Download - BAB II
II - 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Persampahan
2.1.1. Definisi Sampah
a. Sampah dapat didefinisikan sebagai buangan yang dihasilkan dari aktivitas
manusia dan hewan berupa padatan, yang dibuang karena sudah tidak
berguna atau tidak dibutuhkan lagi (Tchobanoglous et al, 1993: 3).
b. Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat
anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (SK.
SNI.T-13-1990-F , 1990: 1).
c. Sampah merupakan barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang
oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi masih bisa dipakai kalau dikelola
dengan prosedur yang benar (Basriyanta, 2007)
d. Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari sampah organik,
sampah anorganik dan sampah B3 yang dianggap tidak berguna lagi dan
harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi
investasi pembangunan (Dirjen Cipta Karya, 1998: 1).
2.1.2. Klasifikasi Sampah
2.1.2.1 Berdasarkan Sifat Kimiawi
Klasifikasi sampah menurut Dirjen Cipta Karya (1989: II-2) dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa
organik dan oleh karena itu tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen. Sampah organik terdiri dari daun-daun, kayu, kertas,
tulang, sisa makanan, sayuran dan buah-buahan.
2. Sampah anorganik adalah sampah dari bahan-bahan yang tidak tersusun
oleh senyawa organik dan tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme,
II - 2
misalnya kaca, besi, plastik, dan lain-lain.
2.1.2.2 Berdasarkan Keadaan Fisik
Menurut Dirjen Cipta Karya (1989: II-2 - II-3), dilihat dari keadaan
fisiknya sampah dibagi menjadi beberapa jenis:
a. Garbage (sampah basah) yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan
organik dan mempunyai sifat mudah membusuk, biasanya berasal dari sisa
makanan, buah atau sayuran. Sifat utama dari sampah basah adalah banyak
mengandung air dan cepat sekali membusuk terutama pada daerah tropis
seperti di Indonesia.
b. Rubbish (sampah kering) yaitu sampah yang susunannya terdiri dari bahan
organik maupun anorganik yang sifatnya lambat atau tidak membusuk.
Sampah kering ini terdiri dari 2 golongan, yaitu sampah kering logam
(metalic rubbish) misalnya pipa besi tua, kaleng-kaleng bekas dan
sebagainya, serta sampah kering bukan logam (non metalic) seperti kertas,
kayu, sisa-sisa kain, kaca, mika, keramik, dan batu-batuan.
c. Sampah lembut adalah sampah yang terdiri dari partikel-partikel kecil,
ringan, dan mempunyai sifat mudah beterbangan, yang dapat
membahayakan/ mengganggu pernafasan dan mata. Menurut bentuknya ada
2 macam, yaitu :
1. Debu : berasal dari penyapuan lantai rumah dan gedung, debu pengrajin
kayu, debu pabrik kapur, pabrik semen, pabrik tenun dan lain- lain.
2. Abu : berasal dari sisa pembakaran kayu, abu rokok, abu sekam, sampah
yang terbakar dan lain- lain.
d. Sampah besar (bulky waste) adalah sampah yang berukuran besar, misalnya
bekas-bekas furniture (kursi dan meja), peralatan rumah tangga (kulkas,
TV, dan lain-lain).
e. Sampah berbahaya (hazardous wastes), baik terhadap manusia, hewan,
maupun tanaman yang terdiri dari :
1. Sampah patogen : sampah yang berasal dari rumah sakit atau klinik.
2. Sampah beracun : sisa-sisa pestisida, insectisida, kertas bekas bungkus
bahan racun dan sebagainya.
II - 3
3. Sampah radioaktif : sampah bahan-bahan nuklir
4. Sampah ledakan : petasan, mesiu dari sampah perang, dan sebagainya
2.1.3. Sumber Sampah
Berdasarkan sumbernya, menurut Tchobanoglous et al (1993: 40-50)
sampah dibagi menjadi beberapa jenis:
1. Daerah Pemukiman
Sampah daerah pemukiman bersumber dari rumah tangga, apartemen, asrama,
dan sebagainya. Jenis sampah untuk daerah ini antara lain sisa makanan,
kertas, kardus/karton, plastik, kain, kulit, potongan rambut, kayu, kaca,
kaleng, alumunium, besi, daun, sampah khusus (termasuk bulky waste,
sampah kebun, barang elektronik, baterai, oli, ban), sampah rumah tangga
yang mengandung B3
2. Daerah Komersial
Sampah daerah komersial bersumber dari toko, mal, pasar, restoran, gedung
perkantoran, hotel, motel, percetakan, bengkel, dan sebagainya. Jenis sampah
untuk daerah ini antara lain kertas, kardus, plastik, kayu, sisa makanan, kaca,
besi, sampah khusus (termasuk bulky waste, sampah kebun, barang elektronik,
baterai, oli, ban), sampah B3, dan sebagainya.
3. Institusi
Sampah institusi bersumber dari sekolah, rumah sakit, penjara, kantor
pemerintahan, tempat ibadah, dan sebagainya. Jenis sampah untuk institusi
sama dengan jenis sampah pada daerah komersial.
4. Tempat Pembangunan, Pemugaran atau Pembongkaran Gedung
Sampah tempat pembangunan, pemugaran atau pembongkaran gedung
bersumber dari daerah pembangunan konstruksi, perbaikan jalan, dan
sebagainya. Jenis sampah yang ada antara lain kayu, sisa-sisa bahan
bangunan/sisa material, dan sebagainya.
5. Jasa Pelayanan Perkotaan (Utilitas Kota)
Sampah dari jasa pelayanan perkotaan bersumber dari penyapuan jalan
(pembersihan jalan dan trotoar), lapangan, taman, pembersihan pantai, tempat
II - 4
rekreasi, dan sebagainya. Jenis sampah yang ada antara lain ranting pohon,
dedaunan, kertas pembungkus, puntung rokok, dan sebagainya.
6. Industri
Sampah industri bersumber dari industri berat, industri ringan, pabrik-pabrik,
dan sebagainya. Jenis sampah industri tergantung dari bahan baku yang
digunakan, sampah non industri termasuk sisa makanan, kertas, sampah B3.
2.1.4. Karakteristik Sampah
Menurut survei yang dilakukan di Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya
pada tahun 1987, volume timbulan sampah rumah tangga berkisar antara 2 – 2,5
liter/kapita/hari atau sekitar 0.5 kg/kapita/hari (Sudradjat, 2007: 7). Sampah
domestik merupakan sumber sampah terbanyak dari sampah perkotaan yang
berasal dari sampah rumah tangga dan aktifitas lingkungan sekitar.
Sampah organik dapat terurai dengan mudah. Mengingat komposisinya
yang cukup dominan di sampah perkotaan, sampah organik dapat menjadi potensi
ekonomis bila dipisahkan dari sampah lainnya dan diolah menjadi kompos. Untuk
sampah yang sulit terdegradasi, seperti koran, kertas, plastik, dapat didaur ulang
atau digunakan kembali. Berikut adalah tabel degrabilitas dari komponen sampah.
Tabel 2.1.
Degrabilitas Komponen Sampah Kota
No Komponen Sampah Degrabilitas (%)
1 Selulosa dari kertas koran 90
2 Selulosa dari kertas bungkus 50
3 Kayu / ranting berkulit 5
4 Bambu 50
5 Hemiselulosa 70
6 Karbohidrat 70
7 Lignin 0
8 Lemak 50
II - 5
9 Protein 50
10 Plastik 0
Sumber : Sudrajat dkk,2007: 8
Secara umum, meskipun kandungan sampah sangat heterogen, kandungan
bahan organik dalam sampah kota cukup tinggi yaitu di atas 70%. Keadaan ini
memberikan gambaran bahwa potensi pengolahan sampah organik yang cukup
tinggi.
2.1.5. Produksi / Timbulan Sampah
Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang dihasilkan per orang
per hari dalam satuan volume maupun berat (SK. SNI.T-13–1990-F, 1990:1).
Besarnya besaran timbulan sampah menurut SK SNI S-04-1991-03 dapat
dilihat pada Tabel 2.2 dan 2.3 sebagai berikut :
Tabel 2.2
Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber Sampah
No. Sumber sampah Satuan Volume(liter) Berat (kg)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Rumah permanen
Rumah semi permanen
Rumah non permanen
Kantor
Toko/ruko
Sekolah
Jalan arteri sekunder
Jalan kolektor sekunder
Jalan lokal
per orang/hari
per orang/hari
per orang/hari
per pegawai/hari
per petugas/hari
per murid/hari
per meter/hari
per meter/hari
per meter/hari
2,25-2,50
2,00-2,25
1,75-2,00
0,50-0,75
2,50-3,00
0,10-0,15
0,10-0,15
0,10-0,15
0,05-0,10
0,350-0,400
0,300-0,350
0,250-0,300
0,025-0,100
0,150-0,350
0,010-0,020
0,020-0,100
0,010-0,050
0,005-0,025
II - 6
10. Pasar per meter2/hari 0,20-0,60 0,100-0,300
Sumber: SK SNI S-04-1991-03, 1991: 2
Tabel 2.3
Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota
Klasifikasi KotaVolume
(L/orang/hari)
Berat
(kg/orang/hari)
Kota sedang 2.75 – 3.25 0.70 – 0.80
Kota kecil 2.5 – 2.75 0.625 – 0.70
Sumber: SK SNI S-04-1991-03, 1991: 3
2.1.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulan Sampah
Menurut Darmasetiawan (2004: I-14 – I-15) terdapat empat faktor
yang mempengaruhi timbulan sampah, yaitu :
1. Jenis bangunan-bangunan yang ada
Jenis bangunan dan luas bangunan berpengaruh pada jumlah sampah,
semakin luas suatu bangunan maka semakin banyak timbulan
sampahnya.
2. Tingkat Aktifitas
Jumlah sampah yang timbul pada setiap bangunan berhubungan
langsung dengan tingkatan aktifitas orang-orang yang
mempergunakannya, misalnya :
a. Bangunan pasar, makin beraneka ragam yang diperdagangkan,
makin besar timbulan sampahnya.
b. Perkantoran, makin banyak aktifitas yang dilakukan, makin banyak
timbulan sampahnya.
c. Industri, makin besar kapasitas produksinya (aktifitas tinggi),
makin banyak timbulan sampahnya.
3. Kepadatan Penduduk dan Jumlah Penduduk.
Volume sampah yang dihasilkan sejalan dengan jumlah penduduk.
Makin banyak jumlah penduduk suatu daerah, makin banyak pula
II - 7
timbulan sampah yang dihasilkan. Demikian pula dengan tingkat
kepadatan penduduknya, makin padat penduduk yang tinggal di suatu
daerah, makin banyak timbulan sampahnya. Karena tidak ada tempat
atau ruang yang dapat ”menyerap” sampah secara on site.
4. Sosial-Ekonomi dan Budaya
Makin tinggi tingkat ekonomi suatu daerah, maka laju konsumtivisme
masyarakatnya pun meningkat, sehingga laju timbulan sampah pun
meningkat. Demikian pula dengan budaya masyarakat setempat akan
berpengaruh pada timbulan sampahnya. Sebagai contoh budaya
keagamaan masyarakat Bali (sembahyang menggunakan sesaji),
volume sampahnya lebih tinggi dibandingkan daerah lain.
2.2. Hirarki Pengelolaan Sampah
Hirarki pengelolaan sampah ditetapkan untuk mengidentifikasi elemen
kunci dalam pengelolaan persampahan. Konsep pengelolaan sampah menurut
Basriyanta (2007, 20-21) adalah :
1. Reduce
Proses meminimalisasi jumlah timbulan sampah dari sumbernya.
2. Reuse
Proses memilih dan memilah serta mengoptimalkan fungsi sampah yang
masih bisa dimanfaatkan.
3. Recycle
Proses mengolah kembali sampah yang masih bisa diproses ulang menjadi
barang lain yang bermanfaat, layak pakai serta layak jual.
4. Disposal
Proses pembuangan akhir sampah yang memang sudah tidak dapat
dimanfaatkan kembali.
II - 8
Gambar 2.1
Piramida Hirarki Pengelolaan Sampah
Sumber: Basriyanta, 2007: 20
2.3. Dasar-dasar Pengelolaan Persampahan
Menurut Dirjen Cipta Karya (1989, I-2 – I-3), pengelolaan persampahan
mempunyai lingkup yang disebut sistem, yaitu terdiri dari komponen-komponen
yang saling berinteraksi membentuk kesatuan dan mempunyai tujuan. Bentuk
interaksi mempunyai ketentuan dan keteraturan tertentu. Komponen yang
mempunyai bentuk tersebut diatas disebut subsistem, sedangkan komponen yang
mempunyai tujuan sama tetapi bentuk interaksi tidak memenuhi aturan yang
berlaku disebut lingkungan internal. Sedangkan komponen yang tidak mempunyai
tujuan yang sama dan berinteraksi disebut dengan lingkungan eksternal.
Dalam hal ini sistem pengelolaaan persampahan dapat dikategorikan
menjadi 4 subsistem dan satu lingkungan komponen internal, yaitu:
a. Subsistem Organisasi/ Kelembagaan
1. Bentuk organisasi
2. Struktur manajemen
3. Struktur organisasi
4. Personalia (kualitas dan kuantitas)
5. Tata laksana kerja
6. Pendidikan dan latihan
b. Subsistem Teknis Operasional
1. Tingkat pelayanan
II - 9
2. Daerah pelayanan
3. Penampungan dan pengumpulan
4. Pemindahan
5. Pengangkutan
6. Pembuangan akhir
c. Subsistem Pembiayaan dan Retribusi
1. Sumber pendanaan
2. Struktur pembiayaan
3. Pola/ prosedur retribusi
d. Subsistem Hukum dan Peraturan
1. Pembentukan peraturan daerah
2. Perda pembentukan organisasi pengelola kebersihan
3. Perda ketertiban umum di bidang kebersihan lingkungan kota
4. Perda pembentukan struktur tarif retribusi
e. Aspek Peran Serta Masyarakat (Komponen Lingkungan Internal)
1. Bentuk partisipasi masyarakat
2. Materi dan pembinaan masyarakat di bidang kebersihan atau penyuluhan
3. Pelaksanaan program penyuluhan
4. Evaluasi serta pemeliharaan kondisi
2.3.1. Aspek Organisasi dan Kelembagaan
Menurut Dinas Permukiman dan Tata Ruang Propinsi Jawa Tengah (2002,
4), kelembagaan atau organisasi adalah badan yang dibentuk berdasarkan
peraturan pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan pengelolaan bidang
persampahan dalam bentuk:
a. Mempersiapkan program atau rencana kerja
b. Membuat perencanaan
c. Melakukan pembangunan
d. Melakukan tugas operasi dan pemeliharaan
e. Mempersiapkan rencana anggaran biaya/keuangan
f. Melakukan pembinaan hubungan antar instansi dan masyarakat
II - 10
g. Melakukan monitoring evaluasi dan pelaporan
h. Melakukan penelitian dan pengembangan
Kelembagaan yang dimaksud dapat berdiri sendiri atau terdiri dari
beberapa instansi terkait yang disesuaikan dengan kebutuhan.
2.3.2. Aspek Teknis
Menurut Dinas Permukiman dan Tata Ruang Propinsi Jawa Tengah
(2002,4), aspek teknis dalam pengelolaan bidang persampahan meliputi beberapa
kegiatan yaitu:
a. Perencanaan
b. Pembangunan
c. Pengawasan
d. Operasi dan Pemeliharaan
e. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
f. Pemeliharaan dan Pengembangan
2.3.2.1. Pengelolaan Sampah
Pengelolaan persampahan kota-kota di Indonesia mempunyai pola yang
hampir sama. Ditinjau dari segi teknik operasionalnya, pengelolaan persampahan
meliputi kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir. Operasi bersifat
integral dan terpadu karena setiap proses tidak dapat berdiri sendiri melainkan
saling pengaruh mempengaruhi secara berantai.
Adapun urutan kegiatan sistem operasional pengelolaan persampahan
secara umum adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan pewadahan sampah (on storage)
b. Kegiatan pengumpulan sampah (collection)
c. Kegiatan pemindahan sampah (transfer)
d. Kegiatan pengangkutan sampah (transportation)
e. Kegiatan pengolahan sampah (intermediate treatment)
f. Kegiatan pembuangan akhir (final disposal)
II - 11
Gambar 2.2
Skema Kegiatan Operasional Persampahan
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 1989: III-1
a. Pewadahan Sampah
Menurut SK SNI T-13-1990-F (1990, I-1), pewadahan sampah adalah
suatu cara penampungan sampah sementara di sumbernya baik individual
maupun komunal. Pewadahan sampah tidak ada ketentuan tentang pewadahan
sampah yang harus digunakan oleh masyarakat, baik bentuk, ukuran maupun
bahan wadah sampah.
Pengadaan dan pemeliharaan wadah sampah merupakan tanggung
jawab masing-masing penghasil sampah baik kelompok masyarakat dalam
pemukiman ataupun di pusat kegiatan yang lain. Pemerintah daerah atau dinas
kebersihan hanya menyediakan dan memelihara wadah sampah jalan.
Sarana pewadahan baik individu maupun komunal menurut Dinas
Permukiman dan Tata Ruang Propinsi Jawa Tengah (2002, 5), umumnya
berupa:
1. Bak ember atau kantong plastik
2. Kotak kayu atau kartun
Pengolahan (Reuse/ Recycling)
Sumber sampah
Pewadahan
Pengumpulan
Pemindahan dan Pengangkutan
Pembuangan akhir
Keterangan :
Aliran utama
Aliran Sekunder
II - 12
3. Drum atau ban bekas
4. Keranjang bambu
Menurut (SK SNI T-13-1990-F, 1990: II-6) persyaratan bahan untuk
wadah adalah sebagai berikut:
i. Tidak mudah rusak dan kedap air, kecuali kantong plastik/ kertas
ii. Mudah untuk diperbaiki
iii. Ekonomis, mudah diperoleh/ dibuat oleh masyarakat
iv. Mudah dan cepat dikosongkan
b. Pengumpulan Sampah
Pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah dengan cara
pengumpulan dari masing-masing sumber sampah untuk diangkut ke tempat
pembuangan sementara atau langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
tanpa melalui proses pemindahan (SK SNI T–13–1990–F, 1990: I-1).
Menurut Dinas Permukiman dan Tata Ruang Propinsi Jawa Tengah
(2002, 5), proses pelaksanaan pengumpulan sampah dapat dilakukan secara:
1. Langsung
Pemindahan dari pewadahan individual dikumpulkan langsung oleh
truk biasa, dump truk, compactor atau masyarakat membuang
langsung ke TPS.
2. Tidak Langsung
Pemindahan dari pewadahan ke TPS menggunakan gerobak sampah.
c. Pemindahan Sampah
Pemindahan sampah merupakan tahap pemindahan sampah hasil
pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke Tempat
Pembuangan Akhir (SK SNI T–13–1990–F, 1990: I-1).
Berdasarkan SK SNI T–13–1990–F (1990: II-12) , lokasi pemindahan
harus memperhatikan ketentuan-ketentuan seperti :
1. Letak harus memudahkan
bagi sarana pengumpul dan pengangkut untuk masuk dan keluar dari
II - 13
lokasi pemindahan.
2. Letak tidak jauh dari sumber
sampah.
3. Berdasarkan sifat lokasi
pemindahan terdiri dari terpusat (transfer depo) dan tersebar (transfer
depo tipe II dan tipe III).
Tabel 2.4
Tipe Pemindahan atau Transfer Depo
No Uraian Tipe I Tipe II Tipe III
1 Luas lahan Lebih dari 200 m3 60 – 200 m3 10 – 20 m3
2 Fungsi Tempat pertemuan
alat pengumpul dan
pengangkut, tempat
penyimpanan alat
dan bengkel
sederhana
Tempat pertemuan
alat pengumpul dan
pengangkut, tempat
parkir becak/
gerobak
Tempat pertemuan
gerobak dan
kontainer, lokasi
pertemuan kontainer
komunal 1 – 10 m3
3 Daerah
pemakaian
Daerah komersial
pemukiman
Daerah padat tapi
masih ada lahan
Daerah sulit lahan
Sumber : SK-SNI.T-13-1990-F, 1990: II- 12
d. Pengangkutan Sampah
Fase pengangkutan adalah tahapan membawa sampah dari lokasi
pemindahan atau langsung dari sumber sampah menuju ke TPA. Hal yang
penting dalam proses pengangkutan adalah penentuan rute pengangkutan
berupa penetapan titik pengambilan, jadwal operasi dan pola pengangkutan
(Dirjen Cipta Karya, 1989: III-14)
Menurut Darmasetiawan (2004: X-9), dari transfer depo, sampah
diangkut ke TPA dengan truk terbuka biasa (untuk kota kecil), dump truck
(dianjurkan), arm roll truck dengan kontainer (dianjurkan untuk pasar)
II - 14
Tabel 2.5
Jenis Peralatan Pengangkutan dan Karakteristiknya
Jenis
KendaraanKapasitas Kekurangan Kebaikan
Truk bak-
terbuka (kayu)
8 m3
10 m3
12 m3
a. Tenaga
banyak
b. Perlu
penutup
c. Operasi
lambat
a. Biaya O & M
rendah
b. Sesuai untuk door
to door
c. Umur 5 tahun
d. 2-3 rit/hari
Dump Truk 6 m3
8 m3
10 m3
a. Tenaga banyak
b. Perlu penutup
c. Operasi cepat
d. Bising
a. Biaya O & M
rendah
b. Untuk pasar & door
to door
c. Mobilitas tinggi
d. Umur 5-7 tahun
e. 2-3 rit/hari
Arm roll
truck/truk
kontainer
6 m3
8 m3
a. Mahal
b. Perlu
container
c. Biaya
O&M tinggi
a. Mobilitas tinggi
b. Fleksibel dan
elastis
c. Untuk
pemukiman & pasar
d. Umur 5 tahun
e. 5 rit/hari
Sumber : SK SNI 19-2454-2002
e. Pengolahan Sampah
Menurut Darmasetiawan (2004: X-9), perlu dilakukan pengkajian
dari segi ekonomi (mengingat biaya investasi dan operasi/pemeliharaannya)
meliputi: daur ulang, pengelolaan dari awal/sumber, sektor informal (diberi
II - 15
kemudahan), komposting, dalam skala kecil ”feasible”, penggunaan
insinerator masih mahal (Rp 18.000/ ton).
Sesuai dengan titik berat perolehannya, menurut Widyatmoko dan
Sintorini (2002, 32) sampah dapat diolah dengan bermacam-macam metode:
1. Metode yang menitikberatkan pada penggunaan bahan:
a. Pemilahan di tempat asal menurut jenisnya sesuai dengan wadah-
wadah (tong sampah) yang telah disediakan
b. Daur ulang dengan teknik pemilahan
c. Pengomposan
d. Pyrolysis untuk menghasilkan produk sintesis
2. Metode yang menitikberatkan pada perolehan energi:
a. Pyrolisis
b. Incenerator
c. Sampah sebagai bahan bakar
f. Pembuangan Akhir
Persyaratan umum lokasi pembuangan akhir menurut SK SNI T-13-
1990-F (1990:3) adalah sebagai berikut:
1. Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah
2. Jenis tanah kedap air
3. Daerah yang tidak produktif untuk pertanian
4. Dapat dipakai minimal untuk 5-10 tahun
5. Tidak membahayakan/ mencemarkan sumber air
6. Jarak dari daerah pusat pelayanan sekitar 10 km
7. Daerah yang bebas banjir
Metode pembuangan akhir dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Penimbunan terkendali (controlled landfill)
2. Lahan urug saniter (sanitary landfill)
3. Lahan urug saniter yang dikembangkan (improved sanitary
landfill)
II - 16
4. Semi aerobik lahan urug saniter (semi aerobic sanitary landfill)
5. Di laut dilakukan di sekitar pantai untuk reklamasi lahan
2.3.2.2 Tingkat Pelayanan
Tingkat pelayanan secara kuantitas/kualitas adalah 60% penduduk
terlayani (mendesak), 100% komersial, 50% permukiman, 100% daerah
dengan kepadatan > 150 orang/ha, sasaran jangka menengah, 100% komersial,
50% permukiman, 100% daerah dengan kepadatan > 100 orang/ha
(Darmasetiawan, 2004: X-8).
Menurut Dirjen Cipta Karya (2006: 2), tingkat pelayanan dinyatakan
dalam persentase jumlah penduduk yang memiliki atau mendapatkan akses
pelayanan persampahan terhadap jumlah penduduk yang ada dalam batas
wilayah administrasi yang dapat berupa:
a. Mendapatkan pelayanan pengumpulan sampah
b. Memiliki fasilitas dan dapat mengelola sampah dengan cara
setempat
2.3.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sistem Pengelolaan Persampahan
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan sampah,
berdasarkan SK SNI T-13-1990-F (1990: II-3) , antara lain sebagai berikut:
1. Rencana penggunaan lahan
2. Kepadatan dan penyebaran penduduk
3. Karakteristik lingkungan fisik, biologi dan sosial ekonomi
4. Kebiasaan masyarakat
5. Karakteristik sampah
6. Peraturan-peraturan/ aspek legal nasional dan daerah setempat
7. Sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan
8. Lokasi pembuangan akhir
9. Biaya yang tersedia
10. Rencana tata ruang dan pengembangan kota
11. Iklim dan musim
II - 17
2.3.3. Aspek Pembiayaan
Pembiayaan digunakan untuk melaksanakan seluruh kegiatan organisasi,
yang disusun sesuai program kegiatan baik yang bersifat jangka pendek
maupun jangka panjang dan dialokasikan dalam bentuk anggaran organisasi
(Dinas Permukiman dan Tata Ruang Propinsi Jawa Tengah, 2002:4).
2.3.4. Aspek Hukum
Untuk melaksanakan sesuatau kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan
kepada masyarakat, suatu organisasi harus mempunyai landasan hukum baik
yang dikaitkan dengan keberadaannya (landasan hukum organisasi) maupun
landasan hukum untuk melakukan operasi (Dinas Permukiman dan Tata Ruang
Propinsi Jawa Tengah, 2002: 4).
Menurut Darmasetiawan (2004: X-10) dasar hukum pengelolaan sampah
adalah Perda tentang ketentuan pembuangan sampah, Perda tentang
pembentukan badan pengelola, Perda tentang tarif retribusi. Dasar hukum
tersebut dibuat berdasarkan kendala teknis, jangka waktu berlaku terbatas,
kesiapan terhadap penegakannya, mempunyai keluwesan tetapi tegas,
penyebarluasan dan penerapan Perda.
2.3.5. Aspek Peran Serta Masyarakat
Sampah bersumber dari kegiatan masyarakat baik secara individu
maupun kelompok. Oleh karenanya di dalam manajemen persampahan apabila
peran serta masyarakat tidak diikutkan maka hasil kerja organisasi seperti Dinas
Kebersihan tidak akan maksimal. Beberapa bentuk peran serta masyarakat yang
memberi dampak positif menurut Dinas Permukiman dan Tata Ruang Propinsi
Jawa Tengah (2002,4-5) dalam menunjang kegiatan organisasi maupun
lingkungan adalah:
a. Organisasi pengelola sampah yang dibentuk oleh
masyarakat
b. Membangun sarana dan prasarana sampah secara individu atau gotong
royong
c. Membayar retribusi sampah
II - 18
d. Ikut melakukan kampanye bersih lingkungan dan lain-lain
Menurut Darmasetiawan (2004: X-10 - X-11) untuk memudahkan
teknik operasional dan menurunkan biaya pengelolaan diperlukan suatu
program untuk meningkatkannya secara teratur dan terus menerus serta
bekerja sama dengan penerangan tentang pentingnya pengelolaan sampah,
peran serta masyarakat, dan organisasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah.
2.4. Penerapan 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
2.4.1 Pengertian
Pengelolaan sampah 3R menurut Dirjen Cipta Karya (1998: 1) adalah
upaya pengurangan sampah yang dilakukan sedekat mungkin dari sumbernya
melalui reduce (merubah pola hidup konsumtif), reuse (menggunakan kembali
bahan-bahan yang potensial menjadi sampah dan bahan refill) dan recycle
(mendaur ulang melalui pembuatan kompos, daur ulang, waste to energy dan lain-
lain).
2.4.2 Pola Pengelolaan Sampah Kota dan Upaya 3R
2.4.2.1. Ketentuan Penanganan Sampah 3R
Menurut Dirjen Cipta Karya (1998: 3) Penanganan sampah 3R harus
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam melaksanakan penanganan sampah 3R harus tersedia suatu badan
usaha atau kelompok masyarakat atau swasta atau sektor informal lainnya
yang berada dalam koordinasi institusi pengelola sampah.
b. Dalam melaksanakan penanganan sampah 3R harus tersedia peraturan/
landasan hukum, baik di tingkat pusat maupun daerah yang mengatur
keterlibatan pemerintah, kelompok masyarakat, sektor informal, dan
swasta dalam terselenggaranya kegiatan tersebut.
c. Dalam melaksanakan penanganan sampah 3R mulai dari sumber sampah
harus ada keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaannya.
d. Pemilahan sampah dilaksanakan mulai dari sumber sampah.
e. Sebelum dilaksanakan penanganan sampah 3R perlu dilakukan sosialisasi
secara nasional mengenai penanganan sampah 3R dengan berbagai metode
II - 19
(penyuluhan, uji coba, lokakarya, brosur, TV).
f. Pelaksanaan sosialisasi secara nasional penanganan sampah 3R dapat
dilaksanakan oleh LSM, dan atau kelompok PKK, Instansi Pemerintah dan
Perguruan Tinggi.
g. Sasaran sosialisasi lebih ditujukan kepada masyarakat penghasil sampah
dan pengguna sampah, termasuk sektor informal.
h. Badan Pengelola Sampah dan atau Pengembang dan atau swasta harus
menyediakan fasilitas penunjang kegiatan penanganan sampah 3R.
i. Dalam penanganan sampah B3 rumah tangga harus ada peran aktif
masyarakat dan keterlibatan produsen penghasil sampah B3 rumah tangga.
2.4.2.2. Perlengkapan dan Peralatan Penunjang 3R
Berdasarkan Dirjen Cipta Karya (1998: 6-7) perlengkapan dan peralatan
penunjang kegiatan 3R meliputi:
a. Perlengkapan
Untuk penanganan 3R perlu dilengkapi dengan wadah, baik individual
maupun komunal sebagai berikut:
1. Wadah Individual
a) Sampah Organik : warna gelap/ hijau
b) Sampah Anorganik (kering) : warna terang/ kuning
c) Sampah B3 rumah tangga : warna merah
d) Rumah Tangga : kantong plastik, tong 40 liter
e) Fasilitas Umum : tong 30-40 liter
f) Fasilitas Sosial : wadah 120 liter berbeda warna
tong 40-60 liter berbeda warna
g) Pertokoan : tong 40-60 liter berbeda warna
h) TPS/ Lokasi pemindahan : kontainer 500 liter bersekat dengan
berbeda warna
2. Wadah Komunal : wadah 2 x 240 liter
b. Peralatan penunjang 3R
a) Komposter (sesuai dengan ketentuan berlaku)
II - 20
b) Bangunan dan peralatan UDPK (sesuai dengan ketentuan berlaku)
c) Wadah penampungan sementara sampah B3 rumah tangga oleh
produsen
d) Peralatan daur ulang
Keterangan : UPKDU = Unit Produksi Kompos dan Daur-Ulang
Gambar 2.3
Kaitan Komposisi Sampah dengan Pola Pengelolaan
Sumber : Dirjen Cipta Karya, 1998: 6
2.4.3. Reduce (Mengurangi)
II - 21
Kegiatan reduksi sampah adalah upaya meminimalkan produk sampah.
Reduksi sampah dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu dengan
menghemat penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan, memilih
bahan yang mengandung sedikit sampah, dan sebagainya (Dirjen Cipta Karya,
1998: 2).
Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah reduce menurut Dirjen
Cipta Karya (1998: 8-10) meliputi:
a) Daerah Perumahan dan Fasilitas Sosial
1. Hindari pemakaian dan pembelian produk yang menghasilkan
sampah dalam jumlah besar.
2. Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill).
3. Kurangi penggunaan bahan sekali pakai.
4. Jual atau berikan sampah yang sudah terpilah kepada pihak yang
memerlukan.
b) Fasilitas Umum (Perkantoran, Sekolah, Rumah Sakit)
1. Gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi.
2. Gunakan alat tulis yang dapat diisi kembali.
3. Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa kertas).
4. Maksimumkan penggunaan alat-alat penyimpan elektronik yang
dapat dihapus dan ditulis kembali.
5. Khusus untuk Rumah Sakit, gunakan insenerator untuk sampah
medis.
6. Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill).
7. Kurangi penggunaan bahan sekali pakai.
c) Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran, Hotel)
1. Berikan insentif oleh produsen bagi pembeli yang mengembalikan
kemasan yang dapat digunakan kembali.
2. Berikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta kemasan/
bungkusan untuk produk yang dibelinya.
3. Memberikan kemasan hanya kepada produk yang benar-benar
memerlukannya.
II - 22
4. Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan sampah
dalam jumlah besar.
5. Kenakan biaya tambahan untuk permintaan kantong plastik
belanjaan.
6. Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada yang
memerlukan.
2.4.4. Reuse (Menggunakan Kembali)
Kegiatan penggunaan kembali adalah upaya untuk menggunakan
kembali sampah secara langsung. Penggunaan kembali sampah dilakukan
dengan menggunakan kembali sampah sesuai fungsinya seperti halnya
penggunaan botol minuman atau kemasan lainnya. (Dirjen Cipta Karya, 1998: 2)
Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah reuse menurut Dirjen
Cipta Karya (1998: 8-10) meliputi:
a) Daerah Perumahan dan Fasilitas Sosial
1. Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama atau
fungsi lainnya.
2. Gunakan wadah/ kantong yang dapat digunakan berulang- ulang.
3. Gunakan baterai yang dapat di-charge kembali.
b) Fasilitas Umum (Perkantoran, Sekolah, Rumah Sakit)
1. Gunakan alat kantor yang dapat digunakan berulang-ulang.
2. Gunakan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan
ditulis kembali.
c) Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran, Hotel)
1. Gunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan untuk
produk lain, seperti pakan ternak.
2. Berikan insentif bagi konsumen yang membawa wadah sendiri,
atau wadah belanjaan yang diproduksi oleh swalayan yang
bersangkutan sebagai bukti pelanggan setia.
3. Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi
ulang (minyak, minuman)
II - 23
2.4.5. Recycle (Mendaur Ulang)
Daur ulang menurut Tchobanoglous (1993: 908) adalah pemanfaatan
kembali limbah untuk digunakan atau diproses menjadi bahan baku ataupun
barang yang berguna. Material yang dapat didaur ulang:
1. Botol Bekas wadah kecap, saos, sirup, creamer dll baik yang putih bening
maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal.
2. Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecuali
kertas yang berlapis minyak.
3. Aluminium bekas wadah minuman ringan, bekas kemasan kue dll.
4. Besi bekas rangka meja, besi rangka beton dll
5. Plastik bekas wadah shampoo, air mineral, jerigen, ember dll
6. Sampah basah dapat diolah menjadi kompos.
Gambar 2.4
Neraca Persentase Sampah dengan Pengelolaan Sampah 3R
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 1998:4
II - 24
Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah recycle menurut Dirjen
Cipta Karya (1998: 8-10) meliputi:
a) Daerah Perumahan dan Fasilitas Sosial
1. Pilih produk dan kemasan yang dapat didaur ulang dan mudah
terurai.
2. Lakukan penanganan untuk sampah organik menjadi kompos
dengan berbagai cara yang telah ada (sesuai ketentuan) atau
manfaatkan sesuai dengan kreativitas masing-masing.
3. Lakukan penanganan untuk sampah anorganik menjadi barang
yang bermanfaat.
b) Fasilitas Umum (Perkantoran, Sekolah, Rumah Sakit)
1. Olah sampah kertas menjadi kertas/ karton kembali.
2. Olah sampah organik menjadi kompos.
c) Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran, Hotel)
1. Jual produk-produk hasil daur ulang sampah dengan lebih menarik.
2. Berilah insentif kepada masyarakat yang membeli barang hasil
daur ulang sampah.
3. Olah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga
bermanfaat bagi proses lainnya.
4. Lakukan penanganan sampah organik menjadi kompos atau
memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
5. Lakukan penanganan sampah anorganik.
2.4.6. Komposting
Menurut Dirjen Cipta Karya (1989: IV-4) komposting atau pengomposan
adalah sistem pengolahan sampah dengan bantuan mikroorganisme sehingga
terbentuk pupuk organik yang dikenal dengan pupuk kompos. Sifat proses,
merubah barang yang tidak/kurang berguna (sampah) sebagai hasil buangan padat
aktifitas manusia menjadi produk lain yang lebih berguna.
Proses komposting menghasilkan :
a. Kompos, sebagai penyubur organik
II - 25
b. Bahan-bahan pembantu yang dapat dijual untuk daur ulang
c. Merubah produk yang kurang berguna menjadi produk yang lebih berguna
Kegunaan kompos antara lain:
a. Penggembur tanah
b. Memperbaiki susunan tanah
c. Menaikan daya serap tanah
d. Memperbesar akar tumbuhan
Persyaratan pembuatan kompos:
a. Tergantung pada sifat dan komposisi sampah
b. Kompos mampu diserap oleh pasar
c. Perlu dukungan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan
d. Harga kompos terjangkau oleh petani
e. Biaya produksi perlu ditunjang oleh Pemda
Operasi pembuatan kompos terdiri dari tahap sebagai berikut:
1. Pengumpulan sampah
2. Pemisahan jenis sampah
3. Penghancuran
4. Pencampuran dengan bahan lain
5. Penambahan ragi kompos
6. Penimbunan
2.4.6.1 Pengomposan Berdasarkan Kebutuhan Oksigen
2.4.6.1.1 Pengomposan Secara Aerobik
Adalah proses pengomposan yang membutuhkan oksigen. Proses ini
memerlukan waktu yang lebih singkat untuk mengubah sampah organik menjadi
kompos serta tidak menimbulkan bau busuk. Dengan pengomposan secara
aerobik, suhu optimum akan lebih mudah tercapai sehingga kompos yang
terbentuk telah aman dari mikroorganisme patogen. Dalam proses aerobik ini,
kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap (menjadi CO2) dan sisanya 1/3 bagian
bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan
II - 26
berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat
pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan
suhu yang menguntungkan mikroorganisme termofilik yang akan menghasilkan
CO2, air, dan panas.
2.4.6.1.2 Pengomposan Secara Anaerobik
Pengomposan secara anaerobik adalah proses pengomposan yang tidak
membutuhkan oksigen. Proses pengomposan ini memerlukan waktu yang relatif
lama. Kadar air yang relatif tinggi pada proses pengomposan secara anaerob
menyebabkan suhu optimum lebih sulit untuk tercapai. Proses anaerobik
menghasilkan metana (alkohol), CO2, dan senyawa seperti asam organik.
Meskipun proses pengomposan dapat berlangsung dalam kondisi aerobik
maupun anaerobik, proses aerobik lebih cocok diaplikasikan pada pengomposan
dari buangan industri. Kelebihan proses pengomposan aerobik:
1. Lebih mempercepat proses penguraian.
2. Berlangsung pada temperatur yang relatif tinggi sehingga sekaligus
berguna untuk menghilangkan bakteri patogen.
3. Meminimalkan potensi bau yang ditimbulkan.
4. Kompos yang dihasilkan lebih higienis.
5. Dapat dilakukan di udara terbuka.
6. Pengurangan volume cukup berarti.
7. Kompos yang dihasilkan mempunyai potensi pemanfaatan yang
beraneka ragam dalam jumlah besar.
8. Tidak perlu pengkondisian sampah.
Namun disamping itu, proses pengomposan secara aerobik juga
mempunyai kendala, yaitu:
Perlu lahan yang luas.
Sering diperlukan air untuk membuat kondisi kompos lembab.
II - 27
2.5. Pola Operasional Penanganan Sampah 3R
Pada Gambar 2.5 digambarkan pola operasional penanganan sampah
dengan 3R, dimana pengurangan volume sampah dapat dilakukan mulai dari
sumbernya sampai pada pembuangan akhir di TPA.
Gambar 2.5
Pola Operasional Penanganan Sampah 3R
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 1998: 5
2.6. Pengelolaan Persampahan Berbasis Masyarakat
2.6.1. Pengertian
Pengelolaan Persampahan Terpadu Berbasis Masyarakat adalah suatu
pendekatan pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan
masyarakat, direncanakan, dilaksanakan, dikontrol dan dievaluasi bersama
masyarakat. (http://bagusirawan.blogspot.com, 2008)
Pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat
adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai pengambil keputusan
dan penanggung jawab, pengelola adalah masyarakat dan/atau lembaga yang
ditunjuk oleh masyarakat, yang tidak memerlukan legalitas formal serta penerima
manfaat diutamakan pada masyarakat setempat, dengan sumber investasi berasal
dari mana saja (kelompok, masyarakat, pemerintah, swasta maupun donor).
II - 28
(Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Masyarakat, 2003: ix)
Dari kedua pengertian di atas tampak jelas bahwa, baik dalam pengelolaan
persampahan maupun pengelolaan air minum yang berbasis masyarakat sama-
sama menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama.
2.6.2. Tujuan
Tujuan program pengelolaan persampahan berbasis masyarakat adalah
memberi alternatif dalam penanganan masalah sampah dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya penanganan sampah bagi penciptaan
sumber pendapatan masyarakat, membangun kepedulian dan keahlian dalam
pemanfaatan teknologi pengolahan sampah. (www.waspada.co.id, 2007)
2.6.3. Pendekatan Partisipasi
2.6.3.1. Definisi
Partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan, dan
kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu baik secara
langsung maupun tidak langsung, sejak dari gagasan sampai pengambilan
keputusan (Gunawan Wibisana, 1989: 41 dalam Leksono Dwi R, 1998: 40).
2.6.3.2. Manfaat Pendekatan Partisipasi
Menurut Anzorena (dalam Swan, 1980: 188 dalam Leksono Dwi R, 1998:
46), keuntungan yang diperoleh dalam pendekatan partisipasi masyarakat
meliputi:
1. Partisipasi masyarakat dapat menggiatkan kembali para anggota keluarga
dengan cara pengembangan masing-masing anggota keluarganya.
2. Partisipasi masyarakat dapat mengurangi permusuhan antar kelompok
masyarakat, kelompok etnik dan keagamaan masyarakat, untuk kemudian
menambah rasa kebersamaan terhadap komunitas secara keseluruhan.
3. Melalui partisipasi masyarakat akan menggugah mereka, bahwa kebutuhan
bersama yang harus dipenuhi saat ini adalah peningkatan standar lingkungan
hidup.
II - 29
2.6.3.3. Bentuk Kegiatan Partisipasi
Bentuk partisipasi masyarakat menurut (Ndraha, 1987:103-104) meliputi:
1. Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik
awal perubahan sosial.
2. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap
informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan),
mengiyakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya.
3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan
keputusan.
4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.
5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil
pembangunan.
6. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam
menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan
sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.6.3.4. Tingkat Partisipasi
Dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat dikenal mempunyai tingkatan-
tingkatan tertentu (Wiswakharman, 1995: 21 dalam Leksono Dwi R, 1998:42).
Tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Partisipasi Inisiasi
Partisipasi ini merupakan tingkatan tertinggi. Masyarakat dalam tingkat
partisipasi ini dapat menentukan dan mengusulkan segala sesuatu rencana yang
akan dilaksanakan dan benar-benar merupakan inisiatif murni mereka. Peran serta
masyarakat disini adalah sebagai subyek kegiatan (pembangunan).
2. Partisipasi Legitimasi
Partisipasi ini adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau perundingan
kesepakatan pada suatu proses pembangunan. Peran serta masyarakat pada tingkat
ini cukup besar, yaitu masyarakat dapat memberikan usulan dan turut aktif dalam
pembicaraan dan musyawarah dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
II - 30
3. Partisipasi Eksekusi
Partisipasi ini adalah partisipasi dalam tingkat pelaksanaan. Di sini masyarakat
berperan dalam tahap pelaksanaan kegiatan dan mereka tidak mulai dari awal
(pada tahap perencanaan) dan tidak turut mengambil/menentukan keputusan.
2.6.4. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan (empowerment) adalah upaya yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan
yang mereka miliki atas dasar prakarsa dan kreativitas (Kebijakan Nasional
Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat,
2003: ix).
Menurut Darmasetiawan (2004: X-13), partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pada akhirnya ditujukan pada konsep pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan (empowering), berarti memberi kuasa dan tanggung jawab. Empowerment
terjadi bila power (kuasa dan tanggung jawab) tersebut diberikan pada seseorang kemudian
dengan sendirinya mempunyai rasa memiliki atas pekerjaannya sehingga lebih
bertanggung jawab, lebih mempunyai inisiatif dalam pekerjaannya, lebih banyak yang
dikerjakan dan menikmati pekerjaannya.
2.7. Studi Referensi Yang Relevan
2.7.1 Metode Pelaksanaan
Program ini dirancang untuk mewujudkan pengelolaan sampah di tingkat
sumber dengan melibatkan masyarakat sebagai pengambil keputusan. Sehingga
terbentuk suatu sistem pengelolaan sampah yang efektif dan efisien dengan
mengikutkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya. Untuk mencapai
kondisi sebagaimana tersebut di atas, ada tiga kegiatan utama yang harus
dilakukan yakni :
2.7.1.1. Seleksi
a. Workshop Pengelolaan Sampah
II - 31
Memberikan gambaran pengelolaan sampah dan alternatif pengelolaan melalui
sebuah workshop yang dihadiri oleh pihak-pihak terkait seperti Dinas Kebersihan,
Kelurahan, dan Perumahan. Workshop juga bertujuan menawarkan kepada
kampung atau daerah yang berminat untuk melakukan program pengelolaan
persampahan berbasis partisipasi masyarakat. Kriteria-kriteria pemilihan adalah
1. Tingkat keparahan masalah sampah di daerah tersebut
2. Antusiasme masyarakat untuk menyambut program ini
3. Lingkup area mencapai 100 kepala keluarga
b. Seleksi Kampung
Daerah yang berminat akan dinilai melalui kriteria-kriteria yang telah
ditentukan dan kemudian akan ditinjau apakah layak untuk dijadikan daerah
sasaran
c. Pengorganisasian Masyarakat Pengelola
Lima orang dari masing-masing daerah akan membentuk organisasi pengelola
sampah di masing-masing daerah. Mereka akan menjadi orang yang bertanggung
jawab dan melaksanakan pengelolaan persampahan.
d. Training Organisasi Pengelola Sampah
Kelompok pengelola mengikuti pelatihan tentang bagaimana mengorganisir
masyarakat, menyusun rencana tindak, memilah sampah, mewadahi sampah dan
melakukan pengomposan.
e. Sosialisasi ke Masyarakat
Organisasi pengelola yang telah dibentuk akan melakukan sosialisasi program
ke masing-masing masyarakat tentang gambaran program yang akan mereka
jalankan.
f. Penyusunan Rencana Tindak
Masing-masing kelompok pengelola bersama dengan masyarakat melakukan
perencanaan bersama pengelolaan sampah yang sederhana dan mudah
diimplementasikan. Rencana tindak tersebut dijalankan bersama sesuai dengan
kesepakatan bersama dan juga diawasi oleh seluruh masyarakat.
2.7.1.2. Implementasi
a. Sosialisasi Pengelolaan Sampah ke Masyarakat
II - 32
Sosialisasi tentang pemilahan, pewadahan, dan pemanfaatan sampah oleh
warga dilakukan oleh masing-masing kelompok pengelola yang merupakan salah
satu kegiatan dalam rencana tindak. Melalui forum PKK tingkat RT ataupun RW,
sosialisasi dilakukan.
b. Pengembangan Media Pengelolaan Sampah
Media dikembangkan guna memudahkan proses penyadaran masyarakat
tentang upaya pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Media berupa poster,
leaflet, dan buku. Proses penyebaran dan penyadaran berjalan dengan cepat
dengan media.
c. Praktek Pemilahan, Pewadahan, dan Pemanfaatan Sampah
Masyarakat diajak terlibat langsung dalam praktek pemilahan, pewadahan dan
pemanfaatan sampah sehingga dalam kegiatan ini, masyarakat tidak akan keliru
dan bingung.
d. Praktek Pengomposan Rumah Tangga
Masyarakat diberikan pengetahuan dan pelatihan bagaimana memanfaatkan
sampah melalui proses pengomposan di tingkat rumah tangga. Pengomposan
merupakan upaya dalam mengurangi timbulan sampah organik.
e. Pengadaan Infrastruktur Pengelolaan Sampah
Alat-alat pendukung pengelolaan sampah seperti tas, bak penampungan
sampah dibuang, dan keranjang pengomposan diupayakan untuk kelancaran
dalam pengelolaan sampah.
f. Pembuatan Toga atau Berkebun untuk Pengelolaan Lingkungan
Sebagai salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan sampah yakni
pengelolaan lingkungan melalui penanaman toga atau berkebun di lingkungan
rumah dari hasil pemanfaatan sampah rumah tangga seperti kompos dan botol
plastik.
2.7.1.3. Pasca Implementasi
a. Monitoring
II - 33
Kegiatan oleh kelompok pengelola untuk memastikan apakah pengelolaan
sampah yang telah dilakukan oleh masyarakat dilaksanakan dengan baik yakni
sampah dipilah, diwadahi, dan dikelola di tingkat rumah tangga.
b. Terminate Proses
Proses untuk memutus ketergantungan masyarakat terhadap fasilitator
program dari luar. Dengan proses ini diharapkan pasca program selesai
masyarakat dapat mandiri dan melakukan proses pengelolaan sampah
berkelanjutan.
c. Diseminasi
Seminar mengenai program ke beberapa daerah yang dianggap perlu untuk
dilakukan program pengelolaan sampah. Melalui lesson learnt yang didapat
selama melakukan program, pengelolaan sampah dapat menjadi rujukan untuk
program pengelolaan lingkungan.
2.7.2 Metode Pemberdayaan Masyarakat
2.7.2.1 Metode Penyiapan Masyarakat
Metode penyiapan masyarakat pada intinya adalah cara untuk
mendampingi dan menyiapkan masyarakat, agar siap, mau dan mampu diikutkan
dalam kegiatan ini. Kegiatan pendampingan masyarakat ini memiliki prinsip-
prinsip penting yang bersifat spesifik sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat yang terjadi. Beberapa prinsip dasar tersebut adalah :
1. Pemberdayaan Masyarakat, yaitu membangun masyarakat dari dalam (self
development) agar mengenali potensi daerahnya sendiri dan mengusulkan
program penanganannya. Pelaksanaan pekerjaan ini untuk dapat memberi
wawasan dan pembelajaran kepada masyarakat.
2. Partisipatif, yaitu dalam proses perumusan usulan program pembangunan,
pelaksanaan konstruksi, pengawasan dan pemeliharaan hasil pembangunan,
harus tetap melibatkan masyarakat setempat.
3. Advokatif, yaitu selalu siap memberikan pendampingan dan arahan strategi
pada permasalahan yang tiba-tiba muncul di lapangan, agar proses
pembangunan berjalan lancar dan tetap mengarah pada tujuan.
II - 34
4. Efektif, yaitu program yang disusulkan merupakan program prioritas yang
bersifat mendesak, mengatasi permasalahan utama dan memiliki dampak luas
pada pemecahan masalah yang lain.
5. Efisien, yaitu mengangkat dan mengoptimalkan potensi di kawasan setempat
dalam pelaksanaan konstruksi, baik tenaga maupun materialnya, sehingga
lebih mudah, murah, cepat namun berkualitas.
6. Transparan, informasi tentang pelaksanaan pekerjaan terbuka dan mudah
dipahami oleh semua pihak yang terlibat.
7. Akuntabel, hasil pelaksanaan dapat dipertanggungjawabkan secara kualitas
dan kuantitas serta prosedur dan proses penyaluran dananya dapat
dilaksanakan secara cepat, efektif dan efisien.
8. Azas Demokrasi, melalui proses perencanaan berjenjang dari bawah (Bottom
Up Planning) dan menggunakan pendekatan partisipatif terhadap masyarakat
setempat.
2.7.2.2 Metode Sosialisasi dan Pelatihan
Metode yang dipilih dalam penyampaian materi sosialisasi dan pelatihan
adalah metode pedagogy dan metode andragogy. Metode pedagogy digunakan
dalam kegiatan sosialisasi sedangkan metode andragogy lebih banyak dipakai
selama kegiatan pelatihan.
Sosialisasi disampaikan untuk memberikan pemahaman yang benar
tentang pengelolaan persampahan 3R kepada instansi terkait dan kepada
masyarakat. Sedangkan metode andragogy diharapkan dapat dikedepankan dalam
kegiatan pelatihan melalui pola diskusi tujuannya agar selama pelatihan tidak
terkesan menggurui akan tetapi menjadi kegiatan diskusi yang menarik sehingga
tidak menimbulkan kejenuhan.
Dengan metode andragogy setiap komponen pelatihan ditempatkan
sebagai manusia dewasa yang berhak mengemukakan pendapatnya secara luas
dalam batas manusia. Kegiatan yang dilakukan meliputi :
1. Diskusi interaktif
2. Penugasan individu
3. Penugasan kelompok
II - 35
4. Praktek
2.7.2.3 Metode Forum Rembug Warga
Dalam kegiatan pendampingan masyarakat, usaha untuk melibatkan
masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama
Konsultan Pendamping menjadi kunci utama keberhasilan kegiatan. Usaha untuk
mengupayakan keterlibatan masyarakat harus dilakukan dengan prinsip
pendekatan Partisipatif dan Demokratif. Oleh karena itu dalam usaha pendekatan
kepada masyarakat untuk melibatkan dalam setiap kegiatan, dilakukan melalui
konsep Forum Rembug Warga, dimana dalam forum ini Konsultan Pendamping,
aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat, lembaga perwakilan desa, tokoh
pemuda, ketua dusun, RT/RW serta masyarakat bersama-sama melakukan
pertemuan dan diskusi untuk membahas setiap permasalahan yang ada untuk
kemudian mencari solusi yang tepat guna mengatasi permasalahan tersebut, serta
menyepakati dan menyetujui bersama-sama program yang akan ditindaklanjuti
untuk langkah penyelesaian selanjutnya.
Rembug warga yang dilaksanakan diharapkan dapat menghasilkan :
1. Rembug warga 1 diharapkan dapat membentuk organisasi pengelolaan
sampah
2. Rembug warga 2 adalah penentuan sistem pengelolaan sampah
3. Rembug warga 3 adalah penentuan prioritas pelaksanaan pekerjaan
2.7.3 Metode Monitoring dan Evaluasi
Tahapan terakhir pasca implementasi program adalah kegiatan monitoring
dan evaluasi. Kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama antara berbagai pihak
baik masyarakat, organisasi pengelola sampah, fasilitator, dan juga pemerintah.
Kegiatan monitoring dan evaluasi ini untuk melakukan perbaikan dalam
penerapan sistem. Kekurangan-kekurangan yang muncul dalam implementasi
program akan dapat dipantau dan diselesaikan bersama-sama dalam tahapan ini.
Selain itu project harus dapat mentransfer kemampuan dalam melakukan
monitoring dan evaluasi kepada organisasi pengelola, sehingga nantinya mereka
dapat melanjutkan sendiri kegiatan ini untuk melakukan perbaikan secara terus-
menerus dalam pengelolaan sampah.
II - 36
Kegiatan monitoring dan evaluasi ini juga untuk memastikan
keberlanjutan dari program pengelolaan sampah di masyarakat. Harapannya,
ketika kegiatan ini secara administrasi selesai, maka masyarakat melalui
organisasi pengelola sampah dapat terus melanjutkan aktivitas ini dan menjadi
budaya baru bagi masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah rumah
tangga. (Yayasan Bintari, 2008)