8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lansia
2.1.1 Definisi
Usia lanjut adalah suatu tahap akhir dari siklus kehidupan manusia dan
merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO)
membagi batasan usia lansia menjadi: kelompok usia 45 – 59 tahun sebagai usia
pertengahan (middle elderly), kelompok usia 60 – 74 tahun disebut lansia
(elderly), kelompok usia 75 – 90 tahun disebut tua (old), dan usia di atas 90 tahun
disebut sangat tua (very old). Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1998 menyatakan
bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas
(Rohana, 2011).
Penurunan anatomik dan fungsi organ lebih tepat jika tidak dikaitkan ke
dalam umur kronologik akan tetap dengan umur biologiknya. Dengan kata lain,
mungkin seseorang dengan usia kronologik baru mencapai usia dewasa akhir,
tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan anatomik dan fungsional yang
nyata akibat umur biologiknya yang sudah lanjut sebagai akibat tidak baiknya
faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan, dan kurangnya aktivitas. Menua adalah
proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap paparan dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Darmojo dan Matono, 2009).
9
2.1.2 Proses Menua
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang
berlanjut secara alamiah, dimulai sejak lahir dan umunya dialami oleh semua
makhluk hidup.
Dampak yang ditimbulkan dari proses menua antara lain adanya
perubahan morfologis pada otot yang menyebabkan perubahan fungsional otot
yaitu terjadi penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas
otot, penurunan fungsi proprioseptif serta kecepatan, gangguan sistem vestibular,
visual dan waktu reaksi (Nitz dan Choy 2004).
2.1.3 Epidemiologi Gangguan Keseimbangan pada Lansia
Gangguankeseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada
lansia. Apabila keseimbangan postural lansia tidak terkontrol, maka akan dapat
meningkatkan resiko jatuh. Faktor risiko jatuh pada lansia meliputi faktor intrinsik
(host) dan faktor ekstrinsik (environmental). Faktor intrinsik terdiri dari:
permasalahan keseimbangan dan berjalan, kelemahan otot, riwayat jatuh
sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan penglihatan, radang sendi,
depresi, permasalahan kognitif, serta usia lebih dari 80 tahun. Faktor ekstrinsik
meliputi: penggunaan alas kaki yang tidak tepat, permukaan lantai yang licin atau
kasar, pencahayaan yang kurang, serta banyaknya hambatan yang terdapat pada
lingkungan (Rubenstein dan Josephson 2002).
10
Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas
65 tahun mengalami jatuh. Angka ini cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan
terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38% lansia yang jatuh dan
dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur
panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas (British Columbia, 2004).
Sekitar satu per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada
13% populasi lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang
mengalami jatuh cenderung akan terjadi jatuh yang berulang. Jatuh yang berulang
menjadi alasan utama ketergantungan lansia pada lingkungan sekitar.Efek panjang
yang dirasakan lansia yaitu berkurangnya rasa percaya diri, depresi, hingga
terisolasi secara sosial (Josephson dan Rubenstein, 2006).
2.1.4 Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam
faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada
sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem
muskuloskeletal.Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau
gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi
untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat
dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah.Gangguan pada sistem
sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris
(Suadnyana, 2013).
11
Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses
penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi
serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas
lensa dan otot siliaris.Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah
dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi
tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedhet al., 2006).
Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular.
Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith,
epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula
secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah.Hal ini
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap
gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai
pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan
sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis
semisirkularis (Barnedhet al., 2006).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan
kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran,serta proprioseptor sendi
dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting
dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas
kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil,
tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan
mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga
keseimbangan (Suadnyana, 2013).
12
Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik.Hal ini
berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan
sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh
terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang
menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga
menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih
lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada
kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang
percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan.Penurunan kekuatan otot pelvis
dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural
tersebut.Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan
halus.Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-
neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009). Oleh karena itu,
penurunan fungsi setiap sistem pada lansia akan menyebabkan penurunan pada
keseimbangan.
2.2 Keseimbangan
2.2.1 Pengertian Keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan
tubuh ketika ditempatkan dalam berbagai posisi (Dellito, 2003).Keseimbangan
juga dapat diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol pusat masa
tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang
tumpu (basse of support) (Indriaf, 2010).
13
Menurut Ann Thomson, keseimbangan adalah mampu mempertahankan
posisi tubuh dalam posisi statis atau dinamis, serta menggunakan aktivitas otot
yang minimal. Keseimbangan tubuh merupakan kemampuan manusia untuk
mencapai dan mempertahankan postur tubuh tetap tegak melawan gravitasi dan
juga untuk mengatur seluruh keterampilan aktivitas fisik (Potter dan Perry, 2005).
Jadi keseimbangan tubuh adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan posisi
tubuh agar tetap seimbang baik dalam posisi diam (statis) atau bergerak (dinamis)
dengan mengatur pusat gravitasi terhadap bidang tumpu.Keseimbangan tubuh
dibagi menjadi dua yaitu keseimbangan statis dan dinamis.Keseimbangan statis
adalah kemampuan tubuh untuk dapat menjaga keseimbangan tubuhnya pada
suatu posisi diam dan selama waktu tertentu, misalnya saat diam dan berdiri.
Sedangkan, keseimbangan dinamis adalah kemampuan tubuh untuk dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya pada saatbergerak, misalnya saat berjalan,
berlari, dan bangkit berdiri dari posisi duduk (Sugiarto, 2005).Tujuan tubuh
mempertahankan keseimbangan adalah menyangga tubuh melawan gravitasi dan
faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan
seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian
tubuh lain bergerak (Irfan, 2010). Sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu akan
mendukung berbagai gerakan di setiap segmen tubuh untuk terciptanya
keseimbangan. Adanya kemampuan menyeimbangkan antara massa tubuh dengan
bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif
dan efisien (Abrahamova dan Hlavacka, 2008).
14
Keseimbangan bukanlah kualitas yang terisolasi, namun mendasari
kapasitas kita untuk melakukan berbagai kegiatan yang merupakan kehidupan
kegiatan normal sehari-hari (Huxham et al., 2001).
Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat gravitasi
(center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu
(base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatutitik dimana
massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Agar
dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut harus berpindah untuk
mengompensasi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan
keseimbangannya (Barnedh, 2006).
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan
didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh
mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya
gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar
sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh
ketika tubuh lain bergerak (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menyeimbangkan
massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk
beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014).
2.2.2 Keseimbangan Dinamis
Keseimbangan Dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi
tubuh dimana (COG) selalu berubah, contoh saat berjalan (Batson, 2009).
Keseimbangan dinamis adalah pemeliharaan keseimbangan tubuh dalam posisi
bergerak (Nala, 2011). Dalam kehidupan sehari-hari keseimbangan statis dan
15
dinamis saling berkaitan dan mutlak tidak dapat dipisahkan karena tubuh manusia
jarang sekali dalam keadaan diam sempurna tanpa melakukan gerakan sama
sekali. Tubuh secara berkesinambungan melakukan pengaturan postur yang tidak
dapat dirasakan secara dasar .
Keseimbangan merupakan interintegrasi yang kompleks dari sistem
sensorik (vestibular, visual, dan somatosensory termasuk proprioceptor) dan
muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain) yang diatur dalam otak
sebagai respon terhadap perubahan kondisi internal dan eksternal. Bagian otak
yang mengatur meliputi basal ganglia, cerebellum, area asosiasi (Batson, 2009).
Equilibrium adalah sebuah bagian penting dari pergerakan tubuh dalam
menjaga tubuh tetap stabil sehingga manusia tidak jatuh walaupun tubuh berubah
posisi. Dinamis Equilibrium adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan
posisi pada waktu bergerak. Keseimbangan bukanlah kualitas yang terisolasi,
namun mendasari kapasitas kita untuk melakukan berbagai kegiatan yang
bmerupakan kehidupan kegiatan normal sehari-hari (Huxham et al., 2001).
Pada posisi berdiri seimbang, susunan saraf pusat berfungsi untuk menjaga
pusat gravitasi dalam keadaan stabil dengan batas bidang tumpu tidak berubah
kecuali tubuh membentuk batas bidang tumpu lain misalnya melangkah.
Pengontrol keseimbangan pada tubuh manusia terdiri dari tiga komponen
penting, yaitu sistem informasi sensorik (visual, vestibular dan somatosensoris),
central processing dan efektor (Army, 2012).
Pada saat berdiri dinamis sistem visual berperan dalam berfungsi sebagai
kontrol keseimbangan, pemberi informasi, serta memprediksi datangnya
16
gangguan.Bagian vestibular berfungsi sebagai pemberi informasi gerakan dan
posisi kepala ke susunan saraf pusat untuk respon sikap dan memberi keputusan
tentang perbedaan gambaran visual dan gerak yang sebenarnya. Masukan (input)
proprioseptor pada sendi, tendon dan otot di kulit telapak kaki juga merupakan
hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri statis maupun dinamik
(Army, 2012).
Sistem saraf pusatberfungsi untuk memetakan lokasi titik gravitasi, menata
respon sikap, serta mengorganisasikan respon dengan sensorimotor.Selain itu,
efektor berfungsi sebagai perangkat biomekanik untuk merealisasikan renspon
yang telah terprogram di pusat, yang terdiri dari unsur lingkup gerak sendi,
kekuatan otot, sikap, serta stamina (Army, 2012).
Pada saat berdiri tegak, hanya terdapat gerakan kecil yang muncul dari
tubuh, yang biasa disebut dengan ayunan tubuh.Jumlah ayunan tubuh ketika
berdiri tegak dipengaruhi oleh faktor posisi kaki dan lebar dari bidang tumpu
(Nugroho, 2011). Posisi tubuh ketika berdiri dapat dilihat kesimetrisannya
dengan : kaki selebar sendi pinggul, lengan di sisi tubuh, dan mata menatap ke
depan. Walaupun posisi ini dapat dikatakan sebagai posisi yang paling nyaman,
tetapi tidak dapat bertahan lama, karena seseorang akan segera berganti posisi
untuk mencegah kelelahan (Yuliana, 2014).
Keseimbangan dinamis dalam kehidupan sehari – hari merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan secara mutlak karena manusia jarang sekali dalam
keadaan diam yang sempurna tanpa bergerak sama sekali (Setiati, 2006).
2.2.3 Fisiologi Keseimbangan
17
Keseimbangan tercipta apabila terdapat integritas antara tiga sistem sensorik
(visual, vestibular, dan proprioseptif), sistem saraf pusat sebagai unit pemroses
(central processing), serta sistem neuromuskuloskeletal sebagai efektor melalui
respon motorik untuk merespon perubahan gravitasi, pergerakan linear atau
angular, dan perubahan lingkungan.
Sistem proprioseptif memiliki peranan dalam menjaga keseimbangan
postural dan memiliki hubungan dengan traktus spinoserebralis posterior dan
anterior.Traktus ini membawa informasi proprioseptif dan postural dari
ekstremitas bawah.Sinyal-sinyal yang dijalarkan dalam traktus spinoserebralis
posterior terutama berasal dari kumparan otot dan sebagian kecil berasal dari
reseptor somatik di seluruh tubuh, seperti organ tendon Golgi, reseptor taktil yang
besar pada kulit, dan reseptor-reseptor sendi. Semua sinyal ini memberitahu
serebelum tentang bagaimana keadaan (1) kontraksi otot, (2) derajat ketegangan
tendon otot, (3) posisi dan kecepatan gerakan bagian tubuh, dan (4) kekuatan kerja
pada permukaan tubuh (Guyton dan Hall, 2008). Traktus ini kemudian naik di
medulla spinalis ipsilateral masuk ke pedunkulus serebelum inferior dan berakhir
di serebelum.Traktus spinoserebralis anterior menerima masukan somatosensorik
dari batang tubuh dan ekstremitas atas, masuk ke radiks dorsalis, traktus tersebut
menyilang dan naik ke serebelum melalui pedunkulus serebelum superior.Traktus
ini membawa informasi proprioseptif dari batang tubuh dan ekstremitas atas dan
sebagian kecil ekstremitas bawah (Barnerdhet al., 2006).
Batang otak juga memiliki sistem dalam mengatur gerakan seluruh tubuh
dan keseimbangan.Sistem keseimbangan postural melibatkan nuklei retikular
18
pontin dan nuklei retikular medular. Kedua rangkaian ini berfungsi secara
antagonistik satu sama lain dimana nuklei retikular pontin akan merangsang otot-
otot antigravitasi dan nuklei retikular medular berfungsi untuk merelaksasi otot
yang sama (Guyton dan Hall, 2008).
Nuklei retikular pontin menjalarkan sinyal eksitasi menuju medula melalui
traktus retikulospinal pontin pada kolumna anterior medula spinalis. Serabut-
serabut dari jaras ini berakhir pada neuron-neuron motorik bagian medial dan
anterior yang merangsang otot-otot aksial tubuh yang berfungsi untuk melawan
gravitasi, meliputi: otot-otot kolumna vertebra dan otot-otot ekstensor dari
anggota tubuh. Sebaliknya nuklei retikular medular menjalarkan sinyal inhibitorik
ke neuron-neuron motorik anterior antigravitasi yang sama melalui traktus yang
berbeda, yaitu traktus retikulospinal medula yang terletak pada kolumna lateralis
medula spinalis.Nuklei retikular medular menerima input kolateral yang kuat dari
traktus kortikospinal, traktus rubrospinal, dan jaras motorik lainnya dan secara
normal semua sistem ini mengaktifkan sistem inhibitorik retikular medular untuk
memberikan umpan balik sinyal eksitasi dari sistem retikular pontin, sehingga
dalam keadaan normal, otot-otot tidak tegang secara abnormal (Guyton dan Hall,
2008).
Seluruh nuklei vestibular, fungsinya berkaitan dengan nuklei retikular
pontin untuk mengatur otot-otot antigravitasi.Nuklei vestibular menjalarkan sinyal
eksitasi yang kuat ke otot-otot antigravitasi melalui traktus vestibulospinalis
medialis dan lateralis dalam kolumna anterior medulla spinalis.Peran spesifik
dari nuklei vestibular adalah untuk mengatur secara selektif sinyal-sinyal
19
eksitatorik dari berbagai otot antigravitasi untuk menjaga keseimbangan sebagai
responnya terhadap sinyal dari apparatus vestibular (Guyton dan
Hall,2008).Traktus vestibulospinalis lateralis mendapatkan informasi lewat
macula (utrikulus dan sakulus) dan berperan dalam percepatan linear.Pada waktu
gerakan percepatan linear tersebut terjadi eksitasi neuron motorik ekstensor dan
inhibisi neuron motorik fleksor.Sedangkan traktus vestibulospinalis medial
menjalar ke medulla spinalis servikal dan torakal atas fasikulus longitudinalis
medial.Traktus vestibulospinalis medial terutama berfungsi mengatur refleks
vestibulospinal untuk stabilisasi kepala dan mata, traktus ini menghubungkan
kanalis semisirkularis ke neuron motorik servikalis yang menginervasi otot-otot
leher (Barnerdhet al., 2006).
Jika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak bergerak dengan lapang
visual yang stabil, maka input visual dan somatosensorik mendominasi kontrol
orientasi dan keseimbangan karena mereka merupakan sistem keseimbangan yang
lebih sensitif dari sistem vestibular terhadap perubahan posisi tubuh yang halus.
Sistem somatosensorik khususnya proprioseptif lebih sensitif terhadap perubahan
cepat dari orientasi tubuh, sedangkan sistem visual lebih sensitif terhadap
perubahan posisi yang lebih lambat.Sedangkan bila seseorang berdiri di atas
permukaan yang bergerak atau miring, otot-otot batang tubuh dan ekstremitas
bawah berkontraksi dengan cepat untuk mengembalikan pusat gravitasi tubuh ke
posisi seimbang.Dalam hal ini yang berperan adalah sistem proprioseptif dan
vestibular.Sistem vestibular terutama berperan dalam perubahan posisi yang
20
lambat. Sedangkan perubahan posisi yang cepat terutama dikompensasi oleh
sistem proprioseptif (Barnerdhet al.s, 2006).
2.2.4 Komponen-komponen Pengontrol Keseimbangan
2.2.4.1 Sistem Informasi Sensoris
a. Sistem Visual
Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan
penglihatan berperan dalam mengidentifikasi dan mengatur jarak sesuai dengan
tempat kita berada.Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal
dari obyek sesuai jarak pandang (Irfan, 2012).Sistem visual juga memberikan
informasi mengenai posisi kepala, penyesuaian kepala untuk mempertahankan
penglihatan, dan mengatur arah serta kecepatan pergerakan kepala karena ketika
kepala bergerak, objek sekitar berpindah dengan arah berlawanan (Colby dan
Kisner, 2007). Masukan reseptor visual berperan penting terutama pada landasan
penunjang yang tidak stabil, misalnya pada saat bertumpu pada tumit, goyangan
anteroposterior pada tubuh akan berkurang pada saat mata terbuka dibandingkan
dengan mata tertutup (Sugiarto, 2005). Gambar anatomi mata disajikan pada
Gambar 2.1.
21
Gambar 2.1 Sistem Visual
Sumber: anonim, 2009
Sistem visual memegang peranan penting dalam menjaga
keseimbangan.Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi
dengan sistem vestibular. Gangguan visual yang dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan, di antaranya:
- aneisokonia adalah perbedaan kemampuan magnifikasi atau pembesaran
dan pembentukan bayangan di retina pada mata kanan dan kiri,
- anisometropia adalah keadaan di mana terdapat perbedaan refraksi yang
signifikan antara ke dua mata (perbedaan 10 Dioptri),
- diplopia(double vision) adalah keadaan melihat bayangan ganda akibat
sumbu ke dua mata tidak parallel,
- gangguan fungsi binocular vision, yaitu gangguan dalam mengordinasikan
ke dua mata sebagai satu kesatuan dalam aspek konvergensi dan divergensi
dengan aspek akomodasi,
- sertastrabismus yaitu gangguan aligment mata kanan dan kiri (Sugiarto,
2005).
22
b. Sistem Vestibular
Aparatus vestibular merupakan organ sensoris untuk mendeteksi sensasi
keseimbangan.Alat ini terbungkus di dalam labirin tulang.Dalam sistem ini
terdapat tabung membran dan ruangan yang disebut labirin membranosa dan
merupakan bagian fungsional dari apparatus vestibular. Labirin membranosa
terdiri atas: koklea (duktus koklearis), tiga kanalis seminiverus, dan ruangan besar
yaitu, utrikulus dan sakulus.Koklea merupakan organ sensorik utama pendengaran
dan tidak berhubungan dengan keseimbangan.Kanalis seminiverusbertanggung
jawab terhadap keseimbangan dinamis, yaitu keseimbangan saat tubuh sedang
bergerak seperti berjalan atau dalam keadaan tidak seimbang (tersandung atau
tergelincir), sedangkan fungsi dari utrikulus dan sakulus sebagai penjaga
keseimbangan statis tubuh, yaitu berperan dalam kontrol postur dan monitoring
kepala (Guyton dan Hall, 2008).Pada permukaan dalam utrikulus dan sakulus
terdapat daerah sensorik kecil yang disebut sebagai makula.Makula pada utrikulus
berperan penting dalam menentukan orientasi kepala ketika kepala dalam posisi
tegak, sebaliknya makula pada sakulus memberikan sinyal orientasi kepala saat
seseorang sedang berbaring.Anatomi sistem vestibular dijabarkan pada Gambar
2.2.
23
Gambar 2.2 Sistem Vestibular
Sumber: Hidayat, 2008
Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang dilekati oleh kristal
kalsium karbonat kecil yang disebut statokonia. Dalam makula, juga terdapat
beribu-ribu sel rambut dan akan menonjolkan silia ke dalam lapisan gelatinosa
tersebut. Setiap sel rambut mempunyai 50 sampai 70 silia kecil yang disebut
stereosilia, ditambah satu silium besar yang disebut kinosilium.Perlekatan
filamentosa yang tipis, menghubungkan ujung setiap stereosilium dengan
strereosilum selanjutnya yang lebih panjang dan pada akhirnya ke kinosilium.
Apabila stereosilia melekuk ke arah kinosilium pelekatan filamentosa akan
menarik stereosilia berikutnya ke arah luar badan sel dan mampu menghantarkan
ion positif mengalir ke dalam sel dari cairan endolimfatik di sekelilingnya
sehingga menimbulkan depolarisasi membran reseptor. Sebaliknya, pelekukan
stereosilia ke arah berlawanan (ke belakang kinosilium) akan menurunkan
tegangan pada pelekatan dan keadaan ini mampu menutup saluran ion dan
terjadilah hiperpolarisasi reseptor.
24
Pada setiap makula, setiap sel rambut diarahkan ke berbagai jurusan
sehingga beberapa dari sel rambut dapat terangsang ketika kepala menunduk ke
depan, dan yang lainnya terangsang ketika kepala menengadah ke belakang atau
ketika membelok ke salah satu sisi. Pola inilah yang nantinya memberitahukan
kepada otak posisi kepala dalam ruangan, seperti yang dijabarkan pada
Gambar2.3.
Gambar 2.3 Sel rambut dari alat keseimbangan
Sumber: Yuliana, 2014
Setiap apparatus vestibularis terdapat tiga buah kanalis semisirkularis
dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior, posterior, dan lateral (horizontal)
yang tersusun tegak lurus satu sama lain, sehingga kanalis ini terdapat dalam tiga
bidang. Sel-sel rambut akan menjalarkan sinyal yang sesuai ke nervus vestibularis
untuk memberitahukan sistem saraf pusat mengenai perubahan perputaran kepala
dan kecepatan perubahan pada setiap tiga bidang ruangan. Dengan kata lain,
mekanisme kanalis semisirkularis dapat meramalkan akan terjadinya
ketidakseimbangan, sehingga menyebabkan pusat keseimbangan mengadakan
tindakan pencegahan antisipasi yang sesuai. Dengan cara ini, orang tidak akan
25
jatuh secara tak terduga sama sekali, karena sebelum terjadinya
ketidakseimbangan orang itu mulai mengadakan koreksi keadaan tubuhnya
(Guyton dan Hall, 2008). Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap
keseimbangan dijabarkan pada bagan Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan
Sumber: Sugiarto, 2005
c. Sistem Somatosensorik
Somatosensorik adalah perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang
berasal dari somatopleura yaitu kulit, otot, tulang, dan jaringan
pengikatnya.Somatosensorik tediri dari perasaan dangkal (perasa eksteroseptif),
perasa dalam (perasa proprioseptif), dan perasa luhur.Somatosensorik
Sistem Vestibuler
Reseptor
Utrikulus dan Sakulus
Fungsi Statik
Kontrol Postur
Kanalis Semisirkularis
Fungsi Dinamik
Monitoring
posisi kepala Kontrol
reflek dari
gerakan mata
Mengarahk
an gerakan
kepala
Informasi diteruskan ke:
Serebelum
N. VII
Batang Otak
Otot Ekstra Okuler
26
eksteroseptif sederhana meliputi rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa
raba.Somatosensorik proprioseptif terdiri dari rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa
tekan, rasa gerak, dan rasa sikap. Somatosensorik luhur adalah perasaan yang
mempunyai sifat diskriminatif dan tiga dimensional, misalnya dengan meraba,
menekan, dan merasakan suhu suatu benda dengan mata tertutup, dapat
menentukan benda apa yang dipegang, dari bahan apa benda itu dibuat, dan
sebagainya. Susunan somatosensorik adalah perantara untuk menyadari dan
merasakan rangsang dari dunia luar.Dari susunan saraf perifer, rangsangan
diteruskan melalui neuron-neuron ke susunan saraf pusat yang mengolah impuls,
sehingga dapat menghasilkan suatu perasaan.Impuls tersebut dinamakan impuls
aferen.Ada dua jenis susunan saraf yang digunakan untuk mengalirkan impuls
aferen tersebut, yaitu susunan eksteroseptif dan susunan proprioseptif (Sugiarto,
2005).
Susunan proprioseptif adalah susunan saraf yang menghantarkan impuls
rasa tekan, rasa gerak, rasa sikap, rasa getar, rasa nyeri dalam, dan rasa
diskriminatif. Sel neuron sistem proprioseptif mempunyai neurit dan dendrit yang
hampir sama panjangnya. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui
kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif
menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui
lemniskus medialis dan thalamus(Willis, 2007).Macam-macam reseptor dalam
sistem proprioseptif yaitu: korpus vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian
bawah kulit dan jaringan ikat, organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi,
muscle spindle ada dalam otot berfungsi sebagai stretch reseptor, piring Golgi-
27
Massoni ada dalam kulit untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005).
Pengaturan serebral dan sereberal terhadap gerakan voluntar yang melalui sistem
somatosensorik dijabarkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pengaturan Serebral dan Sereberal Terhadap Gerakan Voluntar
Sumber: Guyton dan Hall, 2008
2.2.4.2Central Processing
Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan
alligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor yang
dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan oleh sistem saraf
pusatberguna untukmenjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf pusat
menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan kemudian
menghubungkan pada sistem neuromuskular untuk memberikan output motorik
yang korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan yang baik ketika
28
dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak (dinamis). Komponen
sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol postural yaitu:corteks,
thalamus,basal ganglia, nuckelus vestibular, dan cerebellum (Suadnyana, 2013).
2.2.4.3 Efektor
a. Respon otot-otot postural yang sinergis
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari
aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun
bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur
keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan (Irfan, 2012).
Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan
jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari
perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh.Kerja otot yang
sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu
otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu.Gerak
dengan pola normal berasal dari adanya perencanaan gerak yang
diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan dan kecepatan
yang sesuai (Irfan, 2012).
b. Kekuatan otot
Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas.Semua gerakan yang
dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai
respon motorik.Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan
beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal
29
(external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler
yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan
kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin
besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot
tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya
gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi
posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil
merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis
maupun dinamis.Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan
dengan besaran tertentu (Irfan, 2012).
c. Range of Motion
Range of motion merupakan luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan
oleh sendi.ROM juga merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot dalam
melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek atau memanjang secara
penuh atau tidak sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan.ROM menentukan
kemampuan sendi dalam membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan
terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi, serta
keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi kebutuhan gerak yang
memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana, 2013).
30
Gambar 2.6 Bagan Fisiologi Keseimbangan
Sumber: Barnedh, 2006
2.2.5 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan
2.2.5.1Pusat gravitasi (Centre of Gravity-COG)
Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan
massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh
dalam keadaan seimbang.Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya
perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi.Pada manusia,
pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi
manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan
belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh
kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam area batas
Talamus
Korteks
Nukleus
Vestibularis
Organ
Vestibuler Visual
Serebelum
Spinoserebralis
Proprioseptif
Nukleus
Rubra
Rubrospinal
Vestibul
ospinal
Retikulo
spinal
Kornu anterior
Neuromuskular
31
stabilitas tubuh (stability limit). Stability limitadalah batas dari luas area di mana
tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan,
2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Centre of Gravity
Sumber : Irfan, 2012
2.2.5.2Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat
gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi
dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi
pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada
tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan
anterior knee dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.8 (Irfan, 2012).
32
Gambar 2.8 Line of Gravity
Sumber : Irfan, 2012
2.2.5.3Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan
permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh
dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang
tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri
dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki.Base of
Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu.
Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin
tinggi (Wen Chang, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.9.
33
Gambar 2.9 Base of Support
Sumber: Irfan, 2012
2.2.6 Penyusun Keseimbangan Postural
Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistematauset dalam
meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol postural
dianggap sebagaiketerampilan motorik yang kompleks berasal dariinteraksi antara
berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam kontrol postural
yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi postural
dipengaruhi oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi, landasan
penyangga, sistem visual, dan informasi internal.Orientasi spasial pada kontrol
postural bergantung pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan
somatosensoris.Keseimbangan postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor
untuk menstabilkan center of mass dan penjalaran eksternal pada stabilitas
postural.
Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem
kontrol postural,seperti terlihat pada Gambar 2.10.Penurunan kemampuan pada
34
salah satu komponen dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan
meningkatkan kejadian jatuh pada lansia.
Gambar 2.10 Penyusun Keseimbangan Postural
Sumber: Horak, 2006
2.2.6.1 Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints)
Komponen kendala biomekanik yang terpenting dalam keseimbangan
adalah ukuran dan kualitas dari bidang tumpu (base of support) yaitu kaki.
Keterbatasan pada ukuran, kekuatan, lingkup gerak, nyeri, atau kontrol dari kaki
akan mempengaruhi keseimbangan (Tinettiet all., 1994). Pada posisi berdiri,
terdapat area seperti kerucut (limit of stability) yang menjelaskan kemampuan
seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol
keseimbangan tanpa merubah bidang tumpu, (McCollum dan Leen, 1989) seperti
terlihat pada Gambar 2.11.
35
Gambar 2.11 Normal dan Abnormal Limits of Stability
Sumber: Horak, 2006
Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha
menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas,
sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris
yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati
batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita dengan gangguan
multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke belakang,
tetapi secara tiba-tiba mengambil langkah untuk melebarkan bidang tumpu.
Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan
pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior atau mediolateral tanpa
memindahkan bidang tumpu (Sibley et all.,2015).
Sistem saraf pusat mengatur keadaan internal pada batas stabilitas kerucut
dengan mengatur seberapa besar gerakan yang diperlukan dalam mengontrol
keseimbangan.Pada sebagian besar lansia dengan defisit keseimbangan, stabilitas
kerucut ini sangatlah kecil atau representasi sistem saraf pusat terhadap stabilitas
kerucut mengalami penurunan (Duncan at all., 1990).
36
2.2.6.2 Strategi Gerakan (Movement Strategies)
Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah
tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon
postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan
dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang
dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback
dan feedforward.Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem saraf
pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan posisi
tertentu.Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan menangkap bola
merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat gravitasinya, tetapi respon
postural otomatis setidaknya akan memprediksi keadaan ini dengan
mengantisipasi gerakan volunteer dalam rangka menstabilisasi pusat gravitasi
tubuh sehingga perubahan sikap atau gerakan terhadap stimulus yang diberikan
akan menjadi akurat. Sementara, feedback berhubungan dengan situasi dimana
tubuh mendapatkan gaya eksternal, seperti: tergelincir atau terdorong. Maka,
pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf pusat berperan dalam mengatur
respon postural untuk menyesuaikan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang
tumpu.Respon yang diberikan dapat berupa respon protektif atau respon korektif
(Guccione, 2001).
Penelitian dalam bidang respon postural otomatis berfokus pada respon
neurofisiologi pada perturbasi postural dalam paradigma feedback.Bentuk gerakan
yang biasanya digunakan dalam menyusun perturbasi misalnya ketika pasien
berdiri secara normal. Variabel primer yang dites yaitu latency (waktu dalam
37
melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot). Nashner
menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam
mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy
digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini,
aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot
bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan
keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali
yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m.
abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan
maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m.
paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi
tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang tidak
stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh
terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal.
Pada forward swayakan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps,
sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring.
(3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu
pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk
memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan
(Nashner et all., 1979).
2.2.6.3 Strategi Sensoris (Sensory Strategies)
Informasi sensoris dari somatosensori, visual, dan vestibular, harus
diintegrasikan untuk menginterpretasi keadaan lingkungan.Dalam lingkungan
38
yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat
mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular
(20%).Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil,
merekameningkatkan bobot sensorik untuk vestibulardan informasi visual mereka
serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi postural
(Peterka, 2002).
Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight
sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga
stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang
lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem
vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam
kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang
jatuh lebih tinggi (Horak, 2006).
2.2.6.4 Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space)
Kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan
gravitasi, bidang tumpu, sistem visual dan referensi internal adalah komponen
penting dari kontrol postural. Sistem saraf yang sehat secara otomatis mengubah
cara tubuh berorientasi pada ruang, tergantung pada konteks dan tugas. Orang
yang sehat dapat mengidentifikasigravitasi vertikal dalam gelap untuk jarak
0,5°.Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi vertikal atautegak, mungkin
memiliki beberaparepresentasi saraf (Karnath et al, 2000). Persepsi vertikal visual
atau kemampuan untuk menyelaraskan garis ke gravitasi vertikal dalam gelap,
tidak tergantung pada persepsi postural (atau proprioseptif) vertikal; misalnya
39
kemampuan untuk menyelaraskan tubuh dalam ruang tanpa visual.
Ketiadakakuratan referensi internal pada vertikalitas akan menghasilkan
keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan
membuat seseorang tidak stabil (Bisdorff et al., 1996).
2.2.6.5 Kontrol Dinamik (Control of Dynamics)
Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu
postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh.
Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis
dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter
et al., 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan
ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal
dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral
(Bauby dan Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung
memiliki penempatan lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta
penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al., 1997).
2.2.6.6 Proses Kognitif (Cognitive Processing)
Banyak sumber daya kognitif yang diperlukan dalam kontrol postural.
Bahkan berdiri diam-diam membutuhkan proses kognitif, seperti dapatdilihat oleh
peningkatan waktu reaksi pada orang berdiridibandingkan dengan mereka yang
duduk dengan dukungan.Semakin sulit tugas postural, semakin
pengolahankognitif diperlukan. Dengan demikian, waktu reaksi dan kinerja dalam
tugas kognitif menurunkan kesulitan saat tugas postural meningkat (Teasdale dan
Simoneau, 2001). Karena kontrol postur dansumber lain berbagi proses kognitif,
40
kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et
al, 1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbataskarena
gangguan neurologis dapat menggunakan lebih dariproses kognitif yang tersedia
untuk mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang
tidakcukup untuk mengontrolpostur sementara sibuk dengan tugas kognitif
sekunder lainnya (Horak, 2006).
2.2.7 Resiko Jatuh Pada Lansia
Gangguan keseimbangan akan mengakibatkan resiko jatuh pada lansia
(Siburian, 2006). Jatuh merupakan maslah fisik yang sering dialami oleh lansia
akibat proses penuaan (Pudjastutiet al., 2003). Jatuh dapat mengakibatkan nyeri,
terkilir, patah tulang, kelumpuhan, bahkan kematian. Hal ini menimbulkan rasa
takut dan hilangnya rasa percaya diri sehingga lansia membatasi aktivitasnya
sehari-hari yang menyebabkan menurunnya kualitas hidup (quality of life) pada
lansia yang menglaminya. Penurunan kekuatan otot ektrimitas bawah dapat
mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek, kaki tidak dapat menapak
dengan kuat dan lebih gampang goyah, sudah atau terlambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan seperti terpeleset dan tersandung. Beberapa indikator ini dapat
meningkatkan resiko jatuh pada lansia (Darmojo dan Matono, 2009).
2.3 Latihan Jalan Tandem
2.3.1 Definisi Jalan Tandem
Berdasarkan sejarah jalan Tandemditemukan oleh ahli neurologis Jerman
bernama Morist Heinrich Romberg (1795-1873). Latihan jalan Tandemmerupakan
suatu tes dan juga latihan yang dilakukan dengan cara berjalan menentukan garis
41
lurus dalam posisi tumit kaki menyentuh jari kaki yang lainnya sejauh 3meter
(Batson, 2009). Latihan ini dapat meningkatkan keseimbangan postural bagian
lateral, yang berperan dalam mengurangi resiko jatuh pada lanjut usia. Latihan ini
bertujuan untuk melatih sistem proprioseptifyaitu untuk melatih sikap atau posisi
tubuh. Merupakan salah satu metode untuk menumbuhkan kebiasaan dalam
mengontrol postur tubuh langkah demi langkah yang dilakukan dengan bantuan
kognisi dan koordinasi otot trunk, lumbal spine, pelvic, hip, otot-otot perut hingga
ankle. (Batson, 2009)
Menurut Batson (2009) latihan jalan Tandemada dua bentuk latihan yaitu
latihan jalan Tandemmaju dan latihan jalan Tandemmundur. Latihan Jalan
Tandembiasanya digunakan untuk tes koordinasi atau biasanya dilakukan pada tes
neurologis. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian bahwa setidaknya
membutuhkan dua atau tiga indra dalam menjaga keseimbangan berdiri dan
berjalan yaitu proprioseptif, vestibular, dan visual. Menjaga keseimbangan dalam
posisi dinamis bergantung pada sensory pathways yang dilakukan noleh
corticospinal (pyramidal) tract dan medial lateral vestibular tract. Sensori motor
integration centre yang dilakukan oleh cerebellum dan dorsal collum medial
lemniskus tract (Nasution, 2015).
Analisa latihan jalan Tandemdilihat dari gerakan kaki dan dimana
letak tekanan pada area telapak kaki dan cara bergerak maju. Dalam gangguan
cerebellar ata kelemahan vestibulardapat menghasilkan gerakan condong ke sisi
yang terkena. Gerakan-gerakan korektif kecil merupakan hal yang normal, itu
menunjukkan bahwa seseorang dapat merasakan input proprioseptifyang diterima.
42
Gerakan yang bergoyang juga menunjukkan kesaddaran kedudukannya dalam
suatu tempat (Batson, 2009)
Keuntungan latihan jalan Tandemadalah salah satu dari latihan balance exercise
yang dapat melatih sikap tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan
garakan tubuh serta meningkatkan kekuatan otot ektrimitas inferior. Sedangkan
kekurangan latihan jalan Tandemadalah gangguan cerebellar atau kelemahan
vestibular dapat menghasilkan penyimpanan berjalan ke sisi yang lemah. Individu
dengan gangguan vestibular atau atau kronis biasanya gagal tes atau latihan ini
(Nasution, 2015).
Latihan jalan Tandemmaju sangat spesifik dan sering non localizing.
Kebanyakan ahli kesehatan merasa bahwa jatuh ke salah satu sisi tidak selalu
menunjukkan ke sisi lesi. Beberapa individu yang sehat mungkin mengalami
kesulitan dalam melakukan latihan jalan Tandem, sehingga untuk menentukan
adanya gangguan vestibular dibutuhkan tes tambahan yang lebih spesifik
misalnya Time Up Go Test (TUGT) dan lain-lain(Batson, 2009).
2.3.2 Tujuan Latihan Jalan Tandem
Latihan jalan Tandemmerupakan salah satu latihan yang bertujuan melatih
sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan
gerakan tubuh. Latihan jalan Tandemdigunakan pula untuk melatih parameter
yang terkait dengan keseimbangan individu, kontrol mutlak atas mobilitas dan
ketetapan mobilitas (Batson, 2009).
Latihan jalan Tandem juga digunakan sebagai tes untuk menentukan
kemampuan dari individu untuk mengkoordinasikan gerakan motoriknya.
43
Individu dengan masalah koordinasi gerak motoriknya tidak akan lulus dalam
tes ini. Dosis yang di anjurkan untuk dapat menghasilkan keseimbangan yang
adekuat adalah 4 minggu(Batson, 2009).
2.3.3 Teknik Pelaksanaan Latihan Jalan Tandem
Teknik pelaksanaan Latihan Jalan Tandemmenurut Batson(2009),yaitu:
a. Subyek berdiri tegak dan nyaman dengan kedua kaki
b. Pandangan subyek mengarah ke kaki
c. Latihan dimulai subyek diminta untuk berjalan maju pada jalur (satu
garis lurus) dengan menempatkan kaki kanan menyentuh tumit kaki
kiri dan berjalan sejauh 3 meter.
d. Lakukan sebanyak 10 kali bolak-balik kemuadian istirahat.
2.3.4 Mekanisme Latihan Jalan TandemMeningkatkan
Keseimbangan Dinamis Pada Lansia
Pada Latihan Jalan Tandem propriorseptifakan menginformasikan presisi
gerak dan reflek muscular yang berkontribusi pada pembentukan stabilitas
dinamis pada sendi. Tujuan latihan proprioseptif adalah untuk dapat melatih
kembali jaras afferent untuk mengembangkan sensasi gerakan sendi dan
aktivasi motorik pada sistem saraf pusat. Latihan proprioseptifsangat penting
untuk dilakukan karena umpan balik proprioseptif akan meningkatkan dan
mempertahankan stabilitas fungsional sendi (Batson, 2009).
Latihan proprioseptifharus memakai teknik yang membangkitkan aktivasi
otot pronator dan supinator kaki dalam melatih koordinasi, proprioseptif dan
otot stabilisator pergelangan kaki. Aktivasi ko-kontraksi ini diupayakan terjadi
44
secara semi otomatis, karena sejatinya aktivitas stablitasi merupakan sistem
yang berlangsung pada central pattern generator (CPG). Pada perkembangan
manusia fungsi CPG yang benar menjadi bergantung pada integrasi saraf yang
lebih tinggi, yaitu pada sistem saraf pusat, pada cortex cerebral. Aktivasi otot
sekuensi temporal melibatkan CPG spinal dan integrasi sirkuit neural dengan
input pusat otak yang lebih tinggi. Untuk mencapai gerakan semi otomatis
yang dimaksud maka latihan proprioseptifjuga melibatkan gerakan yang
lambat dalam setiap perpindahan gerak dan posisi untuk memberikan
kesempatan pada nuclei subcortal dan basal ganglia untuk menganalisa posisi
yang mengirimkan umpan balik berupa kontraksi otot yang diharapakan.
Latihan inilah yang kemudian akan diadaptasi pada CPG sebagai stabilitas
fungsional yang baru (Batson, 2009).
Latihan proprioseptifini bermanfaat meningkatkan keseimbangan pada
lansia dikarenakan menunrunnya fungsi motorik pada sistem saraf pusat,
sehingga dengan aktivasi motorik tersebut meningkatkan respon proprioseptif
yang dapat meningkatkan stabilitas sendi dan meningkatkan keseimbangan
pada lansia. Latihan proprioseptif yang hanya menghasilkan neural adaptasi
dapat melatih selama 4 minggu, namun proprioseptif yang adekuat
menghasilkan dengan latihan yang dilakukan selama 4 minggu, karena pada
waktu tersebut telah terjadi adaptasi neural dan adaptasi seraut otot.
Keseimbangan yang adekuat dicapai ketika proprioseptifyang didukung oleh
rekruitmen motor unit yang meningkatkan dan adanya hipertropi (adapatasi
sarabut otot) yang membantu dalam stabilitas sendi dan kekuatan otot dengan
45
dosis yang dianjurkan untuk dapat menghasilkan keseimbangan yang adekuat
adalah 4 minggu (Batson, 2009).
2.4 Latihan One Legged Stence
2.4.1 Definisi Latihan One Legged Stence
Latihan One Legged stance merupakan suatu tes dan latihan yang dapat
meningkatkan stabilitasi pada ankle, area panggul maupun trunk dan juga untuk
meningkatkan postural kontrol sehingga keseimbangan dinamis akan lebih mudah
tercapai. (Widayanto, 2015).
One Legged Stance dilakukan dengan menggunakan kemampuan berdiri
dan menumpu dengan satu tungkai atau berdiri dengan beban tubuh yang
disangga oleh salah satu tungkai saja. Kemampuan ini memerlukan aktivasi otot
yang optimal pada sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan dengan
kemampuan berdiri dan menumpu satu tungkai yang optimal akan sangat
mendukung kemampuan keseimbangan dinamisnya. Latihan ini dilakukan dengan
mengangkat salah satu kakinya membentuk sudut 900
(fleksi knee 900) satu kaki
yang menumpu sejajar atau datar dengan lantai atau permukaan yang datar. Mata
pasien terbuka dan pandangan lurus ke depan, dengan 45 detik sebanyak 3kali
pengulangan latihan dengan tangan menyentuh tembok (Younget al., 2012).
46
2.4.2 Tujuan Latihan One Legged Stence
Latihan ini merupakan salah satu latihan yang bertujuan melatih sikap atau
posisi pertahanan tubuh sehingga dapat mengontrol keseimbangan, dan gerakan
tubuh pada keseimbangan dinamis individu, serta kontrol mobilitas dan ketetapan
mobilitas pada tubuh (Widayanto, 2015).
Latihan ini juga memerlukan aktivasi otot yang optimal pada sisi tubuh
yang digunakan sebagai tumpuan dengan kemampuan pertahanan saat berdiri
dengan satu tungkai secara bergantian yang bertujuan untuk melatih kemampuan
keseimbangan dinamis pada tubuh menjadi meningkat dan lebih optimal
(Widayanto, 2015).
2.4.3 Teknik Pelaksanaan Latihan One Legged Stence
Teknik pelaksanaan latihan one legged stance :
a. Pasien berdiri tegak dan nyaman dengan kedua kaki.
b. Tangan Pasien mengarah dan menyentuh tembok tepat pada arah
depan tubuhnya.
c. Pandangan lurus ke depan.
d. Tes dimulai dengan menginstrusikan pasien untuk berdiri tegak dengan
satu kaki, dalam artian pasien mengangkat salah satu kakinya
membentuk sudut 900
(fleksi knee 900) satu kaki yang menumpu
sejajar atau datar dengan lantai atau permukaan keras yang datar. Mata
pasien terbuka dan pandangan lurus ke depan.
e. Pasien Hitung waktu kemampuan berdiri pasien dengan menggunakan
stopwatch dan catat.
47
f.Ulangi latihan sebanyak 3 kali dan 45 detik.
g. Latihan selesai jika tangan bergerak menyentuh suatu benda yang
digunakan untuk menopang, kaki yang menumpu bergerak, dan kaki
yang diangkat menyentuh lantai (Laksono, 2013).
2.4.4 Mekanisme Latihan One Legged Stence terhadap
Keseimbangan Dinamis Pada Lansia
Kemampuan optimal pada weight sifting mutlak diperlukan dalam
menjaga fungsi keseimbangan dinamis kemampuan active weight shifting dapat
dibentuk dengan beberapa latihan yang dimulai pada posisi berdiri yang dapat
ditingkatkan dengan one legged stance exercise (Widayanto, 2015).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cromwell et al.,(2006), dengan
judul Tae Kwon Do : An Effective Exercise For Improving Balance and Walking
Ability Older Adults, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa latihan
proprioseptifdengan walking Exercise / Standing Exercise mampu meningkatkan
keseimbangan pada Lansia. Dan menurut penelitian yang dilakukan oleh
Widayanto, (2015), dengan judul “Penambahan Activeone Leg Standing
Exercisepada Active Strengthening Exercise Lebih Baik Dalam Meningkatkan
Dynamic Balance Pasien Pasca Stroke”, penelitian tersebut menyimpulan bahwa
latihan one leg stance/single leg stance merupakan latihan yang dapat
meningkatkan stabilitasi pada ankle, area panggul maupun trunk dan juga untuk
meningkatkan postural kontrol sehingga keseimbangan dinamis akan lebih mudah
tercapai.
48
One Legged Stance dilakukan dengan menggunakan kemampuan berdiri
dan menumpu dengan satu tungkai atau berdiri dengan beban tubuh yang
disangga oleh salah satu tungkai saja. Kemampuan ini memerlukan aktivasi otot
yang optimal pada sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan dengan
kemampuan berdiri dan menumpu satu tungkai yang optimal akan sangat
mendukung kemampuan keseimbangan dinamisnya. Latihan ini dilakukan dengan
mengangkat salah satu kakinya membentuk sudut 900
(fleksi knee 900) satu kaki
yang menumpu sejajar atau datar dengan lantai atau permukaan yang datar. Mata
pasien terbuka dan pandangan lurus ke depan, dengan 45 detik sebanyak 3kali
pengulangan latihan dengan tangan menyentuh tembok (Young et al., 2012).
Tujuan latihan ini yaitu melatih sikap atau posisi pertahanan tubuh
sehingga dapat mengontrol keseimbangan, dan gerakan tubuh pada keseimbangan
dinamis individu, serta kontrol mobilitas dan ketetapan mobilitas pada tubuh.
Latihan ini juga memerlukan aktivasi otot yang optimal pada sisi tubuh yang
digunakan sebagai tumpuan dengan kemampuan pertahanan saat berdiri dengan
satu tungkai secara bergantian yang bertujuan untuk melatih kemampuan
keseimbangan dinamis pada tubuh menjadi meningkat dan lebih optimal.
Kemampuan optimal pada weight sifting mutlak diperlukan dalam menjaga fungsi
keseimbangan dinamis kemampuan active weight shifting dapat dibentuk dengan
beberapa latihan yang dimulai pada posisi berdiri yang dapat ditingkatkan dengan
one legged stance exercise (Widayanto, 2015).
Dengan one legged stance exercise maka akan berpengaruh pada beberapa
hal yaitu, meningkatnya kemampuan actipatory exercise adjustments pada trunk
49
di sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan, sebagai aktivasi otot-otot tungkai
yang di gunakan untuk menumpu, meningkatnya kemampuan sistem
somatosensoris dalam menyampaikan informasi ke sistem saraf pusat, dan
meningkatnya kemampuan pada otot-otot pada ankle dan kontrol gerakan saat
digunakan untuk menumpu (Raineet al., 2009).
2.5 Time Up and Go Test(TUGT) Sebagai Tes Pengukuran Keseimbangan
Dinamis
2.5.1 Definisi
Pengukuran keseimbangan menggunakan Times Up Go Test
(TUGT)merupakan suatu tes yang dapat digunakan pada lansia untuk mengukur
kecepatan terhadap aktivitas yang mungkin menyebabkan gangguan
keseimbangan.
2.5.2 Prosedur Pelaksanaan
Prosedur pengukuran keseimbangan dinamis dengan menggunakan times
up go test (TUGT).
1) Peneliti menyiapkan kursi dengan sandaran dan penyangga lengan, stopwatch,
dinding.
2) Waktu tes 10 detik - 3 menit.
Posisi awal pasien duduk bersandar pada kursi dengan lengan berada pada
penyangga lengan kursi. Pasien mengenakan alas kaki yang biasa dipakai. Pada
saat fisioterapis memberi aba-aba “mulai” pasien berdiri dari kursi, boleh
menggunakan tangan untuk mendorong berdiri jika pasien menghendaki. Pasien
terus berjalan sesuai dengan kemampuannya menempuh jarak 3 meter menuju ke
50
dinding, kemudian berbalik tanpa menyentuh dinding dan berjalan kembali
menuju kursi. Sesampainya di depan kursi pasien berbalik dan duduk kembali
bersandar. Waktu dihitung sejak aba-aba “mulai” hingga pasien duduk bersandar
kembali. (Shumwayet al., 2000).
Pasien tidak diperbolehkan mencoba atau berlatih lebih dulu, stopwatch
mulai menghitung setelah pemberian aba-aba mulai dan berhenti menghitung saat
subyekkembali pada posisi awal atau duduk, apabila kurang dari 10 detik, maka
subjek dikatakan normal dan apabila kurang dari 20 detik, maka dapat dikatakan
baik. Subjek dapat berjalan sendiri tanpa membutuhkan bantuan, namun apabila
lebih dari 30 detik, maka subjek dikatakan memiliki problem dalam berjalan dan
membutuhkan bantuan saat berjalan.Subjek yang memcapai waktu tempuh lebih
dari 40 detik harus mendapatkan pengawasan yang optimal karena sangat beresiko
untuk jatuh (Shumwayet al., 2000). Nilai normal pada lansia sehat umur 75 tahun,
rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan adalah 8,5 detik (Podsiadlo dan
Richanson, 1991).
51
Tabel 2.1.
Pengukuran Keseimbangan Dinamis dengan Times Up and Go Test (TUGT)
Sumber: (Shumwayet al., 2000)
No. Waktu Interpretasi
1. < 10 detik Normal
2. < 20 detik Baik
3. > 30 detik Problem dalam berjalan
4. > 40 detik Berisiko jatuh