11
`BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan relationship marketing theory sebagai teori
utama dalam menjelaskan pentingnya memelihara hubungan jangka panjang
dengan konsumen dan mitra bisnis dalam menghadapi persaingan usaha bisnis
yang semakin ketat. Kajian lain yang mendukung penelitian ini adalah kajian
tentang manajemen pemasaran, budaya organisasi, sumber daya TI, dan kinerja
bisnis. Semua teori dan kajian tersebut selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.
2.1 Pengertian Manajemen Pemasaran
Menurut Kotler dan Keller (2012:5), manajemen pemasaran terjadi ketika
setidaknya satu pihak dalam sebuah pertukaran potensial berpikir tentang cara-
cara untuk mencapai respons yang diinginkan pihak lain. Sehubungan dengan itu,
manajemen pemasaran dipandang sebagai seni dan ilmu memilih pasar
sasaran dan meraih, mempertahankan, serta menumbuhkan pelanggan dengan
menciptakan, mengantarkan, dan mengomunikasikan nilai pelanggan yang
unggul. Kotler dan Keller (2012:36) mengemukakan bahwa inti pemasaran adalah
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Sasaran bisnis adalah
mengantarkan nilai pelanggan untuk menghasilkan laba. Untuk penciptaan dan
mengantarkan nilai dapat meliputi fase memilih nilai, fase menyediakan nilai, dan
fase mengomunikasikan nilai. Urutan penciptaan dan mengantarkan nilai melalui
tiga fase, yaitu sebagai berikut.
12
1. Fase memilih nilai, pemasar harus menyegmentasikan pasar, memilih
sasaran pasar yang tepat, dan mengembangkan penawaran positioning nilai
(STP).
2. Fase menyediakan nilai, pemasar harus menentukan fitur produk tertentu,
harga, dan distribusi.
3. Fase mengomunikasikan nilai, pemasar mendayagunakan tenaga
penjualan, promosi penjualan, iklan, dan sarana komunikasi lain untuk
mempromosikan produk.
Menurut Kotler dan Keller (2012 : 58), pada dasarnya kegiatan pemasaran
mencakup konsep produksi, konsep produk, konsep penjualan, konsep pemasaran,
dan konsep pemasaran holistik.
1. Konsep produksi
Konsep ini berorientasi pada proses produksi atau operasi. Produsen
meyakini bahwa konsumen hanya akan membeli produk-produk yang murah dan
mudah diperoleh. Para manajer mengasumsikan bahwa konsumen tertarik pada
ketersediaan produk dan harga yang rendah. Orientasi ini berguna ketika
perusahaan ingin memperluas pasar.
2. Konsep produk
Dalam konsep ini pemasar beranggapan bahwa konsumen lebih
menghendaki produk yang memiliki kualitas, kinerja, dan fitur superior. Para
manajer organisasi memusatkan perhatian untuk menghasilkan produk yang
unggul dan memperbaiki mutunya dari waktu ke waktu.
13
3. Konsep penjualan
Konsep ini berorientasi pada tingkat penjualan, yaitu pemasar beranggapan
bahwa konsumen harus dipengaruhi agar penjualan dapat meningkat. Konsep ini
mengasumsikan bahwa konsumen umumnya menunjukkan penolakan untuk
membeli sehingga harus dibujuk supaya membeli.
4. Konsep pemasaran
Konsep pemasaran berorientasi pada pelanggan dengan anggapan bahwa
konsumen hanya akan bersedia membeli produk yang mampu memenuhi
kebutuhan dan keinginannya serta memberikan kepuasan. Konsep pemasaran
terdiri atas empat pilar, yakni pasar sasaran, kebutuhan pelanggan, pemasaran
terpadu atau terintegrasi, dan berkemampuan menghasilkan laba.
5. Konsep pemasaran holistik
Konsep pemasaran holistik merupakan suatu pendekatan terhadap
pemasaran yang mempunyai kompleksitas tinggi. Pemasaran holistik mengakui
bahwa segala sesuatu bisa terjadi pada pemasaran. Terdapat empat komponen
dari pemasaran holistik, yaitu relationship marketing, integrated marketing,
internal marketing, dan perfomance marketing, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1 berikut.
14
Gambar 2.1
Dimensi Pemasaran Holistik
Sumber: Kotler dan Keller (2012)
1. Relationship marketing mempunyai tujuan membangun hubungan jangka
panjang yang saling memuaskan dengan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan utama (pelanggan, pemasok, dan distributor) dalam rangka
mendapatkan serta mempertahankan preferensi dan kelangsungan bisnis
jangka panjang.
2. Internal marketing, tugas pemasaran internal adalah merekrut, melatih,
dan memotivasi karyawan yang mampu untuk melayani pelanggan dengan
baik. Pemasaran internal berlangsung pada dua tingkatan. Pertama,
berfungsi sebagai pemasaran sales force, advertising, layanan pelanggan,
Holistic
marketing
Internal marketing
Marketing department
Senior management
Other departments
Integrated marketing
Communications
Products & service
Channels
Costumers Channel Partners
Relationship marketing
Ethics
Environment Legal
Performance marketing
Community
Brand &
costumer
equity
Sales
revenue
15
manajemen produk, dan riset pemasaran. Kedua, pemasaran berlangsung
oleh departemen lain. Departemen tersebut memerlukan pemasaran yang
berpikir bahwa pelanggan dapat menembus keseluruhan perusahaan.
3. Integrated marketing, lebih merencanakan kegiatan pemasaran dan
program pemasaran terpadu untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan
memberikan nilai bagi pelanggan. Dengan kata lain, rancangan dan
penerapan suatu aktivitas pemasaran adalah dengan melakukan bisnis
secara menyeluruh dalam manajemen permintaan, manajemen sumber
daya, dan manajemen jaringan.
4. Perfomance marketing adalah konsep pemasaran yang
mempertimbangkan pendapatan penjualan, merek dan ekuitas pelanggan,
hukum, etika, sosial, dan lingkungan.
2.2 Relationship Marketing Theory
Pemasaran dapat dideskripsikan sebagai proses mendefinisikan,
mengantisipasi, menciptakan, dan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan
terhadap produk dan layanan. Di dalam pemasaran terdapat tujuh fungsi dasar,
yaitu (1) analisis pelanggan, (2) penjualan produk/layanan, (3) perencanaan
produk dan layanan, (4) pricing, (5) distribusi, (6) riset pemasaran, dan (7)
analisis peluang (David, 2011). Salah satu model pemasaran yang berkembang
saat ini adalah pemasaran dengan melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan
menguntungkan bersama dalam jangka panjang, yang melibatkan seluruh
stakeholder termasuk kompetitor, yang dikenal dengan pemasaran relasional
(relationship marketing).
16
Menurut Berry dan Parasuraman (1991), relationship marketing berkaitan
dengan menarik, mengembangkan, dan mempertahankan hubungan dengan
pelanggan. Selanjutnya relationship marketing juga didefinisikan sebagai
pemasaran yang dilihat sebagai hubungan, jejaring, dan interaksi (Gummesson,
1994: 2). Definisi lain menyatakan bahwa relationship marketing adalah kegiatan
mengidentifikasi, membangun, mempertahankan, dan meningkatkan hubungan
dengan pelanggan dan pemangku kepentingan (stakeholder) lain secara
menguntungkan sehingga tujuan semua pihak yang terlibat dapat dipenuhi. Hal ini
dilakukan dengan interaksi saling menguntungkan dan pemenuhan hal yang
dijanjikan (Grönroos, 2000: 111). Di pihak lain Sheth (1994) mendefinisikan
relationship marketing sebagai pemahaman, penjelasan, dan manajemen
hubungan bisnis kolaboratif yang berkelanjutan antara pemasok dan pelanggan.
Selanjutnya, Sheth dan Parvatiyar (1995) memandang relationship marketing
sebagai upaya untuk melibatkan dan mengintegrasikan pelanggan, pemasok, dan
mitra (partner) lain ke dalam sebuah aktivitas pengembangan dan pemasaran
perusahaan.
Secara teoretis, ada sepuluh bentuk hubungan yang menunjukkan
relationship marketing berdasarkan konsep Morgan and Hunt (1994), yaitu (1)
kemitraan dalam interaksi relasional bersifat jangka panjang antara pabrikan dan
pemasok; (2) interaksi relasional melibatkan pemasok jasa; (3) aliansi strategis
antara perusahaan dan pesaing; (4) aliansi antara sebuah perusahaan dan
organisasi nirlaba; (5) kemitraan (partnership) untuk penelitian dan
pengembangan bersama; (6) interaksi jangka panjang antara perusahaan dan
17
konsumen; (7) hubungan relasional dalam kemitraan kerja; (8) hubungan
relasional (relational exchange) yang melibatkan bagian-bagian (department)
fungsional; (9) interaksi hubungan relasional (relational exchange) antara sebuah
perusahaan dan pegawainya; serta (10) interaksi hubungan relasional (relational
exchange) di dalam perusahaan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2
berikut .
Gambar 2.2
Bentuk Hubungan Relationship Marketing
Sumber: Morgan and Hunt (1994)
Kemitraan Lateralis
(Lateral Partnerships)
Hubungan dengan
Pembeli
(Buyer Partnerships)
Kemitraan Internal
(Internal Partnerships)
Perusahaan yang
Fokus
(Focal Firm)
Penyedia Jasa
(Services
Suppliers)
Pemasok
Barang (Good
Suppliers)
Unit Bisnis
(Business Unit)
Karyawan
(Employees)
Departemen
Fungsional
(Functional
Departments)
Pelanggan
Menengah
(Intermediate
Customers)
Pelanggan
Utama (Ultimate
Customers)
Pemerintah
(Government)
Pesaing
(Competitors)
Organisasi
Nirlaba
(Nonprofit
Organizations)
Hubungan Kemitraan
(Suppliers Partnerships)
18
Berdasarkan konsep hubungan pada Gambar 2.2 diketahui bahwa di dalam
relationship marketing termuat interaksi focal firm dengan pihak pemasok barang
dan jasa; lateral partnership yang terdiri atas pesaing, organisasi non profit, dan
pemerintah; buyers partnership yang terdiri atas intermediate customers dan
ultimate customers, serta internal partnership yang terdiri atas unit bisnis,
pekerja, dan departemen fungsional. Hubungan pada Gambar 2.2 tidak membatasi
relationship marketing hanya pada hubungan pelanggan (customers relationship).
Kesepuluh interaksi tersebut bersifat hubungan relasional sehingga relationship
marketing mengacu pada semua aktivitas pemasaran yang ditujukan untuk
membangun, mengembangkan, dan mempertahankan interaksi hubungan yang
sukses. Secara umum, strategi berbasis relationship marketing didesain untuk
memungkinkan perusahaan lebih mudah berbagi, mengembangkan, dan
memanfaatkan sumber-sumber daya (informasi, proses, dan kompetensi) dengan
perusahaan lain dan konsumen. Melalui kerja sama, perusahaan dapat
berkompetisi dengan lebih efisien dan efektif (Morgan and Hunt, 1994).
Penelitian dalam area relationship marketing telah mengidentifikasi
minimum delapan tipe faktor yang memengaruhi kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing. Untuk lebih jelasnya, kedelapan tipe faktor yang
memengaruhi kesuksesan strategi berbasis relationship marketing seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.
19
Gambar 2.3
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Relationship Marketing
Sumber : Hunt and Hurnett (2004)
Resource Factor
Complementary
Idiosyncratic
Competence Factor
Alliance competences
Market-relating
capabilities
Relationship portfolio
management
Internal Marketing Factor
Internal market
orientation
Part-time marketers
Relational Factor
Trust
Commitment
Cooperation
Keeping promise
Shared values
Communication
Information Technology
Factors
Interorganizational
information system
Integrated infrastructure
CRM
Database
Data mining
Public Policy Factor
Property rights
Contract law
Alternative governance
mechanisms
Historical Factor
Opportunistic behavior
Termination cost
Relationship benefits
Market Offering Factors
Quality
Innovativeness
Customization
Brand Equity
Relationship Marketing
Success
Competitive advantage
Financial performance
Satisfaction
Learning
Propensity to stay
Acquiescence
Decreased uncertainty
20
1) Faktor relasional
Teori relationship marketing yang berkaitan dengan faktor-faktor dan
pengaruhnya pada kesuksesan strategi berbasis relationship marketing dibangun
di atas teori interaksi sosial (social exchange theory) (Blau, 1964; Homans, 1958;
Macaulay, 1963; Thibaut dan Kelley, 1959) dan relational contracting (Macneil,
1980). Studi ini meneliti faktor-faktor yang membedakan antara interaksi atau
transaksi diskrit dan interaksi relasional. Interaksi diskrit (discrete exchange)
memiliki awal yang jelas, akhir yang jelas, durasi singkat, dan melibatkan pihak-
pihak yang anonim. Sebaliknya, interaksi relasional (relational exchange)
mencakup serangkaian interaksi pada periode waktu yang panjang dengan para
pihak yang saling mengenal satu sama lain (Dwyer et al., 1987; Macneil, 1980).
Pandangan faktor-faktor relasional mengartikan bahwa keberhasilan relationship
marketing dihasilkan dari aspek tertentu dari hubungan yang mencirikan interaksi
relasional yang sukses.
Penelitian yang telah ada mengidentifikasi banyak faktor yang berkaitan
dengan interaksi relasional (relational exchange) yang sukses. Akan tetapi, enam
faktor yang paling sering digunakan, yaitu sebagai berikut.
a. Kepercayaan (trust) (Dwyer et al., 1987; Morgan and Hunt, 1994; Sividas
dan Dwyer, 2000; Smith and Barclay, 1997; Wilson, 1995).
b. Komitmen (Anderson dan Weitz, 1992; Day, 1995; Geyskens et al., 1999;
Moorman et al., 1992).
c. Kerja sama (Anderson and Narus, 1990; Morgan and Hunt, 1994).
d. Menepati janji (Gronroos, 1990, 1994).
21
e. Nilai bersama (shared values) (Brashear et al., 2003; Morgan and Hunt,
1994; Yilmaz and Hunt, 2001).
f. Komunikasi (Mohr and Nevin, 1990; Mohr et al., 1996).
Spekman et al. (2000: 43) menyatakan bahwa kepercayaan (trust) dan
komitmen merupakan kondisi yang perlu (sine qua non) dari aliansi karena tanpa
kepercayaan dan komitmen, tidak akan terdapat aliansi. Hubungan
antarperusahaan didasarkan pada upaya harus sering bekerja sama untuk bersaing
(Morgan and Hunt, 1994). Hubungan yang dicirikan oleh komunikasi yang
efektif, nilai-nilai bersama, dan tindakan menepati janji menghasilkan
kepercayaan antarperusahaan, yang mendorong kerja sama (Grönroos, 1990,
1994; Morgan and Hunt, 1994; Sarkar et al., 2001). Kerja sama yang efektif
memungkinkan para mitra (partners) berhasil mengombinasikan sumber daya
dengan cara yang berkontribusi untuk pengembangan keunggulan kompetitif
(Madhok dan Tallman, 1998). Penjelasan faktor relasional untuk kesuksesan
strategi berbasis relationship marketing mendesak pemasar untuk
mengembangkan dan merawat karakteristik hubungan yang diasosiasikan dengan
interaksi relasional yang sukses, yaitu kepercayaan (trust), komitmen,
komunikasi, tepat janji, nilai-nilai bersama, dan kerja sama.
2) Faktor sumber daya
Teori relationship marketing yang fokus pada faktor sumber daya dan
pengaruhnya pada strategi berbasis relationship marketing bersumber pada
penelitian Penrose (1959) dan artikel berpengaruh dari Lippman dan Rumelt
(1982), Rumelt (1984), dan Wernerfelt (1984), yang telah mengembangkan
22
”pandangan berbasis sumber daya” (resource-based view). Pandangan berbasis
sumber daya memberikan masukan untuk teori keunggulan sumber daya (resource
advantage theory) tentang kompetisi (Hunt, 2000; Hunt and Morgan, 1995).
Sumber daya didefinisikan sebagai entitas berwujud atau tak berwujud yang
tersedia bagi perusahaan yang memungkinkannya untuk menghasilkan sebuah
penawaran pasar (market offering) secara efisien dan efektif yang memiliki nilai
untuk beberapa segmen pasar (Hunt and Morgan, 1995: 11).
Terkait dengan hubungan antarperusahaan (interfirm relationship), para
peneliti berpegang bahwa kesuksesan strategi berbasis relationship marketing
dipengaruhi secara signifikan oleh sumber daya yang dikontribusikan oleh tiap-
tiap mitra untuk sebuah hubungan dan derajat sejauh mana sumber daya baru
diciptakan di dalam sebuah hubungan (Jap, 1999). Menurut Das dan Teng (2000:
36), strategi berbasis relationship marketing adalah upaya menciptakan nilai
terbanyak dari sumber daya yang sudah ada dalam sebuah perusahaan yang
dikombinasikan dengan sumber daya perusahaan lain. Seperti dinyatakan Das dan
Teng (2000) bahwa sumber daya para mitra mungkin tumpang tindih (dalam arti
dimiliki oleh kedua mitra) atau tidak tumpang tindih (dalam arti unik untuk mitra
tertentu). Mereka menyatakan bahwa sumber daya yang tumpang tindih
(overlapping) bisa bermanfaat untuk sebuah aliansi (sumber daya suplementer)
atau tidak bermanfaat (surplus). Mereka berpegang bahwa sumber daya yang tidak
tumpang tindih bisa juga bermanfaat bagi sebuah aliansi (komplementer), tetapi
bisa juga tidak berguna meskipun sumber daya suplementer memberikan manfaat
untuk strategi berbasis relationship marketing. Penelitian menunjukkan bahwa
23
sumber daya komplementer secara khusus penting untuk kesuksesan (Das dan
Teng, 2000; Sarkar et al., 2001). Menurut Jap (1999), para mitra dengan sumber
daya komplementer dipaksa untuk mengabaikan kesulitan dan fokus pada hasil-
hasil. Hal itu penting karena disadari bahwa mereka dapat menghasilkan produk-
produk bersama yang unggul (superior) dibandingkan dengan yang dapat
diproduksi oleh salah satu perusahaan secara tersendiri. Sumber daya
komplementer yang dihasilkan dari hubungan menurut Lambe et al. (2002)
meliputi hal-hal di bawah ini.
a. Dikembangkan selama hidup hubungan.
b. Diciptakan dengan mengombinasikan sumber-sumber daya masing-
masing dari para mitra.
c. Unik untuk hubungan tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa sumber daya komplementer sangat penting
dalam kesuksesan strategi berbasis relationship marketing. Lambe et al. (2002)
meneliti 145 aliansi strategis dan menemukan bahwa sumber daya komplementer
merepresentasikan sebuah variabel mediasi kunci dalam model kompetensi
aliansi. Penjelasan faktor-faktor sumber daya terhadap kesuksesan strategi
berbasis relationship marketing menyarankan para pemasar untuk mencari mitra
dengan sumber daya bersifat komplementer.
3) Faktor kompetensi
Teori relationship marketing terkait dengan faktor kompetensi. Teori ini
bersumber pada literatur manajemen strategis. Dalam teori ini kompetensi
didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk mempertahankan pengerahan aset
24
secara terkoordinasi dengan cara membantu perusahaan untuk mencapai
sasarannya (Sanchez et al., 1996: 8). Karena kompetensi krusial, memungkinkan
perusahaan menggunakan sumber daya secara efisien dan efektif. Artinya,
kompetensi merepresentasikan sebuah pandangan berbasis sumber daya (Lado et
al., 1992; Reed and De Fillippi, 1990). Karena banyak kompetensi tidak dapat
secara eksplisit diartikulasikan, maka kompetensi dipelajari dengan melakukan
(learned by doing) (Polanyi, 1966). Karena kompetensi melibatkan hubungan
yang kompleks di antara keterampilan (skills) banyak individu, kompetensi
tertanam secara mendalam di dalam organisasi (Day, 1994: 38).
Terkait dengan hubungan antarperusahaan (inter-firm relationship), para
peneliti menyatakan bahwa kesuksesan strategi berbasis relationship marketing
dipengaruhi secara signifikan oleh kemampuan sebuah perusahaan untuk
mengembangkan kompetensi aliansi, yang didefinisikan sebagai kemampuan
sebuah organisasi untuk menemukan, mengembangkan, dan mengelola aliansi
(Lambe et al., 2002 : 145). Untuk meningkatkan kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing, perusahaan harus mengidentifikasi dan mengintegrasikan
sumber daya yang mendorong identifikasi, pengembangan, dan pengelolaan
aliansi. Sehubungan dengan itu, manajemen pengetahuan (knowledge
management) merupakan sebuah komponen kunci pengembangan dan
pemeliharaan kompetensi aliansi. Seperti yang dikemukakan Kale et al. (2002)
bahwa perusahaan harus dapat mengumpulkan dan menyebarluaskan keahlian
aliansi, yang sering kali terdiri atas pengetahuan diam-diam (implisit, tidak
tertulis, tidak mudah ditransfer) yang didasarkan pada sejarah aliansi dari sebuah
25
perusahaan. Sebuah porsi yang signifikan dari pengetahuan ini berada dalam
individu-individu yang terlibat dalam manajemen hubungan. Perusahaan yang
dapat menemukan cara-cara untuk memfasilitasi pengetahuan berbasis individu
(baik di dalam maupun antarmitra) akan lebih sukses dalam membentuk dan
mempertahankan hubungan antarperusahaan. Simonin (1997) menyatakan bahwa
ketika manajer aliansi belajar tentang bagaimana berkolaborasi dengan mitra
aliansi (dalam arti berbagi pengetahuan), aliansi akan lebih sukses. Dengan
demikian, pengembangan sebuah kompetensi aliansi membutuhkan aksesibilitas
pengetahuan, mekanisme yang bersifat memfasilitasi, dan pengaruh pengetahuan
yang efektif (Inkpen, 1998; Spekman et al., 2000).
Menurut Day (2000: 24), tidak setiap perusahaan dapat atau harus
mencoba untuk menguasai kapabilitas relasi pasar. Akan tetapi, karena kapabilitas
relasi pasar sulit ditiru, kapabilitas ini sering menghasilkan keunggulan kompetitif
yang bertahan lama dibandingkan dengan para pesaing. Gummesson (1994: 17)
menyatakan bahwa tidak semua hubungan penting untuk semua perusahaan
sepanjang waktu. Beberapa pemasaran paling baik ditangani sebagai pemasaran
transaksi. Artinya, tidak semua hubungan yang mungkin dengan para pemangku
kepentingan potensial akan menguntungkan. Dengan demikian, penting bagi para
manajer mengembangkan sebuah kemampuan untuk secara efektif mengelola
portofolio hubungan.
Hunt (1997: 439) menyatakan bahwa perusahaan harus mengembangkan
sebuah portofolio hubungan yang terdiri atas hubungan yang meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perusahaan. Setiap hubungan potensial dan hubungan
26
yang sudah ada harus diteliti untuk memastikan bahwa hubungan tersebut
berkontribusi pada kemampuan perusahaan untuk secara efektif dan efisien
menghasilkan penawaran ke pasar yang memiliki nilai bagi beberapa segmen
pasar. Penjelasan kesuksesan strategi berbasis relationship marketing berdasarkan
kompetensi merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan kompetensi
aliansi, mengasah kapabilitas relasi pasar, dan mengelola dengan baik portofolio
hubungan.
4) Faktor pemasaran internal
Teori relationship marketing menonjolkan pentingnya interaksi personal
tidak hanya untuk individu lintas perusahaan, tetapi juga untuk pegawai di dalam
perusahaan. Sehubungan dengan itu, penelitian strategi berbasis relationship
marketing menginvestigasi faktor-faktor pemasaran internal. Akan tetapi, seperti
yang dinyatakan Gummesson (1991) bahwa banyak pegawai yang memengaruhi
kesuksesan strategi berbasis relationship marketing bukan pemasar penuh waktu.
Artinya, banyak pegawai adalah pemasar paruh waktu. Mereka melaksanakan
aktivitas pemasaran, tetapi kontras dengan para pemasar penuh waktu. Mereka
tidak termasuk ke dalam departemen pemasaran atau penjualan (Gummesson,
1991: 60).
Para ahli pemasaran menekankan bahwa penerimaan oleh pegawai adalah
krusial untuk kesuksesan strategi berbasis relationship marketing. Arnett et al.
(2002: 87) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan pendekatan
pemasaran baru secara sukses, sering kali perlu mengubah budaya sebuah
organisasi untuk membantu menyelaraskan sikap pegawai dengan strategi baru
27
tersebut. Secara umum, hal ini mengharuskan pengembangan sebuah orientasi
layanan di dalam perusahaan, yang membutuhkan pengembangan hubungan yang
baik di antara para pegawai di dalam organisasi.
Grönroos (2000: 330) menyatakan bahwa tanpa hubungan internal yang
berfungsi baik, hubungan pelanggan eksternal tidak akan berkembang secara
sukses. Untuk mengimplementasikan strategi berbasis relationship marketing
dengan sukses, manajer harus mengidentifikasi dan memuaskan keinginan dan
kebutuhan para pegawai. Artinya, mereka harus memiliki sebuah orientasi
pemasaran internal (Lings, 2004). Sebuah orientasi pasar internal meningkatkan
aspek-aspek kinerja internal (misalnya kepuasan dan komitmen pegawai), yang
berdampak secara positif pada orientasi pasar eksternal dan aspek-aspek kinerja
eksternal (misalnya kepuasan pelanggan dan laba). Dengan demikian, penjelasan
pemasaran internal untuk kesuksesan strategi berbasis relationship marketing
merekomendasikan para pemasar untuk memastikan bahwa semua pegawai
perusahaan berpartisipasi dalam mengembangkan hubungan intraperusahaan (di
dalam perusahaan) yang mendorong kesuksesan pemasaran hubungan
(relationship marketing).
5) Faktor teknologi informasi
Teori relationship marketing menyatakan bahwa hubungan kolaboratif
menuntut transfer teknologi dan knowledge sharing di kalangan para mitra (Lam,
1997). Strategi berbasis relationship marketing yang sukses sering menuntut
perusahaan untuk mengadopsi sistem informasi antarorganisasi
(interorganizational information systems), misalnya sistem electronic data
28
interchange (EDI) dan menciptakan proses organisasional yang kondusif untuk
pemanfaatan dan berbagi pengetahuan. Sebagai contoh, untuk mendorong
hubungan pemasok-pabrikan, pabrik mobil AS mengembangkan Extranet yang
disebut Automotive Exchange Network (AXN), yang menghubungkan para
pabrikan mobil dengan ribuan pemasok (Evans and Wurster, 1997). Akan tetapi,
keputusan untuk mengadopsi sebuah sistem informasi antarorganisasi
(interorganizational) bukanlah sebuah keputusan unilateral. Sistem
interorganizational melibatkan kerja sama dan komitmen dari semua anggota
yang berpartisipasi (Premkumar and Ramamurthy, 1995). Adopsi sistem
informasi antarorganisasi (interorganizational) yang sukses membutuhkan
eksistensi dari sebuah hubungan erat di antara perusahaan yang terlibat untuk
mendorong keterlibatan atau penerapan kewenangan untuk memaksakan
keterlibatan. Para mitra (partner) mengadopsi teknologi informasi karena mereka
mempersepsikan bahwa teknologi informasi tersebut akan mendorong tercapainya
tujuan-tujuan, baik dari hubungan maupun tujuan-tujuan individu perusahaan.
Manfaat sistem teknologi informasi antarorganisasi yang sukses mencakup
peningkatan, baik efisiensi internal maupun efisiensi antarorganisasi (Bakos and
Treacy, 1986; Johnston and Vitale, 1988), peningkatan hubungan antara para
mitra (Vijayasarathy and Robey, 1997), dan peningkatan dalam kerja sama
antarperusahaan (Konsynski and McFarlan, 1990; Vijayasarathy and Robey,
1997). Namun, pengembangan sistem informasi antarorganisasi
(interorganizational information systems) tidak cukup untuk menjamin kerja
sama. Untuk meningkatkan kesuksesan sistem informasi antarorganisasi,
29
perusahaan harus mengadaptasi infrastruktur existing dengan cara memfasilitasi
kolaborasi dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) lintas batas organisasi
internal (Gold et al., 2001). Infrastruktur sebuah perusahaan harus menautkan
(link) sistem informasinya dengan sistem komunikasinya. Seperti yang ditekankan
oleh Menon dan Varadarajan (1992: 53) bahwa informasi yang relevan harus
diproduksi dan disebarluaskan ke berbagai departemen dan manajer dalam bentuk
yang paling tepat untuk meningkatkan penggunaannya.
Infrastruktur teknologi informasi memfasilitasi penggunaan pengetahuan
dan berbagai informasi melalui aliran komunikasi internal yang lebih baik
sehingga infrastruktur informasi dan infrastruktur komunikasi harus
diintegrasikan di dalam perusahaan. Sehubungan dengan itu, upaya mengelola
hubungan dengan pelanggan secara khusus merupakan hal yang menantang untuk
banyak perusahaan karena perusahaan terlibat dalam banyak tipe transaksi
berbeda. Selain itu, kebutuhan dan keinginan pelanggan bervariasi signifikan.
Untuk memenuhi tantangan ini, banyak perusahaan beralih pada program-program
manajemen hubungan pelanggan formal yang berpusat pada segmentasi
pelanggan yang dikenal dengan nama pemasaran relasional pelanggan (customer
relationship marketing) disingkat CRM. Program-program CRM melibatkan
sebuah komponen manajemen hubungan (misalnya tim pendukung dan program
loyalitas) dan sebuah komponen yang digerakkan data (misalnya mengidentifikasi
segmen yang menguntungkan melalui teknik-teknik statistik) (Dowling, 2002).
Dalam pendekatan ini teknologi informasi mendukung proses CRM, yaitu
dengan memberikan mekanisme kebutuhan pelanggan, maksudnya data pelanggan
30
dianalisis sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan strategi-strategi
pemasaran. Program-program yang digerakkan data menekankan pada database
dan penggunaan teknik-teknik penggalian data (data mining), seperti pohon
keputusan (decision trees), jejaring neural (neural networks), dan analisis klaster
(cluster analysis) (Nairn and Bottomley, 2003). Penggalian data (data mining)
mencoba untuk memformulasikan, menganalisis, dan mengimplementasikan
induksi dasar yang memfasilitasi ekstraksi informasi dan pengetahuan yang
bermakna dari data yang tidak terstruktur (Grossman et al., 1999:1). Hasil-hasil
data mining CRM mungkin menjadi wawasan (insight), aturan, atau model
prediktif yang dapat digunakan untuk mengelola pelanggan dengan lebih baik.
Sebagai contoh, data mining menurut Peacock (1998a, 1998b), dapat digunakan
untuk hal berikut.
a. Memprediksi respons pelanggan terhadap upaya pemasaran langsung.
b. Mengidentifikasi pelanggan penting yang membutuhkan perhatian
khusus.
c. Mengisolasi pelanggan yang membutuhkan biaya lebih daripada yang
dikontribusikan.
Penjelasan teknologi informasi tentang kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan
sistem informasi antarorganisasi (interorganizational), mengintegrasikan
infrastruktur informasi dan komunikasi, serta mengimplementasikan program-
program CRM untuk mengelola hubungan pelanggan secara efisien dan efektif.
31
6) Faktor penawaran pasar (market offering)
Teori relationship marketing yang terkait dengan faktor-faktor penawaran
pasar (market offering) menyatakan bahwa penawaran pasar suatu perusahaan
mungkin menjadi sebuah sumber daya bernilai untuk strategi-strategi perusahaan.
Sebagai contoh, sebuah peritel mungkin membentuk sebuah hubungan jangka
panjang dengan sebuah pemasok karena memberikan akses prioritas pada
penawaran bernilai dari pemasok. Untuk peritel (retailer), penawaran pasar dari
pemasok menjadi sebuah sumber daya karena memungkinkan memberikan nilai
lebih bagi pelanggannya. Semakin bernilai penawaran dari pemasok (supplier),
maka hubungan tersebut semakin dikehendaki. Hunt (2000: 43) menyatakan
bahwa sebuah penawaran adalah sebuah entitas unik, yaitu (1) terdiri atas
sejumlah atribut; (2) mungkin bersifat berwujud atau tak berwujud, objektif atau
subjektif; dan (3) mungkin dipandang oleh beberapa pembeli potensial sebagai
sebuah pemuas keinginan.
Kebanyakan penawaran pasar (market offering) memiliki bauran atribut-
atribut yang berwujud (misalnya body mobil) dan tidak berwujud (misalnya
garansi mobil). Jika atribut berwujud (tangible) yang mendominasi, penawaran
pasar disebut sebagai barang (goods). Sebaliknya, jika yang tak berwujud
(intangible) mendominasi, maka disebut jasa (service). Atribut penawaran pasar
dianggap relatif lebih objektif atau subjektif bergantung pada derajat keseragaman
antarpembeli tentang bobot yang diberikan untuk atribut-atribut berbeda. Derajat
penawaran pasar yang berbeda memiliki atribut berbeda dan seberapa jauh
penawaran berbeda memiliki tingkat atribut berbeda.
32
Atribut umum yang digunakan oleh konsumen untuk tujuan perbandingan
mencakup kualitas, inovasi, dan seberapa jauh penawaran pasar dapat disesuaikan
untuk memenuhi kebutuhan individu. Terkait dengan kualitas, tingkat kualitas
yang lebih tinggi diasosiasikan dengan penawaran pasar (market offering) yang
dipersepsikan seperti di bawah ini.
a. Lebih baik memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan.
b. Lebih dapat diandalkan (reliable).
c. Lebih tahan lama (durable) (Clark et al., 1994; Crosby et al., 2003;
Garvin, 1987).
Akibatnya, penawaran berkualitas tinggi ke pasar sering memungkinkan
perusahaan untuk meraih posisi keunggulan kompetitif di pasar (Hunt and
Morgan, 1995).
Keinovatifan mengacu pada penawaran yang dipersepsikan dengan
kebaruan, orisinalitas, keunikan, dan keradikalan (Henard and Szymanski, 2001).
Penelitian menunjukkan bahwa produk inovatif cenderung lebih sukses (Cooper,
2000; Troy et al., 2001; Kleinschmidt and Cooper, 1991). Penelitian tersebut juga
menemukan bahwa penawaran pasar yang inovatif kemungkinan akan meliputi
hal-hal berikut.
a. Sukses dan lebih menguntungkan.
b. Memiliki pangsa pasar domestik dan luar negeri yang lebih tinggi.
c. Membuka peluang baru.
d. Memenuhi target penjualan dan keuntungan.
33
Satu sumber daya yang diidentifikasi sebagai sumber keunggulan
kompetitif yang bernilai bagi banyak organisasi adalah ekuitas merek (Aaker,
1991; Bharadwaj et al., 1993; Keller, 1998). Sesungguhnya aset paling bernilai
dari sebuah perusahaan untuk meningkatkan produktivitas pemasaran adalah
pengetahuan yang telah diciptakan tentang merek dalam benak konsumen dari
investasi perusahaan dalam program-program pemasaran sebelumnya (Keller,
1993:2). Jika positif, pengetahuan ini dapat menambah nilai bagi penawaran pasar
(market offering) organisasi. Di samping itu, manfaat yang dihasilkan dari sebuah
merek yang kuat meliputi loyalitas pelanggan yang lebih besar (Keller, 1998),
kurangnya kerentanan terhadap tindakan pesaing (Aaker, 1991; Kamakura and
Russell, 1991; Keller, 1998), diferensiasi produk (Bharadwaj et al., 1993; Park et
al., 1986), dan keuntungan yang lebih besar (Keller, 1998; Yoo and Donthu,
2001).
Ekuitas merek (brand equity) memiliki karakteristik yang sering menjadi
sebuah sumber keunggulan jangka panjang bagi organisasi. Hal itu disebabkan
oleh sebagian hukum merek memproteksi nama dan simbol yang digunakan oleh
organisasi untuk mewakili bisnis dan penawaran. Sehubungan dengan itu, pesaing
tidak dapat begitu saja menduplikasi penawaran perusahaan lain dengan
memanfaatkan nama merek perusahaan tersebut. Salah satu konsekuensi yang
paling penting dari nama merek yang kuat bersumber dari fakta bahwa ekuitas
membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk pengembangannya. Dalam upaya
untuk merespons merek dengan ekuitas tinggi dari perusahaan lain kompetitor
mungkin menemukan kesulitan untuk mengembangkan nama merek sendiri yang
34
kuat dengan cepat. Oleh karena itu, penjelasan kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing berdasarkan penawaran pasar (market offering)
merekomendasikan perusahaan untuk fokus pada hubungan yang dapat
memberikan akses pada market offering dengan ekuitas tinggi dan berkontribusi
pada pengembangan market offering dengan ekuitas tinggi.
7) Faktor historis
Teori pemasaran hubungan (relationship marketing theory) mencatat
bahwa hubungan yang berhasil membutuhkan waktu untuk pengembangannya.
Tidak seperti interaksi jangka pendek, hubungan jangka panjang yang sukses
memiliki sebuah sejarah. Akibatnya, perilaku mitra (partner) pada masa lalu dan
masa sekarang memiliki kemampuan untuk memengaruhi interaksi pada masa
depan.
Penelitian menunjukkan bahwa faktor sejarah dapat memiliki sebuah
dampak signifikan terhadap hubungan antarperusahaan (Anderson and Narus,
1990; Bucklin and Sengupta, 1993; Morgan and Hunt, 1994). Faktor-faktor yang
diidentfikasi meliputi perilaku oportunis, manfaat hubungan pada masa lalu, dan
biaya tinggi untuk mengakhiri hubungan (Morgan and Hunt, 1994). Perilaku
oportunis meliputi pelanggaran dengan tujuan menipu janji eksplisit atau implisit
tentang peran seseorang yang pantas atau diharapkan (John, 1984: 279). Misalnya,
sebuah pabrik mungkin memindahkan bisnis baru dari pemasok jangka panjang
dengan cara yang melanggar norma-norma hubungan yang sudah mapan. Perilaku
seperti itu jika terungkap, mungkin mengurangi kepercayaan pemasok kepada
pabrik tersebut, yang pada gilirannya mungkin memengaruhi interaksi pada masa
35
depan (misalnya negosiasi harga). Beberapa faktor sejarah berpengaruh positif
terhadap proses pengembangan atau pemeliharaan hubungan. Sehubungan dengan
itu, kesuksesan strategi berbasis relationship marketing berdasarkan faktor-faktor
sejarah menyarankan para pemasar untuk mengelola interaksi dengan semua
mitra. Dengan berjalannya waktu, perilaku oportunis dapat diminimalkan, manfaat
yang diraih didistribusikan secara adil, dan biaya pemutusan hubungan dimonitor.
8) Faktor kebijakan publik
Relationship marketing theory mengakui bahwa kadang-kadang
perusahaan harus bekerja sama untuk bersaing (Hunt, 1997; Morgan and Hunt,
1994). Akan tetapi, seperti semua strategi pemasaran lain, strategi berbasis
relationship marketing juga dipengaruhi oleh kebijakan publik. Hukum
menetapkan batasan untuk semua bentuk interaksi, termasuk interaksi relasional
(relational exchange). Dengan demikian, perubahan aturan dan regulasi sering
memiliki dampak signifikan terhadap hubungan antarperusahaan. Pertama, hukum
antitrust membatasi upaya kerja sama. Diakui secara luas bahwa hukum anti
persaingan tidak sehat (antitrust law) sekarang sangat kuat memengaruhi ekonomi
ekuilibrium neoklasik, yang cenderung memusuhi kerja sama antarperusahaan
(Hunt and Arnett, 2001). Kesuksesan strategis berbasis relationship marketing
bergantung pada bagaimana regulator menginterpretasikan dan merespons upaya
kerja sama perusahaan. Kedua, seperti yang dinyatakan Gundlach (1996: 186)
bahwa dua area hukum kunci merepresentasikan infrastruktur legal dari transaksi
(exchange), yaitu meliputi hukum hak milik dan hukum kontrak.
36
Hukum hak milik berlaku pada transaksi dengan menerapkan hak-hak dan
tanggung jawab dasar bagi mereka yang memiliki sebuah kepentingan pada objek,
baik berwujud maupun tak berwujud (Cribbet, 1986). Hukum kontrak menangani
aturan, prosedur, dan remedi untuk mentransaksikan objek di mana perusahaan
dan individu memiliki hak dan tanggung jawab (Calamari and Perillo, 1987). Baik
hukum hak milik maupun hukum kontrak, cenderung berubah ketika sifat
transaksi atau interaksi berubah. Seperti dinyatakan oleh Vargo and Lusch (2004:
1) bahwa pemasaran telah bergeser dari pertukaran benda berwujud menuju
pertukaran benda tak berwujud, keterampilan, pengetahuan, dan proses khusus.
Pergeseran dari penekanan pada yang berwujud ke tak berwujud telah
menghasilkan tantangan unik untuk kebijakan publik. Sehubungan dengan itu,
kebijakan publik harus berpacu dengan realitas transaksi di pasar.
Menurut Gundlach (1996: 199), kebijakan publik terkait dengan hukum
hak milik memiliki banyak tantangan. Meskipun kebijakan publik terkait dengan
hukum-hukum yang mengatur transaksi beradaptasi agar lebih cocok dengan
realitas pasar, beberapa ilmuwan menonjolkan fakta bahwa hukum-hukum hak
milik dan kontrak tidak akan pernah dapat mengakomodasi sifat yang kompleks
dari interaksi relasional (Morgan and Hunt, 1994). Di samping itu, riset
menekankan pada kebutuhan untuk mengandalkan basis alternatif dari tata kelola
(misalnya tata kelola berbasis kepercayaan) (Hunt and Arnett, 2003). Apabila
dilihat dari perspektif kebijakan publik, ketika mekanisme tata kelola
menghasilkan hasil-hasil positif yang tidak hanya untuk perusahaan, tetapi juga
untuk masyarakat, maka mekanisme tersebut harus diakui dan didukung. Dengan
37
demikian, penjelasan kesuksesan strategis berbasis relationship marketing
berdasarkan kebijakan publik merekomendasikan para pemasar untuk memahami
posisi hukum anti persaingan tidak sehat (antitrust law), hukum hak milik dan
kontrak, dan berupaya merevisi hukum-hukum yang menghalangi adopsi dan
implementasi interaksi relasional yang bermanfaat untuk masyarakat.
2.2.1 Kajian empiris customer relationship marketing (CRM)
Pemasaran relasional pelanggan (customer relationship marketing) atau
disingkat CRM adalah kegiatan mengidentifikasi, membangun, mempertahankan,
dan meningkatkan hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) lain
secara menguntungkan sehingga tujuan semua pihak yang terlibat dapat dipenuhi,
yaitu melalui interaksi saling menguntungkan serta memenuhi hal yang dijanjikan.
CRM pada hakikatnya merupakan hubungan relasional yang mengacu pada semua
aktivitas pemasaran yang bertujuan untuk membangun, mengembangkan, dan
mempertahankan interaksi hubungan yang sukses yang bersifat jangka panjang.
Berry (1983) memandang CRM sebagai sebuah strategi untuk menarik,
mempertahankan, dan meningkatkan hubungan pelanggan. Menurut Moorman et
al. (1993), dalam melaksanakan CRM, kepercayaan (trust) sebagai “sebuah
kesediaan untuk mengandalkan mitra (partner) interaksi kepada siapa seseorang
menaruh kepercayaan”. Di pihak lain Oliver (1999) mendefinisikan CRM sebagai
sebuah komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli kembali
sebuah produk pada masa depan meskipun terdapat pengaruh situasional dan
upaya pemasaran yang berpotensi menyebabkan perilaku beralih ke produk lain.
Di sisi lain Gundlach et al. (1995) menyatakan bahwa komunikasi merupakan
38
determinan penting dari kekuatan CRM dan sebuah konstruk yang berguna untuk
mengukur kemungkinan loyalitas pelanggan dan memprediksi frekuensi
pembelian pada masa depan. Menurut Dwyer et al. (1987), dalam pelaksanaan
CRM, penanganan konflik (conflict handling) sebagai kemampuan pemasok untuk
menghindari konflik potensial, memecahkan konflik sebelum konflik
menimbulkan permasalahan, dan membahas solusi secara terbuka ketika
permasalahan timbul.
Di samping yang sudah dijelaskan di atas, terdapat pengakuan yang makin
besar di kalangan akademisi dan praktisi bahwa diferensiasi produk dan jasa
merupakan sebuah sumber keunggulan kompetitif. Sebagai sebuah bentuk ekstrem
dari diferensiasi adalah konsep customization, yang berarti derajat penyesuaian
penawaran perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang heterogen
(Anderson et al., 1997). Customization bertujuan memenuhi sebanyak mungkin
kebutuhan pelanggan individual dengan teknik konvensional yang mencoba
menjangkau sebanyak mungkin pelanggan, tetapi hanya memenuhi sejumlah
terbatas kebutuhan pelanggan (Simonson, 2005; Fiore et al., 2004). Menurut
Kotler (1989) dan Pine (1993), customization merupakan jawaban atas pergeseran
tuntutan pelanggan yang mengharapkan variasi yang lebih besar, fitur yang lebih
banyak, dan kualitas yang lebih tinggi, baik dalam produk maupun jasa. Karena
didorong oleh manfaat yang diharapkan tersebut, maka customization telah
menjadi sebuah tonggak customer relationship management (Freeland, 2003;
Lemon et al., 2002).
39
Konsep CRM sudah berkembang sejak beberapa tahun terakhir sebagai
dampak meningkatnya kompetisi dan tuntutan pelanggan terhadap pelayanan yang
lebih baik sehingga mengharuskan fokus bisnis mengarah pada pelayanan
kebutuhan individual pelanggan. Gagasan utama CRM adalah membantu
perusahaan dengan menggunakan teknologi, proses bisnis, dan sumber daya
manusia untuk memperoleh pengetahuan mengenai perilaku dan nilai pelanggan.
Program CRM merupakan bagian dari operasional bisnis, yang menuntut pelaku
bisnis peka terhadap kebutuhan dan tuntutan pelanggan. Selain itu, juga
merupakan wujud dari tanggung jawab perusahaan yang berhubungan erat dengan
pembentukan citra perusahaan (brand equity) di mata konsumen dan masyarakat.
Perusahaan terdorong untuk mengadopsi CRM karena motif-motif defensif dan
ofensif. Motivasi ofensif terkait dengan hasrat untuk meningkatkan keuntungan
usaha, yaitu dengan cara menekan biaya (cost) serta meningkatkan pendapatan
(revenue) melalui peningkatan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Sebaliknya,
motivasi defensif timbul ketika para kompetitor terkemuka juga berhasil
mengadopsi CRM yang membuat pihak perusahaan khawatir kehilangan
konsumen dan pendapatan (Buttle, 2004).
Upaya mengelola hubungan dengan pelanggan secara khusus merupakan
hal yang menantang bagi perusahaan karena perusahaan terlibat dalam banyak
tipe transaksi berbeda. Selain itu, kebutuhan dan keinginan pelanggan bervariasi
signifikan. Untuk memenuhi tantangan ini, banyak perusahaan beralih pada
program-program manajemen hubungan pelanggan CRM formal yang berpusat
pada segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhan dan profitabilitasnya di
40
samping mendesain dan mengimplementasikan program-program untuk
mengalokasikan sumber daya yang tepat secara efektif dan efisien untuk tiap-tiap
pelanggan (Srivastava et al., 1999). Alokasi sumber daya yang tepat
memungkinkan manfaat akan didapat, baik oleh organisasi maupun pelanggan
(Ramsey, 2003). Pelaksanaan program CRM melibatkan sebuah komponen
manajemen hubungan (misalnya tim pendukung dan program loyalitas) dan
sebuah komponen yang digerakkan data (misalnya mengidentifikasi segmen yang
menguntungkan melalui teknik-teknik statistik) (Dowling, 2002). Dengan
demikian, penjelasan sumber daya TI tentang kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan
sistem informasi antarorganisasi (interorganizational), mengintegrasikan
infrastruktur informasi dan komunikasi, serta mengimplementasikan program
CRM untuk mengelola hubungan pelanggan secara efisien dan efektif.
2.3 Pengertian Budaya Organisasi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya
yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik
dalam keluarga, organisasi, bisnis, maupun bangsa. Budaya membedakan
masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak
menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat
menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku
atau bertindak. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya pasti terbentuk dalam
organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberikan kontribusi
bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
41
Pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli adalah sebagai
berikut.
a) Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang
diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah,
membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan
mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu, harus diajarkan
kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar
dalam mengkaji, berpikir, dan merasakan masalah yang dihadapi.
b) Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan
sistem nilai organisasi dan akan memengaruhi cara pekerjaan dilakukan
dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem
nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian
memengaruhi cara bekerja dan berperilaku para anggota organisasi.
c) Menurut Robbins (2003: 305), budaya organisasi merupakan sistem makna
bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu
organisasi dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini bila diamati
dengan lebih saksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang
dihargai oleh suatu organisasi. Budaya organisasi berkaitan dengan
bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik suatu budaya
organisasi, bukan dengan apakah para karyawan menyukai budaya atau
tidak.
42
2.3.1 Sumber-sumber budaya organisasi
Budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu seperti berikut.
1) Pengaruh umum dari luar yang luas mencakup faktor-faktor yang tidak
dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.
2) Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang
dominan dari masyarakat luas, misalnya kesopansantunan dan kebersihan.
3) Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Dalam mengatasi masalah, baik eksternal maupun internal
organisasi, akan didapatkan penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan
mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya
budaya organisasi.
2.3.2 Fungsi budaya organisasi
Robbins (2003: 311) menyatakan bahwa budaya menjalankan sejumlah
fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu seperti di bawah ini.
1) Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan organisasi
yang lain.
2) Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota organisasi.
3) Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan pribadi seseorang.
4) Budaya memantapkan sistem sosial, artinya merupakan perekat sosial
yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan
43
standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan
oleh para karyawan.
5) Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang
memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
2.3.3 Ciri-ciri budaya organisasi
Menurut Robbins (2003:289), ada tujuh ciri budaya organisasi, yaitu
sebagai berikut.
1) Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk
menjadi inovatif dan mengambil risiko.
2) Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan
menunjukkan kecermatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
3) Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen fokus pada hasil, bukan pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4) Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan
efek pada anggota di dalam organisasi itu.
5) Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim,
bukan pada individu.
6) Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7) Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi
yang sudah baik.
Dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan
diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran ini menjadi dasar
untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai
44
organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota
berperilaku.
2.3.4 Karakteristik budaya organisasi
Kualitas budaya organisasi dalam suatu organisasi dapat dilihat dari
sepuluh faktor utama, yaitu sebagai berikut.
1) Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan
independensi yang dipunyai individu.
2) Toleransi terhadap tindakan berisiko, yaitu sejauh mana para pegawai
dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan berani mengambil
risiko.
3) Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas
sasaran dan harapan mengenai prestasi.
4) Integrasi, yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk
bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
5) Dukungan manajemen, yaitu sejauh mana para manajer berkomunikasi
yang jelas, memberikan bantuan, dan dukungan terhadap bawahan
mereka.
6) Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang
digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
7) Identitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi
dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan
kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional.
45
8) Sistem imbalan, yaitu sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji,
promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari
senioritas, pilih kasih, dan sebagainya.
9) Toleransi terhadap konflik, yaitu sejauh mana para pegawai didorong
untuk mengemukakan konflik kritik secara terbuka.
10) Pola-pola komunikasi, yaitu sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi
oleh hierarki kewenangan yang formal.
2.3.5 Tipe budaya organisasi
Kreitner dan Kinicki (2001) mengemukakan tiga tipe budaya organisasi,
yaitu seperti berikut.
a) Budaya konstruktif (constructive culture) merupakan budaya, yaitu pekerja
didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja pada tugas dan
proyek yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya
untuk tumbuh dan berkembang.
b) Budaya pasif-defensif (passive-defensive culture) mempunyai karakteristik
menolak keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain
dengan cara tidak menantang keamanan mereka sendiri.
c) Budaya agresif-defensif (aggressive-defensive culture) mendorong pekerja
mendekati tugas dengan cara memaksa dengan maksud melindungi status
dan keamanan kerja mereka.
46
2.3.6 Hubungan antara budaya organisasi dan kinerja
Budaya organisasi yang disosialisasikan dengan komunikasi yang baik
akan dapat menemukan kekuatan menyeluruh organisasi, kinerja, dan daya saing
dalam jangka panjang. Kinerja karyawan ditentukan oleh persepsi subjektif
karyawan mengenai organisasi. Keseluruhan persepsi inilah menjadi dasar
terbentuknya budaya organisasi. Persepsi yang mendukung atau tidak mendukung
ini kemudian memengaruhi kinerja individu karyawan dan kepuasan karyawan,
dengan dampak yang lebih besar pada budaya yang lebih kuat. Budaya yang kuat
memperlihatkan kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota organisasi
mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi itu.
Asumsi teori
Asumsi-asumsi teori budaya organisasi adalah sebagai berikut.
1) Anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang
dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada
pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Inti
asumsi ini adalah nilai yang dimiliki organisasi. Nilai merupakan standar
dan prinsip yang terdapat dalam sebuah budaya.
2) Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya
organisasi. Ketika seseorang dapat memahami simbol tersebut, maka
seseorang akan mampu bertindak menurut budaya organisasinya.
3) Budaya bervariasi dalam organisasi yang berbeda dan interpretasi tindakan
dalam budaya ini juga beragam. Setiap organisasi memiliki budaya yang
berbeda dan setiap individu dalam organisasi tersebut menafsirkan budaya
47
tersebut secara berbeda. Perbedaan budaya dalam organisasi justru
menjadi kekuatan dari organisasi sejenis lainnya.
2.3.7 Unsur-unsur budaya organisasi
Unsur-unsur budaya organisasi adalah sebagai berikut.
1) Artifak (unsur dasar organisasi yang paling mudah dikenali karena ia dapat
dilihat, didengar, dan dirasakan ).
2) Keyakinan, nilai, dan sikap yang berlaku di dalam organisasi.
3) Asumsi-asumsi dasar yang mau tidak mau harus diterima sebagai solusi
bila terjadi suatu masalah.
Menurut Schein (1992), ada lima dimensi yang perlu diperhatikan jika
berbicara tentang asumsi-asumsi dasar dalam konteks budaya organisasi. Kelima
dimensi tersebut adalah hubungan manusia dengan lingkungan, hakikat kenyataan
dan kebenaran, sifat dasar manusia, hakikat aktivitas manusia, dan hakikat
hubungan antarmanusia.
2.3.8 Kajian empiris budaya organisasi
Menurut penelitian Koentjaraningrat (2005), konsep kebudayaan
mencakup arti yang sangat luas, yaitu seluruh pikiran, karya, dan hasil karya
manusia yang tidak berakar pada nalurinya yang dapat dicetuskan oleh manusia
sesudah melalui proses belajar. Di pihak lain Hofstede et al. (2010)
mendefinisikan budaya sebagai suatu pola pemikiran, perasaan, dan tindakan
suatu kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain.
Budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu (1)
48
berperan menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang
jelas antara satu organisasi dan yang lain; (2) membawa suatu rasa identitas bagi
anggota-anggota organisasi; (3) mempermudah timbulnya komitmen; dan (4)
meningkatkan kemantapan sistem sosial organisasi (Robbin, 2003). Penelitian
Quinn (1988) menyatakan ada empat tipe budaya, yaitu rasional, hierarkis, grup,
dan bersifat membangun (developmental). Menurut Deshpande and Farley (1999),
ketika para pegawai mendeskripsikan budaya perusahaan, mereka cenderung
mendeskripsikan karakteristik (trait) sebagai budaya rasional, budaya hierarkis,
budaya kelompok, dan bersifat membangun, tetapi mereka cenderung akan
menuju pada satu budaya. Sebuah budaya yang kuat dapat menghasilkan
komitmen terhadap nilai-nilai organisasi. Terkait dengan itu, Collins dan Porras
(1998) menyatakan bahwa budaya yang kuat merupakan sarana yang dapat
memperkuat kinerja organisasi, memberikan dorongan beradaptasi dengan
perubahan dan perubahan lingkungan sehingga mampu meningkatkan peluang
untuk bertahan hidup, dan mempertahankan kinerja kompetitif melalui proses
manajemen.
Sebagian besar proses manajemen strategis berlangsung di dalam sebuah
budaya organisasi tertentu. Eksekutif dalam perusahaan yang sukses secara
emosional berkomitmen terhadap budaya perusahaan. Jika manajemen strategis
dapat mengapitalisasi kekuatan budaya, seperti etika kerja atau keyakinan etis
yang tinggi, maka manajemen sering dapat dengan cepat dan mudah
mengimplementasikan perubahan. Sebaliknya, jika budaya perusahaan tidak
mendukung, perubahan strategis bisa tidak efektif atau malah kontra produktif.
49
Menurut David (2011), budaya organisasi (organizational culture) adalah sebuah
pola perilaku yang dikembangkan oleh sebuah organisasi ketika mencoba
menangani permasalahan adaptasi eksternal dan integrasi internal. Di samping itu,
telah berfungsi dengan cukup baik untuk dianggap valid dan dapat diajarkan ke
anggota baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan, berpikir, dan
merasa. Definisi berikutnya dikemukakan oleh Tolfo and Wazlawick (2008)
bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai (values), keyakinan (belief), dan
regulasi yang dimiliki dan di-share oleh anggota sebuah organisasi. Menurut Lee
and Yu (2004), budaya organisasi adalah atmosfer atau keyakinan khusus yang
diciptakan oleh para anggota sebuah organisasi dan tidak dapat ditiru oleh
organisasi lain. Di pihak lain Jones and George (2007) menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah nilai-nilai bersama, regulasi, prinsip-prinsip perilaku, dan
ekspektasi yang memengaruhi interaksi dan kerja sama antarindividu, grup, dan
tim dalam proses mencapai sasaran organisasi. Menururt Wallach (1983), budaya
organisasi terbagi ke dalam budaya birokratis, inovatif, dan yang bersifat
mendukung (supportive) dalam perusahaan.
Suatu perusahaan yang ingin meningkatkan kinerja dan produktivitasnya
sangat ditentukan oleh nilai-nilai bersama secara luas dan kuat yang mendasari
dan menentukan budaya dalam perusahaan, dalam studi ini dikenal sebagai
budaya wirausaha (intrapreneurship culture). Budaya intrapreneurship dalam
studi ini maksudnya adalah kemampuan perusahaan untuk mengembangkan
lingkungan kerja yang mendorong kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan
(Chandler et al., 2000). Demikian juga yang dinyatakan oleh Khazanchi et al.
50
(2007) bahwa agar menjadi inovatif, perusahaan harus membentuk budaya
organisasi untuk mencapai tujuan berinovasi terus-menerus. Budaya
intrapreneurship merupakan penentu utama dari inovasi dalam perusahaan.
Menurut Xin and Shi (2007), perusahaan yang mampu mengembangkan
lingkungan kerja yang mendukung inovasi adalah yang paling mungkin untuk
mencapai jumlah yang lebih tinggi daripada produk dan proses inovasi.
2.4 Pengertian Teknologi Informasi
Teknologi informasi adalah seperangkat alat untuk membantu dalam
memudahkan pelaksanaan tugas melalui proses informasi (Haag dan Keen,
1996:29). Teknologi informasi tidak hanya terbatas pada teknologi komputer
(seperangkat alat keras dan lunak) yang digunakan untuk memproses dan
menyimpan informasi, tetapi mencakup teknologi informasi untuk mengirimkan
informasi. Teknologi informasi memiliki peranan penting dalam perekayasaan
proses bisnis. Kecepatan, kemampuan pemrosesan informasi, dan konektivitas
komputer serta teknologi internet dapat meningkatkan proses bisnis.
2.4.1 Teori-teori tentang pengadopsian teknologi
Berbagai teori perilaku (behavioral theory) banyak digunakan untuk
mengkaji proses adopsi teknologi informasi oleh pengguna akhir (end users), di
antaranya adalah Theory of Reason Action, Theory of Planned Behaviour, The
Diffusion of Innovation Theory, dan Technology Acceptance Model. Technology
Acceptance Model (TAM) merupakan model penelitian yang paling luas
digunakan untuk meneliti adopsi teknologi informasi. Lee et al. (2003)
51
menjelaskan bahwa dalam kurun waktu delapan belas tahun terakhir TAM
merupakan model yang populer dan banyak digunakan dalam berbagai
penelitian mengenai proses adopsi teknologi informasi. Model atau teori yang
paling mutakhir adalah Unified Theory of Acceptance and Use of Technology
(UTAUT), yang dikemukakan pertama kali oleh Venkantesh (2003).
2.4.2 Theory of reason action (TRA)
Theory of Reason Action (TRA) dikembangkan untuk memahami dan
memprediksi sikap dan perilaku individu. TRA telah berhasil memprediksi dan
menjelaskan perilaku pada berbagai wilayah kajian. Teori tersebut paling sering
digunakan sebagi model teoretis dalam sistem informasi. Kinerja seseorang
mengenai perilaku tertentu ditentukan oleh tujuan untuk menjalankan perilaku.
Selain itu, tujuan juga ditentukan oleh sikap dan norma subjektif.
Beberapa faktor penentu dalam menetapkan perilaku penerimaan
teknologi, antara lain behavioral intention untuk menetapkan perilaku. Apabila
behavioral intention digabungkan dengan attitude dan subjective norm, tampak
seperti dikutip oleh Davis et al. (1989:18), yang ditunjukkan pada Gambar 2.4
berikut.
Gambar 2.4
Theory of Reason Action
Sumber: Davis et al. (1989)
Beliefs and
Evaluation
Normative
Beliefs and
Motivation in
Attitude
Toward
Behavior
Subjektive
Norm
Behavioural
Intention
Actual
Behavior
52
2.4.3 Theory of planned behavior (TPB)
TPB merupakan perluasan dari TRA, yaitu dengan penambahan variabel
perceived behavioral control selain perilaku dan norma subjektif. Tujuannya
untuk menerangkan situasi ketika individu tidak memiliki pengendalian terhadap
perilaku yang diinginkannya (Ajzen, 1991). Penelitian mengenai adopsi teknologi
sudah menggunakan TRA dan TPB sebagai model teoretisnya, tetapi TRA lebih
umum digunakan. Chau dan Hu (2001:53) menggabungkan TPB dengan TAM.
Variabel pengendaliannya diukur dengan tiga indikator, yaitu kemampuan,
pengetahuan, dan sumber daya yang dimiliki, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.5 berikut.
Gambar 2.5
Theory of Planned Behavior
Sumber: Chau dan Hu (2001)
Behavioral Beliefs
and Evaluations
Control Beliefs and
Perceived
Facilitation
Attitude
Toward
Perceived
Behavioral
Control
Behavioral
Intention
Actual
Behavior
Normative Beliefs
and Motivation in to
Comply
Behavior
53
2.4.4 The diffusion of innovation theory (IDT)
Menurut Rogers (1995), IDT adalah proses suatu inovasi
dikomunikasikan dari waktu ke waktu melalui saluran tertentu antaranggota
sistem sosial. Terdapat lima faktor yang memengaruhi suatu adopsi inovasi.
Kelima faktor tersebut adalah relative advantage, compatibility, complexity (ease
of use), trialability, dan observability, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6
berikut.
Gambar 2.6
The Diffusion of Innovation Theory
Sumber: Rogers (1995)
2.4.5 Technology acceptance model (TAM)
TAM yang diperkenalkan pertama kali oleh Fred D. Davis pada tahun
1986 merupakan adaptasi dari TRA yang dibuat khusus untuk pemodelan
penerimaan pengguna terhadap sistem informasi. Tujuan utama TAM adalah
untuk memberikan dasar penelusuran pengaruh faktor eksternal terhadap
kepercayaan, sikap, dan tujuan pengguna. TAM menganggap bahwa dua
Compatibility
Observability
Attitude Intention to Use Ease of Use
Relative
Advantage
Triability
54
keyakinan individual, yaitu persepsi manfaat (perceived usefulness) dan persepsi
kemudahan penggunaan (perceived easy of use) adalah pengaruh utama untuk
perilaku penerimaan komputer. TAM mendeskripsikan dua faktor yang secara
dominan memengaruhi integrasi teknologi. Pertama, persepsi pengguna terhadap
manfaat teknologi. Kedua, persepsi pengguna terhadap kemudahan penggunaan
teknologi. Kedua faktor tersebut memengaruhi kemauan untuk memanfaatkan
teknologi. Selanjutnya kemauan untuk memanfaatkan teknologi akan
memengaruhi penggunaan teknologi yang sesungguhnya. Pada umumnya
pengguna teknologi akan memiliki persepsi positif terhadap teknologi yang
disediakan. Persepsi negatif akan muncul sebagai dampak dari penggunaan
teknologi tersebut. Artinya, persepsi negatif berkembang setelah pengguna
mencoba teknologi tersebut atau pengguna berpengalaman buruk terhadap
penggunaan teknologi tersebut. Dengan demikian, model TAM dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan upaya yang diperlukan untuk
mendorong kemauan menggunakan teknologi, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.7 berikut.
Gambar 2.7
External
Variables
Perceived
Usefulness
Perceived
Ease of Use
Attitude of
Use
Behaviour
Intention
of Use
System
Actual
Use
55
Technology Acceptance Model
Sumber: Davis (1986)
2.4.6 Unified theory of acceptance and use of technology (UTAUT)
Menurut Venkatesh et al. (2003:12), UTAUT merupakan model yang
disusun berdasarkan teori dasar mengenai perilaku pengguna teknologi dan model
penerimaan teknologi, yaitu TRA, TAM, TPB. Model ini terdiri atas empat
variabel sebagai determinan terhadap tujuan dan penggunaan teknologi informasi,
yaitu ekspektasi kinerja, ekspektasi usaha, pengaruh sosial, dan kondisi
pendukung. Di samping itu, terdapat empat variabel sebagai moderator antara
determinan dengan tujuan dan penggunaan teknologi informasi. Keempat variabel
yang dimaksud adalah jenis kelamin, usia, pengalaman, dan kesukarelaan, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.8 berikut.
Gambar 2.8
Unified Theory of Acceptance and Use of Technology
Sumber: Venkatesh et al. (2003)
Performance
expectancy
Facilitating
condition
s
Attitude Intention to
Use
Effort
expectancy
Social
influence
Gender Age Experiences Voluntariness of use
56
2.4.7 Kajian empiris sumber daya teknologi informasi (TI)
Menurut Roberts (1996), teknologi informasi mengacu pada semua
perangkat keras dan perangkat lunak yang mendapatkan, menerapkan,
menyajikan, menyimpan, dan mengomunikasikan informasi. Menurut Porter and
Miller (1985), teknologi informasi harus meliputi informasi yang diciptakan dan
digunakan oleh perusahaan dan teknologi untuk memproses informasi. Di
samping komputer, teknologi informasi meliputi teknik-teknik komunikasi, alat
identifikasi informasi, teknologi pabrik terotomasi, dan layanan yang terkait
dengan perangkat lunak dan perangkat keras. Di pihak lain Lee (2004)
mendefinisikan keterlibatan teknologi informasi (information technology
involvement) sebagai sumber daya dan usaha yang diinvestasikan oleh organisasi
dengan tujuan untuk meraih fungsi manajemen dari teknologi informasi.
Penelitian Sakaguchi and Dibrell (2008) menyatakan bahwa keterlibatan
teknologi informasi dapat diukur dengan investasi dan pelatihan teknologi
informasi. Investasi teknologi informasi diukur dengan ukuran kuantitatif berupa
anggaran perangkat lunak dan perangkat keras, sedangkan pelatihan teknologi
informasi mengacu pada pelatihan personel untuk menggunakan teknologi
informasi.
Sumber daya teknologi informasi (TI) meliputi segala alat dan metode
yang terintegrasi untuk menjaring atau menangkap data (capture), menyimpan
(saving), mengolah (process), mengirim (distribute), atau menyajikan (display)
kebutuhan informasi secara elektronik ke dalam berbagai format, yang bermanfaat
57
bagi pemakai informasi (user). Penelitian Chung et al. (2010a) mengkaji literatur
yang relevan dan mengelompokkan keterlibatan sumber daya TI ke dalam empat
dimensi, yaitu (1) persepsi pegawai, (2) investasi pada perangkat keras dan
perangkat lunak, (3) pelatihan personel, dan (4) tingkat aplikasi teknologi
informasi. Menurut Miller and Doyle (2007), keterlibatan teknologi informasi
harus didasarkan pada tiga aspek, yaitu (1) kesadaran akan pentingnya teknologi
informasi di perusahaan; (2) investasi tertentu dalam perangkat lunak, perangkat
keras, dan personel untuk meraih manfaat; serta (3) pelatihan personel sesuai
dengan kebutuhan personel, pengembangan, dan para pengguna.
Perkembangan teknologi informasi telah mengakibatkan perubahan dalam
struktur industri serta praktik pengelolaan organisasi bisnis di dalam berkompetisi
dan melaksanakan kegiatan untuk melayani pelanggan. Industrialisasi membawa
teknologi baru dalam kegiatan manufaktur. Industrialisasi bersama teknologi yang
ada menyebabkan terjadi perubahan yang sangat mendasar pada aspek sosial dan
ekonomi, penciptaan kemakmuran masyarakat, menganut paham efisiensi melalui
operasi skala besar (mass production) yang dilaksanakan melalui proses industri.
Sehubungan dengan itu, inovasi telah menjadi keharusan strategis bagi perusahaan
yang ingin bersaing dengan sukses di sektor mereka (Tarafdar dan Gordon, 2007).
Sumber daya TI memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan
organisasi lain, seperti meningkatkan keuntungan bagi perusahaan,
mengembangkan produk baru, dan meningkatkan kompetensi fungsional (Pavlou
dan El Sawy, 2006). Di samping itu, sumber daya TI memainkan peran kunci
dalam membentuk kemampuan integrasi rantai pasokan (Rai et al., 2006).
58
Dalam beberapa tahun terakhir, sumber daya TI telah dibahas sebagai
motor penggerak dalam inovasi perusahaan, baik dari segi produk maupun inovasi
proses (Tarafdar dan Gordon, 2007). Di pihak lain Pine et al. (1995 : 103)
menyatakan bahwa pelanggan tidak menginginkan lebih banyak pilihan, tetapi
secara eksak menginginkan apa yang diinginkan, kapan, di mana, dan bagaimana
mereka menginginkannya. Terkait dengan itu, teknologi membuat perusahaan
dapat memberikannya kepada pelanggan.
2.5 Pengertian Kinerja
Pengertian kinerja dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak (2005) bahwa
kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja
perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan
perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan
untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja tiap-tiap
individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut.
Dessler (2009) berpendapat bahwa kinerja karyawan adalah prestasi aktual
karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi
kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan
sehingga dapat dilihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan
dengan standar yang dibuat. Selain itu, juga dapat dilihat kinerja karyawan
tersebut terhadap karyawan lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dan prestasi kerja dapat
disimpulkan bahwa pengertian kinerja dan prestasi kerja mengandung substansi
pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Dengan demikian, baik kinerja maupun
59
prestasi kerja, merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja
lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate
performance) mempunyai hubungan yang erat. Dengan demikian, bila kinerja
karyawan (individual performance) baik, maka kemungkinan besar kinerja
perusahaan (corporate performance) juga baik.
2.5.1 Syarat penilaian kinerja
Terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan untuk melakukan
penilaian kinerja yang efektif, yaitu (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur
secara objektif dan (2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Gomes, 2003).
Di pihak lain dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Sondang Siagian
(2002) menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan sebagai
umpan balik tentang berbagai hal, seperti kemampuan, keletihan, kekurangan, dan
potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur,
rencana, dan pengembangan kariernya. Sebaliknya, bagi organisasi, hasil
penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan
tentang berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan
pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem
balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber daya
manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, maka penilaian yang baik harus
dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara
rasional, diterapkan secara objektif, dan didokumentasikan secara sistematik.
Dengan demikian, dalam melakukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai
60
harus terdapat interaksi positif antara para pejabat pimpinan dan bagian
kepegawaian.
2.5.2 Metode penilaian kinerja
Terdapat beberapa metode dalam mengukur prestasi kerja, sebagaimana
diungkapkan oleh Gomes (2003:137--145), yaitu seperti berikut.
1. Metode tradisional. Metode ini merupakan metode tertua dan paling
sederhana untuk menilai prestasi kerja dan diterapkan, baik secara
sistematis maupun tidak sistematis. Yang termasuk ke dalam metode
tradisional adalah rating scale, employee comparation, check list, free
form essay, dan critical incident.
a. Rating scale. Metode ini merupakan metode penilaian yang paling
tua dan banyak digunakan, yaitu penilaian yang dilakukan oleh
atasan atau supervisor untuk mengukur karakteristik, misalnya
mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan, dan kontribusinya
terhadap tujuan kerjanya.
b. Employee comparation. Metode ini merupakan metode penilaian
yang dilakukan dengan cara membandingkan antara seorang
pegawai dan pegawai lainnya. Metode ini terdiri atas (1)
alternation ranking, yaitu metode penilaian dengan cara
mengurutkan peringkat (ranking) pegawai dimulai dari yang
terendah sampai yang tertinggi berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya; (2) paired comparation, yaitu metode penilaian
dengan cara seorang pegawai dibandingkan dengan seluruh
61
pegawai lainnya sehingga terdapat berbagai alternatif keputusan
yang akan diambil dan metode ini dapat digunakan untuk jumlah
pegawai yang relatif sedikit; (3) porced comparation (grading),
metode ini sama dengan paired comparation, tetapi digunakan
untuk jumlah pegawai yang relatif banyak.
c. Check list. Metode ini hanya memberikan masukan/informasi bagi
penilaian yang dilakukan oleh bagian personalia.
d. Freeform essay. Dengan metode ini seorang penilai diharuskan
membuat karangan yang berkenaan dengan orang/karyawan/
pegawai yang sedang dinilainya.
e. Critical incident. Dengan metode ini penilai harus mencatat semua
kejadian mengenai tingkah laku bawahannya sehari-hari yang
kemudian dimasukkan ke buku catatan khusus yang terdiri atas
berbagai macam kategori tingkah laku bawahannya, misalnya
mengenai inisiatif, kerja sama, dan keselamatan.
2. Metode modern. Metode ini merupakan perkembangan dari metode
tradisional dalam menilai prestasi kerja. Yang termasuk ke dalam metode
modern ini adalah assesment centre, management by objective
(MBO=MBS), dan human asset accounting.
a. Assessment centre. Metode ini biasanya dilakukan dengan
pembentukan tim penilai khusus. Tim penilai khusus ini bisa
berasal, baik dari luar, dari dalam, maupun kombinasi dari luar dan
dari dalam.
62
b. Management by objective (MBO = MBS). Dalam metode ini
pegawai langsung diikutsertakan dalam perumusan dan pemutusan
persoalan dengan memperhatikan kemampuan bawahan dalam
menentukan sasarannya masing-masing yang ditekankan pada
pencapaian sasaran perusahaan.
c. Human asset accounting. Dalam metode ini faktor pekerja dinilai
sebagai individu modal jangka panjang sehingga sumber tenaga
kerja dinilai dengan cara membandingkan terhadap variabel-
variabel yang dapat memengaruhi keberhasilan perusahaan.
2.5.3 Kajian empiris kinerja bisnis
Kinerja bisnis terkait erat dengan kinerja individu. Kinerja individu
(karyawan) adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang
diharapkan dari karyawan. Sehubungan dengan itu, baik kinerja maupun prestasi
kerja, merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok
orang. Dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara kinerja perorangan
(individual performance) dan kinerja lembaga (institutional performance) atau
kinerja perusahaan (corporate performance). Di samping itu, terdapat minimal
dua syarat utama yang diperlukan untuk melakukan penilaian kinerja yang efektif,
yaitu (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif dan (2) adanya
objektivitas dalam proses evaluasi (Dessler, 2009). Menurut Baker and Sinkula
(1999), pengaruh aktivitas inovatif terhadap kinerja korporasi diukur dengan
pendapatan dari penjualan (sales revenue), pangsa pasar, dan tingkat laba.
Sementara Slater and Narver (2000) mengevaluasi kinerja perusahaan dengan
63
pengembalian atas investasi (return on investment, ROI). Pada penelitian Su et al.
(2003) kinerja bisnis diukur dengan laba dan kepuasan pelanggan perusahaan,
sedangkan penelitian Pelham (2000) mengukur kinerja perusahaan melalui
efisiensi perusahaan, pertumbuhan pangsa pasar, dan kemampuan mencetak laba.
Berdasarkan konsep Chung et al. (2012), diketahui bahwa kinerja bisnis dapat
diukur dari tingkat keuntungan, pertumbuhan penjualan, kualitas pelayanan
produk, tingkat pemeliharaan konsumen, keberhasilan produk baru di pasar, dan
pengembalian investasi. Menurut Kirca et al. (2005), pengukuran kinerja dapat
dilakukan dengan mengukur kinerja bisnis secara keseluruhan, seperti tingkat
laba (profit rate), penjualan, dan pangsa pasar (market share).
Pengukuran kinerja pemasaran diakui sebagai suatu proses bisnis yang
memberikan umpan balik kinerja kepada organisasi sehubungan dengan hasil dari
usaha pemasaran (Clark et al., 2006). Tanpa adanya skema dan matriks pemasaran
yang jelas, akan menimbulkan keraguan mengenai kontribusi aktivitas pemasaran
terhadap perusahaan. Melalui matriks pemasaran dapat ditunjukkan hubungan
antara kinerja pemasaran dan kinerja perusahaan. Matriks pemasaran diartikan
sebagai indikator kinerja yang digunakan manajemen melacak dan menilai
kemajuan, khususnya kinerja pemasaran (Gaskill dan Winzar, 2013). Kemampuan
mengukur kinerja pemasaran berdampak positif terhadap kinerja perusahaan
(O’Sullivan et al., 2009). Sehubungan dengan itu, perusahaan harus menyadari
pentingnya pengukuran yang akurat dari kinerja pemasaran untuk pemahaman
tentang konsekuensi dari setiap keputusan pemasaran. Pengukuran kinerja
pemasaran dianggap sebagai proses yang teratur. Sumber dari proses ini
64
berorientasi pada pelanggan dan pesaing perusahaan. Dalam bisnis, perusahaan
memfokuskan kegiatan pada pelanggan dan pesaing.
Pengukuran kinerja pemasaran dapat dilakukan dengan matriks
pemasaran, yang terdiri atas pengukuran finansial, perilaku konsumen, dan
inovasi (Nwokah, 2009). Pengukuran finansial menyangkut keuangan,
pengukuran perilaku konsumen meliputi penetrasi konsumen dan loyalitas
pelanggan, sedangkan pengukuran inovasi meliputi produk dan pendapatan
(Eusebio et al., 2006). Di samping itu, kinerja pemasaran juga diukur berdasarkan
matriks arus pelanggan dan karakteristik struktural (Trestyak dan Sloev, 2013).
Matriks ini menunjukkan hubungan berbagai kegiatan pemasaran dan pelanggan
untuk menilai hasil kegiatan pemasaran serta menekankan perbedaan antara
mengelola pelanggan potensial dan pelanggan setia. Dalam kaitan ini, dinamika
pelanggan merupakan strategi akuisisi dan retensi pelanggan. Artinya, semakin
tinggi akuisisi dan retensi pelanggan, semakin tinggi produktivitas aksi pemasaran
dan berdampak positif pada pendapatan finansial. Jadi, analisis akuisisi dan
retensi pelanggan menyediakan indikator untuk penilaian efisiensi pemasaran
perusahaan.
Kinerja pemasaran juga diukur dengan matriks pemasaran finansial dan
nonfinansial (Gaskill dan Winzar, 2013). Matriks pemasaran finansial
menyangkut return on marketing investment (ROMI), budget, dan marketing
expenditure of revenue. Di samping itu, matriks finansial dapat digunakan untuk
mengukur kontribusi pemasaran terhadap hasil kinerja organisasi. ROMI
digunakan sebagai proksi berkaitan dengan kegiatan pemasaran dan hasil
65
keuangan serta hubungan antara kegiatan pemasaran dan hasilnya. Selain
penggunaan ROMI, matriks pendapatan per pelanggan juga digunakan untuk
menunjukkan hubungan secara finansial antara kegiatannya dan hasil organisasi.
Sebaliknya, matriks pemasaran nonfinansial menyangkut merek, pangsa pasar,
dan jumlah pelanggan baru. Matriks ini merefleksikan kinerja pemasaran yang
terpusat pada pelanggan, seperti kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, dan
kualitas produk yang dirasakan. Selain itu, matriks nonfinansial juga ditujukan
untuk melengkapi kelemahan matriks yang terkait dengan ukuran ROMI yang
mengasosiasikan hasil bisnis dengan kegiatan pemasaran.
Matriks pemasaran ini memberikan manfaat bagi fungsi pemasaran dan
kinerja bisnis sebagai konsekuensi dari akuntabilitas pemasaran (Gaskill dan
Winzar, 2013). Pengukuran kinerja pemasaran tidak hanya terbatas pada masalah
finansial, tetapi juga berbasis pada matriks nonfinansial yang menyangkut
pelanggan dan pesaing. Penggunaan matriks nonfinansial diidentifikasi sebagai
pangsa pasar, kualitas produk, loyalitas pelanggan, profitabilitas pelanggan, dan
nilai pelanggan seumur hidup. Upaya mengembangkan seperangkat matriks
pemasaran memungkinkan pemasaran menunjukkan akuntabilitas dan
mendapatkan pengaruh tambahan dalam organisasi. Dengan demikian, melalui
peningkatan pengaruh dalam organisasi fungsi pemasaran dapat diperoleh manfaat
dari sumber daya untuk pemasaran baru.