11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pembahasan pada bab kajian pustaka diuraikan mengenai teori yang mendukung
dalam penelitian ini, hal-hal tersebut meliputi: (1) resepsi pembaca, (2) cybersastra, serta
(3) karya sastra dan unsur pembangun. Berikut penjelasan yang berkaitan dengan kajian
pustaka.
2.1. Resepsi Pembaca
Hans Robert Jauss dan Wolfgang Iser merupakan dua tokoh yang menerapkan teori
resepsi pembaca pertama kali. Konsep yang ditawarkan Jauss (dalam Rokmansyah, 2014:
113) adalah rezeptions und wirkungsasthetik atau “tanggapan dan efek”. Menurutnya
pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Selain itu,
setiap pembaca telah memiliki horison harapan dalam dirinya. Horizon harapan adalah
harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai
wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horizon harapan seseorang ditentukan
oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan seseorang dalam
menanggapi suatu karya sastra.
Selain itu, konsep yang ditawarkan Iser adalah adanya ruang-ruang kosong dalam
karya sastra yang mengharuskan pembaca untuk mengisinya. Hal ini berhubungan dengan
sifat karya sastra yang mengandung kemungkinan banyak makna. Iser (dalam Pradopo,
2005: 208) mengatakan bahwa semakin banyak tempat-tempat terbuka atau tempat-tempat
kosong itu, maka karya sastra makin bernilai. Akan tetapi keberadaaan ruang kosong
12
tersebut ada batasnya, karena jika terlalu banyak akan menyebabkan pembaca tidak bisa
mengisinya.
Menurut Segers dalam Saraswati (2011: 159), teori Jauss dimaksudkan untuk
melayani studi sejarah sastra, sementara Iser memusatkan diri pada sifat dan status teks
sastra. Berdasarkan pernyataan Segers tersebut, pendapat yang sesuai dalam penelitian ini
adalah kerangka pemikiran dari Iser karena berhubungan dengan teks sastra bukan dengan
sejarah sastra.
Melalui pendapat Iser dapat disimpulkan bahwa sebagai salah satu bentuk karya
sastra, novel Intelegensi Embun Pagi juga memiliki ruang-ruang kosong di dalamnya, yang
mengharuskan setiap pembaca untuk mengisinya. Karya sastra sendiri terdiri dari unsur-
unsur pembangun, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Adanya ruang kosong dalam unsur-unsur
pembangun ini memberi kesempatan pembaca untuk menilai, memaknai, ataupun bereaksi
terhadap hal-hal yang terdapat di dalam novel.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Junus (Sahanamina, 2014) bahwa respon pembaca
merupakan cara pembaca dalam memberi arti kepada karya sastra. Beberapa hal juga
menjadi alasan mengapa resepsi pembaca sangat penting, di antaranya adalah karena: (1)
karya sastra hidup lebih lama dari penulisnya, sehingga pembaca yang menikmati karyanya
tidak menanyakan siapa penulisnya; (2) produksi karya sastra yang luas penyebarannya
secara ruang dan waktu, membuat pembaca lebih mengenal karyanya daripada penulisnya;
(3) karya sastra hidup lebih lama dari penulisnya, karena karya sastra dihidupkan para
pembacanya.
13
Berdasarkan hal-hal di atas dapat diketahui jika resepsi pembaca terhadap teks
sastra merupakan penelitian yang sangat penting dalam dunia sastra untuk mengetahui
seberapa besar karya tersebut diterima oleh masyarakat melalui tanggapan atau reaksi yang
diberikan. Pembaca satu dengan lainnya memiliki tanggapan yang berbeda. Tanggapan atau
reaksi pembaca terhadap novel Intelegensi Embun Pagi merupakan salah satu cara dari
pembaca untuk menjadikan novel tersebut menjadi lebih berarti dan bermanfaat.
Tanggapan pembaca menurut Junus (dalam Munaris 2012: 13) dapat bersifat pasif
(pembaca dapat memahami karya itu atau dapat melihat hakikat estetikanya) atau bersifat
aktif (bagaimana pembaca merealisasikan tanggapannya). Dalam penelitian ini memiliki
sifat aktif karena peniliti berfokus pada penerimaan pembaca terhadap novel. Setelah
aktivitas membaca novel Intelegensi Embun Pagi, pembaca mewujudkan penerimaannya
terhadap novel dalam bentuk tanggapan yang dituliskan dan diunggah di internet.
2.1.1 Aspek Resepsi Pembaca
Mukarovsky (dalam Endraswara, 2013: 119) menuturkan aspek penelitian resepsi
pembaca adalah untuk mengetahui reaksi pembaca terhadap karya sastra, baik reaksi positif
atau negatif. Reaksi positif terhadap teks sastra dapat berupa sikap dan tindakan unsuk
menghasilkan kembali, memunculkan hal yang baru, memperbanyak, menyimpulkan, dan
sebagainya. Sebaliknya, reaksi yang bersifat negatif mungkin pembaca akan merasa tidak
senang, marah, bahkan waspada terhadap teks sastra.
Reaksi pembaca baik secara postif maupun negatif terhadap novel Intelegensi
Embun Pagi itu akan sampai pada penilaian terhadap novel tersebut. Pembaca melakukan
penilaian secara objektif bersadarkan pengalamannya. Selain hal-hal yang berada pada
14
dirinya, pembaca juga akan menilai sesuai dengan unsur-unsur yang memang terdapat di
dalam sebuah karya sastra.
Menurut Endraswara (2008: 120) penelitian mengenai reaksi pembaca dapat di
golongkan menjadi dua kelompok, yaitu secara langsung dan melalui lahirnya sastra sejenis.
Pertama, secara langsung, peneliti dapat bertanya secara langsung ataupun melalui media
tentang reaksi pembaca terhadap teks. Kedua, peneliti dapat melihat reaksi pembaca lewat
terciptanya teks sastra yang sama. Kelompok kedua ini, kebanyakan menggunakan bidang
budaya, sejarah, dan perbandingan, dengan mencari bentuk-bentuk sastra sejenis dari satu
masa ke masa yang lain.
Dari dua kelompok penelitian resepsi pembaca tersebut, yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kelompok pertama. Peneliti melakukan dengan cara menyelidiki reaksi
pembaca terhadap karya sastra dalam hal ini novel Intelegensi Embun Pagi karya Dewi
Lestari yang dikemukakan pembaca melalui media internet. Reaksi tersebut dilakukan
secara langsung oleh pembaca dengan fokus terhadap novel, tanpa membandingkan dengan
lahirnya sastra sejenis di masa yang lain.
2.1.2 Kategori Pembaca
Kehadiran pembaca novel memiliki peranan yang sangat besar. Resepsi pembaca
satu dengan lainnya bervariasi, hal ini dikarenakan perbedaan status sosial, budaya,
pengalaman, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Perbedaan-perbedaan ini
menghasilkan beberapa kategori-kategori pembaca. Pertama, Super Reader yaitu pembaca
yang berpengalaman, yang diperkenalkan oleh Riffatere (dalam Endraswara, 2013: 125).
Pembaca ini disebut juga pembaca akademik dan atau kritik yang memahami teori-teori
15
sastra, serta hubungan semantaik dan prakmatig dalam karya sastra. Kedua, Informed
Reader, yang diajukan oleh Fish (dalam Endraswara, 2013: 125) merupakan pembaca yang
tahu dan yang kompeten. Pembaca ini biasanya memiliki kemampuan bahasa, semantik,
dan kode sastra yang cukup. Ketiga, Implied Reader yang diusulkan oleh Iser (dalam
Rokhmansyah, 2014: 117). Pembaca ini adalah pembaca yang telah dibentuk dan
distrukturkan oleh penulis di dalam karyanya. Kategori Implied Reader ini sejalan dengan
Real Reader, Actual Reader, yaitu manusia yang benar-benar melakukan tindakan
pembacaan.
Real Reader atau pembaca nyata merupakan pembaca yang memberikan
penerimaan secara nyata, karena pembaca nyata memberikan arti individual kepada
struktur-struktur yang dipresentasikan oleh pengarang dalam karyanya (Saraswati, 2011:
160). Pembaca nyata merupakan pembaca yang berperan penting bagi resepsi daripada
kategori pembaca yang lain. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan pembaca nyata
sebagai subjek penelitian, yaitu pembaca yang telah benar-benar membaca novel
Intelegensi Embun Pagi kemudian menuliskan tanggapannya terhadap novel tersebut. Cara
yang digunakan peneliti untuk mengetahui pembaca yang telah benar-benar membaca jika
dalam goodreads melalui kolom reading progress yang memang ada dalam website
tersebut, sedangkan untuk wordpress dan blogger diketahui melalui komunikasi antara
peneliti dan pembaca lewat surat elektronik ataupun contact person yang disediakan di
dalamnya.
16
2.3.Cybersastra
Munculnya Cybersastra atau sastra cyber dimulai berdasarkan kemajuan IPTEK
yang semakin berkembang di berbagai lini kehidupan. Hadirnya internet merupakan salah
satu bentuk perkembangan IPTEK. Internet hadir sebagai jaringan yang menghubungkan
tempat yang satu dengan tempat yang lain. Hal ini memudahkan informasi tersebar luas
secara online dan memungkinkan siapa saja mendapat berita terbitnya karya sastra secara
tidak terbatas. Oleh karena itu keberadaan internet di antara masyarakat menjadi sangat
berarti.
Hidayat (2008) menuturkan perkembanga sastra cyber menjadi cara baru bagi
seniman sastra untuk menyebarkan karyanya ke masyarakat. Dalam sejarah kesastraan
Indonesia, diketahui bahwa kemampuan sastrawan ditentukan oleh tulisannya. Tidak ada
tahapan pendidikan manapun yang dapat mematenkan kesejatian sastrawan yang mapan.
Hal-hal itu hanya ditentukan oleh kehadiran karya sastranya di tengah masyarakat.
Sehingga secara langsung ataupun tidak langsung, masyarakat memiliki kriteria tersendiri
mengenai hadirnya seorang sastrawan.
Menurut Lubis (2010: 88) sastra cyber salah satunya adalah wadah yang diciptakan
untuk tempat penerbitan karya sastra dan diskusi sasta. Pembaca dapat memberikan komentar
terhadap karya yang telah mereka baca secara langsung. Modal dasar yang harus dimiliki
dengan adanya sastra cyber ini paling tidak pembaca mengetahui apa yang dicara dan dapat
mengoperasikan program komputer. Komentar atau tanggapan pembaca yang diunggah di
internet inilah yang menjadi data dalam penelitian ini.
17
Goodread merupakan salah satu komunitas cybersastra yang mengkhusukan untuk
katalogisasi buku, mempunyai konten friend, group, dan discussion memungkinkan setiap
pengguna di dalamnya dapat memberikan ulasan novel, dalam hal ini novel Intelegensi
Embun Pagi, sekaligus saling berbagi dan berdiskusi dengan pengguna yang lain. Selain itu,
komentar terhadap novel tersebut juga banyak dimuat di wordpress dan blogger. Pemilihan
komunitas cybersastra itu sebagai sumber data selain karena pengguna di laman tersebut
telah mencapai ratusan ribu pengguna, juga karena peneliti dapat melihat waktu
pengunggahan komentar tersebut dan mengetahui identitas pembaca atau pemberi komentar.
Novel yang awalnya kosong menjadi lebih bermakna dengan adanya pembaca yang
memberi makna melalui tanggapannya. Walaupun pembaca dalam cybersastra memberi
tanggapan terhadap novel tanpa adanya angket khusus yang diberikan, akan tetapi pembaca
tetap tidak akan memaknai teks semaunya. Pembaca secara tidak langsung tetap terikat
kepada teks sastra sebagai sebuah sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri
berdasarkan kodrat atau hakikat karya sastra. Salah satu hal yang memang menjadi menjadi
hakikat sebuah karya sastra adalah adanya unsur pembangun karya sastra.
2.4. Karya Sastra dan Unsur Pembangun
Karya sastra merupakan hasil proses kreatifitas pengarang dalam melakukan
pengembaraan batin, proses perenungan yang mendalam atas sesuatu yang berada di luar
dirinya (Sugiarti, 2014: 134). Proses kreatif itu menjadikan hal-hal yang ada di sekitar
pengarang dituliskannya dalam karya sastra dengan tambahan imajinasinya. Oleh karena
cerita dalam karya sastra telah dipengaruhi sikap pengarangnya, seperti pendidikan,
18
keinginan, keyakinan, dan pengetahuan. Kehidupan di dalam sebuah karya sastra telah
mengalami perubahan sesuai dengan norma-norma yang berlaku ataupun sesuai dengan
kreativitas pengarang tersebut, karenanya terkadang di dalam sebuah karya sastra terhadap
bagian yang tidak sama dengan yang ada di kehidupan para pembaca.
Salah satu bentuk karya sastra adalah prosa fiksi. Menurut Aminuddin (1987: 66)
prosa fiksi adalah kisah yang dimiliki oleh tokoh dengan peran tertentu, latar serta urutan
cerita yang berasal dari hasil khayalan pengarang sehingga menjadi suatu cerita. Bentuk
prosa fiksi dapat berupa roman, novel, novelet, maupun cerpen.
Herlina (2013: 85) mengungkapkan novel adalah dokumen sosial, karena di
dalamnya terdapat berbagai konflik kehidupan manusia yang menyangkut moral, sosial,
psikologi, agama, kasih sayang, nafsu dan cinta yang dialami manusia. Hubungan antar
tokoh, tempat, peristiwa, yang pernah ada atau pernah terjadi pada masyarakat menjadikan
hal itu terkadang terasa sangat nyata bagi pembaca.
Perbedaan sebuah novel sebagai karya sastra dibandingkan karya-karya nonsastra
lainnya dilihat berdasarkan konvensi tertentu, yang membentuk sistem atau tradisi
kesusastraan. Karya sastra berdiri atas unsur-unsur pembangunnya. Unsur pembangun
karya sastra terbagi menjadi dua yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui respon pembaca terhadap stuktur instrinsik, yang tentunya juga terdapat
di dalam novel Intelegensi Embun Pagi.
Menurut Pradopo (2005: 22) ciri-ciri instrinsik karya sastra meliputi dua aspek,
yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra ekstetik. Ciri struktur estetik meliputi alur,
penokohan, teknik, sudut pandang, gaya bercerita, dan gaya bahasa. Ciri ekstra estetik
19
meliputi bagian karya sastra, seperti konflik, pemikiran, filsafat, ideologi, gambaran
kehidupan, bahkan juga termasuk topiknya sendiri. Hal-hal tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
2.3.1. Unsur Estetik
Tiap-tiap karya sastra dari tahun ke tahun dapat diketahui perbedaan-perbedaannya
melalui struktur-struktur pembentuknya. Struktur estetik merupakan struktur yang dapat
ditemukan di dalam sebuah cerita dengan mudah. Hal-hal tersebut, sudah tergambar dengan
jelas di dalam cerita. Struktur estetik terdiri dari hal-hal sebagai berikut.
a) Tokoh
Seperti halnya kisah nyata, cerita dalam novel juga memiliki tokoh sebagai pelaku
yang mengalami dan memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan
kehidupannya. Tokoh adalah individu ciptaan pengarang yang mempunyai perangai dan
tingkah laku tertentu sebagai orang yang mengalami peristiwa dalam cerita. Sedangkan,
penokohan adalah gambaran mengenai tokoh cerita, baik secara fisik maupun psikisnya
yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan
sebagainya.
Cara pengarang dalam mengungkapkan tokohnya dalam sebuah cerita dapat
berbagai macam. Menurut Rokhmansyah (2014: 36) penokohan dapat ditunjukkan dengan
cara langsung dan tidak langsung. Secara langsung artinya penulis mengatakan atak tokoh
dalam ceritanya secara langsung. Sedangkan, tidak langsung artinya penulis menunjukkan
melalui ide-ide, cara berpikir, pandangan hidup, sikap, keadaan fisik, dan dialognya dalam
20
sebuah cerita. Nantinya, penggambaran watak ini membuat pembaca menyimpulkan sendiri
watak tokoh dalam cerita yang dibacanya.
Penggambaran watak di atas nantinya dapat menghasilkan jenis-jenis perwatakan
tokoh yang selama ini kita tahu. Seperti tokoh protagonis, yaitu pelaku yang memiliki
watak yang baik sehingga disenangi pembaca, dan pelaku antagonis, yakni pelaku yang
tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang
diidamkan oleh pembaca (Aminuddin, 1978: 80). Pelaku protagonis biasanya menjadi
tokoh yang mendukung jalannya cerita, sedangkan pelaku antagonis menjadi tokoh yang
menghambat jalannya cerita.
Masing-masing tokoh itu, di dalam sebuah cerita mendapat fungsi yang berbeda.
Terdapat tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam sebuah cerita, atau disebut tokoh
utama. Sedangkan tokoh yang tidak memiliki pengaruh yang besar karena pemunculannya
hanya menjadi pelengkap atau pendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh
pembantu.
Tokoh dan penokohan ini meninggalkan kesan tersendiri bagi para pembaca.
Penelitian ini melihat resepsi pembaca terhadap siapa saja tokoh yang terdapat dalam novel
Intelegensi Embun Pagi dan bagaimana tanggapan mereka terhadap karakteristik tokoh-
tokoh tersebut.
b) Alur
Jalinan cerita dalam novel dibentuk oleh urutan peristiwa yang dihadirkan oleh para
pelaku. Tahapan-tahapan itu membentuk sebuah alur atau plot cerita dengan urutan
peristiwa yang beraneka ragam untuk mencapai efek-efek tertentu. Hal ini sejalan dengan
21
pendapat Sumardjo (dalam Rokhmansyah 2014: 37) melalui adanya urutan pembaca dibuat
untuk merasakan keadaan menegangkan, di dalamnya hadir penangguhan-penangguhan
cerita, yang akan membuat pembaca merasa ingin kembali membaca dan menikmati
kisahnya.
Tahapan alur menurut Nurgiantoro (1995: 142) terbagi menjadi tiga yaitu awal,
tengah, dan akhir. Tahapan awal merupakan tahap perkenalan. Tahap ini berisi sejumlah
informasi penting yang berkaitan dengan peristiwa yang akan terjadi pada tahapan
selanjutnya. Tahapan tengah dapat disebut tahap pertikaian. Pada tahap ini konflik atau
pertikaian yang ada sebelumnya sudah mulai semakin menanjak dan menegangkan.
Tahapan akhir merupakan akhir dari cerita. Tahapan ini dapat disebut juga tahap peleraian
atau berisi tahapan bagaimana akhir dari sebuah konflik atau klimak (puncak konflik).
Jalinan cerita selain dari tahapan alur yang ada, juga dapat dilihat melalui kaidah-
kaidah alur. Menurut Kenny (dalam Nurgiantoro, 1995: 130) kaidah-kaidah alur terdiri dari
plausibility (plausibilitas), suspense (rasa ingin tahu), surprise (kejutan), unity (kepaduan).
Plausibility (plausibilitas) mengarah pada suatu hal yang dapat dipercaya. Plausibility
(plausibilitas) mengarahkan bahwa alur sebuah cerita haruslah bersifat dapat dipercaya oleh
pembaca. Jika ada sebuah peristiwa yang terjadi tiba-tiba tanpa ada keterkaitan dengan
peristiwa yang lain atau tanpa ada latar penguat maka dianggap kurang kadar
plausibilitasnya atau mengandung dues ex machine. Suspense (rasa ingin tahu) mengarah
kepada rasa ingin tahu pembaca. Alur cerita haruslah dapat membangkitkan rasa ingin tahu
pembaca, seperti adanya harapan, atau perasaan kurang pasti dari sebuah cerita sehingga
pembaca merasa ingin mengetahui lanjutan cerita. Salah satu cara untuk
22
membambingkatkan rasa ingin tahu adalah melalui adanya foreshadowing. Surprise
(kejutan) menunjukkan bahwa alur harus memberikan sesuatu yang bersifat mengejutkan.
Kejutan ini terjadi ketika dalam cerita terdapat hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai
dengan harapan pembaca. Unity (kepaduan) mengarah kepada pengertian bahwa berbagai
unsur yang ditampilkan dalam cerita haruslah memiliki keterikatan satu dan lainnya.
Tahapan alur dan kaidah alur di atas, terdapat di semua alur dalam karya sastra,
baik itu cerpen ataupun novel. Keterpaduan cerita tidak hanya dalam satu cerita, jika cerita
atau novel tersebut berbentuk cerita berseri, maka seri pertama sampai terakhir juga akan
menjadi acuan bagi pembaca untuk memahami alur cerita yang terjadi. Sebagai sebuah seri
terakhir dari seri novel Supernova, pembaca dalam memahami alur Intelegensi Embun Pagi
juga haruslah didukung dengan pengetahuannya terhadap alur cerita pada seri yang lainnya.
2.3.2. Unsur Ekstra Estetik
Ciri ekstra estetik merupakan bagian cerita dalam karya sastra yang
menggambarkan tentang permasalahan yang diangkat dalam karya sastra, pandangan hidup
atau gambaran kehidupan di dalamnya. Resepsi terhadap ciri ekstra estetik tersebut erat
kaitannya dengan reaksi pembaca terhadap tema dan latar yang terdapat dalam karya sastra.
Hal ini dikarenakan tema menjadi dasar cerita, setiap permasalahan yang dimunculkan oleh
pengarang merupakan hasil dari pemikiran dasar cerita yang dimiliki. Selain itu, pandangan
pengarang tentang kehidupan tercermin dalam latar-latar cerita yang di dalamnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2005: 26) yang mengungkapkan ciri
ekstra estetik prosa di periode Angkatan 45 (1940-1955) meliputi masalah kemasyarakatan,
23
kemiskinan kemanusiaan, dan latar cerita yang berupa latar peperangan. Hal ini
menunjukkan ciri ekstra estetik karya sastra dapat dilihat dari tema dan latar terjadinya
peristiwa yang terdapat dalam cerita tersebut. Latar dan tema cerita dijelaskan sebagai
berikut.
a. Latar
Pendapat pengarang tentang kehidupan tercermin dalam cara pengarang dalam
memilih latar-latar cerita di dalam karyanya. Hal ini dikarenakan di dalam latar tidak hanya
menggambar waktu dan tempat terjadinya peristiwa. Latar dalam karya sastra juga
menggambarkan tentang latar sosial dan budaya yang terdapat dalam cerita.
Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiantoro (1995: 218) bahwa latar dalam karya
fiksi itu berhubungan langsung dengan sikap, pandangan, dan perlakukan tokoh, sedangkan
tokoh sendiri sering diindentifikasikan diri oleh seorang pembaca. Oleh karena itu,
berdasarkan latar terjadinya peristiwa dalam cerita, akan menunjukkan bagaimana
gambaran kehidupan yang dianut oleh tokoh-tokoh dalam cerita.
Nurgiantoro menambahkan, bahwa latar terbagi menjadi dua yaitu latar fisik dan
spiritual. Latar fisik berhubungan dengan waktu dan tempat terjadinya peristiwa. Saat
membaca karya sastra pembaca akan ditemukan dengan lokasi-lokasi terjadinya peristiwa,
baik kota, jalan, atau kamar. Selain itu, pembaca juga akan berurusan dengan hubungan
waktu, saat hujan gerimis, pukul delapan, saat bulan purnama, atau awal bulan, hal-hal ini
mengarahkan kepada waktu terjadinya peristiwa. Latar spiritual berwujud tata cara, adat
istiadat, kepercayaan, dan norma yang berlaku di tempat terjadinya peristiwa. Oleh karena
24
itu, permasalahan atau cara penyelesaian masalah yang nantinya muncul tidak jarang
didasarkan pada latar terjadinya peristiwa dalam karya sastra tersebut.
b. Tema
Permasalahan dalam karya sastra erat kaitannya dengan tema. Keduanya saling
terhubung sehingga pembaca akan lebih mudah memahami. Tema, terkadang dapat menjadi
pokok utama dari permasalahan yang ada dalam cerita, atau permasalahan dalam cerita
dipilih agar mencerminkan tema yang diinginkan pengarang (Nurgiantoro, 1995: 99).
Tema menjadi kiblat bagi pengarang dalam menuliskan awal, tengah, ataupun akhir
cerita. Tema hadir dalam setiap bagian-bagian dalam cerita. Oleh karena itu, tema
terkadang tidak ditunjukkan secara langsung dalam kalimat, melainkan membaur dan
tergambar di dalam struktur-struktur cerita lainnya.
Tema mengangkat masalah kehidupan. Karya sastra adalah representasi kehidupan
nyata. Maka, layaknya kehidupan nyata, tema yang diangkat juga sekompleks dan
seberagam dalam kehidupan nyata. Misalnya masalah tentang cinta, rindu, takut, religius,
atau kemanusiaan. Semuanya merupakan masalah yang memang terkadang dialami oleh
siapapun dalam kehidupan, termasuk penulis dan pembaca.
Oleh karena itu, pembaca dalam memahami tema cerita terkadang beragam. Tiap-
tiap dari mereka dapat menemukan tema lebih dari satu, karena banyaknya interpretasi
masing-masing individu. Tema sendiri terbagi menjadi dua, yaitu tema utama atau besar
dan tema kecil. Tema utama merupakan tema pokok yang dinilai atau ditentukan
berdasarkan banyaknya tema-tema yang ada di dalam karya sastra, Tema kecil adalah tema
tambahan yang ada di bagian-bagian tertentu dalam karya sastra.