BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tension Headache
2.1.1 Kejadian tension headache di masyarakat
Tension headaches (TH) merupakan gangguan atau disfungsi sistem
musculoskeletal didaerah cervical. Kejadian TH pada tahun 2009 mencapai
sekitar 87,65% dari keseluruhan kronik headaches (Kendil at al, 2014).
Perempuan lebih sering daripada laki-laki. Tension headaches dapat disebabkan
oleh gangguan pada sendi upper cervical khususnya C0-C1 dan C1-C2 yang
dikenal dengan cervicogenic tension headaches. Selain itu, ketegangan pada
otot-otot disekitar leher dan kepala bagian belakang juga dapat menimbulkan
TH yang dikenal dengan myogenic tension headaches (Moscolino, 2009).
Cervicogenic umumnya berakibat timbulnya iritasi jaringan yang dipersarafi
oleh nerves temporal sehingga menimbulkan gejala sakit kepala. Gejala yang
dirasakan diantaranya: sakit kepala, pusing dan bahkan sampai pengelihatan
berkunang-kunang (Olson, 2006).
Penggunaan otot-otot leher yang berlebihan terutama otot bagian belakang
dapat menimbulkan myofascial pain dengan gejala sakit kepala. menyebabkan
nyeri headaches. Gangguan postur berupa forward head posture juga dapat
7
8
menimbulkan ketegangan pada otot yang berakibat mengiritasi nerves occipital
sehingga terjadi sakit kepala tension hedeache (Sanchez et al. 2011)
2.1.2 Patofisiologi tension headache
1. Anatomi dan fisiologi otot suboccipital
Otot yang termasuk dalam group suboccipital adalah otot obliquus
capitis superior, otot obliquus capitis inferior, otot rectus capitis posterior
minor dan otot rectus capitis posterior major. Otot rectus capitis posterior
major melekat pada processus spinosus C2 sampai inferior nuchal line
occipital. Otot rectus capitis posterior minor melekat pada tuberkulum
posterior C1 sampai inferior nuchal line occiput. Otot obliquus capitis
inferior melekat pada processus spinosus C2 sampai processus transverses
C1. Otot obliquus capitis superior melekat pada processus transverses C1
sampai occiput (Gross & Fetto, 2009).
Otot suboccipital menyilang pada sendi atlanto-occipital joint
(AOJ) dan sendi atlantoaxial joint (AAJ). Rectus capitis posterior untuk
extensi, lateral flexi dan ipsilateral rotasi kepala dan atlas AOJ dan AAJ.
Rectus capitis posterior minor untuk protraksi, extensi dan lateral flexi
kepala terhadap AOJ. Obliquus capitis inferior ipsilateral rotasi atlas
terhadap AAJ. Obliquus capitis superior untuk protraksi, extensi, lateral
flexi dan rotasi contralateral kepala terhadap AOJ. Kerja statis yang terus
menerus dan overload work menyebabkan trigger points dan taut band pada
otot (Bogdanis, 2012). Ergonomi yang meliputi poor body mechanics,
9
penggunaan otot dalam kondisi statis lama. Otot suboccipital mudah
mengalami tightness dan apabila berlangsung kronis mudah timbul
kontraktur. Posisi forward head posture memberikan beban berlebihan pada
otot suboccipital sehingga sering mengalami ketegangan spasme. Kondisi
ini dapat menyebabkan iritasi pada saraf occipital (Muscolino, 2012).
2. Jenis otot rangka
a. Tipe tonic
Disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot
lainnya, yang banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria (tahan
lama terhadap tahanan). Yang berfungsi untuk mempertahankan sikap.
Kelainan tipe otot ini cenderung tegang dan mudah terjadi ischemic.
Otot-otot suboccipital termasuk otot tipe tonic (Colligan, 2010).
b. Tipe phashic
Disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat, yang banyak
mengandung myofibril (tidak tahan lama terhadap tekanan), durasi
kontraksi lebih pendek dan menghasilkan gerakan-gerakan halus dengan
keterampilan gerak, yang berfungsi untuk gerakan cepat dan kuat, yang
berasal dari dua macam serabut yaitu serabut otot tipe 2A yang
kelelahannya rata-rata intermediate (sedang) dan serabut tipe 2B yang
kelelahannya sangat cepat. Kelainan tipe otot ini cenderung mengalami
cidera (Colligan, 2010).
10
Tabel.2.1. Klasifikasi serabut otot skelet
Karakteristik Tipe Tonic (Red)Tipe Phasic(White)
1Myosin AT Pase activity
Low High
2 Contraction and relaxation rate/tension
Slow Fast
3 Type contraction Tonik Phasic4 Muscle function Stabilizer/postural Mobilizer5 Fatique Resistent Fast6 Myoglobin and
capillary High/Red Low/Red
7 Mitochondria Many FewMetabolism Aerobic / oxidative Anaerob/glicoli
tic9 Diameter 27 mcm 44 mcm
Blood Supplay Extensive Less extensive10 Motor and plate Smaller Larger11 Nerve fiber diameter Smaller Larger12 Motor unit size Smaller Larger13 Contraction time 85 ml second14 Nerve conduction
velocityLow
15 Endurance Long sustained contraction
Fatique easly
Function Jalan,maraton,ADL
Rapid, high power suddent contraction
Sumber : (Guyton, 2007)
3. Histologi Otot
a. Myofibril
Satu otot rangka terdiri dari serat otot, yaitu sel-sel silindris
panjang multinuklear. Serat-serat paralel berkumpul membentuk fasikel
11
yang cukup besar. Masing-masing serat, fasikel, dan otot seluruhnya
dibungkus oleh jaringan ikat yang membentuk kerangka penyangga yang
utuh. Setiap serabut otot mengandung beberapa ratus sampai beberapa
ribu miofibril. Setiap miofibril tersusun oleh sekitar 1500 filamen miosin
yang berdekatan dan 3000 filamen aktin, yang merupakan molekul protein
polimer yang berfungsi untuk kontraksi otot. Filamen tebal adalah miosin
dan filamen tipis adalah aktin (Guyton and Hall, 2008).
Gambar 2.1. Struktur otot (Davis, 2007)
Miosin dan aktin membentuk sub unit yang saling terhubung dalam
miofibril yang dikatakan sebagai sarcomer, dalam sebuah sarcomer aktin
terletak di pinggir mengapit miosin sehingga dilihat dalam miskropis
daerah pinggir sarcomer lebih terang dengan tengah yang berwarna gelap,
12
daerah terang disebut I-band karena bersifat isotropik terhadap cahaya
yang dipolarisasikan dan gelap disebut A-band karena bersifat anisotropik
terhadap cahaya yang dipolarisasikan, serta yang memisahkan keduanya
disebut Z-line. Jadi sarcomer merupakan daerah antara dua Z-line (Guyton
and Hall, 2008).
b. Fascia
Fascia adalah tipe jaringan yang meliputi seluruh tubuh, dan
berada dimana- mana. Fascia tidak hanya memberikan bentuk bagi tubuh
baik diluar ataupun di dalam tetapi juga menyediakan bentuk untuk semua
sistem tubuh seperti sirkulasi darah, saraf dan sistem limfatik. Fascia
adalah jenis jaringan ikat yang melapisi tendon, ligamen, aponeurosis dan
jaringan parut (Martini, 2012).
Berdasarkan tempat dimana fascia ditemukan dalam otot, maka fascia
dibedakan menjadi:
(1) Epymisium, merupakan jaringan fascia terluar yang mengikat
seluruh fasikel.
Gambar 2.2. Epimysium (Davis, 2007)
13
(2) Perymisium, merupakan jaringan fascia yang membungkus
sekelompok serabut otot ke dalam individual fasikuli.
Gambar 2.3. Perimysium (Davis, 2007)
(3) Endomysium, merupakan jaringan fascia terdalam yang
membungkus individual otot.
Gambar 2.4. Endomysium (Davis, 2007)
Jaringan myofascial terdapat ground substance. Ground substance
berfungsi sebagai alat transpor nutrisi dari bagian dimana makanan
dipecahkan ke bagian yang membutuhkan, mengangkut zat-zat sisa
metabolisme, merubah konsistensi gelatin bebas ke gel-foam (busa gel)
sehingga apabila terkena trauma baik biokimia maupun mekanis maka
akan terjadi pengerasan dan kehilangan elastisitas sehingga pada
akhirnya myofascial akan mengalami ketegangan, mempertahankan jarak
antar serabut jaringan ikat sehingga terjaga dari pembentukan
14
perlengketan (microadhesion) serta menjaga jaringan ini tetap fleksibel
(Chantu and Gradin, 2006).
Fascia berfungsi membentuk dan menunjang bagian tubuh serta
menahan agar tetap berada pada tempatnya, memberikan batas tegas yang
akan meningkatkan kekuatan otot, mengandung dan mengalirkan cairan
tubuh yang akan membantu mencegah penyebaran infeksi, menyediakan
infrastruktur untuk sistem percabangan, pendukung peredaran darah dan
sistem limfatik, serta percabangan dari sistem saraf. Fascia mengandung
sel jaringan ikat (fibroblast) yang diproduksi jika diperlukan untuk
menebalkan jaringan ikat, membantu perbaikan tendon dan ligamen dan
membentuk jaringan parut (Martini, 2012).
Apabila otot mengalami kontraksi yang berlangsung relatif lama
akan menimbulkan ischemic sehingga terjadi proses inflamasi pada otot
tersebut sering mengalami gangguan berupa spasme, pemendekan otot
(tightness) dan disabilitas fungsi leher (Bogdanis, 2012).
Apabila keadaan ini kronis menimbulkan adhesia pada jaringan
ikat khususnya fascia. Proses inflamasi, diikuti proses regenerasi jaringan
kolagen (Bogdanis,2012). Proses penyembuhan jaringan terjadi
mekanisme penumpukkan kolagen (jaringan fibrous) yang akan
menimbulkan perlengketan antara myofibril dan fasia.
Ambang rangsang nosi sensoris rendah akan menimbulkan tender
point yaitu pada jaringan tersebut di provokasi akan terjadi nyeri lokal.
15
Bila ambang rangsang nosi sensorik menjadi nol akan terjadi trigger
point dan taut band.
Immobilisasi viskositas matrix akan berkurang dan bagian terbesar
dari substansia dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen saling
berdempetan, ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen
lain menurun membentuk cross binding. Jaringan ikat juga menjadi
kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fascia kehilangan
pelumas, menyebabkan molekul dari lembaran fascia ternyata terikat
bersama-sama (Place, 2008).
Keadaan immobilisasi dari jaringan myofasial ini banyak
disebabkan penggunaan otot secara berlebihan, dimana keadaan ini akan
menimbulkan timbunan fibroblast dan banyak kolagen terjadi cross link.
Apabila hal ini berlangsung kronis akan menimbulkan adhesia pada
jaringan myofibril.
4. Fisiologi kontraksi dan relaksasi otot
a. Kontraksi otot
Mekanisme umum kontraksi otot adalah potensial aksi sisterna
dimana keluar dari sisterna untuk kontak dengan troponin. Terbentuk
ikatan kalsium dan troponin dimana ikatan tropomiosin terlepas
sehingga tempat aktin terbuka yang memungkinkan terjadinya kontak
antara aktin dan myosin. Miosin mendapat energi kontak dengan tempat
16
aktif aktin, sedangakan myosin menarik aktin sehingga terjadi power
stroke yang dikenal dengan sliding mechanism (Place, 2008).
Kontraksi isometric merupakan kontraksi otot dimana tidak
terjadi pemendekan otot meskipun tonus terbentuk. Kontraksi isometric
menimbulkan regangan pada seluruh otot dan tendon. Kontraksi
eccentric adalah kontraksi otot dimana otot memanjang sejak
terbentuknya tonus. Kontraksi eccentric menimbulkan regangan hanya
pada tendon. Kontraksi adalah kontraksi otot dimana terjadi
pemendekan otot bersamaan dengan terbentuknya tonus otot. Kontraksi
isotonic tidak mempengaruhi peregangan otot maupun tendon (Kisner
& Colby, 2012).
Gambar 2.5. Kontraksi otot (Barbara, 2006)
17
b. Reciprocal innervations
Mekanisme otot ketika berelaksasi, relaksasi terjadi jika ion-ion
Ca++ dipompa lagi masuk ke dalam retikulum sarkoplasma secara
transport aktif dengan bantuan ATP, sehingga binding site aktin
kembali tertutupi oleh tropomiosin, cross bridge tidak dapat
terjadi dan relaksasi terjadi. Kontraksi otot yang kuat dan berlangsung
lama akan menurukan konsentrasi glikogen di otot. Semakin kuat
kontraksi akan diikuti relaksasi pasca kontraksi (Muscolino, 2012).
5. Biomekanik upper cervical
Deep neck flexors terdiri dari musculus sternomastoid dan
musculus splenius capitis dan musculus sub occipital berfungsi sebagai
stabilizer. Mempertahankan posisi leher dan kepala tetap pada posisi
normal. Secara biomekanik titik tumpuan berada diantara gaya otot dan
gaya berat (Hamil & Knutzen, 2009). Apabila gaya berat lebih besar
daripada gaya otot maka otot-otot stabilisator berusaha meningkatkan
kekuatan sehingga menimbulkan ketegangan dan spasme pada otot-otot
stabilisator (Childs et al, 2008).
6. Patologi fungsional tension headache
Mekanisme terjadinya tension hedeaches dapat dikategorikan menjadi
dua:
18
a. Direct tension headaches
Beberapa aktivitas yang memerlukan kontraksi otot yang kuat
dan berlangsung lama berpotensi menimbulkan kondisi stress
sehingga mengalami hypertonus diantaranya bekerja dan berolah
raga. Disamping itu sikap emosional dan perubahan perilaku dapat
mempengaruhi postur dan pola kerja otot. Kondisi ini menimbulkan
ischaemic pada otot-otot suboccipital sehingga terjadi taut band,
tight dan trigger points serta rasa nyeri disekitar kepala dan leher
(Chaitow, 2003). Apabila ketegangan otot berlangsung terus-
menerus maka akan timbul iskemia pada struktur tendon maka
terasa nyeri pada area otot dan periosteal.
Peningkatan tonus otot dalam waktu yang singkat tidak
menimbulkan masalah, tetapi dalam jangka yang relatif lama dapat
timbul retensi sisa metabolisme. Peningkatan tonus secara
bersamaan dapat menimbulkan kekurangan oksigen secara lokal
sebagai akibat timbulnya iskemia. Peningkatan tonus juga dapat
menimbulkan oedema (Chaitow, 2003)
Ketika terjadi biomekanik yang tidak normal, koordinasi
gerakan tergannggu mengakibatkan otot-otot antagonis tegang
sementara otot-otot agonis mengalami kelemahan serta keterbatasan
19
sendi atau pengkerutan fascia. Terjadi perubahan secara progressif
secara lokal terjadi hyperaktif pada struktur saraf di regio paraspinal
atau didalam otot yang biasa disebut reffered pain (Childs et al.
2008).
Guyton and Hall (2006), menjelaskan bahwa kerusakan
jaringan dapat menyebabkan pelepasan unsur kimiawi yaitu
bradykinin, yang paling bertanggung jawab terhadap penyebab
nyeri setelah terjadi kerusakan jaringan. Kemudian, intensitas nyeri
yang dirasakan sangat berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi ion potassium secara lokal atau peningkatan enzym
proteolytic yang secara langsung menyerang ujung-ujung saraf
sensorik sehingga timbul nyeri.
b. Indiret tension headaches
Posisi forward head posture menyebabkan ketegangan pada otot-
otot suboccipital sehingga mengiritasi nerves occipitalis
menimbulkan rasa nyeri disekitar kepala dan leher. Makrophages
menimbulkan peningkatan vaskularisasi dan aktivitas fibroblastic.
Produktifitas connective tissue meningkat terutama cross-linkage
dan pengkerutan fascia. Permukaan tubuh umumya dibungkus oleh
fascia sehingga gangguan pada regio tertentu dapat mempengaruhi
fascia pada region lain terutama pada struktur yang disangga fascia
20
seperti saraf, otot, struktur lympa dan pembuluh darah (Chaitow,
2003).
c. Penyebab lain
Obesitas, genetik dan usia merupakan faktor internal yang
dapat menimbulkan tension headaches. Disamping itu faktor
eksternal juga dapat mempengaruhi tension headaches. Pengaruh
lingkungan kerja dan postur serta gerakan-gerakan otot leher yang
berlebihan saat beraktivitas olah raga.
Beberapa faktor seperti retensi sisa metabolism, iskemia dan
oedema menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan bahkan
bisa timbul rasa nyeri. Perasaan yang tidak nyaman atau rasa nyeri
dapat menimbulkan ketegangan pada otot-otot tertentu. Sering
terjadi inflamasi atau iritasi kronis (Macintost,et.al, 2012)
7. Mekanisme timbulnya nyeri
a. Konsep nyeri Melzack & Wall
Mekanisme konsep nyeri menurut Melzack dan Wall yang disebut
“Gate Control Theory”. Prisinsip teori tersebut sebagai berikut:
“Serabut afferents A-beta dan serabut afferents A-delta & C mengirim
impuls nyeri ke Transmisi sel (T-sel) pada medulla spinalis. Kedua
neuron (interbuncial neurons) berhubungan dengan Subtantia
21
gelatinosa (SG-cell). Sel SG menekan rangsangan nyeri yang akan
dikirim ke T-cell. Rangsangan nyeri dari serabut afferent A-beta
memperkuat tekanan pada SG-cell, sedangkan rangsangan nyeri dari
serabut afferent A-delta & C mengurangi SG-cell. SG-cell berfungsi
sebagai pintu gerbang. Apabila rangsangan nyeri yang menuju T-cell
berasal dari serabut afferent A-beta maka gerbang ini menyempit,
sehingga rangsangan ke T-cell lemah. Sebaliknya rangsangan nyeri yang
bersal dari serabut afferent A-delta & C gerbang melebar, sehingga
rangsangan pada T-cell lebih kuat.
Kontrol gerbang juga dipengaruhi oleh Central control. Impuls
rasa nyeri masuk melalui saraf perifer ke pusat kolumna posterior dan
system proveksi dorsolateral sebagai pacu control sentral mengumpulkan
informasi, sifat, dan letak nyeri. Selanjutnya dikirim ke thalamus sebagai
central, kemudian melalui desending afferent fiber mengirim ke gerbang
yang akan membuka dan menutup gerbang” (Prentice, 2003).
b. Konsep nyeri Mc Kenzie
Nyeri yang diakibatkan oleh gangguan struktur pada tulang belakang
khususnya cervical dan lumbosakral yang diakibatkan oleh gangguan
postur. Didalam otot dihasilkan metabolisme noxious berupa ‘factor P’
atau gangguan pada sirkulasi darah karena spasme. Hal ini terjadi akibat
adanya iskemia. Timbul nyeri pada ujung otot di daerah periosteum
22
terutama disebabkan oleh ketegangan otot atau penggunaan yang
berulang-ulang. Persendian mengalami keterbatasan ruang gerakan oleh
pengkerutan fascia yang dapat membatasi gerakan sendi. Terjadi iritasi
pada saraf terutama spinal sehingga area spinal diotot akan mengalami
rasa nyeri (Mc Kenzie, 2000).
c. Konsep nyeri Cyriax
Suatu otot yang mengalami nyeri yang hebat setelah mengalami
trauma yang berulang-ulang akibat strain atau penggunaan yang
berlebihan sehingga menimbulkan substansi secara kimia berupa
bradykinin, prostaglandins, histamine, serotonin dan ion potassium.
Merangsang saraf sensoris A-δ dan C (group IV) dengan melibatkan
limbic system dan lobus frontal di otak (Mense, 2010)
Ischaemic dapat menyebabkan akumulasi asam laktat dengan jumlah
yang besar di dalam jaringan, yang terbentuk sebagai konsekuensi dari
metabolisme anaerobik. Kemungkinan juga adalah keterlibatan unsur-
unsur kimiawi lainnya seperti bradykinin dan enzim proteolytic yang
terbentuk di dalam jaringan karena adanya kerusakan sel. Keterlibatan
kedua enzim dan akumulasi asam laktat di dalam jaringan dapat
merangsang ujung-ujung saraf nyeri (reseptor nyeri). Disamping itu,
muscle spasm juga penyebab umum dari nyeri. Nyeri dapat berasal dari
efek langsung dari muscle spasm yang merangsang reseptor nyeri
23
mechanosensitive, tetapi dapat juga berasal dari efek tidak langsung dari
muscle spasm yang mengompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan
ischemia. Hal ini akan menciptakan pelepasan substance kimiawi
penyebab nyeri (Guyton and Hall, 2006).
d. Konsep nyeri Simon & Traver
Apabila terjadi lesi pada otot akan merangsang nosiceptor oleh
pelepasan substansi vasoneuroactive seperti brdykinin dan prostaglandin
sehingga timbul tenderness dan triggers points. Proses ini juga
menimbulkan oedema, dan pelepasan neuropiptida seperti P substan
melalui axon reflex, selanjutnya terjadi penekanan pada pembuluh vena,
penyempitan vena menyebabkan aliran suplai darah menurun sehingga
terjadi lokal iskemia. Kondisi iskemia melepas banyak bradykinin yang
merangsang nociceptor yang menimbulkan rasa nyeri (Chaitow, 2003)
Tension headache yang disebabkan oleh impairment otot
suboccipital sering mengalami nyeri berupa trigger points, adhesia dan
taut band sesuai dengan teori nyeri Simon & Traver (2003).
2.1.3 Perkembangan Penanganan Fisioterapi pada Tension Headaches di
masyarakat
24
Nyeri merupakan gejala yang paling sering dirasakan penderita
tension headache dapat ditangani dengan menggunakan medikamentosa.
Penggunaan obat relaxan yang dikombinasikan dengan analgetik dapat
membantu mengurangi atau menghilangkan keluhan nyeri. Akan tetapi
penggunaan obat dapat menimbulkan efek samping yang dapat mengganggu
fungsi system organ tubuh (Meriggioli et al. 2004).
Mekanisme penurunan nyeri dengan menggunakan medikamentosa
terjadi pada peralihan antara somatic motor neuron dengan skeletal muscle
fibers atau neuromuscular junction. Apabila terjadi depolarizasi akibat
pengaruh receptor acethylcholine (Ach) dengan elemen serabut kontraktil
berupa aktin dan myosin akan terjadi kontraksi otot. Otot menjadi relaksasi
setelah Ach dihidrolisis oleh enzim acethylcholinestetrase. Selain itu proses
relaksasi otot juga terjadi apabila terminal receptor Ach diblok. Secara umum
penggunaan muscle relaxant ditujukan presynaptic neuromuscular blockers
meliputi inhibisi sintesis Ach dan inhibisi pelepasan Ach. Postsynaptic
neuromuscular blockers meliputi non depolarizing blockers dan depolarizing
blockers (Chaitow, 2003).
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang fisioterapi
telah banyak dilakukan penelitian tentang intervensi fisioterapi yang memiliki
efek terapi yang signifikan terhadap penurunan nyeri tension headache.
Berbagai ahli dan praktisi fisioterapi menyatakan bahwa ultrasound yang
25
dikombinasikan ischaemic compression technique dapat menurunkan nyeri
tension headache. Perkembangan selanjutnya mendorong kita melakukan riset
dan penelitian tentang efektivitas contract relax stretching terhadap
penurunan nyeri tension headache. Secara umum intervensi ultrasound
ditujukan untuk efek sedatif dan membantu pemulihan jaringan, ischaemic
compression tehnique untuk memperbaiki sirkulasi dan pelepasan adhesi
myofascial serta contact relax stretching untuk relaksasi seluruh bagian otot
(Aad, 2010).
2.2. Ultrasound therapy
2.2.1. Pengertian
Ultrasound adalah energi acoustic, dimana energi pergerakan
mekanikal gelombang suara ditransmisikan oleh vibrasi molekul-molekul
didalam media yang menghantarkan gelombang suara tersebut. Ultrasound
didefinisikan sebagai suara yang tidak terdengar, vibrasi acoustic frekwensi
tinggi akan menghasilkan efek fisiolgis thermal dan nonthermal (Gerta &
Olga, 2010).
Energi ultrasound menimbulkan efek mekanik yang menimbulkan
mikro trauma pada jaringan sehingga terjadi peradangan, selanjutnya
inflamasi primar pada jaringan target. Efek mekanik juga menstimulasi
serabut C afferent menyebabkan inflamasi neurogenik mengakibatkan dilatasi
dan hyperemia kapiler untuk mempermudah penyembuhan jaringan. Pengaruh
26
mekanik dapat meningkatkan temperatur pada jaringan lebih dalam serta
peningkatan metabolism sel membrane melalui piezoelectric (Prentice, 2003)
2.2.2. Perubahan Biological
Penggunaan frekwensi ultrasound 1 MHz dan 3 MHz menimbulkan
perubahan biological yang berbeda, dimana frekwensi 1 MHz memeiliki
penetrasi yang lebih dalam pada jaringan dibandingkan dengan frekwensi 3
MHz. Disamping itu penetrasi juga ditentukan intensitas yang digunakan
dalam pengobatan (De Brito et al. 2012).
Tabel 2.2 Hubungan status tissue dan intensitas
Status Tissue Intensitas (W/cm2)
Akut 0,1 – 0,3
Sub Akut 0,2 – 0,5
Kronis 0,3 – 1,0
(Sumber: De Brito et al. 2012)
Frekwensi gelombang suara yang dapat didengar antara 16 kHz
sampai dengan 20 kHz, frekwensi ultrasound diatas 20 kHz. Frekwensi
ultrasound terapi antara 0,75 MHz sampai dengan 3 MHz. Gelombang suara
frekweensi tinggi dipancarkan dari sumber suara. Efek biologis yang
ditimbulkan gelombang suara frekwensi rendah menyebabkan penetrasi yang
lebih dalam, sedangkan gelombang suara frekwensi tinggi menimbulkan
27
penetrasi yang lebih dangkal sehingga lebih tepat digunakan pada jaringn
superfiscial (Baker, 2015)
Tabel 2.3 Perbedaan antara penetrasi dan absorbs 1MHz
Media Absorbsi Penetrasi
Air 1 1200
Plasma darah 23 52
Pembuluh darah 60 20
Lemak 390 4
Otot skeletal 663 2
Saraf perifer 1193 1
(Sumber: Prentice, 2005)
2.2.3 Perubahan Biophysical
Ultrasound therapy diproduksi oleh piezoelectric tranduser yang
memiliki frekwensi antara 0,75 MHZ dan 3,0 MHZ. Frekwensi 1 MHZ
memiliki penetrasi yang lebih dalam, olehkarena itu sering digunakan pada
jaringan yang lebih dalam. Frekwensi 3 MHZ memiliki daya tembus yang
lebih dangkal, sering digunakan pada jaringan yang lebih superficial.
Besarnya intensitas energi yang dapat diabsorbsi tiap jaringan
berbeda, sangat ditentukan kemampuan jaringan melalukan refleksi ataupun
refraksi. Kemampuan absorsi selalu berbanding terbalik dengan kemampuan
penetrasi (Baker, 2015).
Tabel2.4 Hubungan mode, pulse ratio dan duty cycle
28
Mode Pulse Ratio Duty cycle
Countinous N/A 100%
Pulsed 1:1 50%
1:2 33%
1:3 25%
1:4 20%
1:9 10%
(Sumber: Baker,2015)
2.2.3. Perubahan fisiologi
1. Efek Thermal
Gelombang ultrasound dapat sampai pada jaringan, dimana energi
ultrasound dapat dikompersi sehingga menghasilkan panas. Ultrasound
dapat meningkatkan temperatur pada jaringan sehingga menimbulkan efek
fisiologis sebagai berikut: Meningkatkan extensibilitas serabut kollagen
pada tendon dan capsil sendi, mengurangi stiffness sendi, mengurangi
spasme otot, menurunkan nyeri, dan meningkatkan aliran darah (Bianchi,
2007).
Tabel 2.5 Hubungan intensitas dan peningkatan temperatur
Intensity (W/cm2) 1 MHz 3 MHz
29
0,5 0,040C 0,30C
1,0 0,20C 0,60C
1,5 0,30C 0,90C
2,0 0,40C 1,40C
(Sumber: Prentice, 2005)
Penggunaan ultrasound dapat meningkatkan suhu dijaringan 400
sampai 500 minimal dalam waktu lima menit. Peningkatan suhu 10 akan
meningkatkan metabolism dan proses penyembuhan, peningkatan 20
sampai 30 mengurangi nyeri dan spasme otot, peningkatan 40 keatas akan
meningkatkan ektensibilitas collagen dan mengurangi kekakuan sendi.
Peningkatan diatas 450 dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan rasa
nyeri yang hebat. Ultrasound 1 MHz dengan intensitas 1 W/cm2 akan
meningkatkan temperatur otot 0,20 setiap menitnya, sedangkan ultrasound
3 MHz dengan intensitas 1 W/cm2 akan meningkatkan temperatur otot
0,60 setiap menitnya (Prentice, 2006).
2. Efek Nonthermal
Efek nonthermal dari ultrasound terapi adalah berupa cavitasi dan
acoustic microstreaming. Cavitasi adalah beberapa bentuk gas yang aktif
bergerak oleh pengaruh gelombang suara sehingga terjadi perubahan
cairan didalam jaringan. Acoustic microstreaming adalah terjadinya
gerakan cairan disekeliling membrane sel akibat tekanan mekanikal yang
dihasilkan gelombang ultrasonic (Prentice, 2005).
30
Efek terapi ultrasound terhadap jaringan otot berpengaruh pada
system saraf dimana dapat meningkatkan sensitivitas nocisensor dan
menurunkan konduktivitas motorik. Efek terhadap sel otot dapat
meningkatkan metabolisme dan kontraktil otot. Pengaruh ultrasound
terhadap jaringan ikat otot meningkatkan elastisitas, meningkatkan
protein matrix dan meningkatkan volume cairan didalam matrix. Selain itu
juga dapat meningkatkan tensile strength, meningkatkan collagen serta
meningkatkan sel fibroblast (Bahrens, 2006)).
2.2.4. Dosimetry
1. Frekwensi pengobatan
Secara umum frekwensi pengobatan ditentukan kondisi akut
memerlukan waktu pengobatan lebih singkat, sedangkan kondisi kronis
memerlukan waktu pengobatan yang relatif lebih lama. Idealnya
ultrasound dilakukan sesaat setelah injury atau maksimal 48 jam setelah
injury. Pada kondisi akut digunakan intensitas yang rendah, dilakukan satu
sampai dua kali sehari selama 6 sampai 8 hari. Sedangkan kondisi kronis
bisa dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan (Cheng, 2015).
2. Durasi pengobatan.
31
Beberapa literatur tidak menyebutkan secara spesifik durasi
pengobatan. Secara umum durasi pengobatan relatif singkat antara 5 menit
sampai 10 menit. Lamanya durasi pengobatan didasarkan pada faktor luas
area yang diterapi, intensitas yang digunakan, frekwensi serta perubaahan
temperatur yang diharapkan (Prentice, 2006).
Dosis waktu terapi bergantung luas permukaan yang diterapi
(cm2), minimal satu menit/cm2 dan terapi keseluruhan minimal 15 menit.
Untuk tranduser head ukuran 5 cm2, luas permukaan terapi maksimal 75
cm2. Tranduser head ukuran satu cm2, luas permukaan terapi maksimal 15
cm2 (Cheng, 2015).
2.2.5. Efek Terapi
1. Mempercepat penyembuhan luka dengan percepatan fase awal peradangan
2.Mempercepat penyembuhan luka dengan percepatan fase akhir
peradangan
3.Mempercepat penyusutan luka akibat kurangnya pembentukan scar tissue
4.Mempercepat penyembuhan luka dengan perbaikan sirkulasi yang
memerlukan sintesis colagen
5. Mempercepat penyembuhan dengan memproduk kolagen yang hilang
6. Meningkatkan daya lentur jaringan
7. Mengurangi nyeri
32
2.2.6. Target Anatomic
Sindroma miofasial otot posterior neck dimana yang terletak di bagian
badan ototnya yang berlapis-lapis dengan kedalaman dua sampai tiga
centimeter akan sangat efektif bila menggunakan ultrasound dengan
frekweinsi 1 MHz dengan intensitas 1 W/cm2 , pulses 20% ,ERA 5 cm2
dengan waktu 10 menit serta gerakan tranduser longitudinal atau sejajar
serabut otot akan lebih mudah diabsorbsi karena penyerapan dari efek panas
ultrasound lebih dalam ( Cheng, 2015).
2.2.8 Aplikasi Prosedur
1. Berikan coupling medium pada kulit yang telah dibersihkan
2. Gerakkan tranduser secara stroking pattern
3. Posisikan intensitas ke level treatment
4. Setiap stroke diusahakan overlap setengah dari luas area terapi
5. Area treatment tidak lebih dua kali dari luas tranduser
6. Gerakan tranduser pelan sekitar empat cm/second
2.2.9. Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Ultrasound
Pemberian modalitas ultrasound dapat terjadi iritan jaringan yang
menyebabkan reaksi fisiologis seperti kerusakan jaringan, disebabkan oleh
efek mekanik dan thermal ultrasound. Pengaruh mekanik tersebut juga
dengan terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion
dorsalis sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi
33
inflamasi sekunder atau dikenal “neurogenic inflammation”. Namun dengan
terangsangnya “P” substance tersebut mengakibatkan proses induksi
proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan
jaringan yang mengalami kerusakan. Pengaruh gerakan tranduser juga akan
membantu “venous dan lymphatic”, sehingga akan menghasilkan pumping
action dan fleksibilitas kapsul sendi meningkat (Prentice, 2003) .
Efek heating akan memberikan panas lokal sehingga terjadi
vasodilatasi pembuluh darah dan menghasilkan peningkatan sirkulasi darah ke
daerah tersebut sehingga zat-zat iritan penyebab nyeri dapat diabsorbsi dengan
baik dan dapat masuk kembali ke dalam aliran darah dan membantu dalam
mengatasi spasme otot. Panas yang dihasilkan dan gerakan tranduser
memberikan efek sedatif sehingga keluhan nyeri bisa berkurang (Behrens,
2006).
2.3. Ischaemic Compression Tehnique
Taut band adalah bagian muscle belly yang mengeras, kaku dan ketika
diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Taut band merupakan
kontraktur yang terlokalisir dalam muscle belly tanpa aktivasi dari motor end
plate dan kekakuan yang terjadi tidak menyeluruh pada sebuah otot dapat
menurunkan tingkat ekstensibilitas dan fleksibilitas pada otot tersebut.
Perlengketan dalam struktur otot yang terjadi berakibat pada fascia dan
myofilament dalam sarcomer taut band maka ada peningkatan konsentrasi secara
abnormal dari asetilkolin dalam end plate taut band. Perlengketan ini berdampak
34
penurunan sirkulasi darah sehingga kebutuhan akan nutrisi dan oksigen pada
area taut band berkurang (Muscolino, 2012).
Ischaemic compression technique merupakan teknik relaksasi otot yang
ditujukan terhadap gangguan berupa trigger dan tight. Tekanan terehadap titik
trigger menyebabkan pembuluh darah di area tersebut mengalami
vasokonstriksi. Aliran darah ke area tersebut mengalami penurunan sehingga
suplai oksigen dan ion serta nutrisi. Pembuluh darah akan mengalami perubahan
permeabilitas setelah tekanan dilepaskan sehingga terjadi vasodilatasi
menyebabkan pelepasan sisa metabolisme meningkat dan suplai oksigen dan
nutrisi lebih lancar (Aad, 2010).
Manipulasi terhadap otot akan melepaskan perlengketan pada fascia dan
jaringan myofilamen didalam sarcomer sehingga menghilangkan trigger points
dan tightness otot.
2.3.1. Eek fisiologi
Perubahan fisiologi terhadap jaringan yang diberikan ischaemic
compression technique yaitu perubahan sirkulasi, perubahan aliran darah,
dilatasi kapiler, perubahan temperatur cutaneus, dan metabolisme. Sedangkan
penelitian baru-baru ini menjelaskan bahwa pengobatan myofascial dapat
menghasilkan efek penyembuhan scar dan collagen (Cantu and Grodin, 2001).
1. Efek terhadap aliran darah dan temperatur
Peningkatan aliran darah dan temperatur cutaneus terjadi secara
signifikan setelah diberikan ischaemic compression technique..
35
Peningkatan aliran darah tersebut akan bertahan selama 30 menit dan
setelah 30 menit terjadi penurunan aliran darah (Cantu and Grodin, 2001).
Reaksi pembuluh darah normal terhadap stimulus mekanikal telah
diamati secara mikroskopik. Saat diberikan ischaemic compression
technique pada area tersebut maka area tersebut akan pucat dalam waktu 15
sampai 20 detik. Setelah beberapa menit kemudian stimulus tersebut
menghasilkan hiperemia pada area yang distimulasi. Penelitian
mikroskopik menunjukkan bahwa tekanan yang dihasilkan oleh ischaemic
compression technique dapat dengan cepat membuka kapiler-kapiler darah
sehingga terjadi peningkatan aliran darah. Reaksi kapiler berdilatasi oleh
stimulus tersebut akan diikuti oleh peningkatan temperatur cutaneous
(Cantu and Grodin, 2001).
2. Efek terhadap metabolisme
Myofascial release technique juga dapat mempengaruhi proses
metabolik, termasuk tanda-tanda vital dan hasil sisa-sisa metabolisme
tubuh. Ekskresi asam secara konsisten tidak berubah, begitupula
kandungan nitrogen, inorganik phosphorus atau sodium chlorida tidak
mengalami perubahan (Cantu and Grodin, 2001).
3. Efek terhadap sistem autonomik
Mekanikal friction yang dihasilkan oleh ischaemic copression
technique dapat merangsang struktur-struktur didalam jaringan konektif
36
khususnya sel mast. Rangsangan pada sel mast akan menghasilkan
histamin merupakan vasodilator. Vasodilatasi akan meningkatkan aliran
darah ke area yang diobati dan ke area lain yang menerima histamin
melalui aliran darah. Peningkatan permeabilitas kapiler dan venule (vena
kecil) dapat menghasilkan diffusi yang lebih cepat dan lebih komplit untuk
membuang produk sisa-sisa metabolisme dari jaringan ke darah. (Cantu
and Grodin, 2001).
4. Efek terhadap aktivitas fibroblastik
Penelitian menunjukkan bahwa ishaemic compression technique dapat
menghasilkan mobilisasi pada jaringan lunak dimana gerakan yang
terkontrol dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Jaringan lunak tubuh
dapat dibangkitkan melalui gaya internal dan gaya eksternal. Tanpa adanya
stress pada jaringan tersebut maka kekuatan regangan akan menurun.
Beberapa ahli telah mengobservasi efek gerakan terhadap aktivitas
fibroblastic dalam proses penyembuhan jaringan konektif, dimana jaringan
fibril membentuk hampir seluruh jaringan yang regenerasi. Adanya gaya
eksternal dapat menyusun jaringan fibril yang terbentuk. Cyriax dan
Russell percaya bahwa gerakan pasif yang lembut pada jaringan lunak akan
mencegah perlengketan abnormal dari jaringan fibril tanpa mempengaruhi
penyembuhan jaringan (Cantu and Grodin, 2001).
2.3.2 Metode Ischaemic Compression Tehnique
37
1. Lakukan tekanan pada titik trigger dimana penderita merasa tidak nyaman
atau terasa nyeri. Titik tersebut merupakan area target compression.
2. Compression dilakukan 20 sampai 30 detik
3. Manipulasi berupa mobilisasi dilakukan bersamaan compression
4. Istirahat 5 sampai 10 detik
5. Compression dilakukan dengan sedikit lebih selama 30 detik
6. Dilakukan beberapa kali sampai gejala nyeri berkurang
2.3.2. Efek terapi
1. Compression akan menimbulkan ischemia, terjadi peningkatan aliran darah
setelah tekanan dilepaskan.
2. Neurological inhibition, dimana terjadi inhibisi terhadap nyeri lokal.
3. Gerakan mekanikal stretching akan melepaskan adhesi myofascial
4. Penekanan akan meningkatkan aktivasi pelumasan jaringan lunak
5.Gerakan massage menimbulkan efek sedative melalui mechanoreceptor.
6. Pelepasan atau relaksasi secara spontan trigger points.
2.3.3. Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Ischaemic Compression tehnique
Nyeri otot secara lokal yang diakibatkan oleh trigger points, hal ini
disebabkan oleh gangguan metabolism terutama defisensi enzim yang
menimbulkan oksidatif metabolism otot di mitochondria. Otot yang mengalami
tight yang berlangsung lama menimbulkan adhesi myofascial (Chen et al.
2014).
38
Ischaemic compression technique efektif terhadap nyeri lokal otot
yang mengalami trigger dan tight. Compression pada jaringan akan
menimbulkan efek sedative, Tekanan terehadap titik trigger menyebabkan
pembuluh darah di area tersebut mengalami vasokonstriksi. Aliran darah ke
area tersebut mengalami penurunan sehingga suplai oksigen dan ion serta
nutrisi. Pembuluh darah akan mengalami perubahan permeabilitas setelah
tekanan dilepaskan sehingga terjadi vasodilatasi menyebabkan pelepasan sisa
metabolime meningkat dan suplay oksigen dan nutrisi lebih lancar. Otot yang
menjadi relaks menyebabkan nilai ambang rangsang nosiceptor menurun
sehingga nyeri menurun (Muscolino, 2012).
Gerakan manipulasi memberikan efek melancarkan sirkulasi darah dan
pelepasan adhesi jaringan myofascial. Pelepasan adhesi menimbulkan releksasi
dimana fleksibiltas dan ekstensibilitas jaringan fascia dan otot meningkat
sehingga aktivitas nosiceptor di otot-otot suboccipital mengalami penurunan
sehingga nyeri berkurang (Gazim, 2011).
2.4. Cotract-Relax-Stretching
Contract-relax-stretching merupakan suatu metoda manipulasi yang
ditujukan untuk meningkatkan mobilitas dan extensibilitas ruang gerak sendi
serta relaksasi otot yang mengalami ketegangan. Stretching adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan setiap manuver terapi yang dirancang
untuk meningkatkan elastisitas jaringan lunak, dengan demikian akan
39
meningkatkan fleksibilitas dengan cara mengulur struktur adaptif yang
memendek (Kisner and Colby, 2012).
2.4.1. Efek mekanik
Contract relax streching dapat meningkatkan restorasi mobilitas dan
ruang gerak sendi, elongasi jaringan ikat, distrupsi serabut collagen,
penguluran capsul yang kontraktur serta mengkoreksi posisi yang tidak
normal. Contract relax stretching pada otot terjadi pada komponen elastik
(aktin dan miosin) terjadi kontak sehingga terjadi power stroke mennimbulkan
kontraksi otot meningkat dengan tajam. Selain itu juga terjadi peregangan
pada sarkomer.Apabila dilakukan secara teratur sesuai dosis modalitas terapi
maka otot akan mengalami relaksasi. Akan tetapi , bila contact relax
dilakukan pada otot yang mengalami tigness atau ketegangan maka otot akan
beradaptasi dan dapat terjadi penguluran sesuai dengan fungsional otot
tersebut (Kisner and Colby, 2012).
Penguluran (stretch) terjadi apabila area cross-link ini akan berkurang
yang menyebabkan serabut otot memanjang. Serabut otot saat berada pada
posisi memanjang yang maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara
penuh dan mempengaruhi jaringan penghubung yang ada di sekitarnya,
sehingga pada saat ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan
penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut.
Saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi
panjang serabut otot itu pada kondisi normal. Penguluran terjadi ketika
40
serabut yang berada pada posisi yang cross-link dirubah posisinya sehingga
menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan
pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut untuk kembali normal (Kisner
and Colby, 2007).
2.4.2. Efek Neurofisiologi
1. Mereduksi persepsi nyeri, menginhibisi nyeri lokal dan regional,
mengaktivasi mekanoreceptor tipe I dan tipe II, mengaktivasi
periqueductal gray (PGA) area midbrain, menginhibisi aliran impuls nyeri
yang menuju system saraf pusat, respon analgesik terhadap system saraf
impatis.
2. Respon terhadap neuromuscular berupa aktivasi tipe III
mechanoreceptors, menginhibisi tonus otot superfiscial ataupun global,
memfasilitasi aktivasi otot local ataupun otot yang lebih dalam,
memfasilitasi aktivasi otot-otot extremitas.
2.4.3. Metode dan tipe stretching
Metoda stretching terdiri mekanikal dan menual streching. Sementara
tipe stretching terdiri dari statistic, ballistic dan PNF. Manual stretching
adalah kekuatan eksternal, kecepatan, dan durasi penguluran dikontrol secara
manual (Adler, 2008).
41
1. Static stretching
Metode ini dilakukan pada otot yang toleransi penguluran lebih
lambat, penguluran dengan rasa nyaman apabila timbul nyeri, otot
diposisikan pada posisi yang memungkinkan maksimal bisa diulur,
apabila terjadi ketegangan maka disesuaikan toleransi penderita.Durasi
static stretch untuk usia dibawah 65 tahun dilakukan hold selama 30 detik,
empat kali per hari, lima kali seminggu.
2. Ballistic stretching
Penguluran dengan gerakan yang kuat dan berulang-ulang. Ballistic
stretching dilakukan untuk mengaktivasi muscle spindle untuk membatasi
kontraksi otot.
3. Proprioceptive Neuromuscular Fascilitation (PNF)
Dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan
meningkatkan flexibilitas otot. Pola gerakan PNF mengikuti gerakan
karakteristik aktivitas motorik normal. Pola gerakan PNF berupa gerakan
aktif, pasif, assisted dan resisted. Tipe stretching dengan PNF: autogenic
inhibition, reciprocal inhibition dan combination (Adler, 2008)
4. Autogenic inhibition
Fisioterapis melakukan stretching otot sampai akhir ruang gerak.
Selanjutnya penderita melakukan kontraksi secara isometrik sementara
fisioterapis memberikan tahanan selama 15 detik. Pasien diinstruksikan
42
rileks, selanjutnya fisioterapis melakukan stretching selama 30 detik.
Proses ini dapat diulangi tiga sampai lima kali (Muscolino, 2012).
5. Reciprocal inhibition
Fisioterapis secara pasif melakukan stretch pada otot diakhir
ruang gerakan. Selanjutnya pasien melakukan kontraksi konsentrik.
Fisioterapis melakukan penguluran pada pasien yang rilex selama 30
detik. Proses ini bisa dilakukan tiga sampai lima kali.
6. Combination
Fisioterapis melakukan stretch secara pasif pada otot di akhir
ruang gerak. Pasien melakukan kontraksi isometrik selama 10 detik,
selanjutnya pasien kontraksi secara concentric, kemudian fisioterapis
melakukan penguluran. Pasien rilex 30 detik. Proses ini dapat diulangi
tiga sampailima kali (Muscolino, 2012).
2.4.4. Efek Biophysical dari contract relax stretching
1. Respon stretching
Apabila otot dilakukan stretching maka kekuatan stretch pada
serabut otot terjadi pada bagian jaringan ikat di endomysum dan perimysum
serta sekitar serabutnya. Akan terjadi interaksi molekul pada elemen
contraktil dan noncontraktil di sarcomer otot.
43
Gambar 2.6 Posisi kontraksi sampai terulur (Kisner & Colby)
Selama pasif stretching terjadi tranduksi kekuatan ke arah
longitudinal dan lateral. Apabila komponen jaringan ikat memanjang
sehingga tidak terjadi ketegangan, hal ini akibat perubahan neural dan
biochemical pergerakan filamaen-filamen cross-bridges saat sarcomer
memanjang. Jika kekuatan stretch dilepas maka sarcomer akan kembali
pada posisi semula (Cantu, 2001).
Contract relax stretching diberikan pada otot maka pengaruh
stretching pertama terjadi pada komponen elastik (aktin dan miosin) dan
tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan
bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hanya bertahan
sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kisner and
Colby, 2012).
2. Neurofisiologi struktur jaringan kontraktil
44
Neurofisiologi strukltur tendon dan otot mempengaruhi respon otot
saat dilakukan penguluran. Organ sensoris pada muscle spindle dan golgi-
tendon organ, mechanoreceptor memberikan informasi ke system saraf
pusat ketika terjadi respon stretch pada otot.
Gambar 2.7 Hubungan stress dan strain (Kisner & Colby, 2007)
3. Muscle spindle
Adalah organ sensoris pada otot yang sensitif terhadap
kecepatan dan ketegangan saat diulur. Fungsi utama muscle spindle
adalah memberikan informasi tentang perubahan panjang dan velositas
otot saat memanjang. Dibagian luar muscle spindle terdapat ujung-
ujung saraf sensoris efferent, ujung saraf motorik afferent, khususnya
serabut otot yang berhubungan dengan serabut intrafusal. Serabut tipe
IA yang menyebabkan otot merespon kecepatan dan tonus saat terulur.
Sedangakan serabut afferent tipe II sensitf hanya pada saat otot terulur
(Aad, 2010).
4. Golgi-tendon- organ
45
GTO adalah organ sensoris yang terletak didekat peralihan
otot dengan tendon pada serabut extrafusal otot. GTO berfungsi
mengontrol perubahan ketegangan antara tendo dan otot. Dibagian
pembungkusnya terdapat ujung-ujung saraf yang mentrasmisikan
informasi sensoris melalui serabut tipe Ib. Apabila ketegangan otot
meningkat, GTO menginhibisi aktivitas alpha motorneuron, sedangkan
saat ketegangan otot menurun maka muscle-tendon terulur (Chaitow,
2003).
Gambar 2.8 Golgi tendon organ (Kisner & Colby, 2007)
5. Respon jaringan ikat terhadap beban
Apabila beban diberikan dalam periode waktu tertentu, maka
jaringan akan mengalami penguluran yang bisa bersifat permanen.
46
Akan tetapi viscositas jaringan tidak permanen. Besarnya beban dan
lamanya waktu yang diberikan menentukan besarnya penguluran yang
terjadi.
6. Stress-relaxation
Apabila beban diberikan pada otot yang memanjang secara
konstan, setelah beban dilepaskan maka ketegangan otot akan
menurun. Prinsip ini dilakukan untuk mengurangi ketegangan pada
otot yang mengalami spasme.
Gambar 2.9 Perubahan saat relaksasi (Kisner & Colby, 2007)
7. Siklus beban dan kelelahan jaringan ikat
Pemberian beban yang berulang-ulang akan meningkatkan
produksi panas dan dapat menyebabkan kelelahan. Pembebanan pada
otot akan diikuti kelelahan sehinga otot akan menjadi relax dan
semakin mudah dilakukan stretching. Besarnya beban disesuaikan
dengan kemampuan otot yang bersangkutan.
47
2.4.5. Efek Terapi
Apabila jaringan lunak dilakukan stretching akan terjadi perubahan
elastic, viscoelastik dan plastic. Elastisitas adalah kemampuan jaringan lunak
memanjang saat diulur dan kembali seperti semula setelah penguluran.
Viscoelastisitas adalah waktu yang dibutuhkan jaringan lunak kembali ke
keadaan semula setelah penguluran. Sedangkan palstisitas adalah kemampuan
jaringan lunak bertambah panjang setelah dilakukan penguluran. Baik
jaringan kontraktil ataupun nonkontraktil memiliki kualitas elastisitas dan
plastisitas, akan tetapi hanya jaringan otot yang memiliki struktur
viscoelastisitas (Olson, 2009).
Efek contract relax stretching jangka panjang pada manusia
didapatkan bahwa individu yang mendapatkan contract relax stretching
dengan durasi tujuh detik menunjukkan panjang otot yang maksimum.
Contract relax stretching dengan durasi tujuh detik dapat mencapai efek yang
maksimal pada minggu ke 12 dan contract relax stretching dengan durasi 20
mencapai efek maksimal pada minggu ke-10 sedangkan contract relax
stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat menghasilkan efek
maksimal pada minggu keenam dan ketujuh (Kisner and Colby, 2012).
Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping
action sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung
dengan baik sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaxsasi setelah kontraksi
maksimal, dengan demikian maka pengangkutan sisa-sisa metabolisme P
48
substance dan asetabolic yang diproduksi melalui proses inflamasi dapat
berjalan dengan lancar sehingga rasa nyeri dapat berkurang Kontraksi
isometrik pada intervensi contract relax stretching akan membantu
menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan
panjang otot maksimal. Kontraksi isometrik ini terjadi penurunan stroke
volume jantung, diafragma menekan organ dalam dan pembuluh darah yang
ada di dalamnya sehingga menekan darah agar keluar dari organ dalam.
Kontraksi isometrik selama tujuh detik yang diikuti dengan inspirasi
maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot
(Place et al. 2008). Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi
tendon organ sehingga memicu relaksasi otot setelah kontraksi (reverse
innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di
dalam intermiofibril dan tendon (Kisner and Colby, 2007).
2.4.6. Dosimetry dari contract relax stretching
1. Intensitas
Beban diberikan pada posisi otot yang memanjang. Intensitas
stretching dimulai dengan intensitas rendah kemudian secara perlahan
intensitas dinaikkan sesuai dengan kebutuhan terapi. Intensitas stretching
tidak boleh melebihi kemampuan maksimal otot terulur.
Pertama kali pasien melakukan kontraksi isotonik kemudian
dilanjutkan dengan kontraksi isometrik selama tujuh detik , setelah itu
49
rileks, kemudian dibawa keposisi elongasi yang lebih panjang kemudian
ditahan tujuh detik , prosedur ini di ulang enam kali (Janda , 2012).
2. Durasi
Fisioterapis perlu mengetahui durasi waktu yang diperlukan saat
melakukan stretching. Durasi waaktu didasarkan pada kebutuhan, efekktif,
praktis serta efisien pada situasi tertentu. Durasi waktu dihitung dari
pemberian beban saat otot memendek sampai pada posisi memanjang.
Umumnya waktu yang dibutuhkan setiap pengobatan adalah enam kali
siklus contract relax stretching, dilakukan tiap dua hari selama dua
minggu.
3. Aplikasi
a. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman dan daerah yang menjadi
target terapi terlihat jelas tanpa terhalang baju dan rambut.
b. Jelaskan prosedur, tujuan dan efek stretching yang akan dilakukan.
c. Fisioterapis berada disamping pasien, posisi tidur terlentang, satu satu
tangan fisoterapis berada dibawah kepala dan yang satu lagi fiksasi
bahu.
d. Pasien melakukan inspirasi maksimal kemudian melakukan gerakan
ekstensi melawan dorongan tangan fisioterapis yang diberikan dengan
arah berlawanan (ke fleksi) dan ditahan selama tujuh detik, kemudian
50
relaksasi diikuti ekspirasi dan fisioterapis melakukan stretching kearah
fleksi selama tujuh detik, lakukan enam kali pengulangan.
e. Pasien dianjurkan untuk datang tiap dua hari
2.4.7. Mekanisme Penurunan Nyeri pada Tension headches dengan
Contract Relax Strecthing
Intervensi contract relax stretching memberikan efek penguluran
sehingga panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon
organ dan muscle spindle sehingga terjadi relaksasi atau sering dikenal dengan
post excitatory relaxation reflex. Relaksasi diikuti penurunan nyeri akibat
ketegangan otot dapat diturunkan dengan memutus mata rantai Viscous
Circle. Iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat adanya
Abnormal Cross Link dapat diturunkan. Peregangan pada seluruh bagian otot
mulai dari origo sampai insertion yang mengalami penguluran sesuai dengan
fungsionalnya. Terjadi peningkatan sirkulasi darah dan relaksasi otot yang
mengalami trigger points ataupu tightness menyebabkan spasme otot
menurun serta dapat mengurangi keluhan nyeri (Muscolino, 2012).
Kontraksi isometrik selama tujuh detik yang diikuti dengan inspirasi
maksimal akan mengaktifkan motor unit yang ada pada seluruh otot.
Kontraksi maksimal juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga
memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) sehingga
pelepasan adhesi intermiofibril dan tendon (Janda, 2012).
51
Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping
action sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung
dengan baik sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaksasi, dengan demikian
maka pengangkutan sisa-sisa metabolism P substance dan asetabolic yang
diproduksi melalui proses inflamasi dapat berjalan dengan lancar sehingga
rasa nyeri dapat berkurang. Kontraksi isometrik pada intervensi contract relax
stretching akan mengaktifkan stretch reseptor dari spindle otot untuk segera
menyesuaikan panjang otot maksimal. Kontraksi isometrik ini terjadi
penurunan stroke volume jantung, diafragma menekan organ dalam dan
pembuluh darah yang ada di dalamnya sehingga menekan darah agar keluar
dari organ dalam. (Kisner and Colby, 2007).
Ketegangan otot-otot suboccipital akan menimbulkan nyeri. Contract
relax stretching memberikan efek relaksasi pada otot-otot sub occipital
dengan melakukan peregangan pada seluruh bagian otot, sirkulasi darah
meningkat serta mengurangi aktivasi nosiceptor sehingga, nyeri menurun
(Muscolino, 2009).
2.5 Pengukuran Nyeri Tension Headache Menggunakan NPDI Questionnaire
Disabilitas diartikan sebagai sebuah difinisi yang umum dimana
didalamnya terdapat impairment (body function dan body structure), activity
limitation dan participation retrictions. Impairment adalah masalah yang terjadi
pada tingkatan body function dan body structure dan aktivity limitation adalah
52
suatu bentuk kesulitan individual dalam menyesuaikan gerakan atau aktivitas,
sedangkan participation retriction adalah masalah yang terjadi pada individu
dalam menghadapi kehidupannya (WHO, 2012).
Impairment pada level anatomik berupa inflamasi dan adhesi pada
miofasial, spasme serta taut band pada serabut otot. Secara fisiologis
impairment tersebut menimbulkan rasa nyeri di leher dan kepala, keterbatasan
gerak leher serta postur kepala kedepan. Problematik fisiologis pada penderita
tension headches antra lain nyeri dan postur (forward head posture).
Gangguan fungsional mengakibatkan keterbatasan aktifitas, terbatas
melakukan aktivitas kantor, kemampuan menyetir kendraan terbatas, terbatas
melakukan pekerjaan rumah tangga, terbatas kemampuan merawat diri. Akibat
terbatasnya aktivitas sehingga menimbulkan hambatan partisipasi berupa
hambatan dalam bekerja dikantor, hambatan aktivitas berolah raga dan
hambatan berpartisipasi dilingkungan sosial. Hambatan tersebut dapat
mengurangi kepercayaan diri dan membatasi produktifitas pekerjaan.
Neck Pain Disability Index (NPDI) adalah suatu instrument yang
dipakai untuk mengukur nyeri disabilitas leher secara khusus sebagai akibat dari
mekanisme terjadinya penyakit tension headaches. Membantu kita memahami
lebih baik bagaimana nyeri leher dapat mempengaruhi kemampuan untuk
melakukan kegiatan sehari – hari (Olson, 2009). Berdasarkan penelitian
53
Zuriyatun, F. (2015) menggunakan kuisioner neck disability index untuk
mengukur nyeri pada disabilitas leher.
Kuisioner NPDI memiliki 10 macam pertanyaan yang terfokus pada
nyeri dan aktifitas hidup sehari – hari termasuk intensitas nyeri, perawatan diri
sendiri, mengangkat, membaca, sakit kepala, konsentrasi, status bekerja,
mengemudi, tidur dan rekreasi. Pengukurannya dirancang untuk diberikan
kepada pasien dan mengisi kuesiner, dapat memberikan informasi yang berguna
untuk manajemen dan prognosis pada mereka yang menderita disabilitas leher.
Berdasarkan uji validitas dan reliabilitasnya kuesioner NPDI dinilai
dengan menggunakan separately test, dimana score separately memiliki 10
bagian dari setiap bagian memiliki nilai masing –masing nilainya nol sampai
lima, yang kemudian dijumlahkan maka maksimal adalah 50 (Fairbanks et al.
2008).
Jika semua kuisioner penilaian terisi, maka jumlah skor maksimal
penilaian dikalikan dua menjadi 100. Jika tidak semua penilaian terisi maka
total pembagi adalah jumlah yang terisi dikalikan lima.
Skor nyeri Rumus: X 100 = %
Jumlah nilai terisi x 5
Satuan nyeri dinyatakan dalam % disability, semakin rendah % disability
berarti semakin ringan kualitas gangguan nyeri yang dialami pasien
Tabel 2.6 Persentase level disability
54
Hasil score Disabilitas dalam % Level Disabilitas
0 – 4 0 – 10 % Bukan disabilitas
5 – 14 10 – 28 % Mild
15 – 24 30 – 48 % Moderat
25 – 34 56 – 68 % Severe
Diatas 34 Diatas 60 % Komplit
Index disabilitas 10% sampai 48 % merupakan level disabilitas ringan
sampai sedang. Beberapa penelitian dan pengalaman klinik menunjukkan
penderita yang mengalami disabilitas pada level tersebut dapat mengalami
penyembuhan pada minggu pertama sampai minggu kedua. Sedangkan 50%
keatas merupakan level disabilitas berat sampai level disabilitas komplit
memerlukan waktu lebih lama sampai mengalami penyembuhan.
55