11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Kajian pustaka berisi uraian singkat dari penelitian terdahulu yang dapat
dijadikan bahan perbandingan dan pertimbangan oleh peneliti. Sebelumnya
penelitian mengenai analisis wacana telah banyak dilakukan dengan objek yang
berbeda-beda. Berikut beberapa uraian singkat mengenai penelitian serupa yang
ditemukan peneliti beserta perbedaan penelitian yang akan dilakukan:
Penelitian pertama adalah hasil skripsi karya Andaria Rhoma Rosita Sari
(2015) yang berjudul Telaah Teks pada Wacana Politik Kasus KPK vs Polri
dalam Rubrik Opini Majalah Tempo (Analisis Wacana Kritis Norman
Fairclough). Pada penelitian tersebut peneliti mendeskripsikan representasi kasus
KPK vs Polri dalam wacana politik kasus KPK vs Polri melalui diksi, metafora,
dan ketransitifan pada rubrik opini dalam majalah Tempo. Selanjutnya peneliti
juga mendeskripsikan ideologi majalah Tempo yang terkandung dalam rubrik
opini kasus KPK vs Polri.
Penelitian kedua oleh Joko Priyanto (2014) dalam skripsi yang berjudul
Telaah Teks Berita Pelengseran Presiden Muchammad Mursi dalam Al-Ihram dan
Al-Jazirah: Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough. Pada penelitian tersebut,
analisis wacana kritis Norman Fairclough digunakan dengan objek berita media
berbahasa Arab. Adapun penelitian tersebut mengkaji representasi dan
membandingan wacana peristiwa pelengseran Presiden Mesir Muchammad Mursi
dalam teks media berita berbahasa Arab yaitu Al-Ahram dan Al-Jazirah.
12
Penelitan selanjutnya dilakukan oleh Indro Febiyanto (2009) dalam skripsi
yang berjudul Aspek Gramatikal dan Leksikal pada Wacana “Tajuk Rencana”
Surat Kabar Kompas. Hasil penelitian tersebut mendeskripsikan aspek gramatikal
dan aspek leksikal pada wacana “Tajuk Rencana” surat kabar Kompas, dan
menunjukkan frekuensi tipe aspek gramatikal dan aspek leksikal yang terdapat
pada wacana “Tajuk Rencana” surat kabar Kompas.
Dari beberapa penelitian yang ditemukan di atas ada beberapa kesamaan
dan perbedaan, baik teori maupun sumber data dalam penelitian ini. Meskipun
sama-sama menggunakan teori Norman Fairclough namun dalam analisis
digunakan cara yang berbeda. Pada skripsi Telaah Teks pada Wacana Politik
Kasus KPK vs Polri dalam Rubrik Opini Majalah Tempo (Analisis Wacana Kritis
Norman Fairclough) analisis dilakukan melalui diksi, metafora, dan ketransitifan
pada rubrik opini dalam majalah Tempo untuk mengungkap ideologi majalah
tersebut. Sementara itu dalam penelitian ini fokus utama adalah membandingkan
dua surat kabar dalam menanggapi wacana rencana revisi UU KPK pada tajuk
rencana melalui representasi dalam anak kalimat, kombinasi anak kalimat, dan
rangkaian antarkalimat.
Selanjutnya, dibandingkan dengan penelitian yang berjudul Telaah Teks
Berita Pelengseran Presiden Muchammad Mursi dalam Al-Ihram dan Al-Jazirah:
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough yang menggunakan surat kabar online
Al-Ihram dan Al-Jazirah yang berbahasa Arab sebagai sumber data, pada
penelitian ini sumber data yang digunakan adalah surat kabar cetak berbahasa
Indonesia yaitu pada tajuk rencana surat kabar Kompas dan Suara Merdeka.
13
Perbandingan selanjutnya dilakukan dengan penelitan yang berjudul Aspek
Gramatikal dan Leksikal pada Wacana “Tajuk Rencana” Surat Kabar Kompas.
Pada penelitian tersebut meskipun sama-sama menggunakan sumber data dari
tajuk rencana, namun perbedaan dengan penelitian ini terletak pada teori yang
digunakan. Pada penelitian ini digunakan teori analisis wacana kritis sedangkan
pada penelitian yang berjudul Aspek Gramatikal dan Leksikal pada Wacana
“Tajuk Rencana” Surat Kabar Kompas hanya menganalisis wacana pada tataran
aspek gramatikal dan aspek leksikal.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini
difokuskan pada wacana tajuk rencana pada surat kabar Kompas dan Suara
Merdeka dengan melakukan pendekatan analisis wacana kritis Norman
Fairclough. Dari hasil analisis kemudian dilakukan perbandingan dari kedua surat
kabar tersebut. Penelitian yang berjudul Telaah Teks pada Wacana Rencana
Revisi UU KPK dalam Rubrik Tajuk Rencana Surat Kabar Kompas dan Suara
Merdeka: Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough ini diharapkan dapat
melengkapi penelitian-penelitian terdahulu.
B. Landasan Teori
1. Hakikat Wacana
Wacana merupakan disiplin ilmu baru yang muncul sekitar tahun 70-an.
Wacana (discourse) berasal dari bahasa Latin, discursus. Istilah tersebut
menunjuk pada aturan dan kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa baik
dalam komunikasi lisan maupun tulis. Dalam pengertian linguistik, Darma
menjelaskan “wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam
14
suatu bangun bahasa” (2014:2). Setiap bagian di dalam wacana saling
berhubungan secara padu.
J.S. Badudu (dalam Darma, 2014:2) juga berpendapat bahwa wacana
sebagai rentetan kalimat yang berkaitan dengan, yang menghubungkan proposisi
yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga
terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Dijelaskan pula
bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar
di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang
berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata.
Seperti yang diungkapkan Kridalaksana (2008:259), bahwa wacana adalah
satuan bahasa terlengkap. Dalam hirarki gramatikal wacana merupakan satuan
gramatikal tertinggi dan terbesar yang dapat direalisasikan dalam bentuk karangan
yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb).
Dalam bentuk karangan yang utuh tentunya terdapat satu kesatuan antar
unsurnya. Alwi dkk (2000:419) menyatakan bahwa wacana adalah rentetan
kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain dan membentuk satu kesatuan. Untuk membicarakan sebuah
wacana dibutuhkan pengetahuan tentang kalimat dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kalimat.
Selanjutnya, wacana menurut Samsuri (dalam Darma, 2014:2) adalah
“rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri
atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan
yang lain.”
15
2. Analisis Wacana
Analisis wacana merupakan salah satu bidang kajian baru dalam ilmu
linguistik. Analisis wacana (discourse analysis) sebagai disiplin ilmu dengan
metodologi yang jelas dan eksplisit, baru-baru berkembang secara mantap pada
awal tahun 1980-an. Pokok perhatian analisis wacana juga terus mengalami
perkembangan dan merebak pada persoalan yang banyak diperbincangkan di masa
sekarang (Mulyana, 2005:68).
Selanjutnya Darma menyebut istilah analisis wacana muncul sebagai
upaya untuk menghasilkan deskripsi bahasa yang lebih lengkap sebab terdapat
fitur bahasa yang tidak cukup jika hanya dianalisis dengan menggunakan aspek
struktur dan maknanya saja (2014:21). Melalui analisis wacana dapat diperoleh
penjelasan mengenai korelasi antara apa yang diujarkan, apa yang dimaksud, dan
apa yang dipahami dalam konteks tertentu. Analsis wacana merupakan
pendekatan yang mengkaji relasi antara bahasa dengan konteks yang
melatarbelakanginya.
Dalam hirarki satuan kebahasaan, wacana merupakan bentuk bahasa yang
paling besar dan paling luas. Hal tersebut berarti juga memposisikan analisis
terhadap wacana memiliki kedudukan tertinggi dalam linguistik (pendekatan
bahasa). Pendekatan bahasa dimulai dari tingkat dan lingkup yang paling kecil
menuju pada tingkat paling besar. Namun untuk memahami suatu wacana
tertentu, tidak seluruh unit analisis harus dikaji. Mulyana menjelaskan bahwa
analisis wacana dapat dilakukan terhadap satu atau dua unsur yang memang
dibutuhkan kejelasannya (2005:70). Sedikit atau banyak unit yang dikaji tidak
menjamin kualitas pada analisis wacana.
16
Analisis wacana berkaitan dengan konteks luar bahasa. Konteks
berpengaruh pada proses pemaknaan suatu wacana. Di mana dalam linguitik
konteks tersebut tidak diperhatikan. Tarigan dalam Pengajaran Wacana juga telah
menyebutkan bahwa tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang
bersifat antarkalimat dan suprakalimat maka sukar untuk berkomunikasi satu
sama lain (1993:24).
Littlejohn menyatakan analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa
persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan
kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan
yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana (dalam Sobur, 2012:48).
3. Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) dipandang sebagai
oposisi analisis wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena
teks bahasa semata. Dalam analisis wacana kritis, yang selanjutnya disebut AWK,
wacana tidak hanya dipahami dari segi kajian bahasa saja. Meski dalam analisis
tetap menggunakan bahasa yang terdapat dalam teks.
“Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek
kebahasaan, tetapi juga menghubungkan konteks. Konteks di sini berarti bahasa
itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan.” (Eriyanto, 2012:7)
Hal di atas senada dengan apa yang telah diungkapkan Fairclough dan
Wodak bahwa analisis wacana kritis melihat wacana –pemakaian bahasa dalam
tuturan dan tulisan– sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, 2012:7).
17
Pernyataan Fairclough tersebut berarti memandang masalah sosial dan
AWK saling berhubungan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam kehidupan
sosial bahasa digunakan sebagai penyampai pesan. Penggunaan bahasa sebagai
penyampai pesan dapat bersifat ideologi, karena berkaitan dengan siapa
penyampai pesan itu sendiri. Untuk mengetahui kepastiannya maka sebuah teks
perlu diteliti untuk mengungkapkan interpretasi, penerimaan, dan efek sosialnya.
Selanjutnya jelas bahwa dalam AWK, bahasa digunakan untuk tujuan dan
praktik tertentu, termasuk dalam praktik kekuasaan. Pemahaman dasar terhadap
AWK adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa.
Bahasa digunakan untuk menganalisis teks yang bertujuan untuk mengungkap
praktik tertentu termasuk praktik ideologi.
Terkait ideologi, Fairclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis
menunjukkan bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada
bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing (Darma, 2014:104).
Pemakaian bahasa membawa nilai ideologi tertentu. Hal tersebut diasumsikan
dengan melihat praktik wacana bisa jadi menampilkan efek sebuah kepercayaan
(ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak
imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan
minoritas di mana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial.
4. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Model analisis wacana kritis yang dibuat Fairclough mengintegrasikan
secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik,
pemahaman sosial dan politik, dan secara umum diintegrasikan pada perubahan
sosial. Fairclough memusatkan perhatian pada bahasa. Membagi analisis wacana
18
dalam tiga dimensi yaitu Text, Discourse Practice, dan Sociocultural Practice
(Eriyanto, 2012:286-288). Ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pada dimensi text model Fairclough, teks dianalisis secara linguistik
dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat, serta memasukkan koherensi
dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat digabungkan sehingga
membentuk pengertian. Elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat
tiga masalah yaitu (1) ideasional (representasi teks) yang merujuk pada referensi
tertentu yang ditampilkan dalam teks yang umumnya membawa muatan ideologi,
(2) relasi (hubungan antara partisipan) yang merujuk pada bagaimana konstruksi
hubungan diantara wartawan dengan pembicara yang disampaikan secara
informal, terbuka atau tertutup, (3) identitas (posisi wartawan) yang merujuk pada
konstruksi tertentu dari identitas penulis dan pembaca serta bagaimana personal
dan identitas ini hendak ditampilkan.
Discourse Practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses
produksi dan konsumsi teks. Sementara itu, Sociocultural Practice adalah dimensi
(Fairclough, 1997:98)
Gambar 1
Dimension of Discourse
19
yang berhubungan dengan konteks yang memasukkan banyak hal seperti konteks
situasi, dan lebih luas lagi memasukkan konteks dan praktik institusi dan media
sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.
Bagi Fairclough untuk memahami wacana tidak dapat dilepaskan dari
konteksnya karena sebuah teks tidak lepas dari kepentingan yang bersifat
subjektif. Untuk menemukan “realitas” di balik teks tersebut diperlukan
penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya
yang mempengaruhi pembuatan teks.
Penelitian ini terfokus pada masalah ideasional atau representasi teks yang
merujuk pada referensi tertentu yang ditampilkan dalam teks yang umumnya
membawa muatan ideologi. Adapun teks yang diteliti adalah teks pada tajuk
rencana bertema revisi UU KPK pada surat kabar Kompas dan Suara Merdeka.
Melalui bahasa yang digunakan dalam anak kalimat, kombinasi anak kalimat, dan
rangkaian antarkalimat dapat diketahui representasi suatu realitas (partisipan,
peristiwa, dan tindakan) ditampilkan dalam teks tajuk rencana tersebut.
5. Teks
Teks bagi Fairclough dilihat dari berbagai tingkatan. Sebuah teks tidak
hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana
hubungan antarobjek didefinisikan. Menurut Fairclough, setiap teks pada dasarnya
dapat diuraikan dari tiga unsur, yaitu representasi (ideasional), relasi, dan
identitas. Ketiganya merupakan elemen dasar dalam dimensi teks model
Fairclough.
20
a. Representasi
Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana
seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks.
Representasi dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni
bagaimana seseorang, kelompok, dan gagasan ditampilkan dalam
anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antaranak kalimat.
1) Representasi dalam anak kalimat
Aspek representasi dalam anak kalimat berhubungan
dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa, dan
kegiatan ditampilkan dalam teks. Aspek tersebut dapat dilihat
dari dua hal, yaitu kosakata dan tata bahasa.
(a) Kosakata
Pada tingkatan kosakata (vocabulary), banyak aspek
yang dikaji dalam analisis wacana kritis, yaitu mengenai
kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan
menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana
sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori.
Pemilihan kosakata dapat menggambarkan asosiasi dan realitas
yang ditandakan dalam bahasa.
Pada penelitian ini hanya memfokuskan pada pemilihan
kosakata/ diksi dan metafora. Diksi dibagi menjadi dua, yaitu
kata eksperiensial dan ekspresi. Rani (dalam Fauzan, 2014)
menyebutkan bahwa kata eksperiensial adalah kata-kata yang
memiliki nilai pengalaman dan pengetahuan. Kata
21
eksperiensial dapat juga dilihat dari penggunaan kata isi (kata
yang acuannya dapat dilihat, diragakan, dan ditunjukkan).
Terkait kata ekspresi, Rani menjelaskan bahwa kata
ekspresi digunakan untuk menyatakan nilai. Kata ekspresi
dapat digunakan untuk memberikan penilaian pada suatu
peristiwa, barang atau hal. Umumnya kata ekspresi adalah kata
sifat.
Tabel 1
Contoh kata eksperiensial dan ekspresi
Kata Kalimat Jenis
menangkap Sejumlah penyidik Polri mendatangi
KPK untuk menangkap Novel.
(Rep/Dik/E/K/020216/K3/P5)
eksperiensial
berlebihan Niat anggota DPR memberikan ruang
kepada KPK menghentikan
penyidikan dengan alasan ada
tersangka yang meninggal atau sakit,
sebenarnya berlebihan. (Rep/Dik/
Eks/K/130216/K3/P6)
ekspresi
Cara lain untuk merepresentasikan realitas adalah
menggunakan metafora. Menurut Fairclough, metafora
digunakan sebagai pilihan kosakata yang dapat
menggambarkan suatu realitas yang berbeda dengan yang lain
(dalam Eriyanto, 2012:292).
Ullman menyatakan bahwa dalam metafora ada dua
hal yang dibicarakan, yaitu sesuatu yang sedang dibicarakan
(yang dibandingkan) yang disebut tenor dan sesuatu yang
22
digunakan sebagai bandingan yang disebut wahana
(2012:265).
Ullman membagi jenis metafora dalam empat
kelompok, pertama, metafora antropomorfis, yaitu metafora
yang mengacu pada anggota badan manusia, dari indera dan
perasaan manusia. Contohnya, mulut sungai, jantung kota, dan
lainnya. Kedua, metafora binatang, yaitu metafora yang
mengacu pada binatang. Contohnya, telur mata sapi, pondasi
cakar ayam, dan sebagainya. Ketiga, dari konkret ke abstrak,
yaitu metafora yang berdasarkan pengalaman abstrak yang
dijabarkan ke dalam hal yang konkret. Misalnya, sinar wajah,
otak cemerlang, dan sebagainya. Keempat, metafora
sinaestetik, yaitu metafora yang didasarkan kepada transfer
dari satu indera ke indera yang lain. Misalnya, bau yang amis,
pandangan yang tajam, dan sebagainya (2012:267-269).
Tabel 2
Contoh penggunaan metafora
Kata Kalimat Tenor Wahana Makna Jenis
anak
kandung
UU KPK
sebagai anak
kandung reformasi
ditandatangani
Presiden
Megawati
Soekarnoputri
tahun 2002.
(Rep/M/K/
130216/K2/P2)
UU KPK
sebagai
undang-
undang
yang
dilahirkan
sendiri oleh
pemerintah
ketika
reformasi.
Anak yang
lahir dari
kandungan
sendiri;
anak
sendiri
(bukan
anak tiri
atau anak
angkat)
UU KPK
sebagai
undang-
undang
yang
dilahirkan
sendiri oleh
pemerintah
ketika
reformasi.
Konkret
ke
abstrak
23
(b) Tata Bahasa
Pada tingkatan tata bahasa analisis Fairclough dalam
penelitian ini hanya memfokuskan pada ketransitifan.
Linguistik Fungsionl Sistemik Halliday dimanfaatkan
Fairclough dalam aspek ketransitifan (Fairclough, 1995:177-
178). Selanjutnya ketransitifan dijelaskan oleh Santosa adalah
gramatika yang membahas struktur klausa yang
merepresentasikan makna ideasional. Ketransitifan
merealisasikan makna pengalaman, yang di dalam realitas
mempunyai tiga konstituen, yaitu: proses, partisipan, dam
sirkumstan. Proses di dalam realitas merupakan inti kejadian
dalam pengalaman, baik pengalaman fisik, mental, verbal,
perilaku, relasional, maupun eksistensial. Setiap jenis proses
akan menentukan jenis partisipan. Sementara itu, sirkumstan
adalah lingkungan baik fisik maupun non-fisik di dalam
kejadian (Santosa, 2003:78).
Dalam tataran simbol, Santosa menjelaskan bahwa
proses direalisasikan ke dalam kelompok verba, partisipan
direpresentasikan dengan kelompok nomina, sedangkan
sirkumstan diekspresikan melalui kelompok adverbia. Terdapat
enam macam proses menurut transitifitas model tatabahasa
sistemik fungsional, yaitu proses material, proses mental,
proses verbal, proses relasional, dan proses eksistensial
(2003:78-86).
24
1. Proses Material
Proses material adalah suatu proses fisik murni tanpa
unsur mental maupun behavioral. Proses material terdiri dari
dua macam yaitu doing (melakukan sesuatu) dan happening
(kejadian). Proses doing mempunyai konstituen yang terdiri
dari aktor-proses-goal. Proses happening mempunyai
konstituen yang terdiri dari aktor-proses. Sementara itu,
partisipan di dalam proses materi ini adalah aktor, gol, range,
benefiseri: resipien dan klien. Aktor adalah partisipan yang
melakukan proses, gol adalah partisipan yang dikenai atau
dipengaruhi proses, range lebih merupakan skop atau
perluasan proses itu sendiri, dan benefiseri adalah partisipan
yang menerima gol sebagai barang atau servis. Contoh proses
material sebagai berikut.
Tabel 3
Proses Materi: happening
My father
Tono
Bapak lan Ibu
went to work
berlari
lagi dhahar
Aktor Proses: material
25
Tabel 4
Proses Materi: doing dengan gol dan benefiseri
(resipien dan klien)
They
Ayah
Ibu
gave
membuat
masak
a book
mainan
sego
to me
-
-
-
untuk adik
-
aktor proses goal resipien klien
Tabel 5
Proses Materi dengan Range
They
Tono
Dewekne
play
menyanyikan
lagi munggah
tennis
sebuah lagu
gunung
aktor proses range
Tabel 6
Proses Materi di dalam klausa pasif
The house
Surat itu
Sayure
was built
dikirim
dimasak
for her
-
Kanggo Tono
by him
oleh dia
-
gol proses klien aktor
2. Proses Mental
Proses mental adalah proses berpikir, mengindera, dan
merasa. Oleh karena itu proses ini dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu proses mental: kognitif, perseptif, dan
afektif. Proses mental kognitif berkaitan erat dengan
26
penggunaan otak untuk perproses, misalnya: berfikir,
malamun, mengerti dan sebagainya. Proses mental perseptif
berkaitan dengan penggunaan indera untuk berproses,
misalnya: melihat, mendengar, merasa dengan (lidah, dan
kulit) sedangkan proses mental afektif berkaitan erat dengan
penggunaan perasaan atau hati untuk berproses, misalnya:
mencintai, membenci, suka, tidak suka, dan sebagainya.
Partisipan proses ini hanya ada dua yaitu, yang berfikir
atau yang mengindera, atau yang merasa disebut senser,
sedangkan yang dipikir, atau yang dirasa atau yang diindera
disebut fenomenon.
Tabel 7
Proses Mental
Para murid
Tono
melihat
sudah memahami
sepeda yang dicuri
bahwa hal itu tidak benar
senser proses fenomenon
3. Proses Verbal
Proses verbal adalah proses berkata murni, tidak ada
unsur perilakunya. Proses ini di dalam bahasa Indonesia sering
direalisasikan dengan: berkata, bertanya. Partisipan proses ini
ialah sesuatu yang mengatakan yang disebut sayer, sesuatu
yang dikatakan yang disebut verbiage, dan yang menerima
verbiage disebut receiver.
27
Tabel 8
Proses Verbal
Ayah menanyakan itu kepada Ibu
sayer proses verbal verbiage receiver
4. Proses Perilaku
Proses perilaku mempunyai dua jenis, yaitu proses
perilaku verbal dan proses perilaku mental. Proses perilaku
verbal adalah proses perilaku yang menggunakan verbal di
dalam melakukan tindakan, misalnya: menyarankan,
mengklaim, mendiskusikan, menjelaskan, mengolok-olok,
mendamprat dan sebagainya. Proses ini mempunyai partisipan
sebagai berikut: behaver adalah partisipan yang melakukan
proses perilaku verbal, verbiage adalah sesuatu yang
dikatakan, serta receiver adalah yang menerima.
Tabel 9
Proses perilaku verbal
Bapak menyarankan seperti itu kepada ku
behaver proses verbiage receiver
Sementara itu, proses perilaku mental lebih merupakan
gabungan antara proses mental dan materi. Secara fisik proses
ini dapat diketahui, tetapi tidak hanya sekedar fisik, termasuk
adanya unsur mental di balik proses fisiknya, misalnya
28
menyelidiki, mempelajari, mengecek, meneliti, mengabdi, dan
lain sebagainya. Partisipan proses ini adalah behaver, si pelaku
dan sekaligus pemikir/ pengindera/ yang merasa proses ini, dan
fenomenon adalah sesuatu yang dikenai proses ini.
Tabel 10
Proses perilaku mental
Mereka sudah meneliti daerahnya
Behaver proses fenomenon
5. Proses Relasional
Proses relasional adalah proses menghubungkan antara
partisipan yang satu dengan partisipan yang lain. Hubungan itu
bisa bersifat memberikan atribut atau memberikan nilai
terhadap partisipan yang pertama. Oleh karena itu proses ini
mempunyai dua jenis, yaitu Proses relasional atributif dan
proses relasional identifikasi.
Proses relasional atributif adalah proses yang
menghubungkan antara partisipan yang satu dengan yang lain
dengan cara memberikan atribut. Partisipan proses ini adalah
carrier (pembawa), yaitu partisipan yang diberi atribut, dan
atribut dapat berupa partisipan (yang direalisasikan dalam kata
atau frasa benda), keadaan satau sifat atau keberadaan (yang
direalisasikan di dalam kata sifat atau kata keterangan atau
adverbia).
29
Tabel 11
Proses Relasional Atributif
Rumah itu
Pak Partono
sangat mewah
seorang perwira
Carrier Proses/atribut
atau
Ayah
Pak Partono
menjadi
adalah
marah
seorang perwira
Carrier proses atribut
Sementara itu proses relasional identifikasi adalah
proses yang menghubungkan antara partisipan yang satu
dengan partisipan yang lain dengan cara memberikan nilai
pada partisipan tersebut. Partisipan proses ini adalah token,
adalah sesuatu yang diberi nilai, dan value adalah nilai sesuatu
tersebut. Dalam bahasa Indonesia, proses ini dapat
direalisasikan melalui adalah/merupakan.
Tabel 12
Proses Relasional Identifikasi
Kasus itu
Kasus itu
merupakan
menunjukkan
halangan bagi dia
kerapuhannya
Token Proses value
6. Proses Eksistensial
Proses eksistensial adalah proses yang menunjukkan
adanya sesuatu. Di dalam bahasa Indonesia ditunjukkan
30
dengan struktur klausa yang dimulai dengan “Ada ...” atau
“Terdapat ...”, atau kata kerja “muncul”. Partisipan proses ini
hanya mempunyai satu partisipan, yaitu eksisten, sesuatu yang
dimunculkan. Sirkumstan adalah lingkungan fisik atau non-
fisik yang melingkupi proses.
Tabel 13
Proses Eksistensial
Ada
Terdapat
masalah penting
ratusan mobil
di instansi kita
di lapangan itu
proses Eksisten sirkumstan
Tabel 14
Proses Eksistensial dengan kata kerja
Penyerangan itu muncul di daerah selatan
eksisten proses sirkumstan
2) Representasi dalam kombinasi anak kalimat
Kombinasi anak kalimat adalah menggabungkan antara
satu anak kalimat dengan anak kalimat lain untuk membentuk
suatu pengertian lain. Melalui analisis kombinasi anak kalimat,
realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu
anak kalimat dengan anak kalimat yang lainnya. Gabungan
antara anak kalimat akan membentuk koherensi lokal, yang
berarti gabungan dari anak kalimat tersebut membentuk
31
kalimat yang mempunyai pengertian lain yang dapat
menunjukkan ideologi dari pemakai bahasa.
Fairclough menyebutnya sebagai local coherence
relations (hubungan koherensi lokal). Local coherence
relations mempunyai tiga bentuk hubungan, yaitu elaboration
(elaborasi/penjelasan), extention (ekstensi/perpanjangan), dan
enhacement (enhansi/mempertinggi) (1995:121).
Elaborasi atau penjelasan menempatkan posisi anak
kalimat yang satu menjadi penjelas dari anak kalimat yang
lain. Elaborasi ditandai dengan penggunaan kata hubung
seperti “yang”, “lalu”, atau “selanjutnya”.
Ekstensi atau perpanjangan, di mana anak kalimat yang
satu merupakan perpanjangan atau penambahan dari anak
kalimat yang lain. Ekstensi ditandai dengam penggunaan kata
“dan” (menunjukkan penambahan), “tetapi” dan “meskipun”
(menunjukkan kekontrasan), dan “atau” (menunjukkan
pilihan).
Enhansi atau mempertinggi, di mana anak kalimat yang
satu posisinya lebih besar dari anak kalimat yang lain.
Umumnya ditandai dengan pemakaian kata hubung “karena”
atau “diakibatkan”.
Local coherence relations yang telah dijelaskan di atas
dapat membentuk realitas sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh penulis. Representasi dengan menggabungkan dua
32
kalimat juga dapat menunjukkan ideologi penulis yang dapat
mempengaruhi pembaca.
Tabel 15
Contoh Local Coherence Relations
Tidak ada Seorang wanita diperkosa oleh
oknum polisi.
Elaborasi (penjelas) Seorang wanita, yang dikenal
sebagai janda, diperkosa oleh
oknum polisi.
Ekstensi (perpanjangan) Meskipun janda, seorang wanita
diperkosa oleh oknum polisi.
Enhansi (mempertinggi) Karena janda, seorang wanita
diperkosa oleh oknum polisi.
Contoh kalimat-kalimat di atas dapat menunjukka
bagaimana suatu realitas dapat dimunculkan melalui
penggunaan koherensi lokal yang berbeda-beda. klausa atau
kalimat “seorang wanita janda diperkosa oleh oknum polisi”
dapat digabungkan menjadi bentuk realita-realita yang
berbeda-beda tergantung jenis koherensi lokal yang digunakan.
Hal ini tentunya juga mempengaruhi pembaca dan pemaknaan
yang berbeda-beda.
3) Representasi dalam rangkaian antarkalimat
Pada representasi ini berkaitan dengan bagaimana dua
kalimat atau lebih dirangkai atau disusun dalam suatu teks. Hal
tersebut juga bertujuan untuk melihat representasi partisipan
dalam rangkaian antarkalimatnya. Representasi partisipan di
sini adalah bagaimana partisipan digambarkan, apakah
(Eriyanto, 2012:295)
33
partisipan ditampilkan seorang diri dalam mengomentari suatu
topik atau ditampilkan memberikan reaksi terhadap pendapat
partisipan lain.
Melalui analisis representasi dalam rangkaian
antarkalimat, dapat dilihat apa yang sebenarnya diinginkan
oleh penulis teks melalui ungkapan-ungkapan yang
ditampilkan dalam bentuk pernyataan dalam teks. Ungkapan
tersebut dapat berupa speech yaitu ungkapan utama atau
mandiri, reaction (reaksi) yang memberikan tanggapan kepada
partisipan lain, atau evaluation (evaluasi) yaitu tanggapan atau
penilaian yang lebih luas. Fairclough juga melihat cara
pernyataan-pernyataan tersebut ditampilkan atau dikutip dalam
tiga, yaitu quotations (langsung), summaries (meringkas), dan
formulations (formulasi/evaluasi) (1995:117-118).
Quotations (langsung) yaitu dengan mengutip secara
langsung apa yang dikatakan oleh aktor. Summaries
(meringkas) yaitu dengan meringkas inti yang disampaikan
aktor. Formulations (formulasi/evaluasi) yaitu dengan
mengevalusi pernyataan aktor kemudian ditulis dalam berita.
(Eriyanto, 2012:296)
Tabel 16
Contoh analisis representasi antarkalimat
Speech=formulations
(mandiri=formulasi)
Ketua MPR, Amien Rais, menyatakan
ketidaksetujuannya dengan usulan Gus
Dur untuk mencabut Tap
MPRS/XXV/1966.
34
Reactions=formulations
(reaksi=formulasi)
Akan tetapi, beberapa pengamat
mendukung usulan Gus Dur tersebut.
Reaction=summaries
(reaksi=meringkas)
Pengamat politik UI, Arbi Sanit, yakni
masyarakat sudah dewasa.
Hal yang sama dikemukakan oleh
Hendardi, yang menyatakan komunisme
sudah mati di belahan dunia lain.
Hendardi juga menyataka, masyarakat
harus dididik untuk menghormati
persamaan hukum dan demokrasi.
Cara ungkapan partisipan ditampilkan dan pernyataan
dikutip dalam kalimat dapat menunjukkan adanya indikasi
kecenderungan dari wartawan dalam menampilkan pernyataan
mana yang ingin dilegitimasi dan pernyataan yang lain yang
ingin didelegitimasi. Dalam contoh tersebut, ungkapan Amien
Rais ditampilkan sebagai partisipan mandiri/speech/ dan
diungkapkan dengan bentuk formulasi/formulations yang lebih
bertitik tekan pada bahasa wartawan. Setelah ungkapan Amien
Rais, ungkapan lain ditampilkan dalam bentuk reaksi yang
merupakan anggapan dari ungkapan Amien Rais dalam bentuk
formulasi. Kemudian kalimat selanjutnya juga merupakan
reaksi dari ungkapan Aamien Rais hendak didelegitimasi
dengan memunculkan reaksi-reaksi atas ungkapan Amien Rais
dalam bentuk yang lebih jelas yaitu ringkasan. Di sisi lain
ungkapan Amien Rais hanya berupa formulasi.
Selain itu, strategi wacana juga dapat ditampilkan
sedemikian rupa dalam teks dengan maksud melegitimasi
suatu pernyataan dan mendelegitimasi pernyataan yang lain.
(Eriyanto, 2012:299)
35
Hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan background
atau memunculkan berbagai pendapat yang sesuai dengan
pernyataan yang ingin dilegitimasi (Eriyanto, 2012:298).
Contoh di atas memperlihatkan bahwa background yang
ditampilkan adalah situasi yang mendukung pernyataan dari
pihak Gus Dur, sehingga contoh diatas mengindikasikan
bahwa pernyataan yang ingin dilegitimasi adalah pernyataan
Gus Dur.
C. Kerangka Pikir
Wacana Rencana Revisi UU KPK dalam
Rubrik Tajuk Rencana Surat Kabar
Kompas dan Suara Merdeka
Analisis Wacana Kritis Model Norman
Fairclough
Analisis Tahap Deskripsi Teks
Representasi Rencana Revisi UU KPK
(anak kalimat, kombinasi anak kalimat,
dan rangkaian antarkalimat)
Perbandingan Representasi Rencana
Revisi UU KPK dalam Rubrik Tajuk
Rencana Surat Kabar Kompas dan Suara
Merdeka melalui rangkaian antarkalimat