BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan KMA No. 517/2001 Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan
intsitusi hukum yang sangat sentral bagi masyarakat, terutama dalam urusannya
dengan hukum pernikahan, kewarisan, harta gono gini, maupun hukum-hukum lain
yang ada hubungannya dengan masyarakat dan negara. Hubungan masyarakat dengan
KUA tidak bisa lepas begitu saja terutama terkait dengan masalah pernikahan. Karena
lembaga KUA satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan akte nikah bagi
masyarakat yang melangsungkan pernikahan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
Jika pernikahan itu tidak dilakukan dihadapan PPN atau sengaja tidak dicatatkan ke
PPN maka KUA tidak memiliki wewenang untuk mengelaurakan akte nikah.
Peristiwa seperti ini oleh sebagian masyarakat dikatakan pernikahan sirri.
Dewasa ini fenomena nikah sirri menjadi isu menarik untuk diperbincangkan
secara serius, bukan karena nikah sirri tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi
dan menuai kontroversi di kalangan ahli hukum di Indonesia, melainkan nikah sirri
tersebut sudah menjadi perilaku yang tidak tabu baik di kalangan pejabat, selebriti,
peraktisi politik atau bahkan tokoh agama dan juga tokoh masyarakat. Selain itu juga
realitas praktik nikah sirri di masyarakat menimbulkan banyak masalah yang tidak
sederhana dalam menjalani kehidupan keluarga. Mulai dari masalah ekonomi, sosial,
budaya sampai pada masalah hukum.
Pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan sebagaimana diterangkan
dalm UU No I/ 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan yang berlaku”. Kemudian ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam PP No.9
/1975 dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat
Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan”.1
Hakikat dari pencatatan perkawinan menurut UU No I/1974 bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan di tengan masyarakat, untuk melindungi martabat
dan kesucian perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah
tangga. Dengan akte nikah, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum
yang telah mereka lakukan. Bukti otentik semacam ini sangat urgen sebagai tali
pengikat tanggung jawab semua pihak agar terjamin nilai keadilan dan ketertiban
yang menjadi pilar utama tegaknya kehidupan rumah tangga.2 Sehingga jika ada
orang yang melaksanakan pernikahan walau sudah memenuhi syarat dan rukun
1 Selanjutnya dijelaskan dalam KHI pasal 5: (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1)
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 jo. UU No. 32
Tahun 1954. Dari pasal-pasal dalam UU maupun KHI ini muncul berbagai analisis, apakah pencatatan
perkawinan ini sebagai sayarat sah atau sebagai syarat administrasi. Ada beberapa alasan yang
dikemukakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pertama, selain didukung oleh praktik
hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal Perpu pelaksanaan UUP (PP. No.9 Tahun 1975) dan juga
dari jiwa dan hakikat UUP itu sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai
satu kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III (pasal 13s/d21)
dan Bab IV (pasal 22s/d28), masing-masing tentang pencegahan dan pembatalan, hanya bisa dilakukan
apabila diatur di dalam PP No.9/1975. bila perkwinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan
pembatalan menjadi tidak ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata ”dan” pada pasal 2 ayat 1 UUP
berarti kumulatif. Khaoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden,:INIS, 2002),
hlm.158-159. Bagi mereka yang berpendapat bahwa pencatatan hanya sebagai syarat administrasi
beralasan, sebagaimana dikemukakan oleh Wasit Aulawi dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia, secara tegas UUP No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk,
yang berarti hanya acara, bukan materi hukum.
2 Bukti autentik berupa akta nikah pada zaman Nabi belum begitu penting, mengingat kultur
menulis pada waktu tdak begitu penting karena kultur lesan (hafalan) lebih berkembang, sedangkan tradisi
walimatul ’ursy walau hanya seekor kambing merupakan saksi syar‟i, selain itu perkawinan pada waktu itu
berlangsung dengan jarak yang dekat. Baca dalam Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media:2004), hlm. 120-121.
pernikahan, namun tidak tercatat ataupun sengaja tidak dicacat dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan nikah sirri.3
Jika ditinjau dari sudut pandang agama Islam, pernikahan sirri memang sudah
sah karena sudah sesuai dengan syarat dan rukun nikah, akan tetapi tetap memiliki
sisi negatif karena tidak memiliki akte nikah dari KUA. Sudah menjadi rahasia umum
bagi masyarakat bahwa nikah sirri ini dilakukan sebagai jalan pintas bagi kedua
pasangan untuk melakukan nikah dengan berbagai faktor.
Nikah siri dapat diartikan nikah diam-diam. Dalam tinjauan sosiologi, jika apa
yang dipikirkan atau diperbuat seseorang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
masyarakat, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan anomali nilai atau
keanehan. Akibatnya, masyarakat akan memberikan sanksi sosial. Sanksi tersebut
bisa berupa label, identifikasi-identifikasi tertentu, bahkan hukuman. “Terutama
perempuan, karena selama ini dalam sanksi sosial masyarakat, perempuan yang
banyak terkena,” ungkap pengamat sekaligus dosen Sosiologi, Muhammad Hayat.4
Menurut Peraturan Perundang-Undangan mengkategorikan sebagai pidana
pelanggaran dengan sanksi:
a. Suami istri yang melakukan perkawinan ini menurut Pasal 45 ayat (1) PP. No. 9 Th. 1975 dikenakan sanksi hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b. Orang yang bertindak melangsungkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah), sedangkan pasal 530 KUHP memberikan pidana Rp. 4.500,-.
3 Di kalangan masyarakat sendiri muncul perbedaan pendapat tentang kebsahan hukum perbikahan
ini. Perbedaan ini muncul dari pertanyaan apakah pencatatan ini sebagai rukun sehingga mempengaruhi
sahnya pernikahan, atau hanya sebagai syarat administrasi. Dari perbedaan tersebut Atho‟ Muzhar
menganalisis bahwa pencatatan perkawian harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan
perkaiwnan. Lebih jauh dari pencatatan ini lebih maslahat terutama bagi wanita dan anak-anak. Baca dalam
M. Atho Muzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, (Jakarta: Titian Ilahi Pres,
1998), hlm. 180. 4 http://bestari.umm.ac.id/index.php/laporan/laporan-utama/204-siri-bukan-jalan-aman-pidana-
bukan-penyelesaian
Jika perkawinan tersebut dilangsungkan belum berjalan (dua) tahun, maka ditambah dengan ancaman pidana paling lama 2 (dua) bulan penjara.
Dengan berjalannya waktu, maka sanksi tersebut menjadi sangat ringan,
sehingga saat ini tengah dipersiapkan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama yang
memberikan sanksi lebih berat terhadap perkawinan yang dilakukan tidak di
hadapan PPN, Penghulu atau Pembantu PPN, yaitu:
a. Pada pasal 143 dan 151 Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama disebutkan bahwa Suami istri dipidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau sanksi kurungan penjara paling lama 6 (enam) bulan penjara dengan kategori pidana pelanggaran.
b. Pada pasal 147 dan 151 Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Orang yang bertindak melangsungkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun penjara dengan kategori pidana kejahatan.
Sanksi tersebut nampaknya tidak efektif karena ternyata persoalan yang kita
hadapi sekarang adalah kenyataan bahwa masih banyak masyarakat yang banyak
melakukan nikah sirri. Kasus ini terjadi di berbagai lapisan masyarakat mulai dari
pelosok desa sampai ke kota, dari pejabat sampai rakyat jelata, dari orang miskin
sampai orang kaya, dari orang yang tidak berpendidikan sampai para sarjana, dari
santri sampai para kyai. Banyak anak-anak yang sulit mencari akta kelahiran dengan
mencantumkan nama bapaknya. Banyak perempuan yang menuntut hak-haknya tapi
tidak didengarkan oleh masyarakat dan negara.5
Fenomena pernikahan sirri dari waktu ke waktu tidak semakin berkurang tapi
justru semakin bertambah. Bahkan masyarakat juga pelaku nikah sirri tersebut merasa
5 Kasus Machicha Mukhtar yang mengajukan perkara pengakuan anak yang bernama Muhammad
Iqbal Ramdhan sebagai anak yang sah dari pernikahannya (nikah sirri) dengan Moerdiono ke MK
merupakan bukti bahwa Negara berdasarkan UU No.I/1974 tidak mengakui anak yang dilahirkan dari
pernikahan secara sirri. Akhirnya keputusan MK terhadap pengakuan anak Machicha Mukhtar menuai
kontroversi.
bertambah nyaman karena hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh dirinya. Dalam
kasus ini KUA memiliki peran yang sangat signifikan dalam menekan angka sirri
disetiap wilayah hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana respon dan usaha-usaha KUA dalam menghadapi illegal
wedding yang tejadi di Kota Salatiga?
2. Apa sanksi yang diberikan oleh KUA juga masyarakat terhadap pelaku illegal
weddig?
3. Apa hambatan-hambatan KUA dalam mengantisipasi terjadinya illegal wedding
di Kota Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sikap KUA Kota Salatiga dalam menanggapai berbagai kasus
pernikahan sirri.
2. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan oleh KUA dan PA Kota Salatiga
dalam mengantisipasi terjadinya pernikahan sirri.
3. Untuk mengetahui sanksi yang dilakukan KUA juga masyarakat terhadap
terjadinya pernikahan sirri di Kota Salatiga.
D. Kegunaan Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak
yang berwenang dalam hal ini para ulama, masyarakat dan juga pemerintah dalam
mensikapi kasus pernikahan sirri di Indonesia terkait dengan rencana pemidanaan
kasus nikah sirri.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dan negara dalam menanggulangi
terjadinya pernikahan sirri.
.
E. Telaah Pustaka
Meski merupakan kajian yang kemunculannya sudah tidak asing lagi di
kalangan masyarakat Indonesia, namun nikah sirri tetap memiliki nilai-nilai
ketertarikan tersendiri bagi pemerhati hukum, sosiologi, juga bagi para feminis baik
untuk mengapresiasi atau untuk mengkritiknya. Kajian terhadap pernikahan sirri ini
tentu saja tidak dilepaskan dari maraknya fenomena nikah sirri yang terjadi di
masyarakat Indonesia. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa nikah sirri dari
hari ke hari semakin ramai dibicarakan, mengingat kasus ini tidak hanya terjadi di
pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan, namun juga di perkotaan yang penuh
dengan perkembangan peradaban.
Di antara kajian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan fenomena
nikah sirri baik dari sudut pandang hukum maupun sosiologi antara lain; penelitian
yang dilakukan oleh Syukri Fathudin AW dan Vita Fitri yang berjudul Problematika
Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya bagi Perempuan. Penelitian terfokus pada apa
faktor-faktor terjadinya nikah sirri, apa problem yang menyertai nikah sirri dan apa
dampak hukum pernikahan sirri bagi perempuan. Data-data tersebut kemudian
dianalisis dengan analisis gender dengan cara mengemukakan kekuatan kelemahan
peluang dan ancaman. Dari analisis ini dijelaskan bahwa nikah sirri hanya memiliki
satu kekutan yakni sah secara agama. Sedangkan kelemahan yang paling nyata adalah
ketidakabsahan secara hukum positif. Kelemahan ini akan menimbulkan ancaman
dikemudian hari. Sedangkan peluangnya adalah walimatul ursy sebagai modal untuk
mempublikasikan pernikahan tersebut. Penelitian dengan subjek yang sama
(mahasiswa di Yogyakarta) adalah penelitian yang dilakukan oleh Dady Suhaedi
dengan judul Nikah di Bawah Tangan Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Yogyakarta.
Pokok pemasalahan dalam penelitian antara lain: mengapa ada mahasiswa Muslim
Yogyakarta yang melakukan nikah sirri, apakah faktor-faktor yang mendorong atau
mempengaruhinya, bagimanakah nikah sirri mereka serta apakah makna yang
terkandung dibalik praktik tersebut.6 Dalam menjawab permasalahan ini Dady
memakai teori tindakan rasionaliltas instrumental yang meliputi pertimbangan dan
pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan
dan tindakan yang didasarkan pada rasionalitas yang berorientasi pada nilai.
Dari hasil penelitiannya ada beberapa tindakan yang didasarkan pada
rasionalitas instrumental nikah sirri dengan tujuan antara lain: Pertama, bersifat
normatif, dalam konteks ini secara spesifik adalah yang berkaitan dengan sebab,
motivasi dan tujuan yang didasarkan pada norma-norma agama Islam. Kedua, bersifat
psikologis, berkaitan dengan tujuan atau alasan yang bersifat kejiwaan, yaitu untuk
mengatasi keresahan, kecemasan atau kekhawatiran, sehingga jiwa menjadi tenang
dan tentram. Ketiga, sosial ekonomis, berkaitan dengan penyebab atau alasan dari
masyarakat dan orang tua dengan alasan keuangan, biaya hidup, dan pekerjaan yang
seringkali menjadi pertimbangan dan kendala bagi yang akan menikah. Keempat,
6 Dadi Nurahedi, 2003, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirro Mahasiswa Yogja,
(Yogjakarta, Ar Ruuz), hlm. 32
bersifat biologis, berkaitan dengan motivasi untuk memperoleh pengaturan dan
kepuasan seksual.7
Sedangkan perilaku yang nikah sirri yang berorientasi pada nilai berkeyakinan
bahwa prosesi nikah yang dipimpin oleh ulama atau kyai lebih utama dibandingkan
dengan petugas pemerintah. Selain itu mereka berkeyakinan bahwa nikah sebaiknya
dilakukan dengan orang-orang yang masih dalam satu komunitas.8
Hampir sama dengan Syukri dan Dady yang menjadi subjek penelitian
mahasiswa adalah Erlina. Ia juga melakukan penelitian tentang nikah sirri dengan
judul Nikah Sirri di Kalangan Mahasiswa (Studi Kasus pada Mahasiswa di Kota
Malang. Yang menjadi fokus penelitian ini adalah faktor-faktor terjadinya nikah sirri
serta kehidupan rumah tangga mereka dalam menjalankan fungsi keluarga.
Ditemukan jawaban bahwa yang menjadi faktor terjadinya nikah sirri adalah lamanya
waktu pacaran, Merriage By Accident (MBA), tuntutan orang tua, tidak mendapat
restu orang tua, dan pemahaman nilai-nilai agama yang kuat. Sedangkan jawaban atas
pertanyaan kedua tidak terlihat karena ternyata mahasiswa yang nikah sirri masih
tinggal secara terpisah.
Penelitian lain dengan menggunakan pendekatan maqasidus syari’ah
dilakukan oleh Rahmawati Ahadiyah dengan judul Studi Maqasid Al Syari’ah
terhadap Dampak Nikah Sirri. Dalam penelitian ini ditemukan dampak dari nikah
sirri yaitu tidak bisa mewujudkan tujuan nikah yang sesuai dengan syari‟ah. Oleh
karena itu seharusnya pencatatan nikah tidak hanya sebagai syarat administrasi tetapi
7 Ibid. hlm 187-188
8 Hlm.189
masuk pada hukum wajib. Dan pemerintah seharusnya terus mensosialisasikannya
agar masyarakat sadar hukum sehingga pernikahan sirri bisa dicegah.
Fenomena nikah sirri juga pernah diteliti oleh Nasirudin Hidayah dengan
judul Fenomena Perkawinan Tanpa Dicatatkan (Studi Kasus di Desa Waru Timur
Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan). Penelitian ini menyoroti tentang sebab-
sebab terjadinya nikah sirri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebab-sebab
terjadinya nikah sirri antara lain: bahwa mencatatkan nikah merupakan suatu yang
prosedural dianggap kurang efektif dan kurang efisien. Hal ini ini disebabkan karena
prosesnya yang kurang praktis dan juga biaya yang terlalu tinggi dan masyarakat
merasa keberatan terhadap biaya tersebut.
Penelitian yang dilakukan di masyarakat adalah penelitian Achmad Machfud
yang berjudul Pernikahan di Bawah Tangan (Studi Kasus tentang Budaya Nikah Sirri
di Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan. Pertanyaan mendasar dalam penelitian
adalah pertama, bagaimanakah nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan
pernikahan yang berkembang di masyarakat. Kedua, apa yang menjadi latar belakang
dilakukan nikah sirri. Jawaban dari pertanyaan tersebut bahwa nilai agama dan nilai
budaya yang menyebabkan masyarakat melakukan nikah sirri, adapun faktor
terjadinya nikah sirri antara lain; adanya komitmen masyarakat tentang kebolehan
nikah sirri, ekonomi masyarakat di bawah rata-rata, rendahnya kesadaran hukum
masyarakat, dan keyakinan mencari hari baik sesuai dengan hari dan tanggal
kelahiran mereka.
Penelitian yang memfokuskan pada perempuan pernah dilakukan oleh
Pristiyani Yuliani dengan judul Harga Diri Perempuan Jawa Studi Fenomenologi
tehadap Keluarga Menjalani Pernikahan Siri di Desa Pasi Kabupaten Lumajang.
Temuan penelitian ini yaitu perempuan Jawa memiliki beberapa pandangan terhadap
pernikahan sirri, yaitu (1) Pernikahan sirri adalah usaha untuk menjaga nama baik
keluarga. (2) Mencari keamanan dari fitnah masyarakat. (3) Menjadi istri kedua. (4)
Mencari perlindungan dan dukungan ekonomi. Deskripsi harga diri perempuan jawa
yang menjalani pernikahan siri ditemukan bahwa (1) Takut hidup sendiri. (2)
Menikmati kehidupan selama menikah siri. (3) Dari pada tidak laku. (4)
Membutuhkan bantuan dalam menjalani hidup.
Adapun penelitian yang diangkat menjadi disertasi adalah penelitian yang
dilakukan oleh Haris Hasanuddin di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Disertasi tersebut
sudah dipertahankan dalam ujian terbuka dengan judul Makna Nikah Sirri bagi
Kalangan Berkeluarga di Sidoarjo. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah;
pertama, bagaimana pelaku nikah sirri kalangan berkeluarga mendefinisikan dan
memahami pernikahan yang dilakukan, kedua, mengapa kalangan berkeluarga
melakukan nikah sirri serta bagaimana pelaku nikah sirri memaknai nikah sirri yang
dilakukan. Dua pertanyaan tersebut nampak memiliki makna yang sama maka pada
dasarnya pertanyaan itu satu. Jawaban yang dikemukakan bahwa makna nikah sirri
adalah sebagai ritual untuk menentramkan batin agar tidak merasa berdosa. Namun
pada dasarnya motivasi dibalik pelaksanaan nikah sirri tersebut adalah faktor
biologis.
Hasil penelitian yang diterbitkan oleh DIKTIS adalah Akseptabilitas Regulasi
Kriminalisasi Pelaku Kawin Sirri Menurut Pemuka Masyarakat Madura. Hasil
penelitian ini menggambarakan bahwa ada tiga pendapat pemuka agama tentang
ekseptabilitas rencana regulasi tentang kriminalisasi bagi pelaku nika sirri. Pertama,
mendukung penuh, kedua, menolak penuh, ketiga, menolak sebagian dan mendukung
sebagian.9
Banyak buku-buku yang membahas tentang nikah sirri baik secara
komprehensif atau satu bab saja. Buku tipe yang pertama antara lain karya Neng
Djubaidah dengan judul Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Inti dalam buku ini adalah
ketidaksetujuan penulis jika nikah sirri itu tidak sah secara hukum. Menurutnya
keharusan pencatatatan nikah itu hanya akan melumpuhkan hukum perkawinan Islam.
Bukti akte nikah sebagai satu-satunya bukti hanya merupakan pengaruh pemikiran
sekularisme.10
M.Ikhsanuddin dan kawan-kawan (ed) dalam buku yang berjudul Panduan
Fiqh Perempuan di Pesantren, mengusung tema nikah sirri dalam bab 12. Dalam
buku ini nampak sekali kontroversi dengan buku karya Neng Djubaidah. Buku ini
mengemukakan bahwa keabsahan nikah sirri secara hukum Islam itu justru
sekularisasi terhadap agama, artinya mengatakan bahwa nikah sirri itu sah menurut
agama dan tidak sah menurut negara. Alasanya bahwa nikah sirri tidak bisa
mewujudkan maksud-maksud disyariatkannya pernikahan, bahkan menimbulkan
mafsadah yang lebih besar.11
Quraisy Syihab dalam bukunya Perempuan...dari Cinta
sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias
Baru..membahas nikah sirri dalam satu bab. Syihab mengemukakan bahwa nikah sirri
9 Siti Musawwamah, Akseptabilitas Regulasi Kriminalisasi Pelaku Kawin Sirri Menurut Pemuka
Masyarakat Madura, (Jakarta: Diktis, 2012), hlm. 173 10
Neng Djubaedah, Op.Cit, hlm.241
11 Mudhafar Badri, Op.Cit. hlm. 167-168.
merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat
menghilangkan hak-haknya, bahkan tidak jarang terjadi lahir hubungan seks di luar
pernikahan dengan dalih nikah sirri.12
Karya M Nur Yasin dengan judul Hukum
Perkawinan Islam Sasak mengungkapkan tentang nikah sirri dengan judul Relasi
Kompilasi Hukum Islam dan Tradisi Sasak (Kajian Kawin Cerai Bawah Tangan di
Kota Mataram. Adapun hasil penelitian adalah adanya tiga pola relasi perkawinan
yang ideal dan fakta sosial kawin cerai bawah tangan yaitu; pola hegemoni, pola
stigma dan pola konflik.13
Selain buku dan hasil penelitian tentang nikah sirri banyak sekali artikel-
artikel yang membahas tentang masalah ini. Antara lain; karya Muhlas Rofii yang
berjudul Kontroversi Nikah Sirri Dalam Konsep Sosiologi Hukum. Meski ada dua
tinjauan yang dilakukan namun kajian yang dilakukan baru sampai pada dataran
deskriptif tanpa didukung data-data empiris. Ia kemudian menawarkan solusi dengan
mengajukan permohoan itsbat ke pengadilan agama. Ternyata solusi tersebut tidak
mampu menjawab permasalahan karena jika tidak ada bukti maka permohonan
tersebut sulit untuk dikabulkan. Anjar Nugroho juga menulis artikel dengan judul
Nikah Muth‟ah dan Nikah Sirri: dalam Tinjauan Normatif dan Historis sosiologis.
Walau penelitian tentang pernikahan sirri pernah dilakukan di Salatigaakan
tetapi hasil penelitian tersebut masih sangat dangkal karena hanya mengungkap
faktor, tujuan dan persepsi masyarakat berdasarkan wawancara yang tidak mendalam
serta tidak menganalisis dari sudut pandang tertentu.14
Penelitian ini akan difokuskan
12
M. Quraisy Shihab, Op.Cit. hlm. 241.
13 M Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang; UIN Malang Press; 2008), hlm. 25-85.
14 Siti Zumrotun, Fenomena Nikah Sirri di Salatiga, (Salatiga, tidak diterbitkan, 2006)
pada peran KUA juga masyarakat dalam menanggulangi terjadinya nikah sirri juga
sanksi sosial masyarakat terhadap pelaku nikah sirri.
F. Kerangka Teoritik
1. Teori Peran
Menurut Robert Linton (1936), teori peran menggambarkan interaksi
sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang
ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran
merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini KUA dan masyarakat mempunyai
peran tertentu terhadap terjadinya kasus pernikahan sirri. Dengan teori ini KUA
diharapkan memiliki peran yang maksimal dalam menanggulangi terjadinya
pernikahan sirri yang terjadi di masyarakat. Mengapa masyarakat harus datang
ke KUA untuk mencatatkan pernikahannya? karena KUA merupakan lembaga
yang memiliki tugas dan wewenang terhadap pencatatan nikah khusus bagi
masyarakat yang beragama Islam.
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu
memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-
course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada
setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-
kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian
besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat
atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja
pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh,
pensiun pada usia enam puluh tahun.
Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya
pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima
tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat
kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja,
masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam
pembagian lagi.
2. Sanksi Hukum Pelaku Nikah Sirri
Pencatatan pernikahan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
merupakan hal urgen. Hal ini merupakan amanah dari Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 2 ayat 2
disebutkan bahwa ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Kemudian PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Selain itu juga pentingnya pencatatan
pernikahan itu dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1 : agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat.
Salah satu contoh negara Timur Tengah yang mengatur pencatatan
pernikahan di antaranya Mesir. Menurut Undang-Undang Perkawinan Republik
Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931: tidak akan didengar suatu pengaduan tentang
perkawinan atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan kecuali
berdasarkan adanya pencatatan akad nikah atau adanya dokumen resmi
pernikahan. Republik Mesir menggunakan istilah Az-Zawaj Al-u’rfi bagi setiap
pernikahan yang tidak tercatat bukan menggunakan istilah nikah sirri.
Karena pentingnya pencatatan pernikahan ini, maka ada sanksi tertulis
bagi warga negara Indonesia secara umum yang melakukan nikah sirri atau tidak
dicatat. Namun, sanksi yang akan diberikan itu dalam tataran Peraturan
Pemerintah bukan dalam tataran undang-undang.
Sanksi bagi yang melakukan nikah sirri yang tidak mencatat
pernikahannya terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 45 ayat 1 poin a : Barang siapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3,10 ayat 3,40 Peraturan Pemerintah
ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima
ratus rupiah).
Sepintas, sanksi yang diberikan oleh negara melalui Peraturan Pemerintah
ini sangat ringan dan masih membuka peluang untuk terjadinya nikah sirri
kembali. Denda yang diwajibkan negara merupakan tindak pidana pelanggaran
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 45 ayat 2 dalam PP ini : tindak pidana
yang dimaksud dalam ayat 1 di atas merupakan pelanggaran.
G. Metode Penelitian
1. Fokus Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan research question atau fokus penelitian. Penentuan fokus penelitian
ini bertujuan untuk memberikan arah selama penelitian berlangsung. Utamanya
pada saat pengumpulan data, agar peneliti mampu membedakan antara data yang
relevan dengan tujuan penelitian. Namun fokus peneilitian ini sangat
memungkinkan berubah pada saat berada dil lapangan.15
Penelitian ini akan difokuskan pada Kantor Urusan Agama di Kota
Salatiga. Kota ini terletak di tengah-tengah antara Solo dan Semarang. Salatiga
merupakan sebuah kota kecil yang hanya memiliki 4 kecamatan dan 22 kelurahan.
Walaupun begitu masyarakatnya sangatlah heterogen. Terdiri dari berbagai suku
juga agama yang hidup berdampingan dan rukun. Kota Salatiga merupakan kota
dengan udara dingin mengingat letak kota ini ada dilereng gunung Merapi dan
Merbabu.
2. Setting dan Subjek Penelitian
Setting dan subjek penelitian merupakan satu kesatuan yang telah
ditentukan sejak awal penelitian. Setting penelitian ini menunjukkan komunitas
yang akan diteliti sekaligus kondisi fisik dan sosial mereka.
Subjek penelitian ditentukan secara sengaja sesuai dengan fokus
penelitian, yang kemudian akan menjadi informan dalam penelitian. Informan
penelitian ini meliputi beberapa macam; pertama, informan kunci (key informan),
15
Bagong Suyanto&Sutinah (ed), Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan,(
Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 170-171.
yaitu meereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang
diperlukan dalam penelitian. Kedua, informan utama, yaitu mereka yang terlihat
langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Ketiga, informasi tambahan, yaitu
mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam
interaksi sosial yang diteliti.16
Adapun yang akan menjadi informan kunci dalam penelitian adalah para
pegawai KUA di Kota Salatiga. Sedangkann yang menjadi informan utama dalam
penelitian ini adalah tokoh masyarakat, kyai, yang menikahkan secara sirri.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menghasilkan data deskriptif
mengenai kata-kata lesan. Oleh karena itu jenis penelitian yang akan dilakukan
adalah penelitian kualitatif. Terdapat lima ciri pokok dalam penelitian ini yaitu:
penelitian kualitatif mempunyai latar belakang alami dan peneliti sendiri berperan
sebagai informan, bersifat deskriptif, lebih menekankan proses dari pada produk,
cenderung menganalisis data secara induktif, dan makna sangat penting artinya.17
Adapun pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan yuridis
sosiologis.
4. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data bisa dilakukan dengan observasi (pengamatan),
interview (wawancara), dan juga dokumentasi. Wawancara adalah merupakan
pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,
16
Bagong Suyanto, hlm. 171-172.
17 Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (Yogyakarta, Tiara Wacana,, 2992) hlm. 81-
82
sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.18
Wawancara
merupakan cara yang dipergunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan
guna mencapai tujuan tertentu.19
Tujuan wawancara dalam penelitian ini untuk
mendapatkan informasi secara lengkap tentang peran KUA dalam menanggulangi
terjadinya pernikahan sirri di Kota Salatiga. Alasan wawancara sebagai alat untuk
mengumpulkan data adalah karena fleksibel sehingga jawaban-jawaban dari
informan atau responden akan menjadi landasan percakapan yang mengalir.20
Selain itu wawancara juga akan bisa diketahui hal-hal secara mendalam tentang
partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana
hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.
Ada beberapa macam jenis wawancara,21
namun kami hanya
menggunakan satu yaitu wawancara tak berstruktur (unstructured interview).
Wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara
yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap. Akan tetapi peneliti hanya akan
menggunakan garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Mengingat
peneliti belum tahu secara persis data apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti
akan banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh responden.22
Keadaaan ini
18
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, ( Bandung: Alfabeta: 2010)
hlm.231.
19 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Rineka Cipta: 2001) hlm.95
20 Cristine Daymon &Immy Holloway, , Qualitative Reasearch Methods in Public Relations and
Marketing Communications. hlm. 259
21 Wawancara tidak terstruktur, wawancara semi-terstruktur, wawancara terstruktur dan
wawancara on line, baca dalam Crstin Daymon, , Qualitative Reasearch Methods in Public Relations and
Marketing Communications. hlm.264-268
22 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, hlm. 233-234.
dimaksudkan agar wawancara bisa berlangsung secara luwes dengan arah yang
lebih terbuka.
Sebelum melakukan wawancara peneliti menyusun langkah-langkah
agar data yang dimaksud bisa terpenuhi.langkah-langkah tersebut adalah:23
1) Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan.
2) Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan.
3) Mengawali atau membuka alur wawancara.
4) Melangsungkan alur wawancara.
5) Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya.
6) Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan.
7) Mengidentifikasikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh.
Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dan peneliti
memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data,
maka peneliti mencatat langsung setiap melakukan wawancara. Selain
menyiapkan langkah-langkah dan juga melakukan pencatatan, agar tidak muncul
kecurigaan atas berbagai pertanyan yang muncul, maka peneliti harus mampu
menciptakan suatu hubungan yang akrab dengan subjeknya.
5. Uji Keabsahan Data
Mengingat bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
melibatkan informan, maka uji keabsahan data akan dilakukan dengan
trianggulasi. Hal ini digunakan dalam rangka menguji pemahaman peneliti
dengan pemahaman informan tentang hal-hal yang diinformasikan kepada
23
Sugoyono, hlm. 235.
peneliti.24
Trianggulasi ini bisa dilakukan dengan dua cara yaitu, pertama,
dilakukan setelah wawancara. Peneliti langsung melakukan uji pemahaman
kepada informan. Kedua, jika wawancara dilakukan berkali-kali, maka
trianggulasi dilakukan saat wawancara berakhir dan draf laporan sudah disusun
sebelum diujikan dengan meminta informan membaca draf laporan tersebut.
Uji kebenaran data dalam penelitian ini dalam rangka memperoleh
kebenaran intersubjektif. Oleh karena itu sesuatu dianggap benar apabila
kebenaran itu mewakili kebenaran orang banyak atau kebenaran stakeholder.
Kebenaran bukan saja muncul dari wacana etik, namun juga menjadi wacana
etnik dari masyarakat yang diteliti.25
6. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Bogdan proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-
bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
yang akan diceritakan kepada orang lain.26
Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara induktif, yaitu suatu
analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi
hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan selanjutnya dicarikan data lagi
24
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Penguasaan Model dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2010), hlm. 204
25 Burhan Bungin, hlm. 205.
26 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, hlm.244
secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis
tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan
data yang dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik trianggulasi,
ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.27
Dari sini nampak bahwa dalam analisis induktif teori menjadi hal yang tidak
penting, karena datalah yang sangat penting. Sedangkan teori akan dibangun
berdasarkan temuan data di lapangan. Data menjadi segalanya dalam
memecahkan semua masalah penelitian. Dalam penelitian ini kemudian sebuah
teori dibangun berdasarkan pada tindakan eksplorasi.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis sebelum
terjun ke lapangan ini dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data
sekunder yang digunakan untuk menentukan fokus penelitian.
H. Sistematika Pembahasan
Rencana penelitian ini membahas tentang peran KUA dalam menanggulangi
terjadinya pernikahan sirri. di Kota Salatiga. Agar penyajian laporan tersusun secara
sistematis dan terarah, laporan ini akan terdiri dari tiga bagian, yakni: pendahuluan,
isi dan penutup.28
Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh langkah sebagai
berikut. Langkah pertama pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode tersebut
27
Sugoyono, hlm.245. oleh karena itu peneliti tidak terpaku dengan satu teori tertentu lalu
membuktikannya, namun dengan satu bidang kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidangn akjian
tersebut yakni bidang sosiologi. Baca Anselm Strauss &Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research
Grounded Theory Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:
2007), hlm. 10-11
28 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, hlm.211-215
meliputi pendekatan yang digunakan serta alasan penggunaannya, fokus penelitian,
cara-cara pengumpulan data, uji keabsahan data, analisis data
Langkah kedua, berisi tentang perspektif teoritik yang digunakan sebagai
perspektif baik dalam membantu merumuskan masalah (kembali) fokus penelitian
maupun dalam melakukan analisis data atau membahas temuan-temuan penelitian.
Penyajian teori ini meliputi teori peran, pengertian nikah sirri (illegal wedding)
Sejarah, tugas dan wewenang KUA, bentuk-bentuk perkawinan, sanksi nikah sirri.
Langkah keempat, hasil penelitian yang diawali dengan menyajikan selayang
pandang kota Salatiga dan sekitarnya yang meliputi: struktur sosial kemasyarakatan,
keagamaan, kultur, ekonomi, serta politik Kota Salatiga. Selanjutnya disajikan hasil
penelitian tentang peran KUA dalam menanggulangi terjadinya nikah sirri di Kota
Salatiga, secara sistematik sesuai urutan pokok masalah.
Langkah kelima, pembahasan hasil penelitian yang meliputi respon KUA
terhadap adanya pernikahan sirri di Kota Salatiga, usaha-usaha KUA dalam
menanggulangi terjadinya pernikahan sirri serta hambatan-hambatannya, sanksi bagi
mereka yang menikahkan secara sirri maupun bagi pelaku.
Langkah terakhir (keenam) menyimpulkan hasil penelitian dengan singkat dan
jelas.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Peran
Teori peran (role theory) mendefinisikan “peran” atau “role” sebagai “the
boundaries and sets of expectations applied to role incumbents of a particular
position, which are determined by the role incumbent and the role senders within and
beyond the organization’s boundaries” (Banton, 1965; Katz &Kahn, 1966, dalam
Bauer, 2003: 54). Selain itu, Robbins (2001: 227) mendefinisikan peran sebagai “a
set of expected behavior patterns attributed to someone occupying a given position in
a social unit”.
Menurut Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 55), teori peran
ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi.
Mereka menyatakan bahwa peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai
lawan dari perilaku atau tindakan” (h. 143). Lebih lanjut, Dougherty & Pritchard
(1985) dalam Bauer (2003: 56) mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan
bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan pengamat (biasanya
supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan.
Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan
persepsi peran atau role perception. (Kahn, et al., 1964; Oswald, Mossholder, &
Harris, 1997 dalam Bauer, 2003: 58).
Ditinjau dari Perilaku Organisasi, peran ini merupakan salah satu komponen
dari sistem sosial organisasi, selain norma dan budaya organisasi. Di sini secara
umum „peran‟ dapat didefinisikan sebagai “expectations about appropriate behavior
in a job position (leader, subordinate)”. Ada dua jenis perilaku yang diharapkan
dalam suatu pekerjaan, yaitu (1) role perception: yaitu persepsi seseorang mengenai
cara orang itu diharapkan berperilaku; atau dengan kata lain adalah pemahaman atau
kesadaran mengenai pola perilaku atau fungsi yang diharapkan dari orang tersebut,
dan (2) role expectation: yaitu cara orang lain menerima perilaku seseorang dalam
situasi tertentu. Dengan peran yang dimainkan seseorang dalam organisasi, akan
terbentuk suatu komponen penting dalam hal identitas dan kemampuan orang itu
untuk bekerja. Dalam hal ini, suatu organisasi harus memastikan bahwa peran-peran
tersebut telah didefinisikan dengan jelas.
Scott et al. (1981) dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek
penting dari peran, yaitu:
1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan
harapannya, bukan individunya.
2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang
diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.
3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity)
4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa
perubahan perilaku utama.
5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu
pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.
Peran (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan
suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk
kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang
satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya (Soekanto, 2009:212-213).
Levinson dalam Soekanto (2009:213) mengatakan peranan mencakup tiga hal,
antara lain:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat.
Merton dalam Raho (2007 : 67) mengatakan bahwa peranan didefinisikan
sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang menduduki
status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan
demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan
peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status social khusus.
Wirutomo (1981 : 99 – 101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam
peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan
kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya.
Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada
individu yang menempati kedudukan social tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-
norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang
diharapkan masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam
peranan-peranan yang lain.
Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam peranan terdapat dua macam harapan,
yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang dimiliki
oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang
berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-
kewajibannya. Dalam pandangan David Berry, peranan-peranan dapat dilihat sebagai
bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai
pola-pola peranan yang saling berhubungan.
B. Sejarah, Tugas dan Wewenang KUA
1. Sejarah Berdirinya KUA di Indonesia
Sejak jaman Kesultanan Islam Samudera Pasai, Demak dan Mataram
telah diangkat seseorang yang diberi wewenang khusus di bidang
kepenghuluan, yang bertugas mengurusi kepentingan kepenghuluan dan
kemasjidan.
Selanjutnya jaman pameritahan kolonial Belanda lembaga kepenghuluan
semakin diperjelas tugas dan fungsinya yang diatur dalam suatu ordonansi, yaitu
Huwelijk Ordonantie S. 1929 No. 348 jo S. 1931 No.467,Vorstenladsche
Huwelijk Ordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijs Ordonantie
Buetengewesten S. 1932 No. 482. Untuk Daerah Vortenlanden dan seberang
diatur dengan Ordonansi tersendiri. Lembaga tersebut diawasi Bupati dan
penghasilan karyawanya diperoleh dari hasil biaya nikah, talak dan rujuk yang
dihimpun dalam baitulmal kas masjid.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 pemerintah Jepang di
Indonesia mendirikan kantor shumubu (KUA) di Jakarta. Pada saat itu
diangkat sebagai kepala shumubu untuk wilayah Jawa dan Madura adalah KH.
Hasyim Asy‟ari. Sedangkan untuk pelaksanaan tugasya diserahkan kepada
Kyai Wahid Hasyim sampai akhir pendudukan Jepang pada bulan Agustus 1945.
Kementerian Agama (Kemenag) adalah Kementerian perjuangan,
kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan dinamika perjuangan bangsa. Pada
saat bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan, lahirlah Kemenag.
Pembentukan Kemenag tersebut selain untuk menjalankan tugasnya sebagai
penanggungjawab realisasi pembukaan UUD 1945 dan implementasi pasal
29 UUD 1945, juga sebagai pengukuhan dan peningkatan status Shumubu
pada masa penjajahan Jepang. Berdirinya Kemenag disyahkan berdasarkan
penetapan pemerintah No. : I/SD tanggal 3 Januari 1946 bertepatan
dengan 2 Muharram 1364 H. Menteri Agama pertama adalah H.M. Rasyidi.
Sejak tahap ini Menteri Agama mengambil alih beberapa tugas untuk dimasukkan
kedalam lingkungan Kemenag.
Tugas pokok Kemenag waktu itu ditetapkan berdasarkan Penetapan
Pemerintah No. : 5/SD tanggal 25 Maret 1946 dan Maklumat Pemerintah
No. 2 tanggal 24 April 1946 yang menyatakan bahwa tugas pokok
Kemenag adalah : Menampung urusan mahkamah islam tinggi yang
sebelumnya menjadi wewenang Kementerian Kehakiman dan menampung
tugas dan hak mengangkat penghulu landraat, Penghulu anggota pengadilan
agama, serta Penghulu Masjid dan para pegawainya yang sebelumnya
menjadi wewenang dan hak Presiden dan Bupati. Disamping pengalihan
tugas diatas, Menteri Agama mengeluarkan maklumat No. 2 tanggal 23 April
1946 yang menyatakan, bahwa: Pertama, Instansi yang mengurus persoalan
keagamaan di daerah atau Shumuka (tingkat karesidenan) yang di masa
pendudukan Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Djawatan
Agama Daerah yang berada dibawah wewenang Kemenag. Kedua pengangkatan
Penghulu Landraat (Penghulu pada Pengadilan Agama) Ketua dan Anggota
Raad (Pengadilan) Agama yang menjadi hak Residen dialihkan menjadi hak
Kemenag. Ketiga, Pengangkatan Penghulu Masjid yang berada dibawah
wewenang Bupati dialihkan menjadi wewenang Kemenag. Sebelum maklumat
Menteri Agama dilaksanakan secara efektif, kelembagaan pengurusan
agama di daerah berjalan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Sejak
jaman penjajahan, perangkat organisasi kelembagaan yang mengurus agama
telah tersebar ke seluruh pelosok tanah air, hingga tingkat kecamatan bahkan
sampai desa. Perangkat ini bekerja sebagai tenaga sukarelawan. Pejabat
yang melayani umat islam, khususnya yang berkaitan dengan nikah, talak,
rujuk, kemasjidan dan perwakafan ditingkat kabupaten dijabat oleh penghulu,
ditingkat kewadanan dan kecamatan dijabat oleh Naib Penghulu.
Selanjutnya PMA No. 188 5/K.I tahun 1946 tanggal 20 Nopember 1946
tentang struktur organisasi Kemenag sangat sederhana yakni hanya berada di
tingkat pusat yang berdiri dari 8 bagian yaitu: Bagian A (Sekertariat); Bagian
B (Kepenghuluan); Bagian C (Pendidikan Agama); Bagian D (Penerangan
Agama); Bagian E (Masehi Kristen); Bagian F (Masehi Katolik); Bagian G
(Pegawai); Bagian H (Keuangan/Perbendaharaan).
Pada tahun 1947 setelah diberlakukan Undang-undang No. 22 tahun
1946 tentang Pencatatan, Nikah, Talak dan Rujuk, jabatan kepenghuluan dan
kemasjidan diangkat menjadi pegawai negeri. Pejabat Raad Agama yang
semula terangkap fungsinya oleh Penghulu, setelah diberlakukanya undang-
undang tersebut diangkat tersendiri oleh Kemenag. Petugas yang mengurusi
agama di desa, khususnya dalam hal pernikahan dan kematian yang disebut
amil, modin, kaum, kayim, ketib dan sejenisnya diterbitkan dan diatur tersediri
melalui Maklumat Bersama No. 3 tahun 1947 tertanggal 30 April yang
ditandatangani Menteri Dalam Negeri Mr.Moh.Roem dan Menteri Agama KH.
R. Fathurrahman Kafrawi. Melalui maklumat tersebut mereka memiliki
hak dan kewajiban berkenaan dengan peraturan masalah keagamaan di
desa, yang kedudukanya sama dengan pamong di tingkat pemerintah desa.
Hingga tahun 1950-an stabilitas politik belum dapat berjalan dengan
baik. Dua kali aksi militer Belanda dan Sekutu dilancarkan: Pertama, tanggal
21 Juli 1947 dan kedua tanggal 19 Desember 1948. Kabinet yang dibentuk
Pemerintah Republik Indonesia rata-rata berumur pendek, karena silih
bergantinya kabinet system parlementer. Dalam situasi perang penataan kantor
agama di daerah jelas terganggu. Di berbagai daerah, kantor agama
berpindah pindah, dari daerah yang di duduki Belanda kedaerah yang
secara de facto masih dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia. Saat itu
semua aparat Kemenag harus turut serta berjuang mempertahankan NKRI.
Karena alasan itu selama terjadi peperangan, pengiriman jama‟ah haji sempat
terhenti.
Pada situasi itu struktur Kemenag terus berjalan sampai terjadi
penyempurnaan struktur berdasarkan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8
tahun 1950 tentang Susunan Organisasi Kemenag. Sejak itu struktur Kemenag
mengalami perubahan sebagai berikut:a. Tingkat pusat dengan susunan
organisasi sebagai berikut: 1) Menteri Agama; 2)Sekretariat Jenderal yang
terdiri dari: Bagian Sekertariat; Bagian Kepenghuluan; Bagian Pendidikan;
Bagian Keuangan/Perbendaharaan; b.Tingkat Daerah dengan susunan
organisasi sebagai berikut: 1)Kantor Agama Provinsi; 2) Kantor Agama
Kabupaten; 3)Kantor Kepenghuluan Kewadanan; 4) Kantor Kenaiban
Kecamatan.
Kemenag RI lahir pada tanggal 3 Januari 1946, tertuang dalam Penetapan
Pemerintah No. 1/SD tahun 1946 tentang Pembentukan Kemenag, dengan
tujuan Pembangunan Nasional yang merupakan pengamalan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dengan demikian agama dapat menjadi landasan moral dan etika
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan pemahaman dan pengamalan
agama secara benar diharapkan dapat mendukung terwujudnya masyarakat
Indonesia yang religius, mandiri, berkualitas sehat jasmani rohani serta tercukupi
kebutuhan material dan spiritual.
Guna mewujudkan maksud di atas, maka di daerah dibentuk suatu Kantor
Agama. Untuk di Jawa Timur sejak tahun 1948 hingga 1951, dibentuk Kantor
Agama Provinsi, Kantor Agama Daerah (Tingkat Karesidenan) dan Kantor
Kepenghuluan (Tingkat Kabupaten) yang merupakan perpanjangan tangan dari
Kemenag Pusat Bagian B, yaitu: Bidang Kepenghuluan, Kemasjidan, Wakaf dan
Pengadilan Agama.
Dalam perkembangan selanjutnya dengan terbitnya KMA No. 517
Tahun 2001 tentang penataan Organisasi KUA Kecamatan, maka KUA
berkedudukan di wilayah kecamatan dan bertanggung jawab kepada Kepala
Kantor Kemenag Kabupaten/Kota yang dikoordinasi oleh Kepala Seksi
Urusan Agama Islam/Bimas dan Kelembagaan Agama Islam dan dipimpin
oleh seorang kepala. Selanjutnya berdasarkan PMA No. 39 tahun 2012 tentang
organisasi dan tata kerja KUA dijelaskan bahwa KUA adalah Unit Pelaksana
teknis Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan
sebagian tugas Kantor Kemenag Kabupaten/Kota di Bidang Urusan Agama
Islam.
Dengan demikian eksistensi KUA kecamatan sebagai institusi
pemerintah dapat diakui keberadaanya, karena memiliki landasan hukum yang
kuat, fungsi dan tugas yang jelas dan merupakan bagian dari struktur
pemerintahan di tingkat kecamatan. (http://jabar.kemenag.go.id)
2. Tugas, Wewenang dan Peran KUA
Kantor Urusan Agama adalah unit kerja terdepan yang melaksanakan
sebagian tugas pemerintah di bidang agama Islam. Lingkup kerja KUA adalah
berada di wilayah tingkat Kecamatan, hal ini sebagaimana ketentuan pasal 1 (1)
PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah menyebutkan bahwa
Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA adalah instansi
Departemen Agama yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor
Derpartemen Agama Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama islam dalam
wilayah kecamatan.
Kantor Urusan Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota pada pasal 11-14 tentang Tugas Bidang Agama Islam di
lingkungan Kantor Urusan Agama memiliki otoritatif dalam memberikan
pelayanan dan bimbingan di bidang Urusan Agama Islam. Adapun peran, fungsi,
tugas dan garapan Kantor Urusan Agama dalam Urusan Agama Islam adalah
sebagai berikut:
a. Memberi pelayanan dan bimbingan di bidang kepenghuluan dalam hal
pelayanan nikah dan rujuk bagi umat yang beragama Islam;
b. Memberi pelayanan dan bimbingan di bidang pengembangan keluarga
sakinah;
c. Memberi pelayanan di bidang perwakafan. Peran Kepala KUA sebagai
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) memiliki peran legitimate atas
status harta benda yang diwakafkan sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak
diharapkan;
d. Memberi pelayanan di bidang zakat dan ibadah sosial;
e. Memberi pelayanan di bidang perhajian;
f. Memberi pelayanan di bidang penentuan arah kiblat dan penetapan awal bulan
hijriyah;
g. Memberi pelayanan di bidang kemasjidan dan kehidupan beragama;
h. Memberi pelayanan, bimbingan, serta perlindungan konsumen di bidang
produk halal dan kemitraan umat Islam;
i. Memberi pelayanan, bimbingan, dan prakarsa di bidang ukhuwah Islamiyah,
jalinan kemitraaan, dan pemecahan masalah umat;
j. Dan lain-lain.
Sesuai peran, tugas, dan fungsi KUA tersebut di atas, maka otoritas KUA
sebagai bagian tak terpisahkan dari Kementerian Agama yang berada di
lingkungan wilayah tingkat Kecamatan memiliki fungsi dan peranan yang sangat
penting dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, terutama dalam bidang
pencatatan perkawinan. Kenyataan ini dapat terlihat dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut:
a. Peran KUA dalam bidang perkawinan sebagaimana terdapat dalam pasal 1
dan 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk yang menjelaskan bahwa pernikahan yang dilangsungkan
berdasarkan ketentuan Agama Islam harus diawasi oleh Pegawai Pencatat
Nikah (pada KUA Kecamatan ) yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh
pegawai yang ditunjuk olehnya;
b. Peran KUA dalam bidang perwakafan sebagaimana terdapat dalam pasal 37
ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan bahwa
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk benda yang tidak bergerak
dan benda yang bergerak selain uang adalah Kepala Kantor Urusan Agama;
c. Peran KUA dalam bidang pengelolaan zakat sebagaimana terdapat dalam
pasal 6 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 jo UU Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat menyebutkan bahwa pembentukan Badan Amil
Zakat di tingkat Kecamatan yaitu oleh Camat atas usul Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan;
d. Peran KUA dalam bidang penyelenggaraan ibadah haji telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Ibadah Haji.
Melalui Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah telah
mengambil langkah-langkah dan kebijakan demi terselenggaranya ibadah haji.
Diantara langkah-langkah yang ditempuh pemerintah adalah melakukan
bimbingan untuk calon jamaah haji sedini mungkin dan berkelanjutan yaitu
sebanyak dua belas kali. Dua kali diantaranya dilaksanakan di
Kabupaten/Kota dan sepuluh kali dilaksanakan di Kecamatan yaitu melalui
pemberdayaan Kantor Urusan Agama Kecamatan (Departemen Agama, 2003:
12 dan 2007: 1-2). Selain aturan perundang-undangan, peran KUA juga telah
dibahas dan disepakati Rakernas Penyelenggaraan Haji Tahun 2006 yang
hasilnya menyepakati bahwa KUA diikutsertakan sebagai pelayan bagi
jemaah haji atau calon jemaah haji;
e. Peran KUA dalam bidang penyelesaian masalah-masalah perkawinan,
kewarisan, wakaf dan shadakah, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 jo UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili para pihak
yang berperkara dilakukan sesuai dengan domisili pihak penggugat, dan
selanjutnya berdasarkan pasal 84 disebutkan bahwa setiap hasil putusan
pengadilan dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan
Agama pihak penggugat.
Dari uraian tersebut di atas, maka Kantor Urusan Agama memiliki peran
strategis dalam melaksanakan hukum Islam di Indonesia, meskipun dalam
kenyataannya fungsi, tugas, dan peran Kantor Urusan Agama tersebut masih
belum sesuai dengan apa yang diharapkan atau masih belum menggembirakan.
Fakta di lapangan ternyata peran Kantor Urusan Agama dalam pelaksanaan
hukum Islam masih cenderung untuk mengurusi masalah pencatatan perkawinan
semata dan belum menyentuh pada aspek-aspek lainnya seperti pencatatan rujuk,
pengelolaan zakat, penyelenggaraan bimbingan manasik haji, pengadministrasian
tanah wakaf, dan penanganan masalah waris, sehingga keberadaan peran KUA
masih perlu dibenahi dan perlu ditingkatkan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat di bidang urusan (hukum) Islam. Adapun langkah-langkah yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan peran KUA sesuai tugas dan fungsinya adalah
memberikan kesadaran kepada masyarakat melalui penyuluhan dan penyampaian
informasi kepada masyarakat tentang tugas, fungsi, dan bidang garapan KUA
adalah tidak hanya terbatas pada pencatatan nikah, akan tetapi pada bidang-
bidang garapan lainnya seperti waris, pengelolaan zakat, wakaf, penyelenggaraan
haji, produk halal, dan lain-lain.
C. Tata Cara Perkawinan di Indonesia
1. Prinsip-prisnsip Perkawinan di Indonesia
Sebelum berbicara syarat dan rukun perkawinan lebih dahulu dibahas
tentang prinsip-prinsip perkawinan di Indonesia. Menurut M. Yahya Harahap
prinsip-prinsip perkawinan dalam UU perkawinan antara lain:
a. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat
bangsa Indonesia . UU perkawinan menampung di dalamnya unsur-unsur
ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
b. Sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk di dalamnya adalah
terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, di sanping
perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan tehknologi yang telah
membawa implikasi soaial dalam kehidupan sosial dan juga pemikiran.
c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang kekal. Tujuan
perkawinan ini bisa dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami istri saling
bantu membantu serta saling melengkapi. Kedua, masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya. Ketiga, keluarga yang bahagia sejahtera
spiritual dan material.
d. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing, serta memenuhi ketentuan administrasi pemerintah dalam
bentuk pencatatan perkawinan.
e. Menganut asas monogami, akan tetapi tetap terbuka peluang melakukan
poligami selama hukum agamanya mengizinkan.
f. Perkawinan dan pembentukan kelauarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang
telah matang jiwa dan aragnya.
g. Kedudukan suami dan istri dalam kehidupan adalah seimbang baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat. (Amiur Nuruddin: 2004:
51-52)
Dalam perspektif lain Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip
perkawinan berdasarkan al Qur‟an ada empat:
a. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh.
Prinsip ini sebenarnya merupakan kritik terhadap tradisi bangsa Arab yang
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya
sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik
pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah hak dan
kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan
syari‟at Islam.
b. Prinsip mawaddah wa rahmah
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar Rum:21. Mawaddah wa
rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Perkawinan yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk mencapai ridlo
Allah di samping tujuan yang bersifat biologis.
c. Prinsip saling melengkapi dan melindungi
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al
Baqarah: 187 yang menjelaskan istri-istri adalah pakain sebagaimana
layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita.
d. Prinsip mu’asarah bil ma’ruf
Prinsip ini didasarkan pada QS. An Nisa: 19 yang memerintahkan kepada
setiap laki-laki untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang ma‟ruf. Di
dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan
penghargaan kepada wanita. (Amiur Nuruddin:52-53)
Jika disederhanakan, prinsip perkawinan itu menurut UU No I/1974 ada
enam:
a. Tujuan perkwinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan
kepercayaan masing-masing.
c. Asas mongami.
d. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya.
e. Mempersulit terjadinya perceraian.
f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
Dari berbagai prinsip di atas bisa dipahami bahwa perkawina merupakan
langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya membentuk warga
masyarakat sebagai embrio dari berdirinya sebuah negara. Oleh karena itu sebuah
perkawinan seyogyanya dilakukan sesuai dengan hukum agama dan juga hukum
pemerintah, karena negara akan berdiri dengan baik jika diawali dengan keluarga
yang baik.
2. Syarat dan Rukun Perkawinan di Indonesia
Syarat dan rukun merupakan perkara yang urgen dalam perbuatan yang
menyangkut dengan maslah hukum. Terutama yang menyangkut dengan sah dan
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua hal tersebut mengandung arti
yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
Terkait dengan perkawinan syarat dan rukun perkawinan tidak boleh disepelekan.
Karena perkawinan tidak sah di mata hukum jika tidak lengkap syarakt dan
rukunnya.
Rukun merupakan sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan
bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang
berada di luarnya dan bukan merupakan unsurnya.(Amir Syarifuddin: 2006:59)
Rukun perkawinan adalah segala yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.
Menurut ulama Syafi‟iyah unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki
dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang
malangsungkan akad dengan suami, dua orang saksi yang menyaksikan
berlangsungnya akad perkawinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
rukun dalam perkawinan antara lain:
a. Calon mempelai laki-laki, syaratnya beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya,
dapat memberikan persetujuan, dan tidak terdapat halangan perkawinan.
b. Calon mempelai perempuan, syaratnya beragama Islam, perempuan, jelas
orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Wali dari mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, dewasa, mempunyai hak
perwalian, tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Dua orang saksi, syaratnya minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab
qabul, Islam, dewasa.
e. Ijab yang dilakukan oleh wali, qabul yang dilakukan oleh suami, syaratnya
ada pernyataan mengawinkan dari wali, ada pernyataan menerima dari calon
mempelai pria, memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari dua kata
tersebut, antara ijab dan qabul bersambungan, ijab dan qabul jelas maksudnya,
orang yang sedang terikat dengan ijab dan qabul tidak sedang melakukan
ibadah haji dan umrah, majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat
orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali mempelai wanita dan dua
orang saksi. (Siti Musawwamah dkk:2012:42-43)
Rukun dan syarat perkawinan tersebut wajib dipenuhi karena jika tidak
terpenuhi maka perkawinan yang dilaksanakan dinyatakan tidak sah.
Adapun mahar yang harus ada dalam perkawinan tidak termasuk ke dalam
rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan
tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian mahar
masuk dalam syarat perkawinan. (Amir Syarifuddin:2006:61)
3. Prosedur Pernikahan Di Kantor Urusan Agama (KUA)
Di dalam negara RI yang berdasarkan hukum, segala sesuatu yang
bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran,
kematian termasuk juga perkawinan. Perkawinan termasuk erat dengan masalah
kewarisan, kekeluargaan sehingga perlu dicatat untuk menjaga agar ada tertib
hukum.
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No.22 Tahun 1946 jo UU No.
32 Tahun 1954) sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang
berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama
Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan
harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN karena PPN
mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai
Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan.
Masyarakat dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan
sebagai berikut :
a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka
saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka
menyetujui/merestuinya. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan
kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi yang belum berusia 21
tahun.
b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik
menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan
perkawinan).
c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan
rumah tangga hak dan kewajiban suami istri dsb.
d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkaan calon
mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon mempekai
wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang
hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN yang mewilayahi
tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja
sebelum akad nikah dilangsungkan. Pemberitahuan Kehendak Nikah berisi data
tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah,
data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai
Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll). Pemberitahuan
Kehendak Nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau
wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan :
a. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Penganten (caten)
masing-masing 1 (satu) lembar.
b. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas
segel/materai
bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah
setempat.
c. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2,
N4, baik calon Suami maupun calon Istri.
d. Pas photo caten ukuran 2×3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi anggota
ABRI berpakaian dinas.
e. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai
dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan
surat Model N6 dari Lurah setempat.
f. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi Calon penganten Laki-
laki yang umurnya kurang dari 19 tahun; dan calon penganten Perempuan
yang umurnya kurang dari 16 tahun; laki-laki yang mau berpoligami.
g. Ijin Orang Tua (Model N5) bagi caten yang umurnya kurang dari 21 tahun
baik caten laki-laki/perempuan.
h. Bagi calon penganten yang tempat tinggalnya bukan di wilayah Kec. Tingkir
harus ada surat: Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.
i. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari
Pejabat Atasan/Komandan.
j. Bagi caten yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah Kec.
Tingkir harus ada Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kec. Tingkir.
k. Kedua caten mendaftarkan diri ke KUA Kecamatan Tingkir sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan.
Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat
Dispensasi Nikah dari Camat Tingkir.
l. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus
melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1).
m. Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang
tidak mampu.
Jika yang ingin melakukan perkawian itu antara warga negara Indonesai dengan
warga negara asing, (Perkawinan Campuran antara WNI & WNA), maka ada
beberapa ketetuan sebagai berikut:
a. Akte Kelahiran/Kenal Lahir
b. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian
c. Surat Keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih
dari satu tahun)
d. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi
Foto Copy Pasport.
e. Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penterjemah resmi.
Selanjutnya PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti
dan memeriksa berkas –berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat atau
belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan adanya
kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami,
calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah
(Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah
KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya
dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah
diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan
pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah
pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali
nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang
bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah (model
NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan
dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon
mempelai. PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari
kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9
Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah
seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan
yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas
nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.
Setelah semua syarat terpenuhi selanjutnya dilakasanakan proses akad
nikah di Kantor Urusan Agama kecamatan Tingkir, atau bisa jadi di rumah calon
mempelai dengan proses sebagai berikut:
a. Pemeriksaan ulang. Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu
terlebih dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah
dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk
melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor
atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/
Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
b. Meminta izin wali. Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi
ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih
dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi
ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak Berstatus
janda.
c. Pembacaan khutbah nikah. Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana
lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah
nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat.
d. Akad Nikah /Ijab Qobul. Pelaksanaan ijab qobul
dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun
apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria dapat
mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
e. Penandatanganan Akta Nikah. Penandatanganan Akta Nikah kedua mempelai,
wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
f. Pembacaan Ta‟lik Talak.
g. Penandatanganan ikrar Ta‟lik Talak.
h. Penyerahan maskawin/mahar.
i. Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.
j. Nasihat perkawinan
k. Do‟a penutup.
D. Nikah Sirri (Illegal Wedding)
1. Pengertian Nikah Sirri
Untuk memposisikan secara proporsional, masalah nikah sirri harus
dimaknai secara seragam terlebih dahulu. Sehingga tidak muncul berbagai
interpretasi yang berbeda-beda. Secara etimologi nikah sirri dalam bahasa Arab
disebut nikah al-sirr yaitu pernikahan yang dilakukan secara rahasia, sembunyi-
sembunyi, tanpa publikasi atau tanpa walimah.29
Ada berbagai macam definisi nikah sirri menurut para ulama. Menurut
Imam Syafii, Malik dan Hanafi bahwa nikah sirri adalah nikah tanpa wali.30
Sedangkan dalam konteks Indonesia, ada ragam pengertian dan praktik nikah sirri
yang dipersepsikan masyarakat, yang bisa dibedakan menjadi tiga kategori. Yaitu
nikah tanpa wali, nikah di bawah tangan dan nikah tanpa walimah.31
Nikah tanpa wali adalah nikah yang dilakukan tanpa adanya wali. Nikah di
bawah tangan adalah nikah yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan
rukunnya tetapi tidak atau belum dicatakan ke PPN. Sedangkan nikah tanpa
walimah adalah nikah yang sudah tercatat akan tetapi tidak diadakan perayaan
atau walimah.
Walaupun tidak hanya satu definisi nikah sirri dikalangan para ulama,
namun definisi yang melekat di kalangan masyarakat di Indonesia tentang nikah
sirri adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan fiqh (telah memenuhi
syarat dan rukunnya), tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum dicatatkan
ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Nikah semacam ini disebut dengan nikah yang
”tidak dicatat” atau disebut juga nikah ”di bawah tangan”. Nikah semacam ini
tidak mendapatkan bukti autentik berupa Akta Nikah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain dikenal dengan
29
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (yogyakarta: Unit Pengadaan
Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir, 1984), hlm.667. 30
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,(Semaramg: Maktabah Usaha
Keluarga, t.t.), jilid II, hlm.3.
31 Naqiyah Mukhtar, Mengurai Nikah Sirri Dalam Islam, dalam al Manahij, (Purwokerto: APIS,
2012), Vol. VI, hlm 257.
kata nikah sirri, masyarakat juga sering menyebutnya dengan nikah modin, kyai,
atau nikah secara agama.
Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan Perkawinan &Perkawinan
Tidak Dicatat..., menarangkan bahwa perkawinan ”tidak dicatat” berbeda dengan
perkawinan ”tidak dicatatkan”. Pada istilah ”perkawinan tidak dicatat” bermakna
bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur ”dengan sengaja” yang
mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkwinannya.
Adapun istilah ”perkawinan tidak dicatatkan” terkandung iktikad atau niat buruk
dari suami khususnya yang bermaksud perkwinannya memang ”dengan sengaja”
tidak dicatatkan. 32
Dari nikah yang tidak dicatat atau tidak dicatakan inilah
kemudian muncul istilah nikah sirri.
Sedangkan kata nikah itu sendiri dalam bahasa Arab bermakna al-wathi’
dan al dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-
jam’u atau ’ibarat ’an al-wath’ wa al-’aqd yang bermakna bersetubuh,
berkumpul dan akad.33
Berangkat dari makna secara etimologis tersebut para fuqaha beragam
dalam mendefinisikan nikah secara terminologi. Wahbah al-Zuhaily
mendefinisikan nikah adalah: ”Akad yang telah ditetapkan oleh syar‟i agar
seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta‟ dengan
seorang wanita atau sebaliknya”.34
32
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis
Di Indonesia dan Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2010), hlm 153.
33 Wahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, (Damsyiq; Dar al-Fikr,
1989).hlm.29.
34 Wahbah Al Zuhaily, hlm. 29
Abu Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, mendefinisikan
nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan
persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta
menimbulkan hak dan kewajiban.35
Hazairin menyatakan bahwa inti dari pernikahan adalah hubungan seksual.
Menurutnya tidak ada nikah bila tidak ada hubungan seksual.36
Senada dengan
Hazairin, Mahmud Yunus mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan seksual.
Begitu juga Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. 37
Definisi baik secara etimologis maupun terminologis di atas memberikan
kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki.
Perempuan hanya dilihat dari aspek biologisnya saja. Implikasinya perempuan
menjadi pihak yang dikuasai laki-laki.
Berbeda dengan definisi ddalam UU No I / 1974 seperti yang termuat
dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai: ”Ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dari definisi ini terlihat bahwa pernikahan tidak hanya penghalalan
hubungan antara laki-laki dan perempuan tetapi mengandung tiga dimensi yaitu
dimensi sosiologis (peristiwa sosial yang bersifat pribadi/ individual affair),
35
Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1957), hlm.
19.
36 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasinal Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm.61.
37 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, (Jakarta: Ihya
Ulumuddin, 1971), hlm.65.
teologis (aktifitas keagamaan), dan berdimensi yuridis formal, karena nikah
sebagaimana disebutkan dalam al Qur‟an sebagai perjanjian yang agung
(mitsaaqan ghaildzan).38
Ketiga dimensi tersebut merupakan standar pelaksanaan pernikahan yang
terjadi di Indonesia. Misalnya orang yang ingin melakukan nikah, maka orang
tersebut harus memenuhi syarat dan rukun sesuai dengan agama yang mereka
anut. Kemudian diadakan perayaan (walimatul ’ursy) sesuai dengan tradisi di
lingkungannya, juga harus dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau
DKCS setempat.
Jika direlevansikan antara nikah sirri dengan definisi nikah menurut UU
No I/1974 nampak ada dimensi yang tidak terpenuhi, yaitu dimensi sosiologi juga
dimensi yuridis. Dalam tinjauan sosiologi, jika apa yang dipikirkan atau
diperbuat seseorang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, maka
orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan anomali nilai atau keanehan.
Akibatnya masyarakat akan memberikan sanksi sosial. Sanksi tersebut bisa
berupa label atau stigma negatif. Akibat stigma negatif tersebut akhirnya
pasangan tersebut tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat. Kehidupan seks
yang awalnya bertujuan untuk melangsungakan generasi secara harmonis
akhirnya berubah menjadi pemuas hawa nafsu belaka.39
Kondisi tersebut bertentangan dengan tujuan nikah sebagaimana yang
tercantum dalam makna nikah dalam UU No I/1974 yakni untuk membentuk
38
Q.S. an-Nisa: 4.
39 Gani Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan, dalam Khoirul Muzakki, Kontroversi
Nikah Sirri,(Suara Merdeka, Rabu 28 Desember 2011), hlm. 7.
keluarga bahagia, kekal. Tujuan perkwinan yang kekal dan bahagia ini dapat
dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-istri saling bantu-membantu serta
lengkap-melengkapi. Kedua, masing-masing suami-istri dapat mengembangkan
kepribadiannya. Ketiga, membentuk keluarga yang bahagia sejahtera spiritual
dan material.40
Ketiga tujuan nikah tersebut nampak sangat idealis jika dibandingkan
dengan struktur sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut kultur
patriarchi. Yakni, sebuah sistem sosial di mana klan laki-laki lebih dominan
dibanding dengan klan perempuan. Sehingga tujuan nikah tersebut akan sulit
diwujudkan apalagi pernikahan yang dilangsungkan sudah tidak
mempertimbangkan faktor sosiologi. Sementara idealnya pernikahan secara
sosial sebagaimana komentar Asaf A.A Pyzee, mampu atau berhasil mengangkat
derajat seoarang perempuan ke tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dibanding
dengan kondisi sebelumnya.41
Sedangkan jika ditinjau dari dimensi yuridis, bahwa nikah yang dilakukan
secara sirri tidak memenuhi UU No I Tahun 1974 yang mengharuskan pernikahan
dicatatkan. Selain itu nikah sirri memiliki beberapa dampak negatif yang
ditimbulkan antara lain: pertama, tidak ada jaminan perlindungan hukum dan
tidak memiliki jaminan yang pasti ketika perempuan hamil dan mempunyai anak.
Sehingga jika terjadi percekcokan yang berakibat suami melalaikan
kewajibannya, istri tidak dapat menuntutnya secara sah di pengadilan. Sementara
40
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana,. 2004), hlm. 51.
41 .Amir Nuruddin dan Azhari Taringan, Hlm. 57
menurut UU No I/1974 pasal 34 ayat 3 dengan jelas diterangkan bahwa: ”Jika
suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan”. Jika perkawinan itu tidak legal, maka jika terjadi
kelalaian terhadap tanggungjawab sebagai suami atau istri tidak dapat dituntut di
pengadilan. Dan yang paling rentan untuk dilanggar hak-haknya adalah istri.
Kedua, nikah sirri rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan. Karena
posisi perempuan (istri) lemah, sehingga laki-laki (suami) merasa bebas
melakukan apa saja dan meninggalkannya sesukanya karena pernikahannya tidak
memiliki kekuatan hukum. Ketiga, praktik nikah sirri mudah menimbulkan
pelanggaran terhadap hak reproduksi dan kesehatan perempuan. Keempat, mudah
terjadi perceraian dengan hanya mengucapkan kata cerai dan meninggalkan istri
tanpa tanggungjawab dari suami.42
Dari sini nampak jelas bahwa praktik pernikahan sirri itu sulit
mewujudkan keluarga yang bahagia dan maslahah karena banyak melanggar
aturan-aturan pemerintah hingga banyak menimbulkan kerusakan dan madharat.
Bahkan tidak jarang terjadi lahir hubungan seks di luar nikah dengan dalih
pernikahan sirri.43
Padahal pernikahan itu sendiri memiliki tujuan yang sangat agung dalam
rangka membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Keluarga yang
sakinah ini akan dapat terwujud jika antara suami dan istri mampu melaksanakan
fungsi-fungsi keluarga yang meliputi: fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya,
42
Mudhofar Badri dkk, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantrean, (Yogyakarta:
Yayasan Kesejahteraan Fatayat. tt), hlm.165.
43 M. Quroish Shihab, Perempuan… dari Cinta sampai Seks, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm.
241.
fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasai dan
pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan.
2. Macam-macam bentuk illegal Wedding
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti ada
beberapa kategori illegal wedding jika dilihat dari pancatatan juga publikasinya.
Pertama, tidak tercatat di KUA tetapi dipublikasikan. Kedua, tidak teracatat di
KUA tetapi dipublikasikan secara terbatas dan yang ketiga, tidak tercata dan juga
tidak dipublikasikan. (Dedi:2003:160) Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh
Siti Zumrotun terhadap fenomenan nikah sirri yang terjadi di kota Salatiga ada
satu kategori pernikahan illegal yakni dicatat dalam lembaran kertas (bukan oleh
PPN) dan juga dipublikasikan secara terbatas. (Zumrotun:2006)
3. Motivasi Nikah Sirri
Di samping adanya perbedaan bentuk atau kategori dalam konsep dan
praktiknya, ternyata jika dilihat dari aspek sebab motivasi, dan juga tujuan
melakukan illegal wedding itu beraneka ragam. Motivasi tesebut bisa diebdakan
menjadi empat faktor:
Pertama, bersifat normatif, dalam konteks ini secara spesifik adalah yang
berkaitan dengan sebab, motivasi, dan tujuan yang didasarkan pada norma-norma
agama Islam.
Kedua, bersifat psikologis, berkaitan dengan tujuan atau alasan yang
bersifat kejiwaan, yaitu untuk mengatasi kersehan, kecemasan, atau kekahwatiran
sehingga jiwa menjadi tenang dan tentram.
Ketiga, yang bersifat sosial ekonomis, berkaitan dengan penyebab atau
alasan dari masyarakat dan orangtua dengan alasan keuangan, biaya hidup dan
pekerjaan yang seringkali menjadi pertimbangan dan kendala bagi yang akan
menikah.
Keempat, bersifat biologis, berkaitan dengan motivasi untuk memperoleh
pengaturan dan kepuasan seksual. (Dedi: 162-163)
E. Urgensi Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan sebagaimana diterangkan
dalm UU No I/ 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan yang berlaku”. Kemudian ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam PP No.9
/1975 dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat
Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan”.
Selanjutnya dijelaskan dalam KHI pasal 5: (1) Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan
perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954. Dari
pasal-pasal dalam UU maupun KHI ini muncul berbagai analisis, apakah pencatatan
perkawinan ini sebagai sayarat sah atau sebagai syarat administrasi. Ada beberapa
alasan yang dikemukakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pertama,
selain didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal Perpu
pelaksanaan UUP (PP. No.9 Tahun 1975) dan juga dari jiwa dan hakikat UUP itu
sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III
(pasal 13s/d21) dan Bab IV (pasal 22s/d28), masing-masing tentang pencegahan dan
pembatalan, hanya bisa dilakukan apabila diatur di dalam PP No.9/1975. bila
perkwinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan pembatalan menjadi tidak
ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata ”dan” pada pasal 2 ayat 1 UUP
berarti kumulatif. Khaoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi
terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, (Jakarta-Leiden:INIS: 2002: 158-159). Bagi mereka yang berpendapat
bahwa pencatatan hanya sebagai syarat administrasi beralasan, sebagaimana
dikemukakan oleh Wasit Aulawi dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia, secara tegas UUP No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur pencatatan
perkawinan, talak, dan rujuk, yang berarti hanya acara, bukan materi hukum.
Hakikat dari pencatatan perkawinan menurut UU No I/1974 bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan di tengah masyarakat, untuk melindungi martabat
dan kesucian perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah
tangga. Dengan akte nikah, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum
yang telah mereka lakukan. Bukti otentik semacam ini sangat urgen sebagai tali
pengikat tanggung jawab semua pihak agar terjamin nilai keadilan dan ketertiban
yang menjadi pilar utama tegaknya kehidupan rumah tangga.44
Sehingga jika ada
orang yang melaksanakan pernikahan walau sudah memenuhi syarat dan rukun
pernikahan, namun tidak tercatat ataupun sengaja tidak dicacat dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan nikah sirri.
Model pernikahan secara sirri atau illegal wedding ini di kalangan masyarakat
muncul perbedaan pendapat tentang keabsahan hukumnya. Perbedaan ini muncul dari
44
Bukti autentik berupa akta nikah pada zaman Nabi belum begitu penting, mengingat kultur
menulis pada waktu tdak begitu penting karena kultur lesan (hafalan) lebih berkembang, sedangkan tradisi
walimatul ’ursy walau hanya seekor kambing merupakan saksi syar‟i, selain itu perkawinan pada waktu itu
berlangsung dengan jarak yang dekat. Baca dalam Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media:2004), hlm. 120-121.
pertanyaan apakah pencatatan ini sebagai rukun sehingga mempengaruhi sahnya
pernikahan, atau hanya sebagai syarat administrasi. Dari perbedaan tersebut Atho‟
Muzhar menganalisis bahwa pencatatan perkawian harus dilihat sebagai bentuk baru
cara mengumumkan perkawinan. Lebih jauh dari pencatatan ini lebih maslahat
terutama bagi wanita dan anak-anak. Baca dalam M. Atho Muzhar, Membaca
Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, (Jakarta: Titian Ilahi Pres: 1998:
180)
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk, pelaksanaan pernikahan/perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) yang di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan penghulu.
Pada penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
dalam BAB II tentang Pencatatan Perkawinan diterangkan pada pasal 2:
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 32 tahun 1984 tentang Pencatatan Nikah. Talak dan Rujuk
2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatatan Sipil pada kantor catatan sipil sebagaiman yang dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Melihat peraturan di atas suatu pernikahan yang dilangsungkan menurut
agama Islam maka calon mempelai atau orang tuanya atau wakilnya harus
mencatatkan diri mereka pada Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini kelembagaan
yang ada di Indonesia adalah Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, setelah Undang-
Undang tersebut diberlakukan, masih juga ada warga Negara Indonesia yang
melaksanakan pernikahan secara Islam, tidak mencatatkan pernikahan mereka pada
Pegawai Pencatat Nikah, atau lebih dikenal dengan Nikah dibawah tangan. Sehingga
pernikahan tersebut di pandang secara hukum masih illegal karena belum memiliki
buku Akta Nikah. Sebagian dari para pelaku nikah tersebut ada juga yang telah
memiliki anak, sehingga diperlukan juga status hukum bagi anak tersebut atau dalam
mendapatkan Akta Kelahiran yang harus didasari dengan buku Akta Nikah orang
tuanya.
Setelah dilakukan pencatatan pernikahan oleh penghulu maka perkawinan
tersebut sah dimata hukum di Indonesia dengan dikeluarkannya Kartu Nikah, yang
diberikan kepada pasangan mempelai.
Dibandingkan dengan surat-surat berharga lain, seperti Sertifikat Tanah yang
dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan misalnya, atau Surat Tanda Nomor Kendaraan
(STNK), yang juga dikeluarkan oleh pemerintah, tanpa bermaksud
mempersandingkan, maka nilai Surat Nikah sebenarnya jauh lebih berharga. Karena
Surat Nikah merupakan bukti adanya ikatan dua orang, yang dilandasi oleh nilai-nilai
keagamaan untuk membangun suatu rumah tangga bahagia sepanjang masa. Fungsi
Suat Nikah, tidak hanya untuk menandai telah terjalinnya ikatan pasangan (yang
diharapkan ) abadi, tetapi memiliki efek yuridis yang luar biasa. Karena dengan surat
itulah, maka pasangan kawin itu secara yuridis menjadi absyah juga status keturunan,
hubungan malwaris, hubungan muhrim, hak pengasuhan anak, hak kepemilikan
barang-barang berharga yang diperoleh secara bersama, dan sebagainya.
F. Sanksi Illegal Wedding
Proses Pidana Pelaku Nikah Sirri dalam UU. 22 Tahun 1946 Dalam masalah
pencatatan perkawinan di Indonesia tidak terdapat adanya kekosongan hukum
(rechtsvacuum), karena sejak awal kemerdekaan Negara Kesatuan RI telah diatur
masalah tata cara pernikahan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Jawa dan Madura. Dengan
diundangkan UU tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang ada
sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan pertimbangan:
1. Bahwa peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam
Huwelijksordonnantie Staatblaad 1929 No. 348 jo. Staatblaad 1931 No. 467.
Vorstenlandsche Huwelijkorddonnantie Staatblaad 1933 No. 98 dan
Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatblaad 1932 No. 482 tidak sesuai lagi
dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang
sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial;
2. Bahwa pembuatan peraturan baru yang dimaksudkan di atas tidak mungkin
dilaksanakan di dalam waktu yang singkat;
3. Bahwa sambil menunggu peraturan baru itu perlu segera diadakan peraturan
pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk memenuhi keperluan yang sangat
mendesak;45
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Huwelijksordonnantie
Staatblad 1929 No. 348 jo. Staatblad 1931 No. 467 dan Vorstenlandsche
Huwelijksordonnantie Staatblad 1933 No. 98 dicabut keberlakuannya yang selama
kolonial Belanda digunakan sebagai peraturan perkawinan khususnya bagi umat
Islam. Hanya saja UU No. 22 Tahun 1946 ini terbatas wilayah pemberlakuannya,
yaitu berlaku di wilayah Jawa dan Madura sehingga tidak bisa diterapkan pada kasus
yang sama pada wilayah di luar Jawa dan Madura. Namun merespon tuntutan
terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang begitu cepat berubah, maka kemudian
dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan
Madura, maka sejak itulah undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk tersebut berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hingga saat ini Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut belum pernah dicabut keberlakuannya atau
diamandemen baik undang-undangnya sendiri maupun pasal-pasal yang termaktub di
dalamnya. Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut masih tetap berlaku
sepanjang belum diadakan yang baru. Dalam UU No. 22 tahun 1946, dijelaskan juga
unsur pidana bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, yaitu bagi pihak yang
melakukan perkawinan Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang
45
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta; UI Press,
1986), h. 168
Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November
1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh
Daerah Luar Jawa dan Madura. atau menjatuhkan talak atau rujuk tanpa dicatat atau
tanpa di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka dijatuhi hukuman denda.
Sebagaimana pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa: “Barang siapa yang melakukan
akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan
pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda
sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)”. Pasal 3 ayat (3) menyatakan
bahwa: “Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana
tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu
kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia
dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah).” Sementara bagi
pihak yang menikahkan padahal bukan tugasnya untuk menikahkan (nikah di bawah
tangan), maka pihak tersebut dijatuhi hukuman pidana selama-lamanya 3 bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: “Barang
siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada
haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”46
Undang-undang ini berupaya mencegah adanya pungutan liar (pungli) bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dengan menjatuhkan hukuman pidana kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus
rupiah). Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa: Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal
46
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis
di Insonesia dan Hukum Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), h. 210
1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima
pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan
rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1
atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-
masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan
dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah
pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud
pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”
Dalam penjelasan dinyatakan bahwa ancaman dengan denda sebagaimana
tersebut pada Pasal 3 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) undang-undang ini bermaksud
supaya aturan administrasi diperhatikan, dan sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa
nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu. Ketentuan pada Pasal
3 tersebut merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, karena
hanya bersifat administratif, bukan sebagai hukuman atau pidana kejahatan.47
Klasifikasi Sanksi Pidana yang dibebankan Bagi Pelaku Nikah sirri. Ada
beberapa poin penting yang penulis akan analisis mengenai sanksi yang diberlakukan
bagi para pelaku nikah sirri maupun bagi PPN yang menyalah gunakan kewenangan
atau posisinya, merujuk dari UU NO 22 Tahun 1946 jo. UU NO 32 Tahun 1956
disertai dengan SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970.
1. Kali pertama yang harus dikaji adalah pasal-pasal dalam UU tersebut yang
mengandung unsur pidana. Berikut merupakan pasal 3 UU NO 22 Tahun
1946:51. Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang
47
Ibid. hlm. 212
perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2)
pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh
).
2. Pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada
pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum
denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).
3. Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan
tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah).
4. Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana pasal 3
UU. NO 22 Taun 1946 tersebut Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena
menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima
pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak
dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4)
pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran
masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1)pasal2, atau tidak
memberikan petikan dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah
yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang
dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp
100,- (seratus rupiah).
5. Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan
ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan
mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan
kepada yang berwajib, maka biskalgripir hakim kepolisian yang bersangkutan
mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang
bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-
pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat keputusan hakim yang
menyatakan hal itu.
Apabila ditinjau dari petikan pasal 3 di atas, kita dapat melihat bahwa objek
yang terkena sanksi semata-mata bukan hanya pelaku nikah sirri saja, akan tetapi
sanksi tersebut dikenakan juga bagi orang yang menikahkannya, atau 60 dengan kata
lain penghulu yang menikahkan orang tanpa catatan administrasi yang resmi akan
terkena sanksi pidana tersebut. Sanksi pidana yang dimaksud dalam pasal 3 di
ataspun ditujukan bagi para Pegawai Pencatat Perkawinan (PPN) yang memungut
bayaran melebihi dari ketentuan yang dipatok oleh Departemen Agama. Sehingga
apabila ada PPN yang melakukan hal tersebut, maka orang tersebut bisa dijerat
dengan sanksi pidana yang dimaksudkan dalam UU di atas.
Selanjutnya, apabila kita analisa dari sanksi pidana yang dibebankan maka
akan timbul opsi sanksi yang dibebankan bagi para pelaku nikah sirri, orang yang
mengawinkan pelaku nikah sirri dan PPN, yaitu: Sanksi denda. Sebelum kita
membahas lebih jauh mengenai sanksi denda, maka kita perlu mengetahui bahwa
sanksi denda termasuk kedalam sanksi pokok yang bisa dijatuhkan terhadap suatu
tindak pidana. Hal ini termaktub dalam KUHP pasal 10 poin (a). Merujuk dari pasal 3
UU NO 22 Tahun 1946 di atas, maka opsi sanksi denda ini bisa diberlakukan bagi
pelaku nikah sirri, PPN yang menyalah gunakan wewenang dan orang yang
menikahkan tanpa adanya hak (bukan PPN resmi).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pidana denda ini,
yaitu;48
1. Sistem penerapan jumlah atau besarnya denda.
2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda.
3. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya
pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu
yang telah ditetapkan.
4. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap seorang anak yang
belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua).
5. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.
Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan KUHP. Apabila kita lihat dari ketentuan pemberlakuan denda
poin ke 1 maka hal yang menarik dalam pasal 3 tersebut adalah denda yang
dibebankan sangatlah kecil, tidak sebanding dengan tingkat perekonomian saat ini.
Penjatuhan denda Rp. 50,- dan Rp. 100,- dalam kondisi perekonomian saat ini sudah
tidak memiliki arti ekonomi lagi, sehingga perlu penyesuaian dengan tingkat
perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No 04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970 bahwa penilaian uang (dalam kasus
denda) harus dilakukan dengan menggunakan harga emas.49
Saat itu harga emas
diasumsikan Rp. 2/gram dibagi dengan denda Rp. 50,- = 25 gram emas atau denda
48
Muladi dan Barda Nawawi A,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1992), h. 56
49
SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970
Rp. 100 = 50 gram emas. Perhitungannya adalah: Penjatuhan denda : harga per gram
emas = denda bagi penganten Penjatuhan denda Rp. 50 bagi penganten dengan
asumsi harga emas saat itu adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi
penganten adalah seharga 25 gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini
(Tahun 2014) maka penghitungannya adalah: 25 gram emas dengan asumsi harga saat
ini adalah Rp. 450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 11.125.000,-
(Sebelas juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) yang dibebankan bagi pelaku nikah
sirri.
Penjatuhan denda : harga per gram emas = denda bagi PPN/penghulu tidak
resmi Penjatuhan denda Rp. 100 bagi penghulu dengan asumsi harga emas saat itu
adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi penghulu adalah seharga 50
gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini (Tahun 2014) maka
penghitungannya adalah: 50 gram emas dengan asumsi harga emas saat ini adalah Rp.
450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 22.250.000. (dua puluh dua juta
dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang dibebankan bagi PPN yang menyalah gunakan
wewenang dan penghulu tidak resmi.50
Apabila penghitungannya seperti yang
dijabarkan di atas, maka besaran denda yang dijatuhkan terlihat lebih riil
dibandingkan yang termaktub dalam pasal 3 UU NO 22 Tahun 1946, dikarena
besaran denda harus mengikuti perekonomian bangsa ini.
Sanksi Kurungan Pasal 3 ayat 4 secara eksplisit menjelaskan bahwa sanksi
kurungan diberlakukan hanya bagi PPN yang menyalah gunakan wewenangnya,
itupun besifat pengganti apabila PPN tersebut tidak mampu atau tidak mau membayar
50
Muchsin, Aspek Hukum Pelanggaran Pidana dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan, (Diakses dari http://e-syariah.badilag.netTanggal 06 Juni 2011)
denda yang dibebankan. Sanksi kurungan ini juga diberlakukan karena PPN tersebut
telah menyalahgunakan wewenang dengan memungut biaya perkawinan melebihi
biaya yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama.
Walaupun ada sanksi yang dibebankan kepada pelaku nikah sirri, PPN yang
menyalahgunakan wewenang dan penghulu non resmi, ini bukan berarti tindak pidana
yang mereka lakukan termasuk kedalam tindak pidana kejahatan, tindak pidana yang
mereka lakukan hanya sebatas tindak pidana pelanggaran saja.
Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat (1) dan (3) pasal 3
Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan :
akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal 51
karena
pelanggaran itu.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pidana yang
dibebankan bukan sekali-kali menyangkut masalah perkawinan, talak ataupun
rujuknya, akan tetapi menyangkut kesalahan proses administrasi yang dilanggar oleh
orang yang berperkara. Maka apabila dipandang dari ranah istinbath al-hukm
(penggalian hukum Islam), pencatatan pernikahan merupakan perkara administratif
yang mubah (boleh) bahkan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan
kaidah fiqh (kaidah-kaidah yang menjadi nalar hukum dalam Islam) salah satunya "
tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah" yang bermakna bahwa
kebijakan pemerintah atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan. Selama
kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang qath'i (sudah jelas), maka
pertimbangan kemaslahatan dalam menyusun sebuah kebijakan bisa dibenarkan.
51
Pasal 4 UU. NO 22 Tahun 1946 (Diakses dari http: // dpr.go.id /uu/uu1946 /UU_
1946_22.pdf pada tanggal 09 juni 2011
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Selayang Pandang Kota Salatiga
1. Salatiga Dalam Lintasan Sejarah
Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini
berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km
sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan
berada di jalan negara yang menghubungan Semarang-Surakarta. Salatiga terdiri
atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo.
Kota Salatiga letaknya dikelilingi wilayah Kabupaten Semarang. Suatu
wilayah yang secara morfologis berada di daerah cekungan kaki Gunung Merbabu
dan diantara gunung-gunung kecil antara lain Gajah Mungkur, Telomoyo, Payung,
dan Rong. Secara astronomi terletak antara 007.17‟ dan 00.17‟.23” Lintang Selatan
dan antara 110.27‟.56,81” dan 110.32‟.4,64” Bujur Timur. Sebagai dataran tinggi
Kota Salatiga terletak di ketinggian antara ± 1500 meter di atas permukaan laut.
Kota yang berada di lereng timur Gunung Merbabu ini membuat kota berudara
cukup sejuk. Kota kecil yang menghubungkan Semarang dan Solo dan masuk
dalam segitiga emas Joglosemar “Jogja, Solo, Semarang” menjadikan Salatiga
sebagai tempat yang strategis. Berketinggian 600-850 dengan iklim sejuk, maka
pada jaman pemerintahan Belanda sempat memperoleh julukan “kota terindah di
Jawa Tengah”.
Secara administratif, Kota Salatiga berada di Propinsi Jawa Tengah, di
tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang. Sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Tuntang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Getasan dan
Tengaran. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tengaran. Sebelah
Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Getasan dan Tuntang.
Kota Salatiga mengalami beberapa kali perubahan luas wilayah. Perubahan
luas wilayah yang terakhir terjadi pada tahun 1992 dan telah diresmikan pada tahun
1993. Pemekaran wilayah tersebut adalah dari 9 kelurahan, 1 kecamatan menjadi 9
kelurahan dan 13 desa, 4 kecamatan.
Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2006 tercatat sebesar 5.678,110
hektar atau 56.781 Km². Luas yang ada terdiri dari 802,297 hektar (14,13%) lahan
sawah dan 4.875,813 hektar atau 48.758 Km² (85,87%) bukan lahan sawah.
Luas Wilayah Kota Salatiga terbagi dalam 4 kecamatan dengan luas lahan sebagai
berikut:
a. Kecamatan Argomulyo seluas 18.826 Km2,
b. Kecamatan Tingkir seluas 10.549 Km2,
c. Kecamatan Sidomukti seluas 11.459 Km2, dan
d. Sidorejo seluas 16.247 Km2.
Udara Kota Salatiga dikenal sejuk karena secara geografis kota ini terletak
di kaki Gunung Merbabu. Curah hujan tertinggi tercatat sebesar 450 mm pada bulan
Januari dan hari hujan terbanyak tercatat sebesar 19 hari pada bulan Januari dan
Desember. Rata-rata curah hujan Kota Salatiga sebesar 16 mm/hari.52
52
http://mikolei.wordpress.com/profil-kota-salatiga/wilayah-kota-salatiga/
Secara administrasi pemerintah daerah kotamadia Salatiga berada dalam
wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wilayahnya berada dalam wilayah Kabupaten
Semarang. Sisi utara berbatasan dengan Kecamatan Pabelan dengan Kecamatan
Tuntang. Sisi selatan berbatasan dengan kecamatan Tengaran dan kecamatan
Getasan. Sisi timur berbatasan kecamatan Pabelan dan Tengaran. Sisi barat
berbatasan dengan kecamatan Getasan dan Tuntang.
Salatiga, kota yang terletak persis di sebelah selatan Semarang, bukan hanya
menjadi kota yang menghubungkan pelabuhan Semarang dan Kasunanan Surakarta.
Sejak dulu, kawasan ini memang punya pengalaman historis yang panjang dan
menarik untuk diungkapkan, karena memiliki makna penting dalam rangka
menghidupkan pewarisan legenda kepada generasi muda, sebagai bagian
pembentukan karakter bangsa. Mengingat bahwa suatu legenda itu menyimpan
kekuatan `local genius, sarat dengan pesan hal-hal yang baik dan buruk, sebagai
pendidikan nilai kepada masyarakat, termasuk generasi muda bangsa.
Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkap asal-usul
Salatiga. Ada tiga versi tentang asal usul kota Salatiga. Pertama, bersumber dari
prasasti plumpungan, kedua, bersumber dari cerita rakyat, ketiga, keputusan
gubernur Jendral Hindia Belanda. Perbedaan penyejarahan ini memiliki makna
yang berbeda pula. Cerita rakyat menjelaskan tentang asal usul nama Salatiga,
sedangkan prasasti plumpungan menjelaskan geneologi daerah.
a. Prasasti Plumpungan
Sejarah Salatiga dimulai dari Prasasti Plumpungan, sebuah batu dengan
ukuran 170×150cm dengan diameter 5m. Di permukaan batu tersebut tertulis
sebuah ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swantantra bagi
Desa Hampra. Status tersebut penting artinya karena daerah perdikan bebas
pajak dan memiliki kekhususan tertentu.
Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah
ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut
memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan
kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu
meliputi Salatiga dan sekitarnya.
Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan
hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa
Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini
merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah
Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra
secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat
prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan
demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas
pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti
Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para
pendeta(resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah
seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib
rakyatnya.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa
Sansekerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang
menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang
sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang
benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja
menulis dalam Prasasti Plumpungan sebagai berikut:
a. Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah
Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750
Masehi.
b. Tengah hari.
c. Dari beliau, demi agama untuk kebaktian kepada Yang Maha Tinggi, telah
menganugerahkan sebidang tanah atau taman agar memberikan kebahagiaan
kepada mereka.
d. Yaitu desa Hampra yang terletak di wilayah Trigyamyama dengan
persetujuan Sinddhadewi berupa daerah bebas pajak atau perdikan, dan
e. Ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis dengan
menggunakan ujung mempelam.
f. Dari beliau yang bernama Bhanu (dan mereka) dengan bangunan suci atau
candi ini, selalu menemukan hidup abadi.
Dari Prasasti Plumpungan ini nampak bahwa Kota Salatiga mempunyai
nilai budaya normatif yang berkembang sejak masa Raja Bhanu sampai
sekarang. Yakni, jati diri masyarakat yang mengedepankan kedamaian, rukun,
toleran, loyal dan pekerja keras. Sedangkan nilai kultural secara fisik dikuatkan
oleh peninggalan prasasti Plumpungan.53
Cita-cita Raja Bhanu ini terwujud
sampai sekarang. Salatiga merupakan kota yang multietnis, tidak hanya orang
jawa, tapi juga etnis Tionghoa (Cina), etnis Indonesia Timur seperti Papua,
Ambon, Maluku, dan lain-lain. Selain itu Salatiga juga Kota yang pluralis,
semua agama tumbuh dan berkembang dengan damai tanpa ada konflik yang
berarti. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Salatiga memiliki rasa
toleransi yang tinggi sehingga mampu menghargai perbedaan dan kemajemukan
diantara mereka. Sehingga nyaris tidak perah terjadi kerusuhan juga konflik
yang mengatasnamakan agama ataupun etnis.
Prasasti plumpungan ini selanjutnya dijadikan titik tolak untuk
menghitung hari jadi Kota Salatiga Berdasarkan prasasti ini hari jadi Kota
Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Tingkat II Salatiga Nomor: 15 Tahun 1995 Tentang
Hari Jadi Kota Salatiga.yang sampai tahun 2014 ini sudah berumur 1263 Tahun.
Prasasti Plumpungan yang merupakan sebuah prasasti penanda berdirinya Kota
Salatiga sekarang diabadikan menjadi nama salah satu motif batik dari Kota
Salatiga yaitu batik Plumpungan yang memiliki corak Selotigo. Batik
Plumpungan pada setiap motifnya mempunyai ciri-ciri bergambar dua bulatan
53
http://beriman-hati.blogspot.com
berukuran besar dan kecil sedikit lonjong dalam satu kesatuan, bentuk ini
apabila dilihat dari sudut pandang atas menyerupai Prasasti Plumpungan 750
Masehi. Dua gambar bulatan besar dan kecil lonjong ini akan menjadi beraneka
ragam motif batik sesuai dengan keinginan, kreatifitas dan imajimasi pendesain
dan pembatiknya. Ini bisa dilihat dalam gambar ini. Ini menjadi dasar pemolaan
batik sehingga Plumpungan mempunyai ciri khas yang unik.54
Penggunaan batu Plumpungan sebagai motif utama batik Plumpungan
dan Selotigo mengandung filosofi dan makna yang mendalam. Prasasti
Plumpungan yang menjadi penanda kelahiran Salatiga mengamanatkan
kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan. Sesuai isi prasasti tersebut, batik
Plumpungan dan Selotigo diharapkan dapat menjadi sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan, khususnya bagi Kota Salatiga dan
masyarakatnya. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Salatiga bersama seluruh
elemen masyarakat berupaya terus mengembangkan batik khas Salatiga agar
dapat menjadi ikon, kebanggaan, dan sumber kesejahteraan masyarakat Kota
Salatiga. Hal ini dilakukan dalam rangka memantapkan kondisi sosial budaya
yang berbasiskan kearifan lokal.55
Keinginan tersebut diteruskan dengan gerakan setiap hari Kamis ada
sekitar 4000 PNS Pemkot Salatiga memakai seragam kerja batik Plumpungan
dengan berbagai corak dan motif. Apa tidak bangga kalau yang dipakai adalah
54
http://fedep.salatigakota.go.id/mengenal-lebih-lanjut-batik-plumpungan/ 55
http://www.jatengprov.go.id
batik Plumpungan buatan Salatiga dengan berbagai motif dan corak yang
menawan.56
b. Cerita Rakyat
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di
tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah pantai utara Pulau
Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Walisongo adalah era berakhirnya
dominasi Hindu Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun
peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah
secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Penamaan Salatiga tidak lepas dari peran KI Ageng Pandanaran II (
Bupati Semarang) pada masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun
sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan
diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya,
meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan, pada saat
Ki Pandan Arang II tiba disuatu daerah perdikan ditengah perjalanan dihadang
oleh rampok/begal yang berjumlah tiga orang untuk merampok bawaan istri Ki
56
http://beriman-hati.blogspot.com/2008/08/budaya-batik-plumpungan-khas-salatiga.html
Pandanaran, atas kuasa Allah SWT ketiga perampok tersebut dapat dikalahkan.
Setelah kejadian tersebut KI Pandan Arang II menamai daerah tersebut
SALATIGA (dari kata salah dan tiga) yang kelak dikemudian hari dikenal
menjadi SALATIGA, adapun perampok yang dikalahkan tersebut masuk Islam
dan menjadi murid Ki Pandan Arang kemudian mengikuti perjalanan melewati
Boyolali akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalkat di daerah Klaten.
c. Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas batas dan status Kota
Salatiga, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 Mulai 1 Juli 1917 didirikan
Stadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.
Karena dukungan faktor geografis, udara sejuk dan letak yang sangat
strategis, maka Salatiga cukup dikenal keindahannya di masa penjajahan
Belanda, bahkan sempat memperoleh julukan "Kota Salatiga yang Terindah di
Jawa Tengah".
Nama Salatiga kembali mencuat ke permukaan sewaktu digelar
perundingan segitiga antara Kasunanan Surakarta, VOC dan Raden Mas Said
atau Pangeran Sambernyawa. Perjanjian itu digelar di Kalicacing, satu desa
yang berada di wilayah Salatiga. Inilah sebabnya perjanjian ini masyhur dikenal
sebagai Perjanjian Salatiga.
Perundingan itu dipicu oleh perlawanan bersenjata Pangeran
Sambernyawa terhadap VOC maupun Kasunanan. Akhirnya, pada 17 Maret
1757, ditandatangani sebuah naskah perjanjian yang menyebutkan bahwa
Pangeran Sambernyawa berhak atas sebagian wilayah Kasunanan Surakarta.
Dari perjanjian inilah muncul Dinasti Mangkunegara dan Pangeran
Sambernyawa berhak memakai gelar Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara I.
Gelar yang sama berhak dipakai keturunan Pangeran Sambernyawa.
Pada masa kolonial, sejak pertengahan abad 19 hingga memasuki abad
20, Salatiga dikenal sebagai daerah peristirahatan bagi para pejabat pemerintah
kolonial maupun orang-orang Eropa. Tempatnya yang berada di perbukitan
dengan hawa yang sejuk memungkinkan Salatiga menjadi kawasan favorit
untuk berlibur dan beristirahat.
Status sebagai kotamadya yang kini disandang Salatiga juga sudah
muncul sejak era kolonial. Pada 1 Juli 1917, berdasar Staatsblad No. 266,
Salatiga ditetapkan sebagai Stadsgemeente (Kotamadya) Salatiga dengan daerah
yang meliputi 8 desa.
d. Zaman Kemerdekaan
Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, Salatiga pernah dijadikan salah
satu basis tentara NICA-Belanda yang berniat kembali menduduki Indonesia.
Bersama Ambarawa dan Semarang, Salatiga menjadi salah satu kawasan paling
bergejolak.
Salatiga juga menjadi salah satu titik serangan udara yang dilakukan
oleh kadet-kadet AURI pada 29 Juli 1947. Dengan menggunakan pesawat
Churen yang diterbangkan dari Maguwo, Yogyakarta, kadet AURI itu berhasil
menggelar serangan udara selama satu jam. Serangan ini memberi efek
psikologis yang strategis karena menunjukkan pada dunia internasional bahwa
kekuatan militer Indonesia masih eksis kendati baru saja diserang oleh Belanda
lewat Agresi Militer I.
Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga adalah bekas stadsgemeente yang
dibentuk berdasarkan Staatsblad 1929 No. 393 yang kemudian dicabut dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur,Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Berdasarkan amanat UU No.22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota
Salatiga
2. Jumlah Penduduk dan Agama-agama di Kota Salatiga
Jumlah penduduk Salatiga ± 100.000 jiwa, 90 % diantaranya suku Jawa.
Ada juga sedikit WNI keturunan dan suku-suku lain dari berbagai daerah di
Indonesia. Bahasa Jawa merupakan bahasa percakapan sehari-hari di kota ini,
selain Bahasa Indonesia yang umum digunakan.
Berdasarkan data BPS tahun 2012, jumlah penduduk Kota Salatiga
186.087 jiwa. Dari jumlah tersebut perbandingan jumlah penduduk tersebut
jumlah pendudk perempuan lebih besar dari jumlah penduduk laki-laki. Hal ini
ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap
perempuan) sebesar 97,68 persen. Dengan uraian jumlah penduduk perempuan 51
persen dan jumlah penduduk laki-laki 49 persen.57
Jumlah penduduk berdasarkan
jenis kelamin di Kota Salatiga selanjutnya bisa dilihat dalam tabel di bawah ini:
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2012
Umur Laki-laki Perempuan Jumlah Sex-Ratio
0-4 7.341 7.361 14.702
5-9 7.311 7.031 14.342
10-14 7.521 7.453 14.974
15-19 7.614 7.591 15.205
20-24 7.588 8.037 15.625
25-29 8.630 8.511 17.141
30-39 16.123 16.101 32.224
40-49 12.786 13.506 26.292
50-59 9.514 9.718 19.232
60+ 7.526 8.824 16.350
Jumlah
Total
91.954 94.133 186.087
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rasio jenis kelamin atau sex ratio
yaitu angka yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki dan perempuan
adalah 97,68 persen. berarti jumlah penduduk perempuan lebih besar
dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Namun jika didasarkan pada umur,
maka tidak semua tingkatan umur perempuan lebih besar dari laki-laki.
57
Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Salatiga Tahun 2012 dalam Salatiga dalam angka.
Jumlah penduduk tersebut belum menyebar secara merata diseluruh
wilayah. Umumnya penduduk berada di wilayah perkotaan. Secara rata-rata
kepadatan penduduk kota Salatiga tercatat sebesar 3.012 jiwa perkilometer
persegi. Tahun 2012 rata-rata pendudk per-rumah tangga di Kota Salatiga tercatat
sebesar 3.22 jiwa.
Jumlah penduduk Kota Salatiga selama sepuluh tahun terakhir naik dari
153.036 menjadi 171.067 pada tahun 2010. Menurut Zainudin, idealnya Kota
Salatiga bisa menekan pertumbuhan tersebut kurang dari satu persen per tahun
dengan menggalakkan kembali program Keluarga Berencana. Program tersebut
sempat tidak mendapat perhatian selama sepuluh tahun terakhir.
Hal ini menyebabkan pergeseran piramida demografi yang pada tahun
2000 masih didominasi usia 20-24 tahun dan 15-19 tahun. Namun, kini yang
tinggi adalah kelompok usia 25-29 tahun dan 20-24 tahun. Selain itu, terjadi
penambahan komposisi penduduk di usia 0-14 tahun, lebih tinggi dari 10 tahun
lalu.
3. Adat Perkawinan di Salatiga
Peristiwa perkawinan dalam urusan kerumah-tanggaan (house hold, family
meeting) di Jawa sangat diperhatikan, disamping peristiwa kelahiran kematian
bahkan juga jenjang kedewasaan. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat didambakan
kehadirannya. Terkait dengan peristiwa perkawinan, orang Jawa memiliki
keyakinan bahwa hubungan pria dan wanita diharapkan tidak melanggar
pantangan yang menimbulkan sanksi (wewaler), yaitu sanksi moral yang bila
dirasakan sangat berat. Disamping pantangan yang berkaitan dengan ‟bibt‟,
‟bebet‟, dan ‟bobot‟, yang akan diketahui setelah masing-masing pihak orang tua
calon mempelai telah tahu keadaan calon menantunya. Selain itu ada juga
pantangan lain yaitu: pertama, perkawinan antara kerabat calon suami berasala
dari generasi yang lebih muda dari calon istri, kedua, perkawinan ‟pancer wali‟
yaitu saudara sepupu sejajar dari ayah, perkawinann dengan adik istri yang
meninggal (‟ngarang wulu‟), dan umunya semua perkwinan dengan seorang
kerabat suami atau istri yang meninggal, katiga, perkawinan antara mereka yang
tidak cocok wetonnya (hari lahir menurut kalender Jawa), atau menurut
perhitungan ‟numerology‟ (petungan) Jawa yang biasanya terdapat dalam naskah
primbon (catatan yang tersimpan).58
Perkawinan ini bermula dari keinginan seseorang yang sudah menginjak
umur dewasa serta memiliki kesiapan lahir dan batin. Dalam adat Jawa seseorang
yang sudah memiliki kesiapan yang matang kemudian mengutarakan maksudnya
kepada kedua orangtuanya untuk memberikan beberapa pertimbangan terkait
dengan pilihan jodohnya. Sementara orangtua juga harus tanggap dan bijaksana
dalam memilihkan jodoh untuk anak-anaknya baik anak itu laki-laki maupun
perempuan. Sebab kesalahan dalam memilihkan jodoh bisa berakibat tidak baik
dalam rumah tangganya kelak.59
Apalagi masyarakat luas juga akan ikut
58
Arya Ronald, IR, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Tangga Jawa,
(Yogyakarta: Andi Ofset, 1997), hlm.385-390. 59
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, (Yogyakarta: Hanggar
Kreator,2008), hlm. 1-5.
menyaksikan sekaligus menilai rumah tangga (keluarga)yang mereka bangun,
karena masyarakat secara umum berkepentingan atas akibatnya.60
Dalam budaya Jawa (Salatiga) suami atau istri adalah pasangan hidup
yang biasa disebut dengan istilah garwa, yang artinya sigaraning nyawa, atau
belahan jiwa. Dalam bahasa plesetan Yogyakarta garwa dikatakan sebagai siji
sigar siji dawa, yang satu belahan yang satu panjang. Pemaknaan seperti ini
menggambarkan kesatuan garwa yang pada hakekatnya adalah kesatuan yang
diibaratkan sebagai curiga manjing warangka, keris masuk menyatu ke dalam
warangkanya.
Suami dan istri merupakan kesatuan jiwa yang manunggal dan tidak dapat
dipisah-pisahkan semenjak akad nikah diikrarkan hingga maut mencabut nyawa,
bahkan hingga kehidupan di akhirat kelak. Pasangan lelaki dan perempuan yang
telah mengikrarkan janji sehidup semati di hadapan penghulu, mestinya bisa
memahami makna dan arti dari ikrar suci tersebut. Mahligai rumah tangga
dibentuk dalam rangka mengikuti sunnah nabi dan menggapai ridla dari Allah
SWT.
Rumah tangga merupakan kesatuan suami, istri dan anak-anaknya
ataupun anggota keluarga yang lainnya. Ikatan keluarga yang harmonis
merupakan modal dasar bagi terbentuknya masyarakat, bangsa dan negara yang
tentram, rukun, guyub makmur, penuh kedamaian. Jika unsur terkecil bangsa
yang bernama keluarga tumbuh dengan harmonis, maka bangsapun akan menjadi
60
William J.Goode,The Family,Terj, Lailahanoum Hasyim, Sosiologi Keluarga,(Jakarta: Bina
Aksara, 1983), hlm. 63-64.
bangsa yang harmonis. Dan salah satu unsur yang memerankan posisi strategis
terwujudnya keharmonisan itu adalah peranan seorang istri.
Wanita adalah manusia utuh yang memiliki hak asasi yang setara
sebagaimana seorang laki-laki. Dalam bahasa lain, wanita disebut perempuan.
Perempuan memiliki akar kata empu, mandapatkan awalan pe jadilah ia
perempuan. Empu adalah seorang yang memilki kemampuan untuk
menggembleng, menempa, dan kemudian membentuk bilah keris yang memiliki
pamor dan daya kesaktian. Oleh karena itu seorang perempuan memiliki peran
untuk mencetak bibit-bibit manusia unggul yang kelak akan dilahirkan melalui
rahimnya.
Semenjak usia dini, seorang perempuan harus dipersiapkan secara khusus
untuk mengemban peran dan tugas mulianya. Ibu memiliki peran yang sangat
strategis untuk membekali dan mendidik anak perempuannya untuk kelak dapat
menjadi istri yang shalikhah dan mampu menjadi ibu yang baik dalam mendidik
anak-anak generasi penerusnya. Nah seorang perempuan yang shalikhah, yang
baik, tentu saja sudah digariskan untuk mendapatkan jodoh atau suami yang baik
pula. Lelaki yang baik, perempuan yang baik, sebaiknya pula ketika meresmikan
hubungan persuami-istrian juga dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agama dan ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Selain
itu prossi ijab dan qabul diiringi dengan adat atau tradisi yang berlaku diwilayah
tersebut.
Salatiga termasuk salah satu kota yang ada di pulau Jawa61
yang letaknya
tidak jauh dari kota Surakarta ataupun Yogjakarta. Dengan demikian adat
perkawinan ataupun pernikahan di masyarakat kota Salatiga memiliki kesamaan
dengan adat kraton Surakarta juga adat kraton Yogjakarta. Dalam prosesi
pernikahan yang kemudian diteruskan dengan proses walimahan kedua mempelai
akan memilih memakai tradisi Yogyakarta atau tradsisi Surakarta. Pilihan ini
didasarkan pada kesenangan saja.
Perkawinan adat Jawa memiliki beberapa tahapan. Biasanya seluruh
rangkaian acara perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, mencakup
a. Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan
(wakil).
b. Nglamar (meminang); Tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia
dipersunting.
c. Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cin-cin
kawin.
d. Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis
berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.
e. Pingitan ; Calon istri tidak diper4bolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40
hari sebelum perkawinan.
61
Jawa adalah suku bangasa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati seluruh
daerah jawa tengah, jawa timur dan sebagian jawa barat mereka menggunakan bahasa jawa secara
keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah tertentu. Suku bangsa jawa termasuk suku
bangsa yang telah maju kebudayaannya, karena sejak zaman dahulu mereka telah banyak mendapat
pengaruh dari berbagai kebudayaan, seperti : kedubayanan Hindu, Budha, Islam dan Eropa. Setelah
mengetahui suku bangsa di Indonesia maka sekarang penyusun akan membahas tentang salah satu suku di
Indonsia yaitu Suku jawa. http://makalahmajannaii.blogspot.com
f. Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawinan termasuk menghias rumah
dengan janur.
g. Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan
dengan selamatan.
h. Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai
orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
i. Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita.
j. Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin wanita
kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.
Suku Jawa mempunyai banyak aturan adat dan tata cara perkawinan. Adat
perkawinan pada suku Jawa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu adat pesisiran
(adat loran) dan adat pedalaman (adat kidulan). Adat perkawinan Jawa pesisiran
dipengaruhi budaya Arab dan Cina, sedangkan adat perkawinan Jawa di daerah
kidulan sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu, Buddha, dan Kejawen. Selain itu,
tata tertib, tata ras, pakaian, upacara perkawinan di kalangan suku Jawa terutama
dipengaruhi oleh adat Keraton Solo dan Yogyakarta. Hal ini disebabkan pada
masa penjajahan, kedua keraton itulah yang menjadi pusat adat dan panutan
budaya upacara. Pada masyarakat Jawa pertimbangan dalam memilih calon
menantu berdasarkan bibit, bebet, dan bobot. Pertimbangan bibit, bebet, dan
bobot merupakan dasar pertimbangan apakah si calon menantu berasal dari
keluarga baik-baik, berperangai baik, dan berada pada kondisi sosial ekonomi
keluarga yang setara. Kalau perhitungan dari segi ini telah memenuhi keinginan,
hal berikutnya yang dilakukan adalah nontoni, artinya kesempatan melihat wajah
si gadis. Apabila sudah terdapat kecocokan, keluarga pemuda mengirim utusan
untuk mengajukan lamaran dan penyerahan paningset (tanda ikatan) berupa
seperangkat pakaian terdiri atas kebaya/bahannya, kain batik, selendang, selop,
dan juga perhiasan. Upacara memberikan paningset disebut srah-srahan.
Langkah berikutnya adalah menentukan hari baik dan bulan baik dan
umumnya diserahkan kepada keluarga wanita karena sebagai penyelenggara
upacara perkawinan. Selama menunggu upacara perkawinan, si gadis harus
membatasi pergaulan dengan pria lain karena pada saat itu sudah dalam keadaan
terikat. Tiga hari menjelang upacara perkawinan, keluarga calon pengantin pria
datang ke rumah orang tua calon pengantin wanita untuk menyerahkan asak tukon
(barang-barang keperluan peralatan perkawinan). Penyerahan asok tukon ini
umumnya dilakukan bersama dengan upacara pasang tarub (tanda penutup
halaman) untuk para undangan. Pemasangan tarub dimulai dengan memasang
bleketepe, yakni semacam tirai terbuat dari anyaman daun kelapa. Yang
memasang bleketepe harus orang tua dari keluarga pengantin wanita. Upacara
pemasangan tarub hampir selalu dilakukan bersama dengan sesaji tulak udan
(sesaji untuk menolak hujan). Sementara itu, si calon pengantin wanita sejak lima
hari atau sepasar sebelum hari pernikahan sudah harus dipingit. Selama dipingit si
gadis harus berpantang terhadap makanan tertentu. Gadis itu harus minum ramuan
jamu-jamu khusus demi kebahagiaan pada malam pertamanya. Ia tidak boleh
makan umbi mentah, pisang ambon, mentimun, dan mengurangi makan pedas.
Si gadis juga harus selalu mandi dengan lulur serta mangir agar kulitnya
halus dan wangi. Selama lima hari dianjurkan agar tidak tidur sebelum pukul 12
malam dan harus bangun pagi sebelum ayam jantan berkokok. Semua dilakukan
dalam rangka tirakat agar kelak hidupnya mendapat keberuntungan dan
kemuliaan.
Sehari sebelum upacara perkawinan, pengantin wanita dimandikan dengan
air bunga (upacara siraman). Untuk mengguyur air kembang ke kepala dan tubuh
calon pengantin wanita, dipilih tujuh orang tua dari pihak keluarga wanita.
Selama menjalani upacara adat siraman, calon pengantin itu memakai kain telesan
yang dililitkan sampai sebatas dada. Malam harinya diselenggarakan upacara
selamatan yang dihadapi oleh keluarga pihak.
Wanita dan keluarga calon pengantin pria, juga tetangga terdekat. Dalam
upacara selamatan tersebut calon pengantin wanita dirias oleh juru rias manten,
yakni juru rias merangkap pimpinan upacara temu esok harinya. Selesai
selamatan diadakan upacara midodareni, di mana calon pengantin putri sudah
kelihatan cantik bagaikan bidadari, ia duduk sendirian di kursi pelaminan. Setelah
upacara midodareni selesai pemuda dan kerabat calon pengantin wanita tetap
tinggal untuk mengikuti acara lek-lekan yakni tidak tidur semalam suntuk dengan
membuat hiasan-hiasan janur. Pada hari perkawinan pagi-pagi sekali calon
pengantin wanita sudah harus mandi keramas dengan londo (air larutan merang
dan jerami), sesudah itu rambut yang masih basah diberi wewangian, lalu diasapi
dengan asap ratus (dupa wangi yang terdapat dari kemenyan dan serbuk kayu
gaharu ditambah beberapa ramuan lain). Selanjutnya calon pengantin wanita
dirias dengan diawali pemotongan rambut sinom (rambut tipis di dahi) beberapa
saat sebelum ijab kabul dilaksanakan. Pengantin pria datang diiringi oleh
kerabatnya, tetapi orang tuanya sendiri tidak boleh hadir. Orang tua pengantin
pria baru boleh hadir kalau upacara ijab kabul dan temu selesai. Ini sebagai
perlambang bahwa seorang pemuda yang berani menikah harus berani menikah
sendiri tanpa ditunggui orang tuanya. Orang tua baru hadir setelah kedua
pengantin didudukkan di pelaminan.
Upacara temu dilaksanakan di pintu masuk ruangan pelaminan.
Sebelumnya kedua pengantin dibekali dengan sadak (gulungan daun sirih yang
diikat dengan benang lawe). Sadak ini harus dilemparkan pada calon istri atau
suami pada saat mereka ketemu dalam upacara panggih. Orang Jawa percaya,
siapa yang paling dahulu melempar sadak akan dominan atau menang dalam
kehidupan rumah tangganya. Kalau yang menang pengantin putri, anak sulung
mereka mungkin sekali perempuan begitu pula sebaliknya. Pihak yang kalah
selama hidup berumah tangga kelak akan selalu mengalah terhadap pasangannya.
Pintu upacara panggih dipasang seuntai benang warna-warni yang disebut lawe.
Pengantin pria harus memotong benang itu, lalu menginjakkan kaki kanannya ke
sebuah telur ayam kampung sampai pecah dan pengantin putri berjongkok
membasuhnya dengan air kembang. Ini adalah sebagai perlambang bakti istri
dalam melayani suami. Sesudah itu, pengantin wanita berdiri mendampingi
suaminya, tangan kanan pengantin wanita menggandeng tangan kiri pengantin
pria. Saat itu pula ibu pengantin wanita menyelimuti punggung kedua pengantin
dengan kain sindur atau selindur dan memegang erat sindur itu di bahu keduanya.
Sementara itu, ayah pengantin wanita berdiri di depan ke dua pengantin. Tangan
kanan pengantin pria dan tangan kanan pengantin wanita memegang ujung beskap
sang bapak, kemudian melangkah perlahan dengan membimbing kedua pengantin
menuju kursi pelaminan. Langkah-langkah mereka diiringi oleh gending Kodok
Ngorek atau Monggang.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, barulah orang tua pengantin
pria datang. Kedatangan orang tua pengantin pria ini disebut dengan besan mertui.
Kedatangan mereka disambut kedua orang tua pengantin wanita dengan diiringi
gending Kebo Giro, yakni lagu penghormatan bagi tamu agung. Setelah mereka
duduk, dilakukan upacara sungkem dimulai dari kedua orang tua pengantin
kemudian kerabat lainnya. Di kiri dan kanan kursi pelaminan diletakkan kembar
mayang yang dibuat dari daun kelapa muda serta beberapa jenis buah-buahan. Ini
perlambang kedua mempelai adalah jejaka dan gadis. Sebelum memasuki ke
peraduan ayah pengantin wanita memberikan keris pertanda pengakuan sebagai
anggota kerabat dari keluarga pihak wanita diberikan kepada pengantin pria.
Keris yang dinamakan kancing gelung itu merupakan tanda ikatan batin antara
mertua dan menantu, tetapi jika kelak terjadi perceraian si menantu berkewajiban
mengembalikan keris itu kepada mertuanya.
Hari kelima setelah upacara perkawinan dilakukan upacara boyongan,
pengantin pria membawa istrinya ke rumah orang tuanya. Sebelum boyongan
dilaksanakan, pihak keluarga wanita membuat jenang sumsum yang harus
dimakan semua orang yang ikut aktif dalam penyelenggaraan upacara itu.
Menurut kepercayaan orang Jawa, jenang sumsum ini dapat menghilangkan rasa
lelah dan letih akibat pekerjaan yang mereka lakukan. Sementara itu, di rumah
orang tua pengantin pria diselenggarakan persiapan ngunduh mantu, suatu
upacara yang mirip resepsi pengantin masa kini. Upacara ngunduh mantu tidak
selengkap upacara perkawinan, karena tujuan utamanya hanyalah
memperkenalkan kedua pengantin kepada pada tetangga di lingkungan pengantin
pria.62
Tradisi walimatul ursy di wilayah kota Salatiga dan sekitarnya sekarang
ini memadukan tradisi Jawa dan juga tradisi agama. Bagi keluarga yang memeluk
agama Islam memasukkan tradisi keislamannya mulai pra resepsi, misalnya
mengundang tetangga dalam acara pengajian dengan bersama-sama membaca
doa, tahlil untuk para arwah yang sudah mendahului menghadap Allah SWT.
Bahkan dalam acara resepsi ada mauidlah hasanah dari kyai atau tokoh agama
yang kemudian mengupas hak dan kewajiban suami istri dalam perspektif Islam.
Dalam ceramahnya tersebut hampir semua kyai mengatakan ketaatan mutlak para
istri terhadap suami dengan mengambil beberapa hadis dan cerita-cerita yang
cenderung memojokkan kaum perempuan (istri). Nasehat dari para kyai ini sangat
sesuai dengan budaya Jawa (Salatiga) yang kental dengan kebudayaan patriarkis.
Masyarakat Jawa(Salatiga) merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-
pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan
peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Bahkan hampir setiap
ada walimah bapak kyai tidak lupa untuk mengibaratkan status perempuan dalam
rumah tangga dengan istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah
teman di dapur maupun di tempat tidur. Istilah itu akan mewarnai kehidupan
perkawinan pasutri Jawa. Istilah swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke
62
http://www.artikelbagus.com
neraka pun turut), perempuan diharapkan menjadi seseorang yang bersikap
lembut, rela menderita, dan setia. Perempuan diharapkan dapat menerima segala
sesuatu bahkan sepahit apapun. Selain itu, konsep swarga nunut, neraka katut
menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. Istilah-
istilah tersebut menggambarkan bahwa perempuan harus menurut terhadap laki -
laki.
Selain istilah konco wingking, terdapat pula istilah Sigaring Nyawa
(Belahan Jiwa). Istilah Sigaring Nyawa lebih memiliki makna bahwa laki – laki
dan perempuan memiliki peranan yang sama, laki-laki dan perempuan dua
mahluk hidup yang saling melengkapi dan menyempurnakan rumahtangga. Istilah
terebut menggambarkan kesejajaran yang lebih egaliter di kalangan perempuan
Jawa.
Istilah Konco Wingking dan Sigaring Nyawa, pada prinsipnya menjadikan
wanita menjadi pribadi yang berkuasa. Tapi, jika menilik dari dua pandangan
yang berbeda atara peranan wanita yang sekedar sebagai teman di dapur dan di
tempat tidur dan sebagai manajer rumahtangga, membuat perempuan tidak
memiliki otoritas pribadi terhadap laki-laki maupun dalam rumah tangga, terlebih
jika melihat konsep Suargo nunut neraka katut.
B. Optimalisasi KUA Terhadap Maraknya Illegal Wedding
1. KUA Kecamatan Tingkir
Pernikahan sirri adalah merupakan pernikahan yang memenuhi syarat dan
rukun nikah akan tetapi tidak dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah
(P2N). Respon KUA Kecamatan Tingkir terhadap terjadinya illegal wedding atau
nikah yang tidak dicatatkan adalah tidak mendukung dan bahkan tidak mengakui
terjadinya pernikahan tersebut. Hal ini kami simpulkan dari contoh kasus yang
terjadi di desa Tingkir Lor. Ada calon pengantin yang segera ingin melaksanakan
akad nikah di KUA, akan tetapi tiba-tiba wali (ayah kandung) meninggal dunia.
Atas dasar musyawarah keluarga akhirya pasangan calon pengantin tersebut
melaksanakan akad nikah dihadapan jenazah bapaknya dengan wali nikah kakak
kandungnya. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan dalam tradisi Jawa bahwa
jika ada calon pengantin yang berniat menikah tiba-tiba bapaknya meninggal
dunia maka akad nikah tersebut harus dilakukan satu tahun kemudian.
Salah seorang bapak kyai meminta kepada kepala KUA Kecamatan
Tingkir untuk menyaksikan pernikahan tersebut atau menjadi saksi dalam akad
nikah. Akan tetapi kepala KUA menolaknya. Hal ini dilakukan karena peristiwa
akad nikah tersebut menyalahi prosedur pernikahan yang berlaku di lembaga
perkawinan di Indonesia, karena tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan
dengan berat hati kepala KUA Kecamatan Tingkir tersebut tidak hadir dalam
upacara pemakaman. Menurutnya kehadiran kepala KUA dalam peristiwa
tersebut bisa bermakna menyetujui terjadinya illegal wedding, dan hal ini
bertentangan dengan UU No I Tahun 1974. walaupun takziyah di sini lepas dari
tugas kantor akan tetapi tugas sebagai kepala KUA tidak pernah lepas walau
sedang ada di luar kantor. Menurutnya kepala KUA merupakan tugas yang
melekat dalam dirinya di mana saja beliau berada.
Selang beberapa hari dari peristiwa akad nikah tersebut kemudian
keluarganya datang ke KUA Kecamatan Tingkir untuk mencatatkannya. Akan
tetapi KUA Kecamatan Tingkir tidak mau mencatatnya. KUA hanya mau
mencatatnya jika pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku
dengan melalui proses yang telah ditentukan oleh lembaga KUA. Kemudian pihak
keluarga bertanya kepada KUA tentang keabsahan pernikahan yang telah
dilakukan. Karena KUA tidak menyaksikan dan juga tidak tahu tentang peristiwa
tersebut maka KUA tidak memberikan kepastian hukumnya apakah pernikahan
tersebut sah atau tidak sah di hadapan hukum.
Kasus lain yang diketahui langsung oleh kepala KUA Kecamatan Tingkir
adalah yang terjadi di kelurahan Sidorejo Kidul. Ada calon pengantin yang akan
melangsungkan akad nikah. Karena walinya beda agama maka yang menjadi wali
adalah wali hakim. Dalam perspektif KUA walinya tersebut tidak jelas karena
tidak didasarkan pada keputusan Pengadilan Agama Kota Salatiga, dan juga tidak
mendaftarkan ke KUA maka walaupun tetangga dekat bapak Kepala KUA tidak
mau memberikan pertimbangan akan rencana pernikahan tersebut. Pada suatu hari
keluarga yang datang ke rumah kepala KUA untuk minta pertimbangan akan
tetapi tetap saja tidak mau memberikan pertimbangan. Akhirnya rencana
pernikahan tersebut tidak jadi berlangsung.
Dalam pandangan KUA jika ada kasus pernikahan yang tidak dicatakan
biasanya yang mau menikahkan adalah para kyai lokal (yang dianggap kyai oleh
wilayah tersebut). Menurutnya ada beberapa motivasi mengapa kyai tersebut mau
menikahkan antara lain motif ekonomi. Menurut kepala KUA pernikahan tidak
dicatatkan merupakan salah satu sawah ladang bagi mereka. Hal ini tidak akan
dilakukan oleh para kyai yang populer di luar lingkungannya.
Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh KUA dalam menanggulangi
maraknya pernikahan yang tidak dicatatkan atau illegal wedding adalah; pertama,
dengan memberikan pengarahan kepada para Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
(Modin) untuk tidak mau menikahkan atau menolak masyarakat jika tidak
memenuhi syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh KUA.
Kedua, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya
pencatatan pernikahan di Indonesia.
Ketiga, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang implikasi
negatif terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga KUA.
Keempat, memberikan peringatan tegas kepada para Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (modin) jika menghadiri atau bahkan menikahkan masyarakat
dengan tidak mencatatkan ke lembaga KUA.
Dalam perspektif kepala KUA Kecamatan Tingkir pernikahan massal
yang sering dilakukan oleh lembaga kemenag atau mungkin juga masyarakat
bekerjasama dengan lembaga KUA bukan merupakan solusi tepat dalam
menanggulangi maraknya pernikahan tidak dicatatkan. Karena yang berhak
memberikan kepastian hukum (dengan keluarnya akta nikah) terhadap pelaku
pernikahan yang tidak dicatatkan adalah Pengadilan Agama dengan melalui
sidang itsbat yang diajukan oleh kedua pasangan tersebut. Mengingat
ketidakefektifan kegiatan tersebut maka KUA Kecamatan Tingkir belum pernah
mengadakan pernikahan massal.
Ada beberapa hal yang mendorong untuk melakukan pencegahan illegal
wedding di Kecamatan Tingkir antara lain: pertama, peran aktif para stakeholder
dengan memiliki perspektif yang sama utamanya para kyai yang memandang
urgensinya pencatatan nikah di lembaga KUA. Hal ini dilahat dari praktik yang
terjadi di masyarakat. Walaupun mereka sudah melakukan illegal wedding
ternyata ketika melakukan proses akad nikah di KUA kedua pasangan tersebut
tidak boleh duduk saling berdekatan. Sikap ini mengisyaratkan bahwa illegal
wedding merupakan proses pernikahan yang belum sempurna.
Kedua, jarak geografis antara kantor KUA dengan masyarakat sangat
dekat, sehingga mudah terjangkau.
Ketiga, terhadap kasus illegal wedding yang kurang memenuhi syarat
adminstrasi pihak KUA segera menyarankan untuk lapor ke Pengadilan Agama
Kota Salatiga untuk minta dispensasi.
Keempat, Kyi atau tokoh masyarakat selalu mengadakan komunikasi
dengan pihak KUA, kebetulan kepala KUA cukup memiliki hubungan dekat
dengan para kyai yang bertempat tinggal di Kecamatan Tingkir.
Sedangkan hambatan-hambatan dalam menanggulangi maraknya illegal
weddingillegal wedding yang terjadi di wilayah Tingkir antara lain: kompleksnya
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sedangkan pihak KUA sendiri tidak
bisa melayani proses pernikahan dengan jalan cepat dan pintas. Selanjutnya
minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan nikah di KUA.
Adapun sanksi yang berikan oleh KUA Kecamatan Tingkir jika ada P3N
atau modin yang membantu terlaksananya illegal wedding:menganggap bahwa
P3N sudah mencoreng nama baik dirinya sendiri sehingga mereka memiliki cacat
secara hukum. Karena sudah melemahkan eksistensi dan menciderai PPN. Dalam
hal ini KUA hanya bisa menegur dan memberi peringatan.
Sedangkan sanksi yang berlaku di masyarakat terhadap pelaku illegal
wedding dalam perspekti KUA Kecamatan Tinggkir antara lain, menganggap
bahwa pernikahan mereka cacat hukum, pernikahan yang bermasalah, atau
pernikahan yang berkonotasi negatif.
KUA kecamatan Tingkir setuju dengan rencana pemidanaan bagi pelaku
illegal wedding dalam RUU HMPA, dengan harapan masyarakat merasa takut
dan juga jera terhadap pelaksanaan perkawinan sirri (illegal wedding).
2. KUA Kecamatan Sidomukti
Illegal wedding atau nikah sirri menurut kepala KUA Kecamatan
Sidomukti adalah perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA dan juga tidak
memenuhi syarat-syarat dan rukun pernikahan. Pandangan ini berawal dari
peristiwa yang terjadi di masyarakat secara umum. Masyarakat berpendapat
bahwa semua bentuk pernikahan yang tidak dicatatkan ke KUA dikatakan nikah
sirri tanpa harus mengamati apakah perkawinan tersebut sesuai dengan hukum
Islam atau tidak. Sebagaimana yang terjadi di Desa Jetak. Masyarakat di desa ini
melakukan perkawinan secara sirri hanya dengan mengundang masyarakat
disekitar tempat tinggal untuk menyaksikan. Perkawinan itu berlangsung hanya
dengan selamatan tumpengan. Tumpengan tersebut kemudian dimakan bersama
oleh masyarakat. Kedua calon pengantin hadir dalam pertemuan tersebut. Hanya
dengan peristiwa tersebut kedua calon pengantin selanjutnya sah sebagai
pasangan suami istri tanpa ada akad atau ijab qabul, juga tidak ada wali. Menurut
Kepala KUA Kecamatan Sidomukti peristiwa tersebut jelas tidak sesuai dengan
hukum Islam dan juga hukum positif di Indonesia. Untuk mengantisipasi
berulangnya persitiwa tersebut Kepala KUA Sidomukti selalu mengadakan
penyuluhan dalam bentuk pengajian rutin setiap malam Jum‟at kliwon.
Ada juga masyarakat yang melangsungkan perkawinan sirri dengan
memenuhi syarat dan rukun pernikahan seperti yang dilakukan oleh keluarga
dekat kepala KUA tersebut. Biasanya perkawinan sirri dilakukan dengan tujuan
agar kedua calon pengantin tersebut halal dalam pergaulan walau hanya sekedar
memandang dan bercengkarama. Karena setelah perkawinan sirri tersebut meraka
tidak diharuskan tidur dan tinggal bersama dalam satu rumah. Terhadap peristiwa
tersebut kepala KUA tidak mau menyaksikan dan juga tidak mau mengahdiri
walau itu saudaranya. Karena menurutnya tetap tidak sesuai dengan proses yang
berlaku di lembaga KUA.
Dia berpendapat bahwa jika ada masyarakat yang melakukan perkawinan
sirri karena tidak memiliki biaya untuk melangsungkannya di KUA sebetulnya itu
tidak mungkin karena pada dasarnya biayanya sangat murah hanya Rp. 30.000.
oleh karena itu KUA Kecamatan Sidomukti bekerjasama dengan para modin yang
ada di wilayahnya untuk mengantisipasinya dengan menguruskan ke KUA dan
biaya ditanggung oleh Kepala KUA Sidomukti secara pribadi. Sehinngga tidak
harus dimiskinkan. Begitu juga biaya operasional bapak modin yang
menguruskan calon penganten ditukar juga oleh kantong pribadi kepala KUA
Kecamatan Sidomukti.
Selain usaha-usaha tersebut Kepala KUA Sidomukti bekerjasama dengan
para penyuluh untuk menyampaikan pentingnya pencatatan perkawinan di KUA
dan implikasi negatif bagi perkawinan yang tidak dicatatkan. Menurutnya
perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki dampak negatif terutama terhadap
anak dan perempuan. Kasihan anak-anaknya ketika harus masuk sekolah harus
menyertakan akte kelahiran yang dalam akte tersebut nama ayahnya tidak
tercantum. Selain itu juga ketika anaknya akan melangsungkan perkawinan akan
mengalami kendala dalam administrasi juga dalam menentukan wali jika
kebetulan anaknya perempuan. Hal ini akan membawa dampak psikologis bagi
anaknya dan mempertanyakan kenapa anak tersebut tidak memiliki wali.
Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Sidomukti dalam
menanggulangui maraknya illegal wedding dengan mengadakan pernikahan
secara massal. Hal ini dilakukan bukan untuk mecatat pernikahan yang sudah
dilakukan akan tetapi untuk memberikan kemudahan proses perkawinan di KUA
sehingga proses akad nikah tersebut bisa tercatat di KUA. Jika ada peserta
pernikahan massal yang sudah melakukan akad nikah secara illegal, KUA
Kecamatan Sidomukti tidak menganggap bahwa akad itu sudah terjadi sehingga
proses akad nikah tersebut tetap dilakukan di hadapan PPN.
Dalam rangka mengantisipasi terjadinya nikah di bawah tangan (nikah
sirri) dengan alasan kurang mampu, Kemenag Kota Salatiga memiliki program
pernikahan massal. Pada tahun 2011 sedikitnya tujuh pasang suami istri
mengikuti nikah massal yang diselenggarakan Kantor Kementerian Agama
(Kemenag) Salatiga.. Tujuh pasang itu semuanya warga Salatiga masing-masing
pasangan Sularso Warno/Rusiyam, Jumanto/Kasinem, Gangsar Widodo/Sriyani,
Suratin/Suprihatin, Prayitno Gimin/Sumiyati, Yani Setiawan/Tri Wahyuni, dan
Slamet/Tugiyem.
Tidak hanya ijab qabul saja, akan tetapi dilakukan pula resepsi pernikahan.
Resepsi pernikahan dilakukan di Gedung Pertemuan Daerah (GPD). Sebelum
resepsi, dilakukan akad nikah di KUA Sidomukti dengan penghulu Kepala KUA
Sidomukti M Miftah SAg. Kemudian para mempelai dikumpulkan di Kantor
Kemenag Jalan Diponegoro dan diarak menuju GPD menggunakan dokar. Di
GPD mereka disambut marching band MI Al Maarif Pulutan dan kelompok
rebana Graha Mustika Soka.63
Acara ini dilaksanakan dalam rangka menghindari berbagai praktik nikah
”di bawah tangan” yang akan merugikan kedua pasangan. Menurutnya,
pernikahan yang dilakukan tanpa melalui Kantor Urusan Agama itu, nantinya
juga akan merugikan anak dari hasil pernikahan, karena kelak tidak akan berhak
atas warisan keluarga karena faktor keabsahan administrasi. Pasangan yang ikut
dalam program nikah massal itu, dibantu pengurusan administrasi seperti surat
nikah, kartu keluarga dan bebas biaya.
63
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2011/07/28/154045
Sebetulnya banyak yang mendaftar untuk pernikahan masal ini akan tetapi
banyak yang tidak lolos secara administrasi. Misalnya mereka yang pisah
dengan suami/istri lama tetapi tidak dilengkapi surat cerai. Kebanyakan pasangan
yang mengikuti nikah massal ini umunya telah lama hidup serumah karena nikah
siri (di bawah tangan). Usii terendah 29 tahun dan tertinggi 59 tahun.
Salah satu peserta nikah massal, Slamet (59) yang berpasangan dengan
Tugiyem mengaku senang akhirnya bisa menikah. Pria warga Klaseman yang
mengaku buruh ini menikah lagi karena istri terdahulunya meninggal. (H32, H53-
72)
3. KUA Kecamatan Sidorejo
Kepala KUA Sidorejo (bapak Munib, S. Pdi) mengatakan bahwa illegal
wedding atau nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan ke
pegawai pencatat nikah di KUA. Walaupun syarat dan rukunnya terpenuhi namun
sebetulnya keabsahannya patut diragukan. Keraguan tentang keabsahan ini
dikarenakan beberapa kemungkinan. Selain karena pernikahannya penuh masalah,
proses dan ketentuan rukunnya belum tentu benar. Misalnya saja ada kasus
pernikahan sirri yang menjadi walinya bukan ayah kandung atau saudara yang
boleh menjadi wali. Biasanya praktik pernikahan semacam ini terjadi hanya yang
penting ada wali. Padahal wali yang bukan ayah kandung atau Saudara yang
berhak menjadi wali harus ada ucapan tauqil atau ditauqilkan dari wali kepada
wali hakim. Sedangkan kebanyakan praktik pernikahan sirri tidak demikian. Atau
juga mungkin terjadi wali ayah kandung akan tetapi sebetulnya ayah tersebut
bukan ayah kandungnya. Hal ini bisa terjadi karena ada kemungkinan waktu
ayahnya (wali dari perempuan) menikah calon istrinya sudah hamil dan lahir
sebelum usia pernikahan genap enam bulan sudah lahir anak. Kasus-kasus seperti
mungkin saja terjadi. Maka menjadi sangat penting foto copy akte nikah orangtua
calon penganten untuk dijadikan salah satu syarat administrasi. sedangkan dalam
pernikahan sirri syarat administrasi tersebut sama sekali tidak diperhatikan.
Selain keabsahannya diragukan illegal wedding atau nikah sirri sangat
merugikan perempuan juga anak. Bapak Munib mencontohkan, seandainya ada
seorang perempuan yang dinikah secara sirri, tiba-tiba suaminya pergi dan tidak
pernah kembali, padahal perempuan tersebut juga belum diceraikan oleh suami.
Dalam kondisi seperti ini maka status perempuan tidak jelas alias gantung. Secara
syar‟i perempuan tersebut masih berstatus memiliki suami akan tetapi tidak
pernah pulang. Jika ingin mengajukan cerai ke pengadilan agama juga tidak bisa.
Sehingga mau menikah dengan laki-laki lain secara syar‟i juga tidak bisa.
Sementara anaknya juga tidak bisa menuntut untuk memiliki ayah kandung.
Dalam masalah mawaris, jika suaminya meninggal istri ataupun anaknya
juga tidak bisa menuntut hak waris. Jika kebetulan ketemu dengan keluarga yang
serakah, dan menang sendiri.
Sudah sepatutnya KUA bekerjasama dengan modin dan juga masyarakat
mengantisipasi terjadinya nikah sirri. Jika ada kyai atau tokoh masyarakat yang
mau menikahkan secara sirri dengan alasan menolong sebetulnya yang terjadi
malah sebaliknya. Orang Jawa bilang jane nulung ning malah menthung. Karena
nikah sirri tidaj ada manfaatnya bahkan cenderung banyak madharatnya.
Pernikahan sirri atau illegal wedding semacam ini bisa saja terjadi karena
beberapa faktor, antara lain: pertama, karena tidak mampu membayar biaya
pernikahan. Walaupun sebenarnya hanya membayar ke pihak KUA Rp. 30.000,
akan tetapi memang pada praktinya tidak semudah itu. Tetapi memang benar
kalau yang masuk ke KUA hanya Rp. 30.000.
Kedua, masyarakat kurang tahu prosedur atau tata cara pendaftaran
pernikahan di KUA. Sehingga masyarakat merasa keberatan dalam mengurus
adminstrasi yang dimulai dari RT, RW, Modin, Kelurahan, Kecamatan. Sangat
mungkin ada pihak-pihak tertentu yang meminta uang jasa, walaupun masih
dalam batas yang wajar.
Ketiga, masalah waktu, misalnya ada masyarakat yang sudah
mendaftarkan ke KUA tetapi waktu pelaksanaannya masih lama karena sesuatu
hal. Dalam waktu menunggu tersebut pasangan calon penganten melaksanakan
nikah sirri. Atau juga sebaliknya waktu pelaksanaan nikah sudah sangat mepet
sedangkan proses pendaftaran di KUA belum selesai.
Jika ada masyarakat yang sudah melakukan pernikahan secara sirri dan
kemudian ingin mencatatkan ke KUA, kepala KUA Kecamatan Sidorejo tetap
tidak bisa mengakui, KUA hanya akan bersedia mencatat jika sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Kedua pasangan tersebut harus melakukan pernikahan
yang memenuhi syarat dan rukun baik secara administrasi maupun syari‟ah dan
harus diijabqabulkan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) alias KUA.
Dalam rangka mengantisipasi terjadinya illegal wedding atau pernikahan
sirri KUA Kecamatan Sidorejo melakukan beberapa usaha antara lain dengan
mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya atau kerugian-
kerugian yang akan terjadi akibat dari pernikahan sirri. Selain itu KUA Sidorejo
akan memberikan sanksi kepada modin jika menikahkan secara sirri.
Jika Kemenag Kota Salatiga pernah mengadakan pernikahan massal dalam
rangka mengantisipasi terjadinya nikah sirri, maka KUA Kecamatan Sidorejo
cukup mendukung. Hanya saja menurut kami nikah masal kurang efektif.
Masyarakat juga kurang menyambut antusias. Terbukti tiga bulan diumumkan,
akan tetapi yang mendaftarkan hanya 4 pasang suami istri yang mendaftar dari
kecamatan Argomulyo sedangkan ada satu pasang suami istri dari kecamatan
Sidorejo. Masyarakat merasa malu juga gengsi mengikuti nikah massal.
Menurut pengakuan kepala KUA kecamatan Sidorejo bahwa di
wilayahnya tidak ada masyarakat yang melaksanakan pernikahan secara sirri.
serta tidak ada juga tokoh masyarakat atau tokoh agama yang berani menikahkan
secara sirri. Sehingga tidak ada hambatan yang berarti dalam mencegah terjadinya
pernikahan secara sirri.
4. KUA Kecamatan Argomulyo
KUA kecamatan Argomulya bependapat bahwa pernikahan sirri
meskipun dalam pandangan Islam adalah sah, karena telah terpenuhi syarat dan
rukunnya, akan tetapi menyalahi undang-undang hukum perkawinan. Sehingga
pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga jika terjadi
perselisihan dalam rumah tangga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Selain
problem hukum, akan muncul juga problem sosial. Karena mereka tidak
memiliki akte nikah dan kebanyakan kasus yang terjadi karena biasanya
merupakan pernikahan yang kedua alias poligami, maka pasangan ini merasa
tidak memiliki kepercayaan diri dalam bergaul di masyarakat. Mereka cenderung
menutup diri terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Karena pernikahan yang dirahasiakan tersebut muncul juga kekhawatiran
yang lain misalnya kekhawatiran akan terjadinya perkawinan seayah karena di
antara anak-anak hasil nikah siri tersebut sangat besar kemungkinan tidak saling
mengenal antara satu dengan lainnya, sehingga nikah satu darah memungkinkan
bisa terjadi. Jika hal ini terjadi, maka tentu akan sangat bertentangan dengan
hukum perkawinan Islam.
Ada beberapa faktor terjadinya pernikahan sirri ini menurut Muhammad
Miftah selaku PLT KUA Kecamatan Argomulyo adalah:
Pertama, isteri nikah sirri bukan isteri yang pertama melainkan isteri
yang kedua bahkan ketiga atau ke empat. Meskipun dalam pandangan Islam
diperbolehkan - tapi dalam pandangan masyarakat masih dianggap sebagai aib,
sehingga baik isteri maupun suami cenderung untuk merahasiakan.
Kedua, untuk menghalalkan hubungan (bukan hubungan suami istri)
walau sebatas memandang dan bercengkerama, biasanya pernikahan seperti ini
dilakukan saat khitbah.
Ketiga, status pasangan tidak jelas, misalnya ada pasangan yang mau
nikah tetapi mereka sebetulnya masih punya suami atau istri, tapi sudah pisah dan
belum diajukan ke pengadilan agama.
Keempat, ruju‟ diluar waktu iddah. Masyarakat yang melakukan secara
sirri kemudian ingin kembali kepada istrinya lagi. karena dilakukan pada waktu
masa iddah sudah habis maka mereka melakukan nikah kembali secara sirri.
Kelima, masih banyaknya masyarakat yang masih awam tentang hukum
dan juga prosedur pernikahan di KUA.
Mengingat begitu rumitnya konsekuensi hukum yang dihadapi apa bila
keluarga pernikahan sirri terjadi perselisihan, maka Kantor Urusan Agama KUA
kecamatan Argomulyo bertekad untuk melakukan pencegahan-pencegahan
terjadinya pernikahan sirri di masyarakat dengan melakukan langkah-langkah
sebagai berikut ;
Penyuluhan hukum perkawinan di Indonesia kepada para Lurah, para
pengasuh majelis taklim, ustadz dan para kyai.
Mensosialisasikan pentingnya pencatatan pernikahan dan juga resitensi
dan bahaya akibat pernikahan yang tidak dicacatkan atau pernikahan sirri.
Walaupun pihak KUA sudah berusaha untuk menanggulangi terjadinya
illegal wedding atau nikah sirri akan tetapi tetap menemui hambatan-hambatan
antara lain:
1. Keterbatasan waktu dan sumber daya manusia. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Kepala KUA Kecamatan Argomulyo dan tergambar dalam tugas dan
peran KUA Kecamatan Argomulyo serta penjabarannya dalam bentuk
program kerja, maka banyak kegiatan yang harus dilakukan oleh KUA.
Sehingga waktu sudah banyak tersita untuk melaksanakan kegiatan rutinitas
KUA tersebut.
2. Keterbatasan anggaran. Kegiatan penyuluhan penanggulangan terjadinya nikah
sirri, tidak termasuk daftar kegiatan yang diusulkan oleh kementerian Agama
Kota Salatiga, yang dibiayai oleh DIPA. Dampaknya adalah kegiatan ini tidak
dapat dilaksanakan secara terprogram dan dengan dana tersendiri.
3. Tidak adanya keterbukaan masyarakat. Para pelaku nikah sirri cenderung
untuk menutup-nutupi pernikahan mereka. Kurangnya Wawasan Para Tokoh
Agama.
4. Inisiatif pelaksanaan nikah sirri sering datang dari para tokoh Agama seperti
ustadz, Kyai dan bahkan mereka termasuk pelaku. Menurut Muhammad
Miftah, PLT Kantor Urusan Agama kecamatan Argomulyo bahwa hal ini
terjadi karena masih banyak para Ustadz dan Kyai yang memiliki paham
keagamaan ( Islam ) secara tekstual berdasarkan literatur-literatur kitab
kuning, khususnya kitab-kitab fiqih yang mereka baca, tanpa disertai
membaca literatur yang lain, terutama perundang-undangan yang terkait
dengan perkawinan. Sekalipun membaca, mereka akan mengabaikannya
karena menurutnya bertentangan dengan hukum agama. Di samping itu
mereka tidak menyadari adanya dampak hukum kedepannya bagi para pelaku
nikah sirri, terutama istri dan anak-anak mereka. Mereka para pengambil
inisiatif pelaksanaan nikah sirri, karena dari kalangan tokoh Agama dan
terpandang dimasyarakat, menjadi panutan masyarakat terutama dalam
bidang agama, maka hal ini tentu akan menjadi batu sandungan tersendiri bagi
KUA Kecamatan Argomulyo dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya
nikah sirri.
Sebagaimana sudah dijelaskan di muka bahwa pelaksanaan nikah sirri
walaupun secara agama atau dalam pendangan hukum fiqih tidak ada yang
dilanggar, karena syarat rukun sebagaimana yang ditetapkan oleh para fuqaha
telah terpenuhi. Akan tetapi dalam kapasitasnya sebagai warga negara Indonesia,
pelaksanaan nikah sirri melanggar undang-undang. Namun demikian, baik dalam
dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum
Islam ( KHI ) tidak ada pasal yang mengatur tentang sangsi pidana bagi pelaku
nikah sirri dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Sehingga sampai saat ini
pelaku nikah sirri dang orang-orang yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak
bisa ditindak secara pidana. Meskipun demikian secara sosial pelaku nikah sirri
secara tidak langsung akan mendapat sangsi sosial, baik dari pihak suami atau
isteri. Pemberian sangsi sosial ini dapat dipahami bahwa nikah sirri kebanyakan
terjadi pada pernikahan kedua dan seterusnya bagi suami. Dalam masyarakat
seorang lelaki yang memiliki lebih dari seorang isteri masih menjadi aib di
masyarakat. Demikian juga bagi wanita yang menjadi istri kedua dan seterusnya
juga merupakan aib di masyarakat. Masyarakat menganggap pelaku nikah sirri
karena poligami merusak rumah tangga orang atau merebut suami orang lain.
Mengingat banyaknya madlarat yang ditimbulkan dari pelaksanaan nikah
sirri dan di dalamnya ada pelanggaran hak wanita, maka Kepala KUA
Kecamatan Argomulyo mendukung rencana undang-undang yang mengatur
pemberian sangsi pidana bagi pelaku nikah sirri dan pihak-pihak yang terlibat.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Respon KUA Terhadap Praktik Illegal Wedding di Kota Salatiga
Kota Salatiga merupakan wilayah yang hanya memiliki empat Kecamatan,
sehingga hanya memiliki empat KUA. yaitu KUA Kecamatan Argomulyo, Tingkir,
Sidorejo dan Sidomukti. Keempat KUA yang ada di Kota Salatiga memiliki
masyarakat yang agak berbeda dalam memahami makna nikah sirri. Mengingat
tingkat pendidikan terutama pengetahuan mereka tentang agama berbeda pula. KUA
Kecamatan Sidomukti misalnya, masyarakatnya memiliki tradisi yang unik dalam
melaksanakan penikahan secara sirri.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala KUA Kecamatan Sidomukti nikah
sirri bisa memiliki makna perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA dan juga tidak
memenuhi syarat-syarat dan rukun pernikahan. Pandangan ini berawal dari peristiwa
yang terjadi di masyarakat secara umum. Masyarakat berpendapat bahwa semua
bentuk pernikahan yang tidak dicatatkan ke KUA dikatakan nikah sirri tanpa harus
mengamati apakah perkawinan tersebut sesuai dengan hukum Islam atau tidak.
Sebagaimana yang terjadi di Desa Jetak. Masyarakat di desa ini melakukan
perkawinan secara sirri hanya dengan mengundang masyarakat disekitar tempat
tinggal untuk menyaksikan. Perkawinan itu berlangsung hanya dengan selamatan
tumpengan. Tumpengan tersebut kemudian dimakan bersama oleh masyarakat. Kedua
calon pengantin hadir dalam pertemuan tersebut. Hanya dengan peristiwa tersebut
kedua calon pengantin selanjutnya masyarakat menganggapnya sah sebagai pasangan
suami istri tanpa ada akad atau ijab qabul, juga tidak ada wali. Menurut Kepala KUA
Kecamatan Sidomukti peristiwa tersebut jelas tidak sesuai dengan hukum Islam dan
juga hukum positif di Indonesia.
Sedangkan KUA Kecamatan Argomulyo berpendapat bahwa pernikahan
sirri meskipun dalam pandangan Islam adalah sah, karena telah terpenuhi syarat
dan rukunnya, akan tetapi menyalahi undang-undang hukum perkawinan. Sehingga
pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga jika terjadi
perselisihan dalam rumah tangga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Selain
problem hukum, akan muncul juga problem sosial. Karena mereka tidak memiliki
akte nikah dan kebanyakan kasus yang terjadi karena biasanya merupakan pernikahan
yang kedua alias poligami, maka pasangan ini merasa tidak memiliki kepercayaan diri
dalam bergaul di masyarakat. Mereka cenderung menutup diri terhadap kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan.
Kepala KUA Sidorejo (bapak Munib, S. Pdi) mengatakan bahwa illegal
wedding atau nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan ke pegawai
pencatat nikah di KUA. Walaupun syarat dan rukunnya terpenuhi namun sebetulnya
keabsahannya patut diragukan. Keraguan tentang keabsahan ini dikarenakan
beberapa kemungkinan. Selain karena pernikahannya penuh masalah, proses dan
ketentuan rukunnya belum tentu benar. Misalnya saja ada kasus pernikahan sirri yang
menjadi walinya bukan ayah kandung atau saudara yang boleh menjadi wali.
Biasanya praktik pernikahan semacam ini terjadi hanya yang penting ada wali.
Padahal wali yang bukan ayah kandung atau Saudara yang berhak menjadi wali harus
ada ucapan tauqil atau ditauqilkan dari wali kepada wali hakim. Sedangkan
kebanyakan praktik pernikahan sirri tidak demikian. Atau juga mungkin terjadi wali
ayah kandung akan tetapi sebetulnya ayah tersebut bukan ayah kandungnya. Hal ini
bisa terjadi karena ada kemungkinan waktu ayahnya (wali dari perempuan) menikah
calon istrinya sudah hamil dan lahir sebelum usia pernikahan genap enam bulan
sudah lahir anak. Kasus-kasus seperti mungkin saja terjadi. Maka menjadi sangat
penting foto copy akte nikah orangtua calon penganten untuk dijadikan salah satu
syarat administrasi. sedangkan dalam pernikahan sirri syarat administrasi tersebut
sama sekali tidak diperhatikan.
KUA Kecamatan Tingkir berpendapat bahwa pernikahan sirri adalah
merupakan pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi tidak
dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (P2N). Respon KUA Kecamatan
Tingkir terhadap terjadinya illegal wedding atau nikah yang tidak dicatatkan
adalah tidak mendukung dan bahkan tidak mengakui terjadinya pernikahan
tersebut. Salah seorang bapak kyai meminta kepada kepala KUA Kecamatan
Tingkir untuk menyaksikan pernikahan tersebut atau menjadi saksi dalam akad
nikah. Akan tetapi kepala KUA menolaknya. Hal ini dilakukan karena peristiwa
akad nikah tersebut menyalahi prosedur pernikahan yang berlaku di lembaga
perkawinan di Indonesia, karena tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan
dengan berat hati kepala KUA Kecamatan Tingkir tersebut tidak hadir dalam
upacara pemakaman. Menurutnya kehadiran kepala KUA dalam peristiwa
tersebut bisa bermakna menyetujui terjadinya illegal wedding, dan hal ini
bertentangan dengan UU No I Tahun 1974. walaupun takziyah di sini lepas dari
tugas kantor akan tetapi tugas sebagai kepala KUA tidak pernah lepas walau
sedang ada di luar kantor. Menurutnya kepala KUA merupakan tugas yang
melekat dalam dirinya di mana saja beliau berada.
Selang beberapa hari dari peristiwa akad nikah tersebut kemudian
keluarganya datang ke KUA Kecamatan Tingkir untuk mencatatkannya. Akan
tetapi KUA Kecamatan Tingkir tidak mau mencatatnya. KUA hanya mau
mencatatnya jika pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku
dengan melalui proses yang telah ditentukan oleh lembaga KUA. Kemudian pihak
keluarga bertanya kepada KUA tentang keabsahan pernikahan yang telah
dilakukan. Karena KUA tidak menyaksikan dan juga tidak tahu tentang peristiwa
tersebut maka KUA tidak memberikan kepastian hukumnya apakah pernikahan
tersebut sah atau tidak sah di hadapan hukum.
Dari berbagai respon kepala KUA yang ada di Kota Salatiga bisa ditarik
kesimpulan bahwa nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang berlangsung sesusai
dengan syarat dan rukun dalam Islam akan tetapi tidak dicatatatkan ke KUA.
Walau pada praktiknya ada beberapa cara dalam melakukan nikah sirri akan
namun definisi yang melekat di kalangan masyarakat di Indonesia tentang nikah
sirri adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan fiqh (telah memenuhi
syarat dan rukunnya), tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum dicatatkan
ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Nikah semacam ini disebut dengan nikah yang
”tidak dicatat” atau disebut juga nikah ”di bawah tangan”. Nikah semacam ini
tidak mendapatkan bukti autentik berupa Akta Nikah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain dikenal dengan
kata nikah sirri, masyarakat juga sering menyebutnya dengan nikah modin, kyai,
atau nikah secara agama.
Dari respon tersebut apabila ditinjau dari segi hukum Islam dengan
mengacu kepada pendapat Madzhab Hambali maka nikah tersebut hukumnya sah
meskipun dirahasiakan kedua mempelai, wali dan para saksi, hanya saja
hukumnya makruh. Terkecuali pernikahan sirri yang terjadi di sebagian
masyarakat kecamatan Sidomukti yang dikenal dengan nikah tumpengan. Tradisi
ini jika ditinjau dari berbagai pendapat Madzhab tidak sah karena tidak memenuhi
syarat.64
Nikah sirri ini bertetntang dengan Al-Qur‟an : Surat Al-Baqarah ayat
(235)
…. ………
“Janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia,(sirri) ……….”
juga bertentangan dengan dengan hadits Nabi SAW:
{رواه البخارى ومسلم وغيرها}او لم ولو بشا ة
“ Adakan lah pesta perkawinan ,sekalipun dengan memotong seekor kambing”
اعلنوا هذ النكاح و اجعلوه ىف المسا جد و ضرا بواعليه بالدفو ف
“Umumkanlah nikah ini dan laksanakan lah di masjid – masjid , serta
ramaikanlah dengan menabuh rebana/terbang”
64
Mazhab Maliki : tidak membolehkan nikah sirri, nikahnya dapat dibatalkan dan pelakunya
dapat di hokum had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksul antara keduanya, dan diakui nya
atau dengan kesaksian empat orang saksi.Mazhab Syafi’I dan Hanafi: juga tidak membolehkan nikah
sirri, Mazhad Hambali berpendapat bahwa nikah yang di langsungkan menurut syari‟at islam adalah sah,
Menurut Riwayat Umar bin Khattab: pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukuman had
(wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuh, VII,1989: 71 vide Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, II,
1339: 15).
Selain itu nikah sirri bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan
yaitu :
1. Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974: pasal 2 ayat (1)
:”Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, Ayat (2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, Hal ini di jabarkan dengan pasal
3sampai pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI), menentukan bahwa unsure sah dan unsur
tata cara pencatatan diberlakukan secara kumulatif, bahwa pasal 7 ayat (1) KHI
menyatakan: bahwa perkawinan bagi orang yang menikah menurut Hukum Islam
hanya dapat dibuktikan dengan “AKTA NIKAH “ yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah (PPN), dengan demikian KHI sudah menyatakan bahwa pencatatan
menjadi syarat adanya nikah yang sah.
Oleh karena itu agar pernikahan sirri yang sesuai dengan syarat dan rukun itu
menjadi sah harus ada istbat nikah. Itsbat terhadap nikah sirri ini diatur dalam PP no
9 Tahun 1975 pasal 49 ayat (2) dalam penjelasannya, jo. Pasal 64 UU nomor 1 tahun
1974, jo pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) KHI.
Selain itu nikah sirri memiliki beberapa dampak negatif yang ditimbulkan
antara lain:
Pertama, tidak ada jaminan perlindungan hukum dan tidak memiliki jaminan
yang pasti ketika perempuan hamil dan mempunyai anak. Sehingga jika terjadi
percekcokan yang berakibat suami melalaikan kewajibannya, istri tidak dapat
menuntutnya secara sah di pengadilan. Sementara menurut UU No I/1974 pasal 34
ayat 3 dengan jelas diterangkan bahwa: ”Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Jika
perkawinan itu tidak legal, maka jika terjadi kelalaian terhadap tanggungjawab
sebagai suami atau istri tidak dapat dituntut di pengadilan. Dan yang paling rentan
untuk dilanggar hak-haknya adalah istri.
Kedua, nikah sirri rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan. Karena posisi
perempuan (istri) lemah, sehingga laki-laki (suami) merasa bebas melakukan apa saja
dan meninggalkannya sesukanya karena pernikahannya tidak memiliki kekuatan
hukum.
Ketiga, praktik nikah sirri mudah menimbulkan pelanggaran terhadap hak
reproduksi dan kesehatan perempuan.
Keempat, mudah terjadi perceraian dengan hanya mengucapkan kata cerai dan
meninggalkan istri tanpa tanggungjawab dari suami.
Dari sini nampak jelas bahwa praktik pernikahan sirri itu sulit mewujudkan
keluarga yang bahagia dan maslahah karena banyak melanggar aturan-aturan
pemerintah hingga banyak menimbulkan kerusakan dan madharat. Bahkan tidak
jarang terjadi lahir hubungan seks di luar nikah dengan dalih pernikahan sirri.
B. Sanksi KUA Terhadap Pelaku Illegal Wedding
Ada berbagai sanksi yang diberikan oleh KUA yang ada di Kota Salatiga.
Sanksi tersebut bisa dikategorikan menjadi dua; yaitu sanksi dari pihak KUA itu
sendiri dan sanksi masyarakat.
Adapun sanksi yang berikan oleh KUA di Kota Salatiga antara lain:
Jiika ada P3N atau modin yang membantu terlaksananya illegal
wedding:menganggap bahwa P3N sudah mencoreng nama baik dirinya sendiri
sehingga mereka memiliki cacat secara hukum. Karena sudah melemahkan eksistensi
dan menciderai PPN. Dalam hal ini KUA hanya bisa menegur dan memberi
peringatan.
Sedangkan sanksi yang berlaku di masyarakat terhadap pelaku illegal wedding
merupakan pernikahan yang cacat hukum, pernikahan yang bermasalah, atau
pernikahan yang berkonotasi negatif. Pemberian sangsi sosial ini dapat dipahami
bahwa nikah sirri kebanyakan terjadi pada pernikahan kedua dan seterusnya bagi
suami. Dalam masyarakat seorang lelaki yang memiliki lebih dari seorang isteri
masih menjadi aib di masyarakat. Demikian juga bagi wanita yang menjadi istri
kedua dan seterusnya juga merupakan aib di masyarakat. Masyarakat menganggap
pelaku nikah sirri karena poligami merusak rumah tangga orang atau merebut suami
orang lain.
Semua KUA yang ada di Kota Salatiga setuju dengan rencana pemidanaan
bagi pelaku illegal wedding dalam RUU HMPA, dengan harapan masyarakat merasa
takut dan juga jera terhadap pelaksanaan perkawinan sirri (illegal wedding).
Mengingat banyaknya madlarat yang ditimbulkan dari pelaksanaan nikah sirri dan di
dalamnya ada pelanggaran hak wanita, maka para Kepala KUA mendukung rencana
undang-undang yang mengatur pemberian sangsi pidana bagi pelaku nikah sirri dan
pihak-pihak yang terlibat.
Berbagai pendapat kepala KUA tersebut di atas sebetulnya sesuai dengan
Proses Pidana Pelaku Nikah Sirri dalam UU. 22 Tahun 1946. Karena sebetulnya
dalam masalah pencatatan perkawinan di Indonesia tidak terdapat adanya kekosongan
hukum (rechtsvacuum), karena sejak awal kemerdekaan Negara Kesatuan RI telah
diatur masalah tata cara pernikahan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Jawa dan Madura. Dengan
diundangkan UU tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang ada
sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan pertimbangan:
1. Bahwa peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam
Huwelijksordonnantie Staatblaad 1929 No. 348 jo. Staatblaad 1931 No. 467.
Vorstenlandsche Huwelijkorddonnantie Staatblaad 1933 No. 98 dan
Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatblaad 1932 No. 482 tidak sesuai lagi
dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang
sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial;
2. Bahwa pembuatan peraturan baru yang dimaksudkan di atas tidak mungkin
dilaksanakan di dalam waktu yang singkat;
3. Bahwa sambil menunggu peraturan baru itu perlu segera diadakan peraturan
pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk memenuhi keperluan yang sangat
mendesak;65
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Huwelijksordonnantie
Staatblad 1929 No. 348 jo. Staatblad 1931 No. 467 dan Vorstenlandsche
Huwelijksordonnantie Staatblad 1933 No. 98 dicabut keberlakuannya yang selama
kolonial Belanda digunakan sebagai peraturan perkawinan khususnya bagi umat
Islam. Hanya saja UU No. 22 Tahun 1946 ini terbatas wilayah pemberlakuannya,
65
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta; UI Press,
1986), h. 168
yaitu berlaku di wilayah Jawa dan Madura sehingga tidak bisa diterapkan pada kasus
yang sama pada wilayah di luar Jawa dan Madura. Namun merespon tuntutan
terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang begitu cepat berubah, maka kemudian
dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan
Madura, maka sejak itulah undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk tersebut berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hingga saat ini Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut belum pernah dicabut keberlakuannya atau
diamandemen baik undang-undangnya sendiri maupun pasal-pasal yang termaktub di
dalamnya. Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut masih tetap berlaku
sepanjang belum diadakan yang baru. Dalam UU No. 22 tahun 1946, dijelaskan juga
unsur pidana bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, yaitu bagi pihak yang
melakukan perkawinan Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November
1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh
Daerah Luar Jawa dan Madura. atau menjatuhkan talak atau rujuk tanpa dicatat atau
tanpa di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka dijatuhi hukuman denda.
Sebagaimana pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa: “Barang siapa yang melakukan
akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan
pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda
sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)”. Pasal 3 ayat (3) menyatakan
bahwa: “Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana
tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu
kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia
dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah).” Sementara bagi
pihak yang menikahkan padahal bukan tugasnya untuk menikahkan (nikah di bawah
tangan), maka pihak tersebut dijatuhi hukuman pidana selama-lamanya 3 bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: “Barang
siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada
haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”66
Undang-undang ini berupaya mencegah adanya pungutan liar (pungli) bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dengan menjatuhkan hukuman pidana kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus
rupiah). Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa: Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal
1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima
pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan
rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1
atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-
masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan
dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah
pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud
pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”
66
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis
di Insonesia dan Hukum Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), h. 210
Dalam penjelasan dinyatakan bahwa ancaman dengan denda sebagaimana
tersebut pada Pasal 3 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) undang-undang ini bermaksud
supaya aturan administrasi diperhatikan, dan sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa
nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu. Ketentuan pada Pasal
3 tersebut merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, karena
hanya bersifat administratif, bukan sebagai hukuman atau pidana kejahatan.67
Klasifikasi Sanksi Pidana yang dibebankan Bagi Pelaku Nikah sirri. Ada
beberapa poin penting yang penulis akan analisis mengenai sanksi yang diberlakukan
bagi para pelaku nikah sirri maupun bagi PPN yang menyalahgunakan kewenangan
atau posisinya, merujuk dari UU NO 22 Tahun 1946 jo. UU NO 32 Tahun 1956
disertai dengan SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970.
1. Kali pertama yang harus dikaji adalah pasal-pasal dalam UU tersebut yang
mengandung unsur pidana. Berikut merupakan pasal 3 UU NO 22 Tahun
1946:51. Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang
perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2)
pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh)
2. Pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada
pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum
denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).
3. Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan
tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah).
67
Ibid. hlm. 212
4. Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana pasal 3
UU. NO 22 Taun 1946 tersebut Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena
menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima
pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak
dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4)
pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran
masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1)pasal2, atau tidak
memberikan petikan dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah
yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang
dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp
100,- (seratus rupiah).
5. Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan
ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan
mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan
kepada yang berwajib, maka biskalgripir hakim kepolisian yang bersangkutan
mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang
bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-
pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat keputusan hakim yang
menyatakan hal itu.
Apabila ditinjau dari petikan pasal 3 di atas, kita dapat melihat bahwa objek
yang terkena sanksi semata-mata bukan hanya pelaku nikah sirri saja, akan tetapi
sanksi tersebut dikenakan juga bagi orang yang menikahkannya, atau 60 dengan kata
lain penghulu yang menikahkan orang tanpa catatan administrasi yang resmi akan
terkena sanksi pidana tersebut. Sanksi pidana yang dimaksud dalam pasal 3 di
ataspun ditujukan bagi para Pegawai Pencatat Perkawinan (PPN) yang memungut
bayaran melebihi dari ketentuan yang dipatok oleh Departemen Agama. Sehingga
apabila ada PPN yang melakukan hal tersebut, maka orang tersebut bisa dijerat
dengan sanksi pidana yang dimaksudkan dalam UU di atas.
Selanjutnya, apabila kita analisa dari sanksi pidana yang dibebankan maka
akan timbul opsi sanksi yang dibebankan bagi para pelaku nikah sirri, orang yang
mengawinkan pelaku nikah sirri dan PPN, yaitu: Sanksi denda. Sebelum kita
membahas lebih jauh mengenai sanksi denda, maka kita perlu mengetahui bahwa
sanksi denda termasuk kedalam sanksi pokok yang bisa dijatuhkan terhadap suatu
tindak pidana. Hal ini termaktub dalam KUHP pasal 10 poin (a). Merujuk dari pasal 3
UU NO 22 Tahun 1946 di atas, maka opsi sanksi denda ini bisa diberlakukan bagi
pelaku nikah sirri, PPN yang menyalah gunakan wewenang dan orang yang
menikahkan tanpa adanya hak (bukan PPN resmi).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pidana denda ini,
yaitu;68
1. Sistem penerapan jumlah atau besarnya denda.
2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda.
3. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya
pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu
yang telah ditetapkan.
68
Muladi dan Barda Nawawi A,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1992), h. 56
4. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap seorang anak yang
belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua).
5. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.
Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan KUHP. Apabila kita lihat dari ketentuan pemberlakuan denda
poin ke 1 maka hal yang menarik dalam pasal 3 tersebut adalah denda yang
dibebankan sangatlah kecil, tidak sebanding dengan tingkat perekonomian saat ini.
Penjatuhan denda Rp. 50,- dan Rp. 100,- dalam kondisi perekonomian saat ini sudah
tidak memiliki arti ekonomi lagi, sehingga perlu penyesuaian dengan tingkat
perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No 04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970 bahwa penilaian uang (dalam kasus
denda) harus dilakukan dengan menggunakan harga emas.69
Saat itu harga emas
diasumsikan Rp. 2/gram dibagi dengan denda Rp. 50,- = 25 gram emas atau denda
Rp. 100 = 50 gram emas. Perhitungannya adalah: Penjatuhan denda : harga per gram
emas = denda bagi penganten Penjatuhan denda Rp. 50 bagi penganten dengan
asumsi harga emas saat itu adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi
penganten adalah seharga 25 gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini
(Tahun 2014) maka penghitungannya adalah: 25 gram emas dengan asumsi harga saat
ini adalah Rp. 450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 11.125.000,-
(Sebelas juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) yang dibebankan bagi pelaku nikah
sirri.
Penjatuhan denda : harga per gram emas = denda bagi PPN/penghulu tidak
resmi Penjatuhan denda Rp. 100 bagi penghulu dengan asumsi harga emas saat itu
69
SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970
adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi penghulu adalah seharga 50
gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini (Tahun 2014) maka
penghitungannya adalah: 50 gram emas dengan asumsi harga emas saat ini adalah Rp.
450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 22.250.000. (dua puluh dua juta
dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang dibebankan bagi PPN yang menyalah gunakan
wewenang dan penghulu tidak resmi.70
Apabila penghitungannya seperti yang
dijabarkan di atas, maka besaran denda yang dijatuhkan terlihat lebih riil
dibandingkan yang termaktub dalam pasal 3 UU NO 22 Tahun 1946, dikarena
besaran denda harus mengikuti perekonomian bangsa ini.
Sanksi Kurungan Pasal 3 ayat 4 secara eksplisit menjelaskan bahwa sanksi
kurungan diberlakukan hanya bagi PPN yang menyalah gunakan wewenangnya,
itupun besifat pengganti apabila PPN tersebut tidak mampu atau tidak mau membayar
denda yang dibebankan. Sanksi kurungan ini juga diberlakukan karena PPN tersebut
telah menyalahgunakan wewenang dengan memungut biaya perkawinan melebihi
biaya yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama.
Walaupun ada sanksi yang dibebankan kepada pelaku nikah sirri, PPN yang
menyalahgunakan wewenang dan penghulu non resmi, ini bukan berarti tindak pidana
yang mereka lakukan termasuk kedalam tindak pidana kejahatan, tindak pidana yang
mereka lakukan hanya sebatas tindak pidana pelanggaran saja.
Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat (1) dan (3) pasal 3
Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan :
70
Muchsin, Aspek Hukum Pelanggaran Pidana dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan, (Diakses dari http://e-syariah.badilag.netTanggal 06 Juni 2011)
akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal 71
karena
pelanggaran itu.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pidana yang
dibebankan bukan sekali-kali menyangkut masalah perkawinan, talak ataupun
rujuknya, akan tetapi menyangkut kesalahan proses administrasi yang dilanggar oleh
orang yang berperkara. Maka apabila dipandang dari ranah istinbath al-hukm
(penggalian hukum Islam), pencatatan pernikahan merupakan perkara administratif
yang mubah (boleh) bahkan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan
kaidah fiqh (kaidah-kaidah yang menjadi nalar hukum dalam Islam) salah satunya "
tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah" yang bermakna bahwa
kebijakan pemerintah atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan. Selama
kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang qath'i (sudah jelas), maka
pertimbangan kemaslahatan dalam menyusun sebuah kebijakan bisa dibenarkan.
Walau pada kenyataannya belum ada teguran secara administrasi dan juga
sanksi dalam bentuk denda atau kurungan , akan tetapi untuk wilayah Kota Salatiga
sangat sedikit tokoh masyarakat yang mau menikahkan secara sirri. Bahkan saat ini
bisa dibilang tidak ada. Jika terpaksa ada itu karena ada orang yang mau membayar
mahal, bahkan lebih mahal dari biaya menikah di KUA. Sedangkan orang tersebut
enggan menyebutkan nama dan juga identitas yang lainnya.
Analisis ini juga didukung oleh data pelaku nikah sirri yang ada di Kota
Salatiga. Hampir 90 persen pasangan nikah sirri tidak melangsungkan pernikahanya
di Kota Salatiga.
71
Pasal 4 UU. NO 22 Tahun 1946 (Diakses dari http: // dpr.go.id /uu/uu1946 /UU_
1946_22.pdf pada tanggal 09 juni 2011
C. Hambatan-hambatan KUA dalam Mengantisipasi Terjadinya Illegal Wedding
Sebelum berbicara tentang beberapa hambatan yang dihadapi KUA dalam
menanggulangi maraknya illegal wedding ataau nikah sirri, peneliti akan menyajikan
beberapa usaha yang dilakukan oleh KUA dalam menanggulangi maraknya
pernikahan yang tidak dicatatkan atau illegal wedding adalah;
Pertama, dengan memberikan pengarahan kepada para Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (Modin) untuk tidak mau menikahkan atau menolak masyarakat jika
tidak memenuhi syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh KUA.
Kedua, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya
pencatatan pernikahan di Indonesia.
Ketiga, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang implikasi negatif
terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga KUA.
Keempat, memberikan peringatan tegas kepada para Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (modin) jika menghadiri atau bahkan menikahkan masyarakat dengan
tidak mencatatkan ke lembaga KUA.
Kelima usaha-usaha lain yang dilakukan oleh KUA dalam menanggulangui
maraknya illegal wedding dengan mengadakan pernikahan secara massal. Hal ini
dilakukan bukan untuk mecatat pernikahan yang sudah dilakukan akan tetapi untuk
memberikan kemudahan proses perkawinan di KUA sehingga proses akad nikah
tersebut bisa tercatat di KUA.
Ada beberapa hal yang mendorong untuk melakukan pencegahan illegal
wedding antara lain:
Pertama, peran aktif para stakeholder dengan memiliki perspektif yang sama
utamanya para kyai yang memandang urgensinya pencatatan nikah di lembaga KUA.
Hal ini dilahat dari praktik yang terjadi di masyarakat. Walaupun mereka sudah
melakukan illegal wedding ternyata ketika melakukan proses akad nikah di KUA
kedua pasangan tersebut tidak boleh duduk saling berdekatan. Sikap ini
mengisyaratkan bahwa illegal wedding merupakan proses pernikahan yang belum
sempurna.
Kedua, jarak geografis antara kantor KUA dengan masyarakat sangat dekat,
sehingga mudah terjangkau.
Ketiga, terhadap kasus illegal wedding yang kurang memenuhi syarat
adminstrasi pihak KUA segera menyarankan untuk lapor ke Pengadilan Agama Kota
Salatiga untuk minta dispensasi.
Keempat, Kyi atau tokoh masyarakat selalu mengadakan komunikasi dengan
pihak KUA, kebetulan kepala KUA cukup memiliki hubungan dekat dengan para
kyai yang bertempat tinggal di Kecamatan Tingkir.
Sedangkan hambatan-hambatan dalam menanggulangi maraknya illegal
weddingillegal wedding yang terjadi di wilayah KUA Kota Salatiga antara lain:
1. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sedangkan pihak
KUA sendiri tidak bisa melayani proses pernikahan dengan jalan cepat dan pintas.
2. Selanjutnya minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan
nikah di KUA.
3. Terbatasnya pengetahuan masayarakt tentang proses pencatatan. Selama ini masih
ada kesan di masyarakat bahwa mencatatkan pernikahan ke KUA adalah rumit
dan menghabiskan biaya yang banyak. Keterbatasan waktu dan sumber daya
manusia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kepala KUA Kecamatan
Argomulyo dan tergambar dalam tugas dan peran KUA Kecamatan Argomulyo
serta penjabarannya dalam bentuk program kerja, maka banyak kegiatan yang
harus dilakukan oleh KUA. Sehingga waktu sudah banyak tersita untuk
melaksanakan kegiatan rutinitas KUA tersebut.
4. Keterbatasan anggaran. Kegiatan penyuluhan penanggulangan terjadinya nikah
sirri, tidak termasuk daftar kegiatan yang diusulkan oleh kementerian Agama
Kota Salatiga, yang dibiayai oleh DIPA. Dampaknya adalah kegiatan ini tidak
dapat dilaksanakan secara terprogram dan dengan dana tersendiri.
5. Tidak adanya keterbukaan masyarakat. Para pelaku nikah sirri cenderung untuk
menutup-nutupi pernikahan mereka. Kurangnya Wawasan Para Tokoh Agama.
6. Inisiatif pelaksanaan nikah sirri sering datang dari para tokoh Agama seperti
ustadz, Kyai dan bahkan mereka termasuk pelaku. Menurut Muhammad Miftah,
PLT Kantor Urusan Agama kecamatan Argomulyo bahwa hal ini terjadi karena
masih banyak para Ustadz dan Kyai yang memiliki paham keagamaan ( Islam )
secara tekstual berdasarkan literatur-literatur kitab kuning, khususnya kitab-kitab
fiqih yang mereka baca, tanpa disertai membaca literatur yang lain, terutama
perundang-undangan yang terkait dengan perkawinan. Sekalipun membaca,
mereka akan mengabaikannya karena menurutnya bertentangan dengan hukum
agama. Di samping itu mereka tidak menyadari adanya dampak hukum
kedepannya bagi para pelaku nikah sirri, terutama istri dan anak-anak mereka.
Mereka para pengambil inisiatif pelaksanaan nikah sirri, karena dari kalangan
tokoh Agama dan terpandang dimasyarakat, menjadi panutan masyarakat
terutama dalam bidang agama, maka hal ini tentu akan menjadi batu sandungan
tersendiri bagi KUA dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya nikah sirri.
Selain ada hambatan-hambatan tersebut di atas pernikahan secara sirri ini terjadi
karena beberapa faktor terjadinya pernikahan sirri antara lain adalah:
Pertama, isteri nikah sirri bukan isteri yang pertama melainkan isteri yang
kedua bahkan ketiga atau ke empat. Meskipun dalam pandangan Islam diperbolehkan
- tapi dalam pandangan masyarakat masih dianggap sebagai aib, sehingga baik isteri
maupun suami cenderung untuk merahasiakan.
Kedua, untuk menghalalkan hubungan (bukan hubungan suami istri) walau
sebatas memandang dan bercengkerama, biasanya pernikahan seperti ini dilakukan
saat khitbah.
Ketiga, status pasangan tidak jelas, misalnya ada pasangan yang mau nikah
tetapi mereka sebetulnya masih punya suami atau istri, tapi sudah pisah dan belum
diajukan ke pengadilan agama.
Keempat, ruju‟ diluar waktu iddah. Masyarakat yang melakukan secara sirri
kemudian ingin kembali kepada istrinya lagi. karena dilakukan pada waktu masa
iddah sudah habis maka mereka melakukan nikah kembali secara sirri.
Kelima, masih banyaknya masyarakat yang masih awam tentang hukum dan
juga prosedur pernikahan di KUA.
D. Optimalisasi Peran KUA Dalam Mencegah Terjadinya Illegal Wedding
Salah satu peran KUA khususnya penghulu yang sangat dinantikan oleh
masyarakat adalah kehadirannya sebagai representasi pemerintah dalam hal ini
Kementerian Agama, untuk mengawasi serta memenuhi aspek legalitas pernikahan.
Peran ini nyaris tak tergantikan oleh siapapun sepanjang pejabat penghulu
dimungkinkan hadir dalam peristiwa penting tersebut. Melalui sudut pandang ini,
sudah selayaknya para penghulu mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat
memenuhi keterwakilan pemerintah yang memberi mandat kepadanya.
Persoalan klasik yang paling sering dihadapi oleh para penghulu adalah
kebenaran jati diri calon mempelai, khususnya menyangkut status perkawinan mereka
sebelumnya, serta kebenaran pengakuan sebagai wali nikah yang berhak. Meski para
penghulu dalam melakukan tugas pemeriksaan pada saat pendaftaran perkawinan
dibantu dengan instrumen data dari kelurahan/desa, pada kenyataannya masih juga
terjadi praktik pemalsuan identitas yang dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Kesalahan ini seharusnya dapat ditekan sekecil mungkin jika data kependudukan
yang selama ini dikuasai sepenuhnya oleh Kemendagri dapat diakses juga oleh para
penghulu. Dengan demikian, seorang penghulu yang melihat adanya inkonsistensi
atau ketidaksinkronan antara data dan kenyataan yang dilihat dan didengarnya, dapat
melakukan cross check data kependudukan orang bersangkutan. Untuk mewujudkan
hal tersebut, perlu dikaji lebih lanjut kemungkinan kerja sama antara Kemenag dan
Kemendagri dalam akses data kependudukan ini.
Seyogyanyalah para penghulu mendapatkan akses untuk mengetahui data
kependudukan calon mempelai beserta walinya meski diberikan secara terbatas
kepada penghulu demi memastikan dan menjamin bahwa keputusan menerima dan
melaksanakan permohonan perkawinannya adalah keputusan yang benar baik
menurut agama maupun peraturan perundangan.
Walupun sampai saat ini penghulu sebagai peTugas pencatat nikah belum
sepenuhnya bisa mengakses informasi kependudukan secara memadahi, akan tetapi
sudah berusaha semaksimal mungkin dalam mendata calon penganten sesuai dengan
hukum agama dan juga administrasi kependudukan. Sehingga jika terjadi hal-hal
yang tidak sesuai dengan administrasi para penghulu juga kepala KUA se Kota
Salatiga berusaha untuk mentertibkannnya. Khususnya terkait dengan pencatatan
pernikahan para penghulu berusaha semaksimal mungkin untuk mencatat sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam UU perkawinan. Semua kepala KUA yang ada
di Kota Salatiga berpendapat bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu
keharusan sebagaimana diterangkan dalm UU No I/ 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa:
”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku”. Kemudian
ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam PP No.9 /1975 dalam pasal 3 yang
menyatakan bahwa: ”Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan
akan dilangsungkan”.
Selanjutnya dijelaskan dalam KHI pasal 5: (1) Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan
perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954. Dari
pasal-pasal dalam UU maupun KHI ini muncul berbagai analisis, apakah pencatatan
perkawinan ini sebagai sayarat sah atau sebagai syarat administrasi. Ada beberapa
alasan yang dikemukakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pertama,
selain didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal Perpu
pelaksanaan UUP (PP. No.9 Tahun 1975) dan juga dari jiwa dan hakikat UUP itu
sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III
(pasal 13s/d21) dan Bab IV (pasal 22s/d28), masing-masing tentang pencegahan dan
pembatalan, hanya bisa dilakukan apabila diatur di dalam PP No.9/1975. bila
perkwinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan pembatalan menjadi tidak
ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata ”dan” pada pasal 2 ayat 1 UUP
berarti kumulatif. Khaoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi
terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, (Jakarta-Leiden:INIS: 2002: 158-159). Bagi mereka yang berpendapat
bahwa pencatatan hanya sebagai syarat administrasi beralasan, sebagaimana
dikemukakan oleh Wasit Aulawi dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia, secara tegas UUP No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur pencatatan
perkawinan, talak, dan rujuk, yang berarti hanya acara, bukan materi hukum.
Dalam praktiknya jika ada masyarakat yang melakukan illegal wedding atau
nikah yang tidak dicatatkan para kepala KUA Kota Salatiga tidak pernah sekalipun
mendukung dan bahkan tidak mengakui terjadinya pernikahan tersebut. Hal ini kami
simpulkan dari contoh kasus yang terjadi di desa Tingkir Lor. Ada calon pengantin
yang segera ingin melaksanakan akad nikah di KUA, akan tetapi tiba-tiba wali (ayah
kandung) meninggal dunia. Atas dasar musyawarah keluarga akhirya pasangan calon
pengantin tersebut melaksanakan akad nikah dihadapan jenazah bapaknya dengan
wali nikah kakak kandungnya. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan dalam
tradisi Jawa bahwa jika ada calon pengantin yang berniat menikah tiba-tiba bapaknya
meninggal dunia maka akad nikah tersebut harus dilakukan satu tahun kemudian.
Salah seorang bapak kyai meminta kepada kepala KUA Kecamatan Tingkir
untuk menyaksikan pernikahan tersebut atau menjadi saksi dalam akad nikah. Akan
tetapi kepala KUA menolaknya. Hal ini dilakukan karena peristiwa akad nikah
tersebut menyalahi prosedur pernikahan yang berlaku di lembaga perkawinan di
Indonesia, karena tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan dengan berat hati
kepala KUA Kecamatan Tingkir tersebut tidak hadir dalam upacara pemakaman.
Menurutnya kehadiran kepala KUA dalam peristiwa tersebut bisa bermakna
menyetujui terjadinya illegal wedding, dan hal ini bertentangan dengan UU No I
Tahun 1974. walaupun takziyah di sini lepas dari tugas kantor akan tetapi tugas
sebagai kepala KUA tidak pernah lepas walau sedang ada di luar kantor. Menurutnya
kepala KUA merupakan tugas yang melekat dalam dirinya di mana saja beliau
berada.
Selang beberapa hari dari peristiwa akad nikah tersebut kemudian keluarganya
datang ke KUA Kecamatan Tingkir untuk mencatatkannya. Akan tetapi KUA
Kecamatan Tingkir tidak mau mencatatnya. KUA hanya mau mencatatnya jika
pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan melalui proses
yang telah ditentukan oleh lembaga KUA. Kemudian pihak keluarga bertanya kepada
KUA tentang keabsahan pernikahan yang telah dilakukan. Karena KUA tidak
menyaksikan dan juga tidak tahu tentang peristiwa tersebut maka KUA tidak
memberikan kepastian hukumnya apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sah di
hadapan hukum.
Kasus lain yang diketahui langsung oleh kepala KUA Kecamatan Tingkir
adalah yang terjadi di kelurahan Sidorejo Kidul. Ada calon pengantin yang akan
melangsungkan akad nikah. Karena walinya beda agama maka yang menjadi wali
adalah wali hakim. Dalam perspektif KUA walinya tersebut tidak jelas karena tidak
didasarkan pada keputusan Pengadilan Agama Kota Salatiga, dan juga tidak
mendaftarkan ke KUA maka walaupun tetangga dekat bapak Kepala KUA tidak mau
memberikan pertimbangan akan rencana pernikahan tersebut. Pada suatu hari
keluarga yang datang ke rumah kepala KUA untuk minta pertimbangan akan tetapi
tetap saja tidak mau memberikan pertimbangan. Akhirnya rencana pernikahan
tersebut tidak jadi berlangsung.
Sikap seperti tersebut di atas juga terjadi pada kepala KUA Kecamatan
Sidomukti. Suatu haru ada masyarakat yang melangsungkan perkawinan sirri dengan
memenuhi syarat dan rukun dengan tujuan agar kedua calon pengantin tersebut halal
dalam pergaulan walau hanya sekedar memandang dan bercengkarama. Karena
setelah perkawinan sirri tersebut meraka tidak diharuskan tidur dan tinggal bersama
dalam satu rumah. Walaupun pernikahan sirri tersebut dilakukan oleh keluarga
dekatnya akan tetapi terhadap peristiwa tersebut kepala KUA tidak mau menyaksikan
dan juga tidak mau menghadiri walau itu saudaranya. Karena menurutnya tetap tidak
sesuai dengan proses yang berlaku di lembaga KUA.
Berdasarkan berbagai usaha yang dilakukan oleh KUA sebagaimana tersebut
dalam poin c, membuktikan bahwa KUA memiliki peran yang optimal dalam
berusaha untuk mencegah terjadinya illegal wedding atau nikah sirri. Usaha-usaha
serta sikap para Kepala KUA juga penghulu ini ternyata membuahkan hasil yang
cukup memuaskan. Hal ini terbukti bahwa di wilayah masing-masing KUA tidak ada
masyarakat yang melaksanakan pernikahan secara sirri. serta tidak ada juga tokoh
masyarakat atau tokoh agama yang berani menikahkan secara sirri. Sehingga tidak
ada hambatan yang berarti dalam mencegah terjadinya pernikahan secara sirri. Jika
ternyata ada pasangan yang menikah secara sirri maka itu di luar sepengetahuan
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) atau modin dan juga di luar sepengetahuan
penghulu dan juga pegawai KUA.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan juga pembahasan maka rumusan masalah
yang mempertanyakan tentang respon KUA dalam menghadapi illegal
wedding yang tejadi di Kota Salatiga, sanksi yang diberikan oleh KUA juga
masyarakat terhadap pelaku illegal weddig, dan juga hambatan-hambatan KUA dalam
mengantisipasi terjadinya illegal wedding di Kota Salatiga akan terjawab sebagai
berikut:
1. Bahwa nikah sirri menurut para kepala KUA Kota Salatiga bisa memiliki makna
perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA dan juga tidak memenuhi syarat-syarat
dan rukun pernikahan secara agama (fiqh). Ada juga yang memaknai perkawinan
yang berlangsung hanya dengan selamatan tumpengan. Tumpengan tersebut
kemudian dimakan bersama oleh masyarakat. Namun secara umum bahwa
pernikahan sirri makna suatu pernikahan yang sudah terpenuhi syarat dan
rukunnya, akan tetapi menyalahi undang-undang hukum perkawinan. Sehingga
pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga jika terjadi
perselisihan dalam rumah tangga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Dari
respon tersebut apabila ditinjau dari segi hukum Islam dengan mengacu kepada
pendapat Madzhab Hambali maka nikah tersebut hukumnya sah meskipun
dirahasiakan kedua mempelai, wali dan para saksi, hanya saja hukumnya makruh.
Terkecuali pernikahan sirri yang terjadi di sebagian masyarakat kecamatan
Sidomukti yang dikenal dengan nikah tumpengan. Tradisi ini jika ditinjau dari
berbagai pendapat Madzhab tidak sah karena tidak memenuhi syarat.
2. Sanksi bagi pelaku nikah sirri bisa ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu sanksi
yuridis, administrasi dan juga sanksi sosial. Sanksi yuridis; pelaku nikah sirri
tidak memiliki keuatan hukum karena tidak memiliki bukti outentik atau akte
nikah, sehingga jika ada permasalahan yang trejadi dalam keluarga tidak bisa
diselaikan secara hukum. Sedangkan sanksi adminstrasi para pelaku nikah sirri
yang memiliki anak tidak bisa mencantumkan nama ayah kandungnya dalam akte
kelahiran sehingga statusnya sama dengan anak zina. Sedangkan sanksi sosial
para pelaku nikah sirri biasanya mendapatkan label negatif, karena nikahnya
bermasalah. Dari sinilah maka KUA yang ada di lingkungan Kota Salatiga sangat
tidak setuju dengan nikah sirri dan akan memberikan sanksi administrasi berupa
teguran terhadap para Modin yang mau menikahkan secara sirri. Walaupun RUU
HMPA terutama pasal yang berbicara tentang pemidanaan nikah sirri belum
diputuskan, akan tetapi semua kepala KUA yang ada di Kota Salatiga setuju.
Sikap ini diikuti oleh semua perangkat dan staf KUA juga masyarakat. Akhirnya
masyarakat Kota Salatiga tidak berani lagi menikahkan secara sirri. Dengan
demikian sikap KUA ini memiliki peran yang sangat strategis dalam
menanggulangi terjadinya pernikahan sirri atau illegal wedding.
3. Sedangkan hambatan-hambatan dalam menanggulangi maraknya illegal wedding
yang terjadi di wilayah KUA Kota Salatiga antara lain: kompleksnya
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sedangkan pihak KUA sendiri tidak
bisa melayani proses pernikahan dengan jalan cepat dan pintas. Minimnya
pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan nikah di KUA juga
terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang proses pencatatan. Kesan yang rumit
dan menghabiskan biaya yang banyak terhadap proses pencatatan di KUA.
Keterbatasan waktu dan sumber daya manusia. Keterbatasan anggaran. Tidak
adanya keterbukaan masyarakat. Para pelaku nikah sirri cenderung untuk
menutup-nutupi pernikahan mereka. Kurangnya Wawasan Para Tokoh Agama.
Inisiatif pelaksanaan nikah sirri sering datang dari para tokoh Agama.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan maka ada beberapa saran baik
kepada peneliti, Jurusan Syari‟ah, dan juga kepada KUA Kota Salatiga.
1. Bahwa penelitian ini bisa diperdalam dengan terjun ke masyarakat se Kota
Salatiga apakah wilayah Salatiga benar-benar bebas dari perilaku illegal wedding
atau nikah sirri.
2. Jurusan Syariah perlu mengambil peran di masyarakat dalam menanggulangi
praktik nikah sirri dengan memberikan penyuluhan sebagai bagian dari
pengabdian kepada masyarakat.
3. KUA Kota Salatiga seharusnya lebih sensitif lagi terhadap praktik-praktik illegal
wedding terutama terhadap masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya,
dengan mencari informasi yang akurat dari masyarakat yang meliputi apakah ada
keluarga yang menikah secara sirri, jika ada kenapa, siapa, kapan dan mengapa itu
terjadi. Sehingga KUA bisa mengambil sikap dan juga kebijakan dalam rangka
mencarikan jalan keluar agar pernikahan itu bisa dicatatkan ke KUA.
Daftar Pustaka
Ainurrofiq (ed) Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer
Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2002.
Aulawi, Wasit, Sejarah Perkembanagn Hukum Islam di Indonesia dalam Amrullah
Ahmad (ed) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Gema
Inasni Pres, 1996
Jaser, Auda, Maqasid al-Shariah: A Beginner’s Guide, Suka Press, Yogyakarta, 2013
Amin, Mashur Ismail S. Ahmad, (ed), Dialog Pemikiran Islam dan Raelitas Empirik,
Yogyakarta: LKPSM NU, 1993.
Aqmalia, Rera, Kepuasan Pernikahan Pada Pekerja Seks Komersial, Jurnal Universitas
Guna Darma
Abdullah, Gani Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan, dalam Khoirul Muzakki,
Kontroversi Hukum Nikah Sirri, Suara Merdeka Rabu 28 Desember 2011.
Abdul, Halim Hakim, as-Sulam Fi Ushul Fiqh Jakarta, Sa‟diyah Putra, tt.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Rineka Cipta: 2001
Badri, Mudhofar dkk, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, Yogyakarta,
YKF,tt.
Bungin, Burhan Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Penguasaan Model dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada:
2010
Bantara Mukti, Ratna Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH
APIK, 2005
Bek,M. Hudlari Tarikh Tasyri’ al-Islami, Mesir: al Maktabah al Tasyriyah al-Kubra:tt.
Carrete, Jeremy R, (ed), Religion and Culture, terj.Indi Aunullah, Yogyakarta, Jalasutra,
1999.
Chadwiek, Bruce A. Social Science Research Methods, terj.Sulistia dkk Semarang: IKIP
Press: 1991.
Badri, Mudhofar, dkk (ed), Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di
Pesantren,(Yogyakarta: YKF: tt).
Bungin Nurhan, ed, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada:
2011.
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan tidak dicatat, ,Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Daymon, Cristine & Immy Holloway, Qualitative Reasearch Methods in Public
Relations and Marketing Communications, terj. Cahya Wiratama, Yogyakarta:
Bentang Pustaka: 2008
Engineer,Asghar Ali Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1984.
Fakih, Mansour Analisis Gender & Transformasi Sosial ( Yogyakarta: Putaka Pelajar:
2010.
Fatkhurrohman, Imam, Saya Tak Ingin Dipoligami Tapi Harus Poligami, Bandung:
Mizan Media Utama: 2007.
Hakim, Abdul Halim as-Sulam Fi Ushul Fiqh Jakarta, Sa‟diyah Putra, tt
Halim,Abdul Ijtihad Kontemporer Kajian terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga
Indonesia dalam Ainurrofiq (ed) Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul
Fiqh Kontemporer, Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2002.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasinal Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1961.
Hosen,Ibrahim Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Jakarta:
Ihya Ulumuddin, 1971.
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, 1987.
Mahmudi, Zaenul, Sosiologi Fikih perempuan Formulasi Dialektis Fikih Perempuan
dengan Kondisi dalam Pandangan Imam Syafii, Malang, UIN Malang Press,
2009.
Ma‟arif, Syafii, Islam dan Masalah Ketatanegaraan, Jakarta:LP3S: 1985.
Meleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya: 1998.
Megawangi, Ratna Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender,
Bandung: Mizan, 1999.
Moghissi, Haideh, Feminism and Islam Fundamentalism The Limits of Postmodern
Analysis, Yokyakarta, LKiS, 2005.
Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren,
9Yogyakarta, LkiS, 2007.
__________________, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta, LKiS, 2002.
Musdah Mulia, Siti Islam Menggugat Poligami, Jakarta, Gramedia Pustaka utama, 2007.
Muzakki, Khoirul KontroversiHukum Nikah Sirri, Suara Merdeka Rabu 28 Desember
2011.
Nasution, Khaoiruddin Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta-
Leiden,:INIS, 2002.
Narwoku,J. Dwi Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2004.
Nasuka, Teori Sistem sebagai Salah Satu Alternatif Pendekatan dalam Ilmu-ilmu Agama
Islam, Jakarta: Kencana: 2005.
Nuruddin, Amir, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fikih, UU No. I/1974 sampai KHI, Jakarta, Prenada Media, 2004.
Pals, Daniel Seven Theories of Religion, terj. Inyiak Ridwan Muzir, M. Syukri
Yogyakarta: IRCiSoD: 2001.
Polomo, Margaret M, Sosisologi Kontemporer, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.
Putnam Tong, Rusemarie, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Terj.
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Yogyakarta: Jalasutra: 2004.
Pound, Roscoe An Introduction to the Philosopy of Law, terj. M.Radjab Pengantar
Filasafat Hukum, Jakarta:Bhratara,1989
Qadri Azizi, Ahmad, Islam dan Permasalahan Sosial,
Ramulyo, Mohd. Idris Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat menurur Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika,2006.
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender,Yogyakarta: Fajar Pustaka: 2006.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori Klaisik sampai
Perkembangan Mutkahir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana:
2009.
Ritzer, George, Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Kreasi Wacana: 2009
____________, Sosioalogi IlmuPengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja
Grafindo Persada: 2003.
Rofiq, Ahmad, Pembaharauan Hukum Islam di Indonesia yogyakarta: Gema Media,
2001.
Roibin, Sosiologi Hukum Islam Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafii, Malang:
UIN Malang Press, 2008.
Roston, Holmes III, Ilmu &Agama Sebuah Sutvai Kritis, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta: 2006.
Sabiq, Sayid Fiqh Sunnah juz II, Beirut: Dar al Fikr, 1992.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta: 2010.
Suyanto, Bagong, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group: 2005.
Strauss, Anselm &Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research Grounded Theory
Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar: 2007.
Syarifuddin, Amir,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,2006.
Umar Sa‟abah, Marzuki,Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat
Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001.
Umar, Nasaruddin Argumen Kesetaraan JenderPerspektif Al Qur’an,(Jakarta:
Paramadina, 1999.
Wahid, Marzuki & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, Yogyakarta: LKiS: 2001.
Yasin, M Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang; UIN Malang Press; 2008.
Zahrah, Abu Muhammad, al Ahwal Al-Syakhsiyyah, Qahirah: Dar al-Fikr al-„Arabi,
1957
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana,, 1992.
Zuhaily,Wahbah Al al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, Damsyiq; Dar al-Fikr,
1989
Bukan Buku
http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/12/05/1344.html.
Nikah Sirri: Antara Agama, Negara dan Hak Asasi Perempuan. http://www.facebook.com/note.php?note_id=114587115244404
Nikah di Bawah Tangan http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/nikah-di-bawah-tangan
http://solusinahdliyin.net/munakahat/283-pernikahan-dibawah-tangan
http://www.referensimakalah.com/2013/01/biografi-asghar-ali-engineer.html
http://pintuonline.com/artikel/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-
indonesia-perspektif-hukum-islam.html
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan edisi 71, Jakarta:2011.
Jurnal Ijtihad, STAIN Salatiga, Vol. II. 2011.
Jurnal Yin Yang, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, vol. 4 No. 2009
Gani Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan, dalam Khoirul Muzakki,
Kontroversi Nikah Sirri,(Suara Merdeka, Rabu 28 Desember 2011)
Khoirul Marzuki, Kontroversi Hukum Nikah Sirri, (Suara Merdeka, Rabu 28
Desember 2011),