62
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Lanjut Usia
a. Pengertian lanjut usia
Lanjut usia (Lansia) adalah periode dimana organisme telah
mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah
menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu, pada lansia akan terjadi
proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang terjadi (Darmojo, 2004). Sedangkan menurut Hardywinoto dan
Setiabudhi (1998) kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang
berusia 60 tahun ke atas.
Menurut Setyonegoro yang dikutip oleh kadir (2007) usia lanjut
dikelompokkan sebagai berikut (a) usia dewasa muda (elderly adulhood),
yaitu antara usia 18/19 tahun sampai 25 tahun, (b) usia dewasa penuh
(middle years) yaitu antara usia 25 tahun sampai 60/65 tahun, (c) usia
lanjut (geriatric age), yaitu usia 65 tahun sampai 70 tahun yang dibagi
dalam usia 70 tahun sampai 75 tahun (young old), usia antara 75 tahun
sampai 80 tahun (old), usia lebih dari 80 tahun (very old).
Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis
dan fungsional yang sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti),
memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan bahwa fungsi organ
akan mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30
tahun (Martono, 2004).
Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan
kemampuan gerak dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi
(2000), pada lansia terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi
11
12
pendengaran 67%, pengelihatan 72%, daya ingat 61%, serta kelenturan
tubuh yang menurun sebesar 64%. Permasalahan yang muncul pada lansia
dapat disebabkan karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi pada
tubuh. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses penuaan
antara lain:
b. Perubahan fisiologi lanjut usia
1) Sistem panca-indera
Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensoris akan
terdapat kesenggangan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari
fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indera yang dimiliki seperti
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan
merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensoris.
a. Pengelihatan
Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi
disekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau
kekuningan di antara iris dan sclera. Kejadian ini disebut arkus
sinilis, biasanya ditemukan pada lansia. Perubahan penglihatan dan
fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk
penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi
pupil akibat penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa
mata, yaitu katarak(Suhartin, 2010).
Hal ini akan berdampak pada penurunan kemampuan sistem
visual dari indera penglihatan yang berfungsi sebagai pemberi
informasi ke susunan saraf pusat tentang posisi dan letak tubuh
terhadap lingkungan di sekitar dan antar bagian tubuh sehingga
tubuh dapat mempertahankan posisinya agar tetap tegak dan tidak
jatuh.
b. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi secara dramatis
dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kehalangan
pendengaran pada lansia disebut dengan presbikusis. Presbikusis
13
merupakan perubahan yang terjadi pada pendengaran akibat proses
penuaan yaitu telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi
sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan
komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi
perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan
pendengaran secara bertahap. Ketidakmampuan untuk mendeteksi
suara dengan frekuensi tinggi (Chaccione, 2005).
Telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap
membran timfani, pengapuran dari tulang pendengaran, lemah dan
kakunya otot dan ligamen. Implikasi dari hal ini adalah gangguan
konduksi pada suara (Miller, 2009).
Pada telinga bagian luar terjadi perpanjangan dan penebalan
rambut, kulit menjadi lebih tipis dan kering serta terjadi
peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial
terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi
suara (Miller, 2009).
Penuruan kemampuan telinga seperti diatas dapat berdampak
pula terhadap komponen vestibular yang terletak di telinga bagian
dalam. Komponen vestibular ini berperan sangat penting terhadap
keseimbangan tubuh. Saat posisi kepala berubah maka komponen
vestibular akan merespon perubahan tesebut dan mempertahakan
posisi tubuh agar tetap tegak.
c. Perabaan
Pada lansia terjadi penurunan kemampuan dalam
mempersepsikan rasapada kulit, ini terjadi karena penurunan
korpus free nerve ending pada kulit. Rasatersebut berbeda untuk
setiap bagian tubuh sehingga terjadi penurunan dalammerasakan
tekanan, raba panas dan dingin. Gangguan pada indera peraba
tentunyaberpengaruh pada sistem somatosensoris.Somatosensoris
adalah reseptor pada kulit, subkutan telapak kaki danpropioceptor
pada otot, tendon dan sendi yang memberikan informasi
14
tentangkekuatan otot, ketegangan otot, kontraksi otot dan juga
nyeri, suhu, tekanan danposisi sendi. Pada lansia dengan semakin
menurunnya kemampuan akibat faktordegenerasi maka informasi
yang digunakan dalam menjaga posisi tubuh yangdidapat dari
tungkai, panggul, punggung dan leher akan menurun
(Chaitow,2005).
Hal ini berdampak pada keseimbangan yang akan terganggu
akibat dari penurunan implus somatosensoris ke susunan saraf
pusat.
2) Sistem muskuloskeletal
a. Otot
Pada umumnya seseorang yang mulai tua akan berefek pada
menurunnya kemampuan aktivitas. Penurunan kemampuan
aktivitas akan menyebabkan kelemahan serta atrofi dan
mengakibatkan kesuliatan untuk mempertahankan serta
menyelesaikan suatu aktivitas rutin pada individu tersebut.
Perubahan pada otot inilah yang menjadi fokus dalam penurunan
keseimbangan berkaitan dengan kondisi lansia. Menurut
Lumbantobing (2005) perubahan yang jelas pada sistem otot lansia
adalah berkurangnya massa otot. Penurunan massa otot ini lebih
disebabkan oleh atrofi. Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari
berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik atau denervasi saraf
(Martono, 2004). Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik
basal dan laju konsumsi oksigen maksimal berkurang (Taslim,
2001).
Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi
akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga
dijumpai berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak.
Akibatnya otot akan berkurang kemampuannya sehingga dapat
mempengaruhi postur. Perubahan-perubahan yang timbul pada
sistem otot lebih disebabkan oleh disuse. Lansia yang aktif
15
sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat mempertahankan massa
otot, kekuatan otot dan koordinasi dibanding mereka yang
hidupnya santai (Rubenstein, 2006). Tetapi harus diingat bahwa
olahraga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah secara
sempurna proses penurunan massa otot (Lumbatobing, 2005).
Permasalahan yang terjadi pada lansia biasa sangat terlihat
pada menurunnya kekuatan grup otot besar. Otot-otot pada batang
tubuh (trunk) akan berkurang kemampuannya dalam menjaga
tubuh agar tetap tegak. Respon dari otot-otot postural dalam
mempertahankan postur tubuh juga menurun. Respon otot postural
menjadi kurang sinergis saat bekerja mempertahankan posisi akibat
adanya perubahan posisi, gravitasi, titik tumpu, serta aligmen
tubuh. Pada otot pinggul (gluteal) dan otot-otot pada tungkai
seperti grup otot quadriceps, hamstring, gastrocnemius dan tibialis
mengalami penurunan kemampuan berupa cepat lelah, turunnya
kemampuan, dan adanya atrofi yang berakibat daya topang tubuh
akan menurun dan keseimbangan mudah goyah.
b. Tulang
Pada lansia dijumpai proses kehilangan massa tulang dan
kandungan kalsium tubuh, serta perlambatan remodeling dari
tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan usia
dua puluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang
lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya
dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini sebagai
disebabkan oleh faktor usia dan disuse (Wilk, 2009).
Dengan bertambahannya usia, perusakan dan pembentukan
tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon estrogen
pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang
trabekular menjadi lebih berongga, mikroarsitekur berubah dan
sering patah baik akibat benturan ringan maupun spotan (Martono,
16
2004). Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya resiko
osteoporosis dan fraktur (Suhartin, 2010).
c. Perubahan postur
Perubahan postur meningkatkan sejalan dengan pertambahan
usia. Hal itu dapat dihubungkan dengan keseimbangan dan resiko
jatuh. Gangguan keseimbangan lansia disebakan oleh degenerasi
progresif mekanoreseptor sendi intervertebra. Degenerasi karena
peradangan atau trauma pada vertebra dapat menggangu afferent
feedback ke saraf pusat yang berguna untuk stabilitas postural.
Banyak perubahan yang terjadi pada vertebra lansia, seperti
spondilosis servikal yang dimana 80% ditemukan pada orang
berusia 55 tahun keatas. Hal itu berpengaruh terhadap penurunan
stabilitas dan fleksibilitas pada postur (Pudjiastuti, 2003).
Perubahan yang paling banyak terjadi pada vertebra lansia
meliputi kepala condong ke depan (kifosis servikal), peningkatan
kurva kifosis torakalis, kurva lumbal mendatar (kifosis lumbalis),
penurunan ketebalan diskus intervertebralis sehingga tinggi badan
menjadi berkurang. Kepala yang condong ke depan seringkali
diartikan tidak normal, tetapi dapat dikatakan normal apabila hal itu
merupakan kompensasi dari perubahan postur yang lain. Kurva
skoliosis dapat timbul pada lansia karena perubahan vertebra,
ketidakseimbangan otot erctor spine dan kebiasaan atau aktivitas
yang salah (Pudjiastuti, 2003).
Pada anggota gerak, variasi perubahan postur yang paling
banyak adalah protraksi bahu dan sedikit fleksi sendi siku, sendi
panggul dan lutut. Adanya perubahan permukaan dan kapsul sendi,
akan mengakibatkan kecacatan varus atau valgus dapat sendi
panggul, lutut atau pergelangan kaki. Perubahan yang terjadi pada
sistem saraf dan tulang memungkinkan terjadinya penurunan
kontrol terhadap postural secara statis. Selanjutnya, perubahan otot,
jaringan pengikat dan kulit dapat mempengaruhi perubahan postur.
17
Adanya trauma, gaya hidup atau kebiasaan memakai sepatu hak
tinggi juga memberi kontribusi pada percepatan perubahan postur
lansia. Perubahan postur ini tentunya akan berpengaruh pada
keseimbangan saat berdiri karena pusat gravitasi pada tubuh juga
turut berubah.
3) Sistem persarafan
a. Saraf pusat
Menurut Martono (2004) pada lansia akan terjadi penurunan
berat otak sebesar 10%. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran,
kemudian meningkatkan menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,
berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini
kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak
berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak
mengandung 100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang
berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat. Pada
penuaan, otak kehilangan 100.000 neuron/tahun. Neuron dapat
mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam.
Terjadi atrofi cerebal (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70
tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di neuron hilang
disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara
progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel
terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk
di sitoplasma, kemungkinan berasal dan lisosom atau mitokondria
(Suhartin, 2010).
b. Saraf perifer
Saraf perifer tepi adalah jaringan saraf untuk semua gerakan
(saraf motorik) dan sensasi (saraf sensoris). Jaringan saraf ini
berhubungan dengan sistem sarat pusat (SSP) melalui batang otak
dan pada beberapa tempat sepanjang kord spinal. Ia menuju
berbagai bagian tubuh. Saraf perifer membentukkomunikasi antara
otak dan organ, pembuluh darah, otot dan kulit. Perintah otak akan
18
dihantarkan oleh saraf motor, dan informasi dihantar kembali ke
otak oleh saraf sensori. Penuaan menyebabkan penurunan presepsi
sensorik dan respon motorik pada susunan SSP. Hal ini terjadi
karena SSP pada usia lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak
pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan
protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan.
Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian,
sedang yang hidup banyak mengalami perubahan. Dendrit yang
berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan
menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar
saraf mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lambat.
Akson dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut
mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan,
kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi
(Sherwood, 2009).
Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk
kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 105
kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Secara fungsional
terdapat suatu perlambat reflek tendon, terdapat kecenderungan
kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan
dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya
gerakan yang sesuai. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan
penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan
pengurangan reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena
pengurangan dendrit dan perubahan pada sinaps, yang
memperlambat konduksi (Suhartin, 2010).
Dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan
berpengaruh pada keadaan postural dan kemampuan lansia dalam
menjaga keseimbangan tubuhnya terhadap bidang tumpu. Kondisi
penurunan kemampuan visual, vestibular dan somatosensoris
tentunya akan memperburuk keseimbangan pada lansia. Tubuh
19
akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan base of support
atau landasan tempat berpijak. Kondisi muskuloskeletal yang
mengalami penurunan juga berpengaruh pada keseimbangan otot
dan postural. Perubahan postur tersebut berpengaruh pada
perubahan Center of Gravity (COG) tubuh terhadap bidang tumpu.
Otot-otot baik ekstremitas bawah maupun atas akan mengalami
penurunan kekuatan. Akibat dari keadaan tersebut lansia sering
mengalami gangguan keseimbangan saat berdiri maupun saat
beraktivitas dan rentan untuk jatuh.
4) Keseimbangan
a. Definisi keseimbangan
Keseimbangan merupakan kemampuan untuk
mempertahankan keadaan yang setimbang pada pusat gravitasi atas
bidang tumpu, biasanya ketika dalam posisi tegak dan pada
berbagai posisi. Menurut Delitto (2003), keseimbangan merupakan
kemampuan untuk mempertahankan equilibrium statis dan dinamis
tubuh ketika ditempatkan pada berbagai posisi. Menurut Suhartono
(2005), keseimbangan merupakan suatu pengaturan yang kompleks
untuk mempertahankan posisi tubuh terhadap aktivitas tubuh yang
disadari dan merespon terhadap perubahan dari luar. Dengan kata
lain keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif
untuk mengontrol dan mempertahankan pusat massa tubuh (center
of body mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap
bidang tumpu (base of support) dengan mengunakan aktivitas otot
yang minimal. Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk
mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG)
tidak berubah. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk
mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG)
berubah (Abrahamova, 2008). Menurut Permana (2012),
keseimbangan statis merupakan keseimbangan yang diperlukan
seseorang untuk mempertahankan posisi tertentu, sedangkan
20
keseimbangan dinamis adalah kemampuan tubuh dalam menjaga
keseimbangan saat melakukan gerakan atau aktivitas seperti
berjalan dan berlari.
Keseimbangan berfungsi untuk bergerak, mengidentifikasi
orientasi dengan terhadap gravitasi, menentukan arah dan
kecepatan gerakan, dan membuat otomatis penyesuaian postural
untuk mempertahankan postur dan stabilitas di berbagai kondisi
dan kegiatan (Cook, 2001). Derajat stabilitas tubuh terhadap bidang
tumpu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu (1) ketinggian dari titik
pusat gravitasi dengan bidang tumpu, (2) ukuran luas bidang
tumpu, (3) posisi garis gravitasi dengan bidang tumpu dan (4) berat
badan. Dalam mempertahankan keseimbangan dibutuhkan interaksi
yang kompleks dari integrasi sistem sensorik (visual, vestibular,
dan somatosensoris termasuk proprioceptif) dan sensomotorik
(muskuloskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan
kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal
dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal
ganglia, cerebellum, area assosiasi (Batson, 2009). Keseimbangan
melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan
didukung oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu.
Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang
tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara
efektif dan efesien.
b. Mekanisme Neurofisiologi Keseimbangan
Terdapat beberapa komponen fisiologis tubuh manusia untuk
melakukan reaksi keseimbangan. Bagian paling penting menjaga
keseimbangan dengan merasakan posisi bagian sendi atau tubuh
saat bergerak adalah proprioseptif yang menjaga keseimbangan.
Kemampuan untuk merasakan posisi bagian sendi atau tubuh dalam
gerak (Brown et al., 2006).
21
Keseimbangan terbentuk melalui 3 proses utama dimulai dari
input sensoris, integrasi dari sensoris, dan output motoris.
Keseimbangan normal membutuhkan kontrol dari gravitasi untuk
menjaga postur dan percepatan. Percepatan dihasilkan dari dalam
tubuh akibat gerakan volunter atau dari luar sebagai akibat dari
gangguan tak terduga (Felix, 2006). Keseimbangan diperlukan
koordinasi dari tiga sistem, yaitu sebagai berikut:
1) Sistem saraf menyediakan proses sensoris untuk persepsi tubuh
melalui sistem visual, vestibular dan somatosensoris.
2) Muskuloskeletal sistem meliputi postural alligment, fleksibilitas
otot seperti range of motion, integritas sendi dan muscle
performance.
3) Contextual effect terbagi atas dua sistem yaitu sistem lingkungan
baik terbuka maupun tertutup, efek gravitasi, tekanan pada
tubuh dan berbagai gerakan.
Elemen-elemen diatas sangat penting untuk menjaga
keseimbangan tubuh dalam keadaan statis maupun dinamis. Dalam
mempertahankan keseimbangan postural membutuhkan kerja sama
dan interaksi dari tiga komponen kontrol postural, yaitu sistem
sensori perifer meliputi sistem visual, vestibular dan
somatosensoris (taktil dan propioseptif) yang memberikan
informasi secara berkelanjutan tentang posisi dan gerakan dari
seluruh bagian tubuh yang dibutuhkan dalam mempertahankan
keseimbangan postural (Kisner, 2010).
Sistem Vestibular
Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan,
gerakan kepala, dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi
organ-organ bagian telinga dalam yaitu telinga kanalis
semisirkularis dan organ otolit (utrikulus dan sakulus). Kanalis
semisirkularis merasakan putaran kepala dan organ otolit
merasakan percepatan linier pada kepala. Utrikulus berfungsi
22
mengisyaratkan posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Sakulus
bereaksi pada percepatan linier. Sakulus memberikan reaksi
terhadap percepatan vertikal tingkat tinggi yang menimbulkan
respon motorik yang dibutuhkan untuk merespon gerakan secara
optimal sewaktu terjatuh (Jafek, 2005).
Gangguan fungsi vestibular dapat menyebabkan vertigo atau
gangguan keseimbangan. Keseimbangan dan orientasi tubuh
seseorang terhadap lingkungan disekitarnya tergantung pada input
sensorik dari reseptor vestibular di labirin, organ visual dan
proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut
akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi
tubuh pada saat itu (Silverthrone, 2010).
Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan
perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel
rambut akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas
membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam
sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi dan akan
merangsang penglepasan neurotransmitter eksitator diteruskan
melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang terletak di
batang otak (brain stem). Beberapa stimulus tidak menuju langsung
ke nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis,
thalamus dan korteks serebri. Sewaktu berkas silia terdorong ke
arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi. Nukleus vestibular
menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, formasi
(gabungan retikular), dan serebelum. Hasil dari nukleus vestibular
di salurkan menuju ke motor neuron melalui medula spinalis,
terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal,
otot pada leher dan otot-otot punggung (otototot postural). Sistem
vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu
mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot
postural (Watson et al., 2008).
23
Sistem Visual
Mata adalah organ visual mempunyai tugas penting bagi
kehidupan manusia yaitu memberi informasi kepada otak tentang
posisi tubuh terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak
dengan objek sekitarnya. Dengan input visual, maka tubuh manusia
dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan
sehingga sistem visual langsung memberikan informasi ke otak,
kemudian otak memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal
dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan
tubuh (Kolb, 2011).
Somatosensori
Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang
panjang dan saling berhubungan satu sama lainnya yang mana
sistem somatosensori memiliki tiga neuron yang panjang yaitu :
primer, sekunder dan tersier (Hanes, 2006). Sistem somatosensori
terdiri dari reseptor sensori dan motorik (aferen) neuron di
pinggiran (kulit, otot dan organ-organ misalnya), ke neuron yang
lebih dalam dari sistem saraf pusat. Sistem somatosensori adalah
sistem sensorik yang beragam yang terdiri dari reseptor dan pusat
pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik seperti
sentuhan, temperatur, proprioception (posisi tubuh), dan
nociception (nyeri). Reseptor sensorik menutupi kulit dan epitel,
otot rangka, tulang dan sendi, organ, dan sistem kardiovaskular.
Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna
dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input)
proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke
korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Horak,
2006).
Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang
sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indera
dalam dan sekitar sendi. Alat indera tersebut adalah ujung-ujung
24
saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls
dari alat indera ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta
otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh
dalam ruang (Sezler, 2006).
Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan
Keseimbangan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri
dari pusat COG, garis gravitasi, bidang tumpu (base of support)
dan kekuatan otot sehingga dipengaruhi dari kematangan dan
pertumbuhan pada komponen yang terdapat individu.
1) Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)
Pusat gravitasi merupakan titik gravitasi yang terdapat
pada semua benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat
gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari
Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda
secara merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh
titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika
terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun
berubah, maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan
(unstable). Titik pusat gravitasi selalu berpindah secara otomatis
sesuai dengan arah atau perubahan berat, jika center of gravity
terletak di dalam dan tepat ditengah maka tubuh akan seimbang,
jika berada diluar tubuh maka akan erjadi keadaan unstable.
Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak terdapat pada
satu inchi di depan vertebra sacrum dua (Bishop, 2009).
2) Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal
melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh ditentukan oleh
hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan base of
support (Huxam, 2005).
3) Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
25
Base of Support (BOS) merupakan bagian dari tubuh yang
berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi
tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang.
Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu.
Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas.
Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding
berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan
pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Chang,
2009).
4) Kekuatan otot (Muscle Strength)
Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot
menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik
secara dinamis maupun secara statis. Kekuatan otot dihasilkan
oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan
otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot
kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan
dengan baik seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain
sebagainya. Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus
adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat
adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan
langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi
serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus
mempengaruhi posisi tubuh (Knudson, 2007).
Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah
kognitif. Kognitif berpengaruh langsung pada kemampuan
motorik seseorang. Kemampuan motorik yang di maksud dapat
berupa koordinasi, dexterity, agility dan keseimbangan (Thomas,
2012).
Pendapat tersebut diperkuat dalam hasil penelitian tentang
keseimbangan yang menyatakan bahwa latihan kognitif dapat
meningkatkan keseimbangan dan mengurangi resiko jatuh
26
(Bowers, 2010). Kognitif dapat meningkat bila seseorang
melakukan aktivitas fisik secara teratur. Aktivitas fisik langsung
dapat menstimulasi otak dan meningkatkan protein di otak yang
disebut Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNFD).
Protein BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf tetap
bugar dan sehat serta berperan terhadap fungsi memori pada
otak. Kadar BDNF yang rendah dapat menyebabkan penurunan
daya hantar antar saraf sehingga gerak menjadi lambat. Semakin
banyak lansia melakukan aktivitas fisik akan mengaktifkan
peningkatan protein BDNF pada otak sehingga daya hantar saraf
mengalami peningkatan dan akan meningkatkan waktu reaksi,
kognitif dan reflek yang akan mempengaruhi keseimbangan
(Turana,2013).
Keseimbangan dinamis perlu untuk dijaga dan
dioptimalkan kemampuannya. Hal ini karena saat melakukan
aktivitas sehari-hari keseimbangan dinamis sangat berperan
penting dalam menjaga posisi tubuh agar tetap tegak dan akan
tercipta koordinasi gerakan yang baik dan terarah. Menurut
Sudarsono (2006), keseimbangan dinamis sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari karena dapat mencegah seseorang
terjatuh, baik ketika jalan, bangkit dari duduk, naikturun tangga
serta saat berjalan pada permukaan yang tidak rata. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa kemampuan
fungsional seperti jalan cepat, perubahan langkah, melangkah ke
samping dan melangkah melewati rintangan akan sulit dilakukan
oleh lansia. Penurunan kemampuan fungsional lansia dikaitkan
dengan masalah keseimbangan dan jatuh. Beberapa faktor yang
menyebabkan jatuh seperti penurunan kekuatan otot, penurunan
fleksibilitas, dan hilangnya propioseptor ekstremitas bawah.
Untuk mencegah jatuh pada lansia, dapat dilakukan dengan cara
27
olahraga dengan prinsip penguatan, kontrol, keseimbangan dan
berjalan dalam arah yang berbeda (Mao, 2006).
c. Produktivitas pada lanjut usia
Salah satu indikator dari suatu keberhasilan pembangunan nasional
dilihat dari segi kesehatan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup
penduduk. Berdasarkan sumber dari World Population Prospects tahun
2012, bahwa penduduk Indonesia antara tahun 2015 – 2020 memiliki
proyeksi rata – rata usia harapan hidup sebesar 71,7%. Meningkat 1% dari
tahun 2010 – 2015. Meningkatnya usia harapan hidup, dapat menyebabkan
peningkatan jumlah lanjut usia (lansia) dari tahun ketahun (Kemenkes RI,
2012).
Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa dimana para
orang lanjut usia (lansia) merasakan penurunan-penurunan yang terjadi pada
dirinya baik secara fisik dan psikologis. Para lansia menjalani dan
memaknai usia lanjut dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia
lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi
manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi lansia kesempatan-
kesempatan untuk tumbuh berkembang dan memiliki keinginan untuk
melakukan sesuatu atau berarti untuk orang lain (Sulandari et al., 2010).
Lansia merupakan sebuah siklus hidup manusia yang hampir pasti
dialami setiap orang. Kenyataan saat ini, setiap kali menyebut kata Lansia
yang terbersit di benak kita adalah seseorang yang tidak berdaya, dan
memiliki banyak keluhan kesehatan. Padahal, Lansia sebenarnya dapat
berdaya sebagai subyek dalam pembangunan kesehatan. Pengalaman hidup,
menempatkan Lansia bukan hanya sebagai orang yang dituakan dan
dihormati di lingkungannya, tetapi juga dapat berperan sebagai agen
perubahan (agent of change) di lingkungan keluarga dan masyarakat
sekitarnya dalam mewujudkan keluarga sehat, dengan memanfaatkan
pengalaman yang sudah dimiliki dan diperkaya dengan pemberian
pengetahuan kesehatan yang sesuai (Depkes, 2016).
28
Lansia yang sehat harus diberdayakan agar dapat tetap sehat dan
mandiri selama mungkin. Salah satu upaya untuk memberdayakan Lansia di
masyarakat adalah melalui pembentukan dan pembinaan Kelompok Lansia
yang di beberapa daerah disebut dengan Posyandu Lansia atau Posbindu
Lansia. Melalui Kelompok ini, Lansia dapat melakukan kegiatan yang dapat
membuat mereka tetap aktif, antara lain: berperan sebagai kader di
Kelompok Lansia,melakukan senam Lansia, memasak bersama, termasuk
membuat kerajinan tangan yang selain berperan sebagai penyaluran hobi
juga dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
Meningkatnya usia harapan hidup penduduk menurut Karimah dkk
(2016) dapat menyebabkan peningkatan jumlah lansia dari tahun ketahun.
Peningkatan jumlah lansia akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan
seperti meningkatnya penyakit degeneratif dan kanker yang menyebabkan
penurunan produktifitas lansia. Penurunan produktifitas pada lansia terjadi
karena penurunan fungsi, sehingga dapat menyebabkan lansia mengalami
penurunan kemandirian dalam melaksanakan kegiatan harian. Pengaruh
peningkatan populasi usia lanjut ini akan sangat tampak pada hal ekonomi
dan sosial, dimana seperti kita ketahui saat ini angka kejadian penyakit
kronis, degeneratif, maupun berbagai macam kanker semakin meningkat,
juga angka kematian akibat penyakit-penyakit tersebut yang meningkat.
Kecacatan akibat penyakit degeneratif pun tidak akan terhindarkan,
sehingga menurunkan produktifitas para usia lanjut. Penurunan produktifitas
dari kelompok usia lanjut ini terjadi karena terjadi penurunan fungsi,
sehingga akan menyebabkan kelompok usia lanjut mengalami penurunan
dalam melaksanakan kegiatan harian seperti makan, ke kamar mandi,
berpakaian, dan lainnya dalam Activities Daily Living (ADL). Lansia
dirasakan semakin mirip dengan anak-anak, dalam ketergantungan
pemenuhan kebutuhan dasarnya, hal inilah yang menyebabkan pada
akhirnya lansia dikirim ke panti wreda (David, 2013).
Menurut Guntur (2006) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk
29
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapatbertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya
kerusakan yang diderita. Menurut Orem (2001) menggambarkan lansia
sebagai suatu unit yang juga menghendaki kemandirian dalam
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraannya. Faktor yang
mempengaruhi tingkat kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas sehari
– hari seperti usia, imobilitas dan mudah jatuh (Ediawati, 2012).
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia tentunya akan mempengaruhi
kemandirian lansia. Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak
tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas
mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun
kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Ediawati, 2012).
Kemandirian pada lansia sangat penting untuk merawat dirinya sendiri
dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Meskipun sulit bagi anggota
keluarga yang lebih muda untuk menerima orang tua melakukan aktivitas
sehari-hari secara lengkap dan lambat. Dengan pemikiran dan caranya
sendiri lansia diakui sebagai individu yang mempunyai karakteristik yang
unik oleh sebab itu perawat membutuhkan pengetahuan untuk memahami
kemampuan lansia untuk berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan
untuk meningkatkan kesehatanya (Atut, 2013).
Lanjut usia sebagai individu sama halnya dengan klien yang
digambarkan oleh Orem (2001) yaitu suatu unit yang juga mengehendaki
kemandirian dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejateraannya.
Kemandirian pada lanjut usia tergantung pada kemampuan status
fungsionalnya dalam melakukan aktivitas sehari – hari (Ediawati, 2012).
Dalam kamus psikologi kemandirian berasal dari kata “independen”
yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung
pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri
(Husain, 2013). Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh
secara komulatif dalam perkembangan dimana individu akan terus belajar
untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan,
30
sehingga individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan
kemandirian seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang ke
yang lebih mantap (Husain, 2013)
Dalam penelitian Sulandari dkk (2010) lansia yang tergolong aktif dan
produktif 100% dari mereka menyatakan bahwa mereka merasa senang
dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Sedangkan yang tergolong
tidak atau kurang produktif, hanya 52% dari mereka yang menikmati
hidupnya saat ini. Berdasarkan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa 1.
lansia mengikuti kegiatan di lingkungan tempat tinggalnya dan selalu aktif
dengan kegiatan yang meningkatkan kesehatan fisik dan mentalnya, 2.
alasan lansia masih melakukan kegiatan atau aktivitas tersebut adalah
karena lansia menganggap bahwa dengan bekerja akan membuat dirinya
sehat dan menyumbangkan pengalaman yang dimilikinya untuk memotivasi
para generasi penerus agar mencapai prestasi yang membanggakan, serta
ingin mengabdikan diri dengan sesama dan membantu sesama yang
membutuhkan untuk memanfaatkan usianya yang sudah lanjut agar masih
bermanfaat untuk orang lain.
2. Olahraga
a. Hakekat olahraga
Olahraga sudah dikenal lama, baik oleh negara berkembang atau
negara maju. Banyak negara yang memprioritaskan bidang olahraga bidang
olahraga karena keunggulan di bidang olahraga sudah menjadi ikon
kebanggaan banyak negara. Hal ini di dasari bahwa salah satu karakteristik
makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia adalah melakukan gerakan.
Antara manusia dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang sulit atau tidak
dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak manusia pada jaman
primitif hingga jaman moderen, aktivitas fisik atau gerak selalu melekat
dalam kehidupan sehari-harinya. Berarti aktivitas fisik selalu dibutuhkan
manusia.
Olahraga dalam pengertiannya mengandung arti akan adanya sesuatu
yang berhubungan dengan peristiwa mengolah yaitu mengolah raga atau
31
mengolah jasmani. Selaras dengan hal itu Giriwijoyo (2005:30) mengatakan
bahwa olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana
yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan
fungsionalnya. Selanjutnya Supandi (1990) yang dikutip oleh Kusmaedi
(2002:1) menyatakan bahwa kata olahraga berasal dari :
1) Disport, yaitu bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
2) Field Sport, kegiatan yang dilakukan oleh para bangsawan yang teriri
dari kegiatan menembak dan berburu.
3) Desporter, membuang lelah
4) Sports, pemuasan atau hobi
5) Olahraga, latihan gerak badan untuk menguatkan badan, seperti
berenang, main bola, agar tumbuh menjadi sehat
Sedangkan pengertian menurut International Council of Sport and
education yang dikutip oleh Lutan (1992:17) bahwa “Olahraga adalah
kegiatan fisik yang mengandung sifat permainan dan berisi perjuangan
dengan diri sendiri atau perjuangan dengan orang lain serta konfrontasi
dengan unsur alam”. Selanjutnya Engkos Kosasih (1985:4) menyatakan
bahwa “Olahraga adalah kegiatan untuk memperkembangkan kekuatan fisik
dan jasmani supaya badannya cukup kuat dan tenaganya cukup terlatih,
menjadi tangkas untuk melakukan perjuangan hidupnya”.
Dari berbagai penjelasan dapat disimpulkan bahwa olahraga adalah
kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik mengandung sipat permainan serta
berisi perjuangan dengan diri sendiri dengan orang lain atau konfrontasi
dengan unsur alam yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat sesuai
dengan kemampuan dan kesenangan.
32
Gambar 2.1. Olahraga dalam kontinum Play dan Work
Dalam olahraga reksreasi berada pada kontinum sebelah kiri, karena
lebih tinggi proporsi bermainnya. Makin tinggi proporsi bermainnya makin
tinggi nilai rekreatifnya. Olahraga kesehatan terletak ditengah-tengah
kontinum, karena untuk olahraga preventif sering dikombinasikan dengan
unsur bermain, semenatara untuk olahraga yang bersifat promotif atau
rehabilitatif lebih mengutamakan hasil akhir walaupun tidak bersifat
materially. Olahraga pendidikan walaupun lebih merupakan alat untuk
mencapai tujuan pendidikan namun nuansa bermain masih mewarnai pada
oleharaga pendidikan. Olahraga prestasi juga menekankan pada pencapaian
hasil akhir berupa prestasi maksimal untuk mendapatkan juara. Dalam work
dapat terjadi tidak ada nuansa bermain sama sekali, yang terpenting hasil
akhir berupa materially atau uang.
Menurut bapak Olympiade Modern Badon Piere de Coubertain,
bahwa tujuan akhir pendidikan jasmani dan olahraga terletak dalam
perannya sebagai wadah untuk menyempurnakan watak, dan sebagai
wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang
Olahraga
rekreasi
Olahraga
Kesehatan
Olahraga
Pendidikan
Olahraga
prestasi Olahraga mata
pencaharian
Play Sport Work
Intrinsik
Kesenangan
Prosses
Ekstrinsik
Materially
Hasil akhir
33
baik dan sifat mulia. Hanya orang-orang yang memiliki kebijaksanaan
moral seperti inilah yang akan menjadi masyarakat yang berguna (Lutan,
2001). Landasan falsafah ini mendudukan pendidikan jasmani dan olahraga
tidak hanya untuk mencapai tujuan yang dangkal saja, seperti meraih juara
atau kemenangan semata, atau sebagai ajang hiburan, tetapi disinilah
tempatnya untuk membentuk kepribadian dan watak yang baik.
Menilik dari sifat olahraga yaitu “sport belong to all human being. It
is important to women and men as sports provides opportunities to learn, to
experience succes, teamwork, and moment of excellence” (IOC, 1999).
Olahraga penting artinya bagi laki-laki dan perempuan karena olahraga
memberi peluang untuk belajar, mengalami keberhasilan, peluang untuk
bekerja sama, dan saat-saat menunjukkan keunggulan. Dimaknai pula
bahwa olahraga dapat menciptakan kebersamaan, toleransi, disamping juga
dapat menampilkan aktualisasi diri.\
Kegiatan olahraga selalu menunjukkan wujud nyata dari kehadiran
fisik. Olahraga didefinisikan beragam dalam berbagai defisni, dan tidak
pernah usai. Hal tersebut disebabkan oleh karakteristik olahraga itu sendiri
yang semakin berkembang, semakin lama semakin berubah dan semakin
kompleks baik dari jenis kegaiatan yang semakin beragam, juag penekanan
motif yang ingin dicapai ataupun konteks lingkungan sosial budaya tempat
pelaksanaanya. Keberagaman definisi olahraga ini tergantung dari sudat
mana memandangnya. Seperti dalam undang-undang nomor 3 tahun 2005
olahraga merupakan segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong,
membina, dan mengembangkan potensi jasmani, rohani, serta sosial.
Sedangkan WHO dengan istilah physical activity dalam pengetian segala
bentuk aktivitas gerak yang dilakukan setiap harinya, termasuk juga bekerja,
rekreasi, latihan dan aktivitas olahraga.
Esensi olahraga berkaitan tiga unsur : bermain, latihan fisik, dan
kompetisi. Melanjutkan dari pengertianolahraga yang telah dijelaskan di
atas, maka terdapat pula ciri-ciri yang terdapat dalam olahraga menurut
Lutan (1992) menjelaskan ciri khas yaitu :
34
1) Olahraga ditekankan pada kegiatan jasmani yang berwujud keterampilan
gerak, daya tahan, kekuatan, kecepatan. Jadi olahraga yang lebih
dominan adalah kegiatan jasmani.
2) Olahraga sebagai realitas, olahraga dilakukan dalam suasana yang tidak
sebenarnya, tetapi keterlibatan seseorang dalam melakukan olahraga
merupakan sesuatu yang nyata.
3) Prinsip prestasi dalam olahraga, mengenai tanda-tanda prinsip prestasi
dalam olahraga adalah:
a) Peragaan kemampuan jasmani ditunjukan secara maksimal.
b) Kegiatan olahraga dilakukan secara sukarela.
c) Tidak bertujuan untuk menghancurkan lawan.
d) Aspek sosial olahraga, dalam melakukan olahraga akan
memungkinkan terjadi interaksi sosial yang akan menbentuk
kelompok sosial.
Dari penjelasan mengenai ciri-ciri olahraga maka penulis berasumsi
bahwa olahraga merupakan kegiatan fisik yang lebih dominan, kegiatan
yang nyata, terdapat prinsip prestasi, dan terdapat aspek sosial.
b. Tujuan Olahraga
Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas sehari-hari,
salah satunya adalah aktivitas fisik yang disebut dengan olahraga. Olahraga
merupakan kegiatan yang bisa dilakukan oleh setiap orang dan dalam setiap
kesempatan. Sebagai mana dijelaskan oleh Ichsan (1991) bahwa: “Olahraga
pada dasarnya berisi kegiatan yang berorientasi pada gerak, pelaksanaannya
tergantung pada kemampuan dan tujuan yang ingin dicapai pelakunya”.
Mengenai tujuan olahraga Soudan dan Everett melakukan penelitian
terhadap mahasiswa yang dikutip oleh Arma Abdulah (1994 : 23) adalah
sebagai berikut: Bermacam-macam tujuan olahraga adalah:
1) Memelihara kesehatan dan kondisi jasmani yang baik
2) Memperoleh kesenangan dan kegembiraan
3) Memperoleh kepercayaan diri
4) Memperoleh latihan secara teratur
35
5) Membentuk kebiasan menggunakan waktu untuk aktivitas yang
menyenangkan
6) Mencegah, mengetahui, dan mengoreksi kelemahan dan cacat jasmani
Selanjutnya Deprtemen pendidikan dan kebudayaan (1984/1985: 47)
sebagai berikut: Bermacam-macam tujuan olahraga adalah:
1) Untuk mencari kesenangan (rekreasi)
2) Untuk mengisi waktu luang
3) Untuk kesehatan tubuh
4) Untuk physical fitnees
5) Untuk penyembuhan / pengobatan
6) Untuk pembentukan tubuh / sikap
7) Untuk mencapai prestasi
8) Untuk prestise
9) Untuk mencari nafkah
10) Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan
Sedangkan menurut Rusli lutan (1992 : 23) berdasarkan penekanan
tujuan olahraga dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut:
1) Olahraga prestasi (olahraga kompetitif) yang menekankan pada
pencapaian prestasi, kemenangan,atau keunggulan dalam perlombaan
atau pertandingan
2) Olahraga pendidikan yang menekankan pada pencapaian tujuan
pendidikan
3) Olahraga profesional yang menekankan pencapaian tujuan yang
bersipat material
4) Olahraga kesehatan untuk pencapaian derajat sehat yang lebih baik
Berdasarkan dari ketiga pendapat tersebut, maka intensitas olahraga
itu sendiri akan sangat ditentukan oleh tujuan apa yang hendak dicapai,
seseorang melakukan olahraga memiliki tujuan seperti untuk mendapatkan
pestasi, kesenangan atau kegembiraan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan,
atau sebagai mata pencaharian. Apabila olahraga tersebut dilakukan secara
teratur, terarah, dan terkendali maka akan memberikan manfaat kepada diri
36
seseorang, sebagai mana dijelaskan oleh Supandi (1992 : 34) bahwa:
“Bergerak wajib bagi manusia, pelakunya akan memperoleh manfaat
sedangkan yang tidak akan memperoleh mudarat”.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kegiatan / aktivitas olahraga
apabila dilakukan secara teratur dan terarah, maka seseorang akan
bertambah baik kualitas jasmaninya. Disamping itu dalam pelaksanaannya
olahraga dapat dilakukan di mana saja baik di desa, kota, maupun di
komplek/ pemukiman yang kiranya daerah tersebut aman bagi keselamatan.
c. Manfaat Olahraga
Aktivitas jasmani atau olahraga yang dilakukan secara teratur bagi
manusia bisa menjadikan manusia seutuhnya, disepanjang kehidupan
manusia selalu berusaha agar hidup lebih nyaman, lebih mudah, lebih
ringan. Dorongan itu menyebabkan budaya olahraga menjadi lebih
berkembang dikehidupan masyarakat pada masa sekarang ini. Hal ini dapat
dilihat dari kegiatan manusia seperti berjalan kaki, bersepeda, berolahraga,
menulis, bekerja, pergi ke kantor, untuk menunjang kegiatan tersebut
diharapkan seseorang mengembangkan faktor-faktor fisik yaitu dengan
olahraga.
Olahraga pada dasarnya berisi kegiatan yang berorientasi pada gerak,
pelaksanaannya tergantung pada kemampuan dan tujuan apa yang hendak
dicapai oleh pelakunya, seperti yang dijelaskan oleh Giriwijoyo (1992 : 80):
“Melalui aktivitas jasmani akan terjadi perubahan berupa pegaruh positif
terhadap kesehatan. Sebaliknya, akibat yang negatif akan diperoleh jika
olahraga itu dilakukan dengan cara yang salah”. Melalui perkembangan
faktor-faktor fisik dengan kegiatan olahraga secara teratur akan menunjang
kehidupan manusia.
Dari penjelasan mengenai manfaat kegiatan olahraga, maka penulis akan
mengelompokkannya .sebagai berikut:
d. Jenis Olahraga pada Lansia
Aktivitas fisik atau olahraga yang bermanfaat untuk kesehatan lansia
sebaiknya memenuhi kriteria FITT (Frequency, intensity, time and type).
37
Frekuensi adalah seberapa sering aktivitas dilakukan, beberapa hari dalam
satu minggu. Intensitas adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan.
Biasanya diklasifikasikan menjadi intensitas rendah, sedang dan tinggi.
Waktu mengacu pada durasi, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam
suatu pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis-jenis aktivitas fisik
yang dilakukan.
Jenis-jenis olahraga pada lansia menurut Kathy (2002), meliputi
latihan aerobik, penguatan otot (muscle strengthening), fleksibilitas, dan
latihan keseimbangan. Seberapa banyak suatu latihan dilakukan tergantung
dari tujuan setiap individu, apakah untuk kemandirian, kesehatan,
kebugaran, atau untuk perbaikan kinerja (performance).
Latihan fisik dapat diartikan sebagai suatu kegiatan fisik menurut cara dan
aturan tertentu yang mempunyai sasaran meningkatkan efisiensi faal tubuh
dan sebagai hasil akhir adalah peningkatan kesegaran jasmani (Soekarman,
2003). Latihan fisik yaitu faktor yang amat penting bagi setiap atlet. Tanpa
kondisi fisik yang baik tidak akan dapat mengikuti latihan, apalagi
pertandingan dengan sempurna (Soeharno, 1993).
Latiahan fisik sebaiknya dilakukan sesuai dengan kemampuan tubuh
dalam menanggapi stres yang diberikan, bila tubuh diberi beban latihan
yang terlalu ringan, maka tidak akan terjadi proses adaptasi (Sugiharto,
2003). Demikian juga jika diberikan beban latihan yang terlalu berat dan
tubuh tidak mampu mentolelir akan menyebabkan terganggunya proses
homeostasis pada sistem tubuh dan dapat mengakibatkan kerusakan pada
jaringan.
1). Dosis latihan
Dosis latihan merupakan takaran dari pemberian beban latihan
terhadap tubuh. Fakor yang mempengaruhi latihan antara lain: a)
Intensitas, b) Frekuensi, dan c) Durasi latihan (Fox, 1993) :
2). Intensitas Latihan Fisik
38
Intensitas menunjukkan sebuah kualitas elemen latihan. Intensitas
dapat diartikan sebagai tingkatan kualitas antara lain: ringan, sedang
dan maksimal (Bompa, 1994).
Intensitas berkaitan dengan besarnya beban yang diaplikasikan
sehingga menghasilkan kontraksi submaksimal atau maksimal. Oleh
karena itu berdasarkan intensitasnya maka latihan dibedakan atas :
latihan maksimal dan submaksimal. Latihan maksimal ditujukan pada
peningkatan strength & power, latihan submaksimal ditujukan pada
peningkatan daya tahan otot.
Berdasarkan HRmax, intensitas latihan fisik dapat dibagi menjadi (1)
latihan intensitas rendah (sampai 80% HRM), (2) latihan fisik intensitas
sedang / latihan submaksimal (80% - 85% HRM), dan (3) latihan fisik
intensitas tinggi / latihan maksimal (85% - 90% HRM), (4) flat out
(90% - 100% HRM) (Wikipedia, 2011). Pada latihan submaksimal,
sistem yang berperan menyediakan energi 70% berasal dari sistem
glikolisis anaerobik dan 30% dari sistem aerobik (Bompa, 1994).
Intensitas latihan adalah beban kerja latihan total (Kent, 1994).
Parameter yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas latihan
adalah perpaduan antara denyut nadi dan konsentrasi asam laktat dalam
darah (Jenssen, 1987). Dalam menentukan intensitas latihan ada tiga
patokan yang dapat dipakai yaitu berdasarkan denyut jantung, kadar
laktat darah, dan ambang anaerobik.
Berbagai bentuk latihan berdasarkan kadar laktat darah antara lain:
a). Latihan Pemulihan. Intensitas latihan ini jauh di bawah kadar laktat
2 mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 110-140
detak/menit.
b). Latihan Ketahanan Ekstensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 2
mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 140-160
detak/menit.
39
c). Latihan Ketahanan Intensif, yaitu latihan dengan intensitas pada
kadar laktat 3 mmol /l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar
antara 160-180 detak/menit.
d). Pengulangan Ektensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 4-6 mmol
/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 180 detak/menit.
e). Pengulangan Intensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 6 dan 12
mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi di atas 180 detak/menit
(Jenssen, 1987).
3). Frekuensi latihan
Frekuensi latihan dapat dilakukan 1 kali, 2 kali, 3 kali, 4 kali dan 5
kali perminggu tergantung tujuan yang ingin dicapai (Fox, 1994).
Penentuan frekuensi latihan tergantung dari status kesehatan dan
kesegaran jasmani atlet yang akan dilatih. Agar diperoleh peningkatan
kualitas komponen kondisi fisik, maka frekuensi latihan sebaiknya
dilakukan 3-5 kali perminggu (Bompa, 1994 ; Fox, 1993).
4). Durasi latihan
Lama latihan dapat diartikan sebagai rentang waktu yang dapat
berupa berapa menit atau berapa jam latihan dilakukan dalam setiap kali
seminggu atau berapa bulan suatu program latihan berlangsung
(Bompa, 1994).
e. Energi pada saat Olahraga
Sebenarnya pada tubuh manusia banyak kpersamaannya dengan mesin
mobil. Pada mesin tersebut, bensin dan udara (O2) akan dicampur di dalaam
silinder, serta akan dibakar oleh busi. Ekpansi gas yang terjadi akan
menggerakan piston yang kemudian akan menggerakan badan mobil
tersebut. Sisa-sisa pembakaran akan dibuang lewat knalpot. Karena mesin
ini hanya bekerja kalau ada O2, jadi proses ini disebut aerobic. Kalau tangki
bensin menjadi kosong, maka mesin tersebut akan berhenti, karena operasi
dari mesin memerlukansumber energi (bensin). Kalau kita hendak
menjalankan mesin, mesin mualai digerakkan oleh starter dan itu bekerja
tanpa adanya O2 jadi anaerobic. Cadangan enersi pada accu sangat terbatas
40
dan akan diisikan lagi kelak bila mesin sudah berjalan. Hal serupa terjadi
pada tubuh manusia, namun sumber enersi utamanya yaitu karbohidrat dan
lemak. Mekanisme kerja otot hampir serupa dengan mesin mobil. Proses
pemecahan enersi untuk kontraksi di dalam sel tidak menggunakan O2, jadi
bersifat anaerobic. Glikogen atau glukosa akan dipecah menjadi asam
piruvat dengan menghasilkan enersi dalam bentuk Adenosin Triphosphat
(ATP). Pada saat yang bersamaan akan dihasilkan pula Nikcotinamide
Adenine Dunucleotida Hydrogen (NADH2). NADH2 ini harus diubah
kembali menjadi NAD agar reaksi dapat terus berlangsung.
Pada aktivitas yang ringan dan sedang, O2 yang masuk ke dalam sel
akan cukup untuk mengoksidasikan NADH2 dan dirubah kembali menjadi
NAD. Proses dengan O2 ini disebut aerobic dan terjadi di dalam
mitokondria di dalam sel otot. Sedangkan asam piruvat yang terjadi dirubah
menjadi Acetyl Coenzyme A yang kemudian masuk ke dalam mitokondria
untuk dioksidasi (dengan O2) secara lengkap menjadi CO2 dan H2O dengan
menghasilkan enersi yang besar. Proses oksidasi aerobic ini disebut
SIKLUS KREBS. Sebagaimana dari NHDH2 akan dioksidasikan di dalam
reaksi hal mana asam pyruvat berubah menjadi asam laktat.
Setelah aktivitas berhenti, generator metabolik tubuh masih berjalan
beberapa saat untuk menghasilkan ATP dari ADP, Creatine phosphate dari
Creatine. ATP dan Creatine Phosphate akan disimpan di dalam jaringan,
terutama terdapat dalam konsentrasi tinggi jaringan otot. Kedua senyawa
tersebut disebut senyawa Phosphate Energi Tinggi, dan sangat penting
untuk menghasilkan enersi awal untuk kontraksi otot (hanya beberapa detik
pertama). Pelepasan enersi bentuk ini dapat dapat berlangsung cepat dan
tidak perlu menunggu proses perombakan glukosa dan oksidasi asam
pyruvat (Acetyl Coenzyme A) yang memerlukan waktu lebih lama.
Sayangnya kedua senyawa phosphate energy tinggi tersebut tidak dapat
disimpan dalam jumlah yang banyak, oleh kaarena itu harus cepat-cepat
diganti bila sudah terpakai habis. Asam lemak dan karbohidrat akan
dioksidasi secara lengkap dengan O2 di dalam Siklus Krebs dalam
41
mitokondria (proses aerobic). Proses oksidasi asam lemak ini berlangsung
lebih lambat dari pada oksidasi karbohidrat, tetapi cadangan lemak jauh
lebih besar dari pada cadangan karbohidrat. Yang terakhir ini dalam bentuk
glycogen otot dan hati, dan merupakan sumber enersi langsung yang sangat
penting. Bagan di bawah ini menunjukkan urutan pelepasan enersi di dalam
sel sewaktu otot berkontraksi. Urutan tersebut adalah:
ATP (detik pertama), Creatine Phosphate (sampai beberapa detik
berikutnya), selanjutnya glycogen, glukosa dan asam lemak.
Manusia dan hewan menyusui lainnya tergantung dari pemakaian
sumber energy karbohidrat dan lemak. Pada kerja otot yang ringan dan
sedang setelah energi awal didapat dari ATP dan Creatine Phosphate,
selanjutnya energy diperoleh dari lemak dan karbohidrat (=glycogen) kira-
kira dalam jumlah yang sama besar. Apabila kerja otot berlangsung lebih
lama, lemak menjadi sumber energy utama dari pada karbohidrat. Cadangan
lemak akan dipecah dengan bantuan hormone norepinephrine untuk
memobilisasi asam lemak bebas yang kemudian akan dioksidasi di dalam
Siklus Krebs. Akan tetapi pada aktivitas otot yang berat sumber energi
uatama tubuh adalah karbohidrat (glycogen). Oleh karena itu cadangan
glycogen hati dan otot haruslah cukup besar apabila kita akan melakukan
aktivitas otot yang berat, misalnya dalam olahraga yang berat dan berat
sekali.
Kemampuan untuk menjalankan aktivitas fisik yang lberat dan lama
berhubungan langsung dengan jumlah cadangan glycogen initial di dalam
otot. Pada diet seimbang, glycogen otot akan mencapai 1,5 gr/100gr otot,
yakni akan cukup untuk kerja berat selama 2jam (dengan uptake axygen
maximal 75%). Lewat jangka waktu tersebut akan kelelahan.
Kadar glycogen otot dapat diperbesar dengan diet tinggi karbohidrat
sehingga mencapai 2,5gr/100gr otot. Hal ini akan menghasilkan cadangan
tenaga yang cukup untuk dipakai dalam aktivitas bera yang lebih lama.
42
f. Vo2max pada olaharaga
sel dalam tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk mengubah
Setiap energi makanan menjadi ATP (Adhenosine Triphosphate) yang siap
dipakai untuk kerja tiap sel. Otot dalam keadaan istirahat sedikit
mengkonsumsi oksigen. Sel otot yang berkontraksi membutuhkan banyak
ATP, akibatnya otot yang dipakai dalam latihan membutuhkan lebih banyak
oksigen dan menghasilkan banyak karbondioksida (CO2).
Kebutuhan tubuh akan oksigen dapat diukur melalui pernafasan kita.
Dengan mengukur jumlah oksigen yang dipakai selama latihan intensif, kita
mengetahui jumlah oksigen yang dipakai oleh otot yang bekerja. Makin
tinggi jumlah otot yang dipakai maka makin tinggi pula intensitas kerja otot,
otomatis oksigen yang dibutuhkan semakin meningkat. Tingkat kebugaran
jasmani adalah ukuran dari kesanggupan seseorang untuk dapat melakukan
aktivitas sehari-hari. Semakin baik tingkat bugaran jasmani seseorang maka
tingkat kesanggupan untuk melakukan aktivitas cenderung baik terutama
dari segi fisik ataupun stamina. Vo2 max ini sangat menentukan kebugaran
jasmani seseorang terutama untuk atlit. Dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi Vo2max maka semakin baik tingkat kesegaran jasmaninya.
Dalam pengertiannya VO2 max adalah volume oksigen maksimum
yang dapat digunakan permenit. Menurut Guyton dan Hall (2008) dalam
Giri Wiarto (2013:13) VO2 max adalah kecepatan pemakaian oksigen dalam
metabolisme aerob maksimum. Menurut Thoden dalam modul Suranto
(2008 : 118) VO2max merupakan daya tangkap aerobik maksimal
menggambarkan jumlah oksigen maksimum yang dikonsumsi per satuan
waktu oleh seseorang selama latihan atau tes, dengan latihan yang makin
lama makin berat sampai kelelahan, ukurannya disebut VO2max. Beberapa
faktor yang mempengaruhi Vo2max adalah (Burhanudin Sadly, 2015):
1) Umur
2) Latihan
3) Ketinggian suatu tempat (kadar O2)
Faktor psikologis seperti
43
1) Kemampuan jaringan otot untuk menggunakan oksigen dalam proses
produksi energi tubuh.
2) Kemampuan system syaraf jantung dan paru-paru (cardiovascular)
untuk mengangkut oksigen k edalam jaringan otot.
Istilah lain yang memiliki arti yang sama dengan kesegaran jasmani
adalah kebugaran dan daya tahan aerobik, daya tahan cardirespiratory, atau
kapasitas aerobik. Manusia yang mempunyai kebugaran jantung-paru yang
baik, berbagai sistem dalam tubuhnya mampu mengambil oksigendari udara
secara optimal, mendistribusikannya ke seluruh tubuh dan
memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Oksigen diambil dari udara oleh paru-paru, selanjutnya jantung dan
pembuluh darah mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Sel dari jaringan
memanfaatkan oksigen melalui jalur metabolisme yang disebut sebagai jalur
metabolisme aerobik. Salah satu tanda kebugaran jantungparu yang baik
adalah kemampuan seseorang untuk melaksanakan kegiatan jasmani dalam
jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti, serta
kemampuan untuk segera pulih setelah melakukan suatu kegiatan jasmani.
Kebugaran jantung-paru seseorang dapat dilihat dari kemampuan
melaksanakan tugas berat secara terus menerus dalam waktu yang relatif
lama.
Aktivitas sehari-hari tentu melibatkan kontraksi dari otot-otot. Untuk
dapat berkontraksi dengan baik otot memerlukan suplai energi dan oksigen
yang cukup. Tanpa adanya suplai energi dan oksigen yang cukup, maka otot
tidak akan dapat bekerja dengan baik. Kemampuan kerja fisik seseorang
bergantung pada kemampuan fungsi jantung-paru. Dapat dikatakan bahwa
kebugaran jantung-paru (cardiorespiratory) merupakan unsur paling pokok
dalam kesegaran jasmani seseorang. Dengan demikian, kebugaran jantung-
paru berperanan penting untuk menjalankan aktivitas fisik.
3. Kesegaran jasmani
a. Pengertian Kesegaran Jasmani
44
Kesegaran jasmani adalah kesanggupan tubuh untuk melakukan
aktivitas tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki
cadangan tenaga untuk melakukan kegiatan yang lain. Dalam pengertian
lain kesegaran jasmani merupakan kemampuan seseorang untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dengan kesungguhan dan tnggung jawab,
tanpa memiliki rasa lelah dan penuh semangat untuk menikmati penggunaan
waktu luang dan menghadapi kemungkinan berbagai bahaya dimasa yang
akan datang (Ichsan, 1988).
Sadoso Sumosardjuno (1989 : 9) mendefinisikan Kesegaran Jasmani
adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari
dengan gampang, tanpa merasa lelah yang berlebihan, serta masih
mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya
dan untuk keperluan-keperluan mendadak. dengan kata lain Kesegaran
jasmani dapat pula didefinisikan sebagai kemampuan untuk menunaikan
tugas dengan baik walaupun dalam keadaan sukar, dimana orang yang
kesegaran jasmaninya kurang, tidak akan dapat melakukannya. Agus
Mukhlolid, M.Pd (2004 : 3) menyatakan bahwa Kesegaran Jasmani adalah
kesanggupan dan kemampuan untuk melakukan kerja atau aktivitas,
mempertinggi daya kerja dengan tanpa mengalami kelelahan yang berarti
atau berlebihan.
b. Fungsi Kesegaran Jasmani
Kesegaran jasmani mempunyai fungsi yang sangat penting bagi
kehidupan seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kebugaran
jasmani berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kerja bagi siapapun
yang memilikinya sehingga dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara
optimal untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dari hasil seminar
kebugaran jasmani nasional pertama yang dilaksanakan diJakarta pada
tahun 1971 dijelaskan bahwa fungsi kebugaran jasmani adalah untuk
mengembangkan kekuatan, kemampuan, dan kesanggupan daya kreasi serta
daya tahan dari setiap manusia yang berguna untuk mempertinggi daya
kerja dalam pembangunan dan pertahanan bangsa dan negara.
45
c. Peningkatan Kesegaran Jasmani
Untuk peningkatan dan pemeliharaan kebugaran jasmani tidak
terlepas dari latihan jasmani yang membina keseimbangan unsur kesegaran
jasmani. Untuk membina atau memelihara kesegaran jasmani, salah satu
caranya adalah dengan melakukan latihan fisik atau latihan jasmani. Suatu
latihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesegaran jasmani, harus
dilakukan menurut aturan atau cara tertentu. Hal ini berkaitan pula dengan
jenis kegiatan jasmani yang terbagi dalam beberapa jenis, yaitu kegiatan
yang bersifat aerobic (latihan yang membutuhkan oksigen) dan kegiatan
yang bersifat anaerobic (latihan yang tidak membutuhkan oksigen), dan
yang tergantung pada keterampilan.
d. Kesegaran Jasmani dan Kualitas Tidur
Tidur adalah suatu perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi
individu terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan
aktifitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan
proses fisiologis tubuh dan penurunan respon terhadap stimulus eksternal
(Mubarak, 2006).
Tidur adalah kondisi organisme yang sedang istirahat secara reguler,
berulang dan reversible dalam keadaan mana ambang rangsang terhadap
rangsangan dari luar lebih tinggi jika dibandingkan dengan keadaan jaga.
(Prayitno, 2002). Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan
kelelahan jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang
atau berkurang dan akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk
menyelesaikan persoalan yang dihadapi, pada lansia yang memiliki
kesegaran jasmani bagus akan memiliki penurunan aktifitas saraf simpatis
dan peningkatan aktifitas saraf para simpatis yang berpengaruh pada
penurunan hormon adrenalin, norepinefrin dan katekolamin serta
vasodilatasi pada pembuluh darah yang mengakibatkan transport oksigen
keseluruh tubuh terutama otak lancar.
46
sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan nadi menjadi normal.
Pada kondisi ini akan meningkatkan relaksasi lansia. Selain itu, sekresi
melatonin yang optimal dan pengaruh beta endorphin dan membantu
peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur lansia (Rahayu, 2008).
Peningkatan kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan tidur juga akan
mempengaruhi tekanan darah dan nadi untuk tetap dalam batas normal
ketika lansia bangun tidur. Hal ini didukung dari penelitian Hubungan
Asupan Zat Gizi Makro Dan Mikro Serta Kualitas Tidur Dengan Status
Kebugaran Atlet Softball Di Koni Banten Tahun 2016.
4. Kecemasan
a. Pengertian kecemasan
Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami
oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya
umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan
diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Wiramihardja, 2005:66).
Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu
tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal
terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa
muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai
gangguan emosi (Ramaiah, 2003:10).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fauziah & Widuri, 2007:73)
kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam
menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang
dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah
menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan
mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak
47
menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Kholil Lur
Rochman, 2010:104).
Namora Lumongga Lubis (2009:14) menjelaskan bahwa kecemasan
adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal. Individu
mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang.
Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan
yang akan terjadi. Sedangkan Siti Sundari (2004:62) memahami kecemasan
sebagai suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman
terhadap kesehatan Beverly (2005:163)
memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan
emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang
yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi. Kecemasan adalah rasa khawatir , takut yang tidak jelas
sebabnya. Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam
menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun
yang terganggu. Keduaduanya merupakan pernyataan, penampilan,
penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Singgih D.
Gunarsa, 2008:27).
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat
mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena
adanyaketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi atau kecemasan adalah manifestasi dari berbagai
proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang
mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik).
Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu melalui
tahap-tahap perkembangan mulai dari periode prenatal sampai pada usia
lanjut.
48
b. Kecemasan pada lanjut usia
Keberadaan lanjut usia mendorong pemerintah untuk melaukan
perbaikan dalam berbagai bidang, seiring dengan keberhasilan pemerintah
dalam pembangunan nasional, telah mewujudkan hasil yang positif terutama
terlihat dalam bidang kesehatan. Hal inilah yang meningkatnya kualitas
kesehatan serta umur harapan hidup manusia.
Peningkatan populasi lanjut usia ini tentunya diikuti pula dengan
berbagai persoalan. Kecemasan merupakan salah satu masalah mental yang
umum dialami oleh lanjut usia. Mempengaruhi 1 dari 10 orang berusia di
atas 60 tahun. Studi pendahuluan pada 15 orang mendapatkan delapan orang
mengalami kecemasan ringan (53,33%) satu orang mengalami kecemasan
sedang (6,67%) dan enam orang tidak mengamai kecemasan (40%).
Kelompok rentan yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk
menjadi korban peruabahan sosial adalah kelompok usia lanjut. Mereka
yang memiliki konsep hidup tradisional, seperti harapan akan dihormati dan
dirawat di masa tua, atau hubungan erat dengan anak yang telah dewasa.
Pada kenyataannya harus hidup dalam sistem nilai yang berbeda dengan
yang dianut misalnya kurang perasaan dihormati, karena anak tidak lagi
tergantung secara ekonomi pada orang tua, serata kurangnya waktu bagi
menantu perempuan untuk menjaga orang tua, karena bekerja. Keadaan ini
dapat mempengaruhi psikologis dan kesejahteraan lanjut usia (Isfandari,
1999).
Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah psikologis yang
paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian antara lain
(1) Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak
sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan
penanganan yang terlampau rumit (2) Berkurangnya teman atau relasi akibat
kurangnya aktivitas sehingga waktu yang bertambah banyak (3)
Meninggalnya pasangan hidup (4) Anak-anak yang meninggalkan rumah
karena menempu pendidikan yang lebih tinggi, anak-anak yang
meninggalkan rumah untuk bekerja, (5) Anak-anak telah dewasa dan
49
membentuk rumah tangga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan
menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lanjut usia. Dari segi
inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis yang banyak
mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia
kurang mandiri (Suhartini, 2004).
Pada orang lanjut usia umur 60-an sering mengalami depresi, mereka
mengatakan kekhawatiran tentang rasa takutnya terhadap kematian,
kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, pekerjaan, uang,
atau mungkin rumah tinggi, semua ini dapat menimbulkan reaksi yang
merugikan. Bagi kebanyakan orang lanjut usia, kehilangan sumber daya
ditambahkan pada sumber daya yang memang sudah terbatas. Menjadi hal
yang mendapat perhatian ialah kekurangan kemampuan adaptasi
berdasarkan hambatan psikologik, yaitu rasa khawatir dan takut yang
diperoleh dari rasa lebih muda dan yang dimodifikasi, diperkuat dan
diuraikan sepanjang masa hidup individu (Maramis, 2004).
c. Kecemasan dan kualitas tidur pada lansia
Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu
penanganan segera dan terintegrasi. Seiring dengan bertambahnya usia,
maka akan terjadi penurunan fungsi tubuh pada lansia, baik fisik, fisiologis
maupun psikologis. Masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi pada lansia
adalah kecemasan, depresi, insomnia, paranoid, dan demensia, jika lansia
mengalami masalah tersebut, maka kondisi itu dapat mengganggu kegiatan
sehari-hari lansia. Mencegah dan merawat lansia dengan masalah kesehatan
jiwa adalah hal yang sangat penting dalam upaya mendorong lansia bahagia
dan sejahtera di dalam keluarga serta masyarakat (Maryam dkk, 2012).
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini
tidak memiliki obyek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2012). Gejala kecemasan
yang dialami oleh lansia adalah ; perasaan khawatir/takut yang tidak
rasional akan kejadian yang akan terjadi, sulit tidur, rasa tegang dan cepat
50
marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut dan khawatir
terhadap penyakit yang berat dan sering membayangkan hal-hal yang
menakutkan/rasa panik terhadap masalah yang besar (Maryam dkk, 2012).
Kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan
kesulitan tidur serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan juga
meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi sistem
imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap fisik,
kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup (Maryam dkk, 2012).
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang
cukup agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan
tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina
tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal (Guyton & Hall, 2007).
Hal ini didukung dari penelitian Hubungan Kecemasan Dengan
Kualitas tidur lansia di posbindu anyelir kecamatan cisarua kabupaten
bandung barat oleh Okantiranti (2014) dan hubungan antara tingkat
kecemasan dengan kualitas tidur lansia di wilayah kerja puskesmas padang
pasir Padang oleh Syara (2015) yang mendapatkan hasil bahwa kecemasan
lansia mempengaruhi tingkat kualitas tidur pada lansia.
5. Kualitas Tidur
a. Pengertian Tidur
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana
seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik
atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu
proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode
tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut Chopra (2003), tidur merupakan
dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang
dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak
sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan
ketika beraktivitas di siang hari.
b. Fisiologi Tidur
51
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa
rotasi bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama
sirkadian bersiklus 24 jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan
terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam-tanaman pada malam dan
siang hari, awas waspadanya manusia dan bintang pada siang hari dan
tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).
Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika
seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak
aktif melainkan sedang bekerja (Harsono, 1996). Sistem yang mengatur
siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating system (RAS)
dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak
(Potter & Perry, 2005)
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan
susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak
dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi
rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima
stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.
Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin
seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya
pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang
otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).
c. Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau
Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau
Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang
terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur
stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak,
2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus
dalam semalam (Potter & Perry, 2005).
1) Tidur stadium satu
52
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal
dan dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan
lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan,
dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).
2) Tidur stadium dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut
jantung melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010).
Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).
3) Tidur stadium tiga
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998).
Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun,
individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering
merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010).
4) Tidur stadium empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang
otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju
otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010).
Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep,
dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa
cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM
ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan
masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung
lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau
bangun (Japardi, 2002).
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun
kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak
teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).
Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi
tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara
fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry,
2005).
d. Siklus Tidur
53
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan
NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang
cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan
kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan
emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang
cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:
Gambar 2.2. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005)
Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan
siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga
merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi
fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005).
e. Mekanisme Tidur
Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter
fisiologis. NREM ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan
yang stabil dan lambat serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah
tahapan tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat
dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM
terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas.
Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkata aktivitas
54
otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh
yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998).
Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit,
rata-rata timbul setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100
menit setelah seseorang tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang
menyerupai tidur NREM tingkat I dengan gelombang beta, disertai mimpi
aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur
(pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid eye
movement), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur gelombang lambat
atau NREM.
Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh
sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular
Activity System ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika
aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut akan dalam
keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat
dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik,
noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).
f. Gangguan tidur pada lanjut usia
Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut
usia) dimana pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau
perubahan kondisi fisik,psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi
satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara fisik maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu
lanjut usia (Sarwono, 2010).
Perubahan spesifik pada lansia dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya
hidup, stressor, dan lingkungan. Perawat harus mengetahui proses
perubahan normal tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan tepat dan
membantu adaptasi lansia terhadap perubahan, salah satunya adalah
perubahan neurologis. Akibat penurunan jumlah neuron fungsi
neurotransmitter juga berkurang. Lansia sering mengeluh kesulitan untuk
tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk tidur kembali tidur
55
setelah terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang
berlebihan. Masalah ini diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam siklus
tidur-terjaga (Potter & Perry 2009).
Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami
suatu perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang
menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang di
inginkan.Gangguan tidur pada lansia jika tidak segera ditangani akan
berdampak serius dan akan menjadi gangguan tidur yang kronis. Secara
fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang cukup untuk
mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek seperti pelupa,
konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008). Menurut National Sleep
Foundation tahun 2010 sekitar 67% dari 1.508 lansia di Amerika usia 65
tahun keatas melaporkan mengalami insomnia dan sebanyak 7,3 % lansia
mengeluhkan gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia
Kebanyakan lansia beresiko mengalami insomnia yang disebabkan
oleh berbagai faktor seperti pensiunan, kematian pasangan atau teman dekat,
peningkatan obat-obatan, dan penyakit yang dialami. Di Indonesia insomnia
menyerang sekitar 50% orang yang berusia 65 tahun, setiap tahun
diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya insomnia dan
sekitar 17% mengalami insomnia yang serius. Prevalensi insomnia pada
lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67% (Puspitosari, 2011) Insomnia pada
lansia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dari faktor status kesehatan,
penggunaan obat-obatan, kondisi lingkungan, stres psikologis, diet/nutrisi,
gaya hidup Insomnia pada usia lanjut dihubungkan dengan penurunan
memori, konsentrasi terganggu dan perubahan kinerja fungsional.
Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang
lambat, terutama stadium empat, gelombang alfa menurun,dan
meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya
fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada
dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan,
56
kalau seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak
begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun (Darmojo, 2005).
Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat
sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa
muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan
lansia, ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur
total lansia hampir sama dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-
bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan
fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun pada malam hari
menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari,
dengan perkataan lain bertambahnya umur juga dikaitkan dengan
kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase
atau jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan
perpindahan jam kerja. Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga
berpengaruh terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon
pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan kortisol pada lansia. Hormon-hormon ini
dikeluarkan selama tidur dalam. Sekresi melatonin juga berkurang.
Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur. Sekresinya terutama pada
malam hari. Apabila terpajan dengan cahaya terang, sekresi melatonin akan
berkurang (Guyton, 2007)
Pengertian insomnia adalah keadaan dimana seseorang dimana tidak
bisa tidur dalam waktu yang cukup. Keluhan dari penderita insomnia adalah
mereka tidak dapat memejamkan mata atau mengistirahatkan pikirannya
walaupun hanya untuk sejenak. Ada banyak alasan seseorang menderita
insomnia mulai dari kegelisahan hingga ke bipolar disorder. Namun
terkadang tidak ada penyebab nyata dan hanya dapat terjadi karena suatu
alasan, tapi terlalu banyak kegiatan fisik dan rasa sakit juga dapat membuat
seseorang untuk sulit tidur di malam hari.Mencari penyebab dari insomnia
merupakan kunci untuk mencari obat untuk masalah ini. ternyata tidak
makan juga memberikan efek negatif berupa sulit tidur pada seseorang
(Farlane, 2012).
57
Insomnia ada 3 jenis, yaitu: insomnia sementara (bisa terjadi dimana
saja dari satu malam hingga beberapa hari), insomnia akut (sulit tidur dalam
jangka waktu satu minggu untuk 3-6 bulan), dan insomnia kronis (dimana si
penderita mengalami kesulitan tidur setiap malam selama satu bulan atau
bahkan lebih) (Farlane, 2012).
B. Kerangka Berfikir
Kerangka pemikiran yang akan dikemukakan dalam penelitian ini,
berdasarkan pada teori yang benar dan berkaitan dengan variabel yang menjadi
obyek dalam penelitian ini. Selain kerangka berpikir tersebut juga merupakan
dasar pemikiran dari penelitian yang akan dikembangkan dalam penelitian ini.
1. Sumbangan faktor antara kesegaran jasmani dengan kualitas tidur
pada lanjut usia.
Tidur merupakan suatu fenomena dasar yang penting bagi
kehidupan, kurang lebih sepertiga dari kehidupan manusia dijalankan
dengan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan secara menyeluruh
sangat terkait dengan tingkat pemenuhan kebutuhan tidur. Proses
degenerasi pada lansia menyebabkan waktu tidur efektif semakin
berkurang, sehingga tidak mencapai kualitas tidur yang adekuat dan akan
menimbulkan berbagai macam keluhan tidur.
Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia membawa
konsekuensi bertambahnya jumlah lansia di Indonesia akan lebih cepat
dibandingkan negara-negara lain. Indonesia adalah termasuk negara yang
memasuki era penduduk berstruktur lansia (aging structured population)
karena jumlah penduduk yang berusia di atas 60 tahunnya sekitar 10%.
Setiap tahun sekitar 20% sampai 50% orang dewasa melaporkan adanya
gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dan sekitar 17% mengalami
gangguan pemenuhan tidur yang serius. Prevalensi gangguan pemenuhan
kebutuhan tidur pada lansia cukup meningkat yaitu sekitar 76%.
Kelompok lansia lebih mengeluh mengalami sulit tidur sebanyak 40%,
sering terbangun pada malam hari sebanyak 30% dan sisanya gangguan
58
pemenuhan kebutuhan tidur lain. Established Population for
Epidemiologic of the Elderly (EPESE) mendapatkan dari 9000 responden,
sekitar 29% berusia diatas 65 tahun mengalami keluhan gangguan
pemenuhan kebutuhan tidur. Ketidakcukupan kualitas dan kuantitas tidur
dapat merusak memori dan kemampuan kognitif. Bila hal ini berlanjut
hingga bertahun-tahun, akan berdampak pada tekanan darah tinggi,
serangan jantung, stroke, hingga masalah psikologis seperti depresi dan
gangguan perasaan lain.
Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH, GH,
TSH, dan LH. Hormon ini masing-masing disekresi oleh kelenjar pituitary
anterior melalui hipotalamus path way. Sistem ini secara teratur
mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter noreepinefrin, dopamine,
serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur. Pada lansia, keadaan
hormonal yang menurun akan mengakibatkan pola tidur berubah. Hormon
melatonin berperan dalam mengontrol irama sirkardian, sekresinya
terutama pada malam hari yang berhubungan dengan rasa mengantuk.
Lansia sering terbangun pada malam hari sehingga waktu tidur malam
menjadi berkurang, ketika bangun pagi terasa tidak segar, siang hari
mengalami kelelahan, lebih sering tidur sejenak dan merasa mengantuk
sepanjang hari.
Salah satu olahraga yang dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan
tidur adalah olahraga kardiovaskular seperti olahraga senam lansia.
Olahraga senam lansia secara teratur akan menjaga keseimbangan
homeostasis tubuh dan membawa rasa nyaman, senang, dan bahagia.
Dalam kondisi tersebut lansia tidur lebih nyenyak. Dengan demikian
terjadi peningkatan kualitas pemenuhan kebutuhan tidur.
Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani
seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran disaat bangun
dari tidur. Kualitas tidur yang mencakup aspek kuantitatif dari tidur,
seperti durasi tidur, retensi tidur, serta aspek subyektif, seperti tidur dalam
dan istirahat. Perubahan tidur normal pada lansia adalah terdapat pada Non
59
Rapid Eye Movement (NREM) 3 dan 4, lansia hampir tidak memiliki tahap
4 atau tidur dalam. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan
sistem neurologis yang secara fisiologis akan mengalami penurunan
jumlah dan ukuran neuron pada sistem saraf pusat hal ini mengakibatkan
fungsi dari neurotransmitter pada sistem neurologi menurun, sehingga
distribusi norepinefrin yang merupakan zat untuk merangsang tidur juga
akan menurun. Hal ini dikarenakan aktivitas fisik dapat merangsang
penurunan aktivitas saraf simpatis dan peningkatan aktivitas para simpatis
yang berakibat pada penurunan hormon adrenalin, norepinefrin dan
katekolamin.
Sedangkan aktivitas fisik sendiri berhubungan dengan Vo2max pada
seseorang, dari beberapa penelitian dikatakan bahwa aktivitas fisik
seseorang terkait dengan nilai Vo2maxnya, jadi semakin bagus
Vo2maxnya semakin bagus pula kualitas tidurnya, hal ini dipengaruhi oleh
faktor lainnya yaitu adanya hantaran oksigen yang cukup untuk konsumsi
metabolisme di otak, sehingga perasaan relax dan nyaman dapat
membantu dalam proses tidur.
2. Sumbangan faktor antara kecemasan dengan kualitas tidur pada
lanjut usia.
Masalah psikologis yang seringkali dijumpai pada lansia meliputi
perasaan kesepian, takut kehilangan, takut menghadapi kematian,
perubahan keinginan, kecemasan dan depresi. Gangguan tidur pada lansia
merupakan keadaan dimana seseorang mengalami suatu perubahan dalam
pola istirahatnya yang disebabkan karena banyaknya masalah sehingga
menyebabkan lansia merasa kurang nyaman dalam hidupnya. Karena tidur
merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan seseorang untuk dapat
berfungsi dengan baik yang diyakini dapat digunakan untuk keseimbangan
mental, emosional, dan kesehatan fisik.
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi
ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kecemasan dialami secara
60
subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal. Gejala kecemasan
yang dialami oleh lansia adalah ; perasaan khawatir/takut yang tidak
rasional akan kejadian yang akan terjadi, sulit tidur, rasa tegang dan cepat
marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut dan khawatir
terhadap penyakit yang berat dan sering membayangkan hal-hal yang
menakutkan/rasa panik terhadap masalah yang besar.
Kecemasan yang dialami lansia disebabkan oleh penurunan kondisi
fisik seperti hilangnya kemampuan penglihatan, badan mulai
membungkuk, kulit keriput dan sekarang sudah tidak kuat jalan jauh lagi
karena cepat lelah, beda dengan waktu muda disaat dulu kondisi fisik
masih kuat. Kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan
kesulitan tidur serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan
juga meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi
sistem imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap
fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup.
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang
cukup agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan
tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina
tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal.
Pola tidur mencakup kualitas dan kuantitas tidur seseorang dimana
kualitas tidur adalah jumlah tahapan NREM dan REM yang dialami
seseorang dalam siklus tidurnya, dan kuantitas tidur adalah jumlah
lamanya waktu tidur yang dihabiskan seseorang dalam sehari. Pola tidur
yang tidak menetap akan memberikan dampak terhadap kekurangan tidur
sehingga akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis seseorang.
Gangguan pola tidur yaitu keadaan ketika individu mengalami atau
beresiko mengalami suatu perubahan dalam kuantitas atau kualitas pola
istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya
hidup yang diinginkannya.
61
Feinerg mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja,
kebutuhan tidur seseorang menjadi relatif tetap. Luce dan Segal
mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor terpenting yang
berpengaruh terhadap kualitas tidur. Semakin bertambahnya usia
berpengaruh terhadap penurunan dari periode tidur. Kebutuhan tidur umur
60 tahun ke atas rata - rata 6 jam sehari. Orang yang berusia lebih dari 60
tahun sering menyampaikan keluhan gangguan tidur, terutama masalah
kurang tidur. Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut cukup tinggi.
Pada usia lanjut tersebut tentunya ingin tidur enak dan nyaman setiap hari,
yang merupakan indikator kebahagiaan dan derajat kualitas hidup.
Masalah tidur yang sering dialami oleh orang lanjut usia adalah
sering terjaga pada malam hari, seringkali terbangun pada dini hari, sulit
untuk tertidur, dan rasa lelah yang amat sangat pada siang hari. Gangguan
tidur pada lansia dapat dibagi menjadi ; kesulitan masuk tidur, kesulitan
untuk mempertahankan tidur nyenyak dan bangun terlalu pagi. Setiap
tahun di dunia, diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan
adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang
serius. Di Indonesia belum diketahui angka pastinya, namun prevalensi
pada orang dewasa mencapai 20%. Sedangkan prevelensi gangguan tidur
pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Walaupun demikian hanya satu
dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah
didiagnosis oleh dokter, meski demikian Faktor yang menyebabkan
tingginya angka kecemasan sedang yang terjadi adalah beratnya beban
yang dihadapi lansia. Serta adanya stresor pencetus yang menyebabkan
lansia cemas, yaitu ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas
fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan
aktivitas hidup sehari – hari. Namun semuanya dikembalikan kepada
mekanisme koping yang dimiliki oleh individu lansia, jika koping yang
dimiliki positif maka kecemasan yang ada dapat diminimalisir.
62
Gambar 2.3. Kerangka Berpikir
Kesegaran jasmani Kecemasan
Kualitas Tidur
Biologis Degeneratif
Lanjut Usia
Psikologis
Postur
Fleksibilitas
Kekuatan
Kelincahan
Perubahan neurotransmiter
Kesendirian
Ekonomi
Religius
Peran Sosial
Kemunduran fungsi
Pembakaran Kalori
Metabolisme General
Sistem Imun
Endorphin
Hubungan Sosisal
Kebugaran
Ancaman terhadap
sistem diri
Identitas
Harga diri
Fungsi sosial yang
terintegrasi pada
individu.
62
Hipotesis
Berdasarkan hal tersebut peneliti membuat hipotesis yang berkaitan
dengan kerangka berfikir dan konsep tersebut di atas, sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif antara kesegaran jasmani dengan kualitas tidur pada
lanjut usia.
2. Ada hubungan negatif antara kecemasan dengan dengan kualitas tidur pada
lanjut usia.
3. Ada hubungan secara bersama antara kesegaran jasmani dan kecemasan
dengan dengan kualitas tidur pada lanjut usia.