dengan intens
untuk memeriksa bahwa tidak ada pedagang asongan tanpa izin dan
lisensi yang dapat menjajakan barang di trotoar. Departemen berperan
aktif dalam memastikan bahwa para pedagang menjaga lingkungan
mereka bersih dan tidak menempatkan kendala pada pejalan kaki.
Pejabatnya memeriksa semua kios dan melihat bahwa mereka
mematuhi Undang-Undang Kesehatan Lingkungan Masyarakat dari
tahun 1968.
Selain memberi lisensi, mereka juga menyelenggarakan kursus
pelatihan reguler pada makanan dan kebersihan pribadi, serta gizi.
Semenjak tahun 1990 sampai 1996 departemen telah melatih lebih dari
10.000 pedagang asongan. Satu fakta penting tentang PKL di Singapura
adalah bahwa selama 30 tahun terakhir mereka telah membantu
menjaga biaya hidup turun sejak pekerja, mahasiswa dan masyarakat
miskin bergantung pada mereka untuk kebutuhan sehari-hari mereka,
termasuk makanan.
Setelah Singapura, Indira (2014), meneliti juga PKL di Malaysia
yang merupakan satu dari sedikit negara di Asia yang telah
memberikan beberapa bentuk pengakuan untuk PKL. Pada tahun 1990,
Malaysia merumuskan kebijakan nasional penjaja. Ini adalah rencana
komprehensif untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi yang
terkait dengan penjual jalanan. Pelaksanaannya mencakup penyediaan
dana untuk mendukung skema kredit dan program pelatihan bagi PKL
untuk meningkatkan fasilitas mereka.
Pengaturan dan pengendalian PKL berada di bawah
departemen perdagangan dan pedagang kecil (DHPT) didirikan pada
tahun 1986. Tujuan dari departemen mencakup pengembangan,
modernisasi dan pengelolaan PKL sejalan dengan tujuan membuat
Kuala Lumpur bersih, kota sehat dan indah bagi masyarakat setempat
dan wisatawan. Menurut DHPT jumlah PKL berlisensi naik 30 persen
Pendahuluan
17
dari tahun 1990 hingga tahun 2000. Jumlah PKL berlisensi pada tahun
2000 hampir 35.000 di samping itu, diakui bahwa terdapat pula lebih
dari 12.000 PKL tanpa izin operasi yang belum ditangani. Departemen
mengakui bahwa peningkatan PKL selama periode ini adalah akibat
krisis keuangan karena banyak orang kehilangan pekerjaan turun ke
jalan untuk menjadi PKL.
Kota lain di kawasan Asia Tenggara yang diteliti adalah Manila
di sana ditemukan sebuah perencanaan penataan PKL secara formal.
Pada tahun 2001 pemerintah Filipina mengambil keputusan untuk
melegalkan PKL. Pemerintah memutuskan untuk menerbitkan kartu
identitas dan memungkinkan mereka untuk membawa dagangan
mereka ke daerah tertentu. Meskipun semua janji-janji, nasib
sebenarnya PKL di Filipina, tidak lebih baik daripada di sebagian besar
negara-negara lain yang disebutkan sebelumnya.
Masalah utama yang dihadapi oleh para PKL adalah bahwa
tidak ada batas-batas daerah bagi mereka untuk beroperasi. Persoalan
kebersihan di trotoar dan kemacetan lalu lintas merupakan
permasalahan ikutan lainnya, sehingga pada dasarnya kendala yang
dialami oleh PKL di kota Manila mirip dengan apa yang terjadi oleh
PKL di negara-negara Asia umumnya.
Penelitiannya terhadap PKL di Hanoi ditemukan bahwa
mereka menyediakan berbagai barang murah dan menghasilkan
lapangan kerja bagi sejumlah besar orang, terutama perempuan. PKL
yang terjun dalam bisnis kuliner sekitar 30 persen adalah perempuan.
Pada tahun 1989 pemerintah Vietnam mengadopsi undang-undang
tentang perlindungan kesehatan. Sebuah survei pada sampel makanan
di Hanoi menunjukkan bahwa 47 persen yang mikrobiologis tidak
aman. Dalam beberapa tahun situasi berubah dan 23,4 persen dari
penjual makanan telah berubah praktik higienis mereka. Hal ini
dilakukan oleh pemerintah melalui pengawasan rutin penjual makanan
dengan melatih mereka dalam praktek-praktek higienis. Pemerintah
telah mengadopsi dua praktek untuk memastikan aman jualan
makanan yaitu, pemantauan penjual makanan jalanan melalui sistem
perizinan dan mendidik serta melatih mereka tentang kebersihan.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
18
Masalah utama yang dihadapi PKL di Hanoi menurut sebuah
studi yang dilakukan oleh LSM Kelompok Sektor Perkotaan masalah
adalah non-pengakuan keberadaan sektor informal. PKL tidak
memiliki tempat permanen untuk menjual barang-barang mereka.
Mereka tidak bisa mempertahankan pelanggan. Mereka sering
dilecehkan oleh polisi dan petugas keamanan pasar. Studi mereka
mencatat bahwa rente tinggi dan satu-satunya cara PKL bisa tinggal di
jalanan adalah dengan membayar suap kepada para pejabat ini. Jika
mereka tidak membayar, barang-barang mereka disita atau bahkan
dihancurkan (Indira, 2014).
Kota besar lainnya yang diteliti Indira adalah Seoul,
pemerintah Korea Selatan seperti kebanyakan pemerintah lain di Asia,
tidak sensitif terhadap masalah orang miskin perkotaan. PKL dan
penghuni kawasan kumuh berada di bawah tekanan pemerintah.
Setelah krisis keuangan Asia jumlah PKL selanjutnya meningkat dan
saat ini Seoul, memiliki sekitar 800,000 PKL. Menghadapi
permasalahan pelecehan, PKL dari Korea telah membentuk aliansi
nasional yang dikenal sebagai National Federation of Vendor Korea Street. Federasi ini memperkirakan bahwa jumlah PKL di Korea sekitar
satu juta. PKL merupakan komponen penting dari angkatan kerja
Korea dan masalah mereka tidak boleh diabaikan oleh pemerintah.
Selanjutnya hasil penelitiannya di India ditemukan jumlah PKL
pada kota-kota besar India telah meningkat tajam selama beberapa
tahun terakhir, terutama setelah tahun 1991 ketika kebijakan yang
berkaitan dengan penyesuaian struktural dan liberalisasi
diperkenalkan. Menurut studi yang dilakukan oleh Bhowmik (2000),
Mumbai memiliki jumlah PKL terbesar yaitu 250.000, Kolkata
memiliki lebih dari 150.000 PKL. Ahmadabad dan Patna memiliki
sekitar 80.000 masing-masing dan Indore, Bangalore serta
Bhubaneswar memiliki sekitar 30.000 PKL. Saat ini diperkirakan
sekitar 2,5 persen dari populasi perkotaan terlibat dalam pekerjaan ini.
Studi tentang PKL sedikit dan terfokus terutama pada beberapa kota.
Banyak barang yang dijual oleh PKL berupa pakaian, kaus kaki, barang
dari kulit dan barang plastik juga terdapat barang-barang rumah
Pendahuluan
19
tangga, yang diproduksi dalam skala kecil atau industri rumahan.
Industri ini mempekerjakan sejumlah besar pekerja dan mereka
terutama mengandalkan PKL untuk memasarkan produk mereka.
Dengan cara ini PKL memberikan layanan yang berharga dengan
membantu mempertahankan pekerjaan di industri ini.
Masyarakat miskin mampu mendapatkan kebutuhan dasar
mereka melalui PKL, karena barang yang murah. Sebuah studi pada
PKL di tujuh kota yang dilakukan oleh National Allians Street Vendor of India (NASVI) menunjukkan bahwa kelompok berpenghasilan
rendah menghabiskan proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan
mereka untuk membeli dari PKL terutama karena barang-barang
mereka yang terjangkau. Seandainya tidak ada PKL di kota penderitaan
kaum miskin kota akan lebih buruk. Eksistensi PKL perkotaan
merupakan bagian dari kaum miskin perkotaan yang dapat membantu
bagian lain untuk bertahan hidup. Oleh karena itu meskipun PKL
dipandang sebagai masalah bagi pemerintahan kota, mereka
sebenarnya solusi untuk beberapa masalah dari kaum miskin kota.
Saha (2011), meneliti lebih jauh kehidupan PKL di Mumbai
dalam hal kondisi mereka dan sejauh mana hutang, jumlah suap yang
mereka harus membayar untuk mempertahankan diri mereka sendiri
di pasar, jam kerja, isu pemanfaatan ruang publik, dan hukum aspek
aktivitas mereka. Penelitian ini eksplorasi lingkungan sekitar dan
situasi PKL dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Studi ini
menunjukkan bahwa PKL meminjam dari rentenir dengan bunga
tinggi tidak hanya untuk kegiatan ekonomi mereka, tetapi juga untuk
tujuan keamanan sosial, yang pada gilirannya, menyebabkan mereka
jatuh ke dalam situasi perangkap utang.
Selanjutnya ditemukan bahwa mereka memiliki jam kerja yang
panjang, dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain itu, mereka
kurang menikmati kenyamanan di tempat kerja karena mereka
menghadapi pelecehan dan ancaman penggusuran oleh pemerintah
setempat. Dengan demikian maka masalah jam kerja PKL yang
panjang, serta kondisi ketidaknyamanan di tempat kerja mereka,
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
20
berkontribusi terhadap buruknya lingkungan kerja serta semakin
sulitnya kondisi ekonomi PKL.
Penelitian ini memberikan gambaran bahwa PKL dapat
memainkan peran yang sangat penting dalam perekonomian informal
perkotaan dengan menghasilkan lapangan kerja dan mendukung
kelompok miskin perkotaan. Pendapatan per kapita dari 53 persen PKL
di Mumbai adalah Rs. 20 per hari. Laporan NCEUS (2007),
mengkategorikan orang-orang dengan penghasilan harian ini sebagai
"miskin dan rentan". Studi Bhowmik (2001), menunjukkan bahwa
pendapatan harian PKL laki-laki adalah Rs. 70 dan bahwa dari PKL
wanita adalah Rs. 40. Ditemukan bahwa lebih dari 62 persen dari
populasi memiliki pendapatan per kapita dari Rs. 20 sampai 35. Oleh
karena itu, tingkat pendapatan PKL belum meningkat selama sepuluh
tahun terakhir. Salah satu faktor yang bertanggung jawab mengapa
PKL berpenghasilan rendah adalah keharusan mereka untuk
membayar suap. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelecehan,
penggusuran, dan suap menyebabkan rendahnya ekonomi PKL,
seharusnya jika dilihat dari segi waktu serta semangat kerja mereka
maka ekonominya menjadi lebih baik tetapi karena hal tersebut di atas
maka kondisi ekonomi mereka menjadi sulit.
Temuan penting lainnya adalah bahwa PKL tergantung pada
rentenir dan grosir demi akses kredit bagi bisnis mereka serta untuk
tujuan keamanan sosial. PKL sering dipaksa membayar harga selangit
dari bunga uang yang dipinjam oleh mereka. Alasan utama pinjaman
ini adalah jaminan sosial dan investasi di kegiatan usaha, dampaknya
kemudian mereka terperangkap utang. Penelitian ini juga
mengungkapkan bahwa semua PKL, terlepas dari status pendapatan
mereka, perlu beberapa cara untuk memastikan jaminan sosial.
Sehingga mereka bertahan hidup pada tabungan mereka atau melalui
pinjaman dengan bunga yang tinggi. Sehingga pemerintah harus turun
tangan untuk mengurangi masalah keuangan PKL dengan memenuhi
tugasnya membayar jaminan sosial mereka. Asuransi kelompok bisa
menjadi solusi untuk masalah keuangan PKL. Karena itu, pemerintah
Pendahuluan
21
atau pemangku kepentingan lainnya, terutama serikat buruh, harus
tampil ke depan untuk memfasilitasi ini.
Dari hasil kajian penelitian terdahulu terkait PKL diberbagai
daerah dan negara maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PKL
berkontribusi signifikan terhadap kondisi makro ekonomi, penyerapan
tenaga kerja, menyediakan barang untuk masyarakat miskin perkotaan
dengan harga terjangkau, dan menggerakkan industri skala kecil mikro
untuk tetap memproduksi barang. Di Indonesia PKL merupakan suatu
unit pelaku usaha kecil yang jumlahnya sangat banyak sehingga
eksistensi mereka jangan dipandang sebelah mata oleh siapapun juga.
Namun di sisi lain, PKL belum mendapatkan jaminan keamanan,
kesehatan, sosial, dan perlindungan hukum dari negara. Praktek
pungli, pemerasan, penggusuran, dan tindakan diskriminasi dialami
oleh PKL. Bahkan mereka terjebak hutang dengan bunga tinggi karena
meminjam dari rentenir. Fenomena ini merupakan sebuah realita yang
selalu mewarnai kehidupan PKL terutama di negara-negara dunia
ketiga.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang eksistensi
PKL di berbagai kota besar di Indonesia maupun beberapa negara di
Asia, banyak penelitian yang mengangkat topik ataupun masalah
penelitiannya tentang konflik antara PKL dengan pemerintah,
kebijakan pemerintah terkait penataan kota melalui relokasi PKL,
resistensi PKL terhadap implementasi perda, dan pola pemilihan lokasi
berjualan PKL. Untuk penelitian ini penulis melihat sisi yang lain
terkait eksistensi PKL di Kota Salatiga, sebagai sesuatu yang belum
pernah diteliti dalam penelitian tentang PKL yaitu PARTISIPASI
PUBLIK DAN HARMONI SOSIAL, Studi Kasus Perumusan Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima
Kota Salatiga. Studi ini merupakan sebuah refleksi terhadap sebuah
proses partisipasi publik yang dampaknya begitu besar terhadap
eksistensi PKL di Kota Salatiga dan masyarakat pada umumnya. Proses
parisipasi yang lahir dari kesadaran bersama antara PKL dan
stakeholder sangat berdampak bagi keharmonisan, sehingga sekalpun
Peraturan Daerah Nmor 2 Tahun 2003 telah diganti dengan Peraturan
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
22
Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tetapi gaung partisipasinya tetap ada
sampai saat ini.
Eksistensi PKL Salatiga dalam hubungan dengan masyarakat
umum merupakan sebuah fenomena yang layak untuk diteliti karena
ada beberapa keunikan yang mereka miliki ketika menyimak dinamika
mereka yakni: pertama, sebelum tahun 2003 seperti yang terjadi pada
kota-kota besar di Indonesia maupun di negara-negara Asia lainnya,
PKL menjadi persoalan bagi pemerintah terkait keindahan kota dan
ketertiban. Penggusuran dan penertiban PKL terjadi hampir setiap
seminggu oleh petugas pamong praja Kota Salatiga. Selain itu, terjadi
konflik antara PKL dengan pedagang pasar, petugas parkir, kusir
andong, masyarakat sekitar dan pemilik toko. Sehingga permasalahan
konflik PKL di Kota Salatiga, tidak terbatas dengan pemerintah namun
terkait dengan lainnya dan lebih kompleks. Berdasakan hasil
wawancara dengan bapak Hendro Wijayanto tanggal 27 Januari 2015,
beliau menjelaskan bahwa pada tahun 2003 permasalahan ini dapat
terselesaikan dengan dibangunnya dialog antara PKL dan sekaligus
terbangun resolusi konflik, dan dialog dengan pemerintah daerah.
Kedua, Salatiga merupakan sebuah kota kecil yang hanya
terdiri atas empat kecamatan tetapi memiliki PKL dengan jumlah yang
cukup banyak dan berasal dari berbagai etnis dan daerah di Indonesia
(Jawa, Minang, Sulawesi, dan Madura dan lainnya3). Pertumbuhan
jumlah PKL di Salatiga sangat pesat dimana dari jumlah sebelumnya
yaitu 1.765 pedagang pada tahun 1999 meningkat menjadi ± 2.750
pedagang di tahun 2002 (FMPS, 2002). Dari jumlah yang demikian
banyak maka tidak dipungkiri bahwa potensi konflikpun cukup besar
karena dalam dunia bisnis selalu saja diwarnai dengan persaingan. Hal
menarik lain yang ditemukan terkait jumlah PKL di Salatiga yakni
setelah terjadi konsensus pada tahun 2002 sampai saat ini jumlah PKL
tidak lagi mengalami penambahan tetapi sebaliknya pada tahun 2015
jumlah PKL berkurang menjadi 1.720 pedagang dan data terbaru
menunjukkan bahwa jumlah PKL mengalami penurunan dari waktu ke
3 Hasil identifikasi penulis saat melakukan wawancara dengan ketua-ketua paguyuban
pada tanggal 27 Januari 2016
Pendahuluan
23
waktu sehingga pada tahun 2017 jumlahnya menjadi 1.420 PKL
(Disperindagkop Salatiga, 2017).
Ketiga, konsensus yang menghasilkan terbangunnya harmoni
sosial di antara PKL dan stakeholder adalah upaya dari PKL sendiri
melalui partisipasi yang luar biasa dalam mengorganisir diri serta
membangun komunikasi dengan seluruh komponen sebagai upaya
resolusi konflik. Output dari seluruh rangkaian proses ini adalah
adanya Peraturan Daerah No 2 Tahun 2003 Tentang Penataan PKL
yang di dalamnya mengatur tempat berjualan, jenis jualan, waktu, serta
tanda daftar usaha. Perda ini disusun bersama antara eksekutif,
legislatif, PKL, dan semua stakeholder dengan tujuan dapat
mengakomodasi aspirasi seluruh pihak. Proses partisipatif yang
dibangun pada tahun 2002 terbukti dapat bertahan hingga saat ini,
tidak lagi terjadi konflik antara sesama PKL maupun dengan
stakeholder terkait.
Keempat, dari semua yang disepakati dalam konsensus bersama
pada tahun 2003, sebuah fenomena menarik yang unik dalam
hubungan antara PKL dengan pemerintah adalah PKL sebagai suatu
komunitas mendapatkan pengakuan dari pemerintah kota, sebagai
salah satu bagian penggerak perekonomian kota dengan memberikan
surat tanda daftar usaha (STDU) sebagai bukti diakuinya PKL
melakukan usaha di wilayah kota Salatiga. Pengakuan terhadap
eksistensi PKL secara hukum merupakan sebuah realitas yang jarang
dilakukan oleh pemerintah kota maupun pemerintah daerah di
Indonesia, karena kebanyakan pemerintah kota dan daerah perdanya
lebih menekankan pada aturan tentang larangan bagi PKL untuk
menempati ruang publik.
Kelima, stigma negatif terhadap PKL sebagai sumber
kesemrawutan dan kotornya kota yang selalu menjadi perhatian bagi
pemerintah kota maupun masyarakat Indonesia bisa dihindari oleh
PKL kota Salatiga. Kesan kotor dapat dihindari lewat konsensus pula
dimana secara intens para PKL berpartisipasi aktif terhadap kebersihan
tempat mereka berjualan. Tanggung jawab atas kebersihan dan
keindahan di sekitar lokasi berjualan adalah sebuah wujud partisipasi
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
24
yang tidak tertulis dalam perda tetapi lewat konsensus lisan yang
mengikat sehingga antara pemerintah kota dan PKL saling
mengontrol4.
Sumber: Penulis, 2016
Gambar 1.1 Stakeholder PKL Kota Salatiga
Penelitian Terdahulu Tentang Partisipasi
Dalam beberapa penelitian terdahulu mengenai partisipasi yang
telah dilakukan beberapa peneliti baik di Indonesia maupun di luar
negeri, yang diawali dengan mengkaji tahapan awal dari proses, hingga
relasi yang terkait dengan partisipasi. Namun setelah dicermati,
ternyata dari beberapa penelitian tersebut masih terdapat hal-hal yang
perlu dilacak kembali, baik dari sisi substansi dan dinamikanya.
Penelitian yang relevan menjadi rujukan adalah yang dilakukan oleh
Smith (2003), Ardhana (2008), Webler (2009), Vajjhala (2009), Fikri
Azhar (2015), I Wayan Mertha (2015).
4 Wawancara dengan kepala dinas perindustrian dan tata kota Salatiga 23 Juli 2015.
Pendahuluan
25
Penelitian partisipasi yang dilakukan oleh Smith (2003), di
Maori Selandia Baru menunjukkan bahwa model partisipasinya
berlangsung dengan basis pada teori Kaupapa, yaitu: 1) Prinsip
penentuan nasib sendiri; 2). Prinsip validasi dan legitimasi; 3). Prinsip
pedagogi menggabungkan budaya yang disukai; 4). Prinsip mediasi
dalam kesulitan sosial-ekonomi; 5). Prinsip menggabungkan struktur
budaya yang menekankan aspek kolektif; 6). Prinsip visi bersama dan
kolektif. Filosofi teori Kaupapa yang mendasari Smith berpijak pada
kemandirian dan kolektivitas di masyarakat yang dipadukan dengan
pendekatan mediasi. Namun studi ini perlu diberikan catatan bahwa
kemandirian dan kolektivitas hanya akan terjadi jika kondisi sosial
masyarakat berjalan dengan baik. Kebersamaan masyarakat terbangun
karena kesamaan nasib, sedangkan mediasi lebih menekankan
keberadaan pihak lain dalam proses partisipasi. Di Indonesia,
kolektivitas dan mediasi relatif memberikan kontribusi berhasilnya
partisipasi.
Studi partisipasinya Ardhana (2008), mengemukakan bahwa
peran serta masyarakat sejak awal sampai saat ini belum mendapatkan
posisi yang tepat dalam bentuk kewenangan dan kewajiban, serta hak
sebagai masyarakat dalam ikut menjalankan pembangunan. Variabel
yang dikaji antara lain: ketentuan perundangan, bentuk interaksi peran
serta masyarakat, dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam peran
serta masyarakat agar pembangunan dapat ditingkatkan. Hasil kajian
menunjukkan bahwa peran serta masyarakat sejak orde lama hingga
era otonomi daerah masih belum dapat berjalan secara efektif dan
efisien. Ardhana menyarankan upaya meningkatkan peran serta
masyarakat dilaksanakan dengan penuh kesadaran. Studi Ardhana
perlu diberikan catatan bahwa dalam aspek perundangan lebih
mengedepankan aspek legalitas saja, dimana realitasnya muncul
kompromi dalam menyikapi isu partisipasi, tanpa melihat lebih dalam
substansi sebenarnya dari partisipasi. Dalam aspek interaksi peran serta
masyarakat, tentu ada kondisi yang mempengaruhinya, sehingga masih
perlu di dalami lebih lanjut. Sementara upaya yang dilakukan
pemerintah, cenderung belum maksimal, sehingga perlu juga ditelusuri
lebih lanjut.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
26
Studi partisipasinya Webler (2009), menemukan perbedaan
keyakinan dan nilai yang dipegang masyarakat terkait perencanaan.
Jika konflik atas proses belum terselesaikan maka dapat memperburuk
ketegangan yang ada. Webler menyarankan untuk melakukan
penelitian tentang pemahaman partisipasi publik dengan
mengungkapkan perspektif tentang proses, baik dalam domain
kebijakan tertentu dan seluruh domain kebijakan, dengan berdasar
pada ciri kontekstual dan proses partisipasi. Penelitian Webler relevan
mendapatkan catatan, karena pasti ada perbedaan di antara cara
pandang masyarakat, apalagi terkait dengan persoalan perencanaan
kegiatan. Justru dengan perbedaan itulah partisipasi menjadi lebih
dinamis. Perbedaan dapat menjadi basis munculnya keputusan sebagai
cerminan kepentingan kolektif, dimana telah melalui proses bersama
pula. Hal ini dapat menghadirkan keputusan yang terlegitimasi
sehingga semua pihak dapat menerima keputusan tersebut.
Sedangkan Vajjhala (2009), dalam studi partisipasinya
menunjukkan bahwa membuat aplikasi keputusan lingkungan,
termasuk perencanaan pemukiman, penyediaan layanan kesehatan,
lintas batas pengelolaan sumber daya alam, dan bidang umum
merupakan bentuk fasilitasi bagi penduduk kota dalam perencanaan
pembangunan. Vajjhala menyarankan untuk mengadakan kombinasi
dari atas ke bawah dan evaluasi dari bawah ke atas dalam penelitian
yang menyediakan transisi penting untuk merancang dan
menginformasikan kebijakan yang efektif untuk mengkoordinasikan
dan menerapkan solusi lokal yang relevan dalam berbagai proyek
pembangunan. Catatan kritis untuk studi Vajjhala menunjukkan peran
negara (pemerintah kota) yang dominan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat, terutama pada bidang utama kehidupan. Dalam konteks
ini, negara (pemerintah kota) akan dihadapkan pada sebuah fakta
dalam menyediakan sejumlah besar sumber dana dan daya agar bentuk
fasilitas bisa dilaksanakan. Partisipasi lebih berasal dari atas ke bawah,
dan hal ini berpotensi memandulkan daya kreasi aspirasi masyarakat.
Azhar (2015), melakukan penelitian tentang partisipasi
masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan
Pendahuluan
27
(Musrenbang) di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota
Surabaya. Dalam penelitiannya dapat disimpulkan bahwa partisipasi
masyarakat di Kelurahan Pegirian kurang baik. Kurang baiknya
partisipasi masyarakat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu; pertama,
pengumpulan usulan yang diperoleh dari masyarakat hanya pada
proses menampung dan menerima usulan tersebut. Kedua, pada
proses pembahasan usulan masyarakat tidak terlalu dilibatkan
sehingga, mereka tidak mengetahui usulan mana yang menjadi usulan
prioritas. Masyarakat tidak memiliki ruang penuh untuk dapat
menentukan usulan prioritas tersebut. Ketiga, partisipasi masyarakat
dalam program musrenbang di Kelurahan Pegirian belum berjalan
dengan baik karena masyarakat yang hadir tidak siap dengan
sumbangan pemikiran sebagai kontribusi dalam pembangunan.
Mertha (2015), penelitiannya tentang partisipasi masyarakat
dan peran pemerintah dalam mewujudkan destinasi pariwisata
berkualitas (Studi di Batur Global Geopark Kintamani). Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh partisipasi masyarakat lokal,
peran pemerintah maupun interaksi keduanya terhadap kualitas
destinasi, khususnya di Batur Global Geopak Kintamani. Tujuan
lainnya adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas destinasi terhadap
tingkat kepuasan masyarakat. Penelitian ini dirancang menggunakan
metode campuran (mixed method), dimana metode kuantitatif dipilih
untuk mengetahui ukuran korelasional dan kausal antarvariabel pada
model serta menentukan signifikansi dari masing-masing hipotesis
yang dibuat.
Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: (1), partisipasi
masyarakat lokal berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
destinasi; (2), peran pemerintah tidak signifikan pengaruhnya terhadap
peningkatan kualitas destinasi; (3), pengaruh interaksi peran
pemerintah dengan partisipasi masyarakat terhadap kualitas Batur
Global Geopark hasilnya tidak signifikan; (4), kualitas destinasi
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kepuasan
masyarakat.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
28
Masalah Penelitian
Sesuai realita kondisi sosial di atas sebagaimana tergambarkan
lewat kajian literatur terdahulu maka yang menjadi pokok
permasalahan dari penelitian ini adalah partisipasi PKL dan harmoni
sosial, maka penelitian ini hendak menjawab beberapa pertanyaan
secara spesifik sesuai kajian komprehensif sebagai berikut:
1. Bagaimana proses terbangunnya partisipasi publik dalam
perumusan kebijakan tentang penataan PKL di Kota Salatiga?
2. Bagaimanakah peran PKL dan stakeholder dalam partisipasi?
3. Nilai-nilai apa yang mengikat sehingga terjaga partisipasi dan
harmoni sosial antara PKL dan stakeholder di Kota Salatiga?
Tujuan Penelitian
Dilaksanakannya sebuah penelitian tidak terlepas pula tujuan
akhir yang hendak dicapai, karena itu berdasarkan rumusan masalah di
atas maka penelitian inipun dilaksanakan dengan tujuan yakni:
1. Memperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai proses
terbangunnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan
penataan PKL, serta kondisi-kondisi yang memengaruhi
terbangunnya partisipasi tersebut.
2. Mendapatkan deskripsi tentang peran PKL dan stakeholder
sebagai partisipasi publik dalam perumusan kebijakan penataan
PKL Kota Salatiga.
3. Melalui kajian dan analisis induktif, dapat diperoleh
pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai yang
mengikat di antara PKL dan stakeholder sehingga terjaga
partisipasi dan harmoni sosial.
Pendahuluan
29
Manfaat Penelitian
1. Secara teoretik lewat penelitian ini diharapkan dapat
menjelaskan bagaimana terbangunnya partispasi publik dalam
perumusan peraturan daerah terkait penataan PKL.
2. Secara praktis melalui penelitian ini dapat memberi data dan
informasi yang dapat dijadikan referensi, tentang bagaimana
kemampuan PKL dalam mengorganisir diri dan proaktif
berpartisipasi mencari solusi atas problem yang mereka hadapi
dalam hubungan dengan stakeholder.
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika disertasi ini terdiri dari beberapa sebagai
berikut:
Bab 1 Pendahuluan;
Berisi tentang latar belakang masalah terkait eksistensi
PKL baik di Indonesia maupun negara-negara lainnya di
Asia, serta membahas tentang masalah penelitian, tujuan
penelitian dan manfaat dari penelitian ini.
Bab 2 Kajian Tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik,
serta Teori Fungsionalis Struktural;
Membahas tentang kajian teoretik mengenai PKL,
Partisipasi, Kebijakan Publik, serta teori yang mendasari
harmoni sosial.
Bab 3 Metode Penelitian;
Berisi tentang wilayah penelitian, dan metode yang
digunakan dalam melakukan penggalian informasi, teknik
analisis dan sumber data.
Bab 4 Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima Dalam
Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2003;
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
30
Berisi tentang bagaimana latar belakang terbangunnya
partisipasi antara PKL dan stakeholder di Kota Salatiga,
serta upaya-upaya yang dilakukan dalam membangun
komunikasi dengan semua pemangku kepentingan.
Bab 5 Partisipasi Dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun
2003;
Berisi tentang peran PKL bersama stakeholder dalam
berpartisipasi aktif merumuskan Peraturan Daerah Nomor
2 Tahun 2003 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kota
Salatiga.
Bab 6 Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003;
Berisi tentang perkembangan PKL di Kota Salatiga dalam
kurun waktu kurang lebih dua belas tahun, serta adanya
perubahan peraturan daerah dari Perda Nomor 2 Tahun
2003 ke Perda Nomor 4 Tahun 2015.
Bab 7 Deskripsi Analitik Partisipasi Publik Dalam Penataan PKL
Kota Salatiga;
Berisi tentang analisis partisipasi mulai dari proses
partisipasi, model partisipasi, aktor partisipasi, metode
partisipasi, dana partisipasi dan harmoni sosial dalam
partisipasi serta makna partisipasi.
Bab 8 Penutup;
Berisi tentang kesimpulan dari pembahasan bab-bab
sebelumnya.