1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nasib bangsa di masa mendatang tergantung keadaan generasi muda
sekarang .karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha untuk membentuk kondisi
generasi muda dalam keadaan sehat secara fisik, mental, dan social. Salah satu
diantaranya ialah perhatian penuh terhadap kesejahteraan anak.
Pembinaan sedini mungkin mengandung arti bahwa pembinaan generasi
muda harus dimulai sejak prasekolah sejak individu masih berada dalam keluarga.
Keluarga sebagai kesatuan social terkecil merupakan lingkungan yang pertama
dan utama bagi anak yang sangat penting bagi pembangunan, khususnya
mengenai peletakan dasar pembangunan mental dan pembentukan pribadi anak.
Dalam keluarga anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali yang kemudian
disambungkan atau dilanjutkan di tempat pendidikan lain.
Orang tua, ayah dan ibu sebagai penanggung jawab keluarga menjadi
semakin penting. Orang tua harus mampu menciptakan kondisi lingkungan
keluarga menjadi lingkungan yang kondusif bagi kencenderungan tingkah laku
melindungi dan mensejahterakan anak. Perkembangan yang optimal akan menjadi
anak mencapai aktualisasi diri, menjadi orang yang periang, mudah menyesuaikan
diri dan sempurna baik secara fisik maupun mental. Karena itu apabila keluarga
2
telah memberikan dasar yang kuat, maka keadaan anak selanjutnya tidak menjadi
masalah yang rumit.
Sikap seorang anak sangat dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku
pengasuhnya yang bertanggung jawab merawat anak-anak selama dua tahun
pertama hidupnya. Tidak peduli apakah ia menjadi optimis atau seorang pesimis,
seorang yang dingin atau penuh kemarahan , seorang yang ragu-ragu, semuanya
ini sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan orang tua terutama ibu.oleh
karena itu peran ibu dan para pengasuh sebagai orang yang terdekat dengan anak
merupakan hal sangat penting.
Pola asuh merupakan suatu cara atau system untuk merawat, menjaga, dan
mendidik anak yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat
mempengaruhi sikap, tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orang tua.
Ibu selalu menyayangi dan memperhatikan kebutuhan anaknya dan
menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, walaupun berbeda beda pola asuh
masing –masing keluarga. Ada ibu yang sangat keras menggunakan otoritasnya,
sangat mengontrol dan membatasi tingkah laku anaknya. Tetapi sebaliknya ada
ibu yang bersikap serba boleh terhadap anaknya, ibu tidak mengontrol kegiatan
anaknya, semuanya diserahkan sepenuhnya kepada anak. Disamping itu ada ibu
yang saling berdialog dengan anaknya, ibu mendengarkan apa yang dikemukakan
oleh anaknya. Anak diberi kesempatan bertukar pikiran dengan ibu dan ibu
menganggapnya sebagai anak yang mempunyai arti.dengan meningkatkannya
pendidikan wanita, timbul kesadaran untuk mengembangkan diri maupun
3
melakukan kegiatan sosial.demikian juga halnya dampak dari krisis moneter
menyebabkan bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena
semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu
caranya adalah menambah penghasilan keluarga. Akhirnya, kalau biasnya ayah
yang berkerja sekarang ibupun ikut bekerja. Ibu yang bekerja diluar rumah harus
pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga, karena pada hakekatnya seorang
ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk
mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi ibu mempunyai anak
yang masih kecil maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu
dengan bijaksana.
Seorang anak usia dini masih sangat tergantung pada ibunya. Karena anak
belum mampu melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi , belajar dan
sebagainya . mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak dititipkan pada seorng pembantu atau
baby sitter maka ibu harus tau betul bahwa pengasuh tersebut mampu
membimbing dan membanu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya . kalau
pengasuh ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan
menderita kerugian . pembentukan kepribadian anak dimulai ketika anka berusia
0-5 tahun,termasuk didalamnya kepercayaan diri. Anak akan belajar dari orang-
orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang
disekitarnya. Kadang-kadang karena lingkungan yang kurang mendukung
sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak negative bagi
4
pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya (Soenarto dan Sumarsih,
1996).oleh karena itu ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur
waktu. Keterlibatan ibu dalam aktivitasnya di luar rumah akan bermanfaat bagi
peningkatan fungsi dan perannya dalam keluarga apa bila tidak berdasarkan atas
motif untuk melepaskan diri dari peran domestic wanita. Ibu yang harus
berangkat kerja pagi hari dan pulang sore hari tetap harus meluangkan waktu
untuk berkomunikasi , bercanda , dan memeriksa tugas- tugas sekolah anak,
meskipun ibu sangat lelah setelah seharian kerja. Tetapi pergorbanan tersebut
akan menjadi suatu kebahagiaan jika anak- anaknya bertumbuh menjadi pribadi
yang pribadi yang kuat dan stabil. Sedangkan untuk ibu yang tinggal di rumah
pun harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Walaupun banyak waktu
untuk bersama anak tetap yang paling penting adalah kualitas hubungan
interpersonal antara ibu dan anak.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli tentang pola asuh orang tua dapat di
ambil intinya bahwa peranan ibu sangat penting dalam pembentukan kepribadian
anak. Salah satu pakar yang membagi pola asuh orang tua adalah Hurlock (1980)
yang membedakan pola asuh menjadi tiga yaitu otoriter, demokratis, dan
permisif. Anak yang di asuh dengan pola demokratis akan membentuk harga diri
yang tinggi, tidak menolak bila dikritik, mandiri dan optimis dalam menghadapi
semua persoalan yang ada pada dirinya, anak akan sensitif, menghargai peraturan
dan mampu menilai dan mengontrol perilakuya sendiri.
5
Secara umum dalam pola asuh otoriter ibu sangat menanamkan disiplin dan
menuntut prestasi yang tinggi pada anaknya. Hanya sayang ibu tidak memberikan
kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapat, sekaligus
menomorduakan anak. Kebalikan pola asuh otoriter adalah pola asuh permisif.
Dalam golongan ini ibu dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Namun, di sisi
lain kendali ibu dan tuntutan prestasi pada anak rendah. Anak dibiarkan berbuat
sesukanya tanpa beban kewajiban atau target apapun.
Sifat percaya diri anak diperlukan dalam perkembangannya menjadi
dewasa.kemungkinan besar ,orang yang percaya diri akan biasa menerima dirinya
sendiri, siap menerima tantangan meski sadar ada kemungkinan salah. Rasa
percaya diri dapat membantu anak menhadapi situasi dalam pergaulan dan
menangani tugas lebih mudah.
Kepercayaan diri merupakan sikap positif seorang individu yang
memampukan dirinya untuk mengembangkan penilian positif baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya.hal ini bukan
berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu
seorang diri, alias “ sakti.). Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya
merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia
merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena
didukung oleh pengalaman, potensi yang actual,prestasi serta harapan yang
realistil terhadap diri sendiri.
6
Untuk anak-anak, rasa percaya diri membuat mereka mampu mengatasi
tekanan dan penolakan dari teman- teman sebayanya.anak yang percaya diri
mempunyai perangkat yang lebih lengkap untuk menghadapi situasi dan berani
minta bantuan jika mereka memerlukannya. mereka jarang diusik .justru mereka
sering mempunyai daya tarik yang membuat orang lain ingin bersahabat
dengannya. Mereka Tidak takut untuk berprestasi baik di sekolah atau untuk
menunjukkan bahwa mereka memang kreatif. Percaya diri bukan merupakan
bawaan dari lahir, juga tidak jatuh dari langit. Anak-anak mudah sekali merasa
rendah diri, merasa tidak mampu , tidak penting, karena ada banyak hal yang
harus dipelajari, dan orang yang lebih tua tampak begitu pandai. Anak-anak
memerlukan dorongan dan dukungan secara terus menerus. Jika orang tua atau
guru dapat berperan dengan baik, anak-anak akan memiliki rasa percaya diri.jika
anda membangun ras percaya diri dalam diri anak anda, tak ada istilah terlambat
untuk memulai. Anda justru akan memberikan hadiah terbaik untuk anak anda
dan diri anda sendiri.
Kepercayaan diri pada anak dapat di bentuk dari pengalaman bersosialisasi
dengan lingkungan. Sebagai contoh, pujian dari ibu tentang hasil kegiatan atau
bantuan yang dilakukannya dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Karena
dengan itu anak merasa dihargai dan merasa dirinya berguna bagi orang lain.
Tanamkan sikap bahwa berbuat salah bukanlah dosa yang terampuni,
bahwa nilai seseoarang tidak selalu bias dihitung berdasarkan kesempurnaan hasil
kerjanya. Yang penting bukan atau salah, tapi bagaimana cara dia melakukannya.
7
Jadikan ini sebagai pedoman untuk diri anda juga. Hormati dan hargai anak anda.
Jangan mempermalukan dia didepan teman-teman sebayanya, atau didepan orang
dewasa lainnya, atau didepan umum .jika anak anda berbuat salah, panggil
ketempat yang sepi, atau bicarakan di rumah. Jika anda berbicara, gunakan nada
suara seperti yang anda harapkan akan digunakan saat ia berbicara.
Dengarkan anak anda dan dorong dia untuk berfikir mandiri. Belajar
mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar. Tempat terbaik untuk
berlatih menjadi orang yang percaya diri di rumah. Hargai ide-ide yang
dinyatakannya. Katakan berulang-ulang kepada anak anda bahwa anda percaya
dia bisa. Dan bersikaplah positif di depan orang-orang lain tentang apa yang bias
dilakukan anak anda. Dengan cara begitu , anak yakin bahwa anda bener-bener
mempercayai kemampuannya
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan , TK Tarbiyatul
Atfal yang berdiri sejak tahun 1980, memiliki 45 orang murid. Jumlah murid laki
– laki 17 orang dan murid perumpuan 28 orang. Usia murid 4-6 tahun, dan jumlah
staf pengajar ada 2 orang.
Orang tua dari murid-murid tersebut ada yang bekerja (PNS, pedagang dan
wiraswasta) dan ada pula yang tidak bekerja ( ibu rumah tangga ). Banyak
diantara mereka (murid TK ) yang sulit berinteraksi dengan teman sebaya
mereka,ada yang pendiam, bersikap dingin dan ragu-ragu, anak cemas berpisah
dengan orang tua mereka dan ingin selalu ditunggui. Anak enggan untuk mencoba
hal yang baru karena takut gagal. Ini menunjukkan bahwa anak tidak yakin
8
dengan dirinya. Misalnya saja dalam sebuah permainan lempar bola, apabila
teman-temannya mampu untuk menangkap bola dari temannya. Anak akan
menjadi pesimis dan tidak mau berusaha untuk mencoba lagi karena takut gagal,
sehingga anak menjadi frustasi. Ini semua tidak lepas dari bagaimana peranan ibu
dalam mendidik dan mengasuh anak, memberi kasih sayang, komunikasi yang
berkualitas , dan penghargaan atas prestasi anak sekecil apapun prestasi yang
dicapai anak dalam meningkatkanrasa percaya diri anak. Sehingga akan tumbuh
menjadi individu yang mandiri yang memiliki harga diri yang tinggi dalam
menjalani kehidupan.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang
hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan kepercayaan diri anak di TK
Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah adakah hubungan pola asuh orang
tua dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon
Kendal.
9
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum:
Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di
TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.
2. Tujuan Khusus:
a. Pola asuh orang tua di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon
Kendal.
b. Kepercayaan diri anak dengan orang tua bekerja dan tidak bekerja.
c. Hubungan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di TK
Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti :
Merangsang peneliti untuk menambah wawasan dalam melaksanakan
penelitian dan mengadakan serta mengembangkan penelitian yang lebih luas
dimasa yang akan datang.
2. Bagi Ibu atau Orang tua:
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan pada ibu dalam
memberikan asuhan kepada anak baik untuk ibu yang bekerja maupun ibu
yang tidak bekerja.
10
3. Bagi Ilmu Pengetahuan :
Diharapkan dapat menambah bahasan tentang pola asuh anak dengan ibu yang
bekerja dan ibu yang tidak bekerja.
4. Bagi Profesi Keperawatan :
Menambah pengetahuan perawat dan meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan kepada klien baik individu , keluarga , kelompok dan
masyarakat.
E. Bidang Ilmu
Penelitian ini termasuk dalam ilmu keperawatan di bidang anak.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Masa Prasekolah
Awal Masa Prasekolah
Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa prasekolah merupakan
masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan saat dimana individu relatif tidak
berdaya dan tergantung pada orang lain. Bagi kebanyakan anak, masa prasekolah
sering kali dianggap tidak ada akhirnya sewaktu mereka tidak sabar.
Menunggu saat yang didambakan yakni pengakuan dan masyarakat bahwa
mereka bukan anak-anak lagi melainkan ‘orang-orang dewasa’. Periode awal
berlangsung dari umur dua sampai enam tahun. (Hurlock,1980)
Sebagian besar orang tua menganggap awal masa prasekolah sebagai usia
yang mengundang masalah atau usia sulit. Awal masa prasekolah sebagai usia
yang mengundang masalah atau usia sulit. Awal masa prasekolah sering terjadi
masalah prilaku. Alasan mengapa masalah prilaku sering terjadi diawal masa
prasekolah karena anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang
unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil. para ahli
psikologi sering menyebut usia prasekolah merupakan usia kelompok, masa
dimana anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi
12
kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada
waktu mereka masuk kelas satu. (Hurlock,1980)
Karena perkembangan utama yang terjadi selama awal masa prasekolah
berkisar diseputar penguasa dan pengendalian lingkungan, banyak ahli psikologi
melabelkan awal masa prasekolah sebagai usia menjelajah, sebuah label yang
menunjukan bahwa anak ingin mengetahui lingkungannya, bagaimana
mekanismenya, bagaimana perasaannya, dan bagaimana ia menjadi bagian dari
lingkungan. Salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungan adalah
dengan bertanya. Jadi, periode ini sering disebut sebagai usia bertanya.yang
paling menonjol dalam periode ini adalah meniru pembicaraan dan tindakan
orang lain. Oleh karena itu, periode ini juga dikenal sebagai usia meniru. Namun
meskipun kencenderungan ini tampak kuat tetapi anak lebih menunjukkan
kreativitas dalam bermain selama masa prasekolah dibandingkan dengan masa-
masa lain dalam kehidupannya. Dengan alasan ini, ahli psikologi juga
menanamkan periode ini sebagai usia kreatif .
Pada periode awal masa prasekolah begitu banyak hal yang harus
dipelajari. Salah satu yang terpenting dan bagi banyak anak merupakan tugas
perkembangan yang paling sulit adalah belajar untuk berhubungan secara
emosional dengan orang tua. Saudara-saudara kandung, dan orang lain. Hubungan
emosional pada bayi harus diganti dengan hubungan yang lebih matang. Anak
harus belajar memberi dan menerima kasih sayang. singkatnya, ia harus belajar
terikat keluar dari pada dirinya sendiri. Demikian pula halnya dengan pengertian
13
tentang benar dan salah. Pengetahuan tentang benar dan salah masih terbatas pada
situasi rumah dan harus diperluas dengan pengertian benar dan salah dalam
hubungannya dengan orang-orang diluar rumah terutama lingkungan tetangga,
sekolah dan teman bermain. (Hurlock,1980)
Tugas perkembangan awal masa prasekolah yang dasarnya telah
diletakkan pada masa bayi diharapkan sudah dikuasai anak sebelum mereka
masuk sekolah. Hurlock mengemukakan bahwa tugas perkembangan pada masa
prasekolah meliputi perkembangan fisik, ketrampilan, berbicara, perkembangan
emosi, sosialisasi, bermain dan perkembangan kepribadian.
a. Perkembangan Fisik
Pertumbuhan selama awal masa prasekolah berlangsung lambat
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan masa bayi. Pertambahan tinggi
badan setiap tahunnya rata-rata tiga inchi. Pada usia enam tahun tinggi anak
rata-rata 46 inchi. Pertumbuhan berat badan setiap tahunnya rata-rata tiga
sampai lima pon. Pada usia enam tahun berat anak harus kurang lebih tujuh
kali berat pada waktu lahir. Perbedaan dalam postur tubuh untuk pertama kali
tampak jelas pada awal kanak-kanak. Ada yang posturnya gemuk lembek
(endomorfik), ada yang kuat berotot (mesomorfik), dan ada lagi yang relative
kurus (ektomorfik).
Anak -anak yang cenderung bertubuh endomorfik lebih banyak
jaringan lemaknya dari pada jaringan otot, yang cenderung mesomorfik
mempunyai jaringan otot lebih banyak dari pada jaringan lemak, dan yang
14
bertubuh ektomorfik mempunyai otot-otot yang kecil dan sedikit jaringan
lemak, tingkat pengerasan otot bervariasi pada bagian-bagian tubuh. Otot
menjadi lebih besar, lebih kuat, dan lebih berat, sehingga anak tampak lebih
kurus meskipun beratnya bertambah.
Selama empat sampai enam bulan pertama dari awal masa prasekolah,
empat gigi bayi yang terakhir yaitu geraham belakang, muncul. Selama
setengah tahun terakhir gigi anak mulai tanggal digantikan oleh gigi tetap.
yang pertama kali tumbuh yaitu gigi seri tengah. Bila awal masa prasekolah
berakhir, pada umumnya anak memiliki satu atau dua gigi tetap didepan dan
beberapa celah dimana gigi tetap akan tumbuh.
b. Ketrampilan pada Awal Masa prasekolah
Awal masa prasekolah merupakan masa yang ideal untuk mempelajari
ketrampilan tertentu. Terdapat alasan. Pertama, anak sedang mengulang ulang
dan karenanya dengan senang hati mau mengulang suatu aktivitas sampai
mereka terampil melakukannya. kedua, anak-anak bersifat pemberani
sehingga tidak terhambat oleh rasa takut kalau dirinya mengalami sakit atau
diejek teman- temannya sebagaimana ditakuti anak yang lebih besar. Dan
ketiga, anak mudah dan cepat belajar karena tubuh mereka masih sangat
lentur dan ketrmpilan yang dimiliki baru sedikit sehingga ketrampilan yang
baru dikuasai anak tidak mengganggu ketrampilan yang sudah ada. awal masa
prasekolah dapat dianggap sebagai “saat belajar” untuk belajar ketrampilan .
(Hurlock,1980)
15
Apabila anak tidak diberi kesempatan mempelajari ketrampilan
tertentu, perkembangannya sudah memungkinkan dan ingin melakukannya
karena berkembangannya keinginan untuk mandiri, maka mereka tidak saja
akan kurang memiliki dasar ketrampilan yang telah dipelajari oleh teman-
teman sebayanya tetapi juga kurang memiliki motivasi untuk mempelajari
berbagai keterampilan pada saat diberi kesempatan. keterampilan yang
dipelajari anak bergantung sebagaian pada kesiapan kematangan terutama
kesempatan yang diberikan untuk mempelajari dan bimbingan yang diperoleh
dalam menguasai keterampilan secara cepat dan efisien. (Hurlock,1980)
c. Kemajuan Berbicara pada Awal Masa prasekolah
Selama awal masa prasekolah, anak memiliki keinginan yang kuat
untuk belajar berbicara. Karena belajar berbicara merupakan sarana pokok
dalam sosialisasi anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman sebaya
akan lebih mudah mengadakan kontak sosial dan lebih mudah diterima
sebagai anggota kelompok dari pada anak yang kemampuan
berkomunikasinya terbatas. (Hurlock,1980)
Anak yang mengikuti kegiatan prasekolah akan mengalami rintangan
baik dalam hal sosial maupun pendidikan kecuali bila ia pandai bicara seperti
teman-teman sekelasnya. Belajar berbicara merupakan sarana untuk
memperoleh kemandirian. Untuk meningkatkan komunikasi, anak harus
menguasai dua tugas pokok yaitu yang pertama mereka harus meningkatkan
kemampuan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain dan yang kedua,
16
mereka harus meningkatkan kemampuan bicaranya sehingga dapat dimengerti
orang lain. (Hurlock,1980)
d. Perkembangan Emosi
Selama awal masa prasekolah emosi sangat kuat. Saat ini merupakan
saat ketidakseimbangan dimana anak mudah terbawa ledakan-ledakan
emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan, hal ini tampak mencolok
pada usia 4-6 tahun. Emosi yang umum pada awal masa prasekolah antara
lain:
1) Amarah
Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran
mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang
hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan menangis,
berteriak, menggertak , menendang, melompat –lompat atau memukul.
2) Takut
Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang
kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut,
seperti cerita-cerita, gambar-gambar, acara radio atau televisi, dan film-
film dengan unsur yang menakutkan, pada mulanya reaksi terhadap rasa
takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari,
bersembunyi, menangis, menghindari situasi yang menakutkan.
17
3) Cemburu
Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian
orang tua beralih kepada orang lain didalam keluarga, biasanya adik yang
baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya
secara terbuka atau menunjukkannya dengan kembali berprilaku seperti
anak kecil, seperti mengompol, pura-pura sakit atau menjadi nakal.
Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik perhatian.
4) Ingin tahu
Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru
dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan orang lain. Reaksi anak
adalah dengan bertanya.
5) Iri Hati
Anak sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang
dimiliki orang lain. Iri hati ini diungkapkan dalam bermacam-macam cara,
yang paling umum adalah mengeluh tentang barangnya sendiri. Dengan
mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang seperti dimiliki orang
lain.
6) Gembira
Anak merasa gembira karena sehat, situasi yang diharapkan,
bencana kecil, berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Ungkapan
kegembiraaannya seperti tersenyum, tertawa, tertepuk tangan, melompat-
lompat, atau memeluk benda atau orang yang membuatnya bahagia .
18
7) Sedih
Anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintai
atau yang dianggap penting bagi dirinya, apakah itu orang, binatang, atau
mainan. Secara khas ungkapan kesedihannya dengan menangis,
kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan.
8) Kasih Sayang
Anak belajar mencintai orang, binatang, atau benda kesayangan. ia
mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar tetapi ketika
masih kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk,
dan mencium objek kasih sayangnya.
e. Perkembangan Sosialisasi
Salah satu tugas perkembangan awal masa prasekolah yang penting
adalah memperoleh latihan dan pengalaman yang diperlukan untuk menjadi
anggota “kelompok” dalam akhir masa prasekolah. Jadi awal masa prasekolah
sering disebut sebagai masa prakelompok. dasar sosialisasi diletakkan dengan
meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari
tahun ketahun.
Pada sosialisasi awal anak menunjukkan minat yang nyata untuk
melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan
mereka.ini dikenal dengan “bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri,
tidak bermain dengan anak- anak lain. Perkembagan berikutnya adalah
bermain “asosiatif” dimana anak terlibat dalam kegiatanyang menyerupai
19
kegiatan anak-anak lain. Dengan meningkatnya kontak sosial, anak terlibat
dalam “bermain kooperatif” dimana ia menjadi anggota kelompok dan saling
berinteraksi . Sekalipun anak sudah bermain dengan anak lain, ia masih sering
berperan sebagiai penonton, mengamati anak lain bermain tidak ikut terlibat
dalam permainannya. Dari pengalaman mengamati ini anak belajar
bagaimanba anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana perilakunya
dalam berbagai situasi sosial.
Pola perilaku sosial anak misalnya dengan meniru sikap dan perilaku
orang lain yang ia kagumi agar sama dengan kelompok, persaingan (keinginan
untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain yang dimulai dirumah dan
kemudian berkembang dalam bermain dengan anak di luar rumah), kerjasama,
membagi miliknya terutama mainan untuk anak lain. Lambat laun sifat
mementingkan diri sendiri berubah menjadi sifat murah hati. Menjelamg
berakhirnya awal mas prasekolah dukungan dari teman- teman menjadi lebih
penting dari pada persetujuan orang -orang dewasa.
Pada awal masa prasekolah terdapat pula perilaku yang tidak sosial
seperti negativisme atau melawan otoritas orang dewasa, mencapai puncaknya
pada usia 4 kemudian menurun, perilaku agresif, perilaku berkuasa atau
merajai semakain meningkat dengan bertambah banyaknya kesempatan untuk
kontak sosial, memikirkan diri sendiri karena cakrawala sosial anak terutama
terbatas dirumah, anak sering kalau mementingkan diri sendiri, ledakan
amarah yang sering disertai merusak benda disekitarnya, tidak peduli
20
miliknya sendiri atau milik orang lain. Namun, tiap-tiap pola perilaku yang
tampaknya tidak sosial ataupun anti sosial ini penting ini sebagai pengalaman
belajar yang memungkinkan anak mengerti apa yang di setujui oleh kelompok
sosial serta apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima oleh kelompok.
f. Bermain pada Awal Masa prasekolah
Masa awal prasekolah sering disebut sebagai tahap bermain. Hurlock
(1980) mengatakan bahwa bermain dalam masa prasekolah adalah kegiatan
yang serius, bahkan merupakan kegiatan pokok dalam masa prasekolah. Anak
yang populer ingin bermain lebih banyak dengan anak-anak lain sedangkan
anak yang secara sosial kurang diterima atau yang sudah merasa senang hanya
sedikit persetujuan terpaksa bermain sendiri sepanjang waktu, anak yang
kreatif menghabiskan sebagain besar waktu bermain untuk menciptakan
sesuatu yang orisinil dari mainan-mainan dan alat bermain, sedangkan anak
yang tidak kreatif mengikuti pola yang sudah dibuat oleh orang lain. Semakin
banyak bimbingan yang diterima anak dalam bermain semakin besar variasi
dalam kegiatan bermain dan semakin besar kegembiraan yang diperoleh anak.
g. Perkembangan Sosislisasi
Pola kepribadian mulai terbentuk pada awal masa prasekolah. Karena
orang tua, saudara-saudara kandung, dan saudara yang lain merupakan dunia
sosial bagi anak, maka bagaimana perlakuan dan perasaan mereka kepada
anak merupakan faktor penting dalam pembentukan konsep diri, yaitu inti
pola kepribadian . dengan berjalannya periode awal masa prasekolah, anak
21
semakin banyak berhubungan dengan teman-teman sebayanya, baik
dilingkungan tetangga, dilingkungan prasekolah, atau dipusat perawatan anak.
(Hurlock ,1980)
Kondisi yang membentuk konsep diri pada awal masa prasekolah antara
lain sebagai berikut:
1. Cara pelatihan anak yang digunakan adalah penting dalam membentuk konsep
diri yang sedang berkembang. Pola asuh otoriter yang keras disertai
banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua
orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah.
2. Cita-cita orang tua terhadap anaknya berperan penting dalam
mengembangkan konsep dirinya. Kalau harapan mereka terlalu tinggi, anak
cenderung gagal. Terlepas dari bagaimana anak bereaksi, kegagalan
meninggalkan bekas-bekas yang tidak terhapuskan pada konsep diri dan
meletakkan dasar-dasar untuk perasaan rendah diri dan tidak mampu. konsep
diri yang negatif akan berpengaruh terhadap kepercayaan diri anak yang
menjadi buruk. Anak takut untuk mencoba sesuatu yang baru karena
pengalaman gagal tersebut.
3. Ketidaknyamanan lingkungan, apakah karena kematian, penceraian
perpisahan atau mobilitas sosial berpengaruh buruk terhadap konsep diri anak
karena ia merasa tidak aman dan merasa lain dari teman-teman sebaya.
22
4. Posisi urutan anak-anak dalam keluarga dapat mempengaruhi kepribadian
anak –anak didalam keluarga belajar memerankan peran khusus, sebagaian
berhasil tidaknya anak dalam bersaing dengan saudara-saudara kandungnya.
Berdasarkan uraian diatas bahwa masa prasekolah yaitu usia dua hingga
enam tahun merupakan masa yang paling suylit terutama dihadapi oleh ibu
atau pengasuh lainnya. Keberhasilan anak dimasa mendatang dipengaruhi
oleh keberhasilannya pada awal masa prasekolah. Sehingga sangatlah perlu
dukungan, bimbingan, perhatian, dan kasih sayang kepada anak diusia ini baik
dari orang tua maupun orang-orang berada disekitar anak.
B. Kepercayaan Diri
a. Pengertian Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang
mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan manusia karena dengan
kepercayaan diri seseorang akan mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya.
Walgito (1993) bahwa kepercayaan diri sebagai salah satu aspek
kepribadian terbentuk dalam interaksi individu dengan lingkungannya
khususnya lingkungan sosial.
Angelis (2003) menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalah suatu
keyakinan dalam hati bahwa segala tantangan hidup apapun harus dihadapi
dengan berbuat sesuatu.
23
Kepercayaan diri menurut Branden (dikutip walgito,1993) adalah
kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada dalam dirinya. Hambly
(1989) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan diri yang
dimiliki individu dalam menanggani segala situasi.
Hakim (2002) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu
keyakinan seseorang terhadap segala aspek, kelebihan yang dimilikinya dan
keyakinan mampu mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri
adalah keyakinan seseorang pada kemampuan yang dimilikinya, dalam
mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. sehingga tidak perlu
membandingkan dirinya dengan orang lain.
b. Ciri-ciri kepercayaan diri
Telah dikemukan diatas bahwa kepercayaan diri adalah suatu keadaan
dalam diri seseorang yang berisi keyakinan tentang kemampuan melakukan
dan menghasilkan sesuatu dengan sukses.
Sobur (1985) bahwa anak yang memiliki kepercayanan diri adalah
berani menghadapi resiko dan bertanggung jawab yang harus diterima dari
tindakan yang dilakuakan yaitu kemungkinan mengalami kegagalan.
Anthony (dikutip Irawati ,2002) ciri-ciri orang yang memiliki
kepercayaan diri meliputi:
1. Jawab berarti mau menerima dan menanggung resiko dari perbuatannya.
24
2. Rasa aman berarti tidak memiliki ketakutan dan kecemasan yang dapat
menghambat kepercayaan dirinya.
3. Harga diri berarti mampu menyadari segala kekurangan dan kelebihan
sehingga tidak memiliki perasaan rendah diri.
4. Mandiri berarti hidup tidak bergantung pada orang lain dan selalu dapat
mengembangkan , mengerjakan sesuatu tanpa menunggu orang lain.
5. Optimis berarti menyadari kemampuan yang dimiliki dan berusaha untuk
memperoleh yang terbaik dalam kehidupannya.
6. Tidak mudah putus asa berati memiliki mental yang kuat untuk dapat
menghadapi hal yang terburuk dan berani mencoba lagi setelah mengalami
kegagalan.
Lauster (1998.) ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan diri
adalah optimis, bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya, bersikap
tenang, berani mengungkapkan pendapatnya.
c. Faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri
1. Keadaan fisik
Suryabrata (1984) berpendapat bahwa keadaan fisik individu akan
berpengaruh terhadap kepercayaan diri individu yang memiliki fisik yang
kurang sempurna akan menimbulkan perasaan tidak enak terhadap diri
sendiri, karena merasa ada yang kurang dalam dirinya dibandingkan yang
lainnya, keadaan ini membuat individu merasa kurang percaya diri dan
kurang berharga.
25
2. konsep diri
Adanya perbedaan sumber konsep diri antara laki-laki dan
perempuan. Konsep diri laki-lak bersumber dari keberhasilan kerja
persaingan dan kekuasaan, dimana laki-laki pada dasrnya dituntut untuk
berperan diluar rumah sejak prasekolah, sehingga laki-laki menjadi lebih
berani dalam menghadapi tantangan dan hal –hal baru. Sedangkan pada
perempuan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, sehingga
perhatiannya diluar dirinya kurang dominan dibandingkan perhatian
terhadap dirinya dan lingkungan sekitar rumah saja. Hal yang
mempengaruhi pola pikir dan keinginan perempuan cenderung menjadi
seorang yang perasa dan kurang berani menunjukkan kemampuan serta
kurang yakin dalam menghadapi hal-hal yang baru.ada beberapa
karakterristik yang dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Memiliki sifat feminim seperti cenderung sangat pasif, tidak terus terang,
tidak percaya diri dan cenderung lemah lembut. Sedangkan laki-laki
memiliki sifat maskulin seperti sangat agresif, sangat bebas, sangat
dominan sering menggunakan logika dan sangat percaya diri.
3. Usia
Kepercayaan diri terbentuk dan berkembang sejalan dengan
berjalannya waktu, pada waktu masih muda kepercayaan diri begitu rapuh,
karena pada waktu masih muda suatu penolakkan atau kegagalan akan
dirasakan sebagai suatu yang sangat menyakitkan.
26
4. Dukungan sosial
Menurut Loekomono (1983) bahwa rasa percaya diri pada individu
dipengaruhi dalam hubungannya dengan orang-orang yang dianggapnya
penting. Lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Pendapat ini didukung
oleh Natawidjaja (1998) untuk meningkatkan kepercayaan diri anak
membutuhkan pihak lain yang yang dipercayainya, untuk mendorong
keberaniannya mengambil keputusan.
5. Pendidikan
Monks (dikutip Muljati, 2002) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan mempunyai pengaruh dalam menentukan kepercayaan diri,
semakin tinggi pendidikan semakin banyak yang telah dipelajari dan ini
berarti semakin individu mengenal diri baik kekurangan maupun
kelebihannya. Semakin individu dapat menentukan standar sendiri
keberhasilannya. Individu yang demikian mempunyai kepercayaan dalam
menanggani sesuatu tanpa perasaan takut dan kwatir mengalami
kegagalan., semakin tinggi tingkat pendidikanya semakin tinggi pula
kepercayaan dirinya
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
faktor-faktor yang memperngaruhi kepercayaan diri yaitu keadaan fisik,
konsep diri, usia, dukungan sosial, pendidikan.
Pakar ilmu jiwa menemukan bahwa kepercayaan diri mulai
terbentuk sejak bayi dalam kandungan dan berkembang lewat hubungan
27
anak dengan ibu atau pengasuhnya. Salah satu indikator yang penting
anak yang percaya diri adalah ia melekat (attach) dengan ibu atau
pengasuhnya. melekat disini bukan berarti tidak dapat dipisahkan. Melekat
artinya anak memiliki keyakinan dikala ia lapar, ibu atau pengasuhnya
hampir dapat dipastikan dating untuk mengurangi rasa laparnya. pada
waktu anak merasa resah dan menanggis, ibu juga hampir selalu datang
menghiburnya bila anak inggin bermain sendiri, ibu juga tidak sering
menganggu keasyikannya ( Handojo, 1999)
Menurut Gunarsa (1992) perkembangan kepercayaan diri anak
mulai brerkembang sejak usia 0-1 tahun. Anak yang dipelihara dengan
baik dan penuh kasih sayang akan menimbulkan perasaan aman bagi anak
sehingga percaya pada lingkungan. Sebaliknya, apabila anak diabaikan
maka perkembangan kepercayaan diri anak menjadi terhambat, anak tidak
percaya kepada lingkungan dan memberikan penilian yang negatif
terhadap lingkungannya pada usia 0-1 tahun pemberian Asi akan
memberikan rasa aman bagi anak, dan merupakan awal memupuk rasa
percaya diri anak.
Handojo (1999) menambahkan bahwa kepercayaan diri itu mampu
memultiplikasi dengan sendirinya. Setiap keberhasilan pada satu tugas,
akan menambah kepercayaan diri anak untuk mencoba menyeleseaikan
tugas baru yang lain. Rasa ingin tahu dan kepercayaan diri merupakan
asset yang diperlukan anak untuk dapat belajar dengan sukses. Anak yang
28
tidak punya pengharapan bahwa ia akan sukses, biasanya juga tidak
memiliki motivasi untuk mengasah kemampuannya. kalau ini berlangsung
terus menerus anak akan bertumbuh menjadi seorang yang pesimis, ragu-
ragu, pemalu, sulit beradaptasi dengan lingkungan yang merupakan ciri
anak yang kehilangan kepercayaan dirinya.
Menurut Gunarsa (1992 ) anak yang percaya diri adalah anak yang
kreatif anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mencoba hal-hal
yang baru,. Bahkan hal-hal yang berbahaya sekalipun.merupakn tugas ibu
dan pengasuh lain dalam mendampingi anak dengan tidak memberikan
kebebasan secara mutlak termasuk berkreasipun ada batas-batasanya,
sehingga tidak membahayakan anak maupun orang lain. Sebaliknya ibu
tidak ragu untuk melarang anak apabila membahayakan kesalamatan anak
dan orang lain. Namun harus diperhatikan bahwa untuk menentukan
berbahaya atau tidak harus berhati-hati, tetapi tidak pula menganggap
semua berbahaya bagi anak karena akan menyebabkan kreatifitas anak
tidak berkembang.ibu tidak hanya melarang atau memberi batasan tetapi
juga menyediakan fasilitas yang lain untuk anak berkreasi, memberikan
alternatif untuk permainan lain.
Pada usia prasekolah merupakan masa bermain bagi anak.
Memberikan keleluasaan bermain bersama dengan teman-temannya
merupakan langkah yang baik untuk pembentukan kepercayaan diri anak .
Memperbanyak hubungan anak dengan dunia luar, baik dengan teman –
29
teman sebaya maupun dengan yang berbeda usia akan menguatkan rasa
diri anak. Sikap yang otoriter, penuh dengan larangan-larangan hanya
akan merusak percaya diri pada anak. Larangan itu akan mematikan
kreatifitas anak yang selanjutnya memperkuat rasa ketergantungan pada
orang tua. agar anak bisa diarahkan melakukan segala sesuatu sendiri, ibu
harus memulai dari hal-hal kecil kemudian meningkat kepada hal-hal yang
lebih besar ( Purbasari, 2002)
Orang tua dalam hal ini ibu sangat berperan untuk
merngembangkan kepercayaan diri anak. Karakteristik pengasuhan ibu
untuk anak prasekolah berbeda dengan karekteristik pengasuhan ibu untuk
usia lain. Karakteristik pengasuhan ibu meliputi pemeliharaan,
penerimaan, peka, mengizinkan anak untuk mengeksplorasi dan
mengekspresikan diri, disiplin, penggunaan bahasa yang baik serta
memberi batas-batasan atau aturan pada anak. Peran ibu mendapat
hambatan jika ibu harus bekerja diluar rumah waktu yang dimilikiibu
untuk mengasuh dan merawat anak menjadi jauh berkurang. Sehingga
kemampuan sosialisasi anak untuk menerapkan nilai, normal, kebiasaan
yang diperlukan untuk perkembangannya sebagai anggota masyarakat
menjadi rendah karena anak tidak yakin apakah ia mampu untuk
mengadakan interaksi tersebut.
Hal senada yang dikemukan oleh Hurlock (1980) bahwa kalau ibu
bekerja diluar rumah , perawatan harus diserahkan kepada sanak keluarga
30
atau pengasuh bayaran atau anak harus dititipkan kepusat perawatan anak.
Kalau anak merasa senang dalam lingkungan baru dan menyukai
pengasuhnya, ibu tidak akan senang dengan keadaan ini. Sebaliknya,
kalau anak tidak merasa bahagia dan merasa aman, anak membenci karena
tidak mengasuhnya dan ingin akan menyebabkan ibu merasa bersalah
karena melalaikan peran orang tua. Kondisi ini dapat merusak perasaan
aman dan kebersamaan yang berakibat anak menjadi rendah diri terutama
apabila ia melihat hubungan anak-anak lain yang hangat dengan ibunya.
Untuk meningkatkan diri anak sebagaian orang tua mengikutkan
anak dalam perlombaan, misalnya lomba menggambar, menyanyi, menari,
dan lain-lain. Mengikutkan anak dalam perlombaan menyebabkan potensi
anak berkembang. Tetapi untuk memupuk kepercayaan diri padsa anak
ukurannya bukan dalam menang atau kala.karena apabila anak mengalami
kekalahan anak akan menjadi frustasi, kecewa, takut untuk mencoba lagi
menyalakan orang lain atas kelahannya. Tetapi yang paling penting
motivasi orang tua mengikutsertakan anak dalam lomba adalah untuk
mengembangkan percaya diri anak, mengembangkan potensi yang
dimiliki.sehingga kalaupun anak gagal anak tidak mudah menyerah. Ibu
memberi pengertian kepada anak dengan lembut bahwa dalam perlombaan
selau ada yang kalah dan menang. Cara ibu memberi tahukan kepada anak
agar anak tetap percaya diri walaupun ia kalah, misalnya dengan berkata :
31
“nggak menang juga tidak apa-apa, tetap anak mama. Besok dicoba lagi
dan lebih banyak latihan” (Gunarsa, 1992)
Kepercayaan Diri Anak:
a. Interaksi sosial
Anak mampu bergaul dengan orang lain baik teman sebaya
maupun tidak sebaya, sejenis maupun berlainan jenis. Disamping itu
anak tidak merasa takut, canggung dengan kehadiran orang lain. Anak
mampu berkomunikasi lancer dengan orang lain.
b. Kemandirian
Anak mampu melakukan tugas tanpa bantuan orang lain
(berpakaian, mandi, bersisir), memusatkan perhatian pada tugas, anak
mampu mengendalikan diri dalam suasana apapun. Tidak cemas
berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengan anak.
c. Toleransi
Anak bersedia membantu orang lain, mampu memahami orang
lain, mau berbagi miliknya dengan teman, anak mau disuruh minta
maaf jika dia berbuat kesalahan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak yang
memiliki kepercayaan diri yang tinggi adalah anak yang kreatif,
berinisiatif, selalu berani mencoba hal-hal yang baru, memiliki
perasaan yang aman dan nyaman akan lingkungannya, diterima
dilingkungannya. Anak yakin akan kemampuannya.selain itu juga
32
anak mampu bersosialisasi dengan orang lain, anak tidak ragu-ragu,
tidak mementingkan diri sendiri, berprilaku yang positif, mandiri,
perasaan gembira adanya motivasi untuk mengasahnya
kemampuannya.
C. Pola Asuh Orang Tua
a. Pola asuh Anak
Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak
memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-
peraturan yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan
hubungan sosial dengan lingkungan yang lebih luas .Namun dengan adanya
perbedaan latar belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari
orang tua, maka terjadilah keanekaragaman cara mendidik. Menurut Cole
(1983) yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah proses pendidikan
yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat
mempengaruhi sikap tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orangtua.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunarsa (1995) yang mengemukakan
bahwa pola asuh orang tua adalah cara mendidik anak sesuai dengan sifat dan
titik berat orang tua dalam hubungan antar orang tua dan anak.
Menurut Hurlock (1999) Pola asuh orang tua adalah suatu metode
disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya Metode disiplin ini
meliputi dua konsep yaitu konsep negative dan konsep positif. Menurut
33
konsep negative, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan, ini
merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan
menyakitkan, sedangkan menurut konsep positif, disiplin berarti pendidikan
dan bimbinngan yang lebih menekankan pada disiplin dan peengendalian diri.
Lebih jauh Hurlock (1999) menyebutkan bahwa fase pokok dari pola asuh
orang tua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekangan-
pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak
kedalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial.
Proses pendidikan yang berlangsung lama dan berkesinambungan
sehingga dapat mempengaruhi sikap, tingkah laku seseorang yang dilakukan
oleh orang tua (Nurbiati, 2005).
Gunarsa (1995) mengatakan bahwa tidak ada orang tua yang dengan
sengaja mendidik anak supaya tidak berhasil dalam hidupnya. Tetapi
kenyataannya seringkali orang tua tanpa disadari mengambil suatu tertentu
yang sebernarnya merupakan suatu sikap salah, tetapi itu di anggap benar
menurut anggapan mereka atau umum.
Pada dasarnya, pengasuhan anak merupakan anak merupakan proses
yang penuh dinamika. Seiring pertumbuhan dan perkembangan anak salah
satu kunci sukses pengasuhan anak adalah dengan mengembangkan
komunikasi yang efektif antara ibu dan anak. Komunikasi antara ibu dan
anak, idealnya bertujuan meningkatkan intelektual, emosi,moral, percaya diri,
dan spiritual anak. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang pengasuhan
34
anak. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari berbagai media, antara lain
buku-buku, televise, pengalaman dari orang lain (termasuk orang kita), dan
pengalaman yang didapat dari keterlibatan langsung dalam situasi
pengasuhan. (Enoch,1999).
b. Kategori pola asuh
Kategori pola asuh orang tua digolongkan menjadi tiga model yaitu
otoriter (Authoritarian), permisif, demokratis.
1. Authoritarian ( otoriter)
Pola ini mengunaknan pendekatan yang memaksakan kehendak,
suatu peraturan yang dicanangkan orang tua dan harus dituruti oleh anak.
Pendekatan semacam ini biasanya kurng responsive pada hak dan
keinginan anak.
Komunikasi yang dilakukan lebih bersifat satu arah dan lebih
sering berupa perintah, sehingga anak sebagi objek kurang didengar dan
biasanya cenderung diam serta menutup diri.
Hal ini membuat anak tidak memiliki pilihan dalam berperilaku,
karena anak terlalu khawatir dengan apa yang diperintahkan orang tua
dan biasanya takut membuat kesalahan.
2. Permisif
Pola pengasuhan ini menggunakan pendekatan yang sangat
responsif (bersedia mendengarkan) tetapi cenderung terlalu longgar.orang
tua memiliki sikap yang relatif hangat dan menerima sang anak apa
35
adanya, kadang cenderung pada memanjakan. Anak terlalu dijaga,
dituruti keinginannya dan diberi kebebasan untuk melakukan apa saja
yang dia inginkan.
Tetapi tidak diikuti dengan tindakan mengontrol atau menuntut
anak untuk menampilkan prilaku tertentu, sehingga kadang-kadang anak
merasa cemas mereka melakukan sesuatu yang salah atau benar.
3. Demokratis
Pola asuh ini menggunakan pendekatan rasional dan demokratis.
Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya
dengan pertimbangan factor kepentingan dan kebutuhan yang realistis.
Orang tua melakukan pengawasan, kebebasan dan tanggung jawab
kepada anak dalam berakifitas secara wajar dan rasional. Orang tua
menghargai minat anak dan mendorong keputusan anak untuk mandiri,
tetapi tetap tegas dan konsisten dalam menentukan standar, kalau perlu
menggunakan hukuman yang rasional sebagai upaya memperlihatkan
kepada anak konsekuensi suatu bentuk pelanggaran.
Orang tua dan anak saling menghargai hak-hak mereka satu sama
lain. Orang tua menawarkan berbagai kehangatan dan menerima tingkah
laku asertif anak mengenai peraturan , norma dan nilai-nilai.
Salah satu yang terpenting dan bagi banyak anak merupakan tugas
perkembangan paling sulit adalah perkembangan kepribadian.
36
Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang
mempunyai fungsi penting.
Berkenaan dengan pentingnya pemantauan bagi pembentukan
kepercayaan diri anak, banyak ahlii menyebutkan bahwa kepercayaan diri
merupakan salah satu kebutuhan dasar anak sebagai dasar untuk masa
depan yang lebih baik (Gunarsa, 1992). Dengan dasar pertiinbangan yang
paling berperan adalali pola pengasuhan ibu tanpa mengabaikan faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan diri anak. Pola asuh ibu
sendiri dipengaruhi oleh bcberapa faktor salah satunya adalah kesempatan
ibu berada di rumah untuk berinteraksi dengan anaknya.
Pola asuh ibu memegang peranan penting dalam memberikan
standar perilaku dan sumber motivasi bagi anak untuk memenuhi
peraturan tersebut. Berdasarkan teori Baumrind (1991), pola asuh ibu
dibagi menjadi pola asuh ctoriter, pennisif, dan otoritatif. Anak yang
dididik dengan pola asuh otoriter cenderung menarik diri, frustasi, cemas
yang berlebihan, anak dituntut untuk selalu mentaati peraturan dan
langsung memberikan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi anak
untuk memberikan penjelasan mengapa berbuat kesalahan. Sementara
anak yang dididik dengan pola asuh yang pennisif kurang menghargai
orang lain, tidak mempunyai tanggung jawab, sulit dikendalikan, perilaku
negatif di masyarakat. Dari hasil penelitian yang dilakukan Baumrind
(1984), kedua pola asuh di atas memberikan konstribusi yang buruk bagi
37
pembentukan kepercayaan diri anak dan menyebubkan anak sangat
bergantung kepada ibu dan pengasuh lain.
Berbeda pada anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoritatif
atau demokratis, anak diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi
yang dimiliki, berprestasi, berperilaku yang positif, keberhasilan
sosialisasi, anak lebih bertanggung Jawab, dan memiliki kepercayaan din
yang tmggi. (Baumrind, 1984)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
1. Pendidikan Orang Tua
Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan
mempengaruhi kesiapan mereka menjalankan peran pengasuhan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam
menjalankan peran pengasuhan antara lain : terlibat aktif dalam setiap
pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi paa
masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak
dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam kepercayaan anak.
Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai
pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap
menjalankan peran asuh. Selain itu orang tua akan lebih mampu
mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan anak yang
normal (Supartini, 2004)
38
2. Hubungan suami istri
Dalam pemberian pola asuh kepada anak, hubungan yang kurang
harmonis antara suami istri akan berdampak kepada kemampuan orang
tua dalam memberikan pola asuh secara bahagia (Supartini, 2004).
Hubungan suami istri yang kurang harmonis dapat ditandai oleh
keluarga yang sering bertengkar bahkan sering kali adanya kekerasan
dalam keluarga antara kedua orang tua (Depkes, 1995).
3. Umur Orang Tua
Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki
mempunyai alasan yang kuat dengan kesiapan menjadi orang tua.
Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran
pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak
dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan
kekuatan fisik dan psikososial (Supartini, 2004).
D. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak
Baumrind mengatakan bahwa hubungan antara pola asuh dan karakteristik
anak pada sampel prasekolah tetap kuat ketika dites kembali pada pertengahan
masa prasekolah. Anak dengan orang tua yang otoritatif cenderung mempunyai
skor yang lebih tinggi dalam pengukuran kepercayaan diri (self-confidence). Pola
asuh otoritatif berhubungan dengan penyesuaian diri yang lebih positif terhadap
trauma keluarga, seperti perceraian atau perkawinan kembali. Dalam penelitian
39
lebih lanjut anak-anak ini ditemukan lebih kompeten berdasarkan penilian teman
sebaya, beberapa anak remaja serta pengamat dalam penelitian.
Anak dengan pola asuh otoriter cenderung mempunyai skor yang lebih
rendah pada pengukuran kepercayaan diri. Didapatkan skor rendah pada
pengukuran hubungan sosial dengan teman sebaya dan dalam beberapa kondisi
ditemukan tingkat yang tinggi dari agresi interpersonal.
Anak dengan orang tua permisif lebih serring menunjukkan kesulitan
dalam penyesuaian di sekolah, cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada
rata-rata pengukuran agrivitas, pada remaja lebih cenderung terlibat dalam prilaku
menyimpang serta prilaku bermasalah lainnya.
Tipe pola asuh otoritatif umumnya menghasilakan anak yang lebih
bertanggung jawab dan mengandalkan diri sendiri. Anak berkembang menjadi
tidak bergantung ,agresif, bersahabat, dan kooperatif.
Dua tipe lainnya, otoriter dan permisif menghasilkan ketergantungan pada
anak.kedua tipe ini disimpulkan memiliki ide-ide yang realistik tentang anak-
anak.keduanya melihat bahwa anak dikendalikan oleh dorongan (impuls) yang
primitive dan egois. Pola asuh otoriter menghasilkan anak yang patuh dirumah
dan sering tergantung serta pasif dalam situasi otoritas lainnya. Anak sering
menampilkan prilaku menarik diri.bersifat curiga, dan cenderung tidak puas. Di
lain pihak, anak dengan pola asuh permisif sering kekurangan control diri dan
kepercayaan diri. Anak dibesarkan dibawah pengaruh yang cenderung
menimbulkan rasa takut akan pengalaman baru. Mungkin karena kebebasan tidak
40
terbatas yang diterima membuat anak tidak yakin prilaku bagaimana yang dapat
diterima dalam iklim yang otoritatif
E. Kerangka Teori
Gambar 1
Hurlock, E.B, 1980, Developmental Psycology. A life-span .Approach,5th edition,
MC Graw-Hill, Inc, New york.
Masa Prasekolah • Perkembangan fisik • Ketrampilan pada awal masa prasekolah • Kemajuan berbicara pada awal masa
prasekolah • Perkembangan emosi • Perkembangan sosialisasi • Bermain pada awal masa prasekolah • Perkembangan kepribadian
Faktor yang mempengaruhi • Tingkat pendidikan • Jumlah anak • Pengalaman
(pengasuhan dari orang tua)
• Umur orang tua • Hubungan suami istri
Kepercayaan diri anak
Pola asuh orang • Otoriter • Pemisif • otoritatif
Faktor yang mempengaruhi • Toleransi • Interaksi sosial • kemandirian
41
F. Kerangka konsep
Variabel independent ( bebas ) Variabel dependent (terikat )
G. Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian terdiri dari variabel independent ( bebas ) dan
variabel dependent ( terikat )
7. Yang dimaksud dengan variabel independen dalam penelitian ini adalah pola
asuh orang tua.
8. Yang dimaksud dengan variabel dependent dalam penelitian ini adalah
kepercayaan diri anak
H. Hipotesis
Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak.
Pola asuh orang tua Kepercayaan diri anak
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif dengan
menggunakan rancangan cross sectional, yaitu suiatu penelitian dimana variabel-
variabel yang termasuk variabel dependent dan independent diobservasi sekaligus
dalam waktu yang bersamaan (Notoatmojo, 2003)
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian (Arikunto,2002),
Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ibu-ibu dari siswa-siswi
di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 50 orang responden.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling
tertentu untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi (Nursalam 2001).pada
penelitian ini sampel diambil dan populasi ibu-ibu yang mempunyai anak
yang sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon Kendal dengan
memperhatikan kriteria sebagai berikut:
43
a. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi
oleh subyek sehingga dapat diikut sertakan dalam penelitian (Nursalam,
2003). Dalam penelitian criteria inklusinya adalah:
1) Ibu yang bersedia diteliti
2) Ibu yang putra-putrinya sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan
Pegandon Kendal.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan sampel yang
memenuhi kriteria tidak diikutsertakan dalam penelitian (Nursalam,
2003) .Dalam penelitian ini kriteria ekslusinya adalah :
1) Ibu yang tidak bersedia diteliti.
2) Ibu yang putra-putrinya sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan
Pegandon Kendal.
Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
menggunakan total sampling, dimana responden yang memenuhi kriteria
inklusi dijadikan sampel. Dalam pengambilan sampel ada 50 orang
responden dari siswa-siswi TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon
Kendal.
44
C. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independent dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri anak.
3. Variabel moderator
Variabel moderator dalam penelitian ini adalah pekerjaan ( Orang tua yang
bekerja maupun yang tidak bekerja)
D. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Variabel
bebas: pola
asuh
Pola asuh adalah suatu
cara atau sistem untuk
merawat, menjaga dan
mendidik anak yang
berlangsung lama dan
berkesinambungan
sehingga dapat
mempengaruhi sikap,
tingkah laku seseorang
yang dilakukan oleh
• Kuesioner
tertutup,
dengan 30
pertanyaan
dan pilihan
jawaban ,
penilaian
untuk
pertanyaan
• Selalu (skor
• Jumlah skor
yang diperoleh
dengan nilai
skor
• < 70% : kurang
• > 70 % : baik
Ordinal
45
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
orang tua. 4)
• Sering (skor
3)
• Jarang (skor
2)
• Tak pernah
(skor 1)
2. Variabel
terikat :
kepercayaan
diri
Kepercayaan diri
adalah suatu
keyakinan seseorang
terhadap segala Aspek
kelebihan yang
dimilikinya, dalam
mencapai berbagai
tujuan di dalam
hidupnya sehingga
tidak perlu
membandingkan
dirinya dengan orang
lain.
Kuesioner
tertutup, dengan
25 pertanyaan
dan pilihan
jawaban ,
penilaian untuk
pertanyaan
favorable :
• Selalu
(Skor 4)
• Sering (skor
3)
• Kadang-
• Jumlah skor
yang diperoleh
dengan nilai
skor :
• < 63% : rendah
• > 63% : tinggi
Ordinal
46
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
kadang (Skor
2)
• Tidak pernah
(Skor 1)
Sedangkan
untuk penilaian
untuk
pertanyaan
unfavorable :
• Selalu (skor
4)
• Tidak sering
(skor 3)
• Sering (skor
2)
• Sangat sering
(skor 1)
47
E. Instrumen Penelitian
1. Skala Pola Asuh
Untuk mengetahui pola asuh pada subjek penelitian digunakan alat
ukur berupa kuesioner tertutup yang di sesuaikan dengan umur subjek yaitu
usia prasekolah. Skala pola asuh dilakukan dengan bobot 1-4yaitu skor 4
untuk jawaban “selalu”, 3 “untuk sering”, 2 untuk “jarang”, 1 untuk “tidak
pernah”.
Skala pola asuh terdiri dari 30 item yaitu, 11 item otoriter, 9 item
permisif, 10 item otoritatif.
2. Skala Kepercayaan Diri
Untuk mengukur kepercayaan diri anak digunakan alat ukur berupa
kuesioner tertutup. Kuesioner ini diadaptasi bahasa karena subjek yang diteliti
berumur lebih muda dan ditambah beberapa item untuk memperluas
pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner kepercayaan diri menjadi 25 item
favorable dan unfavorable yang menggunakan tiga aspek, yaitu (1) interaksi
sosial adalah anak mampu bergaul dengan orang lain baik teman sebaya
maupun tidak sebaya,sejenis maupun berlainan jenis.disamping itu anak tidak
merasa takut,canggung dengan kehadiran orang lain,anak mampu
berkomunikasi lancer dengan orang lain.(2) kemandirian adalah anak mampu
melakukan tugas tanpa bantuan orang lain, memusatkan perhatian pada tugas,
anak mampu mengendalikan diri dalam suasana apapun, tidak cemas berpisah
dari ibu atau orang yang dekat dengan anak.(3) toleransi adalah anak bersedia
48
membantu orang lain, mampu memahami orang lain mau berbagi miliknya
dengan teman, anak mau disuruh minta maaf jika dia berbuat kesalahan. yang
disusun dengan skala likert dengan bobot 1-4. pertanyaan yang favorable skor
4 untuk jawaban “selalu”,skor 3 untuk “sering”, skor 2 untuk “kadang-
kadang”,skor 1 untuk” tidak pernah. Jawaban pertanyaan unfavorable yaitu
skor 4 untuk jawaban “selalu”,3 untuk “tidak sering”,2 untuk “sering”,1 untuk
“sangat sering”. Semakin tinggi nilai yang diperoleh subjek dalam kuesioner
ini semakin tinggi kepercayaan dirinya. Sebaliknya semakin rendah nilai yang
diperoleh subjek semakin rendah kepercayaan dirinya.
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Dilakukan uji coba item dan analisis item kuesioner kepercayaan diri anak
kepada 50 orang siswa TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal, kemudian
dilakukan analisis item dengan menguji korelasi antara skor item dengan skor
total dengan pendekatan internal concistensy. Pendekatan konsistensi internal
memerlukan hanya satubentuk tes yang dikenakan sekali saja pada kelompok
subjek (Azwar, 2000).Korelasi yang tinggi menunjukkan kesesuaian antara fungsi
item dengan fungsi ukur angket secara keseluruhan. Teknik yang digunakan
adalah korelasi product moment dari Pearson, yaitu:
( )( )( ){ } ( ){ }∑ ∑∑ ∑
∑∑ ∑−−
−=
nYYnXX
nYXXYrxy
//
/2222
Keterangan X dan Y = Skor masing-masing skala
n = Banyak Subjek
49
Menurut Sugiono (2003) keputusan ujinya adalah:
Bila r hitung lebih besar dari r tabel artinya variabel tersebut valid.
Bila r hitung lebih kecil dari r table artinya variabel tersebut tidak valid.
Hasil ujicoba instrumen terhadap 15 diperoleh rxy > rtabel (0,514) yang
berarti instrumen valid. Lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.
Reabilitas alat ukur pada prinsipnya menunjukkan sejauh mana suatu alat
ukur dapat memberikan hasil pengukuran yang relative tidak berbeda bila
dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Azwar, 2000).
Reabilitas alat ukur dalam penelitian ini diuji dengan alat uji reabilitas Alpha,
yaitu:
2
211 X
J
S
Sk
k ∑−−
=α
Keterangan k = Banyaknya belahan tes
SJ2 = Varians belahan j; j = 1,2….k
Sx = Varians skor tes
Menurut sugiono (2003) dasar pengambilan keputusan uji reabilitas adalah
sebagai berikut:
- Jika r alpha positif dan alpha > r tabel maka butir atau variabelnya tersebut
tidak reliable.
- Jika r alpha positif dan alpha < r tabel , maka butir atau variabel tersebut
tidak reliable.
50
- Jika alpha > r tabel tapi bertanda negatif , maka butir atau variabel tersebut
akan tetap tidak reliabel.
Hasil analisis reliabilitas diperoleh nilai alpha untuk kuesioner pola asuh
orang tua sebesar 0,9532 sedangkan untuk kuesioner kepercayaan diri anak
sebesar 0,9345. Karena nilai alpha > r tabel (0,514) dapat disimpulkan bahwa
kedua instrumen tersebut reliabel.
G. Metode Pengelahan Data dan Analisa Data
1. Prosedur Pengolahan Data
Menurut Arikunto (1997) Pengelolahan data dilakukan dengan tahap-
tahap sebagai berikut :
a. Editing
Editing adalah pengecekan jumlah kuesioner, kelengkapan data,
diantaranya kelengkapan identitas, lembar kuesioner dan kelengkapan
isian kuesioner sehingga apabila mendapat ketidaksamaan dapat
dilengkapi segera oleh peneliti.
b. Coding
Coding adalah melakukan pemberian kode berupa angka untuk
memudahkan pengolahan data. Angka yang digunakan dalam penelitihan
ini adalah 0 dan 1, angka 1 untuk jawaban yang sesuai dengan ketentuan (
ya ) dan angka 0 untuk jawaban yang tidak memenuhi ketentuan ( tidak ).
51
c. Data entry
Data entry adalah memasukkan data yang diperoleh menggunakan
fasilitas computer.
d. Tabulating
Tabulating adalah mengelompokkan data sesuai dengan tujuan
penelitian kemudian dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan.
Setiap pertanyaan yang sudah diberi nilai hasilnya dijumlahkan dan diberi
kategori sesuai dengan jumlah pertanyaan pada kuesioner.
2. Analisa Data
Teknik analisa data yang dipakai adalah Chi-squre, hasil disajikan
dalam distribusi frekuensi dengan rumus :
100% ×=∑ ∑n
X
Keterangan : ∑ X = Jumlah yang dihasilkan
N = Jumlah sample
∑% = Jumlah persen
Rumus Chi-squre yaitu : ( )
h
h
fff
X2
02 ∑ −=
Keterangan : X2 = Chi-squre
f0 = Frekuensi yang diobservasi
.fh = Frekuensi yang diharapkan
52
Analisis data dipercepat dengan menggunakan computer program
SPSS versi 10. penggolongan subyek dibagi kedalam tiga kategori yaitu
tinggi, sedang, rendah ( Azwar, 2000 ).
Cara lain untuk menilai hubungan antara variable adalah dengan
nilai probabilitas ( p ). Dengan tingkat kepercayaan yang dipakai 5% maka
nilai p = 0,05. suatu analisa data dikatakan ada hubungan apabila p < 0,05
dan sebaliknya jika p > 0,05 maka dikatakan tidak mempunyai hubungan.
H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan pemohonan ijin kepada
kepala sekolah TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal. Untuk mendapatka
persetujuan dengan menekannkan pada masalah penelitian yang meliputi :
1. Informed consent
Merupakan cara persetujuan anatara peneliti dengan responden dengan
memberiakn persetujuan melalui informed consent. Dengan memberikan
lembar persetujuan pada responden sebelum penelitian dilaksanakan. Tujuan
dari lemabar persetujuan ini sebagai bukti penyelenggaraan penelitian,
tanggung gugat, dan agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian
dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak
responden.
53
2. Anonymity ( tanpa nama )
Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dimana tidak
dituliskan nama responden pada kuesioner dan hanya diberikan kode atau
nomer responden.
3. Contidentiality ( kerahasiaan )
Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin
keraharisnnya oleh peneliti. Hanya data tertentu saja yang disajikan dalam
bentuk kesimpulan data.
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini mengungkap tentang hubungan antara pola asuh orang tua
dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Kecamatan
Pegandon Kabupaten Kendal. Data diperoleh dari pengisian kuesioner kepada orang
tua anak dan selanjutnya dianalisis secara univariate dan bivariate.
1. Analisis Univariate
a. Jenis Pekerjaan Ibu
Ibu dari anak di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Kecamatan
Pegandon Kabupaten Kendal yang menjadi responden penelitian ini sebagian
besar tidak bekerja.
Tabel 4.1. Jenis Pekerjaan Ibu Anak TK Tarbiyatul Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal
Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase
Tidak bekerja 41 82.0 Bekerja 9 18.0
Total 50 100 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006
Terlihat pada tabel di atas, sebanyak 41 ibu atau 82% tidak bekerja dan
hanya sebagai ibu rumah tangga saja, selebihnya 9 ibu atau 18% bekerja di
luar rumah.
b. Gambaran Pola Asuh Orang Tua
55
Pola asuh orang tua diambil dengan kuesioner sebanyak 30 butir
dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 4. Lebih lanjut gambaran pola asuh
orang tua dari hasil penelitian dapat dilihat pada analisis deskriptif berikut.
Tabel 4.2. Pola Asuh Orang Tua Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal
Pola asuh Frekuensi Persentase
Baik 36 72 Kurang 14 28 Jumlah 50 100
Sumber: data primer yang diolah tahun 2006
Terlihat dari tabel di atas, sebanyak 36 responden atau 72% memilik
pola asuh yang baik, selebihnya 14 responden atau 28% dalam kategori
kurang.
c. Gambaran Umum Kepercayaan Diri Anak
Gambaran umum kepercayaan diri anak dilihat dari pengisian
kuesioner sebanyak 25 butir penyataan dengan skor terendah 1 dan skor
tertinggi 4.
Tabel 4.3. Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal
Kepercayaan Diri Frekuensi Persentase
Tinggi 25 50 Rendah 25 50 Jumlah 47 100
Sumber: data primer yang diolah tahun 2006
Terlihat dari tabel di atas, sebanyak 25 anak atau 50% memiliki
kepercayaan diri tinggi dan 25 anak lainnya atau 50% memiliki kepercayaan
diri rendah.
57
2. Analisis Bivairate
a. Perbedaan Pola Asuh Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja
Perbedaan pola asuh ibu bekerja dan tidak bekerja dapat dilihat
dari analisis chi square sebagai berikut.
Tabel 4.4. Perbedaan Pola Asuh Ibu Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal antara yang Bekerja dan Tidak Bekerja
Pola asuh
Baik Kurang Total Jenis pekerjaan f % f % f %
Tidak bekerja 29 70.7 12 29.3 41 100Bekerja 7 77.8 2 22.2 9 100
χ2 hitung = 0,182; p value = 0,670 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006
Terlihat pada tabel di atas, dari 41 ibu yang bekerja, terdapat 29
ibu atau 70,7% memiliki pola asuh baik, selebihnya 12 ibu atau 29,3%
memiliki pola asuh kurang baik. Dari 9 ibu yang bekerja, ternyata 7 ibu di
antaranya atau 77,8%nya memiliki pola asuh baik dan 2 ibu atau 22,2%
memiliki pola asuh kurang baik. Dari data di atas menunjukkan tidak ada
perbedaan pola asuh antara ibu yang bekerja dan tidak bekerja yaitu
cenderung dalam kategori baik.
Simpulan ini didukung pula dari hasil uji chi square dan diperoleh
χ2 hitung = 0,182 dengan p value = 0,670 > 0,05, yang berarti secara
signifikan tidak ada perbedaan yang nyata pola asuh yang digunakan
58
orang tua anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon
Kabupaten Kendal antara yang bekerja dan tidak bekerja.
b. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak
Hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri
anak dapat dilihat dari analisis chi kuadrat seperti tercantum pada tabel
berikut.
Tabel 4.5. Tabulasi Silang Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal
Kepercayaan Diri Anak
Rendah Tinggi Jumlah Pola asuh orang tua f % f % f %
Baik 14 39 22 61 36 100 Kurang 11 79 3 21 14 100
χ2hitung = 6,49; p value = 0,012
Terlihat dari tabel di atas terdapat 36 anak mendapatkan pola asuh
yang baik dan ternyata 22 anak di antaranya atau 61% memiliki
kepercayaan diri yang tinggi dan 14 anak atau 39% memiliki kepercayaan
diri yang rendah. Terlihat dari tabel di atas, terdapat 14 anak mendapatkan
pola asuh kurang dan ternyata 11 anak diantaranya atau 79% memiliki
kepercayaan diri yang rendah dan sisanya 3 anak atau 21% memiliki
kepercayaan diri tinggi. Berdasarkan hasil korelasi chi square diperoleh χ2
hitung = 6,349 dengan p value = 0,012 < 0,05, yang berarti hipotesis yang
menyatakan ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan
60
B. Pembahasan
1. Pola Asuh Orang tua Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan
Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.
Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak
memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan
yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial
dengan lingkungan yang lebih luas. Menurut Cole (1983,h.432) yang
dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah proses pendidikan yang
berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat mempengaruhi sikap
tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orangtua. Gunarsa (1995 ,h.116)
juga mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara mendidik anak
sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam hubungan antar orang tua
dan anak. Hurlock (1999 ,h.82) mendefinisikan bahwa pola asuh orang tua
adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa pola asuh orang tua anak
TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal
dalam kategori baik. Dari 50 responden yang diteliti terdapat 36 responden
atau 72% memiliki pola asuh yang baik. Ini menunjukkan bahwa pola asuh
yang dikembangkan kepada anak cenderung pola asuh demokratis.
Pola asuh yang satu ini menggunakan pendekatan rasional dan
demokratis. Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan
61
mencukupinya dengan pertimbangan faktor kepentingan dan kebutuhan yang
realistis. Orang tua melakukan pengawasan, kebebasan dan tanggung jawab
kepada anak dalam berakifitas secara wajar dan rasional. Orang tua
menghargai minat anak dan mendorong keputusan anak untuk mandiri, tetapi
tetap tegas dan konsisten dalam menentukan standar, kalau perlu
menggunakan hukuman yang rasional sebagi upaya memperlihatkan kepada
anak konsekuensi suatu bentuk pelanggaran. Ciri lainnya orang tua dan anak
saling menghargai hak-hak mereka satu sama lain. Orang tua menawarkan
berbagai kehangatan dan menerima tingkah laku asertif anak mengenai
peraturan , norma dan nilai-nilai.
Namun demikian masih ada 28% orang tua yang memiliki pola asuh
kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa ada indikasi pola asuh yang
digunakan cenderung otoriter atau pola asuh yang satunya yaitu permisif. Pola
asuh otoriter lebih mengunakan pendekatan yang memaksakan kehendak,
suatu peraturan yang dicanangkan orang tua dan harus dituruti oleh anak.
Pendekatan semacam ini biasanya kurng responsive pada hak dan keinginan
anak. Komunikasi yang dilakukan lebih bersifat satu arah dan lebih sering
berupa perintah, sehingga anak sebagi objek kurang didengar dan biasanya
cenderung diam serta menutup diri, sebaliknya pada pola asuh permisif lebih
menggunakan pendekatan yang sangat responsif (bersedia mendengarkan)
tetapi cenderung terlalu longgar. Orang tua memiliki sikap yang relatif hangat
62
dan menerima sang anak apa adanya, kadang cenderung pada memanjakan.
Anak terlalu dijaga, dituruti keinginannya dan diberi kebebasan untuk
melakukan apa saja yang dia inginkan. Tetapi tidak diikuti dengan tindakan
mengontrol atau menuntut anak untuk menampilkan prilaku tertentu, sehingga
kadang-kadang anak merasa cemas mereka melakukan sesuatu yang salah
atau benar.
Berdasarkan data yang diperoleh ternyata ibu yang bekerja dan tidak
bekerja memiliki pola asuh yang relatif sama yaitu cenderung baik , dan hanya
sebagian yang kurang baik.
2. Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan
Pegandon Kabupaten Kendal.
Kepercayaan diri menurut Angelis (2003,h.10) merupakan keyakinan
dalam hati bahwa segala tantangan hidup apapun harus dihadapi dengan
berbuat sesuatu. Kepercayaan diri menurut Branden (dikutip
walgito,1993,h.7) adalah kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada
dalam dirinya. Hambly (1989,h.3) menambahkan bahwa kepercayaan diri
adalah keyakinan diri yang dimiliki individu dalam menanggani segala situasi.
Hakim (2002,h.6) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu
keyakinan seseorang terhadap segala aspek, kelebihan yang dimilikinya dan
keyakinan mampu mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. Berdasarkan
63
data yang diperoleh ternyata seanyak 50% anak memiliki kepercayaan diri
tinggi dan 50% anak memiliki kepercayaan diri kurang. Dari data ini
menunjukkan bahwa sebagian siswa memiliki kepercayaan diri tinggi dalam
arti mampu bertanggung jawab, merasa aman, memiliki harga diri, mandiri,
optimis dan tidak mudah putus asa. Menurut Antony yang dikutip oleh
Irawati, 2002, h. 10-11) menyatakan ciri-ciri orang yang memiliki
kepercayaan diri yaitu mau menerima resiko dari perbuatannya, tidak merasa
takut dan cemas, mampu menyadari kekurangan dan kelebihannya, tidak
mudah bergantung pada orang lain, merasa optimis yaitu menyadari
kemampuan yang dimiliki dan berusaha memperoleh yang terbaik dan tidak
mudah putus asa. Namun demikian masih ada 50% lagi anak yang memiliki
kepercayaan diri rendah. Hal ini menunjukkan bahwa anak tersebut belum
menunjukkan secara optimal ciri-ciri kepercayaan diri yang telah
dikemukakan tersebut.
Kepercayaan diri anak dapat dilihat dari tiga indikator yakni interaksi
sosial, kemandirian dan toleransi terhadap orang lain. Terkait dengan ketiga
indikator tersebut, ternyata 64% anak masih memiliki interaksi sosial yang
rendah, sebanyak 44% memiliki kemandirian yang rendah dan 44% siswa
memiliki toleransi kepada ornag lain yang rendah. Dari data tersebut
menunjukkan bahwa masih banyak anak yang kurang mampi berinteraksi
sosial karema kurang memiliki kepercayaan diri, masih banyak anak yang
64
memiliki kemandirian yang rendah, masih banyak anak yang memiliki
ketergantuan yang tinggi pada orang lain. Rasa toleransi dari siswa masih
rendah, hal ini dimungkinkan karena kurangnya kepercayaan pada diri sendiri.
3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak TK
Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat
berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan
kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut
berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam
keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian
adalah praktik pengasuhan anak. Seperti diungkapkan oleh Brown dalam
Tarsis Tarmudji yang menyatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang
pertama kau menerima kehadiran anak.
Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi budaya yang ada di
lingkungannya. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua
sangat berperan dalam meletakkan dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap,
perilaku dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, ditiru oleh anaknya
kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya kemudian
menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak
mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum identifikasi dengan orang
lain (Bonner dalam Tarsis Tamudji).
65
Pola asuh yang orang tua berhubungan erat dengan kepercayaan diri
anak. Ada kecenderungan bahwa dari anak yang mendapatkan pola asuh baik
(demokratis) memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dari data sebanyak 36
anak yang memperoleh pola asuh baik, 22 di antaranya memiliki kepercayaan
diri tinggi, sebaliknya dari 14 responden yang memperoleh pola asuh kurang
(bukan demokratis), ternyata 11 di antaranya memiliki kepercayaan diri
rendah. Hasil uji chi square diperoleh p value = 0,012 < 0,05, yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kepercayaan diri. Hasil
penelitian ini mendukung pendapat Baumrind (1984) yang mengatakan bahwa
hubungan antara pola asuh dan karakteristik anak pada sampel prasekolah
tetap kuat ketika dites kembali pada pertengahan masa prasekolah.
Kepercayaan diri anak salah satunya kemandirian terbentuk karena adanya
pola asuh yang baik. Hal ini terbukti dari hasil uji chi square hubungan pola
asuh dengan kemandirian diperoleh p value = 0,015 (lampiran). Ini
membuktikan bahwa kemandirian anak yang cenderung tinggi berasal dari
anak yang mendapatkan pola asuh baik (demokratis), sebaliknya anak yang
memiliki kemandirian anak yang kurang berasal dari anak yang mendapatkan
pola asuh oorites dan permisif.
Anak dengan orang tua yang demokratis cenderung mempunyai skor
yang lebih tinggi dalam pengukuran kepercayaan diri (self-confidence). Pola
asuh demokratis berhubungan dengan penyesuaian diri yang lebih positif
terhadap trauma keluarga, seperti perceraian atau perkawinan kembali. Dalam
66
penelitian lebih lanjut anak-anak ini ditemukan lebih kompeten berdasarkan
penilian teman sebaya, beberapa anak remaja serta pengamat dalam
penelitian. Anak dengan pola asuh otoriter cenderung mempunyai skor yang
lebih rendah pada pengukuran kepercayaan diri. Didapatkan skor rendah pada
pengukuran hubungan sosial dengan teman sebaya dan dalam beberapa
kondisi ditemukan tingkat yang tinggi dari agresi interpersonal.
Anak dengan orang tua permisif lebih sering menunjukkan kesulitan
dalam penyesuaian di sekolah, cenderung memiliki skor yang lebih tinggi
pada rata-rata pengukuran agrivitas, pada remaja lebih cenderung terlibat
dalam prilaku menyimpang serta prilaku bermasalah lainnya.
Tipe pola asuh demokratis umumnya menghasilkan anak yang lebih
bertanggung jawab dan mengandalkan diri sendiri. Anak berkembang menjadi
tidak bergantung ,agresif, bersahabat, dan kooperatif. Dua tipe lainnya,
otoriter dan permisif menghasilkan ketergantungan pada anak. kedua tipe ini
disimpulkan memiliki ide-ide yang realistik tentang anak-anak. keduanya
melihat bahwa anak dikendalikan oleh dorongan (impuls) yang primitive dan
egois. Pola asuh otoriter menghasilkan anak yang patuh dirumah dan sering
tergantung serta pasif dalam situasi otoritas lainnya. Anak sering
menampilkan prilaku menarik diri. bersifat curiga, dan cenderung tidak puas.
Di lain pihak, anak dengan pola asuh permisif sering kekurangan control diri
dan kepercayaan diri. Anak dibesarkan dibawah pengaruh yang cenderung
menimbulkan rasa takut akan pengalaman baru. Mungkin karena kebebasan
67
tidak terbatas yang diterima membuat anak tidak yakin prilaku bagaimana
yang dapat diterima dalam iklim yang demokratis.
4. Keterbatasan Penelitian
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepercayaan diri anak
sangatlah kompleks. Adapun keterbatasan penelitian ini adalah:
a. Waktu penelitian sangat singkat, yang dilakukan dalam satu hari, sehingga
kuesioner tidak semua terisi oleh ibu-ibu di TK Tarbiyatul Athfal
Penanggulan Pegandon Kendal
b. Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional yang berarti melihat pola
asuh orang tua terhadap kepercayaan didik anak pada suatu saat saja,
padahal perkembangan diri anak merupakan proses yang berjalan dan
tidak dapat diobervasi secara sesaat.
68
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil beberapa
simpulan antara lain:
1. Pola asuh orang tua anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan
Pegandon Kabupaten Kendal tergolong baik (demokratis) yaitu sebesar 72%.
2. Kepercayaan diri anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan
Pegandon Kabupaten Kendal sebagaian dalam kategori tinggi (50%) dan
sebagian lainnya tergolong rendah (50%)
3. Ada hubungan positif yang signifikan pola asuh orang tua dengan
kepercayaan diri anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon
Kabupaten Kendal (p value = 0.012).
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak anak
yang memiliki kepercayaan diri rendah, oleh karena itu disarankan:
1. Kepada orang tua anak lebih memberikan pola asuh yang lebih demokratis
dengan terus menerus untuk membangun kepercayaan diri anak.
2. Orang tua anak hendaknya lebih banyak mengurangi pola asuh yang bersifat
otoriter yang dapat menghambat kepercayaan diri anak.
69
3. Perawat anak hendaknya ikut berperan aktif memberikan pola asuh yang lebih
demokratis sehingga akan terbentuk kepercayaan diri anak yang lebih mantap.
4. Bagi peneliti lain hendaknya lebih meneliti dengan sampel yang lebih luas
dan menambah variabel lain seperti pola didik dari guru, sebab guru juga
memberikan kontribusi pula terhadap kepercayaan diri anak.