1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Seni tidak akan hidup tanpa ada peran dari masyarakat
pendukungnya. Berbagai jenis kesenian tumbuh dan berkembang
di berbagai tempat sesuai dengan potensi yang ada di daerah
tersebut. Kehadiran seni di suatu wilayah khususnya seni
pertunjukan pasti tidak akan lepas dari sebuah maksud dan
tujuan tertentu yang nantinya diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan manusia dan mempunyai manfaat bagi masyarakat
sekitar.
Seni pertunjukan kuda muncul dan berkembang di berbagai
tempat di pulau Jawa mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY,
dan Jawa Timur. Ada beberapa istilah yang berbeda pada masing-
masing daerah. Ada yang menyebut kuda lumping atau kuda
kepang (Jawa Barat), jaran kepang, incling, atau ebeg (Jawa
Tengah dan DIY), dan jaran kepang (Jawa Timur).1 Setiap daerah
selain memiliki istilah yang berbeda juga memiliki bentuk
pertunjukan dan fungsi yang berbeda.
Kabupaten Semarang menjadi wilayah yang tidak lepas dari
persebaran kesenian kuda. Desa Keji merupakan salah satu desa
1A.M.Hermien Kusmayati, “Tari-Tarian Jawa Tengah” dalam Edi
Sedyawati (ed), Indonesian Heritage: Seni Pertunjukan, (Jakarta: Buku Antar
Bangsa, 2002), 76.
2
di Kabupaten Semarang yang juga memiliki kesenian kuda dimana
masyarakat menyebutnya Kuda Lumping. Kata „lumping‟ dalam
dialek Jawa berarti kulit, kulit dan anyaman bambu digunakan
sebagai bahan untuk membuat properti kuda dalam kesenian
Kuda Lumping. Arnold Hauser dalam bukunya The Sociology of Art
menjelaskan bahwa seni sebagai produk masyarakat terbagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu (1) the art of the cultural elite,
yaitu seni yang muncul di kalangan masyarakat elite; (2) folk art,
merupakan kesenian rakyat; (3) popular art, merupakan seni yang
muncul di kalangan masyarakat urban; (4) mass art, yaitu seni
yang dipertunjukkan lewat media dan biasanya terdapat unsur
wisata.2 Berdasarkan hal tersebut, seni pertunjukan Kuda
Lumping di Desa Keji dapat dikategorikan ke dalam folk art
(kesenian rakyat).
Bentuk pertunjukan Kuda Lumping ini kira-kira sama
seperti yang digambarkan oleh Pigeaud sebagai tari kuda. Pigeaud
menyatakan bahwa tari kuda tersebut merupakan pertunjukan
yang menggunakan anyaman yang terbuat dari bambu maupun
kulit yang melompat-lompat menirukan gerak kuda.3 Kuda
Lumping yang muncul dan berkembang di Desa Keji merupakan
bentuk kesenian rakyat yang saat ini masih mampu bertahan.
2Periksa Arnold Hauser, The Sociology of Art, terjemahan Kenneth J.
Northcott (London : The University of Chicago Press, 1982), 550. 3Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen (Batavia: Volkslectuur, 1938),
215.
3
Seni pertunjukan Kuda Lumping mulai masuk Desa Keji
tahun 1971 atas prakarsa dari sesepuh dusun yaitu Mbah Supar,
Mbah Suroto, Mbah Suharjo, Mbah Kasman, dan Sarwoto. Mereka
berunding dan sepakat membentuk kelompok kesenian Kuda
Lumping. Mereka akhirnya meminta Mbah Rajak, seorang seniman
Kuda Lumping dari Desa Regunung Kecamatan Tengaran
Kabupaten Salatiga untuk melatih di Desa Keji. Kelompok
kesenian Kuda Lumping ini diberi nama Langen Budi Utomo.4
Jakob Sumarjo menyatakan bahwa setiap karya seni sedikit
banyak menceminkan setting masyarakat tempat seni itu
diciptakan. Sebuah karya seni ada karena seorang seniman
menciptakannya, seniman itu sendiri berasal dari masyarakat
tertentu dan kehidupan masyarakat merupakan kenyataan yang
langsung dihadapi sebagai rangsangan kreativitas
kesenimanannya.5 Kuda Lumping yang dibawa ke Desa Keji oleh
Mbah Rajak hampir serupa dengan Kuda Lumping dari Desa
Regunung Kecamatan Tengaran Kabupaten Salatiga. Bentuk
sajiannya disebut Gejawan dan dipentaskan sebegai pelengkap
upacara merti dhusun.
Seiring berjalannya waktu, kesenian Kuda Lumping
mengalami perkembangan dengan melahirkan beberapa bentuk
4Wawancara dengan Rajak Soeharto selaku tokoh seniman Kuda
Lumping di Desa Keji tanggal 17 November 2012. 5Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: Penerbit Institut Teknologi
Bandung, 2000), 233.
4
penyajian Kuda Lumping. Perubahan dan perkembangan bentuk
kesenian dalam suatu masyarakat merupakan sesuatu yang
wajar. Perkembangan ini terjadi karena pengaruh internal dalam
masyarakat dan pengaruh eksternal yang datang dari luar
masyarakat. Kesenian Kuda Lumping mulai dikemas lebih variatif
dan terjadi kategorisasi pelaku dalam pertunjukan. Ada Kuda
Lumping yang ditarikan oleh remaja laki-laki dan dewasa disebut
Panaragan dan yang ditarikan oleh perempuan disebut Kuda
Pesisiran. Ada pula Kuda Lumping yang ditarikan oleh anak-anak
disebut Kuda Debog. Pertunjukan Kuda Lumping juga tidak hanya
dipentaskan pada upacara merti dhusun saja, namun juga acara
hiburan dalam rangka hajatan dan memeriahkan hari ulang tahun
RI.
Perkembangan bentuk dan pola penyajian kesenian Kuda
Lumping makin terlihat seiring dengan bergulirnya era industri
pariwisata yang ditandai dengan pencanangan program pariwisata
oleh pemerintah. Presiden Soeharto saat itu menekankan perlunya
memprioritaskan sektor non-migas untuk peningkatan devisa
negara. Pernyataan ini disampaikan pada rapat kerja Departemen
Pariwisata Pos dan Telekomunikasi tanggal 26 September 1986.6
Sejak saat itu setiap daerah memiliki otonomi untuk
mengembangkan potensi wisata yang ada di daerahnya.
6R.M.Soedarsono. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. (Yogyakarta : MSPI, 1999), 1.
5
Hadirnya pariwisata telah melahirkan seni pertunjukan yang
telah mengalami perubahan bentuk kemasan dari yang semula
bersifat tradisional menjadi kemasan pariwisata sebagai daya tarik
untuk wisatawan.7 Desa Keji mulai disentuh oleh dunia pariwisata
pada tahun 2007. Seorang pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten
Semarang bernama Yossiady Bambang Singgih tertarik untuk
mengemas potensi alam dan budaya yang ada di Desa Keji menjadi
daya tarik wisata dengan menampilkan atraksi dalam bentuk
pergelaran seni budaya tradisioanal dan permainan tardisional.
Salah satu daya tarik berupa seni tradisi yang dihadirkan dalam
pergelaran yaitu tari Kuda Debog. Kuda Debog menggunakan
properti berupa pelepah daun pisang (debog) yang dibentuk
menyerupai kuda. Penarinya terdiri dari anak-anak yang berusia
antara 6-12 tahun.
Keragaman seni Kuda Lumping di Desa Keji menjadi daya
tarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai latar belakang
kultural yang menyebabkan munculnya keragaman kesenian
Kuda Lumping di Desa Wisata Keji, bagaimana perkembangan
bentuk penyajian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kesenian Kuda Lumping di Desa Wisata Keji.
7Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Press Solo, 2008), 133.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan,
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Mengapa muncul keragaman kesenian Kuda Lumping di
Desa Wisata Keji?
2. Bagaimana perkembangan bentuk penyajian Kuda Lumping
di Desa Wisata Keji?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi
perkembangan kesenian Kuda Lumping di Desa Wisata Keji?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut.
1. Memberikan gambaran latar belakang sosial kultural yang
mempengaruhi munculnya keragaman bentuk kesenian
Kuda Lumping di Desa Keji.
2. Mengkaji perkembangan bentuk penyajian Kuda Lumping di
Desa Wisata Keji terkait dengan perubahan fungsinya.
3. Menganalisis perkembangan kesenian Kuda Lumping di Desa
Keji dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kesenian Kuda Lumping di Desa Wisata Keji.
7
Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah untuk memahami
dan dapat menerapkan teori-teori yang dipelajari untuk
membedah kajian tentang perkembangan kesenian Kuda Lumping
di Desa Keji. Bagi institusi, penelitian ini dapat menjadi
sumbangan wawasan akademik, melengkapi sejumlah riset yang
telah ada mengenai tari, dan menambah referensi kajian tari yang
telah dilakukan sebelumnya. Bagi masyarakat, penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan apresiasi
masyarakat terhadap seni tradisional yang berkembang ke dalam
seni wisata, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran untuk
melestarikan dan menumbuhkan rasa kecintaan terhadap
kesenian tradisional.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini membutuhkan berbagai kajian sumber tertulis
baik yang berasal dari buku, hasil penelitian, maupun di luar itu
seperti artikel-artikel, jurnal dan lainnya, sehingga dapat
menunjang dan memahami serta menunjukkan kemurnian kajian
penelitian. Tinjauan pustaka dalam sebuah penelitian sangat
penting dilakukan, dengan tujuan untuk menguji permasalahan
secara teoritis.
Buku tulisan Sutiyono dengan judul Puspawarna Seni
Tradisi dalam Perubahan Sosial Budaya diterbitkan pada tahun
8
2009. Buku ini merupakan kumpulan beberapa artikel. Artikel
yang berkaitan dengan penelitian ini berjudul “Mengenal dan
Memahami Seni Jathilan di Era Global” tulisan Sutiyono. Artikel
ini menyebutkan bahwa pengaruh tourism terhadap kehidupan
seni tradisional seperti Jathilan dikategorikan menjadi pengaruh
negatif dan pengaruh positif. Pengaruh negatif menunjukkan telah
terjadi profanisasi, komersialisasi, dan pencemaran nilai-nilai
tradisional, sedangkan pengaruh positif menunjukan bahwa
industri pariwisata dapat mengangkat seni tradisional yang
hampir punah dan para seniman yang kreatif. Jathilan mengalami
fase baru yang mau tidak mau beradaptasi dengan selera pasar.
Jathilan mengalami pemendekan waktu dan menyusupnya lagu-
lagu campursari pada gendhing atau iringan musik Jathilan. Buku
ini memberikan informasi yang penting mengenai perkembangan
kesenian kuda akibat bersentuhan dengan dunia pariwisata.
Tulisan Bambang Sugito dengan judul “Jaranan
Tulungagung (Kajian Perubahan dan Perkembangan Pertunjukan
Jaranan di Kabupaten Tulungagung)” yang ditulis dalam jurnal
Pengkajian dan Penciptaan Seni Program Pendidikan Pascasarjana
STSI Surakarta (2005) menguraikan tentang perkembangan
kesenian jaranan yang sudah masuk dalam dunia hiburan.
Kesenian Jaranan lengkap diiringi lagu-lagu Campursari masuk ke
dalam dapur rekaman. Penelitian ini memberikan informasi bahwa
9
kemajuan teknologi dapat menjadi faktor penting dalam
menyebarluaskan kesenian Jaranan.
Buku yang disunting oleh Timbul Haryono dengan judul
Seni dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu yang diterbitkan
tahun 2009. Buku ini merupakan kumpulan artikel. Artikel yang
berkaitan dengan penelitian ini ada 2 yaitu “Art For Art dan Art For
Mart (Orientasi Pelestarian dan Pengembangan Seni Pertunjukan
Tradisional)” tulisan Kuswaryanto dan “Kemasan Kesenian dalam
Pariwisata, Strategi dan Pengembangannya” tulisan S.Pamardi.
Artikel pertama memberikan uraian yang jelas mengenai
perubahan fungsi dan perkembangan bentuk kesenian rakyat
dalam konteks ruang dan waktu. Perlu adanya keseimbangan
antara perwujudan dari art for art yang berorientasi pada
pelestarian kesenian dan art for mart yang berorientasi pada
pengembangan kesenian. Artikel kedua memberikan informasi
penting mengenai strategi pengemasan kesenian untuk pariwisata
ini dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan Kuda
Lumping menghadapi dunia pariwisata.
Tulisan berjudul “Perkembangan Kesenian Jathilan dalam
Era Industri Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (1986-
2013)” ditulis oleh Kuswarsantyo dalam bentuk disertasi tahun
2013. Disertasi yang ditulis memberikan data mengenai
perkembangan bentuk dan gaya penyajian Jathilan di DIY akibat
10
bersentuhan dengan dunia pariwisata. Peneliti mengakui bahwa
cakupan penelitian Kuswaryanto cukup luas karena mencakup
beberapa kabupaten di DIY, sehingga diambil beberapa sampel
kesenian Jathilan yang mampu mewakili. Penelitian ini
menunjukkan bahwa perkembangan Jathilan akibat bersentuhan
dengan dunia pariwisata memunculkan permasalahan estetik dan
non estetik dalam kehidupan kesenian Jathilan. Fokus penelitian
Kuswarsantyo hampir serupa dengan penelitian ini yakni tentang
perkembangan bentuk kesenian Kuda Lumping, namun penelitian
Kuswarsantyo mengambil lokasi penelitian di DIY sedangkan
lokasi penelitian ini ada di Desa Keji Kabupaten Semarang.
Penelitian Kuswarsantyo juga belum mengungkap lebih dalam
mengenai bagaimana latar belakang sosial kultural masyarakat
pelaku kesenian Kuda Lumping sehingga memunculkan
keragaman kesenian Kuda Lumping.
Tulisan yang membahas mengenai tari Kuda Debog di Desa
Keji dapat dijumpai dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh
Helmyna Arif Suparmo tahun 2011 di Universitas Negeri
Semarang. Skripsi yang ditulis cenderung berupa pemaparan
deskripsi karya tari, namun demikian skripsi tersebut menjadi
penting di dalam penelitian ini. Beberapa materi yang penting dan
dapat digunakan sebagai bahan data (meski perlu di crosschek
ulang), salah satunya mengenai koreografi tari yang meliputi:
11
gerak, pola lantai, iringan, tata rias, tata busana, dan properti.
Tulisan tersebut belum menghubungkan tentang keberadaan Tari
Kuda Debog dalam konteks pariwisata.
Berdasarkan tinjauan pustaka dan sejauh yang diketahui
oleh penulis belum dijumpai hasil penelitian yang membahas
secara khusus mengenai perkembangan kesenian Kuda Lumping
dalam konteks ritual hingga wisata dalam studi kasus di Desa
Wisata Keji Kabupaten Semarang. Oleh karena itu penelitian ini
dipandang layak dari segi originalitasnya.
1.5 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnokoreologi.
Gertrude Prokosch Kurath dalam artikelnya yang berjudul
“Panorama of Dance Ethnology” telah merumuskan apa yang harus
dikerjakan oleh seorang peneliti dalam disiplin koreologi sebagai
berikut. Teori choreology adalah cara untuk mengenali tari dan
budaya termasuk kedudukan individu dalam budaya, gender,
bentuk organisasi sosial, dan aktivitas ekonomi.8 Jadi
etnokoreologi didefinisikan sebagai pengkajian ilmiah tentang tari
mengenai segala hal penting yang terkait dengan kebudayaan,
fungsi-fungsi keagamaan atau simbolismenya, atau bahkan juga
8Gertrude Prokosch Kurath, “Panorama Dance Ethnology” dalam Current
Antropology, Vol 1, No.3 (Chicago : The University of Chicago Press on behalf of
Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research, 1960), 233.
12
kedudukannya dalam masyarakat. Dengan menggunakan
pendekatan etnokoreologi penulis dapat mengetahui: latar
belakang tari, tari dan masyarakat, dan fungsi tari.
Teori ini juga diperkuat dengan pendapat Heddy Shri
Ahimsa-Putra yang mengatakan, bahwa dalam menganalisis seni
yaitu dengan memfokuskan pada dua bentuk kajian yaitu tekstual
dan kontekstual. Kajian tekstual adalah kajian yang memandang
fenomena kesenian (seni tari) sebagai suatu teks yang berdiri
sendiri. Kajian kontekstual suatu kajian yang menempatkan
fenomena itu dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks sosial
budaya masyarakat di mana fenomena itu muncul dan hidup.9
Melalui kajian tekstual, dapat menguraikan atau mendeskripsikan
secara rinci komponen pertunjukan kesenian Kuda Lumping,
sedangkan kajian kontekstual dapat mengungkapkan keberadaan
tarian tersebut dalam konteks masyarakat pendukungnya.
Kesenian sebagai unsur kebudayaan selalu berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat. Edi Sedyawati
menjelaskan tentang arti perkembangan yang menurutnya
mempunyai arti secara kualitatif dan kuantitatif. Perkembangan
dalam arti kualitatif berarti mengolah dan memperbaharui wajah
pertunjukan itu. Hal itu berarti meningkatkan kualitas estetis dari
9Heddy Shri Ahimsa Putra, “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya :
Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 400.
13
bentuk pertunjukan itu. Perkembangan dalam arti kuantitatif
berarti membesarkan volume penyajian meluaskan wilayah
pengenalannya.10
Lambat atau cepatnya perubahan kebudayaan tergantung
dari dinamika masyarakat itu sendiri. Alvin Boskoff dalam
artikelnya “Recent Theories of Social Change” menyampaikan
tentang teori perubahan yang disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal.11 Perubahan yang diakibatkan dari dalam dapat terjadi
karena penemuan baru berupa ide yang muncul dari masyarakat
itu sendiri. Perubahan juga terjadi karena ada unsur kebudayaan
dari luar yang dapat diterima.
Analisis kebentukan dari kesenian Kuda Lumping dapat
digunakan kajian tekstual yang menurut Y. Sumandiyo Hadi
terdiri dari analisis koreografis, analisis struktural, dan analisis
simbolik.12 Analisis kebentukan ini dapat digunakan untuk
melihat perkembangan bentuk kesenian Kuda Lumping. Bentuk itu
sendiri adalah wujud yang diartikan sebagai hasil dari berbagai
elemen tari yang mencakup gerak, ruang, dan waktu. Bentuk seni
sebagai ciptaan seniman merupakan wujud dari ungkapan isi
10Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta : Sinar Harapan,
1981), 50. 11Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social Change” dalam Sociology and
History:Theory and Research, (London : The Free of Glencoe, 1964), 140-155. 12Y. Sumandiyo Hadi, Kajian Tari Teks dan Konteks, (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007), 23-24.
14
pandangan dan tanggapannya ke dalam bentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh alat indra.
Buku berjudul Labanotation : The System of Analyzing and
Recording Movement yang ditulis oleh Ann Hutchinson Guest, edisi
ke 4 tahun 2005, menjadi semacam buku wajib yang digunakan
sebagai landasan dasar dalam menganalisis gerak tari dalam
kesenian Kuda Lumping. Analisis gerak melalui sistem tersebut
menjadi mutlak dilakukan karena penelitian ini merupakan
penelitian yang berada di bawah payung disiplin etnokoreologi.
Teori yang digunakan untuk menganalisis sejauh mana
perkembangan Kuda Lumping dikemas sebagai produk seni wisata
antara lain diutarakan oleh J. Maquet dalam tulisan Soedarsono
yang berjudul “Industri Pariwisata Sebuah Tantangan dan
Harapan bagi Negara Berkembang (1993)” yang mengutarakan
bahwa hadirnya masyarakat wisata di sebuah daerah, maka akan
lahir bentuk seni lain di samping bentuk yang sudah ada. Kategori
seni yang telah ada merupakan produk masyarakat yang hasilnya
dipergunakan untuk kepentingan mereka sendiri (art by
destination). Ketika terjadi kontak antara masyarakat pemilik seni
itu dengan masyarakat wisata yang menginginkan bentuk seni
dari masyarakat yang didatangi itu, maka masyarakat akan
menciptakan produk seni yang masuk kategori seni yang telah
15
berubah (art by metamorphosis). Istilah umum yang digunakan
dalam dunia pariwisata adalah seni wisata (tourist art).13
Fungsi kesenian Kuda Lumping mengalami perkembangan
dari yang bersifat sakral menjadi sekuler dengan hadirnya dunia
pariwisata. Pariwisata memaksa kehidupan seni pertunjukan
untuk menyesuaikan diri dengan selera pasar. Seperti yang
diungkap oleh Timbul Haryono bahwa seni pertunjukan pada
saatnya akan dihadapkan pada dua pilihan yakni seni untuk seni
atau seni untuk pasar.14 Tari Kuda Debog yang muncul di Desa
Wisata Keji dapat dianalisis dengan menggunakan ciri-ciri seni
wisata seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono, bahwa ciri-ciri
seni pertunjukan wisata yaitu: (1) tiruan dari aslinya; (2) singkat
atau padat atau bentuk mini dari aslinya; (3) penuh variasi; (4)
ditanggalkan nilai-nilai sakral, magis, serta simbolisnya; dan (5)
murah harganya.15
Adanya sifat dari dunia pariwisata yang demikian muncul
permasalahan berupa strategi pengemasan kesenian untuk
pariwisata. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses
pengemasan tersebut tidak hanya terkait dengan unsur estetisnya
saja namun juga unsur non estetis.
13R.M.Soedarsono, “Industri Pariwisata Sebuah Tantangan dan Harapan
bagi Negara Berkembang” dalam Kumpulan Rangkuman Esai tentang Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, (Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 1999), 155-
156. 14 Timbul Haryono, 45. 15R.M.Soedarsono, 1999, 7.
16
1.6 Metode Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ditetapkan dalam
penelitian, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif melalui metode deskriptif analitis
merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini,
mengingat objek yang diteliti adalah suatu bentuk tari kerakyatan
yang masih dilestarikan dalam kehidupan masyarakatnya.
Dasar penelitian kualitatif lebih menekankan pada orientasi
teoretis, artinya lebih berorientasi untuk mengembangkan atau
membangun teori sebagai suatu cara memandang dunia.16
Deskriptif yang dimaksud adalah untuk memaparkan dan
menggambarkan data secara jelas dan terinci, sedangkan analitis
adalah menguraikan pokok permasalahan dari berbagai macam
bagian dan penelaahan untuk masing-masing bagian, mencari
hubungan antar bagian sehingga diperoleh sesuatu pengertian
yang tepat dan pemahaman arti secara keseluruhan.17Penelitian
kualitatif bermaksud untuk memahami tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi
16M.Jazuli, Metode Penelitian Kualitatif. Semarang : Unnes Press, 2001),
21. 17Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), 32.
17
dalam bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks yang
alamiah.18
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah
pendekatan etnokoreologi. R. M. Soedarsono dalam bukunya
Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dengan
mantap menganjurkan agar para mahasiswanya berani
menggunakan etnokoreologis. Pendekatan ini memang tidak
mudah karena melibatkan banyak disiplin, hingga bisa pula
dikatakan sebagai pendekatan multidisiplin.19
Lebih lanjut buku yang sangat menarik memuat beberapa
artikel mengenai pendekatan etnokoreologi berjudul Etnokoreologi
Nusantara (Batas Kajian, Sistematika, dan Aplikasi Keilmuannya)
yang terbit tahun 2007. Tulisan R. M. Soedarsono berjudul
“Penegakan Etnokoreologi sebagai Sebuah Disiplin” menguraikan
perlunya sebuah pendekatan etnokoreologi untuk membedah
penelitian mengenai tari khususnya tari etnik yang dapat
dianalisis melalui berbagai disiplin ilmu (multidisiplin).20
Pendekatan ini dapat digunakan sebagai pisau untuk membedah
permasalahan penelitian.
18Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), 6. 19R. M. Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
(Bandung: MSPI, 2001), 15. 20R. M. Soedarsono, “Penegakan Etnokoreologi Sebagai Sebuah Disiplin”
dalam R. M. Pramutomo (ed), Etnokoreologi Nusantara: Batasan Kajian, Sistematika, dan Aplikasi Keilmuannya, (Surakarta: ISI Press, 2007), 1-13.
18
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Keji Kecamatan Ungaran
Barat Kabupaten Semarang. Desa ini terletak di lereng kaki
Gunung Ungaran, sekitar 5 km dari ibu kota Kabupaten Semarang
dan 25 km dari pusat ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Desa Keji
terletak tidak jauh dari pusat kota, dari jalan utama Ungaran-
Gunungpati masuk melewati gapura Mapagan, kemudian
mengikuti jalan desa menuju Desa Keji. Jarak dari gapura
Mapagan sampai Desa Keji sekitar 2 km. Pusat kegiatan latihan
maupun pertunjukan wisata dilaksanakan di lapangan Siseret
Dusun Suruhan. Desa Wisata Keji memiliki potensi berupa
bentangan alam yang indah dan kesenian yang muncul sebagai
wujud ekspresi masyarakat berupa kesenian Kuda Lumping yang
keberadaannya berkembang hingga saat ini.
2. Pemilihan Informan
Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah tokoh
seniman di Desa Keji yang bernama Rajak Suharto, pelaku (penari,
pengrawit, maupun pendukung pertunjukan), serta beberapa
warga Desa Keji. Peneliti juga mewawancarai Bapak Yossiady
Bambang Singgih selaku tokoh pemrakarsa terbentuknya Desa
Wisata Keji. Wawancara dengan pemerintah Desa Keji juga
dilakukan untuk mengetahui hambatan dan upaya yang
19
dilakukan pemerintah dalam melestarikan seni Kuda Lumping
yang berkembang di Kabupaten Semarang khususnya di Desa
Wisata Keji. Selain itu peneliti juga mewawancarai wisatawan yang
berkunjung di Desa Keji untuk mengetahui tanggapan wisatawan
terhadap sajian wisata di Desa Keji.
3. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan teknik wawancara, observasi, dan
dokumentasi dalam pengumpulan data. Wawancara adalah teknik
pengumpulan data sebagai bentuk informasi dengan jalan tanya
jawab yang dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan pada
tujuan penelitian. Peneliti menggunakan teknik wawancara
dengan tujuan untuk mengetahui perasaan serta pikiran yang
terkandung di benak orang lain (lawan bicara) mengenai
pandangan-pandangan tentang sesuatu yang berkaitan dengan
kepentingan penelitian. Wawancara digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data dengan komunikasi secara lisan dicatat
dalam buku yang disediakan oleh peneliti. Peneliti juga melakukan
dokumentasi dengan cara mengambil gambar serta merekam
pembicaraan yang dianggap penting dengan menggunakan kamera
digital maupun handycam.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi. Observasi
merupakan pengalaman langsung terhadap objek yang akan
20
diteliti dan pencatatan dengan sistematika, fenomena-fenomena
yang diselidiki. Dalam pengertian psikologi, observasi atau yang
disebut dengan pengamatan meliputi kegiatan pemusatan
perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh
alat indra.21 Tujuan peneliti menggunakan teknik observasi yaitu
agar peneliti mendapatkan gambaran secara langsung terhadap
fenomena yang terjadi berkaitan dengan kepentingan penelitian.
Secara umum peneliti menggunakan 2 teknik observasi, yaitu (1)
observasi langsung, dimana peneliti mendatangi secara langsung
pada saat pertunjukan dilaksanakan; (2) observasi pastisipatif,
dimana peneliti mencoba terlibat dan berbaur dengan pelaku.
Penelitian ini juga menggunakan teknik dokumentasi.
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, biografi, peraturan,
dan kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto,
video, sketsa, dan lain-lain.22 Teknik dokumentasi yaitu mencari
data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya. Teknik dokumentasi ini penting dilakukan
21Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik
(Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 155. 22Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2008), 240.
21
dengan tujuan untuk mendapatkan data autentik yang
memperkuat data penelitian.
Teknik dokumentasi terdiri dari 2 macam yaitu dokumentasi
penelitian dan dokumentasi peneliti. Dokumentasi penelitian
merupakan dokumen yang sudah ada di lapangan. Dokumen yang
ada di lapangan antara lain data tentang sejarah pendirian
organisasi kesenian, data pendukung masyarakat yang terlibat di
dalam pengelola desa wisata, dan dokumen berupa surat kabar
yang pernah meliput. Adapun dokumentasi peneliti merupakan
dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti pada saat
melaksanakan penelitian. Misalnya foto yang diambil peneliti pada
saat melakukan observasi di lapangan antara lain berupa foto
lokasi penelitian, foto pertunjukan, serta foto pada saat
wawancara dengan informan. Dokumentasi yang lain berupa
catatan kecil hasil wawancara dengan informan serta video
wawancara dengan informan yang dianggap penting.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan analisis data deskriptif. Analisis data meliputi
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Semua
data yang terdiri dari catatan lapangan, gambar, foto, hasil
wawancara, dan lain-lain dianalisis sesuai kebutuhan penelitian.
22
Studi kepustakaan diperlukan sebagai acuan untuk menganalisis
dengan kenyataan yang ada di lapangan. Penyajian data
menggunakan bagan dapat digunakan oleh peneliti dalam
membuat kerangka data yang ada di lapangan berdasarkan
kerangka berfikir penelitian. Selain itu penyajian data berupa
gambar juga digunakan untuk mempermudah dalam
mendeskripsikan kondisi di lokasi penelitian.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan jalan pikiran secara keseluruhan,
penyusunan tesis ini pada intinya terbagi menjadi 5 bab sebagai
berikut.
Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang latar belakang kultural
masyarakat Desa Keji dan sejarah munculnya keragaman seni
pertunjukan Kuda Lumping. Hal ini dimaksudkan agar didapatkan
pemahaman yang baik tentang kemunculan kesenian Kuda
Lumping berkaitan dengan konteks sosial budaya yang
melingkupinya.
Bab III membahas tentang bentuk penyajian kesenian Kuda
Lumping di Desa Wisata Keji.
23
Bab IV membahas perkembangan kesenian Kuda Lumping di
Desa Wisata Keji dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Bab V kesimpulan