BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penatalaksanaan KSSKL masih menjadi topik penelitian sampai saat ini. Dalam dua
dekade terakhir banyak terjadi perkembangan di dalam pengetahuan dan pemahaman kita
mengenai KSSKL, yang meliputi epidemiologi, screening, diagnosis, penentuan stadium,
serta jenis modalitas terapi yang ada. Dengan ditemukannya peran HPV, EBV serta
beberapa petanda biomolekuler seperti p53, EGFR, p16, dan lainnya, menyebabkan
individual tailored therapy pada KSSKL terus menjadi topik penelitian. Berdasarkan
etiologi dari KSSKL maka dibagi 2 bagian yaitu KSSKL anterior (oral cancer), etiologi
yang berpengaruh adalah merokok, alkohol, oral hygiene yang buruk, unfix dentures, nyirih
pinang, dan KSSKL posterior (orofaring, nasofaring, laring), etiologi yang berpengaruh
adalah infeksi virus HPV dan EBV.
2.1 Epidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher bagian Anterior dan
Posterior
2.1.1. Epidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut
Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh
keganasan yang terjadi. Meskipun angka kejadian kanker rongga mulut dinegara
berkembang diperkirakan kurang dari 5 %, tetapi di beberapa daerah di India dan Asia
tenggara, kejadian kanker rongga mulut merupakan keganasan yang paling sering dijumpai
(lebih dari 50% dari seluruh keganasan yang dijumpai. Kejadian kanker rongga mulut
merupakan 2 % dari seluruh kanker yang terjadi di Negara- Negara barat. Di Amerika
diperkirakan ditemukan 29.800 kasus baru kanker rongga mulut setiap tahunnya dan
diperkirakan kanker rongga mulut menyebabkan kematian sebanyak 8100 orang setiap
tahunnya. Kanker rongga mulut merupakan 3% dari seluruh kanker yang ditemukan pada
pria di Amerika. Sedangkan kejadian kanker rongga mulut pada wanita sebanyak 2 % dari
seluruh kanker yang terjadi pada wanita. Lebih dari 90% kanker rongga mulut terjadi pada
usia diatas 45 tahun dan terus meningkat sampai dengan usia 65 tahun. Selama 20 tahun
terakhir terdapat sedikit penurunan dari angka kejadian kanker rongga mulut di Amerika.
(Jemal, et al., 2011)
Sedangkan angka kejadian kanker rongga mulut di Australia meliputi 1% dari
seluruh kanker yang terjadi dinegara tersebut dan bertanggung jawab terhadap 1% kematian
yang disebabkan oleh kanker baik kanker yang terjadi pada pria maupun yang terjadi pada
wanita (Sugerman, et al., 1999). Diperkirakan ditemukan 760 kasus baru kanker rongga
mulut yang ditemukan di Australia setiap tahunnya dimana laki-laki lebih banyak daripada
perempuan dengan perbandingan 3:2. Sebanyak 95% dari kanker rongga mulut
menunjukkan gambaran histopatologi sebagai skuamus sel carcinoma (oral squamous cell
carcinoma atau OSSC). Berdasarkan lokasi yang terkena kanker rongga mulut di Australia
adalah lidah, bibir, pipi, dan hipofaring.
Di Indonesia, pada tahun 1991, KSSKL menempati urutan ke 9 (3, 03%) dari 10
karsinoma terbanyak pada perempuan dan urutan ke 2 (11, 27%) dari 10 karsinoma
terbanyak pada laki-laki. Data dari Register Kanker Jakarta pada tahu 2005-2007
menunjukkan bahwa kanker rongga mulut dan karsinoma nasofaring menempati posisi ke 8
(1, 72 per 100.000) dari 10 karsinoma pada perempuan dan posisi ke 4 (3,65 per 100.000)
dari 10 karsinoma pada laki-laki (Wahidin, et al., 2012). Tahun 1998 menempati urutan ke
2 karsinoma yang paling sering ditemukan di Bali setelah kanker serviks.
Berdasarkan studi epidemiologi didapatkan hubungan yang sangat erat antara
kejadian kanker rongga mulut dengan paparan terhadap karsinogen yang terdapat pada
tembakau, alkohol, dan buah pinang. Konsumsi alkohol dan merokok merupakan faktor
risiko kuat terjadinya kanker rongga mulut. Selain itu kebiasaan mengunyah tembakau,
kapur sirih, dan pinang di beberapa daerah seperti Asia Tenggara (termasuk Indonesia)
sudah terbukti merupakan faktor risiko kuat terjadinya kanker rongga mulut. Faktor
lainnya: kesehatan gigi dan mulut, usia, status sosial ekonomi, indeks massa tubuh, pola
makan. Kebiasaan mengkonsumsi sayur, buah, menghentikan kebiasaan merokok dan
alkohol berperan penting sebagai protektif terhadap kanker sel skuamosa rongga mulut
(Ragin, et al., 2007).
Gambar 2.1 Insiden Oral Cancer berdasarkan usia dan daerah di dunia (Jemal, et al., 2011)
2.1.2 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring
Diseluruh dunia diperkirakan karsinoma nasofaring merupakan 0,7% dari seluruh
keganasan yag terjadi. Secara histopatologis paling banyak ditemukan tipe undifferentiated
carcinoma. Jumlah kasus karsinoma nasofaring pada tahun 2008 sekitar 84.400, dan jumlah
kematian sekitar 51.600 kasus (Jemal, et al., 2011), karsinoma nasofaring lebih sering
dijumpai pada pria dibanding wanita dengan perbandingan 3:1. Sekitar 92% kasus baru
dinyatakan muncul pada negara-negara berkembang, tertinggi didaerah Southern Chinesse
dan South-Eastern Asia, angka paling tinggi di negara Malaysia, Indonesia, Singapura
(Ferlay, et al., 2008).
Gambar 2.2 Insiden Nasopharyngeal carcinoma berdasarkan usia dan daerah di dunia
(Jemal, et al., 2011)
2.1.3 Epidemiologi Karsinoma Orofaring
Sekitar 7000 kasus baru oropharyngeal scc terdiagnosa setiap tahunnya di Amerika
Serikat, meskipun kasus KSSKL menurun tetapi kasus kanker oropharing semakin
meningkat, kemudian insiden HPV related oropharyngeal scc meningkat secara drastis
ditunjukan oleh beberapa analisis epidemiologi sejak 1973, beberapa studi epidemiologi
selama 50 tahun terakhir menyatakan terjadi peningkatan HPV related OSCC pada laki-laki
(Chenevert dan Chiosea., 2011). Perubahan pola perilaku seksual merupakan penjelasan
yang diakui sebagai penyebab meningkatnya HPV related oropharyngeal scc (Mirghani, et
al., 2014).
2.2 Anatomi Kepala Leher
Organ rongga mulut terdiri dari bibir, dasar mulut, lidah 2/3 anterior, mukosa bukal,
ginggiva atas dan bawah, palatum durum dan trigonum retromolar. Sedangkan faring
memiliki 3 bagian yaitu: nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring sendiri memiliki
batas-batas yaitu: batas atas dasar tengkorak, batas bawah palatum molle, batas depan
rongga hidung, batas belakang vertebra servikal. Orofaring memiliki batas-batas: atas
palatum molle, bawah tepi atas epiglotis, depan rongga mulut, belakang vertebra servikal,
organ-organ yang termasuk pada orofaring adalah lidah 1/3 posterior, tonsila palatina, fossa
supratonsilaris, tonsila lingualis (Netter, 2010) (gambar 2.4). Pembagian anatomi kepala
leher bagian anterior dan posterior dibagi berdasarkan garis ohngren, yaitu garis imajiner
yang melalui chantus medial menuju ke angulus mandibula (gambar 2.3), KSSKL anterior
dan KSSKL posterior dibatasi oleh papila sirkumvalata.
Gambar 2.3 Ohngren’s line (Norton, et al., 2010)
Gambar 2.4 Anatomi kepala leher potongan sagital dan lidah. (Netter, 2010)
2.3. Pathogenesis dan Biologi Molekuler Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher
Karsinoma sel skuamosa berasal dari perubahan abnormal dari mukosa seperti
leukoplakia, eritroplakia atau “speckled leukoplakia”. Leukoplakia merupakan manifestasi
histologi yang ditunjukkan dengan penebalan dari mukosa. Jika penebalan mukosa dengan
disertai inti sel disebut hiperorthokeratosis. Sedangkan penebalan pada stratum spinosum
disebut akantosis dan penebalan pada stratum basale disebut basiler hyperplasia. Lesi yang
terjadi biasanya merupakan kombinasi dari beberapa kelainan seperti hiperorthokeratosis
dengan akantosis.
Tahap berikutnya setelah perubahan hyperplasia dalam pathogenesis kanker kepala
leher adalah terjadi perubahan dalam bentuk dysplasia. Perubahan dysplasia secara
histologi ditunjukkan oleh perubahan atipikal pada sel yang berhubungan dengan hambatan
terhadap maturasi dan diferensiasi dari sel epitel. Perubahan ini tidak dapat kembali
kebentuk yang normal meskipun faktor yang menyebabkan telah dihilangkan. Perubahan
dysplasia ini berhubungan dengan lesi prekanker (irreversible precancerous lession). Studi
biomolekuler selanjutnya menemukan fakta bahwa tidak terdapat perbedaan antara lesi
dysplasia dengan kanker kepala leher dalam hal perubahan genetik. Hipotesa yang dianut
adalah adanya perubahan pada sel keratinosit dimana diperlukan akumulasi perubahan
genetik untuk terjadinya perubahan kearah maligna.
Pada tahap lanjut adalah terbentuknya suatu karsinoma in situ, dimana terdapat
perubahan maligna/anaplasia pada permukaan dari sel epitel. Pada lesi karsinoma in situ,
kelainan terbatas pada lapisan epitel, tidak terdapat penyebaran sel ganas keluar lapisan
permukaan epitel. Kelainan ini bisa tetap tanpa mengalami perubahan untuk beberapa
waktu sampai beberapa tahun sebelum mengalami perkembangan bentuk” invasive
carcinoma” (gambar 2.5). Bentuk selanjutnya adalah epidermoid karsinoma yang dapat
mengalami metastase ke kelenjar getah bening servikal maupun mestatase jauh. Disamping
hal tersebut diatas, terdapat sejumlah perubahan genetik dan mekanisme yang berhubungan
dengan kanker kepala leher. Terjadinya perubahan lokus atau gen bisa saja terjadi secara
acak tetapi secara umum hal tersebut terjadi karena pemaparan terhadap tembakau, alkohol,
dan infeksi HPV, EBV. Perubahan genetika seperti copy number variation (CNV), gains
atau losses of heterozygosity (LOH) dapat menyebabkan in aktivasi gen supresi tumor dan
aktivasi onkogen yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali serta
metastasis (Califano, et al., 1996 ; Perez-Ordonez, et al., 2006).
Gambar 2.5 Model progresi genetik (Califano, et al., 1996)
LOH 17p dan point mutations p53 ditemukan pada kurang lebih 50 % kasus kanker
sel skuamosa kepala leher. Sebagian besar dari mutasi ini terjadi pada fase akhir progresi
dysplasia epitel menjadi karsinoma yang invasive (Argiris, et al., 2008). Amplifikasi 11q13
dan overekspresi cyclin D1 ditemukan pada 30-60% kanker kepala leher dan dihubungkan
dengan metastase kelenjar getah bening dan prognosis yang buruk. Cyclin D1 akan
menginduksi fosforilasi Rb yang menyebabkan progresi dari fase G1 ke S siklus sel.
Amplifikasi Cyclin D1 dan inaktifasi p16 akan menyebabkan peningkatan fosforilasi Rb
dan progresi siklus sel dari fase G1 ke S. Amplifikasi dan overekspresi cyclin D1
ditemukan pada kurang lebih 40% kasus dysplasia skuamosa (Perez-Ordonez et al., 2006).
Perubahan genetik molekular yang mendasari sifat dan progesi kanker kepala leher
masih belum sepenuhnya dimengerti. Perubahan biomolekuler pada kanker kepala leher
terutama akibat aktivasi onkogenik dan inaktivasi gen supresi tumor, yang menyebabkan
perubahan pola proliferasi sel. Dalam dua dekade terakhir suatu model karsinogenis dengan
perubahan molekuler yang mendasari telah berhasil disusun meliputi amplikasi gen dan
overekspresi onkogen (ras, myc, EGFR, cyclin D1) serta mutasi dan delesi yang
menyebabkan inaktivasi gen suppresi tumor p16 dan p53 (gambar 2.6). Petanda molekular
tersebut pada akhirnya memberikan sejumlah manfaat, deteksi dini lesi premalignant,
indikator prognostik, dan sebagai sasaran therapi pada kanker kepala leher (Argiris et al.,
2008).
Gambar 2.6 Gambaran perubahan fenotip dan perubahan molekuler pada karsinoma sel
skuamosa kepala leher. (Argiris, et al., 2008)
2.4. Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher bagian Anterior
Yang termasuk KSSKL bagian anterior adalah oral squamous cell carcinoma.
Kanker rongga mulut adalah kanker yang berasal dari epitel dari mukosa atau epitel duktus
kelenjar liur pada dinding rongga mulut dan organ dalam mulut. Kanker rongga mulut
dapat mengenai organ intra oral seperti: bibir, dasar mulut, lidah 2/3 anterior, mukosa
bukal, ginggiva atas dan bawah, palatum durum dan trigonum retromolar
2.4.1. Etiologi Kanker Rongga Mulut
Beberapa kondisi yang terjadi pada kanker mulut berhubungan dengan iritasi kronis
terhadap beberapa karsinogen namun penyebab pasti belum diketahui secara jelas.
Beberapa hal yang berhubungan dengan kejadian kanker rongga mulut seperti radiasi
ionisasi pada dosis therapi pada rongga mulut, pemaparan kronis terhadap radiasi aktinik,
diantaranya pemaparan kronis terhadap sinar matahari. Pemaparan yang lama terhadap
sinar ultraviolet dan sinar matahari selama 15-30 tahun akan menyebabkan perubahan
athopik yang berhubungan dengan kanker, penggunaan tembakau baik dengan cara dihisap
maupun dihirup yang lama akan mendasari perubahan yang terjadi pada mukosa rongga
mulut, baik perubahan yang bersifat benigna, lesi prakanker maupun kanker yang terjadi
pada pangkal lidah maupun mukosa bukal, konsumsi alkohol yang lama, infeksi oleh agent
spesifik seperti sifilis, infeksi oleh candida Albican (Rothenberg dan Ellisen., 2012).
2.5. Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher bagian Posterior
Yang termasuk KSSKL bagian posterior adalah kanker orofaring, nasofaring
maupun laring, disini akan dibahas mengenai kanker orofaring dan nasofaring.
2.5.1. Kanker Orofaring
Organ yang termasuk dalam orofaring adalah lidah 1/3 posterior, tonsila palatina,
fossa supratonsilaris, tonsila lingualis.
2.5.1.1. Infeksi Human Papilloma Virus
Sejak ditemukannya HPV-16 pada tahun 1970an, peran penting infeksi HPV pada
malignansi manusia semakin diakui. HPV merupakan virus DNA double-stranded, bersifat
epiteliotropik dan merupakan penyebab utama terjadinya karsinoma serviks. HPV memiliki
dua buah onkogen, yaitu E6 dan E7, dimana ekspresi onkogen-onkogen tersebut akan
menyebabkan inaktivasi p53 dan retinoblastoma (Rb) dan p16 upregulation (Marur, et al.,
2010), yang pada akhirnya menyebabkan gangguan siklus sel yang terinfeksi (gambar 2.7).
Gambar 2.7 Perubahan Siklus Sel Akibat Infeksi HPV (Leemans et al 2011)
Peran infeksi HPV pada KSSKL telah diteliti sejak tahun 1980an. Ditemukan onkogen
HPV tipe 16, 18, 31, 33, dan 35 yang berkaitan dengan KSSKL, tetapi HPV16 paling
banyak berkaitan dengan terjadinya KSSKL (90%) (Benson, et al., 2014) dimana virus ini
umumnya didapatkan pada karsinoma orofaring dan dikaitkan dengan prognosis yang baik.
Tabel 2.1 Karakteristik Klinis dan Biologis Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher HPV
(+) dan HPV (-) (Leemans, et al., 2011; Benson, et al., 2014 )
Parameter KSSKL HPV (-) KSSKL HPV (+)
Insiden Menurun Meningkat
Etiologi Merokok, alkoholisme Seks oral
Usia >60 tahun <60 tahun
EGFR Tinggi Rendah
Letak Predileksi Tidak ada Orofaring
Prognosis Buruk Baik
2.5.2 Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah squamous cell carcinoma yang berkembang di sekitar
ostium tuba eustachii di dinding lateral nasofaring, keluhan yang tidak spesifik dan letak
tumor yang tersembunyi menyebabkan banyak pasien-pasien dengan karsinoma nasofaring
datang berobat dengan stadium lanjut (Lee, et al., 2012)
2.5.2.1 Etiologi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah penyakit yang kompleks karena disebabkan oleh
interaksi dari berbagai macam faktor seperti infeksi EBV, lingkungan, dan faktor genetik.
Insiden yang tinggi terdapat di daerah Cina Utara memberikan indikasi yang kuat bahwa
faktor genetik dan lingkungan memberikan peranan yang besar pada tumorigenesis pada
karsinoma nasofaring. (Zeng, et al., 2006).
Risiko tinggi pada populasi Cantonese dan orang dengan riwayat familial NPC
memberi kesan bahwa kelemahan genetik mempunyai peran dalam etiologi karsinoma
nasofaring, karakteristik yang penting pada familial cancer adalah early onset pada
karsinoma nasofaring, di Taiwan dari tahun 1988-2001 dari 1931 kasus NPC didapatkan
34(1,8%) pasien dengan usia dibawah 20 tahun, dan diduga kuat berhubungan dengan
kelemahan genetik (Fang, et al., 2007). Beberapa studi menyatakan bahwa genetic
polymophisms pada gen yang memetabolisme karsinogen berhubungan dengan terjadinya
nasofaring karsinoma, mutasi gen cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) mengaktifkan
nitrosamines dan karsinogen lain yang terkait (Spano, et al., 2003)
Beberapa penelitian tentang makanan yang diasinkan, penyedap makanan yang
banyak mengandung nitrosodimethyamine dan N-nitrospiperidine, merokok, dan pekerjaan
yang terekspose formaldehide dan asap sangat berisiko terkena karsinoma nasofaring
(Spano, et al., 2003)
2.5.2.2. Infeksi EBV pada Karsinoma Nasofaring
EBV mempunyai DNA yang kompleks dan terdiri dari 85 gen, gen itu sendiri terdiri
dari beberapa nuclears protein, seperti epstein barr nuclear antigen (EBNA), latent mebran
protein (LMP), dan beberapa ribonucleic acids (RNA). Gen-gen yang esensial untuk
perubahan bentuk maupun sifat sel adalah EBNA-1, EBNA-2, EBNA 3A, EBNA 3B, dan
LMP-1, diantara gen- gen tersebut LMP-1 mempunyai peranan yang paling penting dalam
inisasi dan progresi pada NPC, fungsi utama dari LMP-1 sendiri adalah growth promotion
dari sel yang terinfeksi, apoptosis resistance, invasion & metastasis promotion, immune
evasion (gambar 2.9). Hampir semua sel tumor pada undifferentiated carcinoma pada NPC
terinfeksi oleh EBV (gambar 2.8),. Peran EBV terhadap NPC pertama kali ditemukan pada
studi seroepidemiologi yang menunjukan hampir semua pasien-pasien dengan NPC
terdapat IgA antibodi dari EBV (Yoshizaki, et al., 2013).
Gambar 2.8 Peran EBV terhadap perkembangan NPC. (Yoshizaki, et al., 2013)
Gambar 2.9 Efek pathogenic dari LMP-1 terhadap siklus sel . (Yoshizaki, et al., 2013)
2.6. Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)
Epidermal growth factor receptor (EGFR) merupakan suatu reseptor glikoprotein
transmembrane atau terletak pada permukaan sel dengan berat molekul 170 kDa. EGFR
tersusun atas extraseluler ligand – binding domain yang berupa transmembrane lipophilic
dan segmen dari suatu tyrosine kinase intraseluler (Grant, et al., 2002). Kanker kepala
leher ditandai dengan adanya kelainan pertumbuhan sel keratinosit yang terdapat pada
mukosa rongga mulut, laring, faring. Dalam keadaan normal pembelahan keratinosit
distimulasi oleh “ epidermal growth factor “(EGF) yang akan berikatan dengan
“epidermal growth factor receptor “(EGFR) pada permukaan basal dari keratinosit
(submembrane). Ikatan ini akan mengaktifkan “Ras” protein pada sitoplasma dari
keratinosit melalui ligand yang terdapat pada EGFR.
Ras protein yang telah mengalami aktifasi ini akan mengaktifkan raf protein dan
sitoplasmik kinase yang lain (“MEK”,”MAPK”) yang berada pada jalur kaskadenya.
MAPK (mitogen activated protein kinase) adalah MAP kinase. Kaskade dari kinase ini
akan melanjutkan transmisi sinyal pertumbuhan dari membrane sel ke inti sel dimana
terjadi pertumbuhan dari “cmyc” protein. Ikatan antara DNA dengan “cmyc” protein akan
menstimuli transkripsi dari “cyclin D” dan berikatan dengannya. Ikatan ini akan
mengaktifkan “cyclin dependent kinase” (CDK). CDK yang telah aktif akan mengkatalisir
posfolirasi dari “retinoblastoma tumour suppressor protein” (pRb). Dalam keadaan
fisiologis phosphorylated pRb akan melepaskan factor transkripsi E2F yang diperlukan
untuk terjadinya transkripsi protein pada replikasi DNA, dimana replikasi DNA ini akan
diikuti dengan pembelahan sel/pertumbuhan sel. “cyclin D” dan protein DNA yang lainnya
akan mengalami degradasi dan diperlukan adanya transkripsi yang baru lagi untuk
terjadinya pertumbuhan sel (Sugerman, et al., 1999; Williams, 2000)
Ras onkoprotein merupakan aspek internal pada ikatan membrane dengan EGFR
dan ini akan berperanan pada transmisi sinyal pertumbuhan ke inti sel (nucleus). Dalam
keadaan inaktif “ras” akan berikatan dengan “Guanosine diphosphate” (GDF). Ketika sel
distimuli oleh EGF, ras yang dalam keadaan tidak aktif akan menjadi aktif dengan
perubahan dari GDP menjadi Guanosine triphosphate” (GTP). Ras yang telah aktif akan
mengaktifasi “raf’ protein dan sitoplasmik kinase yang lain seperti MEK dan MAPK yang
berada pada jalur kaskadenya. Setelah mengaktifkan “raf”, “ras” protein yang aktif menjadi
tidak aktif oleh aktifitas dari enzyme intrisik “guanosine triphosphatase” (GTPase). GTP
ase akan menghidrolisa GTP menjadi GDP dengan melepaskan gugus phospat dan
mengembalikan ikatan “ras”protein dengan GDP dan menjadi tidak aktif. Aktifitas dari
GTPase menginaktifkan “ras” protein yang diperkuat oleh ikatan “GTPase activating
protein” (GAPs).
Gambar 2.10 Interaksi EGFR-Ligand (Mirghani, et al., 2014)
Dalam keadaan normal, aktifitas “ras” berlangsung dalam waktu yang terbatas yang
hanya mengikuti stimulasi EGF sehingga proliferasi sel hanya terjadi karena regulasi dari
EGF. Perubahan yang dramatis terjadi dalam hal pengendalian aktifitas “ras” protein,
manakala terjadi mutasi pada “ras” onkogen. Mutan “ras” protein akan dapat berikatan
dengan GAPs, dimana aktifitas dari GTPase tidak akan mengalami penguatan/amplifikasi.
Sebagai akibatnya maka ”ras” yang mengalami mutasi tetap berikatan dengan GTP yang
akan terus menerus mengaktifkan “raf” protein yang akan mengirimkan sinyal proliferasi
ke inti sel meskipun tanpa adanya ikatan antara EGF dengan EGFR pada permukaan sel.
(Stadler, et al., 2008)
Growth factor merupakan molekul yang berperan pada ploriferasi sel, dan juga pada
differetiasi, adhesi daya tahan hidup dan migrasi sel. Receptor growth factor ternyata
mempunyai peranan penting dalam melanjutkan transmisi sinyal dari ektraseluler kedalam
intraselular. “Epidermal Growth Factor Receptor” (EGFR). Merupakan salah satu dari
receptor growth factor yang dapat diidentifikasi. EGFR merupakan suatu glikoprotein yang
merupakan keluarga receptor transmembrane yang disebut sebagai erb B atau “Human
Epidermal Growth Factor” (HER). Struktur receptor ini ditandai dengan adanya bentuk
ikatan yang kaya cysteine ekstraselular, bentuk transmembrane yang hidrofobik, dan bentuk
tyrosin kinase sitoplasma. Anggota keluarga kelompok ini mempunyai bentuk yang
homolog pada tyrosin kinase, tetapi berbeda pada domain ekstraseluler dan domain C
terminal. Seperti bentuk lainnya dari kelompok erb B, EGFR juga dikenal sebagai erb B1
atau HER1, sedangkan anggota kelompok lainnya adalah erb B 2(HER-2/neu), erb B3
(HER-3) dan erb B4 (HER-4). Receptor ini berisi extraceluler ligand binding domain,
single transmembrane domain, cytoplasmic protein tyrosin kinase domain (hubungan
EGFR dengan ligandnya dapat dilihat pada gambar 2.10). Anggota kelompok erb
diekspresikan pada jaringan secara temporer. Lebih dari 10 ligand diketahui berikatan
dengan EGFR, termasuk epidermal growth factor, transforming growth factor alpha (TGF-
α), heparin binding EGF, amphiregulin, betacellulin, epiregulin dan neuregulin (De Vita,
et al., 2008).
Sinyal yang dihantarkan melalui EGFR dimulai saat ligand berikatan dengan erb-B
monomer, akan memicu receptor homo atau heterodimerisasi dan auto fosfolirasi didalam
sitoplasma (sinyal growth factor extraseluler dikirim masuk kedalam sel) sehingga akan
terjadi pengaturan serin /threonine kinase expresi gen dan memicu terjadinya proliferasi sel
melalui beberapa tahap yaitu ikatan growth factor dengan receptor, dimerisasi receptor,
autofosforilasi, aktivasi tranducer intraseluler termasuk didalamnya RAS dan kaskade
serta terjadinya pengaturan factor transkripsi untuk ekspresi gen (Pecorino., 2005).
Langkah pertama adalah ikatan receptor EGFR dengan growth factor extraseluler
domain (I dan III) dari EGFR yang membentuk ikatan tersebut. Proses selanjutnya adalah
proses dimerisasi. Dimerisasi adalah proses interaksi antara 2 EGFR monomer menjadi
dimer. Ikatan antara satu molekul EGF dengan satu receptor akan menyebabkan perubahan
yang mengarah dimerisasi domain receptor extraselular. Hal ini memberikan ikatan tersebut
menjadi domain yang sama pada ikatan EGF dengan receptor monomer yang lain yang
mengakibatkan terjadinya receptor dimmer. Hal penting untuk dicatat adalah bahwa EGFR
dapat berbentuk heterodimer dengan anggota lain dari erb-B. Secara umum diasumsikan
bahwa receptor tanpa ligand tak akan mampu untuk melakukan dimerisasi, meski erb – B2
merupakan perkecualian dan mungkin tidak punya ligand.
Setelah terjadi dimerisasi maka proses selanjutnya berupa fosforilasi. Proses
fosforilasi terjadi pada residu tyrosin yang spesifik dan membentuk ikatan untuk src-
homolog 2 dan phosphotyrisine binding domain containing protein, yang akan menjadi
adaptor downstream protein pada proses terjadinya transduksi sinyal. Jaringan kerja secara
horizontal ataupun vertical akan memperkuat dan mengintegrasikan ikatan diekstraseluler
dan menghantarkan sinyal ke nucleus yang akan bekerja untuk proliferasi seluler dan
mengatur diferensiasi sel. Endositosis dari kompleks fosforilasi receptor-ligand akan
mengakhiri ikatan tersebut. Jaringan sinyal melalui erb-B secara konsep merupakan
jaringan multi layer meliputi input layer, signal processing layer, dan output layer. Ikatan
antara ligand dan receptor terjadi pada input layer. Penyebaran sinyal pada lapisan ini
dimulai dari kombinasi yang berbeda dari interaksi ligand-receptor seperti dimerisasi
(homo atau heterodimer) dari receptor tersebut.
Hetero dimerisasi akan menyebabkan mitogenik yang lebih kuat dan hal ini
dipercaya akan menghasilkan residu fosfotyrosin yang dapat digunakan untuk stabilisasi
receptor. Bentuk dari homo-heterodimer dipengaruhi oleh adanya bivalensi dari erb-B
ligand, yang menyebabkan perbedaan afinitas ikatan dari ligand tersebut, dan stabilitas pH
dari kompleks ligand receptor. Lapisan yang memproses sinyal akan meneruskan sinyal ke
masing masing molekul downstream dari receptor.
Setelah terjadi fosfolirasi, maka proses selanjutnya akan diikuti oleh autofosforilasi.
Dua receptor yang saling mendekat disebabkan adanya proses dimerisasi, dapat
mengakibatkan domain kinase dari satu receptor yang merupakan bagian dari dimer,
melakukan fosforilasi receptor lain dari dimer. Auto fosforilasi intermolekul didalam
sitoplasma, merupakan domain dari receptor. EGFR mengkatalisa transfer dari molekul
fosfat dari ATP ke sisi aktif dari tyrosin kinase menuju sinyal penghantar, dan akan
memicu kaskade dari molekul yang memberikan efek proteksi sel dari opoptosis serta
memfasilitasi invasi dan menyebabkan reaksi angiogenesis. Sesudah berikatan disebut
sebagai ligands, EGFR mengalami homodimerisasi kemudian menyebabkan transfosforilasi
beberapa tyrosin kinase domain yang akan merangsang sinyal jalur EGFR intraseluler. Hal
tersebut meliputi aktivasi protein STAT, kelompok SRC kinase, protein AKT, MAP kinase
dan menginduksi transkrip gen didalam sel seperti pemisahan sel dan kemampuan hidup sel
(Sarkis, et al., 2010).
EGFR juga menjadi perantara aktivasi kelompok anggota lain dari erb-B. ini
menjelaskan bahwa EGFR berperan dalam pertumbuhan sel. AKT dikenal sebagai anti
apoptosis kinase, mengakibatkan sel bertahan hidup melalui aktifasi dari erb-B kinase,
yang berperan dalam regulasi positif pengaturan NF-B, melalui transkripsi dari gen anti
apoptosis atau antagonis P21 sehingga siklus sel akan berhenti, AKT menyebabkan banyak
efek pada sel, juga dapat mengakibatkan endothelial NO synthase yang berperan penting
dalam angiogenesis. AKT juga mengaktivasi aktivitas telomerase melalui fosforilasi dari
telomerase manusia berlawanan dengan transcriptase. AKT juga juga menyebabkan invasi
tumor dan proses metastase melalui stimuli Matrix Metalloproteinase (Lothaire, et al.,
2005).
2.6.1. EGFR pada KSSKL Anterior dan KSSKL Posterior
Over ekspresi EGFR berhubungan dengan progresifitas tumor dan rendahnya
kemampuan bertahan pada berbagai keganasan seperti pada kanker di kepala dan leher,
paru-paru, payudara, saluran cerna dan kandung kemih (Ragin, et al., 2007). Overekspresi
EGFR pada kanker rongga mulut diperkirakan sekitar 60-80%. Over ekspresi EGFR
mempunyai hubungan signifikan terhadap grade histopatologis pasien KSSKL (Issa.,
2013). Over ekspresi EGFR terdapat pada 83% pasien (123) KSSKL (Abusail, et al., 2013).
Over ekspresi EGFR berhubungan dengan mitotic index dari sel kanker, EGFR (-) menjadi
prognosis yang baik pada pasien KSSKL. Over ekspresi EGFR berhubungan secara
signifikan dengan differensiasi tumor yang buruk dan pola pertumbuhan yang invasive
pada oral SCC (Shiraki, et al., 2005). Over ekspresi EGFR menunjukan overal survival
yang lebih pendek serta respon kemoterapi yang buruk pada oral cancer (Hitt, et al., 2004),
di Bali telah diteliti hubungan antara ekspresi EGFR dengan klinikopatologi pada oral
SCC, dan didapatkan ekspresi EGFR didapatkan pada 80% oral scc (dari total pasien 30),
dan mempunyai hubungan dengan ukuran tumor dan keterlibatan node, pada penelitian ini
derajat ekspresi EGFR yang didapatkan paling banyak +1 (58%), kemudian +2 (25%),
+3(16,6%) (Sutama, dan Sudarsa, 2008). Kemudian didapatkan ekspresi EGFR pada 83%
pasien kanker nasofaring ( Fujii, et al., 2002). Didapatkan hubungan yang signifikan antara
ekspresi EGFR dan staging tumor pada kanker nasofaring, tetapi tidak berhubungan dengan
faktor prognostik (Putti, et al., 2002). Pada kanker orofaring didapatkan ekspresi EGFR
lebih banyak didapatkan pada pasien dengan HPV (-) dibandingkan dengan HPV (+),
ekspresi EGFR berkaitan dengan keterlibatan Node metastasis (Won, et al., 2012; Hong, et
al., 2010). Ekspresi EGFR didapatkan pada 65% pasien kanker orofaring tetapi tidak
berhubungan dengan faktor prognosis maupun survival rate (Perisanidis, et al., 2013).
Adanya ekspresi EGFR yang sangat kuat pada kasus KSSKL berhubungan dengan ukuran
tumor, node, adanya metastase dan berhubungan dengan prognosis yang buruk (Carvalho,
et al., 2004; Suh et al., 2014; Kusukawa, et al., 1996).
Penelitian lain mendapatkan hasil yang berbeda dimana tidak ditemukan hubungan
antara ekspresi EGFR dengan stadium tumor, penyebaran kekelenjar limfe maupun
metastase, tetapi adanya overekspresi EGFR pada kasus kanker rongga mulut merupakan
suatu celah untuk penggunaan obat-obat anti kanker yang bekerja dengan menghambat
EGFR maupun jalur signalnya sehingga pengobatan kanker rongga mulut akan menjadi
lebih komprehensif (Sugerman, et al., 1999; Ryott, et al., 2008; Ch’ng, et al., 2007;
Leemans, et al., 2010). Mahendra, et al., 2013 melakukan penelitian tentang hubungan
ekspresi EGFR dengan oral leukoplakia, didapatkan 100% over ekspresi EGFR pada
semua sampel (40 OSCC dan 25 OL) dan secara statistik didapatkan hubungan yang
signifikan antara HNSCC dan OL, disimpulkan EGFR dapat menjadi marker prediktor
untuk lesi premalignansi yang potensial menjadi malignan, dan diharapkan anti EGFR
terapi dapat dipakai sebagai terapi profilaksis.
2.6.2. Manajemen Terapi pada KSSKL
Pada stadium awal (Stadium I dan II) pilihan terapi tergantung dari lokasi, pada
tumor yang operable dapat dilakukan tindakan operasi tanpa atau dengan dilanjutkan
radiotherapi, sedangkan pada nasofaring, orofaring, hipofaring, radiotherapi menjadi
pilihan utama disebabkan karena angka kesembuhan yang relatif sama dengan tindakan
pembedahan ditambah angka morbiditas yang lebih kecil (Argiris, et al., 2008)
Pada stadium lanjut (stadium III dan IV) pembedahan, radiotherapi dan kemoterapi,
mempunyai peran yang sangat penting. Pada tumor yang operable, sering dilanjutkan
dengan kemoradiasi. Kemoterapi dan radioterapi yang dilakukan sendiri-sendiri tidak se
efektif jika dilakukan secara simultan (Marur, et al., 2010). Pada tumor yang tidak operable
standar terapinya adalah dengan kombinasi kemoradiasi.
Berkembangnya penelitian tentang biologi molekular memberikan celah untuk
pengobatan pada KSSKL. Anti EGFR monoklonal antibodi dan small molecule tyrosine
kinase inhibitors telah banyak diteliti, EGFR monoklonal antibodi bekerja dengan cara
mencegah ligand EGFR untuk berikatan dengan EGFR extracellular domain, mencegah
receptor dimerization, menginduksi degradasi reseptor. Cetuximab adalah human-murine
chimeric IgG monoclonal antibody yang secara kompetisi melekat ke domain ektraselular
EGFR (Choong dan Cohen., 2005), efektifitas cetuximab masih kontroversi, penggunaan
cetuximab sebagai single agent therapi tidak memuaskan, sehingga perlu dikombinasi
dengan modalitas yang lain seperti radiotherapy dan kemoterapi (Schmitz, et al., 2013).
Kombinasi antara cetuximab dan radioterapi dinilai lebih aman dengan efek samping yang
minimal (rash, hipomagnesemia), 87% pasien mengalami complete respon dan 13% partial
respon (Bernier dan Schneider., 2006), sedangkan kombinasi cetuximab dengan cisplatin
mempunyai efek samping yang cukup fatal (myocardial infark, bacteremia, arrhythmia)
(Choong dan Cohen., 2006). Cetuximab sendiri maupun dikombinasi dengan radioterapi
dapat menjadi pilihan ketika pasien tersebut tidak dapat mentoleransi efek samping
kemoterapi. Banyak penelitian-penelitian lainnya yang meneliti efektifitas pengobatan
KSSKL dengan mempergunakan cetuximab dan kombinasi obat kemoterapi dan
radioterapi, dengan agent kemoterapi yang berbeda bahkan dengan dosis yang disesuaikan,
begitu juga penelitian megenai obat anti EGFR lainnya. (Jenis-jenis targeting therapy dan
targetnya dapat dilihat pada gambar 2.11)
Gambar 2.11 Molecular signaling pathway dan target agent untuk terapi KSSKL (Argiris, et al., 2008)