1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pabrik Gula (PG) Tasikmadu terletak di Desa Ngijo, Kecamatan
Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, atau sekitar 12
kilometer arah timur Kota Surakarta. Lokasi ini mudah dijangkau dari Kota
Surakarta dengan angkutan darat seperti bis atau angkutan menuju ke arah
Karanganyar. Penanda ke arah pintu masuk PG Tasikmadu di sepanjang jalan
Solo–Tawangmangu, adalah tugu berwarna hitam seperti yang ada di pura Bali.
tugu tersebut terkenal dengan nama perempatan Papahan.
Gambar 1. Tugu papahan
PG Tasikmadu didirikan oleh Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
(KGPAA) Mangkunegara IV pada 1871. Ia seorang raja yang memiliki wawasan
ekonomi yang luas, sekaligus menggemari sastra. PG Tasikmadu berdiri di atas
tanah milik Pura Mangkunegaran seluas 28,364 hektar, PG Tasikmadu ini salah
satu peninggalan masa Mangkunegara IV yang masih eksis hingga kini dan
2
3
mampu menghidupi masyarakat sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pesan
Mangkunegara IV saat membangun PG Tasikmadu. “Pabrik iki openana, sanajan
ora nyugihi, nanging nguripi, kinarya papan pangupa jiwone kawula dasih
(Pabrik ini peliharalah, meski tak membuat kaya, tetapi menghidupi, sebagai
tempat mata pencaharian umat manusia).”
PG Tasikmadu telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Penetapan itu
mempertimbangkan usia bangunan dan benda bersejarah di dalamnya, seperti alat
penggilingan tebu berangka tahun 1926 dari Belanda. Di halaman depan pabrik
terdapat kremoon (gerbong) buatan tahun 1875 yang digunakan Mangkunegara IV
Gambar 2. Kremoon (gerbong)
saat mengunjungi pabrik. Ada pula gerbong berwarna hijau buatan S Chevalier
Constuction Paris yang digunakan Mangkunegara IV menemui rakyat, dan bendi
untuk mengujungi kebun tebu.
4
Gambar 3. Gerbong hijau buatan S.Chevalier
PG Tasikmadu hingga sekarang masih beroperasi. Dalam setahun, musim
giling tebu berlangsung 7 bulan, yakni April hingga Oktober, dan pengelolaan
pabrik tersebut di bawah PT Perkebunan Nusantara IX (Persero). Berbeda dengan
industri–industri yang lain industri gula ini masih mempunyai tradisi yang
melekat dan hidup hingga kini, yakni tradisi selamatan giling yang terdiri atas dua
bagian yakni bagian sakral/spiritual semacam tradisi julen dan bagian fisik
keramaian semacam pasar malam untuk rakyat. Hampir semua tradisi dan budaya
memiliki akar sejarah panjang karena merupakan warisan nenek moyang, Sebagai
cara masyarakat mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena telah memberikan rezeki dan keselamatan.
Menurut Magnis-Suseno (2003:1), mungkin karena kedekatan masyarakat
terhadap alam pula yang menyebabkan berkembangnya pemikiran mengenai
fenomena alam dalam masyarakat Jawa, yang kemudian melahirkan beberapa
tradisi atau ritual yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam tempat
hidup mereka. Dari itulah, sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini masih
percaya pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang dikenal
kesekten, arwah, atau ruh leluhur, makhluk-makhluk halus setan serta jin lain
5
yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan,
kebahagiaan, ketenteraman, keselamatan, tetapi sebaliknya, dapat pula
menimbulkan gangguan pikiran, ganguan kesehatan, bahkan kematian. Apabila
sesorang ingin hidup tanpa mengalami gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu
untuk memengaruhi alam semesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang
melakukan perbuatan serta makan-makanan tertentu, berselamatan, dan bersaji
(Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2007 : 347).
Dari uraian di atas menjelang musim giling tebu PG Tasikmadu
melaksanakan serangkaian upacara atau tradisi sakral untuk keselamatan antara
lain cembengan, julen, penampilan reog ponorogo, wayangan, kethoprak, dan
klenengan yang dilaksanakan sebelum pengoperasian mesin-mesin utama
produksi penggilingan tebu. Perihal seperti itu dilaksanakan oleh pihak
perusahaan pabrik gula maupun masyarakat sekitar guna mempersembahkan
sesaji-sesaji kepada dhanyang-dhanyang pabrik dan sebagai usaha penyelamatan
kearifan lokal atau melestarikan budaya. Masyarakat setempat menganggap
tempat-tempat tertentu masih mempunyai penunggu-penunggu yang tidak boleh
diganggu ataupun harus diajak berpartisispasi di dalam kegiatan tersebut. Seperti
halnya salah satu rangkaian upacara selamatan giling PG Tasikmadu yaitu tradisi
Julen yang menarik berbagai kalangan masyarakat untuk mengerti atau melihat
apakah tradisi julen tersebut.
Tradisi julen merupakan sebuah upacara atau ritual untuk menandai
mulainya pemroduksian tebu dengan arakan dari karyawan pabrik yang memikul
berbagai macam sesaji untuk diserahkan kepemimpin pabrik untuk di tempatkan
ke bagian-bagian mesin giling. sepasang tebu pertama yang diiringi tebu
6
pengiring untuk dijadikan tebu perdana masuk ke dalam mesin crusher di pabrik
gula yang disebut tebu temanten. Sebagaimana layaknya sejoli atau sepasang
temanten pada masyarakat Jawa, yang dihiasi berbagai asesoris yang indah.
Kata joli ini merujuk miniatur rumah yang berderet sepasang yang di
dalamnya terdapat berbagai macam-macam sesaji yang dipikul oleh karyawan
untuk masuk ke dalam pabrik sebagai tanda rasa syukur sekaligus sesembahan
kepada dhanyang supaya diberi kelancaran. Tradisi ini dilakukan setiap setahun
sekali mirip sebuah ritual adat pernikahan Jawa disimbolkan dengan pengantin
tebu dengan jenis tebu terbaik sebagai bahan pokok pertama dalam pemroduksian
gula supaya menghasilkan gula yang terbaik.
Gambar 4. Joli yang dipikul oleh karyawan
Joli ini diarak oleh pengiring pengantin tebu diikuti pula sesaji seperti
endhas kebo, ampyang, sega thiwul, ngantenan, takir ponthang, sega suci, sega
golong, sega asahan, klasa bangka, palawija, jajan pasar, cok bakal, slindur,
jadah, joli, wajik, lempeng, criping, kunci, miri, ampo, kencur, kendhi, jenang,
panjang ilang, suruh, kunir, wedhak, tepas, menyan, candu, lengo, takir, trasi,
kembar mayang, cengkir gading, sekar setaman, jenang ketan ireng, kopi, air
7
putih, ciu/arak, trasi, uyah, rante, lombok, tebu wulung, panjang ilang, nanas
dua buah, wedhak, minyak wangi, kaca, lisah jawi, cok bakal, kacang tholo,
gedhang ayu, jenang katul, dengan diarak oleh karyawan-karyawan pabrik dari
depan Pasar Nglano menuju ke dalam pabrik gula. Setelah itu dilaksanakan suatu
acara penyerahan dan pemasangan sesaji–sesaji di bagian-bagian mesin utama
pengoperasian. Tradisi julen ini dilaksanakan menandai berakhirnya pasar malem
cembengan dan dimulailah pengoperasian mesin produksi gula yang diawali
dengan upacara selamatan tradisi julen, Pelaksanaannya pada hari Kamis Pahing
bulan keempat yaitu bulan April.
Gambar 5. Macam-macam sesaji tradisi julen
Upacara sesaji julen selamatan giling merupakan ucapan syukur kepada
Tuhan Yang Mahaesa yang diwujudkan dengan penyerahan sesaji. Sesaji yang
biasa disebut masyarakat Jawa dengan istilah sesajen ini dianggap penting karena
merupakan media pengantar komunikasi antara sang pemohon dengan unsur yang
dituju. Sesaji merupakan perlengkapan upacara mutlak ada yang dapat
menentukan terkabul atau setidaknya permintaan sang pemohon dalam selamatan.
Sesaji berfungsi sebagai simbolisasi serah terima, sebagai suatu syarat
8
dikabulkannya suatu permintaan diri dari sang pemohon (Meilawati, 2009 :2).
Sedangkan menurut Endraswara (2003:195), sesaji merupakan aktualisasi dari
pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana
untuk negoisasi spirititual kepada hal-hal gaib. Pemberian makan secara simbolik
kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup
manusia.
Menurut keterangan Toegiyo (Wawancara 20 April 2015), pelaksanaan
upacara tradisi julen menjelang pengoperasian mesin giling dilakukan setiap
setahun sekali dan mempunyai lima tujuan, yaitu (a) agar dalam pengoperasian
mesin produksi tidak terjadi sebuah kendala dan berjalan lancar, (b) hasil
produksinya melimpah ruah (c) menjaga kesehatan para karyawan pabrik (d)
memberikan upah kepada dhanyang penunggu pabrik, dan (d) sebagai wujud rasa
syukur kepada Tuhan atas hasil produksi yang diperoleh sebelumnya dan sebagai
suatu simbol kebudayaan. Kebudayaan seperti itu perlu harus dilestarikan supaya
tradisi itu tidak punah dan menjadi kekayaan budaya nusantara.
Selamatan giling PG Tasikmadu merupakan salah satu sarana atau wadah
untuk menjaga dan melestarikan suatu kearifan lokal atau melestarikan suatu
kebudayaan yang sesuai dengan asumsi-asumsi para peneliti mengenai arti suatu
kebudayaan, yang masih erat dengan masyarakat perdesaan.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar (Koentjaraningrat, 2009: 144). Salah satu wujud kebudayaan berupa tradisi
(Peursen dalam Rahyono, 2009:44). Berdasarkan keterangan Peursen, tradisi
9
merupakan unsur kebudayaan yang hidup dalam lingkungan kita, sehingga perlu
adanya pengkajian lebih lanjut, karena banyak yang menganggap segala macam
tradisi yang ada hanya sekadar rangkaian upacara yang bersifat mistis dan magis.
Dalam sebuah tradisi terkandung makna-makna yang memiliki nilai-nilai yang
diwariskan oleh para leluhur kepada generasi muda yang sangat berguna dan
bermanfaat dalam kehidupan. Makna-makna yang dimaksud terdapat dalam
istilah-istilah yang menjadi bagian dari unsur-unsur tradisi yang diselenggarakan.
Setiap istilah yang ada mempunyai arti dan makna sendiri. Makadari itu,
hubungan bahasa dan kebudayaan sangatlah erat (Sumarlam dalam Dinawati,
2010:17). Budaya dan tradisi khususnya pada masyarakat Jawa sangat kaya dan
telah hidup selama ribuan tahun lamanya. Ada berbagai macam jenis tradisi di
antaranya tradisi memasang sesaji. Bagi masyarakat Kecamatan Tasikmadu dan
sekitarnya memasang sesaji dalam tradisi julen selametan giling PG Tasikmadu
masih dipercayai dan masih dilakukan oleh sebagian para pegawai PG Tasikmadu
dan masyarakat sekitar.
Tradisi julen dilaksanakan setiap setahun sekali menjelang pemroduksian
gula. Pada penelitian ini, hanya mengkaji istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen
menjelang pemroduksian gula. Pelaksanaan upacara tradisi ini diawali dengan
iring-iringan sesaji yang dipikul oleh para karyawan sebelum sesaji diserah-
terimakan dari pihak karyawan ke pada pemimpin pabrik untuk dimasukkan atau
di sesaji ini ditempatkan ke bagian-bagian mesin utama. Adapun urut-urutan
jalannya iring-iringan sesaji yaitu (1) Panitia berpakaian kejawen, (2) Santri puji-
pujian doa dengan alat rebana, (3) Panjang ilang, (4) Nampan sesaji yang
berisikan kosmetik minuman pisang ayu, (5) Tebu wulung, (6) Slindur, (7) Joli
10
1,2,3 (8) Sekar mayang, (9) kepala kerbau, (10) Pisang jejeran setelah iring-
iringan ini sampai di depan pabrik kemudian dilakukan serah-terima sesaji. Hal
ini merupakan salah satu wujud kebudayaan yang dimiliki masyarakat Kecamatan
Tasikmadu, yaitu merupakan unsur kebudayaan yang berupa sistem religi yang
timbul dari sistem pengetahuan masyarakat yang diungkapkan dan direkam
melalui ekspresi bahasa. Istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen diantarannya
yaitu joli semacam miniatur rumah. Makna leksikal joli adalah semacam miniatur
rumah yang sepasang terbuat dari anyaman bambu, dirangkai sebuah rumah dihias
dengan kertas bermotif sehingga dilihat indah yang kemudian diisi dengan
berbagai macam-macam sesaji. Joli termasuk monomorfermis yang berkategori
nomina, merupakan simbol penghormatan terhadap dhanyang penunggu pabrik
dan rasa syukur kepada Allah SWT bisa melaksanakan pemroduksian gula.
sedangkan makna kultural joli adalah di dalam tradisi ini disimbolkan miniatur
rumah yang berderet dua dan di dalamnya berbagai macam sesaji, dalam arti,
pabrik ini disimbolkan rumah yang diharapkan bisa mengayomi memberikan
kenteteraman penghuni rumah dan kenyamanan ini juga selaras pada pabrik
memberikan kenyamanan pada para karyawan untuk melakukan perkerjaan tidak
ada suatu ganguan, dan berderet menyimbolkan sebuah keserasian.
Hal tersebut menarik perhatian untuk meneliti upacara sesaji tradisi julen
di PG Tasikmadu untuk dikaji melalui disiplin ilmu linguistik, khususnya
etnolinguistik. Etnolinguistik merupakan interdisiplin ilmu linguistik, karena
dengan kajian etnolinguistik tersebut dapat diketahui hubungan kebudayaan
dengan masalah bahasa secara alami maupun prosesi dari para pendukung
kebudayaan itu sendiri.
11
Sehingga penelitian ini berusaha mendeskripsikan tentang budaya dan
tradisi sesaji dalam upacara selamatan giling PG Tasikmadu. Tampaknya
ketertarikan generasi muda akan kebudayaan memasang sesaji cenderung
berkurang. Dalam hal ini peneliti meneliti tentang unsur-unsur sesaji, makna
leksikal, dan makna kultural dari sesaji yang ada dalam tradisi julen di Pabrik
Gula Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar.
Dalam tradisi ini terdapat kata panjang ilang termasuk polimorfermis
berkategori kata majemuk yaitu sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman
janur sebagai wadah sesaji. Dalam upacara ini panjang ilang dibutuhkan 7 buah
yang akan di tempatkan di bagian mesin utama yaitu kepala loko, hammer
shredder, pisau can cutter 1, pisau can cutter 2, meja tebu lama, meja tebu baru,
dan condensor, tujuan panjang ilang sering dikaitkan pada sebuah pernikahan
adat Jawa, yang di tempatkan di tempat-tempat tertentu supaya hajatan yang akan
dilaksanakan tidak ada gangguan, panjang ilang berisikan berbagai macam sesaji
seperti pisang raja satu sisir, cok bakal, jadah, wajik, lѐmpѐng, criping selaras
dengan adat pernikahan jawa panjang ilang ini juga ditaruh ke tempat mesin
utama yang dianggap sakral, roda utama pemroduksian bertujuan tidak terjadi
suatu ganguan dari alam gaib arti lain supaya dalam penggilingan berjalan lancar.
Penelitian etnolinguistik yang menggunakan sesaji sebagai objek kajian
juga pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian etnolinguistik yang pernah
dilakukan sebelumnya antara lain sebagai berikut.
1. Skripsi Iswanti (2004) yang berjudul “Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam
Upacara Nyadran di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak
12
Kabupaten Bantul (Sebuah Tinjauan Etnolinguistik).” Skripsi tersebut
mengkaji bentuk dan makna dari istilah-istilah sesaji dalam upacara
nyadran di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak Kabupaten
Bantul.
2. Skripsi Hidha Watari (2008) yang berjudul “Istilah Unsur-Unsur Sesaji dalam
Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang, Kecamatan Gondang,
Kabupaten Sragen (Sebuah Tinjauan Etnolinguistik)”. Skripsi tersebut
mengkaji bentuk dan makna dari istilah-istilah sesaji dalam tradisi bersih desa
di Desa Gondang Kabupaten Sragen.
3. Skripsi Ninuk Indah Pratiwi (2010) yang berjudul “Istilah-istilah sesaji
Tradisi Buka Luwur di Desa Candisari Kecamatan Ampel Kabupaten
Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik)”. Penelitian tersebut mengkaji bentuk,
makna, dan fungsi dari istilah unsur-unsur sesaji dalam tradisi buka luwur
di Desa Candisari kecamatan Ampel kabupaten Boyolali.
4. Rizal Ari Andani. (2015) yang berjudul ”Istilah-Istilah Sesaji Cok Bakal
Menjelang Panen Padi Di Desa Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten
Kediri (Kajian Etnolinguistik).” Penelitian tersebut mengkaji bentuk,
makna, dan fungsi dari istilah unsur-unsur sesaji dalam tradisi cok bakal
menjelang panen padi di Desa Candisari, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten
Kediri.
Berdasarkan uraian di atas, alasan diambilnya tradisi julen sebagai objek
penelitian yaitu (a) untuk mengangkat tradisi julen selamatan giling Pabrik Gula
Tasikmadu Kabupaten Karanganyar lebih luas lagi, (b) menjadikan penelitian ini
sebagai satu bentuk upaya pelestarian budaya karena pada era sekarang
13
banyak masyarakat di Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar
khususnya kalangan muda yang lupa akan budayanya sendiri, (c) tradisi julen
selamatan giling Pabrik Gula Tasikmadu sebagai wujud dari budaya yang dimiliki
masyarakat di Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar memiliki
keunikan dari segi bahasa dan keunikan tersebut hanya dapat dijelaskan melalui
kajian etnolinguistik.
B. Batasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk istilah tradisi julen
selamatan giling Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar yang meliputi
bentuk monomorfemis, polimorfemis, dan frasa. Disamping itu, penelitian ini
juga dibatasi pada makna istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang
pengoperasian mesin produksi Pabrik Gula Tasikmadu yang meliputi makna
leksikal, gramatikal dan kultural.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan dua
permasalahan seperti berikut .
1. Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji julen menjelang pengoperasian
mesin utama produksi gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar ?
(Masalah ini diteliti untuk mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji berupa
monomorfemis, polimorfemis, dan frasa).
2. Bagaimanakah makna istilah-istilah sesaji julen menjelang pengoperasian
mesin utama produksi gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar ?
(Masalah ini diteliti untuk menjelaskan makna leksikal, gramatikal dan makna
kultural yang terkandung dalam istilah-istilah sesaji julen).
14
D.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, terdapat tujuan penelitian sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji tadisi julen menjelang
pengoperasian mesin utama produksi Gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten
Karanganyar.
2. Menjelaskan makna leksikal, gramatikal, dan kultural yang terkandung dalam
istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin utama
produksi Gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini ada dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis:
1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
melengkapi teori linguistik Jawa, khususnya teori entnolinguistik.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfat untuk:
a. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bentuk, makna leksikal,
makna gramatikal dan makna kultural istilah-istilah tradisi julen giling tebu
Pabrik Gula Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.
b. Masyarakat kalangan akademik sebagai bahan referensi untuk penelitian
selanjutnya.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian bahasa Jawa
khususnya kajian etnolinguistik.
d. Pemda setempat untuk lebih memperhatikan kearifan lokal.
15
F. Landasan Teori
Teori dan konsep yang digunakan untuk melandasi penelitian ini adalah (1)
etnolinguistik, (2) masyarakat tutur, (3) istilah, (4) sesaji, (5) tradisi (6) tradisi
julen, (7) bentuk istilah, (8) makna.
1. Etnoliguistik
Etnolinguistik yaitu jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap
dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit lingual lainnya) dalam
dimensi sosial dan budaya (seperti upacara, peristiwa budaya, foklor, dan lainnya)
yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik sosial dan
struktur sosial masyarakat (Abdullah, 2013:10). Juga sebaliknya, bahasa dipahami
bukan semata-mata berdiri secara linier sebaga rentetan bunyi, melainkan bagian
dari ekspresi lahir-batin masyarakat penuturnya berdasarkan konteks budaya yang
dimiliki beserta dengan segala nilai-nilai dalam aktualitas hidupnya secara
individu maupun kelompok (Abdullah. 2013: 13). Hal itu menunjukkan bahwa
antara bahasa dan budaya memiliki hubungan saling keterkaitan. Bahkan
hubungan antara bahasa dan kebudayaan sangat erat (Sumarlam dalam Dinawati,
2010: 17 ).
Pada dasarnya seluruh kebudayaan hanya mungkin karena manusia
mampu berbahasa (Suhandi, 1994:33). Manusia bertukar pengalaman melalui
bahasa, bahkan abstraksi pikiran manusia (sebagai sumber kebudayaaan) terwujud
dalam istilah-istilah dan sistem bahasa. Menurut Dwiraharjo (2001: 38) dalam
proses berpikir bahasa berfungsi sebagai alat begitu pun dalam penuangan hasil
pemikiran bahasa juga berfungsi sebagai alat. Berdasarkan keterangan di atas,
apabila diketahui bahwa kebudayaan berawal dari kompleks gagasan, pikiran, dan
16
ide, maka sangat tidak mungkin apabila budaya dapat berkembang bahkan tercipta
dari masyarakat yang tidak mengenal bahasa. Uraian di atas menunjukkan apabila
kebudayaan suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh bahasa. Selain itu,
masyarakat dapat mengkomunikasikan budayanya juga melalui bahasa. Maka dari
itu, jalan yang paling mudah untuk mengetahui budaya suatu kelompok adalah
melalui bahasa, khususnya melalui daftar kata-kata yang ada dalam bahasa
(Abdullah. 2013:14-15). Etnolinguistik ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
kebudayaan dengan masalah bahasa secara alami maupun prosesi dari para
pendukung kebudayaan itu sendiri.
2. Masyarakat Tutur
Jika suatu masyarakat atau sekelompok orang mempunyai verbal
repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap
norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan di dalam masyarakat itu,
maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat tutur (speech
community) (Suwito, 1983:20). Ada pengertian lain untuk masyarakat tutur yaitu
masyarakat bahasa. Menurut KBBI (2007: 536), masyarakat bahasa (speech
comunity) adalah kelompok yang mempunyai bahasa yang sama atau merasa
termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang bahasa yang sama. Fishman
dalam Suwito (1983:20) memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu
masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur
beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya.
Masyarakat di sekitar PG Tasikmadu yaitu di Kecamatan Tasikmadu
mengenal 2 bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dalam
kesehariannya masyarakat Jawa menggunakan kedua bahasa tersebut secara
17
bergantian disesuaikan dengan konteksnya. Dalam konteks budaya, khususnya
budaya memasang sesaji seperti pada tradisi julen selamatan giling PG Tasikmadu
menggunakan bahasa Jawa sepenuhnya.
3. Istilah
Istilah yaitu perkataan khusus yang mengandung arti tertentu di
lingkungan suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu
(Kridalaksana, 2011:97). Selain itu, istilah diartikan sebagai keseluruhan dari isi
serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi
lingkungannya (Koentjaraningrat dalam Pratiwi, 2010:22) .
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa istilah
yaitu kata maupun kelompok kata yang secara cermat menjelaskan berbagai hal
sesuai dengan konteksnya yang bersumber dari alam pikiran manusia ketika
menanggapi segala sesuatu dalam kehidupannya. Istilah dalam penelitian ini
terkait dengan tradisi dan budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat, yaitu
istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin utama
penggiling PG Tasikmadu Kabuaten Karanganyar. Contoh istilah dalam penelitian
ini di antaranya ampyang dan joli.
4. Sesaji
Sajen yaiku apa-apa sing disajekake (lumrahe awujud kembang,
menyan, Ian sak piturute) 'sajen yaitu semua yang disajikan (biasanya berwujud
bunga, rnenyan, dsb)' (Widada et al., 2001: 685). Menurut KBBI (2007:979),
sesaji yaitu makanan dan bunga-bungaan yang disajikan kepada makhluk halus
18
dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan apabila sesaji
berupa pemberian atau persembahan. Dalam setiap pelaksanaan upacara adat,
tentu dalam setiap tahapan-tahapan prosesinya akan selalu tersedia sebuah
pemberian atau persembahan dengan membuatkan sesuatu yang ditujukan kepada
para leluhur dan roh-roh yang menjaga wilayah tersebut sehingga interaksi antara
masyarakat setempat dengan roh-roh leluhur mereka tetap saling menjaga dan
melindungi (Indriyanto et al., 2012: 31), orang Jawa bahkan membuat sajen tanpa
suatu upacara apapun (Geertz dalam Koentjaraningrat, 1994). Pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa pembuatan sesaji telah mengakar dalam hati dan pikiran
masyarakat Jawa dan menjadi bagian dari kehidupan orang Jawa.
Setiap sesaji yang ada dalam suatu upacara sudah barang tentu
mengandung arti yang sangat bermanfaat bagi mereka terutama di dalam
mengarungi hidup sehari-hari (Sunjata, 2012:677). Salah jenis sesaji diantaranya
adalah ampyang, sego thiwul. Ada pun juga Pengertian sesaji cok bakal yaitu
sebagai pengingat pada cikal bakal. Ada berbagai macam cok bakal diantaranya
cok bakal pada tanaman tebu. Cok bakal menjelang pengoperasian mesin utama
giling dibuat dengan berbagai tujuan. Namun, tujuan yang paling utama yaitu
memuliakan R.Ay Gadung Mlati yang dianggap sebagai dhanyang penunggu
pabrik dan juga memohon kebaikan kepada Tuhan. Salah satu bagian sesaji dalam
tradisi julen menjelang pengoperasian produksi gula yaitu sekar setaman.
5. Tradisi
Tradisi (bahasa Latin: traditio, `diteruskan`) atau kebiasaan, dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
19
biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang
paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa
adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Dalam Kamus Antropologi (1985: 125) dijelaskan pengertian tradisi
adalah kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli
yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum kemudian menjadi suatu
sistem atau peraturan tradisional. Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa tradisi adalah kebiasaan yang bersifat religius pada suatu masyarakat yang
berjalan turun temurun dari generasi ke generasi yang bersifat terus-menerus
(kontinue).
6. Tradisi Julen
Tradisi julen yaitu menurut tokoh setempat atau juru rangkai sesaji upacara
tradisi julen selamatan giling pabrik gula yang diwawancarai pada tanggal 20
april 2015 mengatakan bahwa tradisi julen yaitu upacara selamatan pabrik gula
dengan sepasang tebu yang diistilahkan pengantin baru/sejoli tetapi kata joli
dirujukan semacam miniatur rumah yang kemudian diikuti berbagai sesaji yang
dipikul oleh para karayawan pabrik dimulai dari depan Pasar Nglano menuju ke
dalam pabrik gula yang sebelumnya ada acara penyerahan sesaji dari pihak
karyawan kepada pemimpinn perusahaan di depan pabrik untuk selanjutnya
didoakan oleh abdi dalem Pura Mangkunegaran yang mewakili pihak karyawan
kemudian sesaji dibawa masuk untuk ditempatkan ke bagian-bagian mesin utama.
20
7. Bentuk Istilah
Bentuk istilah terkait penelitian ini ada tiga yaitu monomorfemis,
polimorfemis, dan frasa. Telah dijelaskan di atas bahwa istilah berwujud kata dan
gabungan kata. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan
polimorfemis adalah penggolongan jumlah morfem yang menyusun kata
(Kentjono, 1982:44). Sementara frasa akan dijelaskan secara terpisah dari bentuk
monomorfemis karena frasa merupakan satuan gramatik yang lebih luas dari
tataran kata yang dibahas melalui teori sintaksis. Berikut penjelasan mengenai
bentuk monomorfemis, polimorfemis, dan frasa.
1. Monomorfemis
Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis (Kentjono, 1982:44)
Monomorfemis terjadi dari satu morfem (Kridalaksana, 2011:157). Berdasarkan
penjelasan di atas monomorfemis yaitu kata yang terdiri dari satu morfem yang
dapat berdiri sendiri (morfem bebas) dan mempunyai makna. Hampir keseluruhan
istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi tebu di
PG Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar merupakan morfem bebas, artinya semua
kata dapat berdiri sendiri tanpa melalui proses morfologi. Contoh istilah yang
berbentuk monomorfemis dalam penelitian ini di antaranya ampyang dan slindur.
Kata ampyang dan slindur merupakan kata dasar karena secara gramatik kedua
kata tersebut dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna.
2. Polimorfemis
Kata bermorfem lebih dari satu disebut polimorfemis (Kentjono, 1982:
44). Jika kata terdiri dua morfem yang bergabung melalui proses morfologis
21
sehingga memiliki makna baru yang berbeda dari makna morfem-morfem
penyusunya maka kata itu masuk kedalam bentuk polimorfermis. Adapun bentuk
polimorfemis meliputi :
a. Pengimbuhan/afiksasi (penambahan afiks)
Proses morfologis yang terjadi dalam polimorfemis ialah penambahan dan
pengimbuhan afiks (afiksasi). Penambahan afiksasi dapat dilakukan di depan, di
tengah, depan dan belakang morfem dasar. Penambahan afiks yang ada di depan
disebut awalan (prefiks), afiks yang berada di tengah disebut infiks (sisipan), yang
berada di belakang disebut sufiks, sedangkan yang berada di depan dan belakang
morfem dasar disebut sirkumfiks (konfiks). Pengimbuhan atau afiks morfem dasar
selalu berupa morfem terikat, sedangkan morfem dasar berupa morfem bebas atau
morfem terikat. Adapun istilah yang berbentuk polimorfemis dalam bentuk
afiksasi yakni ngantenan [ηantenan].
b. kata majemuk (komposisi).
Kata majemuk terdiri dari proses morfologi yaitu proses pemajemukan.
Komposisi atau pemajemukan adalah proses morfemis yang menggabungkan dua
morfem dasar (atau pradasar) menjadi satu kata yang namanya kata majemuk atau
kompaun (Verhaar. 2010:154). Berdasarkan penjelasan di atas maka sudah jelas
bahwa pengertian pemajemukan adalah proses morfologis yang menggabungkan
dua kata atau lebih yang keduanya merupakan bentuk dasar yang menghasilkan
gabungan kata yang memiliki arti yang baru yang berbeda dari unsur-unsur
pembentuknya (kata majemuk). Contoh istilah yang berbentuk polimorfemis yang
berupa komposisi dalam penelitian ini diantaranya klasa bangka. Kata terdiri
22
klasa bangka dari kata klasa ’ tikar’ yang berjenis nomina dan bangka ‘tegang’
yang berjenis adjektiva. Agar mempunyai makna baru maka kata klasa harus
bergabung dengan kata atau imbuhan. Sementara, kata bangka merupakan kata
yang secara gramatik dapat berdiri sendiri dalam pertuturan biasa dan memiliki
sifat bebas. Pada istilah klasa bangka kata klasa bergabung dengan kata bangka
sehingga terbentuk kata majemuk klasa bangka. Kata klasa bangka memiliki
makna yang berbeda dari unsur pembentuknya, yaitu sejenis tikar dari pandan
dengan ukuran kecil. Jadi, kata klasa bangka merupakan kata majemuk yang salah
satu unsurnya berupa pokok kata.
3. Frasa
Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2001: 138). Frasa adalah
gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat
rapat dapat renggang. (Kridalaksana, 2001: 59).
Contoh : jenang abang putih `bubur merah putih’, jenang luwa (katul).
endhog dadar ‘telur dadar’.
8. Makna
Penelitian ini akan membahas lebih lanjut makna leksikal dan kultural
dari istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi
Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.
a. Makna Leksikal
Makna leksikal (lexical meaning) atau makna semantik (semantic
meaning), atau makna eksternal (external meaning) adalah makna kata ketika kata
itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau dalam bentuk berimbuhan
23
yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa
tertentu. (Pateda, 2001:119). Kamus-kamus dasar hanya memuat makna leksikal
yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya (Chaer, 2007:289). Berdasarkan
pernyataan di atas maka sudah jelas bahwa tidak semua kamus hanya memuat
tentang makna leksikal namun ada pula kamus-kamus yang memuat tentang
makna kias atau makna idiomatik dan makna-makna lain seperti makna metafora.
Selain diperoleh dari kamus, makna leksikal juga diperoleh dari interpretasi
masyarakat ketika mendefinisikan sesuatu berdasarkan bentuk, manfaat, rasa, dan
lain-lain. Pengertian makna leksikal dalam penelitian ini tidak terbatas pada
tataran kata tetapi juga dalam tataran frasa sebagai bentuk istilah-istilah sesaji
tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi PG Tasikmadu Kabupaten
Karanganyar. Salah satu istilah dalam sesaji tradisi tersebut adalah criping. Makna
leksikal criping adalah makanan terbuat dari beras ketan yang dikukus dicampur
dengan bumbu dibentuk bulat gepeng atau pipih, kemudian dikeringkan setelah
kering digoreng dengan minyak goreng biasanya criping ada yang tengahnya
diberi warna untuk mempercantik dan memberi rasa manis.
b. Makna gramatikal
menurut Harimurti Kridalaksana makna gramatikal adalah makna yang
terbentuk akibat bergabungnya unsur yang satu dengan yang lainnya dalam
pelbagai tataran gramatikal, seperti hubungan antar satu kata dengan yang lain
dalam frasa tau klausa (2008:148). Makna gramatikal untk menganalisi bentuk
polimorfermis dan frasa dalam istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen giling tebu
PG Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Misalkan kata cok bakal
terdiri dari kata “cok” dan “bakal”.
24
c. Makna Kultural
Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki bahasa sesuai dengan
konteks budaya penuturnya (Subroto dalam Abdullah, 2013: 20). Makna kultural
ini muncul dari setiap kegiatan manusia yang menciptakan budaya dan direkam
ke dalam bahasa melalui istilah-istilah. Pengertian makna kultural dalam
penelitian ini tidak terbatas pada tataran kata tetapi juga dalam tataran frasa
sebagai bentuk sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi
Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Salah satu istilah sesaji dalam
tradisi tersebut adalah makna kultural ampyang ‘ampyang’ dalam sesaji tradisi
julen yaitu simbol kehidupan supaya di dalam menjalankan kehidupan di dunia
diberi ketentraman, keselamatan, hidup penuh dengan kedamaian dalam
menjalankan pekerjaan setiap hari, di dalam bermasyarakat diberikan kerukunan
antar warga masyarakat yang berujung dengan kehidupan yang bahagia seperti
rasa ampyang yaitu manis dan gurih.
Sifat manis dan gurih kesannya memberikan suasana yang manis, enak
penuh dengan kebahagiaan sehingga tujuannya berakhir dengan kebahagiaan atau
ujung-ujung kehidupan yang mapan.
Ampyang yang terbuat dari gula Jawa yang dicampur dengan kacang
tanah hingga dicetak menjadi ukuran bulat atau lonjong atau sesuai selera .
25
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan
keadaan atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
nampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1995:63). Penelitian ini juga bersifat
kualitatif yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah
(Lexi Moleong,2007:6). Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa
peneltian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan istilah sesaji
sesuai denga fakta yang ada di lapangan dan peroleh data serta menggunakan
kata-kata dan tidak berbentuk kata.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yaitu lokasi sumber data penelitian tersebut diperoleh.
Lokasi penelitian juga dapat dikatakan sebagai tempat dilaksanakannya penelitian.
Lokasi penelitian berada di PG Tasikmadu Kabupaten Karanganyar dan tempat
sekitar pabrik. Pemilihan lokasi sebagai tempat penelitian di PG Tasikmadu ialah
terdapatnya suatu objek data yang berisikan berbagai upacara-upacara ritual sesaji
dalam mengawali produksi gula di Pabrik tersebut. Hal tersebut memungkin
untuk diangkat atau diteliti dari segi bahasa dan juga belum pernah diteliti
menegenai lingkup kebahasaan, sehingga objek tersebut di PG Tasikmadu
26
Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa masyarakatnya masih melestarikan
tradisi.
3. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat utama dan alat
bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri, dikatakan
peneliti sebagai alat utama karena peneliti melakukan penelitian secara langsung
terjun menentukan objek penelitian, merumuskan persoalan, mengumpulkan data,
dan menganalisis data. Adapun alat bantu penelitian ini adalah bolpoin, kertas,
handphone, kamera digital, buku catatan, flashdisk dan komputer.
4. Data
Data adalah bahan jadi penelitian (Sudaryanto, 1988: 19). Dalam
penelitian, data yang dipandang sahih (valid) dan terandal (terpercaya, reliable)
adalah yang berasal dari penutur asli bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto,
1988:26). Data dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer, data lisan yaitu yang berupa tuturan dari infoman
mengandung istilah-istilah sesaji tradisi julen selamatan giling pabrik gula
Tasikmadu dari informan yang terpilih dan benda yang terkait sehingga dapat
disebutkan atau dijadikan sebuah data.. Data penelitian ini berupa istilah-istilah
sesaji tradisi julen selamatan giling pabrik gula tasikmadu yang berbentuk
monomorfemis, adalah ampyang, slindur. Data yang berbentuk polimorfermis,
adalah gedhang ayu, klasa bangka, dan frasa seperti endhas kebo.
27
Data sekunder berupa data tulis yang diperoleh dari buku dan kamus yang
berkaitan dengan istilah dalam upacara tradisi. Data sekunder terkait dengan
sebagian makna kultural dalam penelitian ini.
5. Sumber Data
Sumber data adalah si penghasil atau si pencipta data yang dimaksud
biasanya disebut dengan narasumber (Sudaryanto dalam Pratiwi, 2010:23) atau
informan. Sumber data dalam penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer berasal dari tradisi julen dan informan
yang terpilih yaitu mbah Jan masjid, mbah Tugiyo yang diwawancarai pada
tanggal 17 april 2015 yang memberikan keterangan berkaitan tradisi julen.
Adapun kriteria informan yang dipilih dalam penelitan ini, yaitu: (1) penutur asli
bahasa Jawa, (2) sesepuh desa, (3) berusia antara 25 tahun ke atas yang memiliki
kemampuan untuk memahami dan mengetahui seluk beluk tradisi tradisi julen
serta tidak jompo, (4) menguasai bahasa Jawa dan Indonesia (5) pancaindra masih
normal, (6) Sehat jasmani dan rohani, (7) bersedia menjadi informan dan
mempunyai waktu yang cukup, dan (8) memiliki alat ucap yang lengkap.
Informan yang dimaksud antara lain :
1. Toegiyo juru rangkai sesaji tradisi julen.
2. Santodipura seorang akademis, budayawan, pejuang dan abdi dalem Pura
Mangkunegaran.
3. Iman Suwarno juru kunci makam Randu Sanga Pura Mankuneragan.
4. Warijan masyarakat sekitar yang andil dalam tradisi julen.
28
Sumber data sekunder dalam penelitian ini merupakan sumber data tertulis
seperti buku mengenai sejarah berdirinya pabrik gula, sumber data berupa kamus
bahasa Indonesia dan bausastra.
6. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan suatu
fenomena (Kridalaksana, 2011: 153). Dalam arti si peneliti melakukan observasi
mengenai objek kajian tersebut sehingga menentukan objek data. Pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan metode cakap. Sebelum melakukan
Metode cakap berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku
peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1988:7). Metode cakap
ini disebut juga dengan wawancara yaitu peneliti melakukan percakapan dengan
mengajukan berbagai pertanyaan kemudian dijawab oleh narasumber. Teknik
dasar yang digunakan yaitu teknik pancing. Peneliti untuk mendapatkan data
pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemauannya memancing
seseorang atau beberapa orang agar berbicara (Sudaryanto, 1988:7). Memancing
seseorang agar berbicara dan memberi informasi hendaknya dilakukan dengan
halus dan berhati-hati agar narasumber tidak merasa bahwa dia sedang dipancing.
Hal ini dilakukan untuk menjaga alur dan suasana percakapan tetap alami dan
wajar agar informasi tentang data dapat diungkap semakin mendalam.
Teknik lanjutannya yaitu teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik
catat. Kegiatan memancing bicara itu dilakukan pertama-tama dengan percakapan
langsung, tatap muka, atau bersemuka (Sudaryanto, 1988: 7). Pembicaraan antara
peneliti dengan narasumber harus tetap dikendalikan oleh peneliti dan diarahkan
sesuai dengan kepentingan peneliti. Di samping melakukan teknik cakap semuka,
29
peneliti melakukan perekaman sama seperti apa yang terjadi dalam rangka
pelaksanaan metode simak (Sudaryanto, 1988:9). Teknik rekam ini sangat penting
untuk mengantisipasi apabila peneliti lupa akan apa yang dituturkan oleh
informan, kemudian hasil rekaman juga penting diperdengarkan saat presentasi
hasil dengan tujuan sebagai bukti untuk mendukung keabsahan penelitian.
Kemudian diikuti dengan pencatatan data pada kartu, jadi digunakan teknik catat
(Sudaryanto, 1988:9). Teknik catat ini dilakukan untuk mencatat keseluruhan
tuturan atau sebagian tuturan yang dianggap penting dan relevan terhadap data
penelitian.
NO NAMA DATA M P F
1. Ampyang
2. Jajan pasar
3. Endhas kebo
4. Joli
5. Panjang ilang dst.
Keterangan : M = Monomorfermis
P = Polimorfermis
F = Frasa
Gambar 3. Catatan mengenai objek data
30
7. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data menggunakan metode agih dan metode padan.
Kedua metode ini digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap
analisis data.
a. Metode agih (Distribusional)
Metode agih adalah metode analisis yang alat penentunya dari bahasa
yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode agih dipakai untuk
menganalisis istilah yang berbentuk kata majemuk dan frasa. Teknik yang
digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk
membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur- unsur yang
bersangkutan dipandang sebagai bagian langsung membentuk satuan lingual yang
dimaksud (Sudaryanto, 1993: 13).
Teknik bagi unsur langsung ini juga digunakan untuk mengklasifikasikan
istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen selametan giling Pabrik Gula Tasikmadu
yang berbentuk monomorfemis (kata bermorfem satu), polimorfemis (kata
bermorfem yang lebih dari satu), dan frasa (satuan gramatik yang terdiri dari dua
kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa).
Daftar data yang ditemukan
A. Istilah sesaji berbentuk monomorfemis:
(1) ampo [ampo]
(2) ampyang [ampyaŋ]
(3) arak [ara?]
(4) candu [candu]
31
(5) criping [cripIη]
(6) dhele [dhəle]
(7) jadah [ jadah]
(8) jenang [jənaη]
(9) joli [jɔli]
(10) kencur [kəncUr]
(11) kendhi [kənDi]
(12) kopi [kɔpi]
(13) kunci [kunci]
(14) kunir [kunIr]
(15) lempeng [lɛmpɛη]
(16) lenga [ləηɔ]
(17) lombok [lɔmbɔ?]
(18) menyan [məñan]
(19) miri [miri]
(20) nanas [nanas]
(21) rante [rante]
(22) slindur [slindUr]
(23) srondeng [srondɛη]
(24) suruh [surUh]
(25) takir [takIr]
(26) tepas [tepas]
(27) trasi [ trasi]
(28) uyah [uyah]
32
(29) wajik [ wajI?]
(30) wedhak [wədha?]
Data di atas masuk ke dalam monomorfomis karena data tersebut kata
yang terdiri dari satu morfem yang dapat berdiri sendiri (morfem bebas) dan
mempunyai makna. artinya data kata di atas dapat berdiri sendiri tanpa melalui
proses morfologi. Kata ampyang dan menyan merupakan kata dasar karena secara
gramatik kedua kata tersebut dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna, dan
kata tersebut berkategori nomina.
B. Istilah sesaji berbentuk polimorfemis
(31) cok bakal [cɔ? bakal]
(32) gedhang ayu [gəDaη ayu]
(33) jajan pasar [ jajan pasar]
(34) kembar mayang [kəmbar mayaη]
(35) klasa bangka [klɔsɔ bɔηkɔ]
(36) ngantenan [ηantenan]
(37) panjang ilang [panjaη ilaη]
(38) pengilon [pəηilɔn]
(39) sega asahan [səgɔ asahan]
(40) sega golong [səgɔ gɔlɔη]
(41) sega suci [səgɔ suci]
(42) takir ponthang [takIr ponTaη]
Data di atas masuk ke dalam polimorformis berupa kata majemuk
(komposisi). Pemajemukan adalah proses morfemis yang menggabungkan dua
33
morfem dasar (atau pradasar) menjadi satu kata yang namanya kata majemuk atau
kompaun (Verhaar. 2010:154). Berdasarkan penjelasan di atas maka sudah jelas
bahwa pengertian pemajemukan adalah proses morfologis yang menggabungkan
dua kata atau lebih yang keduanya merupakan bentuk dasar yang menghasilkan
gabungan kata yang memiliki arti yang baru yang berbeda dari unsur-unsur
pembentuknya (kata majemuk). Contoh istilah yang berbentuk polimorfemis yang
berupa komposisi dalam penelitian ini di antaranya klasa bangka. Kata klasa
bangka dari kata klasa ‘tikar’ yang berjenis verba dan bangka ‘kaku’ yang
berjenis adjektiva. Agar kata klasa dapat berdiri maka kata klasa harus bergabung
dengan kata atau imbuhan. Sementara, kata bangka merupakan kata yang secara
gramatik dapat berdiri sendiri dalam pertuturan biasa dan memiliki sifat bebas.
Pada istilah klasa bangka kata klasa bergabung dengan kata bangka sehingga
terbentuk kata majemuk klasa bangka. Kata klasa bangka memiliki makna yang
berbeda dari unsur pembentuknya, yaitu sejenis tikar dari pandan dengan ukuran
kecil. Jadi, kata klasa bangka merupakan kata majemuk yang salah satu unsurnya
berupa pokok kata. Sedangkan kata ngantenan [ηantenan] merupakan bentuk dari
proses morfologi .
C. Istilah Sesaji berbentuk frasa
(43) Endhas kebo [ənDas kəbo]
(44) jenang katul [jənaη katUl]
(45) kacang tholo [ kacaη Tolo]
(46) ketan ireng [kətan irəη]
(47) sega thiwul [səgɔ TiwUL]
(48) sekar setaman [ səkar sətaman]
34
(49) tebu wulung [ təbu wulUη ]
Ramlan membatasi frasa sebagai suatu gramatikal yang terdiri dua kata
atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Maksud dari frasa
tidak melampaui batas fungsi unsur klausa yaitu frasa itu selalu terdapat dalam
satu fungsi unsur klausa, yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan
(Ramlan, 2005:139).
Ciri-ciri frasa diantaranya dapat diuraikan menurut komponen
pembentuknya dan mempunyai unsur pusat inti dan unsur pendamping
sebagai modifatornya Contoh istilah yang berbentuk frasa dalam penelitian ini
diantaranya ketan ireng. Hal itu dapat dibuktikan Ketan ireng merupakan frasa,
karena kata ketan ireng secara gramatik dapat disisipi sufiks {-e}, ketane ireng
berjenis frasa nomina. Hal itu dapat dibuktikan melalui sekema berikut:
ketan (N)+ ireng (Adj) → ketan ireng (FN)
Berdasarkan skema di atas, unsur pusat dari frasa ketan ireng, yaitu kata ketan
‘jenis beras’ yang berjenis nomina lalu diikuti oleh modifikator berjenis adjektiva,
yaitu kata ireng ‘ hitam‘ sehinga frasa ketan ireng berjenis frasa nomina.
b. Metode Padan
Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar,
terlepas dan tidak menjadi bagian yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13).
Metode padan tersebut digunakan untuk menganalisis makna. Metode padan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode padan refrensial dengan alat
penentunya ialah kenyataan yang ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa.
Dalam penelitian ini, analisis data juga bersifat kontekstual yaitu analisis data
35
dengan mempertimbangkan konteks budaya yang melatarbelakangi penggunaan
bahasa yaitu mengenai istilah-istilah sesaji tradisi julen giling selamatan Pabrik
Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Adapun penerapan kedua metode
tersebut adalah sebagai berikut:
ampyang [ampyaη]
Makna leksikal ampyang
Ampyang berkategori nomina adalah sebuah makanan khas Jawa yang
berbahan gula Jawa atau gula aren, garam, kacang. Prosesnya gula Jawa atau aren
dan garam direbus sampai mengental disisi lain kacang disangrai setelah itu
dicampur lalu dicetak sesuai selera. Ampyang ini rasanya manis-manis gurih
kesan dari kacang dan garam.
Makna gramatikal
Makna gramatikal cok bakal terdiri dari kata “cok dan “ bakal”. Sehingga
menjadi sebuah makna baru bergabung menjadi satu yaitu cok bakal masuk
kategori polimorfermis.
Makna kultural ampyang
Makna kultural ampyang yaitu sebagai simbol kehidupan supaya
di dalam menjalankan kehidupan di dunia diberi ketentraman, keselamatan, hidup
penuh dengan kedamaian dalam menjalankan pekerjaan setiap hari, di dalam
bermasyarakat diberikan kerukunan antar warga masyarakat yang berujung
dengan kehidupan yang bahagia seperti rasa ampyang yaitu manis dan gurih.
36
Sifat manis dan gurih menandakan kesannya memberikan suasana yang
manis, enak penuh dengan kebahagiaan sehingga tujuannya berakhir dengan
kebahagiaan atau ujung-ujung kehidupan yang mapan.
8. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian analisis data menggunakan metode formal dan
informal. Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data
yang menggunakan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis
sifatnya (Sudaryanto, 1993:145). Metode ini menyajikan hasil analisis data
dengan bahasa yang sederhana agar dapat mempermudah pemahaman terhadap
hasil penelitian. Metode formal yaitu perumusan data dengan tanda dan
lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Tanda yang dimaksud di antaranya,
tanda kurung siku [ ] dan lain sebagainnya.