12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka dalam suatu penelitian merupakan uraian sistematis
tentang teori (dan bukan sekedar pendapat pakar atau penulis buku) dan hasil-hasil
penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti (Sugiyono, 2015:89). Kajian
pustaka dalam penelitian ini akan mendeskripsikan beberapa teori yang berkaitan
dengan variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu, pembelajaran matematika,
kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi matematis serta kelas homogen
dan heterogen gender. Penjelasan secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut.
2.1. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik
dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Tugas guru yang paling utama dalam pembelajaran adalah mengondisikan
lingkungan kelas agar menunjang terjadinya perubahan tingkah laku.
Menurut Hamalik (2012) pembelajaran adalah sebagai sebuah kegiatan
yang melibatkan unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang
direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat saling mempengaruhi secara positif
sehingga mampu mencapai tujuan pembelajaran. Menurut pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan seorang guru yang
melibatkan unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang
direncanakan sehingga dapat saling mempengaruhi secara positf sehingga mampu
mencapai tujuan pembelajaran.
13
Selain itu, menurut Fitria (2014) matematika adalah ilmu tentang logika
yang dibangun melalui penalaran deduktif dan dijabarkan dengan simbol atau
bahasa simbol yang terdefinisikan secara sistematik, antara satu konsep dengan satu
konsep lain saling berkaitan dan pembuktian matematika dibangun dengan
penalaran deduktif. Belajar matematika berarti belajar tentang logika dan konsep-
konsep yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari dan dijabarkan dengan simbol
serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep tersebut. Jadi,
pembelajaran matematika berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak.
Hamzah (2014:65) menjelaskan pembelajaran matematika adalah proses
yang sengaja dirancang oleh guru dengan tujuan untuk menciptakan suasana
lingkungan memungkinkan seseorang untuk melaksanakan kegiatan belajar
matematika, dan proses tersebut berpusat pada guru yang mengajar matematika
dengan melibatkan partisipasi aktif dari siswa. Definisi berbeda dijelaskan oleh
Sulistiani (2015), pembelajaran matematika merupakan serangkaian aktivitas yang
sengaja dirancang oleh guru untuk menciptakan interaksi atara guru dan siswa
dalam upaya membelajarkan siswa untuk memberikan penanaman, pemahaman,
dan pembinaan konsep matematika dalam proses belajar mengajar yang bertujuan
agar siswa dapat terampil dalam menggunan simbol-simbol matematika sebagai
alat pikir untuk mengkomunikasikan ide-idenya dalam memecahkan berbagai
masalah matematika yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Sehingga dapat disimpulkan pembelajaran matematika adalah suatu
kegiatan belajar mengajar yang sengaja dilakukan dalam rangka memperoleh
perubahan tingkah laku baik berupa pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman
tentang struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang ada dalam matematika.
14
Pembelajaran matematika di SMA/MA/SMK/MAK diarahkan untuk mendorong
peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber, mampu merumuskan masalah
bukan hanya menyelesaikan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping itu, pembelajaran diarahkan untuk melatih peserta didik berpikir logis
dan kreatif bukan sekedar berpikir mekanistis serta mampu bekerja sama dan
berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah (Kemendikbud, 2016). Sehingga
pembelajaran tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yang akan
dicapai.
Tujuan pembelajaran matematika SMA/MA yang dirumuskan dalam
Kurikulum 2013 antara lain: (1) memahami konsep matematika, (2) membuat
generalisasi berdasarkan pola yang ada, (3) melakukan operasi matematika untuk
penyederhanaan, dan analisis komponen yang ada, (4) menggunakan penalaran
matematis, (5) memecahkan masalah matematika, dan (6) mengkomunikasikan
masalah secara sistematis (Kemendikbud, 2016). Sesuai dengan tujuan
pembelajaran diatas, salah satu fokus dalam penelitian ini adalah kemampuan
penalaran dan komunikasi matematis. Kemampuan penalaran berkaitan dengan
kemampuan komunikasi matematis karena melalui cara berpikir atau bernalar yang
tepat maka akan juga mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa,
jika digali secara benar akan mampu memberikan manfaat positif tidak hanya bagi
siswa tetapi juga bagi lingkungan di sekitarnya. Maka kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis dapat digali dalam proses pembelajaran pada pendidikan
formal di SMA/MA.
15
2.2. Kemampuan Penalaran
Terbentuknya kemampuan penalaran siswa merupakan salah satu tujuan
dari tujuan pembelajaran matematika. Kemampuan penalaran yang ada dalam diri
siswa, dapat diketahui sejauh mana siswa telah memahami, menyelesaikan
masalah, dan memanfaatkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
2.2.1. Pengertian Kemampuan Penalaran
Menurut Wikipedia penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari
pengamatan (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan
pengertian. Penalaran adalah proses atau aktivitas berfikir dalam menarik
kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada
pernyataan yang telah dibuktikan kebenaranya (Haerudin, 2014: 244). Seperti yang
dikatakan oleh Lithner (2008), penalaran adalah pemikiran yang diadopsi untuk
menghasilkan pernyataan dan mencapai kesimpulan pada pemecahan masalah yang
tidak selalu didasarkan pada logika formal sehingga tidak terbatas pada bukti.
Melalui kegiatan bernalar, maka siswa dapat memahami bahwa matematika
merupakan salah satu ilmu yang masuk akal dan logis. Sehingga siswa merasa yakin
bahwa matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dapat dievaluasi.
Penalaran menurut Depdiknas (2006) adalah cara (perihal) menggunakan nalar,
pemikiran atau cara berpikir logis, proses mental dalam menggembangkan pikiran
dari beberapa fakta dan prinsip. Menurut Santrock (2010), penalaran adalah
pemikiran logis yang menggunakan logika induksi dan deduksi untuk menghasilkan
kesimpulan.
Definisi berbeda diungkapkan oleh Bjuland (2007), mendefinisikan
penalaran merupakan lima proses yang saling terkait sebagai berikut. Sense-making
16
terkait erat dengan kemampuan membangun skema permasalahan dan
merepresentasikan pengetahuan yang dimiliki. Conjecturing berarti aktivitas
memprediksi suatu kesimpulan, dan teori yang didasarkan pada fakta yang
belum lengkap dan produk dari proses conjecturing adalah strategi penyelesaian.
Convincing berarti melakukan atau mengimplementasikan strategi penyelesaian
yang didasarkan pada kedua proses sebelumnya. Reflecting berupa aktivitas
mengevaluasi kembali ketiga proses yang sudah dilakukan dengan melihat kembali
keterkaitannya dengan teori-teri yang dianggap relevan. Kesimpulan akhir yang
diperoleh dari keseluruhan proses kemudian diidentifikasi dan digeneralisasi dalam
suatu proses yang disebut generalising. Pendapat Bjuland (2007) menggambarkan
aktivitas bernalar matematik dengan menganalisis situasi-situasi matematik,
memprediksi, membangun argumen-argumen secara logis dan mengevaluasi.
Menganalisis situasi-situasi matematik secara teliti berarti melihat dan membangun
keterkaitan antar ide atau konsep matematik antara matematika dengan objek-objek
yang lain, dan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Hal berbeda dijelaskan oleh Sa’adah (2010), kemampuan penalaran
matematis adalah kemampuan berpikir menurut alur kerangkaberpikir tertentu
berdasarkan konsep atau pemahaman yang telah didapat sebelumnya. Kemudian
konsep atau pemahaman tersebut saling berhubungan satu sama lain dan diterapkan
dalam permasalahan baru sehingga didapatkan keputusan baru yang logis dan dapat
dipertanggung jawabkan atau dibuktikan kebenarannya. Lebih lanjut Nurhayati
(2013), kemampuan penalaran matematika adalah kemampuan seseorang untuk
menghubungkan dan menyimpulkan fakta-fakta logis yang diketahui, menganalisis
data, menjelaskan dan membuat suatu kesimpulan yang valid.
17
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan penalaran
merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau
membuat suatu pernyataan baru berdasarkan pada beberapa pernyataan yang
diketahui dan hasil suatu pernyataan baru tersebut merupakan kesimpulan. Jadi,
penalaran merupakan proses berpikir sistematis dan logis dalam menyelesaikan
masalah untuk menarik kesimpulan.
2.2.2. Jenis-Jenis Kemampuan Penalaran
Soemarmo (2014:32) menjelaskan secara garis besar penalaran
matematika (mathematical reasoning) diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif didefinisikan sebagai
penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan pengamatan
terhadap data terbatas, nilai kebenaran kesimpulan dalam penalaran induktif tidak
mutlak tetapi bersifat probabilistik. Sedangkan, penalaran deduktif adalah
penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati dan nilai kebenarannya
bersifat mutlak. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat
tinggi.
Ditinjau dari karakteristik proses penarikan kesimpulannya, penalaran
induktif meliputi beberapa kegiatan: (a) penalaran transduktif yaitu proses menarik
kesimpulan dari pengamatan terbatas dan diberlakukan terhadap kasus tertentu; (b)
penalaran analogi yaitu proses penarikan kesimpulan berdasarkan kesesuaian
proses atau data; (c) penalaran generalisasi yaitu proses menarik kesimpulan secara
umum berdasarkan data terbatas; (d) memperkirakan jawaban, solusi atau
kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi; (e) memberi penjelasan terhadap
18
model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada; (f) menggunakan pola hubungan
untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur (Soemarmo, 2014:33).
Menurut Suwarno (2011) terdapat dua macam penalaran, yaitu penalaran
induktif (induksi) dan penalaran deduktif (deduksi). Ciri utama matematika adalah
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai
akibat logis dari kebenaran sebelumnya. Sehingga kaitan antara konsep atau
pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Penalaran induktif terjadi ketika
proses berfikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta khusus yang
sudah diketahui menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum (general).
Sehingga, secara umum dapat dinyatakan bahwa jika penalaran induksi merupakan
proses berpikir dari khusus ke umum, maka penalaran deduktif merupakan proses
berpikir dari bentuk yang umum ke bentuk yang khusus.
2.3. Kemampuan Komunikasi Matematis
Kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan matematik
yang tercantum dalam Kurikulum 2013 SMA/MA. Menurut Soemarmo (2014),
selain tercantum dalam kurikulum matematika sekolah, pengembangan
kemampuan komunikasi matematis juga sesuai dengan hakikat matematika sebagai
bahasa simbol yang efisien, padat makna, memiliki sifat keteraturan yang indah dan
kemampuan analisis kuantitatif, bersifat universal dan dapat dipahami oleh setiap
orang kapan dan dimana saja, dan membantu menghasilkan model matematika yang
diperlukan dalam model pemecahan masalah berbagai cabang ilmu pengetahuan
dan masalah kehidupan sehari-hari.
19
2.3.1. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis
Komunikasi adalah aktivitas kelas yang menawarkan kemungkinan bagi
siswa untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang matematika
yang mereka pelajari. Kegiatan belajar mengajar di kelas akan selalu terjadi
komunikasi antara siswa dan guru, siswa sebagai pusat pembelajaran dan guru
sebagai fasilitator. Keberhasilan program pembelajaran salah satunya dipengaruhi
oleh bentuk komunikasi yang digunakan guru pada saat berinteraksi dengan siswa.
Komunikasi merupakan kemampuan penting dalam matematika. Melalui
komunikasi siswa dapat menuangkan hasil pemikirannya baik secara verbal (lisan)
maupun tertulis (Indarti, 2014:20). Matematika merupakan bahasa artinya
matematika tidak sekedar alat bantu berfikir, alat untuk menemukan pola tetapi
matematika juga sebagai wahana komunikasi antar siswa dan komunikasi antar
siswa dengan guru. Jelas bahwa matematika bukan hanya bertujuan untuk sains
tetapi lebih dari itu merupakan salah satu syarat dalam hubungan sosial.
Kemampuan komunikasi matematik merupakan kesanggupan/kecakapan seorang
siswa untuk dapat menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan,
tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada dalam soal matematika (Departemen
Pendidikan Nasional, 2006). Karena dalam matematika terdapat aktifitas untuk
berkomunikasi dengan orang lain seperti mengemukakan ide, konsep, situasi baik
lisan maupun tertulis dalam bentuk simbol, grafik, data maupun tabel yang
menuntut kecakapan berbahasa agar penerima pesan mudah mengerti ide maupun
konsep yang disampaikan. Hal ini seperti yang dikatakan Pauweni (2012:10) bahwa
komunikasi matematika adalah suatu kegiatan atau aktifitas seseorang dalam
20
berbagi informasi baik ide, situasi, maupun relasi baik secara lisan maupun tulisan,
dalam bentuk simbol, data, grafik atau tabel dengan orang lain.
Definisi yang sama diperjelas oleh Sukendar (2014), Kemampuan
komunikasi matematik adalah kemampuan siswa yang meliputi kegiatan:
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram dan ekspresi
matematik untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki sikap
menghargai kegunaan matematik dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu perhatian,
dan minat mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah. Lebih lanjut lagi, Ramdani (2012) mengatakan bahwa
komunikasi matematis adalah kemampuan untuk berkomunikasi yang meliputi
kegiatan penggunaan keahlian menulis, menyimak, menelaah,
menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide, simbol, istilah serta informasi
matematika yang diamati melalui proses mendengar, mempresentasi, dan diskusi.
Tanpa adanya kemampuan komunikasi, seorang siswa mengalami kesulitan dalam
hal pembentukan pengalaman belajarnya. Selain itu, Malabali (2011:28)
menjelaskan kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan peserta didik
dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog terjadi di
lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan baik secara lisan maupun
tertulis. Pesan yang disampaikan berisi tentang materi matematika yang dipelajari
peserta didik, misalnya konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah.
Sedangkan menurut Elia (2014), kemampuan komunikasi matematis
dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang
diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling hubungan yang terjadi di
lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi
21
tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus,
atau strategi penyelesaian suatu masalah. Pihak yang terlibat dalam peristiwa
komunikasi di dalam kelas adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat
secara lisan maupun tertulis. Izzati (2010: 721) menambahkan bahwa kemampuan
komunikasi matematis merupakan kemampuan menggunakan bahasa matematika
untuk mengeksperesikan gagasan dan argumen dengan tepat, singkat dan logis.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi matematis
adalah kegiatan atau aktifitas siswa dalam menyatakan suatu ide, konsep, gagasan
matematika baik secara lisan maupun tulisan dalam bentuk simbol, gambar, data,
grafik, atau tabel.
2.3.2. Jenis-Jenis Kemampuan Komunikasi
Ansari (2003) menelaah kemampuan komunikasi matematika dari dua
aspek yaitu komunikasi lisan (talking) dan komunikasi tulisan (writing).
Komunikasi lisan diungkap melalui intensitas keterlibatan siswa dalam kelompok
kecil selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sementara yang dimaksud
dengan komunikasi matematika tulisan (writing) adalah kemampuan dan
keterampilan siswa menggunakan kosa kata (vocabulary), notasi dan struktur
matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta memahaminya dalam
memecahkan masalah. Kemampuan ini diungkap melalui representasi matematika.
Representasi matematika siswa diklasifikasikan dalam tiga kategori:
1. Pemunculan model konseptual, seperti gambar, diagram, tabel dan grafik
(aspek drawing).
2. Membentuk model matematika (aspek mathematical expression).
22
3. Argumentasi verbal yang didasari pada analisis terhadap gambar dan konsep-
konsep formal (aspek written texts).
Hal berbeda diungkapkan oleh Wood (2011), bahwa jenis kemampuan
komunikasi ada dua yaitu speaking (berbicara) dan writing (menulis). Namun
Wood (2011) juga menambahkan, cara yang dapat dikembangkan pada komunikasi
berbicara yaitu: (a) presenting seminars, dilakukan dengan membentuk kelompok
kecil untuk saling bediskusi; (b) talking with students, komunikasi lisan sesam
teman sekelompok; (c) negotiating and selling ideas, bekerjasama dan negosiasi
dengan kelompok kecil dan mendiskusikan suatu masalah yang dianggap sulit.
Sedangkan pada komunikasi menulis yaitu informal writing dan formal writing.
2.3.3. Indikator Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Komunikasi
Matematis
Indikator yang menunjukkan adanya kemampuan penalaran menurut
Wardhani (2008) yaitu: (1) mengajukan dugaan, (2) melakukan manipulasi
matematika, (3) menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberi alasan terhadap
kebenaran solusi (4) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, (5) memeriksa
kesahihan suatu argumen, dan (6) menemukan pola atau sifat dari gejala matematis
untuk membuat generalisasi. Sedangkan menurut Soemarmo (2014) yaitu: (1)
melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu, (2) menarik
kesimpulan logis, (3) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung
dan pembuktian dengan induksi matematika, (4) menyusun analisis dan sintesis
beberapa kasus.
Sehingga dari uraian di atas, penalaran matematis memiliki peranan
penting dalam pembelajaran matematika, sebab materi matematika dan kemampuan
23
penalaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika
dipahami melalui penalaran dan penalaran dilatihkan melalui belajar matematika.
Jadi, kemampuan penalaran sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran
matematika.
Sedangkan indikator yang menunjukkan adanya kemampuan komunikasi
menurut Soemarmo (2014) adalah: (1) melukiskan atau mempresentasikan benda
nyata, gambar, dan diagram dalam bentuk ide dan atau simbol matematika; (2)
menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan
menggunakan benda nyata, gambar, grafik dan ekspresi aljabar; (3) menyatakan
peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika atau menyusun model
matematika suatu peristiwa; (4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang
matematika; (5) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika; (6)
menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi;
(7) mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa
sendiri.
Hal berbeda dijelaskan oleh Rias (2013) mengenai indikator kemampuan
komunikasi terdiri dari tiga bagian yakni: (1) menulis matematis. Menulis
matematis dalam penelitian ini merupakan kemampuan siswa dalam menjelaskan
jawaban permasalahan secara matematis, masuk akal, jelas serta tersusun secara
logis dan sistematis, (2) menggambar matematis, yakni kemampuan siswa dalam
melukiskan gambar secara lengkap dan benar, (3) mengekspresi matematis, yakni
kemampuan memodelkan permasalahan matematis secara benar, kemudian
melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara lengkap dan benar.
24
Indikator berbeda dijelaskan pula oleh Aisyah (2014) yang menyebutkan
indikator dari tingkat komunikasi tulis dan komunikasi lisan. Indikator dari tingkat
komunikasi tulis pada penelitiannya meliputi: (1) penjelasan tentang proses
penyelesaian masalah yang ditulis jelas dan benar, (2) mengubah masalah ke
kalimat matematika benar, (3) perhitungan jelas dan benar, (4) penggunaan simbol
atau tanda matematika benar. Aisyah (2014) juga menambahkan indikator dari
tingkat komunikasi lisan meliputi: (1) mengucapkan hal-hal yang relevan dengan
masalah dengan benar dan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah, (2)
mengucapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam perhitungan untuk
menyelesaikan masalah, (3) mengucapkan langkah-langkah perhitungan yang
diperlukan dengan benar dan cukup untuk menyelesaikan masalah, (4) tidak macet
ketika menjelaskan penyelesaian masalah, sehingga informasi yang diberikan
sampai tujuan akhir.
Sehingga dari uraian di atas, dapat disimpulkan, indikator kemampuan
penalaran dan komunikasi matematis yang digunakan dalam penelitian ini disajikan
dalam bentuk tabel sebagai berikut.
25
Tabel 2.1. Indikator Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis
Siswa dalam Pembelajaran Matematika
No. Tahapan
Pembelajaran
Matematika
Indikator Kemampuan
Penalaran
Indikator Kemampuan Komunikasi
Matematis
Kemampuan
Komunikasi Tertulis
Kemampuan
Komunikasi Lisan
1. Pendahuluan
(persiapan)
Menyajikan pernyatan
matematika yang diketahui
melalui tulisan, gambar,
sketsa atau diagram.
Menuliskan suatu
permasalahan ke dalam
bentuk model
matematika secara
jelas, logis dan
sistematis.
a. Menjelaskan
secara tepat, logis
dan sistematis.
b. Menjelaskan
dengan bahasa
yang jelas dan
mudah dipahami.
2. Inti
(menalar)
Melakukan perhitungan
berdasarkan aturan atau
rumus tertentu dengan
tepat.
a. Menggambarkan
suatu permasalahan
dalam bentuk
gambar atau grafik
secara jelas, tepat
dan akurat.
b. Melakukan
perhitungan untuk
mendapatkan
solusi secara
lengkap dan benar.
a. Memberikan
pendapat secara
tepat ketika
berdiskusi.
b. Mengajukan
pertanyaan
secara tepat
yang sesuai
dengan
permasalahan
yang diberikan.
(membuat
jejaring)
Membuat alasan terhadap
beberapa solusi
berdasarkan teori yang
sesuai
c. Memberikan
sanggahan atau
komentar dengan
berdasarkan teori
yang jelas dan
akurat.
3. Penutup
(mengkomuni
kasikan hasil)
Menarik kesimpulan atau
melakukan generalisasi
dengan mengambil inti sari
materi dari suatu masalah
matematis.
a. Menuliskan
kesimpulan dari
permasalahan yang
diberikan.
b. Menuliskan
kembali uraian
materi atau inti sari
dari permasalahan
yang diberikan
dengan bahasa
sendiri.
a. Menjelaskan
representasi
matematika
tertulis secara
lisan
menggunakan
bahasa yang
mudah dipahami.
b. Menyimpulkan
dengan lisan
penyelesaian dari
suatu
permasalahan
yang tepat.
26
2.4. Kelas Homogen dan Heterogen Gender
Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial yang tampak apabila dilihat
dari nilai dan tingkah laku (Bagong, 2007). Saat ini, Indonesia memiliki banyak
sekolah homogen dan heterogen gender. Kedua pembagian tersebut dapat
digolongkan berdasarkan jenis kelamin siswanya. Sekolah campur atau sekolah
yang terdiri dari laki-laki dan perempuan disebut dengan sekolah heterogen,
sedangkan sekolah yang terdiri dari laki-laki saja atau perempuan saja disebut
sekolah homogen (Saraswati, 2013).
Sehingga, dapat ditarik kesimpulan kelas homogen adalah kelas yang
didalamnya hanya terdapat satu jenis kelamin saja, yaitu perempuan atau laki-laki
saja. Sedangkan, kelas heterogen adalah kelas yang didalamnya terdapat dua jenis
kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Mereka berada dalam satu ruangan yang
sama.
Beberapa penelitian yang menyangkut perbedaan kemampuan laki-laki
dan perempuan telah banyak dilakukan, berbagai macam sudut pandang telah
dipaparkan untuk menjelaskannya. Perbedaan gender dalam sudut pandang dunia
pendidikan khususnya matematika juga telah diteliti, berikut ini adalah beberapa
penelitian yang menyangkut perbedaan kemampuan laki-laki dan perempuan.
Amir (2013) menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam
belajar matematika adalah laki-laki lebih unggul pada keterampilan spatial
(penalaran ruang), sedangkan siswa perempuan lebih unggul dalam kemampuan
verbal (komunikasi) matematis, lebih termotivasi, dan terorganisasi dalam belajar.
Sementara Wahyuni (2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
27
peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas homogen gender lebih
tinggi daripada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas
heterogen gender. Menurut Susento (2006), perbedaan gender bukan hanya
berakibat pada perbedaan kemampuan dalam matematika, tetapi cara memperoleh
pengetahuan matematika juga terkait dengan perbedaan gender.
Beberapa hasil menunjukkan adanya pengaruh faktor gender dalam
pembelajaran matematika, namun pada sisi lain beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa gender tidak berpengaruh signifikan dalam pembelajaran
matematika. Seperti yang dikatakan oleh Mufida (2013) dalam penelitiannya bahwa
tidak adanya pengaruh jenis kelamin terhadap hasil belajar matematika siswa kelas
VII MTsN Karangrejo Tulungagung. Hoang (2008) dalam penelitiannya juga
menyatakan bahwa terdapat perbedaan jenis kelamin yang relatif kecil dan secara
statistik tidak signifikan untuk setiap skala lingkungan belajar dan skala sikap.
Melihat fakta yang dipaparkan tersebut, dengan menggabungkan antara
siswa laki-laki dengan siswa perempuan dalam satu kelas, mereka akan belajar
berinteraksi, siswa laki-laki dapat belajar berkomunikasi dengan siswa perempuan
begitu juga siswa perempuan dapat mempelajari kemampuan penalaran matematis
dari siswa laki-laki. Sehingga siswa laki-laki dan perempuan dapat memperluas diri
mereka sendiri secara akademis dan emosional dengan berbagi pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan. Sehingga diharapkan pembelajaran matematika
akan lebih efektif jika ditinjau dari kemampuan penalaran dan komunikasi
matematis. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana analisis
kemampuan penalaran dan komunikasi matematis pada kelas homogen dan
heterogen gender dalam pembelajaran matematika.