-
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Profesionalisme
1. PengertianProfesionalisme
Dalam perkembangan masyarakat modern dewasa ini,
profesionalisme merupakan fenomena yang amat penting, yang dulunya tidak
pernah dibahas, baik oleh masyarakat kapital-liberal maupun masyarakat
komunis otoriter. Prof.Talcott Parsons menulis artikel tentang profesions dan
profesionalism dalam Encyclopedia, berkata bahwa profesionalisasi
merupakan suatu proses yang tidak dapat ditahan-tahan dalam perkembangan
dunia perusahaan modern dewasa ini (Anoraga, 2009).
Sebelum membahas definisi profesionalisme, terlebih dahulu diawali
pengertian profesi dan profesional dalam Anoraga (2009), profesi tidak hanya
pengetahuan dan keahlian khusus melalui persiapan dan latihan, tetapi dalam
arti “profession” terpaku juga suatu “panggilan”, suatu roeping, suatu calling,
suatu strong inner impulse. Dengan begitu, maka arti “profession”
mengandung dua unsur. Pertama unsur keahlian dan kedua unsur panggilan.
Sehingga seorang “profesional” harus memadukan dalam diri pribadinya
kecakapan teknik yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaannya, dan juga
kematangan etik. Penguasaan teknik saja tidak membuat seseorang menjadi
“profesioanal” kedua-duanya harus menunggal.
Profesional adalah tingkat penguasaan dan pelaksanaan terhadap
knowledge, skill, dan character. Seorang yang profesional akan mempunyai
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
9
tingkat tertentu pada ketiga bidang tersebut (Bernardi, 1994). Perilaku
profesional diperlukan bagi semua profesi, agar profesi yang telah menjadi
pilihannya mendapat kepercayaan dari masyarakat (Bonner and Lewis,
1990).
Menurut Kurniawan (2005), istilah profesional itu berlaku untuk
semua aparat pegawai mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah.
Professionalisme dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan
seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-
masing. Profesionalisme menyangkut kecocokan antar kemampuan yang
dimiliki oleh birokrasi dengan kebutuhan tugas. Terpenuhinya kecocokan
antara kemampuan dengan kebutuhan tugas merupakan salah satu syarat
terbentuknya pegawai pegawai yang professional. Artinya keahlian dan
kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh
suatu organisasi.
Orang yang profesional adalah orang yang mempunyai komitmem
pribadi yang mendalam atas pekerjaan, melibatkan seluruh dirinya dengan
giat, tekun dan serius menjalankan pekerjaannya. Disiplin dan keseriusan
adalah perwujudan dari komitmen atas pekerjaannya. Orang profesional
diandalkan dan dipercaya masyarakat karena mempunyai komitmen
moral/pribadi serta tanggung jawab yang mendalam atas pekerjaannya (Keraf,
1998).
Profesionalisme berasal dari bahasa Anglosaxon yang mengandung
pengertian kecakapan, keahlian dan disiplin. Profesionalisme mengandung
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
10
juga pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sumber
penghidupan. Kamus Webster Amerika menegaskan bahwa profesionalisme
adalah suatu tingkah laku, suatu tujuan atau rangkaian kualitas yang
menandai atau melukiskan coraknya suatu “profesi” (Anoraga, 2009).
Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi
untuk keuntungan atau sumber penghidupan.
Koehn (2000) bahwa profesionalisme merupakan suatu tindakan
yang ditujukan untuk membantu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan
untuk mendapatkan kepercayaan dan bertanggung jawab atas tindakan
tersebut.
Profesionalisme adalah cara kerja yang lebih didominasi oleh sikap,
bukan hanya satu set daftar dari skill dan kompetensi yang dimilki. Dapat
dicermati bahwa atttitude adalah sikap yang mendasar, sementara skill adalah
suatu yang dapat dipelajari dan diajarkan. Profesionalisme saat ini menjadi
bentuk yang harus melekat pada setiap entitas, setiap karyawan yang
berinteraksi dalam pasar global. Jika tidak, maka dihadapkan dengan satu
pilihan termaginalkan dan collaps. Jadi seluruh pelaku pasar dunia yang
memasuki pasar global terus melakukan penyesuaian dari segi skill untuk
dapat mempertahankan daya saing dan eksistensinya (Marsellia, 2000).
Menurut Arens & Loobecke (2009) profesionalisme adalah suatu
tanggung jawab yang dibebankan lebih dari sekedar dari memenuhi tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar dari memenuhi
Undang-undang dan peraturan masyarakat.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
11
Profesionalisme sebagai sikap dan perilaku seseorang dalam
melakukan profesi tertentu. Ia menyebutkan bahwa seorang yang profesional,
di samping mempunyai keahlian dan kecakapan teknis, harus mempunyai
kesungguhan dan ketelitian bekerja, mengejar kepuasan orang lain,
keberanian menanggung risiko, ketekunan dan ketabahan hati, integritas
tinggi, konsistensi dan kesatuan pikiran, kata dan perbuatan (Christian, 1994).
Profesionalisme menurut Tjokrowinoto (dalam Tangkilisan, 2005)
adalah kemampuan untuk merencanakan, mengoordinasikan, dan
melaksanakan fungsinya secara efisien, inovatif, lentur dan mempunyai etos
kerja tinggi. Siagian (dalam Tangkilisan, 2005) yang dimaksud dengan
profesionalisme adalah keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga
terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan
prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah
adanya sikap dan perilaku seseorang dalam melakukan suatu profesi yang
mana untuk dapat dikatakan seseorang itu profesional harus memenuhi
beberapa kriteria diantaranya memiliki keahlian, memiliki pengetahuan yang
memadai dan mematuhi kode etik dalam menjalankan tugas profesinya.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
12
2. Aspek-aspek Profesionalime
Profesionalisme berkaitan dengan dua aspek penting yaitu aspek
structural dan sikap (Hall dalam Jantje, 2003) :
1. Aspek Struktural
Aspek struktural yang karakteristiknya merupakan bagian dari
pembentukan sekolah pelatihan, pembentukan asosiasi professional dan
pembentukan kode etik.
2. Aspek Sikap
Aspel sikap sendiri berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme.
3. Ciri Profesionalisme
Anoraga (2009) mengemukakan beberapa ciri profesionalisme yaitu :
1. Profesionalisme menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil,
sehingga dituntut untuk selslu mencari peningkatan mutu.
2. Profesionalisme memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang hanya
dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan.
3. Profesionalisme menuntut ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tidak
mudah puas atau putus asa sampai hasil tercapai.
4. Profesionalisme memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyahkan oleh
“keadaan terpaksa” atau godaan iman seperti harta dan kenikmatan hidup.
5. Profesionalisme memerlukan adanya kebulatan fikiran dan perbuatan,
sehingga terjaga efektivitas kerja yang tinggi.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
13
4. Dimensi Profesionalisme
Hall, (1986) menyatakan bahwa sikap profesionalisme adalah sikap
seseorang terhadap pekerjaannya, yang dinilai melalui lima dimensi sebagai
berikut:
1. Pengabdian pada profesi. Profesionalisme adalah suatu pandangan yang
dicerminkan oleh dedikasi seseorang dalam menggunakan pengetahuan dan
kecakapan yang dimiliki. Sikap ini berkaitan dengan keteguhan tekad
individu untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan instrinsik
berkurang. Sikap pada dimensi ini merupakan ekspresi diri total terhadap
pekerjaannya.
2. Kewajiban sosial. Dimensi ini menjelaskan manfaat yang diperoleh, baik
oleh masyarakat dengan adanya suatu pekerjaan maupun bagi yang
profesional.
3. Kemandirian. Dimensi ini menyatakan bahwa profesional harus mampu
membuat keputusan sendiri tanpa tekanan pihak lain. Rasa kemandirian
berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut pekerja yang
bersangkutan dalam situasi khusus.
4. Keyakinan terhadap profesi. Keyakinan bahwa yang paling berhak dalam
menilai kinerja profesional adalah bukan pihak yang tidak mempunyai
kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
5. Hubungan dengan sesama profesi. Profesionalitas mensyaratkan adanya
ikatan profesi baik dalam organisasi formal maupun kelompok kolega
informal sebagai sumber utama ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
14
ini para profesional membangun kesadaran terhadap profesinya (Ariyani,
2008).
Selain itu, menurut Jatman (dalam Rahman 2013) bahwa dimensi
profesionalisme secara umum adalah:
1. Altruisme yaitu berani berkorban, mementingkan orang lain bukan diri
sendiri, hal ini ditunjukan melalui sikap suka membantu, problem solver,
membuat keputusan secara tepat dan obyektif.
2. Komitmen terhadap kesempurnaan, sikap profesionalnya yaitu efektif dan
efisien, memberikan atau mengerjakan yang terbaik.
3. Toleransi, sikap profesionalnya ditunjukan dengan sikap adaptasi, suka
bekerjasama, komunikatif, bijaksana, dan meminta tolong jika memang
memerlukan.
4. Integritas dan karakter, sikap profesionalnya ditunjukan melalui sikap
jujur, teguh, tidak plin-plan, percaya diri, berjiwa pemimpin yang
memberi teladan.
5. Respek kepada semua orang, profesional dalam menerima kritik,
menepati janji, memegang rahasia, menghormati orang lain dan tahu diri.
6. Sense of duty, sikap profesionalnya adalah disiplin dan tepat waktu.
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas.
Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain
religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan
dien (Arab).
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
15
Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) adalah berasal dari
bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu Bahasa Latin “religio”
dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat (Kahmad, 2002).
Istilah religi, berasal dari bahasa latin; religio, bahasa Inggris; religion,
bahasa Arab; aldiin atau agama. Religiusitas yaitu kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Poerwodarminto,
1994).
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan
religiusitas. Meski berakar kata sama, namun dalam penggunaannya
istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau
agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan
aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek
religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya,
1982).
Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan.
Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh
keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam
penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim,
religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan,
pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam (Nashori dan Mucharam,
2002).
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
16
Menurut Glock & Stark dalam Ancok (1995) konsep religiusitas
adalah rumusan brilian, karena konsep tersebut mencoba melihat
keberagamaan seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tetapi
mencoba memperhatikan segala dimensi. Keberagamaan dalam islam
bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam
aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem yang menyeluruh, islam
mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula.
Mangunwijaya (1988) mengatakan : “Bagaimanapun manusia
religius dengan aman dapat diartikan : manusia yang berhati serius, saleh,
teliti dalam pertimbangan batin dan sebagainya. Jadi belum menyebutkan
dia menganut agama mana”. Selanjutnya Mangunwijaya juga
mengatakan : “Agama lebih menunjuk kepada kelembangan kebaktian
kepada Tuhan atau kepada Dunia Atas dalam segala aspeknya yang
resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukumhukumnya serta
keseluruhan organisasi tafsir Alkitabnya dan sebagainya yang meliputi
segi-segi kemasyarakatan.
Religiusitas dalam Islam bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan ibadah ritual saja, melainkan juga ketika melakukan
aktivitas lainnya sehari-hari. Keberagamaan (religiusitas) diwujudkan
dalam berbagai sisi kehidupan manusia (Titik & Unti, 2002).
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
17
Hawari (1996) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan
penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan
dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci.
Ancok dan Suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai
keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi
yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual
(beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa
ketergantungan yang mutlak. Adanya ketakutan akan ancaman dari
lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala
keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak
membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat
dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu
kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan.
Religiusitas atau keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal,
di antaranya: pendidikan keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang
dilakukan pada waktu kecil atau pada masa kanak-kanak. Seorang remaja
yang pada masa kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari
kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman yang taat
menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama baik di
rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah
mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya
ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama dalam hidupnya.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
18
Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di
sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan
hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut
melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo, 2004).
Religiusitas menurut Suhardiyanto (2001) adalah hubungan
pribadi dengan pribadi ilahi Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan
Maha Penyayang (Tuhan) yang berkonsekuensi hasrat untuk berkenan
kepada pribadi yang ilahi itu dengan melaksanakan kehendak-Nya dan
menjauhi yang tidak dikehendakinya (larangannya).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menarik
kesimpulan bahwa religiusitas adalah proses seseorang memahami dan
menghayati agama dalam kehidupannya yang mencakup keyakinan,
praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama dan pengamalan agama
dalam kehidupannya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Thoules (Azra, 2000) menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi religiusitas, yaitu:
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial
(faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan orang tua,
tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan
sikap yang disepakati oleh lingkungan.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
19
b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk
sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai :
(1) Keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia lain (faktor
alamiah)
(2) Adanya konflik moral (faktor moral)
(3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari
kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan
terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian.
d. Proses pemikiran verbal atau proses intelektual.
Yusuf (2003) mengatakan bahwa religiusitas tidak muncul
begitu saja, tetapi berkembang melalui suatu proses dan dipengaruhi
dua faktor, yaitu :
a. Faktor Internal
Perbedaan antara manusia dengan binatang adalah bahwa
manusia mempunyai pembawaan beragama.
b. Faktor Lingkungan
Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
20
3. Dimensi Religiusitas
Menurut Glock & Stark (Ancok dan Suroso, 1995) religiusitas
memiliki lima dimensi, yaitu:
a. Dimensi keyakinan (ideologis)
Dimensi Keyakinan berisi pengharapanpengharapan di mana orang
yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
b. Dimensi praktik agama (ritualistik)
Dimensi praktik agama mencakup perilaku pemujaan,
ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya.
c. Dimensi pengalaman (experensial)
Dimensi pengalaman berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaan-perasaan, persepsipersepsi, dan sensasi-sensasi
yang dialami seseorang, sebagai suatu komunikasi dengan Tuhan,
misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa,
merasa sering do’anya dikabulkan, merasa diselamatkan Tuhan, dan
sebagainya.
d. Dimensi pengamalan (konsekuensi)
Dimensi pengamalan berkaitan dengan sejauhmana perilaku
individu dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.
Misalnya, apakah seseorang mengunjungi tetangganya yang sakit,
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
21
mau menolong orang yang sedang dalam kesulitan dan mau
mendermakan hartanya. Dimensi pengamalan meliputi konsekuensi-
konsekuensi duniawi dari keyakinan, pengalaman dan pengetahuan
keagamaan individu yang mencakup apa yang harus dilakukan dan
bagaimana sikap yang harus dipegang individu sebagai konsekuensi
agama yang dianutnya.
e. Dimensi pengetahuan agama (intelektual).
Dimensi pengetahuan agama berkaitan dengan sejauhmana
individu mengetahui dan memahami tentang ajaran-ajaran agamanya,
terutama yang ada dalam kitab suci dan sumber lainnya.
Dalam hadist lain Rasulullah juga bersabda: “Dari Ibn Umar ra,
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:Agama Islam dibangun atas
lima unsur, yaitu: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, mengerjakan shalat,
membayar zakat, mengerja-kan haji, dan berpuasa pada bulan
Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa religiusitas
(agama Islam) dapat dibagi menjadi lima dimensi (Glock & Stark )
yaitu
1. Dimensi akidah, menyang-kut keyakinan dan hubungan manusia
dengan Tuhan, malaikat, para Nabi dan sebagianya,
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
22
2. Dimensi ibadah, menyangkut frekuensi intensitas pelaksanaan ibadah
yang telah ditetapkan, misalnya shalat, zakat, haji dan puasa.
3. Dimensi amal, menyangkut tingkah laku dalam kehidupan
masyarakat, misalnya menolong orang lain, membela yang lemah,
bekerja dan sebagainya.
4. Dimensi ihsan menyangkut pengalaman dan perasaan tentang
kehadirat Tuhan, takut melanggar larangan dan lain-lain, dan
5. Dimensi ilmu, menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-
ajaran agama.
4. Aspek Religiusitas
Menurut Rahmat (2004), keberagamaan seseorang terdiri dari
lima aspek, yaitu :
1. Aspek ideologis adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang
memberikan premis aksistensial.
2. Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan ritual/ibadah suatu agama.
3. Aspek eksperiensial adalah bersifat afektif : keterlibatan emosional dan
sentimental pada pelaksanaan ajaran agama, yang membawa pada
religious feeling.
4. Aspek intelektual adalah pengetahuan agama: seberapa jauh tingkat
melek agama pengikut agama yang bersangkutan, tingkat ketertarikan
penganut agama untuk mempelajari agamanya.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
23
5. Aspek konsekuensial disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan
implementasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat
menjelaskan efek ajaran agama terhadap etos kerja, kepedulian,
persaudaraan, dan lain sebagainya.
C. Guru
1. Pengertian Guru
UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebut guru
adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sesuai dengan bahan
kriteria dan bahan pengajar, guru harus memiliki kualifikasi
kompetensi tertentu sesuai dengan bidang tugas dan akhirnya dapat
menghasilkan lulusaan yang bermutu.
Guru adalah figur sumber manusia yang menempati posisi dan
memegang peran penting dalam pendidikan. Ketika semua orang
mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figure guru mesti terlibat
dalam agenda pembicaraan terutama yang menyangkut persoalan
pendidikan formal di sekolah. Pendidik atau guru merupakan tenaga
professional yang bertugas merencanakan, melakukan pembimbinga
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal
tersebut tidak dapat disangkal karena lembaga pendidikan formal
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
24
adalah dunia kehidupan guru. Sebagian besar waktu guru ada di
sekolah, sisanya ada di rumah dan di masyarakat menurut Djamarah
dalam Saondi (2010).
Menurut Supriyadi dalam Saondi (2010), guru sebagai suatu
profesi di Indonesia baru dalam taraf sedang tumbuh yang tingkat
kematangannya belum sampai pada yang telah dicapai oleh profesi-
profesi lainnya sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang
setengah-setengah atau semi profesional
Menurut Syaiful (2010) guru adalah orang yang memberikan
ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan
masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan ditempat-
tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa
juga di masjid, di surau/muala, di rumah, dan sebagainya.
Menurut Samana (1994) guru adalah pribadi dewasa yang
mempersiapkan diri secara khusus melalui Lembaga Pendidikan Guru
Tenaga Kependidikan (LPTK) agar dengan keahliannya mampu
mengajar sekaligus mendidik siswanya untuk menjadi warga Negara
yang baik (susila), berilmu, produktif, sosial, sehat dan mampu
berperan aktif dalam peningkatan sumber daya manusia.
Menurut Pidarta dalam Saondi (2010) bahwa guru adalah
merupakan pribadi yang berkembang. Menurut Muhibbinsyah (2010:)
guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar. Sejalan dengan
pendapat tersebut Hamalik (2010) menyebutkan guru adalah orang
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
25
yang bertugas memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka
menjadi siswa yang selaras dengan tujuan madrasah. Dalam bukunya
yang lain Hamalik (2010) menyebutkan guru adalah jabatan
professional, artinya jaabatan yang memerlukan keahlian khusus.guru
yang professional tidak hanya menjadi sosok yang suka ceramah
dengan pola konvensional, tetapi juga sosok yang mahir dalam bidang
teknologi informasi (Suparlan,2006).
Munir mengatakan (2010) guru yang professional adalah yang
mencintai pekerjaannya dalam bentuk profesionalisme,
totalitas,ketulusan, kesabaran, dan resiko menghadapi resiko-resiko
yang harus ditanggung.
Suparno (2001) bahwa paradigma baru guru bukan hanya
sebagai pengajar tetapi juga sebagai fasilitator dan motivator dalam
pengajaran. (Meier, 2005) menyatakan bahwa sekarang ini perlu
sekali memperbaharui pendekatan pendidikan terhadap pembelajaran
untuk memenuhi kebutuhan kebudayaan dan kebutuhan bangsa. Hal
ini dapat tercipta ketika guru mampu menjabarkan dan mengorganisir
bahan ajar secara sistematis dengan mendayagunakan aneka sumber
belajar (Samana, 1994).
Gunawan dalam Saondi (2010) mengemukakan bahwa guru
merupakan perencana, pelaksana sekaligus sebagai evaluator
pembelajaran di kelas, maka peserta didik merupakan subjek yang
terlibat langsung dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
26
Sugiyanto (2010) menyatakan pengelolaan pembelajaran dapat optimal
apabila guru mampu menempatkan diri sebagai fasilitator dan
mediator dalam proses pembelajaran.
2. Peranan Guru
Peranan guru Menurut Sanodi&Aris dalam Saondi (2010) yaitu :
1. Korektor
Sebagai korektor, guru bisa membedakan mana nilai yang baik
dan mana nilai yang buruk
2. Insprirator
Sebagai inspirator, guru harus dapat memberikan ilham yang
baik bagi kemajuan belajar anakdidik
3. Informator
Sebagai informator, guru harus dapat memberikan informasi
perkembangan ilmu pengetahuan an teknologi, selain sejumlah
bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang telah
diprogramkan dalam kurikulum.
4. Organisator
Sebagai organisator, adalah sisi lain dari peranan yang
diperlukan dari guru. Dalam bidang ini guru memiliki kegiatan
pengelolaan kegiatan akademik, menyusun tata tertib sekolah,
menyusun kalender akademik, dan sebagainya.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
27
5. Motivator
Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong anak didik
agar bergairah dan aktif belajar.
6. Inisiator
Dalam perananya sebagai inisiator, guru harus dapat menjadi
pencetus ide-ide kemampuan dalam pendidikan dan pengajaran.
7. Fasilitator
Sebagai fasilitator, guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas
yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar anak dalam
lingkungan belajar yang menyenangkan.
8. Pembimbing
Peranan guru yang tidak kalah pentingnya dari semua peran
yang telah disebutkan, peranan ini harus lebih dipentingkan, karena
guru di sekolah adalah untuk membimbing anak didik menjadi
manusia dewasa susila yang cakap.
9. Demonstrator
Dalam interaksi edukatif, tidak semua bahan pelajaran dapat
anak didik pahami. Apalagi anak didik yang memiliki inteligensi
yang sedang. Untuk mata pelajaran yang susah dipahami anak
didik, guru harus berusaha dengan membantunya, dengan cara
memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
28
10. Pengelola Kelas
Sebagai pengelola kelas, guru hendaknya dpat mengelola kelas
dengan baik, karena kelas adalah tempat berhimpun semua anak
didik dan guru dalam rangka menerima bahan pelajaran dari guru.
11. Mediator
Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pendidikan dalam berbagai
bentuk dan jenisnya, baik media nonmaterial maupun materiil.
12. Supervisor
Sebagai supervisor, guru hendaknya dapat memperbaiki dan
menilai secara kritis terhadap proses pengajaran.
13. Evaluator
Sebagai evaluator, guru dituntut untuk menjadi seorang
evaluator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang
menyentuh aspek ekstrinsik dan instrinsik.
3. Kompetensi Guru
Santrock (2009) mengemukakan dua kompetensi dasar seorang
guru yang professional, yaitu :
a. Professional Knowledge skill
b. Commitment and motivation
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
29
D. Kerangka Berpikir
Dalam perkembangan masyarakat modern dewasa ini, profesionalisme
merupakan fenomena yang amat penting, yang dulunya tidak pernah dibahas,
baik oleh masyarakat kapital-liberal maupun masyarakat komunis otoriter.
Talcott Parsons menulis artikel tentang profesions dan profesionalism dalam
Encyclopedia, berkata bahwa profesionalisasi merupakan suatu proses yang
tidak dapat ditahan-tahan dalam perkembangan dunia perusahaan modern
dewasa ini (Anoraga, 2009).
Menurut penelitan yang dilakukan oleh Murphy (Mulyasa, 2008)
menyatakan bahwa keberhasilan pembaruan sekolah sangat ditentukan oleh
gurunya, karena guru adalah pemimpin pembelajaran. Karena itu, guru harus
senantiasa mengembangkan diri secara mandiri serta tidak bergantung pada
inisiataif kepala sekolah dan supervisor.
Menurut Samana (1994) guru adalah pribadi dewasa yang
mempersiapkan diri secara khusus melalui Lembaga Pendidikan Guru
Tenaga Kependidikan (LPTK) agar dengan keahliannya mampu mengajar
sekaligus mendidik siswanya untuk menjadi warga Negara yang baik
(susila), berilmu, produktif, sosial, sehat dan mampu berperan aktif dalam
peningkatan sumber daya manusia.
Adapun pencapaian keberhasilan perusahaan atau organisasi dapat
dilakukan dengan meningkatkan profesionalisme karyawan. Profesionalisme
adalah keandalan dalam pelaksaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu
yang baik, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
30
dipahami dan di ikuti oleh pelanggan atau masyarakat Siagian (dalam
Kurniawan, 2005).
Namun dalam kenyataannya, profesionalisme seorang akan berbeda
dengan seorang yang lain. Dalam penelitian ini akan menjelaskan
bagaimana hubungan profesionalisme dengan religiusitas Menurut
Kurniawan (2005) profesionalisme menyangkut kecocokan antara
kemampuan yang dimilki dengan kebutuhan tugas. Terpenuhinya kecocokan
antara kemampuan dengan kebutuhan tugas merupakan salah satu syarat
terbentuknya karyawan yang profesional. Profesionalisme adalah cara kerja
yang lebih didominasi oleh sikap bukan hanya satu set daftar skill dan
kompetensi yang dimilki, dapat dicermati bahwa sikap adalah yangmendasar
(Marsellia, 2000).
Gambar 1.1
Profesionalisme
a. Dimensi Altruism
b. Dimensi Komitmen
terhadap kesempurnaan
c. Dimensi toleransi
d. Dimensi integritas dan
karakter
e. Dimensi Respek kepada
semua orang
Guru
Islam
Religiusitas
a. Aspek Ideologis
b. Aspek Ritualistik
c. Aspek Ekperiensial
d. Aspek Intelektual
e. Aspek
Konsekuensial
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018
-
31
E. Hipotesis
Hipotesis yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah ada hubungan
antara religiusitas dengan profesionalisme pada guru SLTA berbasis Islam di-
Purwokerto.
Hubungan Antara Religiusitas..., Hilda Ponco Wirawanti, Fakultas Psikologi UMP, 2018